Laporan Analisis Kapasitas Hukum Internasional Multi National Company dan Batasan Yurisdiksi Negara Berdaulat.pdf

SalmanAhmadKhan22 8 views 9 slides Oct 31, 2025
Slide 1
Slide 1 of 9
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9

About This Presentation

Laporan Analisis Kapasitas Hukum Internasional diterbitkan bulan Oktober 2025 Salman Mahasiswa Universitas Terbuka


Slide Content

Laporan Analisis Kapasitas Hukum Internasional Multi National
Company dan Batasan Yurisdiksi Negara Berdaulat
Disusun oleh : Salman Ahmad Khan
NIM : 050321544
Hukum Internasional Tugas 1

I. Evolusi Subjek Hukum Internasional dan Kapasitas Multi National
Company (MNC)
1.1. Konsep Dasar Subjek Hukum Internasional: Kriteria dan Perkembangan
Subjek Hukum Internasional didefinisikan sebagai entitas yang memiliki Hak dan Kewajiban
berdasarkan Hukum Internasional, sebuah konsep yang dikenal sebagai International Legal
Personality atau Kepribadian Hukum Internasional.
Secara historis, negara berdaulat adalah subjek primer dan tunggal, namun, seiring dengan
perkembangan pesat dalam hubungan transnasional pasca-Perang Dunia II, sistem Hukum
Internasional telah bergeser dari fokus State-Centric (terpusat pada negara) untuk mengakomodasi
entitas baru yang memiliki kapasitas signifikan untuk memengaruhi tatanan global, seperti
organisasi internasional dan individu.
Perkembangan ini mencerminkan pengakuan bahwa kompleksitas interaksi global modern tidak lagi
dapat diatur hanya melalui hubungan antarnegara.
Entitas non-negara mulai menunjukkan kapasitas fungsional yang menempatkan mereka dalam
lingkup perhatian Hukum Internasional, meskipun status kepribadian hukum mereka tetap menjadi
perdebatan akademis yang intens.
1.2. Argumen Klasik Menentang Status Subjek Hukum Penuh MNC
Secara tradisional, Multi National Company (MNC) atau perusahaan transnasional dipandang
sebagai entitas hukum privat atau badan hukum yang diciptakan dan tunduk sepenuhnya pada
sistem hukum nasional di mana mereka didirikan atau beroperasi.
Argumen ini menolak status subjek hukum penuh bagi MNC yang setara dengan negara.
Penolakan terhadap legal personality penuh ini didasarkan pada ketidakjelasan dan ketiadaan
instrumen hukum internasional yang disepakati secara universal yang secara eksplisit memberikan
hak dan kewajiban definitif kepada MNC.
Misalnya, proposal untuk instrumen pengawasan tanggung jawab perusahaan di bawah Komisi Hak
Asasi Manusia PBB sempat ditolak.
Penolakan ini, ironisnya, datang dari banyak negara, terutama negara berkembang, yang
menyatakan bahwa kewajiban pengawasan dan pelaporan kegiatan MNC terlalu memberatkan.
Negara-negara ini cenderung memprioritaskan pembukaan peluang investasi seluas-luasnya,
meskipun harus mengorbankan penegakan hukum yang ketat.
1.3. MNC sebagai Subjek Hukum Fungsional (Quasi-Subjek): Alasan Pengakuan
Meskipun secara formal MNC mungkin tidak memiliki kepribadian hukum internasional yang setara
dengan negara, perkembangan kontemporer menunjukkan bahwa mereka harus dikategorikan

sebagai quasi-subjek atau subjek fungsional (memiliki kapasitas dan tanggung jawab yang diakui
secara internasional) karena tiga faktor utama:
1.3.1. Kekuatan Ekonomi dan Pengaruh Politik yang Melampaui Negara
MNC memiliki kekuatan ekonomi yang masif, seringkali "mengalahkan ekonomi negara-negara,
khususnya negara berkembang". Kekuatan ini memberikan mereka pengaruh politik dan
operasional yang substansial. Di negara berkembang (developing countries) dan negara
terbelakang (least developing countries), MNC sering mengelola kegiatan usaha yang berhubungan
dengan pelayanan publik vital, seperti transportasi, tenaga listrik, dan telekomunikasi.
Situasi di mana entitas swasta mengendalikan fungsi-fungsi inti publik menandakan pergeseran
kedaulatan de facto. Ketika negara bergantung pada MNC untuk fungsi-fungsi inti masyarakat,
mereka cenderung melonggarkan pengawasan hukum demi menjaga investasi (fenomena yang
dikenal sebagai regulatory race to the bottom). Kekuatan fungsional yang dimiliki oleh MNC, yang
secara tradisional hanya dimiliki oleh lembaga negara, mengharuskan komunitas internasional
untuk memperlakukannya sebagai aktor quasi-berdaulat dalam konteks tertentu. Keberadaan
kekuatan ini membenarkan pembebanan akuntabilitas hukum internasional terhadap MNC.
1.3.2. Kebutuhan akan Tanggung Jawab Internasional
Kompleksitas operasional lintas batas MNC menghasilkan dampak sosial dan lingkungan yang
membutuhkan akuntabilitas di luar kerangka hukum pidana domestik. Walaupun belum ada
instrumen yang sepenuhnya diterima, prinsip-prinsip yang mengatur tanggung jawab primary
rules dan secondary rules untuk negara dan individu memiliki kemiripan yang dapat diterapkan
pada perusahaan.
Adanya kebutuhan untuk akuntabilitas non-pidana (noncriminal forms of responsibility) bagi
perusahaan menunjukkan bahwa Hukum Internasional mengakui perlunya mekanisme untuk
mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban perusahaan transnasional terhadap pelanggaran
hak asasi manusia, bahkan jika instrumen yang digunakan masih berbentuk soft law atau bersifat
sukarela (beyond voluntarism). Tanggung jawab ini tidak lagi hanya bersifat etis, melainkan
bergerak menuju kewajiban hukum internasional yang berkembang.
II. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Intern asional dan Prinsip
Penerapannya
2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Yurisdiksi: Tinjauan Doktrinal
Yurisdiksi, dalam konteks Hukum Internasional, merujuk pada kekuasaan hukum suatu negara atas
orang, benda, atau peristiwa tertentu. O. Connel mendefinisikan yurisdiksi secara klasik sebagai
“the power of a sovereign to affect the right person, whether by legislation, by executive decree or
by the judgement of the court”. Definisi ini menggarisbawahi tiga manifestasi kedaulatan:
1. Kekuasaan legislatif (membuat hukum),
2. Eksekutif (menegakkan hukum),
3. Yudikatif (mengadili).

Secara fundamental, Hukum Internasional menetapkan bahwa yurisdiksi adalah teritorial; suatu
negara "tidak dapat melaksanakan kekuasaannya dalam bentuk apa pun di wilayah negara lain,"
kecuali kekuasaan tersebut diperbolehkan berdasarkan aturan yang diizinkan (permissive rule)

yang berasal dari kebiasaan internasional atau konvensi. Prinsip dasar ini dikenal sebagai
Prinsip SS Lotus, yang menjadi titik awal pembahasan yurisdiksi negara.
2.2. Prinsip-Prinsip Yurisdiksi Tradisional
Meskipun yurisdiksi teritorial adalah pilar utama, praktik negara dan Hukum Internasional telah
mengembangkan beberapa prinsip lain sebagai pengecualian yang diizinkan untuk menegaskan
yurisdiksi di luar wilayah fisik negara:

1. Prinsip Teritorialitas Objektif (Objective Territoriality Principle): Yurisdiksi diterapkan
ketika suatu tindakan dimulai di luar wilayah negara tetapi akibat hukum atau dampak
signifikan dari tindakan tersebut dirasakan di dalam wilayah negara tersebut.
2. Prinsip Nasionalitas Aktif (Active Nationality Principle): Negara mengklaim yurisdiksi
atas tindakan yang dilakukan oleh warga negaranya, di mana pun tindakan itu terjadi.
3. Prinsip Perlindungan (Protective Principle): Yurisdiksi diterapkan atas kejahatan di luar
negeri yang dilakukan oleh warga negara asing, jika tindakan tersebut mengancam secara
langsung kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara.
4. Prinsip Nasionalitas Pasif (Passive Personality Principle): Negara mengklaim yurisdiksi
atas kejahatan di luar negeri di mana korbannya adalah warga negara negara tersebut.
5. Prinsip Yurisdiksi Universal (Universal Principle): Yurisdiksi diterapkan tanpa
memandang lokasi atau kewarganegaraan pelaku atau korban, terhadap kejahatan yang
mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan.
2.3. Apakah Negara Memiliki Hak untuk Mengatur Warga Negara Asing di Luar Negeri?
Ya, negara memiliki hak untuk mengatur atau menjalankan yurisdiksi pidana terhadap warga negara
asing yang melakukan tindakan di luar negeri, namun hak tersebut bersifat bersyarat dan harus
didasarkan pada pengecualian yang diakui oleh Hukum Internasional, yaitu Prinsip Perlindungan
dan Prinsip Nasionalitas Pasif.
2.3.1. Prinsip Perlindungan
Prinsip ini membenarkan negara untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara asing
yang beraksi di luar negeri apabila kejahatan tersebut diduga dapat mengancam kepentingan
keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Prinsip Perlindungan diterapkan untuk kasus-
kasus yang secara langsung menyasar inti kedaulatan negara, seperti spionase, pemalsuan mata
uang, atau terorisme yang ditujukan pada institusi nasional. Dalam konteks modern, di mana
ancaman transnasional (seperti kejahatan siber) semakin mengikis batasan teritorial, kepentingan
keamanan nasional menjadi faktor pembenar yang dominan dalam penerapan yurisdiksi
ekstrateritorial.
2.3.2. Prinsip Nasionalitas Pasif
Prinsip Nasionalitas Pasif membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang
warga negaranya menderita kerugian akibat tindak pidana di luar negeri. Dasar pembenarannya
adalah hak negara untuk melindungi warga negaranya di luar negeri. Prinsip ini menjadi relevan
apabila negara teritorial tempat tindak pidana terjadi tidak mampu atau tidak mau menghukum
pelaku. Prinsip ini telah mendapatkan penerimaan yang lebih luas dalam praktik kontemporer,
terutama oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, sebagai respons terhadap serangan
terorisme terhadap warga negaranya di luar negeri, memperlihatkan perluasan yurisdiksi untuk
kepentingan keamanan warga.

Prinsip Nasionalitas Pasif dan Perlindungan adalah mekanisme hukum yang dikembangkan untuk
mengatasi kelemahan Prinsip Teritorialitas dalam menghadapi kejahatan transnasional. Ekspansi
yurisdiksi ini merupakan cara bagi negara untuk memproyeksikan kedaulatannya demi
perlindungan diri dan warganya, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan friksi kedaulatan
dengan negara lain.

Table I: Perbandingan Prinsip-Prinsip Yurisdiksi Hukum Internasional
Prinsip Definisi Singkat Kondisi Penerapan
terhadap Warga Asing di
Luar Negeri
Fokus Utama
Teritorial
Objektif
Tindakan dimulai di luar, tetapi
akibat hukum/dampaknya terjadi di
wilayah negara.
Ya, jika akibatnya terjadi di
wilayah negara.
Dampak
Kejahatan
Nasionalitas
Aktif
Kekuasaan atas tindakan warga
negaranya, di mana pun mereka
berada.
Tidak berlaku (Hanya untuk
warga negara sendiri).
Kewarganegaraan
Pelaku
Perlindungan Kekuasaan atas tindakan (oleh
siapa pun, di mana pun) yang
mengancam kepentingan
keamanan negara.
Ya, fokus pada ancaman
terhadap keamanan
negara.
Kepentingan
Negara
Nasionalitas
Pasif
Kekuasaan atas kejahatan di luar
negeri di mana korbannya adalah
warga negara tersebut.
Ya, fokus pada
perlindungan warga negara
korban.
Kewarganegaraan
Korban
Universal Kekuasaan atas kejahatan yang
mengancam masyarakat
internasional.
Ya, tanpa syarat
kewarganegaraan pelaku
atau korban.
Sifat Kejahatan

III. Yurisdiksi Indonesia dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik & UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahannya
3.1. Konteks Hukum Nasional Indonesia dan Ruang Siber
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
merupakan produk legislasi pionir di Indonesia yang merespons globalisasi informasi dan
munculnya bentuk-bentuk baru perbuatan hukum di dunia siber. UU ini diperlukan untuk
menciptakan infrastruktur hukum yang aman dan mencegah penyalahgunaan teknologi.
Perubahan yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 bertujuan untuk
memperjelas aspek keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum, termasuk dengan
memasukkan ketentuan yang relevan dengan isu-isu kontemporer seperti perundungan di dunia
siber (cyber bullying). Namun, klausul yurisdiksi yang paling krusial terletak pada Pasal 2 UU ITE.
3.2. Analisis Pasal 2 UU ITE: Yurisdiksi Ekstrateritorial Mutlak
Pasal 2 UU ITE secara eksplisit menetapkan jangkauan yurisdiksi ekstrateritorial Indonesia yang
sangat luas, yang menegaskan kedaulatan Indonesia di dunia maya.

Teks Pasal 2 menyatakan:
"Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau
di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.".
Klausul ini mengizinkan penegakan hukum terhadap "setiap Orang" yang berada di mana pun di
dunia. Untuk membenarkan penuntutan, harus dipenuhi salah satu atau kedua syarat alternatif: (1)
Perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum di wilayah Indonesia, atau (2) Perbuatan tersebut
merugikan kepentingan Indonesia.
Selain itu, Pasal 37 lebih lanjut memperkuat cakupan ini dengan mengatur bahwa seseorang dapat
dituntut meskipun perbuatan yang dilarang (Pasal 27 s.d. Pasal 36) dilakukan di luar wilayah
Indonesia, asalkan perbuatan tersebut ditujukan terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah
yurisdiksi Indonesia.
3.3. Interpretasi Pasal 2: Kombinasi Prinsip Yurisdiksi
Pasal 2 UU ITE adalah contoh bagaimana Hukum Nasional menggabungkan prinsip -prinsip
yurisdiksi internasional untuk mengatasi sifat nirbatas ruang siber.

1. Objective Territoriality / Effects Doctrine: Frasa "memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia" secara langsung mengadopsi Prinsip Teritorialitas Objektif. Hal ini memungkinkan
Indonesia mengklaim yurisdiksi atas kejahatan siber (misalnya, penipuan online, penyebaran
malware) yang dilakukan dari server asing, asalkan dampak kerugiannya (finansial, psikis,
atau fisik) terjadi di Indonesia.
2. Protective Principle: Frasa "merugikan kepentingan Indonesia" mencerminkan Prinsip
Perlindungan. Klausa ini memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada negara untuk
mengklaim yurisdiksi atas tindakan asing, seperti propaganda anti-nasional, hoaks yang
mengganggu ketertiban umum, atau peretasan terhadap infrastruktur kritis, karena semua
ini dianggap mengancam kepentingan dan stabilitas nasional, sejalan dengan justifikasi
Prinsip Perlindungan.

Penerapan Pasal 2 menunjukkan respons legislatif Indonesia terhadap anarki siber. Dengan
mengklaim yurisdiksi berdasarkan dampak dan kepentingan nasional, Indonesia menegaskan
kembali kedaulatannya yang terancam oleh kejahatan lintas batas. Namun, penerapan yurisdiksi
ekstrateritorial yang luas semacam ini secara praktis menghadapi tantangan besar dalam hal
pengumpulan bukti dan potensi konflik yurisdiksi atau penolakan ekstradisi oleh negara tempat
pelaku berada.
IV. Prinsip Yurisdiksi Universal: Dasar Hukum, Praktik, dan Penelitian Para
Pakar
4.1. Sejarah dan Doktrin Yurisdiksi Universal
Prinsip Yurisdiksi Universal adalah prinsip yang paling radikal dalam Hukum Internasional karena
memberikan setiap negara kewenangan untuk mengadili tindak kejahatan tertentu, tanpa
memerlukan hubungan teritorial, kewarganegaraan pelaku (nationality), atau kewarganegaraan
korban (passive personality).
Asal-usul doktrinal yurisdiksi universal yang paling tua bermula dari kasus Pembajakan Laut
(Piracy). Pembajakan, yang terjadi di laut lepas (di luar yurisdiksi teritorial manapun), secara

historis dianggap sebagai hostis humani generis (musuh seluruh umat manusia), sehingga setiap
negara memiliki hak untuk menangkap dan mengadilinya.
Tujuan inti dari yurisdiksi universal adalah untuk menghindari impunitas, memastikan bahwa pelaku
kejahatan paling serius tidak akan mendapatkan perlindungan (safe haven) di mana pun mereka
berada.
4.2. Kriteria Kejahatan Inti (Core Crimes) yang Tunduk pada Yurisdiksi Universal
Penerapan yurisdiksi universal dibatasi hanya pada kejahatan yang dianggap paling keji (most
heinous) oleh masyarakat internasional dan yang secara fundamental mengancam tatanan global.
Kejahatan-kejahatan ini umumnya telah diatur dalam instrumen hukum internasional atau telah
mencapai status jus cogens (norma hukum internasional yang bersifat memaksa dan tidak dapat
dikesampingkan).
Daftar kejahatan serius yang diakui oleh masyarakat internasional dan tunduk pada yurisdiksi
universal meliputi:

1. Bajak laut (piracy)
2. Perbudakan (slavery)
3. Kejahatan perang (war crimes)
4. Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace)
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
6. Genosida (genocide)
7. Penyiksaan (torture).
4.3. Kondisi Khusus Penerapan Yurisdiksi Universal
Prinsip yurisdiksi universal dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu, yang seringkali timbul
ketika kedaulatan teritorial negara yang berwenang gagal menjalankan fungsinya:
1. Ketiadaan Perlindungan: Yurisdiksi universal berlaku untuk memastikan pelaku kejahatan
tidak memperoleh perlindungan (safe haven) di mana pun mereka berada.
2. Unwilling and Unable: Penerapan yurisdiksi universal menjadi krusial ketika negara yang
memiliki yurisdiksi teritorial atau nasional gagal memenuhi tanggung jawabnya untuk
menyelidiki dan mengadili pelaku kejahatan berat (disebut kondisi unwilling and unable—
tidak berniat dan tidak mampu).
3. Kehadiran Fisik Pelaku: Biasanya, yurisdiksi universal diterapkan ketika pelaku kejahatan
berada di dalam yurisdiksi wilayah negara yang ingin menerapkan prinsip tersebut.
4. Prioritas Kebijakan Internasional: Yurisdiksi universal adalah kewenangan yang
terkadang didasarkan dari tekanan kebijakan internasional dan bertujuan untuk melindungi
kepentingan seluruh negara, bahkan "melawan kehendak negara yang memiliki teritorial atau
yurisdiksi dalam bentuk apapun".

Table II: Kategori Kejahatan Inti (Core Crimes) dalam Yurisdiksi Universal dan Dasar Hukum
No. Kejahatan
Internasional
Status Hukum Internasional Dasar Doktrinal/Instrumen
Utama
1. Bajak Laut (Piracy) Hukum Kebiasaan Internasional
(HBI)
Konvensi Hukum Laut (UNCLOS)
2. Genosida (Genocide) Jus Cogens (Norma Memaksa) Konvensi Genosida 1948, Statuta
Roma
3. Kejahatan terhadap
Kemanusiaan
Jus Cogens Statuta Roma
4. Kejahatan Perang (War
Crimes)
Jus Cogens Konvensi Jenewa
5. Penyiksaan (Torture) Jus Cogens Konvensi Menentang Penyiksaan

4.4. Penelitian Ringkas: Studi Kasus dan Sumber Pakar Hukum Internasional
4.4.1. Studi Kasus Penerapan Yurisdiksi Universal (Kasus Timor Timur)
Kasus Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999 menjadi studi
penting mengenai bagaimana kegagalan yurisdiksi domestik memicu respons yurisdiksi universal.
Peradilan HAM Ad-Hoc di Indonesia, yang dibentuk untuk mengadili pelaku kejahatan berat di Timor
Timur, dinilai memiliki kelemahan signifikan, menimbulkan persepsi di kalangan internasional bahwa
Indonesia unwilling and unable (tidak berniat dan tidak mampu) melaksanakan peradilan yang
adil.
Akibat dari kegagalan ini, masyarakat internasional merespons dengan tindakan
ekstrateritorial. Special Panel for Serious Crime Unit (SCU) di Pengadilan Distrik Dili, Timor Timur,
mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah perwira militer Indonesia, termasuk
Jenderal Wiranto, atas tuduhan Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Selain itu, Pemerintah Amerika
Serikat memutuskan untuk memasukkan Wiranto dan perwira lainnya ke dalam daftar pengawasan
visa, sebuah tindakan yang didasari rasa frustrasi atas penolakan Jakarta untuk menyerahkan
mereka ke mahkamah khusus PBB.
Pemerintah Indonesia bereaksi keras, menegaskan kedaulatan dan menolak untuk didikte,
menyatakan bahwa pengadilan Dili tidak memiliki yurisdiksi. Meskipun demikian, tindakan
pencekalan dan perintah penangkapan yang dilakukan oleh negara lain terhadap pejabat negara
yang diduga melakukan kejahatan jus cogens merupakan manifestasi kuat dari yurisdiksi universal,
yang diterapkan berdasarkan tekanan kebijakan internasional demi menegakkan keadilan global.
4.4.2. Sumber Akademis Hukum Internasional
Penjelasan mengenai yurisdiksi, subjek hukum, dan prinsip-prinsip universal dapat ditemukan
dalam karya-karya fundamental para pakar Hukum Internasional.
Pakar Hukum Internasional Indonesia, seperti Mochtar Kusumaatmadja, menekankan bahwa
Hukum Internasional adalah kaidah yang diperlukan untuk mengatur hubungan antarnegara. Karya-
karya klasik seperti buku beliau Pengantar Hukum Internasional menjadi referensi penting. Selain

itu, Boer Mauna dan J.G. Starke juga merupakan pakar yang secara ekstensif membahas
yurisdiksi dan perkembangan Hukum Internasional, menegaskan bahwa kerangka kaidah ini sangat
penting bagi masyarakat internasional untuk dapat berfungsi. Studi-studi yang mengutip pakar-
pakar ini menyediakan landasan doktrinal yang kuat yang mendukung analisis yurisdiksi universal
sebagai mekanisme untuk mengatasi impunitas.
V. Kesimpulan dan Implikasi
5.1. Sintesis Perkembangan Subjek dan Yurisdiksi
Hukum Internasional kontemporer menunjukkan pergeseran paradigma yang signifikan. Pertama,
dalam hal subjek hukum, MNC telah melampaui status sebagai entitas hukum perdata murni.
Kekuatan fungsional dan pengaruh ekonomi mereka yang besar, yang seringkali mengontrol sektor
publik vital di negara-negara berkembang, secara de facto menempatkan mereka sebagai aktor
yang setara dengan quasi-subjek. Perkembangan ini didorong oleh kebutuhan mendesak
masyarakat internasional untuk membebankan akuntabilitas, terutama terkait pelanggaran HAM,
yang tidak dapat dipenuhi hanya melalui kerangka hukum domestik.
Kedua, dalam hal yurisdiksi, negara secara agresif memperluas jangkauan hukumnya. Pasal 2 UU
ITE Indonesia adalah contoh sempurna dari upaya ini, di mana negara secara eksplisit
mengawinkan Prinsip Teritorialitas Objektif (Effects Doctrine) dengan Prinsip Perlindungan untuk
mengklaim yurisdiksi atas kejahatan siber yang terjadi di mana pun, selama dampaknya dirasakan
atau kepentingan nasional dirugikan.
5.2. Keseimbangan Antara Kedaulatan dan Kewajiban Global
Yurisdiksi universal, bersama dengan Prinsip Perlindungan dan Nasionalitas Pasif, mewakili
pengecualian yang diakui terhadap Prinsip SS Lotus yang membatasi kedaulatan di luar wilayah
teritorial. Yurisdiksi universal adalah pilar yang paling menantang kedaulatan negara, namun
keberadaannya mutlak diperlukan untuk menjamin penegakan norma-norma jus cogens (seperti
Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan). Ketika sebuah negara yang berdaulat dianggap
gagal (kondisi unwilling and unable) untuk menjamin keadilan atas kejahatan inti, yurisdiksi
universal berfungsi sebagai mekanisme penegakan yang memprioritaskan tatanan moral global di
atas kedaulatan politik absolut.
5.3. Rekomendasi Ahli
Berdasarkan analisis ini, disarankan bahwa Pemerintah Indonesia harus memperkuat mekanisme
pengawasan dan akuntabilitas domestik terhadap MNC, terutama dalam sektor publik. Dengan
adanya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum yang efektif terhadap potensi
pelanggaran HAM dan kerugian publik yang dilakukan oleh MNC (seperti yang disarankan dalam
konteks kewajiban pengawasan ), negara dapat memperkuat kedaulatannya. Penguatan
mekanisme domestik ini akan mengurangi potensi persepsi unwilling and unable yang dapat
memicu intervensi eksternal atau penerapan yurisdiksi universal terhadap aktor-aktor yang terlibat
dalam kejahatan transnasional.

Daftar Pustaka;
1. Gema Keadilan, Edisi Jurnal (ISSN:0852-011) Volume 2, Edisi 1, September 2015 “Pembebanan
Tanggungjawab Hukum Terhadap Multinational Corporations (MNCs) dalam Hukum Internasional” oleh: M.
Rizqy Darulzain, Link unduh : https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/download/3658/2045
2. UNISLA, Vol. xxx No. 65 September 2007 “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran
HAM dalam Perspektif Hukum Internasional” oleh: Sefriani Universitas Islam Indonesia – Yogyakarta, Link
Unduh : https://journal.uii.ac.id/Unisia/article/download/2668/2447/2937
3. Jurnal Hukum Internasional / Pengertian Yurisdiksi Definisi Negara dalam Hukum Internasional, Teritorial,
Personal, Perlindungan, Universal oleh: Sapriyun, S.ST.Pi, Link Unduh :
https://id.scribd.com/document/327431107/Pengertian-Yurisdiksi-Definisi-Negara-Dalam-Hukum-
Internasional-Teritorial-Personal-Perlindungan-Universal
4. Artikel terbitan Jakarta 16 Maret 2017 yang ditulis oleh : Leonard Marpaung, SH “YURISDIKSI NEGARA
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL”, Link Unduh : https://diskumal.tnial.mil.id/fileartikel/artikel-20180511-
152350.pdf
5. Article “The Passive Personality Principle” by : Geoffrey R. Watson The catholic University of America
Columbus School of Law dipublikasi tahun 1993, Link Unduh : https://scholarship.law.edu/scholar/397/
6. Undang Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Tanggal
21 April 2008, Terjemahan Bahasa Inggris Link Unduh : https://www.flevin.com/id/lgso/translations/JICA
Mirror/english/4846_UU_11_2008_e.html
7. Kompilasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan
Undang-Undang Perubahan, Peraturan Pelaksanaan, dan Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi diterbitkan oleh Badan Keahlian Sekertariat Jenderal DPR RI Tahun 2024 Link Unduh :
https://berkas.dpr.go.id/puspanlakuu/kompilasi/kompilasi-public-643.pdf
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tanggal 25 November 2016 Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Yasonna H. Laoly Link Unduh :
https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25589
9. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 tanggal 21 April 2008 Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalata, Link Unduh ; https://id.wikisource.org/wiki/Undang-
Undang_Republik_Indonesia_Nomor_11_Tahun_2008
10. Jurnal Lex Crimen Vol.XII.No.8/Jun/2023 “YURISDIKSI UNIVERSAL DALAM MENGADILI KEJAHATAN
TERORISME MENURUT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL” Penerbit Fakultas Hukum Sam Ratulangi oleh:
Waraney Timothy Osak, Fernando Max Kariosh, dan Natalia Lana Lengkong. Link Unduh :
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexcrimen/article/view/48514/42802
11. JURNAL HAM VOL. 2 NO. 2 Nopember 2004 “YURISDIKSI UNIVERSAL PRAKTIK, PRINSIP DAN REALITAS”
diterbitkan oleh : Bhatara Ibnu Reza Peneliti IMPRASIAL The Indonesian Human Rights Monitor, Jl.
Diponegoro 9 Menteng Jakarta 10310, Link Unduh :
https://www.researchgate.net/publication/369809495_Yurisdiksi_Universal_Praktik_Prinsip_Dan_Realitas
12. Jurnal Vol. 4, No. 2 Risalah Hukum Fakultas Hukum UMMUL, Desember 2008, Hal. 77 – 85 ISSN 021-969X
“Hukum Internasional (Kajian Ontologis) (International Law; an Ontological Review) oleh: Mahendra Putra
Kurnia Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Link Unduh : https://e-
journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/262/167