Buku - Selayang Pandang Kebijakan Fiskal Moneter

DR. RAKHMAT, S.E.,M.S.E.

SELAYANG PANDANG
KEBIJAKAN FISKAL & MONETER

Selayang Pandang Kebijakan Fiskal dan Moneter

Penulis :Dr. Rakhamt, S.E., M.S.E.

ISBN : 978-623-96930-1-5

Desain Sampul dan Tata Letak :
Dr. Rakhmat, S.E., M.S.E.

Penerbit :
Pusat Karir dan Riset STIE Mulia Pratama

Redaksi :
Gedung STIE Mulia Pratama
Lantai 1, Jl. H.M. Joyomartono Kav. 5 Kota Bekasi
Bekasi Timur 17113
Telp. 021 88353599, 88354599
Fax 021 88359799

Cetakan Pertama, Januari 2021
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

KATA PENGANTAR

Buku ini adalah memoar yang memuat catatan
peristiwa saat bekerja sebagai staf ahli bidang
ekonomi dan moneter. Alur pikir buku ini dilandasi
pada perspektif legislasi. Dari situ akar masalah
dipotret. Lebih jauh, memoar ini memotrer pula apa
yang terjadi di balik pembahasan UU Bank
Indonesia dan pembahasan RUU Otoritas Jasa
Keuangan.
Atas selesainya penyusunan buku ini, sayang
ingin mengucapkan terimakasih kepada Pusat Karir
dan Riset STIE Mulia Pratama yang menginisiasi
dan me—recycle hal-hal terkait kebijakan fiskal dan
mpneter, yang sayang jika tidak dibukukan. Tentu
diharapkan buku yang ada di tangan para pembaca
saat ini dapat berguna bagi khalayak ramai dan
terakhir semoga bermanfaat, Amin. Selamat
membaca!

Kebijakan fiskal dan moneter harus dipandang
dalam kerangka yang sistemik. Dengan begitu, uraian
dalam buku ini diharapkan menjadi masukan yang
berarti dan menjadi entry point menata kebijakan fiskal
dan moneter yang berdampak pada kesejahteraan.
Kebijakan fiskal di dalam buku ini disaripatikan
dari interaksi Departemen Keuangan. Sementara itu,
bidang moneter diekstraski dari interakasi dengan Bank
Indonesia. Selayang padang tentang privatisasi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Bappenas, BPK, BPS
dan BPKP memperkaya sisi moneter dan fiskal di
Indonesia.

Selain itu, penanganan masalah-masalah khusus
yang memantik perhatian public terkait proses divestasi
anak perusahaan Bank Indonesia, masalah Hibah
PPB/BTDC dan penanganan kasus-kasus perbankan
maupun yang bukan bank seperti Bank Indover, kasus
Sarijaya, kasus Antaboga dan kasus yang paling
mutakhir adalah yang menimpa Bank Century dan
gambaran tentang konfigurasi anggaran tertentu bagi
masing-masing Kementerian dan Lembaga. Gambaran
lain dari buku ini adalah dinamika pembahasan
beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) seperti
RUU Surat Berharga Syariah Negara dan RUU
Perbankan Syariah. Selain itu dalam buku ini juga
dikemukakan Amandemen Undang-Undang Perpajakan
dan Amandemen Undang-Undang dan Anggaran
Operasional Tahunan Bank Indonesia Tahun 2004-2009.
Terakhir, dengan kerendahan hati tentu kami ingin
mempersembahkan buku ini pada khalayak luas, yaitu
seluruh rakyat Indonesia

BAGIAN PERTAMA
KEBIJAKAN FISKAL

1.1. Kebijakan Fiskal

Sebelum mendalami beberapa aspek dalam
kebijakan fiskal yang dijalankan oleh pemerintah
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, ada baiknya
kita memahami terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan
dengan perbedaan kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter. Kedua jenis kebijakan ini umumnya cukup
berbeda atau terpisah, namun dalam beberapa hal sulit
untuk dipisahkan. Hal ini sangatlah penting mengingat
Bank Indonesia yang merupakan otoritas moneter dalam
perekonomian Indonesia dan Departemen Keuangan
yang merupakan dapur penting bagi perumusan
kebijakan fiskal di negara kita. Seluk-beluk kebijakan
fiskal dan moneter perlu dipahami agar pembahasan
tentang kedua kebijaka itu bisa terstruktur dengan baik
dan lebih optimal.
Kebijakan fiskal berkaitan dengan hal-hal yang
terkait dengan pengeluaran pemerintah, karena itu
termasuk di dalamnya tidak hanya pengeluaran itu
sendiri namun juga dampaknya pada perekonomian.
Pendanaan dari pengeluaran pemerintah juga merupakan
unsur dari kebijakan fiskal. Termasuk di antaranya

perpajakan dan pengusahaan sumber dana lain termasuk
pinjaman dari dalam maupun luar negeri, penjualan surat
berharga di dalam maupun luar negeri, pinjaman
bilateral dan lain sebagainya.
Kebijakan fiskal mempunyai tiga fungsi utama
yaitu fungsi alokasi anggaran, fungsi distribusi
pendapatan dan fungsi stabilisasi ekonomi makro.
Perubahan dari waktu ke waktu dalam lingkup
perpajakan, pemberian subsidi, transaksi keuangan
pemerintah untuk mendanai defisit anggaran,
pembangunan infrastruktur dan sebagainya, secara
bersama-sama memiliki fungsi-fungsi tersebut bagi
perekonomian.
Jika pemerintah merumuskan atau mengubah
kebijakan fiskal, hal-hal yang bisa diakibatkannya adalah
perubahan pihak-pihak yang terkena beban serta
pergeseran pihak-pihak yang memperoleh manfaat lebih
banyak dari subsidi, pergeseran sektor-sektor yang
diprioritaskan untuk didanai melalui pengeluaran
pemerintah, perubahan pada tingkat bunga karena
pemerintah turut melakukan penerbitan surat berharga
untuk meraup tambahan dana dari tabungan masyarakat
dan sebagainya. Peningkatan dana yang dialokasikan
untuk sektor pendidikan di Indonesia merupakan contoh
nyata perubahan kebijakan fiskal yang dilakukan otoritas
fiskal dengan tujuan untuk memajukan pendidikan.
Namun penaikan alokasi dana pendidikan bisa

diinterpretasikan sebagai pengurangan tekanan perhatian
pada sektor-sektor lain mengingat terbatasnya dana
pengeluaran negara.
Kebijakan moneter kini oleh banyak negara
termasuk Indonesia diserahkan ke tangan bank sentral
masing-masing untuk dirumuskan dan dijalankan secara
independen. Kebijakan moneter dijalankan untuk
menstabilkan perekonomian melalui penggunaan atau
pengendalian instrumen-instrumen yang ada seperti
tingkat suku bunga dan jumlah uang yang beredar.
Kebijakan perdagangan sering kali disebutkan
secara terpisah dari dua jenis kebijakan di atas.
Kebijakan perdagangan berkaitan dengan hal-hal seperti
usaha menghambat impor agar penggunaan produk
dalam negeri meningkat melalui pemberlakukan tarif
impor, pemberian subsidi untuk produk-produk ekspor
dan sebagainya. Namun jika kita cermati, kebanyakan
kebijakan perdagangan berkaitan dengan pemberian
subsidi, perolehan bea masuk dan sebagainya yang
bermuara pada atau berkaitan dengan anggaran
pendapatan dan belanja negara. Akibatnya, kebanyakan
kebijakan perdagangan bisa dikategorikan sebagai
kebijakan fiskal juga.
Namun demikian, tidak ada perekonomian di mana
sisi moneternya terpisah sama sekali dari aspek
fiskalnya. Sebuah kebijakan fiskal bisa berdampak tidak
langsung pada naiknya tingkat bunga. Jika pemerintah

terlalu jor-joran menawarkan surat berharga untuk
menutup defisit anggarannya, terjadilah hal yang disebut
crowding-out (pemerintah ikut berebut memperoleh dana
dengan mendesak swasta sehingga menambah kesulitan
swasta memperoleh dana investasi dan sebagainya).
Usaha pemerintah menjual surat berharga ini merupakan
tambahan pilihan portofolio yang bisa dipegang
masyarakat yang memiliki kelebihan dana (saving).
Akibatnya, terjadi peningkatan persaingan merebut
kelebihan dana masyarakat dengan pihak perbankan,
bursa surat berharga, perusahaan-perusahaan, dan
lembaga-lembaga keuangan pada umumnya. Pada
akhirnya tingkat bunga terdongkrak naik. Untuk hal ini,
bank sentral bisa saja memberitahu ataupun menegur
pemerintah tentang bahaya menutupi kebutuhan dana
melalui cara ini secara berlebihan.
Seorang Gubernur bank sentral juga boleh-boleh
saja mengkritisi kebijakan fiskal yang berpotensi
mendongkrak inflasi secara berlebihan (kebijakan fiskal
yang inflatoir) pada saat di mana bank sentral sedang
giat-giatnya menahan laju inflasi melalui penggunaan
instrumen moneter seperti penaikan tingkat bunga. Pihak
pemerintah pun bisa saja menganjurkan bank sentral
untuk melonggarkan uang beredar melalui misalnya
penurunan tingkat bunga dalam rangka mendorong
bergeraknya sektor ril.

Pembedaan kebijakan fiskal dari kebijakan moneter
sangat penting bagi Komisi di DPR yang menjalankan
fungsi sebagai pasangan kerja bank sentral yang
merupakan pemegang otoritas kebijakan moneter dan
Departemen Keuangan sebagai “dapur utama”
perumusan dan penjalanan kebijakan fiskal. Jangan
sampai hal-hal yang berada dalam teritori kebijakan
bank sentral dilontarkan untuk mendapat penjelasan atau
untuk mendapat semacam pertanggungjawaban dari
Departemen Keuangan dan sebaliknya.
Batas antara fiskal dan moneter ini tidak bisa
dipandang secara hitam putih. Bisa saja hal fiskal
tertentu ditanyakan pada pihak bank sentral sepanjang
pertanyaan ini akan bermuara pada efek atau kaitannya
dengan stabilitas moneter atau efektivitas kebijakan
moneter tertentu. Misalnya, seperti disebutkan di atas,
ketika pemerintah terlalu gencar menjual surat berharga,
maka bank sentral bisa ditanyai soal dampak moneter
dari kebijakan penjualan surat berharga ini, apakah
masih dalam batas-batas aman atau telah cukup
berbahaya bagi kestabilan moneter.
Namun adalah hal yang tidak tepat jika persoalan
yang berkaitan dengan gonjang-ganjing di dunia pasar
modal, seperti pelanggaran dalam bisnis jual-beli surat
berharga pasar modal yang terkait dengan buruknya
transparansi bagi masyarakat calon pembeli surat
berharga tertentu, kemudian dipertanyakan secara

mendalam pada pihak bank sentral. Otoritas ataupun
pengawasan hal-hal ini berada di tangan pihak Bapepam-
LK yang berada di bawah Departemen Keuangan.
Berkaitan dengan inflasi, kita harus berhati-hati
dalam melihatnya. Data salah satu bank besar milik
negara menunjukkan bahwa secara rata-rata sekitar dua
pertiga dari inflasi di negara kita datang dari jumlah
uang beredar (bersifat moneter) dan sisanya diakibatkan
oleh perubahan administered prices seperti harga bahan
bakar minyak dan perubahan food prices (bersifat fiskal).
Data ini menunjukkan bahwa persoalan inflasi bisa
diperdebatkan baik dengan bank sentral maupun dengan
pihak pemerintah. Hanya saja, kita harus mengarahkan
perdebatan pada hal-hal yang menjadi otoritas pasangan
kerja kita. Dengan pihak pemerintah, kita bisa
membicarakan inflasi dari sisi dampak yang datang dari
perubahan harga bahan bakar minyak atau pangan.
Sementara, dengan bank sentral, pembicaraan harus
lebih dititikberatkan pada hal-hal seputar uang yang
beredar maupun instrumen-instrumen yang
mempengaruhi uang beredar seperti suku bunga dan
kebijakan terkait penyaluran kredit.

1.2. APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
merupakan salah satu instrumen utama Kebijakan Fiskal.
APBN terdiri dari dua bagian besar yaitu sisi Pendapatan

dan sisi Belanja yang biasanya diperbarui setiap tahun.
Pihak yang menjalankan kebijakan ini akan berurusan
dengan pengadaan pendapatan (pajak, pendapatan
negara bukan pajak, setoran dividen perusahaan-
perusahaan milik negara dan sebagainya) dan penentuan
berbagai jenis belanja. Dalam hal belanja yang
direncanakan melebihi perkiraan pendapatan untuk
mendanai belanja dimaksud, terjadilah defisit anggaran.
Dalam hal demikian, defisit dapat ditutupi melalui cara-
cara seperti peminjaman dari negara atau lembaga lain,
penjualan surat berharga, dan sebagainya.
Pembiayaan defisit anggaran negara merupakan
tema yang menyita tidak sedikit energi pihak DPR
maupun pihak pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari
tingginya perhatian masyarakat pada aktivitas penerbitan
surat berharga negara, pengadaan hutang luar negeri, dan
sebagainya untuk menutup defisit. Keakuratan cara
penerbitan maupun pemanfaatan hasil penerbitan surat
berharga merupakan tema yang penting. Sebagai contoh,
dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah
pada tanggal 31 Agustus 2009, penerbitan Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) dibicarakan. Hal yang
menjadi sorotan anggota Komisi XI DPR RI antara lain
berkaitan dengan Barang Milik Negara (BMN) apa saja
yang dijadikan sebagai aset SBSN (Underlying Assets).
Dalam rapat disepakati agar pemerintah tidak
menjadikan aset-aset yang bernilai strategis, memiliki

simbol-simbol kedaulatan, bernilai sejarah kebangsaan
sebagai underlying assets dalam penerbitan SBSN.
Dasar pemikirannya adalah untuk menghindari protes
masyarakat dan berbagai risiko lainnya di kemudian hari.
Sebaliknya, bisa saja terjadi surplus anggaran
negara di mana besarnya pendapatan negara melebihi
belanja. Namun kondisi ini belum pernah dialami negara
kita. Apabila ini terjadi, menurut Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
pemerintah bisa mengajukan penggunaannya pada tahun
anggaran berikutnya ke DPR.
Berkaitan dengan belanja negara, DPR RI
melakukan pembahasannya melalui rapat-rapat dengan
pimpinan Kementerian dan Lembaga (K/L) maupun
unit-unit yang ada dalam K/L. Komisi XI DPR RI
misalnya membahasnya dengan Direktorat Jenderal
Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan
sebagainya, karena Direktorat-Direktorat ini merupakan
unit-unit yang ada di bawah Departemen Keuangan yang
merupakan pasangan kerja Komisi XI.

1.3. Dampak APBN Pada Perekonomian
Terhadap sektor riil, sebagian APBN yakni yang
bersifat belanja modal dapat berdampak seperti investasi
swasta yakni pembentukan modal tetap sehingga turut
menggerakkan roda perekonomian. Hal tersebut tidak
berarti bahwa belanja negara jenis lain tidak berdampak

pada sektor riil. Bagian dari APBN yang merupakan
konsumsi pemerintah juga dapat mempengaruhi
perekonomian seperti konsumsi yang dilakukan
masyarakat pada umumnya. Konsumsi akan merupakan
tambahan permintaan terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan sehingga turut memutar roda perekonomian
juga.
Selain pembentukan modal dan konsumsi,
transaksi keuangan yang dilakukan pemerintah seperti
menjual Surat Berharga Negara (SBN) dalam rangka
menutupi kebutuhan anggaran akan mempengaruhi baik
dari sisi penggunaannya maupun dari sisi
penyerapannya. Sebagai contoh, penggunaan bagi
pembangunan infrastruktur atau pengentasan kemiskinan
akan mempengaruhi roda perekonomian. Berkaitan
dengan penerbitan SBN, baik jenis Surat Utang Negara
(SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),
Komisi XI DPR RI menjalankan fungsi pengawasannya
melalui pelaksanaan rapat-rapat untuk mendalami aspek-
aspek yang berkaitan dengan penerbitan instrumen-
instrumen keuangan yang memiliki beragam implikasi,
baik sebagai beban yang menuntut pembayaran di
kemudian hari maupun potensi dampak tekanan pada
sektor swasta (crowding out) ketika surat berharga
diterbitkan.
Di samping tiga sisi dampak APBN tersebut, cara-
cara lain yang dilakukan pemerintah untuk memperoleh

dana yang akan digunakan untuk membiayai
pengeluarannya juga sangat berpengaruh pada sektor riil
baik langsung maupun tak langsung. Jenis-jenis dan
tinggi-rendahnya pajak, penarikan berbagai pendapatan
bukan pajak akan sangat mempengaruhi perekonomian.
Hal ini mengingat pemerintah tidak sendirian tapi
merupakan salah satu pelaku ekonomi di samping
pelaku-pelaku lainnya dalam perekonomian, termasuk
konsumen umum dan perusahaan swasta. Penyerapan
pajak oleh pemerintah dari perekonomian untuk
pendanaan pengeluarannya akan mempersulit pelaku lain
dalam memperoleh dana untuk mendanai aktivitasnya.
Dampak APBN pada perekonomian merupakan
salah satu aspek penting yang didalami dalam rapat-rapat
pembahasan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal dan Asumsi
Ekonomi Makro tiap Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Hasil rapat pihak pemerintah
dengan Komisi XI DPR RI tentang hal ini menjadi dasar
bagi Panitia Anggaran dalam pembicaraan tentang
Anggaran dengan pihak pemerintah.
Sebagai contoh, dalam rapat kerja antara Komisi
XI DPR RI dengan pemerintah pada tanggal 24 Agustus
2009 yang lalu pemerintah mengajukan angka
pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 5%. Hal ini
dipandang oleh Komisi XI DPR RI sebagai persentase
yang terlalu rendah. Oleh karena itu, diusulkanlah angka
5,5% yang kemudian disepakati dalam rapat. Perubahan

ini tentu akan berimplikasi pada berbagai sisi dalam
RAPBN 2010 sehingga menuntut kesiapan pemerintah
untuk mampu merumuskan kembali RAPBN yang telah
disusun sebelumnya agar sesuai dengan asumsi
pertumbuhan yang lebih tinggi ini. Demikian pula halnya
dengan asumsi tentang tingkat inflasi, tingkat bunga,
tingkat nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan
asumsi harga minyak. Penaikan atau penurunan angka-
angka ini harus disadari berimplikasi pada konfigurasi
dalam RAPBN terkait. Oleh karena itu, dari sisi Komisi
XI DPR RI, perlu ada data dan argumen yang memadai
ketika hendak menuntut pengubahan sebagian atau
seluruh asumsi RAPBN yang diajukan pemerintah dalam
rapat.
APBN dapat mempengaruhi perekonomian, namun
sebaliknya APBN sangat rentan terhadap beberapa
perubahan eksternal. Fluktuasi harga minyak dunia
merupakan salah satu contohnya. Perubahan harga
minyak dapat meringankan tapi dapat juga memberatkan
beban APBN. Oleh karena itu, perkiraan harga minyak
dan penyesuaian berkala dari asumsi harga minyak untuk
APBN, di bawah pengawasan DPR, harus dilakukan
pemerintah dengan cermat. Pada prinsipnya, keuangan
negara tidak akan mampu untuk terus-menerus menutupi
perbedaan harga jual di dalam negeri dan harga dunia
akibat lonjakan harga dunia yang selama ini sering
terjadi dengan angka besaran harga yang terkadang luar

biasa besarnya. Seperti yang pernah dilakukan
pemerintah beberapa kali, untuk menjaga sustainability
anggaran negara, dengan terpaksa pemerintah melakukan
penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam
negeri. Pada tahun 2005 saja pemerintah sampai dua kali
menaikkan harga BBM dalam negeri karena tekanan
harga dunia pada anggaran pemerintah. Hal seperti ini
akan menyulitkan pencapaian target pertumbuhan
ekonomi, sehingga penyesuaian simultan yang perlu
terjadi adalah penaikan asumsi harga minyak dunia,
penurunan asumsi pertumbuhan ekonomi, dan sangat
mungkin penaikan asumsi inflasi karena penaikan harga
BBM dalam negeri.
Pembicaraan mengenai asumsi APBN tidak hanya
terjadi sekali dalam setahun. Dalam setiap tahun bisa
terjadi pengubahan asumsi-asumsi makro jika dipandang
telah terjadi perubahan yang cukup besar dan menuntut
penyesuaian dalam APBN dan melahirkan APBN-
Perubahan. Sebagai contoh, krisis global yang melanda
perekonomian dunia baru-baru ini telah mengakibatkan
diubahnya asumsi-asumsi APBN tahun 2009 melalui
rapat Komisi XI DPR RI dengan pemerintah.

1.4. RPJPN, RPJMN, RKP dan APBN
Dalam prakteknya di Indonesia saat ini,
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) mengacu pada Rencana Kerja

Pemerintah (RKP) yang merupakan perincian
pelaksanaan tahunan dari Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) lima tahunan. RPJMN
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025.
RPJPMN kedua untuk periode sekarang yakni
2009-2014 belum disusun karena berkaitan dengan
pemerintahan baru hasil pemilu 2009. Namun
pemerintah telah mengidentifikasi lima agenda besar
untuk lima tahun ke depan. Lima agenda besar tersebut
adalah (1) Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat. (2) Pembangunan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. (3) Penguatan demokrasi dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia. (4) Penegakan hukum
dan pemberantasan korupsi, dan (5) Pembangunan yang
makin adil dan merata di seluruh tanah air.
Tema RKP yang ditetapkan untuk tahun 2010
adalah “Pemulihan Perekonomian Nasional dan
Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat”. RAPBN 2010
seyogyanya disusun berdasarkan tema ini. Berkaitan
dengan hubungan antara kebijakan fiskal tahunan dengan
rencana pembangunan berbagai jangka waktu tersebut,
ada beberapa hal penting dan masih perlu dicermati lebih
mendalam di masa-masa mendatang.
Dalam rapat dengan pemerintah mengenai Pokok-
Pokok Kebijakan Fiskal, alur dan kesesuaian penurunan
APBN dari RPT yang merupakan rumusan yang

diturunkan dari RPJMN seyogyanya dibahas secara
mendalam menuju optimalisasi fungsi negara dalam
mengarahkan roda perekonomian. Keterlibatan pihak
Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan/Bappenas dalam rapat karena merupakan
pasangan kerja Komisi XI DPR juga membuat rapat
pembahasan mngenai hal ini bisa lebih mendalam karena
keterlibatan Bappenas dalam penyusunan RPT, RPJMN
dan RPJPN sebelumnya. Dalam rapat-rapat mendatang,
pembahasan hal ini perlu lebih diintensifkan agar peran
pemerintah dalam perekonomian dapat lebih terpantau
dan dioptimalkan, tidak hanya dalam horizon waktu
tahunan tapi juga jangka pendek maupun jangka
panjang.

1.5. Kebijakan Moneter Dan Perbangkan
Periode 2004-2009

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas
moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian
besaran moneter (antara lain uang beredar, uang primer
atau kredit perbankan) untuk mencapai perkembangan
kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam
pelaksanaannya, kebijakan moneter diterapkan sejalan
dengan business cycle. Dalam hal ini kebijakan moneter
ekpansif dapat mendorong kegiatan ekonomi yang
sedang mengalami resesi berkepanjangan. Sebaliknya,
kebijakan moneter kontraktif dapat memperlambat laju
inflasi yang umumnya terjadi pada kegiatan ekonomi
yang sedang mengalami boom. Selain menjalankan
kebijakan moneter, Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang
Bank Indonesia, mempunyai tugas mengatur dan

mengawasi bank (pasal 8 point c). Dalam
pelaksanaannya pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dapat melalui off- site supervision maupun on-
site examination.
Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan
dan perbankan, mempunyai peran strategis dalam
mengawasi efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter
dan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Untuk mencermati lebih jauh bagaimana pelaksanaan
kebijakan moneter selama periode 2004 -2009, dan
respon serta pengawasan yang dilakukan Komisi XI
yang diwujudkan dalam bentuk rapat-rapat komisi XI.
Berikut ini disajikan pelaksanaan kebijakan moneter dan
perbankan selama periode 2004-2009, dilanjutkan
dengan respon dan tanggapan komisi XI dalam bentuk
rapat-rapat komisi XI.

Periode 2004
Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat yang relatif stabil dan cenderung
menguat sejak tahun 2001 kembali melemah pada akhir
semester I 2004, dari rata-rata Rp. 8.382/US$ dalam
bulan Januari menjadi Rp. 9.403/US$ dalam bulan Juni.
Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut, berkaitan
dengan meningkatnya kebutuhan dolar di dalam negeri,
terutama oleh korporasi besar untuk pembayaran utang
dan impor. Di samping itu, tekanan terhadap nilai tukar

rupiah juga dipicu oleh menguatnya nilai dolar Amerika
Serikat di pasar internasional, ekspektasi akan adanya
kenaikan suku bunga the Fed Fund, serta percepatan
pemulihan ekonomi Amerika Serikat.
Berkaitan dengan hal itu, Bank Indonesia telah
melakukan respon kebijakan secara simultan yang cukup
efektif untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan
pengendalian laju inflasi yang mencakup kenaikan Giro
Wajib Minimum dan ketetapan yang mewajibkan posisi
devisa neto perbankan setinggi-tingginya 20% dari
modal, serta operasi moneter Bank Indonesia. Efektifnya
kebijakan-kebijakan yang ditempuh, serta lancar dan
amannya pelaksanaan Pemilu telah mendorong nilai
tukar rupiah kembali menguat pada bulan Juli 2004.
Dengan demikian, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai
Rp. 8.897/US$. Kebijakan menstabilkan nilai tukar
rupiah merupakan salah satu faktor yang sangat penting
untuk mengendalikan inflasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi antara lain adanya kebijakan
kenaikan harga LPG, tarif telepon, melemahnya kurs
rupiah, tingginya harga minyak mentah, serta imported
inflation yang berasal dari naiknya harga-harga
komoditas di pasar internasional.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor internal
maupun eksternal seperti tingginya harga minyak dan
relatif melemahnya nilai tukar rupiah, maka realisasi
inflasi dalam tahun 2004 diperkirakan mencapai sekitar

7%, lebih tinggi dari asumsi inflasi dalam APBN 2004
sebesar 6,5%. Apabila dibandingkan dengan
perkembangan inflasi dalam beberapa tahun terakhir,
inflasi dalam tahun 2004 masih dalam jalur
kecenderungan inflasi yang menurun secara bertahap
dalam jangka menengah. Kecenderungan melemahnya
nilai tukar rupiah dan meningkatnya ekspektasi inflasi
dalam beberapa bulan terakhir ini, serta meningkatnya
suku bunga the Fed Fund, telah menyebabkan
melambatnya akselerasi penurunan suku bunga SBI.
Selama tahun 2004 suku bunga SBI 3 bulan
mencapai rata-rata 7,5%, lebih rendah bila dibandingkan
dengan yang diperkirakan semula sebesar 8,5%.
Sementara itu, penurunan suku bunga SBI telah direspon
sektor perbankan, yang tercermin pada menurunnya suku
bunga simpanan dan suku bunga kredit. Penurunan suku
bunga kredit tersebut telah mendorong meningkatnya
penyaluran kredit perbankan. Dalam kaitan ini, Bank
Indonesia terus melanjutkan monitoring pencapaian
business plan dan melakukan moral suasion (himbauan)
untuk mempercepat intermediasi sektor perbankan.
Kinerja sektor perbankan sampai dengan triwulan III
2004 secara keseluruhan stabil dan tidak terdapat potensi
peningkatan risiko yang dapat membahayakan stabilitas
sistem keuangan. Hal tersebut tercermin pada stabilnya
kualitas kredit yang ditunjukkan oleh meningkatnya
rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit

ratio/LDR) dan pendapatan bunga bersih (net interest
margin/NIM), serta relatif stabilnya non performing loan
(NPL) dalam tahun 2004.
Periode 2005
Stabilitas ekonomi pada tahun 2005 mengalami
tekanan yang cukup berat. Nilai tukar rupiah melemah
menjadi Rp. 9.830/USD pada bulan Desember 2005 atau
terdepresiasi sekitar 5,8% (y-o-y). Laju inflasi di bulan
Desember 2005 mencapai 17,11% (y-o-y) seiring dengan
kenaikan kenaikan harga BBM yang cukup besar pada
awal Oktober 2005. Untuk meningkatkan upaya
pengendalian moneter, Bank Indonesia menaikkan giro
wajib minimum (GWM) bank pada bulan September
2005, dan BI rate ditingkatkan secara bertahap, menjadi
12,75% pada awal Desember 2005.
Di sektor perbankan, telah terjadi peningkatan pada
penghimpunan dan penyaluran dana perbankan dalam
tahun 2005. Penghimpunan dana masyarakat di
perbankan meningkat sekitar 17,5% dari Rp. 965,1
triliun pada bulan Desember 2004 menjadi Rp. 1.134,1
triliun pada bulan Desember 2005 terutama didorong
oleh kenaikan suku bunga perbankan. Tingkat suku
bunga deposito meningkat dari 6,4% pada akhir tahun
2004 menjadi 12,0% pada akhir 2005, sedangkan tingkat
suku bunga kredit modal kerja meningkat dari 13,4%
menjadi 15,9% dalam periode yang sama. Di sisi lain,

penyaluran dana masyarakat meningkat pesat sebesar
24,5% dari Rp. 553,5 triliun menjadi Rp. 689,7 triliun
pada periode yang sama. Dengan perkembangan
tersebut, loan to deposit ratio (LDR) meningkat cukup
berarti dari 50,0% pada akhir tahun 2004 menjadi 54,8%
pada akhir tahun 2005. Namun, kondisi pangsa kredit
bermasalah terhadap total kredit (gross non performing
loan) cenderung meningkat dari 5,8% pada akhir tahun
2004 menjadi 8,7% pada akhir tahun 2005.
Selain itu, pembiayaan kepada usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM), juga menunjukkan kemajuan.
Penyaluran kredit usaha kecil (KUK) meningkat sebesar
13,3% dari Rp. 93,6 triliun pada bulan Desember 2004
menjadi Rp. 106,1 triliun pada bulan Desember 2005.
Dari total KUK tersebut, 78,8% diantaranya untuk
kegiatan produktif (investasi dan modal kerja), atau
sedikit menurun dibanding kinerja tahun sebelumnya
yang sebesar 79,7%. Meskipun jumlahnya meningkat,
peranan KUK terhadap total kredit menurun dari 20,3%
pada tahun 2001 menjadi 15,4 persen pada tahun 2005.
Seiring dengan membaiknya fungsi intermediasi
perbankan tersebut, ketahanan perbankan nasional dapat
dipertahankan dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini
ditunjukkan oleh relatif stabilnya rasio kecukupan modal
(Capital Adequacy Ratio) perbankan yaitu sekitar 19,6%
pada akhir tahun 2005 yang relatif sama dengan akhir
tahun 2004 yaitu sebesar 19,4%. Untuk mendorong

proses konsolidasi perbankan, rasio kecukupan modal ini
akan dijaga.
Peningkatan fungsi intermediasi, selain diupayakan
melalui perbankan konvensional juga ditempuh melalui
perbankan syariah. Penghimpunan dana pihak ketiga
perbankan syariah meningkat sekitar 31,4% pada bulan
Desember 2005 dibandingkan dengan posisi pada bulan
Desember 2004. Di sisi lain, pembiayaan perbankan
syariah tumbuh sekitar 32,6% dari sebesar Rp. 11,4
triliun pada bulan Desember 2005 menjadi Rp. 15,2
triliun pada bulan Desember 2005. Dengan demikian,
rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (financing
to deposit ratio) perbankan syariah menjadi sekitar
97,8%, jauh lebih tinggi dari LDR perbankan, yaitu
sebesar 54,8% pada akhir tahun 2005.
Selanjutnya, dalam rangka memperkuat sistem
keuangan dalam negeri, pemerintah telah memulai
meletakkan landasan mekanisme pengelolaan krisis.
Pada akhir tahun 2005, Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) didirikan untuk menjalankan fungsi penjaminan
terhadap dana-dana masyarakat yang ditempatkan di
perbankan. Sebagai tindak lanjut dari pendirian LPS,
diperlukan langkah-langkah untuk mewujudkan lembaga
pengatur dan pengawas jasa-jasa keuangan yang
independen.

1.6. Umpan Balik
Terhadap serangkaian kebijakan moneter dan
perbankan yang telah dilakukan Bank Indonesia selama
tahun 2004, Komisi XI DPR RI telah melakukan
pengawasan dalam bentuk rapat kerja maupun rapat
dengar pendapat diantarnya :
1. Rapat Kerja dengan Deputi Gubernur Senior
BI dan Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu
pada 28 Februari 2005 dengan agenda
Penyelesaian kasus Bank Global, dengan
kesimpulan rapat sebagai berikut :
- Komisi XI DPR RI meminta agar dalam
penyelesaian penjaminan terhadap rekening
nasabah Bank Global yang belum dapat
disimpulkan berdasarkan hasil verifikasi
BPKP, diupayakan mekanisme lain untuk
dapat memberikan penjaminan sejauh tidak
melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dan penyerahan masalah ini
kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan
merupakan upaya terakhir demi menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
nasional.
2. Rapat Kerja dengan Gubernur Bank Indonesia
dan Menteri Keuangan pada 23 Mei 2005 dan 7

Juni 2005 dengan agenda Rencana Pendirian
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dengan
kesimpulan rapat sebagai berikut :
- Komisi XI DPR RI dan Menteri Keuangan
sepakat bahwa masalah pembahasan modal
awal LPS, akan didalami lebih lanjut dalam
Rapat POKJA Keuangan dan BUMN serta
POKJA Perbankan dan LKBB Komisi XI
DPR RI dengan Direktorat Jenderal Lembaga
Keuangan Departemen Keuangan untuk
jangka waktu selama 2 (dua) minggu. Hasil
pembahasan dan pendalaman oleh POKJA
tersebut, dilaporkan dalam Rapat Intern
Komisi XI DPR RI untuk mendapatkan
keputusan/persetujuan.

Periode 2006
Berbagai indikator, yang pada tahun 2005
mengalami tekanan, di tahun 2006 mulai menunjukkan
perbaikan. Tekanan inflasi yang cukup tinggi di awal
tahun 2006, turun secara perlahan tapi pasti. Inflasi pada
tahun 2006 mencapai 6,6% (yoy), atau berada di bawah
kisaran sasaran yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Dengan menurunnya inflasi, Bank Indonesia memiliki
ruang untuk secara bertahap menurunkan BI Rate, dan

sepanjang tahun 2006, Bank Indonesia telah menurunkan
BI Rate sebanyak 300 basis points dari 12,75% menjadi
9,75%. Penurunan tersebut diambil untuk
mempertahankan persepsi positif pelaku ekonomi,
mendukung perbaikan iklim usaha, sekaligus menjaga
stabilitas di pasar keuangan ditengah arus modal masuk
untuk portfolio placements yang meningkat.
Stabilitas moneter yang cukup terjaga tersebut,
yang didukung pula oleh kinerja Neraca Pembayaran
Indonesia yang relatif baik dengan surplus sebesar 2,4%
dari PDB dapat menyumbang pada stabilitas nilai tukar
rupiah sepanjang tahun 2006. Dan, karena itu
perekonomian pun memiliki ruang untuk tumbuh lebih
meluas (broad-based). Sejak paruh kedua 2006 fase
ekspansi perekonomian nasional mulai terlihat,
meskipun belum cukup berimbang karena masih adanya
berbagai hambatan pada iklim investasi dan ekonomi
biaya tinggi. Investasi tumbuh lebih lambat dibanding
tahun sebelumnya, sementara ekspor dan permintaan
konsumsi swasta masih menjadi penopang utama
pertumbuhan ekonomi di keseluruhan tahun 2006. Dan,
sejak paruh kedua 2006 kita sudah mulai melihat
peningkatan pertumbuhan kredit yang diikuti dengan
percepatan belanja pemerintah, sehingga ikut mendorong
pertumbuhan ekonomi, yang diperkirakan akan
mencapai 5,5% yoy.

Tahun 2006 juga merupakan tahun yang penting,
karena pada tahun itu, kita melakukan pelunasan utang
kepada IMF tanpa menimbulkan gejolak yang berarti di
pasar keuangan. Dengan dilunasinya utang IMF tersebut,
kita telah menjadi anggota IMF biasa, bukan anggota
yang sakit. Meski telah dilakukan pembayaran kepada
IMF, posisi cadangan devisa tetap terjaga. Hal ini
menambah rasa nyaman pelaku ekonomi di pasar valas.
Sepanjang tahun 2006 nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS cenderung stabil di level Rp. 9100 - 9400/USD
dengan volatilitas yang relatif lebih rendah dibanding
tahun sebelumnya.

1.7. Langkah Kebijakan Perbankan Yang
Ditempuh Bank Indonesia Tahun 2006
Gubernur Bank Indonesia menggariskan 9 langkah
kebijakan di bidang perbankan yang terdiri dari 4
langkah jangka pendek dan 5 langkah jangka menengah
panjang. Dalam jangka pendek, langkah-langkah
kebijakan ditujukan untuk memberikan ruang gerak pada
industri perbankan untuk terus berperan dalam
pembiayaan pembangunan, yang meliputi:
Pertama, Bank Indonesia akan melakukan
penyesuaian ketentuan PBI No.7/2/PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian. Langkah ini
merupakan sebuah temporary measure, yang pada

intinya merupakan langkah simplifikasi dan pentahapan
dalam penerapan ketentuan tersebut.
Kedua, Bank Indonesia akan mempertimbangkan
untuk menyesuaikan kembali ketentuan rasio GWM jika
kondisi stabilitas makro telah memungkinkan.
Penyesuaian GWM ini akan kami pertimbangkan
kembali pada kwartal pertama tahun ini dengan sebuah
keyakinan bahwa apabila kondisi makro ekonomi di
tahun 2006 telah mencapai tingkat yang relatif stabil,
maka likuiditas perbankan diperkirakan dapat sedikit
diperlonggar.
Ketiga, Bank Indonesia terus meningkatkan akses
masyarakat kepada jasa perbankan syariah dengan
memperbolehkan cabang bank konvensional yang telah
memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) untuk juga
melayani transaksi syariah (office channelling) sehingga
bank tidak perlu lagi membuka cabang Unit Usaha
Syariah di banyak tempat untuk dapat memberikan
pelayanan perbankan syariah.
Keempat, Bank Indonesia akan memperluas
jaringan pelayanan perbankan, khususnya bagi sektor
UMKM agar dapat lebih merata menjangkau seluruh
pelosok daerah. Selain itu, dalam waktu yang tidak
terlalu lama Bank Indonesia merencanakan untuk
melakukan penyesuaian besarnya ATMR bagi kegiatan
retail tertentu, termasuk dalam hal ini ATMR
pembiayaan kepada sektor usaha mikro dan kecil. Kami

berharap dengan langkah ini, perbankan akan semakin
leluasa dan bergairah dalam memberikan dukungan
pembiayaan kepada berbagai bentuk kegiatan sektor ini.
Arah kebijakan Bank Indonesia dalam jangka
menengah panjang difokuskan ke dalam 5 langkah yang
bertujuan untuk memperkuat fondasi perbankan dan
menjabarkan lebih lanjut beberapa program dari
Arsitektur Perbankan Indonesia, yang meliputi:
1. Memperkuat struktur permodalan dalam rangka
mempercepat proses konsolidasi.
2. Meningkatkan peran bank asing dalam
perekonomian.
3. Bank Indonesia mempersiapkan perbankan
dalam mengantisipasi perkembangan bisnis
perbankan ke depan.
4. Memperkuat manajemen internal perbankan.
5. Memperbaiki infrastruktur industri perbankan,
yaitu menyempurnakan Jaring Pengaman
Sektor Keuangan (JPSK), Pembentukan
Lembaga Apex bagi BPR, Lembaga Mediasi
Perbankan, Penataan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu, dan
Lembaga Penelitian Perbankan di berbagai
daerah di Indonesia.

1.8. Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006

Sebagai realisasi dari arah kebijakan perbankan
tersebut, Bank Indonesia pada tanggal 30 Januari 2006
secara resmi mengeluarkan Paket Kebijakan Perbankan
Januari 2006. Bank Indonesia mengeluarkan Paket
Kebijakan Perbankan Januari 2006 yang berisikan 5
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan 2 Surat Edaran
(SE), 6 diantaranya merupakan ketentuan yang mengatur
bank umum dan 1 ketentuan yang mengatur bank
syariah. Ketujuh peraturan tersebut merupakan bentuk
kongkrit langkah kebijakan Bank Indonesia untuk
membuka ruang gerak perbankan agar dapat terus
meningkatkan perannya dalam pembiayaan
pembangunan, sekaligus untuk memperkuat fondasi
perbankan sesuai dengan arah yang telah digariskan
dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Ketujuh
peraturan tersebut meliputi:
1. PBI No. 8/2/PBI/2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum.
2. SE-BI N0. 8/2/DPNP tentang Pelaksanaan
Penahapan Penetapan Kualitas Yang Sama
(uniform classification) untuk Aktiva Produktif
yang diberikan oleh Lebih dari Satu Bank
kepada Satu Debitur atau Proyek yang Sama.
3. SE-BI No. 8/3/DPNP tentang Perubahan
Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut

Risiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil,
Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit
Pegawai/Pensiunan.
4. PBI No. 8/6/PBI/2006 tentang Penerapan
Manajemen Risiko secara Konsolidasi bagi
Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak.
5. PBI 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance (GCG) Bagi Bank
Umum.
6. PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan.
7. PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional
Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
dan Pembukaan Kantor Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah Oleh Bank Umum
Konvensional.

Respon Komisi XI
Kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 2006
lebih baik dibandingkan tahun 2005, mencermati kondisi
tersebut komisi XI DPR RI telah melakukan serangkaian
rapat untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai

kebijakan moneter dan perbankan yang ambil oleh Bank
Indonesia pada perode 2006, sebagai berikut :
1. Rapat Kerja dengan Gubernur Bank Indonesia
pada 20 Februari 2006, dengan kesimpulan
sebagai berikut :
- Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa
permasalahan utama perekonomian yang
mendesak untuk segera diatasi secara
sungguh sungguh dan konsisten adalah
meredam tekanan laju inflasi dan gejolak
nilai tukar dan pengangguran yang tinggi.
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan
prasyarat pokok yang harus dicapai agar
upaya pemulihan perekonomian secara
keseluruhan dapat dilakukan. Untuk itu
Bank Indonesia dalam menerapkan
kebijakan tight money policy harus dengan
cermat, tetap dalam kerangka agar ekspansi
kegiatan usaha dapat berlangsung dalam
kondisi yang tetap mantap dan baik.

2. Rapat Kerja dengan Gubernur Bank Indonesia
pada 14 Maret 2006, menyimpulkan:
a. Komisi XI DPR RI berpendapat agar Bank
Indonesia secara terus menerus menjaga

stabilitas makro ekonomi dan berupaya
menurunkan tingkat inflasi sehingga dapat
mendorong pertumbuhan kredit investasi
dan menyelesaikan persoalan tingginya
undisburshment loan. Selain itu, Komisi XI
DPR RI meminta Bank Indonesia untuk
memantau secara sistematis tingginya NPL
Gros Perbankan demi menciptakan iklim
ekonomi yang sehat.
b. Komisi XI DPR RI mencermati
implementasi Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yang ditujukan untuk
mewujudkan sistem perbankan yang sehat,
kuat dan efisien guna menciptakan
kestabilan sistem keuangan dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk itu, Komisi XI DPR RI meminta
agar Bank Indonesia melalui kebijakan
perbankan terus mendorong keberpihakan
perbankan pada usaha mikro, kecil dan
menengah melalui program-program yang
tercakup dalam API.
c. Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia
sependapat untuk segera menyelesaikan
masalah administratif yang berkaitan
dengan BSBI sehingga BSBI dapat bekerja
secara optimal sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia.
d. Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa
pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam
mengatur dan mengawasi Bank-Bank, yang
walaupun mendapat tekanan pada
keseimbangan makro ekonomi dapat dinilai
baik berdasarkan kinerja perbankan sampai
dengan akhir tahun 2005.
e. Komisi XI DPR RI mengharapkan Bank
Indonesia meningkatkan pengembangan
Sistem Informasi Terpadu Pengembangan
Usaha Kecil (SIPUK) serta pendirian Pusat
Pengembangan Pendamping UKM
(P3UKM) terutama difokuskan di Kawasan
Timur Indonesia dan daerah tertinggal
lainnya.

3. Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI
dengan Deputi Gubernur BI Bidang
Pengawasan Bank, Direksi Bank DKI, Direksi
Bank Jabar, Direksi Bank Sumbar, Direksi
Bank Sulut, Direksi Bank Jatim, Direksi Bank
Kaltim, Direksi Bank Riau, Pada 19 September
2006. Dengan kesimpulan sebagai berikut :

a. Komisi XI DPR RI dan Deputi Gubernur
Bank Indonesia Bidang Pengawasan
sepakat untuk merekomendasikan kepada
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
segera mengatasi faktor-faktor penghambat
rendahnya realisasi belanja daerah, seperti
: (1) Dropping belanja daerah terutama
untuk kegiatan investasi disesuaikan
dengan kesiapan daerah. (2) Mendorong
proses percepatan persetujuan APBD, baik
oleh DPRD maupun oleh Departemen
Dalam Negeri, agar kegiatan investasi dapat
direalisasikan. (4) Meningkatkan kapasitas
kelembagaan di daerah. (5) Menggunakan
dana di rekening pemerintah daerah untuk
meningkatkan stimulus fiskal. Dengan
demikian dana tersebut dapat langsung
digunakan untuk pembangunan daerah,
sehingga dapat menunjang pertumbuhan
ekonomi daerah bersangkutan dan
pertumbuhan ekonomi nasional.
b. Komisi XI DPR RI mengharapkan agar
BPD-BPD dapat lebih kreatif dalam
menyalurkan kredit terutama untuk UMKM
dan Koperasi, sesuai dengan sifat dana
pihak ketiga BPD, agar dapat lebih
berdampak positif terhadap akselerasi atau

peningkatan kegiatan pembangunan
ekonomi daerah. Sehingga dengan
demikian, penempatan dana-dana BPD
(yang notabene sebagian besar dimiliki oleh
pemerintah daerah) tidak hanya
ditempatkan di SBI.
c. Komisi XI DPR RI memandang perlu untuk
mendorong implementasi ”Treasury Single
Account” yang berbasis RTGS (Real Time
Gross Settlement) untuk menciptakan
transparansi penerimaan dan penggunaan
dana APBN dan APBN, termasuk untuk
meningkatkan efektifitas kebijakan fiskal
dan moneter.
d. Komisi XI DPR RI meminta Bank
Indonesia untuk melakukan kajian kembali
tentang tata cara perhitungan LDR yang ada
di BPD-BPD dengan tidak
mengikutsertakan dana-dana jangka
pendek milik pemerintah daerah.
e. Komisi XI DPR RI memberikan apresiasi
yang tinggi terhadap kinerja operasional
dan kinerja keuangan BPD-BPD yang
mampu melaksanakan terobosan-terobosan
dalam proses dan mekanisme
penghimpunan dananya atau dalam proses
dan mekanisme penyaluran kreditnya serta

diversifikasi produk seperti Bank Jabar,
Bank Jatim dalam pembiayaan sindikasi,
serta BPD BPD yang mampu
mengoptimalkan dana SUP-005. Oleh
karena itu dalam rangka peningkatan
penguatan permodalan dan transparansi
pertanggungjawaban BPD-BPD tersebut
diharapkan segera melaksanakan Initial
Public Offering (IPO) seperti yang sedang
dipersiapkan oleh Bank Jabar. Oleh karena
itu Komisi XI DPR RI mendukung
sepenuhnya Bank Jabar segera
melaksanakan IPO.

4. Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan
Gubernur Bank Indonesia, pada 25 September
2006, dengan kesimpulan sebagai berikut :
a. Komisi XI DPR RI dan Gubernur Bank
Indonesia sepakat bahwa kebijakan
perbankan harus tetap difokuskan untuk
memperkuat stabilitas sistem perbankan
guna menciptakan stabilitas sistem
keuangan dan mendorong fungsi
intermediasi perbankan. Disamping itu
untuk mendapatkan sebuah industri
perbankan yang sehat, kokoh, efektif dan
bermanfaat bagi seluruh masyarakat

diperlukan Penguatan Struktur Perbankan
Indonesia, melalui proses konsolidasi
dimana diperlukan strategi-strategi sebagai
berikut:
- Penerbitan ketentuan permodalan bagi
industri perbankan nasional yang
menetapkan jumlah modal minimum
yang harus dimiliki oleh bank pada
tahun 2010 adalah Rp100 miliar,
dimana pemenuhan jumlah modal
minimum tersebut dapat dilakukan
secara bertahap oleh setiap bank dengan
pencapaian target jumlah modal interim
sebesar Rp. 80 miliar pada akhir 2007
mendatang.
- Kebijakan Untuk untuk menetapkan
adanya Bank dengan Kinerja Baik
(BKB) atau Anchor Bank, yang
diharapkan akan mampu menjadi
tumpuan dalam konsolidasi melalui
proses akuisisi pada bank-bank kecil.
- Kebijakan kepemilikan tunggal (single
presence policy) bagi perbankan
Indonesia. (Khusus untuk bank BUMN
akan dibicarakan lebih lanjut dan
mendalam).

b. Komisi XI DPR RI dan Gubernur Bank
Indonesia sepakat mengenai Kebijakan
Kepemilikan Tunggal (single presence
policy) dimana kebijakan ini bertujuan
mendorong konsolidasi dalam strategi
usaha perbankan, sekaligus menata aspek
persaingan usaha di industri perbankan,
selain itu peningkatan efisiensi industri
perbankan secara keseluruhan juga akan
dapat dioptimalkan, dimana kebijakan ini
diharapkan telah dapat diimplementasikan
secara penuh pada tahun 2010.
c. Komisi XI DPR RI dan Gubernur Bank
Indonesia sepakat bahwa dalam rangka
meningkatkan kualitas manajemen dan
operasional perbankan diperlukan
pemahaman yang mendalam mengenai
manajemen resiko. Terkait dengan ini,
penerapan konsep sertifikasi manajemen
resiko yang ada saat ini akan disempurnakan
dengan pembentukan BSPP (Badan
Sertifikasi Profesi Perbankan) yang
melibatkan Perbanas dan IBI (Ikatan Bankir
Indonesia).
d. Komisi XI DPR RI dan Gubernur Bank
Indonesia sepakat membentuk Panja
restrukturisasi SU-002 dan SU-004, serta

Panja aset-aset 16 BDL (Bank Dalam
Likuidasi), yang anggotanya terdiri dari
Komisi XI DPR RI, Pemerintah dan Bank
Indonesia.
e. Komisi XI DPR RI dan Gubernur Bank
Indonesia sepakat bahwa penanganan
divestasi Indover bank, sebagaimana
diputuskan dalam Rapat Kerja tanggal 6 Juli
2006 akan diselesaikan paling lambat akhir
Desember 2006, dan bila sampai akhir
Desember 2006 belum selesai, maka juga
disepakati bahwa pada awal tahun 2007 akan
dibentuk Panja divestasi anak-anak
perusahaan Bank Indonesia, yang terdiri dari
Indover Bank, PT. Askrindo, PT. BPUI
(Bahana Pembinaan Usaha Indonesia) yang
anggotanya terdiri dari Komisi XI DPR RI,
Pemerintah dan Bank Indonesia.
Periode 2007
Pada tahun 2007, dilihat dari sisi pertumbuhan
ekonomi untuk pertama kalinya sejak krisis Asia,
pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai di atas
6% per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang semakin
berimbang, NPI yang surplus dan posisi cadangan devisa
yang cukup baik yang mencapai US$ 56,9 miliar (setara

5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
Pemerintah) pada akhir tahun 2007, telah banyak
membantu upaya memelihara stabilitas nilai rupiah,
terutama untuk jangka menengah-panjang.
Di sisi perbankan, dapat dikatakan bahwa
perkembangan indikator-indikator perbankan cukup
menggembirakan, melanjutkan kecenderungan perbaikan
yang telah berlangsung setidaknya sejak tahun 2004.
Industri perbankan semakin sehat dan bermanfaat,
ternyata juga telah berkembang semakin kokoh
sebagaimana yang ditunjukkan oleh kemampuannya
dalam menyerap berbagai gejolak dalam perekonomian.
Dilihat dari angka pertumbuhan kredit, maka kredit
konsumsi adalah jenis kredit yang mengalami lonjakan
pertumbuhan terbesar dari 9,51% pada 2006 menjadi
24,84% di 2007, sedangkan pertumbuhan kredit modal
kerja dari 16,98% menjadi 28,57%, dan kredit investasi
dari 12,51% menjadi 23,15%. Secara nasional, porsi
kredit konsumsi masih kecil, yaitu sekitar 28,20% dari
total kredit perbankan, sedangkan porsi kredit UMKM
pada 2007 mencapai 50,18%.
Sedangkan porsi kredit konsumsi sebagai salah
satu komponen dari kredit UMKM mencapai 50,41%.
Dengan demikian, sebenarnya kredit produktif yang
dikucurkan perbankan nasional untuk UMKM hanya
sebesar 25,29%. Jumlah ini sangat kecil jika dikaitkan
dengan potensi unit usaha UMKM yang mencapai 48,9

juta dan hanya sekitar 39% atau 19 juta unit usaha yang
sudah dilayani perbankan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, di penghujung tahun 2007,
pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR),
yaitu kredit dengan jaminan PT Askrindo dan Perum
Sarana Pengembangan Usaha, dengan plafon kredit
sampai dengan Rp 500 juta. Sampai dengan akhir
Februari 2008, jumlah KUR telah mencapai Rp 1,7
triliun dengan 25.789 debitur. Jika dilihat dari potensi
UMKM yang belum memperoleh fasilitas kredit
mencapai 30 juta UMKM, maka realisasi KUR tersebut
masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan rata-rata KUR
yang diberikan perbankan masih sebesar Rp 69 juta per
debitur, atau masih di atas plafon kredit mikro yang
hanya sebesar Rp 50 juta.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga semakin menurun
sensitivitasnya terhadap pergerakan minyak dunia.
Kondisi nilai tukar rupiah pada paruh pertama tahun
2007 secara rata-rata mengalami apresiasi sebesar 1,8%.
Sementara dengan terjadinya krisis subprime dan
kenaikan harga minyak dunia, nilai tukar Rupiah
mengalami sedikit pelemahan sebesar 1,1%. Dengan
demikian, untuk keseluruhan tahun 2007, nilai tukar
Rupiah tercatat Rp. 9.140 atau terapresiasi 0,29%
dibanding 2006 sebesar Rp. 9.167. Dengan kondisi
tersebut, cadangan devisa pada akhir 2007 mencapai

sebesar USD 56,9 miliar atau setara dengan 5,7 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Hingga akhir tahun 2007, BI Rate mencapai 8,0%
atau telah mengalami penurunan sebesar 150 basis poin
dari posisi awal tahun sebesar 9,5%. Berlanjutnya
penurunan suku bunga patokan ini direspon positif
pelaku pasar dan disambut baik dunia usaha. Sampai
dengan bulan November 2007, trend penurunan suku
bunga pinjaman masih terus berlanjut. Pada bulan
November, rata-rata suku bunga kredit modal kerja
(KMK) dan kredit investasi (KI) sebesar 13,16% dan
13,19%, lebih rendah dibandingkan posisi akhir 2006
sebesar 15,07% dan 15,10%. Sementara itu, rata-rata
suku bunga kredit konsumsi (KK) periode yang sama
juga turun menjadi 16,39% dibandingkan 17,58%.
Tren penurunan suku bunga ini diikuti oleh
membaiknya fungsi intermediasi dan indikator kinerja
perbankan. Selama tahun 2007, kinerja perbankan terus
mengalami perbaikan dengan pelaksanaan fungsi
intermediasi yang meningkat dan stabilitas sistem
keuangan yang tetap terjaga. Aset perbankan nasional
pada posisi November 2007 mencapai Rp 1.895 triliun
(naik 11,9% - ytd), dengan nilai kredit mencapai Rp
1.004,6 triliun atau tumbuh 20,6% (ytd). Khusus bulan
November, kredit tumbuh Rp 23,5 triliun, sehingga
secara tahunan kredit telah tumbuh sebesar 24,3% (yoy).
Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan

DPK selama tahun 2007, telah berhasil menaikkan LDR
perbankan mencapai 69,9%, yang merupakan level
tertinggi sejak krisis. Meskipun kredit meningkat cukup
tinggi, namun perbankan nasional tetap dapat mengelola
resiko kredit dengan baik yang tercermin dari
menurunnya NPL gross dari 6,98% menjadi 5,41% dan
NPL net dari 3,63% menjadi 2,29%.
Dewan Gubernur memandang bahwa
perekonomian Indonesia tahun 2008 akan tetap tumbuh
tinggi disertai terjaganya stabilitas makro ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi 2008 diprakirakan mencapai
6,2% - 6,8%. Namun di balik berbagai kemajuan dan
optimisme tersebut, Rapat Dewan Gubernur memberikan
catatan atas masih tingginya komponen permanen dalam
pembentukan inflasi di Indonesia, yang antara lain
disebabkan oleh: (1) belum meningkatnya secara
signifikan kapasitas dan produktivitas perekonomian. (2)
karakteristik inflasi kita yang rentan terhadap pergerakan
pada harga makanan tertentu (volatile foods) serta
ekspektasi masyarakat, (3) pasar finansial Indonesia
yang relatif belum dalam (4) ekses likuiditas yang masih
besar.

Respon Komisi XI
Situasi perekonomian yang terus membaik hingga
akhir tahun 2007, semakin melonggarkan kebijakan
moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sebagai

respon dari kebijakan moneter dan perbankan, Komisi
XI DPR RI telah melakukan serangkaian rapat kerja dan
rapat dengar pendapat selama periode 2007 sebagi
berikut :
1. Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Gubernur
Bank Indonesia, pada 21 Mei 2007 dengan
kesimpulan sebagai berikut :
a. Dalam rangka mendorong pertumbuhan sektor
riil yang sangat diperlukan untuk meningkatkan
kualitas pertumbuhan ekonomi nasional ke
depan, Komisi XI DPR RI sepakat dengan
Bank Indonesia untuk meningkatkan kapasitas
PT. Askrindo, PT. BPUI, dan Indover Bank.
Selanjutnya dalam rangka mendukung
kelancaran proses divestasi ketiga perusahaan
tersebut, Komisi XI DPR RI dapat mendukung
pembentukan “Tim Koordinasi Penanganan
Pelepasan Penyertaan BI pada anak-anak
perusahaan BI (Indover Bank, PT. BPUI,
PT. Askrindo) kepada Pemerintah” yang
keangotaannya terdiri dari Bank Indonesia,
Departemen Keuangan, dan Kementerian
Negara BUMN. Mengingat divestasi anak-anak
perusahaan BI akan berdampak terhadap
Keuangan Negara dan Anggaran Bank
Indonesia, maka Komisi XI DPR RI meminta
agar hasil kajian Tim Koordinasi tersebut

dilaporkan dan dibicarakan terlebih dahulu
dengan Komisi XI DPR RI sebelum dibuat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Negara BUMN, dan Gubernur Bank
Indonesia.
b. Dalam rangka penanganan penempatan dana
perbankan pada SBI, Komisi XI DPR RI
mendukung pengimplementasian Real Time
Gross Seatlement (RTGS) dan Sistem Kliring
Nasional (SKN) sebagai instrumen transfer
dana APBN dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Selanjutnya Komisi XI
DPR RI akan membicarakan dengan Menteri
Keuangan mengenai progress dari
implementasi TSA (Treasury Single Account)
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Mengenai besarnya
share bank swasta umum nasional dalam
portofolio kepemilikan SBI, Komisi XI DPR RI
akan memanggil perbankan swasta nasional
untuk membicarakan hal tersebut, termasuk
upaya peningkatan LDR perbankan nasional
terhadap sektor riil.
c. Komisi XI DPR RI meminta Bank Indonesia
untuk secara berkelanjutan mengevaluasi

kebijakan-kebijakannya yang dapat
menghambat fungsi intermediasi perbankan.
d. Komisi XI DPR RI meminta Bank Indonesia
untuk mencetak uang kertas dan/atau uang
logam dengan nilai nominal kecil yang sangat
dibutuhkan untuk transaksi jual–beli
masyarakat kecil.
e. Komisi XI DPR RI meminta Bank Indonesia
bersama-sama dengan Pemerintah untuk
melanjutkan langkah-langkah kebijakan
antisipatif dalam menyikapi peningkatan
permasalahan modal portofolio termasuk
aktivitas hedge fund yang cenderung spekulatif,
disamping dana lain dari institusi untuk
investasi yang bersifat jangka pendek di pasar
modal, agar kestabilan sistem keuangan dimasa
mendatang tetap terus terjaga.

Periode 2008
Dinamika perekonomian Indonesia pada tahun
2008 dapat dibagi dalam 2 periode masing-masing
memiliki perbedaan cukup signifikan. Pada semester I-
2008 terjadi kenaikan harga komoditas internasional
yang memberikan tekanan kuat pada inflasi, sedangkan
nilai tukar rupiah dan pasar finansial relatif stabil.
Namun memasuki triwulan III-2008 terjadi kontraksi
pertubuhan pada negara maju dan perlambatan ekonomi

global yang menyebabkan harga komoditas internasional
menurun. Laju ekspansi ekonomi domestik hingga
triwulan III-2008 masih cukup tinggi, didorong masih
tingginya permintaan domestik. Tekanan berat pada
perekonomian mulai dirasakan pada triwulan IV-2008.
Ekspor Indonesia terus menurun dan derasnya aliran
keluar modal asing terkait dengan proses delevereging di
negara maju dan repricing risk terhadap aset negara
berkembang memberi tekanan pada neraca pembayaran.
Hal tersebut pada gilirannya akan memberikan tekanan
pada nilai tukar. Sementara itu turunnya harga komoditas
internasional telah memberikan kontribusi pada
menurunnya tekanan inflasi domestik. Masalah lain yang
dihadapi oleh perekonomian Indonesia adalah
menciutnya akses korporasi dan perbankan Indonesia
terhadap sumber pembiayaan luar negeri.
Menyikapi kondisi diatas, Bank Indonesia
melakukan serangkaian kebijakan moneter, perbankan,
dan sistem pembayaran yang bertujuan untuk memitigasi
dampak krisis global terhadap perekonomian domestik.
Strategi kebijakan moneter Bank Indonesia pada tahun
2008 diterjemahkan melalui stance kebijakan moneter
yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) periode yaitu :
1. Periode BI rate tetap (Januari –April )
Dengan mempertimbangkan prospek ekonomi
ke depan, perkiraan inflasi yang msih berada

dalam kisaran sasaran inflasi 2008, serta
ketidakpastian gejolak pasar keuangan global,
Bank Indonesia memutuskan untuk tetap
mempertahankan level BI rate pada level 8%.
2. Periode kenaikan BI rate ( Mei –Oktober)
Sebagai upaya untuk menjangkar ekspektasi
inflasi ke depan serta mengendalikan
permintaan domestik yang masih cukup kuat,
Bank Indonesia menaikkan BI rate secara
bertahap dari 8% menjadi 9,5% pada Oktober
2008. Kenaikan BI rate secara gradual
dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa :
(1) tekanan inflasi yang terjadi tidak hanya dari
sisi permintaan. (2) kenaikan suku bunga secara
drastis akan memberatkan kinerja dan stabilitas
sistem keuangan termasuk perbankan.
3. Periode penurunan BI Rate (November –
D
e
s
e
m
b
e
r
)

.

Seiring dengan turunnya tekanan inflasi ke
depan serta untuk menghindari perlambatan
ekspansi ekonomi domestik yang terlalu dalam,
Bank Indonesia memutuskan untuk
menurunkan BI rate sebesar 25 bps menjadi
9,25% pada Desember 2008

Krisis keuangan global berdampak pada keketatan
dipasar uang antar bank (PUAB) serta mendorong
peningkatan tekanan depresiasi nilai tukar rupiah. Untuk
mengurangi tekanan yang berlebihan di PUAB pada
semester II-2008 Bank Indonesia menerapkan kebijakan
yang bertujuan untuk melonggarkan ketetatan yang
terjadi di PUAB. Sementara itu, upaya untuk
meminimalkan volatilitas nilai tukar rupiah, Bank
Indonesia melakukan kebijakan stabilitas secara terukur
dan behati-hati serta kebijakan pengelolaan permintaan
dan pasokan valuta asing. Disamping itu, sejumlah
penyempurnaan juga dilakukan untuk memperkuat
infrastruktur pasar keuangan sekaligus meningkatkan
efektifitas transmisi kebijakan moneter.
Disisi perbankan, kebijakan perbankan secara
umum ditandai dengan upaya untuk memperkuat
ketahanan sistem perbankan dalam rangka mengurangi
imbas krisis global pada perbankan domestik melalui

penyesuaian ketentuan fasilitas pendanaan jangka
pendek (FPJP). Hal tersebut dimaksudkan untuk
mempermudah akses bank umum dan BPR terhadap
fasilitas pendanaan tersebut. Disamping itu, Bank
Indonesia terus melanjutkan berbagai kebijakan
penguatan ketahanan perbankan, baik dalam kerangka
Basel II maupun arsitektur perbankan Indonesia (API).
Langkah tersebut termasuk pengaturan secara lebih
mendalam, terkait dalam upaya peningkatan transparansi
perbankan, penguatan efektivitas manajemen risiko
likuiditas, dan produk-produk derivatif industri
perbankan.

Respon Komisi XI DPR RI
Mencermati situasi perekonomian yang tidak
menentu sebagai dampak krisis keuangan global, Komisi
XI DPR RI telah melakukan serangkaian rapat untuk
mengawasi langkah-langkah yang telah diambil oleh
otoritas moneter dalam rangka mengatasi dampak krisis
keuangan global tersebut.
1. Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan RI,
Gubernur BI, Deputi Menneg BUMN dan
Kepala BPUI Membicarakan Bank Beku
Operasi (BBO) dan Bank Dalam Likuidasi

(BDL). Pada 18 Februari 2008 dengan
kesimpulan sebagai berikut :
a. Komisi XI DPR RI, Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia sepakat untuk
mempercepat dan memaksimalkan
pengembalian asset-asset dari Bank Dalam
Likuidasi (BDL) dengan mengambil
langkah hukum yang tegas terhadap para
obligor yang tidak kooperatif, yakni :
pencekalan dan tindakan pengamanan
lainnya termasuk sita badan; pengumuman
nama dan foto di media massa, dan
tindakan hukum lainnya dengan
berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung
dan Kepolisian RI.
b. Pemerintah sepakat membahas
perkembangan penyelesaian dan pelelangan
asset-asset BDL, termasuk kerangka waktu
penyelesaian yang disesuaikan dengan
realisasi asset yang dieksekusi tiap tahun
dan selanjutnya dilaporkan secara berkala
dalam Panja PKPS BLBI dan BDL Komisi
XI DPR RI.
c. Komisi XI DPR RI dan pemerintah serta
Bank Indonesia sepakat bahwa pembahasan
masalah restrukturisasi hutang PT. BPUI
kepada Pemerintah dan penyertaan modal

Bank Indonesia pada BPUI akan
dibicarakan dalam Rapat Kerja mendatang
dengan mengikut sertakan Menteri BUMN.
2. Rapat kerja dengan Gubernur Bank Indonesia
tentang Keterkaitan fungsi legislasi DPR
tehadap dikeluarkanya berbagai peraturan BI
dan Surat Bank Indonesia tentang persetujuan
IMF untuk turut memberikan bantuan dalam
rangka penghapusan tunggakan dan hutang luar
negeri Liberia, pada 28 Januari 2008, dengan
kesimpulan sebagai berikut :
a. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan ketentuan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, serta mengingat
sangat strategisnya fungsi dari Peraturan
Bank Indonesia dalam mengatur dan
mengelola sistem perbankan, moneter,
dan sistem pembayaran, Komisi XI DPR RI
dan Bank Indonesia sepakat untuk
meningkatkan mekanisme komunikasi,
konsultasi, dan diskusi dalam proses
penyusunan, perumusan, dan penetapan

Peraturan Bank Indonesia khususnya yang
sifatnya sangat strategis dan berdampak
luas.
b. Sesuai amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta untuk mendukung partisipasi aktif
Indonesia dalam upaya mengurangi
kemiskinan global dalam kerangka
kerjasama internasional khususnya pada
forum International Monetary Fund (IMF),
Komisi XI DPR RI dapat menyetujui
usulan dari Gubernur Bank Indonesia
selaku Gubernur IMF untuk Indonesia
untuk memberikan kontribusi Indonesia
dalam program paket pembiayaan bagi
penghapusan tunggakan dan hutang Liberia
sebesar SDR 5,1 juta yang dananya diambil
dari sebagian refund yang akan diterima
Indonesia dari IMF. Mengenai mekanisme
penyalurannya, Komisi XI DPR RI
menyerahkannya kepada Bank Indonesia.
3. Rapat Dengar Pendapat dengan Deputi Gubernur
BI membicarakan dampak kebijakan SBI
terhadap stabilitas moneter. pada 21 Februari
2008, dengan kesimpulan sebagai berikut :

a. Dalam rangka menyeimbangkan fungsi
Operasi Pasar Terbuka dengan fungsi
pendorong Intermediasi Perbankan, Bank
Indonesia mengusulkan agar dana yang
dikirimkan oleh Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah disimpan dahulu pada
Rekening Pemerintah yang berada di Bank
Indonesia agar tidak mempengaruhi jumlah
uang yang beredar di daerah. Dana tersebut
dapat dikeluarkan/dicairkan oleh
Pemerintah Daerah dari Kantor Perwakilan
Bank Indonesia di daerah bersangkutan
dengan menggunakan sistem Real Time
Gross Seatlement (RTGS) dan Sistem
Kliring Nasional (SKN) untuk membiayai
kegiatan/proyek yang dilaksanakan.
b. Pokja Perbankan Komisi XI DPR RI
meminta Bank Indonesia untuk lebih
mengintensifkan koordinasi dengan pihak
Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan
moneter, sehingga kebijakan fiskal yang
dilaksanakan oleh Pemerintah (fiscal
sustainability) tetap dapat terjaga sesuai
dengan target yang ditetapkan dalam
APBN.
c. Pokok-pokok pembicaraan sebagaimana
dimaksud pada point-a dan point-b akan

dibahas lebih lanjut dalam Rapat Kerja
Komisi XI DPR RI dengan Menteri
Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
4. Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Deputi
Gubernur Senior BI dan Menteri Keuangan RI
pada 28 Mei 2009, dengan kesimpulan sebagai
berikut:
a. Komisi XI DPR RI meminta kepada Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter untuk
meningkatkan perannya dalam menjaga
fungsi intermediasi perbankan dalam
rangka mengantisipasi dampak krisis
keuangan global dan meningkatkan
pertumbuhan sektor riil.
b. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan
biaya bunga tinggi akibat dari struktur
permodalan/Dana Pihak Ketiga dan biaya
operasional yang tinggi, Komisi XI
meminta kepada Pemerintah dan Bank
Indonesia untuk melakukan upaya-upaya
antara lain koordinasi dengan pihak-pihak
terkait termasuk dengan Lembaga Penjamin
Simpanan dan perbankan, serta membuat
kebijakan-kebijakan yang memberikan
keleluasaan bagi perbankan dalam
penyaluran kredit.

c. Mengingat pentingnya Kredit Usaha Rakyat
(KUR) dan kredit UMKM bagi ekonomi
masyarakat kecil sebagai suatu pengaman
pada masa krisis. Komisi XI meminta
kepada pemerintah dan Bank Indonesia
untuk membuat kebijakan yang dapat
mendorong perbankan untuk menyalurkan
kredit serta dapat meninjau kembali
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
10/PMK.05/2009 agar dapat disesuaikan
dengan kebutuhan penyaluran Kredit Usaha
Rakyat.
d. Komisi XI DPR RI meminta kepada
Pemerintah untuk memberikan penjelasan
lebih lengkap/sosialisasi kepada masyarakat
mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR),
sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi
antara masyarakat/nasabah dan Perbankan.
5. Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan
Gubernur Bank Indonesia pada 9 Desember
2008, dengan kesimpulan sebagai berikut :
a. Komisi XI DPR RI dan Gubernur Bank
Indonesia sepakat akan melakukan
pendalaman lebih lanjut terhadap Rencana
Anggaran Tahunan Bank Indonesia
(RATBI) Tahun 2009 dan Evaluasi

Pelaksanaan Anggaran Tahunan Bank
Indonesia (ATBI) Tahun 2008 pada rapat-
rapat Panitia Kerja (PANJA).
b. Komisi XI DPR RI meminta kepada Bank
Indonesia untuk bersama-sama dengan
Pemerintah mengambil langkah-langkah
sinkronisasi moneter dan fiskal dalam
rangka menjaga stabilitas makro dan
melakukan langkah-langkah strategis untuk
mencegah dampak krisis keuangan global
terhadap dunia usaha dan penyerapan
lapangan kerja, antara lain: pengamanan
neraca transaksi berjalan; memecahkan
segmentasi Pasar Uang Antar Bank
(PUAB); dan pengendalian speculative
demand terhadap valas.
c. Komisi XI DPR RI meminta kepada Bank
Indonesia untuk mengambil langkah-
langkah antisipatif dan konkret untuk
meningkatkan pengawasan dan transparansi
di sektor perbankan serta mengantisipasi
potensi-potensi resiko dalam sistem
perbankan demi menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan.

Periode 2009

Krisis ekonomi global telah memberi dampak lebih
dalam dari yang dibayangkan sebelumnya. Berbagai
perkembangan terkini menunjukkan hampir semua
negara maju dan sebagian negara-negara berkembang
akan mengalami penurunan Produk Domestik Bruto
(PDB) secara berarti di tahun 2009. Di tengah
perkembangan perekonomian yang terjadi tersebut, dan
seiring dengan menurunnya tekanan inflasi, Bank
Indonesia mengarahkan perhatiannya pada upaya
menjaga pertumbuhan ekonomi negeri. Hal ini dilakukan
dengan tetap mengawal inflasi dan kestabilan makro
ekonomi dan sektor keuangan dalam jangka menengah.
Berbagai upaya untuk mencegah sektor riil anjlok lebih
dalam lagi juga ditempuh Bank Indonesia melalui
kebijakan moneternya.
Dalam keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia Februari 2009, Bank Indonesia kembali
menurunkan suku bunga BI Rate sebesar 50 bps dari
8,75% ke 8,25%. Penurunan ini adalah penurunan
ketiga sejak Desember 2008. Selain menurunkan BI
Rate, Bank Indonesia akan tetap mengoptimalkan
penggunaan seluruh instrumen kebijakan moneter yang
tersedia, seperti pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka dan
upaya menjaga stabilitas di pasar rupiah dan valas.
Selain itu, upaya pelonggaran kebijakan moneter juga
diiringi oleh kebijakan Bank Indonesia untuk mendorong
perbankan menyalurkan kredit ke sektor produktif dalam

koridor praktek perbankan yang berhati-hati (prudent).
Langkah ini diharapkan dapat memberi gairah pada
perekonomian domestik untuk tidak turun lebih dalam.
Perkembangan indikator perbankan menunjukkan
bahwa penurunan BI Rate mulai direspon oleh
pergerakan suku bunga deposito dan suku bunga kredit
walaupun masih terbatas. Disamping itu, penurunan
suku bunga tersebut diharapkan dapat mengurangi
kendala penyaluran kredit dari sisi suplai (perbankan).
Di sisi dunia usaha, penurunan suku bunga diharapkan
dapat mengurangi pesimisme sektor dunia usaha akan
prospek ekonomi ke depan.
Dengan mempertimbangkan berlanjutnya tekanan
inflasi dan masih melambatnya perekonomian domestik,
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5 Mei
2009 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar
25 bps, dari 7,50 % menjadi 7,25 %. Keputusan tersebut
diharapkan dapat mendukung upaya menjaga gairah
pada pertumbuhan ekonomi domestik dengan tetap tetap
menjaga kestabilan harga serta sistem keuangan dalam
jangka menengah.
Penurunan BI rate sejak Desember 2008 telah
direspon secara positif oleh perbankan meski masih
dalam skala yang terbatas. Penurunan suku bunga BI rate
sejak Desember 2008 telah direspons oleh penurunan
suku bunga deposito sebesar 136 bps. Sementara itu,

sejak bulan Desember, secara agregat suku bunga kredit
modal kerja mengalami penurunan sebesar 31 bps.
Secara mikro, kondisi perbankan nasional relatif
stabil. Berbagai indikator mendukung kondisi tersebut,
antara lain modal perbankan secara nasional dan rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) per
April 2009 yang tetap positif mencapai level 17,6%.
Sementara itu, rasio gross Non Performing Loan (NPL)
tetap terkendali di bawah 5%. Likuiditas Perbankan,
termasuk likuiditas dalam pasar uang antar bank makin
membaik dan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat.
Penyaluran kredit dalam bulan April 2009 mulai
meningkat meski belum optimal.
Dengan mempertimbangkan perkembangan-
perkembangan tersebut di atas, Rapat Dewan Gubernur
Bank Indonesia pada 3 Juni 2009 memutuskan untuk
menurunkan BI Rate sebesar 25 bps, dari 7,25% menjadi
7,00%. Keputusan tersebut diharapkan dapat
mendukung upaya menjaga gairah pada pertumbuhan
ekonomi domestik dengan tetap menjaga kestabilan
harga serta sistem keuangan dalam jangka menengah.
Di sektor perbankan, kondisi perbankan nasional
secara umum relatif stabil, dan respons suku bunga
perbankan terhadap penurunan BI Rate mulai membaik.
Secara mikro, kondisi perbankan nasional stabil, yang
diindikasikan oleh masih terjaganya rasio kecukupan
modal (CAR) per Juni 2009 sebesar 17,0%. Sementara

itu rasio gross Non Performing Loan (NPL) tetap
terkendali di bawah 5% dengan rasio net di bawah 2%.
Likuiditas Perbankan, termasuk likuiditas dalam pasar
uang antar bank makin membaik dan Dana Pihak Ketiga
(DPK) meningkat. Sementara itu, penurunan BI Rate
sebesar 250 bps selama tahun 2009 juga terus diikuti
oleh penurunan suku bunga perbankan. Sejak dimulainya
fase pelonggaran kebijakan moneter, suku bunga
simpanan perbankan (deposito) telah mencatat
penurunan sekitar 188 bps. Sementara itu, respon suku
bunga kredit lebih terbatas yaitu sekitar 24 bps.
Penyaluran kredit perbankan juga mulai menunjukkan
perbaikan, walaupun masih tumbuh sangat lambat.
Sampai dengan Juni 2009, kredit perbankan baru tumbuh
sebesar 1,1% (ytd). Masih terbatasnya penyaluran kredit
antara lain terkait dengan masih tingginya persepsi risiko
di sektor riil, sementara di sisi lain, permintaan kredit
juga masih rendah terkait dengan masih rendahnya
kegiatan investasi.
Dengan mempertimbangkan perkembangan-
perkembangan tersebut di atas, Rapat Dewan Gubernur
Bank Indonesia pada 5 Agustus 2009 memutuskan untuk
menurunkan BI rate sebesar 25 bps, dari 6,75% menjadi
6,5%. Keputusan untuk menurunkan BI rate ini diambil
setelah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia
mempertimbangkan bahwa tren penurunan inflasi masih
berlanjut seiring dengan masih terbatasnya permintaan

domestik dan terus menurunnya ekspektasi inflasi. Bank
Indonesia juga berpandangan bahwa penurunan BI rate
ini masih konsisten dengan sasaran inflasi Bank
Indonesia ke depan. Namun demikian, Bank Indonesia
mencermati munculnya tekanan inflasi di tahun 2010
yang bersumber dari meningkatnya permintaan domestik
dan kenaikan harga-harga komoditas di pasar
internasional. Dalam konteks ini, ke depan kebijakan
moneter akan diarahkan untuk lebih antisipatif terhadap
potensi kenaikan inflasi tersebut agar sasaran inflasi
sekitar 5% di tahun 2010 dapat dicapai.

Bagian Kedua
Potret Perbankan Nasional

2.1. Bank Mandiri

Laporan dari perbankan nasional, Bank Mandiri
memperoleh predikat kinerja keuangan ”bagus”
sama seperti halnya Bank BNI dengan mengacu
skor-skor keuangan sepanjang tahun 2006. Predikat
ini lebih rendah dari predikat yang diberikan
kepada Bank Danamon, BRI, BCA dan BTN yakni
”sangat bagus”.

Pembahasan
Selengkapnya perkembangan kinerja keuangan
Bank Mandiri tahun 2006 dibandingkan tahun 2005
secara garis besar sebagai berikut :
1. Jumlah kredit yang diberikan pada akhir tahun
2006 mencapai 109,3 trilyun, atau meningkat
9,1% dibandingkan posisi akhir tahun 2005.
2. Peningkatan loan to deposit ratio dari 49,9%
menjadi 55,4%.
3. Ratio Gross NPL sebesar 26,6% di akhir tahun
2005 turun cukup signifikan menjadi 17,8% di
akhir tahun 2006.
4. Ratio Net NPL juga turun dari 16,1% akhir
tahun 2005 menjadi 7,88% di akhir tahun 2006.

5. Ratio PPAP terhadap total kredit bermasalah
membaik, dari 44,1% akhir tahun 2005 menjadi
70% di akhir tahun 2006.
6. Laba setelah Pajak ditahun 2006 diperkirakan
pada kisaran 1,8 trilyun sampai dengan 2,4
trilyun, meningkat antara 200 sampai 300%
dibandingkan pencapaian tahun 2005 yang
sebesar 603 milyar.
7. Estimasi pencapaian laba tersebut didorong
perbaikan return on asset 0,47 di tahun 2005
menjadi 1,1 sampai 1,5% dan return on equity
dari 2,5% menjadi 7,6 sampai 9,9%.
8. Pertumbuhan kredit netto tahun 2006 mencapai
9,1%.
9. Ekspansi kredit gross lebih dari 14%.
10. Peningkatan harga saham yang cukup
signifikan dari Rp. 1.640,- menjadi Rp. 2.800,-
2.900,- dan pernah mencapai level tertinggi
sebesar Rp. 2.950,-. yang berarti peningkatan
harga saham sebesar lebih dari 70% di akhir
tahun 2006.
11. Secara rata-rata peningkatan harga saham Bank
Mandiri sebesar 70% jauh diatas indeks pada
periode yang sama, artinya kinerja Bank
Mandiri telah mampu outperformed the market.

12. Peningkatan Nilai kapitalisasi perusahaan yang
signifikan, yaitu dari 33 trilyun akhir tahun
2005 menjadi 58,4 trilyun akhir tahun 2006.

Kesimpulan
Komisi XI DPR RI memberikan apresiasi terhadap
pencapaian kinerja keuangan PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk Tahun 2006 dan Semester I Tahun 2007.
Berkaitan dengan itu, Komisi XI DPR RI meminta agar
PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. untuk terus
meningkatkan kinerjanya dengan tetap menjaga
keseimbangan sebagai Perusahaan Terbuka yang harus
menjalankan fungsi bisnis di satu sisi dan sebagai
BUMN yang berfungsi sebagai Agent of Development
pada sisi lainnya. Di samping itu, Komisi XI DPR RI
perlu mendapat gambaran tentang rencana ke depan di
bawah payung API, termasuk soal penguatan modal
sendiri menuju pencapaian status bank yang lebih tinggi,
penyaluran kredit khusus untuk UMKM, penanganan
soal-soal seputar manajemen risiko kredit, perbaikan
penerapan prinsip-prinsip good corporate governance
dan sebagainya.

Kinerja Bank Mandiri Tahun 2007
Pendahuluan
Secara ringkas aspirasi strategis Bank Mandiri
yaitu menjadi dominant multispecialist bank, yaitu bank

lokal yang mampu menguasai pangsa pasar revenue 20–
30% di setiap segmen yang menguntungkan dan menjadi
top player di setiap segmen yang dimasuki. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Bank Mandiri telah
mengembangkan enam strategic business unit, yang
memiliki strategi yang fokus dan spesifik di masing-
masing segmen, yaitu treasury dan international
corporate commercial consumer finance micro retail dan
special asset management. Selain hal diatas, pencapaian
aspirasi strategis jangka panjang Bank Mandiri juga
dilakukan melalui proses perubahan atau transformasi
yang fundamental yang mencakup empat tema utama,
yaitu budaya, pertumbuhan bisnis, aliansi strategis dan
pengendalian NPL.

Pembahasan
Berkaitan dengan Rencana Kerja tahun 2007,
disampaikan hal-hal berikut, yaitu:
1. Meningkatkan value of company perusahaan
melalui perbaikan kinerja keuangan dan citra
korporasi, sehingga mencapai price to book
value di kisaran 2,3 sampai 2,7 kali.
2. Melakukan percepatan penyelesaian non
performing loan secara substansial sehingga
mencapai NPL Gross dibawah 10% dan NPL
Nett dibawah 5%, diupayakan untuk dicapai di

bulan Juni 2007 untuk mencapai kriteria bank
kinerja baik.
3. Menyempurnakan bisnis dan operating model
di setiap segmen sejalan dengan implementasi
strategic business unit, untuk mendorong
kemampuan berkompetisi di seluruh segmen
bisnis.
4. Meningkatkan pertumbuhan pengelolaan dan
monitoring kualitas dan produktifitas kredit
untuk mempertahankan yield of loan seoptimal
mungkin dan meningkatkan pertumbuhan
pendapatan bunga kredit.
5. Meningkatkan pengelolaan dan pertumbuhan
dana murah untuk memperkuat struktur
pendanaan dan mempercepat penurunan cost of
fund.
6. Meningkatkan pertumbuhan fee based income
melalui produk dan layanan yang lebih
terdiversifikasi dan kompetitif.
7. Menyempurnakan organisasi perangkat
kebijakan SDM corporate culture performance
management system dalam rangka
implementasi SBU.
8. Memperkuat pengembangan sarana dan
infrastruktur untuk meningkatkan kehandalan
proses operasional dan pelayanan.

9. Meningkatkan pengelolaan efisiensi
operasional secara berkelanjutan.
10. Melanjutkan upaya untuk lebih memperkuat
penetapan good corporate governance dan risk
management.

Kesimpulan
Seiring dengan semakin canggihnya penggunaan
teknologi informasi yang digunakan oleh perbankan
nasional, khususnya Bank Mandiri, dalam memenuhi
kecepatan pelayanan hendaknya diiringi pula dengan
peningkatan keamanan kepada nasabah. Berkaitan
dengan itu maka faktor peningkatan pembinaan dan
profesionalisme tenaga kerja yang menjadi pelaksana
dan pengendalinya akan sangat menentukan. Proses
peningkatan pembinaan dan profesionalisme tenaga
kerja harus dibarengi dengan upaya peningkatan
kesejahteraan karyawan seluruhnya secara adil dan
proporsional, sehingga peningkatan kesejahteraan
tersebut tidak hanya dinikmati oleh sebagian kelompok
saja di perusahaan tersebut. Program pembinaan dan
peningkatan profesionalisme karyawan hendaknya dapat
lebih memberikan kepastian peningkatan karier dan
kesejahteraan kepada karyawan bersangkutan. Jangan
sampai ada pegawai yang sudah membaktikan dirinya

cukup lama di Bank Mandiri dan yang sudah menaruh
harapan yang besar, tetapi sekarang malah menjadi
tenaga outsourching.

Kinerja Bank Mandiri 2008
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam
menghadapi keadaan krisis keuangan global saat ini
tentunya likuiditas (Capital Adequacy Ratio/CAR) PT
Bank Mandiri harus dijaga dalam posisi yang aman dan
pada sisi yang lain salah satu upaya yang dilakukan
adalah memasukkan resiko pasar dan resiko kredit dalam
perhitungannya.

Pembahasan
Beberapa point yang perlu dicermati dari Laporan
Kinerja keuangan bank Mandiri tahun 2008 secara garis
besar dapat disampaikan antara lain:
1. Salah satu Kredit Macet yang ada di Bank
Mandiri adalah PT Suba Indah outstanding
pada tanggal 30 Juni 2008 sebesar Rp. 664
Milyar. PT Suba Indah tersebut telah
dinyatakan bankrut pada Oktober 2007. Selain
PT Suba, Djajanti grup (Djajanti Plaza, Biak
Mina Jaya, Artika Optima Inti, Djarma Aru dan
Nusa Prima Pratam Industry) mempunyai
outstanding pertanggal 30 Juni 2008 sebesar
Rp. 561 milyar.

2. Persentase Kredit Usaha Kecil dari total kredit
yang diberikan adalah 2.90% sedangkan
persentase UMKM dari total kredit yang
diberikan adalah 15.29% sampai dengan Juni
2008.
3. Laba bersih Bank Mandiri tahun 2007 adalah
Rp. 4.346.223.721.208. Sebesar 90% dari laba
bersih tersebut dibagikan sebagai deviden,
0.5% dimasukan dalam cadangan umum, 5.5%
ditetapkan sebagai laba ditahan, 2% untuk
program kemitraan dan 2% untuk program
Bina Lingkungan. Dividen bagian pemerintah
yang berasal dari 14 milyar saham dengan
perolehan Rp. 186 perlembar saham disetor ke
Bendahara Umum Negara rek. 502 di Bank
Indonesia.
4. Dalam RUPS Tahunan Perseroan yang
dilakukan pada tanggal 29 Mei 2008
Menyetujui penyesuaian gaji DIRUT sebesar
27.12% dari gaji netto berlaku mundur
terhitung tanggal 1 Januari 2008 dan
menyetujui tantieme sebesar 1.06% gross
dihitung dari laba bersih 2007. Hal ini harus
terkait dengan kinerja Bank Mandiri
dibandingkan dengan kinerja tahun-tahun
sebelumnya dalam mencetak laba dan
menurunkan NPL.

Kesimpulan
Hal yang perlu kita cermati dimasa datang terkait
dengan kinerja keuangan bank Mandiri adalah :
Pertama, evaluasi kinerja dari Direktur Utama terkait
dengan telah dilakukan penyesuaian gaji dan tantiem
terhitung 1 Januari 2008. Kedua, perlu dilakukan PPAP
terkait exposure keuangan di Bank Indover Belanda
yang telah dibekukan operasionalnya oleh bank senteral
Belanda berupa money market dan syndication loan.

1. Kinerja Bank Negara Indonesia (BNI)
Triwulan Pertama Tahun 2008
1. Pada triwulan I-2008 laba bersih BNI turun
61,7% menjadi Rp 153 miliar dari periode yang
sama tahun 2007 sebesar Rp 400 miliar.
2. Pada triwulan pertama BNI kembali menambah
cadangan atau provisi sehingga coverage ratio
naik yang akhirnya menggerus laba. Coverage
ratio naik dari 53% di triwulan pertama 2007
menjadi 83% di triwulan I-2008.
3. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) masih
membutuhkan provisi (cadangan untuk
penjaminan pemberian kredit) sekitar Rp. 1,30
triliun lagi untuk memenuhi target provisi Rp.
2,50 triliun hingga pertengahan tahun ini.

Provisi sebesar itu ditargetkan akan dicapai
antara Juni hingga Juli mendatang. BNI selama
Januari-Maret 2008 telah mencadangkan
provisi sebesar Rp. 1,20 triliun. Provisi yang
disediakan berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia (BI) adalah 33% dari nilai tersebut.
4. Pertumbuhan kredit pada triwulan I-2008
mengalami kenaikan 29% dibanding periode
yang sama tahun 2007 dari Rp. 69,13 triliun
menjadi Rp. 89,17 triliun.
5. NPL gross tercatat mengalami penurunan
menjadi 8,6% dari 10,5% pada periode yang
sama tahun 2007. NPL neto juga turun menjadi
3,2% dari sebelumnya 6,8% pada triwulan I-
2007.
6. Dana pihak ketiga (DPK) turun 10,8% dari Rp
141,73 triliun menjadi Rp 126,42 triliun.
7. Untuk loan to deposit ratio (LDR) naik menjadi
70,46% dari 48,85% pada triwulan I-2007.
8. Capital Adequacy Ratio (CAR) dengan risiko
kredit 18,33%, CAR dengan risiko pasar
16,3%.

Kinerja BNI Periode 2007
1. Laba bersih setelah pajak (telah diaudit) per 31
Desember 2007 turun 53,24% menjadi Rp. 898

miliar, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar
Rp 1,93 triliun.
2. Pertumbuhan kredit senilai Rp. 22,19 triliun
atau naik 33% dari Rp. 66.46 triliun pada akhir
tahun 2006 menjadi Rp. 88,65 triliun.
Pertumbuhan kredit yang signifikan tersebut
dibarengi dengan perbaikan kualitas kredit,
yang ditunjukkan oleh turunnya NPL Gross
dari 10,5% menjadi 8,18%, dan NPL Net dari
6,6% di akhir tahun lalu menjadi 4,01%.
3. Tingkat kredit macet (NPL) mengalami
penurunan, NPL Gross dari 10,5% menjadi
8,18%, dan NPL Net dari 6,6% di akhir tahun
lalu menjadi 4,01%.
4. Total Aktiva per 31 Desember 2007 tercatat
sebesar Rp 183,24 triliun, naik 8,2%
dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan
komposisi dana pihak ketiga 38% deposito dan
62% dana murah (tabungan dan deposito).
5. Outstanding kredit per Desember 2007
mencapai Rp 88,65 triliun (naik 33%) dari Rp
66,46 triliun di akhir tahun lalu, termasuk
pembiayaan syariah yang naik 59,00%
sehingga menjadi Rp 1,80 triliun di akhir 2007.
Ekspansi tertinggi dibukukan oleh segmen
usaha menengah dan kecil, dengan
pertumbuhan masing-masing senilai Rp 5.92

triliun (naik 41%) dan Rp 4.13 triliun (naik
30%).
6. Beberapa rasio keuangan menunjukkan
perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya,
antara lain rasio kecukupan modal (CAR) yang
terjaga pada level 17,65%, jauh lebih tinggi
dari persyaratan minimum Bank Indonesia
sebesar 8%. Sedangkan rasio profitabilitas
yaitu ROA dan ROE cenderung menurun
akibat berkurangnya profitabilitas, dari 1,85%
dan 22,81% pada akhir tahun 2006 menjadi
0,85% dan 8,03% di akhir 2007.

Kesimpulan/ Keputusan :
Mengingat waktu yang yang tersedia sangat
terbatas, maka Komisi XI DPR RI dan Direktur Utama
PT. Bank BNI Tbk sepakat untuk mengadakan rapat
kembali untuk membahas lebih mendalam kinerja PT.
Bank BNI Tbk. khususnya terkait dengan penyaluran
Kredit Usaha Rakyat (KUR), penerapan BASEL II,
penerapan PASK 50 dan PSAK 55 serta penerapan
Single Presence Policy (SPP).

2. Membahas Kredit Macet (Non Performing
Loan/NPL) di Bank-Bank Negara (HIMBARA)
Pendahuluan

Mengemukanya keluhan tentang sulitnya
menyelesaikan Kredit Macet –NPL(Non Performing
Loan) berawal pada Rapat Dengar Pendapat (RDP)
Komisi XI DPR RI dengan Para Direksi Bank BUMN.
Pada waktu itu Para Direksi Bank BUMN mengeluh
tentang sulitnya menyelesaikan kredit macet dikarenakan
peraturan Pemerintah yang ada, yaitu PP No. 14 Tahun
2005 tidak memadai untuk mengakselerasikan
penurunan NPL di bank BUMN tersebut. Pemerintah
melalui Menteri Keuangan membawa masalah ini ke
Komisi XI DPR RI dan dilakukan pembahasannya dalam
Rapat Kerja Komisi XI DPR RI. Keputusan Rapat Kerja
(Raker) Komisi XI dan Menteri Keuangan pada waktu
itu adalah Komisi XI DPR RI menyetujui langkah yang
akan diambil oleh pemerintah untuk mengajukan Fatwa
Hukum ke Mahkaman Agung atas Perubahan PP No. 14
Tahun 2005.
Pada tanggal 16 Agustus 2006 Mahkaman Agung
memberikan fatwa hukum diperbolehkannya melakukan
perubahan seperlunya atas PP No. 14 Tahun 2005. Pada
tanggal 6 Oktober 2006 pemerintah mengundangkan PP
No. 33 Tahun 2006 tentang Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah, dan disusul tanggal 9 Oktober 2006
Menteri Keunagan mengeluarkan PMK No. 87 Tahun
2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah.

Sebenarnya “ Roh” dari PP No. 33/2006 dan PMK
No. 87/2006 adalah bahwa piutang yang terdapat pada
bank BUMN tidak dapat lagi dipandang sebagai piutang
Negara melainkan berdasarkan mekanisme pengelolaan
dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat
berdasarkan ketentuan UU yang berlaku, seperti UU PT,
UU BUMN, dan UU Pasar Modal. Dengan demikian
jelaslah bahwa berdasarkan peraturan yang ada
kewenangan penyelesaian kredit macet – NPL di bank
BUMN berada pada bank BUMN yang bersangkutan.

Pembahasan
Kondisi yang terjadi seperti ini jelas merupakan
suatu yang tidak diharapkan oleh para pemangku
kepentingan utama, seperti Bank-bank BMN,
Pemerintah dan terutama Debitur yang bermasalah.
Yang diharapkan dari RUU Usul Inisiatif atau Peraturan
Pengganti Undang (Perpu) ini adalah :
1. Bagi bank–bank BUMN, dengan adanya
kepastian hukum akan masalah ini dan berarti
akan dapat menyelesaikan masalah kredit
macet (NPL) secara komprehensif sebagaimana
yang dilakukan bank swasta termasuk
“haircut” ataupun penjualan NPL kepada
pihak ketiga dengan harga dibawah nilai pokok
(discount), serta dapat melakukan moneterisasi
piutang macet hapus buku yang jumlahnya

mencapai sekitar Rp 17 triliun. Hasil dari
moneterisasi piutang hapus buku selain dapat
memperkuat capital based bank BUMN, juga
akan meningkatkan leverage pemberian kredit.
2. Bagi Pemerintah, sebagai pemegang saham
mayoritas tentunya merupakan sumber
pendapatan dalam bentuk deviden, yang
nantinya dapat membantu meringankan beban
APBN bagi pemerintah.
3. Bagi Debitur bermasalah (UMKM dan non-
UMKM), bahwa dengan selesainya persoalan
kredit macet tersebut, akan memberikan
kesempatan untuk memperoleh kredit kembali
guna melanjutkan usaha kembali.
Untuk mengatasi kebuntuan penyelesaian masalah,
maka pemerintah melakukan Rapat koordinasi Terbatas
(Rakortas) pada tanggal 9 Oktober 2007, yang dipimpin
bapak Wakil Presiden dengan aparat penegak hukum
(Jaksa Agung dan Kapolri), para menteri terkait, aparat
pemeriksa (Ketua BPK RI dan Kepala BPKP), para
Direktur Utama bank BUMN dan pihak regulator
Gubernur Bank Indonesia. Hasilnya, adanya kesepakatan
yang ditandatangani bersama guna mendukung
implementasi PP No. 33 tahun 2006.
Guna menindaklanjuti hal tersebut, maka bank-
bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan Bank-
bank Negara (HIMBARA) telah menyusun Program

Penyelesaian Kredit Macet UMKM dibawah 5 miliar.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan proses
penyehatan kredit macet, maka HIMBARA
mengharapkan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) sebagai pihak yang sudah menerima
pengalihan pengelolaan kredit dari bank BUMN perlu
menyusun skema khusus untuk itu.

Rekomendasi
Mengingat mendesaknya permasalahan tersebut,
maka dukungan DPR RI khususnya Komisi XI DPR RI
sangat penting dan menentukan untuk membantu
mencari solusi terbaik bagi terciptanya kepastian hukum
menlalui singkronisasi peraturan perundang-undangan
yang terkait. Dalam hal ini DPR RI dapat melakukan
inisiatif sendiri ataupun meminta pemerintah untuk
mendorong dan/atau melakukan proses revisi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan penyelesaian
kredit macet di bank-bank BUMN. Secara garis besar
diperlukan adanya kajian akademik untuk
mengidentifikasi peraturan dan perundangan yang perlu
direvisi agar perundang-undangan di bidang “Keuangan
Negara” dan “Piutang Negara” dapat menciptakan iklim
hukum yang lebih kondusif, sehingga ketidakpastian
hukum yang dialami selama ini oleh para pemangku
kepentingan terutama Bank-bank BUMN dapat
diminimalisasi.

Namun secara spesifik untuk kepentingan praktis
dan sangat menentukan, maka sementara waktu sesuai
masukan para pemangku kepentingan yang
berkompeten, maka pada tahap awal yang dapat
dilakukan adalah merubah atau merevisi terutama isi dari
penjelasan Pasal 8 UU No. 49/Prp/1960, dengan
mengecualikan piutang Bank BUMN dari definisi
piutang Negara dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Industri perbankan adalah industri yang highly
regulated dimana industri ini sudah memiliki
perangkat hukum yang baku, yaitu UU
Perbankan (UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10
tahun 1998 tentang Perbankan).
2. Industri perbankan adalah industri yang highly
regulated dimana Bank Indonesia sudah
berperan aktif sebagai regulator independent
yang bertugas mengawasi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Infrastruktur perbankan sudah cukup mapan
dan memiliki sumberdaya serta Srandard
Operating Procedure (SOP) yang memungkin
untuk menyelesaikan piutang dengan tetap
mengutamakan prinsip kehati-hatian dan Good
Corporate Governance (GCG).

3. Pembahasan Single Presence Policy/SPP Pada
Bank-Bank Negara (HIMBARA)
Pendahuluan
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, rencana
Bank Indonesia menerapkan aturan kepemilikan tunggal
(Single Presence Policy/SPP) pada perbankan, telah
menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan
perbankan Indonesia pada akhir-akhir ini. Dapat pahami
apabila timbul perbedaan pandangan dan kekhawatiran
apabila SPP tersebut benar-benar diterapkan karena akan
berimplikasi terhadap keberadaan bank-bank BUMN dan
beberapa bank swasta lainnya.

Pembahasan
Pemerintah selaku pemilik mayoritas saham di
bank-bank BUMN atau kalangan investor yang menjadi
pemilik mayoritas saham di bank-bank swasta, harus
menempuh beberapa opsi apabila SPP tersebut
diterapkan, diantaranya :
1. Pemilik hanya dibolehkan menjadi pemegang
saham pengendali hanya pada satu bank,
sehingga apabila memiliki juga saham
mayoritas di beberapa bank, harus dijual atau
dialihkan kepada pihak lain.

2. Pemilik harus melakukan merger
(penggabungan usaha) atau konsolidasi atas
bank-bank yang dikendalikan.
3. Membentuk holding company.
Khusus untuk dampak yang mungkin timbul di
bank-bank BUMN, tentunya kita harus pertimbangkan
lebih bijaksana, jangan sampai kebijakan tersebut justru
mengorbankan kepentingan nasional, mengingat selama
ini kita telah berkomitmen untuk tetap mempertahankan
bank-bank BUMN yang fokus pada sektor-sektor
tertentu, seperti Bank BRI untuk pengembangan sektor
Pertanian, UMKM dan Koperasi, Bank BTN untuk
sektor perumahan, serta Bank Mandiri dan Bank BNI
untuk sektor korporasi nasional dan peningkatan daya
saing ekonomi.

Kesimpulan
Apresiasi yang tinggi terhadap Bank Indonesia
karena telah merespons dengan cepat terhadap perbedaan
dan kekhawatiran di kalangan perbankan, sehingga
memundurkan waktu implementasi kebijakan
kepemilikan tunggal (SPP) perbankan yang semula akan
diterapkan pada tahun 2008 menjadi tahun 2010.

Rekomendasi

Terkait dengan rencana diimplementasikan
kebijakan SPP secara penuh pada tahun 2010, disarankan
:
1. Untuk diadakan pertemuan kembali Komisi XI
DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia.
Dimana kebijakan ini bertujuan mendorong
konsolidasi dalam strategi usaha perbankan,
sekaligus menata aspek persaingan usaha di
industri perbankan, selain itu peningkatan
efisiensi industri perbankan secara keseluruhan
juga akan dapat dioptimalkan,
2. Agar Bank Indonesia terus melakukan
konsultasi dengan pihak pemerintah selaku
pemegang saham mayoritas bank-bank BUMN
dan terus melakukan sosialiasi kepada bank-
bank swasta, sebelum mengeluarkan Peraturan
Bank Indonesia yang terkait dengan penerapan
SPP tersebut.

4. Pembahasan Program KUR di Bank-Bank
Negara (HIMBARA)
Pendahuluan
Program KUR ini merupakan pengembangan usaha
rakyat oleh Pemerintah yang bekerjasama dengan
perbankan yang merupakan langkah positif untuk

mempercepat pembangunan ekonomi kerakyatan serta
komitmen Pemerintah terhadap masyarakat kecil yang
masih menggantungkan hidupnya dari sektor UMKM.
Dengan tersedianya modal dari perbankan bagi sektor
UMKM dengan biaya dan persyaratan yang mudah akan
memberikan langkah yang positif bagi UMKM dalam
melakukan kegiatan usahanya. Hal ini diharapkan akan
meningkatkan pertumbuhan dan juga dapat mendorong
terjadinya perubahan struktur perekonomian dari sektor
tradisional menjadi modern jika penyaluran KUR dapat
dilakukan dalam jumlah yang cukup besar.
Dengan telah ditunjuknya beberapa perbankan
nasional untuk menyalurkan KUR kepada sektor UMKM
merupakan salah satu langkah antisipasi dalam
menghadapi dampak krisis yang terjadi saat ini.
Sehingga peran perbankan nasional dalam menyalurkan
KUR yang telah dijamin oleh Pemerintah bagi Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah diharapkan dapat
mendukung perekonomian nasional.
Pada awal dilaksanakan Kredit Usaha Rakyat ini,
program ini mempunyai target memberikan pembiayaan
kepada sektor UMKM yang feasible namun belum
bankable sehingga dapat dibiayai dengan memberikan
penjaminan kredit oleh perusahaan penjamin. Dengan
plafond kredit maksimal Rp. 500 juta, suku bunga kredit
maksimal 16% dan maksimal penjaminan sebesar 70%
dari plafond kredit yang diberikan, serta imbal jasa

penjaminan sebesar 1.5% yang dibayar Pemerintah atas
beban APBN.

Pembahasan
Berkaitan dengan terbitnya Instruksi Presiden
Nomor 6 tahun 2007 tentang percepatan pengembangan
sektor riil dan pemberdayaan UMKM, Pemerintah akan
melaksanakan beberapa kebijakan, diantaranya sebagai
berikut :
1. Meningkatkan akses Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) terhadap sumber
pembiayaan. Fokus pemberdayaan UMKM yang
pertama adalah peningkatan akses pembiayaan,
termasuk kapasitas kemampuan penjaminan dari
beberapa lembaga penjaminan kredit. Untuk
memperkuat sistem penjaminan kredit bagi
UMKM;
2. Mengeluarkan program sertifikasi tanah untuk
memperkuat penjaminan kredit bagi UMKM
dengan mempermudah pembuatan setifikasi
tanah bagi UMKM dan menurunkan biayanya
agar lebih murah dan terjangkau. Batas
terendahnya akan dinaikkan, sehingga
memperluas cakupan sertifikasi tanah milik
UMKM yang tidak terkena pajak BPHTB.

3. Penerbitan Permenkeu pada bulan Agustus 2007
mengenai pedoman pengelolaan dana APBN
untuk optimalisasi pemberdayaan UMKM;
4. Revitalisasi kredit UMKM serta Restrukturisasi
dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) yang disisihkan dari laba Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) untuk pembinaan
pengusaha UMKM;
5. Menyiapkan program peningkatan peluang pasar
bagi UMKM, dengan pengembangan institusi
promosi produk UMKM dan pengembangan
akses pasar.
Apabila berbicara mengenai UMKM, hampir
semua elemen bangsa dan negara ini telah menunjukan
concern atau komitmennya yang sangat tinggi untuk
pengembangannya. Tetapi dalam kenyataannya, sektor
UMKM sampai saat ini dapat dikatakan masih jalan di
tempat. Untuk pengembangan kedepannya, paling tidak
ada 3 (tiga) akses penting yang harus dimiliki oleh
UMKM yaitu, Pertama, akses pasar, sebagai jaminan
cash flow yang nantinya akan menjadi darah pengusaha.
Kedua, akses modal, yang banyak menjadi alasan klasik
mengapa usaha tidak berkembang. Ketiga, akses
teknologi, yang merupakan bagian terkuat dari
pengembangan kemampuan teknisnya.
Namun sangat disayangkan, konsep yang dibuat
sering kali tidak menjadi "benag merah" dengan kondisi

di lapangan. Selama ini, kesan klasik yang dialamatkan
pada UMKM adalah mereka butuh modal (dana).
Padahal, bukan modal satu-satunya yang menjadi
kendala mereka. Berbagai persoalan lainnya juga
melingkari mereka dan sulit diputus. Misalnya, soal
akses pasar, manajemen yang kurang profesional, dan
lain sebagainya.
Model bisnis modal ventura sendiri relatif masih
belum sukses di Indonesia. Hal ini disebabkan spektrum
usaha dari perusahaan pasangan usaha yang terlalu luas,
sehingga perusahaan modalventura harus bekerja keras
memahami perbedaan di perusahaan pasangan usahanya.
Berdasarkan pengalaman tersebut adalah suatu hal yang
baik, jika industri modal ventura itu sendiri dapat lebih
fokus, sehingga perusahaan modal ventura bisa
berkonsentrasi dalam menangani perusahaan pasangan
usahanya dalam ketiga aspek akses usaha tersebut diatas
(pasar, modal dan teknologi)

Kesimpulan
Untuk meningkatkan penyerapan Kredit Usaha
Rakyat (KUR), Komisi XI DPR RI :
1. Meminta kepada Bank Penyalur dan Lembaga
Penjamin untuk lebih meningkatkan sosialisasi,
evaluasi dan monitoring serta melakukan

lingkage program dengan koperasi/kelompok tani
maupun lembaga keuangan mikro.
2. Penyamaan persepsi KUR dalam kemudahan
mendapat kredit, bank perlu kekuatan hokum bila
terjadi masalah kredit macet, sedangkan
masyarakat perlu dipermudah terkait dengan
PMK tentang BI Cheking.

Rekomendasi
Terkait dengan isu-isu strategis yang sedang
berjalan maka rekomendasi yang dapat ditawarkan
antara lain :
o Isu-isu strategis :
1. Penerapan Kepemilikan Tunggal Perbankan di
Indonesia (Single Presence Policy) pada tahun
2010 (Peraturan Bank Indonesia No.8/16/2006)
2. Dampak Penerapan Basel 2
3. Relaksasi dalam penghitungan Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Kredit
Usaha Rakyat (KUR)
o Rekomendasi atas isu strategis :
1. Strategi Permodalan, yaitu Penurunan Dividend
pay-out ratio < 50%;
2. Karena kondisi krisis global, dikhawatirkan NPL
meningkat, maka sebaiknya implementasi Basel
2 dpt ditunda 3-4 tahun ke depan, karena

Perbankan sedang dituntut untuk memacu sektor
riil, sementara dengan penerapan Basel 2 maka
akan terjadi pengetatan dan keterbatasan modal
dalam ekspansi kredit.
3. ATMR ini diusulkan untuk dikecualikan dari
ketentuan Basel 2, sehingga menjadi 0% (nol
persen), dan apabila memungkinkan untuk
seluruh kredit mikro s/d Rp.50 juta dikarenakan
sejak diluncurkan pada November 2007 s.d akhir
September 2008, perkembangan jumlah Kredit
Usaha Rakyat (KUR) sangat signifikan yaitu
mencapai Rp 10,96triliun dengan 1.329.251
debitur, khususnya untuk KUR dibawah Rp 5
juta atau KUR Mikro. Pangsa KUR Mikro
mencapai 45% dari total KUR Nasional dengan
pangsa debitur mencapai 94% dari total debitur
KUR Nasional. Aktiva Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR) KUR adalah saat ini sebesar
60,5%.

PRIVATISASI BUMN
Pengantar
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pasal
1, Privatisasi dapat diartikan sebagai penjualan saham
BUMN kepada pihak lain. Berkaitan dengan hal
tersebut, dalam pasal 74 disebutkan bahwa Privatisasi
BUMN dilakukan dengan maksud untuk memperluas
kepemilikan masyarakat, meningkatkan efisiensi dan
produktivitas perusahaan, menciptakan struktur
keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat,
menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif,
menciptakan Persero yang berdaya saing dan
berorientasi global, dan menumbuhkan iklim usaha,
ekonomi makro dan kapasitas pasar. Dengan demikian,
Privatisasi BUMN adalah hal yang boleh dilakukan jika
memenuhi maksud-maksud yang disebutkan.

Privatisasi dapat dilaksanakan dengan cara
penjualan saham melalui pasar modal, penjualan saham
langsung kepada investor, dan penjualan saham kepada
manajemen dan/atau perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan penjelasan pasal 86 dari UU No. 19 Tahun
2003 ini, apabila yang dilakukan adalah divestasi saham
milik negara maka hasilnya disetorkan ke kas negara.
Sedangkan apabila yang dilakukan adalah penjualan
saham baru maka hasilnya disetorkan ke kas perusahaan.
Apabila anak perusahaan yang diprivatisasi maka
hasilnya dapat ditetapkan sebagai dividen interim.

Tata Cara Privatisasi Badan Usaha Milik
Negara
Sesuai Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara pasal 82 dan Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Privatisasi, tahap-tahap privatisasi dimulai dengan
seleksi Persero yang akan diprivatisasi oleh Menteri
Negara BUMN. Hasilnya dituangkan dalam Program
Tahun Privatisasi (PTP). Menteri BUMN kemudian
menyerahkan PTP kepada Komite Privatisasi yang
diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
untuk memperoleh arahan dan kepada Menteri Keuangan
untuk memperoleh rekomendasi.
Sesudah itu diadakan rapat-rapat pemerintah yang
diwakili oleh Kementerian BUMN dengan Komisi VI

dan Komisi XI DPR RI. Hasil rapat-rapat dengan DPR
disampaikan oleh Menteri BUMN kepada Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian selaku ketua Komite
Privatisasi. Hasil rapat-rapat berisikan hal-hal dalam
PTP yang disetujui, yang tidak disetujui dan yang diubah
sesuai laporan singkat rapat-rapat dengan DPR.

Keputusan Komisi XI DPR RI Terkait
Privatisasi
Berdasarkan Rapat Komisi XI DPR RI dengan
Menteri Keuangan dan Menteri Negara BUMN tanggal 9
Juli 2008, setelah sebelumnya telah dilakukan beberapa
kali rapat Panitia Kerja Privatisasi, dihasilkan keputusan
bahwa Komisi XI menyetujui sebagian dari Rencana
Privatisasi 2008 dengan beberapa perubahan per BUMN
yang akan diprivatisasi:
1. PT Pengerukan Indonesia disetujui untuk
diakuisisi oleh BUMN lain dengan bidang usaha
sejenis.
2. PT Bahtera Adhiguna disetujui untuk diakuisisi
oleh BUMN lain dengan bidang usaha sejenis.
3. PT Waskita Karya disetujui untuk melakukan
Initial Public Offering (IPO) maksimum 35%
saham baru. Dengan demikian, kepemilikan
negara akan menjadi sebesar minimum 65% dan
tetap mayoritas.
4. PT Adhi Karya Tbk disetujui untuk melakukan

penawaran saham ke publik namun dengan tetap
mempertahankan posisi kepemilikan negara yang
mayoritas.
5. PT Pembangunan Perumahan disetujui untuk
melakukan penawaran saham ke publik namun
dengan tetap mempertahankan posisi
kepemilikan negara yang mayoritas.
6. PT Semen Kupang, PT KKA dan PT IKI
memerlukan langkah-langkah penyelamatan atau
perbaikan terlebih dahulu sebelum diadakan
pembahasan lebih lanjut terhadap rencana
privatisasi ketiga perseroan ini.
Sesudah rapat tanggal 9 Juli 2008 tersebut, Komisi
XI DPR RI telah mengadakan beberapa kali Rapat
dengan pihak Kementerian BUMN yang mewakili
pemerintah maupun BUMN-BUMN terkait dalam
rangka mendalami rencana Privatisasi BUMN lainnya.
Hasil akhirnya, rencana privatisasi tiga perusahaan yakni
PT Garuda Indonesia, PT Bank Tabungan Negara dan
PT Krakatau Steel disetujui pada rapat pada 18
September 2008 dengan beberapa catatan. Hal penting
yang melekat pada persetujuan Komis XI adalah tidak
hilangnya posisi mayoritas negara sebagai pemegang
saham dan dilaksanakan pada saat yang tepat sesuai
kondisi pasar modal.
1. Berkaitan dengan rencana privatisasi PT Garuda

Indonesia, Panja Privatisasi Komisi XI DPR RI
telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat
dengan pihak Direksi BUMN yang bersangkutan
pada tanggal 18 Maret 2008 dan 31 Maret 2008.
Dalam Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan
dan menteri Negara BUMN tanggal 18
September 2008 disetujui untuk dilakukan
pelepasan saham baru PT Garuda Indonesia
sebesar maksimum 40% melalui penjualan
terbuka di Bursa Efek Indonesia. Dengan
demikian negara akan tetap merupakan
pemegang saham mayoritas pada PT Garuda
Indonesia dengan kepemilikan saham sebesar
minimum 55,44% setelah pelepasan saham.

2. Berkaitan dengan rencana privatisasi PT Bank
Tabungan Negara (Persero), Komisi XI DPR RI
telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat
dengan pihak Direksi BUMN yang bersangkutan
pada tanggal 9 September 2008. Dalam Rapat
Kerja dengan Menteri Keuangan dan Menteri
Negara BUMN tanggal 18 September 2008
disetujui untuk dilakukan pelepasan saham baru
perdana PT Bank Tabungan Negara (Persero)
sebesar maksimum 30% melalui penawaran
terbuka di Bursa Efek Indonesia. Dengan
demikian negara akan tetap merupakan

pemegang saham mayoritas pada PT Bank
Tabungan Negara (Persero) dengan kepemilikan
saham sebesar minimum 70% setelah pelepasan
saham.

3. Berkaitan dengan rencana privatisasi PT
Krakatau Steel, Panja Privatisasi Komisi XI DPR
RI telah mengadakan Rapat Dengar Pendapat
dengan pihak Direksi BUMN yang bersangkutan
pada tanggal 18 Maret 2008, 27 Maret 2008, 8
April 2008 dan 9 April 2008. Dalam Rapat Kerja
dengan Menteri Keuangan dan Menteri Negara
BUMN tanggal 18 September disetujui untuk
dilakukan pelepasan saham baru perdana PT
Krakatau Steel sebesar maksimum 30% melalui
penawaran terbuka di Bursa Efek Indonesia.
Dengan demikian negara akan tetap merupakan
pemegang saham mayoritas pada PT. Krakatau
Steel dengan kepemilikan saham sebesar
minimum 70% setelah pelepasan saham.

Hal yang sangat sering diingatkan oleh Komisi XI
DPR RI dalam berbagai rapat-rapat tentang rencana
Privatisasi BUMN adalah soal tidak hilangnya posisi
mayoritas negara. Di samping itu soal perlunya
pemerintah memperhatikan waktu privatisasi yang tepat

agar memberikan hasil yang maksimal bagi pemerintah
maupun BUMN itu sendiri, merupakan hal yang juga
senantiasa dilontarkan.
Berkaitan dengan pilihan apakah akan melakukan
privatisasi melalui strategic sales (dijual kepada
strategic partners) atau melalui penawaran saham ke
publik lewat bursa efek - di samping kemungkinan
penjualan saham ke pihak manajemen atau karyawan
perusahaan yang akan diprivatisasi - pembicaraan sering
menghangat di seputar dampak positif dan negatif dari
masing-masing pilihan. Kelebihan cara penawaran
saham melalui bursa efek dipandang memiliki kelebihan
pada sisi transparansi mengingat hal ini menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan
yang terdaftar di bursa efek. Di samping itu, penawaran
melalui bursa efek berarti memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut memiliki
saham yang ditawarkan.
Berhadapan dengan kelebihan cara penawaran
saham lewat bursa efek, cara penjualan melalui strategic
sales memberi peluang yang lebih besar bagi pengalihan
teknologi dari pihak (perusahaan) yang melakukan take
over. Alih teknologi adalah hal yang tidak akan terjadi
jika penawaran saham dilakukan melalui bursa efek.
Mengingat beragamnya argumen berkaitan dengan
cara privatisasi, seperti yang dilakukan selama ini, DPR
perlu senantiasa mendalami plus-minus dari setiap cara

yang mungkin. Karena itu, rapat-rapat mengenai hal ini
perlu senantiasa dilakukan dengan hati-hati agar bisa
mencermati plus-minus dimaksud secara mendalam
sehingga dapat menghasilkan keputusan yang optimal
bagi masyarakat umum, perekonomian maupun
keuangan negara, serta perusahaan yang bersangkutan.

Potret (Bappenas, BPK, BPS dan BPKP)
1. Bappenas
Bappenas mempunyai peran penting dalam
mewujudkan rancangan kebijakan dan menentukan arah
pembangunan nasional dalam jangka panjang, jangka
menengah dan tahunan. Selain itu juga Bappenas
melakukan koordinasi perencanaan pembangunan
dengan stakeholder untuk mewujudkan integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi dalam perencanaan
pembangunan nasional. Bappenas juga mempunyai misi
mewujudkan institusi perencanaan sebagai mitra dalam
proses perencanaan pembangunan dan pengambilan
keputusan kebijakan nasional lainnya, serta
mengembangkan kapasitas, potensi dan kompetensi
nasional dalam perencanaan pembangunan secara
berkelanjutan. Bappenas juga mempunyai tujuan untuk

meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam
rangka menjamin pencapaian tujuan bernegara yang
meliputi agenda mewujudkan Indonesia yang aman,
damai, adil, demokratis serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Komisi XI DPR RI yang merupakan mitra kerja
dari Bappenas telah melakukan rapat-rapat selama
periode 2004-2009 yang merupakan bagian dari
pengawasan badan-badan untuk menjamin terlaksananya
visi, misi, dan tujuan dari Bappenas agar arah kebijakan
dan pembangunan nasional dapat tercapai. Pada awal
periode tugasnya di DPR RI, Komisi XI DPR RI
memberikan perhatian lebih terhadap Program
pemulihan daerah yang terkena bencana nasional
terutama akibat bencana gempa bumi dan tsunami di
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Utara. Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi
wilayah Aceh dan Nias, Komisi XI DPR RI meminta
kepada Pemerintah untuk dapat menentukan prioritas
setiap bidang dan kegiatan dengan memperhatikan
kondisi lapangan serta keterbatasan yang dihadapi,
seperti masalah ketersediaan dana, kondisi alam, budaya,
keamanan dan politik, serta sumber daya alam. Selain itu
juga Komisi XI meminta Pemerintah agar menyiapkan
schedule waktu pelaksanaan untuk setiap bidang dan
kegiatan serta informasi tentang pihak-pihak yang

terlibat, dan pembiayaannya harus menjadi bagian dari
APBN. Untuk dana bantuan donor asing, Komisi XI
DPR RI meminta kepada Pemerintah harus segera
mengupayakan dan memastikan jadwal turunnya
bantuan donor asing tersebut.
Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa rehabilitasi
dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara
akan terjadi tumpang tindih antar institusi yamg
memiliki potensi untuk menyulitkan pelaksanaan di
lapangan sehingga diperlukan payung hukum yang jelas
untuk menghindari tumpang tindih dan panjangnya
birokrasi yang memperlambat realisasi program, serta
luasnya masalah dan lintas sektoral, maka masalah
koordinasi menjadi penting sekali.
Pemerintah juga diminta untuk membentuk Badan
Pelaksana yang bertanggungjawab secara keseluruhan
atas keberhasilan pelaksanaan rencana rehabilitasi dan
rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara
baik dari aspek teknis maupun manajerial. Untuk itu
aspek informasi harus lengkap, memadai, on-time, akurat
dan transparan. Sebaiknya Badan ini dipimpin oleh
orang yang memiliki reputasi baik, kredibilitas yang
tinggi serta diterima oleh semua pihak. Selain itu juga
pemerintah juga harus memastikan keterlibatan
masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara.

Selain masalah program pemulihan daerah yang
terkena bencana nasional, masalah strategi utang luar
negeri untuk membiayaan APBN juga menjadi perhatian
Komisi XI DPR RI. Komisi XI DPR RI meminta kepada
Bappenas agar tujuan dan strategi manajemen utang luar
negeri harus berada dalam konteks kebijakan fiskal
dalam jangka panjang dan kondisi APBN dan tujuan
manajemen utang adalah menyediakan pendanaan yang
stabil dan berbiaya murah untuk membiayai
pembangunan, likuiditas dan kewajiban keuangan
pemerintah. Selain itu juga strategi manajemen utang
harus berbasiskan prinsip kehati-hatian, antisipatif,
berorientasi jangka panjang dengan meminimumkan
beban bunga, dan menentukan strategi yang tepat, agar
mendapatkan struktur utang yang konservatif, dan
selanjutnya Bappenas segera menyusun dokumen
strategi pendanaan luar negeri untuk dibahas bersama-
sama dengan DPR RI.
Komisi XI DPR RI meminta kepada Pemerintah
agar Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
5 (lima) tahun, dilaksanakan secara konsisten dalam
kerangka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
yang bertujuan untuk : mendukung koordinasi antar
pelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antar Daerah, antar ruang,
antar waktu, antar fungsi Pemerintah maupun antara
Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi

antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat;
dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya
secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Selama periode 2005-2006, Komisi XI DPR RI
masih konsisten memberikan perhatian terhadap strategi
pendanaan hutang luar negeri, dimana Komisi XI DPR
RI meminta kepada Pemerintah agar strategi pinjaman
yang dirancang adalah untuk menjamin terciptanya fiscal
sustainability dan terjaminnya pembangunan nasional
baik jangka menengah maupun jangka panjang dengan
sumber dana paling murah dan menguntungkan negara.
Komponen utang luar negeri tersebut harus terdiri dari
government to government, multilateral, unilateral,
obligasi internasional dan Surat Utang Negara.
Dalam upaya pembenahan manajemen utang,
Komisi XI DPR RI meminta agar Pemerintah c.q.
Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala
BAPPENAS segera menyelesaikan penyempurnaan
Strategi Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri (Country
Borrowing Strategy) dalam jangka waktu secepatnya 1
(satu) bulan termasuk melakukan review terhadap utang-
utang luar negeri Tahun 1995 – 2005 dan menyampaikan
hasilnya kepada Komisi XI DPR RI. Selain itu juga
Komisi XI DPR RI meminta agar pemerintah dapat
segera mengajukan RUU tentang Pinjaman dan Hibah
Luar Negeri.

Dalam periode ini, Komisi XI DPR RI juga
memberikan perhatian terhadap pencairan dana
kompensasi BBM dimana Pemerintah harus memastikan
mekanisme koordinasi dan pengawasan dapat berjalan
dengan efektif. Dalam hal rural infrastructure paling
tidak harus mencakup pembangunan jalan untuk akses
produksi masyarakat pedesaan, pembangunan
infrastruktur yang mendukung petani dan nelayan untuk
berproduksi seperti : irigasi, jaringan listrik, telepon
fasilitas pasca panen, media transport. Dan jika terdapat
penyelewangan terhadap dana yang telah dialokasikan ke
setiap sektor, agar dilakukan penegakan hukum yang
tegas.
Beberapa sasaran rencana kerja Bappenas untuk
tahun 2008 adalah:
1. Peningkatan kualitas perencanaan melalui
peningkatan kualitas analisis, kajian, dan
perumusan kebijakan di bidang perencanaan
termasuk yang bersifat lintas dimensi untuk
merespon masalah aktual.
2. Meningkatkan kerjasama yang harmonis
dengan seluruh stakeholder dalam penyusunan
rencana pembangunan dengan penguatan
penataan dan peningkatan kualitas hubungan
kerja dengan lembaga legislatif dan
kementrian/lembaga mitra kerja.

3. Terwujudnya pemantapan peran dalam
penyusunan RAPBN, mengelola perencanaan
PHLN, dan sinkronisasi kebijakan publik,
pengendalian termasuk pemantauan dan
pengawasan serta evaluasi pelaksanaannya
dalam mencapai target RPJMN tahun 2004-
2009.
4. Meningkatnya akses sarana dan prasarana,
penguasaan data/informasi dan teknologi
informasi serta pemanfaatannya dalam rangka
perumusan kebijakan pembangunan nasional.
5. Meningkatnya efektifitas sistem pengawasan
dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja
dalam mewujudkan aparatur Kementrian
Negara PPN/Bappenas yang bersih, akuntabel,
dan bebas KKN.
Komisi XI DPR RI menyambut baik dan
mendukung kebijakan strategis serta langkah-langkah
yang akan ditempuh oleh Kementerian Negara PPN/
BAPPENAS pada Tahun 2008 untuk meningkatkan
kualitas dan koordinasi perencanaan pembangunan
nasional dan daerah.
Pada periode tahun 2010 beberapa kegiatan
prioritas Bappenas adalah mencakup:
1. Dengan dimulainya kabinet baru Presiden
terpilih, maka Bappenas memprioritaskan

kegiatan evaluasi 100 hari kinerja kabinet
tersebut.
2. Melakukan evaluasi terhadap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009 yang merupakan landasan
dalam menjalankan pemerintahan selama 5
tahun ini.
3. Melakukan Rakorbang tingkat pusat dan
Musrenbangnas dalam rangka penyusunan
RKP tahun 2011 serta melakukan penyusunan
blue book pinjaman/hibah luar negeri 2010-
2014.
4. Melakukan kegiatan koordinasi strategis sesuai
dengan penugasan antara lain kegiatan
pendukung pencapaian MMDGs, People
Centered Development Programme, dan
Koordinasi pemantapan dan sosialisasi
Rencana Aksi Strategi Nasional Implementasi
Konvensi UNCAC.
5. Melakukan reformasi birokrasi di Kementrian
Negara PPN/Bappenas termasuk penetapan
tunjangan kerja serta pembinaan perencana
pembangunan di pusat dan daerah.
Dalam hal ini, Komisi XI DPR RI mendukung
upaya peningkatan Sumber Daya Manusia di lingkungan
pemerintahan untuk menciptakan keahlian di segala

bidang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
agenda reformasi birokrasi.

2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) mempunyai
peran penting dalam pemeriksaan tanggung jawab
pengelolaan keuangan negara. Upaya pengawasan ini
merupakan bagian dari pengawasan lembaga negara dan
menjamin penyelenggaraan negara yang akuntabel.
Selain itu, pengelolaan keuangan negara seringkali
dianggap dekat dengan korupsi. Oleh karena itu, Komisi
XI DPR RI memandang penting peran BPK dalam
pengungkapan indikasi korupsi pada
Kementerian/Lembaga negara. Sehingga Sekretariat
Jenderal BPK RI sebagai unsur pelaksana teknis dan
keahlian dari pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang
BPK RI sebagai sebuah Lembaga Negara, perlu
menyusun konsep dan strategi yang komprehensif dan
sistematis dalam mengungkapkan permasalahan yang
berindikasikan Tindak Pidana Korupsi melalui Audit
Investigatif dan Fraud Audit sehingga dapat membantu
Aparat Penegak Hukum untuk menindaklanjutinya.
Pembahasan lain yang menjadi perhatian selama
periode 2004-2009 adalah penambahan anggota BPK-RI
sesuai amanat Undang-undang BPK yang baru, serta

hasil Pertemuan Konsultrasi antara Pimpinan Komisi XI
DPR RI dengan Ketua/Pimpinan POKSI dan sesuai pula
dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal
205, Pasal 210 dan Pasal 211 ayat (3). Untuk itu, Komisi
XI DPR RI telah mengadakan Rapat Intern tanggal 15
dan 16 Maret 2007 untuk telah melaksanakan
pemungutan suara secara tertutup dalam memilih dan
menetapkan 2 anggota BPK yang baru dari 10 orang
calon Anggota BPK yang yang akan dilaporkan dan
disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI. Berdasarkan
hasil pemungutan suara tersebut, Komisi XI DPR RI
telah menyetujui dan menetapkan Dr. Ir. Herman
Widyananda, SE., M.Si dan Drs. Sapto Amal
Damandari, Ak sebagai Anggota BPK RI yang baru
yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI dan
telah diresmikan pengangkatannya dengan Keputusan
Presiden RI.
Sesuai dengan ketentuan pasal 32 Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan tahunan BPK dilakukan oleh akuntan
publik. Adapun materi pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan tahunan BPK meliputi aspek-
aspek diantaranya kesesuaian penyajian laporan dengan
standar akuntansi pemerintahan, penilaian atas efektifitas
sistem pengendalian intern BPK-RI, penilaian kepatuhan
atas peraturan perundang-undangan, penilaian atas

tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun sebelumnya dan
pemeriksaan atas kecukupan pengungkapan (disclosure
catatan atas laporan keuangan).
Komisi XI DPR RI telah mengadakan fit and
proper test terhadap kantor akuntan publik dan berikut
ini hasil keputusan penunjukan akuntan publik untuk
mengaudit pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan BPK.

Tahun Kantor Akuntan Publik
2007 KAP HBL Hadori & Rekan
2008 KAP HBL Hadori & Rekan
2009 KAP Wisnu B Soewito

Sehubungan dengan berakhirnya masa tugas
anggota BPK RI, maka pimpinan Dewan menyampaikan
pemberitahuan mengenai rencana pemilihan Anggota
BPK, dimana juga disertakan nama nama yang
mendaftar calon Anggota BPK untuk meminta
pertimbangan dari DPD. Komisi XI DPR RI telah
membuka pendaftaran bagi calon anggota BPK RI dan
telah dilakukan seleksi administratif terhadap lamaran
yang masuk. Hasil seleksi administratif tersebut telah
disampaikan kepada DPD untuk mendapat pertimbangan

dan sampai laporan ini ditulis, Komisi XI DPR RI masih
menunggu hasil pertimbangan dari DPD.
Pembahasan dan Fit and Proper test Anggota BPK
akan dilaksanakan pada masa persidangan I yang akan
datang (awal persidangan 2009-2010). Komisi XI DPR
RI rencananya akan memulai dengan
mempublikasikannya kepada Media (Cetak maupun
Elektronik) setelah mendapat pertimbangan dari DPD.
Terkait Peer Review terhadap Hasil Pemeriksaan
BPK RI. Sesuai dengan ketentuan pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang No 15 tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksaan Keuangan, menyatakan bahwa untuk
menjamin mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara sesuai dengan standar, maka
sistem pengendalian mutu BPK RI perlu ditelaah (peer
review) oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang
menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan dunia
(International Organization of Supreme Audit
Institutions – INTOSAI).
Untuk tahun 2009, pelaksanaan peer review
dilakukan oleh BPK Belanda (the National Court of
Audit) yang merupakan salah satu anggota INTOSAI
yang selama ini ikut berperan aktif dalam penyusunan
standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN) yang saat
ini digunakan oleh BPK RI.

3. Badan Pusat Statistik (BPS)
Badan Pusat Statistik adalah lembaga pemerintahan
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden
berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus
dan UU Nomer 7 Tahun 1960 tentang Statistik. Namun
pada tahun 1997 kedua Undang-Undang ini
disempurnakan dengan UU Nomor 16 Tahun 1997
tentang Statistik, berdasarkan Undang- Undang inilah
secara formal nama Biro Pusat Statistik diganti menjadi
Badan Pusat Statistik.
Tugas yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
terdiri dari (1) Penyelenggaraan statistik dalam rangka
menyediakan data statistik di berbagai bidang yang
lengkap, akurat, dan mutakhir (2) Koordinasi antara
lembaga dalam mewujudkan terciptanya Sistem Statistik
Nasional (SSN) yang andal, efektif dan efisien (3)
Pengembangan dan penetapan klasifikasi baku, norma,
aturan dan prosedur yang harus diterapkan oleh semua
penyelenggara statistik.
Dalam mengemban tugas pemerintah, Badan Pusat
Statistik selalu berupaya memenuhi kebutuhan data
secara baik dan berkualitas sesuai dengan misinya
dimana BPS penyedia statistik berkualitas. Dalam era
otonomi daerah yang disertai dengan proses pemekaran
wilayah administrasi, BPS selalu berupaya memenuhi
kebutuhan data baik untuk pemerintah kota/kabupaten
dan masyarakat luas. Untuk memenuhi tugas tersebut

tentu diperlukan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM),
anggaran dan sarana/prasarana yang memadai. Komisi
XI DPR RI selama periode 2004-2009 selalu mendukung
program yang dilakukan oleh BPS terutama dalam hal
keakuratan data yang dihasilkan dengan menyetujui
anggaran BPS untuk meningkatkan kualitas program-
programnya. Selain itu juga Komisi XI juga meminta
kepada BPS agar mengoptimalkan penyerapan anggaran
BPS guna meningkatkan kinerja dalam implementasi
program-program tersebut sehingga penyerapan
anggaran tersebut dapat dilakukan secara efektif dan
tepat waktu.
Pada saat ini kendala yang dihadapi oleh BPS
akibat dari pemekaran dan pengembangan wilayah
administrasi di tingkat Kabupaten/Kota dan Kecamatan
adalah (1) Kekurangan Sumber Daya Manusia petugas
lapangan yaitu Koordinator Statistik Kecamatan
(KSK)/Mantri Statistik (2) Belum terpenuhinya
kebutuhan sarana/prasarana gedung kantor BPS
Kabupaten/Kota yang baru terbentuk (3) Kebutuhan
akan perluasan jumlah sampel pendataan untuk memberi
gambaran (representasi) masing-masing kabupaten/kota
untuk beberapa kegiatan survei yang berakibat
menambah upah dan biaya operasional. Sebagai
gambaran umum, kegiatan BPS secara garis besar dibagi
atas 5 kriteria pendataan yaitu:

1. Kegiatan survei yang dilakukan rutin secara
mingguan/bulanan/triwulanan untuk
memperoleh indikator terkini seperti harga
barang, tingkat inflasi, produksi barang.
2. Kegiatan survei yang dilaksanakan setiap tahun
untuk menjaga kesinambungan seri data
tahunan.
3. Kegiatan survei yang dilaksanakan 5 tahun
sekali seperti Survei Biaya Hidup (SBH).
4. Kegiatan sensus yang dilaksanakan 10 tahun
sekali yaitu Sensus Penduduk, Sensus
Ekonomi, dan Sensus Pertanian.
5. Kegiatan Ad Hoc yang ditugaskan pemerintah
kepada BPS seperti pendataan sosial ekonomi
penduduk rumah tangga miskin (untuk
kepentingan BLT, Raskin, Jamkesmas, PKH)
dan pendataan usaha tani/PUT09.

Beberapa Hal Yang Menjadi Perhatian Komisi
XI DPR RI
1. Dalam mengemban tugas pemerintah sebagai
penyelenggara statistik, BPS diminta agar
berusaha untuk melakukan pendataan seakurat
mungkin kepada seluruh rumah tangga miskin
yang berhak menerima kompensasi subsidi
harga BBM.

2. Mengharapkan agar BPS dapat meningkatkan
keakurasian data Rumah Tangga Miskin pada
tahun 2005 sesuai dengan Kriteria Rumah
Tangga Miskin yang sudah ditetapkan.
3. Pendataan dan penyaluran Bantuan Langsung
Tunai (BLT) kepada rakyat miskin perlu segera
disempurnakan sehingga memperkecil
kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam
pelaksanaan pemberian bantuan kepada
keluarga miskin.
4. Beberapa kekeliruan yang berhubungan dengan
pendataan Rumah Tangga Miskin pada tahun–
tahun terdahulu dapat diperbaiki agar ditahun
yang akan datang data ini dapat lebih akurat
lagi dan dipergunakan dengan tepat sasaran
seperti untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).
5. Memberikan perhatian khusus terhadap usulan
program-program BPS antara lain pelaksanaan
kegiatan sensus penduduk 2010, sebagaimana
yang diamanatkan UU No. 16 tahun 1997.

4. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
(BPKP)
Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa masalah
eksistensi kelangsungan tugas, wewenang, dan

kelembagaan BPKP sebagai internal auditor pemerintah
di masa mendatang, akan disesuaikan dengan rencana
hasil pembahasan Amandemen Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang
telah ditetapkan sebagai salah satu Program Legislasi
Nasional (Prolegnas). BPKP diharapkan dapat
memberikan masukan atas RUU pengganti Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1973 dimaksud.
Dalam hal ini, Pemerintah berketetapan bahwa
dalam sistem pengawasan di Indonesia, internal auditor
pemerintah terdiri dari BPKP, Inspektorat Jenderal
Departemen/LPND, dan Badan Pengawas Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota, sedangkan external auditor
pemerintah adalah Badan Pemeriksa Keuangan.
Sebagaimana fungsi BPKP sebagai auditor internal
pemerintah, maka Komisi XI DPR RI mengharapkan
laporan hasil audit maupun audit investigasi lainnya
menyerahkan kepada DPR sepanjang tidak bertentangan
dengan tugas, fungsi dan wewenangnya. Komisi XI DPR
RI juga pernah meminta BPKP melakukan beberapa
kegiatan audit seperti audit terhadap PT Pertamina
(persero), verifikasi nasabah Bank Global dan
optimalisasi penerimaan negara pada tahun 2007.
Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi,
Komisi XI DPR RI mendukung BPKP untuk melakukan
Audit Investigatif terhadap kasus-kasus yang berindikasi
Tindak Pidana Korupsi (TPK) dan meminta agar BPKP

untuk selalu berkoordinasi dengan Instansi Penyidik
(Kejaksaan, Kepolisian atau KPK) sehingga dapat segera
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memastikan pengelolaan keuangan daerah
secara efektif dan tepat sasaran, Komisi XI DPR RI
meminta BPKP untuk menyusun draft payung hukum
yang dapat mengoptimalkan fungsi BPKP dalam rangka
melakukan audit internal terhadap instansi-instansi Pusat
dan Daerah serta BUMN/BUMND, yang selanjutnya
disampaikan kepada Komisi XI DPR RI untuk dilakukan
pengkajian.
Untuk menjamin fungsi pengawasan oleh BPKP
dapat berjalan sebagaimana mestinya, Komisi XI DPR
RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk
meninjau ulang penempatan pejabat BPKP sebagai unsur
Komisaris atau Pimpinan pada BUMN-BUMN atau
BUMD-BUMD.
Dengan melihat potensi kemampuan SDM yang
dimiliki, Komisi XI DPR RI mendukung program
revitalisasi dan reposisi yang dilakukan BPKP, agar
fungsi dan perannya sebagai Auditor Internal Pemerintah
dapat maksimal melalui penyempurnaan ketentuan
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
BPKP. Berkaitan dengan itu dan mengingat pengalaman
dan kompetensi yang dimiliki oleh Tenaga Fungsional
Auditor tertentu sangat dibutuhkan oleh negara, Komisi

XI DPR RI mendukung perbaikan tingkat kesejahteraan
dan perpanjangan usia pensiun Tenaga Fungsional
Auditor tersebut untuk dikoordinasikan lebih lanjut
dengan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Menteri Keuangan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.

A. Penanganan Kasus Perbankan dan
Lembaga Keuangan dan Bukan Bank
Kasus perbankan dan lembaga keuangan
merupakan ancaman bagi stabilitas sektor keuangan
tidak saja pada institusi keuangan tetapi bagi nasabah
yang menaruh kepercayaan pada lembaga keuangan dan
perbankan. Secara garis besar, kasus-kasus tersebut
terjadi akibat mis-management yang dipicu oleh
lemahnya pengawasan otoritas pasar modal dan moneter.
Adanya kasus-kasus ini memperlihatkan perlunya

perbaikan kelembagaan pengawasan sektor perbankan
maupun pasar modal.

1. Bank Global
Pada periode 2004-2005, kasus perbankan yang
menjadi perhatian adalah penutupan Bank Global oleh
Bank Indonesia. Bank Global mengalami kesulitan
likuiditas sehingga penanganan masalah berupa
penambahan modal tidak ada artinya. Beberapa anggota
DPR menyayangkan lemahnya pengawasan Bank
Indonesia, jika sistem pengawasan BI efektif, kasus ini
seharusnya dapat diantisipasi sejak awal sehingga
nasabah perbankan tidak dirugikan.
Demi menjaga kepercayaan nasabah, Bank
Indonesia telah melaporkan pemakaian dana Rekening
502 untuk dipakai sebagai penjaminan bagi rekening
nasabah Bank Global yang sudah diverifikasi oleh
BPKP. Sebelumnya, untuk mendapatkan penjaminan
pemerintah, Komisi XI DPR RI telah meminta BPKP
untuk melakukan verifikasi dana nasabah. Komisi XI
DPR RI juga mengharapkan diupayakan mekanisme lain
untuk dapat memberikan penjaminan sejauh tidak
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan penyerahan masalah ini kepada pihak Kepolisian
dan Kejaksaan merupakan upaya terakhir demi menjaga

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.
Setelah diverifikasi oleh BPKP, daftar nama nasabah
Bank Global yang menerima dana penjaminan akan
diserahkan kepada bank pembayar yaitu Bank BNI.

2. Krisis Reksadana
Tahun 2005, diwarnai kasus penarikan reksadana
(redemption) besar-besaran yang disebabkan oleh
kondisi ekonomi eksternal. Selain itu rendahnya
pemahaman masyarakat mengenai instrumen investasi
reksadana yang dipersepsi sebagai tabungan diduga ikut
memperparah keadaan yang menjadi rush. Pencairan
reksadana mulai terjadi sejak bulan April 2005 dan
mencapai puncaknya pada Agustus 2008. Padahal pada
bulan Februari 2005, dana kelolaan reksadana mencapai
Rp 110 trilyun. Dana ini merosot hingga tersisa Rp 43,3
trilyun pada bulan Agustus 2008.
Untuk merespon permasalahan tersebut Komisi XI
DPR RI membentuk ”Panja Krisis Reksadana” untuk
menyelidiki penarikan reksadana besar-besaran yang
terjadi serta menata strategi untuk memastikan industri
reksadana mampu berkembang di masa depan. Dalam
pembahasannya, Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa
BAPEPAM harus lebih berperan aktif dalam
mengedukasi masyarakat mengenai reksadana, serta

berperan dalam mengendalikan likuiditas obligasi di
pasar sekunder dengan berkoordinasi dengan otoritas
moneter dan otoritas fiskal. Bank Indonesia juga
seharusnya lebih pro aktif menertibkan bank-bank
penjual reksadana karena reksadana sebenarnya
bukanlah produk bank. BAPEPAM juga diminta untuk
mengawasi sistem penjualan reksadana terutama apakah
semua sudah dijelaskan termasuk resiko-resikonya di
dalam penerbitan Reksadana Terproteksi, sebelum
produk tersebut dipasarkan, dan kewajaran dalam proses
konversi dan valuasinya. Penindakan yang lebih tegas
amatlah diperlukan terhadap manajer investasi Bank
Kustodian yang jelas-jelas terbukti melakukan kesalahan
dan telah merugikan masyarakat.

3. Kasus Transaksi Pasar Modal
Dalam periode 2006-2007, kasus-kasus pasar
modal mengemuka dan menjadi perhatian Komisi XI
DPR RI. Kasus-kasus tersebut diantaranya:
Kasus pengambilalihan saham (RTO-reverse take
over) yang dilakukan oleh Indofood Salim Group,
terdapat beberapa keganjilan yang melanggar peraturan
pasar modal. DPR menilai Bapepam tidak tegas dalam
pengawasan transaksi pasar modal sehingga terkesan
tebang pilih dalam memproses kasus keuangan

bermasalah. Disamping itu, Komisi XI DPR RI menilai
adanya potensi kerugian negara dan hilangnya
pendapatan dari sektor pajak akibat pemindahan
perusahaan milik Group Salim ke Singapura. Selain itu,
terkait rencana penjualan saham Lapindo Brantas kepada
Lyte Limited, DPR menilai Bapepam bertindak
diskriminatif karena melarang penjualan tetapi disisi
lain membiarkan transaksi RTO Salim Group yang
bermasalah tetap terjadi. Jika hal ini terus terjadi dapat
merusak kepercayaan investor dan iklim investasi. Kasus
lainnya yang mendapat perhatian yaitu anjoknya harga
saham PGN secara drastis sehingga otoritas bursa
menerapkan auto rejection pada transaksi saham PGN.
Anjloknya saham PGN dipicu oleh mundurnya jadwal
komersialisasi gas dari Sumatera Selatan ke pelanggan
industri di Jawa Barat yang semula Desember 2006
menjadi Maret 2007.
Terhadap kasus-kasus di pasar modal tersebut,
Komisi XI DPR RI berpendapat bahwa perlu
diadakannya pendalaman lebih lanjut dan komprehensif
dengan BAPEPAM-LK termasuk pihak-pihak terkait
lainnya atas masalah-masalah diatas.

4. Divestasi Indover Bank Amsterdam
Berdasarkan pasal 77 Undang-Undang Nomor. 23
tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Nomor. 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
harus melakukan divestasi terhadap anak perusahaan,
yaitu Indover Bank, PT Askrindo dan PT BPUI (Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia). Rencana divestasi anak
perusahaan BI tersebut telah dibicarakan bersama
Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia dimana
disepakati bahwa penanganan divestasi akan
diselesaikan paling lambat akhir Desember 2006, dan
bila sampai akhir Desember 2006 belum selesai, maka
juga disepakati bahwa pada awal tahun 2007 akan
dibentuk Panja divestasi anak-anak perusahaan Bank
Indonesia, yang beranggotakan Komisi XI DPR RI,
pemerintah dan Bank Indonesia.
Dalam perkembangannya, wacana divestasi
terutama untuk Indover Bank mengalami pasang surut.
Artinya baik Komisi XI DPR RI maupun Bank Indonesia
seakan-akan enggan melepas kepemilikan Indover
sebagai suatu aset negara. Hal ini mengingat Indover
Bank mempunyai full banking license yang
memungkinkan untuk pengembangan usaha di wilayah
Eropa dan Asia sehingga fungsinya sangat strategis
dalam menunjang peningkatan kegiatan ekspor

Indonesia serta membantu aliran modal masuk dalam
bentuk portofolio dan barang barang modal.
Pada kesempatan lainnya, Komisi XI DPR RI
mendukung pembentukan “Tim Koordinasi Penanganan
Pelepasan Penyertaan BI pada anak-anak perusahaan BI
(Indover Bank, PT. BPUI, PT. Askrindo) kepada
pemerintah” yang keangotaannya terdiri dari Bank
Indonesia, Departemen Keuangan dan Kementerian
Negara BUMN. Untuk mengoptimalkan divestasi dan
meminimalkan dampak terhadap keuangan negara maka
Komisi XI DPR RI meminta agar hasil kajian Tim
Koordinasi tersebut dilaporkan dan dibicarakan terlebih
dahulu dengan Komisi XI DPR RI sebelum dibuat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Negara
BUMN, dan Gubernur Bank Indonesia.
Perkembangan terakhir tarkait divestasi
memperlihatkan Bank Mandiri tercatat sebagai satu-
satunya penawar Indover. Namun, pada tanggal 25
September 2008, Bank Mandiri telah membatalkan
proses akuisisi terhadap Indover karena krisis yang
melanda pasar keuangan global sehingga Bank Mandiri
tak mungkin melanjutkan akuisisi.
Wacana ini akhirnya mencapai anti klimaks ketika
anak perusahaan Bank Indonesia, Indover Bank
dibekukan operasinya mulai 7 Oktober 2008. Hal ini
dinyatakan oleh Bank Sentral Belanda (De
Nederlandsche Bank/DNB) setelah Pengadilan Belanda

memutuskan untuk membekukan kegiatan operasional
Indover Bank yang berkedudukan di Amsterdam.
Pembekuan operasional dilakukan setelah Indover
Bank mengalami kesulitan likuiditas akibat penurunan
secara drastis money market line sebagai dampak dari
gejolak pasar keuangan global yang terjadi dewasa ini
yang juga melanda kawasan Eropa. Proses penyelesaian
permasalahan Indover Bank ditangani oleh Kurator yang
ditunjuk oleh DNB dan Bank Indonesia sebagai
pemegang saham akan sepenuhnya mengikuti peraturan
dan hukum yang berlaku di Belanda. Apa yang terjadi
dengan Indover Bank merupakan ironi di tengah
perbaikan yang ditunjukkan sepanjang tahun 2003
sampai dengan 2007 dimana kinerja keuangan
menunjukkan peningkatan perolehan laba mencapai
EUR 2,3 juta.
Untuk menyiapkan langkah-langkah penyelamatan
Indover Bank, Bank Indonesia meminta pertimbangan
Komisi XI DPR RI mengenai strategi yang terbaik.
Terdapat beberapa opsi yang diajukan Bank Indonesia
yaitu:
1. Opsi pertama: Membayar seluruh tagihan Bank
Indover terhadap kreditur yang memiliki surat
berharga Indover sebesar EUR 546 juta. Opsi
ini membawa konsekuensi dana talangan yang
harus dikeluarkan BI cukup besar mencapai Rp

7,2 trilyun. Dengan opsi ini, Bank Indover
dipastikan tidak perlu dilikuidasi sementara
seluruh liabilities yang telah dibeli dapat
dikelola dalam suatu aset management.
Pengelolaan aset oleh pihak Bank Indover
nantinya diharapkan dapat menghasilkan
tingkat resiko dan pengembalian (recovery)
yang optimal.

Identifikasi Resiko:
- Pembayaran seluruh tagihan akan
menghindarkan pemerintah dan bank
Indonesia dari persepsi negatif pasar
keuangan global
- Turunnya rating surat berharga Indonesia
dan sovereign bonds dapat ditahan dengan
“good news” terhadap kasus Indover
- Dana perbankan nasional yang ditempatkan
di bank Indover dipastikan akan kembali
sehingga memperbaiki situasi likuiditas
domestik dan mengurangi dampak berantai
kriris keuangan ke dalam negeri.
- Kebutuhan dana talangan untuk Indover
perlu dicarikan solusi agar tidak membebani
rakyat. Dana dari APBN sudah pasti tidak
mungkin, alternatifnya menggunakan dana
dari dana cadangan tujuan BI namun harus

dipastikan tidak akan mengganggu kinerja
BI secara keseluruhan.

2. Opsi kedua: Membayar seluruh tagihan Bank
Indover terhadap kreditur utama seperti Bank
Sentral Belanda (DNB) dan kreditur luar negeri
lainnya sebesar EUR 250 juta. Opsi ini
diperlukan karena kreditur tersebut memegang
collateralized repo yang setiap saat dapat
diperjualbelikan kembali oleh kreditur yang
bersangkutan. Jika ini terjadi maka akan
mempengaruhi equity Bank Indover menjadi
negatif sehingga mempercepat masuknya
Indover dalam status ‘likuidasi’.
Identifikasi Resiko:
- Potensi penjualan kembali collateralized repo
tidak akan mempengaruhi equity Indover karena
surat berharga itu sudah dibeli kembali
- Pembayaran sebagian tagihan hanya
menyelesaikan tagihan kreditur global namun
tidak kreditur domestik. Mengingat besarnya
dana domestik yang “diparkir” di Indover,
kemungkinan hal ini menyebabkan kesulitan
likuiditas bank-bank domestik. BI dapat
melakukan intervensi melalui FPJP (fasilitas

pendanaan jangka pendek) kepada bank-bank
tertentu yang memerlukan bantuan likuiditas
(tidak perlu seluruh bank mendapatkan fasilitas
ini)
- Ongkos penyelamatan relatif lebih kecil
dibandingkan penyelamatan dalam opsi pertama.

3. Opsi ketiga: likuidasi Bank Indover. Hal ini dapat
ditempuh dengan likuidasi secara paksa maupun
likuidasi secara sukarela. Baik likuidasi secara
paksa maupun sukarela, tagihan kreditur tetap
harus dipenuhi dari hasil penjualan aset dan surat
berharga setelah likuidasi.
Identifikasi resiko:
- Mengingat pembayaran kepada kreditur
tergantung besarnya penjualan aset dan lain
sebagainya maka ada kemungkinan kreditur yang
tidak mendapat pembayaran penuh bisa
menghembuskan isu negatif dan menghentikan
investasi keuangan di Indonesia. Jika kreditur
tersebut adalah kreditur global pengaruhnya
dipastikan cukup signifikan karena pasar
keuangan yang sudah terintegrasi.
- Ketidakmampuan Bank Indonesia sebagai
pemegang saham untuk menyelamatkan Indover

dapat diinterpretasikan sebagai default-nya Bank
Indonesia dan pemerintah Indonesia. Jika opini
ini beredar maka kredibilitas sektor keuangan
Indonesia menjadi taruhan.
Pandangan umum Komisi XI DPR RI
menyayangkan divestasi berjalan sangat lambat,
sehingga Indover Bank harus terkena dampak krisis
keuangan dan terancam dilikuidasi. Selain itu, Komisi
XI DPR berpendapat bahwa apa yang terjadi di Indover
seharusnya sudah diketahui oleh Bank Indonesia sebagai
induk perusahaan. Ditambah lagi, temuan bahwa
manajemen Indover bank mengeluarkan surat berharga
yang menjaminkan pemerintah Indonesia merupakan
suatu penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu,
Komisi XI meminta pihak-pihak yang terlibat dan
bersalah diberikan sangsi yang tegas.
Dalam perkembangannya Indover tetap
dilikuidasi. Pilihan ini relatif murah dari sisi pemerintah
Indonesia yang tidak menyediakan dana talangan, namun
demikian resiko terhadap munculnya persepsi gagalnya
pemerintah Indonesia menyelamatkan Indover perlu
dikelola dan diantisipasi, terutama pemenuhan kewajiban
terhadap kreditur Indover yang berasal dari luar negeri.
Sementara kreditur dalam negeri diantaranya beberapa
bank BUMN, kemungkinan dapat dibayarkan tetapi
tidak seluruh tagihannya dapat dibayarkan.

5. Kasus Sarijaya, Bank Century dan Antaboga
Dalam kasus Sarijaya, nasabah tidak dimungkinkan
mengakses data transaksi efek milik nasabah di Sarijaya.
Setelah nasabah meminta kepada Sarijaya, data efek
nasabah dikeluarkan oleh KSEI. Data transaksi efek
nasabah yang ada di KSEI seharusnya dapat di akses
nasabah namun tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan
perusahaan sekuritas.
Setelah melihat data-data nasabah yang
dikeluarkan oleh KSEI terungkaplah efek-efek nasabah
yang tercatat didalamnya sebagian masih ada, ada yang
berkurang, ada pula yang sama sekali hilang (nol).
Praktek yang berjalan di Sarijaya, menggunakan
pembukuan yang berbeda dan dana nasabah diletakkan
di rekening 04 dalam C-BEST (Central Depository and
Book Entry Settlement). Rekening tersebut nantinya
difungsikan ketika modal kerja bersih disesuaikan
(MBKD) Sarijaya mengalami kekurangan. Dalam hal ini
konsumen tidak mendapatkan informasi yang sempurna,
dimana pada saat penandatanganan kontrak terdapat
Menurut Nasabah, Bank Century sejak tahun
2002 menjual produk sekuritas dimana Bank Century
bertindak sebagai sub agen penjualan sampai dengan
tahun 2008. Pada pertengahan November 2008, dana

nasabah yang tersimpan dalam produk sekuritas
Antaboga tersebut tidak dapat dicairkan. Ketika dana
nasabah tidak dapat diuangkan, terdapat
kesimpangsiuran informasi mengenai nasib dana
nasabah. Bappepam dan LPS sebagai pemegang saham
Bank Century yang baru berulangkali menyatakan
bahwa sekuritas yang dijual oleh Bank Century adalah
illegal yang dijual oleh oknum pribadi yang ada di Bank
Century. Hal ini ditegaskan juga oleh pihak Bank
Indonesia yang pernah menyampaikan larangan
penjualan produk tersebut di Bank Century pada tahun
2002.
Komisi DPR RI berpendapat mengingat beberapa
hal perlu mendapat perhatian: Pertama, Penggelapan
dana nasabah seharusnya tidak terjadi jika pengawasan
otoritas pasar modal berfungsi secara efektif. Keraguan
terhadap model pengawasan Bappepam dan Bank
Indonesia perlu dikaji ulang mengingat kondisi pasar
modal saat ini masih rapuh dan terpengaruh kondisi
perekonomian global. Kedua, pembekuan aset pemilik
diperlukan. Adanya penggelapan yang dilakukan oleh
pemilik mengharuskan adanya tanggung jawab karena
masalah ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan
kriminal.
Para anggota kurang sependapat jika penyelesaian
kasus nasabah dibiarkan melalui proses hukum karena
persoalan bisa melebar dan kemungkinan kembalinya

uang nasabah menjadi lebih sulit. Oleh karena itu
anggota mendesak otoritas keuangan (BI dan Bappepam)
untuk menyusun strategi terobosan yang memastikan
uang nasabah bisa dikembalikan. Hal ini bisa dilakukan
diantaranya dengan membentuk rekening escrow
account dari rekening-rekening yang sudah berhasil di
identifikasi oleh kepolisian dan PPATK.
Para anggota mempertanyakan kinerja aparat
pengawas BI dan BAPEPAM yang menyebabkan kasus-
kasus seperti Antaboga dan Sarijaya terjadi. Kinerja para
pengawas terkesan lemah dan hanya “menunggu bola”
dari indikasi penyelewengan pada lembaga keuangan.
Oleh karena itu para anggota mendesak pertanggung
jawaban otoritas pengawas dalam bentuk tindakan dan
sangsi bahkan jika diperlukan adanya pemecatan.
Ke depan, pengawasan sektor keuangan harus
diperkuat tidak hanya pengawasan model compliance
approach yang selalu terlambat merespon tindak
penyelewengan di sektor keuangan. Sementara itu perlu
diperkuat pendekatan risk-based dimana bank dituntut
melakukan manajemen resiko secara internal maupun
eksternal. Hal lain yang harus dilakukan yaitu
peningkatan pengawasan diantaranya dalam bentuk
dedicated (langsung) untuk melihat kondisi di lapangan
dan adanya sistem pengawasan yang memastikan early
warning system. Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip

ke-6 arsitektur perbankan Indonesia berkaitan dengan
keamanan nasabah lembaga keuangan.

B. Penanganan Masalah Khusus Di
Departemen Keuangan
Hibah PPB/BTDC
Ditjen Kekayaan Negara mengajukan permohonan
persetujuan rencana hibah terhadap aset negara yang
dikelola oleh PT PPA berupa lahan seluas 1.175 ha di
Lombok. Nilai hibah yang diajukan adalah selisih antara
nilai wajar aset dan nilai buku yaitu Rp 297,6 milyar.
Tanah tersebut akan dikerjasamakan untuk investasi
dengan calon investor dari timur tengah.
Terhadap permohonan tersebut Komisi XI DPR
RI berpendapat bahwa terkait persetujuan hibah kepada
PT BTDC agar mempertimbangkan dasar-dasar hukum

agar terjadi kerugian negara serta ketentuan perundangan
yang berlaku, dalam hal ini ketentuan UU No 1 tahun
2004 tentang perbendaharaan negara.
Berdasarkan UU No 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, pada pasal 45 ayat 2 menyatakan
“Pemindahtanganan barang milik negara/daerah
dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan
atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah
mendapat persetujuan DPR/DPRD”. Selanjutnya dalam
pasal 46 ayat 1 menyatakan bahwa Pemindahtanganan
barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan
yang bernilai lebih dari Rp. 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) harus melalui persetujuan DPR
Dalam hal ini Komisi XI DPR RI berpendapat
bahwa hibah yang dimintakan persetujuannya kepada
DPR RI senilai Rp 297,6 milyar adalah hibah sebagian
saham negara pada PT PPL kepada PT Pengembangan
Pariwisata Bali (PT PPB). Sementara penyertaan modal
negara pada PT PPB adalah saham PT PPL berupa
underlying aset dengan nilai buku Rp. 260 milyar.
Terkait hal tersebut, Komisi XI DPR RI meminta
pemerintah memperhatikan amanat UU No 17 tahun
2003 mengenai keuangan negara pasal 24, bahwa
pemerintah dapat memberikan
pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada perusahaan
negara/daerah yang terlebih dahulu ditetapkan dalam

APBN/APBD. Pemerintah juga diminta melampirkan
salinan perjanjian hibah yang telah ditandatangani.

C. Penanganan Masalah Khusus di Bank
Indonesia
1. Pembahasan Divestasi Anak Perusahaan Bank
Indonesia (BI)
Pendahuluan
Sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia bahwa selambat-
lambatnya 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya
Undang-Undang ini (paling lambat 15 Januari 2009),
Bank Indonesia wajib sudah melepaskan seluruh
penyertaannya pada badan hukum atau badan lainnya.
Namun demikian, pada tanggal yang ditentukan Bank
Indonesia belum dapat melakukan divestasi pada anak
perusahaannya, yaitu: PT. BPUI dan PT. Askrindo yang
disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali BI (karena
proses divestasi anak perusahaan Bank Indonesia terkait
dengan masalah Prosedur, Mekanisme dan Jumlah Asset

dari PT Askrindo dan PT BPUI, maka diperlukan
pendalaman lebih lanjut dari unsur-unsur yang terkait).

Pembahasan
Bila kembali ke belakang, yaitu pada waktu RDP
Komisi XI DPR RI dengan para Deputi Gubernur Bank
Indonesia tanggal 5 Juli 2005, khususnya yang berkaitan
dengan pembicaraan masalah divestasi Askrindo, dan
asset-asset Bank Indonesia lainnya telah terungkap
beberapa pokok pembahasan diantaranya sebagai berikut
:
1. Dalam melaksanakan divestasi asset Askrindo,
Bank Indonesia agar memperhatikan batas
waktu yang ditentukan Undang-Undang,
mendapatkan investor kredibel dan harga
premium.
2. Sebelum dilakukan divestasi, Bank Indonesia
harus tetap menjaga kesehatan asset-asset yang
akan didevistasi antara lain tidak terjadi
turunnya nilai-nilai asset. Agar tidak terjadi
kerugian atas asset-asset, asset Bank Indonesia
berupa plege deposit harus ditarik.
Berdasarkan RDP Pokja Perbankan Komisi XI
DPR RI dengan para Deputi Gubernur Bank Indonesia
tanggal 5 Februari 2008, disepakati bahwa proses
divestasi anak perusahaan BI harus ditawarkan kepada
pemerintah atau BUMN, bukan kepada pihak swasta.

Pada tanggal 24 September 2008, pertemuan Gubernur
BI dengan Menkeu dan Meneg BUMN sepakat bahwa
pelaksanaan divestasi dilakukan dengan mekanisme
hibah atau cara-cara lainnya yang dapat dipersamakan
dengan hibah.
Dari hasil RDP berkembang pendapat/pandangan
dari Anggota adalah :
Pertama, batas waktu divestasi sesuai amanah UU
telah terlewati sehingga BI secara nyata telah melanggar
UU. Memang dalam ketentuan tersebut tidak terdapat
adanya sangsi apabila divestasi terlambat. Namun
demikian, para anggota berpendapat perlu adanya
konsekuensi hukum yang mengikat BI. Dan sebagian
anggota berpendapat jangan sampai anggota DPR ikut
melanggar UU karena membiarkan kelalaian BI terkait
divestasi yang terlambat.
Kedua, para anggota Komisi XI DPR RI meminta
kejelasan mengenai kapan jadwal waktu divestasi akan
dilakukan dan bagaimana mekanisme divestasi anak
perusahaan BI ? Tampak dari perbahasan rapat, pihak BI
belum menyiapkan konsep yang matang mengenai
model divestasi dan jadwal yang terarah. Sebagian
anggota menyarankan BI dan pemerintah duduk bersama
untuk merumuskan model divestasi tersebut sebelum
dibahas bersama Komisi XI DPR RI. Selanjutnya

Komisi XI DPR RI tinggal menyetujui atau tidak
terhadap proposal divestasi tersebut.
Ketiga, Sebagian anggota berpendapat agar
divestasi diarahkan untuk meningkatkan kinerja dan
peran anak perusahaan BI terhadap perekonomian
nasional

Kesimpulan
Komisi XI DPR RI meminta kepada Gubernur
Bank Indonesia segera menyampaikan beberapa
skenario/mekanisme divestasi yang akan diajukan
pemerintah termasuk time schedule-nya serta tinjauan
hukum terhadap proses divestasi anak perusahaan Bank
Indonesia (PT. BPUI dan PT. Askrindo) sebelum
dilakukan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja
Komisi XI DPR RI dengan pemerintah dan Gubernur
Bank Indonesia karena batas waktu telah terlewati.

Rekomendasi
1. Agar BI dalam usaha penuntasan divestasi
berpegang pada opini konsultan hukum
independen sehingga tidak adanya konsekuensi
hukum jika proses divestasi terlambat.
2. Agar BI memaparkan divestasi sesuai dengan
kesepakatan pertemuan pada tanggal 24

September 2008, antara Gubernur BI dengan
Menkeu dan Meneg BUMN dengan cara hibah.
Dan mekanisme hibah ini mengacu pada UU
Perseroan terbatas (PT) dimana penyerahan
saham ke pemegang saham mitra (pemerintah).

D. Pemilihan Pejabat Publik
1. Pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia
Oleh Komisi XI DPR RI Periode 2004-2009
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya dipimpin oleh Dewan Gubernur
yang terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi
Gubernur, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau
sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2004 bahwa Gubernur, Deputi Gubernur
Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan diangkat
oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dalam pelaksanaannya Komisi XI DPR RI
periode 2004 -2009 telah melakukan beberapa pemilihan
Dewan Gubernur Bank Indonesia baik Gubernur, Deputi
Gubernur Senior, maupun Deputi Gubernur. Berikut ini
akan disajikan pelaksanaan pemilihan Dewan Gubernur
Bank Indonesia selama periode 2004 -2009 :

Tahun 2005
Pada periode ini Komisi XI melakukan pemilihan
Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengawasan
Perbankan. Sebagai mana diketahui bahwa Deputi
Gubernur sebelumnya Aulia Pohan telah memasuki masa

pensiun. Pemilihan Deputi Gubernur BI dilaksanakan
pada tanggal 9 Mei 2005, dengan 2 (dua) orang kandidat
sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden yaitu Siti
Chalimah Fadjriah dan Krisna Wijaya (Direktur Mikro
dan Ritel Bank BRI). Pelaksanaan Pemilihan Deputi
Gubernur BI dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI
Paskah Suzetta dan dihadiri oleh 56 anggota Komisi XI.
Acara pemilihan didahului dengan penyampaian visi dan
misi dari masing-masing kandidat. Hasil keputusan
Komisi XI secara aklamasi memilih Siti Chalimah
Fadjriah sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia
bidang Pengawasan Perbankan periode 2005 -2010.
Terpilihnya Siti Chalimah Fadjriah sebagai Deputi
Gubernur BI didasar pada pertimbangan bahwa beliau
memiliki pengalaman lebih banyak dibidang
pengawasan perbankan daripada calon lainnya. Selain itu
Komisi XI berharap dengan terpilihnya Deputi Gubernur
yang baru, BI dapat meningkatkan pengawasan,
terutama menyangkut tiga hal, yaitu memberikan sanksi
yang tegas kepada pelaku kejahatan perbankan, lebih
serius mengawasi arus uang antar perbankan, dan
memperketat perizinan untuk mencegah pelanggaran.
Tahun 2006
Pada periode ini Komisi XI DPR melakukan
pemilihan 2 (dua) Deputi Gubernur BI yaitu Deputi
Gubernur Bidang Kebijakan Stabilitas dan Pengaturan
Perbankan yang sebelumnya dijabat Maman Somantri

yang habis masa jabatannya dan Deputi Gubernur
Bidang Sistem Pembayaran sebelumnya dijabat oleh
Maulana Ibrahim yang juga akan habis masa jabatannya
pada Januari 2007. Pemilihan Deputi Gubernur
laksanakan pada tanggal 28 November 2006, dengan
kandidat sebagaimana yang diusulkan Presiden masing-
masing adalah : Untuk Deputi Gubernur Bidang
Kebijakan stabilitas dan pengaturan perbankan dengan
kandidat Muliaman D Hadad dan Budi Mulia, sedangkan
untuk Deputi Gubernur Bidang Sistem Pembayaran
dengan kandidat Budi Rochyadi dan Ardayadi
Mitroatmodjo.
Pelaksanaan Pemilihan Deputi Gubernur BI
dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI Awal
Kusumah dan dihadiri oleh 48 anggota Komisi XI.
Acara pemilihan didahului dengan penyampaian visi dan
misi dari masing-masing kandidat. Setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan yang alot sekitar empat jam,
Komisi XI secara aklamasi memilih Muliaman D Hadad
sebagai Deputi Gubernur BI Bidang Kebijakan stabilitas
dan pengaturan perbankan. Sementara itu Komisi XI
melalui mekanisme voting memilih Budi Rochadi
sebagai Deputi Gubernur BI Bidang Sistem Pembayaran,
setelah meraih 43 suara dari 48 suara yang masuk (2
Suara dinyatakan abstain dan 3 suara dinilai tidak sah)
Budi Rochadi mengalahkan pesaingnya Ardayadi
Mitroatmodjo yang tidak meraih suara sama sekali.

Tahun 2007
Pada periode ini Komisi XI DPR melakukan
pemilihan 2 (dua) Deputi Gubernur BI yaitu Deputi
Gubernur Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa yang
sebelumnya dijabat Aslim Tadjuddin yang habis masa
jabatannya dan Deputi Gubernur Bidang Manajemen
Internal sebelumnya dijabat oleh Bun Bunan Hutapea
yang juga akan habis masa jabatannya pada November
2007. Pemilihan Deputi Gubernur laksanakan pada
tanggal 17 September 2007, dengan kandidat
sebagaimana yang diusulkan Presiden masing-masing
adalah : Untuk Deputi Gubernur Bidang Pengelolaan
Moneter dan Devisa dengan kandidat Budi Mulia dan
Made Sukada, sedangkan untuk Deputi Gubernur Bidang
Manajemen Internal dengan kandidat Ardayadi
Mitroatmodjo dan Kusumaningtuti SS.
Pelaksanaan Pemilihan Deputi Gubernur BI
dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI Awal
Kusumah dan dihadiri oleh 48 anggota Komisi XI.
Acara pemilihan didahului dengan penyampaian visi dan
misi dari masing-masing kandidat. Setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan, Komisi XI secara aklamasi
memilih Budi Mulia sebagai Deputi Gubernur BI Bidang
Pengelolaan Moneter dan Devisa. Sementara itu Komisi
XI melalui aklamasi juga memilih Ardayadi

Mitroatmodjo sebagai Deputi Gubernur BI Bidang
Manajemen Internal.

Tahun 2008
Pada periode ini Komisi XI melakukan pemilihan
Gubernur Bank Indonesia dan Pemilihan Deputi
Gubernur Bank Indonesia Bidang Kebijakan Moneter.
Sebagai mana diketahui bahwa Gubernur Bank
Indonesia Burhanudin Abdullah dan Deputi Gubernur
sebelumnya Hartadi A. Sarwono telah berakhir masa
jabatannya.

2. Pemilihan Gubernur Bank Indonesia
Sebagaimana aturan yang berlaku bahwa pemilihan
Gubernur Bank Indonesia oleh Komisi XI didahului oleh
pengajuan calon Gubernur BI oleh Presiden kepada
DPR. Surat Presiden dilayangkan pada tanggal 28
Februari 2009, dalam suratnya Presiden mengajukan
Agus Martowardojo (Dirut Bank Mandiri) dan Raden
Pardede (Dirut PPA) untuk menggantikan Burhanudin
Abdullah sebagai Gubernur BI yang habis masa
jabatannya pada 17 Mei 2009. Dalam rapat intern
Komisi XI pada tanggal 12 Maret 2009 yang dipimpin
langsung oleh Ketua Komisi XI Awal Kusumah dan
dihadiri 50 orang anggota Komisi XI. sebelum rapat

intern didahului dengan penyampaian visi dan misi
masing-masing kandidat. Hasil rapat intern dan
pendalaman calon Gubernur BI yang diajukan Presiden,
Komisi XI memutuskan melalui voting mengembalikan
calon Gubernur BI kepada Presiden.
Dalam voting yang berlangsung secara tertutup
tersebut, dari 50 anggota yang hadir, 29 menyatakan
menolak kedua calon, 21 memilih Agus Martowardojo,
sedangkan Raden Pardede tidak mendapatkan suara.
Penolakan terhadap kedua calon Gubernur BI yang
diajukan Presiden didasari pertimbangan bahwa
kompetensi kedua kandidat kurang memadai sebagai
Gubernur BI. Agus Martowardojo andal di perbankan,
tetapi kurang ahli di sektor moneter dan ekonomi makro.
Sementara itu, Raden Pardede ahli di bidang moneter
dan ekonomi makro, tetapi belum memiliki pengalaman
kepemimpinan yang memadai di institusi besar seperti
Bank Indonesia.
Setelah mengalami penolakan terhadap calon
Gubernur BI, selanjutnya Presiden mengajukan calon
Gubernur BI yang baru. Dalam suratnya Presiden
mengajukan Boediono sebagai calon tunggal yang akan
menggantikan Burhanudin Abdullah sebagai Gubernur
BI periode 2008 - 2013. Pelaksanaan Pemilihan
Gubernur BI dilaksanakan pada tanggal 7 April 2009,
dipimpin langsung oleh Ketua Komisi XI Awal
Kusumah dan dihadiri oleh 46 anggota Komisi XI.

Acara pemilihan didahului dengan penyampaian visi dan
misi dari kandidat. Setelah melalui uji kelayakan dan
kepatutan, Rapat Intern Komisi XI melalui mekanisme
voting tertutup menyetujui Boediono sebagai Gubernur
Bank Indonesia. Dalam pengambilan keputusan tersebut,
45 anggota menyatakan setuju dan 1 orang menyatakan
menolak.
Dalam pemaparannya saat dilakukan fit and proper
test, Boediono menyatakan bahwa rezim devisa bebas
saat ini tetap dipertahankan. Menurutnya dalam iklim
perekonomian yang masih gonjang-ganjing saat ini
perubahan terhadap rezim devisa bebas justru tidak
menguntungkan. Kebijakan rezim devisa bebas tersebut
diharapkan mampu menarik devisa yang berada di luar
ke dalam negeri tanpa harus ada pemaksaan. Apalagi,
saat ini banyak eksportir yang masih menempatkan
dananya di luar negeri.

3. Pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia
Pemilihan Deputi Gubernur BI dilaksanakan pada
tanggal 13 Mei 2008, dengan 2 (dua) orang kandidat
sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden yaitu Hartadi
A. Sarwono dan Perry Warjiyo. Pelaksanaan Pemilihan
Deputi Gubernur BI dipimpin langsung oleh Ketua
Komisi XI Awal Kusumah dan dihadiri oleh 29 anggota
Komisi XI. Acara pemilihan didahului dengan

penyampaian visi dan misi dari masing-masing kandidat.
Hasil keputusan Komisi XI secara aklamasi memilih
Hartadi A. Sarwono sebagai Deputi Gubernur Bank
Indonesia bidang Kebijakan Moneter periode 2008 -
2013.
Sementara itu, dalam uji kelayakan dan kepatutan,
Hartadi A. Sarwono mengungkapkan perlunya
meningkatkan kerja sama yang baik antara otoritas
kebijakan moneter dengan otoritas kebijakan fiskal serta
penyelarasan kebijakan makro dan mikro ekonomi.
Untuk mewujudkan sinergi yang efektif antara fiskal dan
moneter menurut dia, perlu adanya bentuk pemimpin dan
pengikut (leader-follower) dalam pengambilan
keputusan tersebut.

Tahun 2009
Pada periode ini Komisi XI melakukan pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sebagai mana
diketahui bahwa Deputi Gubernur Senior sebelumnya
Miranda Gultom akan berakhir masa jabatannya pada
tanggal 26 Juli 2009. Pemilihan Deputi Gubernur Senior
dilaksanakan pada tanggal 11 Mei 2008, dengan
kandidat sebagaimana yang diusulkan Presiden yaitu
Darmin Nasution dan Gunarni Soeworo. Pelaksanaan
Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI dipimpin langsung
oleh Ketua Komisi XI Ahmad Hafiz Zawawi dan
dihadiri oleh anggota Komisi XI. Acara pemilihan

didahului dengan penyampaian visi dan misi dari
masing-masing kandidat. Setelah melalui uji kelayakan
dan kepatutan, Komisi XI secara aklamasi memilih
Darmin Nasution sebagai Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia.

I. BIDANG LEGISLASI

A. RUU Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN)
Latar Belakang
Tujuan dari diterbitkannya SBSN sebagai salah
satu instrumen keuangan yang berbasis Syariah yang
merupakan bagian dari sistem perekonomian nasional
adalah untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai

pembangunan proyek. Selain itu juga dengan adanya
obligasi Sukuk berbasis Syariah dapat meningkatkan
daya dukung APBN untuk menggerakkan pembangunan
sektor ekonomi secara berkesinambungan dengan
memanfaatkan momentum penerbitan SBSN sebagai
salah satu alternatif instrumen pembiayaan negara, guna
melangkapi instrumen pembiayaan lain yang telah ada.
Pengembangan instrumen pembiayaan berbasis Syariah
guna memobilisasi dana publik secara luas dan efisien
serta mendorong terciptanya sistem keuangan yang
berbasis Syariah di dalam negeri perlu segera
dilaksanakan.
Konsep keuangan Islam saat ini telah menjadi
konsep yang universal dan berkembang dengan pesat.
Dengan dasar pemikiran bahwa konsep keuangan Islam
(Islamic Finance) diadopsi tidak hanya di negara negara
Islam di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga
oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa.
Transaksi keuangan Islam yang sesuai dengan Syariah
harus terbebas dari unsur larangan antara lain (1) Riba,
yaitu unsur bunga yang diperoleh dari penggunaan uang
untuk mendapatkan bunga; (2) Masyir, yaitu unsur
spekulasi, judi, dan sikap untung untungan, serta (3)
Gharar, dimana unsur ketidakpastian yang terkait
dengan penyerahan, kualitas, kuantitas dan sebagainya.
Untuk menunjang ketiga hal tersebut maka transaksi
obligasi sukuk membutuhkan pendukung agar ketiga

unsur larangan tersebut dapat dihindari yaitu berupa
underlying asset. Underlying Assets inilah yang
membedakan antara obligasi Sukuk dengan surat
berharga konvensional, dimana terdapat perbedaan
pokok berupa penggunaan konsep imbalan sebagai
pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung
(underlying transaction) atas sejumlah aset senilai
nominal Sukuk, dan adanya aqad atau perjanjian antara
para pihak berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.
Melihat kondisi serta peluang untuk melakukan
penerbitan obligasi yang berbasis Syariah atau secara
internasional di sebut Sukuk, pemerintah Indonesia
berencana menerbitkan Sukuk berdenominasi Rupiah
dan mata uang asing lainnya dengan mengacu kepada
Undang-Undang SBSN sebagai dasar hukum untuk
penerbitan Sukuk oleh pemerintah. Karena di beberapa
negara seperti Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam,
Kuwait, Qatar, Jerman sukuk telah menjadi alternatif
instrumen pembiayaan dan investasi yang banyak
diminati oleh penerbit maupun investor. Selain itu juga
sukuk telah lama dinanti oleh para investor dan kalangan
Perbankan Syariah di Indonesia yang menginginkan
investasi dalam obligasi Sukuk yang berbasis Syariah.

Pembahasan RUU SBSN
Sebelum melakukan pembahasan RUU SBSN pada
tingkat I, Komisi XI DPR RI melakukan beberapa Rapat

Kerja (Raker) dengan Menteri Keuangan yang dimulai
pada tanggal 6 Juni 2007 dimana pada Raker tersebut
Menteri Keuangan menyampaikan penjelasan
pemerintah atas RUU SBSN. Dalam Raker tersebut
Menteri Keuangan menyampaikan beberapa pandangan
tentang kondisi dan peluang yang ada guna memobilisasi
dana masyarakat berdasarkan prinsip Syariah. Dalam
Raker tersebut, Pemerintah menyampaikan pokok pokok
RUU SBSN secara ringkas, dimana BAB I berisi
Ketentuan Umum, BAB II tentang Bentuk dan Jenis
Surat Berharga Syariah, BAB III Tujuan Penerbitan
Surat Berharga Syariah Negara, BAB IV Kewenangan
dan Pelaksanaan Penerbitan SBSN, BAB V Penggunaan
Barang Milik Negara Dalam Rangka Penerbitan SBSN,
BAB VI Perusahaan Penerbit SBSN dan Wali Amanat,
BAB VII Pengelolaan Surat Berharga Syariah Negara,
BAB VIII Akuntabilitas dan Transparansi, BAB IX
Ketentuan Pidana, dan BAB X Ketentuan Penutup.
Selain melakukan Raker dengan Menteri
Keuangan, Komisi XI DPR RI juga melakukan Rapat
Dengar Pendapat Umum dengan Deputi Gubernur Bank
Indonesia, Dewan Syariah Indonesia Nasional MUI,
Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia dan Asosiasi
Asuransi Syariah Indonesia guna mendapatkan masukan,
saran, dan pendapat dari para pelaku ekonomi Syariah di
Indonesia terhadap RUU SBSN.

Rapat Panja RUU SBSN dimulai pada tanggal 26
Februari 2008 dimana Pemerintah diwakilkan oleh
Dirjen Pengelolaan Utang Negara dalam membahas
Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU SBSN. Setelah
melakukan beberapa pertemuan dan membahas DIM
RUU SBSN, akhirnya pada tanggal 7 April 2008 Komisi
XI DPR RI melakukan Rapat Kerja dengan Menteri
Keuangan, dimana dalam Raker membahas tentang
Laporan Panja, Tanggapan mini Fraksi terhadap Draft
akhir RUU SBSN, Pengambilan keputusan tingkat I
terhadap RUU SBSN, serta pengesahan atau
penandatanganan Naskah Draft akhir RUU SBSN.
Hampir seluruh Fraksi di DPR RI menyetujui RUU
SBSN ini menjadi UU SBSN dan dapat dilanjutkan
pembahasannya pada tingkat II. Namun Fraksi PDS
mempunyai pandangan yang berbeda tentang RUU
SBSN untuk tidak dilanjutkan pembahasannya pada
tingkat II. Fraksi PDS berpendapat bahwa
penghimpunan dana masyarakat oleh negara saat ini
sudah memadai sehingga yang dibutuhkan saat ini
adalah perangkat tekhnis yang diderivasi dari
Perundangan yang telah berlaku selama ini. Selain itu
juga Fraksi PDS berpendapat bahwa RUU SBSN ini
hanya mencakup golongan tertentu saja sehingga
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dimana
seharusnya sebuah Undang-Undang yang berlaku umum
tidak memasukkan prinsip-prinsip kelompok tertentu

saja ke dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Kesimpulan dari Raker tersebut bahwa setelah
mendengarkan pandangan akhir mini fraksi-fraksi atas
RUU tentang Surat Berharga Syariah Negera (SBSN),
yang secara mayoritas dapat menyetujui, maka Komisi
XI DPR RI dan Menteri Keuangan RI sepakat menerima
dan menyetujui RUU tentang Surat Berharga Syariah
untuk dibahas lebih lanjut dalam Pembicaraan Tingkat II
Pengambilan Keputusan dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Dalam Pandangan Mini Fraksinya, Fraksi PDS
berpendapat bahwa RUU tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) adalah bertentangan dengan Ideologi
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 karena telah memasukkan prinsip salah satu agama
ke dalam Sistem Hukum Nasional. Terhadap pandangan
Mini Fraksi PDS tersebut, Komisi XI DPR RI dan
Menteri Keuangan RI sepakat bahwa RUU SBSN tidak
bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tanggal 9 April 2008 RUU SBSN ini
pembahasannya dilanjutkan pada tingkat II atau Rapat
Paripurna dimana Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
menyampaikan laporan hasil Pembicaraan Tingkat I.
Dalam Rapat Paripurna tersebut disampaikan bahwa
telah terjadi perubahan sistematika RUU SBSN setelah
dilakukan Pembicaraan Tingkat I antara Komisi XI DPR
RI dengan Pemerintah. Dalam sistematika awal RUU

SBSN yang disampaikan oleh pemerintah pada tanggal
13 Februari 2007 terdiri dari 10 Bab dan 31 Pasal,
berubah menjadi 10 Bab dan 32 Pasal. Setelah
mendengarkan seluruh pendapat Fraksi di DPR RI dalam
Rapat Paripurna tersebut, akhirnya RUU SBSN dapat
disyahkan menjadi Undang-Undang dengan catatan
Fraksi PDS tidak ikut bertanggung jawab atas dampak
yang ditimbulkan di kemudian hari.

Dampak Terhadap Pengesahan UU SBSN Oleh
DPR RI
Penerbitan SBSN Tahap Pertama
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 19
Tahun 2008 tentang SBSN dimana SBSN diterbitkan
dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan
proyek. Maka pada tanggal 10 Juli 2008 atau 3 bulan
setelah Undang Undang SBSN mulai berlaku,
pemerintah meminta persetujuan DPR RI atas
penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai
underlying asset penerbitan SBSN 2008, dimana SBSN
ini akan berfungsi sebagai salah satu alternatif mencari
sumber pembiayaan defisit APBN-P 2008 sebesar 2.1%
dari total PDB. Persetujuan DPR RI diperlukan sebelum
pemerintah menerbitkan SBSN sesuai dengan Pasal 8
ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 Undang Undang No 19 Tahun
2008.

Dalam Rapat Kerja antara Komisi XI DPR RI
dengan Menteri Keuangan pada tanggal 10 Juli 2008
mengenai rencana penerbitan SBSN tahun 2008, Komisi
XI DPR RI dapat menyetujui usulan Menteri Keuangan
untuk menerbitkan SBSN sebagai sumber pembiayaan
defisit APBN-P 2008 sebesar 2.1% dari total PDB.
Komisi XI DPR RI memutuskan untuk memberikan
persetujuan kepada Pemerintah menerbitkan SBSN
maksimal sebesar Rp. 18 Triliun dengan underlying
asset milik Departemen Keuangan diseluruh Indonesia
sebagai dasar penerbitan SBSN tersebut sebagaimana
yang diamanatkan oleh UU No. 19 Tahun 2008. Namun
demikian, jumlah SBSN yang diterbitkan tergantung dari
permintaan pasar. Barang Milik Negara yang dijadikan
underlying asset sebagai dasar diterbitkannya SBSN ini
total sebesar Rp. 18.37 Triliun. Terdiri dari bangunan
senilai Rp. 186.6 Milyar, tanah senilai Rp. 8.8 Milyar,
dan tanah dan bangunan senilai Rp. 18.1 Triliun. Dalam
Raker pada tanggal 10 Juli 2008 tersebut, Komisi XI
DPR RI setuju dengan skema penerbitan sukuk yang
diajukan pemerintah untuk pembiayaan APBN secara
umum, dengan mengunakan jenis akad Ijarah Sale and
Lease Back, denominasi Rupiah dan Valas, Tenor 7
sampai dengan 10 tahun, dan imbalan sewa (fixed
coupon). Dalam Sukuk Ijarah Muntahiya Bittamliek atau
Ijarah Sale and Lease Back, penjualan aset tidak disertai
penyerahan fisik aset tetapi yang dialihkan adalah hak

manfaat (beneficial title) sedangkan kepemilikan aset
tetap ada pada Pemerintah.
Setelah mendapat persetujuan dari DPR RI,
Pemerintah pada bulan Agustus 2008 hanya berhasil
menerbitkan SBSN dalam denominasi rupiah dengan
total Rp. 4,69 Triliun untuk pembiayaan APBN-P 2008.
Hal ini disebabkan bukan karena animo para investor
yang berkurang terhadap Sukuk, tapi lebih disebabkan
oleh kondisi ekonomi global yang tidak kondusif dimana
likuiditas pada saat itu mulai dirasa berkurang. Untuk
pembiayaan defisit APBN 2009, pemerintah akan
menerbitkan lagi SBSN dalam denominasi rupiah yang
rencananya akan diawali dengan menerbitkan SBSN ritel
pada tanggal 25 Februari 2009 dengan menggunakan
sisa aset sebesar Rp. 13,68 Triliun dari total Rp. 18,37
Triliun sebagai underlying asset penerbitan SBSN tahun
2009. Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2008 tentang
SBSN pasal 8 dan 9, menyatakan bahwa untuk
penggunaan Barang Milik Negara sebagai underlying
asset (aset SBSN) penerbitan SBSN harus mendapat
persetujuan DPR RI.

Penerbitan SBSN Tahap Kedua
Pada tanggal 16 Februari 2009, Pemerintah
meminta persetujuan DPR RI kembali sesuai dengan
Undang Undang yang berlaku untuk menggunakan
kembali sisa aset sebesar Rp. 13,68 triliun untuk

dijadikan underlying aset penerbitan SBSN 2009.
Penerbitan SBSN pada tahun 2009 ini merupakan
kelanjutan dari SBSN yang telah diterbitkan sebelumnya
serta sesuai dengan persetujuan DPR RI dalam APBN
Tahun Anggaran 2009.
Underlying Asset yang akan digunakan adalah
Barang Milik Negara (BMN) Depkeu sebesar Rp. 13,6
Triliun. Selisih dari total underlying asset yang telah
disetujui pada Raker antara Komisi XI DPR RI dengan
Menteri Keuangan pada tanggal 10 Juli 2008 dengan
underlying asset yang telah digunakan pada tahun 2008
Rp. 4,69 Triliun. SBSN yang akan diterbitkan pada
tahun 2009 ini tetap mengunakan jenis akad Ijarah Sale
and Lease Back. Dalam akad ini, yang dijual atau
disewakan adalah hak manfaatnya atas Barang Milik
Negara (BMN) kepada SPV (Perusahaan Perantara) yang
tidak disertai dengan pemindahan kepemilikan atau tidak
terjadi pengalihan fisiknya. Aset SBSN ini tidak dapat
dipindahtangankan oleh pemegang SBSN kepada pihak
lain, dan pada saat jatuh tempo aset akan dibeli kembali
oleh Pemerintah sebesar nilai nominal SBSN.
Dalam rencana kerja pengelolaan SBSN tahun
2009, pemerintah akan menerbitkan SBSN ini dengan
beberapa metode yaitu:
1. Lelang, untuk metode ini SBSN akan
dikeluarkan dalam jangka waktu panjang
dengan tenor antara 8 sampai dengan 10 tahun.

2. Bookbuilding, SBSN yang akan diterbitkan
dengan metode ini adalah SBSN ritel. Saat ini
Pemerintah sudah mulai mengumpulkan calon
pembeli di pasar dalam negeri. Selain itu juga
dapat digunakan untuk pembiayaan proyek
Pemerintah atau disebut juga Project Financing
Sukuk.
3. Private Placement. Komisi XI DPR RI dalam
Raker tersebut menyetujui penggunaan Barang
Milik Negara (BMN) sebesar Rp. 13,6 Triliun
tersebut sebagai underlying asset
diterbitkannya SBSN 2009 sesuai dengan pasal
8 dan 9 UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN
yang akan digunakan sebagai sumber
pembiayaan defisit APBN 2009.

Catatan
Dalam perjalanannya, penerbitan Sukuk obligasi
berbasis Syariah banyak menuai beberapa kritikan yang
mengatakan bahwa Barang Milik Negara (BMN) yang
digunakan sebagai underlying asset diterjemahkan
sebagai BMN yang telah digadaikan oleh pemerintah
untuk menutup defisit APBN. Beberapa kalangan
khawatir bahwa jika hal yang terburuk terjadi maka akan
banyak aset milik negara yang hilang. Hal ini tidak perlu
dikhawatirkan jika penggunaan BMN sebagai aset SBSN
dalam prinsip Syariah dapat dipahami dengan benar.

Dalam underlying asset yang dimaksud oleh pemerintah
ini aset SBSN bukan merupakan jaminan (collateral)
dan tidak dapat dipindahtangankan oleh pemegang
SBSN kepada pihak lain. Pada saat jatuh tempo SBSN,
aset SBSN akan dibeli (manfaatnya) kembali oleh
pemerintah sebesar nilai nominal SBSN. Sedangkan
mekanisme penggunaan BMN sebagai aset SBSN adalah
sebagai berikut:
1. Dengan cara menjual atau menyewakan hak
manfaat atas BMN kepada SPV.
2. Tidak disertai pemindahan hak kepemilikan
(legal title).
3. Tidak terjadi pengalihan fisik.
4. Disewa kembali oleh pemerintah sampai jatuh
tempo, sehingga instansi pengguna tetap dapat
menggunakan aset SBSN sesuai fungsinya.
5. Penyewaan kembali oleh Pemerintah pada saat
jatuh tempo atau dalam hal terjadi default.

B. Pembahasan Usul Inisiatif RUU Tentang
Perbankan Syariah
Pendahuluan
Latar belakang usul inisiatif RUU Perbankan
Syariah dari DPR RI adalah untuk antisipasi atau
menghindari adanya kegiatan “bank gelap” yang telah

terjadi beberapa tahun terakhir belakangan ini,
khususnya dalam kegiatan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berdasarkan Prinsip
Syariah yang dilakukan secara ilegal. Diharapkan
dengan telah diberlakukannya Undang-Undang tentang
Perbankan Syariah, maka perkembangan industri
Perbankan Syariah di Indonesia semakin memiliki
landasan hukum dan dapat mendorong percepatan
pertumbuhan Perbankan Syariah.

Pembahasan
Hasil pembahasan RUU tentang Perbankan Syariah
sejak diajukan/diusulkan oleh DPR RI tanggal 5 Januari
2007 adalah sebagai berikut :
a. Pengaturan yang khusus bagi Perbankan
Syariah merupakan hal yang mendesak
dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya
prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank
bagi Bank Syariah, dan yang tidak kalah
penting adalah keberadaan RUU tentang
Perbankan Syariah ini diharapkan dapat
memobilisasi dana dari negara lain yang
mensyaratkan agar pengelolaan dan
investasinya melalui mekanisme perbankan
syariah yang pengaturannya diatur dalam
undang-undang tersendiri;

b. Struktur pembinaan dan pengawasan
Perbankan Syariah tetap berada pada Bank
Indonesia.
c. Namun untuk masalah pengawasan terhadap
kepatuhan syariah (syariah compliance) tetap
berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang direpresentasikan melalui Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang dibentuk pada
masing-masing Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah (UUS), serta diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) atas
rekomendasi MUI. DPS bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada direksi agar kegiatan
Bank Syariah sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah.
d. Otoritas pengeluaran fatwa mengenai Prinsip
Syariah tetap berada pada MUI. Keberadaan
fatwa tersebut selanjutnya dijadikan sebagai
Peraturan Bank Indonesia (PBI), dimana dalam
proses penyusunan dari PBI tersebut dilakukan
oleh komite perbankan syariah (KPS) yang
merupakan sebuah lembaga internal yang
dibentuk oleh Bank Indonesia, yang
keanggotaannya terdiri atas unsur-unsur dari
Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur
masyarakat dengan komposisi yang berimbang,

memiliki keahlian di bidang syariah dan
berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang.
e. Penyelesaian sengketa pada Perbankan Syariah
dilakukan di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Namun tetap dibuka
kemungkinan untuk penyelesaian sengketa
tersebut dilakukan melalui mekanisme di luar
Pengadilan Agama apabila disepakati dalam isi
kontrak perjanjian. Mekanisme tersebut antara
lain melalui upaya musyawarah, mediasi
perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase
lain, atau melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
f. Masalah kewenangan penyidikan pada
Perbankan Syariah diberlakukan sama dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil).
g. Bank Umum Konvensional yang memilki Unit
Usaha Syariah (UUS) wajib memisahkan unit
usaha syariah-nya menjadi Bank Syariah
tersendiri apabila nilai asetnya telah mencapai
paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
total nilai aset bank induknya; atau dalam
jangka waktu 15 (lima belas) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini.

h. Pengaturan sanksi pidana dan denda terhadap
semua pihak terkait yang melanggar ketentuan-
ketentuan dalam aspek pengelolaan dan
pemanfaatan Perbankan Syariah ini, tidak
dipisahkan kategorinya antara jenis ”pidana
pelanggaran” dan jenis ”pidana kejahatan”.
Sehingga ancaman hukuman pidana dan
dendanya diatur lebih berat bila dibandingkan
dengan ketentuan yang tertuang dalam
perundang-undangan pada Bank Umum
Konvensional. Pengaturan mengenai hal itu
sesuai dengan nilai-nilai dan esensi mendasar
yang terkandung dalam RUU ini, dimana bukan
hanya mengandung nilai-nilai keadilan,
kebersamaan, kemanfaatan, pemerataan dan
keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil
‘alamin), tetapi mengandung pula nilai-nilai
kepercayaan, ahlaq, dan moral. Dengan
demikian, setiap orang yang mengelola
dan/atau memperoleh manfaat dari kegiatan
perbankan syariah benar-benar dituntut untuk
menjalankan prinsip-prinsip syariah secara
profesional dengan penuh kehati-hatian, jujur,
dan istiqamah.

Kesimpulan

Apabila RUU tentang Perbankan Syariah ini telah
disahkan dan diundangkan, Bank Indonesia hendaknya
segera menyusun dan mengeluarkan berbagai Peraturan
Bank Indonesia yang merupakan pengaturan lebih lanjut
dalam pelaksanaan Undang-Undang ini. Dengan
demikian maksud dan tujuan dari disahkannya RUU ini,
yaitu dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat, bangsa, dan negara, dapat dicapai secara
efektif sebagaimana yang kita harapkan.

Rekomendasi
Untuk meningkatkan perkembangan perbankan
syariah, Komisi XI DPR RI akan membicarakan dengan
pihak-pihak terkait, antara lain:
a. Mengkaji pemberian nisbah (return) di awal
akad sehingga tidak terjadi penghimpunan DPK
syariah tidak sebanding dengan porsi
pembiayaan.
b. Melakukan pengelolaan dana-dana haji.
c. Melakukan cash management dana pemerintah.
d. Kepastian tidak terjadinya double tax pada
transaksi murabahah.
e. Peningkatan kompetensi SDM perbankan
syariah

C. Penetapan Tiga PERPU Menjadi Undang-
Undang
Perpu-perpu yang dimakhsud adalah :
1. Perpu No 2 tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang Undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia.
2. Perpu No 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang Undang No. 24 tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan.
3. Perpu No 4 tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan

Latar Belakang
Tujuan dikeluarkannya tiga Perpu oleh Pemerintah
merupakan tindakan antisispasi terhadap gejolak
ekonomi global yang berawal dari Amerika Serikat
akibat pembiayaan suprime mortgage yang dilakukan
kurang hati-hati. Pemerintah merasa perlu untuk
melakukan respon kebijakan dan langkah-langkah untuk
mencegah dan menanggulangi krisis apabila terjadi. Hal
ini disebabkan karena beberapa negara di dunia
khususnya kawasan Asia juga sudah melakukan respon

terhadap kebijakan negara masing-masing sehingga
kondisi ini telah mempengaruhi perkembangan
perekonomian nasional.
Pada tahun 2008 saat dimulainya krisis global yang
mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia, kondisi
ketatnya likuiditas di pasar keuangan internasional
mendorong investor untuk menarik uangnya ke tempat
yang paling aman. Hal ini mengakibatkan pelemahan
mata uang di berbagai negara termasuk Indonesia.
Tingkat surat utang negara juga mengalami kenaikan
yang signifikan hal ini banyak terjadi di negara
berkembang, bahkan pasar modal juga mempengaruhi
kondisi perekonomian secara umum, termasuk kegiatan
sektor riil. Kondisi ini merupakan ancaman terhadap
kesehatan beberapa lembaga keuangan yang berpotensi
menimbulkan masalah sistemik pada sistem keuangan di
Indonesia. Kondisi ekonomi yang tidak pasti ini harus
dikelola, monitor dan diantisipasi secara tepat dan
cermat termasuk menetapkan langkah-langkah
penyesuaian dan pengamanan yang diperlukan.
Pemerintah Indonesia telah dan akan terus melakukan
penyesuaian kebijakan untuk menyikapi dan
mengantisipasi untuk meminimalkan dampaknya
terhadap perekonomian nasional. Karena pada saat itu
perekonomian dunia diprediksi akan mengalami
pelemahan dan perlambatan yang berakhir resesi hingga
tahun 2010. Terbatasnya likuiditas global telah

menyebabkan terjadinya penurunan perdagangan antar
negara, dan kesulitan untuk mendapatkan modal dari luar
negeri.
Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di
Indonesia serta mengurangi dampaknya terhadap
perekonomian nasional, pemerintah merasa perlu untuk
melakukan beberapa kebijakan yang tepat, khususnya
yang mengatur ketentuan mengenai perluasan jenis aset
bank yang dapat dijadikan sebagai agunan, serta
ketentuan mengenai penambahan kriteria yang dapat
digunakan untuk mengubah nilai simpanan yang dijamin
LPS. Selain itu juga perlu diambil langkah-langkah serta
mekanisme pengambilan keputusan dalam mencegah
terjadinya krisis sehingga penanganan krisis dapat
dilakukan secara terpadu, efisien dan efektif.

Hal Utama Yang Diatur Dalam Ketiga Perpu
Yang Diajukan Untuk Ditetapkan Menjadi
Undang-Undang
1. PERPU No 2 tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia.
Diatur mengenai perluasan jenis aset bank yang
dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari
Bank Indonesia dari yang semula ”agunan yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan” yaitu

SBI dan SUN menjadi hanya “agunan yang
berkualitas tinggi” yaitu aset kredit dengan
kolektibilitas lancar.
2. PERPU No 3 tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No 24 tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Diatur mengenai kenaikan nilai simpanan yang
dijamin oleh LPS dari Rp. 100 juta menjadi Rp.
2 miliar untuk setiap nasabah dalam satu bank.
Hal ini diperlukan untuk menghindarkan
perbankan nasional dari kemungkinan
pengambilan dana secara besar-besaran dan
serempak oleh masyarakat (rush).
3. PERPU No 4 tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan.
Diatur mengenai masalah pencegahan dan
penanganan krisis yang meliputi penanganan
kesulitan likuiditas dan/atau masalah
solvabilitas bagi bank maupun lembaga
keuangan bukan bank (LKBB) yang berdampak
sistemik. Selain itu juga ada pembentukan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang
beranggotakan Menteri Keuangan dan
Gubernur BI yang didukung oleh sekretariat.

Proses Pembahasan dan Pengesahan Ketiga
PERPU

Pemerintah yang diwakilkan oleh Menteri
Keuangan dan Menteri Hukum dan Ham memberikan
penjelasan Pemerintah terhadap tiga RUU tentang
Penetapan tiga PERPU menjadi Undang-Undang kepada
Komisi XI DPR RI dalam Rapat Kerja yang dilakukan
pada tanggal 3 Desember 2008. Sesuai dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 22 ayat
1, dimana dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
sangat mendesak dan hal ihwal kegentingan yang
memaksa Presiden berhak menetapkan PERPU dan
PERPU tersebut perlu mendapat persetujuan DPR RI
untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Dalam Raker
tersebut Pemerintah hanya memberikan penjelasan
mengenai ketiga PERPU yang sudah dikeluarkan oleh
Pemerintah untuk dapat disetujui menjadi Undang-
Undang oleh DPR RI pada waktunya nanti. Sesuai
dengan mekanisme yang ada, pembahasan PERPU
tersebut akan dilanjutkan dengan tanggapan fraksi-fraksi
di DPR RI terhadap ketiga PERPU tersebut.
Pada tanggal 17 Desember 2008, Komisi XI DPR
RI melakukan Raker lanjutan dengan Menteri Keuangan
dan Menteri Hukum dan Ham membahas tentang
pendapat akhir mini fraksi-fraksi terhadap tiga RUU
penetapan PERPU. Kesimpulan yang diambil dalam
Raker tersebut adalah Komisi XI DPR RI dan
Pemerintah sepakat menyetujui RUU tentang Penetapan
PERPU No. 2 tahun 2008 dan PERPU No. 3 tahun 2008

untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Sedangkan
tentang Penetapan PERPU No.4 tahun 2008, dari 9 fraksi
yang hadir masih terdapat perbedaan pendapat, dimana
dua fraksi yaitu F-PD dan F-PKS dapat menerima dan
menyetujui untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang,
tiga fraksi yaitu F-PDIP, F-PAN dan F-PBR menolak.
Sedangkan dua fraksi yaitu F-PG dan F-PKB belum
dapat memberikan persetujuan, serta dua fraksi yaitu F-
PPP dan F-PDS masih memerlukan pendalaman lebih
lanjut. Akibat masih adanya perbedaan pendapat
tersebut, Komisi XI DPR RI belum dapat mengambil
keputusan dan akan menyerahkan keputusannya dalam
Rapat Paripurna Dewan tanggal 18 Desember 2008.

Hasil Rapat Paripurna Dewan Tentang PERPU
No 4 tahun 2008
Pada tanggal 18 Desember 2008, Komisi XI DPR
RI menyampaikan laporan Komisi XI DPR RI mengenai
pembahasan tiga RUU oleh Wakil Ketua Komisi XI
DPR RI. Dalam laporannya tersebut telah disampaikan
tentang hasil dan keputusan yang telah dilakukan oleh
Komisi XI DPR RI. Terhadap Penetapan PERPU No. 4
tahun 2008 yang terdapat perbedaan pendapat diantara
Fraksi-Fraksi yang ada di Komisi XI DPR RI,
menyerahkan keputusannya dalam Rapat Paripurna pada
hari itu. Keputusan Rapat Paripurna Ke 16 DPR RI

akhirnya memberikan persetujuan terhadap RUU tentang
Penetapan PERPU No 2 tahun 2008 dan PERPU No 3
tahun 2008 menjadi Undang Undang. Sedangkan
berdasarkan hasil rapat konsultasi berkaitan dengan
PERPU No 4 tahun 2008 tentang JPSK, terdapat empat
Fraksi yaitu F-PD, F-PPP, F-PDS, F-PKS menyetujui
atau menerima untuk ditetapkan menjadi Undang-
Undang dan F-PDIP, F-PAN, F-PBR, F-KB menolak.
Sedangkan dua Fraksi yaitu F-PG dan FBPD belum
dapat menyetujui. Akhirnya Forum Konsultasi
menyepakati untuk meminta kepada Pemerintah agar
segera mengajukan RUU tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan (JPSK) sebelum tanggal 19 Januari
2009 dan selanjutnya akan ditindaklanjuti sesuai dengan
mekanisme Dewan yang berlaku.

D. Pembahasan Perpu Sunset Policy

Pengertian Sunset Policy
Sunset Policy adalah kebijakan yang diamanatkan
Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) beserta peraturan
pelaksanaannya. Kebijakan ini merupakan fasilitas
penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau
badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak
yang dapat dinikmati oleh masyarakat baik yang belum
memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP
pada tanggal 1 Januari 2008.
Sunset Policy merupakan kebijakan untuk memulai
keterbukaan dalam melaksanakan kewajiban kenegaraan
di bidang perpajakan. Oleh karena itu, masyarakat perlu
menyikapinya dengan seksama. Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang baru memberikan
kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
untuk mengumpulkan data dan informasi secara
berkesinambungan dari instansi, lembaga, asosiasi, dan
pihak lain baik pemerintah maupun swasta. Direktorat
Jenderal Pajak mempunyai data perpajakan yang
memungkinkan DJP untuk mendeteksi ketidakbenaran
pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilaksanakan
oleh masyarakat. Wajib Pajak yang belum melaksanakan
kewajiban perpajakan dengan benar dan tidak

memanfaatkan Sunset Policy, menghadapi risiko dikenai
sanksi perpajakan yang berat.
Program Sunset Policy atau penghapusan sanksi
pajak yang digelar pemerintah pada tahun 2008 ini
dipastikan hanya akan membebaskan wajib pajak
terhadap satu dari tiga sanksi administrasi perpajakan,
yakni hanya bebas dari sanksi bunga. Sementara sanksi
berupa denda dan kenaikan nilai pajak yang ditagih tidak
dihapuskan. Adapun sanksi bunga ditetapkan dua persen
per bulan atas kewajiban yang belum dibayar oleh wajib
pajak.

Perpanjangan Masa Berlaku Sunset Policy
DPR RI pada awal tahun 2009 menerima dari
Presiden RI Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2008 tentang Perubahan keempat atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
RUU ini disampaikan bersama Surat Presiden Nomor R-
5/Pres/01/2009 tanggal 16 Januari 2009.
Dalam surat tersebut Presiden meminta agar DPR
membicarakan RUU Sunset Policy ini dalam sidang
DPR guna mendapatkan persetujuan menjadi Undang-
Undang dengan prioritas utama. Presiden menugaskan
Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM untuk
mewakili Presiden dalam pembahasan RUU ini. Inti dari

RUU ini berkaitan dengan yang disebut Sunset Policy.
Isi kebijakan ini merupakan perubahan pasal 37A dalam
rangka menggeser batas waktu pemanfaatan fasilitas
penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau
badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak.
Sesuai UU Nomor 28 tahun 2007 yang merupakan
perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tersebut, Sunset Policy ini hanya berlaku dalam
tahun 2008, yakni sampai dengan tanggal 31 Desember
2008. Namun dalam RUU ini, batas waktu dimaksud
diusulkan untuk diubah menjadi sampai dengan tanggal
28 Februari 2009. Komisi XI DPR RI menyetujui RUU
ini disahkan menjadi UU dalam Rapat Kerja dengan
Menteri keuangan dan Menteri Hukum dan HAM
tanggal 25 Februari 2009. Itu berarti bahwa Wajib Pajak
yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) sebelum Tahun
Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus
dibayar menjadi lebih besar, jika penyampaian
pembetulannya dilakukan paling lambat pada tanggal
tersebut, akan menikmati penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak sampai tanggal tersebut.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan diusulkannya
penambahan waktu dua bulan ini, seperti disebutkan
dalam RUU dimaksud, adalah masih banyaknya
masyarakat yang ingin memanfaatkan fasilitas

pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Basis
Perpajakan Nasional diharapkan akan semakin kuat bila
perpanjangan waktu ini diberikan.
Mengingat relatif kecilnya fasilitas yang
terkandung dalam kebijakan ini diberikan kepada
masyarakat, berbagai kalangan termasuk kalangan
pengusaha memperkirakan minimnya dampak kebijakan
ini. Oleh karena itu, DPR perlu menindaklanjutinya
dengan dengan mempertanyakan efektivitas kebijakan
ini dalam rapat-rapat nanti. Hal ini dimaksudkan untuk
melahirkan butir-butir perbaikan sistem perpajakan di
negara kita lebih lanjut. Di samping itu, efektivitas
perpanjangan dua bulan masa berlaku Sunset Policy
dalam bentuk pertambahan jumlah NPWP dan setoran
pajak ini perlu dipertanyakan dalam rapat-rapat pada
masa mendatang.

II. BIDANG PENGANGGARAN
A. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
dan Lembaga
Sesuai bidangnya, Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian dan Lembaga (RKAKL) yang dibahas
bersama Komisi XI DPR RI adalah yang berkaitan
dengan Rencana Kerja dan Anggaran Departemen
Keuangan, Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan/ Bappenas, Bank Indonesia, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Sekretariat Jenderal
BPK RI. Berdasarkan prosedur yang berlaku, setiap
pasangan kerja mengajukan Rencana Kerja dan
Anggaran untuk dibahas bersama Komisi XI DPR RI.
Dalam rapat dengan Komisi XI dibicarakan antara lain

sisi besarnya, perbandingan belanja pegawai, belanja
modal dan belanja barang.
Dalam kaitan dengan usaha mengoptimalkan peran
APBN mendorong pertumbuhan ekonomi, belanja modal
juga biasanya mendapat perhatian khusus karena dampak
multiplier-nya. Karena itu, pengajuan Rencana Kerja dan
Anggaran oleh Kementerian dan Lembaga Pemerintah
harus disertai perincian dalam jenis-jenis belanja yakni
belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal
maupun tingkat realisasinya masing-masing pada tahun-
tahun sebelumnya untuk dibicarakan. Pada akhirnya,
Komisi XI dan pemerintah akan menyepakati
konfigurasi anggaran tertentu. Sebagai contoh, dalam
pembahasan Recana Kerja dan Anggaran tanggal 8 Juni
2009 tentang Pagu Indikatif Departemen Keuangan
disimpulkan empat hal berikut:
1. Untuk mengoptimalkan penyerapan anggaran
Departemen Keuangan dalam APBN tahun
2009, Komisi XI DPR RI meminta kepada
Menteri Keuangan untuk meningkatkan kinerja
dalam implementasi program sehingga
penyerapan anggaran dilakukan secara efektif
dan tepat waktu.
2. Komisi XI DPR RI pada prinsipnya dapat
menyetujui alokasi pagu indikatif Departemen
Keuangan pada Tahun Anggaran 2010 sebesar

Rp 15.282.518 juta, dengan rincian sebagai
berikut :

N
O. U N I T RUPIAH
MURNI PHLN PNBP J U M L
A H
1.
SETJE
N
6.250.273
,7
22.729,
1
16.178
,0
6.289.180
,8
2. ITJEN 93.608,7 - - 93.608,7
3. DJA 97.615,1 - - 97.615,1
4. DJP 3.734.262
,5
217.91
8,1 - 3.952.180
,6
5. DJBC 1.968.287
,6 - - 1.968.287
,6
6. DJPK 101.580,3 6.190,4 - 107.770,7
7. DJPU 77.933,0 - - 77.933,0
8. DJPB 1.276.990 80.594,
1 - 1.357.584
,1
9. DJKN 632.006,5 - 9.000,
0 641.006,5
10.
Bapepa
m-LK
145.136,7 - 14.000
,0 159.136,7
11. BKF 117.583,3 11.348,
4 - 128.931,7
12. BPPK 315.583,8 74.833,
8
18.865
,0 409.282,6
J U M L
A H
14.810.86
1,1
413.61
4,0
58.043
,0
15.282.51
8,0

(dalam jutaan rupiah)

3. Komisi XI DPR RI mendukung upaya
optimalisasi anggaran melalui penghematan,
salah satunya dengan cara optimalisasi belanja
barang dan modal. Namun demikian Komisi XI
DPR RI dan Menteri Keuangan sepakat bahwa
penghematan tersebut tidak mengorbankan
program prioritas Departemen Keuangan serta
mempertajam akurasi penyerapannya.
4. Komisi XI DPR RI dan Menteri Keuangan RI
sepakat untuk memprioritaskan pembentukan
treasury management.
Kesepakatan ini menjadi acuan untuk penyusunan
Pagu Sementara oleh pemerintah yang dituangkan dalam
Nota Keuangan yang disampaikan setiap tahun pada
Rapat Paripurna DPR RI bulan Agustus. Berkaitan
dengan RAPBN 2010, hal ini dilakukan pada tanggal 3
Agustus 2009. Sesudah pengajuan oleh Presiden melalui
penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN tersebut,
setiap kementerian dan lembaga pemerintah mengadakan
pembahasan pagu sementara dengan Komisi pasangan
kerjanya di DPR. Tentu bukan tidak mungkin, ada hal-
hal tertentu yang mendapat sorotan intensif dalam rapat.
Misalnya perbandingan antara anggaran yang diajukan
dibandingkan dengan penyerapan anggaran tahun-tahun
sebelumnya. Para anggota Komisi XI DPR RI amat

sering menyoroti hal ini karena merupakan salah satu
indikator kinerja kementerian atau lembaga.
Dalam rapat kerja dengan Departemen Keuangan
tanggal 31 Agustus 2009 yang lalu, beberapa anggota
Komisi XI mempertanyakan usulan tambahan pagu di
atas pagu sementara yang dipaparkan dalam Nota
Keuangan RAPBN 2010 dengan nilai kenaikan total
sebesar Rp 503,9 Miliar, sementara data penyerapan
anggaran tahun-tahun sebelumnya belum menunjukkan
perbaikan yang signifikan. Persentase penyerapan
anggaran Departemen Keuangan tahun 2004-2008
tercatat berturut-turut 88,12%, 74,01%, 72,21%, 70,99%
dan 79,69%. Apalagi Departemen Keuangan merupakan
pilot-project reformasi birokrasi yang dalam setahun
mendapat tambahan dana remunerasi Rp. 5 triliun lebih.
Acuan ideal bagi soal penyerapan ini adalah
realisasi penyerapan yang mendekati angka penyerapan
sepenuhnya, atau setidak-tidaknya berada pada tingkat
90-an persen. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa
pengajuan setiap hal atau rupiah yang ada adalah
Rencana Kerja dan Anggaran telah melalui
pertimbangan bahwa setiap hal atau rupiah dimakhsud
bisa direalisasikan.
Selanjutnya, setelah melalui pembahasan di Panitia
Anggaran DPR RI, Undang-Undang APBN tahun yang
bersangkutan dapat ditetapkan melalui rapat paripurna
DPR RI. Dalam perjalanan waktu, setelah APBN yang

bersangkutan mulai dijalankan, bisa terjadi hal-hal yang
mengakibatkan pemerintah mengajukan perubahan
APBN dalam bentuk RAPBN-Perubahan. Perubahan
harga minyak yang luar biasa, perubahan perkiraan
tingkat inflasi, munculnya krisis ekonomi global yang
cukup dahsyat dan sebagainya, adalah alasan-alasan
yang bisa menjadi dasar pengajuan RAPBN-Perubahan.
Pembahasannya dilakukan melalui Rapat Kerja
penyesuaian asumsi-asumsi APBN tahun yang
bersangkutan (pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat
bunga, dan sebagainya).
Setelah penyesuaian asumsi ini, kementerian dan
lembaga pemerintah mengajukan Rencana Kerja dan
Anggaran yang baru untuk dibahas dengan Komisi di
DPR yang merupakan pasangan kerjanya. Pagu yang
diajukan masing-masing kementerian dan lembaga
maupun unit-unit di dalamnya dalam rangka penyusunan
APBN-Perubahan, bisa lebih besar dan bisa juga lebih
kecil dari yang ada dalam APBN. Hal ini tergantung
jenis penyebab diajukannya RAPBN-Perubahan. Sebagai
contoh, pemerintah pernah mengajukan perubahan
anggaran dengan penurunan untuk pembahasan lebih
lanjut sekitar 15% pada hampir semua kementerian dan
lembaga akibat kesulitan ekonomi dunia yang
ditenggarai berdampak pada perekonomian nasional.
Berikut ini adalah contoh kesimpulan rapat tentang
RKAKL Perubahan yang diajukan pemerintah berkaitan

dengan anggaran tahun 2009. Dalam rapat dengar
pendapat tanggal 3 Juli 2009 dengan BPK RI dan
Kementerian Negara PPN/Bappenas:
1. Komisi XI DPR RI telah menerima dan
mendengarkan penjelasan usulan APBN-P Tahun
2009 dari SEKJEN BPK dan SESTAMA
BAPPENAS. Komisi XI DPR RI dapat memahami
kebutuhan yang diajukan sebagai bahan
pembahasan lebih lanjut sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan oleh Panitia Anggaran. Adapun usulan
perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. BPK RI
Penambahan anggaran sebesar Rp. 71
miliar yang dialokasikan untuk: (1)
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana
Aparatur Negara sebesar Rp. 50 miliar; dan
(2) Program Peningkatan Pengawasan dan
Akuntabilitas Aparatur Negara sebesar Rp.
21 miliar, sehingga RKAK/L yang semula
Rp. 1.736 miliar menjadi sebesar Rp. 1.807
miliar dalam RAPBN-P Tahun Anggaran
2009.
b. Bappenas
Penambahan anggaran sebesar Rp. 5,2
miliar yang dialokasikan untuk Program
Penataan Kelembagaan dan

Ketatalaksanaan, sehingga RKAK/L yang
semula Rp. 393,057 miliar menjadi Rp.
398,257 miliar dalam RAPBN-P Tahun
Anggaran 2009.
2. Komisi XI DPR RI meminta kepada Sekjen BPK
dan Sestama BAPPENAS untuk tetap
merencanakan APBN-P 2009 dengan mengacu
kepada skala prioritas yang sangat diperlukan
untuk mendukung kelancaran dan pencapaian
sasaran tugas pokok dan fungsi, untuk kemudian
dipertanggungjawabkan penggunaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa
Komisi XI DPR RI dapat menambahkan permintaan
penting terkait perencanaan dan pelaksanaan anggaran
setelah melalui rapat yang antara lain menyoroti aspek
terkait.

B. Anggaran Operasional Tahunan Bank
Indonesia 2004-2009
Sebagai bentuk perwujudan dari akuntabilitas dan
transparansi Bank Indonesia di bidang Anggaran dan
memenuhi Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 2009,
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang.

1. Periode 2005 -2006

Rapat Dengar Pendapat Pokja BI dan
Perbanjan Dengan Gubernur Bank Indonesia,
Kamis 1 Desember 2005 Pukul 19.30 WIB
a. Pokja Bank Indonesia dan Perbankan Komisi
XI DPR RI meminta kepada Bank Indonesia
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi di
dalam pengeluaran Sumber Daya Manusia yang
terkesan kurang efisien dibanding dengan
departemen yang lain.
a. Pokja Bank Indonesia dan Perbankan Komisi
XI DPR RI meminta kepada Bank Indonesia
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi di
dalam pengadaan dan penggunaan logistik yang
kurang terprogram dan terarah dengan baik.
b. Di dalam efektifitas dan efisiensi tersebut,
Pokja Bank Indonesia dan Perbankan Komisi
XI DPR RI mengharapkan Bank Indonesia
dapat menekan atau mengurangi penggunaan
Konsultan Asing dan lebih banyak
menggunakan tenaga dalam negeri, serta
mengharapkan anggaran pendidikan Bank
Indonesia ditingkatkan khususnya untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
Bank Indonesia.
c. Pokja Bank Indonesia dan perbankan Komisi
XI DPR RI meminta kepada Bank Indonesia

untuk memberikan data tentang Total Anggaran
Lembur Bank Indonesia per tahun.
d. Pokja Bank Indonesia dan Perbankan Komisi
XI DPR RI meminta kepada Bank Indonesia
untuk memberikan data tentang Total Anggaran
Perjalanan termasuk anggaran perjalanan Pihak
Ketiga Bank Indonesia per tahun.
2. Periode 2006 -2007
Raker Komisi XI Dengan Gubernur BI, Senin 4
Desember 2006 Pukul 14.00 WIB
KESIMPULAN/KEPUTUSAN
Anggaran Operasional BI Tahun 2007 Bidang
Pengelolaan Sumber Daya Manusia
- Komisi XI DPR RI dapat menyetujui arah dan
strategi Manajemen Sumber Daya Manusia
Bank Indonesia yang akan diimplementasikan
mulai tahun 2007 yang terfokus pada strategi
organisasi berdasarkan prinsip good
governance didukung oleh knowledge
management (organisasi berbasis pengetahuan).
- Komisi XI DPR RI memberikan apresiasi
terhadap kinerja Bank Indonesia tahun 2006
sesuai dengan yang direncanakan. Sehubungan
dengan hal tersebut Komisi XI DPR RI
merekomendasikan agar Bank Indonesia

merealisasikan hak-hak yang tertunda pada
penetapan ATBI tahun 2006.

Catatan :
a. Bank Indonesia perlu melakukan pengkajian
kembali struktur penggajian yang lebih
permanen dan adil dengan memperhatikan
sistem penggajian diluar Bank Indonesia saat
ini.
b. Perlu dilakukan penyesuaian sistem penggajian
terutama pada Golongan I sampai Golongan
VIII, sehingga kesenjangan dari golongan
tertinggi sampai terendah tidak terlalu besar.
c. Untuk uang lembur, Bank Indonesia perlu
melakukan perbaikan-perbaikan dan
perhitungan yang wajar.
d. Mengenai uang pesangon agar diberikan
penjelasan bahwa rencana anggaran tersebut
bukan dimaksudkan untuk melakukan
pemutusan hubungan kerja (PHK) pegawai
Bank Indonesia namun dimaksudkan untuk
rencana rasionalisasi pegawai.
e. Perlu diagendakan antara DPR RI dengan Bank
Indonesia untuk melakukan pembahasan
(hearing) tentang Yayasan Kesejahteraan
Karyawan Bank Indonesia (YKKBI).

Anggaran Operasional BI Tahun 2007 Bidang
Logistik
Format pengajuan ATBI 2007 disepakati sebagai
standar format pengajuan ATBI tahun berikutnya dan
digunakan sebagai standar dalam membuat laporan
realisasi triwulanan. Format tersebut dimungkinkan
untuk disempurnakan oleh Bank Indonesia dan Komisi
XI DPR RI.
Catatan :
1. Penyusutan dan amortisasi perlu
dipertimbangkan dipindahkan ke Anggaran
Kegiatan Pendukung dan Lainnya.
2. Daftar tanah dan bangunan yang dijual atau
dihapus bukukan perlu dilaporkan dalam
laporan tersendiri.
3. Dalam hal Bank Indonesia memerlukan
perubahan ATBI Tahun 2007 (Anggaran
Logistik) dari apa yang telah disetujui maka
perlu terlebih dahulu diajukan untuk
mendapatkan persetujuan Komisi XI DPR RI.
4. Bank Indonesia akan melaporkan kepada
Komisi XI DPR RI realisasi pelaksanaan ATBI
Tahun 2007 (Anggaran Logistik) tepat pada
waktunya dalam laporan realisasi ATBI
sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.

Anggaran Operasional BI Tahun 2007 Bidang
Kegiatan Pendukung dan Lainnya.
Catatan :
1. Berkaitan dengan usulan kenaikan gaji Dewan
Gubernur, Pejabat, dan Pegawai Bank
Indonesia pada tahun 2007, Komisi XI DPR RI
merekomendasikan sebagai berikut :
- Gaji Dewan Gubernur dapat dinaikan
sebesar 3 - 4%;
- Gaji Pegawai Golongan V – VIII dapat
dinaikan maksimal 7%;
- Gaji Pegawai Golongan I – IV dapat
dinaikan maksimal sebesar 10%.
2. Berkaitan dengan kinerja Dewan Gubernur dan
Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
yang telah mencapai hasil yang cukup
memuaskan selama tahun 2006, Komisi XI
DPR RI merekomendasikan agar Bank
Indonesia merealisasikan Tunjangan Prestasi
untuk Anggota Dewan Gubernur.
3. Berdasarkan struktur pendapatan operasional
Bank Indonesia saat ini, maka untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kesulitan
liquditas dimasa yang akan datang, Komisi XI
DPR RI meminta Bank Indonesia untuk lebih
berhati-hati dalam mengelola elemen
penerimaannya dan melakukan kajian yang

lebih mendalam terhadap pengelolaan anggaran
operasionalnya.
4. Beberapa catatan penting yang harus
diperhatikan oleh bank Indonesia dalam
menyusun Rencana Anggaran Operasional ke
depan, antara lain :
a. Format dengan standar ukuran yang sama.
b. Waktu penyampaian/time schedule kepada
Komisi XI DPR RI, paling tidak 1 (satu)
bulan sebelumnya.
c. Rencana Anggaran Operasional
disampaikan secara detail (per satuan
kerja).
5. Dalam rangka laporan evaluasi per triwulanan
harus terdiri dari :
a. Penyampaian Realisasi Anggaran
operasional Bank Indonesia dengan format
dan standar serta ukuran yang sama.
b. Waktu penyampaian kepada komisi XI
paling tidak 1 (satu) bulan sebelumnya.
c. Disampaikan secara detail sampai persatuan
kerja (satker)
d. Sejauh mana penyerapannya; serta
e. Kendala-kendalanya.
Sehingga dengan demikian diharapkan
penyampaian rencana anggaran maupun realisasi

anggaran operasional Bank Indonesia menjadi jelas
dengan parameter yang terukur.

3. Periode 2007 -2008
Raker Komisi XI DPR Dengan Gubernur Bank
Indonesia 6 Desember 2007
Catatan
1. Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia
menyetujui melakukan pembahasan terhadap
laporan triwulanan yang disampaikan Bank
Indonesia pada tahun 2008.
2. Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia
menyetujui untuk mengadakan pertemuan
secara tertutup dalam rangka penyampaian
laporan anggaran kebijakan tahun 2009 dan
informasi mengenai anggaran investasi.
3. Dalam pembahasan ATBI Tahun 2009 yang
akan datang, Komisi XI DPR RI meminta
kepada Bank Indonesia untuk secara terpisah
mengkonsultasikan anggaran kebijakan Bank
Indonesia kepada Komisi XI DPR.
4. Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (4) dan
Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, tunjangan
prestasi untuk Dewan Gubernur dapat
dibayarkan/diterima setelah dilakukan penilaian
terhadap kinerja Dewan Gubernur dan Evaluasi
pelaksanaan anggaran tahun berjalan. Berkaitan
dengan itu, Komisi XI DPR RI berpendapat
bahwa selama tahun 2007 Bank Indonesia telah
dapat memenuhi target-target yang menjadi
tugas dan tanggungjawabnya, sehingga Komisi
XI DPR RI merekomendasikan agar Bank
Indonesia merealisasikan insentif tahunan
Anggota Dewan Gubernur.
5. Komisi XI DPR RI menegaskan
kesimpulan/keputusan nomor A.3. dalam
Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi XI DPR
RI dengan Bank Indonesia pada tanggal 4
Desember 2006 yaitu bahwa yang dimaksudkan
dengan hak-hak yang tertunda pada penetapan
ATBI tahun 2006 yang memutuskan untuk
direalisasikan karena pencapaian target Bank
Indonesia tahun 2006 adalah hak-hak yang
terdiri dari:
a. Bantuan Cuti Tahunan Anggota Dewan
Gubernur;
b. Tunjangan Hari Raya Keagamaan Dewan
Gubernur;

c. Insentif Tahunan Anggota Dewan
Gubernur;
6. Komisi XI DPR RI menyetujui usulan Bank
Indonesia untuk melakukan penambahan
setoran modal kepada PT. Bahana Pembinaan
Usaha Indonesia (BPUI) yang akan digunakan
untuk penyertaan permodalan dalam rangka
pengembangan kegiatan Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) PT. Bahana Arta
Ventura (BAV).

4. Periode 2008 -2009
Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan
Gubernur Bank Indonesia, Kamis 18 Desember
2008.
- Panja Anggaran Pengelolaan Sumber Daya
Manusia, Logistik dan Pendukung lainnya
Komisi XI DPR RI pada prinsipnya dapat
memahami Realisasi Pengeluaran Anggaran
Operasional ATBI Tahun 2008.
- Panja Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Komisi XI DPR RI mendukung upaya yang
dilakukan oleh Bank Indonesia untuk
membangun SDM Bank Indonesia yang
kompetitif dan kontributif melalui Kultur

Berbasis Kinerja atau Performance Based
Culture (PBC) yang berdampak pada strategi
remunerasi dan penerapan human capital
development dengan melakukan reklasifikasi
remunerasi untuk mendukung pencapaian SDM
yang berkinerja tinggi.
- Panja Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia sepakat
melakukan pengurangan PPh Pasal 21
disesuaikan dengan UU tentang Pajak
Penghasilan yang baru (UU No. 36 Tahun
2008) yang berlaku mulai 1 Januari 2009
sebesar Rp. 85,264 miliar ( USULAN ATBI
2009 = 526.139 juta dan hasil pembahasan
menjadi 440.875 juta).
- Panja Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Komisi XI DPR RI dapat menyetujui Anggaran
Pengelolaan Sumber Daya Manusia ATBI
Tahun 2009 sebesar Rp. 3,397 triliun dari yang
diusulkan sebesar Rp. 3,482 triliun, dengan
perincian sebagai berikut:
- Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia sepakat
menambah anggaran Kegiatan Pendukung
sebesar Rp. 9,347 miliar untuk Bank Indonesia
Social Responsibility (BISR) dari yang semula
Rp. 8,153 miliar menjadi Rp. 17,500 miliar
yang ditujukan untuk lebih meningkatkan peran

serta Bank Indonesia dalam memberikan
kontribusi yang bermakna bagi kesejahteraan
masyarakat, perekonomian nasional dan
pendidikan.
- Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia sepakat
untuk menghapus Anggaran Penyisihan Aktiva
sebesar Rp. 119,485 miliar karena non cash
outflow sehingga tidak perlu masuk dalam
anggaran.
- Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia sepakat
mengganti nomenklatur akun anggaran
”Cadangan Operasional” menjadi akun
anggaran ”Biaya Tidak Terduga” karena sesuai
dengan Pasal 9 UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan cadangan operasional
merupakan obyek yang tidak boleh
dikurangkan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan.
- Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia sepakat
bahwa pada ATBI tahun 2009 ditetapkan
besarnya ”Biaya Tidak Terduga” sebesar 5%
dari total anggaran Pengeluaran Operasional
(5% x Rp. 4.438 miliar = Rp. 221,904 miliar),
sehingga Anggaran Lainnya ATBI Tahun 2009
yang semula Rp. 345,185 miliar menjadi
sebesar Rp. 221,904 Miliar.

- Komisi XI DPR RI menyetujui keseluruhaan
Anggaran Tahunan Bank Indonesia Tahun
2009 untuk Pengeluaran Operasional sebesar
Rp. 4,660 triliun dari yang semula diusulkan
sebesar Rp. 4,859 triliun atau mengalami
penurunan sebesar Rp. 199,198 miliar (4,3%)
dari yang diusulkan atau naik sebesar Rp.
26,997 miliar (0,6%) dari ATBI 2008 dan Bank
Indonesia tidak diperkenankan menggunakan
anggaran diluar dari rincian penggunaannya
yang telah disetujui DPR RI.

Catatan :
Komisi XI DPR RI dan Bank Indonesia sepakat
untuk memindahkan mata anggaran, yaitu: Pertama,
Akun Anggaran terkait pengembangan SDM dan
penyedia jasa SDM (THOS) yang semula berada pada
kelompok Anggaran Operasional-Pelaksanaan Kegiatan
Pendukung direklasifikasi ke Anggaran Operasional-
Pengelolaan Sumber Daya Manusia. Kedua, Akun
Anggaran terkait kelogistikan yang semula berada pada
kelompok Anggaran Operasional-Pelaksanaan Kegiatan
Pendukung direklasifikasi ke Anggaran Operasional-
Pengelolaan Logistik. Kedua Perubahan dimaksud
dilakukan mulai ATBI Tahun 2010.
Komisi XI DPR RI meminta kepada Bank
Indonesia untuk melakukan perbaikan nomenklatur/tugas

pokok terhadap fungsi ”melaksanakan pengelolaan
anggaran, sumbangan/bantuan atas nama Dewan
Gubernur” sesuai dengan bentuk dan kegiatan yang
dilakukan dan untuk menyempurnakan penggunaan
nomenklatur ”Lainnya” dalam Anggaran Tahunan Bank
Indonesia (ATBI) untuk menciptakan transparansi dalam
penyusunan dan pengelola.

BAGIAN KETIGA
REKOMENDASI
KEGIATAN DAN TUGAS
YANG BELUM SELESAI

A. Usul Inisiatif Amandemen UU No. 3 Tahun
2004 Tentang Bank Indonesia
Latar Belakang

Sejak berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2004, BI mencoba untuk
mentrasformasikan dirinya menuju independensi dalam
melaksanakan kebijakan moneter. Dengan diberikannya
independensi kepada Bank Indonesia, isu penting yang
muncul adalah bagaimana mendudukkan secara
proporsional dan tepat perihal independensi dan
akuntabilitas. Independensi dan akuntabilitas merupakan
dua konsep yang berbeda namun sangat berkaitan erat.
Independensi yang didapatkan Bank Indonesia
mengandung konsekuensi bahwa Bank Indonesia tidak
boleh terikat dengan dan atau tunduk kepada
kepentingan lembaga/pihak lain yang dapat
mempengaruhi pengambilan kebijakan moneternya. Hal
ini membawa implikasi bahwa pertanggungjawaban
Bank Indonesia terhadap rakyat tidak hanya terbatas
pada stabilitas nilai tukar yang menjadi tugasnya, namun
juga meliputi aspek pengelolaan kekayaan negara.
Dengan mempertimbangkan peran Bank Sentral dalam
kebijakan perekonomian sebagaimana yang diamanatkan
dalam UUD 1945 dan dalam rangka memberikan
landasan hukum yang kuat bagi Bank Indonesia dalam
upaya meningkatkan akuntabilitas, independensi,
transparansi, dan kredibilitas, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) memandang perlu untuk

melakukan amandemen terhadap Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia

Maksud dan Tujuan
Penyusunan amandemen Undang-Undang Nomor 3
tahun 2004 tentang Bank Indonesia dimaksudkan untuk
(1) Meningkatkan kinerja Bank Indonesia dalam
pelaksanaan tugasnya mencapai dan memelihara
kestabilan moneter (monetary stability) dan kestabilan
sistem keuangan (financial system stability). (2)
Membangun kredibilitas Bank Indonesia yang tercermin
dari keseimbangan independensi dan akuntabilitas yang
dimiliki Bank Indonesia. (3) Meningkatkan kepercayaan
(public trust) dan persepsi masyarakat terhadap Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter.

Output Yang Diharapkan
Dengan dirumuskannya Perubahan Ketiga Undang-
Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ini,
diharapkan dapat tercapai keseimbangan antara
independensi (kemandirian) dan akuntabilitas Bank
Indonesia yang sesuai dengan argumen teoritis dan
empiris independensi (kemandirian) dan akuntabilitas
yang telah dijabarkan pada Bab 2 dan Bab 3.

UU tentang Bank Indonesia yang selama ini dirasa
masih belum cukup memadai dalam masalah
akuntabilitas, terutama dalam pelaksanaan program-
program Bank Indonesia di bidang kebijakan moneter,
sistem pembayaran, pengaturan dan pengawasan
perbankan. Dalam Bab X Pasal 60 ayat (3) misalnya,
selama ini anggaran Bank Indonesia yang terbuka untuk
umum hanya anggaran operasional saja. Anggaran
tersebut dibahas di DPR dan diputuskan setelah
konsultasi dengan DPR. Bahkan apabila DPR tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan oleh bank
Indonesia hingga batas waktu 31 Desember, anggaran
tersebut dianggap telah disetujui. Di sisi lain, anggaran
untuk kebijakan moneter, investasi, serta aset-aset Bank
Indonesia tidak pernah dibahas. Kondisi ini dirasakan
tidak memenuhi kaidah-kaidah akuntabilitas dan
mekanisme check and balance. Oleh karena itu, dengan
amandemen ini, seluruh anggaran Bank Indonesia, baik
operasional, kebijakan moneter, sistem pembayaran,
serta pengawasan dan pengaturan perbankan harus
dibahas dan disetujui oleh DPR sebagai pemegang
fungsi legislatif, budgeting, dan pengawasan. Dengan
catatan, pembahasan dilakukan dalam rapat tertutup dan
informasinya tidak boleh dibocorkan keluar, serta
terdapat sanksi yang memadai jika informasi tersebut
disalahgunakan.

Disamping itu, dengan amandemen ini diharapkan
peran Badan Supervisi yang selama ini sangat terbatas
dan sangat marjinal dapat ditingkatkan, di mana Badan
Supervisi dapat berperan lebih untuk membantu DPR
dalam melakukan pengawasan tugas-tugas Bank
Indonesia. Pengawasan yang sifatnya day to day
terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia oleh Badan
Supervisi tersebut sangat diperlukan mengingat besarnya
organisasi Bank Indonesia dan luasnya cakupan fungsi
Bank Indonesia terutama di bidang moneter, perbankan
dan sistem pembayaran.
Dalam rangka lebih menjamin keseimbangan
antara independensi dan akuntabilitas, susunan Dewan
Gubernur Bank Indonesia juga lebih diperkuat melalui
penetapan jumlah anggota Dewan Gubernur secara pasti.
Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan
Gubernur menjadi lebih terjamin. Sebagai konsekuensi
dari di “fix” kannya jumlah anggota Dewan Gubernur
ini, amandemen Undang-Undang tentang Bank
Indonesia juga melonggarkan jumlah maksimal
penggantian anggota Dewan Gubernur, sehingga
memudahkan pemenuhan ketentuan jumlah anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia tersebut.

Kendala Yang Dihadapi
Komisi XI DPR RI periode 2004 -2009 tidak dapat
menyelesaikan proses amandemen UU nomor 3 tahun

2004 karena waktu yang tidak memungkinkan, sehingga
diharapkan kepada komisi XI DPR RI periode 2009-
2014 dapat melanjutkan pembahasan usul inisiatif
amandemen UU nomor 3 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia.

B. Pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (RUU JPSK)
Latar belakang
Dalam rangka mengantisipasi ancaman krisis
global maka Pemerintah mengajukan RUU JPSK kepada
DPR RI agar tidak terjadi krisis keuangan yang
berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan
dan perekonomian nasional sehingga perlu ditetapkan

suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka
pencegahan dan penangganan krisis. Selain itu juga
untuk menghadapi ancaman yang ditengarai berdampak
sistemik terhadap sistem keuangan nasional yang terjadi
beberapa waktu terakhir, sangat mendesak dibutuhkan
adanya landasan hukum yang mengatur Jaring Pengaman
Sistem Keuangan. Pada dasarnya RUU JPSK ini hanya
mengatur masalah pencegahan dan penanganan krisis
yang berdampak sistemik dan membahayakan sistem
keuangan, serta perekonomian nasional dengan
mekanisme koordinasi yang efisien dan efektif diantara
berbagai lembaga yang bertanggung jawab dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sebelumnya Pemerintah mengajukan Perpu JPSK
sebagai pengganti Perpu No. 4 tahun 2008 kepada DPR
RI untuk dijadikan Undang Undang, namun belum
dapat diterima dalam Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 18 Desember 2008 dengan alasan bahwa kurang
tegasnya hak budget DPR dalam RUU JPSK tersebut,
adanya hak imunitas yang berlebihan terhadap
pengambil keputusan, serta Komite Stabilitas Sistem
Keuangan yang diketuai oleh Menteri Keuangan dengan
anggotanya adalah Gubernur Bank Indonesia yang akan
berpotensi menimbulkan konflik antara otoritas fiskal
dan moneter. Namun akibat penolakan Perpu tersebut
dalam Rapat Paripurna, DPR RI meminta kepada
pemerintah agar mengajukan Rancangan Undang-

Undang tentang JPSK yang sudah diperbaharui sebelum
tanggal 19 Januari 2009.
Pada tanggal 17 Februari, Pemerintah memberikan
keterangan mengenai RUU JPSK yang baru kepada
Komisi XI DPR RI yang sebelumnya sudah disampaikan
melalui surat Presiden kepada DPR RI pada tanggal 14
Januari 2009. Dalam surat tersebut Presiden menunjuk
kembali Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan
Ham sebagai wakil dari Presiden dalam pembahasan
RUU JPSK dengan DPR RI. RUU JPSK tersebut pada
dasarnya dibangun dari kerangka PERPU JPSK yang
sudah ada dengan melakukan beberapa perbaikan dan
penyempurnaan konsepsi RUU JPSK berdasarkan saran,
masukan dan pendapat yang disampaikan Anggota DPR
RI melalui pendapat akhir Fraksi dan Rapat Paripurna
tanggal 18 Desember 2008.
Akhirnya dalam Rapat Kerja pada tanggal 25
Februari 2009 dengan agenda tanggapan Fraksi Fraksi
atas RUU Jaring Pengaman Sistem Informasi (JPSK)
dimana hasilnya adalah seluruh Fraksi dapat menyetujui
RUU JPSK untuk dibahas lebih lanjut sesuai dengan
mekanisme DPR RI.

Pembahasan RUU JPSK
Komisi XI DPR RI hingga saat ini masih
menyelesaikan pembahasan terhadap DIM RUU JPSK
bersama dengan Pemerintah. Pembahasan dilakukan di

dalam maupun di luar gedung DPR RI yang dimulai
pada masa reses anggota DPR RI. RUU JPSK ini
diupayakan dapat selesai pada Masa Persidangan I 2009
/ 2010 dan apabila tidak dapat diselesaikan maka akan
dilanjutkan pada masa Persidangan berikutnya.
Pada awal pembahasan rapat yang dilakukan
Komisi XI dengan Pemerintah terdapat beberapa
permasalahan yang berkembang dimana beberapa fraksi
di DPR RI dalam pembahasan RUU JPSK menolak
Lembaga Keuangan Bukan Bank/LKBB masuk dalam
ruang lingkup tindakan yang dapat dilakukan dalam
Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Hal ini disebabkan
karena sistem pengawasan terhadap LKBB yang ada
pada saat ini yang belum cukup memadai, sehingga
dengan memasukan LKBB kedalam JPSK akan sangat
berbahaya bagi perekonomian nasional. Hal ini bisa
dilihat dari sistem pengawasan yang sudah ada terhadap
perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia masih
terlihat rapuh dan seringkali beberapa kasus perbankan
nasional lolos dari pengawasan Bank Indonesia. Selain
itu jika LKBB dimasukan dalam ruang lingkup RUU
JPSK akan menimbulkan moral hazard yang dilakukan
oleh pelaku pasar dengan melakukan transaksi yang
bersifat spekulatif karena pelaku pasar tahu LKBB
dijamin oleh pemerintah. Selain itu, jika LKBB masuk
dalam JPSK tidak akan terlihat dampak ekonominya
menginggat total asset LKBB yang tidak signifikan

dibandingkan dengan sektor perbankan sehingga
keberadaan LKBB tersebut tidak akan berdampak
signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
RUU JPSK ini hanya diperlukan untuk masa yang
akan datang jika LKBB sudah menjadi sangat besar di
Indonesia sehingga akan menimbulkan dampak yang
sistemik terhadap perekonomian Indonesia, sehingga
relevansinya sudah tidak ada karena ada Perpu yang
dapat menolong jika JPSK ditolak. Hampir seluruh
Fraksi-Fraksi di DPR RI berpendapat bahwa sebelum
memberikan jaminan terhadap LKBB dalam UU JPSK,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus dibahas lebih dulu
seperti yang sudah diamanatkan oleh Undang Undang.
Namun dilain pihak, Pemerintah berpendapat
bahwa LKBB masuk kedalam ruang lingkup RUU JPSK
dikarenakan Indonesia belum mempunyai LKBB yang
sangat kuat sebagai sumber pembiayaan jangka panjang
sehingga dengan adanya jaminan LKBB dalam UU
JPSK akan menambah kepercayaan masyarakat untuk
menempatkan dananya terhadap LKBB di Indonesia, dan
efeknya akan terasa bagi investor lokal karena akan
menambah keyakinan mereka menempatkan dana di
pasar modal untuk jangka panjang.
Menurut Pemerintah, saat ini manfaat LKBB di
Indonesia merupakan mobilisasi dana jangka panjang,
dimana Bank merupakan mobilisasi dana jangka pendek
sehingga perlu adanya keseimbangan intermediasi di

antara keduanya (pasar modal dan perbankan) agar
perekonomian Indonesia dapat lebih maju lagi dimasa
yang akan datang. Kondisi keseimbangan seperti inilah
yang terjadi di semua negara maju dimana tersedianya
kecukupan dana jangka panjang dan dana jangka pendek.
Dana jangka panjang yang dikelola oleh LKBB
diperlukan untuk investasi di Indonesia, sebagai contoh
nasabah asuransi menempatkan dananya sampai dengan
20 tahun dimana nasabah perbankan hanya paling lama 3
tahun.
Selain itu pemerintah berpendapat bahwa LKBB
tidak akan menimbulkan dampak sistemik jika dilihat
dari total asetnya saat ini, maka dengan
mengikutsertakan LKBB dalam ruang lingkup RUU
JPSK hanya digunakan sebagai payung hukum jika suatu
saat LKBB ini menjadi besar di Indonesia dan juga
merupakan faktor keadilan bagi LKBB yang merupakan
satu kesatuan dari sistem keuangan di Indonesia. Untuk
percepatan pembangunan jika ukuran dari LKBB
berkembang di kemudian hari maka jika terjadi krisis
sudah ada payung hukumnya untuk penangganan yang
cepat khususnya sektor asuransi dan dana pensiun.
Memberikan kesempatan bagi LKBB di Indonesia agar
lebih qualified karena jika LKBB sudah qualified belum
tentu LKBB tersebut menjadi eligible mendapatkan
jaminan. Karena masih ada KSSK yang akan
menentukan apakah jika terjadi sesuatu terhadap LKBB

tersebut maka LKBB tersebut eligible mendapatkan
jaminan dari pemerintah. Karena pada akhirnya suatu
Lembaga Keuangan Bank atau Bukan Bank yang gagal
akan berdampak sistemik atau tidaknya terhadap siskem
keuangan nasional akan ditentukan oleh KSSK dengan
mekanisme yang akan dibuat secara lebih detail.
Permasalahan lainnya yang berkembang dalam
proses pembahasan RUU JPSK ini adalah belum
jelasnya definisi mengenai krisis dalam RUU JPSK yang
pada akhirnya menimbulkan ketidaksepakatan mengenai
definisi yang sudah ada antara DPR RI dengan
pemerintah, hanya hasil sementara serta perlu adanya
ukuran yang jelas mengenai kondisi krisis. Sedangkan
yang dimaksud dengan berdampak sistemik perlu
penjelasan yang lebih jelas serta kejelasan lembaga yang
dapat menentukan suatu Bank/Lembaga Keuangan
Bukan Bank yang gagal akan berdampak sistemik
terhadap sistem keuangan di Indonesia.
Selain itu KSSK perlu adanya kesepakatan
mengenai nama serta mekanisme dan prosedur kerja
KSSK perlu dijelaskan lagi terkait dengan LKBB. Perlu
dijelaskan mengenai sifat dari KSSK ini, apakah bersifat
tetap atau ad hoc dan sampai sebatas mana kewenangan
KSSK tersebut. Struktur Organisasi KSSK saat ini dalam
RUU JPSK masih diketuai oleh Menteri Keuangan
dimana DPR RI meminta agar Presiden lah yang menjadi
ketua KSSK.

KSSK merupakan salah satu penyebab Perpu No 4
tahun 2008 ditolak oleh DPR RI, namun Komite tersebut
masih tetap dimunculkan oleh pemerintah dalam RUU
JPSK yang sudah diperbaharui. Bahkan dalam
pembahasan tingkat I ini, Komisi XI DPR RI mendapat
temuan bahwa walaupun Perpu No 4 tahun 2008 ini
ditolak oleh DPR RI, namun ternyata KSSK sudah mulai
bekerja dalam kasus Bank Century.
Setelah melakukan beberapa kali pembahasan serta
lobi-lobi antara Komisi XI DPR RI dengan pihak
pemerintah mengenai empat permasalahan pokok yang
menghambat proses pembahasan RUU JPSK ini pada
tingkat I, akhirnya terjadilah suatu kesepakatan antara
Komisi XI DPR RI dengan Pemerintah tentang
permasalah LKBB, definisi krisis, sistemik, dan KSSK.
Dalam kesepakatan tersebut KSSK berubah nama
menjadi Forum Stabilitas Sistem Keuangan dengan
kordinatornya tetap Menteri Keuangan, LKBB tidak
dimasukan dalam ruang lingkup RUU JPSK, dan definisi
krisis semakin jelas dengan adanya indikator ekonomi
dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas,
masalah solvabilitas dan/atau penurunan kepercayaan
publik terhadap sistem keuangan. Selain itu juga telah
disepakati bersama bahwa krisis dan sistemik merupakan
satu kesatuan dalam sistem keuangan sehingga jika
seluruh tanda-tanda krisis sudah terlihat, maka lebih

mudah bagi FSSK menetapkan suatu Bank gagal akan
berdampak sistemik.
Catatan
Sampai saat ini proses pembahasan RUU JPSK
antara Komisi XI DPR RI dengan pihak pemerintah
masih sedang berlanjut, dan jika sesuai dengan rencana
awal maka RUU ini akan dapat diselesaikan pada akhir
Masa Sidang I tahun 2009/2010. Namun jika tidak dapat
terlaksana maka RUU JPSK ini akan menjadi prioritas
bagi anggota Komisi XI periode yang akan datang.

Buku - Selayang Pandang Kebijakan Fiskal Moneter

About This Presentation

Slide Content

Tags

Categories

Download

Quick Actions

Statistics

Related Slideshows

Buku - Selayang Pandang Kebijakan Fiskal Moneter

About This Presentation

Slide Content

Slide 3

Slide 4

Slide 5

Slide 6

Slide 7

Slide 9

Slide 10

Slide 11

Slide 12

Slide 13

Slide 14

Slide 15

Slide 16

Slide 17

Slide 18

Slide 19

Slide 20

Slide 21

Slide 22

Slide 23

Slide 24

Slide 25

Slide 26

Slide 27

Slide 28

Slide 29

Slide 30

Slide 31

Slide 32

Slide 33

Slide 34

Slide 35

Slide 36

Slide 37

Slide 38

Slide 39

Slide 40

Slide 41

Slide 42

Slide 43

Slide 44

Slide 45

Slide 46

Slide 47

Slide 48

Slide 49

Slide 50

Slide 51

Slide 52

Slide 53

Slide 54

Slide 55

Slide 56

Slide 57

Slide 58

Slide 59

Slide 60

Slide 61

Slide 62

Slide 63

Slide 64

Slide 65

Slide 66

Slide 67

Slide 68

Slide 69

Slide 70

Slide 71

Slide 72

Slide 73

Slide 74

Slide 75

Slide 76

Slide 77

Slide 78

Slide 79

Slide 80