01 Revisi Proposal tesis - dr Tri (FIX).docx

PanduUtomo5 8 views 25 slides Oct 31, 2025
Slide 1
Slide 1 of 25
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25

About This Presentation

Penelitian terkait tesis


Slide Content

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DENGAN
DISABILITAS: STUDI KASUS DI PUSKESMAS ASTANALANGGAR
KABUPATEN CIREBON
Usulan Penelitian untuk Tesis S-2
Program Studi Magister Hukum Kesehatan
Diajukan oleh:
dr. M. Tri Pandu Utomo
NIM. 23.C2.0037
Kepada
FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2024

HALAMAN PERSETUJUAN
Usulan penelitian
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DENGAN
DISABILITAS: STUDI KASUS DI PUSKESMAS ASTANALANGGAR
KABUPATEN CIREBON
Diajukan oleh:
dr. M. Tri Pandu Utomo
NIM. 23.C2.0037
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Dr. B. Resti Nurhayati,SH., M.Hum Tanggal ...............
Pembimbing II Tanggal ...............
dr. Hartanto, M.Med., Sc
PAGE \* MERGEFORMAT 2

A.LATAR BELAKANG MASALAH
Perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas dalam pelayanan
kesehatan adalah isu yang memerlukan perhatian serius sebagai bagian dari
upaya mewujudkan keadilan sosial
1
dan pemenuhan hak asasi manusia.
2
Individu dengan disabilitas sering kali menghadapi berbagai hambatan, baik
dari segi fisik, sosial, maupun kebijakan,
3
yang menghalangi akses mereka
terhadap layanan kesehatan yang layak.
4
Tantangan ini menjadi semakin
mendesak di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana fasilitas dan
kebijakan belum sepenuhnya bersifat inklusif.
5
Pada tingkat global,
pemenuhan hak kesehatan bagi penyandang disabilitas telah menjadi bagian
dari agenda Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada poin
ketiga, yaitu memastikan kehidupan sehat dan mendukung kesejahteraan bagi
semua.
6
Penelitian menunjukkan bahwa banyak wilayah, termasuk di
Indonesia, masih menghadapi kesenjangan dalam memastikan aksesibilitas
layanan kesehatan bagi kelompok ini.
Hak atas kesehatan dijamin oleh berbagai instrumen hukum
internasional, seperti Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) dan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (ICESCR).
7
Hak ini meliputi akses yang setara terhadap
layanan kesehatan tanpa diskriminasi, termasuk bagi individu dengan
1
Sri Siswati, Etika Dan Hukum Kesehatan: Dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan (Jakarta: Rajawali Press, 2013).
2
Ishak Salim and M. Joni Yulianto, Memantau Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas (Jakarta:
BAPPENAS, KSP dan JPODI, 2021).
3
Ledia Hanifa Amaliah, Dari Disabilitas Pembangunan Menuju Pembangunan
Disabilitas (Jakarta: Beebooks Publishing, 2016).
4
Yusuf Faisal Martak et al., Aksesbilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Pelayanan
Kesehatan (Bogor: IPB Press, 2021).
5
Danny Wiradharma, Pengantar Kuliah Hukum Kedokteran (Jakarta: Sagung Seto,
2014).
6
Armida Salsiah Alisjahbana and Endah Murniningtyas, Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Di Indonesia: Konsep Target Dan Strategi Implementasi (Bandung: UNPAD Press,
2018).
7
Philip Alston and Ryan Goodman, International Human Rights: Text and Materials
(Oxford: OUP Oxford, 2013).
PAGE \* MERGEFORMAT 2

disabilitas.
8
Di tingkat nasional, UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk
memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat (1)) dan menegaskan
tanggung jawab negara menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak
(Pasal 34 ayat (3)). Atas dasar amanat konstitusi tersebut, Indonesia
mendukung pemenuhan hak kesehatan yang dalam konteks penelitian ini
adalah hak kesehatan bagi penyandang disabilitas. Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan menegaskan bahwa upaya
kesehatan bagi penyandang disabilitas diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat secara non-diskriminatif,
menghormati martabat, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas memberikan landasan hukum yang lebih komprehensif
dibandingkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 yang hanya mengatur
ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
9
Komitmen ini
menggarisbawahi kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak
penyandang disabilitas di sektor kesehatan.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 juga
memperkuat ketentuan tersebut dengan mengatur pemukiman, pelayanan
publik, dan perlindungan dari bencana bagi penyandang disabilitas. Dalam
konteks pelayanan kesehatan dasar, Peraturan Menteri Kesehatan (PMK)
Nomor 8 Tahun 2019 mengatur pembentukan Posyandu Disabilitas sebagai
bentuk layanan kesehatan berbasis komunitas yang lebih inklusif.
Di tingkat daerah, kerangka utama di Provinsi Jawa Barat kini diatur
melalui Perda Jabar Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Pasal 10 Ayat (1)
Perda Jabar Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penghormatan, Perlindungan, dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas menegaskan bahwa Pemerintah
Daerah menyelenggarakan pemenuhan hak penyandang disabilitas di berbagai
8
Francis K.O. Yuen, International Perspectives on Disability Services (New York:
Routledge, 2011).
9
Armasito Armasito et al., Hukum Disabilitas Di Indonesia (Depok: Rajawali Press,
2021).
PAGE \* MERGEFORMAT 2

bidang termasuk bidang kesehatan. Pada level kabupaten, Perda Kabupaten
Cirebon Nomor 2 Tahun 2024 secara tegas memuat kewajiban teknis layanan:
Pasal 15 Ayat (1) mewajibkan setiap fasilitas pelayanan kesehatan milik
Pemda maupun swasta menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
kesehatan bagi penyandang disabilitas, sebagai jaminan akses layanan yang
layak dan tidak diskriminatif.
Meskipun kerangka regulasi kian kuat, kesenjangan antara norma dan
praktik masih nyata. BPS (2024) melalui rilisannya “Potret Penyandang
Disabilitas di Indonesia: Hasil Long Form SP2020”—menunjukkan
prevalensi disabilitas nasional sekitar 1,43% (standar Washington Group),
seraya memotret ketimpangan akses pendidikan, ketenagakerjaan, dan layanan
dasar bagi penyandang disabilitas. Di sisi lain, angka tingkat populasi berbasis
SUSENAS yang banyak dikutip pemerintah menunjukkan 22,97 juta jiwa
(8,5%) pada 2023 dan diperbarui menjadi lebih dari 17,8 juta jiwa pada 2024.
Perbedaan ini terutama berasal dari instrumen dan definisi yang tidak identik
antar survei.
10
Dengan demikian, tren 2023 ke 2024 tidak boleh langsung
dibaca sebagai penurunan/kenaikan absolut, melainkan sebagai hasil dua
pengukuran berbeda, namun keduanya sama-sama menegaskan urgensi
layanan kesehatan yang inklusif dan akuntabel bagi penyandang disabilitas.
Penelitian sebelumnya mengidentifikasi beberapa hambatan utama
dalam aksesibilitas layanan kesehatan, termasuk keterbatasan sarana fisik,
sumber daya manusia, dan pedoman operasional. Studi di Puskesmas Lubuk
Buaya, misalnya, menunjukkan bahwa ketiga faktor ini menjadi kendala
signifikan bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang setara.
11
Penyandang disabilitas berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang setara dan berkeadilan; namun di banyak fasilitas, kualitas
layanan masih beragam. Dimensi bukti fisik (tangibles) seperti ketersediaan
10
Badan Pusat Statistik, “Potret Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Hasil Long Form
SP2020,” 2024.
11
Rizki Rahmadi, “Analisis Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Bagi Penyandang
Disabilitas Di Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2024” (Padang: Universitas Andalas,
2024).
PAGE \* MERGEFORMAT 2

fasilitas aksesibel, kebersihan, serta penataan ruang ramah disabilitas memang
menunjukkan kaitan yang jelas dengan persepsi mutu layanan. Meski begitu,
dimensi daya tanggap (responsiveness) dan empati kerap tertinggal. Petugas
belum konsisten merespons kebutuhan khusus secara cepat, belum seluruhnya
peka terhadap hambatan komunikasi (misalnya bagi pengguna bahasa isyarat
atau difabel wicara), dan belum sistematis menawarkan reasonable
accommodation.
12
Temuan lapangan di Kecamatan Ujung Batu memperkuat
gambaran tersebut: layanan berbasis home care bagi penyandang disabilitas
belum optimal akibat keterbatasan alat kesehatan dan tenaga medis terlatih,
yang berdampak pada frekuensi kunjungan, kesinambungan terapi, serta
mekanisme rujukan. Kondisi ini mengindikasikan perlunya perbaikan
menyeluruh, mulai dari peningkatan infrastruktur aksesibilitas, penyediaan
alat bantu komunikasi dan mobilitas, penguatan pelatihan petugas tentang
inklusi dan keselamatan pasien, penataan SOP home care, hingga pemanfaatan
telehealth, agar seluruh dimensi mutu (termasuk keandalan/reliability dan
jaminan/assurance) terpenuhi secara konsisten bagi penyandang disabilitas.
13
Selain faktor struktural, konteks hukum dan kebijakan turut
memengaruhi perlindungan bagi penyandang disabilitas dalam pelayanan
kesehatan. Misalnya, meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 telah
diterapkan, tantangan implementasi masih ditemukan, seperti diskriminasi
terhadap narapidana perempuan penyandang disabilitas.
14
Di tingkat daerah,
beberapa kebijakan progresif seperti Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas
Nomor 19 Tahun 2014 masih terkendala oleh kurangnya data mutakhir dan
12
Nisfi Amanda Laili, “Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Tingkat
Kepuasan Pasien Disabilitas Di Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Netra Dan Fisik
Fajar Harapan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2023” (Banjarmasin: Universitas Islam
Kalimantan MAB, 2024).
13
Muhammad Fasly, “Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Penyandang
Disabilitas Dalam Bentuk ‘Home Care’ Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021
Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Di Kecamatan Ujung Batu
Kabupaten Rokan Hulu” (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2024).
14
Mitro Subroto and M. Viqqy Anugrah, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam
Pelayanan Kesehatan Bagi Narapidana Perempuan Penyandang Disabilitas,” Hukum Dinamika
Ekselensia 6, no. 4 (2024): 185–96.
PAGE \* MERGEFORMAT 2

sumber daya.
15
Kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan dan
rendahnya alokasi anggaran juga menjadi hambatan signifikan dalam
implementasi kebijakan.
Aspek kesadaran dan pemahaman tenaga kesehatan terhadap
kebutuhan khusus penyandang disabilitas juga menjadi isu penting. Misalnya,
penelitian di Kecamatan Wagir, Malang, menunjukkan bahwa akses layanan
kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas masih terhambat
oleh stigma sosial dan kurangnya kebijakan yang memadai.
16
Temuan serupa
juga diidentifikasi di Kota Medan, di mana keterbatasan fasilitas fisik dan
transportasi menghalangi aksesibilitas layanan kesehatan.
17
Hambatan ini
menunjukkan bahwa dimensi budaya dan sosial, selain faktor struktural,
memengaruhi kualitas layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
Berangkat dari mandat pelindungan kaum difabel dalam UU
Kesehatan 17/2023 dan UU 8/2016, celah utama kajian terdahulu bukan
sekadar pada aksesibilitas fisik, tetapi pada bagaimana kewajiban hukum non-
diskriminasi, aksesibilitas, akomodasi yang layak, komunikasi yang dapat
diakses, dan layanan kesehatan berkualitas setara dioperasionalkan di tingkat
layanan primer. Karena itu, riset ini menegaskan perlunya pendekatan holistik
berbasis hukum untuk memetakan kewajiban normatif menjadi indikator
operasional di Puskesmas Astanalanggar Kabupaten Cirebon.
UPTD Puskesmas Astanalanggar Kabupaten Cirebon merupakan
puskesmas lintas batas antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan
luas wilayah 1.808.484 Ha, puskesmas ini melayani empat desa, yaitu
Astanalanggar, Barisan, Kalirahayu, dan Tawangsari. Dari segi fasilitas,
15
Ida Arifatul Khasanah, Esti Ningrum, and Agoes Djatmiko, “Implementasi Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pelayanan Bagi
Penyandang Disabilitas (Khususnya Pemenuhan Hak Kesehatan Terhadap Penyandang Disabilitas
Ganda),” Wijayakusuma Law Review 5, no. 1 (2023): 38–46.
16
Dewi Suprobowati, “Komunikasi Kebijakan Pada Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Bagi Perempuan Disabilitas Dan Korban Kekerasan Seksual Di Puskesmas Wagir Kabupaten
Malang,” Sintesa 1, no. 1 (February 3, 2023): 1–9, https://doi.org/10.30996/sintesa.v1i1.8175.
17
Ramadha Yanti Parinduri, “Analysis of Access to Health Service Facilities in Hospitas
For Persons With Disabilities in Medan City,” in UPMI Proceeding, 2023, 1299–1306,
https://doi.org/10.55751/ups.v1i01.184.
PAGE \* MERGEFORMAT 2

puskesmas ini memiliki layanan kesehatan dasar, ruang pendaftaran, ruang
pelayanan klinis, serta ruang khusus untuk koordinasi dan komunikasi antara
unit pelayanan dan unit penunjang. Selain itu, fasilitas sanitasi dasar seperti
akses ke air bersih, jamban keluarga sehat, dan saluran pembuangan limbah
cukup memadai di sebagian besar wilayah yang dilayani.
Penyampaian hak dan kewajiban pasien dilakukan melalui sosialisasi
berkala oleh petugas pendaftaran dengan menggunakan alat bantu seperti
pengeras suara dan brosur informatif. Pasien juga memiliki hak untuk
memberikan persetujuan umum (general consent) sebelum menerima tindakan
medis. Prosedur ini mencakup penyampaian informasi lengkap mengenai
layanan kesehatan yang akan diterima pasien, dengan formulir persetujuan
yang harus ditandatangani oleh pasien atau keluarganya.
Meskipun terdapat prosedur identifikasi hambatan bagi pasien
berkebutuhan khusus, implementasi layanan bagi penyandang disabilitas
masih perlu ditingkatkan. SOP identifikasi hambatan mencakup deteksi
kendala komunikasi, budaya, dan fisik seperti tuli, bisu, atau buta, namun
tidak disebutkan adanya mekanisme spesifik untuk penyediaan fasilitas
tambahan bagi pasien dengan kebutuhan khusus . Selain itu, meskipun pasien
dengan hambatan fisik tetap diberikan pelayanan, prosedur hanya mencakup
pendampingan oleh petugas puskesmas yang mampu mengatasi hambatan
tersebut. Tidak disebutkan adanya fasilitas khusus seperti jalur akses kursi
roda, alat bantu pendengaran, atau penerjemah bahasa isyarat. Hal ini
menunjukkan perlunya peningkatan dalam aspek aksesibilitas fisik dan
komunikasi bagi pasien disabilitas di Puskesmas Astanalanggar.
Selain itu, layanan bagi penyandang disabilitas masih memerlukan
penguatan. SOP identifikasi hambatan hanya mencakup deteksi kendala
komunikasi, budaya, serta keterbatasan fisik seperti tuli, bisu, dan buta.
Namun, tidak adanya mekanisme konkret yang memastikan tersedianya
fasilitas tambahan bagi pasien berkebutuhan khusus, seperti jalur akses kursi
roda, alat bantu pendengaran, penerjemah bahasa isyarat, atau sistem
PAGE \* MERGEFORMAT 2

komunikasi alternatif seperti running text dan video informatif. Terakhir,
tenaga medis di UPTD Puskesmas Astanalanggar ini belum mendapatkan
pelatihan khusus dalam menangani pasien disabilitas, sehingga layanan
inklusif belum dapat diterapkan secara optimal.
Problematika hukum yang hendak diurai dalam kajian ini terletak pada
ketidakselarasan dan ketidakjelasan mandat antar-tingkat norma antara UU
17/2023 (Kesehatan), UU 8/2016 (Penyandang Disabilitas), regulasi teknis,
dan Perda sehingga kewajiban non-diskriminasi, aksesibilitas, dan akomodasi
yang layak belum terjabarkan menjadi standar operasional yang mengikat di
tingkat layanan primer. Kekosongan atau kaburnya pengaturan teknis
mengenai standar aksesibilitas Puskesmas, serta ketersediaan juru bahasa
isyarat/media komunikasi aksesibel menimbulkan vacuum implementasi. Di
lapangan, pencatatan status disabilitas pada rekam medis dan pelaporan rutin
belum diwajibkan secara efektif, menyulitkan perencanaan dan penganggaran.
Mekanisme pengaduan, remediasi, dan sanksi atas pelanggaran hak, termasuk
keterlambatan layanan, penolakan terselubung, atau prosedur yang tidak
mudah diases, belum terintegrasi dalam tata kelola mutu. Selain itu, terjadi
tumpang tindih kewenangan pusat-daerah yang menghambat pengadaan
sarpras aksesibel dan pelatihan petugas, sementara indikator SPM dan
akreditasi Puskesmas belum sepenuhnya mensyaratkan inklusi disabilitas
sebagai ukuran kinerja.
Bertolak dari konteks Puskesmas Astanalanggar, penelitian ini
menelisik dan menganalisis bagaimana celah normatif tersebut memengaruhi
praktik pelayanan, mulai dari penjabaran kewajiban hukum ke SOP,
penganggaran dan pembiayaan, ketersediaan sarana-prasarana aksesibel,
kompetensi SDM, hingga mekanisme pengaduan dan pemulihan serta
merumuskan rekomendasi normatif-operasional agar perlindungan hukum
bagi kaum difabel terlaksana secara konsisten dan dapat diukur.
B.PERUMUSAN MASALAH
PAGE \* MERGEFORMAT 2

Beradasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana pengaturan hukum mengenai perlindungan bagi pasien dengan
disabilitas di Indonesia?
2.Bagaimana pelaksanaan hukum bagi pasien dengan disabilitas di
Puskesmas Astanalanggar Kabupaten Cirebon dan tantangan yang
dihadapi dokter dalam proses tersebut?
3.Apa saja faktor yang mempengaruhi penerapan perlindungan hukum
kepada pasien disabilitas di Puskesmas Astanalanggar Kabupaten
Cirebon?
C.TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atasm terdapat tujuan penelitian yang
menjadi urgensi dari penelitian ini, yaitu:
1.Untuk menganalisis pengaturan hukum mengenai perlindungan bagi
pasien dengan disabilitas di Indonesia.
2.Untuk menganalisis pelaksanaan hukum bagi pasien dengan disabilitas di
Puskesmas Astanalanggar dan tantangan yang dihadapi dokter dalam
proses tersebut.
3.Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi penerapan perlindungan
hukum kepada pasien disabilitas di Puskesmas Astanalanggar
D.MANFAAT PENELITIAN
1.Manfaat Teoretis
a.Penelitian ini memperkaya literatur akademik dalam bidang hukum
kesehatan, khususnya terkait perlindungan hukum bagi penyandang
disabilitas.
b.Studi ini berkontribusi pada pengembangan teori tentang hubungan
antara regulasi hukum dan implementasi pelayanan kesehatan inklusif.
2.Manfaat Praktis
a.Bagi Pasien Disabilitas
PAGE \* MERGEFORMAT 2

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
meningkatkan kesadaran penyandang disabilitas tentang hak-hak
mereka dalam mengakses layanan kesehatan.
b.Bagi Dokter
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi panduan bagi tenaga
medis dalam memahami dan memenuhi kebutuhan khusus pasien
dengan disabilitas dengan berlandasakan pengetahuan berbasis hukum.
c.Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif
rekomendasi strategis untuk meningkatkan kualitas fasilitas, pelatihan
tenaga kesehatan, dan kebijakan pelayanan yang lebih inklusif dengan
berlandaskan hukum.
E.KERANGKA PEMIKIRAN
1.Kerangka Konsep
Berikut adalah kerangka konsep yang menjelaskan hubungan
antara asas, norma, dan pedoman penilaian sebagai landasan dalam
penelitian ini:
Gambar 1.1 Kerangka Konsep
PAGE \* MERGEFORMAT 2
Asas Hukum
Perlindungan Pasien
Pedoman Pelaksanaan
Norma Hukum

2.Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini menjelaskan hubungan antara
konsep hukum, implementasi, dan strategi perlindungan pasien disabilitas
sekaligus bagan dari kerangka teori dalam penelitian ini.
a.Perlindungan Hukum (Legal Protection):
Hak yang dijamin oleh hukum untuk memberikan perlindungan
terhadap individu, khususnya kelompok rentan, seperti pasien
disabilitas, dari tindakan yang merugikan. Perlindungan hukum sendiri
memiliki definisi memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia yang dirugian dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat hak tersebut dapat dinikmati dan berlandaskan
hukum.
18
b.Layanan Kesehatan
Layanan kesehatan adalah berbagai upaya yang dirancang
untuk meningkatkan, memulihkan, atau memelihara kesehatan
individu maupun masyarakat. Layanan ini mencakup pencegahan
penyakit, promosi kesehatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan
perawatan paliatif, yang diberikan melalui berbagai fasilitas, termasuk
rumah sakit, klinik, dan layanan berbasis komunitas.
19
c.Implementasi Kebijakan (Policy Implementation):
Implementasi kebijakan adalah proses mengubah keputusan
atau peraturan menjadi tindakan nyata yang bertujuan untuk mencapai
tujuan kebijakan. Ini mencakup kegiatan, strategi, dan mekanisme
yang digunakan oleh aktor pelaksana, seperti lembaga pemerintah atau
organisasi non-pemerintah, untuk memastikan bahwa kebijakan
diterapkan secara efektif dan efisien di lapangan. Menurut Edwards III
(1980), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor utama:
komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap pelaksana, dan struktur
birokrasi.
20
18
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).
19
Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan (Jakarta: Binarupa Aksara, 2010).
20
Haudi Haudi, Kebijakan Publik, Insan Cend (Solok, 2021), hlm. 83.
PAGE \* MERGEFORMAT 2

d.Pasien Penyandang Disabilitas
Disabilitas dalam konteks pasien merujuk pada individu yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang,
dalam interaksi dengan berbagai hambatan lingkungan dan sikap
sosial, dapat menghalangi mereka untuk mengakses layanan kesehatan
secara setara. Definisi ini sejalan dengan pandangan World Health
Organization (WHO), yang menekankan bahwa disabilitas bukan
hanya atribut individu tetapi juga hasil dari interaksi dengan
lingkungan yang tidak mendukung.
21
21
Satish Mishra et al., “The WHO European Framework for Action to Achieve the
Highest Attainable Standard of Health for Persons with Disabilities 2022–2030,” The Lancet
Regional Health - Europe 25 (2023): 100555, https://doi.org/10.1016/j.lanepe.2022.100555.
PAGE \* MERGEFORMAT 2
Faktor Penerapan
Perlindungan
Hukum
Asas Hukum
Perlindungan
Pasien
Pedoman
Pelaksanaan
Norma Hukum
Layanan Kesehatan
Terhadap Pasien
Disabilitas

Gambar 1.2 Kerangka Teori
F.METODE PENELITIAN
1.Metode Pendekatan
Pendeketan penelitian ini adalah pendekatan Yuridis-Sosiologi,
yaitu penelitian yang menekankan tujuan pemerolehan pengetahuan
hukum secara empiris dengan terjung langsung kepada objeknya.
22
Secara
definitif, penelitian yuridis-sosiologis adalah penelitian hukum yang
menggunakan data sekunder sebagai data awal, kemudian dilanjutkan
dengan data primer yang diperoleh dari pengamatan lapangan atau
terhadap masyarakat. Penggunaan pendekatan ini disebabkan oleh
permasalahan yang diteliti karena berkaitan erat dengan faktor yuridis dan
sosiologis. Objek masalah yang diteliti dalam penelitian ini tidak hanya
berkaitan dengan permasalahan pasal yang ada, tetapi berkaitan juga
dengan faktor sosiologi yang melingkupinya.
2.Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
metode studi kasus. Jenis kualitatif dipilih karena bertujuan untuk
memahami fenomena secara mendalam dalam konteks tertentu. Penelitian
kualitatif tidak berfokus pada pengumpulan data numerik tetapi pada
penggalian makna, pandangan, dan pengalaman dari para partisipan yang
terlibat.
23
Metode studi kasus digunakan karena penelitian ini berusaha
mengeksplorasi perlindungan hukum bagi pasien disabilitas secara
mendalam dengan mengambil konteks spesifik di Puskesmas
Astanalanggar. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi
bagaimana pengaturan hukum, pelaksanaan, dan strategi perlindungan
diterapkan di tingkat mikro (lokasi tertentu), sehingga memberikan
gambaran yang lebih kaya dan kontekstual.
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2010), hlm. 51.
23
Sugiyono Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D (Bandung:
Alfabeta, 2017).
PAGE \* MERGEFORMAT 2

Dalam jenis penelitian ini, fokus utama adalah menganalisis
fenomena dalam konteks nyata (real-world context), di mana peneliti
berinteraksi langsung dengan berbagai pihak terkait, seperti pejabat
pemerintah, tenaga kesehatan, dan pasien disabilitas. Peneliti juga
menggali hubungan antara kebijakan hukum di tingkat nasional dengan
implementasinya di tingkat pelayanan kesehatan lokal, yang mencakup
faktor pendukung maupun kendala yang dihadapi.
Melalui pendekatan ini, peneliti diharapkan mampu menjawab
pertanyaan penelitian dengan lebih terarah, mendapatkan perspektif
holistik dari berbagai pihak yang terlibat, dan mengidentifikasi
rekomendasi strategis yang relevan untuk meningkatkan perlindungan
hukum bagi pasien dengan disabilitas. Pendekatan kualitatif dan studi
kasus juga memberikan fleksibilitas bagi peneliti untuk mengeksplorasi
aspek-aspek yang mungkin tidak terduga tetapi relevan dengan topik
penelitian.
3.Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif-analitik yang bertujuan
untuk menggambarkan gejala atau peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat dengan tepat dan tentunya jelas. Penelitian deskriptif secara
defitif yaitu untuk memberikan data kredibel yang berkaitan dengan
manusia, keadaan, atau permasalah yang terjadi, yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta teori yang releban
dengan perundang-undangan dan permasalahan yang terjadi secara nyata
melalui pengumpulan data-data yang diperoleh, diolah, dan disusun secara
logis dan sistematis untuk mendapatkan pemecahan masalah sesuai
ketentuan yang telah berlaku dan seuai dengan teori yang ada serta
relevan.
4.Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini yaitu terbagi menjadi dua, yaitu data
yang bersifat primer dan sekunder. Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut:
PAGE \* MERGEFORMAT 2

a.Data Primer, adalah data yang dikumpulkan dan diperoleh langsung
melalui pengamatan lapangan. Data primer ini disebut juga data asli.
Adapun data primer dalam penelitian ini berupa data hasil wawancara
dengan informa, observasi atau pengamatan lapangan, dan
dokumentasi lapangan. Kemudian, data primer lainnya berupa bahan
hukum yang juga bersifat primer sebagai landasan dari penelitian ini,
antara lain:
1)Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
2)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
3)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas;
4)Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Disabilitas;
5)Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesbilitas
bagi Disabilitas;
6)Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan;
7)Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan;
8)Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien;
9)Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran;
10)Permenkes Nomor 6 Tahun 2024 tentang Rumah Sakit;
11)Permenkes Nomor 19 Tahun 2024 tentang Puskesmas.
b.Data Sekunder, yaitu data yang diperlakukan untuk melengkapi data
primer melalui studi pustaka. Data sekunder meliputi teori-teori, artikel
ilmiah, buku, peraturan perundang-undangan, dan lain sebagainya.
Bahan hukum sekunder sendiri digunakan untuk mendukung dan
memperkuan bahan hukum primer guna menberikan penjelasan
PAGE \* MERGEFORMAT 2

mengenai bahan hukum primer sehingga dapat dilakukan penafsiran
yang lebih mendalam serta mengahsilkan analisis hukum yang holistik
dan komprehensif.
5.Metode Pengumpulan Data
Untuk menyelesaikan penelitian ini maka peneliti memerlukan
data sebagai pendukung dalam penelitian ini. Untuk memperoleh data
yang diharapkan oleh peneliti dan sesuai dengan masalah yang telah
dirumuskan, maka dalam pengumpulan data peneliti akan menggunakan
beberapa teknik, yaitu melakukan observasi atau pengamatan serta
berperan langsung, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka terhadap
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
1.Observasi
Observasi secara garis besar adalah kegiatan pengamatan
untuk objek yang di lihat secara langsung dan detail sehingga
memperoleh informasi yang benar mengenai objek tersebut.
Sehingga muncul yang namanya pengujian untuk diteliti dan
diamati dengan tujuan mengumpulkan data maupun penilaian.
Dengan kata lain observasi merupakan kegiatan pengamatan
sistematis dan terencana yang memiliki tujuan untuk memperoleh
data, yang kemudian dicari validitas dan reliabilitasnya. Dalam
penelitian ini, observasi yang dilakukan adalah observasi partisipan
atau disebut juga pengamatan dengan peneliti ikut berperan serta,
dengan demikian peneliti mengamati sekaligus ikut serta dalam
kegiatan yang dilakukan responden. Peneliti berpartisipasi dalam
kegiatan responden tidak sepenuhnya artinya dalam batas tertentu.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara
kedudukan peneliti sebagai orang luar (pengamat) dan sebagai orang
yang ikut berpartisipasi dalam keputusan responden.
Kemudian observasi di sini akan dilakukan secara terbuka,
artinya tindakan peneliti untuk melakukan penelitian telah diketahui
PAGE \* MERGEFORMAT 2

oleh responden karena telah mengadakan survei terhadap responden
sebelumnya dan kehadiran peneliti di tengah-tengah responden
sudah atas izin responden.
2.Wawancara
Teknik wawancara dilakukan dalam rangka melengkapi
data-data hasil observasi, wawancara dilakukan terhadap subjek
penelitian. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan
untuk menanyakan permasalahan-permasalahan seputar pertanyaan
penelitian dalam rangka memperjelas data atau ketidakjelasan pada
saat melakukan observasi atau pengamatan langsung. Wawancara
merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dengan maksud
tertentu dan berlangsung antara narasumber dan pewawancara.
Dapat diketahui bahwa yang melakukan wawancara ada dua pihak
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
narasumber yang memberikan jawaban atas pertanyan yang
diberikan oleh pewawancara.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data utama berupa
buah pemikiran melalui lisan, pandangan, perasaan dan tindakan
dari masyarakat sebagai responden. Teknik wawancara bermaksud
untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan perasaan
responden, untuk itu maka peneliti melakukan wawancara secara
mendalam dengan tetap mengacu pada arah sasaran dan fokus
penelitian.
3.Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan dalam penelitian ini guna
memperoleh dokumen-dokumen yang mendukung penelitian, dalam
hal ini yang berkenaan dengan merger Bank Syariah Indonesia,
kemudian kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan, produk-
PAGE \* MERGEFORMAT 2

produk Bank Syariah Indonesia dan dokumen-dokumen dari
masyarakat yang menggunakan produk Bank syariah Indonesia.
Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis, gambar, maupun
elektronik. Dokumen-dokumen yang dihimpun akan dipilih sesuai
dengan tujuan dan fokus masalah. Sedangkan teknik dokumentasi
adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan
melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh
subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.
4.Studi Kepustakaan
Sumber data yang diperoleh kepustakaan dengan membaca
dan mengkaji kepustakaan untuk memperoleh informasi dalam
bentuk-bentuk ketentuan meliputi dokumen, dan bukti yang telah
diarsipkan sehubungan dengan yang sedang diteliti.
6.Metode Sampling
Dalam penelitian ini, metode purposive sampling digunakan untuk
menentukan informan yang paling relevan dengan tujuan penelitian.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan
dengan memilih individu secara sengaja berdasarkan karakteristik atau
keahlian tertentu yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Teknik ini
memungkinkan peneliti mendapatkan data mendalam dari sumber yang
memiliki pengetahuan atau pengalaman langsung terkait topik yang
dikaji.
24

Informan dipilih dari berbagai kelompok yang memiliki peran
penting atau keterkaitan langsung dengan isu yang diteliti. Misalnya,
untuk memahami kerangka hukum dan implementasi regulasi terkait
perlindungan pasien disabilitas, informan yang dipilih mencakup
akademisi hukum, praktisi hukum, pejabat pemerintah yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan, serta tenaga kesehatan yang bekerja langsung
24
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013).
PAGE \* MERGEFORMAT 2

dengan pasien disabilitas di fasilitas layanan kesehatan. Selain itu, pasien
disabilitas atau pendamping mereka juga dipilih untuk memberikan
perspektif pengalaman mereka terhadap layanan yang diterima.
Metode ini juga dilengkapi dengan snowball sampling untuk
memperluas jaringan informan. Informan awal, seperti kepala fasilitas
kesehatan atau tenaga kesehatan, dapat merekomendasikan individu lain
yang relevan dan memiliki pengalaman terkait. Teknik ini memungkinkan
peneliti memperoleh data yang lebih kaya dan mendalam dari berbagai
sudut pandang yang mendukung tujuan penelitian.
Penggunaan purposive sampling memastikan bahwa data yang
dihasilkan berasal dari informan yang kompeten, sehingga temuan
penelitian dapat memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang
isu yang diteliti.
7.Metode Analisis Data
Dalam melakukan analisis data, metode yang digunakan adalah
analisis kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analisis. Data deskriptif analisis adalah data yang terkumpul
tidak menggunakan angka-angka dan pengukuran, sehingga apa yang
dinyatakan responden secara tertulis atau lisan, diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh.
25
Dari hasil penelitian terhadap data yang diperoleh, maka dilakukan
pengolahan data dengan teknik editing, yaitu meniliti, mencocokkan data
yang didapat, serta merapikan data tersebut. Selain itu digunakan juga
teknik pengkodean (coding), yaitu meringkas hasil wawancara dengan
responen atau pihak-pihak terkait dengan penelitian ini yang
dikelompokkan dalam kategori tertentu yang telah ditetapkan, dan terakhir
adalah penarikan kesimpulan.
26
G.RENCANA PENYAJIAN TESIS
25
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 70.
26
Sunggono, hlm 70.
PAGE \* MERGEFORMAT 2

Penelitian ini ditulis secara sistematis dan terbagi dalam 4 bab. Setiap
bab akan terdiri dari sub-sub bab. Adapun penjabarannya adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab pertama ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitia, kerangka pemikiran, metode
penelitian, dan rencana penyajian tesis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab kedua tinjauan pustaka berisi landasan teori hasil penelusuran
kepustakaan yang mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang telah
ditetapkan pada bab satu. Bab kedua ini juga berisikan teori-teori yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti yaitu tinjauan tentang
perlindungan hukum, tinjauan tentang tindakan kedokteran, dan tinjauan
tentang pasien penyandang disabilitas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian dengan menjawab rumusan
masalah yang telah ditetapkan pada bab satu yaitu mengenai pengaturan
hukum mengenai perlindungan bagi pasien dengan disabilitas di Indonesia,
pelaksanaan hukum bagi pasien dengan disabilitas di Puskesmas
Astanalanggar dan tantangan yang dihadapi dokter dalam proses tersebut, dan
strategi hukum yang dapat diterapkan untuk memberikan perlindungan
optimal bagi pasien dengan disabilitas di Puskesmas Astanalanggar.
BAB IV PENUTUP
Terakhir, bab ini akan berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan
pembahasan serta saran dan rekomendasi untuk berbagai pihak.
H.JADWAL PENELITIAN
Berikut ini jadwal penelitian dan waktu pelaksanaan yang peneliti buat
dalam bentuk tabel agar memudahkan penelitian:
PAGE \* MERGEFORMAT 2

Tabel 1. Jadwal Penelitian
Tahapan Penelitian Kegiatan
Waktu
Pelaksanaa
n
Ket.
1.Perencanaan Penelitian
a.Penyusunan
Proposal
Penulisan proposal
penelitian yang
disesuaikan dengan
ketentuan dan pedoman
yang berlaku
Minggu ke-1
b.Kajian literatur
Pengumpulan literatur
terkait hukum
perlindungan untuk
pasien disabilitas di
Indonesia
Minggu ke-1
c.Perizinan
penelitian
Pengurusan izin ke pihak
Puskesmas
Astanalanggar dan
lembaga terkait
Minggu ke-2
2.Pengumpulan Data
a.Observasi
Mengamati pelaksanaan
layanan kesehatan bagi
pasien disabilitas di
Puskesma Astanalanggar
Minggu ke-3
b.Wawancara
Melakukan wawancara
dengan:
-Kepala Puskesmas
-Dokter dan tenaga
kesehatan
-Pasien disabilitas atau
pendamping pasien
Minggu ke-4
c.Studi dokumen
Menelaah dokumen
hukum, regulasi, dan
kebijakan terkait
perlindungan pasien
disabilitas
Minggu ke-4
3.Analisis Data
PAGE \* MERGEFORMAT 2

a.Pengorganisasia
n data
Coding data wawancara
dan hasil observasi
Minggu ke-5
b.Analisis tematik
Pengidentifikasian tema
utama terkait pengaturan
hukum, pelaksanaan, dan
tantangan yang dihadapi
Minggu ke-5
c.Analisis
kebijakan hukum
Menganalisis strategi
hukum berdasarkan
regulasi yang ada
Minggu ke-6
4.Penyusunan Laporan Penelitian
a.Penulisan hasil
penelitian
Penyusunan laporan
berdasarkan temuan
Minggu ke-7
dan ke-8
Jadwal dan waktu pelaksanaan penelitian ini dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan data dan temuan.
PAGE \* MERGEFORMAT 2

DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida Salsiah, and Endah Murniningtyas. Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan Di Indonesia: Konsep Target Dan Strategi Implementasi.
Bandung: UNPAD Press, 2018.
Alston, Philip, and Ryan Goodman. International Human Rights: Text and
Materials. Oxford: OUP Oxford, 2013.
Amaliah, Ledia Hanifa. Dari Disabilitas Pembangunan Menuju Pembangunan
Disabilitas. Jakarta: Beebooks Publishing, 2016.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2013.
Armasito, Armasito, Muhamad Sadi Is, Amran Suadi, Marsaid Marsaid, Qodariah
Barkah, Eti Yusnita, Nilawati Nilawati, et al. Hukum Disabilitas Di
Indonesia. Depok: Rajawali Press, 2021.
Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara,
2010.
Badan Pusat Statistik. “Potret Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Hasil Long
Form SP2020,” 2024. https://doi.org/2102059.
Fasly, Muhammad. “Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Terhadap Penyandang
Disabilitas Dalam Bentuk ‘Home Care’ Berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Penyandang
Disabilitas Di Kecamatan Ujung Batu Kabupaten Rokan Hulu.” Riau: UIN
Sultan Syarif Kasim, 2024.
Haudi, Haudi. Kebijakan Publik. Insan Cend. Solok, 2021.
Khasanah, Ida Arifatul, Esti Ningrum, and Agoes Djatmiko. “Implementasi
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 19 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas (Khususnya
Pemenuhan Hak Kesehatan Terhadap Penyandang Disabilitas Ganda).”
Wijayakusuma Law Review 5, no. 1 (2023): 38–46.
Laili, Nisfi Amanda. “Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Tingkat
Kepuasan Pasien Disabilitas Di Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas Netra Dan Fisik Fajar Harapan Provinsi Kalimantan Selatan
Tahun 2023.” Banjarmasin: Universitas Islam Kalimantan MAB, 2024.
Martak, Yusuf Faisal, Hardiyani Puspita Sari, Mulyana Mulyana, and Indira
Pramesi. Aksesbilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Pelayanan
Kesehatan. Bogor: IPB Press, 2021.
Mishra, Satish, Elena S Rotarou, Carrie Beth Peterson, Dikaios Sakellariou, and
Natasha Azzopardi Muscat. “The WHO European Framework for Action to
Achieve the Highest Attainable Standard of Health for Persons with
Disabilities 2022–2030.” The Lancet Regional Health - Europe 25 (2023):
100555. https://doi.org/10.1016/j.lanepe.2022.100555.
PAGE \* MERGEFORMAT 2

Parinduri, Ramadha Yanti. “Analysis of Access to Health Service Facilities in
Hospitas For Persons With Disabilities in Medan City.” In UPMI
Proceeding, 1299–1306, 2023. https://doi.org/10.55751/ups.v1i01.184.
Rahmadi, Rizki. “Analisis Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Bagi Penyandang
Disabilitas Di Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang Tahun 2024.” Padang:
Universitas Andalas, 2024.
Salim, Ishak, and M. Joni Yulianto. Memantau Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas.
Jakarta: BAPPENAS, KSP dan JPODI, 2021.
Satjipto, Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Siswati, Sri. Etika Dan Hukum Kesehatan: Dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010.
Subroto, Mitro, and M. Viqqy Anugrah. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam
Pelayanan Kesehatan Bagi Narapidana Perempuan Penyandang Disabilitas.”
Hukum Dinamika Ekselensia 6, no. 4 (2024): 185–96.
Sugiyono, Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D.
Bandung: Alfabeta, 2017.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Suprobowati, Dewi. “Komunikasi Kebijakan Pada Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Bagi Perempuan Disabilitas Dan Korban Kekerasan Seksual Di
Puskesmas Wagir Kabupaten Malang.” Sintesa 1, no. 1 (February 3, 2023):
1–9. https://doi.org/10.30996/sintesa.v1i1.8175.
Wiradharma, Danny. Pengantar Kuliah Hukum Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto,
2014.
Yuen, Francis K.O. International Perspectives on Disability Services. New York:
Routledge, 2011.
PAGE \* MERGEFORMAT 2
Tags