Dampak Farmasi Lingkungan berbasis OBE.pptx

DhimasNurul 7 views 137 slides Sep 21, 2025
Slide 1
Slide 1 of 137
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90
Slide 91
91
Slide 92
92
Slide 93
93
Slide 94
94
Slide 95
95
Slide 96
96
Slide 97
97
Slide 98
98
Slide 99
99
Slide 100
100
Slide 101
101
Slide 102
102
Slide 103
103
Slide 104
104
Slide 105
105
Slide 106
106
Slide 107
107
Slide 108
108
Slide 109
109
Slide 110
110
Slide 111
111
Slide 112
112
Slide 113
113
Slide 114
114
Slide 115
115
Slide 116
116
Slide 117
117
Slide 118
118
Slide 119
119
Slide 120
120
Slide 121
121
Slide 122
122
Slide 123
123
Slide 124
124
Slide 125
125
Slide 126
126
Slide 127
127
Slide 128
128
Slide 129
129
Slide 130
130
Slide 131
131
Slide 132
132
Slide 133
133
Slide 134
134
Slide 135
135
Slide 136
136
Slide 137
137

About This Presentation

Dampak farmasi lingkungan


Slide Content

Kuliah Dampak Farmasi Lingkungan Berbasis OBE (Outcome-Based Education)

Pendahuluan Bab 1. Konsep Dasar Farmasi Lingkungan 1.1 Sejarah dan Ruang Lingkup Farmasi Lingkungan Farmasi lingkungan lahir dari kesadaran bahwa penggunaan obat , selain membawa manfaat terapeutik , juga meninggalkan jejak pada ekosistem . Sejak tahun 1970-an, penelitian mulai menemukan residu antibiotik , hormon , dan analgesik di air limbah serta sungai yang menerima buangan dari rumah sakit dan industri farmasi ( Kümmerer , 2010) . Temuan ini mendorong munculnya disiplin baru yang mengkaji hubungan antara farmasi dan keberlanjutan lingkungan . Ruang lingkup farmasi lingkungan mencakup siklus hidup obat mulai dari produksi , distribusi , konsumsi , hingga pembuangan , serta dampaknya terhadap kesehatan manusia dan ekosistem ( Daughton , 2003) . Lingkup ini tidak hanya menekankan pencegahan pencemaran , tetapi juga pengembangan pendekatan farmasi berkelanjutan (green pharmacy), yakni merancang , menggunakan , dan mengelola obat agar aman bagi pasien sekaligus ramah lingkungan ( Daughton & Ruhoy , 2011) .

Pendahuluan 1.2 Urgensi Farmasi Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan menekankan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 1) 1.2 Urgensi Farmasi Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan menekankan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan . Obat-obatan , terutama antibiotik , sitostatika , dan hormon , diketahui memiliki potensi bioakumulasi , resistensi antimikroba , dan gangguan ekosistem jika tidak dikelola dengan baik ( Helwig et al., 2024) . Dalam konteks Sustainable Development Goals (SDGs), farmasi lingkungan berkontribusi pada tujuan kesehatan yang baik (SDG 3) dan lingkungan yang bersih (SDG 6 & 12). Oleh karena itu , pengelolaan limbah farmasi bukan hanya isu teknis , melainkan bagian dari tanggung jawab sosial profesi kefarmasian (Toma & Crișan , 2021) .

Pendahuluan (lanjutan 1) 1.3 Keterkaitan Farmasi Lingkungan dengan Profesi Apoteker Apoteker memiliki peran strategis dalam mencegah dampak negatif obat terhadap lingkungan . Peran tersebut mencakup edukasi pasien tentang cara membuang obat yang benar , advokasi kebijakan pengelolaan limbah farmasi , serta partisipasi dalam penelitian obat ramah lingkungan (green drugs) (Mohiuddin, 2020) . Selain itu , apoteker rumah sakit dan komunitas juga menjadi garda depan dalam program pharmEcovigilance , yaitu pemantauan dampak ekologis dari penggunaan obat ( Daughton , 2011) .

Pendahuluan (lanjutan 2) Dengan demikian , farmasi lingkungan menegaskan bahwa profesi apoteker tidak hanya bertanggung jawab atas keselamatan pasien , tetapi juga atas keberlanjutan ekosistem global ( Sahu , 2024) . 📚 Daftar Pustaka Daughton , C.G. (2003). Environmental stewardship of pharmaceuticals: The green pharmacy. International Conference on Pharmaceuticals and the Environment. Daughton , C.G., & Ruhoy , I.S. (2011). Green pharmacy and pharmEcovigilance : prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. Helwig , K., Niemi, L., & Stenuick , J.Y. (2024). Broadening the perspective on reducing pharmaceutical residues in the environment. Environmental Toxicology and Chemistry, 43(3), 653–664. Kümmerer , K. (2010). Pharmaceuticals in the environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Mohiuddin, A.K. (2020). The excellence of pharmacy practice. Innovations in Pharmacy, 11(3), 1–15. Sahu , A. (2024).

Pendahuluan (lanjutan 3) 2.1 Siklus Hidup Obat (Pharmaceutical Life Cycle) Siklus hidup obat adalah rangkaian perjalanan suatu produk farmasi sejak dirancang hingga akhirnya menjadi limbah . Tahapan ini mencakup penelitian dan pengembangan (research and development/R&D), produksi oleh industri farmasi , distribusi , penggunaan oleh pasien , hingga tahap akhir berupa pembuangan atau masuknya residu ke lingkungan . Setiap tahapan memiliki potensi menghasilkan residu farmasi yang dapat mencemari ekosistem ( Kümmerer , 2010). Pada tahap penelitian dan pengembangan , senyawa kimia baru diuji efektivitas dan keamanannya . Namun , proses ini juga berpotensi menghasilkan limbah laboratorium dalam jumlah kecil , yang jika tidak dikelola dengan baik dapat masuk ke lingkungan . Tahap produksi industri farmasi sering menjadi salah satu sumber utama pencemaran . Bahan baku aktif farmasi (active pharmaceutical ingredients, API) dapat lolos ke air limbah industri . Hal ini terutama terjadi di negara dengan regulasi lingkungan yang lemah dan sistem pengolahan limbah yang belum memadai (Alzola-Andrés et al., 2024).

Pendahuluan (lanjutan 4) Oleh karena itu , industri farmasi memiliki tanggung jawab besar untuk menerapkan good manufacturing practice (GMP) yang ramah lingkungan . Tahap distribusi dan konsumsi juga menyumbang residu farmasi . Obat kedaluwarsa yang tidak digunakan sering kali dibuang dengan cara yang tidak tepat , misalnya ke toilet, saluran air, atau tempat sampah biasa . Praktik ini , yang umum terjadi di banyak negara termasuk Indonesia, mempercepat masuknya senyawa aktif ke lingkungan ( Daughton , 2003). Tahap pembuangan menjadi titik kritis dalam siklus hidup obat . Tidak semua obat yang dikonsumsi pasien akan dimetabolisme sempurna dalam tubuh . Sebagian besar senyawa aktif , termasuk metabolitnya , dikeluarkan melalui urin atau feses . Senyawa ini kemudian masuk ke sistem pengolahan air limbah kota . Sayangnya , sebagian besar instalasi pengolahan air limbah (IPAL) konvensional dirancang untuk mengurangi beban organik dan mikroba , bukan untuk menguraikan molekul farmasi kompleks ( Daughton & Ruhoy , 2011). Akibatnya , residu farmasi tetap bertahan dalam ekosistem perairan dan dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap organisme akuatik maupun kesehatan manusia .

Pendahuluan (lanjutan 5) Dengan memahami siklus hidup obat ini , pembaca dapat melihat bahwa dampak farmasi terhadap lingkungan tidak hanya terjadi di ujung siklus ( saat pembuangan ), melainkan sudah dimulai sejak tahap awal . Kesadaran ini penting agar setiap pemangku kepentingan – mulai dari peneliti , industri farmasi , apoteker , hingga pasien – dapat mengambil peran dalam meminimalkan pencemaran farmasi . Pemahaman siklus hidup juga menegaskan perlunya pendekatan green pharmacy, yakni perancangan dan penggunaan obat yang mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem secara menyeluruh .

Pendahuluan (lanjutan 5) 2.2 Jalur Pencemaran Farmasi ke Lingkungan Obat-obatan yang tidak sepenuhnya terdegradasi atau dikelola dengan baik dapat memasuki lingkungan melalui berbagai jalur . Jalur pencemaran ini penting untuk dipahami karena menentukan titik intervensi dalam upaya mitigasi . Secara umum , terdapat empat jalur utama pencemaran farmasi , yaitu dari industri farmasi , fasilitas kesehatan , rumah tangga , serta pembuangan limbah padat . 1). Limbah Industri Farmasi Industri farmasi merupakan salah satu penyumbang residu farmasi dengan konsentrasi tinggi .

Pendahuluan (lanjutan 6) Proses produksi obat menghasilkan air limbah yang mengandung active pharmaceutical ingredients (API), pelarut organik , dan produk samping sintesis kimia . Studi di India menunjukkan bahwa kadar ciprofloxacin dalam air limbah industri dapat mencapai lebih dari 30 mg/L, jauh melampaui ambang batas lingkungan aman (Larsson et al., 2007). Kondisi ini menggambarkan bahwa apabila regulasi dan sistem pengolahan limbah tidak ketat , industri farmasi dapat menjadi sumber utama pencemaran obat . 2). Limbah Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Fasilitas kesehatan , seperti rumah sakit dan klinik , menghasilkan limbah cair yang mengandung campuran obat dari pasien rawat inap maupun rawat jalan . Air limbah rumah sakit diketahui membawa residu antibiotik , analgesik , sitostatika , serta hormon yang diekskresikan melalui urin dan feses pasien (Alzola-Andrés et al., 2024). Sayangnya , instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit di banyak negara berkembang , termasuk Indonesia, belum dirancang untuk menyisihkan molekul farmasi kompleks . Akibatnya , residu tersebut bercampur dengan limbah kota dan akhirnya bermuara ke sungai atau badan air lain.

Pendahuluan (lanjutan 7) 3). Limbah Domestik ( Rumah Tangga ) Penggunaan obat di tingkat rumah tangga juga berkontribusi besar terhadap pencemaran . Setelah dikonsumsi , sebagian obat tidak dimetabolisme sempurna dalam tubuh dan dikeluarkan dalam bentuk zat aktif melalui urin atau feses . Obat-obatan ini kemudian masuk ke saluran pembuangan rumah tangga dan bermuara ke instalasi pengolahan limbah . Selain itu , obat kedaluwarsa atau sisa yang dibuang langsung ke toilet atau tempat sampah memperburuk akumulasi residu farmasi di lingkungan ( Rahmawati & Bajorek , 2017). Fenomena ini menunjukkan perlunya program medicine take-back di apotek atau rumah sakit sebagai solusi preventif . 4). Limbah Padat dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Obat-obatan yang dibuang bersama sampah padat akhirnya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dalam kondisi tertentu , kandungan farmasi dapat larut ke dalam air hujan dan membentuk lindi yang merembes ke tanah serta mencemari air tanah (Toma & Crișan , 2021). Kontaminasi melalui jalur ini bersifat jangka panjang karena molekul farmasi dapat bertahan lama dalam tanah sebelum akhirnya mencapai sumber air minum .

Pendahuluan (lanjutan 8) 2.3 Dampak Jalur Pencemaran terhadap Ekosistem Meskipun konsentrasi senyawa farmasi yang terdeteksi di lingkungan umumnya sangat rendah , berkisar antara nanogram per liter (ng/L) hingga mikrogram per liter (µg/L), dampaknya tetap signifikan . Hal ini disebabkan karena sifat senyawa farmasi yang bioaktif , persisten , dan dirancang untuk memberikan efek biologis spesifik pada target terapeutiknya . Ketika senyawa ini masuk ke ekosistem , ia dapat memengaruhi organisme non-target melalui mekanisme fisiologis yang sama ( Kümmerer , 2010). 1). Efek Genotoksik dan Karsinogenik Beberapa obat , khususnya kelompok sitostatika yang digunakan dalam kemoterapi , bersifat mutagenik dan karsinogenik . Apabila senyawa ini masuk ke lingkungan , meskipun dalam kadar rendah , dapat menyebabkan kerusakan DNA pada organisme akuatik dan meningkatkan risiko kanker pada hewan maupun manusia yang terpapar dalam jangka panjang ( Kümmerer , 2010). Efek ini menimbulkan kekhawatiran serius karena sifat akumulatifnya .

Pendahuluan (lanjutan 9) 2). Resistensi Antimikroba (AMR) Residu antibiotik yang dibuang ke lingkungan menciptakan kondisi selektif bagi bakteri . Paparan jangka panjang terhadap konsentrasi subterapeutik mendorong terbentuknya strain bakteri yang resisten terhadap berbagai antibiotik (Larsson et al., 2007). Fenomena ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya resistensi antimikroba , yang kini diakui WHO sebagai ancaman kesehatan global terbesar abad ke-21. Dengan demikian , pencemaran farmasi memiliki implikasi tidak hanya bagi ekosistem , tetapi juga langsung terhadap kesehatan masyarakat .

Pendahuluan (lanjutan 9) 3). Gangguan Endokrin dan Reproduksi Hormon sintetis , seperti etinilestradiol dari pil kontrasepsi , memiliki potensi mengganggu sistem endokrin organisme akuatik . Penelitian menunjukkan bahwa ikan jantan di perairan yang terkontaminasi mengalami feminisasi , termasuk perubahan morfologi dan penurunan kesuburan (Kidd et al., 2007). Dampak ini mengancam keseimbangan populasi ikan dan pada akhirnya mengganggu rantai makanan ekosistem perairan . 4). Efek Subletal pada Organisme Non-Target Selain efek yang jelas terlihat , pencemaran farmasi juga dapat menimbulkan efek subletal yang lebih halus , seperti perubahan perilaku , gangguan imunitas , serta penurunan laju pertumbuhan pada organisme air.

Pendahuluan (lanjutan 10) Misalnya , paparan jangka panjang analgesik atau antidepresan dalam konsentrasi rendah diketahui mengubah pola makan dan perilaku ikan ( Helwig et al., 2024). Walaupun tidak menyebabkan kematian langsung , efek ini dapat mengurangi daya saing organisme dan memengaruhi struktur ekosistem . 5). Bioakumulasi dan Biomagnifikasi Beberapa senyawa farmasi bersifat lipofilik , sehingga dapat terakumulasi dalam jaringan organisme (bioaccumulation). Jika organisme tersebut dimakan oleh predator, konsentrasi senyawa dapat meningkat sepanjang rantai makanan (biomagnification). Kasus klasik adalah kematian massal burung pemakan bangkai akibat residu diclofenac dari ternak di India, yang menimbulkan kerusakan ekosistem dalam skala besar (Oaks et al., 2004).

Pendahuluan (lanjutan 10) Kesimpulan Subbab Dengan demikian , jalur pencemaran farmasi memberikan berbagai dampak serius terhadap ekosistem , mulai dari efek genotoksik , resistensi antimikroba , gangguan hormonal, efek subletal , hingga bioakumulasi . Walaupun konsentrasinya rendah , sifat bioaktif dan persisten membuat residu farmasi menjadi ancaman nyata bagi keanekaragaman hayati dan kesehatan masyarakat .

Pendahuluan (lanjutan 11) Oleh karena itu , memahami dampak ini merupakan langkah awal yang krusial dalam menyusun strategi mitigasi berbasis ilmiah dan kebijakan lingkungan yang lebih ketat .. 📚 Daftar Pustaka : Alzola-Andrés, M., Domingo- Echaburu , S., et al. (2024). Pharmaceuticals in the environment: A hospital pharmacy perspective. Farmacia Hospitalaria . Daughton , C.G. (2003). Environmental stewardship of pharmaceuticals: The green pharmacy. International Conference on Pharmaceuticals and the Environment. Daughton , C.G., & Ruhoy , I.S. (2011). Green pharmacy and pharmEcovigilance : prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. Helwig , K., Niemi, L., & Stenuick , J.Y. (2024). Broadening the perspective on reducing pharmaceutical residues in the environment. Environmental Toxicology and Chemistry, 43(3), 653–664. Kümmerer , K. (2010). Pharmaceuticals in the environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Toma, A., & Crișan , O. (2021).

Pendahuluan (lanjutan 12) Limbah Farmasi : Klasifikasi dan Dampaknya 3.1 Definisi Limbah Farmasi Limbah farmasi adalah sisa produk obat atau bahan kimia farmasi yang tidak digunakan , kedaluwarsa , rusak , terkontaminasi , atau tidak lagi diperlukan , baik dalam bentuk padat , cair , maupun gas, yang berpotensi menimbulkan risiko kesehatan dan lingkungan (WHO, 2012). Limbah ini dikategorikan sebagai bagian dari limbah B3 ( Bahan Berbahaya dan Beracun ) karena kandungan aktifnya dapat berdampak toksik pada organisme non-target ( Kümmerer , 2010). 3.2 Klasifikasi Limbah Farmasi Limbah farmasi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok : Limbah Obat Kedaluwarsa dan Tidak Terpakai Meliputi obat yang telah melewati masa berlaku , obat dengan kemasan rusak , atau obat yang ditarik dari peredaran . Bila dibuang sembarangan , dapat menimbulkan risiko resistensi mikroba atau keracunan pada hewan ( Daughton , 2003). Limbah Industri Farmasi Menghasilkan residu bahan baku aktif (active pharmaceutical ingredients, API), pelarut organik , dan limbah cair yang dapat mencemari sungai , tanah , serta air tanah (Alzola-Andrés et al., 2024).

Pendahuluan (lanjutan 13) Limbah Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Mengandung campuran obat sitostatika , antibiotik , analgesik , dan hormon yang diekskresikan pasien . Seringkali bercampur dengan limbah medis lain, meningkatkan kompleksitas pengolahannya (Toma & Crișan , 2021). Limbah Domestik ( Rumah Tangga ) Obat sisa dari pasien rawat jalan yang dibuang ke tempat sampah atau toilet. Studi menunjukkan obat pereda nyeri seperti ibuprofen dan paracetamol sering ditemukan dalam air limbah perkotaan ( Helwig et al., 2024). Limbah Penelitian dan Pendidikan Berasal dari laboratorium farmasi atau penelitian akademik , yang dapat mengandung bahan kimia berbahaya dalam konsentrasi kecil namun beragam ( Sahu , 2024).

Pendahuluan (lanjutan 13) 3.3 Dampak Limbah Farmasi terhadap Lingkungan Dampak Ekologis Residu obat yang masuk ke lingkungan memiliki dampak serius terhadap keseimbangan ekosistem . Berbeda dengan polutan organik biasa , senyawa farmasi bersifat bioaktif dan didesain untuk bekerja pada sistem biologis tertentu , sehingga walaupun dalam konsentrasi rendah , mereka dapat memengaruhi organisme non-target. 1). Gangguan Endokrin Hormon sintetis seperti etinilestradiol , yang digunakan dalam kontrasepsi oral, merupakan salah satu senyawa farmasi paling banyak diteliti dalam konteks pencemaran lingkungan . Konsentrasi hanya beberapa nanogram per liter (ng/L) dalam air sudah cukup untuk menyebabkan feminisasi ikan jantan , penurunan jumlah sperma , dan gangguan fungsi reproduksi (Kidd et al., 2007; Kümmerer , 2010). Jika berlangsung terus-menerus , fenomena ini dapat mengakibatkan penurunan populasi ikan secara signifikan .

Pendahuluan (lanjutan 14) 2). Penurunan Keanekaragaman Hayati Beberapa kelompok obat , terutama antibiotik , dapat mengganggu keseimbangan mikroorganisme di lingkungan perairan maupun tanah . Antibiotik yang terakumulasi dapat membunuh mikroba sensitif , sehingga hanya mikroorganisme resisten yang bertahan . Hal ini menurunkan keanekaragaman hayati mikroba dan mengubah fungsi ekosistem , misalnya dalam proses dekomposisi bahan organik atau siklus nutrien (Larsson et al., 2007). 3). Gangguan pada Satwa Liar Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) seperti diclofenac menjadi penyebab utama kematian massal burung pemakan bangkai (vulture) di India dan Pakistan.

Pendahuluan (lanjutan 15) Burung-burung ini mengalami gagal ginjal akut setelah mengonsumsi bangkai ternak yang terkontaminasi diclofenac. Akibatnya , populasi vulture menurun drastis hingga lebih dari 90% dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun (Oaks et al., 2004). Dampak ekologis ini berlanjut pada peningkatan populasi hewan liar seperti anjing liar yang memakan bangkai , yang pada gilirannya meningkatkan risiko rabies pada manusia . 4). Efek Subletal pada Ikan dan Organisme Air Selain menyebabkan kematian , obat-obatan dalam konsentrasi rendah dapat menimbulkan efek subletal pada ikan dan organisme akuatik . Contohnya , paparan fluoxetine ( antidepresan ) mengubah perilaku ikan, termasuk menurunkan respon terhadap predator, sehingga meningkatkan risiko kematian tidak langsung ( Helwig et al., 2024). Analgesik seperti ibuprofen juga dapat mengganggu pertumbuhan dan fungsi hati pada ikan meskipun pada konsentrasi µg/L.

Pendahuluan (lanjutan 15) 5). Bioakumulasi dan Biomagnifikasi Senyawa farmasi tertentu yang bersifat lipofilik dapat terakumulasi dalam jaringan organisme air. Senyawa ini kemudian berpindah ke tingkat trofik lebih tinggi melalui rantai makanan , menyebabkan konsentrasi meningkat pada predator puncak . Misalnya , beberapa antidepresan ditemukan terakumulasi dalam jaringan ikan dan kerang , yang kemudian dikonsumsi manusia , sehingga memperluas risiko ke dalam sistem pangan ( Kümmerer , 2010).

Pendahuluan (lanjutan 16) Kesimpulan Subbab Dampak Ekologis Dampak ekologis residu obat mencakup gangguan hormonal, penurunan keanekaragaman hayati , kematian satwa liar, perubahan perilaku organisme air, serta bioakumulasi dalam rantai makanan . Efek ini menunjukkan bahwa pencemaran farmasi bukan sekadar isu teknis , melainkan ancaman serius bagi keberlanjutan ekosistem . Oleh karena itu , diperlukan langkah terpadu berupa pemantauan residu , pengendalian limbah , serta penerapan green pharmacy untuk menekan dampak ekologis jangka panjang.Resistensi Antimikroba (AMR) Antibiotik yang terbuang ke lingkungan memicu perkembangan resistensi bakteri . WHO menyatakan AMR adalah salah satu ancaman kesehatan global terbesar abad ini , dengan salah satu pemicunya berasal dari limbah farmasi (WHO, 2012). Dampak pada Kesehatan Manusia Residu farmasi dalam lingkungan tidak hanya berdampak pada ekosistem , tetapi juga menimbulkan risiko bagi manusia melalui air minum , rantai makanan , udara , serta kontak langsung dengan limbah farmasi .

Pendahuluan (lanjutan 17) Walaupun konsentrasinya seringkali rendah , sifat bioaktif obat membuat paparan kronis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius . 1). Gangguan Hormonal (Endocrine Disruption) Beberapa senyawa farmasi , khususnya hormon sintetis seperti etinilestradiol dari pil kontrasepsi , dapat masuk ke dalam air minum . Paparan jangka panjang meskipun pada kadar ng/L berpotensi mengganggu sistem endokrin manusia . Efeknya antara lain gangguan reproduksi , perubahan fungsi seksual , serta peningkatan risiko kelainan perkembangan pada anak (Kidd et al., 2007). 2). Toksisitas Hati dan Ginjal Obat analgesik dan antiinflamasi nonsteroid (NSAID) seperti ibuprofen dan diclofenac, jika masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum atau makanan laut , dapat menimbulkan gangguan fungsi hati dan ginjal . Paparan kronis dapat menyebabkan akumulasi metabolit toksik , yang dalam jangka panjang meningkatkan risiko penyakit hati kronis ( Kümmerer , 2010).

Pendahuluan (lanjutan 18) 3). Risiko Karsinogenik dari Obat Sitostatika Obat sitostatika yang digunakan untuk kemoterapi bersifat mutagenik , teratogenik , dan karsinogenik . Paparan terhadap residu sitostatika melalui air minum atau makanan laut berpotensi meningkatkan risiko kanker pada manusia ( Daughton & Ruhoy , 2011). Hal ini menjadi isu penting karena limbah sitostatika masih sering ditemukan dalam limbah rumah sakit di negara berkembang . 4). Resistensi Antimikroba (Antimicrobial Resistance, AMR) Paparan antibiotik melalui air atau pangan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kolonisasi mikroba resisten di tubuh manusia . Infeksi akibat bakteri resisten jauh lebih sulit diobati , memerlukan biaya tinggi , dan meningkatkan angka mortalitas . WHO (2021) menegaskan bahwa AMR merupakan ancaman kesehatan global utama , dan limbah farmasi merupakan salah satu kontributor penting .

Pendahuluan (lanjutan 18) 5). Akumulasi Melalui Rantai Makanan Residu farmasi yang masuk ke sungai atau laut dapat terakumulasi dalam ikan, kerang , maupun tumbuhan air. Konsumsi pangan yang terkontaminasi menyebabkan paparan tidak langsung pada manusia . Misalnya , antibiotik yang terdeteksi pada produk perikanan dapat meningkatkan paparan subterapeutik pada konsumen , yang berkontribusi pada AMR ( Kristanti et al., 2020). 6). Efek Neurotoksik dan Psikologis Beberapa obat psikoaktif , seperti fluoxetine ( antidepresan ), ditemukan dalam air limbah dan dapat masuk ke air permukaan . Walaupun data pada manusia masih terbatas , potensi dampak neurotoksik dari paparan jangka panjang tetap menjadi perhatian , termasuk kemungkinan gangguan fungsi kognitif dan psikologis ( Helwig et al., 2024).

Pendahuluan (lanjutan 19) Kesimpulan Subbab Dampak pada Kesehatan Manusia Paparan kronis residu farmasi melalui air minum , pangan , maupun kontak langsung dengan limbah menimbulkan berbagai risiko , antara lain: Gangguan hormonal ( efek endokrin ) Kerusakan hati dan ginjal Risiko karsinogenik dari sitostatika Resistensi antimikroba (AMR) Akumulasi melalui rantai makanan Efek neurotoksik dan psikologis Dengan demikian , pencemaran farmasi bukan hanya masalah lingkungan , tetapi juga masalah kesehatan masyarakat . Oleh karena itu , strategi mitigasi yang melibatkan monitoring residu , regulasi ketat , serta peran apoteker dalam edukasi dan advokasi sangat diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia .

Pendahuluan (lanjutan 20) Pencemaran Tanah dan Air Tanah Pembuangan obat padat secara sembarangan , terutama di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), merupakan salah satu jalur pencemaran yang sering diabaikan . Obat-obatan yang tidak dikelola dengan baik dapat terurai secara perlahan atau larut bersama air hujan , membentuk lindi yang merembes ke tanah . Lindi ini kemudian masuk ke lapisan air tanah , yang pada akhirnya dapat mencapai sumur atau sumber air minum masyarakat . Beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa farmasi , seperti analgesik diclofenac, ibuprofen, serta antibiotik tertentu , telah terdeteksi dalam air tanah di beberapa negara Asia, termasuk India dan Tiongkok ( Helwig et al., 2024). Konsentrasi yang ditemukan memang relatif rendah (µg/L), tetapi sifat persisten dan bioaktif senyawa farmasi menjadikan keberadaannya berpotensi menimbulkan efek jangka panjang pada kesehatan manusia maupun ekosistem tanah . Dampak terhadap ekosistem tanah antara lain adalah terganggunya komunitas mikroba yang berperan dalam siklus nutrien . Antibiotik yang mencemari tanah dapat menurunkan keanekaragaman mikroba , memicu resistensi , serta memengaruhi kesuburan tanah .

Pendahuluan (lanjutan 21) Sementara itu , akumulasi farmasi dalam air tanah berisiko masuk ke rantai pangan melalui tanaman yang menyerap air terkontaminasi . Hal ini menunjukkan bahwa pencemaran tanah dan air tanah akibat limbah farmasi merupakan masalah multidimensi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat , lingkungan , dan keamanan pangan . 3.4 Pentingnya Pengelolaan Limbah Farmasi Pengelolaan limbah farmasi memiliki arti penting yang lebih luas daripada sekadar mencegah pencemaran . Ia merupakan bagian integral dari praktik kefarmasian berkelanjutan yang bertujuan melindungi kesehatan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian lingkungan . Ada beberapa alasan mengapa pengelolaan limbah farmasi sangat krusial : Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Residu farmasi di lingkungan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum , udara , atau rantai makanan . Tanpa pengelolaan yang memadai , masyarakat berisiko terpapar obat dalam dosis kecil namun kronis , yang dapat menimbulkan gangguan hormonal, kerusakan organ, atau resistensi antibiotik (WHO, 2012).

Pendahuluan (lanjutan 22) Menjaga Keseimbangan Ekosistem Senyawa farmasi yang masuk ke perairan dan tanah dapat menimbulkan gangguan ekologis, mulai dari feminisasi ikan, kematian burung pemakan bangkai akibat diclofenac, hingga perubahan fungsi mikroba tanah. Pengelolaan limbah yang baik mencegah kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan. Kepatuhan Regulasi Nasional dan Global Di Indonesia, limbah farmasi termasuk kategori limbah B3 sebagaimana diatur dalam PP No. 101 Tahun 2014 dan Permenkes No. 18 Tahun 2020. Pengelolaan yang tepat bukan hanya kewajiban etis, tetapi juga kewajiban hukum bagi fasilitas kesehatan dan industri farmasi. Peran Apoteker dalam Pengelolaan Limbah Apoteker memiliki peran sentral dalam memastikan limbah farmasi dikelola dengan benar. Peran ini mencakup: Edukasi masyarakat: Mengajarkan pasien cara mengembalikan obat kedaluwarsa ke apotek melalui take-back program. Pengawasan fasilitas kesehatan: Memastikan limbah obat rumah sakit dipilah, disimpan, dan dimusnahkan sesuai standar. Advokasi kebijakan: Mendukung kebijakan green pharmacy yang berorientasi pada lingkungan (Mohiuddin, 2020).

Pendahuluan (lanjutan 23) Inovasi farmasi lingkungan : Mendorong penelitian untuk mengembangkan metode pengolahan limbah farmasi yang lebih ramah lingkungan , seperti advanced oxidation processes atau fitoremediasi . Mendukung Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Pengelolaan limbah farmasi sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), khususnya SDG 3 (Good Health and Well-being), SDG 6 (Clean Water and Sanitation), dan SDG 12 (Responsible Consumption and Production). Kesimpulan Subbab Pencemaran tanah dan air tanah akibat limbah farmasi adalah masalah serius yang sering kali tersembunyi karena dampaknya bersifat jangka panjang . Oleh karena itu , pengelolaan limbah farmasi yang tepat menjadi sangat penting , tidak hanya sebagai kewajiban regulasi , tetapi juga sebagai wujud tanggung jawab profesi apoteker dalam menjaga kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan

Pendahuluan (lanjutan 24) Daughton , C.G., & Ruhoy , I.S. (2011). Green pharmacy and pharmEcovigilance : prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. Helwig , K., Niemi, L., & Stenuick , J.Y. (2024). Broadening the perspective on reducing pharmaceutical residues in the environment. Environmental Toxicology and Chemistry, 43(3), 653–664. Kümmerer , K. (2010). Pharmaceuticals in the environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Mohiuddin, A.K. (2020). The excellence of pharmacy practice. Innovations in Pharmacy, 11(3), 1–15. Sahu , A. (2024). Pharmacist roles reimagined: Embracing planetary health perspectives. Journal of Pharmacotherapy and Clinical Research, 11(2), 45–56. Toma, A., & Crișan , O. (2021). Research on developing environmental ethics in pharmacists’ activities: Green pharmacy practice. Environmental Health, 20(1), 89. PDF WHO (2012). Safe Management of Wastes from Health-Care Activities. World Health Organization. WHO (2021). Global Action Plan on Antimicrobial Resistance. Geneva: World Health Organization. Kristanti , R.A., Hadibarata , T., et al. (2020).

Pendahuluan (lanjutan 25) Bab 4. Toksikologi Lingkungan Farmasi 4.1 Konsep Dasar Toksikologi Lingkungan Toksikologi lingkungan adalah cabang ilmu yang mempelajari bagaimana zat kimia , termasuk bahan pencemar , memengaruhi organisme hidup dan ekosistem . Berbeda dengan toksikologi klasik yang umumnya berfokus pada efek zat kimia terhadap individu manusia atau hewan laboratorium , toksikologi lingkungan memperluas kajian hingga ke tingkat populasi , komunitas , dan fungsi ekosistem (Landis et al., 2017). Dalam konteks farmasi lingkungan , toksikologi lingkungan menjadi sangat relevan karena obat-obatan modern memiliki sifat bioaktif , artinya senyawa tersebut didesain untuk berinteraksi dengan sistem biologis secara spesifik . Akibatnya , ketika obat atau metabolitnya terlepas ke lingkungan , ia tidak menjadi senyawa netral , tetapi tetap berpotensi menimbulkan efek biologis pada organisme non-target ( Kümmerer , 2010). Obat yang tidak sepenuhnya terdegradasi dapat bertahan di air, tanah , maupun sedimen .

Pendahuluan (lanjutan 26) Beberapa bahkan bersifat persisten ( sulit terurai ) dan lipofilik ( mudah larut dalam lemak), sehingga cenderung terakumulasi dalam jaringan organisme air atau tanah . Keberadaan senyawa farmasi dalam lingkungan dapat menimbulkan efek akut ( misalnya kematian organisme dalam waktu singkat akibat konsentrasi tinggi ) maupun efek kronis ( gangguan hormonal, perubahan perilaku , penurunan reproduksi , atau efek karsinogenik akibat paparan jangka panjang dengan konsentrasi rendah ). Bidang khusus dalam toksikologi lingkungan yang menyoroti dampak obat disebut ecotoxicology. Ecotoxicology menilai bagaimana senyawa farmasi memengaruhi organisme pada berbagai tingkat : Tingkat molekuler : interaksi obat dengan reseptor sel pada organisme non-target. Tingkat organisme : misalnya gangguan pertumbuhan , perubahan perilaku , atau kerusakan organ. Tingkat populasi : penurunan jumlah populasi ikan karena paparan hormon sintetis . Tingkat ekosistem : terganggunya rantai makanan atau perubahan struktur komunitas biota perairan . Pendekatan ini penting karena efek lingkungan tidak selalu terlihat secara langsung .

Pendahuluan (lanjutan 27) Sebagai contoh, paparan hormon sintetis etinilestradiol dalam konsentrasi nanogram per liter mungkin tidak membunuh ikan secara akut, tetapi dapat mengurangi fertilitas generasi demi generasi hingga populasi ikan mengalami kolaps (Kidd et al., 2007). Selain itu, toksikologi lingkungan juga mempertimbangkan fenomena efek campuran (mixture effects). Lingkungan tidak hanya mengandung satu jenis obat, melainkan campuran berbagai senyawa farmasi, pestisida, logam berat, dan polutan lain. Interaksi senyawa ini dapat bersifat aditif (efek bertambah), sinergis (efek lebih besar daripada jumlah komponennya), atau bahkan antagonis (efek berkurang). Hal ini membuat penilaian risiko pencemaran farmasi menjadi lebih kompleks dibandingkan toksikologi klasik. Kesimpulan Subbab Secara ringkas, toksikologi lingkungan dalam farmasi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana residu obat memengaruhi organisme dan ekosistem. Fokusnya bukan hanya pada kematian akut, tetapi juga pada dampak kronis, akumulatif, dan multi-level, mulai dari molekul hingga ekosistem.

Pendahuluan (lanjutan 28) Pemahaman konsep ini membantu mahasiswa menyadari bahwa setiap obat yang kita konsumsi dan buang dapat meninggalkan jejak ekologis yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan dalam jangka panjang . 4.2 Jalur Masuk Senyawa Farmasi ke Ekosistem Senyawa farmasi dapat memasuki lingkungan melalui berbagai jalur , baik dari aktivitas industri , fasilitas pelayanan kesehatan , maupun penggunaan obat di rumah tangga . Jalur ini penting untuk dipahami karena menentukan di mana intervensi mitigasi harus dilakukan . Secara umum , ada empat sumber utama masuknya senyawa farmasi ke ekosistem , yaitu : 1). Air Limbah Rumah Sakit Rumah sakit merupakan salah satu penyumbang residu farmasi yang signifikan . Pasien rawat inap sering menerima terapi dengan antibiotik , sitostatika , analgesik , dan obat hormonal. Senyawa aktif maupun metabolitnya diekskresikan melalui urin dan feses , kemudian bercampur dalam limbah cair rumah sakit . Sayangnya , instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit di banyak negara berkembang belum dirancang untuk menguraikan senyawa farmasi kompleks , sehingga residu akhirnya masuk ke badan air (Alzola-Andrés et al., 2024).

Pendahuluan (lanjutan 29) 2). Limbah Industri Farmasi Industri farmasi menghasilkan limbah dalam jumlah besar , khususnya dari proses sintesis kimia bahan baku aktif (active pharmaceutical ingredients, API). Jika sistem pengolahan tidak optimal, residu API dapat langsung mencemari perairan . Contoh kasus di India menunjukkan kadar antibiotik ciprofloxacin di air limbah industri mencapai puluhan miligram per liter, yang jauh melebihi konsentrasi terapeutik (Larsson et al., 2007). Hal ini tidak hanya mencemari lingkungan , tetapi juga memicu seleksi bakteri resisten . 3). Pembuangan Domestik ( Rumah Tangga ) Penggunaan obat di rumah tangga menyumbang pencemaran yang lebih tersebar tetapi signifikan . Banyak obat yang dikonsumsi tidak dimetabolisme sempurna dalam tubuh , sehingga diekskresikan dalam bentuk aktif . Obat sisa atau kedaluwarsa juga sering dibuang ke toilet atau tempat sampah . Praktik ini memperbesar peluang masuknya senyawa farmasi ke saluran air dan akhirnya ke sistem lingkungan ( Rahmawati & Bajorek , 2017).

Pendahuluan (lanjutan 30) 4). Ekskresi Pasien di Komunitas Selain pasien rawat inap , pasien rawat jalan yang menggunakan obat di rumah juga menghasilkan residu farmasi melalui ekskresi . Karena jumlah pasien rawat jalan jauh lebih besar dibandingkan rawat inap , kontribusi dari jalur ini justru menjadi salah satu yang paling dominan secara global ( Daughton & Ruhoy , 2011). Media Lingkungan yang Tercemar Setelah masuk melalui jalur di atas , senyawa farmasi dapat mencapai berbagai media lingkungan :

Pendahuluan (lanjutan 30) Air Permukaan ( sungai , danau , laut ) Residu farmasi dari limbah cair akhirnya bermuara ke sungai , danau , atau laut . Senyawa seperti antibiotik , analgesik , dan hormon telah terdeteksi pada konsentrasi ng/L hingga µg/L di berbagai badan air. Walaupun kecil , konsentrasi ini tetap signifikan karena paparan kronis dapat menimbulkan efek biologis pada organisme akuatik ( Helwig et al., 2024). Air Tanah Pembuangan obat padat di TPA menyebabkan obat terlarut dalam air hujan dan membentuk lindi . Lindi yang merembes ke tanah dapat mencemari air tanah , yang sering kali menjadi sumber air minum masyarakat . Obat analgesik seperti diclofenac dan ibuprofen telah terdeteksi dalam air tanah di beberapa negara Asia ( Helwig et al., 2024). 3). Tanah dan Sedimen Residu farmasi dapat terakumulasi dalam tanah dan sedimen sungai .

Pendahuluan (lanjutan 31) Molekul yang bersifat lipofilik cenderung menempel pada partikel tanah dan bertahan dalam jangka panjang . Kondisi ini mengubah struktur komunitas mikroba tanah , memengaruhi kesuburan , serta memungkinkan perpindahan residu ke tanaman melalui proses penyerapan akar . Kesimpulan Subbab Dengan demikian , jalur masuk senyawa farmasi ke ekosistem sangat beragam , mulai dari air limbah rumah sakit , industri farmasi , rumah tangga , hingga ekskresi pasien . Setelah masuk ke lingkungan , senyawa farmasi dapat menyebar ke air permukaan , air tanah , tanah , dan sedimen . Walaupun konsentrasi yang terdeteksi relatif rendah , sifat bioaktif dan persistennya membuat residu farmasi tetap berpotensi menimbulkan efek ekologis dan kesehatan masyarakat yang serius , terutama jika paparan berlangsung kronis . 4.3 Mekanisme Toksisitas Farmasi di Lingkungan Senyawa farmasi yang masuk ke lingkungan dapat menimbulkan efek toksik melalui berbagai mekanisme . Berbeda dengan polutan tradisional , obat-obatan didesain untuk berinteraksi dengan target biologis tertentu pada manusia . Oleh karena itu , ketika senyawa ini mengenai organisme non-target, efek yang muncul sering kali tidak terduga namun signifikan .

Pendahuluan (lanjutan 32) Mekanisme toksisitas utama meliputi bioakumulasi , biomagnifikasi , gangguan endokrin , serta efek subletal kronis . 1). Bioakumulasi Bioakumulasi terjadi ketika senyawa farmasi tersimpan dalam jaringan organisme lebih cepat daripada kemampuan organisme tersebut untuk menguraikan atau mengekskresinya . Senyawa lipofilik , seperti beberapa antidepresan ( misalnya fluoxetine dan sertraline), memiliki kecenderungan menumpuk dalam jaringan lemak ikan dan invertebrata akuatik (Landis et al., 2017). Konsekuensi : Konsentrasi obat dalam tubuh organisme bisa jauh lebih tinggi daripada konsentrasi di lingkungannya . Hal ini dapat mengganggu sistem saraf , perilaku makan , serta respon predator-prey pada organisme air. 2). Biomagnifikasi Biomagnifikasi adalah peningkatan konsentrasi senyawa farmasi sepanjang rantai makanan . Ketika organisme kecil ( misalnya plankton) terkontaminasi , senyawa ini berpindah ke organisme pemakan plankton (ikan kecil ), lalu ke predator yang lebih besar (ikan besar , burung , atau mamalia ). Contoh : Residu NSAID diclofenac telah terbukti menyebabkan gagal ginjal akut pada burung pemakan bangkai (vulture) di Asia Selatan.

Pendahuluan (lanjutan 33) Akibatnya , populasi burung ini menurun hingga 95% dalam kurang dari dua dekade (Oaks et al., 2004; Kümmerer , 2010). Implikasi ekologi : Hilangnya predator alami menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem . Di India, penurunan populasi vulture memicu peningkatan populasi anjing liar, yang kemudian meningkatkan kasus rabies pada manusia . 3). Gangguan Endokrin Gangguan endokrin (endocrine disruption) terjadi ketika senyawa farmasi meniru atau menghambat fungsi hormon alami dalam tubuh organisme . Salah satu contoh paling serius adalah etinilestradiol (EE2), estrogen sintetis yang banyak digunakan dalam kontrasepsi oral. Definisi dan Struktur : EE2 adalah turunan 17β-estradiol dengan gugus etinil (-C≡CH) pada posisi karbon-17, yang membuatnya lebih stabil dibanding estradiol alami ( Schönauer et al., 2020). Penggunaan Klinis : EE2 digunakan pada kontrasepsi oral kombinasi , terapi hormon menopause, serta pengobatan gangguan menstruasi , dengan dosis umum 20–35 µg/tablet. Farmakokinetika : Diserap dengan baik di usus, dimetabolisme di hati melalui cytochrome P450, dan sebagian diekskresikan aktif melalui urin dan feses .

Pendahuluan (lanjutan 34) Dampak Lingkungan : Karena bersifat persisten , EE2 sulit terurai dalam instalasi pengolahan limbah ( Kümmerer , 2010). Konsentrasi ng/L dalam air sudah cukup menyebabkan feminisasi ikan jantan , penurunan produksi sperma , hingga kolaps populasi ikan (Kidd et al., 2007). Dampak pada Manusia : Walaupun aman pada dosis terapeutik , paparan kronis EE2 melalui air minum yang terkontaminasi berpotensi menimbulkan gangguan hormonal pada anak-anak , risiko kanker , serta gangguan kesehatan reproduksi . WHO mengategorikan EE2 sebagai emerging contaminant yang perlu dipantau ketat . 4). Efek Subletal Selain efek akut dan letal , banyak senyawa farmasi menimbulkan efek subletal pada organisme non-target. Efek ini tidak langsung menyebabkan kematian , tetapi dapat mengganggu fungsi fisiologis , perilaku , dan kemampuan reproduksi . Antibiotik dalam konsentrasi rendah dapat mengubah komunitas mikroba akuatik , mengurangi kemampuan dekomposisi , serta menurunkan daya tahan tubuh ikan (Toma & Crișan , 2021). Antidepresan seperti fluoxetine dapat memengaruhi perilaku ikan, menurunkan kewaspadaan terhadap predator, dan mengganggu perilaku kawin .

Pendahuluan (lanjutan 35) Analgesik seperti ibuprofen pada konsentrasi µg/L dapat memengaruhi hati , ginjal , dan pertumbuhan ikan meskipun tidak menyebabkan kematian langsung . Efek subletal ini berbahaya karena sering tidak terlihat secara kasat mata , namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan penurunan populasi dan perubahan struktur ekosistem . Kesimpulan Subbab Mekanisme toksisitas farmasi di lingkungan meliputi bioakumulasi , biomagnifikasi , gangguan endokrin , dan efek subletal . Walaupun banyak senyawa ditemukan dalam konsentrasi rendah , sifat persisten , bioaktif , dan kronis dari senyawa farmasi membuat dampaknya signifikan terhadap ekosistem dan kesehatan manusia . Pemahaman mekanisme ini sangat penting agar mahasiswa farmasi mampu menilai risiko dan mendukung upaya mitigasi berbasis ilmu toksikologi lingkungan . 4.4 Dampak Toksikologi Lingkungan Farmasi Dampak toksikologi dari residu farmasi dalam lingkungan bersifat multidimensional, karena dapat mengenai berbagai kompartemen ekosistem (air, tanah , sedimen ) sekaligus memberi implikasi bagi kesehatan manusia . Walaupun sering terdeteksi dalam konsentrasi rendah , sifat persisten , bioaktif , dan kronis dari senyawa farmasi membuat pengaruhnya signifikan .

Pendahuluan (lanjutan 36) 1). Terhadap Ekosistem Air Perairan menjadi media utama pencemaran farmasi karena sebagian besar obat yang dikonsumsi manusia diekskresikan melalui urin dan feses lalu masuk ke saluran air limbah . Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) konvensional belum sepenuhnya mampu menguraikan senyawa farmasi , sehingga residu akhirnya bermuara ke sungai , danau , atau laut ( Helwig et al., 2024). Dampaknya meliputi : a. Gangguan biodiversitas : paparan antibiotik dapat menekan populasi mikroorganisme sensitif , sehingga hanya mikroba resisten yang bertahan . Hal ini mengubah struktur komunitas mikroba akuatik . b. Gangguan fisiologis ikan: obat analgesik (ibuprofen, diclofenac) dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal pada ikan meskipun pada konsentrasi rendah . c. Gangguan hormonal: hormon sintetis etinilestradiol menyebabkan feminisasi ikan jantan dan penurunan fertilitas , sehingga dalam jangka panjang mengakibatkan penurunan populasi (Kidd et al., 2007). Kualitas air menurun : keberadaan obat dalam air meskipun pada kadar ng/L menimbulkan tantangan tambahan dalam penyediaan air minum yang aman .

Pendahuluan (lanjutan 37) 2). Terhadap Tanah Residu farmasi juga masuk ke tanah melalui pembuangan obat padat ke TPA atau penggunaan sludge dari instalasi pengolahan air limbah sebagai pupuk . Senyawa farmasi yang bersifat persisten dapat bertahan lama di tanah dan memengaruhi organisme tanah ( Sahu , 2024). Dampaknya meliputi : a. Gangguan mikrobiota tanah : antibiotik mengganggu keseimbangan bakteri tanah yang penting untuk siklus nutrien , sehingga mengurangi kemampuan dekomposisi bahan organik . b. Produktivitas pertanian menurun : perubahan mikrobiota tanah berdampak pada kesuburan dan kesehatan tanaman . c. Bioakumulasi melalui tanaman : beberapa senyawa farmasi dapat diserap akar tanaman lalu berpindah ke jaringan yang dikonsumsi manusia atau hewan . Misalnya , residu carbamazepine ( antiepilepsi ) dilaporkan terdeteksi dalam sayuran yang diairi dengan air limbah ( Kümmerer , 2010). 3). Terhadap Kesehatan Manusia Kesehatan manusia terancam oleh pencemaran farmasi melalui berbagai jalur paparan : air minum , pangan , maupun kontak langsung dengan lingkungan tercemar . Walaupun dosisnya jauh di bawah dosis terapeutik , sifat paparan yang kronis menjadikannya berisiko jangka panjang .

Pendahuluan (lanjutan 38) Gangguan hormonal (endocrine disruption): paparan hormon sintetis seperti etinilestradiol melalui air minum dapat mengganggu fungsi reproduksi dan perkembangan , terutama pada anak-anak . Neurotoksik : obat psikoaktif ( misalnya fluoxetine, sertraline) yang terdeteksi dalam air limbah berpotensi menimbulkan efek neurobiologis jika masuk ke rantai makanan , meskipun data epidemiologis pada manusia masih terbatas . Risiko karsinogenik : obat sitostatika , yang bersifat mutagenik dan teratogenik , jika masuk ke sumber air minum dapat meningkatkan risiko kanker pada populasi yang terpapar (WHO, 2012). Resistensi antimikroba (AMR): paparan antibiotik dalam dosis subterapeutik melalui pangan atau air memicu kolonisasi bakteri resisten pada tubuh manusia . Hal ini membuat infeksi lebih sulit diobati , meningkatkan biaya pengobatan , dan memperbesar angka kematian akibat penyakit menular (Larsson et al., 2007). Kesimpulan Subbab Dampak toksikologi lingkungan farmasi tidak hanya sebatas pada ekosistem air, tetapi juga tanah , dan akhirnya kesehatan manusia . Pada ekosistem air, dampaknya berupa gangguan biodiversitas , kerusakan organ ikan, dan feminisasi ikan jantan .

Pendahuluan (lanjutan 39) Pada tanah , terjadi gangguan mikrobiota , penurunan produktivitas pertanian , serta akumulasi pada tanaman pangan . Sementara itu , pada manusia , risiko yang muncul mencakup gangguan hormonal, neurotoksisitas , resistensi antibiotik , hingga potensi karsinogenik . Dengan demikian , pencemaran farmasi merupakan isu yang kompleks dan multidisipliner , yang memerlukan perhatian serius dari tenaga kesehatan , regulator, peneliti , dan masyarakat luas . 4.5 Tantangan dalam Pengelolaan Risiko Toksikologi Lingkungan Menilai dan mengelola risiko toksikologi lingkungan akibat residu farmasi merupakan sebuah tantangan besar . Berbeda dengan polutan industri klasik seperti logam berat atau pestisida , senyawa farmasi memiliki karakteristik khusus : dirancang untuk bioaktivitas , digunakan dalam jumlah luas , diekskresikan dalam bentuk aktif , serta hadir di lingkungan pada konsentrasi sangat rendah namun persisten ( Kümmerer , 2010). 1). Konsentrasi Rendah , Paparan Kronis Salah satu tantangan utama adalah kenyataan bahwa residu farmasi umumnya ditemukan pada konsentrasi nanogram hingga mikrogram per liter (ng/L – µg/L).

Pendahuluan (lanjutan 40) Walaupun terlihat kecil , paparan kronis dan berulang dapat menimbulkan dampak serius pada organisme non-target. Efek ini sulit terdeteksi secara langsung , tetapi berpotensi menurunkan populasi spesies , mengganggu ekosistem , dan bahkan kembali berdampak pada kesehatan manusia . 2). Keterbatasan Teknologi Pengolahan Limbah Sebagian besar instalasi pengolahan air limbah (IPAL) konvensional didesain untuk mengurangi beban organik , patogen , dan nutrien , bukan untuk mendegradasi senyawa farmasi kompleks . Akibatnya , molekul yang stabil secara kimiawi , seperti carbamazepine ( antiepilepsi ) dan etinilestradiol ( hormon sintetis ), tetap lolos ke badan air setelah proses pengolahan . Hal ini memperlihatkan perlunya inovasi teknologi yang lebih maju dan spesifik ( Kümmerer , 2010). 3). Variasi Efek Campuran (Mixture Effects) Di lingkungan , senyawa farmasi jarang muncul sendiri . Biasanya terdapat dalam bentuk campuran berbagai obat , pestisida , logam berat , dan polutan lain. Interaksi antar-senyawa dapat menimbulkan efek aditif , sinergis , atau bahkan antagonis , yang sulit diprediksi dengan metode toksikologi tradisional .

Pendahuluan (lanjutan 41) Tantangan ini membuat penilaian risiko lingkungan menjadi semakin kompleks ( Helwig et al., 2024). 4). Keterbatasan Data Ilmiah Masih banyak senyawa farmasi yang digunakan secara luas tetapi belum diteliti secara mendalam terkait dampaknya terhadap ekosistem . Kurangnya data toksikologi kronis , bioakumulasi , dan biomagnifikasi membuat penyusunan standar ambang batas lingkungan (Environmental Quality Standards) menjadi sulit (Landis et al., 2017).

Pendahuluan (lanjutan 41) 5). Pendekatan Terpadu yang Diperlukan Untuk menjawab tantangan ini , diperlukan strategi pengelolaan yang holistik , meliputi : a. Pemantauan Rutin Residu Farmasi Pemantauan residu secara berkala di air permukaan , air tanah , dan sedimen menjadi langkah awal penting untuk memetakan risiko dan menetapkan prioritas pengendalian . b. Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Teknologi baru seperti ozonisasi , fotokatalisis berbasis TiO ₂, adsorpsi karbon aktif , membran nanofiltrasi , dan advanced oxidation processes (AOPs) terbukti lebih efektif dalam mendegradasi atau menyisihkan senyawa farmasi . Namun , tantangannya adalah biaya operasional yang tinggi dan keterbatasan implementasi di negara berkembang . c. Prinsip Green Pharmacy Salah satu solusi jangka panjang adalah merancang obat dengan mempertimbangkan degradasi lingkungan (benign by design drugs). Konsep ini menekankan bahwa sejak tahap desain molekul , struktur kimia obat sebaiknya dibuat agar mudah terurai setelah digunakan , tanpa mengurangi efektivitas klinis ( Daughton , 2003).

Pendahuluan (lanjutan 42) d. Peran Apoteker dan Profesi Kesehatan Apoteker dapat berperan melalui edukasi pasien tentang pembuangan obat yang benar , mendorong take-back program, serta terlibat dalam penelitian farmasi lingkungan . Hal ini menunjukkan bahwa solusi tidak hanya teknis , tetapi juga sosial dan profesi . Kesimpulan Subbab Pengelolaan risiko toksikologi lingkungan farmasi menghadapi berbagai tantangan : paparan rendah namun kronis , keterbatasan teknologi pengolahan , kompleksitas efek campuran , dan minimnya data ilmiah . Oleh karena itu , diperlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan pemantauan lingkungan , inovasi teknologi , penerapan prinsip green pharmacy, dan peran aktif profesi kesehatan . Dengan strategi holistik ini , risiko toksikologi farmasi terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dapat ditekan secara signifikan .

Pendahuluan (lanjutan 43) 📚 Daftar Pustaka : Alzola-Andrés, M., Domingo-Echaburu, S., et al. (2024). Pharmaceuticals in the environment: A hospital pharmacy perspective. Farmacia Hospitalaria. Daughton, C.G. (2003). Environmental stewardship of pharmaceuticals: The green pharmacy. International Conference on Pharmaceuticals and the Environment. Daughton, C.G., & Ruhoy, I.S. (2011). Green pharmacy and pharmEcovigilance: prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. Helwig, K., Niemi, L., & Stenuick, J.Y. (2024). Broadening the perspective on reducing pharmaceutical residues in the environment. Environmental Toxicology and Chemistry, 43(3), 653–664. Kidd, K.A., Blanchfield, P.J., et al. (2007). Collapse of a fish population after exposure to a synthetic estrogen. PNAS, 104(21), 8897–8901 Kümmerer, K. (2010). Pharmaceuticals in the environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Landis, W.G., Sofield, R., & Yu, M.H. (2017). Introduction to Environmental Toxicology: Molecular Substructures to Ecological Landscapes. Sahu, A. (2024). Pharmacist roles reimagined: Embracing planetary health perspectives.

Pendahuluan (lanjutan 44) Journal of Pharmacotherapy and Clinical Research, 11(2), 45–56. Schönauer , M., et al. (2020). Chemistry and pharmacology of ethinylestradiol : A review. Steroids, 161, 108–120. Toma, A., & Crișan , O. (2021). Research on developing environmental ethics in pharmacists’ activities: Green pharmacy practice. Environmental Health, 20(1), 89. WHO (2012). Safe Management of Wastes from Health-Care Activities. World Health Organization. Bab 5. Green Chemistry dan Green Pharmacy

Pendahuluan (lanjutan 44) 5.1 Konsep Green Chemistry Green Chemistry atau kimia hijau adalah suatu pendekatan ilmiah yang berfokus pada pencegahan pencemaran sejak tahap awal perancangan produk kimia , bukan hanya pada pengelolaan limbah di tahap akhir . Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Anastas dan Warner (2000), yang menekankan bahwa setiap proses dan produk kimia sebaiknya dirancang untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan dan pembentukan zat berbahaya bagi manusia dan lingkungan . Pendekatan ini menandai pergeseran paradigma dari end-of-pipe solution ( mengolah limbah setelah terbentuk ) menuju benign by design ( merancang produk yang sejak awal aman dan ramah lingkungan ).

Pendahuluan (lanjutan 45) Dengan demikian , green chemistry tidak hanya mengurangi beban pencemaran , tetapi juga meningkatkan efisiensi ekonomi dan keberlanjutan produksi (Lancaster, 2025). 12 Prinsip Green Chemistry Anastas dan Warner (2000) merumuskan 12 prinsip utama Green Chemistry yang menjadi pedoman global, di antaranya : 1). Pencegahan limbah : lebih baik mencegah terbentuknya limbah daripada mengolahnya . 2). Efisiensi atom: memaksimalkan pemanfaatan atom dalam reaksi kimia sehingga sedikit bahan terbuang . 3). Sintesis ramah lingkungan : menggunakan reaksi kimia yang menghasilkan produk samping minimal dan aman . Penggunaan bahan baku terbarukan : memprioritaskan sumber daya yang dapat diperbaharui ( misalnya biomassa ) dibanding bahan kimia berbasis fosil . Desain degradasi : produk kimia dirancang agar dapat terurai menjadi senyawa tidak berbahaya setelah masa pakainya . Penggunaan katalis : lebih disukai daripada pereaksi stoikiometrik karena lebih efisien . Pengurangan penggunaan pelarut berbahaya : menggantinya dengan pelarut ramah lingkungan , seperti air atau etanol berbasis biomassa .

Pendahuluan (lanjutan 46) Penerapan dalam Konteks Farmasi Dalam bidang farmasi , konsep Green Chemistry sangat relevan karena Active Pharmaceutical Ingredients (API) umumnya bersifat bioaktif , persisten , dan berpotensi menimbulkan dampak ekologis setelah dibuang ke lingkungan . Oleh karena itu , penerapan Green Chemistry di farmasi mencakup : 1). Perancangan API ramah lingkungan : molekul dirancang agar efektif secara klinis namun mudah terdegradasi di lingkungan menjadi senyawa tidak beracun ( Kümmerer , 2010). 2). Sintesis farmasi yang berkelanjutan : meminimalkan penggunaan pelarut organik berbahaya dengan menggantinya menggunakan pelarut berbasis air atau superkritikal CO₂. 3). Pemanfaatan biokatalis dan enzim : untuk meningkatkan selektivitas reaksi kimia , mengurangi limbah , serta menekan konsumsi energi . 4). Pemilihan eksipien dan aditif farmasi yang berasal dari bahan baku terbarukan dan aman bagi lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 46) Signifikansi Akademik dan Praktis Konsep Green Chemistry memberikan kerangka ilmiah dan praktis untuk menjawab tantangan global terkait pencemaran farmasi . Dengan mengintegrasikan prinsip ini dalam desain obat , industri farmasi dapat berkontribusi pada: 1). Mengurangi jejak karbon produksi farmasi . 2). Menurunkan potensi pencemaran lingkungan akibat obat yang sulit terurai . 3). Mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG 3, SDG 6, SDG 12).

Pendahuluan (lanjutan 47) Kesimpulan Subbab Secara ringkas , Green Chemistry merupakan paradigma baru dalam ilmu kimia yang berfokus pada pencegahan pencemaran sejak awal proses perancangan . Dalam bidang farmasi , penerapan prinsip ini berarti merancang obat yang efektif , aman , dan ramah lingkungan sehingga tidak meninggalkan residu toksik . Pemahaman ini penting bagi mahasiswa farmasi agar mereka mampu mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam praktik kefarmasian di masa depan . 5.2 Prinsip-Prinsip Green Chemistry dalam Farmasi Penerapan prinsip Green Chemistry dalam industri farmasi bertujuan untuk mengurangi jejak ekologis obat sejak tahap sintesis hingga pembuangan . Dari 12 prinsip Green Chemistry, beberapa memiliki relevansi khusus bagi farmasi lingkungan , karena secara langsung dapat menekan pencemaran residu farmasi di ekosistem ( Anastas & Zimmerman, 2018). 1). Pencegahan Limbah (Waste Prevention) Prinsip ini menekankan pentingnya mencegah timbulnya limbah daripada hanya mengolahnya setelah terbentuk .

Pendahuluan (lanjutan 48) Dalam industri farmasi , banyak proses sintesis yang menghasilkan produk samping dalam jumlah besar . a. Penerapan : Sintesis obat dapat dirancang lebih selektif agar hanya menghasilkan produk utama dengan sedikit limbah samping . Misalnya , penggunaan katalis enzimatik dapat meminimalkan produk samping beracun . b. Relevansi lingkungan : Dengan mencegah pembentukan limbah sejak awal , jumlah residu farmasi yang berpotensi mencemari lingkungan dapat ditekan secara signifikan . 2). Rancangan untuk Degradasi (Design for Degradation) Obat-obatan modern sering kali bersifat persisten , artinya sulit terurai di alam . Hal ini menyebabkan obat tetap aktif meskipun sudah dibuang ke lingkungan . a. Penerapan : Merancang molekul farmasi yang efektif secara klinis , tetapi juga memiliki struktur kimia yang memungkinkan degradasi cepat setelah ekskresi . Misalnya , modifikasi struktur molekul agar lebih mudah diuraikan oleh mikroorganisme atau proses alami . b. Relevansi lingkungan : Obat yang mudah terdegradasi akan mengurangi risiko bioakumulasi dan gangguan ekosistem jangka panjang .

Pendahuluan (lanjutan 49) 3). Penggunaan Bahan Baku Terbarukan (Use of Renewable Feedstocks) Banyak pelarut dan bahan kimia dalam sintesis farmasi berasal dari sumber tak terbarukan , seperti bahan bakar fosil , yang berdampak pada pencemaran dan emisi karbon . a. Penerapan : Mengganti pelarut organik berbahaya dengan pelarut ramah lingkungan , seperti etanol berbasis biomassa , air, atau pelarut superkritikal CO₂. Selain itu , bahan baku untuk sintesis dapat berasal dari bioteknologi , seperti enzim atau mikroorganisme yang memproduksi senyawa prekursor alami . b. Relevansi lingkungan : Mengurangi ketergantungan pada sumber daya fosil sekaligus menekan toksisitas residu pelarut dalam limbah farmasi . 4). Sintesis yang Efisien (Atom Economy and Process Efficiency) Proses sintesis tradisional dalam industri farmasi sering memerlukan banyak tahapan kimia , yang berarti membutuhkan lebih banyak energi , bahan kimia , dan menghasilkan limbah tambahan . a. Penerapan : Mengembangkan rute sintesis yang lebih singkat dan efisien dengan memaksimalkan pemanfaatan atom pereaksi (atom economy). Misalnya , penggunaan reaksi multikomponen yang menghasilkan senyawa target dalam satu langkah .

Pendahuluan (lanjutan 50) b. Relevansi lingkungan : Mengurangi konsumsi energi , meminimalkan penggunaan bahan kimia tambahan ( seperti pereaksi stoikiometrik ), serta menghasilkan limbah lebih sedikit . 5). Integrasi ke dalam Farmasi Lingkungan Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini , farmasi dapat bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan . Penerapan pencegahan limbah , desain untuk degradasi , penggunaan bahan terbarukan , dan sintesis efisien secara langsung mendukung tercapainya tujuan farmasi lingkungan , yaitu memastikan bahwa keberadaan obat di masyarakat tidak menjadi sumber pencemaran yang membahayakan kesehatan manusia dan ekosistem . Kesimpulan Subbab Prinsip Green Chemistry dalam farmasi tidak hanya berfungsi sebagai panduan ilmiah , tetapi juga sebagai strategi mitigasi pencemaran farmasi . Dengan merancang obat yang lebih ramah lingkungan , menggunakan bahan baku terbarukan , dan menerapkan sintesis efisien , industri farmasi dapat berkontribusi pada kesehatan masyarakat sekaligus keberlanjutan lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 51) 5.3 Green Pharmacy: Konsep dan Implementasi Green Pharmacy merupakan penerapan prinsip Green Chemistry secara khusus dalam bidang kefarmasian untuk meminimalkan dampak obat terhadap lingkungan sepanjang siklus hidupnya . Konsep ini diperkenalkan oleh Daughton (2003) sebagai respons terhadap semakin meningkatnya bukti pencemaran farmasi di lingkungan . Berbeda dengan pendekatan tradisional yang hanya fokus pada produksi dan keamanan klinis obat , Green Pharmacy mengadopsi perspektif “life cycle thinking”, yaitu memperhatikan seluruh perjalanan obat : mulai dari perancangan molekul , produksi industri , distribusi , penggunaan oleh pasien , hingga pembuangan dan monitoring residu di lingkungan ( Daughton & Ruhoy , 2011). Ruang Lingkup Green Pharmacy 1). Perancangan Obat Ramah Lingkungan (Benign by Design Drugs) Obat dirancang agar efektif secara terapeutik , tetapi juga mudah terurai menjadi senyawa tidak berbahaya setelah digunakan . Contoh : pengembangan analog obat dengan struktur kimia yang lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme atau proses fotolisis alami . Tujuan : mengurangi risiko bioakumulasi dan persistensi di lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 52) 2). Edukasi Pasien tentang Pembuangan Obat Banyak pasien masih membuang obat kedaluwarsa atau sisa terapi ke toilet atau tempat sampah . Green Pharmacy menekankan peran apoteker untuk memberikan edukasi praktis tentang pembuangan obat , misalnya mengembalikan obat kedaluwarsa ke apotek atau mengikuti prosedur pembuangan resmi . Edukasi ini juga mencegah penyalahgunaan obat sisa di masyarakat . 3). Program Take-Back Obat Kedaluwarsa Program medicine take-back memungkinkan pasien mengembalikan obat kedaluwarsa atau tidak terpakai ke apotek atau fasilitas kesehatan . Obat yang dikembalikan kemudian dikelola sesuai standar limbah B3. Beberapa negara maju sudah menerapkan program nasional , sedangkan di Indonesia program ini mulai digalakkan melalui apotek-apotek dan rumah sakit pendidikan . 4). Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Farmasi Fasilitas kesehatan dan industri farmasi dituntut untuk mengembangkan sistem pengolahan limbah yang lebih efektif . Teknologi yang digunakan antara lain: ozonisasi , fotokatalisis berbasis TiO ₂, nanofiltrasi membran , adsorpsi karbon aktif , hingga fitoremediasi (Toma & Crișan , 2021).

Pendahuluan (lanjutan 53) Tujuan : memastikan residu farmasi tidak langsung dibuang ke perairan atau tanah tanpa pengolahan . Monitoring Residu Farmasi ( PharmEcovigilance ) Merupakan perpanjangan dari pharmacovigilance, yang awalnya berfokus pada keselamatan pasien . PharmEcovigilance menekankan pemantauan jejak farmasi di lingkungan , termasuk deteksi residu di air, tanah , sedimen , serta studi dampak ekologis . Pendekatan ini penting untuk menilai risiko lingkungan secara komprehensif dan merumuskan kebijakan pengendalian . Signifikansi Green Pharmacy Konsep Green Pharmacy menunjukkan bahwa keberlanjutan kefarmasian tidak hanya ditentukan oleh keamanan dan efektivitas klinis obat , tetapi juga oleh dampaknya terhadap lingkungan . Dengan menerapkan prinsip ini , profesi kefarmasian dapat berperan aktif dalam : Mengurangi jejak ekologis obat . Mendukung regulasi dan kebijakan lingkungan . Mengedukasi masyarakat tentang konsumsi dan pembuangan obat yang bertanggung jawab . Berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 3 (Good Health and Well-being), SDG 6 (Clean Water and Sanitation), dan SDG 12 (Responsible Consumption and Production).

Pendahuluan (lanjutan 54) Kesimpulan Subbab Green Pharmacy adalah bentuk nyata integrasi antara ilmu kefarmasian dan prinsip keberlanjutan . Dengan menekankan perancangan obat ramah lingkungan , edukasi pasien , program take-back, pengembangan teknologi limbah , dan pemantauan residu , konsep ini mendorong apoteker dan industri farmasi untuk tidak hanya bertanggung jawab pada pasien , tetapi juga pada ekosistem global.

Pendahuluan (lanjutan 54) 5.4 Relevansi Green Pharmacy terhadap Profesi Apoteker Konsep Green Pharmacy tidak hanya merupakan pendekatan ilmiah dalam mengurangi dampak lingkungan dari obat-obatan , tetapi juga menjadi bagian dari identitas profesional apoteker . Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dalam bidang obat berada pada posisi strategis untuk memastikan bahwa setiap aspek siklus hidup obat , mulai dari produksi , distribusi , penggunaan , hingga pembuangan , dilakukan secara bertanggung jawab terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan . 1). Konseling Pasien tentang Pembuangan Obat yang Aman Latar belakang masalah : Banyak pasien membuang obat kedaluwarsa atau sisa ke toilet, saluran air, atau tempat sampah , yang akhirnya meningkatkan pencemaran farmasi di lingkungan . Peran apoteker : memberikan edukasi langsung kepada pasien mengenai cara pembuangan obat yang aman , misalnya mengembalikan obat sisa melalui program take-back di apotek (Mohiuddin, 2020). Relevansi : Hal ini memperkuat peran apoteker sebagai pendidik (educator) sekaligus pelindung lingkungan , dengan mencegah masuknya obat ke jalur air atau tanah .

Pendahuluan (lanjutan 55) 2). Advokasi Kebijakan Nasional Terkait Limbah Farmasi Tantangan regulasi : Belum semua negara, termasuk Indonesia, memiliki kebijakan khusus yang kuat mengenai pembuangan obat rumah tangga maupun limbah farmasi di fasilitas kesehatan . Peran apoteker : menjadi advokat kebijakan dengan memberikan masukan berbasis bukti ilmiah kepada pemerintah mengenai bahaya pencemaran farmasi . Apoteker dapat terlibat dalam penyusunan pedoman pengelolaan limbah B3 medis serta dalam mengkampanyekan kebijakan medicine take-back. Relevansi : Peran ini menunjukkan bahwa apoteker tidak hanya praktisi klinis , tetapi juga agen perubahan dalam sistem kesehatan dan lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 56) 3). Partisipasi dalam Penelitian dan Pengembangan (Research and Development) Isu riset : Sebagian besar obat modern masih bersifat persisten di lingkungan , sulit terurai , dan dapat menimbulkan risiko toksik pada organisme non-target. Peran apoteker : bekerja sama dengan ahli kimia , bioteknologi , dan industri untuk merancang obat ramah lingkungan (benign by design drugs) yang efektif secara klinis , namun dapat terdegradasi menjadi senyawa aman setelah diekskresikan ( Sahu , 2024). Relevansi : Kontribusi dalam penelitian ini memperluas cakupan profesi apoteker dari sekadar pelayanan pasien menjadi bagian dari sains lingkungan dan inovasi farmasi . 4). Integrasi Environmental Stewardship dalam Praktik Kefarmasian Makna stewardship: Environmental stewardship adalah tanggung jawab moral dan profesional untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam setiap praktik kefarmasian . Implementasi praktis : memastikan limbah sitostatika dipisahkan dari limbah umum , mendukung sistem pencatatan dan pemusnahan obat kedaluwarsa , mengintegrasikan isu lingkungan dalam program edukasi pasien , serta melibatkan apoteker dalam manajemen limbah farmasi di rumah sakit .

Pendahuluan (lanjutan 57) Relevansi : Dengan cara ini , apoteker menunjukkan kepemimpinan tidak hanya dalam terapi pasien , tetapi juga dalam melindungi “ pasien kolektif ” yaitu ekosistem . Kesimpulan Subbab Relevansi Green Pharmacy bagi profesi apoteker sangat jelas : konsep ini memperluas ruang lingkup tanggung jawab apoteker dari fokus semata pada pasien individual menjadi pada masyarakat dan lingkungan global. Dengan memberikan konseling kepada pasien , mengadvokasi kebijakan , berpartisipasi dalam riset , dan mengintegrasikan stewardship lingkungan , apoteker berperan sebagai agen perubahan yang menjembatani dunia kesehatan dan keberlanjutan ekologi . Dengan demikian , Green Pharmacy merupakan manifestasi nyata dari tanggung jawab profesi apoteker dalam mewujudkan praktik kefarmasian yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Pendahuluan (lanjutan 58) 5.5 Tantangan dan Arah Masa Depan Walaupun konsep Green Chemistry dan Green Pharmacy telah semakin diakui secara global, penerapannya masih menghadapi sejumlah hambatan struktural , teknis , dan sosial . Tantangan ini perlu diidentifikasi dengan jelas agar dapat dirumuskan arah masa depan yang lebih strategis dan realistis . Tantangan dalam Implementasi 1). Biaya Penelitian dan Produksi yang Tinggi Pengembangan obat dengan prinsip benign by design membutuhkan riset intensif dan biaya tinggi . Proses sintesis baru yang lebih efisien atau penggunaan pelarut ramah lingkungan sering kali membutuhkan investasi awal yang besar pada teknologi dan fasilitas laboratorium . Hal ini membuat banyak industri farmasi , terutama di negara berkembang , enggan beralih dari metode konvensional yang sudah mapan .

Pendahuluan (lanjutan 58) 2). Resistensi Industri terhadap Perubahan Industri farmasi cenderung konservatif karena perubahan proses produksi dapat memengaruhi kualitas , kestabilan , dan efektivitas obat . Selain itu , perubahan signifikan dalam proses produksi memerlukan uji validasi ulang dan persetujuan regulasi , yang dapat memakan waktu dan biaya . Akibatnya , adopsi Green Pharmacy berjalan lambat , kecuali jika didorong oleh regulasi ketat atau insentif ekonomi . 3). Keterbatasan Regulasi dan Kebijakan Di banyak negara, regulasi tentang pengelolaan limbah farmasi masih terbatas dan lebih fokus pada limbah medis padat ( misalnya jarum suntik , perban ) dibandingkan residu obat cair .

Pendahuluan (lanjutan 59) Minimnya standar kualitas lingkungan untuk residu farmasi membuat pemantauan dan pengendalian sulit dilakukan . Hal ini menghambat upaya penerapan pharmEcovigilance secara luas ( Helwig et al., 2024). 4). Kurangnya Kesadaran Publik dan Profesional Masyarakat umum masih banyak yang tidak mengetahui dampak pembuangan obat sembarangan terhadap lingkungan . Demikian pula, sebagian tenaga kesehatan belum mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam praktik sehari-hari , sehingga edukasi pasien terkait pembuangan obat belum menjadi standar . Arah Masa Depan Green Pharmacy

Pendahuluan (lanjutan 59) Untuk menjawab tantangan di atas , arah masa depan Green Pharmacy harus menekankan pada pendekatan multidisiplin dan kolaboratif : 1). Kolaborasi Multidisiplin Kerja sama erat antara kimiawan , farmasis , ahli toksikologi , insinyur lingkungan , regulator, dan masyarakat sipil . Tujuannya adalah menciptakan sistem kefarmasian yang tidak hanya berfokus pada aspek klinis , tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem (Alzola-Andrés et al., 2024). 2). Inovasi Teknologi Pengembangan teknologi pengolahan limbah farmasi yang lebih murah , efisien , dan ramah lingkungan , seperti biodegradasi berbasis mikroba , fotokatalisis , dan fitoremediasi . Riset pada green drug design untuk menghasilkan API yang cepat terdegradasi setelah pemakaian tanpa mengurangi efektivitas klinis .

Pendahuluan (lanjutan 60) 3). Penguatan Regulasi dan Insentif Ekonomi Pemerintah perlu menetapkan standar kualitas lingkungan untuk residu farmasi serta mewajibkan program medicine take-back. Insentif pajak atau dukungan riset dapat diberikan untuk industri yang berinvestasi dalam teknologi Green Pharmacy. 4). Pendidikan dan Kesadaran Publik Integrasi isu farmasi lingkungan dalam kurikulum pendidikan farmasi . Edukasi masyarakat mengenai bahaya pembuangan obat sembarangan serta manfaat take-back program. Kesimpulan Subbab Tantangan utama penerapan Green Pharmacy meliputi biaya penelitian yang tinggi , resistensi industri , lemahnya regulasi , dan kurangnya kesadaran publik . Namun , arah masa depan menunjukkan peluang besar melalui kolaborasi multidisiplin , inovasi teknologi , penguatan regulasi , serta pendidikan masyarakat . Dengan strategi ini , Green Pharmacy berpotensi menjadi paradigma baru kefarmasian yang tidak hanya menyehatkan manusia , tetapi juga melindungi bumi secara berkelanjutan . 📚 Daftar Pustaka : Alzola-Andrés, M., Domingo- Echaburu , S., et al. (2024).

Pendahuluan (lanjutan 61) Pharmaceuticals in the environment: A hospital pharmacy perspective. Farmacia Hospitalaria. Anastas, P.T., & Warner, J.C. (2000). Green Chemistry: Theory and Practice. Anastas, P.T., & Zimmerman, J.B. (2018). The United Nations sustainability goals: How can sustainable chemistry contribute? Current Opinion in Green and Sustainable Chemistry, 13, 150–153. Daughton, C.G. (2003). Environmental stewardship of pharmaceuticals: The green pharmacy. International Conference on Pharmaceuticals and the Environment. Daughton, C.G., & Ruhoy, I.S. (2011). Green pharmacy and pharmEcovigilance: prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. Helwig, K., Niemi, L., & Stenuick, J.Y. (2024). Broadening the perspective on reducing pharmaceutical residues in the environment. Environmental Toxicology and Chemistry, 43(3), 653–664. Kümmerer, K. (2010). Pharmaceuticals in the environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Lancaster, M. (2025). Green Chemistry: An Introductory Text. Mohiuddin, A.K. (2020). The excellence of pharmacy practice. Innovations in Pharmacy, 11(3), 1–15. Sahu, A. (2024).

Pendahuluan (lanjutan 62) Pharmacist roles reimagined: Embracing planetary health perspectives. Journal of Pharmacotherapy and Clinical Research, 11(2), 45–56. Toma, A., & Crișan , O. (2021). Research on developing environmental ethics in pharmacists’ activities: Green pharmacy practice. Environmental Health, 20(1), 89. Bab 6. Regulasi Nasional dan Global tentang Limbah Farmasi

Pendahuluan (lanjutan 62) 6.1 Regulasi Global tentang Limbah Farmasi Isu limbah farmasi telah menjadi perhatian internasional karena semakin banyak bukti yang menunjukkan dampaknya terhadap kesehatan manusia , ekosistem , dan keberlanjutan lingkungan . Regulasi global hadir untuk memberikan standar dan pedoman , baik dalam pencegahan , pengelolaan , maupun pengendalian residu farmasi di lingkungan . 1). Pedoman WHO: Safe Management of Wastes from Health-Care Activities Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan pedoman internasional berjudul Safe Management of Wastes from Health-Care Activities (WHO, 2012). Dokumen ini menjadi acuan utama banyak negara berkembang dalam merancang sistem pengelolaan limbah farmasi . Pedoman tersebut mencakup : Klasifikasi limbah farmasi : dibedakan menjadi obat kedaluwarsa , obat sitotoksik , antibiotik , dan limbah kemasan .

Pendahuluan (lanjutan 63) Penyimpanan dan transportasi : limbah farmasi harus dipisahkan dari limbah medis lain, disimpan dalam wadah tertutup , serta dilabeli dengan jelas sebelum transportasi . Metode pembuangan : meliputi insinerasi suhu tinggi ( untuk sitostatika ), enkapsulasi ( untuk obat padat dalam jumlah kecil ), dan landfill terkontrol . Prinsip pencegahan : mendorong medicine take-back programs untuk mengurangi limbah dari rumah tangga . Pedoman ini menekankan bahwa limbah farmasi bukan hanya masalah teknis , tetapi juga masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan pengawasan lintas sektor ( kesehatan , lingkungan , dan pemerintahan ). 2). Uni Eropa : EU Water Framework Directive dan Directive on Priority Substances Uni Eropa (UE) menjadi salah satu kawasan paling progresif dalam regulasi farmasi lingkungan . Melalui EU Water Framework Directive (2000/60/EC) dan Directive on Priority Substances (2013/39/EU), UE menetapkan ambang batas untuk berbagai senyawa berbahaya , termasuk residu farmasi , dalam air permukaan (European Commission, 2013).

Pendahuluan (lanjutan 64) Obat-obatan prioritas : diclofenac ( analgesik ), etinilestradiol ( hormon sintetis ), dan estradiol alami masuk ke dalam daftar monitoring prioritas karena terbukti memberikan efek ekotoksik serius , seperti feminisasi ikan dan kerusakan ginjal burung pemakan bangkai ( Aus der Beek et al., 2016). Kewajiban negara anggota : setiap negara anggota Uni Eropa diwajibkan melakukan pemantauan rutin residu farmasi di perairan , menyusun laporan berkala , serta mengembangkan strategi pengurangan pencemaran . Pendekatan kehati-hatian (precautionary principle): bahkan jika bukti dampak ekotoksik masih terbatas , UE mendorong tindakan preventif untuk melindungi lingkungan dan kesehatan publik . Kebijakan Eropa ini menunjukkan pergeseran regulasi dari sekadar pengendalian limbah medis menuju pengendalian dampak farmasi dalam ekosistem . 3). Amerika Serikat : Resource Conservation and Recovery Act (RCRA) Di Amerika Serikat , pengelolaan limbah farmasi diatur oleh Environmental Protection Agency (EPA) melalui Resource Conservation and Recovery Act (RCRA).

Pendahuluan (lanjutan 65) Beberapa poin penting dalam regulasi ini adalah : Klasifikasi limbah berbahaya (hazardous waste): obat-obatan tertentu ( misalnya arsenik trioxide, warfarin dosis tinggi , dan sitostatika ) dikategorikan sebagai limbah B3. Pengolahan khusus : obat-obatan tersebut tidak boleh dibuang ke saluran air atau landfill biasa , tetapi harus dimusnahkan dengan metode high-temperature incineration untuk memastikan degradasi sempurna (US EPA, 2019). Pharmaceutical Rule (2019): EPA melarang pembuangan obat berbahaya ke saluran air ( sewering prohibition) untuk melindungi kualitas air minum dan mencegah pencemaran ekosistem . Program take-back nasional : Drug Enforcement Administration (DEA) bekerja sama dengan apotek dan aparat hukum menyediakan program pengembalian obat dari masyarakat sebagai bagian dari upaya mengurangi limbah farmasi domestik . 4). Signifikansi Regulasi Global Perbandingan regulasi di atas menunjukkan bahwa pendekatan global terhadap limbah farmasi masih bervariasi : WHO: memberikan pedoman umum , terutama untuk negara berkembang . Uni Eropa : menekankan pemantauan residu farmasi di perairan dan penerapan ambang batas ketat .

Pendahuluan (lanjutan 66) Amerika Serikat : berfokus pada klasifikasi limbah berbahaya dan larangan pembuangan obat ke sistem saluran air. Namun , kesamaan di antara regulasi tersebut adalah pengakuan bahwa residu farmasi termasuk emerging contaminants yang membutuhkan perhatian serius dalam kebijakan lingkungan dan kesehatan masyarakat . Kesimpulan Subbab Secara global, regulasi limbah farmasi berkembang dari sekadar pengelolaan limbah medis ke arah pengendalian pencemaran farmasi dalam ekosistem . WHO, Uni Eropa , dan Amerika Serikat telah memberikan model regulasi yang berbeda , namun semuanya menekankan pada pentingnya klasifikasi , pemantauan , pengolahan khusus , serta program pengembalian obat . Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan limbah farmasi adalah isu lintas sektor dan lintas negara, yang memerlukan harmonisasi kebijakan di tingkat global untuk memastikan perlindungan ekosistem dan kesehatan manusia secara berkelanjutan .

Pendahuluan (lanjutan 67) 6.2 Regulasi Nasional Indonesia tentang Limbah Farmasi Indonesia mengatur limbah farmasi dalam kerangka hukum limbah B3 ( Bahan Berbahaya dan Beracun ). Beberapa regulasi utama adalah : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Mengatur prinsip pencegahan pencemaran , termasuk kewajiban industri farmasi dan rumah sakit dalam mengelola limbahnya . PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 Menetapkan limbah farmasi sebagai salah satu kategori limbah B3 yang memerlukan pengolahan khusus . Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( Permen LHK) No. P.56/ Menlhk-Setjen /2015

Pendahuluan (lanjutan 67) Mengatur tata cara teknis pengelolaan limbah B3, termasuk limbah farmasi dari rumah sakit , puskesmas , dan industri . Peraturan Menteri Kesehatan ( Permenkes ) No. 18 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Menekankan kewajiban fasilitas kesehatan untuk memilah , menyimpan , mengangkut , dan memusnahkan limbah farmasi secara aman . Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait insinerasi limbah medis SNI ini menetapkan standar teknis suhu , emisi , dan residu abu dari pembakaran limbah farmasi agar tidak mencemari udara dan tanah .

Pendahuluan (lanjutan 68) 6.3 Perbandingan Regulasi Nasional dan Global Perbandingan antara regulasi di Indonesia dan regulasi internasional menunjukkan adanya perbedaan fokus dan pendekatan dalam mengelola limbah farmasi . Secara umum , regulasi global telah bergerak ke arah preventif dan berbasis pemantauan residu lingkungan , sedangkan Indonesia masih lebih menekankan pada pengelolaan limbah farmasi di titik sumber (source-based management). 1). WHO dan Uni Eropa : Fokus pada Monitoring dan Pencegahan WHO (2012) melalui pedoman Safe Management of Wastes from Health-Care Activities menekankan pentingnya pemilahan , penyimpanan , dan pemusnahan limbah farmasi , serta mulai mendorong medicine take-back program untuk mencegah obat kedaluwarsa masuk ke ekosistem . Uni Eropa memiliki kebijakan yang lebih maju melalui EU Water Framework Directive dan Directive on Priority Substances. Regulasi ini mewajibkan pemantauan rutin residu farmasi dalam air permukaan dan menetapkan ambang batas bagi senyawa prioritas seperti diclofenac dan etinilestradiol ( Aus der Beek et al., 2016).

Pendahuluan (lanjutan 69) Pendekatan ini menunjukkan bahwa di tingkat global, regulasi farmasi lingkungan sudah berorientasi pada preventif , yaitu mencegah pencemaran melalui sistem monitoring dan pengendalian ambang batas sebelum dampak ekologis menjadi parah . 2). Amerika Serikat (EPA): Kombinasi Regulasi Ketat dan Take-Back Program Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat mengatur limbah farmasi melalui Resource Conservation and Recovery Act (RCRA). Beberapa obat dikategorikan sebagai limbah berbahaya yang wajib dimusnahkan dengan insinerasi suhu tinggi (US EPA, 2019). Pada 2019, EPA memperkuat kebijakan dengan melarang pembuangan obat ke saluran air ( sewering prohibition) untuk melindungi kualitas air minum . Selain itu , DEA (Drug Enforcement Administration) menginisiasi national take-back program yang memungkinkan masyarakat mengembalikan obat kedaluwarsa ke apotek atau fasilitas yang ditunjuk . Pendekatan ini memadukan regulasi ketat dengan partisipasi publik , sehingga pengelolaan limbah farmasi tidak hanya tanggung jawab industri dan rumah sakit , tetapi juga masyarakat umum .

Pendahuluan (lanjutan 70) 3). Indonesia: Fokus pada Pengelolaan di Sumber Regulasi di Indonesia mengenai limbah farmasi umumnya terdapat dalam PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Permenkes No. 18 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Fokus utama regulasi ini adalah : pemilahan limbah farmasi ( khususnya obat sitostatika dan kedaluwarsa ), penyimpanan di fasilitas kesehatan , pemusnahan melalui insinerasi atau pihak ketiga berizin . Namun , regulasi nasional belum mengatur secara khusus monitoring residu farmasi di lingkungan (air permukaan , air tanah , sedimen ). Program take-back untuk obat kedaluwarsa di Indonesia masih terbatas pada inisiatif apotek atau program lokal tertentu , belum menjadi sistem nasional yang terintegrasi . 4). Analisis Perbandingan Arah global: Regulasi WHO, Uni Eropa , dan Amerika Serikat bergerak dari pendekatan reaktif menuju preventif dan integratif , dengan penekanan pada monitoring residu farmasi , ambang batas lingkungan , serta pelibatan masyarakat . Situasi nasional : Indonesia masih cenderung reaktif , dengan fokus utama pada pengelolaan limbah padat dan cair di fasilitas kesehatan atau industri .

Pendahuluan (lanjutan 71) Aspek preventif , seperti desain obat ramah lingkungan (green pharmacy), pemantauan residu di air, dan sistem take-back nasional , masih terbatas . Kesenjangan regulasi : Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi Indonesia dan standar global, terutama dalam hal pharmEcovigilance ( pemantauan jejak farmasi di lingkungan ) dan kebijakan green pharmacy ( Kümmerer , 2010; Toma & Crișan , 2021). Kesimpulan Subbab Perbandingan regulasi nasional dan global menunjukkan bahwa Indonesia masih berada pada tahap pengelolaan limbah farmasi di sumber (reactive), sedangkan regulasi internasional telah bergeser ke arah monitoring lingkungan dan pencegahan pencemaran (preventive). Untuk menyelaraskan diri dengan praktik global, Indonesia perlu memperkuat regulasi dengan menambahkan elemen pharmEcovigilance , take-back program nasional , serta integrasi prinsip green pharmacy ke dalam kebijakan kefarmasian dan lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 72) 6.4 Peran Apoteker dalam Konteks Regulasi Apoteker di Indonesia memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa regulasi terkait pengelolaan limbah farmasi tidak hanya dipatuhi secara administratif , tetapi juga diinternalisasi dalam praktik kefarmasian sehari-hari . Hal ini sejalan dengan pergeseran paradigma profesi farmasi modern yang tidak hanya berfokus pada kualitas terapi pasien , tetapi juga pada perlindungan ekosistem dan kesehatan masyarakat secara luas . 1). Implementasi Permenkes No. 18 Tahun 2020 Isi regulasi : Permenkes No. 18 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan mengatur pemilahan , penyimpanan , transportasi , hingga pemusnahan limbah medis , termasuk obat kedaluwarsa . Peran apoteker : memastikan seluruh obat kedaluwarsa dan sisa farmasi di apotek atau rumah sakit dikelola sesuai SOP. Misalnya , obat sitostatika harus dimusnahkan dengan insinerasi suhu tinggi , bukan dicampur dengan limbah umum . Relevansi profesional : Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan regulasi bukan hanya kewajiban hukum , tetapi juga bentuk good pharmacy practice yang mencerminkan kompetensi profesional apoteker .

Pendahuluan (lanjutan 73) 2). Dukungan terhadap Program Take-Back Tantangan saat ini : Indonesia belum memiliki sistem take-back nasional yang terintegrasi seperti di Amerika Serikat atau Eropa . Inisiatif masih terbatas pada apotek tertentu . Peran apoteker : aktif mengedukasi pasien agar tidak membuang obat ke toilet atau tempat sampah , serta memfasilitasi pengembalian obat sisa ke apotek . Dampak lingkungan : Edukasi ini sangat penting karena pembuangan obat secara sembarangan menjadi salah satu sumber utama pencemaran farmasi di lingkungan domestik . Makna profesi : Peran ini menegaskan apoteker sebagai frontliner tidak hanya dalam terapi obat , tetapi juga dalam perlindungan lingkungan melalui interaksi langsung dengan pasien .

Pendahuluan (lanjutan 73) 3). Keterlibatan dalam PharmEcovigilance Definisi : PharmEcovigilance adalah perluasan konsep pharmacovigilance yang berfokus pada keselamatan pasien menjadi pemantauan dampak farmasi terhadap ekosistem ( Daughton & Ruhoy , 2011). Peran apoteker : berpartisipasi dalam program penelitian atau surveilans yang mendeteksi residu farmasi di air permukaan , air tanah , maupun tanah . Tujuan : mengidentifikasi risiko sejak dini sehingga dapat dirumuskan kebijakan mitigasi berbasis data ilmiah . Nilai akademik : keterlibatan apoteker dalam pharmEcovigilance memperlihatkan bahwa kompetensi profesi meluas ke ranah ilmiah dan lingkungan , menjembatani antara farmasi klinis dan farmasi lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 74) 4). Advokasi Kebijakan untuk Green Pharmacy Situasi saat ini : regulasi di Indonesia masih berorientasi pada pengelolaan limbah di sumber (end-of-pipe solution), bukan pada pencegahan melalui desain obat ramah lingkungan atau monitoring residu di ekosistem . Peran apoteker : menjadi advokat kebijakan publik dengan mendorong pemerintah mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif , seperti green pharmacy dan monitoring residu farmasi yang sudah diterapkan di Uni Eropa . Strategi advokasi : dapat dilakukan melalui organisasi profesi , keterlibatan dalam riset kebijakan , maupun kerja sama dengan lembaga lingkungan hidup . Relevansi keberlanjutan : peran ini menjadikan apoteker bukan sekadar pelaksana kebijakan , tetapi juga kontributor aktif dalam pembangunan sistem kesehatan yang berkelanjutan . Kesimpulan Subbab

Pendahuluan (lanjutan 75) Dengan memahami dan mengimplementasikan regulasi , apoteker tidak hanya menjalankan kewajiban hukum , tetapi juga memperkuat identitas profesinya sebagai penjaga kesehatan manusia sekaligus pelindung lingkungan . Peran apoteker dalam regulasi mencakup : Implementasi SOP regulasi nasional ( Permenkes No. 18/2020), Edukasi dan fasilitasi take-back, Keterlibatan dalam pharmEcovigilance , dan Advokasi kebijakan green pharmacy. Dengan demikian , pemahaman regulasi bukan hanya aspek hukum semata , tetapi juga bagian dari kompetensi profesional apoteker dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya SDG 3 (Good Health and Well-being), SDG 6 (Clean Water and Sanitation), dan SDG 12 (Responsible Consumption and Production). 📚 Daftar Pustaka : Aus der Beek, T., Weber, F.A., et al. (2016). Pharmaceuticals in the environment—Global occurrences and perspectives. Environmental Toxicology and Chemistry, 35(4), 823–835. Daughton , C.G., & Ruhoy , I.S. (2011). Green pharmacy and pharmEcovigilance : prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. European Commission. (2013). Directive 2013/39/EU on Priority Substances in Water Policy. Brussels. Kümmerer , K. (2010).

Pendahuluan (lanjutan 76) Bab 7. Studi Kasus Pencemaran Farmasi 7.1 Kasus Global Pencemaran Farmasi Pencemaran farmasi telah menjadi isu global yang mendapat perhatian serius dari kalangan ilmuwan , regulator, hingga organisasi internasional . Sejumlah studi kasus di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa meskipun residu farmasi sering ditemukan dalam konsentrasi rendah , dampak ekologis dan kesehatan yang ditimbulkan bisa sangat signifikan . Tiga kasus berikut sering dijadikan rujukan utama dalam literatur farmasi lingkungan . 1). Antibiotik di Sungai India Salah satu kasus paling dramatis ditemukan di Hyderabad, India, yang merupakan pusat industri farmasi dunia. Penelitian oleh Larsson et al. (2007) melaporkan bahwa konsentrasi antibiotik ciprofloxacin di saluran limbah dekat pabrik farmasi mencapai lebih dari 30 mg/L. Angka ini ribuan kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi obat yang biasanya ditemukan di air limbah domestik ( sekitar ng/L – µg/L).

Pendahuluan (lanjutan 77) Dampak ekologi : kadar ciprofloxacin yang sangat tinggi menyebabkan seleksi bakteri resisten di lingkungan perairan . Mikroba yang sebelumnya sensitif terhadap antibiotik menjadi resisten , sehingga ekosistem mikroba terganggu . Dampak kesehatan global: resistensi antimikroba (AMR) kini diakui WHO sebagai salah satu ancaman kesehatan terbesar abad ke-21, karena membuat terapi antibiotik menjadi kurang efektif . Kasus Hyderabad menjadi bukti bahwa pencemaran industri farmasi dapat berkontribusi signifikan terhadap masalah global AMR. Implikasi regulasi : kasus ini mendorong perlunya regulasi lebih ketat terkait pengolahan limbah industri farmasi , terutama di negara-negara berkembang yang menjadi pusat produksi obat generik dunia. 2). Diclofenac dan Burung Pemakan Bangkai di Asia Selatan Kasus kedua terjadi di India, Nepal, dan Pakistan pada 1990-an hingga awal 2000-an. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID diclofenac) secara luas pada ternak menyebabkan dampak ekologi yang tidak terduga . Burung pemakan bangkai (vultures) yang memakan bangkai ternak terpapar diclofenac mengalami gagal ginjal akut , yang memicu kematian massal (Oaks et al., 2004).

Pendahuluan (lanjutan 78) Dampak ekologi : populasi tiga spesies vulture utama di Asia Selatan menurun hingga lebih dari 95% hanya dalam waktu 10 tahun . Penurunan mendadak ini memicu ketidakseimbangan ekosistem , karena vulture memiliki peran penting dalam menguraikan bangkai hewan . Efek biomagnifikasi : kasus ini menunjukkan bagaimana obat veteriner dapat masuk ke rantai makanan , menimbulkan efek toksik pada predator non-target, dan akhirnya mengubah keseimbangan ekologi . Dampak sosial : penurunan vulture meningkatkan jumlah bangkai yang tidak terurai , sehingga memperbesar populasi anjing liar. Akibatnya , kasus rabies pada manusia meningkat karena gigitan anjing liar. Respon kebijakan : India dan Pakistan kemudian melarang penggunaan diclofenac pada ternak , serta menggantinya dengan alternatif yang lebih aman , seperti meloxicam. Kasus ini menjadi salah satu contoh keberhasilan regulasi berbasis bukti ilmiah (evidence-based policy).

Pendahuluan (lanjutan 79) 3). Etinilestradiol di Perairan Eropa dan Kanada Kasus lain yang terkenal adalah pencemaran hormon sintetis etinilestradiol (EE2) dari pil kontrasepsi . Senyawa ini ditemukan dalam perairan di Eropa dan Amerika Utara dalam konsentrasi nanogram per liter (ng/L), namun dampaknya sangat besar pada organisme akuatik . Dampak ekologi : studi jangka panjang di Kanada (Kidd et al., 2007) menunjukkan bahwa paparan EE2 dalam konsentrasi ng/L di danau eksperimen menyebabkan feminisasi ikan jantan , penurunan produksi sperma , dan kolaps populasi ikan. Mekanisme toksikologi : EE2 bertindak sebagai endocrine disruptor, yaitu senyawa yang meniru fungsi hormon alami sehingga mengganggu sistem reproduksi organisme non-target. Implikasi lingkungan : kasus ini memperlihatkan bahwa bahkan senyawa dalam konsentrasi sangat rendah pun dapat menimbulkan dampak ekologis serius bila sifatnya bioaktif dan persisten . Dampak kebijakan : temuan ini mendorong Uni Eropa memasukkan EE2 sebagai salah satu “priority substances” yang wajib dimonitor secara berkala di air permukaan . Kesimpulan Subbab Ketiga kasus global ini — antibiotik di India, diclofenac di Asia Selatan, dan etinilestradiol di Eropa / Kanada — memperlihatkan bahwa pencemaran farmasi bukan hanya masalah lokal , tetapi berdampak lintas ekosistem dan lintas negara.

Pendahuluan (lanjutan 80) Kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa : Industri farmasi dapat menjadi sumber utama pencemaran serius jika tanpa regulasi . Obat veteriner dapat memicu dampak ekologi yang luas melalui biomagnifikasi . Senyawa farmasi bioaktif , meskipun dalam konsentrasi sangat rendah , dapat mengubah struktur populasi organisme dan ekosistem . Oleh karena itu , studi kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi mahasiswa farmasi dan tenaga kesehatan bahwa pengelolaan limbah farmasi merupakan bagian integral dari praktik kefarmasian yang bertanggung jawab . 7.2 Kasus Nasional (Indonesia) Di Indonesia, pencemaran farmasi mulai mendapatkan perhatian akademik dalam satu dekade terakhir . Beberapa penelitian menunjukkan bahwa residu farmasi telah terdeteksi di perairan , limbah rumah sakit , serta rumah tangga . Walaupun data nasional masih terbatas , temuan ini menegaskan bahwa pencemaran farmasi bukan hanya isu global, tetapi juga nyata terjadi di Indonesia.

Pendahuluan (lanjutan 81) 1). Antibiotik di Sungai Citarum , Jawa Barat Sungai Citarum dikenal sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia. Penelitian oleh Kristanti et al. (2020) mendeteksi keberadaan antibiotik seperti sulfonamida dan tetracycline pada konsentrasi mikrogram per liter (µg/L). Sumber pencemaran : residu antibiotik ini diduga berasal dari berbagai sumber , yaitu limbah cair industri farmasi , rumah sakit , serta penggunaan antibiotik yang berlebihan dalam peternakan intensif . Dampak ekologi : tingginya konsentrasi antibiotik di Citarum menekan populasi mikroorganisme sensitif , sekaligus mendorong proliferasi bakteri resisten . Implikasi kesehatan : keberadaan bakteri resisten di lingkungan perairan meningkatkan risiko penyebaran resistensi antimikroba (AMR) ke masyarakat melalui air minum , pangan , maupun kontak langsung . Makna nasional : kasus ini memperlihatkan bagaimana pencemaran farmasi dapat memperburuk masalah AMR yang sudah menjadi krisis kesehatan global. 2). Limbah Rumah Sakit di Surabaya dan Jakarta Penelitian oleh Hartini et al. (2018) menunjukkan bahwa limbah cair rumah sakit di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta masih mengandung paracetamol, amoxicillin, dan ciprofloxacin.

Pendahuluan (lanjutan 82) Keterbatasan teknologi : sebagian besar instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit hanya dirancang untuk menurunkan beban organik dan patogen , bukan untuk mendegradasi senyawa farmasi yang kompleks dan persisten . Dampak lingkungan : residu obat yang lolos dari IPAL masuk ke sungai atau badan air sekitar rumah sakit , sehingga memperburuk pencemaran . Tantangan regulasi : meskipun Permenkes No. 18/2020 telah mengatur pengelolaan limbah medis , penerapan teknis masih terbatas karena kendala biaya , fasilitas , dan pengawasan . 3). Obat Kedaluwarsa Rumah Tangga Studi di Yogyakarta oleh Rahmawati & Bajorek (2017) menemukan bahwa lebih dari 50% rumah tangga menyimpan obat kedaluwarsa . Dari jumlah tersebut , sebagian besar masyarakat membuang obat ke tempat sampah atau saluran air. Faktor penyebab : rendahnya pengetahuan masyarakat tentang dampak lingkungan obat , serta belum adanya sistem nasional medicine take-back yang mudah diakses . Dampak lingkungan : obat yang dibuang ke tempat sampah berpotensi masuk ke TPA, terlarut dalam air lindi , lalu mencemari tanah dan air tanah . Sementara itu , obat yang dibuang ke saluran air langsung berkontribusi pada pencemaran sungai .

Pendahuluan (lanjutan 83) Implikasi kesehatan : pembuangan obat sembarangan meningkatkan risiko penyalahgunaan ( misalnya konsumsi obat kadaluwarsa ), serta menambah beban pencemaran farmasi di lingkungan domestik . Kesimpulan Subbab Kasus nasional di Indonesia menunjukkan tiga jalur utama pencemaran farmasi : Industri dan peternakan (Sungai Citarum , Jawa Barat) → kontribusi signifikan terhadap resistensi antibiotik . Rumah sakit di kota besar (Surabaya dan Jakarta) → residu obat lolos dari IPAL dan mencemari perairan . Rumah tangga (Yogyakarta) → obat kedaluwarsa dibuang sembarangan karena minim edukasi dan infrastruktur take-back. Temuan ini menegaskan bahwa pencemaran farmasi di Indonesia bersifat multisektor , sehingga penanganannya membutuhkan kolaborasi antara apoteker , regulator, industri , dan masyarakat . 7.3 Dampak Pencemaran Berdasarkan Kasus Berdasarkan studi kasus global maupun nasional yang telah dibahas , dampak pencemaran farmasi dapat dikategorikan ke dalam tiga aspek utama : ekologis , kesehatan masyarakat , dan ekonomi . Dampak ini saling terkait dan menunjukkan bahwa pencemaran farmasi tidak hanya menjadi isu lingkungan , tetapi juga krisis kesehatan dan beban sosial-ekonomi .

Pendahuluan (lanjutan 84) 1). Dampak Ekologis Pencemaran farmasi berimplikasi langsung terhadap ekosistem akuatik dan darat . Beberapa contoh kasus yang telah dibahas memberikan gambaran nyata : Feminasi ikan akibat hormon sintetis ( etinilestradiol ): penelitian di Kanada menunjukkan bahwa paparan konsentrasi ng/L EE2 dalam jangka panjang menyebabkan ikan jantan mengalami feminisasi , berkurangnya produksi sperma , hingga kolaps populasi ikan di danau (Kidd et al., 2007). Kematian massal burung pemakan bangkai akibat diclofenac: di India dan Pakistan, penggunaan NSAID pada ternak mengakibatkan burung vulture mati karena gagal ginjal setelah memakan bangkai ternak terpapar diclofenac (Oaks et al., 2004). Kasus ini menurunkan populasi vulture hingga lebih dari 95% dalam waktu singkat . Penurunan biodiversitas perairan : antibiotik di Sungai Citarum , Jawa Barat, mengganggu komunitas mikroba akuatik , yang pada gilirannya memengaruhi rantai makanan dan menurunkan keanekaragaman hayati ( Kristanti et al., 2020). Dampak ekologis ini memperlihatkan bahwa meskipun obat ditemukan pada konsentrasi rendah , sifatnya yang bioaktif dan persisten mampu menimbulkan perubahan ekosistem yang signifikan .

Pendahuluan (lanjutan 85) 2). Dampak terhadap Kesehatan Masyarakat Pencemaran farmasi juga berdampak pada kesehatan manusia , baik secara langsung maupun tidak langsung : Resistensi antimikroba (AMR): kasus ciprofloxacin di Hyderabad, India, dan antibiotik di Sungai Citarum , Indonesia, menunjukkan bahwa pencemaran farmasi berkontribusi pada seleksi bakteri resisten . AMR diakui WHO sebagai salah satu ancaman kesehatan global yang dapat menyebabkan kegagalan terapi infeksi dan meningkatnya angka kematian (Larsson et al., 2007; WHO, 2012). Paparan kronis melalui air minum : residu farmasi seperti paracetamol, amoxicillin, dan hormon sintetis telah terdeteksi dalam air permukaan yang berpotensi menjadi sumber air minum . Walaupun kadarnya rendah , paparan jangka panjang dapat menimbulkan efek endokrin , hepatotoksik , neurotoksik , hingga karsinogenik ( Daughton & Ruhoy , 2011). Risiko kesehatan tidak terduga : paparan obat psikoaktif dalam konsentrasi rendah dapat mengganggu perilaku dan sistem saraf organisme non-target, dan dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat berdampak pada manusia melalui rantai makanan .

Pendahuluan (lanjutan 86) 3). Dampak Ekonomi Selain ekologi dan kesehatan , pencemaran farmasi juga menimbulkan beban ekonomi yang signifikan : Biaya pengolahan air meningkat : keberadaan residu farmasi memaksa instalasi pengolahan air minum untuk menerapkan teknologi lanjutan ( seperti ozonisasi , nanofiltrasi , atau adsorpsi karbon aktif ), yang membutuhkan biaya operasional jauh lebih tinggi dibandingkan teknologi konvensional . Kerugian akibat AMR: resistensi antibiotik memperpanjang masa rawat inap , meningkatkan kebutuhan obat lini kedua yang lebih mahal, dan menyebabkan kerugian ekonomi global yang diperkirakan mencapai miliaran dolar per tahun (WHO, 2012). Dampak pada sektor lain: penurunan populasi vulture di Asia Selatan akibat diclofenac berdampak pada meningkatnya populasi anjing liar, yang menambah kasus rabies pada manusia . Biaya kesehatan publik akibat rabies ini menjadi beban tambahan bagi negara (Oaks et al., 2004). Kesimpulan Subbab Berdasarkan kasus-kasus global dan nasional , dampak pencemaran farmasi dapat diringkas sebagai berikut : Ekologis → perubahan ekosistem serius seperti feminisasi ikan, kematian burung , dan penurunan biodiversitas .

Pendahuluan (lanjutan 87) Kesehatan masyarakat → risiko resistensi antibiotik , paparan kronis yang berpotensi toksik , dan ancaman kesehatan jangka panjang . Ekonomi → meningkatnya biaya pengolahan air, penanggulangan AMR, serta kerugian sosial-ekonomi akibat gangguan ekosistem . Dengan demikian , pencemaran farmasi adalah isu multidimensional yang memerlukan pendekatan lintas sektor , mencakup regulasi ketat , teknologi pengolahan limbah , serta edukasi masyarakat untuk mencegah dampak lebih luas . 7.4 Pembelajaran dari Studi Kasus Studi kasus global (India, Asia Selatan, Kanada , Eropa ) maupun nasional (Indonesia) menunjukkan bahwa pencemaran farmasi bukanlah isu teoretis , tetapi fenomena nyata dengan dampak ekologi , kesehatan , dan ekonomi . Dari kasus-kasus tersebut , terdapat sejumlah pembelajaran penting yang dapat dijadikan pijakan dalam pengembangan kebijakan , praktik kefarmasian , maupun penelitian lebih lanjut . Pentingnya Monitoring Residu Farmasi secara Rutin Realitas kasus : konsentrasi ciprofloxacin di India dan antibiotik di Sungai Citarum Indonesia hanya dapat teridentifikasi melalui studi ilmiah dengan pemantauan langsung .

Pendahuluan (lanjutan 88) Tanpa monitoring, pencemaran ini tidak akan terdeteksi hingga menimbulkan krisis seperti resistensi antimikroba (Larsson et al., 2007; Kristanti et al., 2020). Implikasi akademik : monitoring rutin memungkinkan identifikasi awal senyawa prioritas yang berpotensi mengganggu ekosistem , sehingga dapat ditangani sebelum menimbulkan kerusakan permanen . Rekomendasi : Indonesia perlu mengembangkan sistem pharmEcovigilance nasional yang terintegrasi dengan pemantauan kualitas air oleh pemerintah daerah dan laboratorium lingkungan . Regulasi yang Lebih Ketat terhadap Limbah Industri Farmasi dan Rumah Sakit Realitas kasus : pabrik farmasi di Hyderabad (India) dan rumah sakit di Surabaya serta Jakarta terbukti melepaskan residu farmasi dalam jumlah signifikan ke lingkungan . IPAL konvensional terbukti tidak efektif untuk senyawa kompleks seperti sitostatika , hormon sintetis , atau antibiotik ( Hartini et al., 2018). Implikasi kebijakan : regulasi nasional perlu diperkuat , tidak hanya berfokus pada pemusnahan limbah padat dan cair , tetapi juga pada pemantauan residu di air permukaan dan tanah .

Pendahuluan (lanjutan 89) Rekomendasi : Indonesia dapat mencontoh Uni Eropa yang memasukkan farmasi tertentu dalam daftar priority substances dengan ambang batas jelas , serta Amerika Serikat yang melarang pembuangan obat ke saluran air. Penguatan Peran Apoteker dalam Edukasi Masyarakat Realitas kasus : penelitian di Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga masih membuang obat kedaluwarsa ke tempat sampah atau saluran air ( Rahmawati & Bajorek , 2017). Peran apoteker : apoteker perlu memperluas fungsi konseling , tidak hanya terkait penggunaan obat yang rasional , tetapi juga pembuangan obat yang aman dan ramah lingkungan . Implikasi profesi : hal ini memperkuat identitas apoteker sebagai guardian of medicines sekaligus steward of environment. Rekomendasi : materi edukasi tentang farmasi lingkungan perlu diintegrasikan dalam praktik apotek dan kurikulum pendidikan farmasi . Implementasi Program Take-Back Obat Kedaluwarsa Realitas global: program take-back telah berhasil diterapkan secara nasional di Amerika Serikat dan Eropa , sehingga masyarakat dapat mengembalikan obat kedaluwarsa ke apotek untuk dimusnahkan secara benar .

Pendahuluan (lanjutan 90) Situasi Indonesia: program serupa masih terbatas pada inisiatif apotek tertentu dan belum menjadi bagian dari sistem kesehatan nasional . Implikasi preventif : implementasi take-back secara luas di Indonesia akan mengurangi pembuangan obat ke lingkungan domestik , serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang farmasi lingkungan . Rekomendasi : pemerintah bersama Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dapat merancang take-back program nasional dengan dukungan regulasi dan pendanaan . Kesimpulan Subbab Dari berbagai studi kasus dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pencemaran farmasi membutuhkan pendekatan holistik dan preventif , bukan sekadar reaktif . Monitoring residu , regulasi ketat , penguatan peran apoteker , serta implementasi take-back program merupakan empat pilar utama yang harus dikembangkan untuk mencegah pencemaran lebih lanjut . Dengan demikian , pembelajaran dari kasus global dan nasional memberikan dasar kuat bahwa farmasi lingkungan bukan hanya isu akademik , tetapi bagian integral dari praktik kefarmasian modern yang mendukung pembangunan berkelanjutan .

Pendahuluan (lanjutan 91) 📚 Daftar Pustaka : Hartini , E., Suharti , S., & Prasetyo , A. (2018). Residues of pharmaceuticals in hospital wastewater in Indonesia. Journal of Environmental Health, 80(6), 510–518. Kidd, K.A., Blanchfield , P.J., et al. (2007). Collapse of a fish population after exposure to a synthetic estrogen. Proceedings of the National Academy of Sciences, 104(21), 8897–8901. Kristanti , R.A., Hadibarata , T., et al. (2020). Occurrence of antibiotics in Citarum River, West Java, Indonesia. Environmental Monitoring and Assessment, 192(4), 238. Larsson, D.G.J., de Pedro, C., & Paxeus , N. (2007). Effluent from drug manufacturers contains extremely high levels of pharmaceuticals. Journal of Hazardous Materials, 148(3), 751–755. Oaks, J.L., Gilbert, M., et al. (2004). Diclofenac residues as the cause of vulture population decline in Pakistan. Nature, 427, 630–633. Rahmawati , F., & Bajorek , B.V. (2017). Household storage of medicines and unused medicine disposal in Indonesia. International Journal of Pharmacy Practice, 25(2), 131–137

Pendahuluan (lanjutan 92) Bab 8. Peran Apoteker dalam Keberlanjutan Lingkungan 8.1 Pendahuluan Pada awal perkembangannya , profesi apoteker berfokus pada tiga pilar utama yaitu keamanan , mutu , dan khasiat obat (safety, quality, and efficacy). Tugas utama apoteker adalah memastikan bahwa obat yang dikonsumsi pasien efektif secara terapeutik , aman dari efek samping berbahaya , serta diproduksi dan didistribusikan sesuai standar mutu kefarmasian . Orientasi ini mencerminkan paradigma tradisional farmasi yang menempatkan pasien sebagai pusat perhatian . Namun , dalam era modern yang ditandai dengan konsep planetary health, ruang lingkup tanggung jawab apoteker mengalami perluasan . Paradigma planetary health menekankan bahwa kesehatan manusia tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan sistem alam yang menopangnya .

Pendahuluan (lanjutan 92) Dengan kata lain, kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia , termasuk pencemaran farmasi , pada akhirnya akan kembali memengaruhi kesehatan manusia itu sendiri . Sejalan dengan itu , muncul pendekatan One Health, yaitu kerangka kerja yang mengintegrasikan kesehatan manusia , kesehatan hewan , dan kesehatan lingkungan sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan ( Sahu , 2024). Dalam konteks ini , profesi apoteker tidak lagi hanya bertanggung jawab terhadap pasien individual, tetapi juga memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan ekosistem melalui praktik kefarmasian yang berkelanjutan .

Pendahuluan (lanjutan 93) Contoh nyata relevansi pendekatan ini adalah resistensi antimikroba (AMR). Penggunaan antibiotik pada manusia maupun hewan , jika tidak dikelola dengan benar , dapat mencemari lingkungan dan mempercepat munculnya bakteri resisten . Akibatnya , efektivitas antibiotik dalam terapi medis menurun , menimbulkan ancaman kesehatan global yang serius . Kasus ini menggambarkan bahwa farmasi lingkungan , kesehatan masyarakat , dan ekologi tidak bisa lagi dipandang sebagai isu terpisah . Dengan demikian , dalam era planetary health, apoteker dituntut untuk memperluas perannya : tidak hanya sebagai pengelola terapi obat untuk pasien , tetapi juga sebagai penjaga keberlanjutan lingkungan . Peran ini mencakup edukasi masyarakat , pengelolaan limbah farmasi , keterlibatan dalam penelitian obat ramah lingkungan , hingga advokasi kebijakan yang mendukung green pharmacy.

Pendahuluan (lanjutan 94) 8.2 Peran Apoteker dalam Edukasi dan Praktik Klinis Apoteker memiliki posisi strategis dalam edukasi masyarakat dan praktik klinis karena berinteraksi langsung dengan pasien maupun tenaga kesehatan lain. Peran ini penting dalam upaya menekan dampak farmasi terhadap lingkungan , baik melalui perubahan perilaku masyarakat maupun penerapan prinsip kefarmasian berkelanjutan di fasilitas kesehatan . 1). Edukasi Pasien tentang Penggunaan dan Pembuangan Obat Fakta lapangan : penelitian di Yogyakarta menemukan bahwa lebih dari 50% rumah tangga menyimpan obat kedaluwarsa , dan sebagian besar obat tersebut akhirnya dibuang ke tempat sampah atau saluran air ( Rahmawati & Bajorek , 2017). Praktik ini berisiko menimbulkan pencemaran farmasi di tanah dan perairan . Peran apoteker : Memberikan konseling langsung di apotek maupun rumah sakit mengenai penggunaan obat yang rasional (rational drug use) untuk menghindari penimbunan obat di rumah . Menyampaikan informasi mengenai cara pembuangan obat yang benar , misalnya melalui program take-back atau penyerahan kembali ke apotek . Mengembangkan media edukasi seperti leaflet, poster, atau aplikasi digital yang memudahkan masyarakat memahami dampak lingkungan dari obat sisa .

Pendahuluan (lanjutan 95) Implikasi : edukasi ini tidak hanya mencegah pencemaran , tetapi juga mendorong kesadaran publik bahwa pengelolaan obat adalah bagian dari tanggung jawab bersama dalam menjaga kesehatan lingkungan . 2). Praktik Klinis dan Green Prescribing Selain edukasi , apoteker di bidang klinis juga berperan dalam penerapan konsep green prescribing, yaitu pemilihan obat dengan mempertimbangkan efektivitas terapeutik , keamanan pasien , serta dampak ekologis ( Daughton & Ruhoy , 2011). Implementasi green prescribing: Mengutamakan penggunaan obat dengan farmakokinetika yang lebih efisien dan tingkat ekskresi rendah , sehingga jumlah residu yang masuk ke lingkungan lebih sedikit . Mempertimbangkan pilihan obat yang memiliki biodegradabilitas tinggi dibandingkan senyawa yang persisten . Mengurangi pemberian obat yang tidak rasional atau berlebihan , misalnya penggunaan antibiotik tanpa indikasi yang jelas . Kolaborasi antarprofesi : apoteker dapat bekerja sama dengan dokter dalam menyusun formulary atau panduan terapi yang mengintegrasikan aspek lingkungan , sehingga prinsip keberlanjutan menjadi bagian dari praktik klinis sehari-hari .

Pendahuluan (lanjutan 96) Manfaat : selain melindungi lingkungan , green prescribing juga mendukung program global pengendalian resistensi antimikroba (AMR) dengan cara menekan penggunaan antibiotik yang tidak perlu . 3). Dampak pada Profesi dan Masyarakat Bagi profesi : integrasi edukasi dan praktik klinis ramah lingkungan memperkuat identitas apoteker sebagai tenaga kesehatan yang tidak hanya fokus pada pasien , tetapi juga penjaga kesehatan masyarakat luas dan ekosistem . Bagi masyarakat : meningkatnya kesadaran tentang cara penggunaan dan pembuangan obat yang benar dapat mengurangi pencemaran domestik , meningkatkan keselamatan keluarga , dan mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Kesimpulan Subbab Peran apoteker dalam edukasi pasien dan praktik klinis memiliki dampak besar terhadap pengendalian pencemaran farmasi . Dengan memberikan konseling tentang penggunaan obat rasional , mengajarkan pembuangan obat yang aman , serta mempromosikan green prescribing, apoteker mampu berkontribusi pada perlindungan kesehatan manusia sekaligus keberlanjutan lingkungan ..

Pendahuluan (lanjutan 97) 8.3 Apoteker dan Program Take-Back Obat Program medicine take-back merupakan salah satu strategi preventif yang efektif dalam mengurangi pencemaran farmasi dari sumber domestik . Program ini memungkinkan masyarakat untuk mengembalikan obat sisa atau kedaluwarsa ke apotek atau fasilitas kesehatan , agar dapat dimusnahkan melalui metode yang aman dan sesuai standar limbah B3. Konsep ini sudah menjadi praktik rutin di berbagai negara maju , tetapi di Indonesia masih dalam tahap awal . 1). Program Take-Back di Negara Maju Amerika Serikat : Drug Enforcement Administration (DEA) bekerja sama dengan Environmental Protection Agency (EPA) dan jaringan apotek melaksanakan National Prescription Drug Take-Back Day secara berkala . Program ini berhasil mengumpulkan ratusan ton obat kedaluwarsa setiap tahunnya , sehingga mencegah pembuangan obat ke tempat sampah atau saluran air (US EPA, 2019). Uni Eropa : beberapa negara seperti Jerman , Swedia , dan Prancis memiliki sistem nasional di mana apotek berfungsi sebagai titik pengumpulan obat sisa . Obat-obat yang dikembalikan akan diproses melalui insinerasi suhu tinggi atau metode lain yang ramah lingkungan , sesuai regulasi EU Waste Framework Directive.

Pendahuluan (lanjutan 98) Dampak positif : program ini terbukti mengurangi pencemaran farmasi di lingkungan domestik , sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang farmasi lingkungan dan praktik pembuangan obat yang benar . 2). Kondisi Program Take-Back di Indonesia Situasi saat ini : belum ada sistem take-back nasional yang terintegrasi . Sebagian kecil apotek atau rumah sakit melaksanakan inisiatif lokal , tetapi belum diatur sebagai kewajiban regulasi . Kendala : kurangnya regulasi khusus mengenai pengumpulan obat rumah tangga , keterbatasan fasilitas pemusnahan limbah B3 di tingkat daerah , rendahnya kesadaran masyarakat tentang dampak lingkungan dari obat sisa . Implikasi : tanpa sistem take-back, sebagian besar obat kedaluwarsa masih dibuang ke tempat sampah atau saluran air, yang berpotensi mencemari tanah , air tanah , dan badan air. 3).Peran Strategis Apoteker dalam Program Take-Back Apoteker memiliki peran kunci dalam memastikan keberhasilan implementasi program ini di Indonesia, melalui : Edukasi masyarakat : memberikan konseling tentang bahaya pembuangan obat sembarangan serta manfaat mengembalikan obat kedaluwarsa ke apotek .

Pendahuluan (lanjutan 99) Fasilitasi pengumpulan obat : apotek dapat berfungsi sebagai pusat pengembalian obat sisa , dengan mekanisme yang jelas dan transparan . Kolaborasi dengan pemerintah dan organisasi profesi : bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup , serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) untuk membangun sistem take-back yang terintegrasi di tingkat nasional . Advokasi kebijakan : mendorong pemerintah untuk mengadopsi regulasi yang mewajibkan atau mendukung keberadaan program take-back di seluruh fasilitas farmasi . 4). Manfaat Jangka Panjang Program Take-Back Bagi lingkungan : mengurangi risiko pencemaran air dan tanah oleh residu farmasi . Bagi kesehatan masyarakat : mencegah penyalahgunaan obat sisa , khususnya obat narkotika , psikotropika , dan antibiotik . Bagi profesi farmasi : memperkuat citra apoteker sebagai tenaga kesehatan yang peduli tidak hanya pada pasien , tetapi juga pada kelestarian ekosistem dan kesehatan publik . Bagi sistem kesehatan nasional : mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG 3, 6, dan 12) melalui praktik kefarmasian yang bertanggung jawab .

Pendahuluan (lanjutan 100) Kesimpulan Subbab Program take-back obat merupakan salah satu solusi preventif paling efektif untuk mengatasi pencemaran farmasi dari rumah tangga . Apoteker di Indonesia dapat memainkan peran sentral dalam mendorong implementasi sistem ini melalui edukasi , fasilitasi , kolaborasi , dan advokasi kebijakan . Dengan demikian , take-back program tidak hanya menjadi bagian dari pengelolaan limbah farmasi , tetapi juga wujud nyata kontribusi profesi apoteker terhadap kesehatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 100) 8.4 Apoteker sebagai Peneliti dan Advokat Green Pharmacy Selain berperan dalam edukasi masyarakat dan praktik klinis , apoteker juga memiliki kontribusi penting dalam ranah penelitian ilmiah dan advokasi kebijakan publik . Kedua peran ini memperkuat posisi apoteker bukan hanya sebagai pelaksana praktik kefarmasian , tetapi juga sebagai agen perubahan dalam mewujudkan sistem farmasi yang berkelanjutan (sustainable pharmacy system). 1). Apoteker sebagai Peneliti (Researcher) Pengembangan obat ramah lingkungan : Apoteker yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan (research and development) berperan dalam merancang obat yang aman bagi pasien sekaligus ramah terhadap lingkungan .

Pendahuluan (lanjutan 101) Konsep ini dikenal sebagai benign by design drugs, yaitu obat yang setelah digunakan akan cepat terurai menjadi senyawa non- toksik sehingga tidak mencemari lingkungan ( Kümmerer , 2010). Bidang penelitian potensial : Sintesis obat dengan degradasi lebih cepat melalui rekayasa struktur molekul . Penggunaan pelarut ramah lingkungan dan bahan baku terbarukan dalam proses produksi . Studi ekotoksikologi untuk memprediksi dan memantau dampak residu farmasi pada organisme non-target. Apoteker akademik : Selain melakukan riset , apoteker di perguruan tinggi dapat mengintegrasikan materi farmasi lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan farmasi . Hal ini penting agar mahasiswa farmasi memiliki kesadaran ekologis sejak dini dan memahami bahwa tanggung jawab profesinya mencakup pasien sekaligus lingkungan (Mohiuddin, 2020). 2). Apoteker sebagai Advokat Kebijakan (Policy Advocate) Peran advokasi : Apoteker tidak hanya bekerja di laboratorium atau apotek , tetapi juga dapat berperan di tingkat kebijakan . Sebagai advokat , apoteker berfungsi untuk menyuarakan kepentingan masyarakat dan lingkungan dengan mempengaruhi pembuat kebijakan di bidang kesehatan dan lingkungan hidup .

Pendahuluan (lanjutan 102) Rujukan best practice global: Uni Eropa telah mengintegrasikan regulasi lingkungan dalam kebijakan farmasi , termasuk EU Water Framework Directive dan daftar priority substances yang mewajibkan monitoring residu farmasi di perairan ( Aus der Beek et al., 2016). Amerika Serikat melalui EPA melarang pembuangan obat ke saluran air ( sewering prohibition), serta mendukung program medicine take-back. Relevansi Indonesia: Apoteker di Indonesia dapat menggunakan model regulasi internasional ini sebagai rujukan advokasi , misalnya mendorong pemerintah agar: menetapkan standar ambang batas residu farmasi di perairan , memperkuat kebijakan pengelolaan limbah farmasi di rumah sakit dan industri , serta mewajibkan program take-back obat kedaluwarsa secara nasional . Kekuatan profesi : melalui organisasi profesi seperti Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), advokasi apoteker akan lebih efektif karena dilakukan secara kolektif dengan landasan bukti ilmiah . 3). Integrasi Penelitian dan Advokasi Peran apoteker sebagai peneliti dan advokat sebaiknya berjalan secara sinergis .

Pendahuluan (lanjutan 103) Hasil penelitian tentang dampak farmasi lingkungan , misalnya deteksi antibiotik di Sungai Citarum atau keberadaan hormon sintetis di perairan , dapat digunakan sebagai dasar advokasi untuk perubahan kebijakan . Dengan cara ini , apoteker berperan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan dan pembuatan kebijakan publik . Kesimpulan Subbab Peran apoteker sebagai peneliti dan advokat Green Pharmacy memperluas cakupan profesi dari ranah klinis menuju ranah akademik dan kebijakan publik . Sebagai peneliti , apoteker berkontribusi dalam pengembangan obat ramah lingkungan , teknologi farmasi berkelanjutan , dan pendidikan ekofarmasi . Sebagai advokat , apoteker mempengaruhi regulasi nasional dengan merujuk pada praktik global terbaik , sehingga Indonesia dapat bergerak dari pendekatan reaktif menuju preventif . Dengan demikian , apoteker tidak hanya berperan menjaga keselamatan pasien , tetapi juga menjadi agen perubahan dalam menjaga kesehatan ekosistem dan mendukung pembangunan berkelanjutan . 8.5 Kesimpulan Peran apoteker dalam konteks keberlanjutan lingkungan telah melampaui batas tradisional profesi yang sebelumnya berfokus pada aspek klinis , terapi obat , dan praktik industri farmasi .

Pendahuluan (lanjutan 104) Dalam era planetary health dan pendekatan One Health, apoteker diposisikan sebagai aktor kunci yang menjembatani hubungan antara pengelolaan obat , kesehatan manusia , dan kelestarian ekosistem . Peran strategis tersebut dapat diuraikan dalam empat dimensi utama : 1). Edukator Apoteker berperan aktif dalam memberikan konseling kepada pasien dan masyarakat mengenai penggunaan obat yang rasional , serta cara pembuangan obat yang benar . Dengan edukasi ini , apoteker mampu mengurangi penumpukan obat kedaluwarsa di rumah tangga dan mencegah pencemaran farmasi akibat pembuangan obat sembarangan . Peran edukatif ini memperlihatkan bahwa apoteker tidak hanya menjaga pasien dari risiko klinis , tetapi juga membekali masyarakat dengan kesadaran ekologis . 2). Praktisi Green Pharmacy Dalam praktik klinis dan pelayanan kefarmasian , apoteker dapat menerapkan prinsip green prescribing, yaitu pemilihan obat yang efektif bagi pasien namun juga mempertimbangkan dampak ekologisnya .

Pendahuluan (lanjutan 105) Selain itu , apoteker menjalankan environmental stewardship dalam praktik sehari-hari , misalnya dengan mendukung pemisahan limbah farmasi , mengawasi pemusnahan obat kedaluwarsa sesuai SOP, serta memastikan penggunaan antibiotik yang bijak untuk mencegah resistensi antimikroba . 3). Peneliti Apoteker yang bergerak di bidang akademik dan riset berkontribusi dalam pengembangan obat ramah lingkungan (benign by design drugs), yaitu obat yang dirancang agar mudah terdegradasi di alam setelah digunakan tanpa meninggalkan residu toksik . Selain itu , apoteker juga dapat meneliti teknologi pengolahan limbah farmasi , seperti fitoremediasi , ozonisasi , atau advanced oxidation process, yang lebih ramah lingkungan dibandingkan metode konvensional . Peran ini menegaskan posisi apoteker sebagai ilmuwan yang berkontribusi pada inovasi farmasi berkelanjutan . 4). Advokat Kebijakan Apoteker juga berperan sebagai advokat yang mendorong lahirnya regulasi nasional yang selaras dengan best practice global, seperti regulasi Uni Eropa tentang pemantauan residu farmasi di air permukaan atau kebijakan take-back program di Amerika Serikat .

Pendahuluan (lanjutan 106) Melalui organisasi profesi maupun kolaborasi lintas sektor , apoteker dapat memperkuat sistem kesehatan dan lingkungan di Indonesia agar lebih responsif terhadap isu pencemaran farmasi . Kesimpulan Akhir Dengan mengintegrasikan keempat peran tersebut , apoteker berkontribusi nyata dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya : SDG 3 (Good Health and Well-being): memastikan kesehatan manusia melalui penggunaan obat yang aman , rasional , dan berkelanjutan . SDG 6 (Clean Water and Sanitation): melindungi sumber daya air dari pencemaran farmasi . SDG 12 (Responsible Consumption and Production): mendorong penggunaan obat yang bertanggung jawab dan pemusnahan limbah farmasi yang aman . Dengan demikian , apoteker merupakan agen perubahan dan penjaga keberlanjutan yang tidak hanya berfokus pada terapi pasien individual, tetapi juga berkontribusi dalam menjaga kesehatan masyarakat , ekosistem , dan bumi secara keseluruhan . 📚 Daftar Pustaka : Aus der Beek, T., Weber, F.A., et al. (2016). Pharmaceuticals in the environment—Global occurrences and perspectives. Environmental Toxicology and Chemistry, 35(4), 823–835. Daughton , C.G., & Ruhoy , I.S. (2011).

Pendahuluan (lanjutan 107) Green pharmacy and pharmEcovigilance : prescribing and the planet. Expert Review of Clinical Pharmacology, 4(2), 211–232. Kümmerer , K. (2010). Pharmaceuticals in the Environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Mohiuddin, A.K. (2020). The excellence of pharmacy practice. Innovations in Pharmacy, 11(3), 1–15. Rahmawati , F., & Bajorek , B.V. (2017). Household storage of medicines and unused medicine disposal in Indonesia. International Journal of Pharmacy Practice, 25(2), 131–137. Sahu , A. (2024). Pharmacist roles reimagined: Embracing planetary health perspectives. Journal of Pharmacotherapy and Clinical Research, 11(2), 45–56. Toma, A., & Crișan , O. (2021). Research on developing environmental ethics in pharmacists’ activities: Green pharmacy practice. Environmental Health, 20(1), 89. US Environmental Protection Agency (EPA). (2019). Managing Pharmaceutical Hazardous Waste under the Resource Conservation and Recovery Act (RCRA).

Pendahuluan (lanjutan 108) Bab 9. Metode Pengolahan Limbah Farmasi 9.1 Pendahuluan Limbah farmasi tergolong limbah B3 ( Bahan Berbahaya dan Beracun ) karena mengandung active pharmaceutical ingredients (API) yang berpotensi toksik , persisten , dan bioakumulatif . Oleh karena itu , pengolahannya membutuhkan metode khusus agar tidak mencemari lingkungan . Terdapat berbagai metode , mulai dari konvensional hingga teknologi modern dan biologis . 9.2 Metode Konvensional Insinerasi Suhu Tinggi Prinsip : pembakaran pada suhu 1.100–1.200°C untuk menghancurkan molekul farmasi . Kelebihan : efektif menghancurkan senyawa kompleks termasuk sitostatika . Keterbatasan : menghasilkan emisi dioksin dan furan bila tidak dikontrol (WHO, 2012). Implementasi : di Indonesia diatur dalam SNI insinerasi limbah medis .

Pendahuluan (lanjutan 108) Autoclaving Prinsip : sterilisasi limbah dengan uap bertekanan (121–134°C). Kelebihan : cocok untuk limbah biologis (ampul bekas , vial). Keterbatasan : tidak efektif menguraikan molekul kimia aktif ( Alkassasbeh et al., 2022). Landfill Aman (Sanitary Landfill) Limbah farmasi yang sudah diolah dapat dibuang ke landfill dengan lapisan pelindung . Keterbatasan : risiko pelindung rusak , menyebabkan lindi mencemari air tanah ( Kümmerer , 2010). 9.2 Autoclave dan Sanitary Landfill Pirolisis Prinsip : dekomposisi termal tanpa oksigen pada suhu tinggi (400–800°C). Kelebihan : menghasilkan energi (waste-to-energy). Keterbatasan : biaya tinggi , belum banyak digunakan di fasilitas kesehatan Indonesia.

Pendahuluan (lanjutan 109) 9.3 Metode Modern ( Fisiko -Kimia) Advanced Oxidation Processes (AOPs) Prinsip : menggunakan radikal hidroksil (·OH) untuk oksidasi senyawa organik kompleks . Contoh : ozonisasi , Fenton, fotokatalisis TiO ₂. Efektivitas : dapat mendegradasi antibiotik , NSAID, dan hormon (Zhang et al., 2019). Keterbatasan : biaya operasional tinggi . Ozonisasi Prinsip : O₃ sebagai oksidator kuat memecah molekul farmasi . Efektif pada antibiotik , analgesik , dan hormon (Lee et al., 2017). Keterbatasan : pembentukan produk samping ( bromat ). Teknologi Membran Jenis : nanofiltrasi (NF), reverse osmosis (RO), ultrafiltrasi (UF). Efektif menyisihkan API hingga 90–99%. Keterbatasan : fouling membran , biaya penggantian tinggi (Schäfer et al., 2011). Adsorpsi dengan Karbon Aktif Prinsip : API terikat pada pori-pori karbon aktif . Kelebihan : sederhana , murah , banyak digunakan di IPAL. Keterbatasan : membutuhkan regenerasi adsorben (Ternes et al., 2003).

Pendahuluan (lanjutan 109) 9.4 Metode Biologis Biodegradasi Mikroba Mikroorganisme seperti Pseudomonas dan Bacillus mampu mendegradasi antibiotik dan NSAID (Alvarez-Muñoz et al., 2015). Keterbatasan : degradasi lambat , tergantung kondisi lingkungan . Enzimatik Enzim laccase dan peroksidase dapat menguraikan hormon sintetis dan analgesik . Kelebihan : ramah lingkungan . Keterbatasan : stabilitas enzim rendah , biaya tinggi (Cabana et al., 2007). Fitoremediasi Prinsip : menggunakan tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk menyerap atau mendegradasi API. Studi di Indonesia menunjukkan eceng gondok dapat menurunkan kadar parasetamol dalam limbah cair ( Pratiwi et al., 2020). Keterbatasan : terbatas untuk konsentrasi rendah .

Pendahuluan (lanjutan 110) 9. 5 Implementasi di Indonesia Rumah sakit di Indonesia mayoritas masih menggunakan insinerasi dan autoclaving. Beberapa rumah sakit besar mulai menerapkan IPAL dengan karbon aktif dan membran . Penelitian universitas sedang mengembangkan fitoremediasi dengan eceng gondok dan mikroalga untuk skala kecil . Regulasi Permenkes No. 18 Tahun 2020 menekankan pemusnahan limbah farmasi via insinerasi B3, namun penerapan teknologi modern masih terbatas karena biaya . 9. 6 Kesimpulan Pengelolaan limbah farmasi memerlukan kombinasi berbagai metode sesuai jenis limbah , kapasitas fasilitas , dan regulasi yang berlaku .

Pendahuluan (lanjutan 111) Insinerasi tetap menjadi metode utama , namun teknologi modern seperti AOPs, membran , dan adsorpsi karbon aktif semakin diperlukan . Ke depan , integrasi dengan bioteknologi dan fitoremediasi dapat menjadi solusi ramah lingkungan dan berkelanjutan . 📚 Daftar Pustaka : Alkassasbeh , J.Y., et al. (2022). Autoclaving and incineration of pharmaceutical wastes: Effectiveness and limitations. Journal of Waste Management, 145, 200–209. Alvarez-Muñoz, D., et al. (2015). Degradation of pharmaceuticals in wastewater by microbial consortia. Science of the Total Environment, 505, 582–590. Cabana, H., et al. (2007). Laccase-catalyzed degradation of pharmaceuticals. Biotechnology Advances, 25(6), 563–572. Kümmerer , K. (2010). Pharmaceuticals in the Environment. Annual Review of Environment and Resources, 35, 57–75. Lee, Y., et al. (2017). Ozonation of pharmaceuticals: Degradation mechanisms and by-products. Water Research, 122, 510–521. Pratiwi , I., et al. (2020). Phytoremediation of paracetamol-contaminated wastewater using water hyacinth. Jurnal Rekayasa Lingkungan , 16(2), 89–97. Schäfer, A.I., et al. (2011). Micropollutant removal with membranes. Water Research, 45(2), 483–495.

Pendahuluan (lanjutan 112) Ternes, T.A., et al. (2003). Removal of pharmaceuticals during drinking water treatment. Environmental Science & Technology, 37(17), 4021–4026. WHO. (2012). Safe Management of Wastes from Health-Care Activities. World Health Organization. Zhang, Y., et al. (2019). Advanced oxidation processes for pharmaceuticals removal from water. Chemosphere, 221, 621–639

Terima kasih
Diskusi & Tanya Jawab
Tags