EBOOK - PENGANTAR MORFOLOGI TANAH DAN BATUAN UNTUK TEKNIK SIPIL (1)-1 (1).pdf

ekobudianto42 33 views 190 slides Nov 12, 2024
Slide 1
Slide 1 of 190
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90
Slide 91
91
Slide 92
92
Slide 93
93
Slide 94
94
Slide 95
95
Slide 96
96
Slide 97
97
Slide 98
98
Slide 99
99
Slide 100
100
Slide 101
101
Slide 102
102
Slide 103
103
Slide 104
104
Slide 105
105
Slide 106
106
Slide 107
107
Slide 108
108
Slide 109
109
Slide 110
110
Slide 111
111
Slide 112
112
Slide 113
113
Slide 114
114
Slide 115
115
Slide 116
116
Slide 117
117
Slide 118
118
Slide 119
119
Slide 120
120
Slide 121
121
Slide 122
122
Slide 123
123
Slide 124
124
Slide 125
125
Slide 126
126
Slide 127
127
Slide 128
128
Slide 129
129
Slide 130
130
Slide 131
131
Slide 132
132
Slide 133
133
Slide 134
134
Slide 135
135
Slide 136
136
Slide 137
137
Slide 138
138
Slide 139
139
Slide 140
140
Slide 141
141
Slide 142
142
Slide 143
143
Slide 144
144
Slide 145
145
Slide 146
146
Slide 147
147
Slide 148
148
Slide 149
149
Slide 150
150
Slide 151
151
Slide 152
152
Slide 153
153
Slide 154
154
Slide 155
155
Slide 156
156
Slide 157
157
Slide 158
158
Slide 159
159
Slide 160
160
Slide 161
161
Slide 162
162
Slide 163
163
Slide 164
164
Slide 165
165
Slide 166
166
Slide 167
167
Slide 168
168
Slide 169
169
Slide 170
170
Slide 171
171
Slide 172
172
Slide 173
173
Slide 174
174
Slide 175
175
Slide 176
176
Slide 177
177
Slide 178
178
Slide 179
179
Slide 180
180
Slide 181
181
Slide 182
182
Slide 183
183
Slide 184
184
Slide 185
185
Slide 186
186
Slide 187
187
Slide 188
188
Slide 189
189
Slide 190
190

About This Presentation

Tujuan penulisan buku “Pengantar Morfologi Tanah dan Batuan untuk Teknik Sipil” yaitu memudahkan dosen pengampu mata kuliah dalam menyampaikan dan menyajikan materi yang lebih menarik, mudah dipahami dan juga sesuai dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang disusun oleh dosen pengampuh mat...


Slide Content

Pengantar
MORFOLOGI TANAH DAN BATUAN
Untuk Teknik Sipil

Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
i. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

ii. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau
huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iii. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

iv. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pengantar
MORFOLOGI TANAH DAN BATUAN
Untuk Teknik Sipil


Eko Budianto
Daud Andang Pasalli
Yance Kakerissa

PENGANTAR MORFOLOGI TANAH DAN
BATUAN UNTUK TEKNIK SIPIL
@ Eko Budianto, dkk., 2024
Penulis : Eko Budianto
Daud Andang Pasalli
Yance Kakerissa
Editor : Suyadi & Chitra Utary
Tata Letak : Ara Caraka
Cover : Aswan

Diterbitkan dan dicetak oleh UNY PRESS
Jl. Gejayan, Gg. Alamanda, Komplek Fakultas Teknik UNY
Kampus UNY Karangmalang Yogyakarta 55281

Telp : 0274-589346
E-mail : [email protected]
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
Anggota Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI)
16 x 23 cm, xiv + 169 hlm.

ISBN : 978-602-498-754-1

Cetakan Pertama, Maret 2024
Hak Cipta dilindungi Undang-undang.
Dilarang Mengutip atau memperbanyak sebagian atau
Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

i

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunianya
draft buku "Morfologi Tanah untuk Teknik Sipil" ini dapat
terselesaikan.
Seiring perkembangan dan pertumbuhan bangunan yang cukup
pesat menyebabkan semakin banyaknya permintaan perencanaan
bangunan. Hal ini tidak terlepas dari peran bagi perencana, konsultan,
kontraktor pada bidang Teknik Sipil. Oleh karena itu, sangat penting
mengusai ilmu dasar Teknik Sipil yang berkaitan dengan tanah dan
batuan yang berhubungan sangat erat dengan konstruksi bangunan
umum.
Tujuan penulisan buku “Pengantar Morfologi Tanah dan
Batuan untuk Teknik Sipil” yaitu memudahkan dosen pengampuh
mata kuliah dalam menyampaikan dan menyajikan materi yang lebih
menarik, mudah dipahami dan juga sesuai dengan Rencana
Pembelajaran Semester (RPS) yang disusun oleh dosen pengampuh
mata kuliah. Manfaat penulisan buku ajar ini secara khusus untuk
menyediakan referensi bagi Mahasiswa untuk memahami ilmu
kebumian dasar yang ada kaitannya dengan ilmu Teknik Sipil, pada
Program studi Teknik Sipil untuk memenuhi target pencapaian
pembelajaran mata kuliah pada mata kuliah Pengantar Geologi dan
Morfologi Tanah.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada
pada draf buku terbuka ini. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan buku ini.

November 2023
Ketua Tim penyusun
Eko Budianto

iii

PRAKATA
Buku ini bertujuan untuk memberikan pemahaman awal tentang
morfologi tanah dan batuan sebagai bekal untuk menerapkan prinsip-
prinsip dasar geologi sebagai bagian penting dalam rekayasa di bidang
teknik Sipil. Materi yang akan dibahas pada buku ini terbagi dalam
beberapa Bab sebagai berikut:
• Bab I, Prinsip-Prinsip Dasar
Membahas pentingnya prinsip dasar geologi teknik untuk Teknik
Sipil dan sifat-sifat fisis tanah berdasarkan karakteristiknya.
• Bab II, Sifat dan Klasifikasi Tanah
Membahas tentang karakteristik tanah dan metode untuk
mengklasifikasikannya sebagai bagian dari ilmu dasar Teknik Sipil.
• Bab III, Jenis Tanah dan Karakteristiknya
Membahas tentang karakteristik tanah lempung, tanah lanau, tanah
tropis, tanah organik: gambut.
• Bab IV, Jenis Batuan dan Stratigrafi
Membahas tentang konsep siklus geologi dan mendefinisikan jenis
batuan dan mineral bumi.
• Bab V, Struktur Geologi
Membahas tentang konsep definisi bentuk-bentuk muka bumi dan
proses pembentukannya.

iv
Peta Konsep

Memahami Ilmu dasar Geologi dan
Morfologi Tanah (M3)
Memahami Sifat dan
Klasifikasi Tanah (M1)
Memahami prinsip-
prinsip dasar (M1)
Memahami Struktur Geologi
(M2)
Memahami Jenis Batuan dan
Stratigrafi ( M2)
Memahami Jenis Tanah dan
Karakteristiknya (M1)

v

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ................................................................... i
PRAKATA ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................ v
DAFTAR TABEL ...................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................... ix
BAB 1 Prinsip-Prinsip Dasar ....................................................... 1
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) ............................. 1
1.2 Pendahuluan .................................................................................... 1
1.3 Pembentukan Tanah ....................................................................... 3
1.4 Tanah Endapan dan Tanah Terangkut ........................................ 5
1.5 Peristilahan Berbagai Jenis Tanah ................................................. 6
BAB 2 Sifat Dan Klasifikasi Tanah ............................................. 11
2.1 Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) ........................... 11
2.2 Pengertian Asal Tanah .................................................................. 11
2.3 Sifat Dasar Tanah .......................................................................... 14
2.4 Distribusi Ukuran Partikel ........................................................... 16
2.5 Batas Konsistensi Tanah .............................................................. 18
2.6 Bagan Plastisitas ............................................................................ 23
2.7 Klasifikasi Tanah ........................................................................... 24
2.8 Perbandingan Antara Sistem AASHTO dan USCS ................. 33
BAB 3 Jenis Tanah Dan Karakteristiknya ................................. 35
3.1 Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) ........................... 35
3.2 Deposit Tanah Lempung ............................................................. 35
Tanah Lanau .................................................................................. 45

vi
Tanah Tropis ................................................................................. 50
Gambut........................................................................................... 61
Konsolidasi dan penyelesaian gambut ....................................... 77
Gambaran Tanah di Provinsi Papua Selatan ............................. 83
BAB 4 Jenis Batuan Dan Stratigrafi ........................................... 87
4.1 Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) ........................... 87
4.2 Batuan Beku ................................................................................... 87
4.3 Metamorfisme dan Batuan Metamorf ...................................... 104
4.4 Batuan Sedimen ........................................................................... 116
4.5 Stratigrafi ...................................................................................... 141
BAB 5 Struktur Geologi ............................................................ 147
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) ......................... 147
Lipatan (Fold) ............................................................................... 147
Sesar (Faults) ................................................................................. 157
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 167

vii

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Istilah berbagai jenis tanah ..................................................... 6
Tabel 2.1 Pengaruh transportasi terhadap sedimen ........................... 12
Tabel 2.3 Nilai kepadatan relatif dan deskripsinya ............................. 15
Tabel 2.4 Distribusi ukuran partikel tanah .......................................... 16
Tabel 2.5 Plastisitas menurut batas cair ............................................... 19
Tabel 2.6 Plastisitas tanah (setelah (Anon, 1979)) .............................. 19
Tabel 2.7 Konsistensi tanah kohesif .................................................... 20
Tabel 2.8 Perkiraan nilai kelas aktivitas ............................................... 21
Tabel 2.9 Klasifikasi tanah sesuai sistem klasifikasi AASHTO ........ 26
Tabel 2.10 Sistem klasifikasi Unifed Soil Classification System
(USCS) .................................................................................... 29
Tabel 2.11 Perkiraan Kesetaraan antara sistem AASHTO dan
USC ......................................................................................... 34
Tabel 3.1 General Specific Gravity of soil particles (Omotoso, et al.,
2012) ........................................................................................ 59
Tabel 3.2 Beberapa sifat rekayasa tanah residu tropis ....................... 61

ix

DAFTAR GAMBA R
Gambar 2.1 Distribusi ukuran butir pada kurva. ............................... 17
Gambar 2.2 Batas Atterberg ................................................................. 22
Gambar 2.3 Grafik plastisitas (Sam Helwany, 2007) ......................... 24
Gambar 2.4 Bagan Plastisitas (unified soil classification). ................ 32
Gambar 3.1 (a) Single silica tetrahedron (after Grim, 1959).
(b) Isometric view of the tetrahedral or silica sheet
(after Grim, 1959). (c) Schematic representation of the
silica sheet (after Lambe, 1953). (d) Top view of the
silica sheet (after Warshaw and Roy, 1961 ). ................ 36
Gambar 3.2 (a) Single aluminum (or magnesium) octahedron.
(b) Isometric view of the octahedral sheet (c)
Schematic representation of the octahedral or alumina
(or magnesia) sheet (d) Top view of the octahedral
sheet ................................................................................... 37
Gambar 3.3 Schematic diagram of the structure of kaolinite
(after (Lambe, 1953)). ...................................................... 39
Gambar 3.4 Struktur atom kaolinite (after Grim, 1959). .................. 40
Gambar 3.5 Skematik struktur montmorillonite (after
(Lambe, 1953)). ................................................................. 41
Gambar 3.6 Struktur atom montmorillonite (after, (Grim, 1959)). 42
Gambar 3.7 Skematik diagram illite (after (Lambe, 1953)). ............. 43
Gambar 3.8 Skematik diagram chlorite (after (Mitchell &
Soga, 2005)). ...................................................................... 45
Gambar 3.9 Sungai Kosta Rika mengeluarkan sejumlah besar
airnya yang sarat lanau (disebabkan oleh erosi) ke laut
............................................................................................ 46

x
Gambar 3.10 Lapisan Lanau ................................................................... 48
Gambar 3.11 Distribusi dunia yang disederhanakan dari jenis
utama tanah residu tropis (berdasarkan Peta Tanah
Dunia FAO). ..................................................................... 54
Gambar 3.12 Tanah latosol (laterit kolektif) distribusi dunia ............ 55
Gambar 3.13 Sampel laterit kira-kira 8cm ............................................ 56
Gambar 3.14 Bauksit kaya Aluminium kira-kira 8cm ......................... 56
Gambar 3.15 Distribusi partikel Laterit (BELL, 2007) ....................... 58
Gambar 3.17 Peta Tanah Provinsi Papua Selatan ............................... 84
Gambar 4.1 Perkiraan komposisi mineral dari jenis batuan
beku yang lebih umum, misalnya. granite, quartz,
plagioclase, mica and hornblende. ................................. 89
Gambar 4.2 Tanggul di pantai dan Calgary Bay, menghadap
ke selatan ........................................................................... 89
Gambar 4.3 Tepi Great Whin Sill terlihat jelas menonjol keluar
dari batu kapur yang lebih lemah di atas dan di bawah.
............................................................................................ 90
Gambar 4.4 Distribusi gunung berapi aktif di dunia ......................... 91
Gambar 4.5 Lapilli dekat kaldera Danau Kawah, Oregon ............... 94
Gambar 4.6 Letusan Gunung St. Helens Mei 1980,
Washington State.............................................................. 95
Gambar 4.7 (a) Ropy atau pahoehoe lava, Kawah bulan, Idaho ..... 97
Gambar 4.8 b) Clinkery atau AA lava, Kawah bulan, Idaho. ......... 98
Gambar 4.9 Sambungan kolom di basal, Giant's Causeway,
Irlandia Utara. ................................................................... 99
Gambar 4.10 Bagian tipis dolerit dari Harrisburg, Afrika Selatan,
menunjukkan bercak mineral lempung dan beberapa
rekahan mikro. ................................................................ 102
Gambar 4.11 Bagian tipis dolerite dari Harrisburg, South Africa,
menunjukkan bercak mineral lempung dan beberapa
mikrofraktur. ................................................................... 104
Gambar 4.12 Sebuah tambang batu tulis tua tempat ekstraksi

xi
memanfaatkan pembelahan vertikal, Nant Peris, Wales
Utara. ................................................................................ 107
Gambar 4.13 (a) Sekis mika yang memisahkan kuarsa dan
muskovit. Qu, kuarsa; M, Moskow (x 24). (b) Sekis
mika, timur laut Rhiconich, utara Skotlandia. ............ 108
Gambar 4.14 (a) Gneiss yang pita kuarsa dan feldsparnya kurang
lebih terpisah dari biotit dan hornblende. Qu, kuarsa; F,
feldspar; B, biotit; H, hornblende. (b) Gneiss berpita
dan terlipat terlihat di utara Dombas, Norwegia. ...... 109
Gambar 4.15 Peta sketsa Skiddaw Granite dan aureole
kontaknya, Cumbria, Inggris. ........................................ 110
Gambar 4.16 Kurva penilaian............................................................... 121
Gambar 4.17 Gambar untuk memperkirakan bentuk. ...................... 123
Gambar 4.18 Tempat tidur di batu pasir, barat laut Nelson,
Pulau Selatan, Selandia Baru. ........................................ 124
Gambar 4.19 Diagram yang mengilustrasikan alas silang. ................ 124
Gambar 4.20 Konglomerat di Batu Pasir Merah Tua, sebelah
utara Belfast, Irlandia Utara. ......................................... 126
Gambar 4.21 Bagian tipis dari Fell Sandstone (arenit kuarsa),
Karbon Bawah, Northumberland, Inggris.................. 127
Gambar 4.22 Deposit loess dekat Kansas City, Amerika Serikat. ... 129
Gambar 4.23 Teepee garam di Lapangan Golf, salina, Death
Valley, California. ........................................................... 133
Gambar 4.24 Singkapan batuan pada satuan stratigrafi (kiri)
dan singkapan singkapan yang menerus dari satuan
stratigrafi (kanan). ........................................................... 144
Gambar 4.25 Sketsa pengukuran penampang stratigrafi .................... 145
Gambar 5.1 Ilustrasi dip dan strike: orientasi bidang bergaris
silang dapat dinyatakan sebagai strike 330o, dip 60o
(Bell, 2007) ...................................................................... 148
Gambar 5.2 (a) Diagram blok antiklin dan sinklin terbalik yang

xii
tidak menukik, menunjukkan berbagai elemen lipatan.
(b) Sinklin dengan antiklin ke kiri, Cape Fold Belt,
dekat George, Afrika Selatan. ....................................... 150
Gambar 5.3 (a) Diagram blok lipatan antiklinal
yang menggambarkan penurunan. (b) Antiklin yang
menukik terkikis. (c) Sinkronisasi yang terkikis.......... 150
Gambar 5.4 (a) Jenis lipatan. (b) Antiklin asimetris dengan
beberapa terbalik di dekat puncak, terlihat di lubang
terbuka, dekat Lethbridge, British Columbia. (c)
Lipatan monoklinal. (d) Lipatan isoklinal. (e) Kipas
lipat. .................................................................................. 152
Gambar 5.5 (a) Lipatan paralel. (b) Lipatan serupa. ........................ 152
Gambar 5.6 Lipatan Chevron pada batu kapur berumur
Miosen, Kaikuora, Pulau Selatan, Selandia Baru (Bell,
2007) ................................................................................ 154
Gambar 5.7 Belahan fraktur berkembang di Horton Flags,
Silurian, dekat Stainforth, North Yorkshire, Inggris.
Kemiringan belahan patahan ditunjukkan dengan palu
yang hampir vertikal. Palu lainnya menunjukkan arah
bantalan............................................................................ 155
Gambar 5.8 Patahan pada strata Grup Batu Kapur, Karbon
Bawah, dekat Howick, Northumberland, Inggris. ..... 158
Gambar 5.9 Jenis-jenis gangguan: (a) gangguan normal,
(b) gangguan balik, (c) gangguan kunci pas atau slip-
slip, (d) gangguan oblique-slip. FW = dinding kaki; HW
= dinding gantung; AB = melempar; BC = angkat; f =
sudut hade. Panah menunjukkan arah perpindahan
relatif. ............................................................................... 159
Gambar 5.10 Diagram blok yang mengilustrasikan langkah
struktur sesar, serta struktur horst dan graben ........... 160
Gambar 5.11 (a) Pengulangan lapisan pada permukaan (sesar
sejajar dengan tumbukan dan hading terhadap
kemiringan). (b) Penghilangan lapisan pada permukaan

xiii
(sesar sejajar dengan tumbukan dan hading dengan
kemiringan). .................................................................... 161
Gambar 5.12 (a) Goresan sesar terbentuk sepanjang sesar normal.
(b) Sesar terbalik menghasilkan lereng curam yang
kurang jelas. (c) Sesar mendatar telah menghasilkan
zona himpitan yang dimanfaatkan oleh sungai.
Drainase yang dulunya melintasi patahan kini telah
diimbangi ......................................................................... 164

1


Prinsip-Prinsip Dasar
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)
1. Mampu memahami pentingnya geologi teknik untuk Teknik Sipil.
2. Mampu memahami dan menentukan sifat-sifat fisis tanah
berdasarkan karakteristiknya.
Pendahuluan
Istilah tanah (soil) berasal dari kata Latin Solum. Ini memiliki
arti yang berbeda di bidang ilmiah yang berbeda. Bagi seorang
ilmuwan pertanian, tanah berarti bahan lepas di kerak bumi yang
terdiri dari batuan yang hancur dengan campuran bahan organik, yang
mendukung kehidupan tanaman. Bagi seorang ahli geologi, tanah
berarti material batuan yang hancur yang belum diangkut dari tempat
asalnya. Bagi seorang insinyur sipil, tanah berarti bahan anorganik
longgar yang tidak terkonsolidasi pada kerak bumi yang dihasilkan
oleh disintegrasi batuan, di atas batuan keras dengan atau tanpa bahan
organik. Secara umum tanah mencakup bahan yang berbeda seperti
BAB 1

2
batu-batu besar, pasir, kerikil, tanah liat, lanau, dll, dan ukuran partikel
dalam tanah dapat berkisar dari butiran hanya sebagian kecil dari
mikron (m) (10-6 mm) dengan diameter hingga batu-batu ukuran
besar.
Tanah merupakan salah satu material yang sangat penting bagi
bidang konstruksi di Teknik Sipil, karena selain sebagai material bahan
bangunan, tanah juga merupakan tempat berpijak seluruh konstruksi
yang ada di dunia, sehingga pengetahuan terkait tanah secara
keseluruhan sangatlah penting dan ini menjadi dasar keilmuan bagi
praktisi di dunia Teknik Sipil. Diharapkan dengan adanya buku ini
pembaca memahami prinsip dasar geologi dan morfologi tanah yang
berkaitan dengan struktur geologi, batuan serta bahan induk tanah,
selain itu juga diharapkan dapat menganalisis karakteristek dan jenis
tanah, batuan serta mengklasifikasikan tanah seperti tanah berbutir
kasar, tanah tropis, tanah organik: gambut. Sebagai keilmuan dasar
dari tanah dan batuan, tentunya ini akan sangat membantu pekerjaan
yang ada kaitannya dengan ilmu mekanika tanah dan ilmu pondasi,
ilmu teknik tanah serta pekerjaan struktur lainnya misalnya terkait
jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan, menara dan konstruksi Sipil
lainnya.
Istilah Mekanika Tanah diciptakan oleh Karl Von Terzaghi
pada tahun 1925 ketika bukunya yang berjudul Erdbaumechanik tentang
masalah ini diterbitkan dalam bahasa Jerman. Menurut Terzaghi,
"Mekanika Tanah adalah penerapan hukum mekanika dan hidrolika
untuk masalah teknik yang berhubungan dengan sedimen dan
akumulasi partikel padat yang tidak terkonsolidasi lainnya yang
dihasilkan oleh disintegrasi mekanik dan kimia batuan terlepas dari
apakah mereka mengandung campuran konstituen organik atau
tidak." Dengan demikian mekanika tanah adalah cabang mekanika
yang berhubungan dengan perilaku tanah di bawah aksi gaya yang
bekerja pada tanah ketika digunakan sebagai bahan konstruksi atau
sebagai bahan pondasi. Tanah terdiri dari partikel padat diskrit yang
tidak terikat kuat seperti pada padatan atau mereka bebas seperti

3
partikel cairan. Dengan demikian perilaku tanah agak di antara
padatan dan cairan.
Teknik Pondasi adalah cabang Teknik Sipil yang dikaitkan
dengan desain, konstruksi, pemeliharaan dan renovasi berbagai jenis
pondasi seperti pijakan, pondasi tiang pancang, pondasi sumur,
caisson, dll, dan semua anggota struktural lainnya yang membentuk
fondasi bangunan dan struktur teknik lainnya. Ini melibatkan
penerapan prinsip-prinsip mekanika tanah untuk desain dan
konstruksi fondasi untuk berbagai struktur.
Teknik Tanah adalah ilmu terapan yang berkaitan dengan
penerapan prinsip-prinsip mekanika tanah untuk masalah praktis yang
berkaitan dengan tanah. Ini termasuk penyelidikan lokasi, desain dan
konstruksi fondasi, struktur penahan bumi dan struktur bumi. Dengan
demikian teknik tanah memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada
mekanika tanah. Teknik Geoteknik mencakup mekanika tanah dan
teknik pondasi. Ini sering digunakan secara sinonim dengan teknik
tanah. Sampai saat ini, istilah "tanah" telah digunakan dalam arti luas
untuk memasukkan bahkan batuan dasar yang mendasari dalam
berurusan dengan fondasi. Namun, akhir-akhir ini, telah diakui
dengan baik bahwa perilaku rekayasa batuan sangat berbeda dari
tanah. Dengan demikian, untuk mempelajari perilaku rekayasa batuan,
cabang ilmu terpisah yang disebut Mekanika Batu telah muncul.
Pembentukan Tanah
Tanah terbentuk oleh pelapukan batuan dan mineral pada atau
di dekat permukaan bumi oleh (a) disintegrasi fisik (atau pelapukan
alami atau mekanis) karena aksi agen alami atau mekanik; atau (b)
dekomposisi kimia (atau pelapukan kimia) akibat aksi bahan kimia.
Disintegrasi Fisik
Disintegrasi fisik (atau pelapukan alami atau mekanis) batuan
disebabkan oleh aksi agen alami atau mekanik melalui proses berikut.
• Perubahan suhu. Perubahan suhu menyebabkan ekspansi dan
kontraksi batuan karena itu mereka secara bergantian mengalami

4
tekanan dan pelepasan tekanan. Ketika perubahan tersebut diulang
beberapa kali, batuan diatur dalam keadaan kelelahan karena itu
mereka hancur menjadi partikel yang lebih kecil dan dengan
demikian tanah terbentuk.
• Abrasi. Ketika air, angin, dan gletser bergerak di atas permukaan
batu, abrasi dan gerusan terjadi karena disintegrasi batuan yang
terjadi sehingga menghasilkan pembentukan tanah.
• Pergerakan es. Di daerah beriklim sangat dingin, air yang ada di
pori-pori dan retakan batu menjadi beku. Karena volume es yang
terbentuk lebih banyak daripada air, ekspansi terjadi. Karena aksi
penjepitan es yang terbentuk di pori-pori dan retakan, tekanan
besar dikembangkan, yang menghasilkan disintegrasi batuan
menjadi potongan-potongan kecil dan pembentukan tanah.
Dengan proses disintegrasi fisik biasanya tanah berbutir kasar
seperti kerikil dan pasir terbentuk. Dalam semua proses disintegrasi
fisik, tanah yang terbentuk memiliki sifat-sifat batuan induk dan tidak
ada perubahan komposisi kimianya.
Pelapukan Kimia
Dekomposisi kimia (atau pelapukan kimia) batuan disebabkan
oleh aksi agen kimia melalui proses berikut.
• Hidrasi. Dalam proses ini air bergabung secara kimia dengan
mineral batuan dan membentuk senyawa kimia baru. Reaksi kimia
menyebabkan perubahan volume dan dekomposisi batuan menjadi
partikel kecil yang mengakibatkan pembentukan tanah.
• Karbonasi. Dalam proses ini, karbondioksida di atmosfer bergabung
dengan air untuk membentuk asam karbonat, yang bereaksi secara
kimia dengan batuan dan menyebabkan dekomposisi mereka,
menghasilkan pembentukan tanah.
• Oksidasi. Dalam proses ini, oksigen di atmosfer bergabung secara
kimia dengan mineral batuan untuk membentuk oksida,
menghasilkan dekomposisi batuan dan pembentukan tanah.
• Pencucian. Dalam proses ini mineral batuan yang larut dalam air
seperti kalsium karbonat dilarutkan dan tersapu keluar dari batuan

5
oleh curah hujan atau meresap air bawah permukaan, sehingga
mengakibatkan dekomposisi batuan dan pembentukan tanah.
• Hidrolisis. Ini adalah proses kimia di mana air akan terdisosiasi
menjadi H + dan OH – ion. Kation hidrogen menggantikan ion
logam seperti kalsium, natrium dan kalium yang ada dalam mineral
batuan, sehingga mengakibatkan dekomposisi batuan dan formasi
tanah.
Dengan dekomposisi kimia tanah liat terbentuk. Dalam
dekomposisi kimia atau pelapukan kimia batuan, mineral batuan asli
diubah menjadi mineral / senyawa baru melalui reaksi kimia. Dengan
demikian tanah yang terbentuk oleh dekomposisi kimia atau
pelapukan kimia batuan, tidak memiliki sifat batuan induk.
Dekomposisi kimia atau pelapukan kimia memiliki intensitas
maksimum di iklim lembab dan tropis.
Tanah Endapan dan Tanah Terangkut
Tanah yang terbentuk oleh pelapukan batuan dapat tetap pada
posisinya di tempat asal atau dapat diangkut dari tempat asal oleh
berbagai lembaga seperti angin, air, es, gravitasi, dll. Tanah yang tetap
pada posisinya di tempat asal dikenal sebagai tanah sisa, dan tanah
yang diangkut dari tempat asal oleh berbagai lembaga dikenal sebagai
tanah yang diangkut. Tanah sisa sangat berbeda dari tanah yang
diangkut dalam karakteristik dan perilaku rekayasanya.

Profil tanah endapan dapat dibagi menjadi zona-zona sebagai
berikut:
• Zona atas dimana terdapat tingkat pelapukan dan menghilangnya
material yang tinggi
• Zona perantara dimana terdapat beberapa tingkat pelapukan di
bagian atas dan beberapa pengendapan di bagian bawah;
• Zona yang terlapuk sebagian, dimana terjadi peralihan dari material
yang terlapuk ke batuan induk yang tidak terlapuk.

6
Tanah yang diangkut juga dapat disebut sebagai “Tanah
sedimen” karena sedimen, yang dibentuk oleh pelapukan batuan, akan
diangkut oleh agen seperti angin dan air ke tempat-tempat yang jauh
dari tempat asal dan diendapkan ketika kondisi yang menguntungkan
seperti penurunan kecepatan terjadi. Selama transportasi dan
pengendapan tingkat tinggi perubahan bentuk partikel, ukuran dan
tekstur serta penyortiran butiran terjadi. Berbagai macam ukuran butir
dan tingkat kehalusan dan kehalusan butir individu yang tinggi adalah
karakteristik khas dari tanah yang diangkut.
Tergantung pada agen pengangkut dan tempat pengendapan,
tanah yang diangkut dapat dibagi lagi seperti yang ditunjukkan di
bawah ini.
• Alluvial soils. Tanah yang diangkut oleh sungai
• Aeoline soils. Tanah yang diangkut oleh angin
• Glacial soils. Tanah yang diangkut oleh gletser
• Lacustrine soils. Tanah yang diendapkan di dasar danau
• Marine soils. Tanah yang disimpan di dasar laut
Peristilahan Berbagai Jenis Tanah
Berikut ini adalah tabel istilah berbagai tanah, yang
digambarkan dengan uraian definisi dan sifat dasarnya.
Tabel 1. 1 Istilah berbagai jenis tanah
No Istilah Tanah Uraian Definisi dan Sifat Dasarnya
1 Bentonite
Ini adalah jenis tanah liat yang dibentuk oleh dekomposisi abu
vulkanik. Ini mengandung persentase tinggi mineral tanah liat
montmorillonite. Ini sangat menyerap air dan menunjukkan
tingkat penyusutan dan karakteristik pembengkakan yang
tinggi.
2
Tanah Hitam
atau Tanah
Kapas Hitam
Ini adalah tanah sisa yang mengandung persentase tinggi
mineral lempung montmorillonite. Ini memiliki daya dukung
yang sangat rendah dan menunjukkan tingkat penyusutan dan
karakteristik pembengkakan yang tinggi. Nama tanah kapas
hitam berasal dari fakta bahwa kapas tumbuh dengan baik di
tanah ini.

7
3 Batu
Batu-batu besar adalah fragmen batuan berukuran besar,
berukuran lebih dari sekitar 300 mm.
4
Tanah Liat
Batu
Ini adalah endapan tanah yang tidak bertingkat yang terbentuk
oleh pencairan gletser. Deposit terdiri dari semua ukuran
fragmen batuan mulai dari batu-batu besar hingga bahan tanah
liat yang halus. Tanah umumnya dinilai dengan baik. Ini dapat
dengan mudah dipadatkan dengan pemadatan. Hal ini juga
dikenal sebagai “Glacial Till” atau “Till”
5 Tanah berkapur
Ini adalah tanah yang mengandung sejumlah besar kalsium
karbonat. Tanah ini berbuih ketika diperlakukan dengan asam
klorida encer.
6 Caliche
Ini adalah jenis tanah yang merupakan campuran kerikil, pasir
dan tanah liat yang diikat oleh kalsium karbonat
7 Tanah liat
Ini adalah tanah kohesif berbutir halus yang terdiri dari
partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis dengan ukuran
kurang dari 0,002 mm. berasal dari dekomposisi kimia batuan
dan mengandung sejumlah besar mineral lempung seperti
“Kaolinit”, “Illite” dan “Montmorillonite”. Ini dapat dibuat plastis
dengan menyesuaikan kadar air, dan tergantung pada tingkat
plastisitas itu dapat disebut “lean clay” atau “fat clay”. Ini
menunjukkan kekuatan yang cukup besar saat kering. Tanah
liat organik mengandung bahan organik yang terbagi halus dan
biasanya berwarna abu-abu gelap atau hitam. Ini sangat
kompresibel dan kekuatannya tinggi saat kering. “China Clay”,
juga disebut “Kaolin”, adalah tanah liat putih murni,
digunakan dalam industri keramik
8 Cobbles
Cobbles adalah batu bulat halus yang dikenakan air dengan
ukuran besar dalam kisaran 80 hingga 300 mm
9
Diatomaceous
Earth
Diatom adalah organisme laut. Tanah diatom adalah endapan
sedimen halus, abu-abu muda, lunak dari sisa-sisa silicious
kerangka diatom
10 Dispersive Clays
Ini adalah jenis tanah liat khusus yang terdeflokulasi dalam air
tenang. Tanah seperti itu terkikis jika terkena air berkecepatan
rendah. Kerentanan terhadap dispersi tergantung pada kation
dalam air pori tanah.
11 Bukit pasir.
Ini adalah tanah yang diangkut angin. Ini terdiri dari partikel
pasir halus hingga sedang yang relatif seragam.
12
Tanah Liat
Expansive
Ini rentan terhadap perubahan volume besar karena kadar air
berubah. Tanah ini mengandung mineral montmorillonite.
13 Fills
Semua endapan tanah dan bahan limbah buatan manusia
disebut pengisian. Endapan semacam itu dibuat dalam depresi
di permukaan tanah untuk menaikkan levelnya ke permukaan
tanah yang lebih tinggi yang berdekatan. Sifat-sifat pengisian

8
tergantung pada jenis tanah, kadar airnya dan tingkat
pemadatan.
14 Kerikil
Kerikil adalah campuran longgar kerikil dan pecahan batu yang
lebih kasar dari pasir. Ini adalah tanah tanpa kohesi berbutir
kasar dengan ukuran partikel mulai dari 4,75 mm hingga 80
mm
15 Hardpans
Ini adalah agregat partikel mineral yang padat, bergradasi baik,
dan kohesif, yang tetap keras dan tidak hancur ketika terendam
air. Tanah liat batu atau tills glasial juga bisa disebut hardpans.
Karena hardpan adalah tanah yang disemen padat, mereka
sangat sulit ditembus atau digali
16 Humus
Ini adalah bagian organik coklat atau hitam dari tanah yang
dihasilkan dari pembusukan parsial materi tanaman dan
hewan. Ini tidak terlalu penting dalam pekerjaan teknik
17 Kankar
Ini adalah bentuk batu kapur yang tidak murni. Ini
mengandung kalsium karbonat dicampur dengan beberapa
bahan silicious
18 Laterites
Ini adalah tanah coklat gelap dari struktur seluler, mudah digali
tetapi mengeras pada paparan udara karena pembentukan
oksida besi terhidrasi, yang memiliki aksi penyemenan
19 lempung
Ini adalah campuran pasir, lanau dan tanah liat kira-kira dalam
proporsi yang sama. Terkadang mengandung bahan organik
20 Loess
Ini adalah endapan lumpur yang tertiup angin atau tanah liat
berlumpur, berwarna coklat kekuningan. Umumnya gradasi
seragam dengan ukuran partikel dalam kisaran 0, 01 hingga 0,
05 mm. Ini menunjukkan kohesi dalam kondisi kering, yang
hilang saat pembasahan. Pemotongan vertikal dekat dapat
dilakukan ketika tanah dalam kondisi kering.
21 Marl
Ini adalah campuran rapuh dari tanah liat, pasir dan batu kapur
biasanya dengan fragmen cangkang, dengan kandungan tanah
liat tidak lebih dari 75% dan kadar kapur tidak kurang dari
15%. Hal ini juga ditetapkan sebagai tanah liat berkapur laut
dan biasanya berwarna kehijauan.
22 Moorum Ini adalah campuran kerikil dan tanah liat merah.
23 Muck
Ini adalah campuran tanah berbutir halus dan bahan organik
yang sangat terurai. Warnanya hitam
24 Gambut
Ini adalah varietas organik tanah liat yang memiliki agregat
berserat partikel makroskopik dan mikroskopis. Ini terbentuk
dari bahan nabati di bawah kondisi kelembaban berlebih,
seperti rawa. Hal ini dikenali dari warnanya yang gelap, bau
peluruhan dan berat jenis yang sangat rendah (0,5 hingga 0,8).
Ini sangat kompresibel dan tidak cocok untuk fondasi.

9
25 Pasir
Ini adalah tanah berbutir kasar yang memiliki ukuran partikel
antara 0,075 mm dan 4,75 mm. Partikel-partikel terlihat
dengan mata telanjang. Itu tanpa kohesi dan tembus.
26 Lanau
Ini adalah tanah berbutir halus yang lebih halus dari pasir
dengan ukuran partikel antara 0,002 mm dan 0,075 mm.
Partikel-partikel tidak terlihat dengan mata telanjang.
Lumpur anorganik terdiri dari butiran kuarsa yang besar dan
sama dimensi. Ini umumnya non-plastik dan tanpa kohesi.
Namun, mungkin menunjukkan sedikit plastisitas saat basah
dan sedikit kompresibilitas jika bentuk partikelnya seperti
pelat.
Lumpur anorganik juga disebut "tepung batu". Lumpur
organik mengandung sejumlah bahan organik halus yang
terurai. Warnanya gelap dan memiliki bau yang aneh. Ini
menunjukkan beberapa tingkat plastisitas, kohesi dan
kompresibilitas.
27 Top Soil
Ini adalah tanah permukaan yang mendukung kehidupan
tanaman. Ini mengandung sejumlah besar bahan organik.
28 Tuff
Ini adalah tanah berbutir halus yang terdiri dari partikel yang
sangat kecil yang dikeluarkan dari gunung berapi selama
ledakan, dan diangkut dan disimpan oleh angin atau air.
29 Tundra
Ini adalah tikar gambut dan vegetasi semak yang menutupi
lapisan tanah liat di daerah Arktik. Lapisan yang lebih dalam
dibekukan secara permanen dan disebut permafrost. Endapan
permukaan adalah lapisan aktif, yang secara bergantian
mengalami pembekuan dan pencairan.
30 Varved Clays
Varve adalah istilah asal Swedia yang berarti lapisan tipis.
Dengan demikian lempung varved adalah endapan sedimen
yang terdiri dari lapisan tipis alternatif tanah liat dan lanau.
Ketebalan setiap lapisan jarang melebihi 1 cm. Tanah liat ini
berasal dari glasial, yaitu endapan tanah yang terbentuk oleh
pencairan gletser; dan juga endapan lakustrin, yaitu tanah yang
diendapkan di dasar danau.
Latihan Soal
1. Apa yang dimaksud dengan geologi teknik dan seberapa besar
perannya dalam konstruksi teknik sipil?
2. Apa perbedaan antara tanah endapan dan tanah yang terangkut?
Berikan penjelasan!

10
3. Jelaskan istilah-istilah berikut ini :
• Gambut
• Tanah Liat
• Tanah Lanau
• Pasir
• Kerikil

11

Sifat dan Klasifikasi Tanah
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)
1. Mampu memahami dan menentukan sifat-sifat fisis tanah
berdasarkan karakteristiknya.
2. Mampu memahami dan menganalisis karakteristik tanah kohesiv,
tanah berbutir kasar, tanah tropis, tanah organik: gambut.
Pengertian Asal Tanah
Tanah adalah kumpulan partikel-partikel padat yang tidak
terkonsolidasi dan di antaranya terdapat rongga-rongga. Ini mungkin
berisi air atau udara, atau keduanya. Tanah berasal dari penguraian
material batuan akibat pelapukan dan/atau erosi dan mungkin telah
mengalami pengangkutan sebelum pengendapan. Mungkin juga
mengandung bahan organik. Jenis proses penguraian dan jumlah
pengangkutan yang dilakukan oleh sedimen mempengaruhi sifat
makro dan mikrostruktur tanah, yang pada gilirannya mempengaruhi
perilaku tekniknya (Tabel 1.1).

BAB 2

12
Tabel 2.1 Pengaruh transportasi terhadap sedimen
Gravitasi Es Air Udara
Ukuran
Bermacam-
macam
Bervariasi
dari tanah liat
hingga batu
besar
Berbagai ukuran dari
kerikil batu hingga
lumpur
Ukuran pasir dan
kurang
Penyortiran
Tidak
disortir
Umumnya
tidak disortir
Penyortiran dilakukan
secara lateral dan
vertikal. Endapan laut
seringkali terurut
secara seragam.
Endapan sungai
mungkin tersortir
dengan baik
Diurutkan secara
seragam



Membentuk sudut sudut
Dari bersudut hingga
membulat
Berpengetahuan
luas
Tekstur
permukaan
Permukaan
lurik
Permukaan
lurik
Kerikil: permukaan
kasar.
Pasir: permukaan
halus dan dipoles.
Lumpur: sedikit
pengaruhnya
Benturan
menghasilkan
permukaan
buram
Mungkin metode pembentukan tanah yang paling penting
adalah pelapukan mekanis dan kimia. Namun agen pelapukan tidak
mampu mengangkut material. Transportasi dilakukan oleh gravitasi,
air, angin atau es yang bergerak. Jika partikel sedimen terangkut, maka
hal ini akan mempengaruhi karakternya, khususnya distribusi ukuran
butir, penyortiran dan bentuknya. Misalnya, endapan saluran sungai
umumnya bergradasi baik, meskipun karakteristik ukuran butirannya
mungkin berbeda-beda menurut lokasinya. Sebaliknya, endapan yang
tertiup angin biasanya tersusun secara seragam dengan butiran yang
bulat.
Perubahan terjadi pada tanah setelah terakumulasi. Secara
khusus, perubahan musim terjadi pada kadar air sedimen di atas
permukaan air. Perubahan volume yang berhubungan dengan siklus
basah dan kering bergantian terjadi pada tanah kohesif dengan
indeks plastisitas tinggi.

13
Paparan tanah terhadap kondisi kering berarti permukaannya
mengering dan air diambil dari zona yang lebih dalam melalui proses
kapileritas. Kenaikan kapiler berhubungan dengan penurunan tekanan
air pori pada lapisan di bawah permukaan dan peningkatan tekanan
efektif. Tekanan tambahan ini dikenal sebagai tekanan kapiler dan
mempunyai efek mekanis yang sama dengan tekanan tambahan yang
berat. Oleh karena itu, evaporasi permukaan dari tanah yang sangat
kompresibel menghasilkan penurunan rasio rongga yang nyata pada
lapisan yang mengalami pengeringan. Jika kadar air pada lapisan ini
mencapai batas penyusutan maka udara mulai masuk ke dalam rongga
dan struktur tanah mulai rusak. Terlebih lagi jika indeks plastisitas
tanah melebihi 20% maka variasi musiman kadar air lapisan atas
disertai dengan pergerakan tanah. Penurunan rasio rongga akibat
pengeringan sedimen kohesif menyebabkan peningkatan kekuatan
gesernya. Jadi, jika kerak kering terletak pada atau dekat permukaan di
atas material yang lebih lunak, maka kerak tersebut akan berfungsi
sebagai rakit. Ketebalan kerak kering seringkali bervariasi tidak
menentu.
Perubahan kimia yang terjadi di dalam tanah, misalnya akibat
pelapukan, dapat menyebabkan peningkatan kandungan mineral
lempung, yang disebabkan oleh penguraian mineral-mineral yang
kurang stabil. Dalam keadaan seperti ini, plastisitas tanah meningkat
sementara permeabilitasnya menurun. Pencucian, dimana unsur-unsur
terlarut dipindahkan dari atas, untuk diendapkan di cakrawala bawah,
terjadi ketika curah hujan melebihi penguapan. Porositas dapat
meningkat pada zona yang mengalami pelindian.
Selama akumulasi sedimen, tegangan pada ketinggian tertentu
terus meningkat seiring dengan meningkatnya ketebalan lapisan
penutup. Akibatnya sifat-sifat sedimen terus berubah, khususnya
ruang hampa, berkurang. Jika, selanjutnya, lapisan penutup
dihilangkan melalui erosi, atau dengan penggalian ekstensif, maka
rasio rongga cenderung meningkat.
Dengan paparan yang terus-menerus, tanah mengembangkan
profil karakteristik dari permukaan ke bawah. Perkembangan ini

14
melibatkan akumulasi dan pembusukan bahan organik, pencucian,
pengendapan, oksidasi atau reduksi dan kerusakan mekanis dan
biologis lebih lanjut. Profil yang terbentuk dipengaruhi oleh karakter
bahan induk tetapi kondisi iklim, tutupan vegetasi, permukaan air
tanah dan relief juga berperan dan faktor waktu memungkinkan
pembedaan antara tanah belum menghasilkan dan tanah matang.
Sifat Dasar Tanah
Sebagaimana telah disebutkan, tanah terdiri atas kumpulan
partikel-partikel yang di antaranya terdapat rongga-rongga, dan
dengan demikian dapat mengandung tiga fase – padatan, air dan
udara. Keterkaitan antara berat dan volume ketiga fase ini penting
karena membantu menentukan karakter suatu tanah.
Salah satu sifat tanah yang paling mendasar adalah rasio
rongga, yaitu perbandingan volume rongga dengan volume padatan.
Porositas adalah sifat serupa, yaitu rasio volume rongga terhadap
volume total tanah, yang dinyatakan dalam persentase. Rasio rongga
dan porositas menunjukkan proporsi relatif volume rongga dalam
sampel tanah.
Air memainkan peran mendasar dalam menentukan perilaku
rekayasa suatu tanah dan kadar air dinyatakan sebagai persentase berat
bahan padat dalam sampel tanah. Derajat kejenuhan menyatakan
persentase volume relatif air dalam rongga.
Kisaran nilai hubungan fase untuk tanah kohesif jauh lebih
besar dibandingkan tanah granular. Misalnya, natrium montmorillonit
jenuh pada tekanan pengekang rendah dapat terdapat pada rasio
rongga lebih dari 25, kadar airnya sekitar 900%. Sebaliknya lempung
jenuh di bawah tekanan tinggi yang berada pada kedalaman yang
sangat dalam mungkin mempunyai rasio rongga kurang dari 0,2,
dengan kadar air sekitar 7%.
Berat satuan suatu tanah adalah beratnya per satuan volume,
sedangkan berat jenisnya adalah perbandingan beratnya terhadap

15
volume air yang sama. Dalam mekanika tanah, berat jenisnya adalah
berat jenis partikel tanah sebenarnya.
Kepadatan suatu tanah adalah perbandingan antara massa
tanah dengan volume tanah. Ada beberapa jenis kepadatan. Massa
jenis kering adalah massa partikel padat dibagi volume total,
sedangkan massa jenis tanah hanyalah massa tanah (termasuk kadar
air alaminya) dibagi volumenya. Kepadatan jenuh adalah kepadatan
tanah ketika jenuh, sedangkan kepadatan terendam adalah
perbandingan massa efektif terhadap volume tanah ketika terendam.
Faktanya, massa jenis terendam dapat diperoleh dengan
mengurangkan massa jenis air dari massa jenis jenuh.
Kepadatan suatu tanah ditentukan oleh cara partikel padatnya
terbungkus. Misalnya, tanah granular mungkin padat atau gembur.
Memang kepadatan maksimum dan minimum dapat dibedakan.
Semakin kecil kisaran ukuran partikel yang ada dan semakin besar
sudut partikelnya, semakin kecil pula kepadatan minimumnya.
Sebaliknya, jika terdapat berbagai macam ukuran partikel, ruang
hampa akan berkurang, sehingga kepadatan maksimumnya lebih
tinggi. Cara yang berguna untuk mengkarakterisasi kepadatan tanah
granular adalah dengan kepadatan relatifnya (Dr ) yang didefinisikan
sebagai
�??????=
��????????????−�
��????????????−�
���
(1.1)
dimana e adalah rasio rongga yang terjadi secara alami, emax
adalah rasio rongga maksimum dan e min adalah rasio rongga
minimum. Tabel 2.2 menunjukan Lima derajat kepadatan.
Tabel 2.2 Nilai kepadatan relatif dan deskripsinya
Kelas Kepadatan relatif Keterangan
1 Kurang dari 0,2 Sangat longgar
2 0,2-0,4 Longgar
3 0,4-0,6 Padat sedang
4 0,6-0,8 Padat
5 Lebih dari 0,8 Sangat padat

16
Distribusi Ukuran Partikel
Distribusi ukuran partikel menyatakan ukuran partikel dalam
suatu tanah dalam persentase berat batu besar, batu bulat, kerikil,
pasir, lanau, dan tanah liat. United Soil Classification (Wagner, 1957) dan
(Anon, 1981) memberikan batasan yang ditunjukkan pada Tabel 2.3
untuk tingkatan ukuran ini.
Tabel 2.3 Distribusi ukuran partikel tanah
Jenis bahan Ukuran (mm)
Batu besar Lebih dari 200
Jalan berbatu 60-200

Kasar 20-60
Kerikil Sedang 6-20
Bagus 2 - 6

Kasar 0,6-2
Pasir Sedang 0,2-0,6
Bagus 0,06-0,2

Kasar 0,02-0,06
Lanau Sedang 0,006-0,02
Bagus 0,002-0,006
Tanah liat Kurang dari 0,002

Di alam terdapat kekurangan partikel tanah pada kelompok
kerikil halus dan lanau, dan batu besar serta batu bulat secara
kuantitatif tidak signifikan. Oleh karena itu, pasir dan tanah liat
merupakan jenis tanah yang paling penting.
Hasil analisis ukuran partikel diberikan dalam bentuk
serangkaian pecahan, menurut beratnya, dengan tingkatan ukuran

17
yang berbeda. Pecahan-pecahan ini dinyatakan sebagai persentase dari
keseluruhan sampel dan umumnya dijumlahkan untuk memperoleh
persentase kumulatif. Kurva kumulatif kemudian diplot pada kertas
semi-logaritmik untuk memberikan representasi grafis dari distribusi
ukuran partikel. Kemiringan kurva memberikan indikasi tingkat
penyortiran. Kalau misalnya kurvanya curam seperti pada kurva No. 2

Gambar 2.1 Distribusi ukuran butir pada kurva.
Sumber: http://ecoursesonline.iasri.res.in/
Pada Gambar 2.1, maka tanah terurut secara merata,
sedangkan kurva No. 1 menunjukkan tanah bergradasi baik.
Penyortiran atau keseragaman distribusi ukuran partikel telah
dinyatakan dalam banyak cara tetapi satu ukuran statistik sederhana
yang telah digunakan oleh para insinyur adalah koefisien keseragaman
(U). Hal ini memanfaatkan ukuran butir efektif (D10), yaitu ukuran
pada kurva kumulatif di mana 10% partikel lewat dan didefinisikan
sebagai
??????=
�60
�10
(1.2)
Demikian pula D10 adalah ukuran pada kurva yang dilewati
60% partikel. Tanah yang memiliki koefisien keseragaman kurang dari

18
2 dianggap seragam, sedangkan tanah yang mempunyai nilai 10
dianggap bergradasi baik. Dengan kata lain semakin tinggi koefisien
keseragaman maka semakin besar kisaran ukuran partikelnya.
Koefisien kelengkungan (Cc ) diperoleh dari persamaan
�
�=
�30
2
�60??????10
(1.3)
Tanah yang bergradasi baik mempunyai koefisien kelengkungan antara
1 dan 3.
Batas Konsistensi Tanah
Atterberg atau batas konsistensi tanah kohesif didasarkan pada
konsep bahwa tanah tersebut dapat berada di empat keadaan
tergantung pada kandungan airnya. Batasan tersebut juga dipengaruhi
oleh jumlah dan karakter kandungan mineral lempung. Dengan kata
lain, tanah kohesif berbentuk padat ketika kering, tetapi jika
ditambahkan air, mula-mula tanah tersebut berubah menjadi setengah
padat, kemudian menjadi plastis, dan akhirnya menjadi cair. Kadar air
pada batas antara keadaan-keadaan ini masing-masing disebut sebagai
batas susut (SL), batas plastis (PL), dan batas cair (LL).
Batas penyusutan didefinisikan sebagai persentase kadar air
suatu tanah pada titik dimana tanah tersebut tidak mengalami
penurunan volume lebih lanjut pada saat pengeringan. Batas plastis
adalah persentase kadar air dimana suatu tanah dapat digulung, tanpa
putus, menjadi benang berdiameter 3 mm, jika digulung lebih lanjut
akan menyebabkan tanah tersebut hancur. Sayangnya kurangnya
kontrol yang terlibat dalam pengujian berarti bahwa hasil yang
diperoleh tidak konsisten untuk tanah liat tertentu.
Beralih ke batas cair, batas ini didefinisikan sebagai kadar air
minimum dimana tanah akan mengalir karena beratnya sendiri. Tanah
liat dapat diklasifikasikan menurut batas cairnya seperti ditunjukkan
pada Tabel 2.4.

19
Tabel 2.4 Plastisitas menurut batas cair
Keterangan Keliatan Kisaran batas cair
Bersandar atau berlumpur
Intermediat
Gemuk
Sangat gemuk
Ekstra lemak
Plastisitas rendah
Plastisitas menengah
Plastisitas tinggi
Plastisitas yang sangat
tinggi
Plastisitas ekstra tinggi
Kurang dari 35
35-50
50-70
70-90
Lebih dari 90
Konsistensi tanah kohesif bergantung pada interaksi antar
partikel lempung. Setiap penurunan kadar air mengakibatkan
penurunan ketebalan lapisan kation dan peningkatan gaya tarik
menarik antar partikel. Agar tanah dapat berada dalam keadaan plastis,
besar gaya neto antar partikel harus sedemikian rupa sehingga partikel-
partikel tersebut bebas meluncur relatif satu sama lain dan kohesi di
antara partikel-partikel tersebut tetap terjaga. Plastisitas tanah berbutir
halus mengacu pada kemampuannya untuk mengalami deformasi
permanen pada volume konstan tanpa retak atau hancur.
Perbedaan numerik antara batas cair dan batas plastis disebut
sebagai indeks plastisitas (PI). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air
dimana bahan berada dalam kondisi plastis. Indeks plastisitas dibagi
menjadi lima kelas seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5 di bawah ini.
Tabel 2.5 Plastisitas tanah (setelah (Anon, 1979))
Kelas Indeks plastisitas (%) Keterangan
1 Kurang dari 1 Non-plastik
2 1-7 Sedikit plastik
3 7-17 Cukup plastik
4 17-35 Sangat plastik
5 Lebih dari 35 Sangat plastik

Indeks likuiditas suatu tanah didefinisikan sebagai kadar air
yang melebihi batas plastis, yang dinyatakan dalam persentase indeks
plastisitas. Ini menggambarkan kadar air suatu tanah sehubungan
dengan batas indeksnya dan menunjukkan pada bagian mana dari
kisaran plastis suatu tanah berada, yaitu kedekatannya dengan batas
cair.

20
Indeks konsistensi merupakan perbandingan selisih antara
batas cair dan kadar air alami terhadap indeks plastisitas. Hal ini dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan berbagai jenis konsistensi tanah
kohesif, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.6 di bawah ini.
Tabel 2.6 Konsistensi tanah kohesif
Keterangan
Indeks
konsistensi
Perkiraan
kekuatan
geser tak
terdrainasi
(kPa)
Identifikasi lapangan
Keras
Lebih dari
300
Sulit diidentifikasi dengan ibu jari,
Sangat kaku Di atas 1 150-300
Siap diidentifikasi dengan ibu jari,
tapi masih sangat sulit
Kaku 0,75-1 75-150
Mudah diidentifikasi dengan ibu
jari tetapi hanya dapat ditembus
dengan susah payah.
Tegas 0,5-0,75 40-75
Dapat ditembus beberapa
sentimeter dengan ibu jari dengan
usaha sedang, dan dibentuk di jari
dengan tekanan kuat
Lembut Kurang dari 0,5 20-40
Mudah menembus beberapa
sentimeter dengan ibu jari,
mudah dibentuk
Sangat
lembut

Kurang dari
20
Mudah ditembus beberapa
sentimeter dengan kepalan
tangan, keluar di sela-sela jari saat
dikepalkan

Plastisitas suatu tanah dipengaruhi oleh jumlah fraksi liatnya,
karena mineral lempung sangat mempengaruhi jumlah air yang
tertahan di dalam tanah. Dengan pemikiran ini Skempton (1953)
mendefinisikan aktivitas tanah liat sebagai,
????????????????????????????????????????????????=
??????����??????�??????�� ??????����
% �� ���� �??????��� �ℎ�� 0.002 ��
(1.4)

21
Ia mengemukakan tiga kelas aktivitas yaitu aktif, normal dan
tidak aktif yang selanjutnya dibagi lagi menjadi lima kelompok sebagai
berikut:
Tabel 2. 7 Perkiraan nilai kelas aktivitas
No Activity Klasifikasi Tanah
1 < 0,5 Tidak aktif
2 0,5 - 0,75 Tidak Aktif
3 0,75 - 1,25 Normal
4 1,25 - 2 Aktif
5 > 2 Aktif
Tampaknya hanya ada korelasi umum antara kandungan
mineral lempung suatu endapan dan aktivitasnya, yaitu kaolinitic dan
illitic clays biasanya tidak aktif sedangkan montmorillonitic clays berkisar
dari tidak aktif hingga aktif. Biasanya lempung aktif mempunyai
kapasitas menahan air yang relatif tinggi dan kapasitas tukar kation
yang tinggi. Dan juga memiliki sifat sangat tiksotropik , memiliki
permeabilitas rendah dan ketahanan geser yang rendah.
Batasan Atterberg membagi empat keadaan konsistensi yang
dijelaskan di atas. Ketiga batas ini diperoleh di laboratorium pada
spesimen tanah yang dilarutkan dengan menggunakan teknik yang
dikembangkan pada awal abad ke-20 oleh seorang ilmuwan Swedia.
Seperti terlihat pada Gambar 1.2, batas cair (LL) merupakan garis
pemisah antara wujud cair dan plastis. LL menunjukkan kadar air
suatu tanah ketika berubah dari wujud plastis ke wujud cair. Batas
plastis (PL) adalah kadar air suatu tanah ketika berubah dari plastis
menjadi semipadat. Batas susut (SL) adalah kadar air suatu tanah
ketika berubah dari keadaan setengah padat menjadi padat. Perhatikan
bahwa kadar air pada Gambar 2.2 meningkat dari kiri ke kanan.
Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair diperoleh di laboratorium dengan menggunakan alat
sederhana yang mencakup cawan kuningan dangkal dan alas keras

22
yang dibenturkan berulang kali menggunakan mekanisme yang
dioperasikan dengan engkol. Cangkir diisi dengan spesimen tanah liat
(pasta), dan alur dipotong pada pasta menggunakan alat standar. Batas
cair adalah kadar air dimana kuat geser benda uji tanah liat sangat kecil
sehingga tanah “mengalir” menutup alur tersebut pada jumlah
pukulan standar (ASTM 2004: Penunjukan D-4318).
Batas Plastik (Plastic Limit)
Batas plastis didefinisikan sebagai kadar air dimana suatu tanah
hancur ketika digulung menjadi benang berdiameter 3 mm (ASTM
2004: Penunjukan D-4318). Untuk melakukannya, gunakan tangan
Anda untuk menggulung sepotong tanah liat ke piring kaca. Mampu
menggulung sepotong tanah liat yang lembab merupakan indikasi
bahwa tanah tersebut sekarang berada dalam keadaan plastis (lihat
Gambar 1.2). Dengan menggelindingkan tanah liat ke kaca, ia akan
kehilangan sebagian kelembapannya dan bergerak menuju keadaan
semipadat, seperti yang ditunjukkan pada gambar. Runtuhnya benang
menunjukkan bahwa benang telah mencapai keadaan setengah padat.
Kadar air benang pada tahap tersebut dapat diukur untuk
menghasilkan batas plastis, yang merupakan batas antara keadaan
plastis dan semipadat.
Batas Penyusutan (Shrinkage Limit)
Dalam keadaan semi padat, tanah mempunyai kadar air
tertentu. Saat tanah kehilangan lebih banyak kelembapan, tanah akan
menyusut. Ketika penyusutan berhenti, tanah telah mencapai keadaan
padatnya. Oleh karena itu, kadar air dimana tanah berhenti menyusut
adalah batas penyusutan, yaitu batas antara keadaan semi padat dan
padat, terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.2 Batas Atterberg

23
Bagan Plastisitas
Indikator yang berguna untuk klasifikasi tanah berbutir halus
adalah indeks plastisitas (PI), yaitu selisih antara batas cair dan batas
plastis (PI = LL − PL). Jadi, PI adalah kisaran di mana suatu tanah
akan berperilaku sebagai bahan plastis. Indeks plastisitas dan batas cair
dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tanah berbutir halus
melalui (Casagrande et al., 2002) grafik plastisitas empiris yang
ditunjukkan pada Gambar 1.3. Garis yang ditunjukkan pada Gambar
1.3 memisahkan lanau dari lempung. Dalam grafik plastisitas, batas
cair suatu tanah menentukan plastisitasnya: Tanah dengan LL ≤ 30
diklasifikasikan sebagai lempung dengan plastisitas rendah (atau lanau
dengan kompresibilitas rendah); tanah dengan 30 < LL ≤ 50 adalah
tanah liat dengan plastisitas sedang (atau lanau dengan kompresibilitas
sedang); dan tanah dengan LL > 50 merupakan tanah liat dengan
plastisitas tinggi (atau lanau dengan kompresibilitas tinggi). Misalnya,
Untuk menentukan keadaan tanah alami dengan kadar air (ω)
di lapangan, kita dapat menggunakan indeks likuiditas (LI), yang
didefinisikan sebagai
LI=
ω−PL
LL−PL
(1.5)
Untuk tanah liat yang sangat terkonsolidasi berlebihan, ω < PL
dan oleh karena itu LI < 0, maka tanah tersebut diklasifikasikan
sebagai nonplastik (yaitu rapuh) ; jika 0 ≤ LI ≤ 1 (yaitu, PL < ω <
LL), tanah berada dalam keadaan plastis; dan jika LI > 1 (yaitu ω >
LL), maka tanah berada dalam keadaan cair.
Indikator lain yang bermanfaat adalah activity (A) suatu tanah
(Skempton, 1953):
????????????????????????????????????????????????=
??????&#3627408473;&#3627408462;&#3627408480;&#3627408481;??????&#3627408464;??????&#3627408481;&#3627408486; ??????&#3627408475;&#3627408465;&#3627408466;&#3627408485;
% &#3627408463;&#3627408486; &#3627408474;&#3627408462;&#3627408480;&#3627408480; &#3627408467;??????&#3627408475;&#3627408466;&#3627408479; &#3627408481;ℎ&#3627408462;&#3627408475; 0.002 &#3627408474;&#3627408474;
(1.6)
Dalam persamaan ini fraksi liat (kandungan liat) didefinisikan
sebagai berat partikel liat (< 2 µm) dalam suatu tanah. Aktivitas
tersebut merupakan ukuran derajat plastisitas kandungan liat tanah.
Nilai aktivitas umum untuk mineral lempung utama adalah: kaolinit, A

24
= 0,3 hingga 0,5; iliet, A = 0,5 hingga 1,2; dan montmorillonit, A = 1,5
hingga 7,0.

Gambar 2.3 Grafik plastisitas (Sam Helwany, 2007)
Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah dapat didefinisikan sebagai pengaturan tanah
ke dalam kelompok yang berbeda sehingga tanah dalam kelompok
tertentu memiliki perilaku yang sama. Di alam berbagai macam tanah
dengan variasi besar dalam sifat dan perilaku mereka ada. Klasifikasi
tanah diperlukan karena melaluinya perkiraan tetapi, gagasan yang
cukup akurat tentang sifat rata-rata kelompok tanah atau jenis tanah
dapat diperoleh, yang berguna dalam berbagai proyek rekayasa tanah.
Dari sudut pandang teknik, klasifikasi dapat dibuat dengan tujuan
menemukan kesesuaian tanah untuk penggunaannya sebagai bahan
pondasi atau sebagai bahan konstruksi.
Namun, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para
insinyur tanah tentang pentingnya klasifikasi tanah dan generalisasi

25
luas dari sifat-sifat berbagai kelompok. Hal ini terutama karena
kesulitan dalam membentuk kelompok tanah mengingat variasi yang
sangat luas dalam sifat rekayasa tanah yang jumlahnya terlalu besar.
Dengan demikian jelas bahwa dalam klasifikasi apa pun mungkin ada
beberapa tanah yang mungkin jatuh ke dalam dua atau lebih
kelompok. Demikian pula, tanah yang sama dapat ditempatkan ke
dalam kelompok-kelompok yang tampak sangat berbeda di bawah
sistem klasifikasi yang berbeda.
Mengingat keterbatasan yang ditunjukkan di atas, klasifikasi
tanah harus diambil hanya sebagai panduan awal untuk perilaku
rekayasa tanah, yang tidak dapat sepenuhnya atau semata-mata
diprediksi dari klasifikasi saja. Selain itu, tes teknik tanah penting
tertentu harus selalu dilakukan sehubungan dengan penggunaan tanah
dalam setiap proyek penting, karena sifat yang berbeda mengatur
perilaku tanah dalam situasi yang berbeda.
Sistem Klasifikasi Tanah
Sejumlah sistem klasifikasi tanah telah berevolusi untuk tujuan
rekayasa. Beberapa sistem ini telah dikembangkan secara khusus
untuk memastikan kesesuaian tanah untuk digunakan dalam proyek-
proyek rekayasa tanah tertentu. Lebih lanjut beberapa sistem bersifat
pendahuluan sementara yang lain lebih lengkap, meskipun beberapa
tingkat kesewenang-wenangan melekat pada masing-masing sistem.
Beberapa sistem klasifikasi tanah yang umum diadopsi adalah
seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
• Klasifikasi awal berdasarkan jenis tanah atau klasifikasi deskriptif;
• Klasifikasi geologi atau klasifikasi berdasarkan asal;
• Klasifikasi berdasarkan struktur;
• Klasifikasi ukuran partikel atau klasifikasi ukuran butir.
• Klasifikasi tekstur.
• Sistem klasifikasi AASHTO.
• Sistem klasifikasi USCS.
• Sistem klasifikasi Standar India

26
Namun pembahasan dalam buku ini hanya berfokus pada dua
system klasifikasi yaitu Sistem klasifikasi menurut AASHTO dan
system klasifikasi tanah menurut USCS.
• Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi American Association of State Highway and
Transportation Official (AASHTO) berguna untuk mengklasifikasikan
tanah untuk jalan raya. Ini adalah sistem klasifikasi lengkap di mana
analisis ukuran partikel serta karakteristik plastisitas dimasukkan untuk
mengklasifikasikan tanah dan mengklasifikasikan tanah berbutir kasar
dan berbutir halus. Dalam sistem ini tanah diklasifikasikan menjadi 7
jenis yang ditunjuk sebagai A-1 hingga A-7. Tanah A-1 dan A-7 dibagi
lagi menjadi dua kategori dan tanah A-2 menjadi empat kategori
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 2. 8 Klasifikasi tanah sesuai sistem klasifikasi AASHTO

* Jika indeks plastisitas sama dengan atau kurang dari (batas cairan –
30), tanahnya adalah A–7–5 (yaitu.PL > 30%)
Jika indeks plastisitas lebih besar dari (batas cair –30), tanahnya adalah
A–7–6 (yaitu.PL < 30%

27
Untuk mengklasifikasikan tanah, analisis ukuran partikelnya
dilakukan, dan indeks plastisitas serta batas cairannya ditentukan.
Dengan nilai-nilai parameter ini diketahui, seseorang memeriksa
kolom pertama (ekstrim kiri) Tabel 2.7 dan memastikan apakah
parameter yang diketahui memenuhi nilai pembatas dalam kolom itu.
Jika ini memenuhi persyaratan, tanah Untuk mengklasifikasikan tanah,
analisis ukuran partikelnya dilakukan, dan indeks plastisitas serta batas
cairannya ditentukan. Dengan nilai-nilai parameter ini diketahui,
seseorang memeriksa kolom pertama (ekstrim kiri) Tabel 2.7 dan
memastikan apakah parameter yang diketahui memenuhi nilai
pembatas dalam kolom itu. Jika ini memenuhi persyaratan, tanah
diklasifikasikan sebagai A-1-a. Jika ini tidak memuaskan, seseorang
memasuki kolom kedua (dari kiri) dan menentukan apakah ini
memenuhi nilai pembatas di kolom itu. Prosedur ini diulang untuk
kolom berikutnya sampai kolom tercapai ketika parameter yang
diketahui memenuhi persyaratan kolom tersebut. Tanah kemudian
diklasifikasikan sesuai nomenklatur yang diberikan di bagian atas
kolom itu.
Tanah dengan angka terendah, A-1 adalah yang paling cocok
sebagai material jalan raya atau subgrade. Secara umum semakin
rendah jumlah jenis tanah, semakin cocok tanahnya. Misalnya, tanah
tipe A-4 lebih baik daripada tanah tipe A-5. Pada Tabel 2.7 kolom
untuk tanah tipe A-3 berada di sebelah kiri kolom untuk tanah tipe A-
2. Pengaturan ini hanya untuk menentukan klasifikasi tanah. Ini tidak
menunjukkan bahwa tanah tipe A-3 lebih cocok untuk jalan raya
daripada tanah tipe A-2.
Tanah berbutir halus dinilai lebih lanjut untuk kesesuaiannya
untuk jalan raya oleh indeks kelompok (GI), ditentukan sebagai
berikut:
GI = (F – 35) [0.2 + 0.005 (wL – 40)] + 0.01(F – 15) (Ip – 10) (1.7)
di mana F = persentase dengan massa yang melewati Saringan
Amerika No. 200 (ukuran 0, 075 mm), dinyatakan sebagai bilangan

28
bulat; wL = batas cairan (%) dinyatakan sebagai bilangan bulat; dan Ip
= indeks plastisitas (%) dinyatakan sebagai bilangan bulat.
Saat menghitung GI dari persamaan di atas, jika ada suku
dalam tanda kurung menjadi negatif, itu dijatuhkan, dan tidak diberi
nilai negatif. Nilai maksimum (F – 35) dan (F – 15) diambil sebagai 40
dan (wL – 40) dan (Ip – 10) sebagai 20.
Indeks grup dibulatkan ke bilangan bulat terdekat. Jika nilai
yang dihitung negatif, indeks grup dilaporkan sebagai nol. Indeks
kelompok ditambahkan ke jenis tanah yang ditentukan dari Tabel 2.7
Misalnya, A-6 (15) menunjukkan tanah tipe A-6 memiliki indeks
kelompok 15. Semakin kecil nilai indeks grup, semakin baik tanah
dalam kategori itu. Indeks grup nol menunjukkan subgrade yang baik,
sedangkan indeks grup 20 atau lebih menunjukkan subgrade yang
sangat buruk. Indeks kelompok harus disebutkan bahkan ketika nol
untuk menunjukkan bahwa tanah telah diklasifikasikan sesuai sistem
klasifikasi AASHTO.
• Sistem Klasifikasi USCS
Sistem Unified Soil Classification (USC) dikembangkan pada
tahun 1952 bersama-sama oleh Biro Reklamasi AS dan Korps
Insinyur Angkatan Darat AS dengan berkonsultasi dengan A.
Casagrande dengan memodifikasi sistem klasifikasi Lapangan Udara
yang diberikan oleh A. Casagrande pada tahun 1948. Sistem
Klasifikasi Tanah Terpadu memperhitungkan analisis ukuran partikel
dan karakteristik plastisitas tanah, dan karenanya sistem ini berlaku
secara umum untuk semua jenis masalah yang melibatkan tanah dan
khususnya untuk desain dan konstruksi bendungan. Sistem ini juga
telah diadopsi oleh American Society of Testing Materials (ASTM).
Dalam sistem klasifikasi ini setiap komponen tanah diberi
simbol sebagai berikut: Kerikil: G Silt: M (dari kata Swedia “Mo”
untuk lanau) Organik: O Pasir: S Tanah liat: C Gambut: P
Penilaian serta karakteristik kompresibilitas dan plastisitas
komponen tanah ditunjukkan oleh simbol-simbol berikut:

29
• Well graded: W Poorly graded: P
• Low compressibility and Low plasticity: L
• High compressibility and High plasticity:H
Tabel 2.9 Sistem klasifikasi Unifed Soil Classification System (USCS)
Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi
Tanah berbutir kasar lebih dari 50% butiran tertahan saringan no. 200 (0,075 mm)
Kerikil 50% atau lebih dari fraksi kasar tertahan saringan no. 4
(4,75 mm)
Kerikil bersih
(sedikit atau taka da butiran
halus)
GW
Kerikil bergradasi-
baik dan campuran
kerikil-pasir, sedikit
atau sama sekali tidak
mengandung butiran
halus
Klasifikasi berdasarkan persentase butiran halus, kurang dari 5% lolos saringan no. 200:
GW, GP, SW, SP. lebih dari 12% lolos saringan no. 200: GM, GC, SM, SC. 5%-12% lolos saringan no. 200. Batasan
klasifikasi yang mempunyai symbol dobel
Cu = D60 > 4
D10
Cc = (D30)
2 Antara 1
dan 3


D10 x D60
GP
Kerikil bergradasi-
buruk dan campuran
kerikil-pasir, sedikit
atau sama sekali tidak
mengandung butiran
halus
Tidak memenuhi kedua
kriteria untuk
GW
Kerikil banyak kandungan
butiran halus
GM
Kerikil berlanau,
campuran kerikil-
pasir-lanau
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis
A atau PI <
4
Bila batas
Atterberg
berada
didaerah
arsir dari
diagram
plastisitas,
maka dipakai
dobel simbol
GC
Kerikil berlempung,
campuran kerikil-
pasir-lempung
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis
A atau PI >
7
Pasir lebih dari 50% fraksi kasar lolos saringan no.
4 (4,75 mm)
Pasir bersih
(hanya pasir)
SW
Pasir bergradasi-baik
, pasir berkerikil,
sedikit atau sama
sekali tidak
mengandung butiran
halus
Cu = D60 > 6
D10
Cc = (D30)
2 Antara 1
dan 3

D10 x D60

SP
Pasir bergradasi-
buruk, pasir
berkerikil, sedikit
atau sama sekali tidak
mengandung butiran
halus
Tidak memenuhi kedua
kriteria untuk
SW
Pasir
dengan
butiran
halus
SM
Pasir berlanau,
campuran pasirlanau
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis
A atau PI < 4

Bila batas
Atterberg
berada
di daerah
arsir dari

30
SC
Pasir berlempung,
campuran pasir-
lempung
Batas-batas
Atterberg di
bawah garis
A atau PI >
7
diagram
plastisitas,
maka dipakai
dobel simbol

Catatan: "Klasifikasi batas": tanah yang memiliki karakteristik dua
kelompok ditunjuk oleh kombinasi simbol kelompok,
misalnya, GW-GC, Dinilai baik, campuran kerikil-pasir
Tanah berbutir halus lebih dari 50% lolos saringan no. 200 (0,075 mm)

Lanau dan lempung batas cair 50% atau kurang

ML
Lanau anorganik,
pasir halus sekali,
serbuk batuan, pasir
halus berlanau atau
berlempung
Diagram Plastisitas:
Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang
terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar.
Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah
yang di arsir berarti batasan klasifikasinya
menggunakan dua simbol.


0 10 20 30 40 50 60 70
80


Batas Cair LL (%)

Garis A : PI = 0.73 (LL-20)
CL
Lempung anorganik
dengan plastisitas
rendah sampai
dengan sedang
lempung berkerikil,
lempung berpasir,
lempung berlanau,
lempung “kurus”
(lean clays)
OL
Lanau-organik dan
lempung berlanau
organik dengan
plastisitas rendah
Lanau dan lempung batas cair lebih
dari 50%

MH
Lanau anorganik
atau pasir halus
diatomae, atau lanau
diatomae, lanau
yang elastis
CH
Lempung anorganik
dengan plastisitas
tinggi, lempung
“gemuk” (fat clays)
OH
Lempung organik
dengan plastisitas
sedang sampai
dengan tinggi
Tanah-tanah
dengan
kandungan
organik sangat
tinggi
PT
Peat (gambut),
muck, dan
tanahtanah lain
dengan kandungan
organik tinggi
Manual untuk identifikasi secara visual dapat
dilihat di ASTM Designation D-2488
Sumber : Hary Christady, 1996









G





ML

at

31
dengan pengikat tanah liat. * Klasifikasi berdasarkan
persentase, Kurang dari 5% melewati No. 200 ASTM Sieve.
GW, GP, SW, SP Lebih dari 12% melewati Saringan ASTM
No. 200. GM, GC, SM, SC 5% hingga 12% lulus Saringan
ASTM No. 200. Klasifikasi garis batas yang membutuhkan
penggunaan simbol ganda
Dalam sistem klasifikasi ini (Tabel 2.8), tanah diklasifikasikan
ke dalam tiga kategori besar:
• Tanah berbutir kasar. Jika lebih dari 50% tanah dipertahankan pada
saringan ASTM No. 200 (saringan IS 0,075 mm), itu ditetapkan
sebagai tanah berbutir kasar. Ada 8 kelompok tanah berbutir kasar.
Tanah berbutir kasar ditetapkan sebagai kerikil (G) jika 50% atau
lebih dari fraksi kasar (ditambah 0,075 mm) dipertahankan pada
saringan ASTM No. 4 (saringan IS 4,75 mm); jika tidak disebut
sebagai pasir (S). Jika tanah berbutir kasar mengandung denda
kurang dari 5% dan dinilai baik (W), mereka diberi simbol GW dan
SW, dan jika dinilai buruk (P) diberi simbol GP dan SP. Kriteria
untuk penilaian yang baik diberikan pada Tabel 4.2. Jika tanah
berbutir kasar mengandung denda lebih dari 12%, ini ditetapkan
sebagai GM, GC, SM, atau SC, sesuai kriteria yang diberikan. Jika
persentase denda antara 5 dan 12% simbol ganda seperti GW-GM,
SP-SM, digunakan.
• Tanah berbutir halus. Jika lebih dari 50% tanah melewati saringan
ASTM No. 200 (saringan IS 0,075 mm), itu ditetapkan sebagai
tanah berbutir halus. Ada enam kelompok tanah berbutir halus.
Tanah berbutir halus dibagi lagi menjadi dua jenis: (a) Tanah
dengan plastisitas rendah (L) jika batas cairan adalah 50% atau
kurang. Ini diberi simbol ML, CL dan OL. (b) Tanah plastisitas
tinggi (H) jika batas cairan lebih dari 50%. Ini diberi simbol MH,
CH dan OH. Jenis yang tepat dari tanah berbutir halus ditentukan
dari bagan plastisitas yang dirancang oleh Casagrande, ditunjukkan
pada (Gambar 2.4) Garis-A, yang memisahkan lempung anorganik
dari lanau dan lempung organik, memiliki persamaan linier berikut
antara indeks plastisitas dan batas cairan:

32
Ip = 0.73 (wL – 20) (1.8)
di mana Ip = indeks plastisitas;
dan wL = batas cairan
Ketika indeks plastisitas dan plot batas cairan di bagian menetas
dari bagan plastisitas, tanah diberi simbol ganda CL – ML.

Gambar 2.4 Bagan Plastisitas (unified soil classification).
Tanah anorganik ML dan MH, dan plot OL dan OH tanah organik
di zona yang sama dari bagan plastisitas. Perbedaan antara tanah
anorganik dan organik dibuat dengan pengeringan oven. Jika
pengeringan oven mengurangi batas cairan sebesar 30% atau lebih,
tanah diklasifikasikan organik (OL atau OH); jika tidak anorganik
(ML atau MH).
• Tanah yang sangat bahan organik. Tanah yang sangat organik
diidentifikasi dengan inspeksi visual. Tanah ini disebut gambut (Pt).

33
Perbandingan Antara Sistem AASHTO dan USCS
Sistem AASHTO berguna untuk menentukan kesesuaian atau
sebaliknya dari tanah sebagai subgrade untuk jalan raya saja. Sistem
USC berguna untuk menentukan kesesuaian tanah untuk penggunaan
umum. Namun, kedua sistem memiliki dasar yang sama. Dalam kedua
sistem tanah diklasifikasikan menurut analisis ukuran partikel dan
karakteristik plastisitas, dan tanah dibagi menjadi dua kategori utama,
yaitu, tanah berbutir kasar dan berbutir halus.
Berikut ini adalah perbedaan utama antara kedua sistem.
• Menurut sistem AASHTO, tanah disebut sebagai berbutir halus
jika lebih dari 35% melewati Saringan ASTM No. 200 (saringan IS
0,075 mm), sedangkan dalam sistem USC disebut sebagai berbutir
halus jika lebih dari 50% melewati saringan ASTM No. 200
(saringan IS 0,075 mm). Dalam hal ini sistem AASHTO agak lebih
baik karena tanah berperilaku sebagai berbutir halus ketika
persentase denda adalah 35% dan batas 50% dalam sistem USC
agak lebih tinggi.
• Dalam sistem AASHTO, Saringan ASTM No. 10 (saringan IS 2,0
mm) digunakan untuk membagi tanah menjadi kerikil dan pasir,
sedangkan pada sistem USC, saringan ASTM No. 4 (saringan IS
4,75 mm) digunakan.
• Dalam sistem USC, tanah berkerikil dan berpasir jelas dipisahkan,
sedangkan dalam sistem AASHTO demarkasi yang jelas tidak
dilakukan. Tanah A-2 dalam sistem AASHTO mengandung
berbagai macam tanah.
• Simbol yang digunakan dalam sistem USC lebih deskriptif dan
lebih mudah diingat daripada yang ada di sistem AASHTO.
• Dalam sistem USC, tanah organik juga diklasifikasikan sebagai OL
dan OH dan sebagai gambut (Pt) jika sangat organik. Dalam sistem
AASHTO tidak ada tempat untuk tanah organik
• USC sistem lebih nyaman digunakan dari pada sistem AASHTO.
Dalam sistem AASHTO diperlukan proses eliminasi yang
memakan waktu.

34

Tabel 2.9 memberikan perkiraan kesetaraan dalam sistem
AASHTO dan USC. Jadi jika tanah telah diklasifikasikan menurut satu
sistem, klasifikasinya menurut yang lain dapat ditentukan. Namun,
kesetaraan hanya perkiraan, dan karenanya untuk klasifikasi yang tepat
prosedur yang sesuai harus digunakan.
Tabel 2.10 Perkiraan Kesetaraan antara sistem AASHTO dan USC
AASHTO system USC system ( Most probable )
A - 1 - a GW, GP
A - 1 - b SW, SM, GM, SP
A - 2 - 4 GM, SM
A - 2 - 5 GM, SM
A - 2 - 6 GC, SC
A - 2 - 7 GM, GC, SM, SC
A - 3 SP
A - 4 ML, OL, MN, OH
A - 5 MH, OH, ML, OH
A - 6 CL
A - 7 - 5 OH, MH, CL, OL
A - 7 - 6 CH, CL, OH
Latihan Soal
1. Jelaskan Ukuran partikel tanah dengan ukuran butirannya!
2. Berilah definisi dan penjelasan tentang perbedaan klasifikasi tanah:
• AASHTO
• USCS
3. Jelaskan batas-batas konsistensi tanah!

35
Jenis Tanah Dan
Karakteristiknya
3.1 Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)
1. Mampu memahami dan menentukan sifat-sifat fisis tanah
berdasarkan karakteristiknya.
2. Mampu memahami dan menganalisis karakteristik tanah kohesiv,
tanah berbutir kasar, tanah tropis, tanah organik: gambut.
3.2 Deposit Tanah Lempung
Mineral lempung adalah zat kristal yang dihasilkan oleh
pelapukan kimia mineral pembentuk batuan tertentu. Secara kimia,
mereka adalah aluminium silikat hidrat ditambah ion logam lainnya, dan
itu termasuk dalam kelas mineral yang disebut phyllosilicates. Kristalnya
berukuran koloid (diameter kurang dari 1 μm) dan hanya dapat dilihat
dengan mikroskop elektron. Mineral lempung terlihat seperti lempeng
atau serpihan kecil, dan dari studi fraksi sinar-X dif, ahli mineral telah
menentukan bahwa serpihan ini terdiri dari banyak lembaran kristal
yang memiliki struktur atom berulang. Faktanya, hanya ada dua
BAB 3

36
lembaran kristal dasar, lembaran tetrahedral atau silika dan lembaran
oktahedral atau alumina. Cara-cara tertentu di mana lembaran-lembaran
ini ditumpuk bersama, dengan ikatan yang berbeda dan ion logam
yang berbeda dalam kisi kristal, mencirikan berbagai mineral lempung.
Lembaran tetrahedral pada dasarnya adalah kombinasi dari unit
tetrahedral silika, yang terdiri dari empat atom oksigen di sudut,
mengelilingi atom silikon tunggal (Gambar. 3.1 (a)]. Gambar 3.l (b)
menunjukkan bagaimana atom oksigen di dasar setiap tetrahedron
digabungkan untuk membentuk struktur lembaran di mana semua
oksigen di dasar setiap tetrahedron berada dalam satu bidang dan
puncak tetrahedra semuanya mengarah ke arah yang sama. Representasi
skematik umum dari lembar tetrahedral ditunjukkan pada Gambar 3.1
(c). Tampilan atas lembaran tetrahedral (silika) (Gambar 3.1 (d))
menggambarkan bagaimana atom oksigen di dasar setiap tetrahedron
termasuk dalam dua tetrahedron dan bagaimana atom silikon yang
berdekatan terikat. Perhatikan "lubang" heksagonal pada lembaran.

Gambar 3. 1 (a) Single silica tetrahedron (after Grim, 1959). (b) Isometric view of the
tetrahedral or silica sheet (after Grim, 1959). (c) Schematic representation of the silica sheet
(after Lambe, 1953). (d) Top view of the silica sheet (after Warshaw and Roy, 1961 ).

37
Lembaran oktahedral pada dasarnya adalah kombinasi unit
oktahedral yang terdiri dari enam oksigen atau hidroksil yang
melingkupi aluminium, magnesium, besi, atau atom logam lainnya.
Sebuah oktahedron tunggal ditunjukkan pada Gambar 3.2 (a),
sedangkan Gambar 3.2 (b) menunjukkan bagaimana oktahedron
bergabung untuk membentuk struktur lembaran. Barisan oksigen atau
hidroksil dalam lembaran berada dalam dua bidang. Gambar 3.2 (c)
adalah represen skematik dari lembar oktahedral. Untuk tampilan atas
lembaran oktahedral, menunjukkan bagaimana atom-atom yang
berbeda dibagi dan terikat, lihat Gambar 3.2 (d).

Gambar 3.2 (a) Single aluminum (or magnesium) octahedron. (b) Isometric view of the octahedral
sheet (c) Schematic representation of the octahedral or alumina (or magnesia) sheet (d) Top view of the
octahedral sheet
Substitusi kation yang berbeda dalam lembaran oktahedral
cukup umum dan menghasilkan mineral lempung yang berbeda.
Karena ion tersubstitusi kira-kira berukuran fisik yang sama, substitusi
ini disebut isomorf. Kadang-kadang tidak semua oktahedron
mengandung kation, yang menghasilkan struktur kristal yang agak
berbeda dengan sifat fisik yang sedikit berbeda dan mineral lempung
yang berbeda.

38
Misalnya, jika semua anion dari lembaran oktahedral adalah
hidroksil dan dua pertiga dari posisi kation diisi dengan aluminium,
maka mineral tersebut disebut gibbsite. Jika magnesium diganti
dengan aluminium dan mengisi semua posisi kation, maka mineral
tersebut disebut brucite.
Semua mineral lempung terdiri dari dua lembaran dasar,
tetrahedral dan oktahedral, yang ditumpuk bersama dengan cara unik
tertentu dan memiliki kation tertentu. Variasi dalam struktur lembaran
dasar membentuk lusinan mineral lempung yang telah diidentifikasi.
Untuk tujuan rekayasa, biasanya cukup untuk menggambarkan hanya
beberapa mineral lempung yang lebih umum ditemukan di tanah liat.
Mineral Tanah Lempung
Kelompok kaolinit-serpentin mengandung setidaknya 13 mineral
yang berbeda, di mana kaolinit adalah yang paling penting. Mineral
dalam kelompok ini terdiri dari lapisan berulang atau tumpukan satu
lembar tetrahedral (silika) dan satu lembar oktahedral (alumina atau
gibbsite), dan dengan demikian mereka disebut mineral lempung 1: 1
(Gambar 3.3). Lembaran-lembaran tersebut disatukan sedemikian
rupa sehingga atom-atom oksigen di ujung lembaran silika dan satu
lapisan oksigen dari lembaran oktahedral dibagi dan membentuk
lapisan tunggal 1: 1, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 3.4).
Lapisan dasar ini tebalnya sekitar 0,72 nm dan memanjang tanpa batas
di dua arah lainnya. Kristal kaolinit, kemudian, terdiri dari tumpukan
beberapa lapisan lapisan dasar 0,72-nm. Lapisan berturut-turut dari
lapisan dasar disatukan oleh ikatan hidrogen antara hidroksil dari
lembaran oktahedral dan oksigen dari lembaran tetrahedral. Karena
ikatan hidrogen sangat kuat, ia mencegah hidrasi dan memungkinkan
lapisan menumpuk untuk membuat kristal yang agak besar. Kristal
kaolin yang khas bisa setebal 70 hingga 100 lapisan.

39

Gambar 3.3 Schematic diagram of the structure of kaolinite (after (Lambe, 1953)).
Kaolinit dihasilkan dari pelapukan (hidrolisis dan pencucian
asam) feldspar dan mika (biotit) dalam batuan granit. Menurut
(Mitchell & Soga, 2005) kaolinit cenderung berkembang di daerah
yang memiliki curah hujan relatif tinggi tetapi drainase yang baik yang
memungkinkan pencucian kation Mg, Ca, dan Fe. Di daerah ini,
alumina berlimpah dan silika langka, dan pH dan konsentrasi elektrolit
relatif rendah. Kaolinit adalah konstituen utama tanah liat Cina, dan
sebenarnya nama kaolin berasal dari sebuah bukit di Provinsi Jiangsi
Cina yang disebut "Kao-ling" yang berarti "puncak tinggi" atau "bukit
tinggi." Kaolinit juga digunakan dalam industri kertas, cat, dan
farmasi. Misalnya, sebagai farmasi digunakan dalam Kaopectate dan
Rolaids. Ini juga seharusnya memiliki manfaat kesehatan dan kuratif.
Mineral 1: 1 lainnya yang kadang-kadang penting dalam praktik
adalah halloysite. Halloysites dibentuk oleh pencucian feldspar oleh
asam sulfat, suatu kondisi umum di daerah dengan bahan induk
vulkanik dan curah hujan tinggi (Mitchell dan Soga, 2005). Mineral ini
berbeda dari kaolinit karena ketika mereka terbentuk, mereka entah
bagaimana menjadi terhidrasi di antara lapisan, mendistorsi kisi kristal

40
sehingga mineral memiliki bentuk tubular. Air dapat dengan mudah
didorong keluar dengan pemanasan atau bahkan pengeringan udara,
sehingga tabung membuka gulungan dan terlihat seperti kaolinit biasa.
Prosesnya tidak dapat diubah; Halloysite tidak akan rehidrasi dan
terbentuk menjadi gulungan jika air ditambahkan nanti. Karakteristik
ini kadang-kadang memiliki konsekuensi penting dalam praktik
Teknik Sipil. Uji klasifikasi dan pemadatan, pada sampel kering udara
atau oven dapat memberikan hasil yang sangat berbeda dari pengujian
pada sampel pada kadar air alaminya. Jika tanah tidak akan
dikeringkan di lapangan, sangat penting untuk hasil yang valid bahwa
tes laboratorium dilakukan pada kadar air lapangan.

Gambar 3.4 Struktur atom kaolinite (after Grim, 1959).
Mineral 2:1 adalah kelompok besar; Lebih dari 40 telah
diidentifikasi. Selain mineral lempung, mungkin bagian yang paling
terkenal dari kelompok ini adalah talc, micas, biotit dan muskovit. Dalam
semua kasus, mineral ini terdiri atas dua lembar tetrahedral atau silika
dan satu lembar oktahedral atau alumina (gibbsite) di antaranya
(Gambar. 3.5). Ada tiga sub kelompok 2:1 yang mencakup mineral
lempung yang cukup komon dengan karakteristik teknik penting. Satu
sub kelompok 2:1 adalah smektit, dan bagian yang paling penting dan
sangat umum adalah montmorillonite (dinamai menurut desa di Prancis,
Montmorillon, tempat mineral itu pertama kali ditemukan).

41
Dalam montmorillonite, ujung tetrahedra berbagi oksigen dan
hidroksil dengan lembaran oktahedral untuk membentuk satu lapisan,
seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 3.6). Ketebalan setiap lapisan
2:1 adalah sekitar 0,96 nm, dan seperti pada kaolinit, lapisan
memanjang tanpa batas di dua arah lainnya. Ikatan antara bagian atas
lembaran silika lemah (dibandingkan, misalnya, dengan ikatan
hidrogen dalam kaolinit), dan ada defisiensi muatan negatif bersih
dalam lembaran oktahedral. Air dan ion yang dapat dipertukarkan
dapat dengan mudah masuk dan memisahkan lapisan dasar, seperti
yang ditunjukkan secara skematis pada (Gambar 3.5). Dengan
demikian, kristal montmorillonite bisa sangat kecil, namun mineral ini
memiliki daya tarik yang sangat kuat untuk air. Tanah yang
mengandung montmorillonite sangat rentan terhadap pembengkakan
karena kadar airnya berubah (meningkat), dan tekanan pembengkakan
yang terjadi dapat dengan mudah merusak struktur dan trotoar jalan
raya.

Gambar 3.5 Skematik struktur montmorillonite (after (Lambe, 1953)).
Menurut (Mitchell & Soga, 2005), smektit cenderung terbentuk
di mana silika berlimpah, pH dan kandungan elektrolitnya tinggi, dan
di mana ada lebih banyak Mg ++ dan Ca ++ daripada ion Na + dan
K +. Batuan beku dasar seperti gabro dan basal dan abu vulkanik

42
dapat menghasilkan smektit di daerah kering atau semi-kering di mana
penguapan melebihi curah hujan dan ada pencucian yang buruk.

Gambar 3.6 Struktur atom montmorillonite (after, (Grim, 1959)).
Bentonit adalah nama umum untuk tanah liat dan batuan lunak
yang mengandung sejumlah besar montmorillonite dan mineral smektit
lainnya. Bentonit diproduksi oleh perubahan kimia abu vulkanik.
Karena karakteristik pembengkakannya, ia digunakan dalam praktik
geoteknik sebagai cairan pengeboran atau "lumpur" untuk
menstabilkan lubang bor dan parit bubur, untuk menutup lubang bor,
dan untuk mengurangi laju aliran melalui tanah berpori. Misalnya,

43
ketika lapisan tanah liat yang dipadatkan digunakan dalam konstruksi
TPA modern, tanah liat alami sering dimodifikasi dengan bentonit
untuk mengurangi konduktivitas hidroliknya.
Illite, ditemukan dan dinamai oleh Profesor R. E. Grim dari
University of Illinois, adalah konstituen penting lain dari tanah liat. Ia
juga memiliki struktur 2 : 1 seperti montmorillonite, tetapi inter layernya
terikat bersama dengan ion kalium. lubang heksagonal pada lembaran
silika (Gambar. 3.1(d)) Diameter "lubang" ini hampir persis dengan
atom kalium, sehingga ketika atom K + hanya mengisi lubang
heksagonal, ia agak kuat mengikat lapisan bersama-sama (Gambar.
3.7). Selain itu, ada beberapa substitusi isomorf aluminium untuk silikon
dalam lembaran silika.
Illites memiliki struktur kristal yang mirip dengan mineral micas
tetapi dengan kalium lebih sedikit dan substitusi isomorf kurang;
Dengan demikian, mereka secara kimiawi jauh lebih aktif daripada
mika lainnya. Kondisi untuk membentuk illiet mirip dengan smektit,
kecuali bahwa kalium harus berlimpah. Bahan induk sering termasuk
batuan beku dan metamorf yang kaya mika. Illites adalah konstituen
tanah liat yang sangat umum; mereka sangat umum di endapan tanah
liat glacio-lacustrine di benua Amerika Utara dan di tanah liat yang
ditemukan di bawah lapisan batubara di daerah yang sama.

Gambar 3.7 Skematik diagram illite (after (Lambe, 1953)).

44
Vermikulit adalah mineral 2: 1 lain yang cukup umum mirip
dengan montmorillonite kecuali bahwa ia hanya memiliki dua lapisan
air. Setelah dikeringkan pada suhu tinggi, yang menghilangkan air
interlayer, vermikulit "diperluas" membuat bahan isolasi yang sangat
baik.
Mineral Tanah Lempung Lainnya
Chlorite adalah mineral umum lainnya yang ditemukan di tanah
liat, meskipun secara teknis merupakan kelompok yang mengandung
beberapa mineral terpisah. Chlorite terdiri dari lapisan berulang dari
lembaran silika, lembaran alumina, silika lain, dan kemudian lembaran
gibbsite (Al +++) atau brucite (Mg ++) (Gambar 3.8). Itu bisa
disebut mineral 2: 1: 1. Beberapa mineral klorit memiliki substitusi
isomorf yang cukup besar dan kadang-kadang kehilangan lapisan
brucite atau gibbsite; Dengan demikian mereka mungkin rentan
terhadap pembengkakan karena air bisa masuk di antara lembaran.
Secara umum, bagaimanapun, klorit secara signifikan kurang aktif
daripada mont morillonite dan illite. Menurut (Mitchell & Soga, 2005)
klorit terbentuk oleh perubahan smec tite dengan adanya Mg ++ yang
cukup untuk membentuk interlayer brusit. Klorit sering hadir dalam
batuan metamorf dan di tanah yang terbentuk dari batuan tersebut.
Seperti disebutkan sebelumnya, mineral lempung sangat banyak, dan
mereka memiliki hampir setiap kombinasi ion tersubstitusi, air
interlayer, dan kation yang dapat dipertukarkan. Beberapa dari mineral
itu saling terkait dengan insinyur. Attapulgite memiliki rantai daripada
struktur lembaran; akibatnya ia memiliki penampilan seperti jarum
atau batang. Mineral lapisan campuran relatif umum; Mereka
termasuk, misalnya, montmorillonite dicampur dengan klorit atau illite.
Karena allophane adalah phyllosilicate, sering diklasifikasikan sebagai
mineral tanah liat. Namun, itu amorf untuk sinar-X, yang berarti tidak
memiliki struktur kristal biasa.
Di bawah kondisi pelapukan khusus (terutama tanah yang
berasal dari gunung berapi), ini mungkin merupakan konstituen tanah
liat yang penting secara lokal. Beberapa allophanes memiliki partikel

45
berbentuk batang atau jarum yang mungkin membuat mereka sulit
untuk memadatkan atau menstabilkan.

Gambar 3.8 Skematik diagram chlorite (after (Mitchell & Soga, 2005)).
3.3 Tanah Lanau
Lanau adalah sedimen klastik, yaitu, yang berasal dari jenis
batuan yang sudah ada sebelumnya terutama oleh proses pemecahan
mekanis. terutama terdiri dari bahan kuarsa halus, Lanau dapat terjadi
di horizon tanah residu. Namun, lanau sering ditemukan di endapan
aluvial, lakustrin dan laut. pada sedimen aluvial, lanau biasanya ada di
endapan dataran banjir, mereka juga dapat terjadi di tempat yang
berbatasan dengan dataran tersebut. Lanau juga hadir dengan pasir
dan tanah liat di muara dan sedimen delta (Gambar 3.9).
Lanau lacustrin sering diikat dan mungkin terkait dengan
lempung pernis, yang mengandung proporsi partikel berukuran lanau
yang signifikan. Lanau laut juga sering diikat dan memiliki kadar air
yang tinggi. Lumpur yang tertiup angin biasanya disortir secara
seragam. Butiran lanau sering dibulatkan dengan garis-garis halus yang
mempengaruhi tingkat pengemasannya. Yang terakhir, bagaimanapun,
lebih tergantung pada distribusi ukuran butir dalam endapan lanau,
endapan yang disortir secara seragam tidak dapat mencapai
pengemasan sedekat yang ada di mana ada berbagai ukuran butir.

46
Hal ini, pada gilirannya, mempengaruhi nilai rasio porositas
dan void serta kepadatan curah dan kering. Dilatancy adalah
karakteristik dari pasir halus dan lanau. Lingkungan sangat penting
untuk pengembangan dilatancy karena kondisi harus sedemikian rupa
sehingga ekspansi dapat terjadi. Terlebih lagi, telah disarankan bahwa
partikel-partikel tanah harus dibasahi dengan baik dan tampaknya
elektrolit tertentu melakukan efek pendispersi, sehingga membantu
dilatancy. Kadar air di mana sejumlah pasir dan lanau menjadi
mencolok biasanya bervariasi antara 16 dan 35%. Menurut (Boswell,
1961), sistem dilatan adalah sistem di mana viskositas anomali
meningkat dengan meningkatnya geser.

Gambar 3.9 Sungai Kosta Rika mengeluarkan sejumlah besar airnya yang sarat lanau
(disebabkan oleh erosi) ke laut
Sumber: https://www.worldatlas.com/

47
(Schultze & Horn, 1965) menunjukkan bahwa konsolidasi
lanau dipengaruhi oleh ukuran butir, terutama ukuran fraksi lempung,
porositas dan kadar air alami. Konsolidasi primer menyumbang 76%
dari total konsolidasi yang ditunjukkan oleh Lanau Rhine yang diuji
oleh Schultze dan Kotzias, konsolidasi sekunder berkontribusi sisanya.
Tercatat bahwa tidak seperti banyak lanau Amerika, yang sering tidak
stabil ketika jenuh, dan mengalami pemukiman yang signifikan ketika
dimuat, lumpur Rhine dalam kondisi seperti itu biasanya stabil.
Perbedaannya tidak diragukan lagi terletak pada struktur tanah
masing-masing.
Sebagian besar lanau Amerika, pada kenyataannya, adalah
tanah loess yang memiliki struktur lebih terbuka daripada lanau sungai
Rhine yang dikerjakan ulang dengan rasio kekosongan kurang dari
0,85. Tidak kurang, di banyak lanau, pemukiman terus terjadi setelah
konstruksi selesai dan dapat melebihi 100 mm. Penyelesaian dapat
berlanjut selama beberapa bulan setelah selesai karena tingkat di mana
air dapat mengalir dari rongga di bawah pengaruh tekanan yang
diterapkan lambat. (Schultze & Horn, 1965) menemukan bahwa uji
geser langsung terbukti tidak cocok untuk penentuan kekuatan geser
lanau, ini harus diperoleh dengan pengujian triaksial.
Mereka menunjukkan bahwa kohesi lanau adalah fungsi
logaritmik dari kadar air dan bahwa yang terakhir dan tegangan
normal yang efektif menentukan kekuatan geser. Sudut gesekan
tergantung pada indeks plastisitas. Dalam serangkaian uji triaksial yang
dilakukan pada lanau, (Penman, 1953) menunjukkan bahwa dalam uji
yang dikeringkan dengan regangan yang meningkat, volume sampel
pertama menurun, kemudian meningkat pada tingkat yang seragam
dan akhirnya mencapai tahap di mana tidak ada perubahan lebih
lanjut. Besarnya dilatancy yang terjadi ketika lanau di potong, dan
respon atas perubahan volume ini, meningkat dengan meningkatnya
kepadatan seperti halnya di pasir. Ekspansi ini disebabkan oleh
butiran yang saling bertumpuk selama pencukuran.
Kekuatan lumpur terutama disebabkan oleh gesekan antara
butiran dan gaya yang diperlukan untuk menyebabkan dilatancy

48
terhadap tekanan yang diterapkan. Tes yang dikeringkan ini
menunjukkan bahwa sudut resistansi geser menurun dengan
meningkatnya rasio kekosongan dan dengan meningkatnya tekanan
lateral. Butir yang saling terkait bertanggung jawab atas peningkatan
utama dalam sudut ketahanan geser dan meningkat dengan
meningkatnya kepadatan. Penurunan tekanan air pori terjadi pada
pengujian yang tidak dikeringkan selama pencukuran, dan ada
hubungan linier antara penurunan maksimum tekanan pori dan rasio
kekosongan. Asalkan tekanan yang diberikan cukup tinggi, penurunan
tekanan pori mengatur kekuatan tertinggi. Penurunan tekanan pori
tergantung pada kepadatan lanau: semakin besar kepadatan, semakin
besar penurunan tekanan pori.
Pada kepadatan tertentu, kekuatan ultimate tidak tergantung
pada tekanan yang diberikan (di atas tekanan kritis) sehingga lanau
berperilaku sebagai bahan kohesif (sudut geser = 0). Di bawah
tekanan kritis ini, lanau berperilaku sebagai bahan yang kohesif dan
gesekan. Kondisi luar biasa terjadi ketika sampel yang sangat dapat
dilatasi ditempatkan di bawah tekanan sel rendah. Ketika tekanan pori
turun di bawah tekanan atmosfer, gas dibebaskan oleh air pori dan
sampel diperluas.

Gambar 3.10 Lapisan Lanau

49
Lubang ini digali di dekat Sungai Ōroua, hilir dari jembatan
Kopane. Skalanya dalam sentimeter. 15 sentimeter teratas adalah
lumpur yang diendapkan oleh banjir pada tahun 2004, di atas rumput
mati dari bekas padang rumput. Lapisan lumpur yang berbeda dapat
dilihat lebih rendah di dalam lubang, menunjukkan bahwa banjir
dataran sungai terjadi berulang kali dan merupakan bagian dari proses
pembentukan tanah.
Lanau berada di suatu tempat antara ukuran pasir dan tanah
liat, dan merupakan komponen penting dalam dinamika sedimen
sungai. Lanau datang dalam beberapa bentuk. Ini mungkin ditemukan
di tanah di bawah air atau sebagai sedimen yang tersuspensi di air
sungai. Lumpur secara geologis diklasifikasikan berdasarkan ukuran
butir dan teksturnya melalui saringan. Surat ditugaskan untuk butiran
tanah, apakah itu kerikil, pasir, lanau, tanah liat, atau organik.
Kemudian, lebih lanjut digambarkan apakah sampel dinilai buruk,
dinilai baik, memiliki plastisitas tinggi, atau plastisitas rendah.
Komposisi sampel ditentukan dengan melewatkannya melalui
saringan berukuran berbeda, dan hasilnya diklasifikasikan dengan
kombinasi huruf yang ditugaskan padanya berdasarkan karakteristik
fisiokimianya.
Lanau merupakan agregasi yang terutama berasal dari feldspar
dan kuarsa, meskipun beberapa mineral lain juga bisa menjadi bagian
dari komposisinya. Erosi mineral sumber ini oleh es dan air memulai
transformasi yang akhirnya mengubah mineral yang rusak ini menjadi
lanau yang tidak lebih dari 0,002 inci. Lanau (lanau, pasir, tanah liat),
dan kerikil semuanya bercampur membentuk tanah. Lanau juga
ditentukan oleh penglihatan lapangan dan sentuhan oleh rasa licin dan
tidak lengket saat basah, berbeda dengan tanah liat, pasir, atau kerikil.
Ini memiliki konsistensi seperti tepung saat kering. Lanau ditemukan
lebih banyak di lingkungan semi-kering daripada di tempat lain.
(Budianto et al., 2022) Menemukan fraksi tanah lanau pada daerah
dataran rendah yang jauh dari daerah pegunungan memiliki fraksi
tanah lanau yang lebih banyak dari pada lempung.

50
3.4 Tanah Tropis
Di daerah tropis lembab, pelapukan batuan lebih intens dan
meluas ke kedalaman yang lebih besar daripada di bagian lain dunia.
Tanah residu berkembang di tempat sebagai konsekuensi dari
pelapukan, terutama pelapukan kimia. Akibatnya iklim (suhu dan
curah hujan), batuan induk, pergerakan air (drainase dan topografi),
umur dan tutupan vegetasi berperan atas pengembangan profil tanah.
Pengaruh suhu dan kadar air pada pelapukan batuan di daerah
tropis telah dikaitkan oleh (Weinert, 1974) dengan indeks iklim
berikut:
??????=
12 &#3627408440;
&#3627408471;
????????????
(5.1)
di mana Ej adalah penguapan selama bulan terpanas dan Pa
adalah curah hujan tahunan. Transisi dari kondisi lembab tropis di
mana pelapukan kimia mendominasi ke kondisi panas, semi-kering
dan kering di mana pelapukan fisik penting ditempatkan pada nilai 5.
Pelapukan dalam dan dekomposisi kimia terjadi di daerah di mana
nilai N kurang dari 5. Di mana ia turun di bawah 2 montmorillonite di
tanah residu berubah menjadi kaolinite. Silika sering hilang ketika nilai
N di bawah 1, oksida terhidrasi dari besi dan aluminium menjadi
komponen tanah yang signifikan. Di atas nilai N 5, penutup residu
relatif tipis.
Mineralogi tanah residu sebagian diwarisi dari batuan induk
dari mana mereka berasal dan sebagian diproduksi oleh proses
pelapukan. Oleh karena itu mineralogi sangat bervariasi, seperti halnya
ukuran butir dan berat satuan. Partikel-partikel dan pengaturannya
berevolusi secara bertahap saat pelapukan berlangsung. Butir kasar
yang ada di tanah residu biasanya diwarisi dari batuan induk dan dapat
terdiri dari kuarsa yang tidak lapu. Yang terakhir dapat terdegradasi
selama geser. Selain itu, pelapukan batuan induk in situ dapat
meninggalkan struktur relik yang mungkin menawarkan ikatan lemah
bahkan dalam material yang sangat lapuk. Ikatan semacam itu dapat
mempengaruhi perilaku teknik dan dapat memberikan kontribusi
terhadap kekuatan dan kekakuan.

51
Efek batuan induk lebih menonjol pada tahap awal pelapukan
karena faktor pedologis lainnya mendominasi selama tahap
perkembangan selanjutnya. Misalnya, tanah residu dapat mewarisi
struktur anisotropik dari batuan induknya. Ini biasa terjadi di tanah
yang terbentuk dari batuan metamorf, terutama sekis dan gneisses.
Sambungan dan alas relik, serta pengembangan celah, mempengaruhi
perilaku tanah sisa. Kekuatan rendah sepanjang diskontinuitas relik
mungkin disebabkan oleh partikel yang dilapisi dengan senyawa
organik besi / mangan gesekan rendah. Sudut ketahanan geser di
sepanjang permukaan tersebut mungkin sekitar 15-20 °, jatuh ke
sekitar 10 ° ketika menjadi licin (Fookes, 1994).
Di sisi lain, tanah laterit pada akhirnya dapat dikembangkan di
atas sebagian besar jenis batuan. Bahan organik cepat dipecah dan
jarang terjadi di bawah lapisan permukaan tipis. Pelapukan terjadi
terutama dengan hidrolisis dalam kondisi hampir netral pada
kedalaman jauh di bawah pengaruh produk dekomposisi organik
asam. Meskipun pengaruh pelapukan dapat meluas ke kedalaman yang
sangat dalam, derajatnya menurun dengan kedalaman. Ketika batuan
lapuk, basa (Na, K, Ca, Mg) dihilangkan dalam larutan atau menjadi
bagian dari (mineral lempung 2:1) seperti montmorillonit atau illite tetapi
jarang dari kaolinit (mineral lempung 1:1). Silika juga dihilangkan
dalam larutan atau menggabungkan dengan produk lapuk lainnya
untuk membentuk montmorillonite atau kaolinit, sampai batas
tertentu tergantung pada lingkungan. Bahkan montmorillonite
akhirnya dapat menimbulkan kaolinit. Montmorillonite dan illite
cenderung terbentuk di lingkungan alkali, kaolinit dalam asam,
sementara kondisi pengeringan bebas mendukung pembentukan dua
mineral terakhir, montmorillonite berkembang di daerah yang
dikeringkan dengan buruk. Mineral 2: 1 dapat bergerak ke bawah
profil sebagai partikel lempung terdispersi dalam suspensi (lessivage
atau iluviasi) untuk membentuk cakrawala atas tanah liat yang habis
dan cakrawala bawah yang diperkaya tanah liat, tetapi kaolinit kurang
rentan terhadap proses ini.

52
Smektit sering hadir dalam tanah liat hitam tropis (vertisol) dan
jika ada dapat menyebabkan perubahan volume besar sebagai respons
terhadap perubahan musiman kecil dalam stres efektif. Selanjutnya,
ketika penguapan permukaan terhambat, perubahan ini dapat
menghasilkan strain besar di permukaan tanah.
Kaolinite hadir di tanah fersiallitic, ferruginous dan ferralitic. Seperti
smektit, kaolinit memiliki bentuk lempeng dengan koefisien gesekan
antarpartikel yang rendah tetapi partikelnya jauh lebih besar dan
kurang aktif. Oleh karena itu, tanah sisa yang mengandung kaolinit
memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan kompresibilitas yang lebih
rendah daripada tanah liat dengan fraksi tanah liat serupa yang
mengandung smektit.
Allophane dan halloysite sering hadir di tanah residu. Mineral ini,
menurut (Vaughan, 1990) tidak memiliki bentuk platey, juga tidak
memberikan kekuatan puncak atau sisa, atau membentuk
diskontinuitas kekuatan rendah setelah geser pada strain besar.
Mereka menimbulkan perubahan volume kecil pada pembasahan dan
pengeringan. Selain itu, mereka dapat mengandung air dalam struktur
mereka, tetapi air ini tidak memiliki pengaruh pada perilaku mekanik
mereka.
Mineral lempung lempung dengan koefisien gesekan rendah
dapat diorientasikan ketika geser terjadi, sehingga menimbulkan
kekuatan gesekan residual yang rendah dan pengembangan
permukaan geser yang dipoles. Permukaan seperti itu dapat hadir
dalam tanah sisa yang terbentuk sebagai akibat dari strain yang
menyertai pembentukan tanah, penyusutan dan pembengkakan
(Lupinl et al., 2009).
Besi dan aluminium oksida dan oksida terhidrasi yang
dilepaskan pada pelapukan cenderung tetap di tempatnya. Oksida besi
mengkristal sebagai hematit ketika tanah dikeringkan secara musiman,
atau sebagai goetit di lingkungan yang terus-menerus lembab. Hematit
memberi tanah warna merah, goethite berwarna coklat atau oker.
Gibbsite adalah aluminium oksida utama yang terbentuk.

53
Biasanya beberapa ikatan antar partikel terjadi di tanah residu.
Di bawah pelapukan moderat, beberapa ikatan dapat diwarisi dari
batuan induk, tetapi dalam tanah residu mungkin karena efek
kristalisasi selama pelapukan dan perubahan mineral, dan
pengendapan bahan sementasi. Dalam pembentukan duricrusts, jumlah
sementasi yang diendapkan mungkin cukup tinggi untuk
menyebabkan bahan seperti batu dikembangkan.
Profil tanah yang terbentuk oleh pelapukan di daerah tropis
dapat diwakili oleh serangkaian zona gradasi yang umumnya naik dari
batuan segar ke tanah residu. Zona yang sedikit dan cukup lapuk
terjadi di atas batuan induk dan dalam istilah teknik berperilaku
dengan cara yang mirip dengan batuan segar. (Fookes, 1994)
menyebut kedua zona ini secara kolektif sebagai batuan dasar yang
lapuk. Di zona yang sangat dan benar-benar lapuk, fitur tekstur dan
struktural batuan induk masih dapat dikenali dan bagian mantel lapuk
ini disebut saprolit. Saprolite, dalam konteks teknik, dianggap sebagai
tanah karena perilakunya dikendalikan oleh deformasi massa. Di atas
ini tekstur dan struktur asli hilang dan zona tanah ini telah disebut
solum. Harus ditekankan bahwa profil yang dijelaskan sangat ideal dan
variasi yang cukup besar ada di lapangan.
Klasifikasi Tanah Residu Tropis
Klasifikasi tanah residu tropis yang diadopsi di sini adalah yang
diusulkan oleh Geological Society (Anon, 1979). Ini adalah klasifikasi
pedogenetik yang mempertimbangkan pemecahan bahan induk di
iklim tropis lembab, semi-kering dan kering. Tiga fase pengembangan
tanah residual matang telah diakui di daerah tropis tergantung pada
tingkat pelapukan dan pembentukan mineral baru, yaitu, fersiallitisasi,
ferruginasi dan ferrallitization. Distribusi global mereka ditunjukkan pada
(Gambar 3.11) Menurut (Duchaufour, 1982) di iklim subtropis
dengan musim kemarau yang ditandai tahap fersiallitisasi jarang
terlampaui; Di iklim tropis semi-kering perkembangan berhenti
dengan ferruginasi, dan hanya di iklim tropis lembab ferrallitization
terjadi. Faktor penting lain yang diperhitungkan adalah apakah tanah
bebas atau dikeringkan dengan buruk. Dalam situasi tertentu

54
kombinasi dari kondisi ini dapat menimbulkan pembentukan
cakrawala yang mengeras dalam profil tanah yang merupakan hasil
dari akumulasi sisa besi atau aluminium oksida, atau pengendapan
kalsit, dolomit, gipsum atau silika. Cakrawala yang mengeras seperti
itu cenderung terjadi pada atau di dekat permukaan tanah dan disebut
sebagai duricrusts. Terjadinya musim kemarau sangat penting untuk
perkembangan penuh duricrusts. Dengan demikian klasifikasi yang
dirumuskan oleh Anon (1990) terdiri dari dua divisi dasar, yaitu, tanah
dewasa dan duricrusts, yang masing-masing dibagi lagi.

Gambar 3.11 Distribusi dunia yang disederhanakan dari jenis utama tanah residu tropis
(berdasarkan Peta Tanah Dunia FAO).
Laterit dan laterisasi
Tanah laterit dan lateritik sebagian besar dominan di daerah
tropis dengan iklim lembab. Cakupan laterit di seluruh dunia terutama
berkaitan dengan Afrika, India, Australia, Asia Tenggara, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Tanah sisa dan terutama tanah laterit
baru-baru ini hadir secara dominan di sebagian besar Asia Tenggara,

55
Laos, Vietnam dan Malaysia (CIRIA, 1995). Lokasi-lokasi ini
umumnya berada di antara garis lintang 35
o LS dan 35
o LU (Bello &
Adegoke, 2010). Peta kejadian dan distribusi dunia laterit kolektif
ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 3.12 Tanah latosol (laterit kolektif) distribusi dunia
Sumber : (http://www.nzdl.org)
Pergerakan dan pergeseran lempeng geologi terus mendistri-
busikan laterit di luar zona tropis. Di India misalnya, secara kasar
disarankan untuk mencakup 248.000 kilometer persegi, sebagian besar
di puncak bukit. Semua tanah laterit yang terjadi memiliki kandungan
kapur dan magnesia yang buruk sedangkan nitrogen tidak ada sama
sekali (CIRIA, 1995).
Klasifikasi laterit tingkat tinggi dan tingkat rendah berkaitan
dengan ketinggian kejadian di mana laterit tingkat tinggi ditemukan
2000 kaki di atas permukaan laut dan laterit tingkat rendah di bawah
tanda itu. Di Tamil Nadu, India, tanah laterit tingkat tinggi ditemukan
lebih asam sementara kaya nutrisi tanaman. Laterit tingkat rendah
ditemukan memiliki kandungan nutrisi organik yang buruk. Kejadian
ini hanyalah salah satu dari banyak jenis situasi yang ditemukan di

56
seluruh dunia dalam hal konstituen tanah (RAYCHAUDHURI,
1980).
Tanah lempung residu yang terbentuk dari pelapukan pada
dasarnya diperkaya dengan endapan hidroksida besi dan aluminium
yang tidak larut. Ini ditambah dengan penghapusan atau pencucian
silika karena kondisi lembab daerah tersebut menghasilkan bentuk
besi dan aluminium oksida yang terhidrasi (Bell, 2007) Penting untuk
dicatat bahwa konstituen tanah diambil sebagai kriteria laterit. Laterit
yang miskin oksida besi dan kaya aluminium oksida disebut bauksit.
Akumulasi kandungan oksida besi memberi tanah warna kemerahan
yang khas mulai dari merah muda hingga merah terang dan juga coklat
(Bell, 2007).

Gambar 3.13 Sampel laterit kira-kira 8cm
Sumber : (http://www.sandatlas.org)

Gambar 3.14 Bauksit kaya Aluminium kira-kira 8cm
Sumber : (http://www.sandatlas.org)

57
Kata laterit didefinisikan oleh ahli geologi sebagai proporsi
campuran hidroksida besi dan aluminium yang bervariasi dengan
jumlah zat lain yang dicampur bersama. Hal ini juga digambarkan
sebagai plastik, sebagian besar berbutir halus, volumetrik tidak aktif,
kandungan besi tinggi dengan warna merah. Istilah ini telah digunakan
secara luas oleh Insinyur Sipil untuk menggambarkan semua tanah
berwarna merah di daerah tropis. Meskipun warna merah disebabkan
oleh oksida besi yang tinggi, tahap awal pembentukan dan
pengembangan dapat membatasi jumlah oksida yang membuat tanah
tidak memadai untuk memberikan warna (Pearring, 1968).
Selain diperkaya dengan oksida besi dan aluminium, tanah
laterit juga kaya akan seskuioksida yang merupakan oksida sekunder
besi dan aluminium sementara rendah basa dan silikat primer. Jumlah
liter dan kaolinit yang dapat diidentifikasi juga dapat ditemukan.
Tingkat laterisasi dinyatakan sebagai rasio silika terhadap
seskuioksida. Rasio SiO2/ Fe2O3 dan Al2O3 adalah (Bell, 2007;
Pearring, 1968):
Ratio < 1.33 = Tanah laterit
1.33 < Ratio < 2 = Indikasi tanah laterit
Ratio > 2 = Tanah non-laterit
Dalam kondisi yang tepat, tanah laterit menjadi kedap air di
alam dan ditemukan dalam massa kontinu atau honeycombed yang
disemen dan juga sebagai kerikil. Massa honeycombed bersifat rapuh
dan terbatas pada permukaan (RAYCHAUDHURI, 1980). Daerah
sedimen laterit sangat keras dalam kondisi tertentu dengan efek
penyelesaian yang hampir dapat diabaikan (BLIGHT, 1997). Properti
ini juga yang membuatnya ideal di bagian-bagian tertentu di dunia
untuk menggunakannya sebagai basis jalan (SCOTT, 1980). Namun,
satu kelemahannya adalah kekuatan tanah dapat berkurang seiring
bertambahnya kedalaman.
Meskipun tanah laterit paling sering dikaitkan dengan tanah liat
seperti partikel berbutir halus, semua bentuk dan ukuran mulai dari
halus hingga kerikil telah diamati di seluruh dunia. Mereka ditemukan

58
terjadi dari ukuran longgar hingga masif meskipun paling sering dalam
komposisi berbutir halus hingga kasar. Ukuran yang lebih besar
termasuk kerikil berukuran kacang polong hingga kerikil 3 inci dan
dalam kasus yang jarang terjadi, massa semen yang lebih besar.
Gambar 2.9 menunjukkan distribusi partikel laterit yang khas. Mereka
mungkin kadang-kadang ditemukan mengandung nodul atau konkresi
terutama di daerah di mana konsentrasi oksida yang tinggi terjadi.
Konsentrasi oksida yang lebih tinggi menimbulkan pembentukan
laterit (BELL, 2007).

Gambar 3.15 Distribusi partikel Laterit (BELL, 2007)
Sifat rekayasa tanah laterit dipengaruhi oleh distribusi ukuran
butir yang berbeda yang memiliki pengaruh langsung terhadap
kegunaan tanah laterit dalam pekerjaan konstruksi (OMOTOSO, et
al., 2012). UGBE (2011) dalam penelitiannya memanfaatkan distribusi
ukuran partikel menggunakan AASHTO, plastisitas, kepadatan kering
maksimum dan rasio bantalan California sebagai sarana untuk
menentukan sifat-sifat tanah laterit di Delta Niger. AASHTO
(American Association of State Highway and Transportation
Officials) adalah sistem klasifikasi tanah yang dikembangkan pada

59
tahun 1929 sebagai sistem klasifikasi Administrasi Jalan Umum (DAS,
2010).
Penelitian yang dilakukan pada distribusi dan analisis ukuran
partikel menjelaskan bahwa pengaruh musim dan banjir berpengaruh
pada persentase denda dominan. Klasifikasi umum laterit berdasarkan
ukuran partikel tanah berbutir halus hingga sedang yang
mengkompromikan pasir terutama tanah liat dan tanah liat berpasir.
Kandungan tanah liat yang tinggi dan sangat sedikit atau tidak adanya
kerikil terbukti dari penelitian ((Ugbe, 2011)).
Berat jenis (Gs) tanah didefinisikan sebagai rasio satuan berat
tanah terhadap satuan berat air pada 20ºC. Oleh karena itu, semakin
kecil ukuran partikel laterit, semakin tinggi berat jenisnya. (Gidigasu et
al., 2022) menyatakan bahwa kisarannya adalah antara 2,55 dan 3,0
atau 4,6 tergantung pada keadaan laterisasi. Berat jenis tergantung
pada mineralogi dan kepadatan individual soil particles. Sifat ini dapat
ditemukan di laboratorium dan sering digunakan dalam perhitungan
untuk mekanika tanah di mana pada akhirnya nilai-nilai membantu
dalam mengklasifikasikan tanah atau membandingkannya dengan
tanah dengan aplikasi atau tindakan pencegahan ((Das et al.,
2010);(Gidigasu et al., 2022)). Nilai tipikal berat jenis partikel tanah
diberikan pada Tabel 2.1.
Tabel 3.1 General Specific Gravity of soil particles (Omotoso, et al., 2012)
Jenis Tanah Berat Jenis
Pasir
Kerikil
Lempung (tak organic)
Lempung (Organik)
Lanau
2,65 – 2,68
2,65 – 2,66
2,52 – 2,66
2,68 – 2,72
2,65 – 2,66
(Raychaudhuri, 1980) melaporkan kepadatan laterit cukup
tinggi 2,5-3,6. Telah ditemukan mengandung aluminium sekunder dan
mungkin mengandung kuarsa & kaolinit meskipun rendah silika dan
tidak ada di humus. Tanah laterit rendah nutrisi organik tingkat

60
kalsium, kalium dan fosfor pada umumnya. Tingkat PH berkisar
antara 4,8 hingga 5,5 sementara kadar nitrogen umumnya berada
dalam 0,03 hingga 0,06 persen. Oleh karena itu berkenaan dengan
kandungan unsur hara dan karakteristik fisik, tanah laterit memiliki
nilai pertanian yang rendah ((Raychaudhuri, 1980); (Pearring, 1968)).
Tanah liat merah dan tanah liat hitam
Lempung merah dan latosol merupakan sisa tanah
mengandung besi yang mudah mengalami oksidasi. Tanah seperti itu
cenderung berkembang di daerah yang bergelombang dan sebagian
besar tampaknya berasal dari siklus pertama pelapukan bahan induk.
Berbeda dengan laterit karena sifatnya seperti tanah liat dan tidak
mempunyai konkresi yang kuat. Namun, mereka masuk ke dalam
laterit.
Sisa tanah liat merah di Kenya dihasilkan melalui pelapukan,
pencucian setelah menghilangkan basa dan silika yang lebih larut,
sehingga tanah menjadi kaya akan besi oksida (hematit) dan
hidroksida (goetit), dan aluminium. Yang terakhir ini biasanya terjadi
dalam bentuk mineral lempung kaolinitik atau kadang-kadang sebagai
gibbsite. Dumbleton (1967) menemukan halloysite di tanah liat merah
ini, seperti yang dilakukan Dixon dan Robertson (1970). Tanah-tanah
ini mengandung persentase material berukuran lempung yang tinggi.
Tanah liat hitam biasanya tumbuh di dataran dengan drainase
buruk di daerah dengan musim hujan dan kemarau yang jelas, dimana
curah hujan tahunan tidak kurang dari 1.250 mm. Umumnya fraksi
lempung dalam tanah ini melebihi 50%, material berlanau bervariasi
antara 20 dan 40% dan sisanya berupa pasir. Kandungan organik
umumnya kurang dari 2%. Montmorillonit biasanya terdapat dalam
fraksi lempung dan merupakan faktor utama yang menentukan
perilaku lempung tersebut, khususnya perubahan volume yang cukup
besar yang terjadi pada pembasahan dan pengeringan. Perubahan
tegangan dan regangan ketika tanah ekspansif dibasahi dan
dikeringkan karena perubahan musim mungkin cukup tinggi sehingga
merusak ikatan dan struktur. Kalsium karbonat kadang-kadang

61
terdapat pada tanah liat hitam ini, sering kali berbentuk konkresi
(kankar), tetapi hal ini bukanlah suatu sifat yang esensial. Biasanya
jumlahnya kurang dari 1%. Tanah kapas hitam adalah tanah liat
berlumpur yang sangat plastis, sering kali terbentuk dari batuan
basaltik, serpih, atau sedimen tanah liat. Tanah mungkin mengandung
hingga 70% montmorillonit, kaolinit, dan kuarsa, yang merupakan
sebagian besar sisanya.
Tabel 3.2 Beberapa sifat rekayasa tanah residu tropis
Soil Location
Natural
moisture
content ( % )
Plastic
limit (
% )
Liiquid
limit (
% )
Clay
content
( % )
Activity
Void
ratio
Unit
Weight (
kN/m3 )
Laterite Hawaii
135 245 36
Laterite Nigeria
18-27 13-20 41-51 15.2-17.3
Laterite Sri Lanka
16-49 28-31 33-90 15-45
Lateric gravel Cameroon

Red clay Brazil
26 42 35 0.46
Red clay Ghana
24 48 31 0.77
Red clay Brazil
22 28 27 0.3
Red clay Hong Kong

Latosol Brazil
30 47 35 0.51
Latosol Ghana
29 52 23 1
Latosol Java
36-38 80 1.7-1.8
Black clay Cameroon
21 75
Black clay Kenya
36 103
Black clay India
41 132 48
Andosol Kenya
62 73 107 11.5
Andosol Java
58-63 29 2.1-2.2
3.5 Gambut
Gambut merupakan akumulasi sisa-sisa tanaman yang
membusuk sebagian dan hancur, yang diawetkan dalam kondisi aerasi
yang tidak sempurna dan kadar air yang tinggi. Ia terakumulasi
dimanapun kondisinya sesuai, yaitu di daerah yang curah hujannya

62
berlebihan dan drainase tanahnya buruk, terlepas dari garis lintang
atau ketinggian. Meskipun demikian, endapan gambut cenderung
paling banyak ditemukan di wilayah dengan iklim basah yang relatif
dingin. Proses fisika-kimia dan biokimia menyebabkan bahan organik
ini tetap dalam keadaan awet dalam jangka waktu yang lama. Dengan
kata lain, kondisi drainase yang buruk dan tergenang air tidak hanya
mendukung pertumbuhan jenis vegetasi tertentu tetapi juga
membantu melestarikan sisa-sisa tanaman. Sifat kimiawi air yang
terkait dengan lahan gambut memengaruhi jenis vegetasi yang
tumbuh di sana; ini terutama berlaku untuk nilai pH air.
Gambut terakumulasi ketika laju penambahan bahan kering
melebihi laju pembusukan. Meskipun demikian, laju akumulasi
gambut sangat lambat dan permukaan gambut naik lebih lambat
dibandingkan dengan penambahan gambut karena pembusukan
anaerobik pada katotelm dan konsolidasi gambut selama periode
kering. Acrotelm adalah lapisan atas gambut yang relatif tipis dimana
bakteri aerob aktif. Di bawahnya terdapat katotelm yang memanjang
ke bawah hingga ke lapisan tempat gambut berada.
Semua endapan gambut di permukaan utara Eropa, Asia dan
Kanada telah terakumulasi sejak zaman es terakhir dan karenanya
terbentuk selama 20.000 tahun terakhir. Di sisi lain, beberapa gambut
yang terkubur mungkin telah berkembang pada periode antar-glasial.
Gambut juga terakumulasi di danau dan rawa pasca-glasial yang
bercampur dengan lumpur dan lumpur. Demikian pula mereka
mungkin berhubungan dengan rawa asin. Endapan Fen diperkirakan
berkembang sehubungan dengan perubahan eustatik permukaan laut
yang terjadi setelah lapisan es terakhir menyusut. Di Inggris, endapan
fen yang paling terkenal ditemukan di selatan Wash. Endapan serupa
ditemukan di Suffolk dan Somerset. Daerah ini merupakan daerah
dimana lapisan gambut saling bersinggungan dengan irisan lumpur
muara dan tanah liat. Namun, rawa selimut merupakan jenis endapan
gambut yang lebih umum. Endapan ini ditemukan di dataran tinggi
basah yang sejuk. Sekitar 95% dari seluruh endapan gambut terbentuk
dari tanaman yang tumbuh dalam kondisi aerobik. Kapasitas gambut

63
yang tinggi dalam menahan air menjaga kelebihan air, sehingga
menjamin kelangsungan pertumbuhan tanaman dan konsekuensinya
akumulasi gambut.
Laju dekomposisi detritus tanaman relatif cepat pada kondisi
aerobik namun melambat beberapa ribu kali lipat pada kondisi
anaerobik. Pengeringan, fluktuasi air tanah, dan pemuatan salju
menyebabkan kompresi pada lapisan atas deposit gambut. Memang
mekanisme ini sering kali lebih penting dalam kaitannya dengan
kompresi dekat permukaan dibandingkan dengan tekanan lapisan
penutup yang efektif. Hal ini karena berat satuan puncak mungkin
sama dengan berat satuan air. Karena muka air tanah di lahan gambut
umumnya berada di dekat permukaan, tekanan efektif lapisan penutup
dapat diabaikan.
Bahan gambut secara makroskopis dibagi oleh Radforth (1952)
menjadi tiga kelompok dasar, yaitu gambut butiran amorf, gambut
berserat kasar, dan gambut berserat halus. Gambut granular amorf
mempunyai fraksi koloid yang tinggi, sehingga menahan sebagian
besar air dalam keadaan teradsorpsi dibandingkan dalam keadaan
bebas, penyerapan terjadi di sekitar struktur butiran. Namun Landva
dan Pheeney (1980) menyatakan bahwa istilah granular amorf
seharusnya hanya digunakan untuk gambut non-serat yang benar-
benar amorf. Mereka berpendapat bahwa sebagian besar material yang
dirujuk dalam literatur teknik sebenarnya adalah gambut berlumut,
namun sebenarnya gambut granular amorf jarang ditemukan. Oleh
karena itu, mereka menyarankan agar istilah tersebut digunakan
dengan hati-hati. Pada dua jenis gambut lainnya, gambut tersusun dari
serat-serat, yang biasanya berkayu. Pada varietas kasar, jaring dengan
ukuran orde kedua terdapat pada celah-celah jaringan orde pertama,
sedangkan pada gambut berserat halus, celah-celahnya sangat kecil
dan mengandung bahan koloid.
Pengembangan Lahan Gambut dan Jenis Deposit Gambut
Lahan gambut dapat melewati sejumlah tahapan morfologi,
yang masing-masing mempunyai komunitas tumbuhan tertentu yang

64
menjadi ciri tipe gambut yang berkembang. Tahapan tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi hidrologi yang ada. Tahap reotrofik
dikaitkan dengan perkembangan air di danau, cekungan, dan lembah.
Danau dan cekungan secara bertahap terisi oleh sedimen namun
limpasan permukaan terus membawa nutrisi dan sedimen ke dalam
wilayah tersebut sehingga memungkinkan kolonisasi oleh vegetasi.
Vegetasi menyumbang sisa-sisa tumbuhan dalam jumlah yang semakin
besar pada endapan sedimen, oleh karena itu lumpur mengandung
jumlah gambut yang semakin tinggi. Lumpur yang sangat organik ini
(buluh gambut) pada akhirnya digantikan oleh sedimen gambut (yaitu
produk dari komunitas tumbuhan). Lahan gambut akhirnya
mengadopsi lanskap mirip rawa yang disebut rawa.
Rawa lembah terbentuk di sepanjang bagian dasar lembah yang
lebih datar dan umumnya terjadi akibat aliran air dari batuan yang
relatif asam. Rawa memiliki zonasi lateral yang kompleks karena
perbedaan vegetasi yang dikembangkan, misalnya lebih kaya di
sepanjang perbatasan rawa dan di sepanjang sungai yang mengalir di
lembah.
Lahan gambut dapat terbentuk melalui proses rawa, yaitu
paludifikasi. Lahan gambut ini, tidak seperti lahan gambut yang
terbentuk akibat terestrialisasi, biasanya tidak didasari oleh lumpur
lunak karena vegetasinya tumbuh langsung di atas tanah di bawahnya.
Perubahan iklim memengaruhi pertumbuhan tanaman di
lahan gambut. Periode dimana terjadi peningkatan curah hujan akan
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan gambut. Sebaliknya,
periode kemarau panjang berarti tingkat air menurun. Hal ini
menyebabkan terjadinya penyusutan dan pemborosan gambut di
permukaan sedangkan gambut di bawahnya mengalami pemadatan.
Pemborosan gambut juga terjadi akibat pekerjaan drainase
permanen. Drainase menurunkan permukaan air yang biasanya
mengurangi pertumbuhan vegetasi dan berarti oksigen mulai
menyerang zona anaerobik. Hal ini, bersama dengan suhu yang lebih
tinggi, meningkatkan pembusukan aerobik dan humifikasi terkait.

65
Selanjutnya tekanan efektif meningkat ketika permukaan air menurun
sehingga menyebabkan kompresi pada gambut. Misalnya, jatuhnya air
setinggi 1 m akan menimbulkan beban tambahan sebesar 10 kN/m 2
yang dapat menyebabkan penurunan sekitar 1,5 m pada lapisan
gambut setebal 10 m jika ketinggian air dipertahankan pada 1 m di
bawah permukaan tanah selama tahun. Penyedotan kapiler dan
pengeringan gambut di atas permukaan air menyebabkan
penyusutannya. Karena tidak ada material yang hilang, maka proses
pengurangan ketebalan gambut tidak termasuk dalam pemborosan.
Seperti yang dapat disimpulkan dari atas, gambut sering kali
didasari oleh lumpur organik yang sangat lunak. Berikutnya adalah
tahap transisi dimana, karena pertumbuhan ke atas, air ke lahan
gambut semakin banyak disuplai melalui curah hujan langsung.
Gambut umumnya bercampur dan berkayu. Terakhir, tahap
ombrotrofik terjadi ketika lahan gambut tumbuh melampaui batas
fisik maksimum pasokan air tanah sehingga pasokan airnya
bergantung sepenuhnya pada curah hujan langsung. Gambut sendiri
berperan sebagai reservoir yang menampung air di atas permukaan air
tanah. Air yang terdapat di lahan gambut biasanya bersifat asam dan
disebut rawa.
Perbedaan antara gambut rawa dan gambut rawa disebabkan
oleh jenis sisa tanaman yang terdapat di gambut dan cara asalnya.
Perbedaan tersebut meliputi tingkat humifikasi, struktur, struktur dan
proporsi bahan mineral yang terkandung dalam gambut dan hal ini,
pada gilirannya, mempengaruhi perilaku teknis gambut.
Beberapa lahan gambut di Inggris, karena terdapat di daerah
yang terdapat batuan karbonat seperti kapur dan batu kapur, tidak
berasosiasi dengan air yang bersifat asam, keasamannya berkurang
karena air yang kaya akan kapur yang berkontribusi terhadap rawa
melalui limpasan. Rawa asam memiliki komunitas tanaman yang lebih
buruk dan kurang terhumifikasi karena keasamannya dibandingkan
rawa gambut yang airnya sedikit basa. Kenyataannya, ketika terdapat
banyak pasokan unsur hara yang dibawa ke lahan gambut melalui
limpasan permukaan yang kaya akan kapur, komunitas tumbuhan

66
akan jauh lebih beragam dan menimbulkan apa yang kadang-kadang
disebut rawa kaya (rich fen). Gambut kaya menghasilkan tingkat
humifikasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan gambut asam. Karena
kekuatan dan permeabilitas gambut menurun secara signifikan seiring
dengan meningkatnya humifikasi, gambut kaya akan menimbulkan
lebih banyak masalah bagi para insinyur dibandingkan gambut asam.
Rawa selimut diasosiasikan dengan daerah dataran tinggi
basah. Gambut berkembang di tempat yang kemiringannya tidak
terlalu tinggi dan drainasenya terhambat. Prosesnya seringkali berupa
paludifikasi dan mungkin dimulai pada cekungan dangkal yang
tergenang air. Rawa meluas ke bawah jika air permukaan yang
memiliki drainase buruk menyebabkan genangan air. Faktanya, curah
hujan yang tinggi di daerah dataran tinggi yang sejuk menimbulkan
pencucian yang mengakibatkan akumulasi koloid humus yang kedap
air dan lapisan besi pada jarak kecil di bawah permukaan, biasanya
antara 0,3 dan 1,0m. Lapisan kedap air tersebut menimbulkan
genangan air yang merupakan kondisi ideal bagi perkembangan
gambut ombrotrofik. Rawa selimut umumnya tidak didasari oleh pasir
lembut dan tanah liat. Umumnya gambut ini lebih tipis pada dataran
tinggi dan lereng curam. Ketebalan yang signifikan hanya dicapai pada
cekungan dalam yang besar pada topografi permukaan.
Air mengalir sangat lambat di sepanjang aliran air yang jelas di
permukaan rawa-rawa besar. Aliran air ini memunculkan zona vegetasi
yang lebih kaya. Oleh karena itu, karakter gambut yang terbentuk di
sepanjang zona ini agak berbeda sehingga gambut di bawah rawa
selimut bersifat heterogen.
Humifikasi Gambut
Humifikasi melibatkan hilangnya bahan organik baik dalam
bentuk gas atau larutan, hilangnya struktur fisik dan perubahan
keadaan kimia. Penguraian sisa-sisa tanaman disebabkan oleh
mikroflora tanah, bakteri dan jamur yang bertanggung jawab atas
pembusukan aerobik. Oleh karena itu, produk akhir humifikasi adalah
karbon dioksida dan air, yang pada dasarnya merupakan proses

67
oksidasi biokimia. Perendaman dalam air sangat mengurangi pasokan
oksigen yang, pada gilirannya, mengurangi aktivitas mikroba aerobik
dan mendorong pembusukan anaerobik yang jauh lebih lambat. Hal
ini mengakibatkan akumulasi material tanaman yang membusuk
sebagian sebagai gambut.
Acrotelm adalah lapisan gambut paling atas, biasanya memiliki
ketebalan antara 100 dan 600 mm, yang terdiri dari bahan tanaman
berserat yang tidak membusuk. Catotelm terletak di bawah acrotelm.
Karena kondisi anaerobik ada di katotelm, produk dekomposisi gas
adalah metana (CH4), amonia (NH3), hidrogen tersulfurasi (H2 S);
dan sulfida lainnya serta senyawa tanpa oksigen juga diproduksi.
Aktivitas metabolisme, selain suplai oksigen, sangat
dipengaruhi oleh suhu, keasaman dan ketersediaan nitrogen. Biasanya
semakin tinggi suhu dan nilai pH maka semakin cepat terjadinya
dekomposisi, sehingga semakin lambat akumulasi gambut dalam
kaitannya dengan produksi tanaman. Suhu optimal untuk
pembusukan sisa-sisa tanaman tampaknya berada dalam kisaran 35-
40°C. Beralih ke nilai pH, dekomposisi umumnya cenderung paling
aktif dalam kondisi netral hingga basa lemah (nilai pH 7-7,5). Semakin
asam gambutnya, semakin baik pula kelestarian tanaman tersebut.
Keasaman lahan gambut bergantung pada jenis batuan di area yang
mengalir ke lahan gambut, jenis tanaman yang tumbuh di lahan
gambut, pasokan oksigen, dan konsentrasi asam humat. Di rawa yang
diselimuti dan ditinggikan, laju dekomposisinya lambat karena nilai
pH sering kali berada di kisaran 3,3-4,3. Seperti disebutkan di atas,
nilai pH gambut fen mungkin netral atau sedikit basa. Biasanya
dekomposisi terjadi lebih cepat seiring dengan meningkatnya jumlah
nitrogen yang tersedia. Tanaman yang berasosiasi dengan gambut
ombrogen memiliki kandungan nitrogen yang rendah dibandingkan
dengan karbon, hal ini menjadi alasan lain lambatnya pembusukan.
Hilangnya bahan organik dan perubahan keadaan kimia
menyertai pemecahan selulosa dalam jaringan tanaman sehingga
detritus secara bertahap menjadi semakin halus hingga semua sisa
struktur berserat hilang. Gambut tersebut kemudian mempunyai

68
tampilan butiran amorf, bahannya terutama terdiri dari asam organik
agar-agar yang memiliki kain seperti spons. Tingkat humifikasi
bervariasi di seluruh lahan gambut karena beberapa tanaman lebih
tahan dibandingkan tanaman lainnya dan bagian tanaman tertentu
lebih tahan dibandingkan tanaman lainnya.
Pembusukan paling intensif terjadi pada permukaan dimana
terdapat kondisi aerobik, dan laju pembusukan terjadi lebih lambat di
seluruh massa gambut. Karena jenis tanaman yang berbeda
membusuk dengan laju pembusukan yang berbeda-beda, gambut
mungkin didominasi oleh sejumlah kecil spesies.
Perubahan yang terjadi pada gambut akibat peningkatan
humifikasi tidaklah seragam karena ukuran dan kekuatan serat
berkurang secara tidak teratur seiring dengan meningkatnya jumlah
gambut yang mengalami humifikasi total. Secara umum, semakin segar
gambut, semakin banyak bahan berserat yang dikandungnya dan,
dalam bidang teknik, semakin banyak gambut berserat, semakin tinggi
kekuatan tarik dan geser, rasio rongga dan kandungan air.
Deskripsi dan Klasifikasi Gambut
Mengenai deskripsi gambut, Hobbs (1986) menyarankan agar
ada 10 karakteristik yang harus disertakan dalam deskripsi lengkap
tentang gambut. Warna-warna tersebut dapat memberikan panduan
mengenai kondisi gambut; derajat humifikasi pada skala 1 sampai 10
kadar air (kandungan air biasanya meningkat jumlahnya dari gambut
rawa, melalui gambut peralihan ke gambut rawa, yaitu dari basah
menjadi sangat basah); komponen utama tumbuhan, yaitu serat kasar,
serat halus, bahan butiran amorf dan bahan kayu; jumlah kandungan
mineral; bau, terutama distribusi H2 S (metana tidak berbau); nilai pH;
daya tarik; dan terakhir karakteristik khusus apa pun. Hobbs (1986)
menyarankan tingkatan penentuan kehilangan penyalaan kandungan
organik sebagai berikut: Ni = 20-40%; N2 = 40-60%, N3 = 60-80%,
N4 = 80-95%. Selain itu, ia merekomendasikan skala kekuatan tarik
berikut: T0 = kekuatan nol; Tx - rendah, kurang dari 2 kN/m 2 ; T2 =
sedang, 2 hingga 10 kN/m 2 ; T3 = tinggi, lebih besar dari 10 kN/m 2

69
. Kekuatan tarik mungkin berbeda dalam arah vertikal dan horisontal.
Terakhir nilai pH secara sederhana dapat digambarkan sebagai asam,
netral atau basa.
Sebelumnya Landva dan Pheeney (1980) telah menyarankan
bahwa identifikasi gambut yang tepat harus mencakup deskripsi
unsur-unsurnya karena serat dari beberapa sisa tanaman jauh lebih
kuat dibandingkan yang lain dan oleh karena itu menarik bagi para
insinyur. Tingkat humifikasi dan kadar air juga harus diperhitungkan.
Sifat Dasar Gambut
Rasio rongga gambut berkisar antara 9, untuk gambut granular
amorf padat, hingga 25, untuk jenis berserat dengan kandungan
sphagnum tinggi. Biasanya cenderung menurun seiring dengan
kedalaman deposit gambut. Rasio rongga yang tinggi menghasilkan
kandungan air yang sangat tinggi (Gambar 6.1). Yang terakhir ini
merupakan ciri paling khas dari gambut. Memang sebagian besar
perbedaan karakteristik fisik gambut disebabkan oleh jumlah
kelembapan yang ada.
Alasan mengapa kandungan air sangat tinggi adalah karena
dinding jaringan sel sangat tipis secara mikroskopis, yang berarti
sangat sedikit bahan padat yang dapat disebarkan ke seluruh massa
yang pada dasarnya cair. Umumnya sebagian besar air, terutama pada
gambut berserat, terdapat sebagai air bebas di pori-pori besar; itu juga
terjadi sebagai air kapiler di pori-pori kecil; dan sebagai teradsorpsi,
terikat secara kimia, koloid atau air osmotik. Air bebas atau air
intraseluler berada di bawah tekanan isap kurang dari 10 kN/m². Di
sisi lain, gaya kapiler menahan air antarpartikel pada tekanan isap lebih
besar dari 10 kN/m². Tekanan hisap tidak melebihi 20 kN/m² dalam
kasus air yang teradsorpsi. Hanya air intraseluler dan antarpartikel
yang dapat dikeluarkan melalui konsolidasi. Proporsi air yang
terkandung dalam kedua keadaan ini, serta jumlah totalnya, terutama
bergantung pada morfologi dan struktur material yang ada serta pada
derajat humifikasi. Gambut fen memiliki kandungan air antarpartikel
dan total lebih rendah dibandingkan gambut rawa, sehingga

70
kandungan mineralnya mengurangi jumlah air antarpartikel di gambut
rawa. Tingkat humifikasi juga mengurangi proporsi air yang
tertampung di gambut.
Menurut Wilson (1978) kandungan air gambut tertahan di
dalam sel-sel sisa tanaman, serta di dalam rongga-rongga. Air juga
diserap oleh dinding sel detritus tumbuhan. Landva dan Pheeney
(1980) memperkirakan bahwa sekitar sepertiga kandungan air gambut
sphagnum terletak di rongga, sisanya berada di bahan tanaman seluler.
Mereka lebih lanjut memperkirakan bahwa sekitar setengah air di
sedimen gambut terkandung dalam sisa-sisa tanaman. Ketiga jenis air
tertampung ini mempunyai karakteristik drainase yang berbeda-beda.
Air terpaksa keluar dari rongga ketika gambut mengalami tekanan.
Dengan tekanan yang terus-menerus, partikel-partikel tersebut
bersentuhan dan struktur sel mulai terdistorsi. Oleh karena itu air
dalam sel tumbuhan diberi tekanan. Sebagian dari air ini bergerak
melalui lubang di dinding sel, namun seiring dengan meningkatnya
tekanan, dinding sel tersebut mulai pecah. Dengan demikian, air
dikeluarkan, sehingga meningkatkan tekanan air pori di dalam rongga.
Wilson menunjukkan bahwa pada titik ini gambut berperilaku seperti
material yang cepat melunak. Regangan lebih lanjut dan pecahnya
dinding sel berarti kegagalan geser akan segera terjadi.
Kekakuan dan ketebalan zona air yang teradsorpsi ditentukan
oleh kapasitas pertukaran kation jaringan dan sifat kimia air. Semakin
tinggi kapasitas pertukaran kation, semakin kuat kompleks adsorpsi
dan semakin besar perlekatan antarpartikel. Kapasitas pertukaran
kation mempunyai hubungan terbalik dengan konsentrasi mineral
dalam persediaan air. Ketika pasokan unsur hara menurun, terjadi
perubahan pada jenis tanaman, kapasitas pertukaran kation
meningkat, begitu pula kandungan air, dan kompleks adsorpsi
menguat.
Sebagian besar kemampuan tukar kation pada tanah yang
kurang organik dijenuhkan oleh kation logam (Ca, Mg, Na, K) dari
bahan mineral dalam tanah. Ketika kandungan organik meningkat,
jumlah ion hidrogen yang dapat ditukar perlahan-lahan meningkat. Di

71
lahan gambut sebagian besar ion teradsorpsi kuat ke dalam kompleks
pertukaran. Kapasitas pertukaran kation gambut yang ada di rawa
ombrotrofik sangat mirip dengan Na montmorillonit. Gambut fen
mempunyai kapasitas pertukaran kation yang mirip dengan gambut
illit. Karena berat jenis dinding sel tanaman adalah setengah dari berat
jenis mineral lempung, kompleks adsorpsi pada gambut kira-kira dua
kali lebih efektif dibandingkan pada tanah liat. Hal ini menjelaskan
mengapa gambut mempunyai batas cair yang sangat tinggi
dibandingkan dengan tanah liat yang memiliki kapasitas tukar kation
yang sama. Batas cair menurun seiring dengan meningkatnya derajat
humifikasi, dengan kata lain seiring dengan melemahnya kompleks
adsorpsi akibat rusaknya bahan tanaman. Oleh karena itu, gambut
berserat memiliki batas cair yang lebih tinggi dibandingkan gambut
amorf.
Kandungan air pada gambut bervariasi dari beberapa ratus
persen berat kering (misalnya 500% pada beberapa gambut granular
amorf) hingga lebih dari 3000% pada beberapa varietas gambut
berserat kasar. Dengan kata lain, kandungan air berkisar antara 75
hingga 98% volume gambut. Terlebih lagi perubahan jumlah
kandungan air dapat terjadi dalam jarak yang sangat kecil. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa komunitas tumbuhan berbeda-beda di
permukaan gambut dan sebagai akibatnya terjadi perbedaan karakter
gambut. Selain itu, pembusukan gambut tidak merata dan kandungan
airnya berkurang seiring dengan meningkatnya humifikasi. Kadar air
juga menurun seiring dengan meningkatnya kandungan mineral. Oleh
karena itu, gambut fen memiliki kandungan air yang lebih rendah dan
lebih sedikit variasinya dibandingkan gambut rawa.
Terdapat hubungan yang kuat antara jenis gambut dan
kandungan kimia air yang terkandung di dalamnya. Di Inggris, nilai
pH gambut sering kali melebihi 5, sedangkan nilai pH gambut rawa
biasanya kurang dari 4,5 dan mungkin kurang dari 3.
Gas terbentuk di gambut akibat pembusukan bahan tanaman
dan hal ini cenderung terjadi di bagian tengah batang, sehingga gas
tertahan di dalam batang. Volume gas di lahan gambut bervariasi dan

72
angkanya berkisar antara 5-7,5% (Hanrahan, 1954). Pada derajat
kejenuhan ini sebagian besar gas dalam keadaan bebas sehingga
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konsolidasi awal, laju
konsolidasi, tekanan air pori akibat beban dan permeabilitas.
Kandungan mineral tanah organik sangat bervariasi, mulai dari
beberapa endapan gambut yang kurang lebih sepenuhnya bebas dari
bahan mineral (kandungan abu kering serendah 2%) hingga lumpur
organik yang mungkin mengandung sekitar 10% detritus organik. Bell
(1978) menyebutkan kandungan abu mencapai 50% di beberapa lahan
gambut yang ditemukan di dataran tinggi di Yorkshire. Bahan
mineralnya biasanya pasir kuarsa dan lanau. Di banyak lahan gambut,
kandungan mineralnya meningkat seiring dengan kedalaman. Berat
jenis gambut bervariasi sesuai dengan jumlah bahan mineral yang
dikandungnya. Beralih ke kandungan organik, hal ini memberikan
beberapa indikasi bagaimana gambut terbentuk. Dalam bidang teknik,
kandungan organik penting karena mempengaruhi kapasitas menahan
air tanah organik. Di Inggris, gambut fen dapat dibedakan dari
gambut rawa berdasarkan berat jenisnya, serta kandungan airnya
(Gambar 6.2a).
Kepadatan sebagian gambut rendah dan bervariasi, hal ini
berkaitan dengan kandungan organik, kandungan mineral, kandungan
air, dan derajat kejenuhan. Hubungan antara kepadatan curah dan
kadar air untuk gambut rawa (Sp.g. = 1.5) dan gambut fen dengan
kandungan mineral tinggi (Sp.g. = 2) untuk berbagai tingkat
kejenuhan diilustrasikan pada Gambar 6.2(b). Hal ini menunjukkan
bahwa diatas 600% baik berat jenis maupun kadar air tidak terlalu
mempengaruhi berat jenis. Pengaruh utamanya adalah derajat
kejenuhan atau kandungan gas. Gambut seringkali tidak jenuh dan
mungkin terapung di bawah air karena adanya gas. Kecuali pada kadar
air yang rendah (kurang dari 500%) dan kandungan mineral yang
tinggi, rata-rata kepadatan gambut sedikit lebih rendah dibandingkan
air. Gambut granular amorf mempunyai berat jenis yang lebih tinggi
dibandingkan jenis gambut berserat. Misalnya, di lahan gambut yang
pertama, kadarnya bisa mencapai 1,2Mg/m 3 , sedangkan di lahan

73
gambut berserat berkayu, kadarnya mungkin setengah dari angka
tersebut.
Namun, kepadatan kering merupakan sifat rekayasa gambut
yang lebih penting, karena mempengaruhi perilakunya di bawah
beban. Kepadatan kering itu sendiri dipengaruhi oleh beban efektif
yang diterima oleh deposit gambut. Hanrahan (1954) mencatat
kepadatan kering gambut yang dikeringkan berkisar antara 65-120
kg/m 3 . Kepadatan kering dipengaruhi oleh kandungan mineral dan
nilai yang lebih tinggi dari yang disebutkan dapat diperoleh jika
gambut mempunyai residu mineral yang tinggi. Berat jenis gambut
berkisar antara 1,1 hingga 1,8, yang juga dipengaruhi oleh kandungan
bahan mineral. MacFarlane (1969) melaporkan bahwa gambut
berserat di Kanada yang kandungan airnya lebih dari 500% dan
kandungan organiknya lebih dari 80%, memiliki berat jenis pada
kisaran 1,4-1,7.
Batas plastis hanya dapat diperoleh dari gambut yang
mengandung tanah liat dalam jumlah tertentu, kandungan tanah liat
yang dibutuhkan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya
derajat humifikasi. Menurut Hobbs (1986) tidak mungkin melakukan
uji batas plastis pada gambut rawa murni meskipun gambut tersebut
sangat lembab, atau pada gambut yang batas cairnya lebih besar dari
1000% di sisi lain. Bahkan ia menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya
melakukan pengujian batas plastis pada tanah gambut karena
plastisitasnya tidak memberikan indikasi yang jelas mengenai karakter
tanah tersebut.
Uji batas cair telah dilakukan pada tanah gambut, batas cair
tergantung pada jenis detritus tanaman yang dikandungnya (hal ini
menentukan kapasitas pertukaran kation awal), pada derajat
humifikasi, dan pada proporsi tanah lempung yang ada. Umumnya
batas cair gambut fen, menurut Hobbs (1986), berkisar antara 200
hingga 600% dan gambut rawa antara 800 hingga 1500%, dengan
gambut transisi di antaranya. Dengan kata lain, batas cair berkurang
dengan meningkatnya derajat humifikasi. Selain itu, seiring dengan
menurunnya kandungan organik maka diperoleh nilai batas cair yang

74
lebih rendah. Biasanya gambut fen memiliki kandungan air pada atau
sedikit di bawah batas cairnya. Ini karena bahan tanaman yang
terdekomposisi sebagian mempunyai kapasitas tukar kation yang lebih
tinggi dibandingkan tanah liat yang menempati pori-pori. Gambut
rawa mengandung lebih sedikit bahan mineral sehingga kandungan
airnya melebihi batas cairnya.
Karena gambut memiliki rasio rongga dan kandungan air yang
tinggi, maka gambut mengalami penyusutan yang signifikan saat
mengering. Meskipun demikian, penyusutan volumetrik gambut
meningkat hingga maksimum dan kemudian tetap konstan,
volumenya berkurang hingga hampir mencapai titik dehidrasi total.
Jumlah penyusutan yang dapat terjadi berkisar antara 10 dan 75% dari
volume asli gambut dan dapat mengakibatkan pengurangan rasio
rongga dari lebih dari 12 menjadi sekitar 2. Perubahan pada gambut
bersifat permanen karena tidak dapat memulihkan seluruh air. hilang
ketika kondisi basah kembali. Hobbs (1986) mencatat bahwa gambut
yang memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, meskipun kandungan
airnya lebih rendah, cenderung menyusut dibandingkan dengan
gambut berserat yang tingkat kelembapannya lebih rendah. Ia
mengutip nilai penyusutan linier pada pengeringan oven antara 35 dan
45%.
Acrotelm, tergantung pada sifat sisa tumbuhan, memiliki
kekuatan tarik yang cukup besar dan seringkali memiliki permeabilitas
yang tinggi. Permeabilitas cenderung menurun seiring dengan
kedalaman, misalnya dari 10" 1 m/s menjadi 3 x 10-5 m/s di rawa
gambut yang sedikit lembab; di lahan gambut nilai serendah 6 x 10-7 m/s
telah tercatat di dasar acrotelm.
Permeabilitas katotelm dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti jenis detritus tumbuhan dan derajat humifikasinya, kandungan
serat yang selanjutnya mempengaruhi porositas, berat jenis dan
besarnya pembebanan permukaan. Struktur makro dan mikro gambut
sangat penting dalam hal permeabilitasnya, meskipun perbedaan
tersebut menjadi kurang signifikan seiring dengan meningkatnya
derajat humifikasi. Nilai permeabilitas untuk gambut dengan lapisan

75
humus tinggi di katotelm dapat berkisar hingga 6 x 10~ 1 0 m/s,
sebagian besar nilai untuk lapisan ini berada pada kisaran 1 x 10~ 5
hingga 5 x 10 8 m/s.
Salah satu karakteristik penting dari gambut adalah penurunan
permeabilitas yang cukup besar seiring dengan berkurangnya
porositasnya, misalnya, jika porositasnya dikurangi setengahnya, maka
permeabilitasnya akan turun sekitar tiga kali lipat. Ketika gambut diisi,
partikel-partikel detritus tanaman akan terkompresi menjadi lebih
rapat dan lapisan air yang teradsorpsi cenderung menyatu. Hal ini
meningkatkan liku-liku saluran yang dilalui air. Hanrahan (1954),
misalnya, menunjukkan bahwa permeabilitas gambut, sebagaimana
ditentukan selama pengujian konsolidasi, bervariasi menurut
pembebanan dan lamanya waktu sebagai berikut:
• Sebelum pengujian: rasio kekosongan = 12; permeabilitas = 4 x
10~ 6 m/s,
• Setelah 7 bulan pembebanan pada tekanan 55 kN/m
2
: rasio
rongga = 4,5; permeabilitas = 8 x HT 11 m/s.
Jadi, setelah tujuh bulan pemuatan, permeabilitas gambut
menjadi 50.000 kali lebih kecil dibandingkan aslinya. Miyahawa (1960)
dan Adams (1965) juga menunjukkan bahwa terdapat perubahan
nyata pada permeabilitas gambut seiring dengan berkurangnya volume
gambut akibat kompresi. Besarnya tekanan air pori konstruksi sangat
penting dalam menentukan stabilitas gambut. Adams menunjukkan
bahwa perkembangan tekanan pori pada gambut di bawah tanggul
cukup besar; dalam satu contoh, berat tersebut mendekati berat
satuan vertikal tanggul.
Gambut bersifat anisotropik hidrolik dimana permeabilitas
horisontal cenderung lebih besar dibandingkan permeabilitas vertikal.
Tingkat humifikasi mengurangi anisotropi ini karena dengan
meningkatnya humifikasi, perbedaan antara permeabilitas horisontal
dan vertikal menurun sehingga pada gambut dengan tingkat
humifikasi tinggi mendekati keseragaman. Rasio anisotropik dapat

76
bervariasi hingga 7,5 dan cenderung meningkat seiring dengan
pembebanan.
Rasio anisotropik dapat bervariasi hingga 7,5 dan cenderung
meningkat seiring dengan pembebanan. Karena variabilitas gambut di
lapangan, nilai permeabilitas yang diuji di laboratorium bisa
menyesatkan.
Saat dibebani, endapan gambut mengalami deformasi yang
tinggi. Namun nilai modulus Young cenderung meningkat seiring
dengan bertambahnya beban. Jika gambut sangat berserat, maka
gambut tersebut akan mengalami deformasi yang tidak terbatas tanpa
berkembangnya bidang keruntuhan. Di sisi lain, bidang keruntuhan
hampir selalu terbentuk di gambut granular amorf yang padat.
Hanrahan dan Walsh (1965) menemukan bahwa karakteristik
regangan gambut tidak bergantung pada laju regangan dan deformasi
aliran, dalam pengujian mereka, dapat diabaikan. Strain seringkali
terjadi secara tidak menentu di lahan gambut berserat. Hal ini
mungkin disebabkan oleh serat-serat yang berbeda mencapai kekuatan
puncaknya pada nilai regangan yang berbeda, semakin rapuh, serat-
serat berkayu rusak pada regangan rendah sementara jenis-jenis non-
kayu mempertahankan kohesi keseluruhan massa hingga regangan
yang jauh lebih tinggi. Perilaku viskos gambut umumnya dianggap
non-Newtonian dan hubungan antara tegangan dan regangan
merupakan fungsi dari rasio rongga. Ketika rasio rongga meningkat
maka viskositas efektif meningkat dan karenanya nilai tegangan
tertentu menghasilkan nilai laju regangan yang lebih kecil.
Selain kadar air dan kepadatan keringnya, kekuatan geser suatu
endapan gambut tampaknya dipengaruhi, pertama, oleh tingkat
humifikasinya dan, kedua, oleh kandungan mineralnya. Ketika kedua
faktor ini meningkat maka kekuatan gesernya juga meningkat.
Sebaliknya semakin tinggi kadar air gambut maka kekuatan gesernya
semakin rendah. Karena berat efektif 1 m
3
gambut yang tidak
dikeringkan kira-kira 45 kali lipat dari 1 m
3
gambut yang dikeringkan,
maka alasan mengapa kekuatan gambut tidak dapat diabaikan menjadi
jelas. Karena kepadatan terendamnya yang sangat rendah, yaitu antara

77
15 dan 35 kN/m
3
, gambut sangat rentan terhadap kegagalan rotasi
atau kegagalan karena penyebaran, khususnya akibat pengaruh gaya
rembesan horisontal.
Pada rawa tak terdrainase, kuat tekan tak terkekang dapat
diabaikan, karena gambut mempunyai konsistensi yang mendekati
konsistensi cairan. Kekuatannya ditingkatkan dengan drainase hingga
nilai antara 20 dan 30 kN/m
2
dan modulus elastisitas antara 100 dan
140 kN/m
2
. Menurut Hanrahan (1964) kuat tekan bebas yang
mencapai 70 kN/m
2
merupakan hal yang umum terjadi pada lahan
gambut yang terkonsolidasi di bawah perkerasan jalan, modulus
elastisitas tipikal dalam situasi seperti ini adalah 700 kN/m
2
(lihat
juga Wilson, 1978).
Hobbs (1986) menyatakan bahwa gambut berperilaku serupa
dengan tanah liat yang terkonsolidasi secara normal, meskipun
kandungan airnya sangat tinggi. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa
gambut rawa, dalam beberapa hal, tampak mirip dengan tanah liat
yang dibentuk ulang dengan sensitivitas normal, sedangkan gambut
rawa mirip dengan tanah liat ekstra-sensitif atau cepat yang tidak
terganggu.
3.6 Konsolidasi dan penyelesaian gambut
Gambut merupakan material yang sangat mudah dikompres
dengan karakteristik yang bergantung pada waktu, yang sebagian
disebabkan oleh cara air pori ditahan dan kemudian dilepaskan.
Seperti disebutkan di atas, air tertahan di pori-pori makro (air antar
sel), di dalam pori-pori mikro (air antar partikel) dan sebagai air yang
teradsorpsi, yang jumlahnya masing-masing ditentukan oleh struktur
gambut dan derajat humifikasinya. Oleh karena itu, konsolidasi dan
perilaku reologi gambut dipengaruhi oleh distribusi air. Seiring dengan
pembusukan gambut, rasio rongga menurun, sehingga gambut
menjadi lebih kaku dan strukturnya terus mengalami deformasi akibat
regangan sekunder.
Jika kandungan organik suatu tanah melebihi 20% beratnya,
konsolidasi menjadi semakin didominasi oleh perilaku bahan organik.

78
Misalnya, pada saat pembebanan, gambut mengalami penurunan
permeabilitas sebesar beberapa kali lipat sehingga mematahkan teori
konsolidasi Terzaghi. Penurunan koefisien kompresibilitas pada
pembebanan dan tiksotropi, serta aktivitas permukaan bahan organik,
juga menghalangi analisis penurunan yang tepat berdasarkan teori
Terzaghi. Selain itu, tekanan air pori sisa mempengaruhi konsolidasi
primer dan konsolidasi sekunder yang cukup besar semakin
mempersulit prediksi penurunan. Harus diingat bahwa konsolidasi
primer dan sekunder adalah pembagian empiris dari proses kompresi
kontinu yang keduanya terjadi secara bersamaan selama bagian dari
proses tersebut. Faktanya, prediksi akurat mengenai jumlah dan laju
penurunan gambut tidak dapat diperoleh secara langsung dari uji
laboratorium. Oleh karena itu uji coba lapangan skala besar
tampaknya penting untuk proyek-proyek penting. Namun modifikasi
metode prediksi penurunan tanah organik telah dikembangkan oleh
Andersland dan Al-Khafaji (1980) yang berkaitan dengan jumlah
bahan organik dalam tanah. Yang terakhir ini harus ditentukan secara
akurat agar dapat menggunakan metodenya.
Konsolidasi gambut terjadi ketika air dikeluarkan dari pori-pori
dan partikel-partikelnya mengalami penataan ulang struktural.
Awalnya kedua proses tersebut terjadi pada waktu yang sama tetapi
ketika tekanan air pori dikurangi hingga nilai yang rendah, pengusiran
air dan penataan ulang struktur terjadi sebagai proses yang menyerupai
rangkak. Dengan kata lain tahap awal drainase dapat dianggap sebagai
konsolidasi primer sedangkan tahap creep yang berlanjut merupakan
kompresi sekunder.
Jumlah air yang dikeluarkan dari gambut pada tahap
konsolidasi selanjutnya menghasilkan peningkatan kekuatan yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan air yang dikeluarkan dalam jumlah
yang sama pada tahap awal. Oleh karena itu, apa yang terjadi pada
gambut sebagian besar merupakan fungsi dari struktur materialnya
karena hal ini memengaruhi retensi dan pengeluaran air serta
memberikan kekuatannya.

79
Berry dan Vickers (1975) melakukan serangkaian uji
konsolidasi kenaikan tunggal dan menemukan bahwa semakin tinggi
rasio kenaikan beban, semakin cepat tekanan air pori hilang. Hal ini
menunjukkan bahwa tanggul harus segera dibangun di atas lahan
gambut. Sebelumnya Barden (1969) telah mendemonstrasikan dari
pengujian multi-pertambahan (pengujian tersebut menunjukkan
pengaruh dari siklus pembebanan sebelumnya terhadap siklus saat ini)
bahwa ketika viskositas struktur meningkat dengan menurunnya rasio
rongga, tekanan air pori turun dengan sangat cepat pada pembebanan
berikutnya. Stabilitas, seperti yang disarankan (Lee dan Brawner,
1963), tidak menjadi masalah ketika membangun tanggul di atas
gambut berserat jika permeabilitas awalnya tinggi dan tidak didasari
oleh tanah liat lunak. Sebaliknya masalah stabilitas mungkin akan
ditemui ketika konstruksi dilakukan di lahan gambut dengan tingkat
humifikasi yang tinggi dan permeabilitas yang lebih rendah.
Adams (1963) menyatakan bahwa pori-pori makro dan mikro
gambut berserat mempengaruhi konsolidasinya. Ia menilai konsolidasi
primer pada gambut terjadi karena adanya drainase air dari pori-pori
makro, sedangkan konsolidasi sekunder disebabkan oleh lambatnya
aliran air dari pori-pori mikro ke pori-pori makro. Karena
permeabilitasnya yang lebih tinggi, laju konsolidasi primer gambut
berserat halus lebih tinggi dibandingkan gambut granular amorf.
Karena air yang sangat kental teradsorpsi di sekitar partikel
tanah, gambut granular amorf menunjukkan ketahanan struktural
plastis terhadap kompresi dan karenanya memiliki perilaku reologi
yang mirip dengan tanah liat. Dalam hal ini konsolidasi sekunder
diyakini terjadi sebagai akibat penyesuaian kembali struktur tanah
secara bertahap ke konfigurasi yang lebih stabil setelah kerusakan yang
terjadi selama fase primer akibat disipasi tekanan air pori. Laju
terjadinya proses ini dikendalikan oleh air teradsorpsi yang sangat
kental yang mengelilingi setiap partikel tanah, bahan koloid yang
dikandungnya cenderung menyumbat celah dan dengan demikian
mengurangi permeabilitas.

80
Wilson dkk. (1965) menyatakan bahwa gambut granular amorf
menunjukkan konsolidasi sekunder dan penurunan yang cukup besar.
Karena struktur gambut tersebut sangat kompleks, mereka lebih lanjut
menyatakan bahwa gambut tersebut mungkin juga menunjukkan fase
konsolidasi tersier dan kuaterner.
Teori konsolidasi satu dimensi telah dikembangkan oleh Berry
dan Postkitt (1972) untuk gambut granular amorf dan gambut
berserat. Hal ini mempertimbangkan regangan terbatas, penurunan
permeabilitas, kompresibilitas, dan pengaruh kompresi sekunder
seiring berjalannya waktu. Mekanisme berbeda yang terlibat dalam
kompresi sekunder kedua jenis gambut ini menghasilkan model
reologi non-linier yang serupa, namun persamaan mulur relatifnya
berbeda secara mendasar. Untuk gambut granular amorf
memperkirakan peningkatan regangan secara eksponensial dengan
pembebanan tambahan, sedangkan untuk gambut berserat
memperkirakan peningkatan linier.
Dengan sedikit pengecualian, perbaikan drainase tidak
mempunyai dampak positif terhadap laju konsolidasi. Hal ini karena
drainase yang efisien hanya mempercepat penyelesaian konsolidasi
primer yang bagaimanapun juga dapat diselesaikan dengan cepat.
Gambut mempunyai koefisien kompresi sekunder yang tinggi,
proses kompresi sekunder merupakan proses dominan dalam hal
penurunan gambut, dan dalam hal regangan, hal ini hampir tidak
tergantung pada kadar air dan derajat kejenuhan. Fase singkat
konsolidasi primer menyebabkan sedikit distorsi. Gambut rawa
tampaknya memiliki nilai kompresi sekunder yang lebih rendah
dibandingkan gambut rawa. Hal ini mungkin karena sifatnya yang
non-plastik dan sangat gesekan.
Hubungan antara rasio rongga dan indeks kompresi, indeks
kompresi dan batas cair, serta kadar air dan indeks kompresi
diilustrasikan pada Gambar 6.3(a)-(c). Dalam ketiga kasus tersebut,
gambut fen dapat dibedakan dari gambut rawa. Tidak ada tren yang

81
terus-menerus dari lahan gambut rawa ke lahan gambut rawa dan
kedua tipe ini termasuk dalam wilayah yang berbeda.
Penurunan yang berbeda-beda dan berlebihan merupakan
masalah utama yang dihadapi insinyur yang bekerja pada tanah
gambut. Ketika suatu beban diterapkan pada gambut, penurunan
terjadi karena rendahnya hambatan lateral yang ditimbulkan oleh
gambut yang tidak dibebani di dekatnya. Tegangan geser yang serius
dapat ditimbulkan bahkan dengan beban sedang. Lebih buruk lagi, jika
beban melebihi batas minimum yang ditentukan, maka penurunan
dapat disertai dengan rangkak, penyebaran lateral, atau dalam kasus
ekstrim dengan slip rotasi dan pergolakan pada tanah di dekatnya.
Pada waktu tertentu, penurunan total di lahan gambut akibat
pembebanan melibatkan penurunan dengan dan tanpa perubahan
volume. Penyelesaian tanpa perubahan volume merupakan hal yang
lebih serius karena dapat menimbulkan jenis kegagalan yang
disebutkan. Terlebih lagi, hal ini tidak meningkatkan kekuatan
gambut.
Creep tidak terjadi di lahan gambut dengan kecepatan yang
konstan. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan kepadatan
akibat konsolidasi. Contoh bagus mengenai perilaku lahan gambut
dalam jangka panjang diberikan oleh Buisman (1936) yang mengutip
contoh tanggul di lahan gambut di Belanda yang mengalami
penurunan secara terus menerus, linear dengan logaritma waktu, dan
tercatat selama lebih dari 80 tahun.
engan logaritma waktu, tercatat selama lebih dari 80 tahun.
Ketika gambut dikompresi, air pori bebas dikeluarkan karena tekanan
hidrostatik berlebih. Karena gambut awalnya cukup tembus air dan
persentase air porinya tinggi, maka besaran penurunannya besar dan
periode penurunan awal ini, seperti disebutkan di atas, juga singkat
(hanya hitungan hari di lapangan). Adams (1965) menunjukkan bahwa
besarnya penurunan awal berhubungan langsung dengan ketebalan
gambut dan beban yang diterapkan. Rasio rongga asli pada tanah
gambut juga mempengaruhi laju penurunan awal. Tekanan air pori
berlebih hampir seluruhnya hilang selama periode ini. Penyelesaian

82
selanjutnya berlanjut pada tingkat yang jauh lebih lambat yang kira-
kira linier terhadap logaritma waktu. Hal ini disebabkan oleh
permeabilitas gambut
berkurang secara signifikan karena penurunan volume yang
besar. Selama periode ini tekanan konsolidasi efektif dipindahkan dari
air pori ke jaringan gambut padat. Yang terakhir ini bersifat
kompresibel dan hanya akan menopang sebagian tertentu dari total
tegangan efektif, tergantung pada ketebalan massa gambut.
Berry dkk. (1985) memberikan penjelasan tentang permukiman
besar yang terjadi di dua kawasan perumahan di St Annes, Lancashire,
yang diakibatkan oleh kompresi lapisan gambut setebal 1,3-2,6 m,
yang terjadi tepat di bawah permukaan. Blok rumah susun dua lantai
ini dibangun antara tahun 1957 dan 1971. Total penurunan berkisar
antara 60 hingga 260 mm dan diperkirakan dari uji konsolidasi satu
langkah akan berlanjut sebesar 2 mm per tahun selama 10 tahun
berikutnya. Penyelesaian yang ada saat ini harus memungkinkan blok-
blok tersebut tetap dapat digunakan selama 10 hingga 15 tahun tanpa
harus ditopang
Penggunaan prakompresi yang melibatkan pembebanan biaya
tambahan dalam pembangunan tanggul di lahan gambut berarti
penghapusan biaya tambahan tersebut setelah jangka waktu tertentu.
Hal ini menimbulkan pembengkakan pada gambut yang terkompresi.
Pengangkatan atau pantulan bisa sangat signifikan tergantung pada
rasio penyelesaian dan biaya tambahan yang sebenarnya (yaitu massa
biaya tambahan dibandingkan dengan berat timbunan setelah biaya
tambahan dihapuskan). Rebound juga dipengaruhi oleh jumlah
kompresi sekunder yang diinduksi sebelum pembongkaran. Indeks
pembengkakan, Cs, berhubungan dengan indeks kompresi, Cc,
dimana rata-rata Cs adalah sekitar 10% dari Cc, dalam kisaran 5-20%.
Pantulan kembali mengalami peningkatan yang nyata ketika rasio
biaya tambahan lebih besar dari sekitar 3. Biasanya pantulan di
lapangan adalah antara 2 dan 4% dari ketebalan lapisan gambut yang
dikompresi sebelum biaya tambahan dihilangkan. Dengan kata lain,
Lee dan Brawner (1963) menemukan bahwa rebound di lapangan

83
adalah sekitar 5% dari penyelesaian. Selanjutnya Samson dan La
Rochelle (1972) menunjukkan bahwa rebound selama satu atau dua
hari pertama setelah biaya tambahan dihapuskan menyumbang sekitar
sepertiga dari total rebound dan bahwa periode terjadinya
pembengkakan kurang lebih sama dengan lamanya. waktu biaya
tambahan dikenakan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hanya terdapat sedikit
peningkatan pada rasio rongga setelah pengurangan beban pada
endapan gambut, dengan kata lain rongga tidak kembali ke nilai
aslinya, dan kompresibilitas gambut prakonsolidasi menjadi sangat
berkurang (Bell , 1978). Hal ini dapat diilustrasikan dari gambar
berikut:
Koefisien kompresibilitas volume gambut untuk rentang
pembebanan 13,4 hingga 26,8 kN/m 2 :
• Beban normal mv = 12,214 m 2 /MN
• Mv pra-konsolidasi = 0,599m 2 /MN
3.7 Gambaran Tanah di Provinsi Papua Selatan
Propinsi Papua Selatan berada di wilayah timur Indonesia yang
secara geografis terletak pada garis koordinat 6° 00’ LU dan 9° 00’ LS
serta 137° 30’ BT dan 141° 00’ BT. Wilayah administratif Propinsi
Papua Selatan terdiri atas 4 (empat) kabupaten yaitu Kabupaten
Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, dan
Kabupaten Mappi dengan total luas wilayah sebesar 124.506,24 km
2.
Kabupaten Merauke memiliki luas wilayah sebesar 46.791,63 km
2.

84

Gambar 3. 16 Peta Tanah Provinsi Papua Selatan
Sumber : https://esdac.jrc.ec.europa.eu/content/soil-map-new-guinea
Tanah didaerah Provinsi Papua Selatan umumnya di dominasi
oleh tanah Aluvial yaitu tanah yang terbentuk dari lumpur sungai yang
mengendap di dataran rendah. Jenis tanah ini juga merupakan hasil
erosi yang mengendap bersama lumpur sungai. Selain itu, terdapat
juga tanah podzolic Lateritics dan Lateritic yaitu merupakan tanah yang

85
kaya akan aluminium oksida dan telah mengalami pelapukan yang lanjut.
Tanah mineral ini miskin akan mineral-mineral dan mudah lapuk serta
kandungan mineral resisten sangat tinggi. Penyebaran tanah ini di
Indonesia diperkirakan 8.085 juta ha yang tersebar
di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa. Karena tanah ini
merupakan tanah mineral yang kaya akan seskuioksida, maka tanah ini
mempunyai muatan positif dan didominasi oleh liat aktivasi rendah.
Selain itu terdapat juga Solonetzic Marine Clays, Saline peat, Muds, dan
Sand.
Disisi lain menurut A Tjakrakusuma (2019) dari pengujian
laboratorium terhadap tanah asli dari kampung Bupul distrik Elikobel,
Kabupaten Merauke, Papua Selatan menunjukan hasil Berdasarkan
AASTHO M-145, tanah Merauke ini termasuk dalam kategori A-2-7
yaitu silt or clayey gravel and sand dimana Batas Cair (LL) 51%, Batas
Plastis (PL) 30% dan lolos ayakan no.200 < 35%. Tanah dari
Kampung Bupul Distrik Elikobel ini, mengandung kadar mineral Besi
(Fe) sebesar 6.23% dan Alumunium (AI) sebesar 24.99 mg/kg atau
sebesar 0.0025%. Mengacu pada pembagian jenis tanah menurut
Bowles (1970), pembagian jenis tanah dengan angka Gs sebesar 2.75
dan memiliki kandungan mineral Besi (Fe), maka tanah dari Kampung
Bupul Distrik Elikobel, Merauke Papua Selatan ini, diklasifikasikan
pada jenis tanah dengan Mika atau Besi. Berdasarkan sistem klasifikasi
Unified Soil Classification System (USCS), tanah Merauke ini termasuk
dalam kategori kelompok MH (Inorganic Silt High Compressibilty).
Latihan Soal
1. Definisikan jenis tanah dibawah ini!
• Tanah Lempung
• Tanah Lanau
• Tanah Tropis (Tanah Residu)
• Gambut
2. Definisikan tanah Laterite, tanah liat merah dan tanah liat hitam!
3. Jelaskan tentang karakteristik dan klasifikasi tanah gambut!

87

Jenis Batuan dan Stratigrafi
4.1 Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)
1. Mampu memahami konsep siklus geologi dan definisikan jenis
batuan dan mineral bumi.
2. Mampu mendefinisikan bentuk-bentuk muka bumi dan proses
pembentukannya.
4.2 Batuan Beku
Batuan Beku (Igneous rocks) terbentuk ketika material batuan
cair panas yang disebut magma mengeras. Magma terjadi ketika
pencairan terjadi baik di dalam atau di bawah kerak bumi, yaitu di
mantel atas. Mereka terdiri dari larutan panas dari beberapa fase cair,
yang paling mencolok adalah fase silikat kompleks. Dengan demikian,
batuan beku terutama terdiri dari mineral silikat. Selanjutnya, dari
mineral silikat, yaitu – the olivines [(Mg,Fe)2SiO4], the pyroxenes [e.g. augite,
(Ca, Mg, Fe, Al)2(Al,Si)2O6], the amphiboles [e.g. hornblende,
(Ca,Na,Mg,Fe,Al)7-8(Al,Si)8O22(OH)2], the micas [e.g. muscovite,
KAl2(AlSi2)10(O,F)2; and biotite, K(Mg,Fe)2(AlSi3)O10(OH,F)2], the
feldspars (e.g. orthoclase, KAlSi3O8; albite, NaAlSi3O8; and anorthite,
BAB 4

88
CaAl2Si2O8) and the silica minerals (e.g. quartz, SiO2) – sejauh ini secara
kuantitatif merupakan konstituen yang paling penting. Gambar 4.1
menunjukkan perkiraan distribusi mineral ini di batuan beku yang
paling umum.
Batuan beku dapat dibagi menjadi jenis intrusif dan ekstrusif,
sesuai dengan cara terjadinya. Pada tipe pertama, magma mengkristal
di dalam kerak bumi, sedangkan pada yang terakhir, magma membeku
di permukaan, setelah meletus sebagai lava dan / atau piroklastik dari
gunung berapi. Intrusi telah terpapar di permukaan oleh erosi. Mereka
telah dibagi lagi berdasarkan ukurannya, yaitu menjadi kategori mayor
(plutonik) dan minor (hypabyssal).
Intrusi Beku
Bentuk intrusi yang diadopsi dapat dipengaruhi oleh struktur
batuan. Tanggul adalah intrusi beku sumbang, yaitu, mereka melintasi
batuan induknya pada sudut dan menukik tajam Gambar. 4.2.
Akibatnya, singkapan permukaan mereka sedikit dipengaruhi oleh
topografi dan, pada kenyataannya, mereka cenderung mencapai jalur
lurus. Tanggul memiliki lebar hingga beberapa puluh meter tetapi
lebar rata-rata mereka berada di urutan beberapa meter. Panjang
singkapan permukaannya juga bervariasi; misalnya, Cleveland Dyke di
utara Inggris dapat ditelusuri lebih dari sekitar 200 km. Tanggul dapat
memanjang dari dan berjalan sejajar dengan tanggul besar, dan cabang
yang tidak teratur dapat bercabang jauh dari tanggul besar. Tanggul
biasanya tidak memiliki penghentian ke atas, meskipun mereka
mungkin telah bertindak sebagai pengumpan untuk lava flow dan sills.
Mereka sering terjadi di sepanjang patahan, yang menyediakan jalur
alami untuk melarikan diri bagi magma yang disuntikkan. Sebagian
besar tanggul memiliki komposisi basaltik. Namun, tanggul mungkin
komposit. Beberapa tanggul dibentuk oleh dua atau lebih suntikan
dari bahan yang sama yang terjadi pada waktu yang berbeda. Tanggul
komposit melibatkan dua atau lebih suntikan magma dengan
komposisi berbeda.

89

Gambar 4.1 Perkiraan komposisi mineral dari jenis batuan beku yang lebih umum,
misalnya. granite, quartz, plagioclase, mica and hornblende.

Gambar 4.2 Tanggul di pantai dan Calgary Bay, menghadap ke selatan
Sumber : http://www.mullgeology.net/calgarydykes.html

90
Sills, seperti dykes, adalah intrusi beku sisi paralel yang dapat
terjadi di area yang relatif luas. Namun, ketebalannya bisa bervariasi.
Tidak seperti dykes, mereka disuntikkan dalam arah yang kira-kira
horisontal, meskipun posisi mereka kemudian dapat diubah dengan
melipat. Ketika sills Terbentuk dalam serangkaian batuan sedimen,
magma disuntikkan di sepanjang bidang hamparan Gambar 4.3.
Namun demikian, sill individu dapat melampaui ke atas dari satu
cakrawala ke cakrawala lainnya. Karena sill disusupi di sepanjang
bidang hamparan, mereka dikatakan sesuai, dan singkapan mereka
mirip dengan batuan induk. Sill dapat terjadi dari dykes, dan dykes kecil
mungkin timbul dari sill. Kebanyakan sill terdiri dari bahan beku dasar
sill juga bisa bersifat ganda atau komposit.

Gambar 4.3 Tepi Great Whin Sill terlihat jelas menonjol keluar dari batu kapur yang
lebih lemah di atas dan di bawah.
Sumber : https://www.geologynorth.uk/the-whin-sill/high-force-copy-2/

91
Aktivitas Vulkanik dan Batuan Ekstrusif
Zona vulkanik berhubungan dengan batas lempeng kerak
(Gambar. 1.4). Lempeng-lempeng tersebut sebagian besar dapat
berupa benua, samudera, atau keduanya. Kerak samudera tersusun
dari material basaltik, sedangkan kerak benua bervariasi dari granit di
bagian atas hingga basaltik di bagian bawah. Pada batas lempeng
destruktif, lempeng samudera akan digantikan oleh lempeng benua.
Turunnya lempeng samudera, bersama dengan sedimen terkait, ke
zona bersuhu lebih tinggi menyebabkan pencairan dan pembentukan
magma. Komposisi magma tersebut bervariasi, namun beberapa
magma, seperti magma andesitik atau riolitik, mungkin lebih kaya akan
silika, yang berarti lebih kental sehingga tidak mudah melepaskan gas.
Jenis magma yang terakhir sering kali menyebabkan letusan dahsyat.
Sebaliknya, pada tepian lempeng konstruktif, dimana lempeng-
lempeng tersebut menyimpang, aktivitas vulkanik yang terkait
merupakan konsekuensi dari pembentukan magma di kerak bawah
atau mantel atas. Magma memiliki komposisi basaltik yang lebih
sedikit

Gambar 4.4 Distribusi gunung berapi aktif di dunia
kental dibandingkan magma andesitik atau riolitik. Oleh karena
itu, aktivitas ledakan relatif sedikit dan aliran lava terkait lebih mobile.

92
Namun, gunung berapi tertentu, misalnya di Kepulauan Hawaii,
terletak di pusat lempeng. Jelas sekali, gunung berapi ini tidak
berhubungan dengan batas lempeng. Asal usul mereka berasal dari
titik panas di kerak bumi yang terletak di atas bulu mantel. Sebagian
besar material vulkanik memiliki komposisi basaltik.
Aktivitas vulkanik merupakan manifestasi permukaan dari
keadaan tidak teratur di dalam interior bumi yang menyebabkan
mencairnya material dan mengakibatkan pembentukan magma.
Magma ini bergerak ke permukaan, lalu dikeluarkan dari celah atau
lubang pusat. Dalam beberapa kasus, alih-alih mengalir dari gunung
berapi sebagai lava, magma malah meledak ke udara akibat keluarnya
gas-gas dari dalamnya dengan cepat. Fragmen yang dihasilkan oleh
aktivitas ledakan secara kolektif dikenal sebagai piroklas.
Letusan gunung berapi bersifat spasmodik dan tidak terus-
menerus. Di sela-sela letusan, aktivitas masih dapat disaksikan dalam
bentuk uap air yang keluar dari lubang kecil bernama fumarol atau
solfatara. Namun, di beberapa gunung berapi, bentuk manifestasi
permukaan ini pun berhenti, dan keadaan tidak aktif seperti itu dapat
berlanjut selama berabad-abad. Untuk semua maksud dan tujuan,
gunung berapi ini tampaknya sudah punah. Di usia tua, aktivitas
gunung berapi menjadi terbatas pada emisi gas dari fumarol dan air
panas dari geyser dan sumber air panas.
Uap mungkin menyumbang lebih dari 90% gas yang
dikeluarkan selama letusan gunung berapi. Gas lain yang ada termasuk
karbon dioksida, karbon monoksida, sulfur dioksida, sulfur trioksida,
hidrogen sulfida, hidrogen klorida, dan hidrogen fluorida. Sejumlah
kecil metana, amonia, nitrogen, hidrogen tiosianat, karbonil sulfida,
silikon tetrafluorida, besi klorida, aluminium klorida, amonium
klorida, dan argon juga ditemukan dalam gas vulkanik. Seringkali
ditemukan bahwa hidrogen klorida, selain uap, merupakan gas utama
yang dihasilkan selama letusan, namun gas belerang mengambil alih
peran ini di kemudian hari.

93
Pada tekanan tinggi, gas tertahan dalam larutan, namun seiring
turunnya tekanan, gas dilepaskan oleh magma. Kecepatan lolosnya
menentukan eksplosifitas letusan. Letusan eksplosif terjadi ketika,
karena viskositasnya yang tinggi (sebagian besar, viskositasnya
ditentukan oleh kandungan silika), magma tidak dapat dengan mudah
melepaskan gas sampai tekanan yang ada di dalamnya diturunkan
secukupnya sehingga memungkinkan terjadinya letusan eksplosif.
terjadi. Ini terjadi pada atau dekat permukaan. Tingkat ledakan hanya
berhubungan sekunder dengan jumlah gas yang dikandung magma. Di
sisi lain, zat-zat yang mudah menguap keluar secara diam-diam dari
magma yang sangat cair.
Piroklas dapat terdiri dari pecahan lava yang meledak saat
letusan, pecahan lava atau piroklas yang sudah memadat, atau pecahan
batuan pedesaan yang, dalam kedua kasus terakhir, telah tertiup dari
leher gunung berapi.
Ukuran piroklast sangat bervariasi. Hal ini bergantung pada
viskositas magma, kekerasan aktivitas ledakan, jumlah gas yang keluar
dari larutan selama pelarian piroklas, dan ketinggian lemparannya.
Balok terbesar yang terlempar ke udara mungkin memiliki berat lebih
dari 100 ton, sedangkan balok terkecil terdiri dari abu sangat halus
yang mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk jatuh
kembali ke permukaan bumi. Piroklas terbesar disebut sebagai bom
vulkanik. Ini terdiri dari gumpalan lava atau pecahan batuan dinding.
Istilah lapili diterapkan pada material piroklastik yang memiliki
diameter bervariasi dari sekitar 10 hingga 50 mm (Gambar. 1.5).
Cinder atau scoria adalah bahan berbentuk tidak beraturan berukuran
lapili. Biasanya berkaca-kaca dan cukup vesikular.
Bahan piroklastik terbaik disebut abu. Lebih banyak abu yang
dihasilkan dari letusan magma yang bersifat asam dibandingkan
dengan magma yang bersifat basa. Batuan beku asam mengandung
lebih dari 65% silika, sedangkan batuan beku basa mengandung antara
45 dan 55%. Batuan yang mempunyai kandungan silika antara asam
dan basa disebut batuan antara, dan batuan yang kandungan silikanya

94
kurang dari 45% disebut ultrabasa. Seperti disebutkan, alasan
perbedaan daya ledak adalah karena bahan asam lebih kental daripada
lava basa atau basaltik.
Lapisan abu umumnya menunjukkan variasi lateral dan
vertikal. Dengan kata lain, dengan bertambahnya jarak dari lubang
induk, abu menjadi lebih halus dan, dalam kasus kedua, karena
material yang lebih berat jatuh terlebih dahulu, abu sering kali
memperlihatkan lapisan bertingkat, dengan material yang lebih kasar
muncul di dasar lapisan, dan menjadi lebih halus. menuju puncak.
Pemeringkatan terbalik mungkin.

Gambar 4.5 Lapilli dekat kaldera Danau Kawah, Oregon
terjadi sebagai akibat peningkatan kekerasan letusan atau
perubahan kecepatan angin. Distribusi spasial abu dipengaruhi oleh
arah angin, dan endapan di sisi bawah angin gunung berapi mungkin
jauh lebih luas dibandingkan di sisi angin. Memang benar, mereka
mungkin tidak ada di sisi yang terakhir.
Setelah material piroklastik jatuh kembali ke permukaan tanah,
akhirnya menjadi indurasi. Kemudian digambarkan sebagai tufa.

95
Berdasarkan bahan penyusun tufa, dapat dibedakan antara tufa abu,
tufa batu apung, dan breksi tufa. Tufa biasanya mempunyai lapisan
yang baik, dan endapan letusan individu dapat dipisahkan oleh lapisan
tipis tanah fosil atau permukaan erosi tua. Endapan piroklas yang
terakumulasi di bawah laut sering kali bercampur dengan sedimen
dalam jumlah yang bervariasi dan disebut sebagai tufit. Batuan yang
terdiri dari pecahan ejectamenta vulkanik yang tersusun dalam massa
dasar berbutir halus disebut sebagai aglomerat atau breksi vulkanik,
bergantung pada apakah pecahan tersebut berbentuk bulat atau
bersudut.
Ketika awan atau hujan yang sangat panas, semburan lava pijar
jatuh ke tanah, mereka menyatu menjadi tufa yang dilas. Dalam kasus
lain, karena partikel-partikel tersebut menjadi sangat menyatu satu
sama lain, partikel-partikel tersebut sebagian besar mencapai keadaan
kental semu, terutama di bagian yang lebih dalam.

Gambar 4.6 Letusan Gunung St. Helens Mei 1980, Washington State
bagian dari deposit. Istilah ignimbrite digunakan untuk
menggambarkan batuan ini. Jika ignimbrite diendapkan pada lereng

96
yang curam, maka akan mulai mengalir dan menyerupai aliran lava.
Ignimbrite diasosiasikan dengan nuées ardentes (Gambar. 1.6).
Lava dikeluarkan dari gunung berapi pada suhu hanya sedikit
di atas titik bekunya. Selama alirannya, suhu turun hingga terjadi
pemadatan antara 600 dan 900∞C, bergantung pada komposisi kimia
dan kandungan gasnya. Lava basa membeku pada suhu yang lebih
tinggi dibandingkan lava asam.
Umumnya aliran dalam aliran lava bersifat laminar. Laju aliran
lava ditentukan oleh gradien lereng tempat lava bergerak dan
viskositasnya, yang selanjutnya ditentukan oleh komposisi, suhu, dan
kandungan volatilnya. Karena viskositasnya yang lebih rendah, lava
basa mengalir lebih cepat dan lebih jauh dibandingkan lava asam.
Memang tipe sebelumnya diketahui mampu melaju dengan kecepatan
hingga 80 km jam-1.
Permukaan atas aliran lava yang baru saja memadat
membentuk lapisan hummocky dan ropy (disebut pahoehoe); kasar,
fragmental, klinker, berduri (disebut AA); atau struktur kotak-kotak
(Gambar. 4.7a dan Gambar 4.7b). Pahoehoe adalah jenis yang paling
mendasar, namun agak menurun dari lubang angin, itu mungkin memberi
jalan bagi AA atau memblokir lava.

97

Gambar 4.7 (a) Ropy atau pahoehoe lava, Kawah bulan, Idaho
Dalam kasus lain, lava blok atau aa mungkin terlacak hingga ke dalam
lubang. Permukaan lava membeku sebelum aliran utama di bawahnya.
Pipa, rangkaian vesikel, atau spirakel dapat terbentuk di dalam lava,
bergantung pada jumlah gas yang dilepaskan, hambatan yang
diberikan oleh lava, dan kecepatan alirannya. Pipa adalah tabung yang
menonjol ke atas dari alasnya dan biasanya memiliki panjang beberapa
sentimeter dan diameter satu sentimeter atau kurang. Vesikel adalah
bukaan berbentuk bola kecil yang dibentuk oleh gas. Rangkaian
vesikel terbentuk ketika aksi gas belum cukup kuat untuk
menghasilkan pipa. Spirakel adalah bukaan yang terbentuk akibat
gangguan eksplosif pada lava yang masih cair oleh gas yang dihasilkan
di bawahnya. Aliran besar dialiri oleh aliran kompleks di bawah kerak
permukaan sehingga ketika pasokan lava habis, aliran cairan dapat
mengalir meninggalkan terowongan.

98
Aliran lava tipis dipecah oleh sambungan yang mungkin tegak
lurus atau sejajar dengan arah aliran. Sendi memang terjadi dengan
orientasi lain tetapi lebih jarang terjadi. Sambungan yang normal pada
permukaan lava biasanya memperlihatkan susunan poligonal, namun
jarang menimbulkan sambungan berbentuk kolom. Sambungan ini
berkembang saat lava mendingin. Pertama, sendi-sendi primer
terbentuk, dari situlah sendi-sendi sekunder muncul, dan seterusnya.

Gambar 4.8 (b) Clinkery atau AA lava, Kawah bulan, Idaho.
Sambungan kolumnar yang khas terbentuk pada aliran basal
yang tebal (Gambar. 4.9). Kolom-kolom pada sambungan kolumnar
disela oleh sambungan silang yang bisa berbentuk datar atau
berbentuk piring. Yang terakhir mungkin cembung ke atas atau ke
bawah. Hal ini berbeda dengan sambungan platy yang terbentuk pada
lava karena menjadi lebih kental saat didinginkan, sehingga terjadi
sedikit pergeseran di sepanjang bidang aliran.
Tekstur Batuan Beku
Derajat kristalinitas merupakan salah satu item tekstur yang
paling penting. Batuan beku dapat terdiri dari agregat kristal, kaca

99
alam, atau kristal dan kaca dalam proporsi yang bervariasi. Hal ini
tergantung pada laju pendinginan dan komposisi magma di satu sisi
dan lingkungan di mana batuan tersebut berkembang di sisi lain. Jika
suatu batuan seluruhnya tersusun dari bahan mineral kristalin, maka
batuan tersebut disebut holokristalin. Kebanyakan batuan bersifat
holokristalin. Sebaliknya batuan yang seluruhnya terdiri dari bahan
kaca disebut holohialin. Istilah hipo-, hemi- atau merokristalin
diberikan pada batuan yang tersusun dari bahan kristal dan kaca dalam
proporsi menengah.

Gambar 4.9 Sambungan kolom di basal, Giant's Causeway, Irlandia Utara.
Jika mengacu pada ukuran masing-masing kristal, mereka
disebut kriptokristalin jika hanya dapat dilihat di bawah mikroskop
dengan resolusi tertinggi, atau sebagai mikrokristalin jika dapat dilihat
pada perbesaran lebih rendah. Kedua jenis ini, bersama dengan batuan
kaca, secara kolektif digambarkan sebagai aphanitic, yang berarti
bahwa masing-masing mineral tidak dapat dibedakan dengan mata
telanjang. Jika mineral penyusun suatu batuan bersifat megaor
makroskopis, yaitu dapat dikenali dengan mata telanjang, maka
disebut sebagai fenerokristalin. Tiga tingkat tekstur megaskopis
biasanya dibedakan, yaitu berbutir halus, berbutir sedang, dan berbutir

100
kasar, dengan batas masing-masing diameter di bawah 1 mm, diameter
antara 1 dan 5 mm, dan diameter lebih dari 5 mm.
Tekstur granular adalah tekstur yang tidak mengandung bahan
kaca dan masing-masing kristal mempunyai penampakan seperti
butiran. Jika mineral-mineral tersebut berukuran kira-kira sama maka
teksturnya dikatakan ekugranular, sedangkan jika tidak maka
teksturnya disebut inequigranular. Tekstur ekugranular lebih umum
ditemukan pada batuan beku plutonik. Banyak batuan vulkanik dan
batuan yang terdapat di tanggul dan kusen, khususnya, menunjukkan
tekstur yang tidak sama, jenis yang paling penting adalah tekstur
porfiritik. Dalam tekstur ini, kristal besar atau fenokris tersusun dalam
massa dasar berbutir halus. Tekstur porfiritik dapat dibedakan sebagai
makro atau mikroporfiritik, tergantung apakah tekstur tersebut dapat
diamati dengan mata telanjang atau tidak.
Mineral pembentuk batuan yang paling penting sering disebut
sebagai felsik dan mafik, bergantung pada apakah mineral tersebut
berwarna terang atau gelap. Mineral felsik termasuk kuarsa, muskovit,
feldspar, dan feldspathoid, sedangkan olivin, piroksen, amfibol, dan
biotit adalah mineral mafik. Indeks warna suatu batuan merupakan
ekspresi persentase mineral mafik yang dikandungnya. Empat kategori
telah dibedakan:
• batuan leukokratik, yang mengandung kurang dari 30% mineral
gelap.
• batuan mesokratik, yang mengandung antara 30 dan 60% mineral
gelap.
• batuan melanokratik, yang mengandung antara 60 dan 90% mineral
gelap.
• batuan hipermelan, yang mengandung lebih dari 90% mineral gelap.
Biasanya batuan asam bersifat leukokrat, sedangkan batuan
basa dan ultrabasa masing-masing bersifat melanokrat dan
hipermelanik.

101
Jenis Batuan Beku
Granit dan granodiorit adalah batuan yang paling umum dalam
asosiasi plutonik. Mereka dicirikan oleh tekstur granular berbutir
kasar, holokristalin. Meskipun istilah granit kurang presisi, granit
normal telah didefinisikan sebagai batuan dengan bentuk kuarsa lebih
dari 5% dan kurang dari 50% kuarfeloid (kandungan kuarsa, feldspar,
feldspathoid), kalium feldspar merupakan 50 hingga 95% dari total
kandungan feldspar, plagioklasnya bersifat sodikalsik, dan mafitnya
membentuk lebih dari 5% dan kurang dari 50% dari total konstituen
(Gambar 4.1).
Dalam granodiorit, plagioklasnya adalah oligoklas atau andesin
dan setidaknya dua kali lipat jumlah kalium feldspar yang ada, yang
terakhir membentuk 8 hingga 20% batuan. Plagioklas hampir selalu
berbentuk euhedral (mineral yang seluruhnya dibatasi oleh permukaan
kristal), begitu pula biotit dan hornblende. Mineral-mineral ini
tersusun dalam matriks feldspar kuarsa-kalium.
Istilah pegmatit mengacu pada batuan berbutir kasar atau
sangat kasar yang terbentuk selama tahap terakhir kristalisasi dari
magma. Fasies pegmatitik, meskipun umumnya berasosiasi dengan
batuan granit, ditemukan berasosiasi dengan semua jenis batuan
plutonik. Pegmatit terdapat dalam bentuk tanggul, kusen, urat, lensa,
atau kantong tak beraturan pada batuan induk, yang jarang memiliki
kontak tajam (Gambar. 4.10) Aplite terdapat sebagai urat, biasanya
setebal beberapa puluh milimeter, pada granit, meskipun seperti
pegmatit, aplite ditemukan berasosiasi dengan batuan plutonik lainnya.
Mereka memiliki tekstur berbutir halus dan berbentuk sama. Tidak
ada perbedaan kimia yang penting antara aplite dan pegmatite, dan
diasumsikan bahwa keduanya mengkristal dari sisa larutan magmatik.

102

Gambar 4.10 Bagian tipis dolerit dari Harrisburg, Afrika Selatan, menunjukkan bercak
mineral lempung dan beberapa rekahan mikro.
Riolit adalah batuan ekstrusif asam yang umumnya terkait
dengan andesit. Mereka umumnya dianggap mewakili setara vulkanik
granit. Mereka biasanya leucocratic dan kadang-kadang menunjukkan
aliran banding. Riolit mungkin holokristalin, tetapi sangat sering
mengandung jumlah kaca yang cukup besar. Mereka sering por
phyritic, fenokris bervariasi dalam ukuran dan kelimpahan. Fenokris
terjadi dalam massa tanah kaca, kriptokristalin atau mikrokristalin.
Vesikel biasanya ditemukan di batuan ini.
Batuan asam yang terjadi di tanggul atau kusen sering
porfiritik, porfiri kuarsa menjadi contoh paling umum. Porfiri kuarsa
memiliki komposisi yang mirip dengan riolit.
Syenites adalah batuan plutonik yang memiliki tekstur granular
dan terdiri dari feldspar kalium, sejumlah sub ordinat plagioklas sodik
dan beberapa mineral mafik, biasanya biotit atau hornblende. Diorit
telah didefinisikan sebagai plutonik menengah, batuan granular terdiri

103
dari plagioklas dan hornblende, meskipun kadang-kadang yang
terakhir dapat sebagian atau seluruhnya digantikan oleh biotit dan /
atau piroksen. Plagioklas, dalam bentuk oligoklas dan andesin, adalah
feldspar dominan. Jika ortoklas hadir, ia hanya bertindak sebagai
mineral aksesori
Trachytes dan andesit adalah padanan halus dari syenit dan
diorit, respec tively. Andesit adalah yang umum dari dua jenis.
Trachytes adalah batuan ekstrusif, yang sering porfiritik, di mana
feldspar alkali dominan. Kebanyakan fenokris terdiri dari feldspar
alkali dan, pada tingkat lebih rendah, feldspar alkali-kapur. Lebih
jarang, biotit, horn blende dan/atau augite dapat membentuk
fenokris. Massa tanah biasanya merupakan agregat holokristalin dari
reng sanidine (bentuk ortoklas suhu tinggi). Andesit adalah porfiritik
commonly, dengan massa tanah holokristalin. Plagioklas (oligoklas-
andesin), yang merupakan feldspar dominan, membentuk sebagian
besar fenokris. Plagioklas massa tanah lebih sodik daripada fenokris.
Sanidin dan anortoklas [(Na,K)AlSi3O8] jarang membentuk fenokris
tetapi mineral sebelumnya memang terjadi di massa tanah dan dapat
mengelilingi beberapa fenokris plagioklas. Hornblende adalah mineral
ferro-magnesian yang paling umum dan dapat terjadi sebagai fenokris
atau di massa tanah, seperti halnya biotit dan piroksen.
Gabro dan norit adalah batuan beku plutonik dengan tekstur
granular. Mereka berwarna gelap. Plagioklas, umumnya labradorite,
biasanya mineral dominan di gabros dan norit, tetapi bytownite juga
terjadi. Piroksen yang ditemukan dalam gabro biasanya augite, augit
diopsidik dan diallage. Mereka biasanya subhedral (beberapa wajah
kristal dikembangkan) atau anhedral (tidak ada wajah kristal
dikembangkan). Norit, tidak seperti gabros, mengandung
ortopiroksen bukan klinopiroksen, hypersthene menjadi prinsip
piroksen
Basalt adalah ekuivalen ekstrusif gabro dan norit, dan terdiri
dari penghitungan princi plagioklas kalsik dan piroksen dalam jumlah
yang kira-kira sama, atau mungkin ada kelebihan plagioklas. Sejauh ini,
ini adalah jenis batuan ekstrusif yang paling penting. Basalt juga terjadi

104
di tanggul, lembaran kerucut, kusen dan sumbat vulkanik. Basalt
menunjukkan berbagai macam tekstur dan mungkin holocrystalline
atau merocrystalline, equigranular atau makro atau mikroporfiritik.
Dolerit ditemukan dalam intrusi kecil. Mereka terutama terdiri
dari plagioklas, biasanya labradorite, dan piroksen, biasanya augite
(Gambar. 4.11). Plagioklas dapat terjadi sebagai phe nocrysts, selain
menjadi salah satu mineral utama dalam massa tanah. Dolerit berbutir
halus hingga sedang. Mereka biasanya equigranular tetapi, karena
mereka kelas terhadap basal, mereka cenderung menjadi porfiritik.
Namun demikian, fenokris umumnya merupakan kurang dari 10%
dari batu. Massa tanah terdiri dari reng plagioklas, piroksen anhedral
kecil dan sejumlah kecil bijih.

Gambar 4.11 Bagian tipis dolerite dari Harrisburg, South Africa, , menunjukkan bercak
mineral lempung dan beberapa mikrofraktur .
4.3 Metamorfisme dan Batuan Metamorf
Batuan metamorf berasal dari jenis batuan yang sudah ada
sebelumnya dan telah mengalami perubahan mineralogi, tekstur, dan
struktur. Perubahan ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
lingkungan fisik dan kimia di mana batuan tersebut berada. Proses
yang bertanggung jawab atas perubahan menimbulkan transformasi
progresif pada batuan yang terjadi dalam keadaan padat. Perubahan
kondisi suhu dan/atau tekanan merupakan penyebab utama terjadinya

105
reaksi metamorf pada batuan. Beberapa mineral stabil pada kondisi
suhu-tekanan terbatas, yang berarti bahwa ketika batas-batas ini
terlampaui, penyesuaian mineralogi harus dilakukan untuk mencapai
keseimbangan dengan lingkungan baru.
Ketika metamorfisme terjadi, biasanya terdapat sedikit
perubahan pada komposisi kimia sebagian besar batuan yang terlibat,
yaitu, kecuali air dan unsur-unsur yang mudah menguap seperti
karbon dioksida, hanya sedikit material yang hilang atau diperoleh.
Jenis perubahan ini digambarkan sebagai perubahan isokimia.
Sebaliknya, perubahan alokimia disebabkan oleh proses metasomatik
yang memasukkan material ke dalam atau mengeluarkannya dari
batuan yang dipengaruhinya. Perubahan metasomatik disebabkan oleh
gas panas atau larutan yang merembes melalui batuan.
Reaksi metamorf dipengaruhi oleh adanya cairan atau gas pada
pori-pori batuan yang bersangkutan. Misalnya, karena rendahnya
konduktivitas batuan, cairan pori dapat bertindak sebagai media
perpindahan panas. Air tidak hanya bertindak sebagai agen transfer
dalam metamorfisme, tetapi juga bertindak sebagai katalis dalam
banyak reaksi kimia. Ini adalah penyusun banyak mineral pada batuan
metamorf tingkat rendah dan menengah. Tingkat mengacu pada
kisaran suhu di mana metamorfisme terjadi.
Dua tipe utama metamorfisme dapat dibedakan berdasarkan
kondisi geologinya. Salah satu jenisnya bersifat lokal, sedangkan jenis
lainnya mencakup wilayah yang luas. Jenis pertama mengacu pada
metamorfisme termal atau kontak, dan yang terakhir mengacu pada
metamorfisme regional. Jenis metamorfisme lainnya adalah
metamorfisme dinamis, yang disebabkan oleh meningkatnya stres.
Namun, beberapa ahli geologi berpendapat bahwa ini bukanlah proses
metamorf karena lebih menyebabkan deformasi daripada
transformasi.
Tekstur dan Struktur Metamorf
Sebagian besar batuan metamorf yang terdeformasi memiliki
beberapa jenis orientasi yang disukai. Orientasi yang disukai dapat

106
ditunjukkan sebagai struktur linier atau planar mesoskopik yang
memungkinkan batuan terbelah lebih mudah dalam satu arah
dibandingkan arah lainnya. Salah satu contoh yang paling umum
adalah pembelahan pada batu tulis; jenis struktur serupa pada batuan
metamorf tingkat tinggi adalah skistositas. Foliasi terdiri dari
pemisahan mineral tertentu menjadi pita tidak konstan atau lentikula
yang berdekatan yang menunjukkan orientasi paralel yang sama.
Belahan slaty mungkin merupakan jenis orientasi pilihan yang
paling dikenal dan terjadi pada batuan dengan tingkat metamorfik
rendah. Ini adalah karakteristik dari batu tulis dan filit (Gambar 4.12).
Ia tidak bergantung pada lapisan, yang biasanya berpotongan pada
sudut yang tinggi; dan hal ini mencerminkan orientasi mineral yang
disukai dan sangat berkembang, khususnya mineral yang termasuk
dalam keluarga mika
Pembelahan regangan-slip terjadi pada batuan metamorf
berbutir halus, yang dapat mempertahankan orientasi yang teratur,
meskipun tidak harus konstan. Keteraturan ini menunjukkan beberapa
hubungan sederhana antara pembelahan dan pergerakan di bawah
tekanan homogen regional pada fase akhir deformasi.
Harker (1939) menyatakan bahwa skistositas terjadi pada
batuan ketika mengalami peningkatan suhu dan tekanan yang
melibatkan rekonstitusi, yang disebabkan oleh larutan lokal bahan
mineral dan rekristalisasi. Dalam semua jenis metamorfisme,
pertumbuhan kristal baru terjadi sebagai upaya meminimalkan stres.
Ketika rekristalisasi terjadi pada kondisi yang mencakup tegangan
geser, elemen arah diberikan pada yang baru
batu yang terbentuk. Mineral tersusun dalam lapisan paralel
sepanjang arah normal terhadap bidang tegangan geser, sehingga
memberikan karakter skistosa pada batuan tersebut (Gambar 1.12a
dan b). Mineral-mineral terpenting yang bertanggung jawab terhadap
berkembangnya skistositas adalah mineral-mineral yang memiliki
kebiasaan berbentuk jarum, serpihan, atau tabular, dengan mika
(misalnya muskovit) menjadi keluarga utama yang terlibat. Semakin

107
melimpah mineral serpihan dan tabular pada batuan tersebut, semakin
besar pula skistositasnya.

Gambar 4.12 Sebuah tambang batu tulis tua tempat ekstraksi memanfaatkan
pembelahan vertikal, Nant Peris, Wales Utara.
Foliasi pada batuan metamorf merupakan ciri yang sangat
mencolok, terdiri atas pita paralel atau lentikula tabular yang terbentuk
dari kumpulan mineral yang kontras seperti kuarsa–feldspar dan

108
biotit–hornblende (Gambar. 1.13a dan b). Ini adalah ciri khas
gneisses. Orientasi paralel ini sesuai dengan arah skistositas, jika ada
pada batuan di dekatnya. Oleh karena itu, foliasi tampaknya terkait
dengan sistem stres dan ketegangan yang sama yang bertanggung
jawab atas perkembangan skistositas. Namun, pengaruh stres menjadi
lebih kecil pada suhu yang lebih tinggi

Gambar 4.13 (a) Sekis mika yang memisahkan kuarsa dan muskovit. Qu, kuarsa; M,
Moskow (x 24). (b) Sekis mika, timur laut Rhiconich, utara Skotlandia.

109

Gambar 4.14 (a) Gneiss yang pita kuarsa dan feldsparnya kurang lebih terpisah dari
biotit dan hornblende. Qu, kuarsa; F, feldspar; B, biotit; H, hornblende. (b) Gneiss
berpita dan terlipat terlihat di utara Dombas, Norwegia.
sehingga skistositas cenderung menghilang pada batuan
metamorfisme tingkat tinggi. Sebaliknya, foliasi menjadi ciri yang lebih
signifikan. Terlebih lagi, mineral-mineral bersisik digantikan pada
tingkat metamorfisme yang lebih tinggi oleh mineral-mineral seperti
garnet [Fe3Al2(SiO4)3], kyanite (Al2SiO5), sillimanite (Al2SiO5), diopside
[Ca,Mg(Si2O6)] dan ortoklas .
Metamorfisme Termal atau Kontak
Metamorfisme termal terjadi di sekitar intrusi batuan beku
sehingga faktor utama yang mengendalikan reaksi ini adalah suhu.
Laju terjadinya reaksi kimia selama metamorfisme termal sangat
lambat dan bergantung pada jenis batuan dan suhu yang terlibat.
Kesetimbangan dalam batuan metamorf, bagaimanapun, lebih mudah

110
dicapai pada kadar yang lebih tinggi karena reaksi berlangsung lebih
cepat
Zona yang mengelilingi batuan metamorf di sekitar intrusi
disebut sebagai aureole kontak (Gambar. 1.14). Ukuran aureole
bergantung pada ukuran dan suhu intrusi saat ditempatkan, jumlah gas
panas dan larutan hidrotermal yang keluar darinya, dan jenis batuan

Gambar 4.15 Peta sketsa Skiddaw Granite dan aureole kontaknya, Cumbria, Inggris.
lebih mengesankan dibandingkan yang ditemukan di batuan arenaceous
atau berkapur.
Hal ini karena mineral lempung, yang merupakan sebagian besar
komposisi batuan berlempung, lebih rentan terhadap perubahan suhu
dibandingkan kuarsa atau kalsit. Aureoles yang terbentuk di medan
beku atau yang sebelumnya bermetamorfosis juga kurang signifikan
dibandingkan yang terbentuk di sedimen berlempung. Namun
demikian, sifat metamorfisme termal yang berubah-ubah harus
ditekankan, karena lebar aureole dapat bervariasi bahkan dalam satu
formasi dari jenis batuan yang sama.
Di dalam aureol kontak, biasanya terdapat rangkaian
perubahan mineralogi dari batuan pedesaan hingga intrusi, yang
pedesaan yang terlibat. Aureoles yang berkembang di Sedimen berlempung

111
disebabkan oleh efek penurunan gradien termal yang sumbernya
berada di magma panas. Memang benar, aureoles pada batuan
berlempung dapat dikategorikan secara konsentris sehubungan
dengan intrusi. Urutan yang sering berkembang bervariasi ke dalam
mulai dari batu tulis berbintik hingga sekis dan kemudian hingga
hornfelses. Aureol tersebut biasanya dicirikan secara mineralogi oleh
klorit [(Ca,Fe,Mg)Al2(Al2Si2)O10(OH)2] dan muskovit di zona
terluar, biotit dengan atau tanpa andalusit (Al2SiO5) di zona
berikutnya, dan biotit, cordierite [(Mg,Fe)2Al3(AlSi5)O18] dan
sillimanite (Al2SiO5) pada zona terdekat dengan kontak.
Hornfelses adalah produk khas dari metamorfisme termal
tingkat tinggi. Merupakan batuan berwarna gelap dengan butiran halus
decussate yaitu tekstur saling bertautan, mengandung andalusit,
kordierit, kuarsa, biotit, muskovit, mikroklin (KAlSi3O8) atau
ortoklas, dan plagioklas sodik.
Aureol yang terbentuk pada batuan berkapur sering kali
menunjukkan variasi mineralogi yang lebih besar dan keteraturan yang
lebih sedikit dibandingkan pada batuan berlempung. Zonasi, kecuali
dalam skala kecil dan terlokalisasi, umumnya tidak jelas. Lebar aureole
dan kumpulan mineral yang dikembangkan dalam aureole tampaknya
berhubungan dengan komposisi kimia dan permeabilitas lapisan kapur
induk. Kelereng dapat ditemukan di aureoles ini, terbentuk ketika batu
kapur mengalami metamorfosis.
Reaksi yang terjadi ketika sedimen arenaceous mengalami
metamorfisme termal biasanya tidak terlalu rumit dibandingkan
dengan reaksi yang terjadi pada sedimen berlempung atau berkapur.
Misalnya, metamorfisme kuarsa arenit menyebabkan rekristalisasi
kuarsa menjadi kuarsit dengan tekstur mosaik; semakin tinggi
kualitasnya, semakin kasar kainnya. Pengotor dalam batupasir inilah
yang memunculkan mineral baru pada saat metamorfisme. Pada
tingkat tinggi, foliasi cenderung berkembang dan dihasilkan batuan
gneissose.

112
Batuan beku asam dan batuan beku menengah tahan terhadap
metamorfisme termal; memang, mereka biasanya hanya terpengaruh
pada nilai yang sangat tinggi. Misalnya, ketika granit diterobos oleh
massa batuan beku dasar, rekristalisasi total dapat terjadi di sekitar
kontak tersebut untuk menghasilkan batuan gneisosa.
Batuan beku dasar mengalami sejumlah perubahan ketika
mengalami metamorfisme termal. Mereka pada dasarnya terdiri dari
piroksen dan plagioklas, dan perubahan pertama terjadi pada mineral
ferromagnesian, yaitu, di wilayah terluar aureol, plagioklas tidak
terpengaruh, sehingga meninggalkan tekstur batuan beku induknya
tetap utuh. Saat intrusi mendekat, batuan menjadi terrekristalisasi
sepenuhnya. Pada metamorfisme tingkat menengah, hornfelses
hornblende banyak ditemukan. Yang paling dekat dengan kontak,
batuan bermutu tinggi biasanya diwakili oleh piroksen hornfelses.
Metamorfisme Regional
Batuan metamorf yang luasnya mencapai ratusan atau bahkan
ribuan kilometer persegi ditemukan tersingkap di perisai Pra-
Kambrium, seperti yang terjadi di Labrador dan Fennoscandia, dan di
akar lipatan pegunungan yang terkikis. Akibatnya, istilah regional
diterapkan pada jenis metamorfisme ini. Metamorfisme regional
melibatkan proses perubahan suhu dan stres. Faktor utamanya adalah
suhu, yang mencapai suhu maksimum sekitar 800∞C pada
metamorfisme regional. Intrusi batuan beku ditemukan di wilayah
metamorfisme regional, namun pengaruhnya terbatas. Metamorfisme
regional dapat dianggap terjadi ketika tekanan pembatas melebihi 3
kilobar. Terlebih lagi, suhu dan tekanan yang mendukung
metamorfisme regional harus dipertahankan selama jutaan tahun.
Kenaikan dan penurunan suhu ditunjukkan oleh bukti adanya siklus
metamorfisme yang berulang. Hal ini tidak hanya ditunjukkan oleh
bukti mineralogi tetapi juga oleh bukti struktur. Misalnya, pembelahan
dan skistositas adalah hasil deformasi yang kira-kira sinkron dengan
metamorfisme, namun banyak batuan menunjukkan bukti adanya
lebih dari satu pembelahan atau skistositas yang menyiratkan
deformasi dan metamorfisme berulang.

113
Metamorfisme regional adalah suatu proses yang progresif,
yaitu, pada daerah tertentu yang awalnya terbentuk dari batuan dengan
komposisi serupa, zona dengan kadar yang meningkat dapat
ditentukan oleh kumpulan mineral yang berbeda. Setiap zona
ditentukan oleh mineral yang signifikan, dan variasi mineraloginya
dapat dikorelasikan dengan perubahan kondisi suhu-tekanan. Oleh
karena itu, batas setiap zona dapat dianggap sebagai isograd, yaitu
batas kondisi metamorf yang setara.
Batu tulis adalah produk metamorfisme regional tingkat
rendah dari sedimen berlempung atau pelitik. Ketika tingkat
metamorfik meningkat, serpih memberi jalan kepada filit di mana
terdapat kristal klorit dan mika yang agak lebih besar. Phyllites, pada
gilirannya, memberi jalan kepada sekis mika.
Berbagai mineral seperti garnet [Fe3Al2(SiO4)3], kyanite
(Al2SiO5) dan staurolite [FeAl4Si2O10(OH)2] mungkin terdapat
dalam sekis ini, yang mengindikasikan pembentukan pada suhu yang
meningkat.
Ketika batupasir mengalami metamorfisme regional,
berkembanglah kuarsit yang memiliki tekstur granoblastik (yaitu
granular). Batupasir mika atau yang di dalamnya terdapat material
berlempung dalam jumlah yang cukup besar, pada metamorfisme
menghasilkan sekis kuarsa-mika. Metamorfisme arkoses dan batupasir
feldspatik menyebabkan terjadinya rekristalisasi feldspar dan kuarsa
sehingga dihasilkan granulit dengan tekstur granoblastik.
Batuan karbonat yang relatif murni ketika mengalami
metamorfisme regional akan mengalami rekristalisasi menjadi marmer
kalsit atau dolomit dengan tekstur granoblastik. Silika apa pun yang
ada dalam batu kapur cenderung berubah menjadi kuarsa. Kehadiran
mika pada batuan ini cenderung memberikan kesan sekis, kelereng
sekis atau sekis kalk sedang dikembangkan. Jika mika melimpah, ia
akan membentuk lensa atau lapisan yang berkesinambungan, sehingga
batuan tersebut memiliki struktur berfoliasi.

114
Pada batuan bermetamorfosis regional yang berasal dari
batuan beku asam, kuarsa dan mika putih merupakan komponen
penting, sekis muskovit-kuarsa menjadi produk khas dari tingkat yang
lebih rendah. Sebaliknya, mika putih diubah menjadi feldspar kalium
dengan kadar tinggi. Pada tingkat menengah dan tinggi, gneis dan
granulit kuarsao-feldspatik sering ditemukan. Beberapa gneis memiliki
dedaunan yang kuat.
Batuan dasar diubah menjadi sekis hijau melalui metamorfisme
regional tingkat rendah, menjadi amfibolit pada tingkat sedang, dan
menjadi granulit piroksen dan eklogit pada tingkat tinggi.
Metamorfisme Dinamis
Metamorfisme dinamis terjadi dalam skala yang relatif kecil
dan biasanya sangat terlokalisasi; misalnya, dampaknya dapat
ditemukan terkait dengan patahan atau gaya dorong yang besar. Pada
skala yang lebih besar, hal ini terkait dengan pelipatan, namun, dalam
kasus terakhir, mungkin sulit untuk membedakan antara proses dan
efek metamorfisme dinamis dan metamorfisme regional tingkat
rendah. Apa yang dapat dikatakan adalah bahwa pada suhu rendah,
rekristalisasi terjadi pada tingkat minimum dan tekstur batuan
sebagian besar ditentukan oleh proses mekanis yang telah
berlangsung. Proses metamorfisme dinamis meliputi breksiasi,
kataklasis, granulasi, milonitisasi, larutan bertekanan, peleburan
sebagian, dan sedikit rekristalisasi.
Stres adalah faktor terpenting dalam metamorfisme dinamis.
Jika suatu benda diberi tegangan melebihi batas elastisitasnya, maka
benda tersebut akan mengalami regangan atau deformasi secara
permanen. Jika tegangan ke segala arah sama, maka benda hanya
mengalami perubahan volume, sedangkan jika searah maka bentuknya
berubah.
Breksiasi adalah proses dimana batuan retak, fragmen sudut
yang dihasilkan memiliki ukuran yang bervariasi. Hal ini umumnya
dikaitkan dengan kesalahan dan dorongan. Fragmen-fragmen breksi
yang hancur mungkin akan retak, dan komponen mineralnya mungkin

115
menunjukkan fenomena regangan permanen. Jika potongan-potongan
tersebut diputar selama proses fragmentasi, potongan-potongan
tersebut pada akhirnya akan membulat dan tertanam dalam bahan
bubuk yang sudah aus. Batuan yang dihasilkan disebut sebagai
konglomerat penghancur.
Mylonites dihasilkan oleh penghancuran batuan, yang tidak
hanya melibatkan tegangan geser yang ekstrim tetapi juga tekanan
pembatas yang cukup besar. Oleh karena itu, Mylonitisasi dikaitkan
dengan kesalahan besar. Mylonites terdiri dari porphyroblast tegang
(metamorf setara dengan fenokris) yang diatur dalam matriks
berlimpah bahan berbutir halus atau kriptokristalin. Kuarsa di massa
dasar sering kali memanjang. Milonit yang mengalami tekanan berat
tidak memiliki porfiroblas, memiliki struktur berlapis dengan tekstur
butiran halus. Masing-masing lamina umumnya dapat dibedakan
karena perbedaan warnanya. Protomylonite adalah peralihan antara
breksi penghancur mikro dan mylonite, sedangkan ultramylonite
adalah batuan berpita atau tidak berstruktur yang materialnya telah
direduksi menjadi ukuran bubuk.
Dalam kasus metamorfisme dinamis yang paling ekstrim,
material hancur yang dihasilkan dapat menyatu untuk menghasilkan
batuan vitrifikasi yang disebut sebagai pseudotachylite. Biasanya
terjadi sebagai badan lentikular terputus-putus yang sangat kecil atau
urat bercabang pada kuarsit, amfibolit, dan gneiss. Fragmen kuarsa
dan feldspar biasanya ditemukan pada dasar kaca berwarna gelap.
Metasomatisme
Aktivitas metasomatik melibatkan masuknya material ke
dalam, serta pemindahan dari, massa batuan oleh media gas atau air
panas, yang menghasilkan reaksi kimia yang mengarah pada
penggantian mineral. Dengan demikian, dua jenis metasomatisme
dapat dibedakan, yaitu pneumatolitik (disebabkan oleh gas panas) dan
hidrotermal (disebabkan oleh larutan panas). Penggantian terjadi
akibat substitusi atom atau molekul, sehingga biasanya hanya terjadi
sedikit perubahan pada tekstur batuan. Komposisi media pengangkut

116
terus berubah karena material terlarut keluar dan menempel pada
batuan yang terkena dampak.
Gas dan larutan panas yang terlibat berasal dari sumber batuan
beku, dan efek metasomatisme sering kali menonjol terutama pada
intrusi yang bersifat granit. Memang benar, konsentrasi zat-zat volatil
dalam asam lebih besar dibandingkan dalam magma basa.
Baik gas maupun larutan memanfaatkan kelemahan struktural
apa pun, seperti patahan, retakan, atau bidang sambungan, pada
batuan yang diinvasinya. Karena jalur ini menyediakan jalan keluar
yang lebih mudah, aktivitas metasomatik terkonsentrasi di sepanjang
jalur tersebut. Mereka juga melakukan perjalanan melalui ruang pori-
pori batuan, laju infiltrasi dipengaruhi oleh porositas, bentuk pori-pori
dan gradien suhu-tekanan. Tindakan metasomatik, terutama bila
terkonsentrasi di sepanjang zona fisura dan vena, dapat menyebabkan
perubahan besar pada mineral tertentu. Misalnya, feldspar dalam
granit atau gneiss mungkin mengalami kaolinisasi tinggi akibat
metasomatisme, dan batu kapur dapat tereduksi menjadi agregat
butiran yang berikatan lemah.
4.4 Batuan Sedimen
Batuan sedimen membentuk kulit luar pada kerak bumi,
menutupi tiga perempat wilayah benua dan sebagian besar dasar laut.
Ketebalannya bervariasi hingga 10 km. Namun demikian, mereka
hanya menyusun sekitar 5% dari kerak bumi.
Sebagian besar batuan sedimen berasal dari sekunder, yaitu
terdiri dari material detrital yang diperoleh dari pemecahan batuan
yang sudah ada sebelumnya. Memang benar, telah diperkirakan secara
beragam bahwa serpih dan batupasir, keduanya merupakan turunan
mekanis, mencakup antara 75 dan 95% dari seluruh batuan sedimen.
Namun, batuan sedimen tertentu merupakan produk dari
pengendapan kimia atau biokimia sedangkan batuan lainnya berasal
dari organik. Dengan demikian, batuan sedimen dapat dibedakan
menjadi dua kelompok utama, yaitu jenis klastik (detrital) atau
eksogenetik, dan jenis nonklastik atau endogenetik. Namun demikian,

117
salah satu faktor yang sama-sama dimiliki oleh semua batuan sedimen
adalah bahwa batuan tersebut diendapkan, dan hal ini memunculkan
karakteristiknya yang paling penting, yaitu batuan tersebut berlapis
atau bertingkat.
Seperti disebutkan di atas, sebagian besar batuan sedimen
terbentuk dari hasil pemecahan batuan yang sudah ada sebelumnya.
Oleh karena itu, laju penggundulan yang terjadi berperan sebagai
pengontrol laju sedimentasi, yang pada gilirannya mempengaruhi
karakter sedimen. Namun, laju penggundulan tidak hanya ditentukan
oleh faktor-faktor yang berperan, yaitu oleh pelapukan, atau oleh
sungai, laut, angin atau es, tetapi juga oleh sifat permukaannya.
Dengan kata lain, wilayah dataran tinggi lebih cepat terkikis
dibandingkan wilayah dataran rendah. Memang benar, penggundulan
dapat dianggap sebagai sebuah proses siklus, yang dimulai atau
diperparah dengan naiknya permukaan tanah, dan seiring dengan
berkurangnya proses ini, laju penggundulan pun berkurang. Setiap
siklus erosi disertai dengan siklus sedimentasi.
Partikel-partikel penyusun sebagian besar batuan sedimen telah
mengalami jumlah pengangkutan yang bervariasi. Jumlah transportasi
bersama dengan agen yang bertanggung jawab, baik itu air, angin atau
es, memainkan peran penting dalam menentukan karakter suatu
sedimen. Misalnya, pengangkutan dalam jarak pendek biasanya berarti
sedimen tidak tersortir (kecuali pasir pantai), seperti halnya
pengangkutan melalui es. Dengan pengangkutan yang lebih lama
melalui air atau angin, material tidak hanya menjadi lebih baik dalam
penyortiran tetapi juga ukurannya semakin berkurang.
Karakter suatu batuan sedimen juga dipengaruhi oleh jenis
lingkungan di mana batuan tersebut diendapkan, yang keberadaannya
terlihat sebagai tanda riak dan perlapisan silang pada pasir yang
terakumulasi di perairan dangkal.
Komposisi batuan sedimen sebagian bergantung pada
komposisi bahan induk dan stabilitas mineral komponennya, dan
sebagian lagi bergantung pada jenis pengaruh yang dialami batuan

118
induk dan lamanya waktu batuan tersebut mengalami pengaruh
tersebut. Mineral yang paling tidak stabil cenderung adalah mineral
yang terbentuk di lingkungan yang sangat berbeda dengan yang ada di
permukaan bumi. Faktanya, kuarsa, dan, pada tingkat yang lebih
rendah, mika, adalah satu-satunya konstituen detrital batuan beku dan
metamorf yang umum ditemukan dalam jumlah besar di sedimen.
Sebagian besar mineral lainnya pada akhirnya dipecah secara kimiawi
untuk menghasilkan mineral lempung. Semakin matang suatu batuan
sedimen, semakin mendekati produk akhir yang stabil, dan sedimen
yang sangat matang kemungkinan besar telah mengalami lebih dari
satu siklus sedimentasi.
Jenis iklim di mana endapan terakumulasi dan kecepatan
terjadinya juga mempengaruhi stabilitas dan kematangan produk
sedimen yang dihasilkan. Misalnya, pembusukan kimia dihambat di
daerah kering sehingga mineral yang kurang stabil lebih mungkin
bertahan dibandingkan di daerah lembab. Namun, bahkan di daerah
lembab, sedimen yang belum matang dapat terbentuk ketika cekungan
dengan cepat terisi oleh detritus yang berasal dari pegunungan di
sekitarnya, sehingga penguburan yang cepat memberikan
perlindungan terhadap serangan agen subaerial.
Untuk mengubah sedimen yang tidak terkonsolidasi menjadi
batuan padat, sedimen tersebut harus mengalami litifikasi. Litifikasi
melibatkan dua proses, konsolidasi dan sementasi. Besarnya
konsolidasi yang terjadi di dalam sedimen bergantung, pertama, pada
komposisi dan teksturnya, dan kedua, pada tekanan yang bekerja
padanya, khususnya yang disebabkan oleh berat lapisan penutup.
Konsolidasi sedimen yang diendapkan dalam air juga melibatkan
dewatering, yaitu pengusiran air bawaan dari sedimen. Porositas
sedimen berkurang seiring dengan terjadinya konsolidasi, dan seiring
dengan semakin padatnya partikel-partikel individual, partikel-partikel
tersebut bahkan dapat mengalami deformasi. Tekanan yang timbul
selama konsolidasi dapat menyebabkan larutan mineral yang berbeda
dan pertumbuhan mineral baru yang bersifat autigenik.

119
Sedimen berbutir halus mempunyai porositas yang lebih tinggi
dibandingkan sedimen berbutir kasar sehingga mengalami konsolidasi
yang lebih besar. Misalnya, lumpur dan tanah liat mungkin
mempunyai porositas asli yang berkisar hingga 80%, dibandingkan
dengan 45 hingga 50% pada pasir dan lanau. Oleh karena itu, jika
lumpur dan tanah liat dapat terkonsolidasi sepenuhnya (yang tidak
akan pernah terjadi), maka volumenya hanya akan menempati 20
hingga 45% dari volume aslinya. Jumlah konsolidasi yang terjadi pada
pasir dan lanau bervariasi dari 15 hingga 25%.
Sementasi melibatkan ikatan bersama partikel sedimen melalui
pengendapan material di ruang pori. Hal ini akan mengurangi
porositas. Bahan penyemen dapat diperoleh melalui larutan sebagian
butir intrastratal atau dapat dimasukkan ke dalam ruang pori dari
sumber asing melalui sirkulasi air. Sebaliknya, semen dapat
dihilangkan dari batuan sedimen melalui pencucian. Jenis semen dan
yang lebih penting jumlahnya mempengaruhi kekuatan batuan
sedimen. Jenisnya juga mempengaruhi warnanya. Misalnya, batupasir
dengan semen mengandung silika atau kalsium karbonat biasanya
berwarna abu-abu keputihan, batupasir dengan semen sideritik (besi
karbonat) berwarna buff, sedangkan warna merah menunjukkan
semen hematitik (besi oksida) dan coklat limonit (oksida besi
terhidrasi). Namun, batuan sedimen sering kali disemen oleh lebih
dari satu material.
Matriks batuan sedimen mengacu pada material halus yang
terperangkap di dalam ruang pori antar partikel. Ini membantu untuk
mengikat yang terakhir bersama-sama Tekstur batuan sedimen
mengacu pada ukuran, bentuk dan susunan partikel penyusunnya.
Ukuran merupakan suatu sifat yang tidak mudah untuk dinilai secara
akurat, karena butiran dan kerikil penyusun sedimen klastik
merupakan benda tiga dimensi yang tidak beraturan. Pengukuran
langsung hanya dapat diterapkan pada fragmen individu yang besar
dimana panjang ketiga sumbu utama dapat dicatat. Namun hal ini pun
jarang memberikan gambaran sebenarnya mengenai ukuran. Estimasi
volume berdasarkan perpindahan dapat memberikan ukuran yang

120
lebih baik. Karena kecilnya ukuran butiran pasir dan lanau harus
diukur secara tidak langsung dengan teknik pengayakan dan
sedimentasi. Jika partikel tanah liat harus diukur, hal ini dapat
dilakukan dengan bantuan mikroskop elektron. Jika suatu batuan
mengalami indurasi kuat, maka disagregasinya tidak mungkin terjadi
tanpa mematahkan banyak butirnya. Dalam hal ini, batuan dibuat
bagian tipisnya dan analisis ukurannya dilakukan dengan bantuan
mikroskop petrologi, tahap mekanik, dan mikrometer.
Hasil analisis ukuran dapat direpresentasikan secara grafis
melalui kurva frekuensi atau histogram. Namun lebih sering
digunakan untuk menggambar kurva kumulatif. Yang terakhir ini
dapat digambar pada kertas semi-logaritmik (Gambar. 4.16). Berbagai
parameter statistik seperti ukuran median dan mean, deviasi, skewness
dan kurtosis dapat dihitung dari data yang diperoleh dari kurva
kumulatif. Ukuran median atau rata-rata memungkinkan penentuan
kadar kerikil, pasir atau lanau, atau padanan litifikasinya. Deviasi
menghasilkan ukuran penyortiran. Namun, kurva tersebut dapat
dengan cepat dan mudah diperkirakan dengan pemeriksaan visual
terhadap kurva, dimana semakin curam kurva tersebut, maka semakin
seragam pula penyortiran sedimennya.
Ukuran partikel batuan sedimen klastik memungkinkannya
ditempatkan dalam salah satu dari tiga kelompok yang disebut
rudaceous atau psephitic, arenaceous atau psammitic dan argillaceous
atau pelitic. Referensi skala ukuran dibuat pada Bab 5, dimana
penjelasan tentang agregat campuran juga disediakan.

121

Gambar 4.16 Kurva penilaian
Bentuk mungkin merupakan sifat paling mendasar dari setiap
partikel, namun sayangnya bentuk adalah salah satu yang paling sulit
diukur. Bentuk sering kali dinilai berdasarkan kebulatan dan
kebulatan, yang dapat diperkirakan secara visual dengan
membandingkannya dengan gambar standar (Gambar. 1.16). Namun,
karena penilaian yang terakhir ini bersifat subjektif, maka nilai yang
diperoleh juga akan mengalami penurunan.
Batuan sedimen adalah kumpulan partikel, dan beberapa
karakteristiknya bergantung pada posisi partikel tersebut di ruang
angkasa. Derajat orientasi butir dalam suatu batuan bervariasi antara
orientasi pilihan sempurna, yang mana semua sumbu panjangnya
mengarah ke arah yang sama, dan orientasi acak sempurna, yang
sumbu panjangnya mengarah ke segala arah. Yang terakhir ini jarang
ditemukan karena sebagian besar agregat mempunyai orientasi butir
tertentu.
Susunan partikel dalam batuan sedimen melibatkan konsep
pengepakan, yang mengacu pada kepadatan spasial partikel dalam
suatu agregat. Pengepakan didefinisikan sebagai hubungan spasial
timbal balik antar butir. Ini mencakup kontak butir-ke-butir dan
bentuk kontak. Yang terakhir melibatkan kedekatan atau penyebaran

122
partikel, yaitu seberapa banyak ruang di suatu area yang ditempati oleh
butiran. Pengepakan merupakan sifat penting batuan sedimen, karena
berkaitan dengan derajat konsolidasi, densitas, porositas, dan
kekuatannya.
Struktur Lapisan dan Sedimen
Batuan sedimen dicirikan oleh stratifikasinya, dan bidang
perlapisan sering kali merupakan diskontinuitas dominan dalam massa
batuan sedimen (Gambar 4.18). Dengan demikian, jarak dan
karakternya (apakah tidak beraturan, bergelombang atau lurus, rapat
atau terbuka, kasar atau halus?) sangat penting bagi insinyur. Beberapa
klasifikasi jarak telah dikembangkan.
Lapisan individu dapat dianggap sebagai ketebalan sedimen
dengan komposisi yang sama yang diendapkan pada kondisi yang
sama. Laminasi, di sisi lain, mengacu pada lapisan batuan sedimen
yang memperlihatkan lapisan tipis atau lamina, biasanya ketebalannya
beberapa milimeter. Lamina mungkin disebabkan oleh fluktuasi kecil
dalam kecepatan media pengangkut atau pasokan material, yang
keduanya menghasilkan lapisan tipis bergantian dengan ukuran butir
yang sedikit berbeda. Namun secara umum, laminasi dikaitkan dengan
adanya lapisan tipis mineral platy, terutama mika. Ini mempunyai
orientasi yang disukai, biasanya sejajar dengan bidang alas, dan
bertanggung jawab atas fisility batuan. Permukaan lamina ini biasanya
halus dan lurus. Meskipun laminasi merupakan ciri khas serpih,
laminasi juga terdapat pada batulanau dan batupasir, dan kadang-
kadang pada beberapa batugamping.
Perlapisan silang atau arus adalah ciri pengendapan yang terjadi
pada sedimen yang berasal dari fluvial, litoral, kelautan, dan aeolian,
dan terutama ditemukan pada batupasir (Gambar 4.19). Pada sedimen
yang tertiup angin, umumnya disebut sebagai lapisan bukit pasir.
Lapisan silang terkurung dalam unit sedimentasi individual dan terdiri
dari lamina silang yang condong ke bidang lapisan sebenarnya.
Kemiringan awal lamina silang ini sering kali antara 20 dan 30∞.
Ukuran unit sedimentasi tempat terjadinya sedimen sangat bervariasi.

123
Misalnya saja pada microcross-bedding, ukurannya hanya beberapa
milimeter, sedangkan pada dune bedding, ukurannya bisa melebihi
100 m.
Meskipun lapisan bertingkat terjadi pada beberapa jenis batuan
sedimen yang berbeda, hal ini merupakan ciri khas greywacke. Seperti
namanya, unit sedimentasi menunjukkan gradasi dari ukuran butir
yang lebih kasar di bagian bawah hingga yang lebih halus di bagian
bawah

Gambar 4.17 Gambar untuk memperkirakan bentuk.

124

Gambar 4. 18 Tempat tidur di batu pasir, barat laut Nelson, Pulau Selatan, Selandia Baru.

Gambar 4.19 Diagram yang mengilustrasikan alas silang.

125
Ketebalan lapisan bertingkat individu berkisar dari beberapa
milimeter hingga beberapa meter. Biasanya, semakin tebal lapisannya,
semakin kasar keseluruhan lapisannya.
Jenis Batuan Sedimen
Kerikil adalah akumulasi fragmen bulat yang tidak
terkonsolidasi, batas ukuran bawahnya adalah 2 mm. Istilah puing-
puing telah digunakan untuk menggambarkan endapan yang
mengandung pecahan bersudut. Komposisi endapan kerikil tidak
hanya mencerminkan batuan sumber di daerah asalnya tetapi juga
dipengaruhi oleh agen yang bertanggung jawab atas pembentukannya
dan rezim iklim di mana endapan tersebut (atau sedang) diendapkan.
Dua faktor terakhir mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda
dalam mengurangi proporsi material tidak stabil yang ada. Relief juga
mempengaruhi sifat endapan kerikil. Misalnya, produksi kerikil pada
dataran rendah berjumlah kecil, dan kerikil tersebut cenderung
merupakan residu lembam seperti kuarsa urat, kuarsit, rijang, dan batu
api. Sebaliknya, relief yang tinggi dan erosi yang cepat akan
menghasilkan kerikil yang kasar dan belum matang.
Ketika kerikil dan material berukuran lebih besar menjadi
padat, mereka membentuk konglomerat; bila puing-puing mengalami
indurasi, maka disebut breksi (Gambar. 4.20). Konglomerat yang
fragmen-fragmennya saling bersentuhan sehingga membentuk suatu
kerangka disebut ortokonglomerat. Sebaliknya, endapan yang
fragmennya lebih besar dipisahkan oleh matriks disebut
parakonglomerasi.
Pasir terdiri dari campuran butiran mineral dan pecahan
batuan yang lepas. Umumnya, mineral tersebut cenderung didominasi
oleh beberapa mineral, yang utamanya sering kali adalah kuarsa.
Biasanya butiran menunjukkan beberapa derajat orientasi, mungkin
berhubungan dengan arah pergerakan media pengangkut.
Proses pengubahan pasir menjadi batupasir sebagian bersifat
mekanis, melibatkan rekahan butiran, pembengkokan, dan deformasi.
Namun, aktivitas kimia jauh lebih penting. Yang terakhir ini

126
mencakup dekomposisi dan larutan butiran, pengendapan material
dari cairan pori dan reaksi antar butiran. Silika (SiO2) adalah bahan
penyemen yang paling umum pada batupasir, khususnya batupasir
yang lebih tua. Berbagai semen karbonat, khususnya kalsit (CaCO3),
juga merupakan bahan penyemen yang umum. Semen ferruginous dan
gypsiferous juga ditemukan di batupasir. Semen, terutama jenis
karbonat, dapat dihilangkan dalam larutan melalui perkolasi cairan
pori. Hal ini menyebabkan tingkat decementasi yang berbeda-beda.
Kuarsa, feldspar, dan fragmen batuan merupakan komponen
detrital utama penyusun batupasir, dan oleh karena itu komponen-
komponen tersebut telah digunakan untuk menentukan kelas utama
batupasir. Pettijohn dkk. (1972) juga menggunakan jenis matriks
dalam klasifikasinya.

Gambar 4. 20 Konglomerat di Batu Pasir Merah Tua, sebelah utara Belfast, Irlandia Utara.
Dengan kata lain, batupasir dengan matriks lebih dari 15%
disebut wackes. Jenis utama wacke adalah greywacke, yang dapat
dibagi lagi menjadi varietas litik dan feldspatik. Batupasir dengan
matriks kurang dari 15% tersebut dibagi menjadi tiga famili.

127
Ortokuarsit atau arenit kuarsa mengandung 95% atau lebih kuarsa;
25% atau lebih bahan detrital dalam arkoses terdiri dari feldspar; dan
pada batupasir litik, 25% atau lebih material detrital terdiri dari
pecahan batuan (Gambar. 4.21).
Lanau adalah sedimen klastik yang berasal dari batuan yang
sudah ada sebelumnya, terutama melalui proses penguraian mekanis.
Mereka sebagian besar terdiri dari bahan kuarsa halus. Lanau mungkin
terdapat pada tanah sisa, namun hal ini tidak penting dalam kasus
tersebut. Namun, lanau umumnya ditemukan di endapan aluvial,
lakustrin, fluvio-glasial, dan laut. Lanau ini cenderung berinterdigitasi
dengan endapan pasir dan tanah liat. Lanau juga terdapat bersama
pasir dan tanah liat di sedimen muara dan delta. Lanau Lacustrine
sering kali berbentuk pita. Lumpur laut juga mungkin terikat. Lanau
yang tertiup angin umumnya tersortir secara seragam.
Batulanau mungkin berukuran besar atau berlapis, masing-
masing laminanya terserap oleh mika dan/atau bahan berkarbon.
Micro-cross-bedding sering dikembangkan dan laminasi mungkin
berbelit-belit di beberapa batulanau. Batulanau mempunyai
kandungan kuarsa yang tinggi dengan dominan

Gambar 4. 21 Bagian tipis dari Fell Sandstone (arenit kuarsa), Karbon Bawah,
Northumberland, Inggris.

128
semen mengandung silika. Seringkali, batulanau diselingi
dengan serpih atau batupasir berbutir halus, batulanau tersebut
berbentuk rusuk tipis.
Loess adalah endapan yang tertiup angin yang sebagian besar
berukuran lanau dan sebagian besar terdiri dari partikel kuarsa, dengan
jumlah mineral feldspar dan lempung yang lebih sedikit. Hal ini
ditandai dengan kurangnya stratifikasi dan penyortiran yang seragam,
dan terjadi sebagai endapan selimut di Eropa Barat, Amerika Serikat,
Rusia dan Cina (Gambar 4.22). Endapan loess berumur Pleistosen
dan, karena sangat mirip dengan puing-puing glasial berbutir halus,
asal usulnya biasanya dikaitkan dengan asosiasi glasial. Misalnya, dalam
kasus wilayah-wilayah yang disebutkan di atas, diasumsikan bahwa
angin yang bertiup dari bagian dalam benua utara yang gersang selama
masa glasial membawa material halus hasil pencucian glasial dan
membawanya sejauh ratusan atau ribuan kilometer sebelum terjadinya
pengendapan. Pengendapan diasumsikan terjadi di lahan stepa, dan
rumput meninggalkan lubang akar fosil, yang melambangkan loess. Ini
menjelaskan struktur kolomnya yang kasar. Pengangkutan yang lama
menjelaskan penyortiran loess yang seragam.
Endapan tanah liat pada dasarnya terdiri dari kuarsa halus dan
mineral lempung. Yang terakhir ini mewakili produk pemecahan
paling umum dari sebagian besar mineral silikat pembentuk batuan
utama.

129

Gambar 4. 22 Deposit loess dekat Kansas City, Amerika Serikat.
Mineral lempung semuanya merupakan aluminium silikat
terhidrasi dan mempunyai sifat terkelupas, yaitu filosilikat. Tiga
keluarga utama mineral lempung adalah kandites (kaolinite), illites
(illite) dan smektit (montmorillonite).
Kaolinit [Al4Si4O10(OH)8] dibentuk oleh perubahan feldspar,
feldspathoids dan aluminium silikat lainnya akibat aksi hidrotermal.
Pelapukan dalam kondisi asam juga bertanggung jawab atas
kaolinisasi. Kaolinit adalah mineral lempung utama di sebagian besar
lempung sisa dan terangkut, penting dalam serpih, dan ditemukan
dalam jumlah bervariasi di tanah liat fireclay, laterit, dan tanah. Ini
adalah mineral lempung terpenting di lempung Cina dan lempung
bola. Endapan tanah liat cina (kaolin) berasosiasi dengan batuan beku
asam seperti granit, granodiorit dan tonalit, serta dengan gneisses dan
granulit.
Illite [K2-3Al8(Al2-3,Si13-14)O40(OH)8] umum terdapat pada
lempung dan serpih, dan ditemukan dalam jumlah yang bervariasi
pada tanah garapan dan loess, namun lebih jarang ditemukan pada

130
tanah. Ini berkembang sebagai produk perubahan feldspar, mika atau
silikat ferromagnesian setelah pelapukan atau dapat terbentuk dari
mineral lempung lainnya selama diagenesis. Seperti kaolinit, ilit juga
mungkin berasal dari hidrotermal. Perkembangan illite, baik akibat
pelapukan maupun proses hidrotermal, didukung oleh lingkungan
yang bersifat basa.
Montmorillonit [(Mg,Al)4(Al,Si)8O20(OH)4.nH2O] berkembang
ketika batuan beku dasar di daerah dengan drainase buruk mengalami
pelapukan. Kehadiran magnesium diperlukan untuk pembentukan
mineral ini, jika batuan dikeringkan dengan baik, maka magnesium
akan terbawa dan kaolinit akan berkembang. Lingkungan basa
mendukung pembentukan montmorillonit. Montmorillonit terdapat di
tanah dan sedimen berlempung seperti serpih yang berasal dari batuan
beku dasar. Ini adalah penyusun utama lempung bentonit, yang
terbentuk dari pelapukan abu vulkanik dasar, dan bumi penuh, yang
juga terbentuk ketika batuan beku dasar pelapukan. Selain itu, ketika
batuan beku dasar terkena aksi hidrotermal, hal ini dapat
menyebabkan berkembangnya montmorillonit.
Endapan sisa tanah liat terbentuk di tempatnya dan merupakan
hasil pelapukan. Di daerah lembab, sisa tanah liat cenderung diperkaya
dengan hidroksida besi besi dan aluminium, dan kekurangan kapur,
magnesia dan alkali. Bahkan silika dihilangkan di daerah panas dan
lembab, menghasilkan pembentukan alumina terhidrasi atau oksida
besi, seperti pada laterit.
Komposisi tanah liat yang diangkut bervariasi karena bahan-
bahan tersebut sebagian besar terdiri dari produk abrasi (biasanya
partikel lanau) dan sisa bahan tanah liat yang diangkut.
Serpih adalah batuan sedimen yang paling umum dan dicirikan
oleh laminasinya. Batuan sedimen dengan kisaran ukuran dan
komposisi yang sama, tetapi tidak terlaminasi, disebut batulumpur.
Faktanya, tidak ada perbedaan yang jelas antara serpih dan
batulumpur, yang satu sama lain. Meningkatnya kandungan bahan
mengandung silika atau berkapur menurunkan fisilitas serpih,

131
sedangkan serpih yang memiliki kandungan organik tinggi memiliki
lapisan laminasi halus. Ketebalan lamina berkisar antara 0,05 hingga
1,0 mm, dengan sebagian besar berkisar antara 0,1 hingga 0,4 mm.
Mineral lempung dan kuarsa merupakan penyusun utama
batulempung dan serpih. Feldspar sering terdapat pada serpih yang
lebih berlumpur. Serpih juga mengandung sejumlah besar karbonat,
khususnya kalsit, dan gipsum (CaSO4.2H2O). Memang benar, serpih
berkapur sering kali berubah menjadi batu kapur serpih. Serpih hitam
berkarbon kaya akan bahan organik, mengandung sejumlah pirit
(FeS2), dan dilaminasi halus.
Istilah batu kapur diterapkan pada batuan yang fraksi
karbonatnya melebihi 50%, lebih dari setengahnya adalah kalsit atau
aragonit (CaCO3). Jika bahan karbonat terutama terdiri dari dolomit
(CaCO3.MgCO3), maka batuan tersebut dinamakan dolostone
(batuan ini umumnya disebut dolomit, namun istilah ini dapat
dikacaukan dengan mineral dengan nama yang sama). Batu kapur dan
dolostone membentuk sekitar 20 sampai 25% batuan sedimen,
menurut Pettijohn (1975). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
beberapa perkiraan yang diberikan oleh penulis sebelumnya. Batu
kapur bersifat poligenetik. Beberapa berasal dari mekanik, mewakili
detritus karbonat yang telah diangkut dan disimpan. Lainnya mewakili
endapan kimia atau biokimia yang terbentuk di tempat. Batu kapur
allochthonous atau batu kapur terangkut memiliki struktur yang mirip
dengan batupasir dan juga mungkin menampilkan struktur arus seperti
silang. Sebaliknya, batuan karbonat yang terbentuk in situ, yaitu tipe
asli, tidak menunjukkan bukti adanya penyortiran atau aktivitas arus
dan paling banter memiliki stratifikasi yang kurang berkembang. Yang
luar biasa, beberapa batugamping asli menunjukkan lapisan
pertumbuhan, yang paling mencolok adalah lapisan stromatolitik,
seperti yang terlihat pada batugamping alga.
Litifikasi sedimen karbonat sering dimulai sebagai sementasi
pada titik kontak antar butir dan bukan sebagai konsolidasi. Faktanya,
lanau karbonat sangat sedikit berkonsolidasi karena sementasi awal ini.
Kekakuan batuan karbonat yang paling lemah, seperti kapur, mungkin

132
disebabkan oleh saling mengunci secara mekanis butiran dengan
sedikit atau tanpa semen. Meskipun sementasi dapat terjadi kurang
lebih bersamaan dengan pengendapan, kumpulan semen dan tidak
semen dapat ditemukan dalam jarak horisontal yang pendek. Memang
benar, lapisan karbonat yang baru disemen mungkin menutupi
material yang tidak disemen. Karena sementasi terjadi bersamaan
dengan atau segera setelah pengendapan, sedimen karbonat dapat
mendukung tekanan lapisan penutup yang tinggi sebelum konsolidasi
terjadi. Oleh karena itu, nilai porositas yang tinggi dapat
dipertahankan pada kedalaman penguburan yang cukup besar. Namun
pada akhirnya, porositas berkurang akibat perubahan pasca
pengendapan yang menyebabkan rekristalisasi. Dengan demikian, batu
kapur kristal terbentuk dengan cara ini.
(Folk et al., 1973) membedakan dua jenis dolostone. Pertama,
ia mengenali dolomit kristal berbutir sangat halus (diameter butir
kurang dari 20 mikron), dan kedua, dolostone berbutir lebih kasar
yang memiliki banyak bukti penggantian. Ia menganggap jenis
pertama berasal dari asal primer dan jenis kedua terbentuk sebagai
hasil penggantian diagenetik kalsit dengan dolomit dalam batu kapur.
Dolostone primer cenderung berlaminasi tipis dan umumnya tidak
berfosil. Mereka umumnya berasosiasi dengan evaporasi dan mungkin
mengandung nodul atau kristal gipsum atau anhidrit (CaSO4) yang
tersebar. Pada dolostone yang terbentuk melalui dolomitisasi, tekstur
dan struktur aslinya mungkin kabur atau bahkan hilang.
Endapan evaporit secara kuantitatif tidak penting sebagai
sedimen. Mereka terbentuk oleh presipitasi dari air asin, kandungan
garam yang tinggi disebabkan oleh penguapan dari laut pedalaman
atau danau di daerah kering. Garam juga dapat diendapkan dari air
asin di bawah permukaan, dibawa ke permukaan dataran playa atau
sabkha melalui aksi kapiler (Gambar. 4.23). Air laut mengandung
sekitar 3,5% berat garam terlarut, sekitar 80% di antaranya adalah
natrium klorida. Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa
ketika volume asli air laut berkurang karena penguapan menjadi
sekitar setengahnya, sedikit oksida besi dan sejumlah kalsium karbonat

133
akan diendapkan. Gipsum mulai terbentuk ketika volumenya
berkurang menjadi sekitar seperlima dari volume aslinya, garam batu
mulai mengendap ketika hanya tersisa sepersepuluh volumenya, dan,
akhirnya, ketika hanya tersisa 1,5% air laut, kalium dan magnesium.
garam mulai mengkristal. Urutan ini secara umum sesuai dengan
urutan yang ditemukan di beberapa endapan evaporit, namun banyak
pengecualian yang diketahui. Banyak urutan penggantian yang
kompleks terjadi pada evaporit batuan, misalnya batuan karbonat
dapat digantikan oleh batuan anhidrit dan batuan sulfat oleh halit
(NaCl).

Gambar 4. 23 Teepee garam di Lapangan Golf, salina, Death Valley, California.

134
Residu organik yang terakumulasi sebagai sedimen ada dua
jenis utama, yaitu material gambut yang bila terkubur akan
menimbulkan batu bara, dan residu sapropelik. Sapropel adalah lanau
yang kaya akan, atau seluruhnya terdiri dari, senyawa organik yang
terkumpul di dasar perairan yang tenang. Endapan tersebut dapat
menimbulkan batubara cannel atau boghead. Batubara sapropelik
biasanya mengandung sejumlah besar bahan anorganik dibandingkan
dengan batubara humat yang kandungan anorganiknya rendah. Yang
pertama pada umumnya tidak luas dan tidak didasari oleh lapisan
bumi (misalnya tanah fosil). Endapan gambut terakumulasi di
lingkungan dengan drainase buruk dimana pembentukan asam humat
menimbulkan kondisi terdeoksigenasi. Ini menghambat pembusukan
bakteri pada bahan organik. Gambut terakumulasi ketika
pengendapan sisa-sisa tumbuhan melebihi laju dekomposisinya.
Diperlukan deposit gambut dalam jumlah besar untuk menghasilkan
lapisan batubara yang tebal; misalnya, lapisan setebal 1 m mungkin
mewakili 15 m gambut.
Rijang dan batu api adalah dua sedimen mengandung silika
yang paling umum berasal dari bahan kimia. Rijang adalah batuan
padat yang tersusun dari satu atau lebih bentuk silika seperti opal,
kalsedon, atau kuarsa mikrokristalin. Spikula spons dan sisa-sisa
radiolaria dapat ditemukan di beberapa rijang, dan bahan karbonat
mungkin tersebar di seluruh varietas tidak murni. Gradasi terjadi dari
rijang ke batupasir dengan semen rijang, meskipun rijang berpasir
tidak umum terjadi. Rijang mungkin mengalami berbagai tingkat
devitrifikasi. Rijang dapat muncul sebagai lapisan tipis atau sebagai
bintil pada batuan induk karbonat. Kedua jenis ini berasal dari
poligenetik. Dengan kata lain, rijang mungkin merupakan produk
pengganti, seperti pada batu kapur yang mengandung silika, misalnya,
atau mungkin mewakili akumulasi biokimia yang terbentuk di
cekungan di bawah kedalaman kompensasi kalsium karbonat. Dalam
kasus lain, rijang mungkin merupakan produk dari lingkungan danau
basa kaya silika yang bersifat sementara.

135
Beberapa sedimen mungkin memiliki kandungan zat besi yang
tinggi. Besi karbonat, siderit (FeCO3), sering terjadi diselingi dengan
rijang atau dicampur dalam proporsi yang bervariasi dengan tanah liat,
seperti pada batu besi tanah liat. Beberapa formasi yang mengandung
besi sebagian besar terbentuk dari oksida besi, hematit (Fe2O3)
menjadi mineral yang paling umum. Lapisan yang kaya hematit
umumnya bersifat oolitik. Limonit (2Fe2O3.3H2O) terdapat dalam
bentuk oolitik di beberapa batu besi. Bijih besi rawa pada dasarnya
merupakan campuran besi hidroksida yang bersifat tanah. Bijih besi
mengandung silika termasuk batu besi chamositik (chamosite,
Fe3Al2Si2O10.3H2O), yang juga biasanya bersifat oolitik. Batupasir
dan batugamping glaukonitik [glaukonit, K(Fe3Al)2(Si,Al)
4O10(OH)2] mungkin mengandung 20% atau lebih FeO dan Fe2O3.
Kadang-kadang, pirit berlapis ditemukan di serpih hitam.
Sifat Sifat Batuan Sedimen
• Perlapisan
Pada umumnya batuan sedimen dapat dikenali dengan mudah
dilapangan dengan adanya perlapisan. Perlapisan pada batuan
sedimen klastik disebabkan oleh (1) perbedaan besar butir, seperti
misalnya antara batupasir dan batulempung; (2) Perbedaan warna
batuan, antara batupasir yang berwarna abu-abu terang dengan
batulempung yang berwarna abu-abu kehitaman. Disamping itu,
struktur sedimen juga menjadi penciri dari batuan sedimen, seperti
struktur silang siur atau struktur riak gelombang. Ciri lainnya adalah
sifat klastik, yaitu yang tersusun dari fragmenfragmen lepas hasil
pelapukan batuan yang kemudian tersemenkan menjadi batuan
sedimen klastik. Kandungan fosil juga menjadi penciri dari batuan
sedimen, mengingat fosil terbentuk sebagai akibat dari organisme
yang terperangkap ketika batuan tersebut diendapkan.
• Tekstur
Pada hakekatnya tekstur adalah hubungan antar butir / mineral
yang terdapat di dalam batuan. Tekstur yang terdapat dalam batuan
sedimen terdiri dari fragmen batuan / mineral dan matrik (masa
dasar). Adapun yang termasuk dalam tekstur pada batuan sedimen

136
klastik terdiri dari: Besar butir (grain size), Bentuk butir (grain
shape), kemas (fabric), pemilahan (sorting), sementasi, kesarangan
(porosity), dan kelulusan (permeability).
- Besar Butir (Grain Size) adalah ukuran butir dari material
penyusun batuan sedimen diukur berdasarkan klasifikasi
Wenworth.
- Bentuk butir (Grain shape) pada sedimen klastik dibagi menjadi:
Rounded (Membundar), Sub-rounded (Membundar-tanggung),
Sub-angular (Menyudut-tanggung), dan Angular (Menyudut).
Kebundaran (Sphericity): Selama proses pengangkutan
(transportasi), memungkinan butiran butiran partikel yang
diangkut menjadi berkurang ukurannya oleh akibat abrasi.
Abrasi yang bersifat acak akan menghasilkan kebundaran yang
teratur pada bagian tepi butiran. Jadi, pembulatan butiran
memberi kita petunjuk mengenai lamanya waktu sedimen
mengalami pengangkutan dalam siklus transportasi. Pembulatan
diklasifikasikan dengan persyaratan relatif juga
- Kemas (Fabric) adalah hubungan antara masa dasar dengan
fragmen batuan / mineralnya. Kemas pada batuan sedimen ada
2, yaitu : Kemas Terbuka, yaitu hubungan antara masa dasar dan
fragmen butiran yang kontras sehingga terlihat fragmen butiran
mengambang diatas masa dasar batuan. Kemas tertutup, yaitu
hubungan antar fragmen butiran yang relatif seragam, sehingga
menyebabkan masa dasar tidak terlihat).
- Pemilahan (sorting) adalah keseragaman ukuran butir dari
fragmen penyusun batuan. Pemilahan adalah tingkat
keseragaman ukuran butir. Partikel partikel menjadi terpilah atas
dasar densitasnya (beratjenisnya), karena energi dari media
pengangkutan. Arus energi yang tinggi dapat mengangkut
fragment fragmen yang besar. Ketika energi berkurang, partikel
partikel yang lebih berat diendapkan dan fragmen fragmen yang
lebih ringan masih terangkut oleh media pengangkutnya. Hasil
pemilahan ini berhubungan dengan densitas. Apabila partikel
partikel mempunyai densitas yang sama, kemudian partikel-

137
partikel yang lebih besar juga akan menjadi besar, sehingga
pemilahan akan terjadi berdasarkan ukuran butirnya. Klasifikasi
pemilahan ukuran butir didasarkan secara relatif, yaitu
pemilahan baik hingga pemilahan buruk. Pemilahan memberi
kunci terhadap kondisi energi media pengangkut dimana
sedimen diendapkan.
- Sementasi adalah bahan pengikat antar butir dari fragmen
penyusun batuan. Macam dari bahan semen pada batuan
sedimen klastik adalah : karbonat, silika, dan oksida besi.
- Kesarangan (Porocity) adalah ruang yang terdapat diantara
fragmen butiran yang ada pada batuan. Jenis porositas pada
batuan sedimen adalah Porositas Baik, Porositas Sedang,
Porositas Buruk.
- Kelulusan (Permeability) adalah sifat yang dimiliki oleh batuan
untuk dapat meloloskan air. Jenis permeabilitas pada batuan
sedimen adalah permeabilitas baik, permeabilitas sedang,
permeabilitas buruk.
• Mineralogi
Hampir semua batuan sedimen tersusun dari mineral kuarsa
(khususnya batuan silisiklastik) atau kalsit (khususnya batuan
karbonat). Berbeda dengan batuan beku dan batuan metamorf,
batuan sedimen umumnya berisi beberapa mineral-mineral utama
yang berbeda. Meskipun demikian, asal dari mineral-mineral yang
terdapat dalam batuan sedimen seringkali lebih komplek
dibandingkan dengan mineral-mineral yang ada didalam batuan
beku. Mineral-mineral didalam batuan sedimen dapat berasal dari
pengendapan selama sedimentasi atau diagenesa.
Batuan karbonat umumnya didominasi dari mineral-mineral
karbonat seperti kalsit, aragonite atau dolomit. Semen dan fragmen
klastik termasuk fosil pada batuan karbonat dapat tersusun dari
mineral karbonat. Mineralogi dari batuan klastik ditentukan oleh
pasokan material dari sumbernya, pengangkutan ke tempat dimana
material itu diendapkan serta kestabilan dari mineral-mineralnya.
Kestabilan dari mineral-mineral pembentuk batuan dapat dilihat

138
pada seri reaksi Bowen. Pada seri reaksi Bowen, mineral Kuarsa
merupakan mineral yang paling stabil terhadap pelapukan
sedangkan kearah mineral Olivine atau Ca-plagioklas merupakan
mineral-mineral yang paling tidak stabil terhadap pelapukan.
Banyaknya pelapukan tergantung terutama pada jarak dari batuan
sumbernya, ilklim dan waktu yang diperlukan dalam pengangkutan
sedimen. Kebanyakan batuan sedimen, mika, feldspar dan sedikit
mineral stabil akan bereaksi dengan mineral lempung seperti
kaolinite, illite atau smectite.
• Struktur Sedimen
Stratifikasi dan Perlapisan
- Rithem Layering (Ritme Perlapisan) – Perulangan perlapisan
sejajar pada dasarnya dikarenakan sifat yang berbeda. Kadang-
kadang disebabkan oleh perubahan musim dalam pengendapan.
Misalnya di danau, sedimen kasar akan diendapkan pada musim
panas dan sedimen halus diendapkan pada musim dingin ketika
permukaan danau membeku.

- Cross Bedding (Silangsiur) – Sekumpulan perlapisan yang
saling miring satu sama lainnya. Perlapisan cenderung miring
kearah dimana angin atau air mengalir pada saat pengendapan
terjadi. Batas diantara sekelompok perlapisan umumnya diwakili
oleh bidang erosi. Sangat umum dijumpai sebagai endapan
pantai, sebagai sand dunes (gumuk pasir) dan endapan sediment
sungai.

139

- Ripple Marks – karakteristik dari endapan air dangkal.
Penyebabnya oleh gelombang atau angin.

- Graded Bedding (Perlapisan bersusun) – Terjadi sebagai
akibat berkurangnya kecepatan arus, dimana partikel partikel
yang lebih besar dan berat akan mengendap paling awal diikuti
kemudian oleh partikel-partikel yang lebi kecil dan lebih ringan.
Hasil pengendapannya akan memperlihatkan perlapisan dengan
ukuran butir yang menghalus kearah atas.

140

- Mud cracks – hasil dari pengeringan dari sedimen yang basah
di permukaan bumi. Rekahan terbentuk oleh pengkerutan
sedimen ketika sedimen mengering.

- Raindrop Marks - Sumuran (Krater kecil) yang terbentuk oleh
jatuhan air hujan. Kehadirannya merupakan tanda sedimen
tersingkap ke permukaan bumi.

141
• Kandungan Fossils – sisa sisa kehidupan organisme. Umumnya
sangat penting sebagai indikator lingkungan pengendapan.
- Spesies yang berbeda umumnya hidup pada lingkungan tertentu.
- Fosil digunakan sebagai kunci untuk umur relatif dari sedimen.
- Dapat juga berperan penting dalam indikator iklim purba.
• Warna Sedimen – oksida besi dan sulfida selama terendapkan
dengan material organik akan memberikan warna gelap.
- Indikator pengendapan pada lingkungan reduksi
- Endapan pada lingkungan oksidasi menghasilkan warna merah
oleh oksida besi.
4.5 Stratigrafi
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur
relatif serta distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-
lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil
perbandingan atau korelasi antar lapisan yang berbeda dapat
dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi),
kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya
(kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas
penyebaran lapisan batuan.
Ilmu stratigrafi muncul untuk pertama kalinya di Britania Raya
pada abad ke-19. Perintisnya adalah William Smith. Ketika itu dia
mengamati beberapa perlapisan batuan yang tersingkap yang memiliki
urutan perlapisan yang sama (superposisi). Dari hasil pengamatannya,
kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan batuan yang terbawah
merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian.
Karena banyak lapisan batuan merupakan kesinambungan yang utuh
ke tempat yang berbeda-beda maka dapat dibuat perbandingan antara
satu tempat ke tempat lainnya pada suatu wilayah yang sangat luas.
Berdasarkan hasil pengamatan ini maka kemudian Willian Smith
membuat suatu sistem yang berlaku umum untuk periode-periode
geologi tertentu walaupun pada waktu itu belum ada penamaan
waktunya. Berawal dari hasil pengamatan William Smith dan
kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang susunan,

142
hubungan dan genesa batuan yang kemudian dikenal dengan
stratigrafi.
Berdasarkan dari asal katanya, stratigrafi tersusun dari 2 (dua)
suku kata, yaitu kata “strati“ berasal dari kata “stratos“, yang artinya
perlapisan dan kata “grafi” yang berasal dari kata “graphic/graphos”,
yang artinya gambar atau lukisan. Dengan demikian stratigrafi dalam
arti sempit dapat dinyatakan sebagai ilmu pemerian lapisan-lapisan
batuan. Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang aturan, hubungan, dan
pembentukan (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang
dan waktu.
- Aturan: Tatanama stratigrafi diatur dalam “Sandi Stratigrafi”. Sandi
stratigrafi adalah aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik
resmi ataupun tidak resmi, sehingga terdapat keseragaman dalam
nama maupun pengertian nama-nama tersebut seperti misalnya:
Formasi/formasi, Zona/zona, Sistem dan sebagainya.
- Hubungan: Pengertian hubungan dalam stratigrafi adalah bahwa
setiap lapis batuan dengan batuan lainnya, baik diatas ataupun
dibawah lapisan batuan tersebut. Hubungan antara satu lapis
batuan dengan lapisan lainnya adalah “selaras” (conformity) atau
“tidak selaras” (unconformity).
- Pembentukan (Genesa): Mempunyai pengertian bahwa setiap
lapis batuan memiliki genesa pembentukan batuan tersendiri.
Sebagai contoh, facies sedimen marin, facies sedimen fluvial, facies
sedimen delta, dsb.
- Ruang: Mempunyai pengertian tempat, yaitu setiap batuan
terbentuk atau diendapkan pada lingkungan geologi tertentu.
Sebagai contoh, genesa batuan sedimen: Darat (Fluviatil, Gurun,
Glacial), Transisi (Pasang-surut/Tides, Lagoon, Delta), atau Laut
(Marine: Lithoral, Neritik, Bathyal, atau Hadal).
- Waktu: Memiliki pengertian tentang umur pembentukan batuan
tersebut dan biasanya berdasarkan Skala Umur Geologi. Contoh:
Batugamping formasi Rajamandala terbentuk pada kala Miosen

143
Awal; Batupasir kuarsa formasi Bayah terbentuk pada kala Eosen
Akhir
Pengukuran Stratigrafi
Pengukuran stratigrafi merupakan salah satu pekerjaan yang
biasa dilakukan dalam pemetaan geologi lapangan. Adapun pekerjaan
pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang terperinci dari hubungan stratigrafi antar setiap perlapisan batuan
/ satuan batuan, ketebalan setiap satuan stratigrafi, sejarah sedimentasi
secara vertikal dan lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan.
Di lapangan, pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan dengan
menggunakan tali meteran dan kompas pada singkapan-singkapan
yang menerus dalam suatu lintasan. Pengukuran diusahakan tegak
lurus dengan jurus perlapisan batuannya, sehingga koreksi sudut
antara jalur pengukuran dan arah jurus perlapisan tidak begitu besar.
Metode Pengukuran Stratigrafi
Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh
gambaran terperinci urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi,
ketebalan setiap satuan stratigrafi, hubungan stratigrafi, sejarah
sedimentasi dalam arah vertikal, dan lingkungan pengendapan.
Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai arti
penting dalam penelitian geologi. Secara umum tujuan pengukuran
stratigrafi adalah:
- Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan
suatu satuan stratigrafi (formasi), kelompok, anggota dan
sebagainya
- Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.
- Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar
satuan batuan dan uruturutan sedimentasi dalam arah vertikal
secara detil, untuk menafsirkan lingkungan pengendapan.
Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan
singkapan yang menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih
satuan satuan stratigrafi yang resmi. Metoda pengukuran penampang
stratigrafi banyak sekali ragamnya. Namun demikian metoda yang

144
paling umum dan sering dilakukan di lapangan adalah dengan
menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan terhadap
singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang
dapat disusun menjadi suatu penampang stratigrafi.

Gambar 4. 24 Singkapan batuan pada satuan stratigrafi (kiri) dan singkapan singkapan
yang menerus dari satuan stratigrafi (kanan).
Metoda pengukuran stratigrafi dilakukan dalam tahapan
sebagai berikut:
- Menyiapkan peralatan untuk pengukuran stratigrafi, antara lain: pita
ukur (± 25 meter), kompas, tripot (optional), kaca pembesar
(loupe), buku catatan lapangan, tongkat kayu sebagai alat bantu.
- Menentukan jalur lintasan yang akan dilalui dalam pengukuran
stratigrafi, jalur lintasan ditandai dengan huruf B (Bottom) adalah
mewakili bagian Bawah sedangkan huruf T (Top) mewakili bagian
atas.
- Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patok-
patok atau tanda lainnya pada batas-batas satuan litologinya.

145

Gambar 4.25 Sketsa pengukuran penampang stratigrafi
- Pengukuran stratigrafi di lapangan dapat dimulai dari bagian bawah
atau atas. Unsur-unsur yang diukur dalam pengukuran stratigrafi
adalah: arah lintasan (mulai dari sta.1 ke sta.2; sta.2 ke sta.3.
dst.nya), sudut lereng (apabila pengukuran di lintasan yang
berbukit), jarak antar station pengukuran, kedudukan lapisan
batuan, dan pengukuran unsur-unsur geologi lainnya.
- Jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah rubah sepanjang
penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan
pada alas dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan
dipergunakan rata-ratanya
- Membuat catatan hasil pengamatan disepanjang lintasan pengkuran
stratigrafi yang meliputi semua jenis batuan yang dijumpai pada
lintasan tersebut, yaitu: jenis batuan, keadaan perlapisan, ketebalan
setiap lapisan batuan, struktur sedimen (bila ada), dan unsur-unsur
geologi lainnya yang dianggap perlu. Jika ada sisipan, tentukan
jaraknya dari atas satuan.
- Data hasil pengukuran stratigrafi kemudian disajikan diatas kertas
setelah melalui proses perhitungan dan koreksi-koreksi yang
kemudian digambarkan dengan skala tertentu dan data singkapan
yang ada disepanjang lintasan di-plot-kan dengan memakai simbol-
simbol geologi standar.
- Untuk penggambaran dalam bentuk kolom stratigrafi, perlu
dilakukan terlebih dahulu koreksi-koreksi antara lain koreksi sudut
antara arah lintasan dengan jurus kemiringan lapisan, koreksi

146
kemiringan lereng (apabila pengukuran di lintasan yang berbukit),
perhitungan ketebalan setiap lapisan batuan dsb.
Latihan Soal
1. Definisikan dan beri penjelasan jenis batuan di bawah ini:
• Batuan Beku
• Batuan Metamorf
• Batuan Sedimen
2. Apa yang dimaksud dengan stratigrafi?
3. Apa tujuan pengukuran stratigrafi?

147

Struktur Geologi
5.1 Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)
1. Mampu memahami konsep siklus geologi dan definisikan jenis
batuan dan mineral bumi
2. Mampu mendefinisikan bentuk-bentuk muka bumi dan proses
pembentukannya
5.2 Lipatan (Fold)
Ada dua arah penting yang terkait dengan strata miring, yaitu
dip dan strike. Kemiringan sejati memberikan sudut maksimum
kemiringan lapisan batuan dan harus selalu dibedakan dari kemiringan
semu (Gambar. 5.1). Yang terakhir adalah penurunan yang besarnya
lebih kecil yang arahnya dapat berkisar antara penurunan dan serangan
yang sebenarnya. Strike adalah tren strata miring dan berorientasi
tegak lurus terhadap kemiringan sebenarnya, tidak memiliki
kemiringan (Gambar. 5.1).
Lipatan berbentuk seperti gelombang dan ukurannya sangat
bervariasi. Lipatan sederhana dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
antiklin dan sinklin (Gambar 5.2a dan b). Pada model pertama, alasnya
BAB 5

148
cembung ke atas, sedangkan pada model kedua, alasnya cekung ke
atas. Garis puncak antiklin adalah garis yang menghubungkan bagian
lipatan tertinggi, sedangkan garis palung melewati bagian terendah
lipatan sinklin (Gambar. 5.2a). Amplitudo lipatan didefinisikan sebagai
perbedaan vertikal antara puncak dan lembah, sedangkan panjang
lipatan adalah jarak horisontal dari puncak ke puncak atau lembah ke
lembah. Engsel lipatan adalah garis yang mempunyai kelengkungan
terbesar dan dapat berbentuk lurus atau melengkung. Namun, garis
aksial adalah istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan garis
engsel. Tungkai lipatan terjadi di antara engsel, semua lipatan
mempunyai dua tungkai. Bidang aksial suatu lipatan umumnya
dianggap sebagai bidang yang membagi dua lipatan dan melewati garis
engsel.
Sudut antar tungkai, yaitu sudut yang diukur antara dua bidang
proyeksi dari tungkai lipatan, dapat digunakan untuk menilai derajat
penutupan suatu lipatan. Lima derajat penutupan dapat dibedakan
berdasarkan sudut antar tungkai. Lipatan halus adalah lipatan yang
memiliki

Gambar 5.1 Ilustrasi dip dan strike: orientasi bidang bergaris silang dapat dinyatakan
sebagai strike 330o, dip 60o (Bell, 2007)

149
Sudut antar anggota badan lebih besar dari 120
o; pada lipatan
terbuka, sudut antar tungkai antara 120 dan 70
o; dalam lipatan rapat,
suhunya antara 70 dan 30
o; lipatan rapat adalah lipatan yang sudut
antar tungkainya kurang dari 30
o dan, terakhir, pada lipatan isoklinal,
tungkainya sejajar sehingga sudut antar tungkainya nol.
Lipatan memiliki luas yang terbatas dan, ketika lipatan
memudar, posisi garis aksialnya berubah, yaitu menjauhi garis
horisontal. Hal ini disebut dengan lipatan atau kemiringan lipatan
(Gambar. 2.3). Besarnya terjun dapat berubah sepanjang terjadinya
lipatan, dan pembalikan arah terjun dapat terjadi. Garis aksial
kemudian dilambaikan; daerah yang cekung ke atas disebut cekungan
dan daerah yang cembung ke atas disebut kulminasi.
Jenis Lipat
Antiklin dan sinklin dikatakan simetris jika kedua bagiannya
disusun sama rata terhadap bidang aksial sehingga kemiringan pada
sisi yang berlawanan adalah sama, jika tidak maka keduanya asimetris
(Gambar 5.4a dan b). Pada lipatan simetris, sumbunya vertikal,
sedangkan pada lipatan asimetris cenderung miring. Ketika gerakan
melipat semakin intensif, lipatan berlebih terbentuk di mana kedua
tungkai dimiringkan, bersama dengan sumbunya, ke arah yang sama
tetapi pada sudut yang berbeda (Gambar. 5.4a). Pada posisi berbaring
telentang, alas telah terbalik seluruhnya sehingga salah satu tungkai
terbalik, dan tungkai, bersama dengan bidang aksial, menukik dengan
sudut rendah (Gambar. 5.4a).

150

Gambar 5.2 (a) Diagram blok antiklin dan sinklin terbalik yang tidak menukik,
menunjukkan berbagai elemen lipatan. (b) Sinklin dengan antiklin ke kiri, Cape Fold
Belt, dekat George, Afrika Selatan.

Gambar 5.3 (a) Diagram blok lipatan antiklinal yang menggambarkan penurunan. (b)
Antiklin yang menukik terkikis. (c) Sinkronisasi yang terkikis.
Jika lapisan yang horisontal, atau hampir horisontal, tiba-tiba
menukik dengan sudut yang tinggi, maka fitur yang dibentuknya
disebut monoklin (Gambar. 5.4c). Jika ditelusuri sepanjang

151
tumbukannya, monoklin pada akhirnya akan mendatar atau berubah
menjadi sesar normal; memang, sering kali terbentuk akibat patahan di
kedalaman. Lipatan isoklinal adalah lipatan yang kedua tungkai dan
bidang aksialnya sejajar (Gambar. 5.4d). Lipatan kipas adalah lipatan
yang kedua anggota badannya terlipat (Gambar. 5.4e).
Hubungan Strata di Lipatan
Lipatan paralel atau konsentris adalah lipatan yang lapisannya
telah dibengkokkan menjadi kurva yang kurang lebih sejajar dengan
ketebalan masing-masing lapisan tetap sama. Dari Gambar 5.5a, dapat
diamati bahwa, karena ketebalan lapisan tetap sama pada saat dilipat,
bentuk lipatan berubah seiring dengan kedalaman dan bahkan
memudar. Pelipatan paralel terjadi pada lapisan yang kompeten (relatif
kuat) yang mungkin diselingi dengan lapisan yang tidak kompeten
(relatif lemah, plastis).
Lipatan serupa adalah lipatan yang mempertahankan
bentuknya seiring dengan kedalaman. Hal ini dilakukan dengan
mengalirkan material dari dahan ke daerah puncak dan lembah
(Gambar. 5.5b). Lipatan serupa terjadi pada strata yang tidak
kompeten. Namun, lipatan serupa jarang terjadi di alam, karena
sebagian besar mengubah bentuknya sampai tingkat tertentu di
sepanjang bidang aksial. Kebanyakan lipatan menunjukkan
karakteristik lipatan paralel dan lipatan serupa.
Kebanyakan lipatan bersifat disharmonik karena bentuk
masing-masing lipatan dalam struktur tidak seragam, dengan geometri
lipatan bervariasi dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Pelipatan
disharmonik terjadi pada strata kompeten dan tidak kompeten yang
saling bersilangan. Ciri utamanya adalah bahwa cakrawala yang tidak
kompeten menampilkan lipatan-lipatan yang lebih banyak dan lebih
kecil daripada lapisan-lapisan yang lebih kompeten yang
melingkupinya. Hal ini berkembang karena tempat tidur yang
kompeten dan tidak kompeten bereaksi berbeda terhadap stres.

152

Gambar 5. 4 (a) Jenis lipatan. (b) Antiklin asimetris dengan beberapa terbalik di dekat
puncak, terlihat di lubang terbuka, dekat Lethbridge, British Columbia. (c) Lipatan
monoklinal. (d) Lipatan isoklinal. (e) Kipas lipat.

Gambar 5. 5 (a) Lipatan paralel. (b) Lipatan serupa.

153
Lipatan zigzag atau chevron memiliki tungkai lurus atau
hampir lurus dengan engsel melengkung tajam atau bahkan runcing
(Gambar. 5.6). Lipatan-lipatan tersebut mempunyai ciri-ciri yang khas
dari lipatan-lipatan sejajar dan serupa, yaitu lapisan-lapisan pada
tungkai-tungkainya tetap sejajar, lapisan-lapisannya mungkin menipis
tetapi tidak pernah menebal, dan pola lipatannya tetap ada seiring
bertambahnya kedalaman. Terjadi beberapa slip lapisan dan
menimbulkan sedikit distorsi pada daerah engsel. Bidang di mana
lapisan dibengkokkan dengan tajam disebut bidang kekusutan (kink
plane), dan sikapnya mengatur geometri lipatan. Lipatan zigzag secara
khas ditemukan pada batuan dengan lapisan tipis, terutama jika
terdapat pergantian cepat lapisan yang lebih kaku seperti batupasir,
dengan serpih yang saling bersilangan.
Struktur Kecil Terkait dengan Lipat
Pembelahan adalah salah satu struktur paling menonjol yang
terkait dengan pelipatan dan memberikan kemampuan pada batuan
untuk terpecah menjadi lempengan tipis sepanjang bidang asal
sekunder yang paralel atau sedikit sub-paralel. Jarak antar bidang
pembelahan bervariasi sesuai dengan litologi batuan induknya, yaitu
semakin kasar teksturnya, semakin jauh jarak bidang pembelahan
tersebut. Dua jenis pembelahan utama, yaitu pembelahan aliran, dan
pembelahan rekahan, telah dikenal.

154

Gambar 5.6 Lipatan Chevron pada batu kapur berumur Miosen, Kaikuora, Pulau
Selatan, Selandia Baru (Bell, 2007)
Pembelahan aliran terjadi sebagai akibat dari deformasi plastis
di mana terjadi penyesuaian internal yang melibatkan peluncuran,
granulasi, dan reorientasi paralel mineral-mineral bersisik seperti mika
dan klorit, bersama dengan pemanjangan kuarsa dan kalsit. Bidang
pembelahan biasanya hanya berjarak sepersekian milimeter, dan bila
pembelahan berkembang dengan baik, bidang alas asli mungkin telah
hilang sebagian atau seluruhnya. Pembelahan aliran dapat terjadi pada
batuan yang terkubur dalam yang terkena tegangan tekan sederhana,
dalam hal ini bidang pembelahan berorientasi normal terhadap arah
kerja tegangan. Akibatnya, bidang belahan sejajar dengan bidang aksial
lipatan. Banyak penulis menyamakan pembelahan aliran dengan
pembelahan slaty sejati yang secara khas dikembangkan pada batu
tulis (lihat Bab IV).
Pembelahan rekahan adalah suatu pemisahan yang
didefinisikan oleh rekahan paralel yang jaraknya berdekatan dan
biasanya tidak bergantung pada orientasi bidang batas mineral yang
diinginkan yang mungkin ada dalam suatu massa batuan. Hal ini dapat
dianggap sebagai sambungan yang jaraknya berdekatan, jarak antar

155
bidang diukur dalam milimeter atau bahkan sentimeter (Gambar. 5.7).
Tidak seperti pembelahan aliran, tidak ada keselarasan mineral,
pembelahan rekahan disebabkan oleh gaya geser. Oleh karena itu,
tegangan ini mengikuti hukum geser dan berkembang pada sudut kira-
kira 30∞ terhadap sumbu tegangan utama maksimum. Akan tetapi,
pembelahan rekahan seringkali berjalan hampir normal pada bidang
alas dan, dalam kasus seperti ini, diasumsikan bahwa hal ini
berhubungan dengan pasangan geser. Tegangan eksternal
menimbulkan dua potensi patahan geser tetapi karena salah satunya

Gambar 5.7 Belahan fraktur berkembang di Horton Flags, Silurian, dekat Stainforth,
North Yorkshire, Inggris. Kemiringan belahan patahan ditunjukkan dengan palu yang
hampir vertikal. Palu lainnya menunjukkan arah bantalan.
Jika trennya hampir sejajar dengan perlapisan, maka patahan
tidak perlu berkembang ke arah tersebut. Arah geser potensial lainnya
adalah arah terjadinya pembelahan rekahan, dan hal ini terjadi ketika
sudut geser konjugasi melebihi 90∞. Pembelahan fraktur sering
ditemukan pada lapisan strata inkompeten terlipat yang terletak di
antara lapisan kompeten. Misalnya, jika batupasir dan serpih memiliki

156
lipatan yang tinggi, pembelahan rekahan terjadi pada serpih untuk
mengisi ruang yang tersisa di antara lipatan batupasir. Namun,
pembelahan fraktur tidak harus terbatas pada lapisan yang tidak
kompeten. Jika ia berkembang pada batuan yang kompeten, ia
membentuk sudut yang lebih besar dengan bidang alas dibandingkan
pada strata yang tidak kompeten.
Ketika batuan rapuh terdistorsi, tegangan tarik dapat terjadi
sebagai akibat dari peregangan pada puncak lipatan atau dapat terjadi
sebagai akibat dari perluasan lokal yang disebabkan oleh gaya tarik
yang diberikan ketika lapisan-lapisan saling tergelincir. Celah tegangan
akibat pembengkokan batuan kompeten biasanya tampak sebagai
rekahan radial yang terkonsentrasi pada puncak antiklin yang terlipat
tajam. Mereka mewakili kegagalan setelah deformasi plastis. Luka
tegangan yang dibentuk oleh slip diferensial muncul pada bagian
lipatan dan sejajar kira-kira tegak lurus terhadap arah perluasan lokal.
Luka tegang dibedakan dari belahan patahan dan jenis patahan lainnya
berdasarkan fakta bahwa sisi-sisinya cenderung menganga. Akibatnya,
mereka sering kali mengandung badan lentikular dari urat kuarsa atau
kalsit.
Zona geser tektonik terletak sejajar dengan lapisan dan
tampaknya disebabkan oleh perpindahan yang disebabkan oleh lipatan
konsentris. Zona geser seperti ini umumnya terjadi pada lapisan tanah
liat dengan kandungan mineral lempung yang tinggi. Ketebalan zona
geser berkisar hingga sekitar 0,5 m dan dapat meluas hingga ratusan
meter. Setiap zona geser memperlihatkan slip utama yang mencolok
yang membentuk permukaan halus yang bergelombang lembut. Ada
dua gunting perpindahan utama lainnya. Bagian dalam zona geser
didominasi oleh geser perpindahan dan permukaan geser yang terletak
en eselon dengan kemiringan 10 sampai 30
o terhadap bidang ab (a
adalah arah pergerakan, b terletak pada bidang geser dan c tegak lurus
terhadap bidang geser tersebut. pesawat). Hal ini menimbulkan pola
lensa geser yang kompleks, yang permukaannya licin (yaitu dipoles
dan dilurik). Pergerakan relatif antar lensa rumit, dengan banyak

157
variasi lokal. Guntingan dorong, dan kemungkinan pembelahan
patahan, juga telah dicatat di zona geser ini.
5.3 Sesar (Faults)
Sesar adalah rekahan pada lapisan kerak yang menyebabkan
perpindahan batuan (Gambar. 5.8). Besarnya perpindahan dapat
bervariasi dari hanya beberapa puluh milimeter hingga beberapa ratus
kilometer. Pada banyak sesar, patahannya merupakan patahan murni;
di tempat lain, perpindahan tidak terbatas pada rekahan sederhana,
namun terjadi di seluruh zona sesar.
Kemiringan dan tumbukan suatu bidang sesar dapat
digambarkan dengan cara yang sama seperti bidang perlapisan. Sudut
hade adalah sudut antara bidang sesar dan bidang vertikal. Dinding
gantung suatu patahan mengacu pada permukaan batuan bagian atas
yang mengalami perpindahan, sedangkan dinding kaki adalah istilah
yang diberikan untuk permukaan batuan di bawahnya. Pergeseran
vertikal sepanjang bidang sesar disebut lemparan, dan istilah heave
mengacu pada perpindahan horisontal. Jika perpindahan sepanjang
sesar bersifat vertikal, maka istilah downthrow dan upthrow mengacu
pada pergerakan relatif strata pada sisi berlawanan dari bidang
patahan.
Klasifikasi Sesar
Klasifikasi sesar dapat didasarkan pada arah pergerakan
sepanjang bidang sesar, pergerakan relatif dinding gantung dan
dinding kaki, sikap sesar terhadap strata yang terlibat, dan pola sesar.
Jika arah slippage sepanjang bidang sesar digunakan untuk
membedakan sesar, maka ada tiga jenis sesar yang dapat dikenali, yaitu
sesar dip-slip, sesar mendatar, dan sesar miring. Pada sesar dip-slip,
slippage terjadi sepanjang kemiringan sesar, pada sesar strike-slip terjadi
sepanjang strike dan pada sesar oblique-slip pergerakan terjadi secara
diagonal melintasi bidang sesar (Gambar. 5.9). Ketika pergerakan
relatif dinding gantung dan kaki digunakan sebagai dasar klasifikasi,
maka sesar normal, terbalik, dan kunci pas dapat dikenali. Sesar

158
normal ditandai dengan terjadinya hanging wall pada sisi downthrown,
sedangkan foot wall menempati sisi downthrown pada sesar terbalik.
Sesar terbalik melibatkan duplikasi strata secara vertikal, tidak seperti
sesar normal yang perpindahannya menimbulkan wilayah tanah tandus
(Gambar. 5.9).

Gambar 5. 8 Patahan pada strata Grup Batu Kapur, Karbon Bawah, dekat Howick,
Northumberland, Inggris.
Pada patahan kunci inggris, baik kaki maupun dinding gantung
tidak bergerak ke atas atau ke bawah satu sama lain (Gambar. 5.9).
Mengingat sikap sesar terhadap strata yang terlibat, sesar mendatar,
sesar menukik (atau sesar silang), dan sesar miring dapat dikenali.
Sesar mendatar adalah sesar yang arahnya sejajar dengan lapisan yang
dipindahkannya, sesar menukik atau sesar silang adalah sesar yang
mengikuti kemiringan strata, dan sesar miring yang membentuk sudut
dengan tumbukan batuan yang dilintasinya. Klasifikasi berdasarkan

159
pola yang dihasilkan oleh sejumlah sesar tidak memperhitungkan
pengaruhnya terhadap batuan yang terlibat. Sesar paralel, sesar radial,
sesar periferal, dan sesar en eselon merupakan beberapa pola yang
telah dikenali.
Di daerah yang belum mengalami deformasi tektonik yang
intens, sesar terbalik dan sesar normal umumnya miring dengan sudut
melebihi 45
o. Persamaan sudut rendahnya, masing-masing disebut
gaya dorong dan kelambatan, memiliki kemiringan kurang dari angka
tersebut. Sesar melebar terjadi di ujung sesar mendatar, dan sesar
mendatar biasanya disertai dengan banyak sesar paralel yang lebih
kecil. Sesar strike-slip sinistral dan dekstral dapat dibedakan dengan
cara berikut. Jika dilihat melintasi bidang sesar, jika perpindahan pada
sisi terjauhnya ke kiri maka disebut sinistral, sedangkan jika
perpindahannya ke kanan maka sesarnya disebut dekstral.

Gambar 5.9 Jenis-jenis gangguan: (a) gangguan normal, (b) gangguan balik, (c)
gangguan kunci pas atau slip-slip, (d) gangguan oblique-slip. FW = dinding kaki; HW =
dinding gantung; AB = melempar; BC = angkat; f = sudut hade. Panah menunjukkan
arah perpindahan relatif.

160
Sesar normal berkisar dalam perluasan linier hingga, kadang-
kadang, panjangnya beberapa ratus kilometer. Umumnya, sesar yang
lebih panjang tidak membentuk rekahan tunggal secara keseluruhan,
melainkan terdiri dari serangkaian zona sesar. Total slip pada patahan
tersebut bisa mencapai lebih dari seribu meter. Sesar normal biasanya
berbentuk cukup lurus, namun kadang-kadang bisa berliku-liku atau
tidak beraturan dengan perubahan tumbukan yang tiba-tiba. Ketika
serangkaian sesar normal berjalan sejajar satu sama lain dan semua
kebawahnya berada pada sisi yang sama, maka area yang terlibat
digambarkan sebagai sesar bertingkat (Gambar. 5.10). Struktur horst
dan rift (graben) juga diilustrasikan pada Gambar 5.10.


Gambar 5.10 Diagram blok yang mengilustrasikan langkah struktur sesar, serta struktur
horst dan graben
Overthrust adalah patahan dorong yang mempunyai kemiringan 10∞
atau kurang, dan slip bersihnya berukuran beberapa kilometer.
Overthrust bisa dilipat atau bahkan dibalik. Akibatnya, ketika batuan
tersebut terkikis, sisa-sisa batuan dorong dorong mungkin akan
tertinggal sebagai sisa-sisa yang dikelilingi oleh batuan yang berada di
bawah gaya dorong. Area sisa ini disebut klippe, dan area yang
memisahkannya dari overthrust induknya disebut sebagai fenster atau
jendela. Daerah yang terjadi sebelum terjadinya overthrust disebut
dengan foreland.

161
Kriteria Pengakuan Sesar
Berakhirnya suatu kelompok strata terhadap strata yang lain
secara tiba-tiba mungkin disebabkan oleh adanya sesar, namun
perubahan mendadak juga terjadi pada ketidakselarasan dan kontak
intrusif. Meskipun demikian, biasanya tidak ada kesulitan besar untuk
membedakan ketiga hubungan ini. Pengulangan strata dapat
disebabkan oleh patahan, yaitu lapisan terulang dalam urutan yang
sama dan menukik ke arah yang sama, sedangkan bila diulangi dengan
melipat, lapisan terulang dalam urutan terbalik dan mungkin memiliki
kemiringan yang berbeda (Gambar. 5.11a). Penghilangan strata
menunjukkan bahwa sesar telah terjadi, meskipun hal tersebut dapat
terjadi lagi sebagai akibat dari ketidakselarasan (Gambar 5.11b).
Banyak fitur yang berhubungan dengan Sesar dan, akibatnya,
ketika ditemukan, menunjukkan adanya sesar. Sambungan geser dan
tarik sering dikaitkan dengan patahan besar. Sambungan geser dan
tarik yang terbentuk disepanjang patahan sering disebut sebagai
sambungan bulu karena bentuknya yang seperti duri. Sambungan bulu
dapat dibagi lagi menjadi sambungan geser menyirip dan sambungan
tegangan menyirip. Jika bidang geser menyirip berjarak dekat dan
melibatkan beberapa perpindahan, maka terjadi pembelahan rekahan.

Gambar 5.11 (a) Pengulangan lapisan pada permukaan (sesar sejajar dengan tumbukan
dan hading terhadap kemiringan). (b) Penghilangan lapisan pada permukaan (sesar
sejajar dengan tumbukan dan hading dengan kemiringan).
Slickensides adalah permukaan lurik yang dipoles yang terjadi
pada bidang patahan dan disebabkan oleh efek gesekan yang

162
ditimbulkan oleh pergerakannya. Hanya sedikit gerakan yang
diperlukan untuk membentuk sisi licin, dan keberadaannya telah
terlihat di sepanjang sambungan geser. Lurik menggambarkan arah
gerakan secara umum. Goresan yang sangat rendah, kadang-kadang
tingginya kurang dari satu milimeter, terjadi tegak lurus terhadap lurik
dan mewakili akumulasi kecil material yang terbentuk sebagai akibat
dari efek hambatan yang ditimbulkan oleh pergerakan balok yang
berlawanan. Permukaan lereng yang dangkal menunjukkan arah
pergerakan balok. Kadang-kadang, dua atau lebih rangkaian
slickenside, yang biasanya berpotongan pada sudut lancip, dapat
diamati, yang menunjukkan gerakan berurutan dalam arah yang sedikit
berbeda atau penyimpangan gerakan secara tiba-tiba selama satu
perpindahan.
Geser intraformasional, yaitu zona geser yang sejajar dengan
lapisan, berhubungan dengan patahan. Mereka sering terjadi pada
tanah liat, batulumpur dan serpih pada kontak dengan batupasir. Zona
geser tersebut cenderung hilang bila ditelusuri menjauhi sesar yang
bersangkutan dan mungkin terbentuk akibat pelenturan strata yang
berdekatan dengan sesar. Zona geser dapat terdiri dari bidang geser
tunggal yang dipoles atau licin, sedangkan zona geser yang lebih
kompleks dapat mempunyai ketebalan hingga 300 mm. Zona geser
intraformasi tidak terbatas pada batuan berlempung, misalnya terjadi
pada kapur. Kehadirannya berarti bahwa kekuatan batuan di
sepanjang zona geser telah berkurang hingga nilai residunya.
Saat suatu patahan didekati, strata yang terlibat sering kali
memperlihatkan kelenturan yang menunjukkan bahwa lapisan tersebut
telah terseret ke dalam bidang patahan karena hambatan gesekan yang
ditimbulkan di sepanjang patahan tersebut. Memang benar, pada
beberapa patahan dip-slip yang besar, lapisannya mungkin miring
secara vertikal. Efek serupa terlihat pada patahan gneis dan sekis di
mana garis garis yang sudah ada sebelumnya berubah menjadi zona
patahan dan menghasilkan garis garis sekunder.
Jika pergerakan di sepanjang patahan sangat parah, batuan
yang terlibat mungkin telah hancur, terpotong, atau hancur. Jika

163
serpih atau lempung telah mengalami patahan, zona patahan tersebut
mungkin ditempati oleh pemahatan lempung. Breksi sesar, yang terdiri
dari kumpulan fragmen bersudut yang campur aduk dan mengandung
sejumlah besar rongga, terjadi ketika batuan yang lebih kompeten
mengalami patahan. Breksi penghancur dan konglomerat penghancur
terbentuk ketika batuan terpotong oleh pola rekahan yang teratur.
Pergerakan dengan intensitas yang lebih besar bertanggung jawab atas
terjadinya mylonite di sepanjang zona patahan (lihat Bab 1). Tahap
akhir dalam intensitas gerakan dicapai dengan pembentukan
pseudotachylite. Ini terlihat seperti kaca.
Meskipun suatu sesar mungkin tidak dapat teramati,
dampaknya dapat tercermin dalam topografinya (Gambar. 5.12).
Misalnya, jika balok dimiringkan karena patahan, maka akan terbentuk
serangkaian lereng curam. Jika ada batu di keduanya sisi sesar
mempunyai kekuatan yang berbeda, maka lereng curam dapat
terbentuk di sepanjang sesar akibat erosi diferensial. Segi segitiga
terjadi di sepanjang lereng sesar yang berhubungan dengan wilayah
dataran tinggi. Mereka melambangkan sisa-sisa yang ditinggalkan
setelah sungai-sungai yang berarus deras membelah lembah-lembah
yang dalam hingga ke jurang patahan. Sungai-sungai yang berukir
dalam seperti itu menyimpan kerucut aluvial di atas lereng sesar. Garis
merah merupakan indikasi patahan aktif dan ditemukan di dekat kaki
pegunungan, yang sejajar dengan dasar pegunungan.

164

Gambar 5. 12 (a) Goresan sesar terbentuk sepanjang sesar normal. (b) Sesar terbalik
menghasilkan lereng curam yang kurang jelas. (c) Sesar mendatar telah menghasilkan
zona himpitan yang dimanfaatkan oleh sungai. Drainase yang dulunya melintasi patahan
kini telah diimbangi
Di sisi lain, lereng alami dapat diimbangi oleh sesar silang.
Demikian pula, profil aliran sungai mungkin terganggu oleh sesar atau,
pada wilayah yang baru saja mengalami pengangkatan, alirannya
mungkin relatif lurus karena adanya sesar yang mengikutinya. Mata air
sering terjadi di sepanjang patahan. Sebuah danau dapat terbentuk jika
suatu patahan memotong aliran sungai dan blok yang terguling miring

165
ke hulu. Sesar mungkin bertanggung jawab atas terbentuknya air
terjun di jalur aliran sungai. Sag pool dapat terbentuk jika sisi bawah
mengendap dalam jumlah yang berbeda sepanjang terjadinya patahan.
Namun, harus ditekankan bahwa ciri-ciri fisiografis yang disebutkan di
atas dapat berkembang tanpa bantuan patahan dan, akibatnya, ciri-ciri
tersebut tidak memberikan indikasi yang pasti mengenai perpindahan
stratal tersebut.
Sesar memberikan jalan keluar dan oleh karena itu sering
dikaitkan dengan mineralisasi, silisifikasi, dan fenomena batuan beku.
Misalnya, tanggul sering kali dibuat di sepanjang patahan.
Latihan Soal:
1. Apa yang maksud dengan struktur geologi?
2. Apa yang dimaksud dengan Lipatan dan Sesar/patahan? Berikan
penjelasan!
3. Jelaskan perbedaan antara sesar Naik dan sesar Mendatar? Berikan
penjelasan!

167

DAFTAR PUSTAKA
Anon. (1979). Classification of rocks and soils for engineering
geological mapping part I: Rock and soil materials. Bulletin of
the International Association of Engineering Geology - Bulletin de
l’Association Internationale de Géologie de l’Ingénieur, 19, 364–371.
https://api.semanticscholar.org/CorpusID:189847781
Anon, A. (1981). Code of Practice on Site Investigations. BS.
Bell, F. G. (2007). Engineering geology. Elsevier.
Boswell, P. G. H. (1961). Muddy sediments. Heffer, Cambridge.
Budianto, E., Utary, C., Hairulla, H., & Pamuttu, D. L. (2022).
Experimental Study of Silty Soil Using Gypsum and Cement
on California Bearing Ratio (CBR). MATEC Web of Conferences,
372, 2009.
Casagrande, A., Fadum, R. E., Stratton, J. H., Belcher, D. J., et al
(2002). Classification and identification of soils. 361–451.
Das, B. M., Atalar, C., & Shin, E. C. (2010). Developments in elastic
settlement estimation procedures for shallow foundations on
granular soil. XXV Reunión Nacional de Mecánica de Suelos e
Ingeniería Geotécnica, 3, 851.
Duchaufour, P. (1982). Pedology, Pedogenesis and Classification
English Edtn. Trans. TR Paton. George.
Folk, R. L., Roberts, H. H., & Moore, C. H. (1973). Black phytokarst
from Hell, Cayman Islands, British West Indies. Geological
Society of America Bulletin, 84(7), 2351–2360.
Fookes, P. G. (1994). A review: genesis and classification of tropical
residual soils for engineers. Geotechnics in the African Environment,

168
2.
Gidigasu, S. S. R., Gawu, S. K. Y., & Owusu-Nimo, F. (2022). The
extent of deterioration of a mechanically stabilised lateritic
base course after design life and its implications for
rehabilitation: a case study of Kumasi City Roads, Ghana.
Geotechnical and Geological Engineering, 40(8), 4301–4311.
Grim, R. E. (1959). Physico-chemical properties of soils: Clay
minerals. Journal of the Soil Mechanics and Foundations Division,
85(2), 1–17.
Lambe, T. W. (1953). The structure of inorganic soil. Proceedings of the
American Society of Civil Engineers, 79(10), 1–49.
Lupinl, J. F., Skinner, A. E., & Vaughan, P. R. (2009). The drained
residual strength of cohesive soils. In Selected papers on
geotechnical engineering by PR Vaughan (pp. 88–120). Thomas
Telford Publishing.
Mitchell, J. K., & Soga, K. (2005). Fundamentals of soil behavior (Vol. 3).
John Wiley & Sons New York.
Pearring, J. R. (1968). A study of basic mineralogical, physical-chemical, and
engineering index properties of laterite soils. Texas A&M University.
Penman, A. D. M. (1953). Shear characteristics of a saturated silt,
measured in triaxial compression. Geotechnique, 3(8), 312–328.
Raychaudhuri, S. P. (1980). The occurrence, distribution, classification
and management of laterite and lateritic soils. Cahiers
ORSTOM, Pedologie, 18(3–4), 249–252.
Schultze, E., & Horn, A. (1965). The shear strength of silt. Proc. Sixth
International Conference on Soil Mechanics and Foundation Engineering.
Ugbe, F. C. (2011). Basic engineering geological properties of lateritic
soils from Western Niger Delta. Research Journal of Environmental
and Earth Sciences, 3(5), 571–577.
Vaughan, P. R. (1990). Characterising the mechanical properties of in-
situ residual soil. International Conference on Geomechanics in
Tropical Soils. 2, 469–487.

169

Wagner, A. A. (1957). The use of the unified soil classification system
by the bureau of reclamation. Proc. 4th International Conference on
Soil Mechanics and Foundation Engineering, I, 125.
Weinert, H. H. (1974). A climatic index of weathering and its
application in road construction. Geotechnique, 24(4), 475–488.

170