KUHAP.pptxaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

MrJalaluddin1 15 views 81 slides Mar 10, 2025
Slide 1
Slide 1 of 81
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81

About This Presentation

amazing


Slide Content

KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Bab I Ketentuan Um u m Bab II Ruang Lingkup B erlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Pe n untut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Pe n y idik Bab IV Penyidik dan Pe n untut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu Bab IV Penyidik dan Pe n untut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Um u m Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesa t u :Penangkapan Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat Bab VI Tersangka dan T erdakwa Bab VII Bantuan Hukum Bab VIII Berita Acara Bab IX Sumpah atau J a nji Bab X W e wenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesa t u : Praperadilan Bab X W e wenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadi l an Negeri Bab X W e wenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadil a n Tinggi Bab X W e wenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung Bab X I Koneksitas Bab X II Ga n ti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian Bab X II Ga n ti Kerugian dan Rehabil i tasi Bagian Kedua : Rehabilitasi Bab X III P e nggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Bab X I V P e nyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan Bab X I V P e nyidikan Bagian Kedua : Penyidikan Bab XV Pe n untutan Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Kedua : Memutus Sengketa Mengenai Wewenang Mengadili Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Ketiga : Acara Pemeriksaan Bi a s a Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Keempat : Pembuktian dan Pu t usan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Kelima : Acara Pemeriksaan Bi a s a Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat Bab XVI P e meriksaan di Sidang Pengadilan B a gian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan Bab XVII U p aya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tin g kat Banding Bab XVII U p aya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi

Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tin g kat Kasasi Demi Kepe n tingan Huk u m Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kem b ali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap Bab X I X Pe l aksanaan P utusan Pengadilan Bab XX Pe n gawasan Dan Pengama t an Pelaksa n aan Putusan Pengadil a n Bab XXI Ke t entuan Peralihan Bab XXII K e tentuan Penutup BAB I KETEN T U A N UM U M Pasal 1 Yang dimaksud dalam undang-undang ini deng a n: 1.Penyidik adalah peja b at polisi ne g ara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil t ertentu yang diberi wewenang khus u s oleh und a ng-undang untuk melakukan penyidikan. 2.Penyidikan adalah se r angkaian ti n dakan pen y idik dalam h al dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini un t uk men c ari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu m e mbuat terang tentang ti n dak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 3.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolis i an n egara Republik Indon e sia yang karena diberi wewenang terten t u dapat melakukan tug a s penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini. 4.Penyelidik adalah pej a bat polisi n e gara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undan g -undang ini untuk melakukan penyelidikan. 5.Penyelidikan adalah serangkaian t indakan pe n yelidik untuk mencari dan menemu k an suatu peris t i wa yang diduga sebagai tindak pid a na guna menentukan d a pat atau tidaknya dil a kukan penyidikan menurut cara yang diatur dal a m undang-undang ini. 6.a. Jaksa a dalah peja b at yang diberi wewenang oleh und a ng-undang ini untuk bertindak s e bagai penu n tut umum s e rta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan h ukum tetap. b.Penuntut umum adal a h jaksa ya n g diberi wewenang oleh undang-undang ini unt u k melakukan penuntutan dan melaksanakan pe n etapan hakim. 7.Penuntutan adalah ti n dakan pen u ntut umum u ntuk melimpahkan perk a ra pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini den g an permintaan supaya diperiksa dan diputus ol e h hakim di sidang pen g adilan.

8.Hakim adalah pejabat peradilan n egara yang diberi wewenang oleh u ndang-undang untuk mengadili. 9.Mengadili adalah ser a ngkaian tin d akan hakim untuk menerima, m e meriksa, dan memutus p e rkara pidana berdasark a n asas beb a s, jujur, dan tidak memihak di si d ang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 10.Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memut u s menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a.sah atau tidaknya suatu penangk a pan dan at a u penahanan atas permintaan tersangka a t au keluarg a nya atau pihak lain at a s kuasa ters a ngka; b.sah atau tidaknya penghentian p e nyidikan at a u penghentian penuntu t an atas permintaan demi tegaknya hukum d an keadilan; c.permintaan ganti ker u gian atau r e habilitasi ol e h tersangka atau keluar g anya atau pihak lain a t as kuasan y a yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 11.Putusan pengadilan adalah per n y ataan hakim yang diucapkan dal a m sidang pengadilan t erbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau b ebas atau l e pas dan se g ala tuntutan hukum dalam h al serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 12.Upaya h ukum adalah hak terdakwa a t au penuntut umum untuk tidak menerima putusan pe n gadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana u n tuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 13.Penasih a t hukum adalah seorang yang m e m e nuhi syarat yang ditentukan oleh at a u berdasarkan undang-undang untuk memberi b a ntuan huk u m . 14.Tersangka adalah s e orang yang karena per b uatannya atau keadaa n nya berdasarkan bukti permulaan patut diduga seba g ai pelaku t i n dak pidana. 15.Terdakwa adalah s e orang ters a ngka yang dituntut, dipe r iksa dan d i a dili di sidang pengadilan. 16.Penyitaan adalah se r angkaian ti n dakan penyidik untuk m engambil alih dan atau meny i mpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berger a k , berwujud atau tidak b erwujud untuk kepenti n gan pembuktian dalam penyidikan, p enuntutan d an peradilan. 17. Penggeledahan rumah adalah tindakan pe n yidik untuk memasuki rumah temp a t tinggal dan t empat tertutup Iainnya untuk melak u kan tindak a n pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau pe n angkapan d alam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 18.Penggeledahan badan adalah tindakan pe n yidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan a tau pakaian tersangka u ntuk mencari benda yang diduga ke r as ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disit a . 19.Tertangkap tangan a dalah terta n gkapnya seorang pada waktu sed a ng melakukan tindak pida n a, atau den g an segera sesudah be b erapa saat tindak pidana itu dilakuk a n, atau sesaat kemudian diserukan ol e h khalayak r amai sebagai orang yang

melakukannya, atau apabila sesa a t kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunak a n untuk melakukan tin d ak pidana i t u yang me n unjukkan b a hwa ia adalah p e lakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan t indak pida n a itu. 20.Penangkapan adalah suatu tind a kan penyidik berupa pengekangan sementara waktu keb e basan ters a ngka atau t e rdakwa apabila terdapat cukup buk t i guna kepentingan penyidikan atau penun t utan dan at a u peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 21.Penahanan adalah p enempatan tersangka a t au terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik at a u penuntut u mum atau h akim dengan penetapa n nya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 22.Ganti kerugian adal a h hak seor a ng untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena dita n gkap, ditah a n, dituntut a t aupun diadili tanpa alas a n yang berdasarkan un d ang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 23.Rehabili t asi adalah h ak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampua n , kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan p ada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, di t ahan, ditun t ut ataupun diadili tan p a alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum ya n g diterap k an menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 24.Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang kar e na hak atau kewajiban b erdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 25.Pengaduan adalah p emberitahuan disertai p e rmintaan oleh pihak yang berkepenti n gan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tind a k pidana a d uan yang merugikannya. 26.Saksi a d alah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradil a n tentang s u atu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri d an ia alami sendiri. 27.Keterangan saksi a d alah salah satu alat buk t i dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai su a tu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia li h at sendiri dan ia alami se n diri dengan menyebut a l asan dan p e ngetahuannya itu. 28.Keterangan ahli ada l ah keteran g an yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian k h usus tenta n g hal yang diperlukan u n tuk membu a t terang sua t u perkara pidana guna kepenting a n pemeriksaan. 29. Keterangan anak a d alah ketera n gan yang diberikan oleh seorang a n ak tentang h al yang diperlukan untuk membuat terang suatu pe r kara pidana guna kepen t ingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dal a m undang-undang ini.

30.Keluarga adalah mereka yang mempunyai h ubungan darah sampai derajat tert e ntu atau hubun g an perkawinan dengan mereka ya n g terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dal a m undang-undang ini. 31.Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu ti g a puluh hari. 32.Terpida n a adalah s e orang yang dipidana be r dasarkan p u tusan peng a dilan yang telah mem p eroleh kek u atan hukum tetap. BAB II RU A NG LI N GK U P B E R LAK U NYA UN D A N G- U ND A NG Pasal 2 Undang-undang ini berl a ku untuk melaksanak a n tatacara pe r adilan dal a m lingkungan peradilan u m um pada s emua tingkat peradilan. BAB III DAS A R P E RADIL A N Pasal 3 Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. BAB IV PENY I DIK DAN P EN U NTUT U M U M Bagian Kesatu Pe n y elidik dan Pe n y i d ik Pasal 4 Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara R epublik Ind o nesia. Pasal 5 (1) Penyelidik sebagai m ana dimaksud dalam Pasal 4:

a. Karena kewajibannya mempu n yai wewenang : 1. menerima laporan at a u pengaduan dari seor a ng tentang a danya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti s e orang yang dicurigai d a n menanya k an serta memeriksa tanda peng e nal diri; 4. mengadakan tindak a n lain menurut hukum y a ng bertanggung jawab. b. atas peri n tah penyidik dapat melakukan tind a kan berupa: 1. penangk a pan, larang a n meninggalkan tempat, penggeled a han dan penyitaan; 2. pemeriksaan dan pe n yitaan surat; 3. mengam b il si d ik jari d an memotr e t seorang; 4. memb a w a dan menghadapkan seorang pada penyidik. (2) Penyelidik membuat dan meny a m pai k an laporan hasil p elaksanaan tindakan s e bagaimana tersebut pa d a ayat (1) huruf a dan h uruf b kepa d a penyidik. Pasal 6 (1) Penyidik adalah: a. pejabat p olisi negara Republik In d onesia; b. pejabat p egawai negeri sipil tert e ntu yang diberi wewenang khusus o leh undang- undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat se b agaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur I ebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pasal 7 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a kare n a kewajiba n nya mempu n yai wewenang : a. menerima Iaporan at a u pengaduan dari seor a ng tentang a danya tindak pidana; b. melakuk a n tindakan p ertama pada saat di t e mpat kejadian; c. menyuruh berhenti s e orang ters a ngka dan memeriksa tanda pengenal diri tersa n gka; d. melakuk a n penangk a pan, penah a nan, pengg e ledahan dan penyitaan; e. melakuk a n pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengamb i l sidik jari d a n memotret seorang; g. memang g il orang unt u k didengar d an diperiksa sebagai te r s angka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghen t ian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum ya n g bertanggung jawab. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai den g an undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam

pelaksana a n tugasnya berada di b a wah koordinasi dan pe n gawasan penyidik ters e but dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. (3) Dalam melakukan t u gasnya sebagaimana dimak s ud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Pasal 8 (1) Penyidik membuat b e rita acara t e ntang pelaksanaan tin d akan seba g aimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan t idak mengurangi ketent u an lain dal a m undang-undang ini. (2) Penyidik menyerahk a n berkas pe r kara kepada penuntut u mum. (3) Penyer a han berkas perkara se b agaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan: a. pada tah a p pertama penyidik hanya menyera h kan berkas perkara; b. dalam hal penyidikan sudah dian g gap seles a i, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas t ersangka d a n barang bukti kepada p enuntut umum. Pasal 9 Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud da l am Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai wewenang melakukan t ugas masi n g-masing pada umum n y a di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah h u kum masing-masing di mana ia diangkat sesu a i dengan ke t entuan undang-undang. BAB IV PENY I DIK DAN P EN U NTUT U M U M Bagian Kedua Pe n y idik Pembantu Pasal 10 (1) Penyidik pembantu adalah peja b at kepolisian negara Republik Indon e sia yang di a ngkat oleh Kepala kepolisian n egara Republik Indon e sia berdasarkan syarat kepangkatan d alam ayat (2) pasal ini. (2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut p ada ayat (1) diatur den g an peraturan pemerintah. Pasal 11

Penyidik pembantu m e mpunyai w e wenang seperti t e rsebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan de n gan pelimpahan wewenang dari pe n yidik. Pasal 12 Penyidik pembantu m e mbuat berita acara dan m enyerahk a n berkas pe r kara kepada penyidik, kecuali pe r kara dengan acara pemeriksaan sin g kat yang dapat langsu n g diserahk a n kepada penuntut umum. BAB IV PENY I DIK DAN P EN U NTUT U M U M Bagian Ketiga Penuntut Umum Pasal 13 Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh u ndangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan pe n etapan hakim. Pasal 14 Penuntut umum m e m p unyai wew e nang: a. menerima dan memer i ksa berk a s perkara pe n yidikan dari penyidik at a u penyidik pembantu; b. mengadakan pra pe n untutan ap a bila ada k e kurangan pada penyidikan dengan memperhat i k an ketent u an Pasal 1 1 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyemp u rnaan penyidikan dari p enyidik; c. memberikan perpanj a ngan penahanan, melakukan pena h anan atau p enahanan lanjutan dan atau mengubah status t ahanan set e lah perkara n y a dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakw a an; e. melimpa h kan perkara ke pengadilan; f. meny a m p aikan pemberitahuan k e pada terdakwa tentang ketentuan h ari dan wak t u perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik ke p ada terdakwa maupun kepada saksi, untuk da t ang pada sidang yang telah ditent u k an; g. melakuk a n penuntut a n; h. menutup perkara d e mi kepenti n gan hukum;

i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tangg u ng jawab s e bagai penu n tut umum men u rut ketentu a n undang-undang ini; j. melaksa n akan penet a pan hakim. Pasal 15 Penuntut umum menu n tut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan u ndang-undang. BAB V PEN A NG K APAN, PE N AH A NAN, P ENGGEL E DA H AN B A DAN, P EMASU K K A N RUMAH, PENYI T AAN DAN P E MER I KSAAN SURAT Bagian Kesatu Penangkapan Pasal 16 (1) Untuk k e pentingan p enyelidikan, penyelidik a t as perintah penyidik berwenang me l akukan penangkap a n. (2) Untuk k e pentingan p enyidikan, p enyidik dan penyidik p e mbantu berwenang me l akukan penangkap a n. Pasal 17 Perintah penangkapan dilakukan t e rhadap seo r ang yang diduga keras melakukan t i ndak pidana ber d asarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 18 (1) Pelaks a naan tugas penangkap a n dilakuk a n oleh petug a s kepolisian negara Republik Indonesia d engan memperlihatkan surat tugas serta mem b erikan kep a da tersangka surat perintah pe n angkapan yang mencantumkan identitas tersan g ka dan menyebutkan alasan penangkap a n serta urai a n singkat p e rkara kejah a tan yang dipersangkak a n serta tempat ia diperiksa. (2) Dalam h al tertangk a p tangan p e nangkapan dulakukan t anpa surat p erintah, de n gan ketentuan b ahwa penangkap harus segera menye r ahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik at a u penyidik p einbantu yang terdekat. (3) Tembusan surat perintah penan g kapan seb a gaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan k e pada kelua r ganya segera setelah p e nangkapan dilakukan. Pasal 19

(1) Penangkapan seba g aimana dimaksud dal a m Pasal 17, dapat dilak u kan untuk p aling lama satu hari. (2) Terhadap tersangka pelaku pel a nggaran tid a k diadakan penangkap a n kecuali dalam hal ia telah dipan g gil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi pang g ilan itu tan p a alasan yang sah. BAB V PEN A H A N AN, P E NGGEL E DA H AN B AD A N , PEMAS U K AN R UMA H , PENYIT A AN D AN PEMERI K S AAN S U R A T Bagian Kedua Penahanan Pasal 20 (1) Untuk k e pentingan p enyidikan, p enyidik atau penyidik p e mbantu atas perintah p e nyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. (2) Untuk k e pentingan p enuntutan, p enuntut umum berwena n g melakuk a n penahanan atau penahanan lanjutan. (3) Untuk k e pentingan p emeriksaan hakim di si d ang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Pasal 21 (1) Perintah penahanan atau penah a nan lanjutan dilakukan t erhadap se o rang tersa n gka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak p idana berd a sarkan buk t i yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimb u lkan kekhawa t iran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan ba r ang bukti d a n atau mengulangi tind a k pidana. (2) Penahanan atau pe n ahanan lanjutan dilak u kan oleh pe n yidik atau p enuntut umum terhadap tersangka a t au terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penet a pan hakim yang menc a ntumkan identitas tersa n gka atau te r dakwa dan menyebutk a n alasan p e nahanan serta uraian singkat pe r kara kejahat a n yang dipersangkakan atau didak w akan serta t empat ia ditahan. (3) Tembusan surat perintah penah a nan atau p e nahanan la n jutan atau p enetapan h a kim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus di b erikan kep a da keluarg a nya. (4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan t erhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan t indak pida n a dan atau p ercobaan maupun pembenian bant u an dalam tindak pidana ters e but dalam hal: a.tindak pi d ana itu dia n cam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b.tindak pi d ana sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), P a sal 353 ayat (1), Pasal 3 72, Pasal 3 7 8, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 d an Pasal 5 6 Kitab Undang- undang Hukum Pidana, Pasal 25 d a n Pasal 26 Rechtenordonnantie (p e langgaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diu b ah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan P a sal 4 Unda n g-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 4 2, Pasal 43, Pasal 47, d a n Pasal 48 Undangundang Nomor 9 T a hun 1976 t e ntang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nom o r 3086). Pasal 22 (1) Jenis p e nahanan dapat berupa: a.penahanan rumah tahanan negara; b.penahanan rumah; c.penahan a n kota. (2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindark a n segala sesuatu yang dapat menimbulkan k e sulitan dal a m penyidikan, penuntut a n atau pemeriksaan di sidang pen g adilan. (3) Penahanan kota dil a ksanakan d i kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi t e rsangka at a u terdakwa melapor din pada waktu yang ditentukan. (4) Masa penangkapan dan atau p e nahanan dikurangkan s e luruhnya dan pidana yang dijatuhkan. (5) Untuk penahanan ko t a pengurangan tersebut seperlima darijumlah l a manya waktu penahanan sedangkan untuk pena h anan rumah sepertiga d ari jumlah Iamanya waktu penahanan. Pasal 23 (1) Penyidik atau penun t ut umum at a u ha k im berwenang untuk mengalihkan jenis p e nahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain s e bagaimana dimaksud d alam Pasal 22. (2) Pengalihan jenis pe n ahanan dinyatakan sec a ra tersendiri dengan sur a t perintah d a ri penyidik at a u penuntut u mum atau p enetapan h a kim yang tembusannya diberikan k e pada tersangka a t au terdakwa serta kelua r ganya dan kepada inst a nsi yang benkepenting a n. Pasal 24 (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh pe n yidik sebag a imana dim a ksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling l a ma dua puluh hari.

(2) Jangka waktu seb a gaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna ke p entingan pemeriksaan yang belum selesai, d apat d i perp a njang oleh p enuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarka n nya tersangka dan tah a nan sebel u m berakhir waktu penahanan ters e but, jika kepentingan pemeriksaan sudah ter p enuhi. (4) Setelah waktu enam puluh hari t ersebut, pe n yidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum. Pasal 25 (1) Penintah penahanan yang dibenikan oleh p e nuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, h a nya berlaku paling lama dua pulub h ari. (2) Jangka waktu seb a gaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperl u kan guna ke p entingan pemeriksaan yang belum selesai, d apat diperp a njang oleh ketua penga d ilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarka n nya tersangka dan tah a nan sebel u m berakhir waktu penahanan ters e but, jika kepentingan pemeriksaan sudah ter p enuhi. (4) Setelah waktu lima puluh hari te r s ebut, pen u ntut umum h arus sudah mengeluarkan tersangka d ari tahanan demi hukum. Pasal 26 (1) Hakim pengadilan n egeri yang mengadili perkara seb a gaimana dimaksud da l am Pasal 84, guna kepen t ingan pemeriksaan ber w enang mengeluarkan su r at perintah p enahanan untuk paling lama tiga puluh h ari. (2) Jangka waktu seb a gaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperl u kan guna ke p entingan pemeriksaan yang belum selesai, d apat diperp a njang oleh ketua penga d ilan negeri yang bersangkut a n untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarka n nya terdakwa dari taha n an sebelum berakhir waktu penaha n an tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah ter p enuhi. (4) Setelah waktu sembilan puluh h a ri walaupun perkara tersebut belum diputus, ter d akwa harus sudah dikeluarkan dan tahan a n demi hukum. Pasal 27 (1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadii perkara sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 87, guna kepen t ingan pemeriksaan ban d ing berwenang mengeluarkan surat perintah pe n ahanan untuk paling lama tiga puluh hari.

(2) Jangka waktu seb a gaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperl u kan guna ke p entingan pemeriksaan yang belum selesai, d apat diperp a njang oleh ketua peiiga d ilan tinggi y a ng bersangkut a n untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarka n nya terdakwa dan taha n an sebelum berakhir waktu penaha n an tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah ter p enuhi. (4) Setelah waktu sembilan puluh h a ri walaupun perkara tersebut belum diputus, ter d akwa harus sudah dikeluarkan dan tahan a n demi hukum. Pasal 28 (1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara seb a gaimana dimaksud da l am Pasal 88, guna kepen t ingan pemeriksaan kas a si berwenang mengeluarkan surat p e rintah pena h anan untuk paling lama lima puluh hari. (2) Jangka waktu seb a gaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperl u kan guna ke p entingan pemeriksaan yang belum selesai, d apat d i perp a njang oleh K etua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarka n nya terdakwa dari taha n an sebelum berakhir waktu penaha n an tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah ter p enuhi. (4) Setelah waktu sera t us sepuluh hari walaupun perkara t ersebut bel u m diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan tahan a n demi hukum. Pasal 29 (1) Dikecualikan dan ja n gka waktu p enahanan sebagahnana tersebut p a da Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, g u na kepenti n gan pemeriksaan, pena h anan terhadap tersangka a t au terdakwa dapat dipe r panjang be r dasar alas a n yang patut dan tidak d apat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderi t a gangguan fisik at a u mental yang berat, yang dibuktikan d engan surat keterangan dokter, atau b. perkara yang sedang diperiksa d i ancam dengan pidana p enjara sembilan tahun a t au lebih. (2) Perpanjangan terse b ut pada ayat (1) diberik a n untuk paling lama tiga puluh hari d an dalam hal penaha n an tersebut masih diperlukan, dapat diperpanja n g lagi untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Perpanjangan penahanan terse b ut átas das a r permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam tingkat: a. penyidik a n dan penu n tutan diberikan oleh ket u a pengadil a n negeri;

b. pemeriksaan di pen g adilan nege r i diberikan o Ieh ketua p e ngadilan ti n ggi; c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung; d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung. (4)Penggunaan kewenangan perpanjangan pe n ahanan oleh pejabat tersebut pada a y at (3) dilakukan s e cara berta h ap dan den g an penuh t a uggung jawab. (5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka a t au terdakwa dari tahan a n sebelum berakhir wak t u penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah di p enuhi. (6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara ters e but belum selesai dipe r iksa atau belum diputus, tersangka atau terd a k wa harus sudah dikel u arkan dari t a hanan demi hukum. (7)Terhadap perpanjan g an penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan d alam tingka t : a.penyidik a n dan penu n tutan kepa d a ketua pe n gadilan tin g gi; b.pemeriksaan pengadilan negeri d a n pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung. Pasal 30 Apabila ten g gang waktu penahanan sebagaimana tersebut p ada Pasal 2 4, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 d a n Pasal 28 a tau perpanj a ngan penahanan seba g aimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, ters a ngka atau t e rdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai den g an ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96. Pasal 31 (1) Atas permintaan tersangka atau t erdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai den g an kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penan g guhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang at a u jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut u mum atau h akim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka at a u terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB V PEN A NG K APAN, PE N AH A NAN, P ENGGEL E DA H AN B A DAN, P EMASU K K A N RUMAH, PENYI T AAN DAN P E MER I KSAAN SURAT Bagian Ketiga

Penggeledahan Pasal 32 Untuk kep e ntingan pe n yidikan, pe n yidik dapat melakukan penggeled a han rumah atau penggeled a han pakaian atau peng g eledahan b a dan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 33 (1) Dengan surat izin k e tua pengadilan negeri s e tempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan pe n ggeledahan rumah yang diperlukan. (2) Dalam h al yang diperlukan atas perintah ter t ulis dari pe n yidik, petu g as kepolisi a n negara Republik In d onesia dap a t memasuki rumah. (3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksik a n oleh dua o rang saksi d alam hal tersangka atau pengh u ni menyetujuinya. (4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksik a n oleh kepala desa atau ketua lin g k u ngan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka a t au penghuni menolak atau tidak ha d ir. (5) Dalam waktu dua ha r i setelah m e masuki dan atau menggeledah rumah, harus di b uat suatu berita acara dati turuna n nya disampai k an kepa d a pemilik a t au penghuni rumah yang bersangkut a n. Pasal 34 (1) Dalam keadaan yang sangat pe r lu dan mendesak bilam a na penyidik harus sege r a bertindak d a n tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin t erlebih dah u lu, dengan tidak mengurangi ketentuan P asal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan pen g geledahan: a. pada hal a man rumah tersangka b ertempat tinggal, berdi a m atau ada dari yang ada di atasnya; b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. di tempat tindak pida n a dilakuk a n atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan d an tempat um u m lainnya (2) Dalam h al penyidik melakukan penggeled a han seperti dimaksud d alam ayat ( 1 ) penyidik tidak dipe r kenankan memeriksa atau menyita surat, buku d an tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan ti n dak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindik p i d ana yang bersangkutan atau yang diduga telab dipergunak a n untuk melakukan tin d ak pidana t e rsebut dan u ntuk itu wajib segera melaporkan kepada ket u a pengadil a n negeri se t empat guna memperoleh persetujua n nya. Pasal 35 Kecuali dal a m hal tertangkap tanga n , penyidik ti d ak diperke n ankan memasuki:

a.ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, D e wan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; b.tempat di mana sedang berlangs u ng ibadah d an atau up a cara keag a maan; c.ruang di mana sedang berlangsung sidang pe n gadilan. Pasal 36 Dalam hal penyidik harus melakuk a n penggele d ahan rumah di luar dae r ah hukumnya, dengan tidak mengurangi keten t uan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeleda h an tersebut harus diketahui o l eh ketua p e ngadilan n e geri dan di d ampingi oleh penyidik d ari daerah h ukum di mana penggeledahan itu dilakuka n . Pasal 37 (1)Pada waktu menangkap tersan g ka, penyelidik hanya berwenang m e nggeledah p akaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila t erdapat dugaan keras d engan alas a n yang cukup bah w a pada ters a ngka terse b ut terdapat benda yang dapat disita. (2)Pada waktu menangkap tersan g ka atau dal a m hal tersangka sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, p e nyidik berwenang menggeledah pak a ian dan atau menggeledah badan tersangka. BAB V PEN A NG K APAN, PE N AH A NAN, P ENGGEL E DA H AN B A DAN, P EMASU K K A N RUMAH, PENYI T AAN DAN P E MER I KSAAN SURAT Bagian Keempat Pe n y itaan Pasal 38 (1) Penyitaan hanya dapat dilak u kan oleh penyidik dengan surat izin ke t ua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat pe r lu dan mendesak bilam a na penyidik harus sege r a bertindak d a n tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin t erlebih dah u lu, tanpa mengurangi ketentuan a y at (1) peny i dik dapat melakukan p e nyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib se g era melaporkan kepada ketua peng a dilan negeri setempat guna memperoleh persetujua n nya. Pasal 39 (1)Yang dapat dikenak a n penyitaan adalah:

a.benda at a u tagihan te r s angka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh d a n tindak pi d ana atau s e bagai hasil dan tindak p i dana; b.benda yang telah dipe r gunakan s e cara Iangs u ng untuk melakukan t i n d ak pidana a t au untuk mem p ersiapkannya; c.benda yang dipergun a kan untuk menghalang- h alangi penyidikan tind a k pidana; d.benda yang khusus d i buat atau diperuntukkan melakukan tindak pida n a; e.benda lain yang m e m p unyai hubungan langsu n g dengan ti n dak pidana yang dilakukan. (2) Benda yang berada dalam sita a n karena p e rkara perda t a atau kare n a pailit dap a t juga disita unt u k kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara p i dana, sepa n jang memenuhi k etentuan ayat (1). Pasal 4O Dalam hal tertangkap t a ngan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah diper g unakan unt u k melakuk a n tindak pi d ana atau b e nda lain yang dapat dipakai s e b agai barang bukti. Pasal 41 Dalam hal tertangkap t a ngan penyidik berwenang menyita p aket atau s u rat atau be n da yang pengangku t avnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan tel e komunikasi, jawatan atau perus a haan komunikasi at a u p engangkut a n, sepanja n g paket, su r at atau ben d a tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada t ersangka dan atau k e pada pejab a t kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau p e rusahaan k o munikasi atau penga n gkutan yang bersaugku t an, harus diberikan sur a t tanda pen e nimaan. Pasal 42 (1) Penyidik berwenang memerinta h kan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan be n da tersebut kepadanya untuk kepe n tingan pemeriksaan dan kepada yang me n y e rahkan ben d a itu harus d iberikan su r at tanda pe n erimaan. (2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan ke p ada penyidik jika surat atau t u lisan itu be r asal dan te r sangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan b aginya atau jikalau be n d a tersebut merupakah alat untuk melakukan t i ndak pida n a. Pasal 43 Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka ya n g berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang t idak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas perset u juan mereka atau atas izin khus u s k e tua pengadilan negeni setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 44 (1) Benda sitaan disim p an dalam rumah peny i m panan benda sitaan ne g ara. (2) Penyim p anan benda sitaan dil a ksanakan de n gan sebaik - baiknya dan tanggung j a wab atasnya ada pada peja b at yang berwenang sesuai dengan t ingkat pemeriksaan dal a m proses peradilan d a n benda tersebut dilara n g untuk dip e rgunakan oleh siapapun juga. Pasal 45 (1) Dalam h al benda si t aan terdiri a t as benda yang dapat lekas rusak at a u yang membah a y a kan, sehin g ga tidak mungkin untuk disimpan s a mpai putusan pengadil a n terhadap perkara yang bersangk u tan memperoleh ke k ua t an hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda ters e but akan menjadi terlalu tinggi, s e ja u h mungkin dengan pers e tujuan ters a ngka atau kuasanya dapat diambil tindakan s e bagai berik u t: a.apabila p e rkara masih ada ditang a n penyidik a tau penuntut umum, be n da tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh p enyidik atau penuntut u m um, deng a n disaksikan o leh tersangka atau kuasanya; b.apabila p e rkara sudah ada ditang a n pengadil a n, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual y ang oleh p e nuntut umum atas izin hakim yang menyidang k an perkaranya dan disaksikan oleh ter d akwa atau kuasanya. (2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipak a i sebagai b a rang bukti. (3) Guna kepentingan p embuktian sedapat mungkin disisi h k an sebagian kecil d a n b enda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Benda sitaan yang bersifat terla r ang atau d i larang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud d alam ayat ( 1 ), dirampas untuk diper g unakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Pasal 46 (1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada o rang atau k e pada mereka dan siapa benda itu disi t a, a t au kepada o rang atau k e pada mereka yang paling berhak a p abila: a.kepentin g an penyidikan dan pen u ntutan tidak memerlukan lagi; b.perkara t e rsebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup buk t i atau ternyata tidak merupakan tindak pida n a; c.perkara t e rsebut dik e sampingkan untuk kepe n tingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda it u diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan unt u k melakuk a n suatu tin d ak pidana. (2) Apabila perkara su d ah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada ora n g atau kep a da mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan at a u untuk dir u sakkan

sampai tid a k dapat dip e rgunakan l a gi atau jika benda ters e but masih diperlukan s e bagal barang bukti dalam perkara lain. BAB V PEN A NG K APAN, PE N AH A NAN, P ENGGEL E DA H AN B A DAN, P EMASU K K A N RUMAH, PENYI T AAN DAN P E MER I KSAAN SURAT Bagian Kelima Pemeriksaan Surat Pasal 47 (1) Penyidik berhak membuka, mem e riksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan teI e komunikasi, jawatan atau pcrusaha a n komunik a si atau pen g angkutan jika benda tersebut dicurigai deng a n alasan yang kuat mempunyai h u bungan dengan perkara pidana yang sedang diperiks a , dengan izin khusus ya n g diberikan untuk itu da r i ketua pen g adilan negeri. (2) Untuk k e pentingan t e rsebut. penyidik dapat m eminta kepada kepala kantor pos d a n telekomunikasi, kep a la jawatan atau perusahaan komunikasi atau penga n gkutan lain untuk menyerahk a n kepadanya surat yang dimaksud d an untuk itu harus diberikan surat t a nda penerimaan. (3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, d apat dilak u kan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradi l an menurut ketentuan yang diatur d alam ayat tersebut. Pasal 48 (1) Apabila sesudah di b uka dan di p eriksa, tern y ata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut d ilampirkan p ada berkas perkara. (2) Apabila sesudab di p eriksa ternyata surat itu tidak ada h u bungannya dengan perkara tersebut, su r at itu ditutup rapi dan s e gera disera h k an kembali kepada ka n tor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perus a haan komunikasi at a u p engangkut a n lain set e l a h dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibu b uhi tanggal, tanda tang a n beserta identitas p e nyidik. (3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-su n gguh atas kekuatan s u mpah jabatan isi surat yang dikembalik a n itu. Pasal 49 (1) Penyidik membuat b e rita acara t e ntang tindakan sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 48 dan Pasal 7 5.

(2) Turunan berita acara tersebut ol e h penyidik dikirimkan k e pada kepala kaiitor p o s dan telekomunikasi, kep a la jawatan atau perusahaan komunikasi atau penga n gkutan yang bersangkut a n. BAB VI TERS A NGKA D AN T E RD A KWA Pasal 50 (1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik d a n selanjutn y a dapat diajukan k e pada penun t ut umum. (2) Tersangka berhak p erkaranya segera dimajukan ke pe n gadilan oleh penuntut u m um. (3) Terdakwa berhak s e gera diadili oleh penga d ilan. Pasal 51 Untuk rnempersiapkan pembelaan: a. tersangka berhak unt u k diberitah u kan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kep a danya pada waktu pemeriksaan di m ulai, b. terdakwa berhak unt u k diberitah u kan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepa d anya Pasal 52 Dalam pemeriksaan p a da tingkat p enyidikan d an pengadilan, tersangka atau terd a k wa berhak memberikan keterangan secara beb a s kepada p e nyidik atau hakim. Pasal 53 (1) Dalam p emeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersan g ka atau ter d akwa berhak unt u k setiap waktu mendapat bantuan ju r u bahasa s e bagaimana dimaksud d alam Pasal 177. (2) Dalam h al tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli di b erlakukan ketentuan s e bagainiana dimaksud d alam Pasal 178. Pasal 54 Guna kepentingan pembelaan, ters a ngka atau t e rdakwa berhak mendapat bantuan h u kum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu d an pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan d alam undang-undang ini.

Pasal 55 Untuk mendapatkan pe n asihat huk u m tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terd a k wa berhak memiih sendi r i p enasihat h u kumnya. Pasal 56 (1) Dalam h al tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun at a u lebih atau bagi mereka ya n g tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempu n yai penasihat h ukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradil a n wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (2) Setiap penasihat h u kum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud d alam ayat (1), memberikan bantu a nnya dengan cuma-cuma. Pasal 57 (1) Tersangka atau ter d akwa yang dikenakan p enahanan berhak menghubungi pe n asihat hukumnya sesuai deng a n ketentuan undang-undang ini. (2) Tersangka atau ter d akwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwaki l an negaranya dalam meng h adapi pros e s perkaranya. Pasal 58 Tersangka a tau terdakwa yang dikenakan pen a hanan berhak meng hubungi dan menerima kunjungan d okter pribadinya untuk kepentingan kesehatan b aik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak. Pasal 59 Tersangka a tau terdakwa yang dikenakan pen a hanan berhak diberita h ukan tenta n g penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berw e nang pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses per a dilan, kepa d a keluarga n ya atau orang lain yang serumah dengan tersa n gka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersan g ka atau ter d akwa untuk mendapatkan bantuan h ukum atau jaminan bagi penangguhannya. Pasal 60 Tersangka a tau terdakwá berhak menghubungi d an menerima kunjungan dari pihak y ang mempu n yai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan t e rsangka at a u terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penang g uhan penahanan ataup u n untuk us a ha mendapatkan bantuan hukum. Pasal 61 Tersangka a tau terdakwa berhak s e cara Iangs u ng atau de n gan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak

ada hubungannya dengan perkara t ersangka a t au terdakwa untuk kep e ntingan pekerjaan atau untuk kepe n tingan kek e luargaan. Pasal 62 (1) Tersangka atau ter d akwa berhak mengirim surat kepa d a penasihat hukumnya, dan menerima s urat dari p e nasihat hukumnya dan sanak k e lu a rga setiap kali yang di p erlukan olehnya, untuk keperlu a n itu bagi te r s angka atau terdakwa disediakan a l at tulis me n ulis. (2) Surat m e nyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat h ukumnya a t au sanak keluarganya tidak dipe r iksa oleh p e nyidik, pen u ntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kec u ali jika terd a pat cukup alasan untuk diduga ba h wa surat menyurat itu disalahgun a kan. (3) Dalam h al surat unt u k tersangka atau terdakwa ditilik at a u diperiksa oleh penyid i k , penuntut umum, hak i m atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu d iberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat ters e but dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi c a p yang berbunyi "telah ditilik". Pasal 63 Tersangka a tau terdakwa berhak menghubungi d an menerima kunjungan dari rohaniwan. Pasal 64 Terdakwa berhak untuk diadili d i si d ang pengad i lan yang terbuka untuk umum. Pasal 65 Tersangka a tau terdakwa berhak un t uk mengusahakan diri mengajukan saksi dan at a u seseorang yang memiliki keahlian k h usus guna memberikan keterangan yang meng u ntungkan bagi dirinya. Pasal 66 Tersangka a tau terdakwa tidak dib e bani kewaji b an pembuktian. Pasal 67 Terdakwa atau penuntut umum ber h ak untuk minta banding terhadap putusan peng a dilan tingkat pert a ma kecuali t erhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntu t an hukum yang menyangkut masalah k u rang tepatnya penerapan hukum dan putusan p engadilan d alam acara cepat. Pasal 68 Tersangka a tau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian d a n rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 .

BAB VII BAN T UAN HU K UM Pasal 69 Penasihat h ukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap a tau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentuk a n dalam undang-undang ini. Pasal 70 (1) Penasi h at hukum sebagaimana dimaksud d alam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara d e ngan tersa n gka pada s e tiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya. (2) Jika ter d apat bukti b ahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan t e rsangka maka sesu a i d engan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepa d a penasihat hukum. (3) Apabila peringatan t ersebut tid a k diindahk a n, maka hubungan ters e but diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2). (4) Apabila setelah dia w asi, haknya masih disal a hgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan o leh pejabat t ersebut pa d a ayat (2) dan apabila setelah itu te t ap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang. Pasal 71 (1) Penasi h at hukum, sesuai deng a n tingkat p e meriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh p enyidik, pe n untut umum atau petug a s lembaga pemasyarak a tan tanpa mendengar isi p e mbicaraan. (2) Dalam h al kejahatan terhadap k e amanan negara, pejabat tersebut pa d a ayat (1) dapat mendengar isi pembica r aan. Pasal 72 Atas permintaan tersan g ka atau pe n asihat huk u m nya peja b at yang bersangkutan memberikan turunan berita acara p e meriksaan untuk kepentingan pernbelaannya. Pasal 73 Penasihat h ukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap k a li dikehendaki olehnya. Pasal 74

Pengurangan kebebas a n hubungan antara penasihat hukum dan tersan g ka sebagaimana tersebut pa d a Pasal 70 a y at (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 7 1 dilarang, setelah perk a ra dilimpahkan oleh penun t ut umum k e pada pengadilan negeri untuk disid a ngkan, yang tembusan suratnya disampaikan k e pada tersa n gka atau p e nasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses. BAB VIII BERITA A C ARA Pasal 75 (1) Berita acara dibuat u ntuk setiap t indakan ten t ang: a.pemeriksaan tersangka; b.penangk a pan; c.penahan a n; d.penggele d ahan; e.pemasukan rumah; f.penyitaan benda; g.pemeriksaan surat; h.pemeriksaan saksi; l.pemeriks a an di tempat kejadian; j.pelaksa n a an penetap a n dan putusan pengadilan; k.pelaksan a an tindakan lain sesu a i d engan kete n tuan dalam undang-undang ini. (2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersan g kutan dalam melakukan tindakan te r s ebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekua t an sumpah jabatan. (3) Berita acara tersebut selain dita n datangani oleh pejabat t ersebut pa d a ayat (2) ditandatan g ani pula ol e h semua pihak yang ter l ibat dalath tindakan tersebut pada a y at (1). BAB IX SUMPAH A TAU JANJI

Pasal 76 (1) Dalam h al yang berdasarkan ke t entuan dal a m undang-undang ini diharuskan a d anya pengambilan sumpah atau janji, m a ka untuk k e perluan tersebut dipakai peraturan perundang- undangan t e ntang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun m e ngenai tatacaranya. (2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud d alam ayat ( 1 ) tidak dipe n uhi, maka sumpah atau janji te r s ebut batal menurut hukum. BAB X WEWEN A N G PE N G A D I LAN UN T U K M E NGA D ILI Bagian Kesatu Praperadil a n Pasal 77 Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memut u s, sesu a i d e ngan keten t uan yang diatur dalam undang-undang ini ten t ang: a.sah atau tidaknya penangkapan, p enahanan, p enghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b.ganti ker u gian dan at a u rehabilitasi bagi seor a ng yang perkara pidan a nya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penun t utan. Pasal 78 (1) Yang m e laksanak a n wewenang pengadilan negeri seb a gaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah pra p eradilan. (2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang p a nitera. Pasal 79 Permintaan pemeriksaan tentang s a h atau tidaknya suatu penangkapan atau pena h anan diajukan ol e h tersangka, keluarga a t au kuasanya kepada k e tua pengadilan negeri d e ngan menyebutk a n alasannya. Pasal 80 Permintaan untuk mem e riksa sah a t au tidaknya suatu peng h entian penyidikan atau p enuntutan dapat diajukan oleh pe n yidik atau p enuntut umum atau pihak ketiga ya n g berkepentingan kepada ket u a pengadil a n negeri de n gan menye b utkan alas a nnya.

Pasal 81 Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi a k ibat tid a k sahnya penangkapan at a u penahanan atau akibat sahnya penghentian p e nyidikan at a u penuntut a n diajukan o leh tersangka a t au pihak ke t iga yang berkepentingan kepada ke t ua pengadilan negeri d e ngan menyebut a l asannya. Pasal 82 (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal s e bagaimana dimaksud d alam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditent u kan sebagai berikut: a. dalam waktu tiga hari setelah dite r imanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang; b. dalam m e meriksa dan memutus t e ntang sah a t au tidaknyapenangkap a n atau penahanan, sah atau ti d aknya penghentian pe n yidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerug i an dan atau rehabilitasi akibat tid a k sahnya penangkapan a t au penahanan, akibat sah n ya penghentian penyidikan atau pe n untutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar ke t erangan baik dan tersa n gka atau pemohon maupun dan pejabat yang berw e nang; c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat d a n selambat-lambatnya t u juh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; d. dalam hal suatu perk a ra sudah mulai diperiksa oleh penga d ilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra p eradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gu g ur; e. putusan p raperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi p a d a tingkat p e meriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu di a jukan permintaan baru. (2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud d alam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 8 1, harus memuat dengan jelas d a s a r dan alasannya. (3) Isi putusan selain m emuat ketentuan sebag a imana dim a ksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut a. dalam hal putusan menetapkan b a hwa sesua t u penangk a pan atau p e nahanan ti d ak sah; maka penyidik atau jaksa pen u ntut umum p ada tingkat pemeriksaan masing- masing harus segera membebaskan tersangka; b. dalam hal putusan menetapkan b a hwa sesua t u penghentian penyidikan atau penuntutan t idak sah, p e nyidikan at a u penuntut a n terhadap t ersangka w ajib dila n jutkan; c. dalam hal putusan menetapkan b a hwa suatu penangkapan atau pena h anan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian d an rehabilit a s i yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu pen g hentian pe n yidikan atau penuntutan

adalah sah dan tersan g kanya tidak ditahan, maka dalam putusan dican t umkan rehabilitasi n ya; d. dalam hal putusan menetapkan b a hwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda terse b ut harus segera dik e mbalikan k e pada tersa n gka atau d a n siapa be n da itu disita. (4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi h al sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 9 5. Pasal 83 (1)Terhadap putusan pr a peradilan d a lam hal se b agaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidal d apat dimintakan bandin g . (2)Dikecualikan dan ke t entuan ayat (1) adalah p utusan pra p eradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian p e nyidikan at a u penuntut a n yang untuk itu dapat d imintakan p utusan akhir ke pe n gadilan tin g gi dalam daerah hukum yang bersangkutan. BAB X WEWEN A N G PE N G A D I LAN UN T U K M E NGA D ILI Bagian Kedua BAB X WEWEN A N G PE N G A D I LAN UN T U K M E NGA D ILI Bagian Ketiga Pengadilan Tinggi Pasal 87 Pengadilan t inggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pen g adilan nege r i dalam daerah huk u mnya yang dimintakan banding. BAB X WEWEN A N G PE N G A D I LAN UN T U K M E NGA D ILI

Bagian Keempat Mahkamah Agung Pasal 88 Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pid a na yang dimintakan k a sasi. BAB XI KO N EKSI T AS Pasal 89 (1) Tindak pidana yang dilakukan b ersama-sama oleh mereka yang term a s uk Iin g ku n gan peradilan u m um dan li n gkungan pe r adilan milit e r , diperiksa dan diadili o l eh pengadi l an dalam Iingkungan peradilan u m um kecuali jika menu r ut keputus a n Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara i t u harus dip e riksa dan d i adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (2) Penyidikan perkara pidana seb a gaimana dimak s ud dalam ayat (1) dilaksan a k a n oleh suatu tim tetap y a ng terdiri d a ri penyidik sebagaimana dimaksud d alam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata R epublik Ind o nesia dan o ditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing me n urut hukum yang berlaku untuk pe n yidikan perkara pid a na. (3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ) dibentuk d e ngan surat keputusan b e rsama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Pasal 90 (1) Untuk menetapkan a pakah pen g adilan dal a m lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pida n a sebagaimana dimaksud d alam Pasal 89 ayat (1), diadakan p e nelitian bersama oleh jaksa atau j a ksa tinggi dan oditur militer atau o d itur militer t i nggi atas d a sar hasil p e nyidikan tim tersebut pa d a Pasal 89 ayat (2). (2) Pendapat dan peneli t ian bersama tersebut di t uangkan dalam. berita acara yang ditandatan g ani oleh pa r a pihak se b agaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Jika dal a m penelitian bersama itu terdapat p e rsesuaian p endapat ten t ang pengadilan yang berwenang mengadili perkara ters e but, maka hal itu dila p orkan oleh j a ksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh odi t ur militer atau oditur mili t er tinggi ke p ada Oditur Jenideral Angkatan Bersenjata R epublik Ind o nesia. Pasal 91 (1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik ber a t kerugian yang ditimbulkan oleh t i ndak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan k arenanya

perkara pid a na itu harus diadili o leh p engadilan d alam lingk u ngan peradi l an umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui odi t ur militer atau oditur mili t er tinggi ke p ada penunt u t umum, untuk dijadikan d a s ar mengajukan perkara tersebut ke p ada pengadilan negeri yang berwenang. (2) Apabila menurut pendapat itu ti t ik berat ker u gian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut ter l etak pada kepentingan militer sehi n gga perkara pidana itu h arus diadi l i oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebag a imaña dim a ksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar b a gi Oditur J e nderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan ke p ada Menteri Pertahan dan Keaman a n, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan kep u tusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut di a dili oleh p e n gadilan dal a m lingkungan peradilan militer. (3) Surat keputusan tersebut pada a y at (2) dijadikan dasar b agi perwira penyerah perkara dan jaksa atau j aksa ting g i untuk menyerahkan pe r kara terseb u t kepada mahkamah militer atau mahkamah militer tingg i . Pasal 92 (1) Apabila perkara diajukan kepa d a pengadil a n negeri se b agaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan ya n g dibuat ol e h tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi ca t atan oleh p e nuntut umum yang me n gajukan pe r kara, bahwa berita acara tersebut t e lah diambil alih olehnya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau oditur militer tinggi apabila pe r kara terseb u t akan diaj u kan kepada pengadilan dalam Iingkungan peradilan militer. Pasal 93 (1) Apabila dalam penelitian sebag a imana dim a ksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat a n tara penuntut umum d a n oditur mili t er atau odit u r militer tin g gi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tert u lis, dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, ke p ada Jaksa A gung dan k e pada Oditur Jenderal Angka t an Bersenj a ta Republik I ndonesia. (2) Jaksa A gung dan Oditur Jende r al Angkatan Bersenjata Republik In d onesia bermusyawarah untuk mengambil kepu t usan guna mengakhiri perbedaan pendapat s e bagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam h al terjadi pe r bedaan pendapat antara Jaksa Ag u ng dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik In d onesia, pe n dapat Jaksa Agung ya n g menentukan. Pasal 94 (1) Dalam h al perkara p i dana seba g aimana dimaksud dal a m Pasal 89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingku n gan peradil a n militer, yang mengadili perkara ters e but adalah majelis hak i m yang terd i ri dari seku r ang-kuran g nya tiga orang hakim.

(2) Dalam h al pengadil a n dalam lingkungan per a dilan umum yang meng a dili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ket u a dari lingkungan peradilan u m um dan h a kim anggota masing-m a sing diteta p k an dari pe r adilan umum dan p eradilan militer secara b erimbang. (3) Dalam h al pengadil a n dalam lingkungan per a dilan militer yang meng a dili perkara pidana tersebut pa d a Pasal 89 a y at (1), maj e lis hakim terdiri dari hakim ketua dari Iingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara ber i m bang dari masing-masing lingku n g an peradilan militer dan dari peradilan u m um yang d iberi pangk a t militer titu l er. (4) Ketentuan tersebut p ada ayat (2) dan ayat (3) berlaku ju g a bagi pen g adilan tin g kat banding. (5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keam a nan secara t imbal balik mengusulkan pengangkatan hakim anggota se b agaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana d i maksud dalam ayat (3) dan ayat (4). BAB XII GANTI KE R UGI A N D A N RE H ABI L I TASI Bagian Kesatu Ganti Ker u gian Pasal 95 (1) Tersangka, terdak w a atau terpi d ana berhak menuntut ganti kerugian karena dita n gkap, ditahan, dit u ntut dan di a dili atau d i k e nakan tind a kan lain, ta n pa alasan yang berdas a rkan undang-undang atau ka r ena kekelir u an mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas pen a ngkapan at a u penahanan serta tindakan lain tan p a alasan yang berdasa r kan undang - undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau h u kum yang diterapkan s e bagaimana dimaksud d alarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadil a n negeri, di p utus di sid a ng praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1) diajukan oleh te r s angka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada p e ngadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tun t utan ganti kerugian tersebut pada a y at (1) ketua peng a dilan seja u h mungkin menunjuk hakim yang sama yang te l ah mengadili perkara pidana yang bersangku t an. (5) Pemeriksaan terha d ap ganti ke r ugian seba g aimana tersebut pada a y at (4) me n gikuti acara praperadila n . Pasal 96

(1) Putusan pemberian ganti kerugi a n berbentuk penetapan. (2) Penetapan sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1) m e muat dengan I engkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi put u s an tersebu t . BAB XII GANTI KE R UGI A N D A N RE H ABI L I TASI Bagian Kedua Rehabilitasi Pasal 97 (1) Seorang berhak memperoleh re h abilitasi ap a bila oleh p e ngadilan di p utus bebas atau diputus lep a s dari seg a la tuntutan h ukum yang putusannya telah mem p unyai keku a tan hukum tetap. (2) Rehabili t asi tersebut diberikan d a n dicantumkan sekali g us dalam putusan pengad i lan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Permint a an rehabilit a si oleh te r s a ngka atas p enangkapan atau pena h anan tanpa alasan yang berdasarkan unda n g-undang atau kekeliru a n mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud d alam Pasal 95 a y at (1) yang perkar a nya tidak diajukan ke pengadilan negeri dipu t us oleh hakim praperadilan yang dimaksud dal a m Pasal 77. BAB XIII PE N GGA B UNGAN P E RK A RA G U GAT A N G A NTI KE R UGIAN Pasal 98 (1) Jika su a t u perbuatan yang menj a di dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi o rang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu d a pat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada p erkara pida n a itu. (2) Permint a an sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan sela m bat- lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pi d ana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lam b a tnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Pasal 99 (1) Apabila pihak yang dirugikan minta pengga b ungan perk a ra gugatannya pada perkara pidana seb a gaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan nege r i menimba n g tentang

kewenangannya untuk mengadili gugatan ters e but, tentang kebenaran d asar gugat a n dan tentang hukuman pen g gantian biaya yang telah dike l uarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. (2) Kecuali dalam hal pengadilan n egeri meny a takan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak d a pat diterima, putusan hakim hanya memuat t e ntang pene t apan hukuman penggan t ian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak y ang dirugik a n. (3) Putusan mengenai ganti kerugi a n dengan s e ndirinya m e ndapat kek u atan tetap a pabila putusan pi d ananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Pasal 100 (1) Apabila t eriadi peng g abungan an t ara perkara perdata dan perkara pi d ana, maka penggabungan itu deng a n sendirinya berlangsu n g da l am pemeriksaan tingkat banding. (2) Apabila t erhadap su a tu perkara pidana tidak d iajukan pe r mintaan banding, maka permintaan banding mengenai put u s an ganti r u gi tidak d ip e rkenankan. Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi g u gatan ganti kerugian s e panjang dalam undang-undang ini tidak d ia t ur. Pasal 101 Ketentuan dari aturan h ukum acara perdata berlaku bagi g u gatan ganti kerugian s e panjang dalam undang-undang ini tidak d ia t ur lain. BAB X I V PENY I DIK A N Bagian Kesatu Pe n y elidik a n Pasal 102 (1) Penyelidik yang me n getahui, menerima laporan atau pe n gaduan ten t ang terjadi n y a suatu peristiwa yang patut di d uga merupakan tindak p idana wajib segera melakukan tind a kan penyelidikan yang diperlukan. (2) Dalam h al tertangk a p tangan ta n pa menunggu perintah p enyidik, pe n yelidik wajib segera melakukan t indakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b. (3) Terhadap tindakan yang dilak u kan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat b e rita acara d a n melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Pasal 103

(1) Laporan atau penga d uan yang diajukan s e c a ra tertulis h a rus ditanda t angani oleh pelapor atau penga d u. (2) Laporan atau penga d uan yang diajukan s e c a ra lisan har u s dicatat o l e h penyelidik dan ditandatan g ani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik. Pasal 104 Dalam mel a ksanakan t u gas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pe n genalnya. Pasal 105 Dalam mel a ksanakan t u gas penyelidikan, penyelidik d ikoo r dinasi, dia w asi dan dib e ri petunjuk oleh penyidik tersebut p ada Pasal 6 ayat (1) huruf a. BAB X I V PENY I DIK A N Bagian Kedua Pe n y idikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau penga d uan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut di d uga merupakan tindak p idana wajib segera melakukan tind a kan penyidikan yang diperlukan. Pasal 107 (1) Untuk k e pentingan p enyidikan, p enyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk k e pada penyidik tersebut p ada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. (2) Dalam h al suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pida n a sedang d a lam penyidikan oleh penyidik tersebut p ada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan k e mudian ditemukan bukti yang kuat untuk diaj u k a n kepada p e nuntut umum, penyidik tersebut pa d a Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal i t u kepada p e nyidik ters e but pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. (3) Dalam h al tindak p i d ana telah s e lesai disidik oleh penyidik tersebut p ada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidi k a n nya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pa d a Pasal 6 ayat (1) huruf a. Pasal 108 (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban p e ristiwa yang meru p akan tindak pidana ber h ak untuk mengajukan l a poran atau pengaduan kepada penyelidik d an atau pe n yidik baik lisan maupun tertulis.

(2) Setiap orang yang mengetahui p ermufakatan jahat untuk melakukan t indak pida n a terhadap ke t enteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau t e rhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik a tau penyidik. (3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tu g asnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pi d ana wajib s e gera melaporkan hal itu kepada penyelidik a t au penyidik. (4) Laporan atau penga d uan yang diajukan s e c a ra tertulis h a rus ditanda t angani oleh pelapor atau penga d u. (5) Laporan atau penga d uan yang diajukan s e c a ra lisan har u s dicatat o l e h penyidik d an ditandatan g ani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. (6) Setelah menerima l a poran atau pengaduan, penyelidik a t au penyidik harus mem b erikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangk u tan. Pasal 109 (1) Dalam h al penyidik t elah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang m e rupakan tindak pida n a, penyidik memberita h ukan hal itu kepada pe n untut umum. (2) Dalam h al penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup buk t i atau peristiwa te r s ebut ternyata bukan merupakan tin d ak pidana a t au penyidikan dihentik a n demi hukum, maka penyidik memberita h ukan hal itu kepada pe n untut umum, tersangka a tau keluarganya. (3) Dalam h al penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagai m ana dimaksud d alam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaik a n kepada pe n yidik dan p e nuntut umum. Pasal 110 (1) Dalam h al penyidik t elah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahk a n berkas pe r kara itu ke p ada penunt u t umum. (2) Dalam h al penuntut umum ber p endapat ba h wa hasil pe n yidikan tersebut ternyata masih kurang len g kap, penun t ut umum s e gera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai pet u njuk untuk d ilengkapi. (3) Dalam h al penuntut umum men g embalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, p e nyidik wajib sege r a melakuk a n penyidik a n tambahan sesuai den g an petunjuk dari penunt u t umum. (4) Penyidikan dianggap telah sel e sai apabila d alam waktu empat belas hari penun t ut umum tidak mengembalikan hasil penyidik a n atau apabila sebelum batas waktu tersebut b e rakhir telah ada p e mberitahuan tentang hal itu dari pen u ntut umum k epada penyidik. Pasal 111

(1) Dalam h al tertangk a p tangan se t iap orang b e rhak, seda n gkan setiap orang yang mempu n yai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka g una disera h kan beserta atau tanpa b arang bukti kepada pe n yelidik atau penyidik. (2) Setelah menerima p enyerahan tersangka s e baga i mana dimaksud d alam ayat ( 1 ) penyelidik atau penyidik wajib seg e ra melakuk a n pemeriks a an dan t ind a kan lain dalam rangka p enyidikan. (3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan t e rsebut sege r a datang ke tempat kejadian d a pat melarang setiap or a ng untuk meninggalkan t empat itu selama pemer i ksaan di situ belum selesai. (4) Pelanggar Iarangan tersebut da p at dipaksa t i nggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas sel e sai. Pasal 112 (1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, den g an menyeb u tkan alasan pemanggilan secara jelas, berw e nang mem a nggil tersa n gka dan saksi yang dia n ggap perlu u ntuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan d an hari seo r ang itu diha r uskan memenuhi pang g ilan tersebu t . (2) Orang yang dipang g il wajib dat a ng kepada p enyidik dan jika ia ti d ak d atang penyidik memanggil sekali lagi, d engan perin t ah kepada p etugas unt u k membawa kepadanya. Pasal 113 Jika seor a n g tersangka atau saksi yang dipang g il memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak da p at datang k e pada penyidik yang melakukan pemeriksaan, p e nyidik itu da t ang ke tempat kediamannya. Pasal 114 Dalam hal seorang dis a ngka melakukan suatu t indak pida n a sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib mem b eritahu k an kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya it u wajib di d ampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. Pasal 115 (1) Dalam h al penyidik sedang melakukan pemeriksaan ter h adap tersa n gka penasi h at hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan c a ra melihat serta mendengar pemeriksaan. (2) Dalam h al kejahatan terhadap k e amanan negara penasi h at hukum dapat hadir d e ngan cara melihat tetapi tidak da p at mendengar pemeriksaan terhadap tersangka Pasal 116 (1) Saksi di p eriksa den g an tidak disumpah kecuali apabila a da cukup alasan untuk diduga bahwa ia ti d ak akan da p at hadir dal a m pemeriksaan di pen g adilan.

(2) Saksi di p eriksa s e ca r a tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib mem b erikan kete r angan yang sebenarnya. (3) Dalam p emeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki dide n garnya saksi yang dapat menguntungkan b aginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat d a lam berita acara. (4) Dalam h al sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan m e m eriksa saksi te r s e b ut. Pasal 117 (1) Keterangan tersangka dan atau saksi ke p ada penyidik di b erikan tanpa tekanan da r i siapa pun dan at a u dalam bentuk apapun. (2) Dalam h al tersangka memberi k e terangan tentang apa yang sebena r nya ia telah lakukan sehubungan dengan tin d ak pidana yang dipers a ngka k an k e padanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-t e liti n ya sesuai d engan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri. Pasal 118 (1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatan g ani oleh penyidik d a n oleh yang memberi ke t erangan it u setelah mereka menye t ujui isinya. (2) Dalam h al tersangka dan atau s a ksi tid a k mau membub u hkan tanda t angannya, penyidik mencatat hal itu dalam b erita acara d engan menyebut alasa n nya. Pasal 119 Dalam hal tersangka d a n atau saksi yang harus didengar ke t erangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menj a lankan penyidikan, pe m eriksaan terhadap tersangka dan atau saksi d apat dibeb a n k an kepa d a penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal ters a ngka dan a t au saksi te r s ebut. Pasal 120 (1) Dalam h al penyidik menganggap perlu, ia d apat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki ke a hlian khusus. (2) AhIi tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan j a nji di muka penyidik b a hwa ia akan memberi ke t erangan menurut pengetahuannya yang sebaik - baiknya kecuali bila d is e babkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau ja b atannya ya n g mewajibkan ia menyimpan rahasia da p at menolak untuk mem b erikan kete r angan yang diminta. Pasal 121 Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera memb u at berita ac a ra yang diberi tanggal dan memuat tindak pid a na yang dipersangkak a n, dengan menyebut w a ktu, tempat dan keadaan p a da waktu ti n dak pidana dilakukan, n ama dan tempat tinggal dari tersan g ka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu un t uk kepenti n gan penyelesaian perka r a.

Pasal 122 Dalam hal tersangka di t ahan dalam waktu satu hari setelah perintah pe n ahanan itu d ijalankan dan harus mulai diperiksa oleh penyidik. Pasal 123 (I) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keber a tan atas pe n ahanan atau jenis p enahanan t e rsangka ke p ada penyidik yang melakukan pen a hanan itu. (2) Untuk itu penyidik d a pat mengabulkan permintaan terse b ut dengan mempertimb a ngkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada d alam jenis p enahanan tertentu. (3) Apabila dalam waktu tiga hari p ermintaan tersebut bel u m dikabulk a n oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat h ukum dapat mengajukan hal itu kep a da atasan p enyidik. (4) Untuk itu atasan pe n yidik dapat mengabulkan permintaan tersebut d engan mempert i m b angkan ten t ang perlu a t au tidaknya tersangka i t u tetap dita h an atau tet a p ada dalam jenis tahanan ter t entu. (5) Penyidik atau atasan penyidik se b agaimana dimaksud dalam ayat ter s ebut di atas dapat mengabulkan permintaan dengan a t au tanpa syarat. Pasal 124 DaIam hal apakah ses u atu penaha n an sah atau tidak sah m enurut huk u m , tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pe n gadilan ne g eri setempat untuk diadakan p r aperadilan g una memp e roleh putus a n apakah p e nahanan at a s diri tersa n gka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini. PasaI 125 Dalam hal penyidik melakukan pen g geledahan r umah terlebih dahulu menunjukkan t anda pengenalnya kepada te r s angka atau keluarganya, selanjut n y a berlaku ketentuan s e bagaimana dimaksud d alam PasaI 33 dan Pasal 34. Pasal 126 (1) Penyidik membuat b e rita acara t e ntang jalan n ya dari hasil penggeled a han rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5). (2) Penyidik membacak a n lebih dah u lu berita ac a ra tentang p enggeleda h an rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatan g ani oleh pe n yidik maupun tersangka a t au keluarg a nya dan atau kepala d e sa atau ket u a lingkung a n dengan d u a orang saksi. (3) Dalam h aI tersangka atau kelua r ganya tidak mau m e mb u buhkan tan d atangannya, hal itu dicatat dal a m berita acara dengan menyebut a l asannya

Pasal 127 (1) Untuk k e amanan dan ketertiban p enggeleda h an rumah, penyidik da p at mengadakan penjagaan a tau penutu p an tempat yang bersan g kutan. (2) Dalam h al ini penyidik berhak memerintahkan setiap ora n g yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut sel a ma penggeledahan berlangsung. Pasal 128 Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pe n genalnya kepada ora n g dari mana benda itu disita. Pasal 129 (1) Penyidik memperliha t kan benda yang a k an disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada kelu a rganya dan dapat minta keterangan t entang ben d a yang akan disita i t u dengan dis a ksikan o leh kepala desa atau ketua I ingkungan d engan dua o rang saksi. (2) Penyidik membuat b e rita acara p e nyitaan ya n g dibacakan terlebih da h ulu kepada orang darimana benda itu disi t a atau kelu a rganya dengan diberi ta n ggal dan di t andatangani oleh penyidik maupun orang atau keluar g anya dan atau kepala d esa atau ke t ua lingkun g an dengan dua orang saksi. (3) Dalam h al orang dari mana benda itu disita a tau keluarg a nya tidak mau membu b uhkan tandatanga n nya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. (4) Turunan dari berita a c ara itu dis a mpaikan oleh penyidik kepada atas a nnya, orang dari mana benda itu disi t a a t au keluarg a nya dan kepala desa. Pasal 130 (1) Benda sitaan sebel u m dibungkus, dicatat b e rat dan atau jumlah me n urut jenis masing- masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan t anggal penyitaan, identi t as orang d a ri mana benda itu disita dan l a i n -lainnya ya n g kemudian diberi hak d an cap jaba t an dan dita n datangani oleh penyidik. (2) Dalam h al benda si t aan tidak mungkin dib u ngkus, penyidik memberi catatan s e bagaimana dimaksud d alam ayat ( 1 ), yang ditulis di atas la b el yang ditempelkan dan atau dikai t kan pada benda ters e but. Pasal 131 (1) Dalam h al sesuatu t i ndak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh k e terangan dari berbagai surat, buku a t au kitab, da f tar dan seb a gainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipers a ngkakan un t uk menggeledah, mem e riksa sura t , buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu meny i tanya. (2) Penyitaan tersebut dilaksanak a n menurut ketentuan seb a gaimana diatur dalam pasal 129 undang-undang ini.

Pasal 132 (1) Dalam h al diterima pengaduan bahwa sesu a tu surat atau tulisan p a lsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka u ntuk kepentingan penyidikan, oleh p enyidik da p at dimintakan keterangan mengenai hal itu dari o r ang ahli. (2) Dalam h al timbul d u gaan kuat b ahwa ada surat palsu a t au yang dipalsukan, p e nyidik dengan sur a t izin k e tua pengadilan negeri set e mpat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat pe n yimpan u m u m yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli y a ng disimpannya itu kepad a nya untuk dipergunakan sebagai ba h an perbandingan. (3) Dalam h al suatu su r at yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, me n jadi bagian serta tidak dapat dipis a hkan dari d a ftar sebagaimana dima k s ud dalam pasal 131, p e nyidik dapat minta supaya daftar itu selur u hnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerah k an tanda p e nerimaan. (4) Dalam h al surat se b agaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menj a di bagian d a ri suatu daftar, penyimpan m e m b uat salinan sebagai pe n ggantinya sampai surat yang asli di t erima kembali yang dibagian b awah dari salinan itu p e nyimpan m e ncatat apa sebab salin a n itu dibuat. (5) Dalam h al surat atau daftar itu ti d ak diki r imkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alas a n yang sah, penyidik berwenang m e ngambilnya. (6) Semua p engeluaran untuk penyelesaian hal t ersebut dal a m pasal ini dibebankan pada dan sebagai bi a y a perkara. Pasal 133 (1) Dalam h al penyidik u ntuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan a taupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pida n a, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokt e ran kehakiman atau dokter dan a tau ahli lai n nya. (2) Permint a an keteran g an ahli seb a gaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan s e cara tertulis, ya n g dalam surat itu diseb u tkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bed a h mayat. (3) Mayat y a ng dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter p a da rumah sakit harus diperlakuk a n secara baik dengan p e nuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat id e ntitas mayat, dilak den g an diberi c a p jabatan yang dileka t k a n pada ibu jari kaki at a u bagian lain badan mayat. Pasal 134 (1) Dalam h al sangat diperlukan dimana untuk keperluan p embuktian bedah mayat tidak mungkin la g i dihinda r i, p enyidik wajib memberit a hukan terle b ih dahulu k e pada kelua r ga korban. (2) Dalam h al keluarga keberatan, p enyidik wajib menerangkan dengan sejelas - jelasnya tentang maksud dan tuj u an perlu dil a kukannya pembedahan tersebut.

(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada ta n ggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak dikete m ukan, penyidik segera melaksanakan ketentu a n sebagaimana dimaksud d alam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. Pasal 135 Dalam hal penyidik unt u k kepentin g an peradilan perlu melakukan peng g alian mayat, dilaksan a k a n menurut ketentuan s e bagaimana dimaksud d alam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini. Pasal 136 Semua biaya yang dikeluarkan unt u k kepen t in g an pemeriksaan sebagaimana dima k s ud dalam Bagian Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara. BAB X V PENUNTU T AN Pasal 137 Penuntut umum berw e nang melakukan penun t utan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dal a m daerah hukumnya d e ngan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berw e nang mengadili. Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dan p enyidik seg e ra mempela j ari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada p enyidik apakah hasil penyidikan i t u sudah le n gkap atau b elum. (2) Dalam h al hasil p e nyidikan tern y ata belum lengkap, pen u ntut umum mengembal i k an berkas perkara ke p ada penyidik disertai p e tunjuk tent a ng hal yang harus dilak u kan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tang g al penerimaan berkas, p enyidik harus sudah meny a mpa i kan kembali berkas perkara itu kep a da penuntut umum. Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima a t au meneri m a kembali h asil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan ap a kah berkas perkara itu sudah mem e nuhi persyaratan untuk dapat atau t i dak dilimp a hkan ke pe n gadilan. Pasal 140 (1) Dalam h al penuntut umum ber p endapat ba h wa dari hasil penyidikan dapat dilak u kan penuntutan, ia dalam waktu secepa t nya m e mb u at surat dakwaan.

(2) a.Dalam hal penuntut umum m e mutuskan un t uk menghentikan penun t utan karena tidak terdapat cukup bukti at a u peristiwa t ersebut ter n yata bukan merupakan tindak pida n a atau perkara ditu t up demi hukum, penuntut umum me n uangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b.Isi sur a t ketetapan t ersebut dib e ritahukan k e pada tersa n gka dan bila ia ditahan, wajib segera dib e baskan. c.Turun a n surat kete t apan itu wajib disampaikan kepada t ersangka a t au keluarga atau penasihat h ukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut u m um dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan memb u atnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia m e nerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pid a na yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan hal a ngan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pid a na yang bersangkut-pa u t satu deng a n yang lain; c. beberapa tindak pida n a yang tidak bersangkut - paut satu d e ngan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain i t u ada hubu n gannya, ya n g dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum mener i m a satu berkas perkara yang memuat b eberapa tin d ak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersang k a yang tidak termasuk dalam k e tentuan Pasal 141, p enuntut umum dapat me l akukan pe n untutan ter h adap masing-masing terdakwa secara terp i sah. (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pe n gadilan ne g eri dengan p ermintaan agar segera mengadii perka r a tersebut disertai deng a n surat dakwaan. (2) Penuntut umum m e mbuat surat d akwaan yang diberi tan g gal dan dit a ndatangani serta berisi: a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, ke b angsaan, tempat tinggal, agama dan pekerja a n tersangka; b.uraian secara cermat, jelas dan le n gkap mengenai tindak p i dana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan te r m pat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketent u an sebagaimana dima k s ud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

(4) Turunan surat pelimpahan perka r a beserta s u rat dakwaan disampaik a n kepada te r sangka atau kuasa n ya atau penasihat huk u m nya dan p enyidik, pa d a saat yang bersamaan. dengan penyampai a n surat pelimpahan perkara terseb u t ke pengadilan negeri. Pasal 144 (1) Penuntut umum dap a t mengubah surat dakw a an sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tuj u an untuk menyempurna k an maupun untuk tidak melanjutkan penuntutan n ya. (2) Pengubahan surat d a kwaan ters e but dapat dilakukan ha n ya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari s e belum sidang dirnulai. (3) Dalam h al penuntut umum men g ubah surat d akwaan ia meny a mpa i kan turuna n nya kepada tersangka a t au penasih a t hukum dan penyidik. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Kesatu Panggilan dan Dak w a an Pasal 145 (1) Pemberi t ahuan untuk datang ke sidang peng a dilan dil a kukan Secara sah, apabila disampaik a n dengan s u rat panggil a n kepada te r dakwa di al a m at tempat t inggalnya atau apabila tempat tinggal n y a tidak dik e tahui, disa m paikan di t e mpat kediaman terakhir. (2) Apabila t erdakwa ti d ak ada di t e mpat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui ke p ala desa y ang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir. (3) Dalam h al terdakwa ada dalam tahanan sur a t panggilan disampaik a n kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara. (4) Penerimaan surat p a nggilan oleh terdakwa sendiri atau p un oleh orarig lain atau melalui orang lain, d ilakukan d e ngan tanda penerimaan. (5) Apabila t empat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dike n al, surat pa n ggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedu n g pengadil a n yang berwenang mengadili perkaranya. Pasal 146 (1) Penuntut umum me n y ampaikan surat panggilan kepada t erdakwa yang memuat t anggal, hari, serta j a m sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus su d ah diterima oleh yang bersangkut a n selambat-lambatnya t i ga hari seb e lum sidang dimulai.

(2) Penuntut umum me n y ampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat ta n ggal, hari serta jam sidang dan u n tuk perkara apa ia dipa n ggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkut a n selambat-Iambatnya t i ga hari seb e lum sidang dimulai. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Kedua Memutus Sengketa mengenai We w e n ang Mengadili Pasal 147 Setelah pengadilan ne g eri menerima surat pelimpahan perkara dari p e nuntut umum, ketua mempelajari apakah pe r kara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. Pasal 148 (1) Dalam h al ketua pe n gadilan ne g eri berpen d apat, bahwa perkara pi d ana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipim p innya, tetapi termasuk wewenang pengadilan n e geri lain, ia menyerahk a n surat pelimpahan perkara terseb u t kepada p e ngadilan n e geri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan s u rat penetapan yang m e muat alasannya. (2) Surat pelimpahan perkara terseb u t diserahkan kembali k e pada penun t ut umum selanjutnya kejaksaan n egeri yang bersangkutan meny a mpa i kannya kepada kejaks a an negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan. (3) Turunan surat penet a pan sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1) disarnpaikan ke p ada terdakwa atau penasih a t hukum dan penyidik. Pasal 149 (1) Dalam h al penuntut umum berk e beratan terhadap surat p enetapan p e ngadilan n e geri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka: a.Ia mengajukan perlawanan kepa d a pengadil a n tinggi yang bersangk u tan dalam waktu tujuh hari s e telah penet a pan tersebut diterima; b.tidak dip e nuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan ba t alnya perlawanan; c. perlawa n an tersebut disampaik a n kepada k e tua pengadilan negeri s e bagaimana dimaksud d alam Pasal 148 dan hal itu dicatat d alam buku daftar panite r a; d. dalam waktu tujuh ha r i pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pe n gadilan tin g gi yang bersangkutan.

(2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima p erlawanan tersebut da p at menguatkan atau menolak perla w anan itu de n gan surat p e netapan. (3) Dalam h al pengadil a n tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat penetapan d iperintahkan kepada pe n gadilan ne g eri yang bersangkutan u ntuk menyidangkan perkara tersebut. (4) Jika pe n gadilan tin g gi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pen g adilan ting g i mengirimkan berkas pe r kara pidana tersebut ke p ada pengadilan negeri yang bcrsan g kutan. (5) Tembusan surat pe n etapan pen g adilan ting g i sebagaimana dimaks u d dalam ay a t (3) dan ayat (4) disampaikan k e pada penun t ut umum. Pasal 150 Sengketa t e ntang wewenang mengadili terja d i: a.jika dua p engadilan a t au lebih menyatakan dirinya berwe n ang mengadili atas p erkara yang sama; b.jika dua p engadilan a t au lebih menyatakan dirinya tidak b erwenang mengadili pe r kara yang sama. Pasal 151 (1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara d u a pengadil a n negeri atau lebih yang berked u dukan dal a m daerah hukumnya. (2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pe r tama dan terakhir semua sengketa t entang wewenang mengadili: a.antara pengadilan da r i satu li n gk u ngan peradilan dengan p engadilan d ari lingkun g an peradilan yang lain; b.antara dua pengadil a n negeri yang berkedud u kan dalam daerah huk u m pengadilan tinggi yang berlainan; c.antara dua pengadilan tinggi atau lebih. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Ketiga Acara Pe m eriksaan Biasa Pasal 152

(1) Dalam h al pengadil a n negeri menerima surat pelimpahan perkara d a n berpendapat bahwa perkara itu t ermasuk wewenangnya, ketua pen g adilan menunjuk hakim yang akan menyidang k an perkara t ersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang. (2) Hakim dalam mene t apkan hari sidang seba g aimana dimaksud dal a m ayat (1) memerinta h kan kepada penuntut umum supaya memanggil t erdakwa dan saksi unt u k datang di sidang p e ngadilan. Pasal 153 (1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang. (2) a.Hakim ketua sida n g mem i mpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Ind o nesia yang dimengerti oleh terdak w a dan saksi; b.Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan h al atau diajuk a n pertanyaan yang mengakibatkan terdak w a atau saksi memberik a n jawaban secara tidak bebas. (3) Untuk k e perluan pemeriksaan, h a kim ketua sidang mem b uka sidang dan menya t akan terbuka un t uk umum kecuali d a lam perkara mengenai kes u silaan atau t erdakwanya anak-anak. (4) Tidak di p enuhinya ketentuan dal a m ayat (2) d an ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. (5) Hakim ketua sidang dapat menentukan ba h wa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak dipe r kenankan menghadiri si d ang. Pasal 154 (1) Hakim ketua sidang memerinta h kan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. (2) Jika dal a m pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak di t ahan tidak h adir pada h a ri sidang yang telah ditetapkan, h akim ketua sidang meneliti apak a h terdakwa s u dah dipang g il secara sah. (3) Jika ter d akwa dipa n ggil secara t idak sah, h a kim ketua sidang rnenunda persid a ngan dan memerinta h kan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang beriku t nya. (4) Jika ter d akwa ternyata telah dip a nggil secara sah tetapi tidak datang di sidang t a npa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut t i dak d apat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerinta h kan agar te r dakwa dip a nggil sek a li lagi. (5) Jika dal a m suatu perkara ada le b ih dari seor a ng terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan ter h adap terda k wa yang h a dir dapat dilangsungka n . (6) Hakim ketua sidang memerinta h kan agar te r dakwa yang tidak hadir t anpa alasan yang sah setelah dip a nggil secara sah untuk kedua kalin y a, dihadirk a n dengan p a ksa pada sidang pertama berikutnya.

(7) Panitera mencatat laporan dari p enuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud d alam ayat ( 3 ) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada h a kim ketua sidang. Pasal 155 (1) Pada permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyak a n kepada te r dakwa tentang nama Iengkap. t e mpat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelami n , kebangsa a n, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan t e rdakwa su p aya m e mperhatikan se g ala sesuatu yang didengar d an dilihatn y a di sidang. (2)a.Sesudah itu hakim ketua sida n g minta kepada penunt u t umum unt u k membac a k an surat dakwaan; b.Selanju t nya hakim ketua sidang menanyak a n kepada te r dakwa apakah ia sudah benar- benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi p enjelasan y ang diperlukan. Pasal 156 (1) Dalam h al terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan b ahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setel a h diberi k e sempatan kepada penun t ut umum un t uk menyat a k an pendapatnya, hakim mempertimba n gkan keber a tan tersebut untuk sela n j utnya men g ambil keputusan. (2) Jika hakim me n y atakan keberat a n tersebut diterima, ma k a perkara itu tidak dipe r iksa lebih .lanj u t, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal terseb u t baru dapat diput u s setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. (3) Dalam h al penuntut umum berk e beratan terhadap keput u s an tersebu t , maka Ia dapat mengajukan perlawanan kepada pe n gadilan tin g gi melalui p engadilan n egeri yang bersangkut a n. (4) Dalam h al perlawanan yang diajukan oleh t e rdakwa atau penasihat h ukumnya diterima oleh pengadilan t inggi, maka dalam waktu empat belas hari, pe n gadilan tin g gi dengan surat penetapannya m e mbat a lkan putus a n pengadil a n negeri dan memerinta h kan pengadilan negeri yang berw e nang untuk memeriksa perkara itu. (5) a. Dalam hal perlawanan diajuk a n bersama-sama dengan permintaan banding ol e h terdakwa atau penasih a t hukumnya kepada pe n gadilan tin g gi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima p erkara dan membenar k an perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan ke p utusan membátalkan pu t usan peng a dilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang; b.Pengadilan tinggi m enyampaik a n salinan k e putusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berw e nang dan k e pada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkut a n dengan disertai berk a s perkara u n tuk diteruskan kepada kejaksaan n e geri yang telah melimpahkan perkara itu. (6) Apabila pengadilan yang berw e nang seba g aimana dimaksud dal a m ayat (5) b erkeduduk a n di daerah h u kum pengadilan tinggi lain maka kej a ksaan nege r i mengirimkan perkara t ersebut

kepada kej a ksaan nege r i dalam daerah hukum pengadilan n egeri yang berwenang di tempat itu. (7) Hakim ketua sidang karena jaba t annya walaupun tidak a da perlawanan, setelah mdndengar pendapat p e nuntut umum dan terdakwa dengan surat pene t apan yang memuat alasannya dapat menya t akán peng a dilan tidak b erwenang. Pasal 157 (1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tert e ntu apabila i a terikat hubungan keluarga se d arah atau Semenda sampai derajat ketiga, hu b ungan suami atau iste r i meskipun sudah berce r ai dengan h akim ketua sidang, s a l a h seorang h akim anggota, penuntut umum atau panitera. (2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penunt u t umum atau panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga s e darah atau semeñda sampai derajat keti g a atau hub u ngan suami atau isteri m eskipun su d ah bercerai dengan terdakwa atau dengan penasihat huk u m . (3) Jika dip e nuhi ketent u an ayat (1) dan ayat (2) mereka ya n g mengundurkan diri ha r us diganti dan apabila tidak dipen u hi atau tidak diganti se d angkan perkara telah di p utus, maka perkara wajib sege r a diadili u la n g dengan s u sunan yang lain. Pasal 158 Hakim dilarang menunjukkan sikap a tau mengeluarkan pernyataan di si d ang tentang keyakinan mengenai salah atau ti d aknya terdakwa. Pasal 159 (1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang d ipanggil tel a h hadir dan memb e ri perintah u ntuk mencegah jangan sampai saksi berhubun g an satu de n gan yang lain sebel u m m e mberi keterangan di sidang. (2) Dalam h al saksi tid á k hadir, meskipun telah dipanggil d e ngan sah d a n hakim ke t ua sidang mempu n yai cukup al a s a n untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sida n g dapat memerintahkan supaya saksi tersebut d ihadapkan ke persidan g an. Pasal 160 (1)a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang s e orang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baik n ya oleh hakim ketua si d ang setelah mendengar pendapat p e nuntut umum, ter d akwa atau penasihat h u kum; b.Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah ko r ban yang menjadi saksi; c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang m e m b eratkan ter d akwa yang tercantum dalam s urat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdak w a atau penasihat h ukum atau penuntut umum selamã b erIangsung n ya sidang atau sebelum dijatuhkan n ya putusán, hakim ketua sidang wajib mendengar keterang a n saksi tersebut.

(2) Hakim ketua sidang menanyak a n kepada s a ksi keter a n g an tentang n ama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, t e mpat tinggal, agama d a n pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan p e rbuatan yang menjadi dasar dak w aan serta a p akah ia berkeluarga se d arah atau s e menda dan sampai derajat keberapa d e ngan terdakwa, atau apakah ia su a m i atau iste r i terdakwa meskipun sudah bercerai at a u terikat hu b ungan kerja dengannya. (3) Sebelum memberi k e terangan, s a ksi wajib m e ngucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan ket e rangan yang sebenarnya dan tidak lain daripa d a yang sebenarnya. (4) Jika pe n gadilan menganggap perlu, seorang saksi a t au a hli wajib be r sumpah atau berjanji sesudah s a ksi atau a h li itu selesai memberi keterangan. Pasal 161 (1) Dalam h al saksi atau ahli tanpa a lasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilak u kan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di t e mpat rumah tahanan n e gara paling lama empat belas hari. (2) Dalam h al tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi a t au a hli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka ketera n gan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Pasal 162 (1) Jika s a ksi sesu d ah memberi ke t erangan dalam penyidikan meninggal dunia at a u karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang a t au tidak di p anggil kare n a jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keteran g an yang telah diberikan n ya itu dibacakan. (2) Jika k e t e rangan itu sebelumnya t elah dibe r ikan di bawah sumpah, maka ketera n gan itu disamakan nilainya de n gan ketera n gan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Pasal 163 Jika ke t era n gan saksi di sidang ber b eda dengan keterangan n ya yang ter d apat dalam berita acara, hakim ketua si d ang mengingatkan saksi tentang hal itu serta mi n ta keterang a n mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dal a m berita acâra pemeriksaan sidang. Pasal 164 (1) Setiap kali seorang saksi seles a i memberikan keterang a n, hakim ke t ua sidang menanyakan kepada ter d akwa bagaimana pendapatnya tentang keteran g an tersebut. (2) Penuntut umum atau penasihat h ukum dengan perantaraan hakim k e tua sidang d iberi kesempatan untuk mengajukan pert a nyaan kepada saksi d a n terdakwa. (3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh p enuntut umum atau penasihat h ukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.

Pasal 165 (1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dap a t minta kepada saksi se g ala keteran g an yang dipandang p erlu untuk mendapatkan kebenaran. (2) Penuntut umum, ter d akwa atau penasihat h u kum dengan perantaraan hakim ke t ua sidang diberi kes e mpatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi. (3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh p enuntut umum, terdakwa atau penasih a t hukum kepada saksi d engan memberikan alasannya. (4) Hakim dan penuntut umum atau t erdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang, da p at saling m e nghadapkan saksi u ntuk menguji kebenaran ket e rangan mere k a ma s ing-ma s ing. Pasal 166 Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bo l èh diajukan baik kepada ter d akwa; maupun kepada saksi Pasal 167 (1) Setelah saksi .memberi ketera n gan, ia tetap hadir di si d ang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkann y a. (2) Izin itu t i dak diberik á n jika penu n tut umum a t au terdakwa atau penasihat hukum mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang. (3) Para saksi selama sidang dilara n g saling be r cakap-cak a p. Pasal 168 Kecuali dit e ntukan lain dalam undang-undang ini, maka ti d ak dapat di d engar kete r angannya dan dapat mengundurk a n diri seba g ai saksi: a. keluarga sedarah at a u semenda dalam garis lurus ke at a s atau ke b a wah sarnpai derajat keti g a dari terdakwa atau ya n g bersama-sama sebagai terdakwa. b. saudara d an terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal t e rdakwa, sa u dara ibu at a u saudara ba p ak, juga mereka yang mempunyai h ubungan ka r ena perkawinan dari an a k- anak sauda r a terdakwa sampal derajat ketiga c. suami at a u isteri terd a k wa meskipun sudah b e rcerai atau yang bersama-sama sebagai ter d akwa. Pasal 169 (1) Dalam h al mereka sebagaimana dimaksud d alam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah s u mpah.

(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud d alam ayat ( 1 ), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Pasal 170 (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau j a batannya diwajibkan menyimpan rahasia, da p at minta dibebaskan da r i kewajiban untuk mem b eri keteran g an sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tid a knya segala alasan unt u k permintaan tersebut. Pasal 171 Yang boleh diperiksa u n tuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah : a. anak yang umurnya b elum cukup lima belas t ahun dan b e lum pernah kawin; b.orang sakit ingatan at a u sakit jiwa meskipun kadang-kad a ng ingatan n ya baik kembali. Pasal 172 (1) Setelah saksi memberi keteran g an maka terdakwa atau penasihat h ukum atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada h a kim ketua sidang, agar di antara s a ksi terse b ut yang tidak mereka kehendaki keh a dirannya, dikeluarkan d ari ruang si d ang, supaya saksi lainnya dip a nggil masuk oleh hakim ketua sida n g untuk did e ngar keter a ngannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hádirnya saksi yang dikelua r kan tersebu t . (2) Apabila dipandang p erlu hakim karena jabat a nnya dapat minta supaya saksi yang tèlah didengar ke t erangannya ke luar dari r uang sidang untuk sela n jutnya men d engar kete r angan saksi yang lain. Pasal 173 Hakim ketua sidang da p at mendengar keteran g an saksi mengenai hal t ertentu tan p a hadirnya terdakwa, untuk itu Ia minta terdak w a ke luar da r i ruang sid a ng akan tet a pi sesudah itu pemeriksaan perkara ti d ak boleh di t eruskan se b elum kepada terdakwa diberitahuk a n semua hal pada waktu ia tid ã k hadir. Pasal 174 (1) Apabila keterangan saksi d i sid a ng disangka palsu, hakim ketua si d ang memp e ringatkan dengan su n gguh -sung g uh kepada n ya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemuk a k an ancaman pidana yang dapat d i kenakan ke p adanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. (2) Apabila saksi t e tap pada keter a ngannya itu, hakim ket u a sidang ka r ena jabata n nya atau atas permintaan penunt u t umum atau terdakwa dapat memb e ri perintah supaya saksi itu ditahan unt u k selanj u tnya dituntut p e rkara deng a n dakwaan sumpah palsu.

(3) Dalam h al yang demikian oleh p anitera seg e ra dibuat b e rita acara p e meriksaan sidang yang m e m u at keterang a n saksi de n gan menye b utkan alas a n persangk a an, bahwa keterangan saksi itu ad a lah palsu d a n berita aca r a tersebut ditandatanga n i oleh hakim ketua sida n g serta panitera dan segera dis e rahkan kep a da penuntut umum untuk diseles a ik a n menurut ketentuan undang-undang ini. (4) Jika perlu hakim ke t ua sidang menangguhk a n sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai. Pasal 175 Jika terd a k wa tidak mau menjawab a tau meno l ak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan u n tuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutka n . Pasal 176 (1) Jika ter d akwa berti n gkah laku y ang tidak p a tut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak d ii n dahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikel u arkan dari r uang sidan g , kemudian pemeriksaan perkara p ada waktu itu dilanju t k a n tanpa hadirnya terdakwa. (2) Dalam h al terdakwa secara terus menerus bertingkah l a ku yang tidak patut sehi n gga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua si d ang mengusahakan up a ya sedemikian rupa sehingga p u tusan tetap dapat dijat u hkan deng a n hadirnya terdakwa. Pasal 177 (1) Jika ter d akwa atau saksi tid a k p a ham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berj a nji akan m e nterjemahkan dengan b e nar semua yang harus diterjemahkan. (2) Dalam h al seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara Ia tidak boleh p ula menjadi juru bahasa dalam perkara itu. Pasal 178 (1) Jika ter d akwa atau saksi bisu d a n atau tuli serta tidak d a pat menulis, hakim ket u a sidang mengangkat sebagai p e nterjemah orang yang pandai berg a ul dengan t e rdakwa atau saksi itu. (2) Jika ter d akwa atau saksi bisu d a n atau tuli t e tapi dapat menulis, h a kim ketua si d ang meny a mpa i kan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara ter t ulis dan ke p ada terdakwa atau saksi te r s ebut diperintahkan un t uk menulis jawabannya dan selanju t nya semua pertanyaan serta jawa b an harus di b acakan Pasal 179 (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli k e d okteran ke h akirnan atau dokter atau ahli l a innya wajib memberikan keterangan ahli demi k e adilan.

(2) Semua ketentuan te r s ebut di at a s untuk s a ksi berlaku ju g a bagi mereka yang m e mberikan keterangan ahli, dengan ketentuan b ahwa mere k a mengucapkan sumpah atau janji a k an memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya me n urut pengetahuan dalam bidang keahlian n ya. Pasal 180 (1) Dalam h al diperluk a n untuk menjernihkan d u duknya persoalan yang timbul di sid a ng pengadilan, hakim ketua sidang da p at minta keterangan ahli dan dapat p ula minta agar diajukan b a han baru ol e h yang berkepentingan. (2) Dalam h al timbul k e beratan yang beralasan dari terdakwa atau pen a sihat hukum terhadap hasil ke t er a ngan ahli s e bagaimana dimaksud d alam ayat ( 1 ) hakim m e merintahkan agar hal itu dilakukan p enelitian ul a ng. (3) Hakim karena jabat a nnya dapat memerinta h kan untuk dilakukan pe n elitian ula n g sebagaimana tersebut p ada ayat (2). (4) Peneliti a n ulang se b agaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi perso n il yang berbeda dan insta n si lain yang mempu n yai wewenang untuk itu. Pasal 181 (1) Hakim ketua sidang memperliha t kan kepada terdakwa s e gala barang bukti dan menanyak a n kepadañya apakah Ia mengenal benda itu de n gan memp e rhatikan ke t entuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini. (2) Jika perlu benda itu diperlihatk a n juga oleh hakim ketua sidang ke p ada saksi. (3) Apabila dianggap p e rlu untuk p e mbuktian, hakim ketua sidang membacakan at a u memperliha t kan surat a t au berita acara kepada t erdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal i t u. Pasal 182 (1) a.Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengaj u k an tuntutan pidana; b.Selanju t nya terdakwa dan atau p enasihat h u kum menga j ukan pembelaannya ya n g dapat dijawab oleh penuntut u m um, deng a n ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhi r . c.Tuntut a n, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dil a kukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diser a hkan kepa d a hakim ke t ua sidang d an turunannya kepada pihak yang berkepenti n gan. (2) Jika aca r a tersebut p ada ayat (1) telah sel e sai, hakim k e tua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, d e ngan keten t uan dapat membukanya sekali lagi, b aik atas kewenangan hakim ke t ua sidang karena jabat a nnya, mau p un atas pe r mintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat huk u m dengan memberikan alasannya.

(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawar a h terakhir u n tuk mengambil keput u s a n dan apabila perlu musyawarah itu diad a kan setelah terdakwa, saksi, pen a sihat hukum, penuntut umum dan h adirin meninggalkan ru a ngan sidan g . (4) Musyawarah terse b ut pada ayat (3) harus didasarkan a t as surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti d a lam pemeriksaan di sid a ng. (5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ke t ua majelis mengajukan perta n y aan dimul a i dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemu k akan pendapatnya adalah h a kim ketua majelis dan s e mua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. (6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu set e lah diusahakan dengan sungguh-su n gguh tidak d apat dicapai, maka berlaku ket e ntuan seba g ai berikut a.putusan diambil dengan suara ter b anyak; b.jika k e ten t uan tersebut huruf a tid a k juga dapat diperoleh, p utusan yang dipilih ad a l a h pendapat h a kim yang paling menguntungkan ba g i terdakwa. (7) Pelaks a naan pengambilan putusan sebagaimana d i ma k s ud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khus u s untuk ke p erluan itu d a n isi buku t e rsebut sifatnya rahasia. (8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada h a ri itu juga a t au pada hari lain yang sebelumnya harus diberi t ahukan kepada penuntut umum, t erdakwa atau penasihat h ukum. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa Pasal 183 Hakim tidak boleh menjatuhkan pid a na kepada seorang kec u ali apabila d engan seku r ang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperol e h keyakinan bahwa suatu tindak pi d ana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukann y a. Pasal 184 (1) Alat buk t i yang sah ialah: a.keterang a n saksi;

b.keterang a n ahli; c.surat; d.petunjuk; e.keterang a n terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Pasal 185 (1) Keterangan saksi se b agai alat b u kti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pen g adilan. (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup u ntuk memb u ktikan bah w a terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwak a n kepadanya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak b erlaku apabila disertai d engan suatu alat b ukti yang s a h lainnya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sen d iri-sendiri t e ntang suatu kejadian at a u keadaan d a pat digunakan sebagai suatu alat b ukti yang s a h apabila k e terangan s a ksi itu ada .hubun g annya satu dengan yang lain sed e mikian rupa, sehingga d apat memb e narkan adanya suatu kejadian a tau keadaan tertentu. (5) Baik pe n dapat maupun rekàan, yang diperol e h dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. (6) Dalam menilai keb e n aran keter a ngan seora n g saksi, hakim harus dengan sungg u h- sungguh memperhatikan a. persesuaian antara k e terangan s a ksi satu de n gan yang lain; b .persesuaian antara k e terangan s a ksi dengan alat bukti lain; c. alasan y a ng mungkin dipergunak a n oleh saksi untuk mem b eri keteran g an yang tertentu; d. cara hid u p dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat ti d aknya keterangan itu dipercaya. (7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu de n gan yang lain tidak merupakan alat bukti n a mun apabila keterangan itu sesu a i d engan kete r angan dari saksi yang disumpah dapat diperg u nakan seb a gai tambahan alat bukti sah yang lain. Pasal 186 Keterangan ahli ialah a p a yang seorang ahli nyatakan di si d ang pengadilan. Pasal 187

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat at a s sumpah j a batan atau dikuatkan d engan sumpah, adalah: a.berita aca r a dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di had a pannya, ya n g memuat k eterangan tentang kejadian at a u keadaan yang dideng a r, dilihat at a u yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang ket e rangannya itu; b.surat yang dibuat menurut ketent u an peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung j a wabnya dan yang diperuntukkan ba g i pembukti a n sesuatu h al atau ses u atu keadaan; c.surat kete r angan dari seorang ahli yang m e m u at pendapat berdasarkan keahliann y a mengenai sesuatu hal a tau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d.surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada h ubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Pasal 188 (1) Petunjuk adalah per b uatan, keja d ian atau ke a daan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak p idana itu s e ndiri, menandakan bahwa telah terjadi sua t u tindak pi d ana dan si a pa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaks u d dalam ay a t (1) hanya dapat diper o leh dari ; a.keterang a n saksi; b. surat; c.keterang a n terdakwa. (3) Penilai a n atas kek u atan pembuktian dari s u atu petunjuk dalam seti a p keadaan t ertentu dilakukan oleh hakim dengan arif la g i bijaksana, setelah ia m engadakan pemeriksaan dengan penuh kece r m atan dan kesaksama a n berdasarkan hati nur a ninya. Pasal 189 (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang t e ntang perbuatan yang ia lakukan a t au yang ia ketahui se n diri atau al a m i sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan u ntuk memb a ntu menemukan bukti di sid a ng, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu a lat bukti ya n g sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan ke p adanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tid a k cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didak w akan kepa d anya, melainkan harus disertal de n gan alat bukti yang lain.

Pasal 190 a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditaha n , pengadilan dapat memerinta h kan dengan surat penet a pannya untuk menahan terdakwa apabila dipen u hi ketentuan P asal 21 dan terdapat al a s an cukup u ntuk itu. b. Dalam hal terdakwa d itahan, pen g adilan dapat memerinta h kan dengan surat penet a pannya untuk mem b ebaskan te r dakwaa jika terdapat al a san cukup u ntuk itu de n gan mengingat ketentuan P asal 30. Pasal 191 (1) Jika pe n gadilan ber p endapat ba h wa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan t erdakwa atas perbua t an yang didakwakan k e padanya tidak terbukti secara sah d an meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas. (2) Jika pe n gadilan ber p endapat ba h wa perbuatan yang didakwakan ké p ada terdakwa terbukti, tetapi perb u atan itu tid a k merupakan suatu tin d ak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tunt u tan hukum. (3) Dalam h al sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status taha n an diperint a hkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan. Pasal 192 (1) Perintah untuk mem b ebaskan te r dakwa seb a gaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan ol e h jaksa ses u dah putusan diucapkan. (2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah terseb u t yang dilampiri surat p e nglepasan, disampaik a n kepada k e tua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. Pasal 193 (1) Jika pe n gadilan ber p endapat ba h wa terdakwa bersalah melakukan t indak pida n a yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pida n a. (2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditah a n, dapat memerinta h kan supaya terdakwa tersebut ditah a n, apabila dipenuhi ket e ntuan Pasal 21 dasi terdapat al a s an cukup u ntuk itu. b.Dalam hal terdakwa ditahan, pen g adilan dal a m menjatu h kan putusa n nya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dal a m tahanan atau membe b askannya, apabila terd a pat alasan cukup untuk itu. Pasal 194 (1) Dalam h al putusan p emidanaan atau bebas atau lepas d ari segala t u ntutan huk u m , pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita d iserahkan ke p ada pihak yang paling

berhak menerima kem b ali yang namanya terc a n tum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan und a ng-undang barang bukti itu harus di r ampas untuk kepentin g an negara atau dimusnahkan atau dirusak s e hingga tidak d apat diperg u nakan lagi. (2) Kecuali apabila ter d apat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan segera ses u dah sidang selesai. (3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan t anpa disert a i sesuatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan pen g adilan bel u m m e mpu n yai kekuatan hukum tetap. Pasal 195 Semua put u s an pengadilan. hanya sah dan mempunyai kek u atan hukum apabila di u c apkan di sidang terb u k a untuk umum. Pasal 196 (1) Pengadilan memutus perkara d e ngan hadir n ya terdakwa kecuali dal a m hal undang-undang ini menentukan lain. (2) Dalam h al terdapat I ebih dari s e orang terdakwa dalam satu perkara, putusan d a pat diucapkan d engan hadi r nya terdakwa yang ada. (3) Segera sesudah put u s an pemidanaan diuca p kan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberita h ukan kepa d a terdakwa tentang seg a la apa yang menjadi haknya, yaitu: a. hak sege r a menerima atau. segera menolak putusan; b. hak mempelajari put u san sebel u m me n y atakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh un d ang-undang ini; c. hak minta menangguhkan pelaks a naan putus a n dalam tenggang waktu yang ditentukan o leh undang - undang unt u k dapat mengajukan gr a s i, dalam h a l ia menerima putusan; d. hak minta diperiksa p erkaranya da l am tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan o leh undang - undang ini, dalam hal Ia menolak putusan; e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dima k s ud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan o leh undang - undang ini. Pasal 197 (1)Surat putusan pemidanaan memuat: a.kepala pu t usan yang dituliskan be r bunyi : "DEMI KEADI L AN BERDASARKAN KETUHAN A N YANG MAHA E S A"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, ke b angsaan, tempat tinggal, agama dan pekerja a n terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun s e ca r a ringkas mengenai fak t a dan kead a an beserta a lat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penent u an kesalahan t erdakwa, e. tuntutan p idana, seb a gaimana terdapat dalam surat tuntu t an; f. pasal per a turan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tind a kan dan pasal p eraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai k e a daan yang memberatk a n dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan t anggal dia d akannya m u syawarah majelis h a kim kecuali pe r kara diperiksa oleh hakim t unggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenu h i semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai de n gan kualifik a s inya dan pemidanaan atau tindak a n yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada sia p a biaya perkara dibeba n kan dengan menyebutk a n jumlahnya yang pasti dan ketentu a n mengenai barang bukti; j. keterang a n bahwa seluruh surat t ernyata palsu atau kete r angan di mana Ietaknya kepalsuan i t u, jika terd a pat surat ot e ntik diangg a p palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap d alam tahanan atau dibe b askan; l.hari dan t a nggal putusan, nama penuntut umum, nama h a kim yang memutus dan nama panitera; (2) Tidak di p enuhinya ketentuan dal a m ayat (1) h uruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3) Putusan dilaksan a k a n dengan s e gera menurut ketentuan dalam undang-undang ini. Pasal 198 (1) Dalam h al seorang h akim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau pejabat kej a ksaan yang berwenang wajib sege r a menunjuk pengganti p ejabat yang berhalangan tersebut. (2) Dalam h al penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti ternyata tidak ada atau juga berhal a ngan, maka sidang berj a lan terus. Pasal 199 (1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat : a. ketentuan sebagaimana dimaks u d dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali h uruf e, f dan h;

b. pernyataan bahwa terdakwa dipu t us bebas a t au lepas da r i segala tun t utan hukum, dengan menyebutkan alasan dan p a sal peratur a n perundang-undangan yang menj a di dasar putusan; c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia dita h an. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini. Pasal 200 Surat putusan ditandat a ngani oleh h akim dan panitera seke t i ka setelah p utusan itu diucapkan. Pasal 201 (1) Dalam h al terdapat surat palsu a t au dipals u kan, maka panitera melekatkan petik a n putusan yang ditandatanganinya pada surat t ersebut y ang memuat k eterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan te r s ebut diberi catatan dengan menunjuk pada petikan put u san itu. (2) Tidak akan diberika n .salinan per t ama atau salinan dari s u rat asli palsu atau yang dipalsukan kecuali pani t era sudah membubuhi catatan pada catatan se b agaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai d engan sali n an petikan p utusan. Pasal 202 (1) Panitera membuat b e rita acara sidang dengan memper h atikan pers y aratan yang diperlukan dan memuat segala k e j a dan di sida n g yang berhubungan dengan pemeriksaan itu. (2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud d a lam ayat ( 1 ) memuat j u ga hal yang penting dari ketera n gan saksi, t erdakwa dan ahli k e cuali jika h a kim ketua sida n g menyata k an bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada ket e rangan dal a m berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu den g an lainnya. (3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasih a t hukum, hakim ketua sidang wajib mem e rintahkan k e pada panite r a supaya dibuat catatan secara kh u sus tentang suatu keadaan at a u keterang a n. (4) Berita acara sidang d itandatang a ni oleh hakim ketua si d ang dan pa n itera kecu a li apabila salah seor a ng dari mereka berhal a ngan, maka hal itu diny a takan dalam berita acara tersebut. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Kelima Acara Pe m eriksaan Singkat Pasal 203

(I) Yang diperiksa menurut acara p e meriksaan singkat ial a h perkara kej a hatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ke t entuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut u mum pembuktian serta pene r apan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. (2) Dalam p erkara seb a gaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut u m um meng h adapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru b a basa dan b a rang bukti yang diperlukan. (3) Dalam a c ara ini berlaku ketent u an dalam Bagian Kesa t u, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sep a njang perat u ran itu tidak bertentangan dengan k e tentuan di b awah ini: a. 1. penun t ut umum d e ngan segera setelah ter d akwa di sid a ng menjaw a b segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberit a hukan den g an lisan dari c a tatannya kepada terdakwa tentang tindak pida n a yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keada a n pada waktu tindak pidana itu dilakukan; 2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakw a an; b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum j u ga dapat menyelesa i kan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerinta h kan perkara itu diajuk a n ke sidang p engadilan d engan acara biasa; c. guna ke p entingan. p e mbelaan, maka atas pe r mintaan terdakwa dan atau penasih a t hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari; d. putusan tidak dibuat secara khus u s , tetapi dicatat dalam berita acara sidang; e. hakim memberikan surat yang m e muat amar putusan tersebut; f. isi surat t e rsebut mempunyai kek u atan hukum yang sama seperti put u s an pengadilan dalam acara biasa. Pasal 204 Jika dari p e m eriksaan di sidang sesuatu perka r a yang diperiksa de.ng a n acara sin g kat ternyata sifatnya jel a s dan ringa n , yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan terse b ut. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Keenam Acara Pe m eriksaan Cepat Paragraf 1 Acara Pe m eriksaan Tindak Pidana Ringan

Pasal 205 (1) Yang diperiksa rnen u rut acara p e meriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara at a u kurungan paling lama tiga bulan d an atau de n da sebanyak-banyaknya t u juh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan d alam Paragraf 2 Bagian ini. (2) Dalam perkara seb a gaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik a t as ku a s a p e nuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita a c ara pemeriksaan s e lesai dibuat, menghadapk a n terdakwa beserta ba r ang bukti, saksi, ahli d a n atau juru b ahasa ke sidang pengadilan. (3) Dalam a c ara pemeriksaan seb a gaimana dimaksud da l am ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dal a m hal dijat u hkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding. Pasal 206 Pengadilan menetapkan hari terten t u dalam tujuh hari untuk mengadili perkara den g an acara pemeriksaan tindak pi d ana ringan. Pasal 207 (I) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tangg a I, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan. b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pi d ana ringan yang diterima harus sege r a disidangk a n pada hari sidang itu ju g a. (2) a.Hakim yang bersangkutan memerintahkan p anitera mencatat dalam buku regist e r semua perkara yang diterimanya. b. Dalam buku register d imuat nama Iengkap, t e mpat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, k e bangsaan, t empat tinggal, agama dan pekerja a n terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya. Pasal 208 Saksi dalam acara pemeriksaan ti n d ak p i dana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali h a kim mengan g gap perlu. Pasal 209 (1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perka r a dan seIanjutnya oleh panitera dicatat dal a m buku register serta di t andatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera. (2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pem e riksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesu a i d engan berita acara pemeriksaan ya n g dibuat ol e h penyidik.

Pasal 210 Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang p eraturan itu tidak berten t angan dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Pasal 211 Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pa d a Paragraf ini ialah perkara pelang g aran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lint a s jalan. Pasal 212 Untuk perk a ra pelangg a ran lalu lint a s jalan tidak diperlukan b erita acara p emeriksaan, oleh karena itu catatan seb a gaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a sege r a diserahk a n kepada pe n gadilan sel a mbat-lamba t nya pada kes e mpatan hari sidang p ertama berikutnya. Pasal 213 Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan sur a t untuk mewakilinya di s i dang. Pasal 214 (I) Jika terd a k wa atau wakilnya tidak hadir di sid a ng, pemeriksaan perka r a dilanjutk a n. (2) Dalam h al putusan d iucapkan d i luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan seg e ra disampaik a n kepada te r pidana. (3) Bukti b a hwa surat amar putusan telah disa m paikan oleh penyidik ke p ada terpida n a, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku regist e r . (4) Dalam h al putusan d ijatuhkan d i luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan (5) Dalam waktu tujuh h ari sesudah putusan di b eritahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perl a wanan kepada pengadilan yang m e njatuhkan p utusan itu. (6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadi r nya terdakwa menjadi gugur. (7) Setelah panitera memberitahukan kepada p e nyidik tent a ng perlawanan itu hakim menetapkan hari sidang untuk mem e riksa kemb a li perkara. (8) Jika put u san setelah diajukannya perlawanan tetap beru p a pidana s e bagaimana dimaksud dalam ayat (4), terhadap putusan te r s ebut terdakwa dapat mengajukan b anding. Pasal 215 Pengembalian benda si t aan dilak u kan tanpa syarat kepada yang paling berhak, se g era setelah putusan dij a tuhkan jika t erpidana telah memen u hi isi amar p utusan.

Pasal 216 Ketentuan dalam Pasal 210 tetap b e rlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini. BAB X VI PEMERI K S AAN DI SI D ANG PE N GADILAN Bagian Ketujuh Pelbagai Ketentuan Pasal 217 (1) Hakim ketua sidang mem i mpin pemeriksaan dan memel i hara tata tertib di persi d angan. (2)Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua si d ang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan de n gan segera dan cermat. Pasal 218 (1) Dalam r u ang sidang siapapun w ajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. (2)Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak s e suai dengan martabat pengadilan d a n tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peri n gatan dari h akim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan di k e luarkan dari ruang sida n g. (3) Dalam h al pelangga r an tata tertib sebagaimana dimaks u d dalam ay a t (2) bersifat suatu tindak pida n a, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan pe n untutan ter h adap pelak u nya. Pasal 219 (1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, s e njata tajam, bahan pele d ak atau alat maupun benda yang dapat mem b ahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawa n ya wajib menitipkan di tempat y a ng khusus d isediakan u ntuk itu. (2) Tanpa surat perint a h, petugas keamanan pengadilan ka r ena tugas j a batannya dapat mengadakan penggele d ahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di r u ang sidang tid a k memb a wa senjata, ba h an atau alat maupun benda sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1) dan apabila ter d apat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan unt u k menitipkannya. (3). Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan r u ang sidang, maka petugas wajib menyerahk a n kembali b enda titipa n nya. (4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan unt u k dilak u kan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan at a s benda tersebut bersifat suatu tind a k pidana.

Pasal 220 (1) Tiada s e orang hakim pun diperk e nankan mengadili sua t u perkara yang ia sendiri berkepenti n gan, baik l a ngsung maupun tidak l a ngsung. (2) Dalam h al sebagaimana dimaksud dalam a y at (1) hakim yang bersangkutan, wajib mengundurkan diri baik atas kehen d ak sendiri m aupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasih a t hukumnya. (3) Apabila ada keragu a n atau perbedaan pendapat mengenai hal seb a gaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat penga d ilan yang berwenang y a ng menetapkannya. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di at a s berlaku j u ga bagi penuntut umum. Pasal 221 Bila dipand a ng perlu hakim di sidang atas kehe n daknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau penasih a t hukumnya dapat mem b eri penjelasan tentang h ukum yang berlaku. Pasal 222 (l) Siapa p u n yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari s e gala tuntut a n hukum, biaya perkara dibebankan pada negara. (2) Dalam h al terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan da r i pembayaran biaya perkara berdasa r kan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dib e bankan pa d a negara. Pasal 223 (1) Jika hakim m e mberi perintah ke p ada seorang untuk mengucapkan s u mpah atau janji di luar sidang, hakim dapat m e nunda pemeriksaan perk a ra sampai pada hari sidang yang lain. (2) Dalam h al sumpah atau janji dil a kukan s eb a gaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim menunjuk panitera unt u k menghadiri pengucap a n sumpah atau janji te r s ebut dan membuat berita acar a nya. Pasal 224 Semua surat putusan p e ngadilan d i s i mpan dalam arsip peng a dilan yang mengadili perkara itu pada tingkat pertama dan tidak bol e h dipindahkan kecuali u ndang-undang nienent u k an lain. Pasal 225 (1) Panitera menyeleng g arakan buku daftar untuk semua perkara. (2) Dalam b uku daftar i t u dicatat n a ma dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan, tanggal pe n erimaan perkara, tangg a l terdakwa mulai ditahan apabila ia ada dalam tahanan, tanggal dan isi putusan secara sin g kat, tanggal p enerimaan permintaan dan putusan banding

atau kasasi, tanggal pe r mohonan serta pemberian grasi, amnesti, abolisi atau rehabilitasi, dan lain hal ya n g erat hubungannya dengan proses perkara. Pasal 226 (1) Petikan surat putus a n pengadil a n diberikan kepada ter d akwa atau penasihat h u kumnya segera setelah putusan diucapkan. (2) Salinan surat putus a n pengadil a n diberikan kepada pe n untut umum dan penyidik, sedangkan kepada ter d akwa atau penasihat h u kumnya diberikan atas permintaan. (3) Salinan surat putus a n pengadil a n hanya boleh diberikan kepada or a ng lain den g an seizin ketua peng a dilan setel a h mempert i mbangkan kepentingan dan permintaan tersebu t . Pasal 227 (1) Semua j enis pemberitahuan atau panggilan o leh pihak y a ng berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan k e pada terdakwa, saksi a t au ahli dis a mpaikan selambat-lam b atnya tiga hari sebel u m tanggal hadir yang ditentukan, di t empat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir. (2) Petugas yang melaksanakan p a nggilan tersebut harus b ertemu sendiri dan berbicara langsung d e ngan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal ser t a tandatan g an, baik ol e h petugas maupun orang yang dipanggil dan a pabila yang dipanggil ti d ak menandatangani maka petugas harus mencatat alasan n ya. (3) Dalam h al orang yang dipanggil t idak terdap a t di salah s a tu termpat sebagaimana dirnaksud d alam ayat ( 1 ), surat pa n ggilan dis a mpaikan m e lalui kep a la desa atau p ejabat dan jika di luar n egeri melalui perwakilan Republik In d onesia di t e mpat di ma n a orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih bel u m juga berhasil disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman k antor pejab a t yang men g eluarkan p a nggilan tersebut. Pasal 228 Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitu n gkan pada h ari berikutnya. Pasal 229 (1) Saksi a t au ahli yang teIah hadir memenuhi p anggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua ti n gkat pemeriksaan, ber h ak mendapat pengganti a n biaya me n urut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberita h ukan kepa d a saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dima k s ud dalam ayat (1). P asal 230

(1) Sidang pengadilan dilangsungk a n di gedung pengadilan dalam ruang sidang. (2) Dalam r u ang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat h ukum dan panitera mengenakan pakaian si d ang dan atribut masing-masing. (3) Ruang sidang seba g aimana dimaksud dal a m ayat (1) d i tata menurut ketentuan sebagai berikut: a. tempat meja dan kursi hakim terl e tak lebih t i n ggi dari tempat penuntut umum, ter d akwa, penasihat h ukum dan pengunjung; b. tempat panitera terlet a k di bel a ka n g sisi kanan tempat hakim ketua si d ang; c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan d epan tempat hakim; d. tempat terdakwa dan penasihat h ukum terletak di sisi kiri depan dari t empat hakim dan tempat terdakwa di se b elah kanan t empat penasihat huku m ; e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di d epan tempat hakim; f. tempat saksi atau a h li yang telah didengar terl e tak di bel a k ang kursi p e meriksaan; g. tempat pengunjung te r letak di b e l a kang tempat saksi yang t elah diden g ar; h. bendera Nasional di t empatkan di sebelah k a nan meja hakim dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja h a kim sedan g kan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim; i. tempat rohaniwan terletak di seb e lah kiri tempat panitera; j tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda pen g enal; k. tempat petugas keamanan dibagian pintu masuk utama ruang sidang dan ditempat lain yang dianggap p e rlu. (4) Apabila sidang pen g adilan dila n gsungkan diluar gedung pengadilan, maka tata tempat sejauh mungkin dis e su a i kan dengan ketentuan a y at (3) tersebut diatas. (5) Dalam h al ketentuan ayat (3) tidak mungkin d ipenuhi maka sekurang - kurangnya bendera nasional ha r us ada. Pasal 231 (1) Jenis, b e ntuk dan warna pakaian sidang serta atribut yang berhubungan dengan p erangkat kelengkap a n sebagaimana dimaksud dalam pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur d engan peraturan pemerintah. (2) Pengaturan lebih la n j ut tata tertib persidangan sebagaimana dimaks u d dalam pasal 217 ditetapkan d engan kepu t usan Menteri Kehakiman.

Pasal 232 (1) Sebelum sidang di m ulai, panite r a, penuntut umum, pen a sihat hukum dan pengu n jung yang sudah ada, duduk ditempatnya masing-masing dalam ruang sidang. (2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang si d ang semua yang hadir berdiri untuk menghormat. (3) Selama sidang berl a ngsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan memberi h o rmat. BAB X VII UPA Y A H U KUM BIA S A Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Banding Pasal 233 (1) Permint a an banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke p engadilan tinggi oleh t erdakwa atau yang khusus diku a s akan untuk itu atau penun t ut umum. (2) Hanya p ermintaan banding seb a gaimana dim a ksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh panitera pe n gadilan ne g eri dalam waktu tujuh h ari sesudah putusan dij a tuhkan atau setelah putusan di b eritahukan kepada terdakwa yang tidak hadir se b agaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2). (3) Tentang permintaan itu oleh pani t era dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh p emohon serta te m busannya diberikan kepada p e mohon yang bersangkut a n. (4) Dalam h al pemohon tidak dapat r nenghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera d e ngan disertai al a s annya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga di t ulis dalam daftar perk a ra pidana. (5) Dalam h al pengadil a n negeri menerima permintaan banding, baik y ang diajuk a n oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekalig u s , maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak y ang satu k e pada pihak yang lain. Pasal 234 (1) Apabila t enggang waktu sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkuta n , maka yang bersangku t an dianggap menenima putusan.

(2) Dalam h al sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta te r s ebut pada berkas perkara. Pasal 234 (1) Selama perkara ba n ding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut se w aktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan bandi n g dalam perkara itu tidak boleh diajukan l a gi. (2) Apabila perkara tel a h mulai diperiksa akan t etapi belum diputus se d angkan sementara itu pemohon mencabut pe r mintaan bandingnya, m a ka pemohon dibebani membayar bi a y a perkara yang telah dik e luarkan oleh pengadilan t inggi hingga saat penc a butannya. Pasal 236 (1) Selamb a t-lambatnya dalam waktu empat belas hari sej a k permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri d a n berkas pe r kara serta surat bukti kepada pe n gadilan tin g gi. (2) Selama tujuh hari s e belum pengiriman berkas perkara k e pada pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi k e sempatan untuk mempel a jari berkas p erkara ters e but di peng a dilan negeri. (3) Dalam h al pemohon banding yang dengan jelas menyat a k an secara t ertulis bah w a ia akan mempelajari berkas tersebut di pen g adilan ting g i, maka kepadanya wajib diberi kes e mpatan untuk itu s e cepatnya tujuh hari setelah berkas p erkara diterima oleh pengadilan tin g gi, (4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sew a ktu-waktu meneliti keaslian b erkas perkar a nya yang s u dah ada di p engadilan tinggi. Pasal 237 Selama pengadilan tin g gi belum m u lai memeriksa suatu pe r kara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat m e nyerahkan memori ba n ding atau kontra memori banding kepada pe n gadilan tin g gi. Pasal 238 (1) Pemeriksaan dalam tingkat ban d ing dilak u k a n oleh pen g adilan ting g i dengan sekurang- kurangnya tiga orang hakim atas d a sar berkas p erkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita a c ara pemeriksaan dan p enyidik, berita acara p e meriksaan di sidang pengadilan negeri, bes e rta semua surat yang timbul di sid a ng yang berhubungan dengan perkara itu d an putusan pengadilan negeri. (2) Wewenang untuk menentukan p e nahanan beralih ke pe n gadilan tin g gi sejak saat diajukannya permintaan banding. (3) Dalam waktu tiga ha r i sejak me n erima berkas perkara b a nding dari p engadilan n egeri, pengadilan t inggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan a pakah terd a k wa perlu t e tap ditahan atau tidak, baik karena wew e nang jabat a nnya maup u n atas permintaan terdakwa.

(4) Jika dip a ndang perlu pengadilan t inggi mendengar sendiri keterangan t erdakwa atau saksi atau penun t ut umum d e ngan menjelaskan s e ca r a singkat d a lam surat panggilan ke p ada mereka tentang apa yang ingin dike t ahuinya. PasaI 239 (1) Ketentuan sebagaimana diatur d alam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi p e meriksaan perkara dal a m tingkat banding. (2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud d alam Pasal 157 ayat (1) berlaku ju g a antara hakim dan atau panitera tingkat ban d ing, dengan hakim atau panitera tin g kat pertama yang telah mengadili perkara yang sama. (3) Jika seo r ang hakim yang memut u s perkara d a lam tingkat pertama kemudian tekah menjadi hakim pada pengadilan t inggi, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama dalam tingkat banding. Pasal 240 (1) Jika pe n gadilan tin g gi berpend a pat bahwa dalam pemer i ksaan tin g kat pertama ternyata ada kelalai a n dalam pénerapan huk u m acara atau kekeliruan atau ada yang kurang l e ngkap, maka pengadilan tinggi dengan sua t u keputusan dapat memerintahkan p engadilan n egeri untuk mem p erbaiki hal i t u atau pen g adilan ting g i melakuka n nya sendiri. (2) Jika perlu pengadil a n tinggi de n gan keputusan dapat membatalkan penetapan d a ri pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan t inggi dijat u h kan. Pasal 241 (1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud d alam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan t inggi memu t uskan, menguatkan at a u mengubah atau dalam hal membata l kan putusan pengadilan negeri, pen g adilan ting g i mengadakan putusan sendiri. (2) Dalam h al pembatalan tersebut t erjadi atas p utusan pen g adilan nege r i karena ia t i dak berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pa d a Pasal 148. Pasal 242 Jika dalam pemeriksaan tingkat b a nding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan t inggi dalam putusannya memerinta h kan supaya terdakwa perlu tetap dit a han atau dibebaskan. Pasal 243 (1) Salinan surat putus a n pengadil a n tinggi beserta berkas perkara dal a m waktu tujuh hari setelah put u s an tersebut dijatuhkan, dikirim kep a da pengadilan negeri yang memutus pada tingkat pert a ma.

(2) Isi surat putusan se t elah dicatat dalam buku register se g era diberita h ukan kepa d a terdakwa dan penunt u t umum oleh panitera p e ngadilan n e geri dan selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dal a m salinan surat putusan pengadilan tinggi. (3) Ketentuan mengenai putusan pe n gadilan ne g eri sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 226 berlaku juga bagi putus a n pengadil a n tinggi. (4) Dalam h al terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri t e rsebut, panitera minta bantuan kepada pani t era pengad i lan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi sur a t putusan itu kepadanya. (5) Dalam h al terdakwa tidak diket a hui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri, maka isi su r at putusan sebagaimana dimaksud d a lam ayat ( 2 ) disampaikan melalui kepala desa atau p ejabat atau melalui perwakilan Republik Indon e sia, di mana terdakwa biasa berdiam dan apabila masih belum j u ga berhasil disampaik a n, terdakwa dipanggil d u a kali berturut-turut melalui d u a buah surat kabar yang terbit dalam daerah huk u m pengadilan negeri itu sendiri a t au daerah yang berdek a tan dengan daerah itu. BAB X VI UPA Y A H U KUM BIA S A Bagian Kedua Pemeriksaan Untuk K a sasi Pasal 244 Terhadap putusan perkara pidana yang diberik a n pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari p ada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi ke p ada Mahkamah Agung kecuali t er h adap putus a n bebas. Pasal 245 (1) Permoh o nan kasasi disampaik a n oleh pemohon kepada panitera pe n gadilan yang telah memutus p e rkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas h a ri sesudah p utusan pengadilan yang dimintakan kas a si itu diberita h ukan kepa d a terdakwa. (2) Permint a an tersebut oleh panite r a ditulis dal a m sebuah surat ketera n gan yang ditandatan g ani oleh pa n itera serta p emohon, dan dicatat dalam daftar y a ng dilampirkan pada berkas perkara. (3) Dalam h al pengadil a n negeri menerima pe r mohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekalig u s , maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak y ang satu k e pada pihak yang lain. Pasal 246

(1) Apabila t enggang waktu sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkuta n , maka yang bersangku t an dianggap menerima putusan. (2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana d i maksud d alam ayat ( 1 ). pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak unt u k itu gugur. (3) Dalam h al sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), ma k a panitera mencatat dan memb u at akta mengenai hal itu serta melekatkan akta t ersebut pa d a berkas pe r kara. Pasal 247 (1) Selama perkara pe r mohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi d ap a t dicabut s e waktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. (2) Jika pe n cabutan dil a kukan seb e lum berkas perkara diki r i m ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tid a k jadi dikiri m kan. (3) Apabila perkara tel a h mulai diperiksa akan t etapi belum diputus, se d angkan sementara itu pemohon mencabut pe r mohonan kasasinya, m a ka pemohon dibebani membayar bi a y a perkara yang telah dik e luarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pe n cabutannya. (4) Permoh o nan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali. Pasal 248 (1) Pemoh o n kasasi wajib mengajukan mem o ri k asasi yang memuat al a s an permohonan kasasinya d an dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia m e mberikan surat tanda terima. (2) Dalam h al pemohon kasasi a dal a h terdakwa yang kurang memah a mi hukum, panitera pada waktu menerima perm o honan kas a si wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut d an untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. (3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud d alam Pasal 253 a y at (1) undang-undang ini. (4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana d i maksud d alam ayat ( 1 ), pemohon terlambat menyerahk a n memori k a sasi maka h ak untuk mengajukan p e rmohonan kasasi gugur. (5) Ketentuan sebagaimana diatur d alam Pasal 246 ayat (3) berlaku ju g a untuk ayat (4) pasal ini. (6) Tembusan memori k asasi yang diajukan ol e h salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pih a k lainnya d a n pihak lain itu berhak mengajukan kontra mem o ri kasasi. (7) Dalam t e nggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera meny a mpa i kan tembusan kontra mem o ri kasasi ke p ada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.

Pasal 249 (1) Dalam h al salah sa t u pihak ber p endapat masih ada s e suatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau ko n tra memori k asasi, kep a danya diberikati kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1). (2) Tamba h an sebagaimana dima k s ud dalam ayat ( 1 ) di atas diserahk a n kepada p a nitera pengadilan. (3) Selamb a t-lambatnya dalam waktu empat belas hari set e lah tenggang waktu ters e but dalam ayat (1), permohonan kasasi ters e b u t selengka p nya oleh panitera peng a dilan segera disampaik a n kepada Mahkamah Agung. Pasal 250 (1) Setelah panitera pe n gadilan ne g eri menerima memori d a n atau kont r a memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), Ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung. (2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara ters e but ia seke t i ka mencatatnya dalam buku agenda s u rat, buku r e gister perka r a dan pada kartu penunjuk. (3) Buku register perkara tersebut p a da ayat (2) wajib dikerj a k an, ditutup dan ditanda t angani oleh panite r a pada seti a p hari kerja dan untuk diketahui dit a ndatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung. (4) Dalam h al Ketua Mahkamah Agung berhal a ngan, maka penandatanganan dilakukan oleh WakiI Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalan g an maka dengan surat keputusan Ketua Mahkamah Agu n g ditunjuk h akim anggota yang tertua dalam jabatan. (5) Selanju t nya panitera Mahkamah Agung me n geluarkan surat bukti p e nerimaan y a ng aslinya dikirimkan kepada pani t era pengadilan negeri yang bersangkutan, seda n gkan kepa d a para pihak dikirimkan tembusannya. Pasal 251 (1) Ketentuan sebagaimana diatur d alam Pasal 157 berlaku juga bagi p e rneriksaan p erkara dalam tingkat kasasi. (2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud d alam Pasal 157 ayat (1) berlaku ju g a antara hakim dan atau panitera tingkat k a s a si dengan h akim dan atau panitera t ingkat banding serta tingkat pert a ma. yang te l ah mengadili perkara yang sama. (3) Jika seo r ang hakim yang mengadili perkara d alam tingkat pertama atau tingkat b anding, kemudian telah menjadi hakim atau panitera pa d a Mahkam a h Agung, mereka dilar a ng bertindak s e bagai hakim atau panite r a untuk perkara yang sama dalam t i ngkat kas a si. Pasal 252

(1) Ketentuan sebagaimana diatur d alam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (2) berlaku ju g a bagi pemeriksaan perkara d alam tingkat kasasi. (2) Apabila ada keragu a n atau perbedaan pendapat mengenai hal Seb a gaimana tersebut pada a y at (1), m a ka dalam ti n gkat kas a si: a. Ketua M a hkamah Agung karena jabatannya bertindak se b agai pejabat yang berw e nang menetapkan; b. dalam hal menyangk u t Ketua Ma h k amah Agung sendiri, y ang berwenang menetapkannya adalah sua t u panitia yang terdiri d a ri tiga orang yang dipilih oleh dan an t ar hakim anggota yang seorang di a ntaranya harus hakim anggota yang tertua dal a m jabatan. Pasal 253 (1) Pemeriksaan dalam tingkat k a s a si dil a kukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak seba g aimana dimaksud dal a m Pasal 244 dan Pasal 2 48 guna menentukan a. apakah b enar suatu p eraturan hukum tidak diterapkan at a u diterapkan tidak seba g aimana me s t inya; b. apakah b enar cara mengadili ti d a k dilaksanakan menurut ketentuan u ndang-undang; c. apakab b enar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. (2) Pemeriksaan seba g aimana tersebut pada a y at (1) dilakukan deng a n sekurang - kurangnya tiga orang h akim atas d asar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, ya n g terdiri dari berita a c ara pemeriksaan dari penyidik, berita a c ara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang y ang berhubungan dengan perkara itu beserta p utusan pen g adilan tin g kat pertama dan atau ti n gkat terakhi r . (3) Jika dip a ndang perlu untuk kepe n tingan pemeriksaan s e b agaimana tersebut pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri ke t erangan terdakwa atau saksi a t au p enuntut umum, den g an menjelaskan secara singkat d a l a m surat panggilan kep a da mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerinta h kan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar ke t erangan mereka, deng a n cara pemanggilan yang sama. (4) Wewenang untuk menentukan p e nahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak d iajukannya permohonan kasasi. (5) a. Dalam waktu tiga hari sejak m enerima berkas perkara kasasi seb a gaimana dimaksud dalam ayat (2) Mahkam a h Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah t erdakwa perlu tetap d itahan atau t idak, baik k a rena wewe n ang jabata n nya maupun atas permintaan terdakwa. b. Dalam hal terdakwa t etap ditaha n , maka dalam waktu empat belas h a ri, sejak p e n etapan penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara tersebut. Pasal 254

Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena t elah meme n uhi ketentuan sebagaimana dimaksud d alam Pasal 245, Pasal 2 46 dan Pasal 247, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Pasal 255 (1) Dalam h al suatu pu t usan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan a tau diterapkan t i dak sebaga i mana mest i nya, Mahk a mah Agung mengadili sendiri perka r a tersebut. (2) Dalam h al suatu pu t usan dibata l kan karena cara mengadili tid a k dil a ksanakan m enurut ketentuan u ndang-undang, Mahkamah Agung menetapkan d isertai petu n juk agar pe n gadilan yang m e mu t us perkara yang bersan g ku t an mem e riksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alas a n tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut di p eriksa oleh pengadilan setingkat y a ng lain. (3) Dalam h al suatu pu t usan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berw e nang mengadili perkara t ersebut, Mahkamah Agung menetapkan peng a dilan atau hakim lain mengadili perkara ters e but. Pasal 266 Jika Mahk a m ah Agung mengabulkan permohonan kasasi s e bagaimana dimaksud d alam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalk a n putusan p engadilan yang dimintakan kas a si d an dalam hal itu berl a ku ketentu a n Pasal 255. Pasal 257 Ketentuan sebagaimana diatur dal a m Pasal 226 dan Pasal 2 43 berlaku juga bagi pu t usan kasasi Mahkamah Agu n g, kecuali t e nggang wak t u tentang p engiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang m e mutus pada tingkat pert a ma dalam waktu tujuh hari. Pasal 258 Ketentuan sebagaimana tersebut p a da Pasal 2 4 4 sampal dengan Pasal 257 berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan p e ngadilan da l am lingkungan peradilan militer. BAB X VIII UPA Y A H U KUM L U A R BIASA Bagian Kesatu Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum Pasal 259

(1) Demi kepentingan h ukum terhadap semua putusan yang telah mem p eroleh kek u atan hukum tetap dari penga d ilan lain sel a in daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi ol e h Jaksa Ag u ng. (2) Putusan kasasi demi kepenting a n hukum ti d ak boleh m e rugikan pih a k yang ber k epentingan. Pasal 260 (1) Permoh o nan kasasi demi kepentingan huk u m disampaikan secara t ertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui pani t e ra pengadil a n yang telah memutus p erkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang m e muat alasan permintaan itu. (2) Salinan risalah se b a gaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panite r a segera disampaikan kepada pih a k yang berkepentingan. (3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung. Pasal 261 (1) Salinan putusan kasasi demi k e pentingan h ukum oleh Mahkamah Agung dis a mpaikan kepada Jaksa Agung dan kepada p engadilan yang bersan g kutan deng a n disertai b e rkas perkara. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga dalam hal ini. Pasal 262 Ketentuan sebagaimana dimaksud d alam Pasal 259, Pasal 2 60, dan Pasal 261 berl a ku bagi acara permohonan kasasi demi k e pentingan h ukum terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. BAB X VIII UPA Y A H U KUM L U A R BIASA Bagian Kedua Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Mempu n y a i Kekuatan Hukum Tetap Pasal 263 (1) Terhadap putusan p engadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan be b as atau lep a s dari seg a la tuntutan h ukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke p ada Mahkamah Agung. (2) Permint a an peninja u an kembali dilakukan a t as dasar:

a. apabila t e rdapat kea d aan baru yang menimb u lkan dugaan kuat, bahwa jika k e ad a an itu sudah dike t ahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan b erupa putusan bebas atau putus a n lepas dari segala tunt u tan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu d iterapkan k e tentuan pid a na yang lebih ringan; b. apabila d alam pelbagai putusan t erdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbuk t i , akan tetapi hal a t au keadaan sebagai dasar dan alas a n putusan yang dinyatakan telah te r bukti itu, ternyata telah bertentangan satu d e ngan yang lain; c. apabila p utusan itu d engan jelas memperliha t kan suatu kekhiIafan h a kim atau s u atu kekeliruan y ang nyata. (3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pa d a ayat (2) terhadap sua t u putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan h ukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan i t u suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti o leh suatu pemidanaan. Pasal 264 (1) Permint a an peninja u an kembali oleh pemohon sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepa d a panitera p engadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan meny e butkan sec a ra jelas al a s annya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali. (3) Permint a an peninja u an kembali t idak dibat a s i dengan su a tu jangka w aktu. (4) Dalam h al pemohon peninjauan kembali adalah terpida n a yang kurang memah a mi hukum, panitera pa d a waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia m engajukan p ermintaan tersebut dan u ntuk itu panitera memb u atkan surat permintaan peninjauan kembali. (5) Ketua pengadilan s e gera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catat a n penjelas a n. Pasal 265 (1) Ketua pengadilan se t elah menerima permint a an peninja u an kembali sebagaimana dimaksud d alam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memer i ksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu unt u k memeriksa apakah pe r mintaan peninjauan kembali tersebut meme n uhi alasan sebagaimana dimaksud d alam Pasal 263 ayat (2). (2) Dalam p emeriksaan sebagaimana tersebut p ada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaik a n pendapat n y a. (3) Atas pemeriksaan tersebut dib u at berita ac a ra pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaks a , pemohon dan panitera dan berdas a rkan berita a cara itu dib u at berita ac a ra pendapat yang ditandat a ngani oleh h akim dan panitera.

(4) Ketua pengadilan s e gera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita a c ara pemeriksaan dan b erita acara p endapat ke p ada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan k e pada pemohon dan jaksa. (5) Dalam h al suatu pe r kara yang dimintakan peninjauan k e mbali adalah putusan p engadilan banding, maka tembusan surat pen g antar terse b ut harus dil a mpiri temb u s an berita a c ara pemeriksaan serta beri t a acara pe n dapat dan disampaikan kepada pe n gadilan ba n ding yang bersangkut a n. Pasal 266 (1) Dalam h al permintaan peninjau a n kembali tidak meme n uhi ketentu a n sebagaimana tersebut pa d a Pasal 263 ayat (2), M a hkamah Agung menya t akan bahwa permintaan peninjauan kembali tid a k dapat dite r ima dengan disertai d a sar alasannya (2) Dalam h al Mahkam a h Agung berpendapat b a hwa permin t aan peninj a uan kembali dapat diterima untuk diperiks a , berlaku ke t entuan seb a gai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenar k an alasan p emohon, M a hkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu t etap berlaku disertai d a sar pertimbangannya; b. apabila Mahkarnah Agung mem b enarkan al a s an pemohon, Mahkam a h Agung m e mbatalkan putusan yang dimintak a n peninjau a n kembali i t u dan menjatuhkan put u s an yang dapat berupa: 1. putusan b ebas; 2. putusan lepas dari s e gala tuntut a n hukum; 3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penun t ut umum; 4. putusan d engan menerapkan ket e ntuan pida n a yang lebih ringan. (3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan penin j auan kembali tidak b oleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan d a lam putusan semula. Pasal 267 (1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang pen i njauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah put u s an tersebut dijatuhkan, dikirim kep a da pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putus a n Mahkam a h Agung m e ngenai peninjauan kembali. Pasal 268 (1) Permint a an peninja u an kembali atas suatu p utusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksa n aan dari pu t usan terse b ut.

(2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah dit e rima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tid a knya peninjauan kembali tersebut disera h k an kepada kehendak a hli warisnya. (3) Permint a an peninja u an kembali atas suatu p utusan hanya dapat dil a kukan satu kali s a ja. PasaI 269 Ketentuan sebagaimana tersebut p a da Pasal 2 6 3 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap p utusan pen g adilan dal a m lingkungan peradilan militer. BAB X I X PELA K SA N AAN P UT U SAN P E N G ADILAN Pasal 270 Pelaksana a n putusan p engadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaks a , yang untuk i t u panitera mengrimkan salinan surat putusan ke p adanya. Pasal 271 Dalam hal pidana mati pelaksanaa n nya dilakuk a n tidak di m uka umum d an menurut ketentuan undang-undang. Pasal 272 Jika terpi d a na dipidana penjara atau kurungan d an kemudian dijatuhi p i dana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan te r dahulu, maka pidana itu dijalankan b erturut- turut dimulai dengan pi d ana yang dijatuhkan lebih dahulu. Pasal 273 (1) Jika put u s an pengadilan menjatuhkan pidana denda, ke p ada terpida n a diberikan jangka waktu satu bulan untuk memb a y ar d enda terse b ut kecuali d alam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seke t i ka dilunasi. (2) Dalam h al terdapat a lasan kuat, jangka wak t u sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanja n g untuk paling lama satu bulan. (3) Jika put u s an pengadilan juga menetapkan b a hwa barang bukti dirampas untuk n e gara, selain pen g ecualian s e bagaimana tersebut pa d a Pasal 46, jaksa menguasakan be n da tersebut kepada kan t or lelang n e gara dan dalam waktu tiga bulan un t uk dijual lel a ng, yang hasilnya dimasukkan ke kas ne g ara untuk d a n atas nama jaksa.

(4) Jangka waktu seb a gaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk p aling lama satu bulan. Pasal 274 Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dima k s ud dalam Pasal 99, maka pelaks a naannya dilakukan menurut tataca r a putusan p erdata. Pasal 275 Apabila lebih dari satu o rang dipida n a dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian s e bagaimana dimaksud d alam pasal 274 dibeba n kan kepada mereka bersama-sama secara berimbang. Pasal 276 Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksana a nnya dilakukan dengan pengawasan serta pen g amatan ya n g sungguh-sungguh dan menurut ketentuan und a ng- undang. BAB X X PE N GAW A SAN D AN P ENGAMA T AN PE L A K SAN A AN P UTUS A N P ENGADIL A N Pasal 277 (1) Pada setiap pengadilan harus a d a hakim yang diberi tug a s khus u s u n tuk memba n tu ketua dalam mel a kukan pen g awasan dan pengamatan terhadap putusan pe n gadilan yang menjatuhkan pidana pe r ampasan kemerdekaan. (2) Hakim sebagaimana dimaksud d alam ayat ( 1 ) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk ol e h ketua petig a dilan untuk paling lama dua tahun. Pasal 278 Jaksa men g irimkan tembusan berita acara pelaksanaan put u s an pengadilan yang ditandatan g ani olehnya, kepala le m baga pemasyarakatan dan terpidana kepada pe n gadilan yang m e mu t us perkara p ada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan peng a matan. Pasal 279 Register p e ngawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal 278 wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatan g ani oleh pa n itera pada setiap hari k e rja dan unt u k diketah u i ditandatan g ani juga ol e h hakim se b agaimana dimaksud dalam Pasal 277. Pasal 280

(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa .putusan pengadilan dilaksa n akan seba g aimana me s tinya. (2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk b a han penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi p e midanaan, yang diperol e h dari peril a ku narapid a na atau pembinaan lembaga pemasyaraka t an serta pe n garuh timbal-balik terha d ap narapid a na selama menjalani pidananya. (3) Pengamatan sebag a imana dim a ksud dalam ayat (2) tetap dilaksa n akan setelah t erpidana selesai menjalani pidan a nya. (4) Pengawas dan pen g amatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku p u la bagi pemidanaan bersyarat. Pasal 281 Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala l e mbaga pemasyarakatan meny a mpa i kan informasi secara b e rkala atau sewaktu-waktu tentang p e rilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. PasaI 282 Jika dipa n d ang perlu d e mi penday a gunaan pengamatan, hakim pengawas dan pen g amat dapat mem b icarakan d e ngan kepala lembaga pemasyaraka t an tentang cara pembinaan narapidana t ertentu. Pasal 283 Hasil peng a wasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua peng a dilan secara berkala. BAB X XI KETEN T U A N PE R ALI H AN Pasal 284 (1) Terhadap perkara yang ada seb e lum undang-undang ini d iundangkan, sejauh mungkin diberlakuk a n ketentuan undang-undang ini. (2) Dalam waktu dua ta h un setelah u ndang undang ini diun d angkan maka terhadap semua perkara dib e rlakukan ke t entuan und a ng undang ini, dengan p engecualian untuk sementara mengenai ketentuan k h usus a c ara pidana seb a gaimana tersebut pada undang-undang tertent u , sampai ada perubahan dan atau di n y atakan tidak berlaku l a gi.

BAB X XII KETEN T U A N PE N UT U P Pasal 285 Undang-undang ini dis e but Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 286 Undang-undang ini mulai berlaku p a da tanggal d iundangkan. Agar supaya setiap or a ng mengetahuinya, m e merintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik I ndonesia. Disahkan di Jakarta pada tangg a l 31 Desember 1981 PRES I DEN REPUBLIK I NDONES I A, SO E HAR T O Diundangk a n di Jakarta pada tangg a l 31 Desember 1981 MEN T ERI/ S EKRET A R I S NEGARA REPUBLIK I NDONES I A SUD H A R MO N O ,SH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK I N DONESIA T AHUN 1981 NOMOR 76
Tags