NgabuBuritBarengBurit
0 views
35 slides
Oct 12, 2025
Slide 1 of 35
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
About This Presentation
PEMBARUAN HUKUM PIDANA
Size: 145.23 KB
Language: none
Added: Oct 12, 2025
Slides: 35 pages
Slide Content
PEMBARUAN HUKUM PIDANA Pertemuan 1 Tanggal 4 Oktober 2025 Oleh : Dr. Agus Pramono , M.M, M.H. MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS WISNUWARDHANA MALANG 2025
BAB I PENGERTIAN HUKUM PIDANA PENDAHULUAN Setiap bangsa memiliki hukum yang berbeda ; hukum Indonesia berlaku bagi masyarakat Indonesia. Mahasiswa hukum wajib memahami hukum yang berlaku , diawali dengan mata kuliah dasar Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI). PIH → membahas filsafat , teori , dan pengertian hukum . PHI → mengenalkan berbagai bidang hukum yang berlaku di Indonesia. Kedua mata kuliah ini menjadi dasar sebelum mempelajari hukum pidana . Ilmu hukum termasuk ilmu kemasyarakatan yang bersifat normatif , mengatur hubungan antar manusia . Seorang sarjana hukum perlu memahami aspek non- yuridis ( sosiologi , ekonomi , budaya ) agar mampu memadukan pendekatan hukum dan sosial dalam menyelesaikan masalah masyarakat .
Pengertian Norma, Nilai, dan Sanksi Norma Norma/ kaidah : anggapan yang mengikat perbuatan seseorang dalam masyarakat . Berfungsi memberi petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan . Jenis- jenis norma : Norma Agama: berasal dari wahyu Tuhan, bersifat mutlak ( misal : beribadah , tidak mencuri ). Norma Kesusilaan : berasal dari hati nurani ; pelanggar dikenai sanksi sosial ( pengucilan , dicemooh ). Norma Kesopanan : mengatur sopan santun ; sifatnya relatif antar daerah ( misal : tidak meludah sembarangan ). Norma Hukum: dibuat oleh lembaga resmi ( pemerintah ), bersifat memaksa dan tertulis ( contoh : Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan ).
Nilai Nilai adalah ukuran dasar di balik norma yang menentukan apa yang dianggap benar , baik , pantas , atau bermanfaat . Contoh nilai : kejujuran , kesetiaan , kehormatan , kepatutan , kesopanan . Hubungan nilai & norma: nilai menjadi dasar , norma adalah wujud praktisnya . Contoh : Nilai: kelangsungan hidup . Norma: larangan membunuh . Sanksi Tujuan norma adalah dipatuhi ; pelanggaran akan menimbulkan sanksi . Sanksi bisa : Positif ( Reward ): penghargaan / hadiah . Negatif ( Punishment ): hukuman / pidana . Sering diterapkan dalam sistem reward and punishment ( misalnya di instansi / perusahaan ). Jenis sanksi : Formal: tertulis , tegas , & dapat dipaksakan ( contoh : sanksi administrasi , ganti rugi , pidana penjara / denda ). Informal: tidak tertulis , berasal dari adat / kebiasaan , tidak pasti dan tidak dapat dipaksakan ( contoh : diolok-olok , dikucilkan , diusir dari desa ).
Adressat dari Norma Hukum Adressat ( sasaran ) norma hukum adalah : Warga masyarakat → diwajibkan berperilaku sesuai norma hukum . Alat perlengkapan negara ( penegak hukum ) → menjadikan norma hukum sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas . Contoh : KUHP → menentukan perbuatan yang dilarang , syarat pengenaan pidana , dan jenis sanksi . KUHAP → mengatur kewenangan penegak hukum dalam memeriksa , menuntut , dan mengadili tindak pidana . Untuk mengetahui suatu perbuatan termasuk tindak pidana , harus dilihat pada UU ( misalnya KUHP, UU Korupsi , UU Psikotropika ). Contoh : “ kumpul kebo ” belum dianggap tindak pidana karena tidak ada aturan yang melarangnya . Semua warga negara maupun aparat negara wajib menaati hukum . KUHAP melindungi HAM tersangka / terdakwa melalui prosedur yang jelas , misalnya aturan tentang penangkapan , penahanan , & alat bukti di pengadilan .
Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana dalam kehidupan sehari-hari Sangat dekat dengan masyarakat , sering muncul dalam kasus pencurian , perkelahian , maupun korupsi . Pemberitaan media massa didominasi kasus pidana . Definisi menurut para ahli Lemaire: Norma berisi perintah / larangan yang dikaitkan dg sanksi khusus berupa pidana Simons: Objektif ( ius poenale ): kumpulan larangan / perintah yang diancam pidana . Subjektif ( ius puniendi ): hak negara untuk menuntut , menjatuhkan , & melaksanakan pidana . Van Hattum : Asas & aturan yang melarang perbuatan melawan hukum , dilengkapi sanksi khusus berupa pidana . Moeljatno : Bagian hukum yang menentukan perbuatan terlarang , ancaman pidana , & tata cara pelaksanaannya . Van Kan: Hukum pidana adalah hukum sanksi ; tidak menciptakan norma baru , hanya mempertegas dengan ancaman pidana . Pompe: Aturan yg menentukan perbuatan apa yang dipidana & jenis pidananya . Hazewinkel-Suringa : Peraturan berisi larangan / perintah dg ancaman pidana . Mezger: Aturan hukum yg mengikat perbuatan tertentu dg akibat berupa pidana .
Unsur penting hukum pidana Perbuatan yang dilarang ( tindak pidana ). Subjek yang melanggar ( pertanggungjawaban pidana ). Sanksi atau pidana ( hanya dapat dijatuhkan lewat putusan hakim dan sesuai UU). Dilarang adanya eigenrichting (main hakim sendiri ). Jenis Hukum Pidana Materiil : mengatur perbuatan , pertanggungjawaban , dan pidana . Formil (Acara Pidana ): prosedur penegakan dan pelaksanaan pidana . Stelsel Pidana (KUHP & Konsep KUHP 2013 ) KUHP (Pasal 10) Pidana pokok : mati , penjara , kurungan , denda , tutupan . Pidana tambahan : pencabutan hak , perampasan barang , pengumuman putusan . Konsep KUHP 2013 ( double track system : pidana + tindakan ) Pidana pokok : penjara , tutupan , pengawasan , denda , kerja sosial . Pidana mati : pidana khusus , bersifat alternatif Pidana tambahan : pencabutan hak , perampasan barang / tagihan , pengumuman putusan , ganti kerugian , kewajiban adat .
Tempat dan Sifat Hukum Pidana Posisi dalam Sistem Hukum Hukum pidana termasuk hukum publik , karena menyangkut kepentingan umum . Dahulu , hukum publik dan privat tidak dipisahkan ; gugatan dilakukan oleh pihak yang dirugikan ( prinsip “ Wo kein Klager ist , ist kein Richter ”). Kini, negara yang mengambil alih penegakan hukum pidana , meskipun masih ada pengecualian seperti delik aduan . Perkembangan Internasional Beberapa negara (Thailand, Belgia , Inggris , RRC) masih memberi ruang korban untuk menuntut pidana sendiri ( action directe ). Di Amerika dikenal plea bargaining ( kesepakatan terdakwa – jaksa ), mirip asas oportunitas . Di Indonesia, Pasal 98–101 KUHAP memungkinkan korban mengajukan tuntutan ganti kerugian dalam perkara pidana .
Pandangan Para Ahli Pompe: Hukum pidana hukum publik , karena bertujuan melindungi kepentingan umum ; biaya penjatuhan pidana ditanggung negara. Van Hamel & Simons: Hukum pidana hukum publik , karena dijalankan oleh negara untuk kepentingan masyarakat . Hazewinkel-Suringa : Menegaskan hukum pidana hukum publik ; negara sebagai pemegang ius puniendi . Van Kan & Utrecht: Hukum pidana adalah hukum sanksi ; memberi sanksi istimewa untuk melindungi norma privat maupun publik . Van Bemmelen : Hukum pidana sebagai ultimum remedium , hanya digunakan bila sarana hukum lain tidak cukup . Hakikat Hukum Pidana Bukan menciptakan norma baru , melainkan memperkuat norma yang ada dengan sanksi pidana . Pidana berfungsi sebagai kode moral bangsa , mencerminkan nilai baik – buruk dalam masyarakat . Tujuan utama : menjaga ketertiban , kedamaian , dan kesejahteraan masyarakat .
Perbedaan antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata Lembaga Peradilan Di Indonesia: sama-sama diadili oleh PN, Tinggi, dan MA ( meskipun ada ketua muda pidana & perdata ). Di Inggris : benar2 dipisahkan : perkara perdata di High Court, perkara pidana di Crown Court / magistrate court, banding ke Divisional Court / Court of Appeal, kasasi ke House of Lords. Pihak yang Mengajukan Pidana : JPU atas nama negara dengan surat dakwaan . Perdata : Gugatan diajukan langsung oleh pihak yang dirugikan . Hasil Putusan Pidana : terdakwa dijatuhi pidana ( sanksi / nestapa ). Perdata : tergugat dihukum untuk mengganti kerugian atau melakukan perbuatan tertentu . Ada pengecualian : perkara pidana bisa digabung dengan perdata ( ganti kerugian melalui KUHAP). Pembuktian Pidana : mencari kebenaran materiil ( benar-benar terbukti ). Perdata : cukup kebenaran formil ( misalnya pengakuan tergugat meski tidak benar ). Dalam pidana , pengakuan tanpa bukti lain ( blote bekentenis ) tidak cukup .
Jenis- jenis Hukum Pidana Hukum Pidana Materiil Mengatur isi / substansi hukum pidana ( perbuatan yang dilarang , syarat pidana , jenis pidana ). Bersifat abstrak / dalam keadaan “diam”. Contoh : KUHP. Hukum Pidana Formil (Acara Pidana ) Mengatur cara menerapkan hukum pidana materiil ( pemeriksaan , penuntutan , peradilan ) Bersifat nyata / dalam keadaan “ bergerak ”. Contoh : KUHAP. Van Bemmelen : mempelajari aturan yang diciptakan negara untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pidana . Moeljatno : hukum pidana formil mengatur : Perbuatan yang dilarang & sanksinya . Kapan pelanggar dapat dijatuhi pidana . Cara pelaksanaan pidana terhadap pelanggar .
Bagian Umum dan Bagian Khusus dalam Hukum Pidana Pembagian Tradisional Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana umum (KUHP) dan hukum pidana khusus ( pidana ekonomi , fiskal , militer , dsb ). Di Indonesia, pembagian ini semakin menonjol karena KUHP berisi ketentuan umum , sedangkan banyak UU di luar KUHP memuat aturan pidana khusus . Perbedaan Kriteria Menurut Ahli Van Poelje : Hukum pidana umum = semua yang bukan hukum pidana militer . Pidana ekonomi bukan pidana khusus ( tetap tunduk Pasal 103 KUHP). Pompe & Utrecht: Pidana ekonomi = pidana khusus , karena ada penyimpangan dari ketentuan umum KUHP ( lex specialis ). Paul Scholten: Pidana umum = yang berlaku umum ; pidana khusus = peraturan administrasi dg sanksi pidana ( hukum pidana pemerintahan ). Mostert: Sepaham dengan Scholten, menyebutnya Ordeningsstrafrecht , yaitu hukum pidana pemerintahan untuk melaksanakan kebijakan umum ( misalnya pajak , narkotika , tenaga atom).
Karakteristik Hukum Pidana Pemerintahan Umumnya hanya berupa pelanggaran ringan ( sanksi denda ). Namun , di Indonesia banyak yang ancaman pidananya berat , bahkan sampai pidana mati ( misalnya UU Narkotika , UU Tenaga Atom). Pendapat Penulis Cenderung mengikuti Pompe dengan patokan Pasal 103 KUHP: lex specialis derogat legi generali . Untuk menghindari kerancuan , disarankan istilah baru : per- uu -an pidana umum dan per- uu -an pidana khusus . Batasannya Perundang-undangan pidana umum = KUHP beserta perubahan dan tambahan (UU No. 1/1946, UU No. 73/1958, UU No. 18/1960, dll ). Perundang-undangan pidana khusus = semua peraturan di luar KUHP yang bersanksi pidana ( misalnya korupsi , narkotika , perpajakan , tenaga atom). Kodifikasi dan Non- Kodifikasi Kodifikasi : Hukum pidana materiil (KUHP), hukum pidana formil (KUHAP). Non- kodifikasi : Hukum pidana materiil maupun formil yang tersebar di luar KUHP dan KUHAP.
Hubungan Ilmu Kriminologi dengan Hukum Pidana Pengertian Dasar Kriminologi : berasal dari crimen ( kejahatan ) + logos ( ilmu ); ilmu yang mempelajari kejahatan . Hukum pidana : aturan yang mengatur perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh UU.Titik temu keduanya ada pada kejahatan . Perbedaan Fokus Hukum pidana : objek pada norma hukum , yaitu apa yang dapat dipidana . Kriminologi : objek pada pelaku kejahatan serta faktor penyebab terjadinya kejahatan . Pandangan H. Bianchi Kriminologi adalah “ metascience ” dari hukum pidana , dengan ruang lingkup lebih luas , berfungsi memperjelas konsep dan masalah dalam hukum pidana . Persamaan Sama- sama membahas kejahatan . Sama- sama bertujuan mencegah dan menanggulangi kejahatan ( preventif maupun represif ).
Perbedaan Utama Kriminologi Mempelajari gejala kejahatan dan penyimpangan sosial , serta penyebab seseorang berbuat jahat . Menekankan pada upaya preventif ( pencegahan ). Hukum Pidanaa . Menghubungkan perbuatan jahat dengan norma hukum dan pembuktian Lebih menekankan pada tindakan represif , setelah kejahatan terjadi .
Sejarah Hukum Pidana di Indonesia Zaman VOC Selain hukum adat pidana yang berlaku bagi penduduk asli , penguasa VOC mula-mula memberlakukan plakat2 yang berisi hukum pidana . Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker merampungkan himpunan plakat yang dinamakan Statuten van Batavia dan disahkan pada tahun 1650. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah kekuasaan VOC meliputi : Hukum statuta ( Statuten van Batavia), Hukum Belanda kuno , Asas- asas hukum Romawi ( terutama terkait hukum budak ). Namun , penerapannya dalam praktik lebih bersifat teoritis karena masyarakat pribumi tetap tunduk pada hukum adat . VOC hanya ikut campur dalam perkara pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya . Tahun 1848 lahir intermaire strafbepalingen , dan tahun 1866 diberlakukan dua KUHP di Indonesia, yaitu : Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen ( Stbl . 1866 No. 55), berlaku 1 Januari 1867. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl . 1872 No. 85), berlaku 1 Januari 1873. .
Zaman Hindia Belanda Tahun 1811–1814 Indonesia sempat berada di bawah Inggris , namun berdasarkan Konvensi London 1814, wilayah jajahan dikembalikan kepada Belanda. Melalui Regerings Reglement 1815 & Supletoire Instructie , sistem hukum kolonial Belanda diperkuat Statuta Betawi dan hukum adat tetap berlaku , dengan tambahan pidana kerja paksa ( Stbl . 1828 No. 16). Pidana tersebut dapat berupa : kerja paksa dengan dirantai & dibuang , kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang , kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang . KUHP untuk golongan Eropa merupakan adopsi Code Penal Perancis , namun hanya terdiri dari 2 buku (Code Penal terdiri 4 buku ). Belanda kemudian menyusun kodifikasi baru , hingga lahirlah KUHP Belanda pada 1881 ( berlaku 1886). Berdasarkan asas concordantie , KUHP Belanda diberlakukan juga di Hindia Belanda. Awalnya terdapat dua KUHP ( untuk Eropa dan Bumiputera/Timur Asing), tetapi kemudian melalui Koninklijk Besluit 1898 dirumuskan rancangan unifikasi . Hasilnya , pada 1915 lahir Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch -Indie yang berlaku sejak 1 Januari 1918 untuk semua golongan
Zaman Pendudukan Jepang (1942–1945) KUHP warisan Belanda tetap berlaku berdasarkan Osamu Serei No. 1 Tahun 1942. Hanya aturan yang menyebut Belanda/Ratu yang dihapus . Namun hukum acara pidana diubah melalui Osamu Serei No. 3 Tahun 1942 yang mengatur unifikasi acara peradilan . Zaman Kemerdekaan ( Sejak 1945) Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945 melalui Aturan Peralihan Pasal II menetapkan semua badan & peraturan yang ada tetap berlaku sementara , asal tidak bertentangan dengan UUD. Hal ini dipertegas dengan PP No. 2 Tahun 1945. Perubahan mendasar dilakukan melalui uu No. 1 Tahun 1946, yang menetapkan : Hukum pidana yang berlaku adalah hukum pada 8 Maret 1942 dengan perubahan sesuai kondisi RI. Nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch -Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau KUHP. Sebanyak 68 ketentuan dihapus / diubah . Ditambahkan delik2 baru (Pasal IX–XVI, sebagian kemudian dicabut dengan UU No. 78 Tahun 1958). Meskipun KUHP telah diubah sejak 1946, teks aslinya tetap dalam bahasa Belanda. Terjemahan dalam bahasa Indonesia yang digunakan aparat hukum bervariasi sesuai penerjemahnya . Dalam periode 1945–1949, ketika Belanda kembali menduduki beberapa wilayah, UU No. 1/1946 tidak berlaku di daerah yang dikuasai Belanda, kecuali Sumatera ( dengan pengaturan khusus ).
BAB II ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA Asas Legalitas (Pasal 1 (1) KUHP) Asas Legalitas Rumusan & Makna Pasal 1 (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya . ” Prinsip Latin: Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali : Tidak ada delik , tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya . Mengandung dua prinsip : Perbuatan dilarang / diwajibkan harus diatur dalam UU pidana . Ketentuan tidak boleh berlaku surut ( kecuali Pasal 1 ayat (2) KUHP). Aturan Von Feuerbach Nulla poena sine lege → pidana hanya berdasar UU. Nulla poena sine crimine → pidana hanya untuk perbuatan yang diancam UU. Nullum crimen sine poena legali → delik selalu ada pidananya .
Sejarah & Perkembangan Muncul di Konstitusi AS (1783), Declaration des droits de l’homme et du citoyen (1789). Masuk Code Penal Perancis , WvS Belanda, lalu KUHP Indonesia. Diterapkan juga di Korea, Thailand, Turki, Jepang , Austria (1787). Tidak dianut oleh sistem hukum Inggris & negara bekas jajahannya (Malaysia, Singapura, Brunei). Inggris lebih menekankan integritas hakim & praktik common law . Penyimpangan Sejarah Belanda pernah meninggalkan asas ini (Keputusan Luar Biasa 1943 di London, berlaku surut ). Uni Soviet era Stalin: asas ditinggalkan demi melindungi rezim . Indonesia: UU Darurat No. 1/1951 memungkinkan hakim menjatuhkan pidana pada delik adat meski tidak ada dalam KUHP. Rancangan KUHP Indonesia Pasal 1 (1): tetap mengakui asas legalitas . Pasal 1 (4): memungkinkan pidana untuk delik adat setempat , tapi dibatasi hanya pidana ringan / denda . Dikritik Keijzer & Schaffmeister sebagai “ akrobatik ” karena menyimpang dari asas legalitas .
Pro-Kontra di Indonesia Pro: Menjamin kepastian hukum , melindungi HAM dari penyalahgunaan kekuasaan hakim/ penguasa . Kontra (Utrecht): Banyak perbuatan yang seharusnya dipidana tidak bisa dipidana karena tidak diatur ; asas ini juga membatasi berlakunya hukum pidana adat . Dilema : antara kebutuhan kepastian hukum vs fleksibilitas hukum adat . Kesimpulan: Asas legalitas adalah fondasi utama hukum pidana modern yang menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi manusia . Namun , di Indonesia penerapannya menimbulkan dilema karena adanya hukum adat yang masih hidup , sehingga muncul wacana penyimpangan terbatas ( misalnya dalam Rancangan KUHP).
Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Larangan dalam Asas Legalitas Asas legalitas (Pasal 1 (1) KUHP) melarang penggunaan analogi karena bisa menciptakan delik baru yang tidak dirumuskan UU. Pandangan Para Ahli Hazewinkel-Suringa : penerapan analogi berbahaya jika menciptakan delik baru ; lebih berbahaya justru UU pidana yang kabur . Hermann Mannheim: membedakan Gesetzesanalogie ( analogi UU) dan Rechtsanalogie ( analogi hukum ). Vos & Pompe: menolak analogi yang menciptakan delik baru , tetapi menerima analogi terbatas / penafsiran ekstensif ( contoh : aliran listrik dianggap “ barang ” dalam pencurian ). Moeljatno : menolak analogi , tapi menerima tafsir ekstensif . Utrecht: sulit membedakan tafsir ekstensif dan analogi ; menilai larangan analogi terlalu positivistis . Van Hattum & Van Bemmelen : menolak analogi karena merusak kepastian hukum . Traverne & Roling: justru membela analogi , menyamakannya dengan bentuk interpretasi .
Praktik di Berbagai Negara Inggris & Denmark: analogi diperbolehkan , meskipun negara demokratis . Jerman Nazi: analogi dipakai luas untuk kepentingan politik → berbahaya . RRC (Pasal 79 KUHP): analogi diperbolehkan dg syarat persetujuan MA. Uni Soviet (masa Stalin): analogi dipakai untuk memidana perbuatan “ socially dangerous act ”. Contoh Kasus Arrest Hoge Raad Belanda (1921): listrik dipandang sebagai “ barang ” dalam pencurian . Pengadilan Arnhem (1983): data komputer dianggap “ barang ” → analogi terbatas / ekstensif . Kesimpulan Analogi yang dilarang : menciptakan delik baru ( bertentangan dengan asas legalitas ). Analogi terbatas /tafsir ekstensif : diterima untuk menyesuaikan perkembangan ( contoh : listrik , data komputer ). Perdebatan lebih bersifat teoretis , karena dalam praktik hasil tafsir ekstensif ≈ analogi terbatas .
Hukum Transitoir ( Peralihan ) Asas Pokok Pasal 1 (1) KUHP: hukum pidana tidak berlaku surut . Pasal 1 (2) KUHP: pengecualian : jika ada perubahan UU setelah perbuatan dilakukan , maka ketentuan yang lebih menguntungkan terdakwa yang dipakai . Sifat Pasal 1 (2) Diperdebatkan : apakah pengecualian dari asas legalitas atau aturan berdiri sendiri . Yurisprudensi : terdakwa boleh mengajukan pasal ini sampai kasasi (HR 1916, 1940, 1962, 1964). Jenis Perubahan yang Berlaku Perubahan rumusan delik , kualifikasi , ancaman pidana , percobaan , penyertaan , gabungan delik . Termasuk perubahan di luar hukum pidana yang mempengaruhi dapat dipidananya perbuatan .
Ajaran dan Pendapat Ahli Materil tak terbatas (HR 1906, HR 1921): setiap perubahan hukum yang berpengaruh pada unsur delik , dianggap perubahan pidana . Materil terbatas (Van Geuns , Jonkers, Pompe, mayoritas sarjana ): hanya perubahan yang memengaruhi penilaian hukum mengenai dapatnya dipidana perbuatan . Formil (Simons): hanya berlaku jika teks UU pidana diubah . Penerapan dan Batasan Tidak berlaku untuk peraturan sementara ( misalnya aturan militer saat darurat ). Tidak berlaku pada hukum acara pidana (HR 1923). Diperdebatkan apakah berlaku pada “ dapat dituntut ” ( vervolgbaarheid ); sebagian ahli menolak , sebagian menerima . Jika UU lama dan baru sama2 menguntungkan / tidak menguntungkan , biasanya diterapkan UU lama ( lex temporis delicti ). Masalah Praktis Jika sebagian isi UU baru menguntungkan , sebagian memberatkan , hakim bandingkan kasus konkret untuk pilih mana yang lebih menguntungkan . Timbul ketidakadilan : terdakwa yg sudah dihukum tidak bisa menikmati UU baru yang lebih ringan , berbeda dengan terdakwa yg kasusnya masih berjalan .
Perbandingan dengan Negara Lain Belanda & Indonesia: terbatas pada “ dapat dipidana ” perbuatan , tidak berlaku untuk yang sudah menjalani hukuman . Thailand, Korea, Jepang : aturan transitoir juga berlaku pada terpidana ; pidana dapat dikurangi atau dihapus bila UU baru lebih ringan . Kesimpulan Pasal 1 (2) KUHP bertujuan melindungi terdakwa dari aturan baru yang lebih berat , sekaligus memberi keuntungan bila aturan baru lebih ringan . Perdebatan utama : apakah berlaku luas ( materil tak terbatas ) atau terbatas pada perubahan inti yang menyangkut dapat dipidananya suatu perbuatan . Sistem Indonesia dianggap masih kurang adil dibanding negara lain karena tidak berlaku pada terpidana yang sudah menjalani hukuman .
Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang, Tempat , dan Orang Asas Teritorialitas (Wilayah) – Pasal 2 & 3 KUHP Hukum pidana berlaku di wilayah Indonesia, tanpa memandang siapa pelakunya . Wilayah: darat , laut (12 mil + Wawasan Nusantara), udara di atasnya.Termasuk kendaraan air & udara Indonesia ( vaartuig & pesawat udara ) Dasarnya : kedaulatan negara. Pengecualian : imunitas diplomatik , kepala negara asing , pasukan sahabat , dsb . → diatur hukum internasional (Pasal 9 KUHP, Konvensi Wina 1961). Asas Nasionalitas Pasif ( Perlindungan ) – Pasal 4 KUHP Hukum pidana berlaku di luar negeri bila kepentingan negara dilanggar . Contoh : pengkhianatan , pemalsuan uang/merk Indonesia, kejahatan ekonomi , tindak pidana penerbangan . Fokus pada kepentingan nasional , bukan individu . Jika WNI jadi korban di luar negeri → tidak otomatis hukum Indonesia berlaku , diserahkan ke hukum negara setempat .
Asas Personalitas / Nasionalitas Aktif – Pasal 5 & 7 KUHP Hukum pidana mengikuti WNI di luar negeri. Berlaku untuk : Kejahatan tertentu (Bab I & II Buku II KUHP: pengkhianatan , penghinaan Presiden , bigami , dll .), dan Kejahatan yang juga dianggap tindak pidana di negara tempat perbuatan dilakukan . WNI tidak diekstradisi , maka tetap dapat dituntut di Indonesia. Pegawai negeri di luar negeri yang melakukan delik jabatan : tunduk KUHP ( asas campuran : personalitas + perlindungan ). Asas Universalitas – Pasal 4 KUHP & UU No. 4/1976 Berlaku untuk kejahatan internasional yang merugikan seluruh dunia. Contoh : Pemalsuan mata uang internasional , Perompakan laut & Pembajakan / penguasaan pesawat udara & Kejahatan perang ( Konvensi Jenewa 1949, belum diatur rinci dalam KUHP). Dasar: konvensi internasional ( Jenewa 1929, Paris 1858, Tokyo 1963, The Hague 1970, Montreal 1971). Kesimpulan Teritorialitas : berdasarkan tempat . Nasionalitas pasif : melindungi kepentingan negara. Nasionalitas aktif : mengikuti warga negara. Universalitas : berlaku untuk kejahatan internasional yang mengancam dunia.
Hukum Pidana Supranasional & Asas Retroaktif Hukum Pidana Supranasional Definisi : aturan pidana internasional yang berada di atas hukum nasional ( bersumber dari perjanjian antarnegara , kebiasaan , & asas hukum internasional ). Metode penerapan : Indirect enforcement : konvensi internasional diadopsi ke KUHP, lalu diadili oleh hakim nasional . Direct enforcement : kejahatan internasional diadili oleh pengadilan internasional . Contoh Pengadilan Supranasional Pengadilan Penjahat Perang Dunia II Nuremberg (1946) & Tokyo (1946): mengadili kejahatan perang , kejahatan terhadap kemanusiaan , dan agresi . Kritik: dianggap retroaktif ( aturan dibuat setelah perang ). Mahkamah Internasional ad hoc ICTY (1993) → konflik Yugoslavia. ICTR (1994) → genosida Rwanda. Dibentuk lewat Resolusi DK PBB → bersifat sementara .
Mahkamah Pidana Internasional Permanen (ICC, 1998) Dibentuk melalui Statuta Roma (17 Juli 1998). Yurisdiksi : genosida , kejahatan terhadap kemanusiaan , kejahatan perang , agresi . Tidak berlaku surut (non- retroaktif ). Berlaku hanya bagi negara penandatangan , tapi dapat berlaku terhadap WNA bila kejahatan dilakukan di wilayah negara anggota Menjunjung asas legalitas dan due process of law , serta menolak masa daluwarsa (Pasal 29). Asas Non- Retroaktif dalam Hukum Pidana Pasal 1 (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan .” Fungsi : Lindungi hak asasi manusia (HAM), Mencegah kesewenang-wenangan penguasa , Menjamin kepastian hukum . Teori dasar : teori paksaan psikis (von Feurbach ) → ancaman pidana mencegah calon pelaku .
Penyimpangan / Pengecualian Asas Retroaktif Pasal 1 (2) KUHP: jika ada perubahan UU, dipakai aturan yang lebih ringan bagi terdakwa ( hukum transitoir ). Era Reformasi: retroaktif pernah digunakan , misalnya pada UU Pengadilan HAM & UU Terorisme (PERPU No. 2/2002), tapi kemudian dibatalkan MK karena bertentangan dengan HAM. UUD 1945 Amandemen (Pasal 28I (1)): melarang UU berlaku surut , kecuali ketentuan hukum transitoir ( aturan yang lebih menguntungkan terdakwa ). Kesimpulan: Hukum pidana supranasional lahir karena adanya kejahatan lintas batas ( genosida , kejahatan perang , agresi , dsb .) → melahirkan pengadilan internasional seperti Nuremberg, ICTY, ICTR, ICC. Asas retroaktif dilarang dalam hukum pidana untuk melindungi HAM, namun pengecualian diperbolehkan jika perubahan UU lebih menguntungkan terdakwa .
Sistem Retroaktif dalam Hukum Pidana Sistem di Inggris Tidak ada ketentuan seperti Pasal 1 (2) KUHP Berlaku aturan lama yang berlaku saat tindak pidana dilakukan.Kelebihan : kepastian hukum terjamin . Kelemahan : jika aturan lama sudah tidak sesuai rasa keadilan masyarakat , penerapan terasa tidak adil . Sistem di Swedia Berlaku aturan baru jika ada perubahan perundangan . Berlawanan dengan Inggris Sistem di Indonesia (KUHP) Menganut asas lex temporis delicti: tindak pidana diadili dengan aturan yang berlaku saat perbuatan dilakukan . Pengecualian : bila aturan baru lebih meringankan terdakwa : aturan baru berlaku .
Makna Perubahan Peraturan ( verandering van wetgeving ) Ada 3 ajaran : Ajaran Formil (Simons): perubahan hanya jika teks UU pidana diubah . Contoh : perubahan batas umur dewasa dalam KUH Perdata tidak dianggap perubahan dalam KUHP. Ajaran Materiil Terbatas : perubahan jika ada perubahan keyakinan hukum pidana . Misal perubahan batas umur dewasa dalam hukum perdata ikut berpengaruh ke pidana . Ajaran Materiil Tidak Terbatas : semua perubahan perundangan yang menguntungkan terdakwa bisa dipakai . Contoh : kasus sewa rumah (HR 1921), terdakwa bebas karena aturan baru memperbolehkan kenaikan sewa . Arti Aturan yang Menguntungkan / Meringankan Ditafsirkan seluas-luasnya , tidak hanya pada berat ringannya pidana , tapi juga seluruh isi aturan . Harus dinilai in concreto ( kasus nyata ), bukan in abstracto . Contoh:Jika delik diperberat tapi jadi delik aduan , maka jika tidak ada pengaduan : terdakwa diuntungkan ( aturan baru dipakai ). Jika ada pengaduan : aturan lama lebih menguntungkan .
Dalam Konstitusi Indonesia (UUD 1945 Pasal 28I (1) UU tidak boleh berlaku surut , kecuali dalam hal aturan baru lebih ringan bagi terdakwa . Contoh : UU Terorisme ( Perpu No. 2/2002): sempat diberlakukan surut , tapi dibatalkan Mahkamah Konstitusi . UU Tindak Pidana Korupsi : boleh diberlakukan surut jika aturan baru lebih menguntungkan terdakwa . Kesimpulan: Inggris : pakai aturan lama ( kepastian hukum ). Swedia : pakai aturan baru (rasa keadilan lebih diutamakan ). Indonesia: jalan tengah , pakai aturan lama, kecuali aturan baru lebih ringan bagi terdakwa . Perubahan hukum yang menguntungkan terdakwa ditafsirkan luas , tidak hanya soal berat pidana .