ijma dan qiyas.pptx ijma dan qiyas.pptx ijma dan qiyas.pptx

ijma dan qiyas.pptx

1. مَصَادِرُ التَّشْرِيعِ الإِسْلَامِيِّ Sources of Islamic Law اجماع والقياس Consensus (Ijma’) and Analogical Reasoning (Qiyas)

2. وَأَمَّا الإِجْمَاعُ فَهُوَ اتِّفَاقُ عُلَمَاءِ العَصْرِ عَلَى حُكْمٍ الحَادِثَةِ. وَنَعْنِي بِالعُلَمَاءِ: الفُقَهَاءَ، وَنَعْنِي بِالحَادِثَةِ: الحَادِثَةَ الشَّرْعِيَّةَ Adapun ijma’ adalah kesepakatan para ulama pada suatu masa mengenai hukum suatu peristiwa . Yang dimaksud dengan ulama adalah para fuqaha ( ahli fikih ), dan yang dimaksud dengan peristiwa adalah peristiwa syar‘i ( perkara hukum syariat ). As for Ijma’ , it is the consensus of the scholars of a given era regarding the ruling of a particular case. By scholars we mean the jurists (fuqaha), and by case we mean a legal ( shar‘i ) issue.

3. الإِجْمَاعُ لُغَةً: العَزْمُ . وَاصْطِلَاحًا: اتِّفَاقُ أَهْلِ الحَلِّ وَالعَقْدِ عَلَى حُكْمٍ مُعَيَّنٍ فِي زَمَنٍ مُعَيَّنٍ فِي مَسْأَلَةٍ مُعَيَّنَةٍ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ ﷺ . Ijma’ secara bahasa berarti tekad atau ketetapan hati . Menurut istilah , ijma’ adalah kesepakatan para ahli hukum dan pemegang otoritas ( ahl al-halli wa al-‘ aqd ) atas suatu hukum tertentu pada masa tertentu dalam suatu masalah tertentu setelah wafatnya Nabi ﷺ. Linguistically , Ijma’ means determination or firm resolve. Terminologically , Ijma’ is the consensus of the scholars and leaders of authority (ahl al-halli wa al-‘ aqd ) on a specific ruling in a particular time regarding a particular matter after the death of the Prophet ﷺ.

4. مثال: أجمع الصحابة ومن بعدهم على أنّ هذا المصحف الذي جمعه أبو بكر الصديق رَضِيَ اللهُ عَنْهُ والذي رسم على الرسم العثماني هو المنزل على رسول الله ﷺ . Contoh : Para sahabat dan generasi setelah mereka telah sepakat bahwa mushaf yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ash- Shiddiq ra , yang kemudian ditulis dengan rasm ‘ Utsmani , adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ. Example: The Companions and those after them unanimously agreed that the Mushaf compiled by Abu Bakr al-Siddiq (may Allah be pleased with him), which was written according to the ‘Uthmani script, is the Qur’an revealed to the Messenger of Allah ﷺ.

5. دَلِيلُ حُجِّيَّةِ الإِجْمَاعِ: مَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ» (أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَه) Dalil kehujjahan ijma’ : Diriwayatkan oleh at- Tirmidzi bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “ Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan .” (HR. at- Tirmidzi dan Ibnu Majah). Proof of the authority of ijma’: It is narrated by al- Tirmidhi that the Messenger of Allah ﷺ said: “My ummah will never agree upon misguidance.” (Narrated by al- Tirmidhi and Ibn Majah).

6. أَرْكَانُ الإِجْمَاعِ: (١) الحَادِثَةُ الشَّرْعِيَّةُ كَجَمْعِ القُرْآنِ فِي مُصْحَفٍ وَاحِدٍ. (٢) إِجْمَاعُ أَهْلِ الحَلِّ وَالعَقْدِ كَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُم المُجْتَهِدِينَ. (٣) الحُكْمُ الشَّرْعِيُّ: وُجُوبُ جَمْعِ القُرْآنِ فِي مُصْحَفٍ وَاحِدٍ. Rukun ijma’ ada tiga : الحادثة الشرعية ( Peristiwa syar‘i ): Yaitu adanya suatu persoalan atau kejadian yang membutuhkan penetapan hukum . ➝ Contoh : pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar ash- Shiddiq ra. إجماع أهل الحل والعقد ( Kesepakatan ahlul halli wal ‘ aqd ): Yaitu adanya kesepakatan dari para ulama mujtahid atau tokoh yang memiliki otoritas keilmuan dan kepemimpinan di tengah umat . ➝ Contoh : ijma’ para sahabat radhiyallahu ‘ anhum yang sepakat mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak tercecer . الحكم الشرعي (Hukum syar‘i ): Yaitu hasil hukum yang disepakati dari ijma’ tersebut . ➝ Contoh : hukum wajib mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf .

7. Lanjutan … The pillars of ijma’ are three: Al- hadithah al- shar‘iyyah (A legal/religious incident): There must be a shar‘i case or issue that requires a ruling. ➝ Example: the compilation of the Qur’an into a single mushaf during the era of Abu Bakr al-Siddiq (RA). Ijma‘ ahl al-hall wa al-‘ aqd (Consensus of the people of authority): The agreement must come from the scholars or leaders with authority and ijtihad ability. ➝ Example: the consensus of the Companions (may Allah be pleased with them) who agreed upon compiling the Qur’an. Al- hukm al- shar‘i (The legal ruling): The shar‘i ruling that results from the consensus. ➝ Example: the obligation of compiling the Qur’an into one mushaf .

8. أَنْوَاعُ الإِجْمَاعِ: ١- الإِجْمَاعُ القَوْلِيُّ:كاأَنْ يَقُولُوا بجواز شَيْئ . ٢- الإِجْمَاعُ الفِعْلِيُّ: عِبَارَةٌ عَنْ اتِّفَاقِ أَهْلِ الاِجْتِهَادِ جَمِيعِهِمْ عَلَى فِعْلِ شَيْءٍ أَوْ تَرْكِ فِعْلِ شَيْءٍ، مِثْلُ تَعَامُلِهِمْ بِالمُسَاقَاةِ. حُكْمُهُ يُفِيدُ الجَوَازَ وَلَا يُفِيدُ الوُجُوبَ إِلَّا بِقَرِينَةٍ تَدُلُّ عَلَيْهِ. ٣- الإِجْمَاعُ السُّكُوتِيُّ: اتِّفَاقُ غَالِبِيَّةِ العُلَمَاءِ عَلَى حُكْمٍ، وَعَدَمُ اِعْتِرَاضِ البَاقِينَ، فَيُعْتَبَرُ سُكُوتُهُمْ إِجْمَاعًا Macam- macam Ijma’: Ijma’ Qaulī ( Perkataan ) : seperti ketika mereka mengatakan bolehnya suatu hal ." Ijma’ Fi‘lī ( Perbuatan ): Yaitu kesepakatan seluruh mujtahid untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya . ➝ Contoh : praktik mereka dalam akad musāqāh ( bagi hasil kebun ). Hukumnya menunjukkan kebolehan , dan tidak menunjukkan kewajiban kecuali ada dalil lain yang menguatkan . Ijma’ Sukūtī (Diam): Yaitu kesepakatan mayoritas ulama atas suatu hukum , dan tidak adanya keberatan dari ulama lainnya . Diam mereka dianggap sebagai bentuk ijma’.

9. lanjutan Types of Ijma‘ (Consensus): Verbal Consensus (Ijma‘ Qawlī ): When all mujtahids agree by word on a certain matter. Practical Consensus (Ijma‘ Fi‘lī ): When all mujtahids agree on doing an act or abandoning it. ➝ Example: their collective practice of musāqāh (sharecropping contracts). Its ruling indicates permissibility, and it does not imply obligation unless supported by additional evidence. Silent Consensus (Ijma‘ Sukūtī ): When the majority of scholars agree on a ruling and the others remain silent without objection; their silence is regarded as consensus.

10. شُرُوطُ الإِجْمَاعِ السُّكُوتِيِّ: ١- أَنْ يَكُونَ السُّكُوتُ مُجَرَّدًا عَنْ عَلامَاتِ الرِّضَا أَوِ السُّخْطِ. ٢- أَنْ تَبْلُغَ المَسْأَلَةُ مَبْلَغَهَا جَمِيعَ المُجْتَهِدِينَ. ٣- أَنْ يَمْضِيَ زَمَنٌ يَكْفِي لِلنَّظَرِ وَالعَمَلِ فِي تِلْكَ المَسَائِلِ. Syarat-syarat Ijma’ Sukūtī : Diamnya tidak disertai tanda kerelaan atau penolakan . Masalah tersebut diketahui oleh seluruh mujtahid. Telah berlalu waktu yang cukup untuk meneliti dan mengkaji masalah itu . Conditions of Silent Consensus: The silence must be free from signs of approval or disapproval. The matter must reach all mujtahids of the time. A sufficient amount of time must pass for examination and consideration of the issue.

11. ٤ - العِلْمُ بِأَنَّ الحُكْمَ قَدْ بَلَغَ جَمِيعَ مُجْتَهِدِي العَصْرِ، وَأَنَّهُمْ لَمْ يُنْكِرُوا ذٰلِكَ الحُكْمَ . ٥ - أَنْ تَكُونَ المَسْأَلَةُ اجْتِهَادِيَّةً تَكْلِيفِيَّةً . ٦ - أَنْ يَكُونَ السُّكُوتُ قَبْلَ اسْتِقْرَاءِ المَذَاهِبِ . Mengetahui bahwa hukum tersebut telah sampai kepada seluruh mujtahid pada masanya , dan mereka tidak mengingkari hukum itu . Masalah yang diperselisihkan harus berupa masalah ijtihadiyah yang bersifat taklifi ( berhubungan dengan kewajiban syariat ). Diamnya (para mujtahid) harus terjadi sebelum dilakukan penelusuran menyeluruh terhadap mazhab-mazhab . ============================= Knowing that the ruling has reached all the mujtahids of that era, and that none of them objected to it. he disputed matter must be an ijtihādī issue that is taklīfī in nature (related to legal obligations in Islamic law). The silence (of the mujtahids) must occur before a thorough investigation of the madhhabs is conducted.

12. Tabel Perbedaan Macam-Macam Ijma Jenis Ijma’ Pengertian Contoh Hukum yang Ditunjukkan Ijma’ Qawli (Perkataan) Semua mujtahid mengucapkan pendapat yang sama dalam satu masalah . Para mujtahid sepakat dengan ucapan bahwa shalat lima waktu hukumnya wajib. Menunjukkan kepastian hukum (qath‘i), lebih kuat daripada yang lain. Ijma’ Fi‘li (Perbuatan) Semua mujtahid melakukan perbuatan yang sama atau meninggalkan perbuatan tertentu . Para mujtahid pada masa sahabat bertransaksi dengan sistem tertentu , dan semuanya melakukannya . Menunjukkan kebolehan (jawaaz), kecuali ada dalil penguat yang mewajibkan. Ijma’ Sukuti (Diam) Mayoritas mujtahid menyatakan hukum, sementara mujtahid lain tidak menolak dan tetap diam. Sebagian ulama menyampaikan hukum , lalu tersebar dan diketahui oleh lainnya , tetapi tidak ada yang menentang . Diam dianggap tanda persetujuan , namun kekuatannya lebih lemah dibanding ijma’ qawli .

13. وَالإِجْمَاعُ السُّكُوتِيُّ حُجَّةٌ عِنْدَ الحَنَفِيَّةِ وَالحَنَابِلَةِ، وَلَا يُعَدُّ حُجَّةً عِنْدَ المَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ . Silent consensus (Ijma‘ Sukūtī ) is considered authoritative (a valid proof) according to the Hanafis and Hanbalis , but it is not regarded as authoritative by the Malikis and Shafi‘is .

14. القياس في اللغة: التسوية والتقدير أما في الإصطلاح : رَد الْفَرْعِ إِلَى الْأَصْلِ فِي الْحُكْمِ بِعِلَّةٍ تَجْمَعُهُمَا . أي القياس عبارة عن أصل، وفرع، وعلة تجمعهما، وحكم الأصل، ونتيجة وهي حكم للفرع . تعريف آخر: إلحاق فرع بأصل في حكمه المعلوم لعلة تجمعهما . Qiyās dalam bahasa : penyamaan dan penaksiran . Dalam istilah : mengembalikan ( menyandarkan ) cabang kepada asal karena adanya illat ( alasan hukum ) yang sama pada keduanya dalam hukum . Jadi, qiyās terdiri dari : asal , cabang , illat yang menyatukan keduanya , hukum asal , dan hasil / konsekuensi yaitu hukum bagi cabang . Definisi lain: menyamakan cabang dengan asal dalam hukumnya yang sudah diketahui karena adanya illat yang sama .

15. Linguistic meaning of Qiyās : equality and estimation. Technical definition: extending the ruling of the original case ( aṣl ) to a new case (far‘) due to a common effective cause (‘ illah ) that unites them in the ruling. Thus, Qiyās consists of: the original case ( aṣl ) , the new case (far‘) , the effective cause (‘ illah ) that links them, the ruling of the original , and the conclusion which is the ruling of the new case. Another definition: attaching a new case to an original one in its known ruling due to a common effective cause (‘ illah ).

16. أَرْكَانُ الْقِيَاسِ إِجْمَالًا: الْأَصْلُ: هُوَ الْحَادِثَةُ الْقَدِيمَةُ الْمَعْرُوفُ حُكْمُهَا. مِثْلُ: الْخَمْرِ. الْفَرْعُ: هُوَ الْحَادِثَةُ الْجَدِيدَةُ الَّتِي نُرِيدُ الْكَشْفَ عَنْ حُكْمِهَا. مِثْلُ: الْمُخَدِّرَاتِ. الْعِلَّةُ هِيَ: الشَّيْءُ الْمُشْتَرَكُ بَيْنَ الْأَصْلِ وَالْفَرْعِ. مِثْلُ: الْإِسْكَارِ فِي الْخَمْرِ وَالْمُخَدِّرَاتِ. حُكْمُ الْأَصْلِ: مِثْلُ: تَحْرِيمِ الْخَمْرِ. هَذِهِ هِيَ أَرْكَانُ الْقِيَاسِ. أَمَّا حُكْمُ الْفَرْعِ وَهُوَ النَّتِيجَةُ حُرْمَةُ الْمُخَدِّرَاتِ فَلَيْسَتْ مِنَ الْأَرْكَانِ. The essential pillars of Qiyās : Aṣl (original case): the previous incident whose ruling is already known. Example: wine. Far‘ (new case): the new incident we want to find out its ruling. Example: drugs. ‘Illah (effective cause): the shared reason between the original and the new case. Example: intoxication in both wine and drugs. Ruling of the aṣl : e.g., the prohibition of wine. These are the pillars of Qiyās . As for the ruling of the far‘ (the result), such as the prohibition of drugs, it is not one of the pillars.

17. دليل حجيته قال الله تعالى: ﴿فَاعْتَبِرُوا يَأُولِي الْأَبْصَارِ ﴾ (سورة الحشر: (٢). فالاعتبار هنا يكون بقياس الحاضر على الماضي. والحديث: أن امرأة جاءت إلى النبي ، فقالت: إن أ م ي نذرت أن تحج فماتت قبل أن تحج، أفأحج عنها؟ قال: ((نعم، حجي عنها، أرأيت لو كان على أمك دين، أكنت قاضيته))؟ قالت: نعم. قال: فاقضوا الذي له، فإن الله أحق بالوفاء)). (أخرجه البخاري). Allah Almighty says: "So take warning (draw analogy), O people of vision." (Qur’an, al- Hashr : 2). The meaning of “take warning” here is to make analogy between the present and the past. And the hadith: A woman came to the Prophet ﷺ and said: “My mother vowed to perform Hajj, but she died before fulfilling it. Should I perform Hajj on her behalf?” The Prophet ﷺ replied: “Yes, perform Hajj on her behalf. Tell me, if your mother had a debt, would you pay it off?” She answered: “Yes.” He said: “Then fulfill the debt owed to Allah, for indeed Allah is more deserving of fulfillment.” (Reported by al- Bukhārī ).

18. أقسام القياس: قياس العلة: ما كانت العلة فيه موجبة للحكم. أي قد تكون العلة في الفرع أقوى من الأصل، ويسمى أيضاً، القياس الأولوي . مثال: حكم الأصل حرمة قول (أف) للوالدين، وعلة التحريم أن قول (أف) أقل نوع من أنواع الأذى، وإيذاء الوالدين حرام شرعا. وفي الفرع حرمة ضرب الوالدين. وإيذاء في الضرب علة أقوى من قول (أف) فيكون محرما. قياس الدلالة: هو الاستدلال بأحد النظيرين على الآخر، وهو أن تكون العلة دالة على الحكم، ولا تكون موجبة للحكم أي قد تكون العلة متساوية في الفرع مع الأصل، ويسمى القياس المساوي. مثال: الله تعالى نَصَّ على حرمة أكل مال اليتيم. والعلة فيه الإهلاك. وبالقياس نحكم بحرمة إحراق مال اليتيم لاشتراكهما في العلة وهي ضياع المال في كل. قياس الشبه: هو الفرع المتردّد بين الأصلين، فيلحق بأكثرهما شبها. أي قد تكون علة الفرع أضعف من علة الأصل، ويسمى القياس الأدنوي . مثال: العلة في العبد فإن له جهة أنه إنسان وله جهة الثمنية حيث يباع ويشترى بالمال. وإذا قيست البقرة مع العبد فإنها تشبهه في الثمنية ، فهي تباع وتشترى. إذن، دية العبد ثمنه قياسًا على البهيمة لأن العبد كالبهيمة يباع ويشترى. ولكن العبد يشترك مع الحر في الإنسانية، إذن علة  الثمنية  ضعيفة.

19. Qiyas al-‘Illah (Qiyas Sebab ) : yaitu qiyas yang ‘ illah-nya ( alasan hukumnya ) secara pasti mewajibkan adanya hukum . Bahkan terkadang ‘ illah pada cabang lebih kuat daripada pada asal , dan ini disebut juga qiyas aulawi . Contoh : Hukum asal adalah haramnya berkata “ah” kepada kedua orang tua . Illat pengharamannya adalah karena kata “ah” merupakan bentuk gangguan yang paling ringan , sedangkan menyakiti orang tua adalah haram secara syar’i . Pada cabang , memukul orang tua lebih berat gangguannya daripada sekadar berkata “ah”, maka hukumnya lebih haram. Qiyas al- Dalālah (Qiyas Petunjuk ) : yaitu membandingkan salah satu dari dua hal yang sejenis dengan yang lain. Di sini illat hanya menunjukkan hukum tetapi tidak sampai mewajibkan hukum . Artinya illat pada cabang sama kuat dengan illat pada asal . Disebut juga qiyas musāwi (qiyas setara ). Contoh : Allah Ta‘ala menegaskan keharaman memakan harta anak yatim . Illatnya adalah kerusakan ( menghancurkan harta ). Maka dengan qiyas, kita juga menghukumi haram membakar harta anak yatim karena keduanya memiliki illat yang sama , yaitu hilangnya harta . Qiyas al-Shabah (Qiyas Kemiripan ) : yaitu apabila cabang berada dalam keraguan antara dua asal , maka ia disamakan dengan asal yang lebih mirip dengannya . Artinya , illat pada cabang lebih lemah dibandingkan illat pada asal . Disebut juga qiyas adnāwī (qiyas yang lebih rendah ). Contoh : Pada budak , ia memiliki dua sisi : sisi kemanusiaan karena ia adalah manusia , dan sisi “ harga ” karena ia bisa diperjualbelikan . Bila dibandingkan dengan sapi , budak mirip dengan sapi dalam sisi harga ( sama-sama bisa diperjualbelikan ). Maka diyat ( tebusan ) budak adalah sesuai harga dirinya , sebagaimana hewan . Namun karena budak juga berbagi sisi kemanusiaan dengan orang merdeka , maka illat “ harga ” ini dianggap lemah .

20. Qiyās al-‘Illah (Analogy of the Cause) : This is when the effective cause (‘ illah ) necessitates the ruling. Sometimes the cause in the branch (far‘) is even stronger than in the original case ( aṣl ). It is also called qiyās al- awlawī (analogy of priority). Example : The ruling in the original case is the prohibition of saying “ uff ” to one’s parents. The cause (‘ illah ) is that “ uff ” represents the least form of harm, and harming parents is prohibited by the Sharī‘ah . In the branch case, hitting one’s parents involves a greater harm than saying “ uff ,” so it is more strictly prohibited. Qiyās al- Dalālah (Analogy of Indication) : This refers to drawing a ruling for one case based on another, where the cause only indicates the ruling but does not necessarily necessitate it. In this type, the cause in the branch is equal to that in the original case. It is also called qiyās al- musāwī (equal analogy). Example : Allah the Exalted explicitly prohibited consuming the property of an orphan. The cause is destruction (loss of property). By analogy, burning the property of an orphan is also prohibited, since both share the same cause: loss of wealth. Qiyās al-Shabah (Analogy of Resemblance) : This is when the branch oscillates between two possible originals and is attached to the one it resembles more. In this type, the cause in the branch is weaker than that in the original. It is also called qiyās al- adnawī (inferior analogy). Example : A slave has two aspects: one as a human being, and another as a commodity that can be bought and sold. Compared to a cow, a slave resembles it in terms of being a commodity (both are tradable). Thus, the compensation ( diyah ) for a slave is his price, by analogy with livestock. However, since a slave also shares humanity with a free person, the cause of “being a commodity” is considered weak.

21. أركان القياس الفرع: هو الحادثة الشرعية الجديدة التي نبحث عن حكم لها. ومن شروطه: أن تكون العلة فيه مشاركة لعلة الأصل. مثل: العلة بين المخدرات والخمر الإسكار. أن يكون الحكم في الفرع مماثلا لحكم الأصل. ألا يكون حكم الفرع متقدما على حكم الأصل. الأصل: هو حادثة قديمة نعلم حكمها الشرعي. ومن شروطه: أن يكون ثابتا في نفسه. أن يكون الحكم ثابتا بغير القياس، كأن يكون ثابتا بنص من كتاب أو سنة، أو ثابتا بالإجماع، ذلك يوحب وجود قياسين. أن يكون حكم الأصل معللاً بعلة معينة. فإن كان غير معلل، أو كان معللاً بعلة مبهمة، لم يصح القياس. أن لا يكون حكم الأصل متأخرا عن حكم الفرع.

22. أركان القياس العلة : هو الرابط الذي يجمع بينهما أو القاسم المشترك. ومن شروطه: أن تطرد في معلولات العلة : من حيث كلما وجدت الأوصاف، وجد الحكم. ألا تنتقض العلة لفظا ولا معنى: بأن يوجد الأوصاف، لا يوجد حكم معها. فمتى انقضت العلة لفظا أو معنى، فسد القياس. الحكم ويشترط في الحكم: أن يكون ثابتا في الأصل. أن يكون ثبوته بطريق شرعي، كالكتاب والسنة، لا بطريق عقلي. أن يكون حكم الفرع مساويا لحكم الأصل.

23. Rukun qiyas Far‘ ( cabang ): yaitu peristiwa syar‘i yang baru , yang kita cari hukumnya . Syarat-syaratnya : a. Hendaknya ‘ illah pada far‘ sama dengan ‘ illah pada asal . Contoh : ‘ illah antara narkoba dan khamr adalah memabukkan . b. Hukum pada far‘ harus sama dengan hukum asal . c. Hukum far‘ tidak boleh mendahului hukum asal . Asal: yaitu peristiwa lama yang telah diketahui hukumnya . Syarat-syaratnya : a. Hukumnya harus tetap ( sudah pasti ). b. Hukumnya tetap bukan dengan qiyas, melainkan dengan dalil nash dari Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma‘. c. Hukum asal harus memiliki ‘ illah tertentu . Jika tidak ada ‘ illah atau ‘ illahnya samar , maka qiyas tidak sah . d. Hukum asal tidak boleh datang setelah hukum far‘. ‘Illah ( alasan hukum ): yaitu penghubung atau faktor persamaan antara asal dan far‘. Syarat-syaratnya : a. ‘Illah harus berlaku secara konsisten , setiap kali sifatnya ada maka hukum ada . b. ‘Illah tidak boleh batal , baik secara lafazh maupun makna . Jika sifat ada tetapi hukum tidak ada , maka qiyas batal . Hukum: syarat-syaratnya : a. Hukum harus tetap pada asal . b. Hukum asal harus ditetapkan dengan dalil syar‘i (Al-Qur’an, Sunnah), bukan akal semata . c. Hukum far‘ harus sama dengan hukum asal .

24. Far‘ (the new case): It is the new legal incident for which we seek a ruling. Its conditions: a. The ‘ illah (effective cause) in the far‘ must be the same as in the asl (original case). Example: the ‘ illah between drugs and wine is intoxication. b. The ruling in the far‘ must be similar to the ruling in the asl. c. The ruling of the far‘ must not precede the ruling of the asl. Asl (the original case): It is the earlier case whose ruling is already known. Its conditions: a. Its ruling must be established. b. The ruling must be established not by qiyas but by a text (Qur’an, Sunnah) or ijma‘. c. The ruling of the asl must be based on a specific ‘ illah . If it has no ‘ illah or an ambiguous one, the qiyas is invalid. d. The ruling of the asl must not be later than the ruling of the far‘. ‘Illah (effective cause): The common factor that links the asl and the far‘. Its conditions: a. It must consistently apply: whenever the attribute exists, the ruling exists. b. It must not be contradicted, whether verbally or in meaning. If the attribute exists but the ruling does not, the qiyas is invalid. Hukm (ruling): Its conditions: a. It must be established in the asl. b. Its establishment must be by a shar‘i proof (Qur’an or Sunnah), not by pure reason. c. The ruling of the far‘ must be equal to the ruling of the asl.

25. فائدة: لا يصح قياس واجب على مندوب. فائدة: كل مسألة قديمة فيها خلاف لا يجوز أن نقيس عليها . القاعدة: الأحكام تدور مع العلل وجودًا وعدما، فإذا وجدت العلة وجد الحكم، وإذا رفعت العلة رفع الحكم. مثال: فلولا أن المخدرات تسكير لكانت مباحة، ولكن علة الإسكار الموجودة في الخمر موجودة في المخدرات فجلبت حكم الخمر إلى المخدرات وهو الحرمة. فائدة: طرق إثبات العلة: أي مسالك العلة: الإجماع. النص القرآن أو السنة. فائدة: قدم المصنف الإجماع على النص كابن الحاجب ، لتقدمه عليه عند التعارض في الأصح. وعكس البيضاوي الله لأن النص أصل للإجماع. الإيماء والتنبيه: وهو أن يكون التعليل لازما من مدلول اللفظ. السبر والتقسيم: وهو حصر الأوصاف في الأصل، وإبطال ما لا يصلح. المناسبة: وهو تعيين العلة بإبداء مناسبة مع الاقتران والسلامة عن القوادح .

26. Faidah: Tidak sah melakukan qiyas antara sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang sunnah. Faidah: Setiap masalah lama yang masih terdapat perbedaan pendapat , tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Kaidah : Hukum itu berputar bersama ‘ illah , ada atau tidak adanya . Jika ‘ illah ada maka hukum ada , dan jika ‘ illah hilang maka hukum pun hilang . Contoh : seandainya narkoba tidak memabukkan , tentu hukumnya mubah . Akan tetapi karena ‘ illah memabukkan yang ada pada khamr juga ada pada narkoba , maka hukum khamr berlaku pada narkoba , yaitu haram. Faidah: Cara- cara penetapan ‘ illah ( jalan-jalan ‘ illah ): Ijma‘. Nash Al-Qur’an atau Sunnah. Faidah tambahan : Sebagian ulama seperti Ibn al-Hajib mendahulukan ijma‘ atas nash ketika terjadi pertentangan ( menurut pendapat yang lebih kuat ). Sebaliknya , al- Baydawi mendahulukan nash karena nash merupakan dasar bagi ijma‘. Isyarat dan penegasan الإيماء والتنبيه) ) : yaitu ketika alasan hukum ( ta‘lil ) dipahami secara pasti dari makna lafazh . Penyelidikan dan pembagian السبر والتقسيم) ): yaitu membatasi sifat-sifat dalam asal , lalu menolak yang tidak relevan . Kesesuaian المناسبة) ): yaitu menetapkan ‘ illah dengan menunjukkan adanya kesesuaian yang sahih, serta bebas dari hal-hal yang merusak .

27. Benefit: It is not valid to make qiyas (analogy) by comparing an obligation ( wājib ) with a recommendation ( mandūb ). Benefit: Any old issue that has already been subject to scholarly disagreement cannot be used as a basis for qiyas. Principle: Legal rulings revolve around their effective causes (‘ illah ), in existence and non-existence. If the ‘ illah is present, the ruling is present. If the ‘ illah is absent, the ruling is absent. Example: If narcotics did not intoxicate, they would be permissible. But since the cause of intoxication found in wine is also present in narcotics, the ruling of wine applies to narcotics, namely prohibition. Benefit: The methods of establishing the ‘ illah (paths of the effective cause): Ijma‘ (consensus). Texts from the Qur’an or the Sunnah. Additional Note: Some scholars, like Ibn al-Hajib, prioritized ijma‘ over text in cases of conflict, according to the stronger view. In contrast, al- Baydawi prioritized the text, because it is the foundation of ijma‘. Indication and hint (al- imā ’ wa al- tanbīh ): when the reasoning is necessarily implied by the wording. Examination and division (al- sabr wa al- taqsīm ): restricting the possible attributes in the original case, and invalidating those that do not apply. Suitability (al- munāsabah ): designating the ‘ illah by showing its proper relevance, while being free from flaws.

28. SELESAI THANK YOU