Uropathy Obstuctive ec. Cancer Serviks.doc

LusiaNasrani1 7 views 45 slides Nov 14, 2024
Slide 1
Slide 1 of 45
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45

About This Presentation

Uropathy Obstuctive ec. CA Serviks.doc


Slide Content

BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Di Indonesia setiap tahun tercatat 15.000 kasus baru kanker serviks.
Dinas kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 dan 2015 mencatat bahwa kanker
serviks dan kanker payudara menempati posisi dua kanker terbanyak pada
perempuan di Bali terutama pada usia produktif. Data tahun 2016-2017 di
RSUP Sanglah, Denpasar-Bali, didapatkan 69 kasus kanker serviks yang
dirawat diruang Cempaka Ginekologi RSUP Sanglah dan sebagian besar
(>90%) kasus kanker serviks merupakan kasus dengan stadium lanjut.
1
Dalam beberapa kasus, terjadi kompresi eksternal ureter yang
mengakibatkan terjadinya uropati obstruktif, serta dalam pengamatan pada
pasien yang sebelumnya dirawat yang tidak memiliki bukti penyakit berulang,
kebanyakan mengalami hidronefrosis akibat terjebaknya ureter karena fibrosis
pelvis. Pasien mungkin mengalami gejala atau asimptomatik dengan nitrogen
urea darah (BUN), kreatinin serum, dan elektrolit yang tinggi.
1

Pemasangan kateter Double J (DJ stent) secara retrograde dan
nefrostomi perkutan adalah dua pilihan diversi urine pada uropati obstruktif
akibat karsinoma serviks uterus. Kouba dan kawan-kawan menyatakan bahwa
kegagalan pemasangan DJ stent pada kasus pendesakan ureter ekstrinsik
akibat keganasan cukup tinggi terutama bila disertai dengan hidronefrosis dan
nyeri pinggang yang persisten, berkisar 16 %—58 %. Kegagalan pemasangan
DJ stent pada obstruksi ureter akibat keganasan cukup tinggi pada obstruksi
ureter level distal bila dibandingkan dengan obstruksi ureter proksimal atau
pelvis renal.
Double J stent dikaitkan dengan berbagai efek samping mulai dari
1

gejala saluran kemih bagian bawah hingga disfungsi seksual. Penelitian yang
dilakukan di Universitas Airlangga tahun 2017, dengan sampel rerata usia
pasien 30-68 tahun, pada skor USSQ menunjukan bahwa gejala berkemih dan
nyeri yang mempengaruhi kemampuan bekerja adalah masalah dominan yang
muncul terkait adanya stent. Sedangkan, jika drainase melalui DJ stent tidak
efektif atau bahkan gagal terpasang, nefrostomi harus dipertimbangkan
terutama bila cairan yang terakumulasi di PCS yang obstruktif bersifat
purulen (pyonefrosis). Dengan nefrostomi, penilaian fungsi ginjal secara
terpisah antara yang obstruktif dan yang kontralateral bisa dilakukan, namun
komplikasi mayor tindakan nefrostomi adalah perdarahan dan cedera organ
lain. Perlu dilakukan edukasi kepada penderita agar secara berkala melakukan
penggantian kateter nefrostomi.
2
Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dibahas mengenai uropati
obstruktif yang diakibatkan oleh karsinoma serviks serta pilihan terapi diversi
urine dengan DJ stent dan PCN (percutaneous nefrostomy).
1.2 Tujuan Penulisan
1.Menjelaskan patofisiologi uropati obstruktif yang disebabkan oleh kanker
serviks.
2.Menjelaskan drainase sebagai penatalaksanan uropati obstruktif.
1.3 Manfaat Penulisan
1.Untuk akademisi: meningkatkan pengetahuan tentang patofisologi uropati
obstruktif yang disebabkan oleh kanker serviks stadium lanjut serta
penatalaksanaannya dan sebagai acuan kepustakaan ilmiah.
2.Untuk praktisi: meningkatkan pengetahuan tentang penatalaksanaan
uropati obstruktif.
3.Untuk masyarakat : memberikan wawasan tentang uropati obstruktif dan
kanker serviks.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi Sistem Reproduksi Wanita
Sistem reproduksi merupakan salah satu komponen sistem tubuh yang penting
meskipun tidak berperan langsung dalam homeostasis dan esensial bagi kehidupan
sesorang. Pada manusia, reproduksi berlangsung secara seksual. Adapun gambar
dibawah ini merupakan gambaran sistem reproduksi wanita.
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Reproduksi Wanita
3
2.1.1Ovarium
Ovarium adalah sepasang organ berbentuk oval yang terletak di rongga perut.
Ovarium memiliki struktur berbentuk bulatan-bulatan yang disebut folikel. Tiap folikel
mengandung sel telur (oosit) yang berada pada lapisan tepi ovarium. Fungsinya adalah
3

memproduksi telur matang untuk pembuahan dan produksi hormon steroid dalam
jumlah besar.
3

2.1.2Oviduk
Oviduk merupakan saluran penghubung antara ovarium dan rahim (uterus). Di
ujungnya terdapat fimbria yang menyerupai jari-jari untuk menangkap telur yang
matang. Oviduk ini berfungsi untuk membawa sperma dan telur ke tempat terjadinya
pembuahan, yaitu ampula tuba.
3

2.1.3Uterus
Rahim pada wanita hanya ada satu dan tersusun atas otot yang tebal. Rahim
bagian bawah memiliki ukuran yang lebih kecil dan biasa disebut sebagai leher rahim
(cervix). Bagian yang besar dari uterus disebut dengan corpus uteri. Terdapat tiga
lapsan utama uterus, yaitu perimetrium, miometrium, dan endometrium. Endometrium
merupakan lapisan yang akan mengalami penebalan dan pengelupasan apabila tidak
ada pembuahan. Fungsi utamanya adalah tempat menunjang pertumbuhan dan
perkembangan janin.
3
2.1.4Vagina
Vagina merupakan alat kelamin wanita yang menghubungkan alat kelamin luar
dengan rahim. Vagina terdiri atas otot yang membujur ke arah belakang. Dinding
vagina banyak memiliki lipatan meskipun lebih tipis dari rahim. Selain itu, lendir yang
dihasilkan dari dindingnya berfungsi mempermudah persalinan. Fungsi vagina adalah
menahan penis saat berhubungan seksual dan menyimpan semen sementara.
3
2.2 Uropati Obstruktif Akibat Kanker Servik
2.2.1 Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Penyebab
kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) sub tipe
onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor resiko terjadinya kanker
serviks antara lain : aktivitas seksual pada usia muda, berhubungan seksual dengan
multipartner, merokok, mempunyai anak banyak, sosial ekonomi rendah, pemakaian
pil KB (dengan HPV postitif atau negatif), penyakit menular seksual, dan gangguan
4

imunitas. Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada
lapisan epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3
atau karsinoma in situ (KIS). Selanjutnya setelah menembus membran basalis akan
berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif dan invasif. Pemeriksaan sitologi
papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan pemeriksaan histopatologik sebagai
konfirmasi diagnostik. Federasi Obstetri dan Ginekologi Internasional (FIGO) suatu
sistem stadium untuk menggambarkan berbagai tahapan kanker serviks
4
:
Tabel 2.1 Stadium kanker serviks
4
Kanker serviks stadium lanjut sering dikaitkan dengan obstruksi ureter, yang
menyebabkan timbulnya uropati obstruktif, terutama stadium kanker serviks IIIB
didefinisikan sebagai perluasan lokal tumor servik ke dinding samping pelvis yang
akan menekan ureter dari luar atau bisa disebabkan infiltrasi ureter langsung oleh
tumor. Pemasangan nefrostomi perkutan atau DJ stent merupakan salah satu prosedur
yang wajib dilakukan segera, mengingat komplikasi ireversibel yang akan terjadi.
4
.
5

2.2.2 Epidemiologi Karsinoma Serviks Uteri
Karsinoma serviks uterus adalah keganasan terbanyak ketujuh dari semua
jenis keganasan di seluruh dunia. Di antara keganasan pada wanita, karsinoma serviks
uterus merupakan jenis keganasan terbanyak kedua setelah keganasan payudara. Pada
tahun 2002 di seluruh dunia terdapat 493.000 kasus baru karsinoma serviks uterus
dengan kematian mencapai 274.000 kasus. Di negara yang sedang berkembang, 83 %
karsinoma serviks uterus merupakan kasus baru, dengan risiko kumulatif pada wanita
kelompok usia di bawah 65 tahun sebesar 1.5 %. Di negara maju, kasus baru
karsinoma serviks uterus hanya sekitar 3,6 % dengan risiko kumulatif pada wanita
kelompok umur 0-64 tahun sebesar 0,8 %. Di negara-negara Asia Tenggara insidens
dan mortalitas karsinoma serviks uterus mencapai 18,7 % dan 10,3 %. Di Indonesia
setiap tahun tercatat 15.000 kasus baru kanker serviks.
1

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015), penyakit kanker
serviks dan payudara merupakan penyakit kanker dengan prevalensi tertinggi di
Indonesia. Rujukan kanker serviks karena masalah nyeri adalah ± 49% pada stadium
invasif dan ± 60% pada stadium terminal setelah mengalami obstruksi pada organ
sekitar.
5
Dinas kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 dan 2015 mencatat bahwa kanker
serviks dan kanker payudara menempati posisi dua kanker terbanyak pada perempuan
di Bali terutama pada usia produktif. Data tahun 2016-2017 di RSUP Sanglah,
Denpasar-Bali, didapatkan 69 kasus kanker servik yang dirawat diruang Cempaka
Ginekologi RSUP Sanglah dan sebagian besar (>90%) kasus kanker serviks
merupakan kasus dengan stadium lanjut
1
.
Setiap tahun tidak kurang dari 250 kasus baru kanker serviks ditemukan.
Mayoritas pasien dengan kanker serviks datang pada stadium lanjut (62% pada
stadium IIB-IVA), menyebabkan pengobatan menjadi lebih rumit.
6
Berdasarkan
penelitian Nuranna dkk dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 30% kanker
serviks stadium lanjut mengalami gagal ginjal yang disebabkan oleh obstruksi uteri.
7
Berdasarkan stadium klinis dari International Federation of Gynecology and
Obstetrics (FIGO), hidronefrosis dan gagal ginjal merupakan tanda klinis stadium
6

IIIB. Mishra dkk melaporkan rata-rata angka bertahan hidup dari pasien kanker
serviks tanpa obstruksi uretra dan fungsi ginjal normal adalah 47 %, dimana bila ada
obstruksi ureter maka angka bertahan hidup menjadi 29%.
9
Infiltrasi dari kandung
kemih dan ureter oleh tumor menyebabkan terjadinya hidronefrosis dan akhirnya
berakibat pada tidak berfungsinya ginjal. Obstruktif uropati terjadi sekitar 14-44%
dari kasus kanker serviks.
6
2.2.3 Uropati Obstruktif
2.2.3.1 Patofisologi Uropati Obstruktif Pada Kanker Serviks
2.2.3.1.1 Infiltrasi tumor
Keterlibatan ureter dalam metastasis dapat terjadi sebagai salah satu dari tiga tipe
mekanisme yang berbeda:
10,11
a.Tipe I: keterlibatan lapisan periureteral adventitial atau infiltrasi oleh sel
tumor adalah yang paling sering dari ketiga tipe ini. Keterlibatan ini biasanya
menyebabkan kompresi dinding ureter.
b.Tipe II: Keterlibatan sebagian lapisan ureter atau keterlibatan transmural
bersama dengan adanya sel-sel tumor dalam mantel otot, perilymphatic, dan /
atau lapisan pembuluh darah ureter.
c.Tipe III: Keterlibatan mukosa lokal ureter dengan atau tanpa lapisan
muskularis, dan nodul submukosa, adalah yang jarang terjadi.
Jaringan lunak periureteral adventitial merupakan jaringan longitudinal,
pembuluh darah berkembang sangat baik di lapisan ini. Inilah yang menyebabkan
metastase hematogen lebih sering terjadi di jaringan periureteral, dan lapisan jaringan
periureteral dari ureter inilah yang pertama kali terlibat dalam metastasis ke ureter.
Selanjutnya, infiltrasi adventitial periureteral terjadi karena deposisi sel tumor di
pembuluh darah, yang kemudian mulai tumbuh tegak lurus dengan aksis ureter.
Muscularis dan mukosa ureter, di sisi lain, disuplai arteriol yang lebih kecil yang
berjalan tegak lurus ke sepanjang ureter. Jadi, keterlibatan muscularis dan lamina
propria terjadi sebagai hasil ekstensi langsung atau sepanjang saluran pembuluh
7

darah. Selain itu, meskipun jarang ulserasi mukosa dapat terjadi. Metastasis
transmural terjadi karena deposisi sel tumor di dalam muscularis yang diikuti oleh
penyebaran melingkar yang mengarah ke pembentukan striktur dari segmen ureter
yang terlibat. Mekanisme pembentukan nodul submukosa dengan atau tanpa invasi
mukosa adalah transportasi sel tumor implant (yang masuk ke urin) menuju lamina
properia dengan perforasi arteriol.
11
Ureter tidak memiliki jaringan longitudinal pembuluh darah dan getah bening
di dalam dindingnya (intramural); jadi, mereka relatif resisten terhadap sisa metastase
sel tumor dengan rute hematogen dan limfatik (dua rute metastase malignansi primer
yang paling umum terjadi). Selanjutnya, aliran limfe di ureter bawah menuju ke
bawah, sedangkan aliran di organ panggul mengalir berlawanan arah. Ini
menciptakan efek berlawanan arus dan dengan demikian dapat bertindak sebagai
penghalang terhadap deposisi metastasis sel tumor di dinding ureter.
10
Keterlibatan metastase ureter tipe I dan tipe II menyebabkan pembentukan
striktur, atau bahkan obstruksi ureter dengan atau tanpa massa yang terkait. Tipe III
dapat bermanifestasi sebagai gangguan pengisian dalam lumen ureter yang terlihat
secara radiografi. Metastasis ureter mungkin melibatkan setiap bagian dari ureter dan
keterlibatan bilateral terjadi pada sekitar 25% hingga 70% kasus. Keterlibatan lapisan
periureteral lebih sering terjadi daripada nodul transmural dan submukosa.
11,12

Metastasis tumor ureter biasanya menyebabkan obstruksi ureter mekanik.
Mekanisme ini meliputi deposit tumor metastatik, tekanan ekstrinsik langsung, reaksi
fibroblastik / sklerosis yang kuat yang menyebabkan pembentukan striktur, fibrosis
dengan traksi pada segmen ureter mengakibatkan obstruktif angulasi, atau bahkan
invaginasi segmen ureter atas menuju ke bagian bawah. Interferensi dengan saraf dan
suplai darah, juga edema, menyebabkan berkurangnya aktivitas peristaltic dan
hydroureter yang dihasilkan.
12
2.2.3.1.2 Ekspansi Massa
8

Pada fase awal invasi stroma, kanker serviks mungkin tidak menghasilkan
gejala klinis yang jelas, oleh karenanya dikenal sebagai penyakit invasif praklinis.
Bentuk paling awal dari kanker invasif secara histologis dikenal sebagai microinvasif
carcinoma: kanker yang menginvasi tidak lebih dari kedalaman 5 mm dan luas 7 mm
ke dalam stroma serviks yang mendasarinya. Kanker invasif dini muncul sebagai
tunas kecil sel invasif yang menembus melalui membran basal dan didorong ke
stroma yang mendasarinya (Gambar 2.1.3.1.1 dan 2.1.3.1.2). Dengan perkembangan
invasi stroma, penyakit ini menjadi jelas secara klinis, dengan beberapa pola
pertumbuhan. Lesi yang sangat awal dapat muncul kemerahan, area granular yang
berdarah saat disentuh (Gambar 2.1.3.1.3). Kanker yang lebih lanjut bisa bersifat
exophytic, endophytic atau kombinasi keduanya (Gambar 2.1.3.1.4-2.1.3.1.6).
10
Gambar 2.1.3.1.1 Histologi-invasi stromal awal (x40)
10
9

Gambar 2.1.3.1.2 Histologi-invasi stroma awal (x10)
10
Gambar 2.1.3.1.3 Kanker serviks invasive awal
10
Gambar 2.1.3.1.4 Kanker serviks invasif
10
10

Gambar 2.1.3.1.5 Kanker serviks invasif
10
Gambar 2.1.3.1.6 Kanker serviks invasif fase lanjut dengan pertumbuhan
ulseroproliferatif
10
Karsinoma exophytic biasanya superfisial invasif dan sebagian besar tumbuh
ke dalam lumen vagina menyerupai cauliflower. Kanker endophytic dapat
menginfiltrasi stroma secara ekstensif, mendistorsi serviks, tanpa banyak
pertumbuhan permukaan yang terlihat. Lesi ini dapat meluas ke endoserviks
meninggalkan epitel skuamosa serviks yang intak hingga lesi melebihi diameter 5-6
cm. Kemudian lesi akan melebar, ireguler, serviks yang terlihat kasar, dengan
permukaan papiler atau granular. Lesi kanker ini mungkin tetap diam untuk waktu
yang lama. Sebagian tumor exophytic dan endophytic biasanya mengalami ulserasi
dengan infiltrasi dalam pada stroma yang mendasarinya, berdarah saat disentuh dan
nekrosis adalah gambaran klinis yang dominan. Ketika invasi terus berlanjut, secara
11

langsung akan melibatkan vagina, parametrium, dinding samping panggul, kandung
kemih dan rektum. Kompresi ureter akibat penyakit lokal lanjut menyebabkan
obstruksi ureter dengan hidronefrosis dan akhirnya, gagal ginjal. Metastasis kelenjar
limfa regional terjadi bersamaan dengan invasi lokal. Metastatis kanker pada kelenjar
para aorta dapat meluas melalui kapsul kelenjar dan secara langsung menginvasi
vertebra dan akar saraf. Invasi langsung dari cabang akar saraf sciatic menyebabkan
nyeri punggung, dan perambahan dari vena dinding panggul dan limfatik
menyebabkan edema anggota tubuh bagian bawah. Penyebaran hematogen ke lumbar
vertebra dan otot psoas dapat terjadi. Metastasis jauh terjadi pada fase lanjut penyakit,
biasanya melibatkan kelenjar para aorta, paru-paru, hati, tulang dan struktur lainnya.
14
Uropati obstruktif terjadi ketika aliran urin tersumbat di beberapa titik di
saluran kemih, dan urin terakumulasi sehingga menjadi obstruksi, dalam hal ini
diakibatkan oleh faktor ekstrinsik yaitu metastasis kanker serviks. Kejadian ini
meningkatkan tekanan dan melebarkan daerah yang terkena yaitu panggul, ginjal,
calyces, dan ureter. Peningkatan tekanan ureter juga menghasilkan aliran balik
pielotubular, pyelovenous, dan pirelolymphatic yang meningkatkan risiko sepsis
sistemik dengan adanya infeksi. Oleh karena itu, obstruksi yang terjadi bersamaan
dengan infeksi harus dianggap sebagai keadaan darurat urologis. Ginjal yang melebar
juga lebih cenderung mengalami trauma.
14
Pada awalnya, sel-sel kanker menginvasi stroma serviks di mana terdapat
jalan ke rongga vaskular-limfe. Begitu terjadi invasi ke rongga vaskular-limfe, maka
risiko penyebaran ekstraservikal terbuka. Kanker serviks menyebar secara kontak
langsung dengan organ yang berdekatan dan dengan embolisasi melalui saluran limfe
ke kelenjar limfe regional. Penyebaran melalui pembuluh darah jarang, kecuali untuk
tipe histologis tertentu seperti small cancer, atau adenosquamous cancer. Terdapat 3
jalur utama penyebaran langsung kanker servik: penyebaran lateral, penyebaran
inferior, penyebaran superior. Penyebaran lateral merupakan jalur utama penyebaran
kanker servik melalui kelenjar limfe paraservikal ke parametrium dan akhirnya ke
struktur dinding lateral pelvis. Tipe penyebaran ini sering kali mengenai ureter diatal,
12

sehingga menyebabkan obstruksi ureter dan bahkan hilangnya fungsi ginjal.
14
Obstruksi saluran kemih akut dapat menghasilkan sedikit perubahan yang
terlihat dalam sistem parenkim ginjal. Obstruksi kronis dapat menyebabkan ginjal
atrofi dan membesar, normal atau kecil, tergantung pada panjang dan derajat
obstruksi, serta adanya keterlibatan collecting system intrarenal atau ekstrarenal.
Sistem intrarenal, walaupun terhambat pada derajat dan durasi yang sama dengan
sistem ekstrarenal, mungkin tidak menunjukkan tingkat hidronefrosis yang sama;
Namun, tingkat kerusakan ginjal mungkin lebih buruk. Biasanya, collecting system
melebar dengan waktu dan jaringan di antara calyces menjadi menipis. Pada
akhirnya, calyces menyatu dengan septa tipis di antara mereka dan ‘rim’ atau ‘shell’
dari parenchym tetap terpisah. Perubahan mikroskopis terdiri dari dilatasi lumen
tubular, perataan epitel tubular dan peningkatan deposisi kolagen dalam interstitium
peritubular.
10,14
Uropati obstruktif dapat menyebabkan gagal ginjal dalam beberapa minggu
atau beberapa tahun. Obstruksi yang dipertahankan selama >6 minggu
mengakibatkan hidronefrosis pada ginjal yang terkena dengan kehilangan parenkim
ginjal fungsional yang tidak dapat dipulihkan. Fungsi ginjal juga dipengaruhi oleh
penghalang jangka pendek. Mustonen et al menemukan bahwa fungsi glomerulus dan
tubular sebagian membaik selama bulan pertama setelah koreksi obstruksi segera.
Namun, beberapa bulan kemudian, separuh pasien masih menunjukkan kerusakan
glomerulus, muncul sebagai albuminuria, dan kerusakan tubular, menunjukkan
peningkatan mikroglobulin alfa 1. Model hewan telah menunjukkan bahwa proses
apoptosis fibrotik dan tubular berlanjut selama beberapa minggu meskipun obstruksi
sudah diatasi.
14
Perubahan hemodinamik dengan Unilateral Ureteral Occlusion (UUO)
Unilateral Ureteral Occlusion (UUO) atau oklusi ureter unilateral
menghasilkan peningkatan transien aliran darah ke ginjal dan diikuti dengan
vasokontriksi progresif. Terdapat perbedaan diantara UUO dan BUO (Bilateral
Ureteral Occlusion) dimana perbedaan ini termasuk dalam hal pola hemodinamik dan
faktor lain yang mempengaruhi GFR. Jumlah zat vasoaktif turut berperan dalam
13

perubahan RBF dan GFR. Pola hemodinamik sangat bervariasi selama proses
obstruksi dan dapat terkait dengan kombinasi hormon vasoaktif yang tersintesis dan
dilepaskan dalam kecepatan yang berbeda, kerusakan fisik glomerolus dan unit-unit
tubular serta mekanisme kompensasi ekstrarenal.
14
Perubahan hemodinamik pada UUO terbagi sedikitnya dalam tiga fase: fase
pertama, selama 2 jam pertama akan ada peningkatan tekanan ureter dan aliran darah
ginjal. Kemudian, meskipun tekanan ureter dan parenkim ginjal lebih besar,
ketahanan intrarenal terhadap aliran darah menurun. Fase kedua, dikarakteristikkan
oleh peningkatan ketahanan intrarenal. Kemudian, diawali oleh tekanan ureter yg
tetap naik, aliran darah ginjal mulai menurun. Pada fase ketiga, ketika aliran darah
ginjal menurun, tekanan ureter juga menurun dan mendekati nilai normal.
14
Gambar 2.2 Hubungan Triphasic antara aliran darah ginjal ipsilateral dan
tekanan ureter kiri selama 18 jam oklusi.
14
14

Pada fase I, aliran darah renal dan tekanan ureter meningkat bersamaan.
Pada fase II, aliran darah ginjal kiri mulai menurun dan tekanan ureter tetap
meningkat.
Pada fase III, aliran darah ginjal kiri dan tekanan ureter menurun bersama-
sama.
Adapun perubahan hemodinamik yang terjadi akibat oklusi ureter adalah :
(1) Perubahan secara umum
Pada obstruksi terjadi kenaikan tekanan intrarenal yang diikuti dilatasi
bagian proksimal dari obstruksi. Ginjal edema, hemoragis dan dapat
terjadi ekstravasasi urin ke daerah sekitarnya. Pada saat ini terjadi
pembentukan prostaglandin E2 (PGE) diikuti peningkatan Tromboxan
A2. Adanya tromboxan A2 akan menyebabkan vasokontriksi arteriol
aferen sehingga terjadi iskemi ginjal dan diikuti penurunan filtrasi
glomerolus.
14
(2). Perubahan histologi
Penurunan laju filtrasi glomerolus akan diikuti kenaikan tekanan intra
tubulus dan menyebabkan dilatasi dan pemipihan tubulus serta penebalan
pada kapsul glomerolus. Papil ginjal menjadi gepeng, distorsi, iskemi
lokal dan berakhir nekrosis. Parenkim ginjal akan mengalami penebalan
disertai deposisi fibroblast, sel-sel mononuklear dan sel-sel kolagen pada
korteks.
14
(3). Perubahan fisiologis
Selama obstruksi, perubahan fisiologis yang terjadi berhubungan dengan
renal blood flow (RBF), ureteral pressure (UP) dan glomerular filtration
(GFR). Peningkatan tekanan ureter, ginjal dan menurunnya RBF akan
menyebabkan atrofi dan nekrosis sel.
14
Kerusakan ginjal yang terjadi disebabkan karena iskemi (penurunan aliran
darah ginjal sampai 50-75%). Selama iskemia, konsentrasi hipoxantin pada jaringan
15

meningkat sampai 10-300 kali. Keadaan ini akan merusak ginjal apalagi ginjal juga
merupakan organ yang mempunyai konsentrasi feritin dan haem protein yang tinggi
sehingga dengan keadaan yang iskemia ia akan menjadi sensitif terhadap radikal
bebas oksigen. Iskemia karena obstruksi akan menyebabkan kerusakan sel yang lebih
berat. Iskemia merupakan salah satu faktor atau penyebab terbentuknya radikal bebas
oksigen yang menyebabkan kerusakan sel. Faktor lain adalah reperfusion injury,
radiasi, inflamasi dan faktor kimia.
14
Kerusakan sel terjadi karena pengaruh langsung (direct damage) terhadap
DNA, protein dan atau lipid dan secara tidak langsung (secondary damage) akibat
meningkatnya ion Ca2+ dan mungkin Fe2+ intraseluler. Ca2+ dapat merangsang
protease dan nuklease yang akan merusak DNA dan sitoskeleton. ATP akan semakin
berkurang dan bila keadaan ini berlanjut akan menyebabkan kerusakan sel yang
pemanen (irreversible cell injury-cell death). Sebaliknya jika oksigenasi segera
dipulihkan maka jejas sel akan kembali nomal.
14
Perubahan hemodinamik dengan Bilateral Ureteral Occlusion (BUO)
Pada pasien UUO dan BUO, terjadi defek pada glomerulus dan tubulus yang
sama. Namun, waktu dan regulasi untuk perubahan ini berbeda. Pada UUO,
vasodilatasi ginjal dimediasi oleh prostaglandin dan NO diikuti oleh vasokontriksi
dan normalisasi tekanan intratubular-ureter dngan ginjal kontralateral ikut
berkontraksi untuk keseimbangan cairan. Pada BUO, vasodilatasi muncul sedikit
lebih awal dan vasokontriksi juga ditemukan. Ketika obstruksi terjadi, diuresis post
obstruksi lebih besar pada BUO karena volume ekspansi, urea dan osmolitas lain,
serta sekresi ANP yang berperan dalam diuresis dan natriuresis. Dalam
kesimpulannya, UUO dan BUO akan meningkatkan ketahanan vaskular ginjal dan
pada BUO tekanan ureter meningkat lebih tinggi.
14

16

Obstruksi ureter total
Obstruksi ginjal
O2
Iskemia
ATP
Radikal bebas oksidan
Kerusakan ginjal
(makroskopis, mikroskopis, fungsional dan laboratorium)
Gambar skema 2.1 Patogenesis kerusakan ginjal dari obstruksi ureter total
14
Obstruksi ureter parsial
Meskipun kebanyakan obstruksi saluran kencing mempelajari obstruksi
komplit melebihi interval yang tepat, 24 jam, banyak kondisi klinis yang melibatkan
obtruksi parsial dengan waktu yang bervariasi. Model obstruksi parsial sering pada
obstruksi perinatal dimana pertumbuhan ginjal dan diferensiasi seperti hemodinamik
dan ekskresi. Dalam banyak kasus, perubahan dalam hemodinamik ginjal dan dalam
fungsi tubulus terjadi lebih akut sedangkan obstruksi tipe komplit berkembang lebih
lambat.
14
Efek obstruksi pada fungsi tubulus
Abnormalitas fungsi tubulus sangat umum terjadi pada nefropati obstruktif.
Tempat-tempat yang umumnya terjadi fungsi abnormal berlokasi pada segmen distal
nefron. Abnormalitas tubulus meliputi gangguan mengkonsentrasikan urin, gangguan
reabsorpsi larutan dan air, serta gangguan sekresi hidrogen dan potassium. Pada
17

UUO, ginjal yang tidak mengalami obstruksi mengalami fungsi normal dimana hal
ini mengimbangi ginjal post obstruksi untuk menyerap cairan dan zat terlarut.
14
Kemampuan mengkonsentrasikan urin
Pasien dengan nefropati obstruktif kronik memiliki gangguan kemampuan
untuk mengkonsentrasikan urin. Anak dengan uropati obstruktif dapat mengalami
dehidrasi dan hipernatremia karena gangguan reabsorpsi air. Kemampuan
mengkonsentrasikan urin normal memerlukan gradient interstitial medulla yang
hipertonik karena reabsorpsi garam aktif dari lengkung Henle ascenden, aliran balik
urea dari duktus kolektivus medulla interna dan permeabilitas dari duktus kolektivus
dimediasi oleh vasopressin dan chanel air aquaporin. Nefropati obstruktif dapat
merusak beberapa atau semua mekanisme dan dapat menyebabkan defisit dalam
mengkonsentrasikan urin.
14
Dalam fisiologi normal, arginin vasopressin (AVP) disekresikan dalam aliran
darah dari kelenjar pituitari posterior dalam respon untuk meningkatkan osmolalitas
serum atau reduksi volume sirkulasi. AVP berikatan dengan reseptor V2 vasopresin
yang berlokasi pada permukaan basolateral dari sel-sel duktus kolektivus. Ini memicu
signaling protein G, yang menghasilkan generasi dari cAMP. Generasi cAMP
mengaktivasi protein Kinase A, yang menstimulasi fusi dari vesikel sitoplasma, yang
berisi aquaporin 2 (AQP2) dengan membrane apeks dari sel-sel duktus kolektivus.
Fusi ini menyebabkan membran yang impermeabel terhadap air menjadi permeabel.
Ini menyebabkan absorpsi transelular air melalui chanel AQP2, yang diangkut oleh
aquaporin 3 (AQP3) dan chanel aquaporin 4 (AQP4) yang berlokasi pada membrane
sel basolateral ke dalam interstitial. Rangkaian peristiwa ini diatur oleh gradien
osmotik natrium. Aquaporin lainnya (AQP1) banyak pada tubulus proximal ginjal,
bagian tipis lengkung Henle descenden dan vasa recta descenden ginjal. Ini
menyebabkan terjadinya konsentrasi urin melalui fasilitasi transport air dari lengkung
Henle descenden ke dalam interstitium.
14
Dalam kesimpulannya, gangguan mengkonsentrasikan urin dalam obstruksi
berkaitan dengan:
18

1.Penurunan perpindahan larutan dari lengkung Henle ascenden bagian tebal
2.Penurunan dalam jumlah total nefro-nefron
3.Washout solut dari medulla sehingga meningkatkan aliran darah medulla
4.Penurunan respon hidro osmotik dari duktus kolektivus korteks terhadap
hormon antidiuretik
Peranan substansi vasoaktif pada nefropati obstruktif
Perubahan aliran darah ginjal dan GFR selama dan setelah pelepasan obtruksi
dimediasi oleh tiga sistem hormon vasoaktif yang terdapat di ginjal. Tiga sistem ini
adalah renin-angiotensin, prostaglandin-tromboxan, kalikrein-kinin yang
memproduksi hormon vasoaktif yang dapat meningkatkan (prostaglandin E2 (PGE2),
prostacyclin dan kinin) atau menurunkan (angiotensin II, tromboxan A2) aliran darah
ginjal dan GFR. Masing-masing hormon efektor dari tiga sistem ini tidak hanya
bekerja langsung pada vaskularisasi ginjal tetapi juga mempengaruhi level atau
aktivitas dari kedua sistem lainnya. Angiotensin II juga turut berperan dalam
modulasi inflamasi dan kematian sel dalam regulasi terjadinya fibrosis interstisiil.
14
Transpor natrium
Penurunan transport natrium dalam nefron menambah peranan dalam
penurunan kemampuan ginjal post obstruksi untuk mengkonsentrasikan urin. Saat
UUO hilang setelah periode oklusi 24 jam, total ekskresi urin adalah normal sampai
meningkat. Ginjal kontralateral akan mengkompensasi kehilangan natrium. Selain itu
terjadi pula peningkatan fractional excretion of sodium (FENa) dalam ginjal yang
terobstruksi tadi. Pada BUO, ANP (Atrial Natriuretic Peptide) tampak memiliki
peranan penting pada diuresis natrium namun pada UUO terjadi kerusakan pada
transport natrium.
14
Transpor kalium.
Obstruksi memiliki pengaruh yang kompleks terhadap pengaturan kalium
ginjal, tergantung tipe obstruksinya. Harris dan Yarger (1975) melaporkan adanya
penurunan dalam ekskresi K
+
untuk menurunkan GFR, setelah hilangnya periode
19

oklusi 24 jam dari UUO. Hal ini mengakibatkan penurunan transport natrium ke
nefron distal dan lambatnya laju volume aliran turut memperkecil gradien
transmembran untuk sekresi K
+
. Sebaliknya ekskresi K
+
meningkat secara parallel
dengan ekskresi Na pada BUO yang mulai membaik. Tingginya level ANP juga
dapat turut mensekresi K
+
pada nefron ginjal.
14
Gangguan dalam asidifikasi urin dan transport ion hidrogen
Obstruksi menyebabkan gangguan dalam asidifikasi urin. Defek asidifikasi
utama berada pada distal nefron. Hilangnya obstruksi tidak meningkatkan ekskresi
bikarbonat. Namun sebaliknya, pH urin tidak menurun setelah adanya timbunan asam
yang tampak sebagai indikasi dari defek asidifikasi dari nefron distal, namun hal ini
lebih terkait dari adanya defek dari transport H
+
, pada duktus kolektivus. Sejumlah
penyebab gangguan asidifikasi seperti adanya defek pada H
+
-ATPase, atau H
+
K
+
-
ATPase, pertukaran Cl
-/
HCO3
-
, atau kebocoran proton ke dalam interstisiil ginjal.
Obstruksi menurunkan ekspresi H
+
-ATPase pada membrane apex dari sel-sel
intercalating dari duktus kolektivus. Defek asidifikasi urin dan asidosis metabolik
setelah terjadinya BUO berkorelasi dengan ekspresi dari pertukaran Na
+
/H
+
(NHE3)
pada korteks, penurunan elektrogenik kotranspor Na
+
/HCO3
-
dan pendrin, suatu
penukar anion. Temuan ini mendukung perubahan sekresi proton dan bikarbonat/
transport anion dalam defek asam basa setelah hilangnya obstruksi.
14
Perubahan patologi dan mekanisme atropi dan destruksi nefron
Perubahan morfologi yang terjadi pada ginjal sebagai konsekuensi obstruksi
dapat berperan sebagai penyebab utama kerusakan parenkim. Perubahan ini termasuk
(1) penurunan aliran darah ginjal, (2) pelebaran ruang intersel dan sebagai
konsekuensinya, terdapat peningkatan jarak diantara kapiler peritubulus dan sel-sel
tubulus ginjal, (3) invasi interstisial ginjal oleh makrofag dan sel sel T (4) dan sering
superimposed dengan infeksi bakteri. Obstruksi parsial kronik menyebabkan ginjal
hidronefrosis dengan dilatasi pelvis ginjal dengan papilla ginjal memipih. Struktur
pertama yang terkena adalah duktus Bellini dan struktur papilla lain juga terkena.
20

Secara histologi, perubahan inisiasi dari hidronefrosis termasuk dilatasi dari
sistem tubulus, utamanya pada duktus kolektivus dan segment distal tubulus.
Pemipihan sel dan atropi dari sel terjadi pada tubulus proximal. Dalam banyak kasus,
arsitektur glomerolus terjaga meskipun dengan obstruksi akut ruang Bowman dapat
terdilatasi dan dengan obstruksi kronik yang berkepanjangan dapat mengakibatkan
munculnya obstruksi periglomerolus. Sel-sel invasif seperti makrofag, juga
berperanan dalam proliferasi sel-sel interstitial dan pelebaran ruang-ruang interstitial.
Pada kesimpulannya, tahap awal atrofi dikarakteristikkan dengan reduksi mitokondria
dan membran sel seperti respon adaptif untuk menurunkan beban filtrasi.
14
Mekanisme molekular dan selular menyebabkan kematian sel tubulus
melalui apoptosis
Obstruksi ginjal menyebabkan atrofi tubulus dan kematian sel. Mekanisme
utama sel-sel tubulus mati adalah peristiwa apoptosis, suat proses normal pada
perkembangan post natal dan pembaharuan jaringan pada dewasa. Proses ini dapat
dipacu oleh faktor intrinsik dan ektrinsik sehingga menghasilkan degradasi dan
kondensasi nukleus. Sel-sel kedepannya akan didegradasi ke dalam apoptosis bodies,
dimana pada akhirnya di fagositosis oleh sel-sel sehat tanpa menginduksi proses
inflamasi.
14
Sel-sel glomerolus tampak resisten terhadap apoptosis yang terinduksi oleh
obstruksi. Patologi apoptosis sel-sel tubulus dari obstruksi memacu respon inflamasi
sekunder dari pelepasan sitokin dan rekruitmen leukosit. Meskipun proses-proses
yang menyebabkan apoptosis ginjal, inflamasi, dan fibrosis memiliki jalur dan
mediator yang berbeda, namun pada umumnya semuanya saling terkait. Apoptosis
adalah peristiwa selular primer yang menyebabkan toksik dan iskemik. Walaupun
apoptosis merupakan program kematian sel tanpa inflamasi, namun kerusakan sel
yang terjadi menyebabkan pelepasan isi sel dan mengaktivasi faktor transkripsi
seperti NFkB untuk menstimulasi produksi dari sitokin proinflamasi. Clearance dari
debris apoptosis melalui fagositosis secara langsung menstimulasi fibrogenesis pada
21

banyak jaringan, dan fibrosis yang terkait trauma jaringan turut menginduksi ekspresi
gen pro-apoptosis seperti Fas/Fasl.
14
Perubahan selular dan molekular menyebabkan fibrosis
Obstruksi saluran kencing menyebabkan perubahan progresif dan permanen
terhadap struktur ginjal termasuk perkembangan fibrosis tubulointerstitial, atrofi
tubulus dan apoptosis serta inflamasi interstisiil. Sejumlah sitokin dan growth factor
berperan dalam peristiwa ini seperti Transforming growth factor beta (TGF-β),
angiotensin II, NFkB, dan TNF-α. Beberapa diproduksi langsung oleh tubulus ginjal
dan sel-sel interstitial sedangkan yang lainnya dari infiltrating makrofag.
14
Fibrosis tubulointerstisial berkembang sebagai akibat dari sintesis matriks
ektraseluler dan dideposit lebih besar dari yang didegradasi. Peningkatan matriks
terjadi karena kolapnya volume parenkim akibat rusaknya nefron (Hewitson 2009).
Enzim mettaloproteinase (MMPs) yang termasuk kolagenase, secara normal
mendegradasi komponen kolagen dan non kolagen dari matriks ektraseluler.
Obstruksi meningkatkan sintesis dari tissue inhibitors of metallopoteinases (TIMPs)
yang mengurangi aktifivitas MMPs, yang menyebabkan akumulasi dari matriks
ektraseluler.
14
Pada kesimpulannya, obstruksi dari aliran urin normal menyebabkan
perubahan fungsional, hemodinamik, imunologi dan biokimia. Hal ini menstimulasi
cascade peningkatan level angiotensin II, sitokin, dan growth factor yang
menyebabkan apoptosis sel tubulus dan inflasi selular, meningkatkan formasi
matriks, dan fibrosis interstisial. Banyak mediator merupakan intrinsik dari sel-sel
tubulus ginjal, dimana yang lainnya dikontribusikan oleh fibroblast dan makrofag
yang bermigrasi.
Konsekuensi klinis dan fungsi ginjal dari obstruksi saluran kencing, tergantung
dari perkembangan ginjal saat terjadi obstruksi, derajat keparahan obstruksi, dan
ketika obstruksi mempengaruhi salah satu atau kedua ginjal.
14
22

Gambar skema 2.3 Ringkasan jalur umum proses terjadinya fibrosis
interstisial dan apoptosis tubular sebagai akibat dari obstruksi ureter (Singh,
2012).
* ang II, angiotensin II; HGF, human growth factor; HSPs, heat shock proteins; IGF, insulin-like
growth factor; JAK/STAT, Janus kinase/signal transducers and activators of transcription; mφ,
macrophages; MAP, mitogen-activated protein; NF-κB, nuclear factor κB; TGF, transforming growth
factor; TNF, tumor necrosis factor; TNFR1, tumor necrosis factor receptor 1.
Perubahan Patologi dari Obstruksi
Perubahan patologi makroskopik dan mikroskopik dapat terjadi pada
obstruksi saluran kencing. Hal ini dipengaruhi oleh adanya infeksi, durasi obstruksi,
dan lokasi intra atau ektra pelvis renalis.
14
Temuan Patologi Makroskopis
Ginjal yang mengalami obstruksi total mengalami pembesaran, kistik,
dan beratnya lebih ringan dari unit ginjal kontralateral 6 minggu setelah
obstruksi. Namun perubahan ini tidak tampak pada interval ini pada ginjal
yang mengalami obstruksi sebagian.
23

Gambar 2.4 Ginjal babi setelah 3 minggu obstruksi ureter total
16
Ginjal di atas menunjukkan moderate advanced nefropati obstruktif.
Terlihat penyempitan substansi ginjal, retraksi papilla, dan kehadiran penyakit
fokal.
Temuan Patologi Mikroskopis
Penyebaran kolaps glomerolus dan atropi tubulus, fibrosis interstisiil
dan proliferasi jaringan ikat dalam system kolektivus dilaporkan 5-6 minggu
setelah obstruksi pada model porcine.
Gambar 2.5 Potongan dari deep cortex and outer medulla dari pasien dengan
obstruksi uropati kronik. Tubulus menujukkan thyroidization-type atrophy diselingi
24

dengan infiltrat inflamasi mononuklear. Hematoxylin and eosin stain; original
magnification, ×25.
14
Gambar 2.6 Potongan dari deep cortex and outer medulla dari pasien dengan obstruksi
uropati kronik. Obsolescent glomerulus (tepi kiri) dan tampak kumpulan ektravasasi protein
Tamm-Horsfall protein (pusat). Pewarnaan hematoxylin dan eosin; original magnification,
×25.
14
Gambar 2.7 Potongan dari deep cortex and outer medulla dari pasien dengan obstruksi
uropati kronik.. Glomerulus dengan skerosis tuft segmental (pusat) and tampak hyalinosis.
Pewarnaan Hematoxylin and eosin ; original magnification, ×100.
14
25

Gambar 2.8 Mikroskop elekron menginformasikan temuan mikroskopik yang meliputi adanya atrofi tubulus,
kolaps glomerolus, dan atrofi otot polos pelvis renal pada 5 atau 6 minggu setelah obstruksi. Elektron
mikroskop juga menjelaskan perubahan lain termasuk cell-poor stroma yang terdiri atas serat kolagen dan
elastin pada interstisiil ginjal dan system kolektivus yang mengalami obstruksi.
Gambar A. Scaning dari mikroskop elektron electron tampak silinder glomerolus normal normal (×390). B,
tampak silinder mikrovaskular glomerolus setelahobstruksi menunjukkan iregularitas dan kolaps dari kapiler
(×390).
14
26

2.2.3.2 Manifestasi klinis
Gambaran klinis uropati obstruktif tergantung pada luas (parsial atau total),
durasi (akut atau kronis), dan lokasi obstruksi (Tabel 2.4). Pasien uropati obstruktif
dapat tidak ada keluhan apapun (asimptomatik) meskipun dalam kondisi obstruksi
yang berat, khususnya ketika obstruksi tersebut terjadi secara bertahap.
Anamnesis & Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Laboratorium
Asimtomatik (hidronefrosis kronis)
Nyeri intermiten (hidronefrosis kronis)
Kolik ginjal (biasanya disebabkan oleh
batu ureter atau nekrosis papiler)
Perubahan output urin
Anuria atau oliguria (gagal ginjal akut)
Poliuria (obstruksi sebagian atau tidak
lengkap)
Fluktuasi output
Hematuria
Teraba masa pada daerah Flank
(hidronefrotik ginjal, biasanya pada
bayi) atau Suprapubic
Hipertensi
Infeksi saluran kemih berulang atau
infeksi refrakter terhadap pengobatan
Gejala gangguan saluran kemih bagian
bawah: dysuria, urgensi, inkontinensia,
penurunan pancaranurin, nokturia.
Peningkatan kadar nitrogen urea
darah dan kreatinin serum tanpa
gejala lainnya (hidronefrosis
kronis)
Asidosis hiperkalemik,
hiperkloremik (biasanya
disebabkan oleh sekresi hidrogen
dan kalium tubulus yang rusak)
Hipernatremia (terlihat pada bayi
dengan obstruksi parsial dan
poliuria)
Polycythemia (peningkatan
produksi eritropoietin ginjal)
Tabel 2.2 Manifestasi klinis dan hasil laboratorium dari uropati obstruktif.
27

2.2.3.3 Skrining dan Penegakan Diagnosis Ca Serviks serta Uropathy
Obstruktif
1.Penegakan Diagnosa
a.Anamnesis
Kanker serviks umumnya tidak memunculkan gejala hingga sel-sel serviks
yang abnormal dan mengganas mulai menginvasi jaringan sekitar. Gejala
yang pertama muncul adalah perdarahan pervaginam yang abnormal, biasanya
setelah melakukan hubungan seksual. Selain itu, dapat pula terjadi perdarahan
spontan yang terjadi di antara dua siklus 24 menstruasi (instrumenstrual
bleeding) dan perdarahan pada wanita yang sudah menopause
(postmenopausal bleeding). Secret vagina berwarna kekuningan dan berbau
busuk juga ditemukan, khususnya pada pasien dengan nekrosis jaringan yang
lama. Perdarahan spontan saat defekasi dapat pula ditemukan. Hal ini terjadi
akibat tergesernya tomur eksofitik dari serviks oleh skibala. Adanya
perdarahan abnormal pervaginam saat devekasi perlu dicurigai kemungkinan
adanya karsinoma serviks uteri tingkat lanjut. Gejala-gejala hematuria atau
perdarahan per-rektal timbul bila tumor sudah menginvasi vesika urinaria atau
rectum. Jika terjadi perdarahan kronik, maka penderita akan mengalami
anemia, kehilangan berat badan, lelah dan gejala konstitusional lainnya.
Pasien dapat mengeluhkan nyeri yang hebat. Nyeri dapat dirasakan saat
pasien melakukan hubungan seksual. Nyeri di pelvic atau di hipogastrium
dapat disebabkan oleh tumor yang nekrotik atau radang panggul. Bila muncul
nyeri di daerah lumbosakral maka dapat dicurigai terjadi hidronefrosis atau
penyebaran ke kelenjar getah bening yang meluas ke akar lumbosakral. Nyeri
di epigastrium timbul bila penyebaran mengenai kelenjar getah bening yang
lebih tinggi.
16
b.Pemeriksaan Fisik
28

Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat lesi pada daerah serviks. Beberapa
lesi dapat tersembunyi di kanal bagian endoserviks, namun dapat diketahui
melalui pemeriksaan bimanual. Semakin lebar diameter lesi maka semakin
sempit jarak antara tumor dengan dinding perlvis.
16
2.Skrining Uropathy Obstruktif yang Disebabkan Kanker Serviks
Untuk mendiagnosa uropati obstruktif dilakukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa gejala yang
dirasakan pasien dan riwayat penyakit pasien penting dilakukan. Tanda dan gejala
dari uropathy obstruktif sangat beragam tergantung pada tempat, derajat dan onset.
Nyeri merupakan gejala yang paling sering terjadi ketika obstruksi mencapai kandung
kemih, ureter, pelvis ginjal, dan calyces ginjal, atau kapsul ginjal. Lesi pelvis ginjal
atau ureter atas menyebabkan nyeri panggul, sedangkan obstruksi ureter bagian
bawah menyebabkan nyeri yang dapat menjalar ke testis atau labium ipsilateral.
Distribusi nyeri ginjal dan ureter biasanya sepanjang T11 hingga T12. Obstruksi
ureter komplit akut (misalnya, obstruksi kalkulus ureter) dapat menyebabkan nyeri
hebat disertai mual dan muntah. Nyeri biasanya minimal atau tidak dirasakan ketika
uropati obstruktif terjadi parsial atau lambat berkembang (misalnya, obstruksi
ureteropelvis junction kongenital, tumor panggul). Hidronefrosis kadang-kadang
dapat teraba seperti massa panggul, terutama pada hidronefrosis masif bayi dan anak-
anak.
16
Volume urin tidak terganggu pada obstruksi unilateral kecuali jika terjadi
pada satu-satunya ginjal yang berfungsi (ginjal soliter). Anuria absolut terjadi dengan
obstruksi total pada tingkat kandung kemih atau uretra. Obstruksi parsial pada tingkat
itu dapat menyebabkan kesulitan berkemih atau kelainan aliran urin. Pada obstruksi
parsial, urin yang keluar biasanya normal dan jarang meningkat. Peningkatan
keluaran urin dengan poliuria dan nokturia terjadi jika nefropati yang terjadi
menyebabkan gangguan kapasitas konsentrat ginjal dan reabsorpsi natrium. Nefropati
yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan hipertensi. Obstruksi yang disertai
infeksi dapat menyebabkan disuria, piuria, urgensi dan frekuensi kemih, nyeri ginjal
29

dan ureter yang dirujuk, nyeri tekan costovertebral angle, demam, dan, kadang-
kadang septikemia.
18
Deteksi dini Uropathy Obstruktive yang disebabkan kanker serviks secara
teratur sangat dianjurkan bagi setiap wanita, biasanya dimulai tiga tahun setelah
wanita aktif secara seksual atau berusia lebih dari 21 tahun. Selain dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, diperlukan deteksi dini berupa:
18
a.Pemeriksaan DNA, HPV, merupakan suatu tes laboratorium yang dapat
mendeteksi tipe-tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks.
b.Pada kasus uropathy obstruktif akibat kanker servix, tes darah rutin harus
dilakukan mencakup hitung darah lengkap, BUN, kreatinin, elektrolit, tes
fungsi hati serta urinalisis. Bila hasil BUN dan kreatinin mengindikasikan
insufisiensi ginjal, obstruksi mungkin terjadi bilateral dan parah atau komplit.
Penemuan lain, obstruksi bilateral dengan nefropati dapat disertai
hyperkalemia yang terjadi karena asidosis tubular ginjal tipe I karena
penurunan sekresi ion hidrogen dan kalium oleh nefron pada segmen distal.
X-ray dada harus dilakukan untuk mengeksklusi efusi pleura dan metastasis
paru.
c.Kateterisasi kandung kemih atau bedside ultrasonographic estimation untuk
mengetahui volume kandung kemih setelah berkemih, terkadang disetai
sistouretroskopi dan voiding cystourethrography bila terdapat kecurigaan
obstruksi uretra.
d.Urografi intravena tidak dilakukan secara rutin walaupun mungkin
menunjukkan hidronefrosis dan hidroureter. CT-scan biasanya tidak dapat
membedakan antara kanker dan pembengkakan jaringan lunak, sehingga tidak
digunakan secara rutin dalam skrining dan penentuan stadium uropathy
obstruktif akibat kanker serviks. Sebaliknya, MRI semakin banyak digunakan
sebelum operasi untuk menentukan ukuran tumor, tingkat penetrasi stroma,
ekstensi parametrial dan status kelenjar getah bening. MRI tidak
30

menimbulkan risiko radiasi dan sangat berguna dalam menentukan
penyebaran penyakit uropathy obstruktif akibat kanker serviks.
19
e.Pemeriksaan imaging bila curiga obstruksi uretra atau lebih proximal atau bila
hidronefrosis tanpa obstruksi yang jelas.
Pasien menjalani pemeriksaan imaging untuk mendeteksi tempat obstruksi.
Abdominal ultrasonography, merupakan tes imaging awal yang paling
sering dilakukan pada pasien tanpa abnormalitas uretra untuk menghindari
komplikasi toksik dan alergik dari agen kontras. Ultrasonografi bertujuan
mendeteksi hidronefrosis. False positif dapat terjadi sebesar 25% jika
hanya minimal 1 kriteria yang dipertimbangkan dalam diagnosis. Tidak
terdeteksinya hidronefrosis (false negative) jika obstruksi terjadi pada fase
awal (di beberapa hari pertama) atau ringan atau jika fibrosis
retroperitoneal atau tumor membungkus duktus kolektivus, sehingga
mencegah terjadinya dilatasi ureter.
CT adalah alat diagnose yang sensitive untuk mendiagnosa nefropati
obstruktif dan menjadi pilihan jika obstruksi tidak terlihat dengan
ultrasonografi atau dengan urografi intravena. Unenhanced helical CT
merupakan pilihan modalitas untuk obstruksi kalkuli uretra. CT urografi
dilakukan dengan atau tanpa kontras berguna untuk mengevaluasi
hematuria. Penipisan parenkim ginjal merupakan tanda obstruksi yang
lebih kronik.
Duplex Doppler ultrasonography biasanya dapat menunjukkan uropati
obstruktif unilateral pada fase awal obstruksi akut sebelum system
collecting mengalami dilatasi dengan mendeteksi peningkatan index
resistif (sebuah refleksi dari peningkatan resistensi vascular ginjal.
Modalitasini kurang berguna pada obesitas dan obstruksi bilateral, yang
tidak dapat dibedakan dengan penyakit ginjal intrinsic.
31

Exretory urography (contrast urography, intravenous pyelography (IVP),
intravenous urography (IVU), sebagian besar telah digantikan oleh CT dan
MRI (dengan atau tanpa kontras). Ketika CT tidak dapat mengidentifikasi
level uropati obstruksi dan ketikauropati obstruktif akut disebabkan oleh
kalkuli atau bekuan darah, maka IVU atau pyelografi retrograde dapat
dilakukan.
Pyelografi antegrade atau retrograde, lebih disukai untuk studi yang
melibatkan pemberian agen kontras kontras pada pasien dengan azotemia.
Studi retrograde dilakukan melalui cystoscope, sedangkan studi antegrade
membutuhkan penempatan kateter ke dalam pelvis renalis secara
perkutan. Pasien dengan obstruksi intermiten harus diketahui memiliki
gejala; jika tidak, obstruksi mungkin terlewatkan.
Radionuclide scans dapat mendeteksi obstruksi tanpa menggunakan agen
kontras. Ketika ginjal dinilai tidak berfungsi, pemindaian radionuklida
dapat menentukan perfusi dan mengidentifikasi fungsional parenkim
ginjal. Karena tes ini tidak dapat mendeteksi area obstruksi spesifik, tes ini
digunakan bersama dengan renografi diuretik untuk mengevaluasi
hidronefrosis tanpa obstruksi yang jelas.
MRI dengan dan tanpa kontras dapat digunakan ketika menghindari
radiasi ionizing (misalnya, pada anak kecil atau wanita hamil). Namun,
akurasinya lebih rendah dibandingkan ultrasonografi atau CT, terutama
dalam mendeteksi batu.
18
Jika pasien mengalami uropati obstruktif dan ternyata positif ditemukan
kanker serviks, dan diperoleh hasil Pap Smear yang abnormal, maka dibutuhkan
beberapa pemeriksaan tambahan untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui
penyebaran kanker, dan menentukan pilihan pengobatan.
32

a.Kolposkopi, merupakan pemeriksaan visual serviks uteri dengan
menggunakan alat optic khusus yang disebut kolposkop. Pemeriksaan ini
dapat mengenali dysplasia maupun karsinoma, baik in situ maupun invasive,
dengan baik.
b.Biopsi, merupakan gold standart dalam menentukan diagnosis kanker yaitu
dengan mengambil sedikit jaringan lesi kemudia diperiksa secara
histopatologik. Jaringan yang diambil harus cukup dalam serta meliputi
beberapa area di empat kuadran serviks dan beberapa area vagina yang
dicurigai.
c.Pemeriksaan visual kandung kemih dan kolon dengan sitoskopi dan
protoskopi, serta pemeriksaan imejing seperti chest X-ray, CT, MRI, dan PET
untuk mengetahui penyebaran dari kanker ke organ-organ sekitar.
18
2.2.3.4 Penatalaksanaan
Obstruksi ureter baik yang diakibatkan oleh faktor ekstrinsik (kanker serviks)
dapat bermanifestasi secara jelas dalam bentuk urosepsis, dilatasi PCS dengan
gambaran pylonefrosis, penurunan fungsi ginjal dan produksi urine, diperlukan
drainase ginjal segera. Diversi urin tersebut dapat bersifat sementara sampai prosedur
definitif layak dilakukan atau bersifat permanen sebagai sebuah tindakan definitif.
Spesimen urine yang didapat diperiksa dan dibiakkan, diperiksa pula fungsi ginjal
yang obstruktif terpisah dengan ginjal kontralateral yang normal. Jika tanda dan
gejala menunjukkan adanya infeksi dan kualitas urine hasil diversi mendukungnya,
antibiotik dapat segera diberikan.
19
Diversi urin sangat efektif pada semua pasien dengan obstruksi ureter untuk
mengontrol insufisiensi ginjal, hiperkalemia dan juga uremia bisa disembuhkan,
dengan demikian dapat meningkatkan kondisi fisik pasien dan kelangsungan hidup
keseluruhan rata-rata 5-7 bulan. Berikut akan dibahas mengenai jenis diversi urin
yang paling sering dilakukan yaitu tindakan dengan DJ stent dan PCN (percutaneous
nefrostomy).
20,21
1. DJ Stent
33

Stent ureter merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan dalam
urologi yang berfungsi untuk menjaga drainase urine agar adekuat mulai dari ginjal
sampai ke kandung kemih melewati obstruksi ureter.
11
Stent ureter pertama kali
dideskripsikan oleh Zimskind et al. pada tahun 1967. Stent ureter telah menjadi
bagian integral dari pilihan terapi urologis. Indikasi awal untuk menempatkan stent
ureter adalah untuk mengatasi obstruksi atau fistula ureter, namun indikasi saat ini
telah meningkat secara signifikan. Saat ini stent ureter sering digunakan sebagai
bypass obstruksi internal di ureter (misalnya karena batu) atau kompresi dari faktor
ekstrinsik ureter (misalnya keganasan). Stent ureter memungkinkan aliran urine
melewati lumen sistem genitourinari yang mengalami obstruksi.
21,22,25
Sejumlah komplikasi dapat timbul akibat penggunaan stent ureter. Komplikasi
awal seperti nyeri suprapubik, hematuria, frekuensi berkemih yang meningkat, dan
nyeri saat berkemih, sampai komplikasi yang lebih serius seperti infeksi, migrasi
stent, fragmentasi stent, enkrustasi, refluks vesikoureteral, dan gagal ginjal kronis
dapat terjadi. Kolonisasi bakteri stent berperan utama terjadinya infeksi yang terkait
dengan stent yang dapat berkembang menjadi sepsis dan menyebabkan kematian.
23,25
Dalam upaya mengurangi komplikasi stent, terutama infeksi yang terkait
stent, beberapa material dan pelapis stent telah dikembangkan. Biomaterial stent
ureter yang ideal belum ditemukan dan area pengembangan yang menjanjikan adalah
drug eluting stent untuk mencegah infeksi dan enkrustasi. Modifikasi stent ureter
meliputi desain, diameter, dan jenis material yang digunakan. Modifikasi permukaan
stent seperti silver coating, diamond–like coating, hydrophobicity change, atau
antimicrobial activity molecules (heparin, triclosan) telah diciptakan untuk
menghambat atau bahkan mungkin di masa depan untuk mencegah pembentukan
kolonisasi stent.
25
Karakteristik stent ureter yang ideal, meliputi mudah saat dilakukan insersi,
tidak mudah terjadi migrasi, memberikan aliran urine yang optimal, dapat ditoleransi
dengan baik oleh penderita, biokompatibel, biodurabiliti, tidak mudah terjadi
enkrustasi, tidak menyebabkan refluks, mudah terlihat dengan ultrasonografi, mudah
34

diganti dan dilepas; dan terjangkau. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka
desain stent ureter juga berkembang. Namun, harus diakui, bahwa tidak ada stent
yang tersedia saat ini dapat memenuhi semua kriteria stent yang "ideal".
25
Gambar 2.9 Double-J Stent Ureter.
26
Stent ureter ditempatkan secara endoskopi melalui kandung kemih atau secara
perkutaneus menuju ginjal maupun saat operasi terbuka. Penempatan stent ureter
menggunakan guidewire melewati sidehole di bagian distal, sampai ke ujung
proksimal, tujuannya untuk meluruskan stent saat penempatan dengan sitoskopi.
Sideholes membantu drainase dan tanda hitam di kedua ujungnya stent memfasilitasi
visualisasi curl saat menempatkan stent secara visual melalui sistoskopi (gambar
2.3). Guidewire dimasukkan terlebih dahulu dari distal sideholes ke arah proksimal
atau sebagai alternatif lain ujung distal stent dapat dipotong. Begitu stent
ditempatkan, guidewire ditarik, membiarkan stent terbentuk di bagian ginjal dan
kandung kemih, seperti tampak pada gambar 2.4 di bawah ini. Penempatan stent saat
operasi terbuka adalah dengan dengan memasukkan guidewire melalui sidehole di
tengah stent. Stent dilepas dengan endoskopi menggunakan forseps kaku atau
fleksibel untuk menangkap ujung distal distal di kandung kemih, menariknya
bersamaan dengan sistoskopi.
26
35

Pelepasan stent pada perbaikan uropathy obstruktif yang telah menjadi
hidronefrosis hanya mungkin pada sejumlah kecil pasien dan variasi tingkat dengan
penyebabnya.

Ketika melakukan pemasangan stent ureter, pasien harus memiliki
pertanyaan; apakah akan ada kemungkinan stent dilepas di masa depan. Ada kasus di
mana pelepasan stent tidak mungkin, bahkan jika penyakit primer sembuh.
26
Dengan demikian, kemungkinan pelepasan stent ureter tergantung pada
penyebabnya. Pada sekitar sepertiga dari kasus di mana penyebabnya adalah tumor,
penarikan stent menjadi mungkin setelah perawatan medis dari penyakit primer.
26
Gambar 2.10 Penempatan stent ureter secara endoskopi
26
2. Nefrostomi
Jika drainase melalui DJ stent tidak efektif atau bahkan gagal
terpasang, nefrostomi harus dipertimbangkan terutama bila cairan yang
terakumulasi di PCS yang obstruktif bersifat purulen (pyonefrosis). Dengan
nefrostomi, penilaian fungsi ginjal secara terpisah antara yang obstruktif dan
yang kontralateral bisa dilakukan sehingga tindakan definitif terkait ginjal
obstruktif bisa ditentukan. Nefrostomi dapat dilakukan dalam anestesi lokal
maupun general dengan tuntunan ultrasonografi maupun fluoroscopy.
Nefrostomi tidak dapat dilakukan bila terdapat koagulopati dan gangguan
platelet. Komplikasi mayor tindakan nefrostomi adalah perdarahan dan cedera
36

organ lain. Perlu dilakukan edukasi kepada penderita agar secara berkala
melakukan penggantian kateter nefrostomi.
22,24
Nefrostomi perkutan merupakan pilihan yang baik untuk diversi urin
pada kasus uropati osbtruksi yang disebabkan oleh keganasan stadium lanjut.
Komplikasi utama pemasangan nefrostomi adalah perdarahan. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa metode diversi urin secara nefrostomi
perkutan adalah metode yang aman, cepat dan lebih baik daripada DJ stent
untuk manajemen uropati obstruksi dengan insiden komplikasi yang lebih
rendah.
24
Pada pasien yang dirawat dengan harapan hidup yang lama,
nefrostomi perkutan efektif untuk melindungi fungsi ginjal. Dalam
pengobatan pasien, nefrostomi perkutan efektif untuk memperbaiki fungsi
ginjal dan memungkinkan terapi definitif dalam banyak kasus.
24
Obstruksi ureter maligna dengan hidronefrosis dan uremia adalah
komplikasi buruk kanker serviks stadium lanjut. Nefrostomi perkutan dapat
memperbaiki uremia. Oleh karena itu sampai saat ini, nefrostomy tergolong
aman, layak dan harus dilakukan dalam kasus yang dipilih dengan cermat.
29

Gambar 2.11 Nefrostomi perkutaneus
24
37

2.2.3.5 Prognosis
Prognosis pada kanker serviks tergantung dari stadium kanker. Pada
pengobatan 5 tahun pada stadium awal memiliki prognosis yang lebih baik atau
invasif sebesar 92%, survival rate 5 tahun secara keseluruhan stadium kanker serviks
sebesar 72%. Prognosis pada kanker yang sudah bermetastasis ke organ lain pasti
memiliki prognosis yang lebih buruk dikarenakan pengobatan pada lesi lokal lebih
baik dibandingkan pengobatan sistemik seperti kemoterapi. Dengan pengobatan 80-
90% wanita dengan kanker stadium I dan 50%-65% dari mereka dengan kanker
stadium II masih hidup 5 tahun kemudian setelah terdiagnosis. Sekitar 25%-35%
pada wanita dengan kanker stadium III dan 15% atau lebih dari kanker stadium IV
yang dapat hidup setelah 5 tahun.
18
Percutaneous Nephrotomy (PCN) atau nefrostomi perkutan merupakan
prosedur awal yang sangat baik untuk meringankan obstruksi saluran kemih oleh
karena kanker serviks dengan komplikasi minimal. Pada pasien yang rekuren setelah
menyelesaikan terapi definitif dan yang mengalami uremia, satu-satunya manfaat
PCN adalah memperpanjang usia. Karena tidak ada pengobatan definitif lain yang
dapat ditawarkan. Uropathy obstruktif yang disebabkan kanker serviks dengan
hidronefrosis dan uremia adalah komplikasi buruk kanker serviks stadium lanjut.
Nefrostomi perkutan dapat memperbaiki uremia, tetapi prognosis dan hasil dari
penyakit primer tidak terpengaruh dan pasien dipaksa untuk menjalani semua
komplikasi kanker stadium akhir.
18
Terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok pasien yang menjalani
PCN, nilai risiko kematian pada kanker serviks stadium lanjut dengan gangguan
fungsi ginjal yang menjalani intervensi konservatif atau tidak menjalani PCN lebih
besar 1,78 kali dibandingkan dengan pasien yang menjalani PCN. Harrington dkk
38

menyatakan survival pasien dengan obstruksi uretera yang disebabkan oleh
malignansi adalah 133 hari. Sebanyak 17 pasien masih dapat bertahan hidup (40%)
pada 6 bulan dan 5 (12%) pada 1 tahun.
21
Berdasarkan Romero dkk rata-rata survival
rate setelah PCN pada pasien dengan kanker serviks adalah 49,2% pada 6 bulan dan
36,9% pada 12 bulan.
22
Penelitian Cornelis dkk menemukan bahwa sebanyak 12 dari 17 orang
(70,6%) pada kelompok PCN mengalami kematian dan sebanyak 5 pasien (29,4%)
dilaporkan memiliki respon parsial. Sedangkan pada kelompok yang tidak menerima
PCN, sebanyak 10 (90,9%) dari 11 pasien mengalami kematian dan hanya 1 pasien
(9,1%) yang memiliki respon parsial terhadap pengobatan.
23
Studi Serbian
mengindikasikan waktu survival pasien dengan obstruksi ureter dan fungsi ginjal
normal adalah 16 bulan, 12 bulan untuk pasien dengan fungsi ginjal yang telah
membaik setelah PCN dan 5 bulan untuk pasien dengan peningkatan level kreatinin
yang persisten.
24
Pemasangan stent ureter sering dilakukan untuk mengobati berbagai kondisi
patologis yang menyebabkan obstruksi saluran kemih bagian atas. Pemasangan stent
umumnya digunakan untuk mengobati hidronefrosis, yang terjadi karena kondisi
selain penyakit urologis. Pada pasien dengan keganasan ginekologis, pemasangan
stent ureter memiliki prognosis yang buruk. Angka kegagalan pemasangan stent
ureter dilaporkan mencapai 16-58%. Pemasangan stent ureter dapat menyebabkan
penurunan kualitas hidup karena mempengaruhi frekuensi urin, pengosongan urin
residu, urgensi urin, dan perasaan tidak nyaman pada abdomen. Joshi dkk meneliti
prevalensi dari kondisi yang berkaitan dengan stent yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien yang menjalani pemasangan stent. Gejala urinasi pasca pemasangan
stent terjadi pada 76% populasi studi, nyeri berkemih yang terjadi 70% dan
mengakibatkan penurunan aktivitas sebesar 42%. Pyelonefritis akut dan pembentukan
calculi paling sering menjadi komplikasi ketika stent dipasang dalam waktu yang
lama sehingga penting untuk melakukan pergantian stent setiap 2-4 bulan.
25
Pada
kasus obstruksi berulang terjadi dibutuhkan waktu pergantian yang lebih cepat. Salah
39

satu komplikasi lanjut yang fatal adalah stent yang hilang atau terlupakan. Urologis
berperan aktif untuk mencegah komplikasi ini. Angka kesuksesan dari pemasangan
stent ureter retrograde pada obstruksi ureter yang berkaitan dengan kasus malignan
dilaporkan 72,5%-79%.
27
Beberapa yang menjadi factor kegagalan pemasangan stent
adalah kadar serum kreatinin, tidak adanya pengobatan setelah pemasangan stent
ureter, invasi tumor makro yang terlihat pada sistoskopi, derajat hidronefrosis. Studi
dari Kurata dkk menunjukkan kematian terjadi pada 1-58 bulan (rata-rata 19 bulan)
setelah pemasangan stent uretera dan 21% pasien meninggal dalam 1 tahun setelah
pemasangan stent.
25
Penelitian dari Goldfarb yang melibatkan 202 pasien kanker serviks yang
menjalani pemasangan stent menunjukkan sebanyak 117 pasien (58%) menjalani >1
prosedur stent. Frekuensi dari prosedur tambahan secara signifikan lebih tinggi pada
pasien yang menerima radiasi sebagai bagian dari pengobatan. Pasien yang menjalani
terapi pemasangan stent paling sering mengalami efek samping pada saluran kemih.
Risiko ISK adalah 190 pasien (per 100 orang/tahun), 67 pasien dengan gejala infeksi
saluran kemih bawah, 42 pasien mengalami batu saluran kencing, dan 6 pasien
dengan nyeri pinggang. Laju ini lebih tinggi dibandingkan pasien kanker serviks yang
tidak menjalani pemasangan stent.
28
Studi dari Song dkk dari 70 pasien yang diterapi dengan PCN vs stent ureter
untuk malignansi ginekologi, 14 % pasien yang menjalani pemasangan stent
mengalami gross hematuria dalam 1 minggu setelah pemasangan dan 8% pasien
mengalami hematuria berat setelah pemasangan PCN.
29
Cordeiro et al., melaporkan
proporsi pyelonephritis yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani PCN vs stent
ureter. Sebaliknya, Ku et al., melaporkan pyelonephritis akut terjadi pada 5,9% pasien
yang menjalani pemasangan stent ureter dan 3,8% pasien yang menjalani PCN.
30
40

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari data dan fakta yang telah dipaparkan diatas maka penulis dapat
menyimpulkan diversi urin diperlukan pada obstruksi ureter bilateral, urosepsis,
uremia dan hiperkalemia, kolik renal persisten, serta perburukan derajat hidronefrosis
dan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kreatinin serum dan penurunan
GFR. Pemasangan DJ stent secara retrograde dan nefrostomi perkutan adalah dua
pilihan diversi urin pada uropati obstruktif akibat karsinoma seviks uterus.
3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya.
41

DAFTAR PUSTAKA
1.Darmayasa IM, Made B, Hari WS. Kualitas hidup pasien kanker serviks yang
dirawat di ruang cempaka ginekologi RSUP Sanglah Denpasar. PIT HOGSI X
Jakarta. 2017; (1): 1-25.
2.Aghita R. Pengaruh Double J Stent Terhadap Kualitas Hidup Dan Fungsi Seksual
Pada Pasien Pria (Prospektif–Observasional). Thesis Universitas Airlangga. 2017.
3.Adam Images. Female Reproductive Anatomy. Diakeses dari
http://www.adamimages.com/Female-reproductive-anatomy-Illustration/PI366/F4
4.Wiebe E, Denny L, Thomas G. Cancer of the cervix uteri. International
Federation of Gynecology and Obstetrics. 2012; (119):100-109.
5.Andrijono, Purwoto G, Sekarutami S, Ranuhardy D. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran kanker serviks. Kementrian kesehatan republic Indonesia. Jakarta.
2017.
6.Patel K, Foster N, Kumar A, Grudem M. Hydronephrosis in patient with cervical
cancer : an assessment of morbidity and survival. Support care center. 2015;
23(5):1303-09.
7.Rasjidi I. Survival and prognostic factors in patients with advanced stage cervical
cancer with impaired renal function. Faculty of Medicine, University of
Indonesia. 2004; 14 (3) : 173-8.
8.Nuranna L, et al. Management of adcanced cervical al cancer with renal failure.
In AOFOG. Bali. 1995.
42

9.Mishra K, Desai A, Patel S, Mankad M, Dave K. Role of Percutaneous
Nephrostomy in Advanced Cervical Carcinoma with Obstructive uropathy: A
Case Series. Indian Journal of Palliative Care. 2009;15(1):37-40.
10.Lapitan MCM, Buckley BS. Impact of palliative urinary diversion by
percutaneous nephrostomy drainage and ureteral stenting among patients with
advanced cervical cancer and obstructive uropathy: A prospective cohort. J
ObstetGynaecol Res. 2011; 37 (8):1061-70.
11.Goldman, Lee, Schafer. Obstructive Uropathy. Elsevier, 2019.
12.Arvind N, Singh O, Gupta S, Ali Q. Ureteral Metastasis as the Presenting
Manifestation of Pancreatic Carcinoma.
 Rev Urol. 2013;15(3):124-130.
13.Suwiyoga IK. Penanganan Nyeri Pada Kanker Serviks Stadium Lanjut. Jurnal
Studi Jender Srikandi. Universitas Udayana. 2003; 3 (1) : 1-12.
14.Singh I, Strandhoy JW, Assimos DG. Patophysiology of urinary tract obstruction.
In : Campbell-Walsh Urology, 10
th
ed. Philadelphia : Elsevier Saunders. 2012;
10 : 1087—120
15.Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Kanker
Serviks. Kom Penanggulangan Kanker Nas [Internet]. 2019;1–30. Available
from: http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKServiks.pdf
16.Hodson, C.J. Post Obstructive Renal Nephropathy. Oxford Journals. 2011;
28(3),237-240.
17.Jafaru A, David N, Quentin D, Ireland D. The Current Management of Cervical
Cancer. Royal College of Obstetricians and Gynecologist (RCOG). 2015; 196-
201.
18.Pariseema S, Bijal M, Himanshu P, Meeta H. Obstructive Uropathy in
Gynecologc Malignancy and Value of Percutaeous Nephrostomy. GCSMC J Med
Science Vol (IV) No (II). 2015.
19.Ahmad I, Pansota MS, Tariq M, Saleem MS, Tabassum SA, Hussain A.
Comparison Between Double J (DJ) Ureteral Stenting and Percutaneous
Nephrostomy (PCN) in Obstructive Uropathy. Pak J Med Sci. 2013; 29 (3) : 725-
29.
43

20.Interventional oncology [online image]. (2015). Available from :
https://kanserdeyenitedaviler.com/en/palyatif-girisimler-4-2/. (Accessed 20
Desember 2018).
21.Harrington K, Pandha H, Kelly S, Lambert H, Jackson J, WaxmanJ. Palliation of
Obstructive Nephropathy due to Malignancy. British Journal of Medical and
Surgical Urology. 1995; 76(1):101-7.
22.Romero F, Broglio M, Pires S, Roca R, Guibu I, Perez M. Indications for
Percutaneous Nephrostomy in Patients with Obstructive uropathy due to
Malignant urogenital neoplasias. International. Braz J Urol. 2005; 31(2):117-24
23.Cornelis M,Mouton A, Aardt J. Impact of percutaneous nephrostomy in South
African women with advanced cervical cancer and obstructive uropathy. Southern
African Journal of Gynaecological Oncology. 2017; 9(1):6–10.
24.Plesinac-Karapandzic V, Masulovic D, Markovic B, Djuric-Stefanovic A,
Plesinac S, Vucicevic D. Percutaneous nephrostomy in the management of
advanced and terminal-stage gynecologic malignancies: outcome and
complications. Eur J GynaecolOncol. 2010;31(6):645–50.
25.Kurata S, Shohei Tobu Kazuma Udo Mitsuru Noguchi. Outcomes of Ureteral
Stent Placement for Hydronephrosis in Patients with Gynecological
Malignancies. Curr Urol. 2016;10:126–131.
26.Yachia, D., Paterson, P. Stenting the urinary system. Taylor and Francis
e-Library. 2005; 2: 20-37.
27.Izumi K, Mizokami A, Maeda Y, Koh E, Namiki M: Current outcome of patients
with ureteral stents for the management of malignant ureteral obstruction. J Urol.
2011; 185: 556–561.
28.Goldfarb Robert A, Yunhua Fan, Stephanie Jarosek, Sean P. Elliott. The burden
of chronic ureteral stenting in cervical cancer survivors. Int Braz J Urol. 2017; 43:
104-11.
29.Song Y, Fei X, Song Y. Percutaneous nephrostomy versus indwelling ureteral
stent in the management of gynecological malignancies. Int J Gynecol Cancer.
2012; 22: 697-702.
44

30.Ku JH, Lee SW, Jeon HG, Kim HH, Oh SJ. Percutaneousnephrostomy versus
indwelling ureteral stents in the management of extrinsic ureteral obstruction in
advanced malignancies: are there differences?. Urology. 2004; 64: 895-899.
45
Tags