3-BILINGUALISME DAN DIGLOSIAmatakuliah.pptx

RitaRistiana1 0 views 22 slides Sep 08, 2025
Slide 1
Slide 1 of 22
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22

About This Presentation

Bilingualisme dan diglosia


Slide Content

BILINGUALISME DAN DIGLOSIA

Bilingualisme Bilingualisme (Inggris: bilingualism ) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa (bahasa pertama atau B1 dan bahasa kedua atau B2) oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).

Untuk dapat menggunakan dua bahasa seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut orang yang bilingual (dwibahasawan). Sedangkan , kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (keanekabahasaan), yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

Pengertian bilingualisme menurut beberapa ahli : 1. Menurut Weinreich (1953:1), bilingualisme merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. 2. Menurut Blommfield (1958:56), bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. 3. Menurut Haugen (1961), bilingualisme adalah kemampuan seorang untuk mengetahui atau memahami dua bahasa atau lebih tetapi tidak secara aktif menggunakan kedua bahasa itu. 4. Menurut Diebold (1968:10), bilingualisme adalah kemampuan berbahasa pada tahap permulaan yang dialami seorang anak untuk mempelajari bahasa kedua.

Bahasa d alam Bilingualisme Yang dimaksud bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue (bahasa Sunda dan bahasa Madura), sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa (bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya). Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah juga dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual (kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu sendiri).

Penggunaan B 1 dan B 2 pada S eorang P enutur B ilingual Seorang bilingual dalam penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara (siapa berbicara dan kepada siapa), bahasa yang digunakan, kapan berbicara, apa tujuan berbicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi, kapan seorang penutur bilingual menggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Montreal, Kanada.

Diglosia Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis “diglossie” (Marcais, seorang linguistik Prancis), kemudian digunakan oleh sarjana Stanford University, yaitu C.A. Ferguson (1958) dalam artikelnya “Diglosia” (majalah Word , 1959) Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.

Definisi Ferguson mengenai diglosia: Ferguson menjelaskan diglosia dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu: 1. Fungsi Dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa, yaitu variasi pertama disebut dialek tinggi (dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (dialek R atau ragam R). Fungsional dialek T hanya pada situasi resmi atau formal, sedangkan fungsi dialek R hanya pada situasi informal dan santai. Bagan berikut memperlihatkan kapan digunakannya dialek T dan dialek R:

Situasi Dialek T R 1. Percakapan dengan teman - ˅ 2. Surat pribadi - ˅ 3. Siaran berita ˅ - 4. Puisi ˅ - 5. Sandiwara radio - ˅ 6. Perkuliahan di universitas ˅ - 7. Sastra rakyat - ˅ 8. Komentar kartun politik - ˅ 9. Editorial di surat kabar ˅ - 10. Pembicaraan di parlemen ˅ -

2. Prestise Masyarakat diglosis menganggap dialek T merupakan bahasa yang logis, sedangkan dialek R dianggap inferior/rendah. 3. Warisan Kesusastraan Masyarakat diglosia cenderung menggunakan dialek T sehingga kesustraan asli mereka yaitu dialek R menjadi asing digunakan. 4. Pemerolehan Ragam dialek T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman- teman sepergaulan. 5. Standardisasi Adanya kodifikasi formal terhadap ragam dialek T (kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dll). Sebaliknya, jarang ada kajian yang menyinggung tentang ragam dialek R.

6. Stabilitas Kestabilan dalam masyarakat diglosis terjadi karena adanya sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu. 7.Gramatika Ragam dialek T dan ragam dialek R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama, namun di dalam gramatikanya ternyata terdapat perbedaan. 8. Leksikon Kosakata pada ragam dialek T dan ragam dialek R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam dialek T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya. 9. Fonologi Sistem bunyi ragam dialek T dan ragam dialek R sebenarnya merupakan sistem tunggal. Namun, fonologi dialek T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologii dialek R merupakan subsistem.

Kaitan Bilingualisme dan Diglosia Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak dalam bagan berikut:

Hubungan Antara Bilingualisme Dan Diglosia Menurut Fishman (1977) Diglosia + - Bilingualisme + 1. Bilingualisme dan diglosia 2. Bilingualisme tanpa diglosia - 3. Diglosia tanpa bilingualisme 4. Tidak diglosia dan tidak bilingualisme

Dari bagan di atas (menurut Fishman), ada empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu: Bilingualisme dan diglosia Bilingualisme tanpa diglosia Diglosia tanpa bilingualisme Tidak bilingualisme dan tidak diglosia

1. Bilingualisme dan Diglosia Dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, yaitu masyarakat yang hampir setiap anggota masyarakatnya mengetahui ragam dialek T dan ragam dialek R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.

Contoh : Di Indonesia penutur menggunakan bahasa Sunda (B1) dan bahasa Indonesia (B2) , hanya bisa menggunakan bahasa Sundanya untuk percakapan yang bersifat kekeluargaan, dan tidak dapat menggunakan bahasa Sundanya untuk berbicara dalam sidang DPR.

2. Bilingualisme Tanpa Diglosia Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang mana pun untuk situasi dan tujuan apapun.

Contoh : Di Belgia yang berbahasa Jerman, adanya peralihan bahasa yaitu dari bahasa Jerman ke bahasa Perancis yang berlangsung dengan disertai bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.

3. Diglosia Tanpa Bilingualisme Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok yang hanya bicara dalam bahasa T (ruling group). Sedangkan kelompok kedua, hanya berbicara bahasa R.

Contoh : Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak dijumpai di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama. Misalnya, dalam satu periode sejarah Czar Rusia, para bangsawan hanya berbicara dalam bahasa Perancis, sedangkan masyarakat Rusia yang lebih luas hanya berbicara dalam bahasa Rusia dengan berbagai dialeknya.

4. Tidak Bilingualisme Dan Tidak Diglosia Di dalam masyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak diglosia, tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan yang seperti ini hanya mungkin ada dalam masyarakat yang primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar ditemukan/jarang.

TERIMA KASIH..