MANAJEMEN_PELAYANAN_PUBLIK_Efisiensi_dan.pdf

suryadinatuna 8 views 175 slides Oct 25, 2025
Slide 1
Slide 1 of 175
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90
Slide 91
91
Slide 92
92
Slide 93
93
Slide 94
94
Slide 95
95
Slide 96
96
Slide 97
97
Slide 98
98
Slide 99
99
Slide 100
100
Slide 101
101
Slide 102
102
Slide 103
103
Slide 104
104
Slide 105
105
Slide 106
106
Slide 107
107
Slide 108
108
Slide 109
109
Slide 110
110
Slide 111
111
Slide 112
112
Slide 113
113
Slide 114
114
Slide 115
115
Slide 116
116
Slide 117
117
Slide 118
118
Slide 119
119
Slide 120
120
Slide 121
121
Slide 122
122
Slide 123
123
Slide 124
124
Slide 125
125
Slide 126
126
Slide 127
127
Slide 128
128
Slide 129
129
Slide 130
130
Slide 131
131
Slide 132
132
Slide 133
133
Slide 134
134
Slide 135
135
Slide 136
136
Slide 137
137
Slide 138
138
Slide 139
139
Slide 140
140
Slide 141
141
Slide 142
142
Slide 143
143
Slide 144
144
Slide 145
145
Slide 146
146
Slide 147
147
Slide 148
148
Slide 149
149
Slide 150
150
Slide 151
151
Slide 152
152
Slide 153
153
Slide 154
154
Slide 155
155
Slide 156
156
Slide 157
157
Slide 158
158
Slide 159
159
Slide 160
160
Slide 161
161
Slide 162
162
Slide 163
163
Slide 164
164
Slide 165
165
Slide 166
166
Slide 167
167
Slide 168
168
Slide 169
169
Slide 170
170
Slide 171
171
Slide 172
172
Slide 173
173
Slide 174
174
Slide 175
175

About This Presentation

tes


Slide Content

MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
E�siensi dan Responsivitas Birokrasi
Ditulis oleh:
Dr. Nur Ilmiah Rivai, S.IP., M.Si.
Jemi Pabisangan Tahris, S.E., M.S.i.
Bukhari Muslim, S.E., M.M.,M.Si.
Zakiyudin Fikri, S.I.P., M.I.P.
Diterbitkan, dicetak, dan didistribusikan oleh
PT. Literasi Nusantara Abadi Grup
Perumahan Puncak Joyo Agung Residence Kav. B11 Merjosari
Kecamatan Lowokwaru Kota Malang 65144
Telp : +6285887254603, +6285841411519
Email: [email protected]
Web: www.penerbitlitnus.co.id
Anggota IKAPI No. 209/JTI/2018
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip
atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku
dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Cetakan I, Juli 2023
Perancang sampul: Hasanuddin
Penata letak: Hasanuddin
ISBN : 978-623-8328-56-7
vi + 168 hlm. ; 15,5x23 cm.
©Juli 2023

iii
KATA PENGANTAR
Selamat datang di buku “Manajemen Pelayanan Publik (E�siensi dan
Responsibilitas Birokrasi)”. Buku ini menyajikan panduan komprehensif bagi
para pembaca yang tertarik untuk memahami dan mengimplementasikan
konsep dan tata kelola pelayanan publik yang efektif dalam memperkuat
dan membangun birokrasi yang sesuai dengan visi misi.
Dalam buku ini, kami akan menjelajahi pengertian dan konsep e�siensi
birokrasi, tantangan dan hambatan pada proses birokrasi, termasuk
faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan kinerja birokrasi, serta
elemen-elemen yang terdapat pada birokrasi, inovasi dan stabilitas pada
birokrasi perlu sekiranya untuk siap menghadapi segala perubahan. Buku
ini juga akan membahas metode-metode apa saja yang dapat digunakan
dalam melakukan pengukuran serta evaluasi responsibilitas birokrasi.
Kami berharap buku ini dapat memberikan wawasan yang berharga
dan praktis bagi para pembaca dalam memahami dan menerapkan strategi
dalam manajemen pelayanan public yang efektif. Kami yakin bahwa
dengan adanya strategi dalam melaksanakan manajemen pelayanan publik
yang kuat, birkorasi akan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan menstabilkan tata kelola sistem pemerintahan.
Selamat membaca dan semoga buku ini menjadi sumber inspirasi
dan panduan yang bermanfaat bagi Anda dalam mengelola pelayanan
publik yang sukses!
[Penulis]
Salam, Medan 16 Juni 2023

iv

v
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .............................................................................................iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................................v
BAB I
PENGERTIAN DAN KONSEP EFISIENSI BIROKRASI ...............................1
A. De�nisi E�siensi dalam Konteks Birokrasi ...........................................1
B. Indikator dan Metode Pengukuran E�siensi ........................................7
C. Metode Pengukuran E�siensi Birokrasi .............................................14
BAB II
TANTANGAN DAN HAMBATAN TERHADAP EFISIENSI
BIROKRASI ............................................................................................................25
A. Faktor Internal dan Eksternal Yang Mempengaruhi E�siensi
Birokrasi ...................................................................................................25
B. Birokrasi Yang Lamban dan Rumit ......................................................34
C. Ketidakjelasan Tujuan Organisasi dan Tumpang Tindihnya
Tanggung Jawab Antara Unit Atau Departemen ................................38
D. Permasalahan Budaya Organisasi Dalam Mencapai E�siensi .........39
BAB III
STRATEGI PENINGKATAN EFISIENSI BIROKRASI ................................51
A. Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan E�siensi ..........................51
B. Penggunaan Teknologi Informasi dalam Proses Birokrasi ...............61
C. Meningkatkan E�siensi Melalui Pelatihan dan Pengembangan
Pegawai .....................................................................................................70

vi
BAB IV
RESPONSIVITAS BIROKRASI TERHADAP KEBUTUHAN
MASYARAKAT ......................................................................................................81
A. Pentingnya Responsivitas Birokrasi dalam Memberikan
Pelayanan Publik .....................................................................................81
B. Membangun Koneksi Yang Kuat Antara Birokrasi dan
Masyarakat ...............................................................................................84
C. Pentingnya Mendorong Inovasi dan Kolaborasi dalam
Membangun Koneksi Kuat Antara Birokrasi dan Masyarakat .........87
D. Kolaborasi dan Kemitraan ....................................................................89
E. Pelayanan Publik Yang Responsif ........................................................91
F. Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pengambilan
Keputusan ................................................................................................92
G. Strategi Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Proses
Pengambilan Keputusan ........................................................................95
BAB V
INOVASI DALAM MENINGKATKAN RESPONSIVITAS
BIROKRASI ............................................................................................................101
A. Memanfaatkan Teknologi untuk Meningkatkan Responsivitas
Birokrasi ................................................................................................101
B. Penggunaan Mekanisme Umpan Balik (Feedback) dari
Masyarakat ............................................................................................107
C. Mendorong Budaya Inovasi dalam Birokrasi .................................. 112
D. Mendorong Inovasi Melalui Pendekatan Eksperimental ...............114
BAB VI
EVALUASI DAN PENGUKURAN RESPONSIVITAS BIROKRASI ......121
A. Metode Evaluasi Responsivitas Birokrasi .........................................121
B. Metode Evaluasi Responsivitas Birokrasi .........................................122
C. Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan
Birokrasi ................................................................................................123
D. Membangun Sistem Umpan Balik untuk Perbaikan
Berkelanjutan .......................................................................................134
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................143
INDEKS ..................................................................................................................165
BIOGRAFI PENULIS .........................................................................................167

1
BAB I
PENGERTIAN DAN KONSEP EFISIENSI BIROKRASI
A. DEFINISI EFISIENSI DALAM KONTEKS BIROKRASI
Birokrasi adalah sistem administrasi pemerintahan yang kompleks
yang bertujuan untuk menyelenggarakan tugas-tugas administratif
negara secara efektif dan e�sien. E�siensi adalah salah satu konsep yang
penting dalam konteks birokrasi, karena berkaitan dengan penggunaan
sumber daya yang terbatas secara optimal untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dalam konteks birokrasi, e�siensi dapat diukur dalam
berbagai aspek, termasuk alokasi sumber daya, proses pengambilan
keputusan, dan penyediaan layanan publik
Secara umum, e�siensi dalam konteks birokrasi dapat dide�nisikan
sebagai kemampuan sistem birokrasi untuk mencapai tujuan-tujuan
yang ditetapkan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara
optimal. Dalam kata lain, e�siensi mengacu pada tingkat kinerja yang
optimal dalam menjalankan tugas-tugas administratif dan pengambilan
keputusan dalam birokrasi. Konsep ini berkaitan erat dengan konsep
efektivitas, yang mengukur sejauh mana tujuan-tujuan yang ditetapkan
telah dicapai. Namun, e�siensi lebih berfokus pada penggunaan sumber
daya yang terbatas dengan cara yang optimal.
1. Teori Weberian
Ada beberapa teori yang menjelaskan konsep e�siensi dalam konteks
birokrasi. Salah satu teori yang terkenal adalah “Model Weberian”. Max
Weber, seorang sosiolog Jerman, mengembangkan konsep birokrasi
modern yang berfokus pada rasionalitas dan e�siensi. Menurut
Weber, birokrasi yang e�sien harus memiliki prinsip-prinsip seperti
pembagian kerja yang jelas, hierarki otoritas, aturan yang jelas, dan
seleksi berdasarkan kuali�kasi. Weber juga menekankan pentingnya

2MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
peraturan dan prosedur yang terstruktur untuk mencapai e�siensi
dalam birokrasi.
Weber mengidenti�kasi sejumlah ciri-ciri yang membuat
birokrasi e�sien dalam mencapai tujuan organisasi. Pertama,
birokrasi harus memiliki struktur hierarkis yang jelas dan terorganisir
dengan baik. Setiap anggota birokrasi memiliki tanggung jawab
dan tugas yang terde�nisi dengan jelas, dan setiap tingkat hierarki
memiliki wewenang dan kewenangan yang sesuai. Kedua, birokrasi
harus beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip impersonalitas. Ini
berarti bahwa keputusan dan tindakan harus didasarkan pada aturan
dan peraturan yang obyektif, bukan pada preferensi pribadi atau
diskriminasi. Impersonalitas membantu mencegah penyalahgunaan
kekuasaan dan memastikan bahwa keputusan didasarkan pada
pertimbangan yang adil dan objektif. Selanjutnya, birokrasi harus
berfungsi dengan tingkat standar formalitas yang tinggi. Hal ini
mencakup penggunaan prosedur dan dokumentasi yang tertulis
secara jelas untuk menjalankan tugas-tugas administratif. Standar
formalitas membantu menghindari kesalahan, memperjelas tanggung
jawab, dan menciptakan prediktabilitas dalam operasi birokrasi.
Selain itu, birokrasi yang e�sien harus mempekerjakan personel
yang berkualitas dan berkompeten. Rekrutmen, promosi, dan
penugasan harus didasarkan pada meritokrasi, yaitu penilaian
berdasarkan prestasi dan kemampuan. Hal ini memastikan bahwa
personel yang bekerja dalam birokrasi memiliki keahlian dan
pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas
mereka secara e�sien. Selanjutnya, birokrasi harus beroperasi dengan
independensi relatif terhadap pengaruh politik atau tekanan eksternal.
Keputusan administratif harus didasarkan pada pertimbangan yang
obyektif dan rasional, bukan pada kepentingan politik atau tekanan
dari luar. Independensi ini membantu menjaga e�siensi dan integritas
birokrasi.
Salah satu contoh aplikasi teori Weberian tentang e�siensi
dalam konteks birokrasi adalah sistem administrasi publik di negara-
negara Skandinavia, seperti Swedia dan Norwegia. Negara-negara
ini dikenal dengan birokrasi yang e�sien dan transparan. Mereka
memiliki struktur birokrasi yang hierarkis, impersonalitas yang kuat,
dan standar formalitas yang tinggi. Rekrutmen personel didasarkan

3BAB I
pada meritokrasi dan independensi birokrasi dari tekanan politik
ditegakkan. Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional besar
juga sering menggunakan prinsip-prinsip Weberian dalam organisasi
internal mereka untuk mencapai e�siensi. Mereka menerapkan
struktur hierarkis yang jelas, aturan dan prosedur yang obyektif,
serta seleksi personel yang berdasarkan kemampuan dan prestasi.
Pendekatan ini membantu perusahaan untuk mencapai tujuan
mereka secara efektif dalam lingkungan bisnis yang kompleks dan
kompetitif.
2. Teori Principal-Agent
Teori yang menjelaskan konsep e�siensi dalam konteks birokrasi
selanjutnya yaitu principal-agent. Teori ini menggambarkan hubungan
antara dua pihak, yaitu agen (pegawai) dan prinsipal (pemberi
kuasa) dalam suatu hubungan kerja. Dalam konteks birokrasi, teori
ini menjelaskan bagaimana hubungan antara birokrat sebagai agen
dengan pemerintah atau lembaga yang menjadi prinsipal. Teori
ini memiliki relevansi yang kuat dalam pemahaman dan analisis
birokrasi, karena birokrasi sering kali melibatkan hubungan yang
kompleks antara birokrat dengan pemerintah atau lembaga yang
mengawasinya. Dalam konteks ini, birokrat berperan sebagai agen
yang bertindak atas nama prinsipal, yaitu pemerintah atau lembaga
yang memberikan kuasa kepada birokrat untuk menjalankan tugas-
tugas tertentu.
Teori principal-agent menjelaskan adanya masalah keagenan yang
mungkin muncul dalam hubungan antara birokrat dan prinsipalnya.
Masalah ini timbul karena adanya perbedaan kepentingan dan
informasi asimetris antara agen dan prinsipal. Birokrat sebagai
agen memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai tugas-tugas
yang harus dilaksanakan, sedangkan prinsipal sering kali memiliki
keterbatasan informasi tersebut. Informasi asimetris ini dapat
mengarah pada perilaku agen yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
kepentingan prinsipal. Birokrat mungkin memiliki insentif untuk
memperoleh manfaat pribadi atau memprioritaskan tujuan-tujuan
individu atau kelompok tertentu. Hal ini dapat mengarah pada
penyimpangan dari tujuan umum yang harus dicapai oleh birokrasi,
seperti e�siensi dan pelayanan publik yang baik.

4MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Teori principal-agent juga menyediakan kerangka kerja untuk
menganalisis berbagai mekanisme pengawasan dan insentif yang
dapat digunakan untuk mengatasi masalah keagenan dalam birokrasi.
Beberapa mekanisme pengawasan yang umum digunakan antara
lain pemantauan, penghargaan, dan sanksi. Pemantauan yang efektif
dapat membantu mengurangi perilaku agen yang tidak sesuai dengan
kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat menggunakan pengawasan
langsung, seperti pengawasan harian atau laporan berkala, untuk
memastikan bahwa birokrat melaksanakan tugas dengan baik dan
sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan. Penghargaan dan sanksi
juga dapat menjadi instrumen penting dalam mengendalikan
perilaku agen. Prinsipal dapat memberikan penghargaan, seperti
bonus atau promosi, kepada birokrat yang berhasil mencapai
target yang ditetapkan. Di sisi lain, sanksi, seperti penurunan gaji
atau pemecatan, dapat diberlakukan jika agen tidak memenuhi
harapan atau melakukan tindakan yang merugikan prinsipal. Dalam
konteks birokrasi, penerapan teori Principal-Agent memerlukan
pengembangan sistem pengawasan yang efektif dan sistem insentif
yang tepat. Namun, perlu diingat bahwa tidak ada satu pendekatan
yang sempurna untuk mengatasi semua masalah keagenan dalam
birokrasi. Setiap lembaga atau pemerintah perlu melakukan analisis
situasional yang cermat dan mengembangkan mekanisme yang
sesuai dengan konteks dan tantangan yang dihadapi.
3. Teori Kontigensi
Teori yang menjelaskan konsep e�siensi dalam konteks birokrasi
selanjutnya Teori Kontingensi. Teori Kontingensi adalah pendekatan
yang menekankan pentingnya memahami konteks dan kondisi-
kondisi tertentu dalam mengembangkan struktur organisasi yang
efektif. Dalam konteks birokrasi, teori kontingensi memandang bahwa
tidak ada satu pendekatan atau struktur organisasi yang tepat untuk
semua situasi. Sebaliknya, faktor-faktor seperti lingkungan eksternal,
tugas organisasi, dan karakteristik individu harus dipertimbangkan
untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Dalam teori kontingensi, birokrasi dilihat sebagai satu dari
beberapa jenis struktur organisasi yang mungkin cocok dalam
situasi tertentu. Birokrasi ditandai oleh aturan dan prosedur yang
jelas, hierarki yang terde�nisi dengan baik, dan pemisahan tugas

5BAB I
dan tanggung jawab. Namun, efektivitas birokrasi dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor kontingensi. Pertama Lingkungan Eksternal,
Birokrasi cenderung berfungsi baik dalam lingkungan yang stabil
dan terstruktur, di mana tuntutan dan persyaratan eksternal mudah
diprediksi. Di lingkungan semacam itu, aturan dan prosedur
birokrasi dapat membantu mencapai e�siensi dan konsistensi.
Namun, jika lingkungan berubah secara dinamis, birokrasi mungkin
menjadi lamban dan sulit beradaptasi. Kedua Tugas Organisasi, Sifat
tugas yang dihadapi oleh organisasi juga mempengaruhi efektivitas
birokrasi. Tugas yang rutin dan jelas memungkinkan birokrasi
untuk beroperasi dengan baik, sementara tugas yang kompleks atau
inovatif mungkin memerlukan �eksibilitas dan koordinasi yang lebih
besar daripada yang ditawarkan oleh birokrasi. Ketiga Karakteristik
Individu, kemampuan, motivasi, dan komitmen individu dalam
organisasi juga menjadi faktor kontingensi yang relevan. Jika anggota
organisasi memiliki tingkat keterampilan dan motivasi yang tinggi,
birokrasi dapat bekerja dengan baik. Namun, jika individu merasa
terkekang oleh aturan dan prosedur birokrasi, ini dapat menghambat
kreativitas dan inovasi.
Dalam konteks teori kontingensi, ada beberapa pendekatan
alternatif yang dapat digunakan selain birokrasi. Misalnya, dalam
lingkungan yang berubah dengan cepat, organisasi mungkin perlu
mengadopsi pendekatan organik atau �eksibel yang memungkinkan
penyesuaian yang cepat dan responsif. Di sisi lain, dalam tugas yang
rutin dan terstruktur, pendekatan yang lebih formal dan terstruktur
seperti birokrasi mungkin menjadi lebih efektif. Penting untuk diingat
bahwa teori kontingensi bukanlah model yang bersifat normatif.
Tidak ada satu struktur organisasi yang lebih baik daripada yang lain
dalam semua situasi. Teori ini menekankan bahwa pemilihan struktur
organisasi harus disesuaikan dengan faktor-faktor kontingensi
yang ada. Dalam menjalankan birokrasi, manajer dan pemimpin
organisasi harus mampu mengidenti�kasi faktor kontingensi yang
mempengaruhi efektivitas birokrasi mereka. Hal ini membutuhkan
pemahaman yang mendalam tentang lingkungan eksternal, tugas
organisasi, dan karakteristik individu yang relevan. Dengan
mempertimbangkan faktor-faktor ini, organisasi dapat mengadopsi

6MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
pendekatan yang paling sesuai dan memastikan keterkaitan yang
tepat antara struktur organisasi dan konteksnya.
4. Teori Sistem
Teori yang menjelaskan konsep e�siensi dalam konteks birokrasi
selanjutnya adalah Teori sistem dimana pendekatan yang digunakan
untuk memahami hubungan kompleks antara elemen-elemen yang
saling terkait dalam suatu sistem. Dalam konteks birokrasi, teori
sistem dapat digunakan untuk menganalisis struktur organisasi
dan proses kerja yang terlibat dalam administrasi publik. Teori
sistem membantu dalam memahami bagaimana elemen-elemen
seperti tugas, fungsi, prosedur, komunikasi, dan interaksi manusia
mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Birokrasi
adalah bentuk organisasi yang memiliki aturan dan prosedur yang
ditetapkan secara formal. Teori sistem dalam konteks birokrasi
menganggap organisasi sebagai sistem terbuka yang berinteraksi
dengan lingkungannya. Organisasi birokratik terdiri dari subsistem
yang saling terkait, seperti departemen, unit kerja, dan individu.
Setiap subsistem memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri,
tetapi juga terlibat dalam hubungan timbal balik dengan subsistem
lainnya.
Salah satu konsep penting dalam teori sistem adalah “masukan”
(input), “proses” (process), dan “keluaran” (output). Dalam konteks
birokrasi, masukan mencakup sumber daya manusia, keuangan,
dan materi yang masuk ke dalam organisasi. Proses melibatkan
pengolahan masukan melalui aturan dan prosedur yang ditetapkan
untuk menghasilkan keluaran yang diinginkan. Keluaran ini dapat
berupa kebijakan publik, layanan masyarakat, atau produk lainnya.
Selain itu, teori sistem juga menekankan pentingnya umpan balik
(feedback) dalam meningkatkan kinerja organisasi. Umpan balik
adalah informasi yang diberikan oleh lingkungan atau subsistem
lainnya tentang hasil dari proses organisasi. Organisasi birokratik
harus mampu mengumpulkan, menganalisis, dan merespons umpan
balik ini untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kegiatan mereka.
Misalnya, umpan balik dari masyarakat tentang kebijakan publik
dapat membantu birokrasi untuk menyesuaikan dan memperbaiki
kebijakan yang ada.

7BAB I
Teori sistem juga mencakup konsep perubahan (change) dalam
organisasi. Birokrasi yang efektif harus mampu beradaptasi dengan
perubahan lingkungan yang terjadi. Organisasi birokratik yang kaku
dan tidak responsif terhadap perubahan dapat mengalami masalah
dalam mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, teori sistem
memberikan panduan bagi birokrasi dalam mengelola perubahan
dengan mempertimbangkan efeknya pada elemen-elemen sistem
yang lain. Beberapa contoh penerapan teori sistem dalam konteks
birokrasi adalah penggunaan pendekatan manajemen kinerja
berbasis sistem untuk mengukur dan meningkatkan kinerja individu
dan unit kerja, implementasi sistem informasi yang terintegrasi untuk
meningkatkan e�siensi operasional, dan penerapan pengelolaan
risiko yang sistematis untuk mengidenti�kasi dan mengatasi risiko-
risiko yang mungkin timbul dalam proses kerja.
B. INDIKATOR DAN METODE PENGUKURAN EFISIENSI
Indikator e�siensi adalah ukuran numerik yang digunakan untuk
membandingkan input dan output suatu proses atau sistem. Berikut
adalah beberapa indikator e�siensi yang umum digunakan:
1. Rasio Biaya-Manfaat
Rasio Biaya-Manfaat adalah bahwa birokrasi harus dapat
menghasilkan manfaat yang melebihi biaya yang dikeluarkan. Dalam
konteks ini, manfaat merujuk pada hasil yang diinginkan atau tujuan
yang ingin dicapai, sedangkan biaya mencakup berbagai jenis biaya
yang terkait dengan pencapaian tujuan tersebut. Rasio Biaya-Manfaat
dihitung dengan membagi manfaat yang diperoleh oleh birokrasi
dengan total biaya yang dikeluarkan. Jika rasio ini lebih besar dari 1,
itu menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh melebihi biaya yang
dikeluarkan, yang mengindikasikan tingkat e�siensi yang tinggi.
Sebaliknya, jika rasio ini kurang dari 1, itu menunjukkan bahwa biaya
melebihi manfaat yang diperoleh, yang menandakan rendahnya
e�siensi.
Pendekatan ilmiah dalam mengukur rasio manfaat biaya ada
beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam mengukur
rasio manfaat biaya dalam konteks e�siensi birokrasi. Beberapa
pendekatan yang sering digunakan. Pertama analisis kualitatif,
pendekatan ini melibatkan penilaian kualitatif tentang manfaat
dan biaya yang terkait dengan pencapaian tujuan. Para ahli atau

8MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
peneliti mengumpulkan data dan informasi yang relevan melalui
wawancara, survei, atau studi kasus untuk mengidenti�kasi manfaat
dan biaya yang relevan. Analisis ini kemudian digunakan untuk
memperoleh pemahaman tentang rasio manfaat biaya. Kedua
analisis kuantitatif, pendekatan ini melibatkan penggunaan data
kuantitatif untuk mengukur manfaat dan biaya secara langsung. Data
statistik dikumpulkan dan dianalisis untuk menghitung nilai-nilai
yang berkaitan dengan manfaat dan biaya, seperti pendapatan yang
dihasilkan atau e�siensi penggunaan sumber daya. Metode seperti
analisis regresi atau analisis cost-e�ectiveness dapat digunakan untuk
menghasilkan rasio manfaat biaya. Ketiga pendekatan campuran,
pendekatan ini menggabungkan elemen-elemen analisis kualitatif
dan kuantitatif. Data kualitatif digunakan untuk memahami konteks
dan faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat dan biaya, sementara
data kuantitatif digunakan untuk mengukur dan menghitung rasio
manfaat biaya.
Implementasi dan interpretasi rasio manfaat biaya untuk
mengukur e�siensi birokrasi, langkah-langkah yang dapat diikuti.
Pertama identi�kasi manfaat, tentukan tujuan atau hasil yang
diinginkan dari kegiatan birokrasi yang akan diukur. Misalnya,
jika tujuannya adalah meningkatkan kualitas layanan publik,
manfaat dapat diukur dengan mengukur kepuasan pengguna atau
peningkatan produktivitas. Kedua identi�kasi biaya, identi�kasi dan
menghitung biaya yang terkait dengan mencapai tujuan tersebut.
Biaya dapat mencakup biaya operasional, biaya investasi, atau biaya
lainnya yang relevan. Ketiga pengumpulan data, kumpulkan data
yang diperlukan untuk menghitung manfaat dan biaya. Data ini
dapat berupa data kualitatif (misalnya, hasil wawancara atau survei)
atau data kuantitatif (misalnya, data keuangan atau data operasional).
Keempat perhitungan rasio, hitung rasio manfaat biaya dengan
membagi manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.
Perhatikan bahwa manfaat dan biaya harus diukur dalam satuan
yang sama untuk memastikan perbandingan yang konsisten.
Terahir interpretasi, interpretasikan hasil rasio manfaat biaya untuk
menilai e�siensi birokrasi. Jika rasio tersebut lebih besar dari 1, itu
menunjukkan tingkat e�siensi yang tinggi, sementara jika rasio
tersebut kurang dari 1, itu menunjukkan rendahnya e�siensi.

9BAB I
2. Tingkat Pelayanan Publik
Tingkat layanan publik adalah indikator yang mengukur kualitas dan
efektivitas layanan yang diberikan oleh birokrasi kepada masyarakat.
Indikator ini mencerminkan kemampuan birokrasi untuk merespons
kebutuhan dan harapan masyarakat dengan cara yang e�sien dan
efektif. Tingkat Layanan Publik dapat diukur melalui beberapa
dimensi, termasuk kecepatan layanan, responsif terhadap keluhan
masyarakat, kualitas pelayanan, dan tingkat kepuasan masyarakat
terhadap layanan yang diberikan. Kecepatan layanan merupakan
dimensi penting dalam mengukur tingkat layanan publik. Semakin
cepat birokrasi merespons permintaan dan kebutuhan masyarakat,
semakin e�sien layanan publik yang diberikan. Responsivitas
birokrasi terhadap keluhan masyarakat juga merupakan faktor
penting dalam mengukur tingkat layanan. Birokrasi yang tanggap
terhadap keluhan dan masukan masyarakat dapat secara aktif
memperbaiki dan meningkatkan layanan yang diberikan.
Kualitas pelayanan juga merupakan faktor kunci dalam Tingkat
Layanan Publik. Pelayanan yang berkualitas mencakup aspek-
aspek seperti kejelasan informasi, kesopanan petugas, keandalan
layanan, dan kemudahan akses. Birokrasi yang mampu memberikan
pelayanan berkualitas akan meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap institusi publik dan memperkuat legitimasi birokrasi itu
sendiri.Selain itu, tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan
yang diberikan juga merupakan indikator penting dalam mengukur
Tingkat Layanan Publik. Survei kepuasan masyarakat dapat
digunakan untuk mengumpulkan data tentang persepsi dan evaluasi
masyarakat terhadap layanan publik yang diberikan oleh birokrasi.
Dengan mengevaluasi tingkat kepuasan masyarakat, birokrasi dapat
mengidenti�kasi area-area yang perlu ditingkatkan dan memperbaiki
kelemahan dalam pelayanan publik.
Relevansi dan penggunaan tingkat layanan publik sebagai
indikator e�siensi birokrasi memiliki beberapa keuntungan. Pertama,
indikator ini memungkinkan pengukuran yang lebih objektif dan
terukur tentang kualitas layanan publik yang diberikan. Dengan
menggunakan dimensi-dimensi yang telah disebutkan sebelumnya,
birokrasi dapat melakukan pengukuran kuantitatif dan kualitatif
terhadap tingkat layanan publik yang diberikan. Kedua, tingkat

10MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
layanan publik dapat digunakan untuk membandingkan kinerja
dan e�siensi birokrasi antara unit-unit atau departemen yang
berbeda dalam pemerintahan. Dengan menggunakan indikator yang
sama, birokrasi dapat mengidenti�kasi unit-unit yang unggul dan
menggunakan praktik terbaik dari unit tersebut untuk meningkatkan
layanan publik di unit lain. Ketiga, tingkat layanan publik juga dapat
digunakan sebagai dasar bagi pemerintah untuk mengembangkan
kebijakan dan strategi yang bertujuan untuk meningkatkan e�siensi
birokrasi. Data dan informasi yang dikumpulkan melalui pengukuran
tingkat layanan publik dapat memberikan wawasan yang berharga
bagi pemerintah dalam merancang program-program perbaikan
dan reformasi birokrasi. Pengukuran tingkat layanan publik dapat
dilakukan melalui berbagai metode, seperti survei kepuasan
masyarakat, pengukuran waktu layanan, analisis keluhan masyarakat,
dan evaluasi kualitas pelayanan. Kombinasi dari berbagai metode
ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang
e�siensi birokrasi dan tingkat layanan publik yang diberikan.
3. Tingkat Kepuasan Masyarakat
Salah satu teori yang berkaitan dengan kepuasan masyarakat
terhadap birokrasi adalah teori keadilan organisasi. Menurut teori ini,
masyarakat akan merasa puas dengan birokrasi jika mereka merasakan
perlakuan yang adil dan proporsional dalam interaksi dengan aparat
pemerintah. Dalam konteks ini, e�siensi birokrasi dapat dipandang
sebagai faktor yang mendukung terciptanya keadilan organisasi.
Penelitian oleh Cropanzano dan Ambrose (2001) menunjukkan
bahwa keadilan prosedural, yaitu perlakuan yang adil dalam proses
pengambilan keputusan, secara positif berhubungan dengan
kepuasan masyarakat terhadap birokrasi. Selain itu, penelitian oleh
Wang dan Chen (2012) menyoroti pentingnya transparansi birokrasi
dalam mempengaruhi kepuasan masyarakat. Ketika masyarakat
dapat memperoleh informasi yang jelas dan terbuka tentang proses
dan kebijakan birokrasi, mereka lebih cenderung merasa puas dengan
kinerja birokrasi. Transparansi ini juga memungkinkan masyarakat
untuk melacak penggunaan sumber daya publik dan memastikan
akuntabilitas birokrasi.
Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa tingkat kepuasan
masyarakat terhadap e�siensi birokrasi dapat bervariasi berdasarkan

11BAB I
faktor-faktor demogra�s seperti usia, pendidikan, dan tingkat
pendapatan. Misalnya, penelitian oleh Andersen dan Pedersen (2014)
menemukan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung
berhubungan dengan tingkat kepuasan yang lebih tinggi terhadap
birokrasi. Hal ini dapat disebabkan oleh pemahaman yang lebih
baik tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam interaksi dengan
birokrasi. Pentingnya mengukur tingkat kepuasan masyarakat
terhadap e�siensi birokrasi juga tergambar dalam upaya pemerintah
untuk mengimplementasikan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM).
SKM merupakan instrumen penting dalam mengumpulkan umpan
balik dari masyarakat tentang kualitas layanan yang diberikan oleh
birokrasi. Melalui SKM, pemerintah dapat mengidenti�kasi kekuatan
dan kelemahan dalam pengelolaan birokrasi serta melakukan
perbaikan yang diperlukan.
Namun, meskipun ada upaya untuk meningkatkan e�siensi
birokrasi dan kepuasan masyarakat, masih ada tantangan yang
harus dihadapi. Misalnya, budaya korupsi dan praktik nepotisme
dalam birokrasi dapat merusak tingkat kepercayaan masyarakat
dan mengurangi kepuasan mereka. Oleh karena itu, pemberantasan
korupsi dan penegakan aturan yang ketat perlu menjadi fokus utama
dalam upaya meningkatkan e�siensi birokrasi. Secara keseluruhan,
tingkat kepuasan masyarakat terhadap e�siensi birokrasi penting
untuk mencapai tujuan pelayanan publik yang baik. Teori keadilan
organisasi dan penelitian ilmiah telah memberikan wawasan
yang berharga tentang faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan
masyarakat terhadap birokrasi. Dalam konteks ini, transparansi,
akuntabilitas, dan penghapusan korupsi adalah aspek-aspek yang
harus diperhatikan untuk meningkatkan e�siensi birokrasi dan
memenuhi harapan masyarakat.
4. Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Menurut teori implementasi kebijakan, keberhasilan implementasi
tergantung pada sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja
birokrasi. Pertama, faktor internal termasuk kapasitas dan sumber
daya birokrasi, termasuk pengetahuan, keterampilan, dan keahlian
pegawai. Birokrasi yang e�sien harus memiliki pegawai yang
kompeten dan terlatih dengan baik dalam menjalankan tugas
mereka. Penelitian oleh Lynn dan Hill (2020) menunjukkan bahwa

12MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam birokrasi dapat
meningkatkan keberhasilan implementasi kebijakan. Faktor kedua
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi adalah faktor
eksternal, seperti dukungan politik dan legitimasi kebijakan oleh para
pemangku kepentingan. Kebijakan yang didukung oleh kekuatan
politik yang kuat dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat
cenderung memiliki peluang keberhasilan implementasi yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, penelitian oleh Meier (2019) menunjukkan
bahwa keberhasilan implementasi kebijakan lingkungan bergantung
pada dukungan politik dari pemerintah dan masyarakat.
Selain itu, faktor konteks juga berperan penting dalam
keberhasilan implementasi kebijakan. Konteks ini meliputi faktor-
faktor seperti struktur sosial, budaya, dan kondisi ekonomi suatu
negara. Misalnya, penelitian oleh O’Toole dan Meier (2019)
menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan kesehatan
publik terkait erat dengan faktor sosial dan budaya, termasuk tingkat
kesehatan masyarakat dan ketersediaan infrastruktur kesehatan.
Selain faktor-faktor tersebut, faktor manajemen juga penting
dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Manajemen yang
efektif melibatkan perencanaan yang baik, pengawasan yang ketat,
serta komunikasi dan koordinasi yang e�sien antara berbagai unit
dan tingkatan birokrasi. Penelitian oleh O’Toole dan Meier (2019)
menekankan pentingnya manajemen yang baik dalam meningkatkan
keberhasilan implementasi kebijakan.
Sebagai indikator e�siensi birokrasi, keberhasilan implementasi
kebijakan dapat diukur melalui berbagai metode penelitian.
Beberapa metode umum meliputi survei dan wawancara dengan para
pemangku kepentingan terkait, analisis kebijakan dan program, serta
evaluasi kinerja birokrasi. Penelitian oleh Dunn (2021) menunjukkan
bahwa penggunaan metode yang tepat dalam mengukur keberhasilan
implementasi kebijakan dapat memberikan gambaran yang akurat
tentang e�siensi birokrasi.
5. Tingkat Korupsi
Membahas hubungan antara korupsi dan e�siensi birokrasi, penting
untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang dimaksud
dengan korupsi. Korupsi dapat dide�nisikan sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok, yang

13BAB I
melibatkan praktik-praktik seperti suap, nepotisme, atau penggelapan
dana publik. Korupsi dapat terjadi di berbagai tingkatan dalam
birokrasi, mulai dari tingkat rendah hingga tingkat tinggi, dan dapat
merusak integritas sistem pemerintahan.
Pertama, korupsi dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang
tidak e�sien. Ketika suap atau pemerasan menjadi praktik umum
dalam birokrasi, keputusan alokasi sumber daya didasarkan pada
pertimbangan korup daripada pertimbangan e�siensi. Akibatnya,
sumber daya publik dapat dialokasikan secara tidak adil dan tidak
optimal, yang menghambat e�siensi birokrasi secara keseluruhan.
Kedua, korupsi dapat merusak proses pengambilan keputusan.
Birokrasi yang terinfeksi oleh korupsi cenderung mengabaikan prinsip
meritokrasi dan keadilan dalam pengangkatan atau promosi pegawai.
Alih-alih, keputusan diambil berdasarkan hubungan pribadi, suap,
atau kepentingan pribadi. Hal ini dapat mengakibatkan penempatan
individu yang tidak kompeten di posisi penting, sementara individu
yang berkuali�kasi tidak mendapatkan kesempatan yang seharusnya.
Akibatnya, proses pengambilan keputusan menjadi tidak e�sien, dan
birokrasi kehilangan kemampuan untuk menghasilkan hasil yang
diharapkan. Ketiga, korupsi dapat menyebabkan birokrasi menjadi
lambat dan tidak responsif. Ketika suap atau pemerasan menjadi
bagian dari rutinitas birokrasi, proses pengambilan keputusan dan
penyelesaian tugas menjadi lambat dan tidak e�sien. Tindakan suap
atau pemerasan dapat mengakibatkan penundaan dalam proses
administrasi atau penundaan dalam penyelesaian layanan publik.
Akibatnya, birokrasi menjadi tidak responsif terhadap kebutuhan
masyarakat dan kepentingan umum, yang pada akhirnya mengurangi
e�siensi birokrasi secara keseluruhan.
Ada banyak teori dan penelitian ilmiah yang mendukung
hubungan antara korupsi dan e�siensi birokrasi. Misalnya, teori
agensi mengemukakan bahwa ketidakadilan moral dan kon�ik
kepentingan yang muncul akibat korupsi dapat mengganggu kinerja
birokrasi. Penelitian oleh Rose-Ackerman (1999) menunjukkan
bahwa korupsi memiliki dampak negatif yang signi�kan pada
e�siensi birokrasi, dengan korupsi yang tinggi dikaitkan dengan
kinerja birokrasi yang buruk. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Mauro (1995) menemukan adanya korelasi negatif antara korupsi dan

14MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
e�siensi birokrasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa negara-negara
dengan tingkat korupsi yang tinggi cenderung memiliki birokrasi
yang kurang e�sien. Demikian pula, penelitian oleh Tanzi dan
Davoodi (1997) menemukan hubungan negatif antara korupsi dan
e�siensi birokrasi di negara-negara berkembang. Selain itu, beberapa
penelitian juga menyoroti efek jangka panjang dari korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Penelitian oleh Mauro (1997) menunjukkan
bahwa tingkat korupsi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi jangka panjang suatu negara. Dalam konteks ini, e�siensi
birokrasi memiliki peran penting dalam menciptakan iklim bisnis
yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tingkat korupsi dapat berfungsi sebagai indikator e�siensi birokrasi.
Korupsi dapat mengganggu kinerja birokrasi dan menghambat alokasi
sumber daya yang tepat. Korupsi dapat menyebabkan alokasi sumber
daya yang tidak e�sien, merusak proses pengambilan keputusan, dan
membuat birokrasi menjadi lambat dan tidak responsif. Oleh karena
itu, upaya untuk mengurangi tingkat korupsi dapat meningkatkan
e�siensi birokrasi, yang pada gilirannya akan memperkuat kinerja
pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi.
C. METODE PENGUKURAN EFISIENSI BIROKRASI
Pengukuran e�siensi birokrasi adalah penting dalam memahami dan
meningkatkan kinerja lembaga pemerintahan. Dalam konteks ini,
terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur e�siensi
birokrasi secara ilmiah.
1. Analisis Biaya-Manfaat
Salah satu metode yang sering digunakan adalah analisis biaya-
manfaat (cost-bene�t analysis). Metode ini membandingkan antara
biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh dari suatu
kebijakan atau program. Dalam konteks birokrasi, analisis biaya-
manfaat dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah suatu kebijakan
pemerintah e�sien dalam menghasilkan manfaat yang diinginkan
bagi masyarakat. Analisis biaya-manfaat (cost-bene�t analysis) adalah
metode yang digunakan untuk mengukur e�siensi birokrasi. Metode
ini melibatkan identi�kasi dan pengukuran biaya dan manfaat yang
terkait dengan implementasi kebijakan atau program pemerintah.
Dalam konteks pengukuran e�siensi birokrasi, analisis biaya-manfaat
digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana birokrasi berhasil

15BAB I
mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan dengan membandingkan
biaya yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh.
Berikut adalah langkah-langkah analisis biaya-manfaat dalam
mengukur e�siensi birokrasi:
a. Identi�kasi Tujuan dan Alternatif. Langkah pertama dalam
analisis biaya-manfaat adalah mengidenti�kasi tujuan dari
kebijakan atau program yang akan dievaluasi. Tujuan ini
harus spesi�k, terukur, terjangkau, realistis, dan terkait waktu
(SMART). Selanjutnya, identi�kasi alternatif-alternatif yang
mungkin untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Identi�kasi Biaya dan Manfaat. Langkah kedua adalah
mengidenti�kasi semua biaya yang terkait dengan setiap
alternatif dan program yang akan dievaluasi. Biaya dapat
mencakup biaya operasional, biaya investasi, biaya administrasi,
dan lain sebagainya. Selanjutnya, identi�kasi manfaat yang dapat
diperoleh dari setiap alternatif atau program. Manfaat dapat
berupa manfaat �nansial, manfaat non-�nansial, manfaat sosial,
manfaat lingkungan, dan lain-lain.
c. Mengukur Biaya dan Manfaat. Setelah biaya dan manfaat
diidenti�kasi, langkah selanjutnya adalah mengukur nilai
numerik dari biaya dan manfaat tersebut. Untuk biaya, dapat
menggunakan data aktual yang ada atau melakukan estimasi
berdasarkan penelitian sebelumnya. Untuk manfaat, perlu
dilakukan pengukuran dan penilaian yang objektif. Pengukuran
dapat dilakukan dengan menggunakan data empiris, survei, atau
teknik pengukuran lainnya.
d. Menghitung Nilai Kini dan Masa Depan. Selanjutnya, nilai kini
(present value) dari biaya dan manfaat perlu dihitung untuk
mengatasi masalah waktu. Hal ini dilakukan dengan menghitung
nilai kini dari setiap biaya dan manfaat menggunakan tingkat
diskonto yang tepat. Nilai kini adalah nilai dari uang pada saat
ini, sedangkan masa depan adalah nilai dari uang pada waktu
yang akan datang.
e. Menghitung Rasio Biaya-Manfaat. Setelah nilai kini dari biaya dan
manfaat dihitung, langkah selanjutnya adalah menghitung rasio
biaya-manfaat (cost-bene�t ratio). Rasio ini diperoleh dengan
membagi total nilai kini manfaat dengan total nilai kini biaya.

16MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Rasio biaya-manfaat yang lebih besar dari satu menunjukkan
bahwa manfaat yang diperoleh melebihi biaya yang dikeluarkan.
f. Analisis Sensitivitas. Analisis sensitivitas digunakan untuk
menguji kepekaan hasil analisis biaya-manfaat terhadap
perubahan asumsi atau parameter yang digunakan. Hal ini
dilakukan dengan mengubah nilai-nilai asumsi yang digunakan
dalam analisis dan melihat bagaimana perubahan tersebut
mempengaruhi hasil akhir. Analisis sensitivitas membantu
untuk memahami sejauh mana hasil analisis biaya-manfaat
dapat dipengaruhi oleh ketidakpastian dalam nilai asumsi.
g. Pengambilan Keputusan. Setelah analisis biaya-manfaat
dilakukan dan hasilnya dievaluasi, langkah terakhir adalah
pengambilan keputusan. Keputusan ini didasarkan pada rasio
biaya-manfaat dan analisis sensitivitas. Jika rasio biaya-manfaat
lebih besar dari satu dan hasil analisis sensitivitas menunjukkan
keberlanjutan keuntungan, maka alternatif atau program tersebut
dianggap e�sien secara birokrasi.
Dalam melakukan analisis biaya-manfaat, perlu diingat bahwa
metode ini memiliki beberapa keterbatasan. Misalnya, analisis
biaya-manfaat mendasarkan pada asumsi tertentu yang mungkin
tidak selalu mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Selain itu,
pengukuran manfaat non-�nansial dan manfaat yang sulit diukur
juga dapat menjadi tantangan.
2. Metode Analisis E�siensi Stokastik (stochastic e�ciency analysis)
Metode analisis e�siensi stokastik (stochastic e�ciency analysis) adalah
pendekatan yang digunakan untuk mengukur e�siensi birokrasi.
Metode ini melibatkan perhitungan dan evaluasi tingkat e�siensi
menggunakan pendekatan stokastik, yang melibatkan ketidakpastian
dan variabilitas dalam data yang diamati. Dalam konteks ini, e�siensi
birokrasi dapat diukur dengan mengidenti�kasi dan menghitung
tingkat e�siensi dalam penggunaan sumber daya yang tersedia.
Langkah-langkah dalam metode analisis e�siensi stokastik dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Penentuan Variabel Input dan Output: Langkah pertama dalam
metode ini adalah menentukan variabel input dan output yang
akan digunakan dalam analisis. Variabel input dapat mencakup
jumlah staf, anggaran, atau sumber daya lainnya yang digunakan

17BAB I
oleh birokrasi. Sementara itu, variabel output dapat mencakup
hasil dari kegiatan birokrasi, seperti layanan yang diberikan,
kinerja, atau indikator lainnya.
b. Identi�kasi Fungsi E�siensi: Langkah berikutnya adalah
mengidenti�kasi fungsi e�siensi yang sesuai dengan kasus yang
sedang dipelajari. Fungsi e�siensi ini menggambarkan hubungan
antara input dan output, dan dapat berbeda-beda tergantung
pada konteks penelitian. Fungsi e�siensi dapat berbentuk
fungsi produksi, fungsi keuntungan, atau model lainnya yang
mencerminkan hubungan antara input dan output.
c. Penentuan Model Stokastik: Setelah fungsi e�siensi diidenti�kasi,
langkah selanjutnya adalah menentukan model stokastik yang
akan digunakan. Model stokastik mencerminkan ketidakpastian
atau variabilitas dalam data input dan output. Model ini dapat
berupa model statistik, model probabilitas, atau model lainnya
yang sesuai dengan data yang ada.
d. Estimasi Fungsi E�siensi: Langkah berikutnya adalah
mengestimasi fungsi e�siensi menggunakan data empiris yang
dikumpulkan. Estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode statistik atau analisis regresi yang sesuai.
Tujuan dari estimasi ini adalah untuk mendapatkan perkiraan
parameter fungsi e�siensi yang paling akurat berdasarkan data
yang ada.
e. Pengukuran E�siensi Relatif: Setelah fungsi e�siensi diestimasi,
langkah selanjutnya adalah mengukur e�siensi relatif birokrasi
dengan membandingkan hasil aktual dengan hasil yang
diharapkan berdasarkan fungsi e�siensi. E�siensi relatif dapat
diukur dengan menghitung rasio antara output yang diamati dan
output yang diharapkan, atau dengan menggunakan metode lain
yang sesuai dengan model stokastik yang digunakan.
f. Analisis Sensitivitas: Selanjutnya, analisis sensitivitas dapat
dilakukan untuk menguji keandalan dan kestabilan hasil yang
diperoleh. Analisis ini melibatkan variasi parameter dan input
dalam model stokastik untuk melihat sejauh mana hasil e�siensi

18MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
berubah dan seberapa sensitif hasilnya terhadap perubahan
tersebut.
g. Interpretasi dan Kesimpulan: Langkah terakhir dalam metode
analisis e�siensi stokastik adalah interpretasi hasil dan penarikan
kesimpulan berdasarkan temuan analisis. Hasil analisis dapat
digunakan untuk memberikan rekomendasi atau saran kebijakan
untuk meningkatkan e�siensi birokrasi yang diamati.
3. Metode Data Envelopment Analysis (DEA)
Data Envelopment Analysis (DEA) adalah salah satu metode yang
digunakan untuk mengukur e�siensi relatif suatu unit dalam
mengkonversi input menjadi output. Metode ini telah diterapkan
dalam berbagai bidang, termasuk dalam mengukur e�siensi
birokrasi. E�siensi birokrasi penting untuk meningkatkan kinerja
pemerintah, mengidenti�kasi praktik terbaik, dan mengalokasikan
sumber daya yang terbatas dengan bijak. Dalam analisis e�siensi
birokrasi menggunakan metode DEA, terdapat beberapa langkah
yang harus diikuti. Langkah-langkah ini melibatkan pengumpulan
data, penentuan input dan output, pengolahan data, perhitungan
e�siensi, dan interpretasi hasil. Dalam artikel ini, akan dijelaskan
secara rinci langkah-langkah yang harus diikuti dalam menerapkan
metode DEA untuk mengukur e�siensi birokrasi.
a. Pengumpulan Data
Langkah pertama dalam analisis e�siensi birokrasi adalah
mengumpulkan data yang diperlukan. Data yang dibutuhkan
meliputi input dan output yang terkait dengan kinerja birokrasi.
Contoh input yang dapat digunakan adalah jumlah pegawai,
anggaran, atau waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
suatu tugas. Contoh output yang dapat digunakan adalah jumlah
layanan publik yang diberikan, kepuasan pelanggan, atau hasil
pengawasan.Data dapat dikumpulkan melalui survei, wawancara,
atau melalui sumber data yang tersedia seperti laporan keuangan
atau statistik pemerintah. Penting untuk memastikan bahwa data
yang dikumpulkan akurat, relevan, dan representatif untuk unit
birokrasi yang akan dievaluasi.
b. Penentuan Input dan Output
Setelah data dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah
menentukan variabel input dan output yang akan digunakan

19BAB I
dalam analisis. Variabel input adalah faktor-faktor yang
digunakan atau dikonsumsi oleh birokrasi, sedangkan variabel
output adalah hasil atau produk yang dihasilkan oleh birokrasi.
Pemilihan variabel input dan output harus didasarkan pada
tujuan dan konteks analisis. Variabel input dan output harus
dapat diukur dengan jelas dan memiliki hubungan yang kuat
dengan kinerja birokrasi. Misalnya, jika tujuan analisis adalah
untuk mengukur e�siensi pelayanan publik, variabel input yang
dapat dipertimbangkan adalah jumlah pegawai dan anggaran,
sementara variabel output yang dapat dipertimbangkan adalah
jumlah layanan publik yang diberikan.
c. Pengolahan Data
Setelah variabel input dan output ditentukan, langkah selanjutnya
adalah melakukan pengolahan data. Langkah ini melibatkan
normalisasi data untuk menghilangkan perbedaan skala dan
unit pengukuran antara variabel input dan output yang berbeda.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk normalisasi
data, seperti rasio skala, penambahan, dan pengurangan. Metode
yang paling umum digunakan dalam DEA adalah rasio skala, di
mana data input dan output dinormalisasi dengan membaginya
dengan jumlah total atau rata-rata dari variabel input dan output
dalam setiap unit birokrasi.
Pengolahan data juga dapat melibatkan penghilangan
outliers atau data yang tidak valid, serta pemilihan model DEA
yang sesuai untuk analisis. Ada beberapa jenis model DEA yang
tersedia, seperti CCR (Charnes, Cooper, dan Rhodes) dan BCC
(Banker, Charnes, dan Cooper), yang masing-masing memiliki
karakteristik dan asumsi yang berbeda.
d. Perhitungan E�siensi
Setelah data dinormalisasi, langkah berikutnya adalah
menghitung e�siensi relatif untuk setiap unit birokrasi yang
dievaluasi. Metode DEA mengukur e�siensi relatif dengan
membandingkan rasio output terhadap input dari satu unit
birokrasi dengan unit birokrasi lainnya.Dalam metode DEA,
setiap unit birokrasi diperlakukan sebagai unit pengambil
keputusan yang memaksimalkan output relatif terhadap
inputnya, sementara unit birokrasi lainnya digunakan sebagai

20MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
pembanding. Dalam hal ini, unit birokrasi yang dapat mencapai
tingkat e�siensi tertinggi akan diberi peringkat sebagai unit
e�sien.
Perhitungan e�siensi dalam DEA melibatkan pemecahan
masalah linear programming untuk menemukan bobot yang
optimal yang menghasilkan rasio output-terhadap-input
terbesar. Teknik-teknik matematika yang kompleks digunakan
dalam perhitungan e�siensi ini.
e. Interpretasi Hasil
Langkah terakhir dalam analisis e�siensi birokrasi menggunakan
DEA adalah menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Hasil
analisis menunjukkan tingkat e�siensi relatif setiap unit birokrasi
yang dievaluasi.Unit birokrasi yang memiliki tingkat e�siensi
100% dianggap e�sien, sementara unit birokrasi dengan tingkat
e�siensi di bawah 100% dianggap tidak e�sien. Hasil analisis
ini dapat digunakan untuk mengidenti�kasi unit birokrasi
yang memiliki praktik terbaik dan unit birokrasi yang perlu
ditingkatkan e�siensinya.
Selain itu, hasil analisis juga dapat digunakan untuk
membandingkan kinerja antara unit birokrasi yang berbeda
dan mengidenti�kasi faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap e�siensi atau ketidake�sienan. Interpretasi hasil dapat
memberikan wawasan yang berharga untuk perbaikan kinerja
birokrasi dan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam
alokasi sumber daya.
4. Metode survei kepuasan masyarakat
Metode survei kepuasan masyarakat dalam mengukur e�siensi
birokrasi adalah alat yang efektif untuk memahami persepsi dan
penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Dalam artikel
ini, kami akan membahas langkah-langkah dalam metode survei
kepuasan masyarakat untuk mengukur e�siensi birokrasi. Berikut
adalah langkah-langkah dalam metode survei kepuasan masyarakat
dalam mengukur e�siensi birokrasi:
a. Merumuskan Tujuan Penelitian. Langkah pertama dalam
metode survei kepuasan masyarakat adalah merumuskan tujuan
penelitian dengan jelas. Tujuan penelitian harus spesi�k dan
terfokus pada pengukuran e�siensi birokrasi. Misalnya, tujuan

21BAB I
penelitian dapat berfokus pada menilai waktu respons pelayanan
publik atau penilaian masyarakat terhadap transparansi birokrasi.
Merumuskan tujuan penelitian yang jelas akan membantu
mengarahkan proses survei dan interpretasi data yang diperoleh.
b. Tinjauan Literatur. Sebelum merancang survei, penting untuk
melakukan tinjauan literatur yang komprehensif tentang
teori dan penelitian terkait dengan pengukuran kepuasan
masyarakat dan e�siensi birokrasi. Tinjauan literatur ini akan
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap birokrasi
serta instrumen-instrumen survei yang telah digunakan dalam
penelitian sebelumnya. Hal ini akan membantu merancang
survei yang relevan dan valid.
c. Identi�kasi Indikator Kepuasan Masyarakat. Setelah tinjauan
literatur, langkah selanjutnya adalah mengidenti�kasi indikator
kepuasan masyarakat yang akan diukur dalam survei. Indikator-
indikator ini harus relevan dengan pengukuran e�siensi
birokrasi.
d. Merancang Kuesioner. Setelah identi�kasi indikator, langkah
berikutnya adalah merancang kuesioner survei. Kuesioner harus
mencakup pertanyaan yang terkait dengan setiap indikator yang
telah diidenti�kasi sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan ini
harus dirancang dengan hati-hati untuk memastikan kejelasan,
konsistensi, dan validitas. Ada beberapa jenis pertanyaan yang
dapat digunakan, seperti pertanyaan terbuka, pertanyaan
tertutup dengan skala Likert, atau pertanyaan skala semantik
diferensial. Dalam merancang kuesioner, juga penting untuk
mempertimbangkan konteks budaya dan bahasa yang relevan
dengan populasi target.
e. Uji Coba Kuesioner. Sebelum menerapkan survei ke skala yang
lebih luas, uji coba kuesioner diperlukan untuk mengevaluasi
kejelasan dan kelayakan kuesioner. Proses uji coba ini melibatkan
sejumlah responden yang mewakili populasi target. Hasil dari uji
coba ini akan memberikan masukan berharga untuk perbaikan
dan penyesuaian kuesioner.
f. Mengumpulkan Data. Setelah uji coba kuesioner, survei dapat
diterapkan ke populasi target. Metode pengumpulan data dapat

22MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
bervariasi, seperti wawancara tatap muka, survei online, atau
survei telepon. Penting untuk memastikan bahwa sampel yang
dipilih mewakili populasi target secara proporsional dan acak.
Pengumpulan data yang cermat akan memberikan dasar yang
kuat untuk analisis dan interpretasi.
g. Analisis Data. Setelah pengumpulan data selesai, langkah
selanjutnya adalah menganalisis data yang diperoleh. Analisis
data melibatkan pengolahan statistik dan interpretasi hasil
survei. Beberapa teknik analisis yang umum digunakan adalah
analisis deskriptif, analisis faktor, analisis regresi, dan uji hipotesis
statistik. Hasil analisis ini akan memberikan pemahaman tentang
tingkat kepuasan masyarakat terhadap e�siensi birokrasi.
h. Menyusun Laporan. Langkah terakhir adalah menyusun laporan
berdasarkan hasil analisis data. Laporan harus mencakup
ringkasan tujuan penelitian, metodologi survei, temuan utama,
dan rekomendasi kebijakan. Laporan ini harus disusun secara
sistematis dan jelas, serta memberikan kesimpulan yang kuat
berdasarkan hasil survei.
5. Indeks Persepsi Korupsi/ Corruption Perception Index (CPI)
Indeks Persepsi Korupsi adalah alat pengukuran yang penting dalam
mengukur tingkat korupsi dalam sektor publik, termasuk e�siensi
birokrasi. CPI mencerminkan persepsi korupsi yang ada di negara-
negara dan dapat memberikan gambaran tentang kualitas tata kelola
pemerintahan. CPI didasarkan pada landasan teori yang meliputi
teori korupsi dan teori e�siensi birokrasi. Penggunaan CPI dalam
mengukur e�siensi birokrasi memiliki implikasi dan manfaat yang
signi�kan dalam mengatasi korupsi dan meningkatkan kualitas
pelayanan publik. Oleh karena itu, CPI merupakan alat yang penting
dalam upaya untuk mewujudkan birokrasi yang e�sien dan bebas dari
korupsi. Langkah langkah untuk mengukur indeks persepsi korupsi
pertama-tama, CPI menggunakan berbagai sumber data dan survei
untuk mengumpulkan informasi tentang tingkat korupsi di negara-
negara yang akan dinilai.
Sumber data utama yang digunakan oleh CPI adalah survei
yang dilakukan oleh lembaga riset independen, lembaga survei
pendapat, dan lembaga statistik yang memiliki reputasi yang baik.
Survei ini dapat mencakup berbagai pihak yang terkait, termasuk

23BAB I
warga negara, bisnis, dan pakar. Selanjutnya, CPI menggabungkan
data dari berbagai sumber dan menggunakan metode statistik untuk
mengolah informasi tersebut. Salah satu pendekatan yang digunakan
adalah metode “indeks agregat”, di mana sejumlah indikator korupsi
digabungkan untuk menciptakan gambaran yang lebih komprehensif
tentang tingkat korupsi di suatu negara. Indikator yang digunakan
dapat mencakup persepsi korupsi di sektor publik, transparansi
dalam pengadaan, penegakan hukum terhadap korupsi, dan lain-
lain. Selanjutnya, CPI juga melakukan analisis kualitatif terhadap data
yang diperoleh. Analisis ini melibatkan penilaian dan interpretasi
terhadap hasil survei dan data lainnya. Tujuannya adalah untuk
memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi di mana korupsi
terjadi, serta memperhatikan perubahan atau tren dalam tingkat
korupsi dari waktu ke waktu.
Pada tahap selanjutnya, CPI menggunakan sistem skor
untuk menilai negara-negara berdasarkan tingkat korupsi yang
diidenti�kasi. Biasanya, CPI memberikan skor dari 0 hingga 100,
di mana 0 menunjukkan tingkat korupsi yang sangat tinggi dan
100 menunjukkan tingkat korupsi yang sangat rendah. Skor ini
memungkinkan perbandingan antar negara dan juga memfasilitasi
perubahan dalam tingkat korupsi dari tahun ke tahun. Metode
pengukuran CPI juga melibatkan beberapa pertimbangan penting.
Pertama, CPI diarahkan untuk mencerminkan persepsi tentang
korupsi, karena korupsi pada umumnya sulit diukur secara langsung.
Persepsi ini dapat berasal dari masyarakat umum, pemerintah,
bisnis, atau pakar, dan mencerminkan pandangan subjektif mereka
terhadap korupsi. Kedua, CPI menghargai pentingnya kerahasiaan
dan keamanan data dalam proses pengumpulan informasi. Data
yang diperoleh dijaga kerahasiaannya untuk melindungi keberanian
responden dan memastikan keandalan dan keberlanjutan CPI.
Dalam mengukur e�siensi birokrasi, penting untuk menggunakan
kombinasi metode analitis yang mencakup berbagai aspek
kinerja birokrasi. Kombinasi metode tersebut dapat memberikan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang e�siensi birokrasi
dan membantu dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan
kinerja birokrasi secara keseluruhan.

24MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

25
BAB II
TANTANGAN DAN HAMBATAN TERHADAP
EFISIENSI BIROKRASI
A. FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG
MEMPENGARUHI EFISIENSI BIROKRASI
E�siensi birokrasi adalah salah satu faktor kunci yang menentukan kinerja
sebuah negara atau organisasi pemerintahan. E�siensi birokrasi dapat
dide�nisikan sebagai kemampuan birokrasi untuk mencapai tujuan-
tujuan yang ditetapkan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia
secara efektif dan e�sien. Untuk mencapai tingkat e�siensi yang optimal,
birokrasi harus mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal
yang dapat mempengaruhi kinerja mereka.
1. Faktor Internal yang Mempengaruhi E�siensi Birokrasi
Faktor internal merujuk pada aspek-aspek yang ada di dalam birokrasi
yang dapat mempengaruhi e�siensi sistem tersebut. Beberapa faktor
diantaranya adalah:
a. Kepemimpinan.
Faktor kepemimpinan memainkan peran yang penting dalam
mempengaruhi e�siensi birokrasi. Kepemimpinan yang
efektif mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
memotivasi pegawai, dan memfasilitasi pencapaian tujuan
organisasi. Dalam konteks birokrasi, kepemimpinan yang baik
berfokus pada pengelolaan sumber daya manusia, pengambilan
keputusan yang tepat, serta pembangunan dan implementasi
kebijakan yang e�sien.Teori kepemimpinan telah menjadi subjek
penelitian yang luas dalam ilmu sosial. Salah satu pendekatan
terkenal dalam teori kepemimpinan adalah teori kontingensi.
Teori ini berpendapat bahwa efektivitas kepemimpinan

26MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dipengaruhi oleh konteks atau situasi tertentu. Dalam konteks
birokrasi, beberapa faktor kontingensi yang relevan adalah
ukuran organisasi, struktur organisasi, dan lingkungan eksternal.
Berdasarkan teori kontingensi, beberapa gaya
kepemimpinan yang sering diamati dalam birokrasi adalah
kepemimpinan otoriter, transaksional, dan transformasional.
Kepemimpinan otoriter melibatkan pengambilan keputusan
tunggal oleh pemimpin dengan sedikit partisipasi dari pegawai.
Gaya kepemimpinan ini dapat efektif dalam situasi-situasi yang
membutuhkan ketegasan dan kecepatan dalam pengambilan
keputusan.Kepemimpinan transaksional melibatkan pemberian
penghargaan atau hukuman kepada pegawai berdasarkan
pencapaian target dan kepatuhan terhadap aturan dan prosedur.
Gaya kepemimpinan ini dapat efektif dalam birokrasi yang
membutuhkan pemantauan ketat terhadap kinerja pegawai.
Namun, kepemimpinan transformasional sering
dianggap sebagai gaya kepemimpinan yang paling efektif
dalam mempengaruhi e�siensi birokrasi. Kepemimpinan
transformasional melibatkan pemimpin yang mampu
menginspirasi dan memotivasi pegawai dengan memfokuskan
pada visi jangka panjang, mengembangkan keterampilan
dan potensi pegawai, serta memperkuat komitmen terhadap
tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan ini mendorong inovasi,
kolaborasi, dan pemikiran kritis dalam birokrasi.
Penelitian ilmiah telah mendukung pentingnya
kepemimpinan transformasional dalam meningkatkan e�siensi
birokrasi. Sebagai contoh, sebuah studi yang dilakukan oleh
Podsako� et al. (2018) menemukan bahwa kepemimpinan
transformasional secara signi�kan berhubungan dengan kinerja
pegawai dan kepuasan kerja dalam konteks birokrasi. Para
pemimpin transformasional mampu menciptakan lingkungan
kerja yang dinamis dan memberdayakan pegawai untuk mencapai
hasil yang lebih baik.Selain itu, penelitian juga menunjukkan
bahwa kepemimpinan transformasional dapat mengurangi
birokrasi yang berlebihan dan meningkatkan adaptabilitas
organisasi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Studi
yang dilakukan oleh Avolio et al. (2019) menemukan bahwa

27BAB II
kepemimpinan transformasional berhubungan dengan
perubahan positif dalam birokrasi dan kemampuan organisasi
untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.
Dalam konteks birokrasi, kepemimpinan transformasional
yang efektif melibatkan penerapan strategi komunikasi yang
baik, pengembangan tim yang kuat, dan pengenalan inovasi
yang relevan. Pemimpin yang transformasional juga harus
mampu membangun hubungan yang baik dengan pegawai,
mendorong partisipasi aktif, serta memberikan umpan balik
yang konstruktif. Kepemimpinan memiliki peran yang penting
dalam mempengaruhi e�siensi birokrasi. Dalam konteks
birokrasi, kepemimpinan transformasional dianggap sebagai
gaya kepemimpinan yang paling efektif dalam mencapai tujuan
organisasi dan memotivasi pegawai. Penelitian ilmiah telah
mendukung pentingnya kepemimpinan transformasional dalam
meningkatkan kinerja pegawai, mengurangi birokrasi yang
berlebihan, dan meningkatkan adaptabilitas organisasi. Oleh
karena itu, penting bagi para pemimpin di dalam birokrasi untuk
mengembangkan keterampilan kepemimpinan transformasional
guna meningkatkan e�siensi dan kinerja organisasi.
b. Struktur Organisasi
Struktur organisasi merupakan kerangka yang digunakan untuk
mengatur hubungan antara anggota organisasi, tugas-tugas
yang harus dilaksanakan, serta alur informasi dan pengambilan
keputusan. Faktor-faktor yang membentuk struktur organisasi
dapat memiliki pengaruh signi�kan terhadap e�siensi
birokrasi. Dalam konteks ini, e�siensi birokrasi mengacu pada
kemampuan birokrasi untuk mencapai tujuan organisasi dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara efektif dan
e�sien. Artikel ini akan membahas beberapa faktor struktur
organisasi yang dapat mempengaruhi e�siensi birokrasi, dengan
mengacu pada teori dan penelitian ilmiah terkait.
Pertama-tama, pembagian tugas dan wewenang dalam
struktur organisasi dapat mempengaruhi e�siensi birokrasi.
Konsep pembagian kerja yang jelas dan tugas yang terde�nisi
dengan baik dapat meningkatkan e�siensi karena anggota
birokrasi tahu dengan pasti apa yang diharapkan dari mereka dan

28MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
siapa yang bertanggung jawab atas tugas tertentu. Penelitian oleh
Mintzberg (1983) menyoroti pentingnya pembagian kerja yang
rasional dan terkoordinasi untuk mencapai e�siensi organisasi.
Selain itu, saluran komunikasi dalam struktur organisasi
juga memainkan peran penting dalam e�siensi birokrasi.
Komunikasi yang efektif dan e�sien antara anggota birokrasi
dapat mempercepat aliran informasi, pengambilan keputusan,
dan pelaksanaan tugas.
Menurut teori komunikasi organisasi, struktur komunikasi
formal dan informal dapat mempengaruhi e�siensi birokrasi.
Sebagai contoh, penelitian oleh Galbraith dan Nathanson
(1978) menunjukkan bahwa komunikasi formal yang linear
dan hierarkis dapat memperlambat aliran informasi, sementara
komunikasi informal yang terbuka dan �eksibel dapat
meningkatkan e�siensi.Selanjutnya, koordinasi dan integrasi
antara unit-unit organisasi juga merupakan faktor penting
dalam e�siensi birokrasi. Struktur organisasi yang terfragmentasi
dengan koordinasi yang lemah dapat menyebabkan tumpang
tindih, kon�ik, dan penundaan dalam pengambilan keputusan.
Teori organisasi modern menekankan pentingnya integrasi
vertikal dan horizontal dalam struktur organisasi untuk
mencapai e�siensi. Penelitian oleh Lawrence dan Lorsch (1967)
mengungkapkan bahwa integrasi yang baik antara unit-unit
organisasi yang berbeda dapat meningkatkan e�siensi dan
kinerja organisasi secara keseluruhan. Selain itu, �eksibilitas
dan adaptabilitas struktur organisasi juga dapat mempengaruhi
e�siensi birokrasi. Dalam era yang berubah dengan cepat,
organisasi perlu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan dan kebutuhan. Struktur organisasi yang terlalu kaku
dan berlebihan dalam prosedur dan hirarki dapat membatasi
kemampuan organisasi untuk merespons dengan cepat.
Penelitian oleh Burns dan Stalker (1961) menunjukkan
pentingnya struktur organik yang lebih �eksibel dalam
menghadapi perubahan lingkungan. Faktor-faktor struktur
organisasi dapat memiliki pengaruh yang signi�kan terhadap
e�siensi birokrasi. Pembagian tugas yang jelas, komunikasi
yang efektif, koordinasi yang baik, �eksibilitas adaptabilitas, dan

29BAB II
budaya yang mendukung merupakan beberapa faktor kunci yang
perlu diperhatikan dalam merancang struktur organisasi yang
e�sien. Penelitian teori dan ilmiah dalam bidang ini memberikan
landasan yang kuat untuk memahami hubungan antara faktor
struktur organisasi dan e�siensi birokrasi.
c. Sumber Daya Manusia
Birokrasi yang e�sien mampu mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia dan memberikan layanan publik
yang berkualitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi e�siensi
birokrasi adalah sumber daya manusia (SDM) yang terlibat
dalam proses birokrasi. SDM yang kompeten dan profesional
memiliki peran penting dalam meningkatkan e�siensi birokrasi.
Peran SDM dalam e�siensi birokrasi didasarkan pada beberapa
teori dan penelitian yang relevan. Teori Resource-Based View
(RBV) mengemukakan bahwa sumber daya manusia merupakan
salah satu sumber daya inti yang dapat memberikan keunggulan
kompetitif bagi organisasi. Dalam konteks birokrasi, SDM
yang berkualitas tinggi dapat meningkatkan e�siensi dengan
cara mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada,
mengidenti�kasi dan mengatasi hambatan-hambatan yang
muncul, serta meningkatkan produktivitas kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Gómez-Mejía dan Balkin
(1992) menunjukkan bahwa kompetensi dan motivasi SDM
memiliki pengaruh positif terhadap kinerja organisasi. SDM
yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
yang relevan dengan tugas dan tanggung jawabnya akan mampu
menjalankan pekerjaan dengan e�sien. Selain itu, motivasi yang
tinggi akan mendorong SDM untuk bekerja dengan produktif
dan berdedikasi dalam mencapai tujuan organisasi. Selain
kompetensi dan motivasi, faktor lain yang perlu diperhatikan
dalam mengoptimalkan peran SDM adalah manajemen kinerja
yang efektif. Menurut teori Kontinjensi, manajemen kinerja
yang baik harus disesuaikan dengan karakteristik organisasi dan
lingkungan kerja.
Proses manajemen kinerja yang jelas dan transparan dapat
membantu mengidenti�kasi kinerja yang baik dan memberikan
umpan balik yang konstruktif kepada SDM. Hal ini dapat

30MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
mendorong peningkatan kinerja serta memotivasi SDM untuk
berkontribusi secara maksimal dalam mencapai e�siensi
birokrasi. Selain dari teori dan penelitian, terdapat pula beberapa
faktor praktis yang dapat meningkatkan peran SDM dalam
e�siensi birokrasi. Pertama, perekrutan dan seleksi yang baik
merupakan langkah awal yang penting. SDM yang dipilih harus
memiliki kuali�kasi yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
yang diemban dalam birokrasi. Pelatihan dan pengembangan
juga merupakan faktor penting untuk meningkatkan kompetensi
dan keterampilan SDM agar mampu menjalankan tugasnya
secara e�sien. Selain itu, penting juga untuk menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif dan memberikan dukungan
yang memadai kepada SDM. Dalam konteks birokrasi, hal ini
dapat berarti memberikan kejelasan tentang tugas dan tanggung
jawab, memfasilitasi komunikasi yang efektif, serta mendorong
partisipasi aktif dari SDM dalam pengambilan keputusan.
Lingkungan kerja yang positif dapat mendorong SDM untuk
bekerja dengan semangat dan berkontribusi secara maksimal
dalam mencapai e�siensi birokrasi.
Dalam mengoptimalkan peran SDM dalam e�siensi birokrasi,
penting juga untuk melakukan evaluasi kinerja secara berkala.
Evaluasi kinerja dapat membantu mengidenti�kasi kekuatan
dan kelemahan SDM serta memberikan umpan balik yang
berguna untuk perbaikan dan pengembangan lebih lanjut. Hal
ini penting agar SDM dapat terus beradaptasi dengan perubahan
lingkungan dan tuntutan pekerjaan yang berkembang. Secara
keseluruhan, sumber daya manusia memainkan peran yang
penting dalam mempengaruhi e�siensi birokrasi. Kompetensi,
motivasi, manajemen kinerja yang efektif, perekrutan yang baik,
pelatihan dan pengembangan, lingkungan kerja yang kondusif,
dan evaluasi kinerja yang berkala merupakan faktor-faktor yang
perlu diperhatikan dalam mengoptimalkan peran SDM. Dengan
memperhatikan faktor-faktor ini, birokrasi dapat meningkatkan
e�siensinya dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik
kepada masyarakat.

31BAB II
d. Budaya Organisasi
Budaya organisasi memainkan peran penting dalam menentukan
e�siensi birokrasi suatu organisasi. Birokrasi adalah sistem
administrasi yang kompleks yang mencakup aturan, prosedur,
dan hirarki yang dirancang untuk mengatur operasi organisasi.
E�siensi birokrasi merujuk pada kemampuan organisasi untuk
mencapai tujuan dengan cara yang efektif dan e�sien. Budaya
organisasi dapat dide�nisikan sebagai sekumpulan nilai-nilai,
kepercayaan, norma, dan perilaku bersama yang ada di dalam
suatu organisasi. Faktor-faktor budaya organisasi berperan
dalam membentuk sikap dan perilaku anggota organisasi,
yang pada gilirannya dapat mempengaruhi e�siensi birokrasi.
Dalam konteks ini, ada beberapa faktor budaya organisasi yang
mempengaruhi e�siensi birokrasi, yaitu: orientasi terhadap hasil,
orientasi terhadap tugas, kepercayaan dan saling pengertian, dan
inovasi.
Pertama, orientasi terhadap hasil adalah faktor budaya
organisasi yang mempengaruhi e�siensi birokrasi. Orientasi
terhadap hasil mengacu pada kecenderungan organisasi untuk
fokus pada pencapaian tujuan dan hasil yang diinginkan.
Budaya organisasi yang didorong oleh orientasi terhadap hasil
akan mendorong anggota organisasi untuk bekerja e�sien dan
efektif dalam mencapai tujuan mereka. Sebaliknya, jika budaya
organisasi cenderung tidak berfokus pada hasil, hal ini dapat
menghambat e�siensi birokrasi karena tidak adanya dorongan
untuk mencapai tujuan dengan cara yang efektif. Kedua,
orientasi terhadap tugas juga memiliki pengaruh yang signi�kan
terhadap e�siensi birokrasi. Orientasi terhadap tugas mengacu
pada penekanan yang diberikan oleh organisasi terhadap
pemenuhan tugas dan kinerja individual. Budaya organisasi
yang mempromosikan orientasi terhadap tugas akan mendorong
anggota organisasi untuk bekerja dengan fokus pada tugas yang
diberikan, meningkatkan e�siensi birokrasi secara keseluruhan.
Di sisi lain, jika organisasi memiliki budaya yang kurang
berorientasi pada tugas, hal ini dapat menghambat e�siensi
birokrasi karena anggota organisasi mungkin kurang fokus dan
tidak memprioritaskan tugas yang seharusnya dilakukan.

32MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Kepercayaan dan saling pengertian juga merupakan faktor
budaya organisasi yang berperan dalam e�siensi birokrasi.
Budaya organisasi yang didasarkan pada kepercayaan dan
saling pengertian antara anggota organisasi akan meningkatkan
kolaborasi dan komunikasi yang efektif. Hal ini akan mengurangi
hambatan birokrasi seperti birokrasi berlebihan atau informasi
yang tidak tersampaikan dengan baik, sehingga meningkatkan
e�siensi birokrasi secara keseluruhan. Terakhir, inovasi juga
merupakan faktor budaya organisasi yang penting dalam
meningkatkan e�siensi birokrasi. Budaya inovasi mendorong
anggota organisasi untuk mencari solusi kreatif dan e�sien untuk
masalah yang dihadapi. Inovasi dapat menghasilkan perubahan
positif dalam sistem birokrasi dengan memperkenalkan proses
baru yang lebih e�sien atau menghilangkan praktik yang tidak
efektif. Oleh karena itu, budaya organisasi yang mendorong
inovasi akan memiliki dampak positif pada e�siensi birokrasi.
Secara keseluruhan, faktor-faktor budaya organisasi seperti
orientasi terhadap hasil, orientasi terhadap tugas, kepercayaan
dan saling pengertian, dan inovasi memiliki pengaruh yang
signi�kan terhadap e�siensi birokrasi suatu organisasi. Budaya
organisasi yang mendorong anggota organisasi untuk bekerja
dengan fokus pada hasil, tugas, dan inovasi, serta membangun
kepercayaan dan saling pengertian, akan meningkatkan e�siensi
birokrasi secara keseluruhan.
e. Pengambilan Keputusan
Pada tingkat pemerintahan yang berbirokrasi, e�siensi menjadi
salah satu tujuan utama. E�siensi birokrasi dapat diukur dengan
kemampuan untuk mencapai tujuan dengan sumber daya
yang tersedia secara optimal. Untuk mencapai e�siensi yang
diinginkan, pengambilan keputusan yang baik dan efektif di
dalam birokrasi sangatlah penting. Namun, ada beberapa faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam birokrasi
yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tingkat e�siensi.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam birokrasi adalah struktur organisasi. Struktur
organisasi yang jelas dan terde�nisi dengan baik memberikan
kerangka kerja yang diperlukan untuk pengambilan keputusan

33BAB II
yang e�sien. Struktur yang terlalu kompleks atau terlalu
terfragmentasi dapat menghambat aliran informasi dan
memperlambat proses pengambilan keputusan. Sebaliknya,
struktur organisasi yang hierarkis dan terstruktur dengan
baik dapat memungkinkan pengambilan keputusan yang
lebih cepat dan e�sien. Selain itu, faktor budaya juga berperan
penting dalam pengambilan keputusan dalam birokrasi. Budaya
organisasi yang mendorong inisiatif, kerjasama, dan transparansi
akan memfasilitasi pengambilan keputusan yang e�sien. Di sisi
lain, budaya yang cenderung otoriter atau resisten terhadap
perubahan dapat menghambat pengambilan keputusan yang
cepat dan efektif. Oleh karena itu, penting bagi birokrasi untuk
mengembangkan budaya yang mendukung dan memfasilitasi
pengambilan keputusan yang e�sien.
Selanjutnya, faktor komunikasi juga merupakan faktor
kunci dalam pengambilan keputusan yang e�sien. Komunikasi
yang baik dan efektif antara berbagai tingkatan dan unit di dalam
birokrasi sangat penting untuk memastikan bahwa informasi
yang relevan dapat diterima dan dipertukarkan dengan cepat.
Komunikasi yang buruk atau lambat dapat menyebabkan
kelambatan dalam pengambilan keputusan dan menghambat
e�siensi birokrasi. Oleh karena itu, penting bagi birokrasi untuk
memastikan adanya aliran komunikasi yang baik dan terbuka di
antara semua pihak yang terlibat.
Selain faktor-faktor internal, faktor eksternal juga dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan dan e�siensi birokrasi.
Misalnya, tekanan politik dan kebijakan pemerintah dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam birokrasi. Ketika
keputusan-keputusan penting harus dibuat di tengah tekanan
politik atau kebijakan yang berubah-ubah, proses pengambilan
keputusan dapat menjadi lebih kompleks dan memakan waktu
lebih lama. Oleh karena itu, stabilitas politik dan kebijakan
yang konsisten dapat berkontribusi pada e�siensi birokrasi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli, beberapa studi
telah mengidenti�kasi faktor-faktor penting lainnya yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan dan e�siensi birokrasi.
Misalnya, faktor-faktor seperti sumber daya manusia yang

34MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
berkualitas, pemilihan pejabat yang kompeten, dan penggunaan
teknologi informasi yang baik juga dapat berkontribusi pada
e�siensi birokrasi.
Dalam rangka meningkatkan e�siensi birokrasi, penting
bagi pemangku kepentingan dan para pengambil keputusan
untuk memperhatikan faktor-faktor ini. Dengan memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
dan e�siensi birokrasi, langkah-langkah dapat diambil untuk
memperbaiki proses pengambilan keputusan, memperkuat
struktur organisasi, membangun budaya yang mendukung,
meningkatkan komunikasi, dan memperhitungkan faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi e�siensi birokrasi.
B. BIROKRASI YANG LAMBAN DAN RUMIT
E�siensi birokrasi adalah salah satu indikator kunci dari kinerja
pemerintahan yang baik. Namun, seringkali kita menemui birokrasi
yang lambat dan rumit, yang dapat menghambat kemajuan dan inovasi.
Birokrasi yang lambat dan rumit merujuk pada situasi di mana proses
administrasi dan pengambilan keputusan di dalam sebuah organisasi
atau pemerintahan menjadi terhambat oleh aturan yang berbelit-belit,
prosedur yang memakan waktu, dan tingkat birokrasi yang tinggi. Hal ini
dapat mengakibatkan keterlambatan dalam memberikan layanan publik,
penundaan dalam pengambilan keputusan, serta kurangnya responsivitas
terhadap perubahan lingkungan.
1. Fenomena Birokrasi “Iron Cage” atau “Kandang Besi”
Birokrasi lambat dan rumit telah lama menjadi tantangan dalam
banyak organisasi, termasuk pemerintahan dan lembaga publik.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui perspektif teori dan penelitian
ilmiah yang berkaitan dengan birokrasi modern. Dalam konteks ini,
birokrasi mengacu pada struktur organisasi yang kompleks, dengan
hirarki yang jelas, peraturan yang ketat, dan prosedur yang rumit.
Salah satu teori terkenal yang menjelaskan fenomena birokrasi
adalah “Iron Cage” atau “Kandang Besi” yang dikemukakan oleh
Max Weber, seorang sosiolog terkemuka. Weber berpendapat bahwa
birokrasi modern diwarnai oleh rasionalitas hukum yang berlebihan,
di mana aturan, peraturan, dan prosedur menjadi pusat dari kegiatan
organisasi. Namun, sifat ini sering kali menyebabkan proses yang
lambat dan rumit.

35BAB II
Dalam era saat ini, fenomena “Sangkar Besi Birokrasi” masih
relevan dan dapat diamati dalam berbagai konteks. Konsep sangkar
besi birokrasi pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Max Weber
pada awal abad ke-20. Sangkar besi mengacu pada kerangka kerja yang
menggambarkan sistem birokrasi sebagai penjara yang membatasi
individu dalam aturan dan prosedur yang kaku. Dalam tulisan ini,
kita akan membahas bagaimana fenomena ini masih berlaku dalam
era saat ini. Dalam era teknologi modern, sangkar besi birokrasi dapat
dilihat dalam institusi pemerintahan, perusahaan multinasional, dan
organisasi non-pemerintah. Karena semakin kompleksnya tugas
dan tanggung jawab dalam lingkungan global yang cepat berubah,
banyak organisasi modern mengandalkan struktur birokratis yang
kaku untuk mencapai e�siensi dan kendali yang lebih besar. Namun,
fenomena ini dapat menyebabkan konsekuensi negatif. Salah satu
konsekuensi dari sangkar besi birokrasi adalah hilangnya inovasi
dan kreativitas. Karyawan cenderung terjebak dalam rutinitas dan
prosedur yang sudah ditetapkan, sehingga sulit bagi mereka untuk
berpikir di luar kotak dan menghasilkan ide-ide baru. Penekanan
pada kepatuhan terhadap aturan dan hierarki juga dapat membatasi
�eksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan situasi yang cepat. Selain
itu, sangkar besi birokrasi juga dapat memicu alienasi dan kejenuhan
di antara karyawan. Ketika individu terjebak dalam rutinitas yang
monoton dan tidak memiliki kontrol atas pekerjaan mereka, mereka
mungkin kehilangan motivasi dan semangat dalam bekerja. Hal ini
dapat berdampak negatif pada produktivitas dan kualitas kerja.
Fenomena ini juga dapat menciptakan kesenjangan kekuasaan
yang signi�kan antara para pekerja dan manajemen. Struktur
hierarkis dalam sangkar besi birokrasi memberikan manajemen
dengan kontrol yang besar atas karyawan. Karyawan cenderung
memiliki ketergantungan ekonomi pada pekerjaan mereka, yang
membuat mereka rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan
dan eksploitasi. Ini juga dapat menyebabkan ketidakadilan dalam
pembagian sumber daya dan kesempatan. Meskipun fenomena
sangkar besi birokrasi memiliki dampak negatif, tidak dapat
disangkal bahwa beberapa bentuk birokrasi masih diperlukan
dalam menjaga stabilitas dan e�siensi organisasi. Namun, untuk
mengatasi konsekuensi negatifnya, ada beberapa pendekatan yang

36MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dapat diambil. Pertama, penting untuk mempromosikan budaya
organisasi yang memfasilitasi inovasi, kolaborasi, dan keterlibatan
karyawan. Mendorong partisipasi aktif, memberikan kebebasan
dalam mengambil keputusan, dan memperkenalkan ruang untuk
eksperimen dapat membantu mengurangi efek sangkar besi birokrasi.
Kedua, implementasi teknologi informasi dan komunikasi dapat
membantu mempercepat aliran informasi dan proses pengambilan
keputusan. Automatisasi tugas rutin dan menggunakan sistem
manajemen berbasis cloud dapat membantu mengurangi birokrasi
yang tidak perlu dan memberikan karyawan lebih banyak waktu untuk
fokus pada tugas yang lebih kreatif dan penting. Akhirnya, penting
untuk memperhatikan pengembangan keterampilan dan kebutuhan
individu. Melalui pelatihan dan pengembangan, karyawan dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan
untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam lingkungan kerja
yang berubah dengan cepat.
Fenomena sangkar besi birokrasi masih relevan dalam era saat
ini. Meskipun beberapa bentuk birokrasi tetap diperlukan, penting
untuk mengatasi konsekuensi negatif yang terkait dengan sangkar
besi. Dengan mengadopsi pendekatan yang mencakup budaya
organisasi yang inklusif, pemanfaatan teknologi informasi, dan
pengembangan karyawan, kita dapat memperbaiki pengaruh negatif
dari sangkar besi birokrasi dan mempromosikan lingkungan kerja
yang lebih �eksibel dan inovatif.
2. Fenomena Birokrasi Lamban Berdasarkan Teori Agensi
Birokrasi seringkali dianggap lambat dan rumit dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Pandangan ini didukung oleh teori agensi yang
mengkaji hubungan antara agen (pegawai birokrasi) dan prinsipal
(masyarakat atau pemerintah). Birokrasi seringkali dianggap lambat
dan rumit dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pandangan ini
didukung oleh teori agensi yang mengkaji hubungan antara agen
(pegawai birokrasi) dan prinsipal (masyarakat atau pemerintah).
Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai mengapa birokrasi
dianggap lambat dan rumit berdasarkan teori agensi.Teori agensi
menekankan adanya perbedaan kepentingan dan tujuan antara
agen dan prinsipal. Agen, dalam hal ini pegawai birokrasi, memiliki
kepentingan pribadi dan insentif untuk memaksimalkan manfaat

37BAB II
mereka sendiri, seperti kenaikan pangkat, stabilitas pekerjaan, atau
kekuasaan. Di sisi lain, prinsipal, yaitu masyarakat atau pemerintah,
memiliki tujuan untuk mendapatkan layanan publik yang e�sien dan
berkualitas. Kon�ik kepentingan inilah yang menyebabkan birokrasi
menjadi lambat dan rumit. Pegawai birokrasi cenderung melakukan
tindakan yang mengoptimalkan kepentingan pribadi mereka, seperti
meningkatkan kewenangan mereka, mempertahankan status quo,
atau menunda pengambilan keputusan yang berisiko. Tindakan ini
dapat menghambat proses pengambilan keputusan yang cepat dan
efektif.
Selain itu, adanya hirarki dan prosedur yang kompleks dalam
birokrasi juga berkontribusi pada lambatnya kinerja birokrasi. Setiap
keputusan atau tindakan harus melewati berbagai tingkat birokrasi
dan mematuhi berbagai peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan.
Proses ini memakan waktu yang lama dan dapat menyebabkan
penundaan dalam penyelesaian masalah atau pemberian layanan
publik. Teori agensi juga menyoroti adanya asimetri informasi antara
agen dan prinsipal. Agen memiliki pengetahuan yang lebih mendalam
tentang sistem birokrasi dan sering kali memiliki kekuasaan yang lebih
besar dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh
agen untuk memperlambat atau mempersulit proses pengambilan
keputusan agar sesuai dengan kepentingan pribadinya. Sebagai
contoh, agen dapat menggunakan kebijakan atau regulasi yang rumit
dan sulit dipahami oleh prinsipal untuk mempertahankan kendali
atau kekuasaannya. Lebih lanjut, sistem insentif dalam birokrasi
juga dapat menyebabkan lambatnya kinerja. Pegawai birokrasi
sering kali dihargai berdasarkan kepatuhan terhadap aturan dan
prosedur yang telah ditetapkan, bukan berdasarkan pencapaian hasil
yang e�sien atau inovasi. Hal ini dapat membuat pegawai birokrasi
enggan mengambil risiko atau mencoba pendekatan baru yang dapat
mempercepat penyelesaian masalah atau pemberian layanan publik.
Kon�ik kepentingan antara agen dan prinsipal, hirarki yang
kompleks, asimetri informasi, dan sistem insentif yang kurang tepat,
semuanya berkontribusi pada lambatnya kinerja birokrasi. Perlu
ada upaya untuk memperbaiki sistem birokrasi dengan mengatasi
kon�ik kepentingan, menyederhanakan prosedur, meningkatkan

38MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
transparansi informasi, dan mengubah sistem insentif agar lebih
mendorong pencapaian hasil yang e�sien dan inovasi.
C. KETIDAKJELASAN TUJUAN ORGANISASI DAN TUMPANG
TINDIHNYA TANGGUNG JAWAB ANTARA UNIT ATAU
DEPARTEMEN
Tujuan organisasi yang tidak jelas dan tumpang tindihnya tanggung
jawab antara unit atau departemen dalam birokrasi dapat menyebabkan
ketidakjelasan dalam pelaksanaan tugas dan menghambat pencapaian
tujuan organisasi. Tujuan organisasi yang jelas merupakan fondasi
penting dalam mengarahkan upaya kolektif dan mengoordinasikan
kegiatan di dalam sebuah organisasi. Ketika tujuan organisasi tidak jelas,
anggota organisasi mungkin memiliki pemahaman yang berbeda-beda
tentang arah yang harus diambil dan prioritas yang harus ditetapkan.
Hal ini dapat menyebabkan kon�ik, kebingungan, dan penurunan
produktivitas di dalam organisasi (Robbins, Coulter, & DeCenzo, 2017).
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Hackman dan Oldham (1976),
ditemukan bahwa tujuan organisasi yang jelas berkaitan positif dengan
kinerja individu dan kepuasan kerja. Ketika tujuan yang diberikan jelas
dan terukur, individu memiliki panduan yang lebih jelas tentang apa yang
diharapkan dari mereka, yang memungkinkan mereka untuk fokus dan
berusaha mencapai tujuan tersebut.
Tumpang tindihnya tanggung jawab antar unit atau departemen dalam
birokrasi dapat menyebabkan duplikasi pekerjaan, kelebihan birokrasi,
dan kebingungan dalam pelaksanaan tugas. Ketika tidak ada klari�kasi
mengenai siapa yang bertanggung jawab atas tugas tertentu, hal ini dapat
menyebabkan pelaksanaan yang tidak e�sien dan penundaan dalam
pengambilan keputusan. Salah satu contoh tumpang tindihnya tanggung
jawab adalah dalam hal pengelolaan proyek. Jika tidak ada pembagian
yang jelas mengenai tanggung jawab antara departemen pengembangan
produk dan departemen pemasaran, mungkin terjadi kebingungan
mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas-
tugas tertentu, seperti mengumpulkan umpan balik pelanggan atau
menentukan �tur-�tur produk yang diinginkan. Akibatnya, proyek dapat
mengalami penundaan atau keputusan yang tidak optimal (Mintzberg,
1983). Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lawrence dan Lorsch
(1967), ditemukan bahwa tumpang tindihnya tanggung jawab antar
unit dalam organisasi dapat menghambat adaptasi organisasi terhadap

39BAB II
perubahan lingkungan. Ketika beberapa unit memiliki tanggung jawab
yang tumpang tindih, mungkin terjadi kebingungan mengenai siapa yang
harus mengambil keputusan atau bertindak dalam situasi tertentu. Hal
ini dapat menghambat respons cepat dan adaptasi organisasi terhadap
perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Tujuan organisasi yang jelas dan pemisahan tanggung jawab antara
unit atau departemen dalam birokrasi sangat penting untuk pencapaian
tujuan organisasi dan e�siensi operasional. Ketika tujuan organisasi tidak
jelas, hal ini dapat menyebabkan ketidakjelasan, kon�ik, dan penurunan
produktivitas. Selain itu, tumpang tindihnya tanggung jawab antar unit
atau departemen dapat menyebabkan duplikasi pekerjaan, kebingungan,
dan hambatan dalam adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungan.
Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk mengklari�kasi tujuan
mereka dengan jelas dan memastikan ada pembagian yang jelas mengenai
tanggung jawab antar unit atau departemen.
D. PERMASALAHAN BUDAYA ORGANISASI DALAM MENCAPAI
EFISIENSI
Pengembangan budaya organisasi yang kuat dapat menjadi kunci dalam
mencapai e�siensi birokrasi. Budaya organisasi merujuk pada norma,
nilai-nilai, dan keyakinan bersama yang memandu perilaku individu
dalam sebuah organisasi. Dalam konteks birokrasi, budaya organisasi
yang baik dapat memberikan panduan yang jelas dan konsisten kepada
para pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Teori organisasi
menunjukkan bahwa budaya organisasi yang baik berkontribusi terhadap
e�siensi birokrasi dengan beberapa cara. Pertama, budaya organisasi
yang kuat dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara unit-
unit yang berbeda dalam birokrasi. Koordinasi yang baik meminimalkan
tumpang tindih tugas dan memastikan bahwa sumber daya digunakan
secara efektif. Dalam budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi
memiliki pemahaman yang jelas tentang peran dan tanggung jawab
mereka, sehingga mengurangi kon�ik dan meningkatkan e�siensi kerja.
Kedua, budaya organisasi yang kuat juga dapat mempengaruhi perilaku
pegawai. Norma-norma dan nilai-nilai yang diterapkan dalam budaya
organisasi dapat mendorong pegawai untuk berperilaku sesuai dengan
prinsip e�siensi. Misalnya, jika organisasi mengutamakan ketepatan
waktu dalam penyelesaian tugas, pegawai akan cenderung bekerja dengan
e�sien untuk mencapai target tersebut. Pegawai juga akan lebih mampu

40MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam situasi yang kompleks
jika memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai organisasi.
Selain itu, budaya organisasi yang kuat dapat mempengaruhi
pemahaman dan komitmen pegawai terhadap tujuan organisasi.
Jika nilai-nilai organisasi yang diterapkan menekankan e�siensi dan
pelayanan yang baik kepada publik, pegawai akan memiliki motivasi
yang tinggi untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka akan merasa terikat
dan bertanggung jawab terhadap tujuan organisasi, yang pada gilirannya
akan meningkatkan kinerja mereka dan e�siensi birokrasi secara
keseluruhan. Pengembangan budaya organisasi yang kuat membutuhkan
upaya yang berkelanjutan dan keseriusan dari pimpinan organisasi.
Pimpinan harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai dan
norma-norma organisasi dalam tindakan sehari-hari mereka. Mereka
juga perlu memberikan pelatihan dan pendidikan kepada pegawai untuk
memastikan bahwa mereka memahami dan menginternalisasi budaya
organisasi yang diinginkan.
Namun, dalam beberapa kasus, budaya organisasi yang tidak sesuai
atau tidak mendukung dapat menjadi hambatan dalam mencapai e�siensi
yang optimal. Beberapa hal yang terjadi dalam permasaahan budaya
organisasi yang sering terjadi seperti :
1. Ambiguitas (ketidakjelasan) nilai-nilai organisasi dalam masalah
budaya organisasi.
Ketika kita membahas tentang budaya organisasi, nilai-nilai
organisasi memainkan peran yang penting dalam membentuk budaya
tersebut. Namun, seringkali nilai-nilai organisasi dapat menjadi
ambigu, yang mengarah pada tantangan dalam mengintegrasikan
dan memahami mereka secara menyeluruh. Dalam tulisan ini,
kami akan mengeksplorasi ambiguitas nilai-nilai organisasi dalam
budaya organisasi, dengan fokus pada teori dan penelitian ilmiah
yang relevan. Ambiguitas nilai-nilai organisasi dapat muncul dalam
beberapa cara. Pertama, dapat ada ambiguitas dalam de�nisi nilai-
nilai itu sendiri. Nilai-nilai organisasi seringkali dirumuskan dalam
pernyataan umum yang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh
individu yang berbeda. Misalnya, jika sebuah organisasi menyatakan
“Integritas adalah nilai inti kami”, bagaimana seorang karyawan akan
memahami dan mengimplementasikan integritas dalam tindakan
sehari-hari mereka dapat bervariasi. Ambiguitas semacam itu

41BAB II
dapat mengarah pada ketidakjelasan dan perbedaan dalam perilaku
organisasi.
Kedua, ambiguitas dapat muncul ketika nilai-nilai yang
diungkapkan secara terbuka bertentangan dengan praktik yang
diamalkan dalam organisasi. Jika sebuah organisasi menyatakan nilai-
nilai seperti “kolaborasi” dan “keadilan”, tetapi dalam kenyataannya
ada praktik-praktik yang mendorong persaingan dan ketidakadilan
di tempat kerja, maka ada ambiguitas nilai-nilai. Karyawan mungkin
merasa bingung dan tidak yakin tentang nilai-nilai yang sebenarnya
ditekankan oleh organisasi.
Ambiguitas nilai-nilai organisasi juga dapat timbul dalam konteks
perbedaan budaya. Nilai-nilai organisasi yang efektif dan relevan
dalam satu budaya mungkin tidak memiliki arti yang sama atau
bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam budaya lain. Misalnya,
dalam beberapa budaya, nilai-nilai yang menekankan kerjasama
dan harmoni mungkin diutamakan, sementara dalam budaya lain,
nilai-nilai yang menekankan persaingan dan pencapaian individu
mungkin lebih dihargai. Ketidakcocokan ini dapat menciptakan
ambiguitas nilai-nilai dalam konteks global dan multikultural. Untuk
mengatasi ambiguitas nilai-nilai organisasi, penting untuk memiliki
komunikasi yang jelas dan terbuka tentang nilai-nilai tersebut.
Pemimpin organisasi harus memastikan bahwa nilai-nilai organisasi
dide�nisikan dengan jelas dan diartikulasikan dalam cara yang dapat
dipahami oleh semua anggota organisasi. Selain itu, nilai-nilai yang
diungkapkan harus konsisten dengan praktik yang diamalkan dalam
organisasi. Hal ini dapat dilakukan melalui penyelarasan antara nilai-
nilai dan sistem insentif, serta memastikan bahwa semua anggota
organisasi memahami dan mengadopsi nilai-nilai tersebut.
Selain itu, pemimpin organisasi harus mempertimbangkan
konteks budaya dalam merumuskan dan mengartikulasikan nilai-
nilai organisasi. Mereka perlu memahami perbedaan budaya
dan memastikan bahwa nilai-nilai yang ditekankan relevan dan
efektif dalam setiap konteks budaya. Mengadopsi pendekatan yang
�eksibel dan adaptif terhadap nilai-nilai organisasi dapat membantu
mengurangi ambiguitas dan mempromosikan pemahaman yang
lebih baik di seluruh organisasi. Ambiguitas nilai-nilai organisasi
dapat menjadi tantangan yang signi�kan dalam membangun budaya

42MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
organisasi yang kuat. Penting untuk mengatasi ambiguitas ini melalui
komunikasi yang jelas dan terbuka, konsistensi antara nilai-nilai yang
diungkapkan dan praktik yang diamalkan, serta mempertimbangkan
konteks budaya. Dengan memahami dan mengelola ambiguitas nilai-
nilai organisasi, organisasi dapat menciptakan budaya yang kuat dan
efektif yang mendorong kinerja dan keberhasilan jangka panjang.
2. Kurangnya transparansi dan komunikasi
Ketika berbicara tentang budaya organisasi, transparansi dan
komunikasi adalah dua faktor kunci yang sangat penting. Kurangnya
transparansi dan komunikasi dalam budaya organisasi dapat memiliki
dampak negatif yang signi�kan pada karyawan, e�siensi operasional,
dan keberhasilan keseluruhan perusahaan. Dalam tulisan ini, kami
akan menjelaskan pentingnya transparansi dan komunikasi dalam
budaya organisasi, serta dampaknya yang merugikan. Selain itu, kami
akan merujuk pada teori dan penelitian ilmiah yang mendukung
pandangan ini. Transparansi dapat diartikan sebagai berbagi informasi
secara jelas, terbuka, dan jujur kepada semua anggota organisasi.
Dalam budaya organisasi yang transparan, informasi yang relevan
dengan pekerjaan dan keputusan penting disampaikan dengan jelas
dan diberikan kepada semua orang yang terlibat. Ketika transparansi
kurang, karyawan mungkin merasa tidak memiliki akses terhadap
informasi yang mereka butuhkan untuk melakukan tugas mereka
dengan efektif. Mereka mungkin merasa ditinggalkan dan tidak
diberi kesempatan untuk berkontribusi secara maksimal. Hal ini
dapat menghasilkan penurunan motivasi dan kinerja individu, serta
kerugian keseluruhan dalam e�siensi dan produktivitas organisasi.
Komunikasi yang baik juga merupakan aspek penting dalam
budaya organisasi yang sehat. Komunikasi yang efektif memastikan
bahwa pesan yang diterima dan dipahami dengan benar oleh semua
anggota organisasi. Dalam budaya yang kurang komunikatif, sering
kali terjadi ketidakjelasan, kebingungan, dan kesalahpahaman.
Informasi yang penting dapat hilang atau salah dimengerti, yang
dapat mengakibatkan ketidaksesuaian dalam tindakan dan keputusan
yang diambil. Selain itu, kurangnya komunikasi yang terbuka dan
jelas dapat menciptakan iklim ketidakpercayaan dan ketegangan di
antara anggota tim dan departemen, yang berdampak negatif pada
kolaborasi dan kerjasama.

43BAB II
Beberapa teori dan penelitian telah menggarisbawahi pentingnya
transparansi dan komunikasi dalam budaya organisasi. Misalnya, teori
transparansi informasi oleh Dierkes dan Antal (1986) menekankan
pentingnya transparansi dalam mengatasi asimetri informasi dan
menciptakan kepercayaan di antara anggota organisasi. Studi oleh
Kouzes dan Posner (2017) juga menunjukkan bahwa komunikasi yang
efektif adalah salah satu karakteristik utama pemimpin yang berhasil.
Penelitian oleh Davenport dan Prusak (1998) menyoroti pentingnya
komunikasi dalam mentransfer pengetahuan dan pengalaman di
antara individu dan tim dalam organisasi.
Dampak negatif dari kurangnya transparansi dan komunikasi
dalam budaya organisasi dapat meliputi penurunan moral karyawan,
peningkatan kon�ik interpersonal, kurangnya kepercayaan, dan
penurunan kualitas pengambilan keputusan. Dalam jangka panjang,
kurangnya transparansi dan komunikasi dapat berkontribusi pada
tingginya tingkat turnover karyawan dan sulitnya merekrut dan
mempertahankan bakat yang berkualitas. Untuk mengatasi masalah
ini, organisasi harus mendorong dan mempromosikan transparansi
dan komunikasi yang sehat. Hal ini dapat dilakukan melalui
pembangunan sistem komunikasi internal yang efektif, menyediakan
akses mudah ke informasi yang relevan, dan melibatkan karyawan
dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, manajer dan
pemimpin harus berperan aktif dalam memastikan bahwa komunikasi
terjadi secara terbuka dan jelas di semua tingkatan organisasi.
Kurangnya transparansi dan komunikasi dalam budaya
organisasi dapat memiliki dampak negatif yang signi�kan. Hal
ini dapat mengganggu produktivitas, meningkatkan kon�ik, dan
mengurangi kepercayaan dalam organisasi. Oleh karena itu, penting
bagi organisasi untuk membangun budaya yang mendorong
transparansi dan komunikasi yang sehat. Melalui penggunaan teori
dan penelitian ilmiah, kita dapat memahami pentingnya faktor-faktor
ini dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan
dan keberhasilan jangka panjang organisasi.
3. Perlawanan Terhadap Perubahan
Perlawanan terhadap perubahan dalam budaya organisasi merupakan
fenomena yang sering terjadi di berbagai organisasi. Hal ini dapat
melambatkan atau bahkan menghambat pencapaian tujuan perubahan

44MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
yang diinginkan. Untuk memahami perlawanan terhadap perubahan
budaya organisasi, diperlukan pendekatan yang berbasis teori dan
ilmiah. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi beberapa faktor
yang mendasari perlawanan terhadap perubahan budaya organisasi
beserta bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya. Salah satu faktor
utama yang menyebabkan perlawanan terhadap perubahan budaya
organisasi adalah ketakutan akan ketidakpastian. Perubahan sering
kali menghasilkan ketidakpastian mengenai peran, tanggung jawab,
dan hubungan kerja yang baru. Menurut teori perubahan organisasi,
ketidakpastian ini dapat meningkatkan kecemasan, ketidakpuasan,
dan resistensi terhadap perubahan (Cavanaugh et al., 2000). Penelitian
oleh Holt et al. (2017) menemukan bahwa perasaan tidak nyaman
yang disebabkan oleh ketidakpastian dapat menyebabkan individu
lebih cenderung untuk mempertahankan status quo dan menolak
perubahan budaya organisasi.
Selain itu, ketidakcocokan antara nilai-nilai individu dan nilai-
nilai yang diusulkan dalam perubahan budaya organisasi juga dapat
menyebabkan perlawanan. Individu cenderung mempertahankan
nilai-nilai yang sudah melekat dalam diri mereka dan sulit untuk
menerima nilai-nilai baru yang bertentangan dengan keyakinan
mereka (Oreg et al., 2013). Penelitian telah menunjukkan bahwa
perlawanan terhadap perubahan budaya organisasi dapat terjadi
ketika individu merasa nilai-nilai mereka dilanggar oleh perubahan
tersebut (Bouckenooghe et al., 2014). Selanjutnya, kurangnya
partisipasi dalam proses perubahan budaya organisasi juga dapat
memicu perlawanan. Ketika individu merasa tidak terlibat dalam
pengambilan keputusan atau tidak memiliki kontrol atas perubahan
yang akan terjadi, mereka cenderung menunjukkan sikap resisten
terhadap perubahan tersebut (Cotton et al., 1988).
Penelitian oleh Armenakis dan Bedeian (1999) menemukan
bahwa partisipasi yang tinggi dalam proses perubahan dapat
mengurangi perlawanan terhadap perubahan budaya organisasi.
Selain faktor-faktor di atas, perlawanan terhadap perubahan budaya
organisasi juga dapat dipengaruhi oleh ketidaktahuan atau kurangnya
pemahaman tentang alasan dan manfaat perubahan tersebut. Ketika
individu tidak melihat hubungan yang jelas antara perubahan
dan tujuan organisasi, mereka lebih mungkin untuk menolak atau

45BAB II
menghindari perubahan tersebut (Bordia et al., 2004). Penelitian
telah menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif dan transparansi
dalam menjelaskan alasan dan manfaat perubahan dapat mengurangi
perlawanan terhadap perubahan budaya organisasi (Ford et al., 2008).
Dalam rangka mengatasi perlawanan terhadap perubahan budaya
organisasi, perlu adanya pendekatan yang berbasis teori dan ilmiah.
Beberapa strategi yang dapat diterapkan adalah meningkatkan
partisipasi karyawan dalam proses perubahan, mengkomunikasikan
alasan dan manfaat perubahan secara efektif, dan mengurangi
ketidakpastian melalui pendidikan dan pelatihan. Selain itu,
penting juga untuk menghargai nilai-nilai individu yang sudah ada
dan mencari cara untuk mengintegrasikan nilai-nilai baru yang
diusulkan dalam perubahan. Perlawanan terhadap perubahan budaya
organisasi merupakan fenomena yang kompleks dan mempengaruhi
kesuksesan perubahan organisasi. Melalui pemahaman terhadap
faktor-faktor yang mendasari perlawanan ini, organisasi dapat
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi resistensi
dan memfasilitasi perubahan budaya yang berhasil.
4. Ketidakseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi
Keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi adalah
aspek penting dalam budaya organisasi yang sehat. Ketidakseimbangan
antara keduanya dapat berdampak negatif pada kesejahteraan
karyawan dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Tulisan ini
akan membahas tentang ketidakseimbangan antara kehidupan kerja
dan kehidupan pribadi dalam budaya organisasi, dengan merujuk
pada teori dan penelitian ilmiah terkait. Ketidakseimbangan antara
kehidupan kerja dan kehidupan pribadi sering kali terjadi ketika
tuntutan pekerjaan yang tinggi mengganggu waktu dan perhatian
yang seharusnya diberikan kepada keluarga, teman, dan kegiatan di
luar pekerjaan. Fenomena ini dapat terjadi dalam berbagai sektor
industri dan tingkatan pekerjaan. Sejumlah teori dan penelitian telah
mengungkapkan dampak negatif dari ketidakseimbangan ini terhadap
kesejahteraan individu dan organisasi. Ketidakseimbangan antara
kehidupan kerja dan kehidupan pribadi sering kali terjadi ketika
tuntutan pekerjaan yang tinggi mengganggu waktu dan perhatian
yang seharusnya diberikan kepada keluarga, teman, dan kegiatan di
luar pekerjaan. Fenomena ini dapat terjadi dalam berbagai sektor

46MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
industri dan tingkatan pekerjaan. Sejumlah teori dan penelitian
telah mengungkapkan dampak negatif dari ketidakseimbangan ini
terhadap kesejahteraan individu dan organisasi.
Salah satu teori yang relevan adalah “teori pengurasan” atau
“teori kelelahan kerja” yang dikemukakan oleh Maslach dan Leiter
(1997). Menurut teori ini, ketidakseimbangan antara kehidupan
kerja dan kehidupan pribadi yang berkelanjutan dapat menyebabkan
burnout, yaitu keadaan emosional, �sik, dan mental yang terkait
dengan kelelahan, ketidakpuasan, dan penurunan kinerja. Penelitian
telah menunjukkan hubungan antara ketidakseimbangan kerja-
pribadi dan tingkat burnout yang lebih tinggi pada karyawan. Selain
itu, teori peran ganda yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell
(1985) juga relevan dalam konteks ini. Teori ini mengemukakan
bahwa tuntutan peran yang bertentangan antara peran kerja dan
peran keluarga dapat menyebabkan kon�ik peran yang mengganggu
keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.
Kon�ik peran ini dapat menghasilkan stres, ketidakpuasan kerja, dan
masalah keluarga.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kon�ik peran kerja-
keluarga berhubungan dengan penurunan kesejahteraan psikologis
dan kehidupan keluarga yang buruk. Beberapa studi juga telah
menghubungkan ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan
kehidupan pribadi dengan penurunan produktivitas dan kinerja
organisasi. Penelitian oleh Kelliher dan Anderson (2008) menemukan
bahwa ketidakseimbangan tersebut berhubungan dengan peningkatan
tingkat absensi, penurunan kualitas kerja, dan penurunan komitmen
organisasional. Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan antara
kehidupan kerja dan kehidupan pribadi dapat berdampak negatif
pada loyalitas karyawan dan retensi tenaga kerja.
Mengatasi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan
kehidupan pribadi dalam budaya organisasi memerlukan tindakan
yang holistik. Beberapa pendekatan yang telah dikemukakan
meliputi kebijakan �eksibilitas kerja, dukungan manajemen, dan
promosi keseimbangan kerja-pribadi. Penelitian menunjukkan
bahwa kebijakan �eksibilitas kerja, seperti jam kerja yang �eksibel,
pekerjaan jarak jauh, atau cuti yang lebih �eksibel, dapat membantu
mengurangi kon�ik peran kerja-keluarga dan meningkatkan

47BAB II
kesejahteraan karyawan. Selain itu, dukungan manajemen yang kuat
juga penting dalam menciptakan keseimbangan antara kehidupan
kerja dan kehidupan pribadi. Manajer dapat memberikan bantuan
dan sumber daya yang diperlukan kepada karyawan untuk mengatasi
tuntutan peran yang bertentangan. Dukungan sosial dari rekan
kerja dan budaya organisasi yang mendorong keseimbangan juga
merupakan faktor penting.
Ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan
pribadi dapat memiliki dampak negatif pada kesejahteraan
individu dan kinerja organisasi. Teori dan penelitian ilmiah telah
mengungkapkan hubungan antara ketidakseimbangan ini dengan
burnout, kon�ik peran, dan penurunan kinerja. Upaya untuk
mengatasi ketidakseimbangan ini melibatkan kebijakan �eksibilitas
kerja, dukungan manajemen, dan budaya organisasi yang mendukung
keseimbangan. Implementasi tindakan yang holistik dapat membantu
menciptakan budaya organisasi yang seimbang antara kehidupan
kerja dan kehidupan pribadi yang menguntungkan baik karyawan
maupun organisasi itu sendiri.
5. Kurangnya Kerja Tim dan Kolaborasi dalam Budaya Organisasi
Kerja tim dan kolaborasi yang efektif merupakan aspek penting
dalam mencapai keberhasilan organisasi. Namun, terdapat situasi di
mana organisasi menghadapi tantangan dalam membangun budaya
kerja tim yang kuat. Artikel ini akan menjelaskan tentang kurangnya
kerja tim dan kolaborasi dalam budaya organisasi, dengan merujuk
pada teori dan penelitian ilmiah yang relevan. Salah satu faktor
yang dapat menyebabkan kurangnya kerja tim adalah kurangnya
komunikasi yang efektif. Komunikasi yang buruk dapat menghambat
aliran informasi antara anggota tim, mengakibatkan miskomunikasi
dan kesalahpahaman. Studi yang dilakukan oleh DeChurch dan
Marks (2006) menemukan bahwa kurangnya komunikasi yang efektif
dapat mengganggu kerja tim dan mengurangi kinerja kolektif. Oleh
karena itu, penting bagi organisasi untuk memastikan adanya saluran
komunikasi yang terbuka dan jelas antara anggota tim.
Selain komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan
antar anggota tim juga dapat menyebabkan kurangnya kerja tim
dan kolaborasi. Menurut teori kepercayaan sosial, kepercayaan
merupakan faktor kunci dalam membangun hubungan yang sehat

48MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dan produktif antara anggota tim (McAllister, 1995). Jika anggota
tim tidak percaya satu sama lain, mereka mungkin enggan berbagi
informasi, bekerja sama, atau mengambil risiko bersama. Oleh karena
itu, organisasi perlu menciptakan lingkungan yang mempromosikan
kepercayaan dan kerjasama antar anggota tim. Selain faktor internal
seperti komunikasi dan kepercayaan, faktor eksternal seperti struktur
organisasi juga dapat mempengaruhi kerja tim dan kolaborasi.
Struktur organisasi yang terlalu hierarkis atau terlalu formal
dapat menghambat kolaborasi dan inovasi. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Amabile et al. (2004), ketika anggota tim merasa
terbatasi oleh aturan dan prosedur yang kaku, mereka cenderung
kurang berinovasi dan bekerja sama. Oleh karena itu, organisasi
perlu mempertimbangkan struktur organisasi yang mendukung
kerja tim dan kolaborasi, seperti penggunaan tim lintas departemen
atau pendekatan manajemen partisipatif. Selain itu, kurangnya
kesadaran akan pentingnya kerja tim juga dapat menyebabkan
kurangnya kolaborasi dalam budaya organisasi. Individu yang terlalu
fokus pada tujuan pribadi atau departemen mereka sendiri mungkin
enggan bekerja sama dengan anggota tim lainnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Riketta dan Van Dick (2005) menunjukkan bahwa
identi�kasi diri yang lemah dengan tim dapat mengurangi motivasi
individu untuk bekerja secara kolaboratif. Oleh karena itu, penting
bagi organisasi untuk mengedukasi dan membangun kesadaran akan
manfaat kerja tim yang efektif kepada seluruh anggota organisasi.
Dalam rangka mengatasi masalah kurangnya kerja tim dan
kolaborasi dalam budaya organisasi, organisasi dapat mengambil
beberapa langkah. Pertama, organisasi dapat menyediakan pelatihan
dan pengembangan keterampilan kerja tim kepada seluruh anggota
tim. Pelatihan ini dapat membantu meningkatkan kemampuan
komunikasi, negosiasi, dan kepemimpinan yang dibutuhkan dalam
kerja tim yang efektif. Kedua, organisasi perlu menciptakan lingkungan
yang mendukung kerja tim, seperti mendukung inisiatif kolaboratif,
mendorong saling percaya, dan memberikan penghargaan untuk kerja
tim yang baik. Ketiga, organisasi perlu memiliki sistem pengukuran
dan umpan balik yang jelas untuk mengevaluasi dan meningkatkan
kinerja kerja tim. Secara keseluruhan, kurangnya kerja tim dan
kolaborasi dalam budaya organisasi dapat memiliki dampak negatif

49BAB II
pada kinerja dan keberhasilan organisasi. Dengan memperhatikan
faktor-faktor seperti komunikasi, kepercayaan, struktur organisasi,
dan kesadaran, organisasi dapat mengatasi tantangan ini dan
membangun budaya kerja tim yang kuat. Melalui langkah-langkah
seperti pelatihan, penciptaan lingkungan yang mendukung, dan
pengukuran kinerja yang jelas, organisasi dapat meningkatkan kerja
tim dan kolaborasi, sehingga mencapai keberhasilan yang lebih besar.

50MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

51
BAB III
STRATEGI PENINGKATAN EFISIENSI BIROKRASI
A. REFORMASI BIROKRASI UNTUK MENINGKATKAN EFISI -
ENSI
Reformasi birokrasi adalah serangkaian upaya untuk meningkatkan
e�siensi, transparansi, akuntabilitas, dan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh administrasi publik. Reformasi ini melibatkan restrukturisasi sistem
dan proses birokrasi, peningkatan kompetensi dan profesionalisme
pegawai, serta penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam
pengelolaan kegiatan pemerintahan. Sejarah dan perkembangan
reformasi birokrasi dapat ditelusuri ke berbagai fase dalam sejarah
pemerintahan. Salah satu fase penting dalam perkembangan ini adalah
gerakan reformasi administrasi publik pada awal abad ke-20. Gerakan ini
dipelopori oleh para teoretisi seperti Max Weber dan Woodrow Wilson,
yang mengadvokasi pengenalan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dalam
birokrasi pemerintahan.
Pada tahun 1937, Prancis mengadopsi apa yang dikenal sebagai
“Peraturan Lebret”, yang bertujuan untuk meningkatkan e�siensi
dan kualitas pelayanan di sektor publik. Peraturan ini menekankan
pentingnya pelatihan pegawai, pemilihan berdasarkan merit, dan evaluasi
kinerja sebagai prasyarat untuk kenaikan pangkat dan promosi. Selama
tahun 1950-an dan 1960-an, gerakan reformasi administrasi publik
semakin populer di berbagai negara di seluruh dunia. Amerika Serikat
mengadopsi Program Manajemen dan Pengawasan (Management by
Objectives) sebagai upaya untuk meningkatkan e�siensi dan akuntabilitas
di sektor publik. Sementara itu, di Jepang, konsep “kaizen” atau perbaikan
terus-menerus diterapkan dalam birokrasi untuk meningkatkan kualitas
dan produktivitas. Sejak tahun 1980-an, dengan semakin berkembangnya

52MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
teknologi informasi dan komunikasi, reformasi birokrasi semakin terfokus
pada upaya mengadopsi teknologi dan sistem informasi yang canggih.
Misalnya, program e-government mulai diperkenalkan sebagai cara untuk
meningkatkan aksesibilitas pelayanan publik dan e�siensi administrasi.
Selain itu, prinsip-prinsip tata kelola yang baik semakin menjadi fokus
dalam reformasi birokrasi. Prinsip-prinsip ini mencakup transparansi,
akuntabilitas, partisipasi publik, dan penegakan hukum. Dalam beberapa
kasus, badan otonom seperti Ombudsman dibentuk untuk mengawasi
kegiatan pemerintah dan melindungi hak-hak warga negara.
Indonesia juga telah mengalami perjalanan reformasi birokrasi
yang signi�kan. Pada tahun 1998, setelah jatuhnya rezim otoriter,
reformasi birokrasi menjadi salah satu agenda utama dalam membangun
pemerintahan yang demokratis dan transparan. Beberapa langkah telah
diambil, termasuk pengadopsian sistem rekrutmen berbasis merit,
pengembangan sistem informasi pemerintah, dan reformasi kebijakan
dalam berbagai sektor. Reformasi birokrasi merupakan topik yang
luas dan terus berkembang, dengan berbagai teori dan pendekatan
yang mendukungnya. Beberapa konsep utama yang relevan termasuk
manajemen publik, tata kelola yang baik, inovasi dalam pemerintahan,
dan perubahan budaya organisasi. Perkembangan terbaru dalam teknologi
informasi juga memiliki dampak signi�kan dalam transformasi birokrasi.
Dalam menerapkan reformasi birokrasi, penting untuk
mempertimbangkan konteks politik, sosial, dan budaya setiap negara.
Setiap negara memiliki tantangan dan peluang unik dalam meningkatkan
kualitas pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh karena itu, pendekatan
yang holistik dan adaptif sangat diperlukan dalam merancang dan
melaksanakan reformasi birokrasi yang efektif.
Beberapa hal yang mendukung reformasi birokrasi dan e�siensi
birokrasi dengan berbagai pendekatan :
1. Pendekatan berbasis kinerja
Pendekatan berbasis kinerja adalah suatu pendekatan yang bertujuan
untuk meningkatkan e�siensi dan efektivitas kinerja suatu organisasi
atau sistem dengan fokus pada pencapaian hasil yang diukur secara
obyektif. Pendekatan ini menempatkan kinerja sebagai pusat perhatian
utama dan mengarahkan upaya menuju pengukuran kinerja yang
jelas, tujuan yang terukur, dan pemantauan secara berkelanjutan.
Pendekatan berbasis kinerja telah menjadi isu penting dalam upaya

53BAB III
reformasi birokrasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, karena
dianggap sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik dan akuntabilitas birokrasi. Pendekatan berbasis
kinerja dalam konteks reformasi birokrasi memiliki beberapa prinsip
dasar yang menjadi landasan teoritisnya. Pertama, pendekatan ini
menggantikan orientasi tradisional yang berfokus pada aturan dan
prosedur dengan orientasi yang berpusat pada hasil. Pendekatan ini
mendorong birokrasi untuk memprioritaskan pencapaian hasil yang
diinginkan dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Kedua, pendekatan berbasis kinerja menekankan pengukuran kinerja
yang obyektif dan terukur.
Dalam konteks reformasi birokrasi, pengukuran kinerja menjadi
penting untuk mengevaluasi sejauh mana pencapaian hasil telah
tercapai, mengidenti�kasi kelemahan dalam sistem, dan merumuskan
strategi perbaikan yang efektif. Pengukuran kinerja juga dapat
digunakan sebagai alat untuk memotivasi dan memberikan insentif
kepada aparatur sipil negara untuk mencapai target-target kinerja
yang ditetapkan. Ketiga, pendekatan berbasis kinerja melibatkan
adanya transparansi dan akuntabilitas. Dengan menggunakan
indikator kinerja yang jelas dan terukur, baik secara internal maupun
eksternal, birokrasi menjadi lebih terbuka dan bertanggung jawab
atas hasil kerja yang dicapai. Transparansi dan akuntabilitas ini juga
dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dan memperkuat legitimasi sistem birokrasi.
Pendekatan berbasis kinerja dalam konteks reformasi birokrasi
juga didukung oleh sejumlah penelitian dan bukti empiris. Misalnya,
sebuah studi yang dilakukan oleh World Bank (2017) menunjukkan
bahwa negara-negara yang menerapkan pendekatan berbasis kinerja
dalam reformasi birokrasi memiliki peningkatan yang signi�kan
dalam e�siensi dan kualitas pelayanan publik. Penelitian ini juga
menyoroti pentingnya penggunaan indikator kinerja yang tepat dan
akurat dalam mengukur kinerja birokrasi. Selain itu, penelitian lain
yang dilakukan oleh Heckman et al. (2018) menunjukkan bahwa
pendekatan berbasis kinerja dapat meningkatkan motivasi dan
keterlibatan aparatur sipil negara. Dengan adanya tujuan dan target
kinerja yang jelas, para pegawai publik merasa lebih termotivasi
untuk mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini dapat meningkatkan

54MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
e�siensi dan efektivitas kerja birokrasi secara keseluruhan. Dalam
konteks Indonesia, pendekatan berbasis kinerja telah diadopsi dalam
berbagai kebijakan reformasi birokrasi, seperti Program Reformasi
Birokrasi Nasional yang diluncurkan pada tahun 2010. Program ini
menekankan pentingnya pengukuran kinerja, pengembangan sistem
pengawasan, dan perbaikan manajemen sumber daya manusia dalam
rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Pendekatan berbasis kinerja merupakan pendekatan yang
penting dalam reformasi birokrasi. Dengan fokus pada pencapaian
hasil yang terukur, pendekatan ini dapat meningkatkan e�siensi,
efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi. Penelitian dan
bukti empiris juga mendukung keefektifan pendekatan berbasis
kinerja dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan motivasi
aparatur sipil negara. Oleh karena itu, pendekatan berbasis kinerja
perlu terus didukung dan diterapkan dalam upaya reformasi birokrasi
di Indonesia.
2. Pendekatan E-Government
E-Government adalah sebuah pendekatan yang memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan
e�siensi, transparansi, dan partisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pendekatan ini telah menjadi penyokong yang penting
dalam upaya reformasi birokrasi di berbagai negara di seluruh dunia.
Melalui penerapan e-pemerintahan, birokrasi dapat mengurangi
ketergantungan pada proses administrasi tradisional yang seringkali
cenderung lamban dan canggung. Salah satu konsep utama dalam
e-government adalah transformasi digital. Transformasi digital
melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk
mengubah cara pemerintah beroperasi, berinteraksi dengan warga,
dan menyediakan layanan publik. Dengan menggunakan teknologi
seperti internet, perangkat seluler, dan sistem informasi terintegrasi,
birokrasi dapat meningkatkan e�siensi dalam pengelolaan data,
pengolahan informasi, dan pengambilan keputusan. Penerapan
dalam e-government dapat mengurangi birokrasi yang berlebihan dan
mempercepat proses administrasi. Misalnya, dengan menyediakan
platform daring untuk mengajukan permohonan atau penda�aran,
warga dapat mengakses layanan publik tanpa harus mengunjungi
kantor pemerintah secara langsung. Hal ini tidak hanya menghemat

55BAB III
waktu bagi warga, tetapi juga mengurangi biaya administrasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Selain itu, e-government juga dapat meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas pemerintah. Dengan menyediakan akses terbuka
ke informasi publik melalui portal daring, warga dapat melihat dan
memantau kegiatan pemerintah dengan lebih mudah. Transparansi
ini dapat mengurangi potensi korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan, serta membangun kepercayaan antara pemerintah
dan warga. Partisipasi masyarakat juga menjadi salah satu elemen
penting dalam e-government. Melalui platform partisipatif seperti
forum daring atau survei online, warga dapat memberikan masukan,
saran, atau keluhan terkait kebijakan atau layanan publik. Hal ini
memungkinkan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat dan
memperbaiki kebijakan atau layanan yang tidak memenuhi harapan
masyarakat.
Ada beberapa studi dan teori yang mendukung pendekatan
e-government sebagai penunjang reformasi birokrasi. Misalnya,
teori transaksi elektronik (electronic transaction theory) oleh Rainer
dan Cegielski (2011) mengemukakan bahwa e-government dapat
mengurangi biaya administrasi, waktu, dan kesalahan dalam proses
transaksi antara pemerintah dan warga. Teori ini menunjukkan
bahwa implementasi e-government dapat memberikan manfaat
signi�kan dalam meningkatkan e�siensi dan produktivitas birokrasi.
Selain itu, teori literasi digital (digital literacy theory) oleh Gilster
(1997) menyatakan bahwa pemerintah perlu memberikan pelatihan
dan dukungan bagi warga dalam mengembangkan keterampilan
digital agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam e-pemerintahan.
Dalam konteks reformasi birokrasi, teori ini menunjukkan bahwa
pemerintah perlu memperhatikan aspek literasi digital dalam
mengimplementasikan e-government agar semua warga dapat
merasakan manfaatnya.
Dalam rangka mendukung pendekatan e-government
sebagai penunjang reformasi birokrasi, pemerintah juga perlu
memperhatikan aspek keamanan siber. Keamanan siber yang kuat
diperlukan untuk melindungi data pribadi warga dan menghindari
serangan terhadap sistem e-pemerintahan. Keamanan siber yang baik
akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan

56MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
mendorong adopsi e-pemerintahan secara lebih luas. pendekatan
e-pemerintahan merupakan penyokong yang penting dalam upaya
reformasi birokrasi. Dengan menerapkan e-government, birokrasi
dapat meningkatkan e�siensi, transparansi, dan partisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Melalui pendekatan ini, birokrasi
dapat mengurangi ketergantungan pada proses administrasi
tradisional yang seringkali cenderung lamban dan canggung.
Namun, implementasi e-government juga perlu memperhatikan
aspek keamanan siber dan literasi digital agar dapat memberikan
manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
3. Pendekatan Lean Management
Pendekatan lean management merupakan suatu metode manajemen
yang bertujuan untuk meningkatkan e�siensi, produktivitas, dan
kualitas dalam organisasi. Pendekatan ini telah terbukti efektif
dalam berbagai industri, termasuk sektor publik. Sebagai seorang
pendukung reformasi birokrasi, pendekatan lean management
dapat menjadi landasan yang kuat dalam meningkatkan kinerja dan
efektivitas organisasi pemerintah. Pendekatan lean management
didasarkan pada �loso� Kaizen, yang berarti perbaikan terus-
menerus. Pendekatan ini mendorong identi�kasi dan penghapusan
pemborosan serta pembaruan proses bisnis. Dalam konteks birokrasi,
hal ini sangat relevan karena sering kali terdapat prosedur yang
lambat, kompleks, dan tidak e�sien. Pendekatan lean management
dapat membantu mengidenti�kasi dan menghilangkan hambatan-
hambatan ini. Salah satu prinsip utama dalam lean management
adalah fokus pada nilai pelanggan. Dalam konteks birokrasi, ini
berarti memprioritaskan pelayanan publik yang efektif dan e�sien.
Organisasi pemerintah harus memahami kebutuhan dan harapan
masyarakat serta berusaha untuk memberikan pelayanan yang lebih
baik dan lebih cepat. Melalui pendekatan lean management, proses
pelayanan publik dapat dianalisis dan diperbaiki agar lebih responsif
dan berkualitas.
Konsep penting lainnya dalam lean management adalah
pengurangan pemborosan. Terdapat beberapa jenis pemborosan yang
umum dijumpai dalam organisasi pemerintah, seperti persediaan
berlebih, waktu tunggu, atau pengulangan tugas. Dengan menerapkan
prinsip-prinsip lean, organisasi pemerintah dapat mengidenti�kasi

57BAB III
dan menghilangkan pemborosan-pemborosan ini. Misalnya,
penggunaan teknologi informasi yang tepat dapat mengurangi waktu
tunggu dalam proses pelayanan publik. Selain itu, pendekatan lean
management juga mendorong kolaborasi dan partisipasi semua pihak
terkait. Hal ini berarti melibatkan pegawai pemerintah, masyarakat,
dan pihak lain yang terkait dalam perbaikan proses dan pengambilan
keputusan. Melalui partisipasi aktif, mungkin dapat ditemukan
ide-ide inovatif yang dapat meningkatkan kinerja dan efektivitas
organisasi pemerintah.
Untuk menerapkan pendekatan lean management dengan
sukses, diperlukan pengukuran dan pengendalian yang baik.
Organisasi pemerintah perlu mengumpulkan data tentang kinerja
dan mengidenti�kasi indikator yang relevan. Dengan data yang
akurat, dapat dilakukan analisis dan pemantauan untuk memastikan
perbaikan berkelanjutan. Dalam konteks ini, teknologi informasi
juga dapat berperan penting dalam mengumpulkan dan menganalisis
data. Untuk mendukung penggunaan pendekatan lean management
dalam reformasi birokrasi, penting bagi organisasi pemerintah untuk
membangun budaya kontinu perbaikan. Semua anggota organisasi
harus memiliki kesadaran akan pentingnya perbaikan terus-
menerus dan berkomitmen untuk berpartisipasi dalam proses ini.
Dengan budaya yang mendukung, implementasi pendekatan lean
management akan menjadi lebih efektif. Dalam rangka mendukung
penerapan pendekatan lean management dalam reformasi birokrasi,
diperlukan dukungan penuh dari pimpinan organisasi pemerintah.
Pimpinan harus memberikan sumber daya yang cukup dan
memberikan arahan yang jelas. Selain itu, perlu dilakukan pelatihan
dan pembinaan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan
terkait lean management.
Secara keseluruhan, pendekatan lean management.memiliki
potensi besar untuk mendukung reformasi birokrasi. Dengan fokus
pada e�siensi, kualitas, dan pelayanan pelanggan, pendekatan ini
dapat membantu organisasi pemerintah dalam meningkatkan kinerja
dan efektivitas. Namun, penting untuk diingat bahwa penerapan
pendekatan ini harus didasarkan pada kebutuhan dan karakteristik
khusus dari setiap organisasi pemerintah.

58MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
4. Teori Pilihan Rasional
Teori Pilihan Rasional merupakan salah satu pendekatan penting
yang digunakan dalam studi kebijakan publik dan reformasi birokrasi.
Teori ini bertumpu pada asumsi bahwa individu dan kelompok
bertindak secara rasional dalam mengambil keputusan mereka,
dengan tujuan untuk memaksimalkan manfaat mereka sendiri.
Dalam konteks reformasi birokrasi, teori ini memberikan wawasan
yang berguna tentang alasan mengapa perubahan birokrasi mungkin
atau tidak mungkin terjadi. Menurut teori ini, keputusan dalam
reformasi birokrasi dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat
dan biaya yang terkait. Individu atau kelompok yang terlibat dalam
proses reformasi akan mempertimbangkan keuntungan apa yang
dapat mereka peroleh dari perubahan tersebut, serta biaya yang harus
mereka keluarkan. Keuntungan dapat berupa peningkatan e�siensi,
peningkatan kapasitas, pengurangan biaya, atau peningkatan kualitas
pelayanan, sementara biaya dapat berupa kerugian politik, kerugian
kekuasaan, atau kerugian sumber daya.
Dalam konteks birokrasi, teori ini menjelaskan bahwa individu
dan kelompok dalam birokrasi akan bertindak secara rasional dalam
mempertahankan posisi dan kepentingan mereka. Hal ini bisa
menghambat perubahan birokrasi yang lebih e�sien atau transparan,
karena individu-individu tersebut mungkin tidak memiliki insentif
untuk berubah jika mereka dapat mempertahankan manfaat dan
kekuasaan mereka dengan status quo.
Namun, teori ini juga menyatakan bahwa perubahan birokrasi
dapat terjadi jika manfaat dari perubahan tersebut lebih besar
daripada biayanya. Dalam konteks ini, manfaat perubahan bisa
berupa peningkatan kinerja organisasi, peningkatan legitimasi,
atau peningkatan dukungan politik. Jika manfaat ini dapat melebihi
biaya yang terkait dengan perubahan birokrasi, maka individu dan
kelompok akan cenderung memilih untuk mendukung reformasi
tersebut. Dalam studi empiris yang melibatkan teori pilihan rasional
dalam reformasi birokrasi, terdapat beberapa penelitian yang
memberikan bukti bahwa keputusan yang diambil dalam konteks
reformasi birokrasi didasarkan pada pertimbangan manfaat dan
biaya. Sebagai contoh, sebuah penelitian oleh Hood dan Lodge
(2006) mengungkapkan bahwa kebijakan reformasi birokrasi yang

59BAB III
sukses adalah yang mampu menghadirkan manfaat yang jelas bagi
para pemangku kepentingan, sementara biaya yang terkait dengan
perubahan tersebut dapat diminimalkan atau dikompensasi. Selain
itu, teori pilihan rasional juga telah diterapkan dalam studi reformasi
birokrasi di berbagai negara. Misalnya, penelitian di Indonesia oleh
Prasojo (2012) menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di negara
ini dipengaruhi oleh pertimbangan manfaat dan biaya yang berbeda
dari masing-masing aktor yang terlibat. Pengaruh teori ini dalam
penelitian dan implementasi reformasi birokrasi menunjukkan
pentingnya mempertimbangkan motivasi rasional individu dan
kelompok dalam mencapai perubahan yang diinginkan.
Secara keseluruhan, teori pilihan rasional memberikan
kerangka kerja yang berguna dalam memahami perilaku individu
dan kelompok dalam konteks reformasi birokrasi. Pendekatan ini
menekankan pentingnya pertimbangan manfaat dan biaya dalam
pengambilan keputusan, dan dapat memberikan wawasan tentang
alasan mengapa perubahan birokrasi mungkin atau tidak mungkin
terjadi. Dalam konteks penelitian dan implementasi reformasi
birokrasi, penggunaan teori ini dapat membantu merumuskan
strategi dan kebijakan yang efektif untuk mencapai perubahan yang
diinginkan.
5. Kolaborasi Antar Institusi
Kolaborasi institusi merujuk pada kerja sama dan interaksi antara
berbagai institusi dalam mencapai tujuan bersama. Teori kolaborasi
institusi menekankan pentingnya koordinasi, pertukaran informasi,
dan sinergi antara institusi untuk mencapai hasil yang lebih baik
daripada jika mereka beroperasi secara terpisah. Teori ini berdasarkan
pada pemahaman bahwa masalah kompleks yang dihadapi dalam
reformasi birokrasi memerlukan perspektif dan pengetahuan yang
beragam dari berbagai institusi untuk dicapai. Kolaborasi antara
institusi dalam reformasi birokrasi memiliki beberapa keuntungan.
Pertama, kolaborasi memungkinkan pertukaran informasi dan
pembelajaran antar institusi. Melalui kolaborasi, institusi dapat
memanfaatkan pengetahuan, pengalaman, dan keahlian masing-
masing untuk memperkaya pemahaman tentang masalah dan solusi
yang mungkin. Kedua, kolaborasi dapat meningkatkan e�siensi dan
efektivitas reformasi birokrasi. Dengan membagi tanggung jawab

60MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dan sumber daya, institusi dapat mencapai hasil yang lebih baik
secara kolektif daripada jika mereka beroperasi secara terpisah.
Ketiga, kolaborasi membantu memperkuat legitimasi dan dukungan
masyarakat terhadap reformasi birokrasi. Dengan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, kolaborasi menciptakan ruang
untuk partisipasi yang lebih luas, mempromosikan akuntabilitas, dan
membangun kepercayaan publik.
Ada beberapa contoh kolaborasi institusi dalam reformasi
birokrasi di berbagai negara. Misalnya, di Indonesia, pemerintah
telah mendorong kolaborasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Ombudsman, dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) untuk
mengatasi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi.
Kolaborasi ini melibatkan pertukaran informasi, koordinasi dalam
penyelidikan, dan tindakan pencegahan korupsi. Di Amerika
Serikat, Government Performance and Results Act (GPRA) tahun
1993 mendorong kolaborasi antara lembaga eksekutif, legislatif, dan
akademik dalam mengukur dan meningkatkan kinerja birokrasi
federal. Kolaborasi ini melibatkan pengembangan tujuan dan
indikator kinerja yang terukur secara ilmiah. Untuk meningkatkan
kolaborasi antara institusi dalam reformasi birokrasi, ada beberapa
saran yang dapat diterapkan. Pertama, penting untuk membangun
mekanisme formal dan informal yang memfasilitasi kolaborasi.
Ini dapat mencakup pembentukan komite atau forum kolaboratif,
pertukaran personel antar institusi, dan pembagian sumber daya.
Kedua, pemimpin institusi perlu memperkuat budaya kolaboratif di
dalam organisasi mereka, dengan mempromosikan sikap terbuka,
saling percaya, dan saling mendukung antar institusi. Ketiga, perlu
ada kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung kolaborasi
institusi, termasuk mekanisme pengaturan, insentif, dan penghargaan
untuk kerja sama yang berhasil.
Kolaborasi antara institusi adalah elemen kunci dalam reformasi
birokrasi yang berhasil. Dengan memanfaatkan pengetahuan,
pengalaman, dan sumber daya yang beragam, kolaborasi dapat
meningkatkan e�siensi, efektivitas, dan akuntabilitas dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi. Untuk mewujudkan kolaborasi yang
berkelanjutan, penting untuk membangun mekanisme formal dan
informal, memperkuat budaya kolaboratif, dan memiliki kerangka

61BAB III
kebijakan yang mendukung. Dengan demikian, kolaborasi antara
institusi akan menjadi landasan yang kuat dalam mencapai birokrasi
yang lebih baik dan masyarakat yang lebih maju.
B. PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PROSES
BIROKRASI
Teknologi informasi telah mengubah cara komunikasi dalam birokrasi.
Dulu, komunikasi tergantung pada pertemuan tatap muka, telepon, atau
surat resmi. Namun, dengan adanya email, pesan instan, dan platform
kolaborasi online, komunikasi antar pejabat dan unit organisasi dapat
dilakukan secara instan dan e�sien. Hal ini mengurangi keterlambatan
komunikasi dan memungkinkan kolaborasi yang lebih baik di antara
individu dan tim yang terlibat dalam proses birokrasi. Teknologi informasi
juga memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan birokrasi.
Sistem informasi manajemen dan analisis data dapat membantu pejabat
birokrasi dalam mengumpulkan, memproses, dan menganalisis informasi
yang diperlukan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Data yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dapat digunakan untuk membuat
keputusan yang berdasarkan fakta dan analisis yang lebih akurat. Selain
itu, teknologi informasi juga memungkinkan adanya penggunaan
model simulasi dan prediksi untuk membantu pejabat birokrasi dalam
merencanakan dan memprediksi konsekuensi keputusan mereka.
Teknologi informasi juga memainkan peran penting dalam
implementasi kebijakan birokrasi. Sistem informasi yang terintegrasi
dapat digunakan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
kebijakan secara real-time. Data yang dikumpulkan dapat digunakan
untuk mengidenti�kasi hambatan atau masalah dalam pelaksanaan
kebijakan, sehingga tindakan perbaikan dapat diambil dengan cepat.
Selain itu, teknologi informasi juga dapat digunakan untuk memfasilitasi
partisipasi publik dalam proses kebijakan, misalnya melalui platform
online yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan masukan
dan umpan balik.
Penggunaan teknologi informasi dalam birokrasi memerlukan
investasi yang signi�kan dalam infrastruktur dan perangkat keras,
perangkat lunak, serta pelatihan staf. Tidak semua organisasi birokrasi
memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan perubahan
ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan organisasi untuk
mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mendukung

62MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
implementasi teknologi informasi dalam birokrasi. Dengan penggunaan
teknologi informasi, risiko keamanan informasi juga meningkat. Birokrasi
seringkali memiliki data sensitif dan rahasia yang harus dijaga dengan
baik. Perlindungan terhadap serangan siber dan kebocoran data menjadi
prioritas utama dalam penggunaan teknologi informasi dalam birokrasi.
Upaya keamanan yang tepat harus diimplementasikan untuk memastikan
kerahasiaan dan integritas data. Pengenalan teknologi informasi dalam
birokrasi seringkali memerlukan perubahan budaya dan organisasi
yang signi�kan. Birokrasi yang sudah mapan memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan cara kerja lama dan menghindari perubahan.
Mendorong adopsi teknologi informasi membutuhkan dukungan dan
komitmen dari manajemen tingkat atas serta pelatihan dan pendidikan
yang memadai bagi staf. Perubahan budaya dan organisasi yang sukses
adalah kunci dalam mengintegrasikan teknologi informasi dalam
birokrasi.
Penggunaan teknologi informasi dalam proses birokrasi dapat
memberikan manfaat yang signi�kan, termasuk peningkatan e�siensi,
transparansi, dan responsivitas. Komunikasi yang lebih baik, pengambilan
keputusan berdasarkan data, penyimpanan dan pertukaran data yang
e�sien, serta implementasi kebijakan yang lebih baik adalah beberapa
manfaat utama yang dapat diperoleh dari penggunaan teknologi informasi
dalam birokrasi. Namun, tantangan dan masalah terkait dengan sumber
daya, keamanan informasi, dan perubahan budaya dan organisasi juga
harus diatasi. Dalam era digital saat ini, penting bagi pemerintah dan
organisasi publik untuk mengadopsi teknologi informasi dengan bijak
dalam proses birokrasi mereka untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik dan efektivitas pengambilan keputusan.
Beberapa bentuk pemanfaatan teknologi informasi dalam birokrasi:
1. Sistem Manajemen Dokumen Elektronik (Electronic Document
Management System atau EDMS)
Sistem Manajemen Dokumen Elektronik (Electronic Document
Management System - EDMS) adalah suatu sistem yang digunakan
untuk mengelola, menyimpan, dan mengatur dokumen-dokumen
elektronik secara e�sien dan aman. EDMS memungkinkan organisasi
untuk menggantikan penggunaan dokumen �sik dengan dokumen
elektronik, sehingga meningkatkan produktivitas, aksesibilitas, dan
keamanan informasi. Konsep dasar dari EDMS meliputi beberapa

63BAB III
komponen utama seperti penyimpanan dokumen, pencarian
dan pengambilan dokumen, pengaturan versi, pengamanan, dan
kolaborasi. Pertama, penyimpanan dokumen dilakukan secara
elektronik, di mana dokumen-dokumen disimpan dalam format
digital dan diindeks untuk memudahkan pencarian dan pengambilan.
Ini memungkinkan pengguna untuk mengakses dokumen dengan
cepat dan e�sien melalui komputer atau perangkat mobile.
Kedua, pencarian dan pengambilan dokumen merupakan �tur
penting dalam EDMS. Sistem ini dilengkapi dengan kemampuan
pencarian yang canggih, seperti pencarian berdasarkan kata kunci,
metadata, atau atribut tertentu. Pengguna dapat dengan mudah
menemukan dan mengambil dokumen yang relevan dalam hitungan
detik, menghemat waktu dan upaya yang sebelumnya diperlukan
untuk mencari dokumen �sik. Selanjutnya, pengaturan versi
merupakan �tur yang memungkinkan pengguna untuk melacak dan
mengelola perubahan pada dokumen. Saat dokumen direvisi atau
diperbarui, EDMS akan mencatat versi baru dan menyimpan versi
sebelumnya. Hal ini memudahkan pengguna untuk melihat sejarah
perubahan dokumen dan mengembalikan ke versi sebelumnya jika
diperlukan.
Pengamanan dokumen juga menjadi aspek penting dalam
EDMS. Dokumen-dokumen elektronik dikendalikan oleh hak akses
yang ditentukan, memungkinkan hanya pengguna yang diotorisasi
untuk mengakses, mengedit, atau menghapus dokumen tertentu.
Selain itu, sistem ini sering dilengkapi dengan �tur enkripsi data
dan pencatatan aktivitas pengguna, untuk melindungi dokumen dari
akses yang tidak sah dan melacak aktivitas yang terjadi. Terakhir,
kolaborasi merupakan �tur yang memungkinkan pengguna untuk
bekerja sama secara efektif dalam satu dokumen. Beberapa EDMS
menyediakan �tur komentar, noti�kasi, dan aliran kerja (work�ow)
untuk memfasilitasi kolaborasi tim. Pengguna dapat memberikan
komentar, memberikan persetujuan, atau melakukan revisi pada
dokumen secara bersama-sama, sehingga mempercepat proses kerja
dan meningkatkan e�siensi.
EDMS memiliki banyak manfaat yang signi�kan bagi organisasi.
Pertama, penggunaan EDMS mengurangi ketergantungan pada
dokumen �sik, menghemat ruang penyimpanan, dan mengurangi

64MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
biaya yang terkait dengan pemrosesan dan pengelolaan dokumen.
Selain itu, EDMS juga meningkatkan aksesibilitas dokumen, karena
dokumen elektronik dapat diakses dari mana saja dan kapan saja
melalui internet atau jaringan internal organisasi. Ini memungkinkan
karyawan bekerja secara �eksibel dan meningkatkan kolaborasi
dalam tim. Contoh-contoh populer dari EDMS yang digunakan
saat ini antara lain Microso� SharePoint, Alfresco, dan OpenText.
Microso� SharePoint adalah platform kolaborasi yang menyediakan
berbagai �tur EDMS, termasuk penyimpanan dokumen, pencarian,
pengaturan versi, dan kolaborasi. Alfresco adalah sistem manajemen
konten yang terbuka sumber (open source) dan mendukung
pengelolaan dokumen elektronik dalam skala yang besar. Sedangkan
OpenText adalah EDMS yang digunakan untuk pengelolaan
dokumen bisnis yang kompleks, seperti dalam industri perbankan
atau kesehatan.
Dalam penelitian oleh Lee dan Park (2017), mereka menemukan
bahwa implementasi EDMS secara signi�kan meningkatkan e�siensi
pengelolaan dokumen dan waktu akses dokumen, serta mengurangi
biaya pengelolaan �sik dokumen. Studi lain oleh Rahman et al. (2018)
menunjukkan bahwa penggunaan EDMS mempercepat proses kerja,
mengurangi kesalahan manusia, dan meningkatkan kolaborasi dalam
tim. EDMS adalah sistem yang penting dalam pengelolaan dokumen
modern. Dengan menggantikan dokumen �sik dengan dokumen
elektronik, EDMS memungkinkan organisasi untuk meningkatkan
e�siensi, produktivitas, dan keamanan informasi. Dalam era digital
ini, implementasi EDMS menjadi semakin penting bagi organisasi
dalam memanfaatkan potensi dokumen elektronik secara optimal.
2. Sistem Informasi Geogra�s (SIG)
Sistem Informasi Geogra�s (SIG) adalah teknologi yang digunakan
untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis, dan
memvisualisasikan data geogra�s. Dalam konteks birokrasi, SIG telah
membuktikan nilainya sebagai alat yang kuat untuk membantu dalam
pengambilan keputusan yang berbasis lokasi. Dalam artikel ini, kami
akan menjelaskan bagaimana SIG digunakan dalam birokrasi dan
memberikan contoh konkret tentang penerapannya. Pertama-tama,
SIG digunakan untuk pengumpulan dan pemeliharaan data geogra�s
yang relevan dengan kegiatan birokrasi. Misalnya, pemerintah dapat

65BAB III
menggunakan SIG untuk mengumpulkan data demogra�, seperti
populasi, pendapatan, dan tingkat pendidikan di daerah tertentu.
Data ini kemudian dapat digunakan untuk membuat kebijakan yang
lebih efektif dan menyediakan layanan yang tepat sasaran kepada
masyarakat. SIG juga memungkinkan pemerintah untuk memetakan
fasilitas dan infrastruktur publik, seperti sekolah, rumah sakit, dan
kantor pemerintah, yang dapat membantu dalam perencanaan dan
pengembangan kota.
Selain itu, SIG memungkinkan birokrasi untuk menganalisis
data geogra�s dan membuat keputusan yang didasarkan pada
pemahaman yang lebih baik tentang lingkungan �sik. Misalnya,
jika sebuah kota ingin membangun jalan baru, pemerintah dapat
menggunakan SIG untuk menganalisis dampaknya pada lingkungan
dan memilih rute yang paling e�sien dan berkelanjutan. SIG juga
dapat digunakan untuk memodelkan dan memprediksi pola-pola
tertentu, seperti pola banjir atau pola perubahan iklim, yang dapat
membantu birokrasi dalam perencanaan mitigasi bencana dan
pengambilan kebijakan lingkungan. Selain itu, SIG dapat digunakan
dalam manajemen sumber daya alam dan lingkungan. Pemerintah
dapat menggunakan SIG untuk memantau penggunaan lahan,
deforestasi, dan polusi di suatu daerah. Dengan memahami pola-pola
ini, birokrasi dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi
lingkungan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. SIG juga
dapat digunakan untuk mengidenti�kasi lokasi yang rentan terhadap
bencana alam, seperti gempa bumi atau longsor, dan membantu
dalam perencanaan evakuasi dan tanggap darurat. Contoh konkret
penggunaan SIG dalam birokrasi dapat ditemukan di berbagai negara
di seluruh dunia. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, Badan Survei
Tanah (United States Geological Survey) menggunakan SIG untuk
mengumpulkan dan memetakan data topogra� dan geologi. Data
ini penting dalam pengelolaan sumber daya alam, pemodelan pola
banjir, dan pemantauan perubahan iklim. Di Australia, Departemen
Lingkungan dan Energi menggunakan SIG untuk memetakan dan
menganalisis pola pembangunan kota dan penggunaan lahan, yang
membantu dalam perencanaan perkotaan yang berkelanjutan.
Penggunaan Sistem Informasi Geogra�s (SIG) dalam birokrasi
memberikan manfaat besar dalam pengumpulan data, analisis, dan

66MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
pengambilan keputusan yang berbasis lokasi. Dengan memahami
lingkungan �sik dan memanfaatkan data geogra�s, birokrasi dapat
membuat kebijakan yang lebih efektif, mengelola sumber daya
alam dengan lebih baik, dan melindungi lingkungan. Dengan terus
berkembangnya teknologi SIG, penggunaannya dalam birokrasi di
masa depan kemungkinan akan semakin meluas dan memberikan
dampak positif yang lebih besar.
3. Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG)
Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) merupakan
sebuah sistem yang digunakan dalam pengelolaan data dan informasi
terkait kepegawaian di dalam sebuah birokrasi. SIMPEG memiliki
peran penting dalam mendukung e�siensi, transparansi, dan
akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia di sektor public.
Penggunaan SIMPEG dalam birokrasi memiliki beberapa manfaat
yang signi�kan. Pertama, SIMPEG memungkinkan pengelolaan
data kepegawaian yang lebih e�sien. Dengan adanya sistem ini,
informasi tentang data pribadi, riwayat pekerjaan, kuali�kasi, dan
kinerja pegawai dapat diakses dengan cepat dan mudah. Hal ini
membantu pengambilan keputusan terkait penempatan, promosi,
dan pengembangan karir pegawai.
Selain e�siensi, SIMPEG juga meningkatkan transparansi dalam
birokrasi. Sistem ini memungkinkan publik dan pihak-pihak terkait
untuk mengakses informasi terkait kepegawaian secara terbuka.
Misalnya, informasi tentang jabatan, gaji, dan pengalaman kerja
pegawai dapat diakses oleh masyarakat atau pengawas eksternal. Hal
ini membantu mencegah terjadinya praktik nepotisme atau korupsi
dalam pengelolaan kepegawaian. SIMPEG juga berperan dalam
meningkatkan akuntabilitas pegawai. Melalui sistem ini, kinerja
pegawai dapat dipantau dan dievaluasi secara objektif berdasarkan
indikator kinerja yang telah ditetapkan. Informasi tentang absensi,
kedisiplinan, dan capaian kerja dapat diintegrasikan dalam sistem
untuk menghasilkan laporan yang akurat. Dengan demikian,
SIMPEG membantu mengidenti�kasi pegawai yang berkinerja tinggi
dan memberikan reward yang sesuai, serta mengidenti�kasi pegawai
yang perlu mendapatkan pengembangan atau pembenahan kinerja.
Dalam literatur ilmiah, terdapat beberapa penelitian yang
mendukung penggunaan SIMPEG dalam konteks birokrasi.

67BAB III
Misalnya, penelitian oleh Sutisna dan Haryanto (2019) menunjukkan
bahwa penggunaan SIMPEG di sebuah instansi pemerintah daerah
meningkatkan e�siensi dalam pengelolaan data kepegawaian
dan mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik terkait
penempatan pegawai. Selain itu, penelitian oleh Wijaya dan
Abdullah (2017) menyebutkan bahwa SIMPEG dapat meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kepegawaian di
sektor publik. Namun, pengimplementasian SIMPEG juga memiliki
beberapa tantangan. Salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur
teknologi informasi yang memadai. Dalam konteks birokrasi
yang masih terbatas dalam sumber daya dan dukungan teknologi,
implementasi SIMPEG dapat terhambat jika tidak ada investasi yang
cukup dalam infrastruktur IT. Selain itu, tantangan lainnya adalah
resistensi dari pegawai yang tidak terbiasa dengan penggunaan
teknologi dalam pengelolaan kepegawaian. Oleh karena itu, pelatihan
dan sosialisasi yang memadai perlu dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman dan penerimaan pegawai terhadap sistem ini.
Secara keseluruhan, SIMPEG memiliki peran yang penting
dalam pengelolaan kepegawaian di birokrasi. Dengan e�siensi,
transparansi, dan akuntabilitas yang ditingkatkan, SIMPEG
membantu meningkatkan kualitas pengelolaan kepegawaian
di sektor publik. Namun, pengimplementasiannya juga perlu
mempertimbangkan tantangan yang ada, termasuk ketersediaan
infrastruktur dan penerimaan pegawai terhadap teknologi informasi.
Dengan mengatasi tantangan tersebut, SIMPEG dapat menjadi alat
yang efektif dalam meningkatkan kinerja birokrasi dan pelayanan
publik.
4. E-budgeting
Dalam era digital saat ini, teknologi informasi telah memainkan
peran yang semakin penting dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam lingkup birokrasi pemerintahan. Salah satu aplikasi
teknologi informasi yang dapat digunakan dalam konteks ini adalah
e-budgeting. E-budgeting mengacu pada penggunaan teknologi
informasi untuk memfasilitasi proses perencanaan, penganggaran,
pelaporan, dan pengawasan anggaran secara elektronik. Dalam
konteks penggunaan teknologi informasi birokrasi, e-budgeting
menawarkan potensi untuk meningkatkan e�siensi, transparansi,

68MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses penganggaran
pemerintah.
Penerapan e-budgeting dalam penggunaan teknologi informasi
birokrasi dapat memberikan peningkatan e�siensi dalam proses
penganggaran. Melalui penggunaan aplikasi atau sistem yang
terintegrasi, data anggaran dapat dikumpulkan secara real-time,
sehingga memungkinkan manajer anggaran untuk dengan cepat
mengakses dan menganalisis informasi yang relevan. Hal ini
memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan
tepat dalam alokasi anggaran. Selain itu, penggunaan e-budgeting
juga dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk proses
administratif manual seperti pengisian formulir dan pengumpulan
laporan, sehingga membebaskan waktu dan sumber daya yang dapat
dialokasikan untuk kegiatan yang lebih produktif.
E-budgeting juga dapat meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam proses penganggaran pemerintah. Dengan
menggunakan teknologi informasi, informasi anggaran dapat diakses
secara luas oleh publik melalui portal online yang dapat diakses oleh
siapa saja. Ini memberikan kesempatan bagi warga negara untuk
memahami bagaimana dana publik dialokasikan dan digunakan.
Selain itu, dengan adanya jejak audit elektronik yang tercatat dalam
sistem e-budgeting, proses penggunaan anggaran dapat dilacak dan
diveri�kasi dengan lebih mudah. Hal ini meningkatkan akuntabilitas
pemerintah dan mendorong tindakan yang lebih bertanggung jawab
dalam pengelolaan anggaran publik. Penggunaan e-budgeting dalam
birokrasi juga dapat mendorong partisipasi publik yang lebih besar
dalam proses penganggaran. Melalui portal online atau aplikasi yang
dapat diakses oleh publik, warga negara dapat memberikan masukan,
usulan, atau komentar terkait alokasi anggaran yang diusulkan. Ini
memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi secara
aktif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga memungkinkan
aspirasi dan kebutuhan mereka tercermin dalam kebijakan anggaran.
Partisipasi publik yang lebih luas juga dapat meningkatkan legitimasi
pemerintah dan mengurangi potensi kon�ik atau ketidakpuasan
masyarakat terhadap kebijakan anggaran.
E-budgeting dalam penggunaan teknologi informasi birokrasi
menawarkan berbagai manfaat, termasuk peningkatan e�siensi,

69BAB III
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses
penganggaran pemerintah. Dengan mengintegrasikan teknologi
informasi ke dalam sistem penganggaran, pemerintah dapat
mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada, meningkatkan
keterbukaan informasi, memastikan pertanggungjawaban, dan
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun,
implementasi e-budgeting juga harus memperhatikan aspek
keamanan data dan pelatihan yang memadai bagi pegawai birokrasi
untuk memastikan keberhasilan penerapannya.
5. E-Katalog
Penggunaan teknologi informasi telah menjadi hal yang penting
dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalam birokrasi. Salah
satu contoh penerapan teknologi informasi yang penting dalam
birokrasi adalah e-katalog. E-katalog adalah bentuk elektronik dari
katalog yang digunakan untuk memfasilitasi pengadaan barang dan
jasa dalam proses pengadaan pemerintah. Dalam sistem birokrasi
tradisional, proses pengadaan barang dan jasa seringkali melibatkan
sejumlah tahap yang memakan waktu dan biaya yang cukup besar.
Dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti katalog produk,
brosur, dan penawaran harga, harus disiapkan dan dikirimkan secara
manual kepada penyedia layanan atau vendor. Proses ini memerlukan
koordinasi yang intensif antara berbagai pihak yang terlibat, dan
seringkali menghadapi masalah seperti keterlambatan pengiriman
dokumen dan kesalahan dalam pengolahan data. Namun, dengan
adanya e-katalog, proses pengadaan barang dan jasa dalam birokrasi
menjadi lebih e�sien dan transparan. E-katalog adalah platform
elektronik yang menyediakan informasi terkait produk dan jasa
yang tersedia, termasuk deskripsi, spesi�kasi, dan harga. Pihak
yang berkepentingan, seperti pejabat pengadaan, dapat mengakses
e-katalog ini secara online dan mencari produk atau jasa yang sesuai
dengan kebutuhan mereka.
Salah satu manfaat utama dari penggunaan e-katalog dalam
birokrasi adalah pengurangan waktu dan biaya yang diperlukan
dalam proses pengadaan barang dan jasa. Dengan akses langsung
ke e-katalog, pejabat pengadaan dapat dengan mudah mencari dan
memilih produk atau jasa yang dibutuhkan tanpa harus melalui
proses manual yang memakan waktu. Selain itu, e-katalog juga

70MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
memungkinkan pejabat pengadaan untuk membandingkan harga
dari berbagai vendor dan mendapatkan penawaran terbaik, yang
dapat menghemat anggaran pemerintah. Selain itu, e-katalog
juga meningkatkan transparansi dalam proses pengadaan barang
dan jasa. Informasi mengenai produk, spesi�kasi, dan harga yang
terdapat dalam e-katalog dapat diakses oleh semua pihak yang
berkepentingan, termasuk vendor dan masyarakat umum. Hal ini
mencegah terjadinya praktik korupsi atau favoritisme dalam proses
pengadaan, karena semua pihak memiliki akses yang sama terhadap
informasi yang diperlukan.
Penerapan e-katalog dalam birokrasi juga dapat memfasilitasi
pengelolaan data yang lebih efektif. Informasi terkait produk dan
jasa yang terdapat dalam e-katalog dapat diperbarui secara real-
time, sehingga memastikan bahwa data yang tersedia selalu akurat
dan terkini. Selain itu, e-katalog juga memungkinkan penyimpanan
data yang terpusat, sehingga memudahkan akses dan pengolahan
informasi untuk keperluan audit dan pelaporan. Meskipun terdapat
banyak manfaat dalam penggunaan e-katalog dalam birokrasi, tetap
terdapat tantangan dalam penerapannya. Salah satu tantangan utama
adalah adopsi teknologi yang tepat oleh pemerintah dan pihak-pihak
terkait. Diperlukan dukungan kebijakan dan regulasi yang jelas,
serta investasi dalam infrastruktur teknologi yang memadai, untuk
memastikan keberhasilan implementasi e-katalog.
E-katalog merupakan salah satu contoh penerapan teknologi
informasi dalam birokrasi yang memberikan banyak manfaat,
seperti pengurangan waktu dan biaya, peningkatan transparansi,
dan pengelolaan data yang efektif. Penggunaan e-katalog dalam
proses pengadaan barang dan jasa dapat membantu meningkatkan
e�siensi dan akuntabilitas dalam birokrasi. Namun, untuk berhasil
menerapkan e-katalog, diperlukan dukungan kebijakan dan regulasi
yang kuat, serta komitmen dari semua pihak terkait.
C. MENINGKATKAN EFISIENSI MELALUI PELATIHAN DAN
PENGEMBANGAN PEGAWAI
Pelatihan dan pengembangan karyawan merupakan suatu proses sistematis
yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap kerja karyawan. Melalui pelatihan dan pengembangan, karyawan
dapat memperoleh pengetahuan baru, mengasah keterampilan yang ada,

71BAB III
dan mengadopsi sikap yang sesuai dengan perubahan lingkungan kerja.
Salah satu teori yang mendukung pentingnya pelatihan dan pengembangan
karyawan dalam meningkatkan e�siensi birokrasi adalah teori human
capital. Teori ini menyatakan bahwa investasi dalam pengembangan
sumber daya manusia, termasuk melalui pelatihan, akan meningkatkan
produktivitas dan kinerja organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa
karyawan yang mendapatkan pelatihan memiliki tingkat kepuasan kerja
yang lebih tinggi, motivasi yang lebih tinggi, dan kinerja yang lebih baik
dibandingkan dengan karyawan yang tidak mendapatkan pelatihan.
Selain teori human capital, teori kontingensi juga mendukung pentingnya
pelatihan dan pengembangan karyawan dalam meningkatkan e�siensi
birokrasi. Teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu metode atau
pendekatan yang cocok untuk semua situasi, namun efektivitas pelatihan
dan pengembangan karyawan tergantung pada faktor-faktor kontekstual
tertentu. Oleh karena itu, organisasi perlu merancang program pelatihan
yang sesuai dengan kebutuhan karyawan dan karakteristik organisasi.
Berdasarkan penelitian ilmiah, terdapat beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari pelatihan dan pengembangan karyawan dalam konteks
birokrasi. Pertama, pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan karyawan
tentang tugas-tugas mereka, prosedur kerja, dan peraturan organisasi. Hal
ini akan mengurangi kesalahan dan meningkatkan kualitas pelayanan
yang diberikan oleh birokrasi. Kedua, pelatihan dapat meningkatkan
keterampilan teknis dan manajerial karyawan. Keterampilan teknis
yang diperoleh melalui pelatihan akan memungkinkan karyawan untuk
mengatasi tugas-tugas yang kompleks dengan lebih efektif. Sementara
itu, keterampilan manajerial akan memungkinkan karyawan untuk
mengelola waktu, sumber daya, dan kon�ik dengan lebih baik, sehingga
meningkatkan produktivitas dan e�siensi kerja. Ketiga, pelatihan dapat
memperbaiki sikap dan perilaku karyawan. Melalui pelatihan, karyawan
dapat mempelajari nilai-nilai organisasi, etika kerja, dan sikap positif
terhadap perubahan. Hal ini akan menciptakan budaya kerja yang
inklusif, inovatif, dan adaptif, yang pada gilirannya akan meningkatkan
e�siensi dan responsivitas birokrasi terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan e�siensi birokrasi melalui pelatihan
dan pengembangan karyawan, penting untuk menerapkan pendekatan
yang didasarkan pada bukti ilmiah dan praktik terbaik. Organisasi
harus melakukan evaluasi kebutuhan pelatihan, merancang program

72MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
yang relevan dan efektif, serta mengukur dampak dari pelatihan
tersebut. Selain itu, penting untuk melibatkan karyawan dalam proses
pelatihan dan memberikan dukungan manajemen yang kuat. Pelatihan
dan pengembangan karyawan memiliki peran yang penting dalam
meningkatkan e�siensi birokrasi. Teori human capital dan teori kontingensi
mendukung pentingnya pelatihan dalam meningkatkan produktivitas
dan kinerja karyawan. Penelitian ilmiah juga menunjukkan manfaat
yang dapat diperoleh dari pelatihan, seperti peningkatan pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan perilaku karyawan. Oleh karena itu, organisasi
perlu memprioritaskan investasi dalam pelatihan dan pengembangan
karyawan guna mencapai e�siensi birokrasi yang lebih tinggi.
1. Bentuk Pelatihan dan Pengembangan Pegawai
a. Pelatihan dalam Layanan Publik
Pelatihan dalam pelayanan publik di Indonesia adalah komponen
penting dalam upaya meningkatkan efektivitas dan e�siensi
pemerintahan serta memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan para pegawai publik
sehingga mereka dapat melakukan tugas dan tanggung jawab
mereka dengan lebih baik. Salah satu teori yang relevan adalah
teori pembelajaran organisasional. Menurut teori ini, pelatihan
yang efektif harus melibatkan proses belajar yang berkelanjutan di
dalam organisasi. Pelatihan harus didesain untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap pegawai publik. Hasil dari
pelatihan yang baik adalah adanya peningkatan kinerja individu
maupun organisasi secara keseluruhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2017) di Indonesia
mengungkapkan bahwa pelatihan dalam pelayanan publik
memiliki dampak positif terhadap kinerja pegawai. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pelatihan yang dilakukan secara
teratur dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
pegawai dalam memberikan pelayanan publik yang baik. Selain
itu, pelatihan juga dapat meningkatkan motivasi pegawai dan
meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan. Selain teori pembelajaran organisasional, teori lain
yang relevan adalah teori pengembangan sumber daya manusia.
Menurut teori ini, pelatihan harus menjadi bagian dari strategi

73BAB III
pengembangan sumber daya manusia di suatu organisasi.
Pelatihan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang
dapat meningkatkan kualitas dan kapabilitas pegawai. Penelitian
yang dilakukan oleh Ardi et al. (2019) menunjukkan bahwa
pelatihan dalam pelayanan publik di Indonesia memiliki efek
positif terhadap kinerja organisasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pelatihan yang diberikan kepada pegawai publik dapat
meningkatkan kinerja mereka dalam hal efektivitas, e�siensi,
dan responsivitas pelayanan. Pelatihan juga membantu dalam
pengembangan kompetensi pegawai sehingga mereka dapat
menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan
kerja. Selain itu, beberapa penelitian juga menyoroti pentingnya
pelatihan dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
dalam pelayanan publik. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Suharto (2018), pelatihan dapat membantu pegawai publik
dalam memahami prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi
serta meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya
memenuhi kebutuhan masyarakat dengan adil dan e�sien.
Dalam praktiknya, pelatihan dalam pelayanan publik di
Indonesia dapat mencakup berbagai topik, seperti manajemen
pelayanan publik, komunikasi efektif, penyelesaian masalah,
pengambilan keputusan, dan etika pelayanan publik. Pelatihan
dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti pelatihan
klasikal, pelatihan praktis, pelatihan berbasis proyek, atau
pelatihan online. Pelatihan dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah komponen penting dalam upaya meningkatkan efektivitas
dan e�siensi pemerintahan serta memberikan pelayanan yang
lebih baik kepada masyarakat. Pelatihan ini bertujuan untuk
meningkatkan kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan
para pegawai publik sehingga mereka dapat melakukan tugas
dan tanggung jawab mereka dengan lebih baik. Dalam tulisan
ini, akan dijelaskan beberapa teori dan penelitian ilmiah terkait
pelatihan dalam pelayanan publik di Indonesia.
Salah satu teori yang relevan adalah teori pembelajaran
organisasional. Menurut teori ini, pelatihan yang efektif harus
melibatkan proses belajar yang berkelanjutan di dalam organisasi.
Pelatihan harus didesain untuk meningkatkan pengetahuan,

74MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
keterampilan, dan sikap pegawai publik. Hasil dari pelatihan
yang baik adalah adanya peningkatan kinerja individu maupun
organisasi secara keseluruhan.
Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2017) di Indonesia
mengungkapkan bahwa pelatihan dalam pelayanan publik
memiliki dampak positif terhadap kinerja pegawai. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pelatihan yang dilakukan secara
teratur dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
pegawai dalam memberikan pelayanan publik yang baik. Selain
itu, pelatihan juga dapat meningkatkan motivasi pegawai dan
meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan.
Selain teori pembelajaran organisasional, teori lain yang
relevan adalah teori pengembangan sumber daya manusia.
Menurut teori ini, pelatihan harus menjadi bagian dari strategi
pengembangan sumber daya manusia di suatu organisasi.
Pelatihan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang yang
dapat meningkatkan kualitas dan kapabilitas pegawai.Penelitian
yang dilakukan oleh Ardi et al. (2019) menunjukkan bahwa
pelatihan dalam pelayanan publik di Indonesia memiliki efek
positif terhadap kinerja organisasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pelatihan yang diberikan kepada pegawai publik dapat
meningkatkan kinerja mereka dalam hal efektivitas, e�siensi,
dan responsivitas pelayanan. Pelatihan juga membantu dalam
pengembangan kompetensi pegawai sehingga mereka dapat
menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi di lingkungan
kerja.Selain itu, beberapa penelitian juga menyoroti pentingnya
pelatihan dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
dalam pelayanan publik. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Suharto (2018), pelatihan dapat membantu pegawai publik
dalam memahami prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi
serta meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya
memenuhi kebutuhan masyarakat dengan adil dan e�sien.
Dalam praktiknya, pelatihan dalam pelayanan publik di
Indonesia dapat mencakup berbagai topik, seperti manajemen
pelayanan publik, komunikasi efektif, penyelesaian masalah,
pengambilan keputusan, dan etika pelayanan publik. Pelatihan

75BAB III
dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti pelatihan
klasikal, pelatihan praktis, pelatihan berbasis proyek, atau
pelatihan online.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelatihan dalam
pelayanan publik, penting bagi pemerintah dan institusi terkait
untuk secara terus-menerus mengevaluasi program pelatihan
yang ada dan memperbaiki kelemahan yang teridenti�kasi.
Selain itu, kerjasama antara pemerintah, institusi pendidikan,
dan sektor swasta juga dapat menjadi faktor penting dalam
meningkatkan kualitas pelatihan dalam pelayanan publik.
Pelatihan dalam pelayanan publik di Indonesia memiliki
peran penting dalam meningkatkan kinerja pegawai publik,
kualitas pelayanan, dan akuntabilitas. Berbagai teori dan
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pelatihan yang
efektif dapat meningkatkan kompetensi, keterampilan, dan
pengetahuan pegawai publik. Oleh karena itu, pelatihan dalam
pelayanan publik harus terus dikembangkan dan ditingkatkan
guna mencapai pemerintahan yang lebih baik dan memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
b. Pengembangan Keterampilan Teknis dan Profesional.
Pengembangan keterampilan teknis dan profesional merupakan
aspek penting dalam organisasi publik. Pelatihan yang tepat dapat
memberikan keahlian yang diperlukan untuk meningkatkan
produktivitas, e�siensi, dan kualitas layanan di sektor publik.
Pendekatan ilmiah lainnya adalah “pembelajaran berbasis
masalah” yang dikemukakan oleh Howard Barrows. Dalam
pembelajaran berbasis masalah, peserta didik menghadapi
masalah nyata dan secara aktif terlibat dalam mencari solusi.
Pendekatan ini dapat diterapkan dalam pelatihan teknis di
organisasi publik dengan memberikan skenario kasus yang
memerlukan pemecahan masalah yang kreatif dan analitis. Selain
itu, penting untuk mencakup pelatihan profesional dalam upaya
pengembangan organisasi publik. Pelatihan profesional berfokus
pada pengembangan keterampilan interpersonal, manajemen
waktu, komunikasi, dan kepemimpinan yang diperlukan untuk
berhasil dalam peran profesional. Salah satu pendekatan teoritis
yang dapat diterapkan adalah “teori kecerdasan emosional” oleh

76MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Daniel Goleman. Teori ini menekankan pentingnya mengenali,
memahami, dan mengelola emosi sendiri dan orang lain untuk
meningkatkan kinerja profesional.
Dalam konteks pelatihan profesional, pendekatan
“pembelajaran re�ektif” oleh Donald Schön juga dapat
diterapkan. Pembelajaran re�ektif melibatkan pemikiran kritis
tentang pengalaman masa lalu untuk mendapatkan wawasan
baru yang dapat diterapkan dalam konteks pekerjaan. Dalam
pelatihan profesional di organisasi publik, re�eksi pada
pengalaman profesional dapat membantu dalam pengembangan
keterampilan dan peningkatan kinerja.
c. Pelatihan Kolaborasi dan Tim Kerja
Dalam lingkungan birokrasi, e�siensi sering menjadi tantangan
yang signi�kan. Birokrasi yang tidak e�sien dapat menghambat
kemajuan, memperlambat pengambilan keputusan, dan
mengurangi produktivitas. Untuk mengatasi masalah ini, penting
untuk membangun kolaborasi dan kerja tim yang efektif di dalam
organisasi. Pelatihan kerja tim yang baik dapat meningkatkan
komunikasi, mengurangi silo, dan mempromosikan inovasi.
Birokrasi sering dikaitkan dengan struktur hierarkis yang kuat
dan pembagian tugas yang jelas. Namun, dengan begitu banyak
departemen, fungsi, dan prosedur yang berbeda dalam birokrasi,
kolaborasi dan kerja tim sering terhambat. Hal ini dapat mengarah
pada ketidakcocokan informasi, kurangnya koordinasi, dan
penundaan dalam pelaksanaan keputusan. Pelatihan kerja tim
yang efektif dapat membantu mengatasi tantangan kolaborasi
dalam birokrasi dan meningkatkan e�siensi. Berikut adalah
beberapa pendekatan pelatihan yang dapat diterapkan:
1) Pelatihan Keterampilan Komunikasi: Komunikasi yang baik
merupakan komponen penting dalam kerja tim yang sukses.
Pelatihan harus mencakup keterampilan mendengarkan
aktif, penggunaan bahasa yang jelas dan tidak ambigu, serta
kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan efektif.
Pelatihan ini dapat membantu mengurangi kesalahpahaman

77BAB III
dan mempromosikan kolaborasi yang lebih baik di antara
anggota tim.
2) Pembangunan Kepercayaan : Kepercayaan adalah fondasi
dari kolaborasi yang sukses. Pelatihan harus menekankan
pentingnya membangun kepercayaan di antara anggota
tim. Ini dapat mencakup pengenalan konsep kepercayaan,
aktivitas yang memperkuat hubungan tim, dan penerapan
praktik yang transparan.
3) Peningkatan Keterampilan Manajemen Kon�ik: Kon�ik
dapat timbul dalam lingkungan birokrasi yang kompleks.
Pelatihan kerja tim harus mencakup keterampilan
manajemen kon�ik yang efektif, seperti kemampuan untuk
mengidenti�kasi sumber kon�ik, negosiasi, dan mediasi.
Hal ini dapat membantu mengatasi kon�ik sebelum mereka
menjadi masalah yang merugikan e�siensi organisasi.
4) Peningkatan Keterampilan Kolaboratif: Pelatihan harus
fokus pada pengembangan keterampilan kolaboratif yang
dapat membantu anggota tim bekerja sama secara efektif.
Ini termasuk pemahaman tentang bagaimana bekerja dalam
tim, pengembangan peran yang jelas, dan penggunaan alat
kolaboratif yang memungkinkan anggota tim untuk berbagi
informasi dan ide.
d. Pengembangan Karier dan Pembinaan
Pengembangan karier dan pembinaan adalah komponen kunci
dalam mencapai e�siensi dalam birokrasi. Dalam konteks ini,
pengembangan karier merujuk pada serangkaian tindakan
yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan karyawan, sehingga mereka dapat mencapai tujuan
karier mereka dengan lebih efektif. Sementara itu, pembinaan
merupakan proses di mana karyawan yang lebih berpengalaman
memberikan panduan dan dukungan kepada karyawan yang
lebih junior untuk membantu mereka dalam pengembangan
karier mereka. Dalam upaya meningkatkan e�siensi birokrasi,
pengembangan karier dan pembinaan memiliki peran penting.
Berikut adalah beberapa teori dan penelitian ilmiah yang
mendukung pentingnya pengembangan karier dan pembinaan
dalam mencapai e�siensi birokrasi.

78MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Teori motivasi, seperti teori harapan dan teori kebutuhan,
menunjukkan bahwa pengembangan karier dapat meningkatkan
motivasi karyawan. Ketika karyawan melihat bahwa
pengembangan karier dapat membawa manfaat dan kepuasan
pribadi, mereka cenderung lebih termotivasi untuk mencapai
kinerja yang tinggi. Dalam konteks birokrasi, pengembangan
karier dapat memberikan dorongan bagi karyawan untuk
meningkatkan kemampuan mereka dan berkontribusi secara
lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi.
Teori kompetensi menekankan pentingnya pengembangan
keterampilan dan pengetahuan karyawan untuk meningkatkan
kinerja organisasi. Dalam birokrasi, pengembangan karier
dan pembinaan dapat membantu karyawan memperoleh
keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kerja
yang kompleks dan meningkatkan e�siensi dalam melaksanakan
tugas-tugas mereka. Melalui pembinaan, karyawan dapat belajar
dari pengalaman dan pengetahuan rekan mereka yang lebih
berpengalaman, sehingga meningkatkan kompetensi mereka.
Studi ilmiah menunjukkan bahwa pembinaan dapat memiliki
dampak positif pada pengembangan karier dan kinerja karyawan.
Penelitian oleh Eby dan rekannya (2008) menunjukkan bahwa
pembinaan dapat meningkatkan kepuasan kerja, komitmen
organisasi, dan perkembangan karier karyawan. Pembinaan
juga dapat membantu mengurangi tingkat turnover karyawan,
karena mereka merasa didukung dan memiliki kesempatan
untuk berkembang.
Teori pembelajaran organisasi menekankan pentingnya
transfer pengetahuan dan pembelajaran berkelanjutan dalam
mencapai e�siensi organisasi. Dalam konteks birokrasi,
pengembangan karier dan pembinaan dapat membantu
mendorong pembelajaran organisasi. Melalui pembinaan,
pengetahuan dan pengalaman yang berharga dapat ditransfer
dari karyawan yang lebih berpengalaman ke yang lebih junior,
sehingga meningkatkan kualitas dan e�siensi kerja. Dalam upaya
meningkatkan e�siensi birokrasi, pengembangan karier dan
pembinaan menjadi penting. Dengan memberikan kesempatan
bagi karyawan untuk mengembangkan keterampilan mereka,

79BAB III
memperoleh bimbingan dari rekan yang lebih berpengalaman,
dan menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendorong
pertukaran pengetahuan, organisasi dapat mencapai e�siensi
yang lebih tinggi. Penelitian ilmiah mendukung pentingnya
pengembangan karier dan pembinaan dalam mencapai e�siensi
birokrasi.
e. Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning)
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah
pendekatan pembelajaran yang melibatkan pegawai dalam
proyek nyata atau simulasi yang mewakili situasi dunia nyata.
Pendekatan ini mendorong pegawai untuk memperoleh
pengetahuan dan keterampilan melalui eksplorasi aktif, kerja
sama tim, pemecahan masalah, dan re�eksi. E�siensi birokrasi
adalah keinginan untuk mencapai tujuan organisasi dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas secara efektif dan
e�sien. Pembelajaran berbasis proyek dapat diintegrasikan ke
dalam konteks birokrasi untuk meningkatkan e�siensi dalam
organisasi. Berikut adalah penjelasan mengenai bagaimana
pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan e�siensi
birokrasi.
Pembelajaran berbasis proyek memberikan pegawai motivasi
intrinsik untuk belajar. Dengan menghubungkan pembelajaran
dengan proyek nyata, pegawai merasa terlibat dalam tugas-
tugas yang bermakna dan relevan. Hal ini dapat meningkatkan
motivasi mereka untuk menyelesaikan proyek dengan baik, yang
pada gilirannya dapat meningkatkan e�siensi kerja di dalam
birokrasi. Melalui pembelajaran berbasis proyek, pegawai dapat
belajar dalam konteks yang relevan dengan kehidupan nyata.
Mereka dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang
dipelajari dalam proyek-proyek yang relevan dengan tugas dan
tanggung jawab birokrasi. Pembelajaran kontekstual seperti ini
memungkinkan pegawai untuk mengembangkan pemahaman
yang lebih baik tentang bagaimana organisasi beroperasi dan
bagaimana mereka dapat meningkatkan e�siensi kerja.
Pembelajaran berbasis proyek mendorong pegawai untuk
bekerja secara kolaboratif dan dalam tim. Dalam birokrasi, kerja
sama dan kerja tim antarindividu dan departemen yang berbeda

80MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
adalah kunci untuk mencapai e�siensi. Dengan melibatkan
siswa dalam proyek kolaboratif, mereka dapat mengembangkan
keterampilan kerja tim yang diperlukan di dalam birokrasi,
seperti komunikasi efektif, pemecahan masalah bersama, dan
pengambilan keputusan berbasis konsensus. Pembelajaran
berbasis proyek melibatkan pegawai dalam pemecahan
masalah yang nyata. Ini melibatkan proses berpikir kritis untuk
menganalisis situasi, mengidenti�kasi masalah, dan merancang
solusi yang efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah
secara e�sien dan kritis adalah penting dalam meningkatkan
e�siensi birokrasi.

81
BAB IV
RESPONSIVITAS BIROKRASI TERHADAP
KEBUTUHAN MASYARAKAT
A. PENTINGNYA RESPONSIVITAS BIROKRASI DALAM MEM -
BERIKAN PELAYANAN PUBLIK
Responsivitas birokrasi merupakan faktor kunci dalam menyediakan
pelayanan publik yang efektif dan e�sien. Responsivitas mengacu pada
kemampuan birokrasi untuk merespons dengan cepat dan tepat terhadap
kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam konteks
ini, penting bagi birokrasi untuk menjadi responsif terhadap permintaan,
keluhan, dan harapan warga negara. Sebuah pelayanan publik yang
responsif memberikan manfaat yang signi�kan bagi masyarakat. Pertama,
responsivitas birokrasi mencerminkan kesediaan dan kemauan birokrasi
untuk mendengarkan dan memahami kebutuhan masyarakat. Ini
membantu membangun kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap
birokrasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan legitimasi dan otoritas
lembaga pemerintah. Kedua, responsivitas birokrasi dapat mengurangi
kesenjangan informasi antara pemerintah dan masyarakat. Dalam banyak
kasus, warga negara menghadapi tantangan dalam memahami kebijakan
dan prosedur yang diterapkan oleh birokrasi. Dengan menjadi responsif,
birokrasi dapat menjelaskan dan memfasilitasi pemahaman masyarakat
tentang kebijakan dan aturan yang berlaku. Hal ini akan memperkuat
partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan dan
meningkatkan transparansi pemerintahan. Selanjutnya, responsivitas
birokrasi juga berdampak pada e�siensi dan efektivitas pelayanan publik.
Dengan merespons dengan cepat terhadap kebutuhan masyarakat,
birokrasi dapat memastikan pelayanan yang tepat waktu dan berkualitas.
Hal ini akan meningkatkan kinerja dan produktivitas birokrasi, serta

82MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
meningkatkan kepuasan pelanggan. Di sisi lain, ketidakresponsifan
birokrasi dapat menyebabkan penundaan, ketidakjelasan, dan frustrasi
bagi masyarakat, yang berpotensi mengurangi efektivitas dan e�siensi
pelayanan publik.
Untuk meningkatkan responsivitas birokrasi, beberapa faktor
kunci perlu dipertimbangkan. Pertama, penting untuk memiliki sistem
komunikasi yang efektif antara birokrasi dan masyarakat. Komunikasi
yang terbuka dan transparan akan memungkinkan birokrasi untuk
mendapatkan masukan dan umpan balik yang berharga dari masyarakat,
sehingga dapat mengidenti�kasi dan mengatasi masalah dengan cepat.
Kedua, birokrasi perlu membangun kapasitas internal yang memadai
untuk merespons permintaan dan kebutuhan masyarakat. Ini termasuk
pelatihan dan pengembangan staf birokrasi dalam hal keterampilan
komunikasi, manajemen waktu, dan pemecahan masalah. Selain itu, proses
pengambilan keputusan yang responsif dan �eksibel juga diperlukan
untuk memungkinkan birokrasi menanggapi perubahan dan kebutuhan
yang berkembang. Terakhir, penting untuk memperhatikan mekanisme
umpan balik dari masyarakat terhadap pelayanan publik. Survei kepuasan
pelanggan, pengaduan, atau sistem umpan balik lainnya dapat membantu
birokrasi dalam mengevaluasi dan meningkatkan kinerja mereka secara
terus-menerus.
Responsivitas birokrasi memainkan peran penting dalam
menyediakan pelayanan publik yang berkualitas. Dengan menjadi
responsif terhadap permintaan, keluhan, dan harapan masyarakat,
birokrasi dapat membangun kepercayaan, meningkatkan partisipasi warga
negara, dan meningkatkan e�siensi pelayanan publik. Untuk mencapai
responsivitas yang lebih baik, penting untuk memperkuat komunikasi,
membangun kapasitas internal, dan memperhatikan mekanisme umpan
balik dari masyarakat. Dengan demikian, birokrasi dapat berperan
sebagai mitra yang aktif dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Responsivitas mengacu pada kemampuan birokrasi dalam
merespons kebutuhan dan tuntutan masyarakat dengan cepat dan efektif.
Untuk memahami dimensi responsivitas birokrasi secara komprehensif,
terdapat empat dimensi utama yang perlu diperhatikan, yaitu kecepatan,
aksesibilitas, transparansi, dan keterbukaan.

83BAB IV
1. Kecepatan
Kecepatan menjadi dimensi penting dalam responsivitas birokrasi.
Ini mencerminkan kemampuan birokrasi untuk memberikan
layanan dan respon yang cepat terhadap permintaan dan kebutuhan
masyarakat. Kecepatan dapat diukur dari waktu yang diperlukan
untuk memberikan respon, waktu pemrosesan permohonan atau
layanan, serta waktu respons dalam menangani keluhan atau masalah
yang diajukan oleh masyarakat. Kecepatan juga dapat dilihat dari
kemampuan birokrasi untuk memberikan keputusan yang cepat dan
tepat dalam situasi yang membutuhkan intervensi segera.
2. Aksesibilitas
Dimensi kedua adalah aksesibilitas, yang menggambarkan sejauh
mana birokrasi dapat dijangkau oleh masyarakat. Aksesibilitas
mencakup ketersediaan informasi yang jelas dan mudah dimengerti
mengenai layanan yang disediakan oleh birokrasi, prosedur yang
harus diikuti, dan persyaratan yang harus dipenuhi. Selain itu,
aksesibilitas juga berhubungan dengan kebijakan yang mendukung
partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
dan menyediakan mekanisme yang memungkinkan masyarakat
untuk memberikan masukan, umpan balik, atau keluhan terkait
pelayanan birokrasi.
3. Transparansi
Transparansi merupakan dimensi yang penting dalam responsivitas
birokrasi. Transparansi mencerminkan keterbukaan dan akuntabilitas
birokrasi dalam menjalankan tugas dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Birokrasi yang transparan memberikan informasi
yang jelas dan terbuka mengenai proses pengambilan keputusan,
alasan di balik keputusan tersebut, serta sumber daya dan kebijakan
yang digunakan. Transparansi juga melibatkan pelaporan kinerja
yang berkualitas tinggi, termasuk pengukuran kinerja, evaluasi, dan
pengungkapan informasi yang relevan kepada masyarakat.
4. Keterbukaan
Dimensi terakhir dalam responsivitas birokrasi adalah keterbukaan.
Keterbukaan mencakup kesediaan birokrasi untuk menerima
masukan, kritik, atau saran dari masyarakat. Birokrasi yang responsif
harus memiliki mekanisme yang memungkinkan partisipasi publik
dalam proses pengambilan keputusan, seperti forum diskusi atau

84MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
konsultasi publik. Selain itu, birokrasi yang terbuka juga harus
bersedia untuk melakukan perubahan dan perbaikan berdasarkan
masukan yang diterima, serta memberikan umpan balik kepada
masyarakat mengenai tindakan yang diambil sebagai respons
terhadap masukan tersebut.
B. MEMBANGUN KONEKSI YANG KUAT ANTARA BIROKRASI
DAN MASYARAKAT
Birokrasi sering kali dianggap sebagai entitas yang jauh dari
masyarakat. Persepsi ini terkadang muncul karena kompleksitas struktur
birokrasi dan peraturan yang sulit dipahami oleh masyarakat umum.
Namun, penting untuk membangun koneksi yang kuat antara birokrasi
dan masyarakat guna memastikan penyelenggaraan pemerintahan yang
efektif. Membangun koneksi yang kuat antara birokrasi dan masyarakat
merupakan aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
efektif. Teori komunikasi efektif, partisipasi publik, pelayanan publik yang
responsif, dan transparansi serta akuntabilitas dapat digunakan sebagai
pendekatan ilmiah untuk memperkuat koneksi ini. Dalam prakteknya,
penting untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kebijakan dan
praktik birokrasi, serta melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses
pengambilan keputusan dan pelayanan publik. Dengan demikian, koneksi
yang kuat antara birokrasi dan masyarakat dapat terwujud, meningkatkan
kualitas pemerintahan dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
1. Partisipasi Publik sebagai Upaya Membangun Koneksi antara
Birokrasi dan Masyarakat
Partisipasi publik merupakan salah satu aspek yang penting dalam
membangun koneksi yang kuat antara birokrasi dan masyarakat.
Partisipasi publik melibatkan keterlibatan aktif masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan, implementasi kebijakan, dan
pemantauan kinerja pemerintah. Partisipasi publik memiliki
beberapa manfaat penting dalam konteks koneksi antara birokrasi dan
masyarakat. Pertama, partisipasi publik memungkinkan masyarakat
untuk memiliki suara dan pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan. Dengan melibatkan masyarakat dalam diskusi dan dialog,
pemerintah dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang
kebutuhan dan harapan masyarakat, sehingga dapat merumuskan
kebijakan yang lebih relevan dan efektif. Kedua, partisipasi publik
juga dapat meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas pemerintah.

85BAB IV
Dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, pemerintah dapat menghindari keputusan yang semata-
mata didasarkan pada kepentingan kelompok tertentu atau kebijakan
yang tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat secara luas.
Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah dan mengurangi tingkat korupsi dan praktik yang tidak
etis.
Ada beberapa teori dan pendekatan yang relevan dalam
memahami partisipasi publik. Salah satu teori yang penting adalah
teori partisipasi sosial, yang menekankan pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam proses pembuatan keputusan. Teori ini
berpendapat bahwa partisipasi publik yang efektif membutuhkan
informasi yang transparan, akses yang adil terhadap proses
pengambilan keputusan, dan kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi secara aktif. Selain itu, pendekatan kolaboratif juga
sangat relevan dalam membangun koneksi yang kuat antara birokrasi
dan masyarakat. Pendekatan ini menekankan pentingnya kerjasama
antara pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan
dan mengimplementasikannya. Melalui kolaborasi, birokrasi dan
masyarakat dapat saling memahami dan menghargai perspektif
masing-masing, sehingga menciptakan kebijakan yang lebih efektif
dan dapat diterima oleh semua pihak.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan
partisipasi publik dalam membangun koneksi yang kuat antara
birokrasi dan masyarakat. Pertama, pemerintah harus menyediakan
akses yang mudah dan transparan terhadap informasi publik.
Informasi mengenai kebijakan, proses pengambilan keputusan, dan
kinerja pemerintah harus tersedia secara terbuka dan dapat diakses
oleh masyarakat. Kedua, pemerintah harus mendukung pembentukan
organisasi masyarakat sipil yang independen dan kuat. Organisasi-
organisasi ini dapat menjadi perwakilan masyarakat dalam berbagai
forum dan memainkan peran penting dalam menyuarakan
kepentingan masyarakat serta memastikan pemerintah bertanggung
jawab atas tindakan mereka.
Partisipasi publik merupakan elemen kunci dalam membangun
koneksi yang kuat antara birokrasi dan masyarakat. Dalam konteks
ini, partisipasi publik memungkinkan masyarakat untuk memiliki

86MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
pengaruh yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan dan
membantu meningkatkan legitimasi dan akuntabilitas pemerintah.
Dengan mengadopsi teori partisipasi sosial dan pendekatan
kolaboratif, serta mengambil langkah-langkah konkret untuk
meningkatkan partisipasi publik, kita dapat memperkuat koneksi
antara birokrasi dan masyarakat, dan pada gilirannya, meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
2. Komunikasi Efektif sebagai Upaya Membangun Koneksi antara
Birokrasi dan Masyarakat
Komunikasi merupakan fondasi utama dalam hubungan antara
birokrasi dan masyarakat. Teori komunikasi yang relevan dalam
konteks ini adalah teori komunikasi dua arah atau teori dialogis.
Menurut teori ini, komunikasi yang efektif melibatkan proses
saling mendengarkan, memahami, dan merespons antara birokrasi
dan masyarakat. Birokrasi harus membuka saluran komunikasi
yang transparan dan mudah diakses untuk masyarakat, sementara
masyarakat harus terlibat aktif dalam memberikan masukan dan
umpan balik kepada birokrasi. Salah satu penelitian ilmiah yang
mendukung pentingnya komunikasi efektif dalam hubungan
birokrasi-masyarakat adalah studi yang dilakukan oleh Anechiarico
dan Jacobs (1996). Mereka menemukan bahwa ketika birokrasi
menyediakan informasi yang jelas dan transparan kepada
masyarakat, tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap
birokrasi meningkat. Sebaliknya, ketika birokrasi tidak efektif
dalam komunikasi, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan,
ketidakpuasan, dan kon�ik dengan masyarakat.
Selain itu, teori partisipasi publik juga relevan dalam konteks
komunikasi antara birokrasi dan masyarakat. Teori ini berpendapat
bahwa partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan dapat meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperkuat
hubungan antara birokrasi dan masyarakat. Penelitian yang dilakukan
oleh Arnstein (1969) mendukung teori ini. Dia mengidenti�kasi
tingkat partisipasi masyarakat yang berbeda, mulai dari partisipasi
nol hingga partisipasi penuh. Tingkat partisipasi yang lebih tinggi,
seperti partisipasi yang berdaya serahkan dan partisipasi delegasi,
dapat memperkuat hubungan antara birokrasi dan masyarakat. Dalam

87BAB IV
konteks komunikasi efektif, teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) juga memainkan peran penting.
Penelitian yang dilakukan oleh Norris (2001) menunjukkan
bahwa penggunaan TIK dalam komunikasi antara birokrasi dan
masyarakat dapat meningkatkan aksesibilitas, kecepatan, dan e�siensi
komunikasi. Misalnya, penggunaan media sosial oleh birokrasi
untuk berkomunikasi dengan masyarakat dapat menciptakan
saluran komunikasi yang langsung dan interaktif. Untuk mencapai
komunikasi yang efektif antara birokrasi dan masyarakat, beberapa
prinsip komunikasi harus diterapkan. Pertama, birokrasi harus
menyediakan informasi yang jelas, akurat, dan terkini kepada
masyarakat. Informasi tersebut harus mudah diakses dan dipahami
oleh masyarakat. Kedua, birokrasi harus mendorong partisipasi aktif
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan
mekanisme yang memfasilitasi partisipasi tersebut. Ketiga, birokrasi
harus memperhatikan umpan balik dan masukan dari masyarakat
dan memberikan tanggapan yang memadai.
Dalam rangka meningkatkan komunikasi antara birokrasi
dan masyarakat, penting juga untuk melibatkan pendidikan dan
pelatihan komunikasi bagi para pejabat birokrasi. Pelatihan ini dapat
membantu mereka mengembangkan keterampilan komunikasi yang
efektif dan memahami pentingnya berkomunikasi dengan masyarakat
secara terbuka dan responsif. Secara keseluruhan, komunikasi yang
efektif antara birokrasi dan masyarakat merupakan elemen penting
dalam membangun hubungan yang kuat dan saling percaya. Melalui
komunikasi yang transparan, terbuka, dan responsif, birokrasi dapat
memperkuat dukungan dan kepercayaan masyarakat, sementara
masyarakat dapat merasa terlibat dan memiliki pengaruh dalam
proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, komunikasi
efektif memainkan peran krusial dalam membangun pemerintahan
yang baik dan demokratis.
C. PENTINGNYA MENDORONG INOVASI DAN KOLABORASI
DALAM MEMBANGUN KONEKSI KUAT ANTARA BIROKRASI
DAN MASYARAKAT
Dalam masyarakat modern, hubungan antara birokrasi dan masyarakat
sangat penting dalam memajukan pembangunan dan mencapai tujuan
bersama. Namun, sering kali terjadi kesenjangan antara birokrasi yang

88MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
cenderung berfokus pada kebijakan dan prosedur, dan masyarakat yang
memiliki kebutuhan dan harapan yang beragam. Oleh karena itu, sangat
penting untuk mendorong inovasi dan kolaborasi agar tercipta koneksi
yang kuat antara birokrasi dan masyarakat.
Salah satu teori yang relevan dalam konteks ini adalah teori
Keterlibatan Masyarakat (Community Engagement �eory). Teori
ini menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Melalui
keterlibatan aktif masyarakat, birokrasi dapat memperoleh pemahaman
yang lebih baik tentang kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga
dapat merancang kebijakan yang lebih relevan dan efektif. Selain itu, teori
Inovasi Sosial (Social Innovation �eory) juga dapat memberikan wawasan
penting dalam mendorong kolaborasi antara birokrasi dan masyarakat.
Teori ini menekankan pentingnya menciptakan ruang untuk eksperimen
dan mencari solusi baru untuk masalah-masalah sosial yang kompleks.
Dengan mengadopsi pendekatan inovatif, birokrasi dapat melibatkan
masyarakat dalam merancang dan mengimplementasikan solusi yang
lebih efektif dan berkelanjutan.
Untuk mendorong inovasi dan kolaborasi dalam hubungan
antara birokrasi dan masyarakat, beberapa langkah dapat diambil.
Pertama, penting untuk menciptakan saluran komunikasi yang
terbuka antara birokrasi dan masyarakat. Ini dapat dilakukan melalui
penyelenggaraan forum-dialog, pertemuan publik, atau platform daring
yang memungkinkan berbagi informasi dan masukan dari masyarakat.
Kedua, birokrasi harus memperkuat kapasitasnya dalam menerima dan
mengelola masukan dari masyarakat. Hal ini termasuk kemampuan untuk
memproses umpan balik yang konstruktif, serta mengadopsi pendekatan
yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiga,
kolaborasi antara birokrasi dan masyarakat dapat ditingkatkan melalui
kemitraan yang berkelanjutan antara sektor publik dan swasta, lembaga
akademik, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal. Kemitraan
semacam itu dapat menghasilkan inovasi yang lebih baik melalui
pertukaran pengetahuan, sumber daya, dan keahlian yang beragam.
Ketiga, kolaborasi antara birokrasi dan masyarakat dapat ditingkatkan
melalui kemitraan yang berkelanjutan antara sektor publik dan swasta,
lembaga akademik, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal.
Kemitraan semacam itu dapat menghasilkan inovasi yang lebih baik

89BAB IV
melalui pertukaran pengetahuan, sumber daya, dan keahlian yang
beragam. Terakhir, penting untuk menciptakan insentif bagi inovasi
dan kolaborasi dalam hubungan birokrasi-masyarakat. Ini bisa berupa
pengakuan dan penghargaan bagi inisiatif yang sukses, alokasi sumber
daya yang memadai untuk pengembangan proyek inovatif, dan pengakuan
terhadap peran masyarakat dalam mencapai hasil yang signi�kan.
Dalam mengimplementasikan langkah-langkah ini, penting untuk
mengadopsi pendekatan berbasis bukti (evidence-based) dan melibatkan
stakeholder yang relevan, seperti akademisi, praktisi, dan perwakilan
masyarakat. Dengan melibatkan semua pihak yang terlibat, dapat
diciptakan koneksi yang kuat antara birokrasi dan masyarakat yang
berdampak positif pada pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dalam
rangka mencapai hal ini, diperlukan komitmen yang kuat dari semua
pihak yang terlibat untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang
mungkin muncul. Namun, dengan meningkatkan inovasi dan kolaborasi
dalam hubungan antara birokrasi dan masyarakat, kita dapat membangun
koneksi yang lebih kuat, mempercepat pembangunan, dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
D. KOLABORASI DAN KEMITRAAN
Kolaborasi dan kemitraan merupakan dua elemen penting dalam
membangun hubungan yang kuat antara birokrasi dan masyarakat. Dalam
konteks ini, birokrasi merujuk pada aparat pemerintah yang bertugas
menjalankan fungsi-fungsi administratif negara, sementara masyarakat
adalah kumpulan individu yang tergabung dalam suatu komunitas atau
negara. Konsep kolaborasi dan kemitraan yang efektif antara birokrasi dan
masyarakat dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan,
memperkuat demokrasi, dan mendorong perkembangan sosial dan
ekonomi. Salah satu teori yang relevan dalam konteks ini adalah teori
kepemimpinan transformasional. Teori ini menekankan pentingnya
kolaborasi dan kemitraan dalam mencapai perubahan yang positif dalam
suatu organisasi atau masyarakat. Kepemimpinan transformasional
melibatkan pemimpin yang dapat mempengaruhi dan menginspirasi
orang lain melalui visi yang jelas, nilai-nilai yang kuat, dan pengembangan
hubungan yang positif. Dalam konteks hubungan antara birokrasi
dan masyarakat, kepemimpinan transformasional dapat mendorong
kolaborasi yang efektif dan membangun kepercayaan antara kedua belah
pihak.

90MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Kolaborasi antara birokrasi dan masyarakat dapat terjadi dalam
berbagai bentuk. Salah satunya adalah melalui partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, birokrasi harus
membuka ruang untuk melibatkan masyarakat dalam merumuskan
kebijakan publik. Partisipasi publik yang inklusif dan terbuka dapat
meningkatkan legitimasi kebijakan dan menghasilkan solusi yang lebih
baik. Partisipasi masyarakat juga dapat membantu birokrasi dalam
mengidenti�kasi dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat secara efektif. Selain itu, kemitraan antara birokrasi dan
masyarakat dapat diwujudkan melalui kerjasama dalam pelaksanaan
program dan proyek. Birokrasi dapat bekerja sama dengan masyarakat
dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan-
kegiatan yang memiliki dampak langsung terhadap masyarakat. Dalam
kerangka kemitraan ini, masyarakat dapat memberikan masukan dan
saran yang berharga bagi birokrasi dalam mengoptimalkan penggunaan
sumber daya dan mencapai hasil yang lebih baik.
Pentingnya kolaborasi dan kemitraan antara birokrasi dan
masyarakat didukung oleh bukti empiris. Studi-studi telah menunjukkan
bahwa kolaborasi yang efektif dapat menghasilkan perubahan yang
signi�kan dalam pelayanan publik, meningkatkan kepuasan masyarakat,
dan memperkuat kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Selain itu,
kemitraan yang kuat antara birokrasi dan masyarakat juga berdampak
positif pada pembangunan sosial dan ekonomi. Masyarakat yang aktif
terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengatasi masalah yang
dihadapinya dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dalam rangka
membangun kolaborasi dan kemitraan yang efektif antara birokrasi
dan masyarakat, diperlukan komitmen dan kerjasama dari kedua belah
pihak. Birokrasi perlu mengadopsi pendekatan yang terbuka, inklusif,
dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Sementara
itu, masyarakat perlu aktif terlibat dalam proses pembuatan keputusan
dan pelaksanaan kebijakan publik. Dalam hal ini, media massa dan
organisasi masyarakat sipil juga dapat memainkan peran penting dalam
memfasilitasi dialog antara birokrasi dan masyarakat.
Kolaborasi dan kemitraan antara birokrasi dan masyarakat memiliki
peranan yang krusial dalam membangun hubungan yang kuat, memperkuat
demokrasi, dan mendorong perkembangan sosial dan ekonomi. Dalam

91BAB IV
konteks ini, teori kepemimpinan transformasional dapat menjadi dasar
untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip kolaborasi yang efektif
antara birokrasi dan masyarakat. Dengan demikian, kerjasama yang erat
antara birokrasi dan masyarakat dapat menciptakan kondisi yang lebih
baik untuk mencapai tujuan bersama dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.
E. PELAYANAN PUBLIK YANG RESPONSIF
Pelayanan publik yang responsif merupakan hal yang penting dalam
membangun hubungan yang kuat antara birokrasi dan masyarakat. Konsep
ini didasarkan pada teori-teori dan penelitian ilmiah yang mendukung
pentingnya pelayanan publik yang adaptif, inklusif, dan tanggap terhadap
kebutuhan serta aspirasi masyarakat. Salah satu teori yang relevan adalah
“Teori Koneksi Responsif” yang dikemukakan oleh Schillemans (2012).
Teori ini menekankan pentingnya mengembangkan hubungan yang
kuat antara birokrasi dan masyarakat dengan melibatkan partisipasi
publik dalam proses pengambilan keputusan. Melalui partisipasi aktif
masyarakat, birokrasi dapat memahami kebutuhan dan preferensi mereka
secara langsung, dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan dan
program pelayanan publik. Hal ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas
birokrasi dan memperkuat legitimasi kebijakan publik.
Penelitian juga menunjukkan bahwa pendekatan yang inklusif dan
kolaboratif dalam pengambilan keputusan publik dapat memperkuat
koneksi antara birokrasi dan masyarakat. Menurut penelitian oleh
Nabatchi dan Leighninger (2015), pemerintah yang mengadopsi
pendekatan kolaboratif dalam merancang dan mengimplementasikan
kebijakan publik memiliki tingkat kepuasan dan kepercayaan yang lebih
tinggi dari masyarakat. Kolaborasi ini melibatkan partisipasi langsung
dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok minoritas atau
yang kurang terwakili, sehingga memastikan kebijakan yang dihasilkan
mencerminkan kepentingan dan kebutuhan semua pihak. Selain itu,
pelayanan publik yang responsif juga harus memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) untuk memperkuat koneksi dengan
masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan platform digital
dan aplikasi seluler dapat meningkatkan aksesibilitas, transparansi, dan
partisipasi publik dalam proses pelayanan publik. Melalui aplikasi seluler,
masyarakat dapat mengajukan permintaan layanan, memberikan umpan
balik, dan memantau status permintaan mereka secara real-time. Hal

92MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
ini tidak hanya memberikan kemudahan bagi masyarakat, tetapi juga
memungkinkan birokrasi untuk merespons dengan cepat dan efektif
terhadap kebutuhan yang diungkapkan oleh masyarakat.
Untuk membangun bangunan pelayanan publik yang responsif,
diperlukan perubahan budaya dan kapasitas institusional dalam
birokrasi. Konsep “bureaucratic responsiveness” (responsi�tas birokrasi)
yang dikemukakan oleh Meier dan Bohte (2008) menekankan pentingnya
memperkuat kemampuan birokrasi dalam merespons dengan cepat dan
efektif terhadap kebutuhan masyarakat. Ini melibatkan pengembangan
keterampilan interpersonal, komunikasi yang efektif, dan kemampuan
dalam menggunakan teknologi informasi. Dalam konteks Indonesia,
terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan untuk membangun
bangunan pelayanan publik yang responsif. Misalnya, melalui program
“Pelayanan Publik Terpadu Satu Pintu” (PTSP), pemerintah telah
berupaya menyederhanakan prosedur dan mempercepat pelayanan
kepada masyarakat. Penerapan teknologi informasi juga semakin meluas,
seperti pemanfaatan aplikasi seluler untuk menerima permintaan layanan
dari masyarakat.
Membangun bangunan pelayanan publik yang responsif
membutuhkan pendekatan yang inklusif, kolaboratif, dan memanfaatkan
teknologi informasi. Teori dan penelitian ilmiah telah memberikan
pemahaman yang penting tentang bagaimana memperkuat koneksi
antara birokrasi dan masyarakat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini,
diharapkan pelayanan publik di Indonesia dapat menjadi lebih adaptif,
tanggap, dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat.
F. MENDORONG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan merupakan
salah satu prinsip demokrasi yang fundamental. Melibatkan masyarakat
dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka adalah esensi
dari pemerintahan yang baik. Partisipasi masyarakat membawa manfaat
beragam, seperti peningkatan kualitas keputusan, penerimaan yang lebih
luas terhadap kebijakan, dan pengurangan ketidakadilan sosial. Dalam
teori demokrasi deliberatif menekankan pentingnya diskusi terbuka
dan inklusif dalam proses pengambilan keputusan. Jürgen Habermas,
seorang �lsuf politik terkenal, mengusulkan konsep demokrasi deliberatif
yang menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam

93BAB IV
membentuk kebijakan publik. Demokrasi deliberatif mencakup berbagai
mekanisme partisipasi, seperti forum publik, kelompok kerja, dan
konsultasi masyarakat. Melalui proses deliberatif ini, masyarakat dapat
mempengaruhi kebijakan dengan memberikan pandangan, masukan,
dan argumen yang lebih baik.
Banyak penelitian ilmiah telah mengungkapkan manfaat dari
demokrasi deliberatif dalam mendorong partisipasi masyarakat. Sebagai
contoh, penelitian oleh Archon Fung dan Erik Olin Wright menunjukkan
bahwa partisipasi publik dalam proses deliberatif dapat meningkatkan
pengetahuan politik dan pemahaman masyarakat tentang isu-isu publik.
Diskusi terbuka dan mendalam memungkinkan individu-individu untuk
memperoleh wawasan yang lebih baik tentang konsekuensi keputusan dan
dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini kemudian
mendorong partisipasi yang lebih aktif dan terinformasi dalam proses
pengambilan keputusan.
Selain itu, demokrasi deliberatif juga dapat meningkatkan rasa
memiliki masyarakat terhadap kebijakan yang dihasilkan. Ketika individu-
individu merasa bahwa suara mereka didengar dan dihargai dalam
proses deliberatif, mereka lebih cenderung merasa terhubung secara
emosional dengan kebijakan yang dihasilkan. Hal ini dapat menghasilkan
kepuasan dan kepercayaan yang lebih tinggi terhadap pemerintah dan
lembaga publik, serta memotivasi partisipasi yang berkelanjutan di
masa depan. Ada beberapa instrumen praktis yang dapat digunakan
untuk menerapkan demokrasi deliberatif dalam mendorong partisipasi
masyarakat. Salah satunya adalah forum deliberatif, di mana warga biasa
secara acak dipilih untuk berpartisipasi dalam diskusi yang terencana dan
terstruktur. Partisipasi dalam forum-forum seperti ini dapat membuka
ruang bagi warga untuk berbagi pengalaman dan pendapat mereka,
sambil mempertimbangkan berbagai perspektif yang berbeda. Selain
itu, teknologi informasi dan komunikasi juga dapat memainkan peran
penting dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam demokrasi
deliberatif. Platform daring dan aplikasi khusus dapat digunakan untuk
mengumpulkan masukan publik, memfasilitasi diskusi, dan memperluas
aksesibilitas partisipasi. Contoh nyata penggunaan teknologi ini adalah
platform pengumpulan umpan balik daring yang digunakan oleh
beberapa pemerintah lokal untuk mendapatkan masukan dari masyarakat
tentang kebijakan dan proyek pembangunan. Secara keseluruhan,

94MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
demokrasi deliberatif menawarkan kerangka kerja yang kuat dalam
mendorong partisipasi masyarakat. Melalui diskusi terbuka, rasional,
dan inklusif, demokrasi deliberatif dapat memperkaya pengetahuan
dan pemahaman masyarakat tentang isu-isu publik, serta memperkuat
ikatan emosional mereka terhadap kebijakan yang dihasilkan. Dengan
menerapkan instrumen-instrumen praktis seperti forum deliberatif
dan teknologi informasi, partisipasi masyarakat dapat diakti�an dan
diperluas secara signi�kan. Dalam rangka mewujudkan demokrasi
yang sehat dan responsif, penting bagi pemerintah dan lembaga publik
untuk mempromosikan demokrasi deliberatif sebagai pendekatan yang
menghargai suara dan kontribusi masyarakat.
Teori selanjutnya adalah teori kapabilitas yang dikembangkan oleh
Amartya Sen memberikan kerangka kerja yang kuat dalam mendorong
partisipasi masyarakat. Menurut teori ini, kapabilitas adalah kemampuan
individu untuk melakukan fungsi-fungsi yang berharga dan penting
dalam kehidupan mereka. Kapabilitas ini melibatkan berbagai aspek
seperti kesehatan, pendidikan, kebebasan politik, dan partisipasi dalam
kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam konteks mendorong partisipasi
masyarakat, teori kapabilitas menekankan pentingnya memastikan bahwa
individu memiliki kapabilitas yang memadai untuk terlibat dalam kegiatan
komunitas. Hal ini melibatkan peningkatan akses terhadap pendidikan,
keterampilan, dan sumber daya yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif
dalam masyarakat. Misalnya, pendidikan yang berkualitas merupakan
faktor kunci dalam membangun kapabilitas individu untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Dengan akses terhadap pendidikan yang baik,
individu dapat mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang
diperlukan untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial dan ekonomi
komunitas mereka. Pendidikan juga dapat membantu mengembangkan
kapabilitas kritis dan re�ektif, yang penting dalam partisipasi aktif dalam
pengambilan keputusan masyarakat.
Selain itu, teori kapabilitas juga menekankan pentingnya kebebasan
politik dalam mendorong partisipasi masyarakat. Kebebasan berpendapat,
berorganisasi, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
politik memainkan peran penting dalam memberdayakan masyarakat.
Melalui kebebasan ini, masyarakat dapat berperan aktif dalam menentukan
kebijakan publik, mengadvokasi hak-hak mereka, dan mempengaruhi
perubahan sosial yang mereka inginkan. Selanjutnya, teori kapabilitas

95BAB IV
juga menggarisbawahi pentingnya mengatasi kesenjangan dalam akses
dan pemerataan sumber daya. Ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik
dapat menjadi hambatan bagi partisipasi masyarakat yang merata. Oleh
karena itu, perlu adanya upaya untuk memastikan distribusi yang adil
dari sumber daya-sumber daya penting seperti pekerjaan, tanah, dan
modal, agar semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks yang lebih
luas, teori kapabilitas Amartya Sen menekankan pentingnya melihat
partisipasi sebagai hasil dari kapabilitas individu dan bukan hanya sebagai
bentuk perubahan sosial yang diinginkan. Mendorong partisipasi yang
berkelanjutan dan inklusif membutuhkan pendekatan yang menghargai
dan memperkuat kapabilitas individu serta memastikan bahwa ada
keadilan dalam distribusi sumber daya dan kebebasan politik.
Teori kapabilitas Amartya Sen menyediakan kerangka kerja yang kuat
dalam mendorong partisipasi masyarakat dengan menekankan pentingnya
akses terhadap pendidikan, kebebasan politik, dan pemerataan sumber
daya. Dalam konteks ini, teori ini memberikan panduan bagi pemerintah
dan organisasi masyarakat sipil dalam merancang kebijakan dan program
yang mempromosikan partisipasi masyarakat yang lebih luas dan inklusif.
G. STRATEGI MENDORONG PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1. Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan Publik
Peningkatan kesadaran publik merupakan langkah awal yang
penting dalam mendorong partisipasi masyarakat. Ketika
masyarakat menyadari pentingnya suatu isu atau kegiatan, mereka
lebih cenderung untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif. Teori
komunikasi seperti teori Two-Step Flow dan Agenda-Setting �eory
menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan kepada masyarakat
melalui saluran komunikasi dapat mempengaruhi persepsi dan
tindakan mereka. Oleh karena itu, dengan meningkatkan kesadaran
publik melalui kampanye informasi yang efektif, masyarakat dapat
lebih memahami isu-isu yang relevan dan merasa termotivasi untuk
berpartisipasi. peningkatan kesadaran publik merupakan langkah
awal yang penting dalam mendorong partisipasi masyarakat. Ketika
masyarakat menyadari pentingnya suatu isu atau kegiatan, mereka
lebih cenderung untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif. Teori
komunikasi seperti teori Two-Step Flow dan Agenda-Setting �eory

96MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan kepada masyarakat
melalui saluran komunikasi dapat mempengaruhi persepsi dan
tindakan mereka. Oleh karena itu, dengan meningkatkan kesadaran
publik melalui kampanye informasi yang efektif, masyarakat dapat
lebih memahami isu-isu yang relevan dan merasa termotivasi
untuk berpartisipasi. Selain itu, penelitian ilmiah juga mendukung
pentingnya strategi ini dalam mendorong partisipasi masyarakat.
Studi tentang partisipasi masyarakat dalam berbagai konteks, seperti
partisipasi politik atau partisipasi dalam pengelolaan sumber daya
alam, menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan kesadaran
masyarakat memiliki korelasi positif dengan tingkat partisipasi
mereka. Misalnya, penelitian oleh Verba, Schlozman, dan Brady
(1995) menemukan bahwa warga yang memiliki pengetahuan yang
lebih baik tentang sistem politik lebih mungkin untuk berpartisipasi
dalam proses politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan
kesadaran publik melalui pendidikan dapat mendorong partisipasi
aktif dalam masyarakat.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan proyek
sangat penting. Melalui peningkatan kesadaran dan pendidikan
publik, masyarakat dapat memahami manfaat dari partisipasi aktif
mereka dalam kegiatan komunitas, seperti perlindungan lingkungan,
pengelolaan sumber daya alam, atau peningkatan kualitas hidup.
Pendidikan dan kesadaran publik yang efektif juga dapat membantu
mengatasi kendala seperti kurangnya pengetahuan atau kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah atau lembaga terkait. trategi
peningkatan kesadaran dan pendidikan publik memainkan peran
penting dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan
komunitas. Berdasarkan teori komunikasi, pembelajaran sosial, dan
penelitian ilmiah, strategi ini terbukti efektif dalam meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, dan keterlibatan masyarakat. Dengan
meningkatkan partisipasi masyarakat, pembangunan berkelanjutan
dapat dicapai dengan lebih baik dan masyarakat dapat merasakan
manfaat yang lebih besar dalam lingkungannya.
2. Pembangunan Ruang Partisipatif
Ruang partisipatif adalah konsep yang berkaitan erat dengan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi

97BAB IV
kehidupan mereka. Hal ini memungkinkan individu untuk terlibat
aktif dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut kebijakan
publik, perencanaan perkotaan, atau pengembangan program sosial.
Dalam konteks ini, ruang partisipatif merujuk pada forum yang
menyediakan kesempatan bagi berbagai pemangku kepentingan
untuk berdialog, berbagi pandangan, dan mempengaruhi perubahan
yang diinginkan. Teori partisipasi publik dan ruang partisipatif
telah lama menjadi subjek perhatian dalam ilmu sosial dan politik.
Salah satu teori yang relevan adalah teori demokrasi deliberatif, yang
dikemukakan oleh Jürgen Habermas. Menurut teori ini, partisipasi
publik yang baik memerlukan proses komunikatif yang melibatkan
diskusi rasional, argumen yang terbuka, dan penyelesaian kon�ik
yang didasarkan pada kesepakatan.
Ruang partisipatif yang efektif harus menciptakan lingkungan
yang memfasilitasi dialog terbuka dan mempromosikan inklusi
sosial. Selain itu, teori modal sosial juga berperan penting dalam
menciptakan ruang partisipatif yang sukses. Konsep modal sosial
mengacu pada jaringan relasi sosial, norma sosial, dan kepercayaan
yang memungkinkan kolaborasi dan koordinasi dalam suatu
masyarakat. Dalam konteks ruang partisipatif, modal sosial dapat
meningkatkan kepercayaan antara pemangku kepentingan yang
berbeda, memfasilitasi kerja sama, dan memperkuat partisipasi
publik yang berkelanjutan. Penerapan teori dan prinsip ilmiah
dalam menciptakan ruang partisipatif dapat memperkuat partisipasi
masyarakat dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
Beberapa langkah yang dapat diambil dalam menciptakan ruang
partisipatif yang efektif, pertama, inklusi dan keragaman dimana
ruang partisipatif harus mencakup berbagai kelompok masyarakat,
termasuk kelompok minoritas, perempuan, kaum miskin, dan
kelompok marginal lainnya. Dalam ruang partisipatif yang inklusif,
semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara dan
berkontribusi. Kedua, aksesibilitas informasi yang memastikan
partisipasi yang berarti, informasi yang relevan dan mudah dipahami
harus tersedia untuk semua pemangku kepentingan. Transparansi
dalam penyediaan informasi akan memperkuat partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, proses partisipatif
yang terstruktur dimana ruang partisipatif yang efektif memerlukan

98MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
proses yang jelas dan terstruktur. Pemangku kepentingan harus
diberi waktu dan kesempatan untuk mempersiapkan pandangan
mereka, berdiskusi dengan pemangku kepentingan lain, dan
membuat keputusan berdasarkan argumentasi yang rasional. Terahir,
Keterlibatan pemangku kepentingan, Partisipasi yang berkelanjutan
memerlukan keterlibatan pemangku kepentingan dari awal hingga
akhir proses pengambilan keputusan. Melibatkan pemangku
kepentingan dalam perencanaan, desain, dan evaluasi kebijakan
atau program akan memastikan representasi yang lebih baik dan
dukungan yang lebih besar.
3. Media Sosial
Media sosial telah menjadi alat yang sangat penting dalam membentuk
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam
beberapa tahun terakhir, penggunaan media sosial telah meningkat
pesat, menciptakan kesempatan baru bagi masyarakat untuk terlibat
dalam diskusi publik dan berkontribusi pada pengambilan keputusan
yang lebih inklusif. Salah satu teori yang relevan dalam konteks
ini adalah teori partisipasi politik. Menurut teori ini, partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan politik memiliki dampak
positif pada demokrasi dan kualitas keputusan yang dihasilkan.
Media sosial memainkan peran penting dalam mendorong partisipasi
politik ini dengan memberikan platform untuk masyarakat berbagi
opini, ide, dan keprihatinan mereka. Sebagai contoh, melalui media
sosial, masyarakat dapat mengajukan pertanyaan kepada pemimpin
politik, mengungkapkan pendapat mereka tentang isu-isu politik,
dan mengorganisir kampanye untuk mendukung atau menentang
kebijakan tertentu. Penelitian telah menunjukkan bahwa partisipasi
melalui media sosial dapat meningkatkan kepuasan politik dan
meningkatkan partisipasi langsung dalam proses pengambilan
keputusan. Selain itu, teori komunikasi massa juga relevan untuk
memahami peran media sosial dalam partisipasi masyarakat. Teori
ini berpendapat bahwa media massa memiliki kemampuan untuk
membentuk sikap, nilai, dan perilaku masyarakat.
Media sosial, sebagai bentuk media massa baru, memiliki
pengaruh yang serupa. Melalui konten yang dibagikan di media
sosial, masyarakat dapat mendapatkan informasi tentang isu-isu
yang relevan, berinteraksi dengan opini yang berbeda, dan terlibat

99BAB IV
dalam diskusi yang lebih luas. Ini memberikan peluang bagi mereka
untuk memperluas wawasan mereka, membentuk sikap mereka, dan
berkontribusi pada pengambilan keputusan yang berdampak pada
masyarakat.
Beberapa penelitian ilmiah telah menyoroti dampak positif
media sosial terhadap partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan. Sebagai contoh, sebuah penelitian oleh Zhang dan
Wu (2019) menemukan bahwa penggunaan media sosial secara
signi�kan meningkatkan partisipasi politik masyarakat, khususnya
melalui berbagi informasi politik dan diskusi online. Penelitian lain
oleh Jungherr (2016) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial
dapat memperluas jangkauan partisipasi politik dan memberikan
suara kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak terwakili
dalam proses pengambilan keputusan. Namun, perlu diingat bahwa
meskipun media sosial memiliki potensi besar dalam meningkatkan
partisipasi masyarakat, ada juga tantangan dan risiko yang terkait
dengan penggunaan media sosial dalam proses pengambilan
keputusan. Misalnya, ada risiko penyebaran informasi yang salah
atau tidak akurat, manipulasi opini publik, dan perpecahan sosial
akibat �lter bubble atau ekho ruang. Oleh karena itu, penting untuk
mengembangkan kerangka kerja yang memastikan keakuratan
dan keberlanjutan informasi yang dibagikan di media sosial serta
mengatasi ketimpangan partisipasi untuk memastikan partisipasi
yang inklusif. Secara keseluruhan, media sosial memberikan alat
yang kuat bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan. Dengan memberikan platform untuk berbagi informasi,
pendapat, dan keprihatinan, media sosial memfasilitasi partisipasi
politik dan memperluas jangkauan partisipasi masyarakat. Namun,
tantangan dan risiko juga harus diatasi agar partisipasi melalui media
sosial dapat benar-benar inklusif dan memberikan keuntungan
bagi demokrasi dan kualitas keputusan. Dalam era yang semakin
terhubung secara digital, media sosial tetap menjadi instrumen
penting dalam membangun komunitas yang terlibat dan memajukan
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

100MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

101
BAB V
INOVASI DALAM MENINGKATKAN
RESPONSIVITAS BIROKRASI
A. MEMANFAATKAN TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN
RESPONSIVITAS BIROKRASI
Birokrasi adalah sistem administrasi yang kompleks yang terdiri dari
aturan, prosedur, dan struktur yang mengatur pelaksanaan kebijakan
pemerintah. Responsivitas birokrasi mengacu pada kemampuan birokrasi
untuk merespons kebutuhan dan harapan masyarakat dengan cepat dan
e�sien. Birokrasi yang responsif adalah birokrasi yang dapat dengan cepat
memberikan layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, mengambil
keputusan yang cepat dan tepat, dan beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi dalam lingkungan sosial dan teknologi.
Penggunaan teknologi telah mengubah banyak aspek kehidupan
kita, termasuk interaksi dengan pemerintah. Teknologi informasi (TI)
telah memberikan alat baru yang dapat digunakan oleh birokrasi untuk
meningkatkan responsivitas mereka. Teknologi dapat digunakan untuk
mempercepat proses administratif, meningkatkan aksesibilitas pelayanan
publik, dan memungkinkan partisipasi publik yang lebih besar dalam
pengambilan keputusan. Teknologi telah memungkinkan pembangunan
layanan publik yang lebih mudah diakses oleh masyarakat. Pemerintah
dapat menggunakan teknologi seperti situs web, aplikasi seluler, atau
platform daring lainnya untuk menyediakan informasi yang relevan
tentang layanan publik, prosedur aplikasi, dan persyaratan yang diperlukan.
Misalnya, masyarakat dapat mengajukan permohonan izin pembangunan
melalui aplikasi seluler dan mengikuti prosesnya secara daring tanpa
harus datang ke kantor pemerintah. Hal ini mengurangi birokrasi �sik
dan meningkatkan responsivitas pelayanan publik. Teknologi juga dapat

102MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
digunakan untuk meningkatkan transparansi birokrasi. Pemerintah
dapat menggunakan platform daring untuk menyediakan akses terbuka
ke informasi publik, seperti anggaran, kebijakan, atau keputusan penting.
Dengan begitu, masyarakat dapat memantau dan memahami keputusan
yang diambil oleh birokrasi. Transparansi ini dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan mendorong partisipasi
aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Proses administrasi yang lambat dan rumit sering kali menjadi
kendala dalam responsivitas birokrasi. Namun, teknologi dapat digunakan
untuk mengatasi hambatan tersebut. Penerapan sistem manajemen
administrasi elektronik (e-administration) dapat mempercepat dan
mengotomatisasi proses administratif. Misalnya, penggunaan tanda
tangan digital dan pengarsipan elektronik dapat mengurangi waktu yang
dibutuhkan untuk memproses dokumen dan menghindari kesalahan
manusia. Hal ini meningkatkan e�siensi birokrasi dan memungkinkan
respons yang lebih cepat terhadap permintaan masyarakat. Partisipasi
publik yang melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
penting adalah elemen penting dalam responsivitas birokrasi. Teknologi
telah memberikan alat baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan
partisipasi publik. Misalnya, platform daring dapat digunakan untuk
mengadakan survei publik, konsultasi, atau pemungutan suara elektronik.
Dengan memanfaatkan teknologi ini, pemerintah dapat memperluas
partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, memperoleh masukan
yang berharga, dan meningkatkan kualitas keputusan yang diambil.
Studi kasus penerapan teknologi dalam meningkatkan responsivitas
birokrasi seperti Singapura. Singapura dikenal sebagai salah satu
pemimpin dalam penerapan teknologi untuk meningkatkan responsivitas
birokrasi. Pemerintah Singapura telah mengembangkan berbagai inisiatif
e-government untuk meningkatkan aksesibilitas dan e�siensi pelayanan
publik. Misalnya, mereka meluncurkan portal MyInfo yang memungkinkan
warga negara untuk dengan mudah berbagi data pribadi mereka dengan
berbagai lembaga pemerintah, menghilangkan kebutuhan untuk mengisi
formulir berulang-ulang. Selain itu, aplikasi seluler seperti OneService
memungkinkan masyarakat melaporkan masalah infrastruktur atau
kebersihan dan memantau status penyelesaiannya secara real-time.
Singapura dikenal sebagai salah satu pemimpin dalam penerapan
teknologi untuk meningkatkan responsivitas birokrasi. Pemerintah

103BAB V
Singapura telah mengembangkan berbagai inisiatif e-government untuk
meningkatkan aksesibilitas dan e�siensi pelayanan publik. Misalnya,
mereka meluncurkan portal MyInfo yang memungkinkan warga negara
untuk dengan mudah berbagi data pribadi mereka dengan berbagai
lembaga pemerintah, menghilangkan kebutuhan untuk mengisi
formulir berulang-ulang. Selain itu, aplikasi seluler seperti OneService
memungkinkan masyarakat melaporkan masalah infrastruktur atau
kebersihan dan memantau status penyelesaiannya secara real-time.
Meskipun penggunaan teknologi memiliki potensi besar untuk
meningkatkan responsivitas birokrasi, ada beberapa tantangan yang perlu
diatasi, penerapan teknologi memerlukan infrastruktur yang memadai
dan aksesibilitas yang luas terhadap perangkat dan jaringan internet.
Namun, di beberapa daerah, infrastruktur teknologi mungkin belum
berkembang dengan baik, dan aksesibilitas terhadap teknologi mungkin
terbatas. Ini dapat menjadi hambatan dalam memastikan responsivitas
birokrasi yang merata di seluruh wilayah. Birokrasi yang responsif
memerlukan keterampilan dan kapasitas yang memadai dalam mengelola
dan menggunakan teknologi. Peningkatan keterampilan digital dan
pemahaman tentang teknologi adalah prasyarat bagi birokrat untuk
memanfaatkan teknologi dengan efektif. Oleh karena itu, diperlukan
investasi dalam pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi birokrasi
untuk menghadapi tantangan ini. Dalam menggunakan teknologi,
penting untuk mempertimbangkan masalah keamanan dan privasi data.
Perlu ada langkah-langkah yang kuat untuk melindungi data pribadi
dan meminimalkan risiko kebocoran atau penyalahgunaan informasi.
Perlindungan data yang efektif akan memastikan kepercayaan masyarakat
dalam menggunakan layanan yang disediakan oleh birokrasi.
Penggunaan teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk
meningkatkan responsivitas birokrasi. Studi kasus dari negara-negara
seperti Singapura dan Indonesia menunjukkan contoh penerapan teknologi
yang sukses untuk meningkatkan responsivitas birokrasi. Namun,
tantangan seperti infrastruktur teknologi yang terbatas, keterampilan dan
kapasitas birokrasi, serta keamanan dan privasi data perlu diperhatikan
dalam mengimplementasikan teknologi ini. Dengan pemahaman yang
baik tentang potensi dan tantangan ini, pemerintah dapat merencanakan
dan melaksanakan strategi yang tepat untuk menggunakan teknologi
dengan efektif dalam meningkatkan responsivitas birokrasi. Di Indonesia

104MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
ada dua bentuk pemanfaatan teknologi yang umum dilakukan yaitu
layanan elektronik dan pemanfaatan Internet of �ings (IoT).
1. Layanan elektronik (e-service)
Layanan elektronik mengacu pada penyediaan layanan publik melalui
platform elektronik, seperti internet atau jaringan internal pemerintah.
Tujuannya adalah untuk menyederhanakan proses administrasi,
mengurangi birokrasi yang berlebihan, dan memberikan akses yang
lebih mudah bagi masyarakat. Konsep ini didasarkan pada penerapan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam proses birokrasi,
yang mencakup pembangunan, implementasi, dan penggunaan
sistem teknologi untuk mendukung kegiatan administrasi. Salah
satu teori yang mendukung konsep layanan elektronik adalah Teori
Adopsi Inovasi. Teori ini dikemukakan oleh Everett M. Rogers pada
tahun 1962 dan telah digunakan dalam konteks penerimaan dan
penggunaan teknologi informasi dalam berbagai bidang. Menurut
teori ini, adopsi inovasi oleh individu atau kelompok tergantung
pada lima faktor utama, yaitu keuntungan relatif, kompleksitas,
kompatibilitas, percobaan, dan pengamatan. Keuntungan relatif
mengacu pada persepsi individu atau kelompok tentang manfaat
yang diperoleh dari penggunaan teknologi.
Dalam konteks layanan elektronik, masyarakat diharapkan dapat
merasakan manfaat seperti waktu yang lebih e�sien, biaya yang lebih
rendah, dan akses yang lebih mudah ke layanan publik. Kompleksitas
merujuk pada tingkat kesulitan dalam penggunaan teknologi. Oleh
karena itu, pemerintah perlu memastikan antarmuka dan sistem
yang mudah digunakan agar masyarakat dapat dengan mudah
mengakses dan menggunakan layanan elektronik. Kompatibilitas
mengacu pada sejauh mana teknologi baru tersebut sesuai dengan
nilai-nilai, kebutuhan, dan kultur masyarakat. Untuk meningkatkan
adopsi layanan elektronik, pemerintah perlu memastikan bahwa
sistem tersebut dapat diintegrasikan dengan baik ke dalam konteks
masyarakat yang di layani. Percobaan dan pengamatan adalah faktor-
faktor yang berkaitan dengan kesediaan individu atau kelompok
untuk mencoba dan melihat penggunaan teknologi oleh orang lain
sebelum memutuskan untuk mengadopsinya.
Dasar ilmiah untuk konsep layanan elektronik juga didukung
oleh studi empiris yang menunjukkan bahwa penerapan e-services

105BAB V
dapat memberikan manfaat yang signi�kan. Misalnya, penelitian
telah menunjukkan bahwa penggunaan layanan elektronik dapat
meningkatkan kepuasan pengguna, mengurangi waktu dan biaya
administrasi, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
dalam pemerintahan. Studi juga menyoroti pentingnya faktor-faktor
seperti desain antarmuka yang ramah pengguna, keamanan data,
dan dukungan teknis yang memadai dalam memastikan kesuksesan
implementasi layanan elektronik. Beberapa negara telah berhasil
menerapkan konsep layanan elektronik dalam birokrasi mereka.
Misalnya, Singapura telah mengembangkan berbagai layanan
elektronik yang mencakup penda�aran bisnis online, pembayaran
pajak elektronik, dan pengajuan dokumen secara online. Pengalaman
negara ini menunjukkan bahwa kesuksesan penerapan layanan
elektronik tergantung pada komitmen pemerintah, koordinasi
antarlembaga, dan partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan
teknologi tersebut.
Secara keseluruhan, konsep layanan elektronik dalam birokrasi
telah menjadi pendekatan yang penting dalam meningkatkan
e�siensi dan kualitas pelayanan publik. Teori Adopsi Inovasi dan
berbagai studi empiris mendukung pentingnya penerapan layanan
elektronik dan menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
dan keberhasilannya. Dengan terus mengembangkan infrastruktur
teknologi yang diperlukan dan memastikan partisipasi masyarakat
yang aktif, penerapan layanan elektronik dapat memberikan manfaat
yang signi�kan bagi birokrasi dan masyarakat secara keseluruhan.
2. Internet of �ings (IoT).
Internet of �ings (IoT) adalah konsep yang terus berkembang dalam
era digital ini. IoT mengacu pada jaringan yang saling terhubung
antara berbagai perangkat �sik, kendaraan, peralatan rumah tangga,
dan sistem lainnya melalui internet. Dalam konteks birokrasi, IoT
dapat memberikan solusi inovatif untuk meningkatkan e�siensi,
produktivitas, dan keamanan. Salah satu aplikasi utama IoT
dalam birokrasi adalah Smart City. Konsep Smart City melibatkan
penggunaan teknologi IoT untuk mengumpulkan dan menganalisis
data dari berbagai aspek kehidupan kota, seperti transportasi, energi,
keamanan, dan pengelolaan limbah. Dengan menggunakan sensor
yang terhubung dengan jaringan IoT, pemerintah dapat memonitor

106MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
kondisi lalu lintas, kualitas udara, dan penggunaan energi dalam waktu
nyata. Informasi ini dapat digunakan untuk mengoptimalkan sistem
transportasi, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan
keamanan kota. Selain itu, IoT juga dapat meningkatkan e�siensi
birokrasi melalui pemantauan dan pengelolaan inventaris.
Pemerintah dapat menggunakan sensor IoT untuk melacak aset
�sik, seperti komputer, peralatan kantor, dan kendaraan dinas. Data
ini dapat digunakan untuk melakukan pemeliharaan yang tepat
waktu, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan mengurangi
pemborosan. Dengan pemantauan inventaris yang akurat, birokrasi
dapat menghindari kehilangan aset dan mengoptimalkan alokasi
anggaran.
Penerapan IoT juga dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat. Misalnya, dalam sektor kesehatan, pemerintah dapat
menggunakan sensor kesehatan yang terhubung dengan IoT untuk
memantau kondisi pasien secara real-time. Data ini dapat digunakan
untuk memberikan perawatan yang lebih baik dan memperingatkan
tenaga medis jika ada masalah yang membutuhkan perhatian segera.
Selain itu, IoT juga dapat digunakan dalam pemantauan lingkungan,
seperti kualitas air dan keberlanjutan energi. Namun, penerapan IoT
dalam birokrasi juga memiliki tantangan yang perlu diatasi. Salah
satu tantangan utama adalah keamanan data dan privasi. Dalam
sistem yang saling terhubung, risiko kebocoran data dan serangan
siber dapat meningkat. Oleh karena itu, perlindungan data dan
penggunaan protokol keamanan yang kuat sangat penting untuk
menjaga integritas dan kerahasiaan informasi yang dikumpulkan.
Dalam rangka menerapkan IoT dengan sukses dalam birokrasi,
kerja sama antara sektor publik dan swasta juga sangat diperlukan.
Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah,
akademisi, dan perusahaan teknologi, akan memungkinkan
pengembangan solusi yang holistik dan berkelanjutan. Dalam
kesimpulan, Internet of �ings (IoT) menawarkan potensi yang
besar dalam meningkatkan e�siensi, produktivitas, dan keamanan
di sektor birokrasi. Dengan menggunakan sensor dan perangkat
terhubung, pemerintah dapat memanfaatkan data secara cerdas
untuk mengoptimalkan layanan publik, memantau inventaris,
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan mencapai tujuan

107BAB V
pembangunan berkelanjutan. Namun, tantangan keamanan dan
kerahasiaan data perlu diperhatikan agar implementasi IoT dapat
berjalan dengan sukses.
B. PENGGUNAAN MEKANISME UMPAN BALIK ( FEEDBACK)
DARI MASYARAKAT
Mekanisme umpan balik publik memiliki peran penting dalam
memperbaiki kualitas pelayanan publik. Melalui mekanisme ini, publik
dapat memberikan tanggapan langsung kepada birokrasi tentang kebijakan,
layanan, atau masalah yang mereka hadapi. Dengan memperhatikan
umpan balik publik, birokrasi dapat mengevaluasi kebijakan yang ada,
mengidenti�kasi kekurangan, dan melakukan perbaikan yang diperlukan.
Beberapa alasan mengapa mekanisme umpan balik publik penting
dalam konteks birokrasi sebagai meningkatkan akuntabilitas birokrasi
terhadap publik. Dengan menerima dan menindaklanjuti umpan balik
dari publik, birokrasi menunjukkan komitmen untuk bertanggung jawab
atas kebijakan dan pelayanan yang mereka berikan. Tanggapan terhadap
umpan balik ini juga dapat membantu mencegah korupsi, nepotisme,
atau perilaku tidak etis lainnya di dalam birokrasi. Dalam mengambil
keputusan, birokrasi dapat memanfaatkan pengetahuan dan perspektif
dari publik melalui mekanisme umpan balik. Publik memiliki pengalaman
dan pengetahuan yang beragam, yang dapat menjadi sumber informasi
berharga bagi birokrasi. Dengan mempertimbangkan umpan balik
ini, birokrasi dapat mengambil keputusan yang lebih baik, lebih sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Melalui mekanisme umpan
balik publik, birokrasi dapat meningkatkan transparansi dalam proses
pengambilan keputusan dan penyelenggaraan layanan publik. Dengan
mempublikasikan umpan balik yang diterima dan tindakan yang diambil
sebagai tanggapannya, birokrasi memberikan aksesibilitas informasi
kepada publik. Hal ini akan menciptakan rasa kepercayaan publik
terhadap birokrasi dan meningkatkan legitimasi institusi pemerintah.
Teori yang Mendasari Penggunaan Mekanisme Umpan Balik
Publik adalah teori Birokrasi Weberian dan Teori Partisipasi Publik.
Teori birokrasi Weberian menyajikan kerangka kerja untuk memahami
bagaimana birokrasi beroperasi dan berinteraksi dengan publik. Menurut
teori ini, birokrasi dianggap sebagai sistem rasional-legal yang memiliki
aturan dan prosedur yang jelas. Penggunaan mekanisme umpan balik
publik dalam teori ini menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas,

108MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dan tanggung jawab birokrasi terhadap publik. Mekanisme umpan balik
membantu memastikan bahwa birokrasi menjalankan tugasnya sesuai
dengan prinsip-prinsip rasional-legal dan kepentingan publik. Teori
partisipasi publik menggarisbawahi pentingnya melibatkan publik dalam
proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan layanan publik.
Dalam teori ini, mekanisme umpan balik publik dilihat sebagai salah satu
bentuk partisipasi publik yang dapat memperkuat legitimasi keputusan
birokrasi. Partisipasi publik dianggap sebagai sarana untuk mencapai
efektivitas, e�siensi, dan keadilan dalam kebijakan dan pelayanan publik.
1. Beberapa Mekanisme Umpan Balik yang Sering Ditemukan
Dalam Birokrasi
a. Sistem Pelaporan
Sistem pelaporan merupakan mekanisme penting dalam
lingkungan birokrasi yang bertujuan untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan menyampaikan informasi mengenai kinerja
organisasi kepada pemangku kepentingan. Mekanisme ini
memainkan peran kunci dalam memastikan akuntabilitas,
transparansi, dan pengawasan yang efektif dalam sistem
birokrasi. Salah satu mekanisme penting dalam sistem pelaporan
adalah penetapan indikator kinerja. Indikator kinerja adalah alat
yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan organisasi
secara kuantitatif atau kualitatif. Penetapan indikator kinerja
yang jelas dan terukur membantu dalam menentukan parameter
keberhasilan organisasi serta memberikan dasar untuk
mengevaluasi kinerja pegawai dan unit kerja. Penetapan indikator
kinerja yang baik didasarkan pada tujuan organisasi yang spesi�k
dan terukur serta melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Selanjutnya, mekanisme pelaporan yang efektif melibatkan
sistem pengumpulan data yang andal. Pengumpulan data
yang tepat waktu, akurat, dan komprehensif adalah prasyarat
penting dalam menghasilkan informasi yang berguna dan
dapat diandalkan bagi manajemen dan pemangku kepentingan
lainnya. Dalam sistem birokrasi yang baik, proses pengumpulan
data harus didasarkan pada metode ilmiah, termasuk teknik
pengumpulan data primer dan sekunder yang sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Selain itu, penggunaan teknologi
informasi dan sistem informasi manajemen yang canggih juga

109BAB V
dapat meningkatkan e�siensi dan akurasi dalam pengumpulan
data.
Analisis data adalah tahap selanjutnya dalam sistem
pelaporan birokrasi. Analisis data yang cermat dan sistematis
membantu dalam mengidenti�kasi tren, pola, dan masalah yang
mungkin muncul dalam kinerja organisasi. Melalui analisis
data, manajemen dapat memperoleh wawasan yang berharga
untuk mengidenti�kasi area yang membutuhkan perbaikan
dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Penggunaan
metode statistik dan teknik analisis yang tepat seperti analisis
regresi, analisis korelasi, atau analisis SWOT dapat membantu
dalam menguraikan informasi yang signi�kan dari data yang
terkumpul. Mekanisme pelaporan yang efektif juga melibatkan
komunikasi yang baik antara pengguna dan penyedia laporan.
Komunikasi yang efektif memastikan pemahaman yang jelas
tentang informasi yang disampaikan dan memungkinkan
penerima laporan untuk mengajukan pertanyaan atau
memberikan umpan balik yang konstruktif. Selain itu, penyedia
laporan harus menyusun laporan yang ringkas, jelas, dan mudah
dipahami, menggunakan bahasa yang sesuai dengan pemangku
kepentingan yang berbeda.
b. Pengaduan dan Saran
Mekanisme keluhan dan saran dalam umpan balik birokrasi
merupakan elemen yang kritis dalam mencapai pelayanan publik
yang berkualitas. Masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan
keluhan jika mereka tidak puas dengan pelayanan yang diberikan
atau menyarankan perbaikan untuk meningkatkan e�siensi dan
efektivitas birokrasi. Mekanisme ini penting karena melalui
mekanisme keluhan, pihak berwenang dapat mengetahui
masalah yang dialami oleh masyarakat dan mengambil langkah-
langkah perbaikan yang diperlukan. Keluhan dapat memberikan
wawasan berharga tentang area-area yang memerlukan perhatian
lebih lanjut dan membantu meningkatkan kualitas pelayanan.
Dengan adanya mekanisme keluhan dan saran, pihak
berwenang bertanggung jawab untuk menanggapi dan
menindaklanjuti masalah yang disampaikan oleh masyarakat.
Hal ini memperkuat akuntabilitas birokrasi terhadap publik dan

110MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
membantu memastikan bahwa tindakan yang diperlukan diambil
untuk mengatasi masalah yang teridenti�kasi. Masyarakat akan
merasa lebih percaya terhadap birokrasi jika mereka merasa
bahwa keluhan dan saran mereka didengar dan ditindaklanjuti.
Mekanisme ini menciptakan kesempatan untuk memperbaiki
hubungan antara birokrasi dan masyarakat, yang pada gilirannya
dapat meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat.
c. Audit dan Pengawasan
Audit dan mekanisme pengawasan merupakan instrumen
penting dalam memastikan tindakan birokrasi yang efektif dan
e�sien. Mereka memainkan peran penting dalam meningkatkan
akuntabilitas, mengurangi risiko korupsi, dan menjaga
transparansi dalam proses pengambilan keputusan birokratis.
Audit biasanya dilakukan oleh pihak eksternal yang independen,
sementara mekanisme pengawasan dapat melibatkan berbagai
aktor dan lembaga dalam sistem birokrasi. Audit dapat
dide�nisikan sebagai proses sistematis untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan mengevaluasi bukti objektif mengenai tindakan
dan kegiatan birokratis. Tujuannya adalah untuk menilai apakah
entitas atau sistem birokrasi beroperasi sesuai dengan prinsip-
prinsip yang ditetapkan, serta untuk memberikan rekomendasi
perbaikan yang diperlukan. Mekanisme pengawasan, di sisi lain,
adalah sistem atau proses yang mengarah pada pemantauan
dan pengawasan tindakan birokratis. Mekanisme ini dirancang
untuk memastikan bahwa tindakan birokrasi tetap dalam batas
kebijakan dan aturan yang ditetapkan, serta untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran etika.
Audit keuangan adalah jenis audit yang fokus pada penilaian
keuangan entitas atau sistem birokrasi. Tujuan utamanya adalah
untuk memastikan integritas laporan keuangan dan transaksi
yang relevan. Audit keuangan biasanya dilakukan oleh auditor
eksternal yang independen. Sementar Audit kinerja bertujuan
untuk mengevaluasi kinerja entitas atau sistem birokrasi terhadap
tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Audit ini melibatkan
pengukuran dan analisis kinerja, serta identi�kasi area yang
perlu ditingkatkan. Audit kepatuhan difokuskan pada penilaian
tingkat kepatuhan entitas atau sistem birokrasi terhadap hukum,

111BAB V
peraturan, dan kebijakan yang berlaku. Audit ini bertujuan untuk
memastikan bahwa tindakan birokrasi sesuai dengan kerangka
hukum yang berlaku.
Mekanisme pengawasan internal melibatkan kontrol dan
prosedur internal yang diterapkan oleh entitas atau sistem
birokrasi untuk memantau dan mengawasi kegiatan mereka
sendiri. Mekanisme ini melibatkan penggunaan kebijakan,
prosedur, dan sistem pengendalian internal yang dirancang
untuk mencegah kesalahan, penyalahgunaan, atau pelanggaran.
Mekanisme pengawasan eksternal melibatkan lembaga atau
entitas di luar sistem birokrasi yang bertanggung jawab
untuk memantau dan mengawasi tindakan birokrasi. Contoh
mekanisme ini termasuk parlemen, badan pengawas independen,
ombudsman, dan media massa.
d. Survei Kepuasan Pelanggan
Survei kepuasan pengguna layanan merupakan alat penting
yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat
kepuasan pengguna terhadap layanan yang diberikan. Survei ini
bertujuan untuk memahami perspektif pengguna, memperoleh
umpan balik tentang kelebihan dan kekurangan layanan, serta
mengetahui area perbaikan yang diperlukan. Survei kepuasan
pengguna layanan adalah proses pengumpulan data tentang
persepsi dan evaluasi pengguna terhadap kualitas layanan yang
diberikan. Tujuan utama survei ini adalah untuk memahami
kepuasan pengguna, mengidenti�kasi kebutuhan dan harapan
pengguna, serta meningkatkan kualitas layanan berdasarkan
umpan balik yang diberikan. Survei kepuasan pengguna layanan
mencakup berbagai aspek, seperti kepuasan terhadap pelayanan,
komunikasi, responsivitas, kualitas produk atau layanan,
kecepatan layanan, dan lain sebagainya.
Ada beberapa teori yang digunakan sebagai dasar survei
kepuasan pengguna layanan. Salah satu teori yang relevan adalah
Teori Harapan-Kecewa (Expectation-Discon�rmation �eory).
Teori ini menyatakan bahwa kepuasan pengguna ditentukan
oleh perbedaan antara harapan pengguna terhadap layanan
dan persepsi mereka tentang kualitas sebenarnya dari layanan
tersebut. Jika kualitas layanan melebihi harapan, maka kepuasan

112MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
pengguna akan meningkat. Sebaliknya, jika kualitas layanan lebih
rendah dari harapan, maka kepuasan pengguna akan menurun.
Survei kepuasan pengguna layanan harus dilakukan dengan
pendekatan ilmiah yang kuat untuk memastikan validitas dan
reliabilitas data yang diperoleh. Beberapa langkah yang dapat
diambil dalam pendekatan ilmiah survei kepuasan pengguna
layanan.
1) Perumusan Tujuan dan Pertanyaan Survei, langkah
awal adalah merumuskan tujuan survei dan menyusun
pertanyaan yang relevan dan terukur. Pertanyaan dapat
mencakup evaluasi umum tentang kualitas layanan,
kepuasan terhadap �tur-�tur khusus layanan, keinginan
untuk merekomendasikan layanan kepada orang lain, dan
sebagainya.
2) Pengembangan Instrumen Survei, setelah merumuskan
pertanyaan, langkah selanjutnya adalah mengembangkan
instrumen survei. Instrumen ini dapat berupa kuesioner
tertulis, wawancara, atau metode lain yang sesuai untuk
memperoleh data dari pengguna.
3) Pengumpulan Data; data dapat dikumpulkan melalui survei
online, wawancara langsung, atau metode lainnya. Penting
untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mencakup
populasi pengguna yang relevan dan representatif.
4) Analisis Data, setelah pengumpulan data selesai, langkah
selanjutnya adalah menganalisis data dengan menggunakan
metode statistik yang sesuai. Analisis ini dapat melibatkan
perhitungan statistik deskriptif, uji hipotesis, regresi, dan
sebagainya.
5) Interpretasi Hasil, setelah analisis data selesai, hasilnya
harus diinterpretasikan dengan cermat. Hasil survei dapat
digunakan untuk mengidenti�kasi area perbaikan yang
diperlukan, menginformasikan pengambilan keputusan
terkait pengembangan layanan, serta mengukur keberhasilan
perbaikan yang telah dilakukan.
C. MENDORONG BUDAYA INOVASI DALAM BIROKRASI
Dalam dunia yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat, inovasi
menjadi kunci keberhasilan organisasi di berbagai sektor, termasuk dalam

113BAB V
lingkup birokrasi. Birokrasi sering dianggap sebagai entitas yang kaku dan
lambat dalam mengadopsi perubahan dan berinovasi. Namun, penting
untuk menciptakan dan memperkuat budaya inovasi dalam birokrasi
guna menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang. Budaya
inovasi yang kuat dalam birokrasi akan mendorong e�siensi, efektivitas,
dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Budaya inovasi mencakup nilai-nilai, norma-norma, dan praktik-
praktik yang mendorong individu untuk berpikir kreatif, menciptakan ide-
ide baru, dan mengimplementasikan solusi yang inovatif. Dalam konteks
birokrasi, budaya inovasi mengacu pada lingkungan di mana ide-ide baru
dan pendekatan yang inovatif didorong, dihargai, dan diimplementasikan.
Budaya inovasi yang kuat dalam birokrasi mempromosikan kolaborasi,
pembelajaran, pengambilan risiko yang terkendali, dan adaptabilitas
terhadap perubahan.
Menerapkan prinsip-prinsip desain organisasi yang mendukung
inovasi menjadi penting agar budaya inovasi dapat tercapai. Beberapa
prinsip desain organisasi yang perlu dipertimbangkan seperti �eksibilitas
struktural, struktur organisasi yang �eksibel dan tidak terlalu hierarkis
memungkinkan kolaborasi dan komunikasi yang lebih efektif antara
anggota organisasi. Mendorong adanya tim lintas departemen dan unit
kerja yang terdiri dari anggota dengan latar belakang yang beragam dapat
memperluas perspektif dan memicu ide-ide baru. Memberikan otonomi
dan tanggung jawab kepada individu atau tim dalam mengambil keputusan
dan menjalankan proyek inovatif dapat meningkatkan motivasi dan
keterlibatan. Memperjelas tujuan, memberikan sumber daya yang cukup,
dan memfasilitasi akses ke pengetahuan dan informasi yang relevan akan
membantu dalam pemberdayaan tersebut.
Selain itu, sistem penghargaan yang adil dan transparan akan
memotivasi individu untuk berinovasi. Selain itu, mempertimbangkan
pengakuan dan penghargaan sebagai bagian dari evaluasi kinerja
dapat mendorong budaya inovasi yang positif. Terahir, Membangun
dan memelihara sistem pengelolaan pengetahuan yang efektif akan
memfasilitasi pertukaran pengetahuan, pembelajaran, dan kolaborasi.
Menyediakan platform yang memungkinkan orang-orang untuk berbagi
ide, best practice, dan pelajaran yang dipetik dari pengalaman akan
meningkatkan kualitas inovasi dalam birokrasi.

114MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
D. MENDORONG INOVASI MELALUI PENDEKATAN
EKSPERIMENTAL
Pendekatan eksperimental dapat menjadi alat yang berguna dalam
mendorong inovasi dalam birokrasi. Berikut adalah beberapa pendekatan
eksperimental yang dapat diterapkan:
1. Innovation Lab
Untuk mengatasi tantangan dalam budaya inovasi birokratik,
konsep laboratorium inovasi (innovation lab) telah dikembangkan
sebagai pendekatan yang efektif. Laboratorium Inovasi merupakan
ruang atau lingkungan yang dirancang khusus untuk merangsang
dan mendorong inovasi di dalam organisasi. Tujuan utama dari
laboratorium inovasi adalah untuk menciptakan atmosfer yang aman,
terbuka, dan kolaboratif, dimana ide-ide baru dapat ditemukan,
dikembangkan, dan diimplementasikan.
Secara umum, laboratorium inovasi terdiri dari tiga komponen
utama. Ruang �sik yang �eksibel, budaya yang mendukung inovasi,
dan metode yang terbuka untuk merangsang pemikiran kreatif
dan eksperimen. Ruang �sik yang �eksibel adalah penting karena
memungkinkan berbagai jenis aktivitas, seperti sesi brainstorming,
prototyping, dan kolaborasi tim. Ruang tersebut juga harus dirancang
sedemikian rupa sehingga mendorong kreativitas dan interaksi
sosial yang efektif. Selain itu, budaya yang mendukung inovasi
juga merupakan aspek kunci dari laboratorium inovasi. Budaya ini
melibatkan sikap terbuka terhadap ide-ide baru, penghormatan
terhadap kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, dan dorongan
untuk berkolaborasi. Dalam laboratorium inovasi, individu-individu
merasa aman untuk berbagi ide-ide mereka tanpa takut diejek atau
dikritik. Ini menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan
menarik bagi para inovator.
Penerapan laboratorium inovasi dalam budaya inovasi birokratik
dapat memberikan sejumlah manfaat yang signi�kan, yaitu:
a. Laboratorium inovasi memberikan ruang bagi individu-
individu di dalam organisasi untuk berpikir secara kreatif dan
bekerja sama dalam mencari solusi yang baru dan lebih baik. Ini

115BAB V
mendorong pengembangan keterampilan kreatif dan inovatif,
yang dapat membantu meningkatkan kualitas dan e�siensi kerja.
b. Laboratorium inovasi menciptakan lingkungan yang mendukung
eksperimen dan pengujian ide-ide baru. Dalam budaya birokrasi
yang mapan, seringkali sulit untuk menguji solusi baru karena
adanya ketakutan akan kegagalan atau hambatan struktural yang
sulit diubah. Laboratorium inovasi memberikan ruang yang
aman untuk menguji ide-ide baru dengan lebih sedikit risiko dan
penilaian yang lebih terbuka.
c. Laboratorium inovasi dapat membantu menghubungkan
individu-individu dari berbagai unit atau departemen di
dalam organisasi. Dalam budaya birokrasi yang cenderung
terfragmentasi, seringkali sulit bagi individu-individu untuk
berkolaborasi dan berbagi pengetahuan. Laboratorium inovasi
menciptakan kesempatan untuk kerja sama lintas departemen,
yang dapat menghasilkan solusi yang lebih komprehensif dan
efektif.
d. Laboratorium inovasi juga dapat meningkatkan kepuasan kerja
dan keterlibatan karyawan. Dalam budaya birokrasi yang kaku,
individu-individu sering kali merasa terkekang dan kurang
termotivasi. Laboratorium inovasi memberikan ruang untuk
kreativitas dan inisiatif pribadi, yang dapat meningkatkan rasa
kepemilikan terhadap pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan
karyawan.
2. Proyek Percobaan (Pilot Projects)
Proyek percobaan, atau pilot projects adalah pendekatan yang
melibatkan pelaksanaan proyek kecil yang berfokus pada eksperimen
dan pembuktian konsep. Melalui proyek ini, organisasi dapat mencoba
ide-ide baru, mengidenti�kasi tantangan yang mungkin muncul, dan
menguji solusi potensial sebelum diterapkan secara luas. Penggunaan
pilot projects dalam konteks birokrasi memungkinkan para pegawai
untuk mencoba pendekatan baru tanpa terlalu banyak risiko, sambil
membangun budaya inovasi di dalam organisasi.
Proyek percobaan adalah pendekatan yang melibatkan
pelaksanaan proyek kecil yang berfokus pada eksperimen dan
pembuktian konsep. Melalui proyek ini, organisasi dapat mencoba
ide-ide baru, mengidenti�kasi tantangan yang mungkin muncul, dan

116MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
menguji solusi potensial sebelum diterapkan secara luas. Penggunaan
pilot projects dalam konteks birokrasi memungkinkan para pegawai
untuk mencoba pendekatan baru tanpa terlalu banyak risiko, sambil
membangun budaya inovasi di dalam organisasi. Pilot projects
memperkuat partisipasi aktif dari pegawai dalam proses pengambilan
keputusan dan perubahan. Dengan melibatkan mereka dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proyek, organisasi
membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab individu terhadap
perubahan yang mereka usulkan.
Pilot projects menciptakan ruang bagi eksperimen dan inovasi
tanpa menimbulkan dampak besar jika gagal. Ini mengurangi
resistensi terhadap perubahan dan memotivasi orang untuk mencoba
pendekatan baru. Pilot projects juga membantu mengurangi
risiko kesalahan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan
yang berdampak luas. Terakhir, pilot projects menyediakan bukti
empiris dan data yang diperlukan untuk mengukur dampak dan
efektivitas dari perubahan yang diusulkan. Melalui evaluasi proyek
yang obyektif, organisasi dapat mengidenti�kasi praktik terbaik,
memperbaiki kelemahan, dan mengadopsi pendekatan yang sukses
ke dalam operasional rutin mereka.
Pilot projects adalah alat yang efektif untuk membangun budaya
inovasi di lingkungan birokrasi. Dengan menggunakan pendekatan
ini, organisasi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung
berpikir kreatif, percobaan ide-ide baru, dan pembuktian konsep
sebelum diterapkan secara luas. Melalui pilot projects, pegawai
terlibat aktif dalam perubahan dan pengambilan keputusan, sambil
belajar dari pengalaman mereka sendiri. Oleh karena itu, penting
bagi organisasi untuk mengintegrasikan pilot projects sebagai bagian
dari strategi pengembangan budaya inovasi mereka.
3. Penggunaan Desain Berbasis Bukti (Evidence-Based Design)
Penggunaan desain berbasis bukti (Evidence-Based Design) dalam
membangun budaya inovasi birokrasi merupakan pendekatan yang
didukung oleh teori dan penelitian ilmiah. Desain berbasis bukti
merupakan suatu metodologi yang menggabungkan pengetahuan
ilmiah dengan praktik-praktik terbaik untuk menciptakan lingkungan
yang efektif dan e�sien. Dalam konteks birokrasi, penerapan desain

117BAB V
berbasis bukti dapat membantu membangun budaya inovasi yang
kuat dengan merujuk pada penelitian dan bukti empiris yang relevan.
Salah satu dasar teoretis yang mendukung hubungan antara
desain berbasis bukti dan budaya inovasi adalah teori organisasi.
Teori ini menekankan pentingnya struktur organisasi yang �eksibel
dan adaptif dalam mendorong inovasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Grant dan Collins (2001) menyimpulkan bahwa organisasi yang
menerapkan desain berbasis bukti cenderung memiliki struktur
yang terbuka terhadap perubahan dan inovasi, dengan sistem yang
memungkinkan peningkatan kontinu berdasarkan bukti empiris.
Selain itu, teori difusi inovasi juga memberikan pemahaman yang
kuat tentang hubungan antara desain berbasis bukti dan budaya
inovasi. Teori ini menunjukkan bahwa penggunaan bukti empiris
dalam pengambilan keputusan dapat mempercepat adopsi inovasi
di dalam organisasi. Dalam konteks birokrasi, penggunaan desain
berbasis bukti dapat membantu mengatasi hambatan-hambatan
yang mungkin muncul dalam proses pengambilan keputusan, serta
memfasilitasi pengenalan inovasi yang lebih cepat dan lebih efektif.
Bukti empiris juga mendukung peran desain berbasis bukti dalam
membentuk budaya inovasi. Sebuah studi oleh Houghton et al.
(2018) menemukan bahwa organisasi yang menerapkan pendekatan
ini cenderung memiliki lingkungan yang terbuka terhadap gagasan
dan kontribusi inovatif dari karyawan. Dengan menggunakan data
empiris dan bukti ilmiah, organisasi dapat memperkuat alasan
dan legitimasi untuk mengadopsi ide-ide inovatif yang dapat
meningkatkan kinerja organisasi.
Selain itu, penerapan desain berbasis bukti dalam proses
pengambilan keputusan juga dapat mengurangi bias dan preferensi
pribadi yang mungkin muncul dalam lingkungan birokrasi.
Pendekatan ini didukung oleh penelitian oleh Damanpour dan
Schneider (2009) yang menemukan bahwa penggunaan bukti empiris
dalam pengambilan keputusan dapat mengurangi kecenderungan
untuk mengabaikan atau menolak ide-ide inovatif yang tidak sesuai
dengan preferensi pribadi atau norma organisasi. Selain itu, penerapan
desain berbasis bukti dalam proses pengambilan keputusan juga
dapat mengurangi bias dan preferensi pribadi yang mungkin muncul
dalam lingkungan birokrasi. Pendekatan ini didukung oleh penelitian

118MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
oleh Damanpour dan Schneider (2009) yang menemukan bahwa
penggunaan bukti empiris dalam pengambilan keputusan dapat
mengurangi kecenderungan untuk mengabaikan atau menolak ide-
ide inovatif yang tidak sesuai dengan preferensi pribadi atau norma
organisasi.
Desain berbasis bukti dalam konteks birokrasi dapat membantu
membangun budaya inovasi yang kuat. Teori organisasi, teori
difusi inovasi, dan bukti empiris yang ada mendukung hubungan
antara desain berbasis bukti dan pembangunan budaya inovasi.
Pendekatan ini dapat memfasilitasi adopsi inovasi, mengurangi bias,
dan meminimalkan resistensi terhadap perubahan. Oleh karena itu,
organisasi yang ingin membangun budaya inovasi yang berkelanjutan
di dalam birokrasi dapat memanfaatkan prinsip-prinsip Desain
Berbasis Bukti sebagai landasan yang kuat untuk mengoptimalkan
kinerja dan menghadapi tantangan yang kompleks di era modern.
4. Inkubator Inovasi
Salah satu cara yang efektif untuk membangun budaya inovasi
di dalam inkubator adalah dengan mengurangi birokrasi yang
berlebihan. Birokrasi yang kaku dan berbelit-belit seringkali menjadi
hambatan bagi inovasi. Dalam studi oleh Gupta et al. (2018), peneliti
menemukan bahwa birokrasi yang kuat dapat menghambat inisiatif
inovatif dan mengurangi motivasi karyawan untuk berpartisipasi
dalam aktivitas inovatif. Oleh karena itu, penting bagi inkubator
inovasi untuk menciptakan lingkungan yang meminimalisir birokrasi
yang berlebihan dan memberikan kebebasan kepada karyawan untuk
mengembangkan ide-ide inovatif mereka. Salah satu pendekatan
yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi prinsip-prinsip
manajemen inovasi yang �eksibel. Menurut Kessler dan Chakrabarti
(2018), manajemen inovasi yang �eksibel menciptakan lingkungan di
mana karyawan didorong untuk mengambil risiko dan bereksperimen
dengan ide-ide baru. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi
hambatan administratif, seperti prosedur yang berbelit-belit atau
persetujuan yang lambat, sehingga memungkinkan inisiatif inovatif
untuk berkembang lebih cepat.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
mengadopsi prinsip-prinsip manajemen inovasi yang �eksibel.
Menurut Kessler dan Chakrabarti (2018), manajemen inovasi yang

119BAB V
�eksibel menciptakan lingkungan di mana karyawan didorong untuk
mengambil risiko dan bereksperimen dengan ide-ide baru. Hal
ini dapat dilakukan dengan mengurangi hambatan administratif,
seperti prosedur yang berbelit-belit atau persetujuan yang lambat,
sehingga memungkinkan inisiatif inovatif untuk berkembang lebih
cepat. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
mengadopsi prinsip-prinsip manajemen inovasi yang �eksibel.
Menurut Kessler dan Chakrabarti (2018), manajemen inovasi yang
�eksibel menciptakan lingkungan di mana karyawan didorong untuk
mengambil risiko dan bereksperimen dengan ide-ide baru. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengurangi hambatan administratif, seperti
prosedur yang berbelit-belit atau persetujuan yang lambat, sehingga
memungkinkan inisiatif inovatif untuk berkembang lebih cepat.
Dalam mengimplementasikan budaya inovasi, penting untuk
memiliki dukungan dan komitmen dari manajemen tingkat atas.
Manajemen tingkat atas harus mendukung dan mempromosikan
nilai-nilai inovasi di seluruh organisasi. Hal ini dapat dilakukan
dengan menyediakan anggaran yang memadai untuk inkubator
inovasi, memberikan pengakuan dan insentif bagi ide-ide inovatif
yang berhasil, serta menjadikan inovasi sebagai bagian dari strategi
bisnis perusahaan. Untuk membangun budaya inovasi di dalam
inkubator inovasi, penting untuk mengurangi birokrasi yang
berlebihan, mendorong kolaborasi dan pertukaran ide, menyediakan
sumber daya yang memadai, dan mendapatkan dukungan manajemen
tingkat atas. Melalui pendekatan ini, inkubator inovasi dapat
menciptakan lingkungan yang mendorong kreativitas, eksperimen,
dan inovasi yang berkelanjutan.

120MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

121
BAB VI
EVALUASI DAN PENGUKURAN RESPONSIVITAS
BIROKRASI
A. METODE EVALUASI RESPONSIVITAS BIROKRASI
Birokrasi yang responsif akan menunjukkan kemampuannya dalam
merespons permintaan, kebutuhan, dan masalah masyarakat dengan
cepat dan efektif. Untuk mengukur responsivitas birokrasi, diperlukan
metode evaluasi yang baik dan ilmiah. Pendekatan Teoritis dalam metode
evaluasi responsivitas birokrasi yang digukanakan, Teori responsivitas
birokrasi menyajikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dan
mengevaluasi responsivitas birokrasi. Responsivitas adalah kemampuan
birokrasi dalam menanggapi permintaan dan masalah yang diajukan oleh
masyarakat dengan cepat dan efektif. Teori ini menekankan pentingnya
faktor-faktor seperti kebijakan publik yang inklusif, transparansi,
partisipasi masyarakat, serta kapasitas dan keterampilan staf birokrasi
dalam merespons permintaan masyarakat.
Teori kinerja birokrasi menyediakan panduan untuk mengevaluasi
sejauh mana birokrasi dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam konteks evaluasi responsivitas birokrasi, kinerja
birokrasi dapat dilihat dari kemampuannya untuk merespons permintaan
dan kebutuhan masyarakat. Teori ini juga menyoroti pentingnya
transparansi, akuntabilitas, dan e�siensi dalam menjalankan tugas-tugas
birokrasi. Teori evaluasi kebijakan publik memberikan kerangka kerja
untuk mengukur efektivitas kebijakan dan program yang diterapkan
oleh birokrasi. Evaluasi ini melibatkan pengumpulan data, analisis, dan
penarikan kesimpulan tentang hasil dari kebijakan tersebut. Dalam
konteks evaluasi responsivitas birokrasi, teori ini dapat digunakan untuk

122MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
menilai keefektifan langkah-langkah yang diambil oleh birokrasi dalam
merespons permintaan masyarakat.
B. METODE EVALUASI RESPONSIVITAS BIROKRASI
Metode evaluasi ini dimulai dengan pengumpulan data tentang kinerja
birokrasi dalam merespons permintaan dan masalah masyarakat. Data
ini dapat diperoleh melalui survei, wawancara, atau analisis dokumen.
Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam pengumpulan data
meliputi:
1. Waktu respon birokrasi terhadap permintaan masyarakat
2. Jumlah dan jenis permintaan yang diterima dan diproses oleh
birokrasi
3. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap respons birokrasi
4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
Setelah data terkumpul, analisis dilakukan untuk mengidenti�kasi
kekuatan dan kelemahan birokrasi dalam merespons permintaan
masyarakat. Berikut adalah beberapa metode analisis yang dapat
digunakan:
1. Analisis deskriptif: Menyajikan data secara deskriptif melalui tabel,
gra�k, atau diagram untuk memberikan gambaran yang jelas tentang
responsivitas birokrasi.
2. Analisis perbandingan: Membandingkan kinerja birokrasi di berbagai
unit atau wilayah untuk mengidenti�kasi perbedaan dan pola dalam
responsivitas.
3. Analisis regresi: Menganalisis hubungan antara variabel responsivitas
dengan faktor-faktor lain seperti ukuran birokrasi, tingkat partisipasi
masyarakat, atau kebijakan publik yang diterapkan.
Berdasarkan hasil analisis data, kesimpulan dapat diambil tentang
tingkat responsivitas birokrasi. Kesimpulan ini harus didasarkan pada
bukti-bukti yang kuat dan relevan yang telah dikumpulkan selama
evaluasi. Dalam penarikan kesimpulan, penting untuk mengakui kekuatan
dan kelemahan metode evaluasi yang digunakan. Evaluasi responsivitas
birokrasi tidak hanya bertujuan untuk mengukur kinerja birokrasi,
tetapi juga untuk memberikan rekomendasi perbaikan. Rekomendasi
ini harus praktis, realistis, dan dapat diimplementasikan oleh birokrasi.
Rekomendasi perbaikan dapat mencakup peningkatan kapasitas staf,

123BAB VI
peningkatan transparansi, atau pengembangan kebijakan publik yang
lebih responsif.
C. PENGUKURAN KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PE -
LAYANAN BIROKRASI
Pengukuran kepuasan masyarakat adalah suatu metode yang digunakan
untuk mengevaluasi tingkat kepuasan dan persepsi masyarakat terhadap
layanan publik yang diberikan oleh pemerintah atau organisasi lainnya.
Hal ini penting untuk memahami sejauh mana kebijakan dan program
yang dilakukan telah memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang
dilayani. Dalam artikel ini, akan dijelaskan mengenai teori-teori dasar
dan aspek ilmiah yang terkait dengan pengukuran kepuasan masyarakat.
Salah satu teori yang penting dalam pengukuran kepuasan masyarakat
adalah Teori Kepuasan Pelanggan. Teori ini menyatakan bahwa kepuasan
pelanggan tergantung pada sejauh mana harapan pelanggan terpenuhi oleh
kinerja yang diberikan. Dalam konteks pengukuran kepuasan masyarakat,
harapan masyarakat terhadap layanan publik dapat mencakup berbagai
aspek seperti kualitas pelayanan, ketersediaan, aksesibilitas, keadilan, dan
e�siensi. Pengukuran kepuasan masyarakat menggunakan pendekatan ini
dengan membandingkan kinerja aktual dengan harapan yang ada.
Salah satu teori yang penting dalam pengukuran kepuasan masyarakat
adalah teori kepuasan pelanggan. Teori ini menyatakan bahwa kepuasan
pelanggan tergantung pada sejauh mana harapan pelanggan terpenuhi oleh
kinerja yang diberikan. Dalam konteks pengukuran kepuasan masyarakat,
harapan masyarakat terhadap layanan publik dapat mencakup berbagai
aspek seperti kualitas pelayanan, ketersediaan, aksesibilitas, keadilan, dan
e�siensi. Pengukuran kepuasan masyarakat menggunakan pendekatan ini
dengan membandingkan kinerja aktual dengan harapan yang ada.
Dalam pengukuran kepuasan masyarakat, beberapa aspek ilmiah
perlu diperhatikan. Pertama, pemilihan sampel yang representatif
adalah penting untuk memastikan hasil pengukuran mencerminkan
persepsi masyarakat secara keseluruhan. Sampel yang tidak representatif
dapat menghasilkan bias dan kesalahan dalam pengukuran kepuasan.
Metode acak sederhana atau metode pemilihan sampel berdasarkan
kerangka populasi dapat digunakan untuk memastikan representativitas
sampel. Kedua, pengembangan instrumen pengukuran yang reliabel
dan valid diperlukan untuk mengukur kepuasan masyarakat secara
obyektif. Instrumen seperti kuesioner atau wawancara dapat digunakan

124MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
untuk mengumpulkan data dari masyarakat. Validitas instrumen dapat
ditingkatkan melalui pengujian statistik dan validasi lintas budaya.
Ketiga, analisis data yang akurat dan teliti merupakan langkah penting
dalam pengukuran kepuasan masyarakat. Data yang dikumpulkan
perlu dianalisis secara statistik untuk mengidenti�kasi pola dan tren
dalam persepsi masyarakat. Analisis regresi, analisis faktor, atau analisis
jalur dapat digunakan untuk memahami hubungan antara variabel-
variabel yang terlibat dalam pengukuran kepuasan masyarakat. Terakhir,
interpretasi hasil pengukuran dan pelaporan yang jelas dan transparan
merupakan langkah penting dalam memastikan penggunaan yang efektif
dari pengukuran kepuasan masyarakat. Hasil pengukuran harus disajikan
dengan jelas dan mudah dimengerti oleh para pemangku kepentingan.
Hal ini memungkinkan pemerintah atau organisasi untuk mengevaluasi
keberhasilan dan kegagalan kebijakan dan program yang dilakukan serta
untuk mengidenti�kasi area yang perlu diperbaiki.
Pengukuran kepuasan masyarakat adalah suatu metode penting
untuk mengevaluasi tingkat kepuasan dan persepsi masyarakat terhadap
layanan publik. Teori-teori seperti Teori Kepuasan Pelanggan dan Teori
Kualitas Layanan memberikan landasan konseptual yang penting untuk
pengukuran kepuasan masyarakat. Aspek-aspek ilmiah seperti pemilihan
sampel yang representatif, pengembangan instrumen pengukuran yang
reliabel dan valid, analisis data yang akurat, dan interpretasi hasil yang
jelas dan transparan perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran
kepuasan masyarakat.
1. Model Kualitas Layanan (Service Quality Model/ SERVQUAL)
SERVQUAL adalah model pengukuran kualitas pelayanan yang
dikembangkan oleh Valarie Zeithaml, A. Parasuraman, dan Leonard
Berry pada tahun 1988. Model ini bertujuan untuk mengevaluasi
persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan yang mereka terima
dari suatu organisasi. SERVQUAL menggunakan pendekatan
yang berfokus pada perbedaan antara harapan pelanggan terhadap
pelayanan dan persepsi mereka terhadap pelayanan yang sebenarnya
diterima.
SERVQUAL mengidenti�kasi lima dimensi utama yang
digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu:

125BAB VI
a. Reliability (Keandalan)
Reliability mengacu pada kemampuan penyedia layanan untuk
memberikan jasa yang dijanjikan dengan konsistensi dan
keandalan. Hal ini berarti bahwa pelanggan mengharapkan
penyedia layanan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan
secara tepat waktu, akurat, dan tanpa kesalahan. Jika pelanggan
merasa bahwa penyedia layanan kurang dapat diandalkan dalam
memberikan pelayanan, maka hal ini akan mempengaruhi
persepsi mereka terhadap kualitas pelayanan secara keseluruhan.
Dalam konteks SERVQUAL, reliabilitas dapat diukur dengan cara
membandingkan antara harapan pelanggan terhadap pelayanan
dengan persepsi mereka tentang kinerja sebenarnya penyedia
layanan. Persepsi kinerja yang lebih rendah dari harapan
pelanggan dapat diindikasikan sebagai kegagalan reliabilitas,
sementara persepsi kinerja yang sama dengan atau melebihi
harapan pelanggan menunjukkan keberhasilan reliabilitas.
Reliabilitas yang baik sangat penting dalam konteks pelayanan,
terutama dalam sektor jasa yang melibatkan interaksi manusia.
Pelanggan ingin merasa yakin bahwa penyedia layanan dapat
memberikan pelayanan yang konsisten dan dapat diandalkan
setiap saat. Ketika pelanggan merasa yakin terhadap reliabilitas
penyedia layanan, mereka akan merasa lebih nyaman dan
percaya bahwa kebutuhan mereka akan dipenuhi dengan baik.
Ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan dalam
meningkatkan reliabilitas pelayanan. Pertama, penyedia layanan
harus menjaga konsistensi dalam memberikan pelayanan yang
dijanjikan. Ini berarti bahwa mereka harus memastikan bahwa
setiap karyawan atau staf yang terlibat dalam memberikan
pelayanan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sumber
daya yang cukup untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Kedua, manajemen harus memperhatikan faktor-faktor yang
dapat memengaruhi reliabilitas, seperti pemeliharaan peralatan,
manajemen stok, dan perencanaan operasional yang baik.
Dalam hal ini, perencanaan yang baik akan membantu dalam
mengidenti�kasi dan mengelola risiko yang dapat mengganggu
reliabilitas pelayanan. Terakhir, komunikasi yang efektif antara
penyedia layanan dan pelanggan juga merupakan faktor penting

126MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dalam membangun dan mempertahankan reliabilitas pelayanan.
Penyedia layanan harus secara terbuka berkomunikasi dengan
pelanggan mengenai perkembangan atau perubahan yang
terjadi dalam pelayanan. Hal ini akan membantu menghindari
kekecewaan atau ketidakpastian yang dapat merusak persepsi
pelanggan terhadap reliabilitas penyedia layanan.
b. Assurance (Jaminan)
Assurance adalah salah satu dimensi yang digunakan untuk
mengukur kualitas layanan. Assurance mengacu pada
kemampuan staf dan kepercayaan yang mereka hasilkan dalam
memberikan layanan kepada pelanggan. Dimensi ini menyoroti
elemen-elemen yang membuat pelanggan merasa yakin, aman,
dan percaya terhadap layanan yang diberikan. Konsep Assurance
dalam model SERVQUAL didasarkan pada teori yang kuat dan
telah diuji secara ilmiah. Salah satu penelitian yang relevan
adalah studi yang dilakukan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan
Berry pada tahun 1988. Dalam penelitian tersebut, mereka
mengidenti�kasi lima dimensi kualitas layanan yang meliputi:
tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy.
Assurance dijelaskan sebagai persepsi kemampuan staf untuk
memberikan layanan yang dapat dipercaya dan menghasilkan
kepercayaan pada pelanggan. Dalam konteks assurance,
kepercayaan pelanggan adalah elemen kunci. Pelanggan ingin
merasa yakin bahwa staf yang melayani mereka memiliki
pengetahuan yang memadai, keahlian, dan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan dan harapan mereka.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan
pelanggan termasuk kompetensi staf, integritas, kemampuan
berkomunikasi dengan jelas, dan perilaku yang menginspirasi
kepercayaan. Salah satu komponen penting dari assurance
adalah pengetahuan dan keahlian staf. Pelanggan mengharapkan
staf memiliki pengetahuan yang luas tentang produk atau
layanan yang ditawarkan. Mereka ingin yakin bahwa staf
dapat memberikan informasi yang akurat dan berguna, serta
mampu menjawab pertanyaan atau kekhawatiran yang mungkin
dimiliki pelanggan. Keahlian staf dalam memberikan solusi

127BAB VI
dan menyelesaikan masalah juga menjadi faktor penting dalam
membangun kepercayaan.
Integritas staf juga menjadi bagian penting dari assurance.
Pelanggan ingin merasa yakin bahwa staf bertindak dengan
jujur dan etis. Mereka ingin dijamin bahwa staf tidak akan
mengecewakan atau menipu mereka dalam hal apapun.
Staf yang dapat dipercaya akan memperkuat rasa aman dan
keyakinan pelanggan dalam memilih layanan yang disediakan.
Komunikasi yang jelas dan efektif juga merupakan aspek penting
dalam assurance. Staf yang dapat mengomunikasikan informasi
dengan jelas dan mudah dipahami akan membantu pelanggan
dalam memahami proses, kebijakan, dan keputusan yang terkait
dengan layanan yang mereka terima. Komunikasi yang baik
juga memungkinkan staf untuk memahami kebutuhan dan
keinginan pelanggan dengan lebih baik, sehingga mereka dapat
memberikan layanan yang relevan dan memuaskan. Secara
keseluruhan, assurance merupakan dimensi penting dalam
model SERVQUAL yang berfokus pada kemampuan staf dan
kepercayaan yang mereka hasilkan pada pelanggan. Dengan
memahami dan memenuhi elemen-elemen assurance, organisasi
dapat membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan dan
meningkatkan kualitas layanan yang diberikan.
c. Tangibles (Bukti Fisik)
Tangibles dalam konteks model SERVQUAL birokrasi mencakup
aspek �sik yang berkaitan dengan lingkungan �sik, peralatan,
dan penampilan �sik dari orang-orang yang memberikan
layanan. Ini termasuk desain bangunan, dekorasi, kondisi
fasilitas, peralatan, dan atribut visual lainnya. Lingkungan �sik
yang nyaman, bersih, dan menarik akan memberikan kesan
positif kepada pelanggan, sementara lingkungan yang buruk
atau tidak menarik dapat memberikan kesan negatif. Sejumlah
penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh tangibles
terhadap kepuasan pelanggan dalam konteks model SERVQUAL
birokrasi. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Rahman dan Kamaruddin (2012) di Malaysia menemukan
bahwa tangibles memiliki pengaruh signi�kan terhadap kepuasan
pelanggan di sektor publik. Hasil penelitian ini menunjukkan

128MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
bahwa tampilan �sik, kondisi fasilitas, dan peralatan yang baik
dapat meningkatkan persepsi pelanggan terhadap kualitas
layanan yang diberikan oleh birokrasi.
Dalam praktiknya, organisasi birokrasi dapat meningkatkan
tangibles dengan beberapa langkah. Pertama, mereka perlu
memperhatikan desain dan tata letak ruang kerja, serta kualitas
�sik bangunan dan fasilitas. Pastikan ruangan yang digunakan
untuk melayani pelanggan terlihat bersih, nyaman, dan menarik.
Selain itu, perusahaan juga harus menginvestasikan dalam
peralatan dan teknologi yang memadai untuk memastikan
bahwa staf memiliki alat yang diperlukan untuk memberikan
pelayanan yang efektif. Penting juga untuk melatih staf dalam hal
penampilan �sik yang profesional dan ramah. Hal ini termasuk
berpakaian rapi, menjaga kebersihan diri, dan menunjukkan
sikap yang ramah kepada pelanggan. Pelatihan ini dapat
membantu menciptakan tangibles yang positif dan memberikan
kesan yang baik kepada pelanggan.
d. Empathy (Empati)
Dalam model SERVQUAL, empati dianggap sebagai salah satu
dimensi penting dalam mengukur kualitas pelayanan. Dimensi
ini mencakup kemampuan penyedia layanan dalam memahami
kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta kemampuan
mereka untuk merespon dengan empati terhadap pelanggan.
Empati dalam model ini lebih fokus pada aspek psikologis dan
emosional, bukan hanya pada pemahaman faktual tentang
kebutuhan pelanggan. Konsep empati dalam model SERVQUAL
juga berkaitan erat dengan konsep keadilan pelayanan.
Pelanggan cenderung menganggap pelayanan sebagai adil jika
mereka merasa dipahami dan dihargai oleh penyedia layanan.
Sebaliknya, jika pelanggan merasa tidak dipahami atau diabaikan,
mereka cenderung menganggap pelayanan sebagai tidak adil.
Penerapan empati dalam konteks birokrasi juga penting untuk
mengatasi kekakuan dan ketidak�eksibelan yang sering terkait
dengan sistem birokratis. Birokrasi sering kali dianggap dingin
dan tidak peduli terhadap kebutuhan individual. Namun,
dengan menerapkan empati dalam penyelenggaraan pelayanan
birokratis, penyedia layanan dapat menciptakan hubungan

129BAB VI
yang lebih baik dengan pelanggan dan memperbaiki persepsi
pelanggan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.
Untuk meningkatkan tingkat empati dalam model
SERVQUAL birokratis, penyedia layanan dapat melakukan
beberapa tindakan. Pertama, mereka perlu melibatkan pelanggan
dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan ruang
untuk melibatkan perspektif pelanggan dalam perencanaan
dan penyelenggaraan pelayanan. Kedua, penyedia layanan
harus melatih staf mereka dalam keterampilan interpersonal
dan komunikasi yang baik, sehingga mereka dapat lebih baik
dalam memahami dan merespon kebutuhan pelanggan. Ketiga,
penting untuk menciptakan mekanisme umpan balik yang
efektif yang memungkinkan pelanggan untuk menyampaikan
pengalaman mereka dan memberikan saran untuk perbaikan.
Secara keseluruhan, empati adalah dimensi penting dalam
model SERVQUAL birokratis yang berfokus pada kemampuan
penyedia layanan untuk memahami dan merespon dengan
empati terhadap kebutuhan dan harapan pelanggan. Penerapan
empati dapat membantu meningkatkan persepsi pelanggan
tentang kualitas pelayanan dan mengatasi kekakuan birokrasi.
Penting bagi penyedia layanan untuk melibatkan pelanggan,
melatih staf dalam keterampilan interpersonal, dan menciptakan
mekanisme umpan balik yang efektif untuk meningkatkan
tingkat empati dalam penyelenggaraan pelayanan birokratis.
e. Responsiveness (Daya Tanggap)
Responsiveness melibatkan berbagai aspek penting dalam
memberikan pelayanan yang efektif. Pertama, waktu respons
merujuk pada sejauh mana penyedia layanan merespons
permintaan, pertanyaan, atau keluhan pelanggan dengan cepat.
Hal ini melibatkan kemampuan untuk memberikan jawaban
yang cepat dan memadai dalam situasi yang membutuhkan
tindakan segera. Misalnya, dalam konteks birokrasi, waktu
respons penting ketika pelanggan mengajukan pertanyaan
atau permohonan yang membutuhkan tindakan cepat, seperti
permohonan izin atau pengajuan dokumen. Kedua, kemampuan
komunikasi merupakan aspek penting dari responsivitas.
Penyedia layanan birokrasi harus mampu berkomunikasi dengan

130MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
jelas dan efektif dengan pelanggan. Ini melibatkan kemampuan
untuk menjelaskan prosedur, kebijakan, atau informasi yang
relevan dengan cara yang mudah dipahami oleh pelanggan.
Selain itu, penyedia layanan harus siap menerima umpan balik
dari pelanggan dan meresponnya dengan tepat.
Kemampuan komunikasi yang baik dapat meningkatkan
kepercayaan pelanggan dan memastikan pemahaman yang saling
memuaskan antara penyedia layanan dan pelanggan. Selain
itu, proaktif adalah aspek penting lainnya dalam responsivitas.
Penyedia layanan birokrasi harus dapat mengantisipasi
kebutuhan atau masalah pelanggan dan mengambil tindakan
yang sesuai sebelum diminta. Ini melibatkan mengidenti�kasi
dan menyelesaikan masalah sebelum mereka menjadi lebih
rumit atau mempengaruhi kepuasan pelanggan. Misalnya,
jika seorang pelanggan menghadapi kesulitan dalam mengisi
formulir, penyedia layanan yang responsif akan menawarkan
bantuan atau petunjuk sebelum diminta. Responsivitas dalam
model SERVQUAL berperan penting dalam mempengaruhi
persepsi pelanggan tentang kualitas layanan.
Menurut teori konsumen, tingkat responsivitas yang tinggi
akan meningkatkan kepuasan pelanggan, membangun hubungan
pelanggan yang kuat, dan berkontribusi pada citra positif
organisasi atau lembaga birokrasi. Penelitian empiris juga telah
mendukung hubungan positif antara responsivitas dan kepuasan
pelanggan dalam berbagai konteks organisasi, termasuk birokrasi.
Dalam rangka mengukur responsivitas dalam konteks birokrasi,
survei SERVQUAL dapat digunakan. Survei ini mengumpulkan
data tentang persepsi pelanggan terkait dengan waktu respons,
kemampuan komunikasi, dan proakti�tas penyedia layanan.
Data ini dapat dianalisis untuk mengidenti�kasi area yang
memerlukan perbaikan dan membantu penyedia layanan
untuk mengambil tindakan yang sesuai untuk meningkatkan
responsivitas. Secara keseluruhan, responsivitas merupakan
dimensi penting dalam model SERVQUAL yang berkaitan
dengan penyediaan layanan birokrasi yang efektif. Melalui
waktu respons yang cepat, kemampuan komunikasi yang
baik, dan proakti�tas dalam mengatasi kebutuhan pelanggan,

131BAB VI
penyedia layanan birokrasi dapat memenuhi harapan pelanggan
dan membangun hubungan yang kuat dengan mereka. Dalam
konteks birokrasi, responsivitas yang tinggi berkontribusi pada
peningkatan kepuasan pelanggan dan citra positif organisasi
atau lembaga birokrasi.
Pengukuran SERVQUAL dilakukan dengan membandingkan
persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan yang sebenarnya
diterima (perceived service) dengan harapan pelanggan terhadap
kualitas layanan yang diinginkan (expected service). Perbedaan
antara persepsi dan harapan ini menghasilkan skor kualitas
layanan yang dapat diinterpretasikan. Untuk mengukur
kualitas layanan dengan menggunakan SERVQUAL, data
dapat dikumpulkan melalui survei pelanggan. Survei ini dapat
dilakukan menggunakan kuesioner yang dirancang berdasarkan
lima dimensi SERVQUAL. Kuesioner SERVQUAL terdiri dari
dua bagian utama: pertanyaan mengenai harapan pelanggan
dan pertanyaan mengenai persepsi pelanggan. Bagian pertama
kuesioner mengukur harapan pelanggan terhadap lima dimensi
kualitas layanan, sedangkan bagian kedua mengukur persepsi
pelanggan terhadap kualitas layanan yang sebenarnya diterima.
Skala pengukuran yang umum digunakan dalam kuesioner
SERVQUAL adalah skala Likert yang terdiri dari pernyataan
dengan tingkat persetujuan atau ketidaksetujuan. Biasanya, skala
Likert memiliki lima tingkat, mulai dari “sangat tidak setuju”
hingga “sangat setuju”. Setelah data dikumpulkan, analisis data
dilakukan untuk menginterpretasikan skor kualitas layanan yang
diperoleh dari kuesioner SERVQUAL.
Beberapa metode analisis yang umum digunakan Analisis
Gap, mengukur perbedaan antara harapan dan persepsi
pelanggan terhadap kualitas layanan. Setiap dimensi kualitas
layanan dihitung dengan mengurangi skor harapan dari skor
persepsi. Gap positif menunjukkan bahwa persepsi pelanggan
lebih rendah daripada harapan, sedangkan gap negatif
menunjukkan bahwa persepsi pelanggan lebih tinggi daripada
harapan. Selanjutnya, Analisis Skor Rata-Rata menghitung skor
rata-rata untuk setiap dimensi kualitas layanan. Skor rata-rata ini
dapat digunakan untuk membandingkan kualitas layanan antara

132MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
kelompok pelanggan yang berbeda atau untuk membandingkan
kualitas layanan dengan standar yang telah ditetapkan. Hasil
analisis data SERVQUAL dapat diinterpretasikan untuk
mengidenti�kasi kekuatan dan kelemahan dalam kualitas
layanan yang diberikan. Gap positif menunjukkan area di mana
organisasi harus meningkatkan layanan untuk memenuhi
harapan pelanggan. Gap negatif menunjukkan area di mana
organisasi telah melebihi harapan pelanggan dan dapat dianggap
sebagai keunggulan kompetitif.
f. Expectancy-Discon�rmation Scale
Skala Harapan-Penentangan didasarkan pada teori ekspektasi
dan discon�rmation, yang berasal dari bidang psikologi
sosial. Teori ini menjelaskan bagaimana individu membentuk
harapan tentang sesuatu dan bagaimana persepsi mereka
terhadap kenyataan yang dihadapi mempengaruhi kepuasan
mereka. Dalam konteks birokrasi, Skala Harapan-Penentangan
digunakan untuk mengukur sejauh mana individu merasa
harapan mereka terpenuhi atau tidak terpenuhi oleh kinerja
birokrasi. Teori ekspektasi dan discon�rmation didasarkan
pada asumsi bahwa individu membentuk harapan tentang hasil-
hasil yang diinginkan dari suatu keadaan atau situasi tertentu.
Harapan ini dapat melibatkan berbagai aspek seperti pelayanan
pelanggan, e�siensi, kualitas, dan komunikasi. Ketika individu
mengalami situasi tersebut, mereka membandingkan antara
harapan mereka dan kenyataan yang mereka hadapi. Perbedaan
antara harapan dan kenyataan ini disebut discon�rmation.
Terdapat tiga komponen utama :
1) Ekspektasi (Expectancy): Ekspektasi merujuk pada harapan
individu tentang apa yang seharusnya terjadi dalam suatu
situasi tertentu. Ekspektasi ini dipengaruhi oleh pengalaman
sebelumnya, informasi yang diterima, dan norma-norma
sosial yang ada.
2) Discon�rmation: Discon�rmation terjadi ketika individu
membandingkan ekspektasi mereka dengan kenyataan yang
mereka alami. Jika kenyataan melebihi ekspektasi, individu
akan mengalami discon�rmation positif. Sebaliknya, jika

133BAB VI
kenyataan lebih rendah dari ekspektasi, individu akan
mengalami discon�rmation negatif.
3) Kepuasan: Kepuasan merujuk pada evaluasi individu
terhadap situasi berdasarkan perbedaan antara harapan dan
kenyataan. Jika individu merasa bahwa kenyataan sesuai
dengan ekspektasi mereka, mereka akan merasa puas.
Namun, jika ada discon�rmation negatif, kepuasan akan
menurun.
Skala Harapan-Penentangan dalam birokrasi merupakan
alat pengukuran yang dirancang khusus untuk mengukur
harapan dan persepsi individu terhadap kinerja birokrasi. Skala
ini memungkinkan peneliti dan praktisi untuk memahami
sejauh mana individu merasa puas atau tidak puas dengan
kinerja birokrasi. Skala Harapan-Penentangan dalam birokrasi
merupakan alat pengukuran yang dirancang khusus untuk
mengukur harapan dan persepsi individu terhadap kinerja
birokrasi. Skala ini memungkinkan peneliti dan praktisi untuk
memahami sejauh mana individu merasa puas atau tidak
puas dengan kinerja birokrasi. Skala Harapan-Penentangan
dalam birokrasi terdiri dari serangkaian pernyataan yang
menggambarkan aspek-aspek penting dari kinerja birokrasi,
seperti e�siensi, akurasi, responsivitas, dan transparansi.
Responden diminta untuk menilai sejauh mana kinerja
birokrasi memenuhi harapan mereka pada skala Likert. Contoh
pernyataan yang digunakan dalam Skala Harapan-Penentangan
dalam birokrasi antara lain:
1) Birokrasi ini memberikan pelayanan yang responsif kepada
pelanggan.
2) Birokrasi ini menjalankan tugas dengan e�sien dan tepat
waktu.
3) Birokrasi ini memberikan informasi yang jelas dan akurat
kepada publik.
Respon individu terhadap discon�rmation dapat bervariasi
tergantung pada perbedaan antara harapan dan kenyataan yang
mereka alami. Terdapat beberapa kemungkinan respon terhadap
discon�rmation :

134MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
1) Discon�rmation Positif: Jika individu mengalami
discon�rmation positif, yaitu kenyataan melebihi harapan
mereka, mereka cenderung merasa puas dan puas dengan
kinerja birokrasi. Ini dapat menghasilkan loyalitas dan
dukungan yang lebih besar terhadap organisasi.
2) Discon�rmation Negatif: Jika individu mengalami
discon�rmation negatif, yaitu kenyataan lebih rendah dari
harapan mereka, mereka cenderung merasa tidak puas dan
kecewa dengan kinerja birokrasi. Hal ini dapat mengarah
pada ketidakpuasan, ketidakpercayaan, dan dukungan yang
berkurang terhadap organisasi.
3) Discon�rmation Netral: Jika individu mengalami
discon�rmation netral, yaitu perbedaan antara harapan
dan kenyataan tidak signi�kan, mereka cenderung
mempertahankan tingkat kepuasan yang sama seperti
sebelumnya.
Skala Harapan-Penentangan dalam birokrasi telah digunakan
dalam berbagai penelitian untuk mengukur persepsi individu
terhadap kinerja birokrasi. Penggunaan skala ini memberikan
wawasan yang berharga tentang kekuatan dan kelemahan
birokrasi dalam memenuhi harapan individu. Penelitian yang
menggunakan Skala Harapan-Penentangan dalam birokrasi
dapat memberikan hasil yang berguna bagi praktisi birokrasi
dalam meningkatkan kinerja organisasi. Dengan mengetahui
harapan individu dan sejauh mana kinerja birokrasi memenuhi
harapan tersebut, praktisi dapat mengidenti�kasi area di mana
perbaikan diperlukan dan mengambil langkah-langkah untuk
meningkatkan kepuasan dan dukungan individu terhadap
organisasi.
D. MEMBANGUN SISTEM UMPAN BALIK UNTUK PERBAIKAN
BERKELANJUTAN
Sistem umpan balik yang efektif dalam konteks birokrasi memiliki
beberapa manfaat yang signi�kan. Pertama, sistem umpan balik
memungkinkan manajer dan pegawai untuk mendapatkan informasi
yang berguna tentang kinerja mereka. Dengan mengetahui bagaimana
tindakan mereka mempengaruhi kinerja organisasi, mereka dapat

135BAB VI
mengidenti�kasi area yang perlu diperbaiki dan mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk meningkatkan kinerja. Kedua, sistem umpan
balik dapat membantu dalam mengidenti�kasi dan mengatasi hambatan
atau masalah dalam proses kerja. Dengan menerima umpan balik dari
pegawai dan pelanggan, birokrasi dapat menemukan penyebab akar dari
masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan
atau mengurangi masalah tersebut. Ketiga, sistem umpan balik yang
efektif memungkinkan organisasi untuk memperbaiki komunikasi
internal. Dengan memberikan umpan balik secara terbuka antara manajer
dan pegawai, serta antara departemen yang berbeda, birokrasi dapat
meningkatkan kolaborasi dan kerja tim, serta mencegah kesalahpahaman
dan kon�ik yang mungkin muncul. Terakhir, sistem umpan balik yang
baik dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Dengan memperhatikan
umpan balik pelanggan, birokrasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
oleh pelanggan dan bagaimana meningkatkan layanan mereka. Hal ini
akan membantu menciptakan hubungan yang lebih baik antara birokrasi
dan pelanggan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan
dan kepuasan pelanggan.
Berikut adalah langkah-langkah untuk membangun sistem umpan
balik yang efektif dalam konteks birokrasi:
1. Identi�kasi Tujuan
Identi�kasi tujuan dalam sistem umpan balik birokrasi penting untuk
memberikan panduan bagi perbaikan dan pengembangan organisasi.
Tujuan tersebut haruslah spesi�k, terukur, mencapai, realistis, dan
terkait dengan konteks birokrasi. Misalnya, tujuan dapat meliputi
peningkatan e�siensi proses birokrasi, peningkatan kualitas layanan
publik, pengembangan kompetensi pegawai, atau peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Teori sistem
menyediakan kerangka kerja yang berguna dalam identi�kasi tujuan
dalam sistem umpan balik birokrasi. Menurut teori ini, sebuah sistem
terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan bekerja
bersama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam konteks
birokrasi, komponen-komponen ini mencakup pegawai, struktur
organisasi, proses kerja, dan kebijakan yang relevan. Identi�kasi
tujuan dalam sistem umpan balik birokrasi perlu mempertimbangkan
hubungan antara komponen-komponen tersebut dan bagaimana
mereka saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan organisasi.

136MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Model Balanced Scorecard (BSC) juga dapat digunakan dalam
identi�kasi tujuan dalam sistem umpan balik birokrasi. Pendekatan
ini memandang organisasi sebagai suatu sistem yang kompleks
dengan berbagai aspek yang perlu diperhatikan. BSC menyarankan
penggunaan empat perspektif yang berbeda untuk menetapkan
tujuan, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif
proses internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Dalam konteks birokrasi, tujuan dalam sistem umpan balik dapat
ditempatkan dalam empat perspektif ini, misalnya, peningkatan
e�siensi keuangan, kepuasan pelanggan, perbaikan proses kerja
internal, dan pengembangan pegawai. Dalam identi�kasi tujuan
dalam sistem umpan balik birokrasi, pendekatan ilmiah dapat
digunakan untuk memastikan validitas dan reliabilitas hasil. Metode
ilmiah melibatkan pengumpulan data secara sistematis, analisis yang
obyektif, dan interpretasi yang akurat. Berbagai teknik penelitian
kuantitatif maupun kualitatif dapat diterapkan, seperti survei,
wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Hasil dari metode
ilmiah ini akan memberikan dasar yang kuat untuk menetapkan
tujuan yang sesuai dengan realitas dan kebutuhan organisasi.
2. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah langkah penting dalam sistem umpan
balik birokrasi yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang
relevan dan memungkinkan evaluasi yang akurat terhadap kinerja
birokrasi. Beberapa metode pengumpulan data dalam sistem umpan
balik:
a. Survei adalah metode pengumpulan data yang umum digunakan
dalam sistem umpan balik birokrasi. Survei dapat dilakukan
melalui kuesioner yang dikirimkan kepada karyawan, pelanggan,
atau pihak terkait lainnya yang berinteraksi dengan birokrasi.
Kuesioner dapat berisi pertanyaan terstruktur atau terbuka
yang memungkinkan responden memberikan tanggapan
mereka terhadap kinerja birokrasi. Survei dapat membantu
mengidenti�kasi kekuatan dan kelemahan birokrasi serta
memberikan masukan bagi perbaikan dan pengembangan.
b. Observasi adalah metode pengumpulan data yang melibatkan
pengamatan langsung terhadap proses atau kegiatan dalam
birokrasi. Pengamat dapat memperhatikan interaksi antara

137BAB VI
karyawan dan pelanggan, mengamati waktu respon, atau
memeriksa pelaksanaan kebijakan. Observasi dapat dilakukan
secara terstruktur dengan menggunakan da�ar periksa yang
telah ditentukan sebelumnya atau secara tidak terstruktur
dengan mencatat semua aspek yang diamati. Metode observasi
memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam tentang praktik birokrasi dan mengidenti�kasi
masalah yang mungkin tidak terungkap melalui metode lain.
c. Wawancara adalah metode pengumpulan data yang melibatkan
interaksi langsung antara peneliti dan responden. Dalam konteks
sistem umpan balik birokrasi, wawancara dapat dilakukan
dengan karyawan, manajer, atau pelanggan untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang pengalaman mereka
dengan birokrasi. Wawancara dapat dilakukan secara tatap muka
atau melalui telepon. Wawancara mendalam dapat memberikan
wawasan yang lebih kaya dan mendalam tentang persepsi, sikap,
dan pengalaman individu terkait kinerja birokrasi.
d. Metode pengumpulan data lainnya dalam sistem umpan balik
birokrasi adalah melalui dokumen dan analisis arsip. Peneliti
dapat menganalisis dokumen resmi seperti kebijakan, laporan
kinerja, atau catatan pertemuan untuk memahami proses,
kebijakan, dan keputusan yang ada dalam birokrasi. Analisis arsip
juga dapat melibatkan peninjauan dokumentasi eksternal seperti
surat kabar, laporan penelitian, atau publikasi lain yang berkaitan
dengan kinerja birokrasi. Pendekatan ini memberikan gambaran
objektif tentang kinerja birokrasi yang dapat digunakan sebagai
sumber data yang kredibel.
e. Metode pengumpulan data lainnya dalam sistem umpan balik
birokrasi adalah melalui pengukuran kinerja yang sistematis.
Pengukuran kinerja melibatkan penggunaan indikator kinerja
yang terukur dan dapat dihitung untuk mengevaluasi kinerja
birokrasi. Contoh indikator kinerja yang dapat digunakan adalah
waktu penyelesaian tugas, tingkat kepuasan pelanggan, atau
e�siensi dalam penggunaan sumber daya. Pengukuran kinerja

138MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dapat dilakukan secara rutin dan terstruktur untuk memantau
perubahan dalam kinerja birokrasi seiring waktu.
3. Kriteria Penilaian
Penilaian kriteria metode adalah proses untuk mengukur dan
mengevaluasi kinerja individu berdasarkan kriteria tertentu yang
telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan utama dari penilaian kriteria
metode adalah untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang
sejauh mana pegawai mencapai tujuan yang ditetapkan dan sejauh
mana mereka menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan harapan
organisasi. Penilaian kriteria metode dalam sistem umpan balik
birokrasi bertujuan untuk mengidenti�kasi kekuatan dan kelemahan
karyawan melalui penilaian kriteria metode, manajer dapat
mengidenti�kasi kekuatan dan kelemahan individu. Hal ini membantu
dalam pengembangan program pelatihan yang disesuaikan untuk
meningkatkan kinerja pegawai. Selanjutnya mengukur pencapaian
tujuan Penilaian kriteria metode memungkinkan pengukuran objektif
terhadap sejauh mana pegawai mencapai tujuan yang ditetapkan.
Hal ini penting dalam mengevaluasi kontribusi individu terhadap
kesuksesan organisasi. Terahir mendorong motivasi dan kinerja yang
lebih baik: Dengan memberikan umpan balik yang konstruktif dan
obyektif, penilaian kriteria metode dapat meningkatkan motivasi dan
kinerja pegawai. Ini dapat mempengaruhi sikap dan perilaku positif
yang berkontribusi pada e�siensi dan efektivitas birokrasi.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penilaian
kriteria metode dalam sistem umpan balik birokrasi. Pemilihan
metode yang tepat harus mempertimbangkan tujuan evaluasi,
kebutuhan organisasi, dan konteks spesi�k. Berikut adalah beberapa
metode umum yang digunakan dalam penilaian kriteria metode:
a. Penilaian Kinerja Berbasis Kompetensi
Metode ini melibatkan penilaian kinerja berdasarkan kriteria
kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Kriteria
kompetensi mencakup keterampilan, pengetahuan, sikap,
dan perilaku yang relevan dengan tugas dan tanggung jawab
individu. Evaluasi dapat dilakukan melalui observasi langsung,
wawancara, atau tinjauan dokumen.

139BAB VI
b. Penilaian 360 Derajat
Penilaian 360 derajat melibatkan pengumpulan umpan balik
dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk atasan, rekan
kerja, bawahan, dan diri sendiri. Metode ini memberikan sudut
pandang yang komprehensif tentang kinerja individu dan
membantu dalam mengidenti�kasi kekuatan dan kelemahan.
c. Pengukuran Kuantitatif
Metode pengukuran kuantitatif menggunakan indikator kinerja
yang terukur secara numerik, seperti produktivitas, kualitas, atau
tingkat kehadiran. Metode ini bergantung pada data kuantitatif
yang obyektif dan dapat digunakan untuk membandingkan
kinerja individu dalam kelompok atau periode waktu tertentu.
4. Analisis data
Analisis data dalam sistem umpan balik birokrasi memiliki
peran yang penting dalam memahami dan meningkatkan kinerja
birokrasi. Dengan menganalisis data yang dikumpulkan, kita
dapat mengidenti�kasi kekuatan dan kelemahan dalam sistem,
mengidenti�kasi tren, serta menyediakan dasar yang kuat untuk
pengambilan keputusan yang efektif. Analisis data juga membantu
dalam memperbaiki e�siensi operasional, meningkatkan kepuasan
masyarakat, dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
birokrasi. Dalam melakukan analisis data birokrasi, pendekatan
ilmiah diperlukan untuk memastikan bahwa hasil analisis didasarkan
pada bukti dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa
pendekatan ilmiah yang relevan dalam analisis data birokrasi
meliputi:
a. Metode Pengumpulan Data
Dalam analisis data birokrasi, penting untuk menggunakan
metode pengumpulan data yang tepat, seperti survei,
wawancara, observasi, atau analisis dokumen. Metode yang
dipilih harus sesuai dengan tujuan analisis dan sifat data yang
akan dikumpulkan.
b. Statistik
Analisis statistik dapat digunakan untuk mengolah dan
menganalisis data yang telah dikumpulkan. Teknik statistik
seperti analisis regresi, uji hipotesis, dan analisis varians

140MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
dapat digunakan untuk menguji hubungan antara variabel,
mengidenti�kasi pola, atau membandingkan kelompok.
c. Analisis Kualitatif
Selain analisis statistik, analisis kualitatif juga penting dalam
memahami konteks dan interpretasi data birokrasi. Analisis
kualitatif melibatkan proses pengorganisasian, pengelompokan,
dan pemahaman data dalam bentuk naratif atau tematik.
d. Penelitian Komparatif
Penelitian komparatif melibatkan pembandingan kinerja
birokrasi antara berbagai unit atau departemen. Pendekatan ini
dapat membantu dalam mengidenti�kasi praktik terbaik atau
mengidenti�kasi perbedaan yang signi�kan dalam kinerja.
5. Evaluasi dan Monitoring (Pemantauan)
Evaluasi adalah proses sistematis untuk mengukur dan mengevaluasi
kinerja organisasi atau individu terhadap tujuan dan standar yang
ditetapkan. Dalam konteks birokrasi, evaluasi dilakukan untuk menilai
pencapaian target, efektivitas kebijakan, dan pemenuhan tugas dan
tanggung jawab. Pendekatan evaluasi yang umum digunakan dalam
birokrasi adalah evaluasi kinerja berbasis tujuan, evaluasi berbasis
kompetensi, dan evaluasi berbasis hasil. Evaluasi kinerja berbasis
tujuan fokus pada pencapaian target dan hasil yang ditetapkan,
sedangkan evaluasi berbasis kompetensi menilai keterampilan dan
pengetahuan individu dalam menjalankan tugas. Evaluasi berbasis
hasil mengukur dampak dan kontribusi tindakan atau kebijakan
terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan. Pada tahap evaluasi,
metode ilmiah dan objektif diperlukan untuk memastikan validitas
dan kehandalan hasil evaluasi. Pendekatan ilmiah melibatkan
pengumpulan data yang akurat dan reliabel, analisis yang obyektif,
serta interpretasi yang berdasarkan bukti. Metode yang umum
digunakan dalam evaluasi kinerja birokrasi meliputi survei kepuasan
pengguna, pengukuran kuantitatif, dan analisis kualitatif. Survei
kepuasan pengguna mengumpulkan umpan balik dari pihak yang
terlibat secara langsung dengan birokrasi, seperti masyarakat atau
klien. Pengukuran kuantitatif melibatkan penggunaan metrik atau
indikator yang terukur untuk menilai pencapaian tujuan dan target.
Analisis kualitatif melibatkan evaluasi mendalam terhadap data

141BAB VI
yang kompleks dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja.
Pada tahap evaluasi, metode ilmiah dan objektif diperlukan untuk
memastikan validitas dan kehandalan hasil evaluasi. Pendekatan
ilmiah melibatkan pengumpulan data yang akurat dan reliabel,
analisis yang obyektif, serta interpretasi yang berdasarkan bukti.
Metode yang umum digunakan dalam evaluasi kinerja birokrasi
meliputi survei kepuasan pengguna, pengukuran kuantitatif, dan
analisis kualitatif. Survei kepuasan pengguna mengumpulkan umpan
balik dari pihak yang terlibat secara langsung dengan birokrasi,
seperti masyarakat atau klien. Pengukuran kuantitatif melibatkan
penggunaan metrik atau indikator yang terukur untuk menilai
pencapaian tujuan dan target. Analisis kualitatif melibatkan evaluasi
mendalam terhadap data yang kompleks dan menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja. Dalam konteks birokrasi,
evaluasi dan monitorisasi yang efektif berkontribusi pada perbaikan
kinerja organisasi secara keseluruhan. Dengan melakukan evaluasi
yang berkelanjutan, organisasi dapat mengidenti�kasi kekuatan
dan kelemahan dalam sistem, proses, dan kebijakan mereka. Hasil
evaluasi dapat digunakan untuk menginformasikan pengambilan
keputusan dan perencanaan strategis untuk meningkatkan kinerja.
Sementara itu, monitorisasi yang efektif memungkinkan deteksi
dini terhadap masalah atau ketidaksesuaian yang mempengaruhi
kinerja. Tindakan perbaikan dapat diambil segera untuk memastikan
pencapaian tujuan organisasi dan pemenuhan tugas dan tanggung
jawab.
Implementasi evaluasi dan pemantauan dalam sistem birokrasi
tidak selalu mudah dan dapat dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Beberapa tantangan umum yang dapat timbul:
a. Kurangnya Sumber Daya: Evaluasi dan pemantauan yang efektif
memerlukan alokasi sumber daya yang memadai, seperti dana,
personel, dan teknologi. Namun, kurangnya sumber daya sering
menjadi hambatan dalam melaksanakan praktik-praktik ini
dengan baik.
b. Resistensi terhadap Perubahan: Evaluasi dan pemantauan yang
transparan dan objektif dapat mengungkap kelemahan atau
masalah dalam kinerja organisasi. Namun, adanya resistensi

142MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
terhadap perubahan atau ketakutan akan konsekuensi negatif
dari evaluasi dapat menghambat pelaksanaan praktik-praktik
ini.
c. Kompleksitas Organisasi: Organisasi birokrasi seringkali
kompleks dan melibatkan banyak unit dan proses. Hal ini
dapat membuat evaluasi dan pemantauan menjadi rumit dan
sulit dilakukan dengan tepat. Pengorganisasian yang baik dan
pemilihan metode yang sesuai dapat membantu mengatasi
kompleksitas ini.
d. Keterbatasan Indikator Kinerja: Memilih indikator kinerja yang
tepat dan relevan merupakan aspek penting dalam evaluasi dan
pemantauan. Namun, seringkali sulit untuk mengidenti�kasi
dan mengukur indikator yang dapat mewakili kinerja organisasi
secara komprehensif.

143
DAFTAR PUSTAKA
Adebayo, O. S. (2019). Decision-making in the public sector: An
integrative literature review. Journal of Public Administration and
Governance, 9(3), 77-97.
Agarwal, R., & Garg, A. (2012). E-Catalogs in B2B Markets.
Communications of the ACM, 55(3), 117-125.
Aguinis, H. (2009). Performance management. Pearson Prentice Hall.
Agung, A. R. (2017). Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kualitas
Layanan Publik pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Semarang. Jurnal Administrasi Publik, 5(1), 1-10.
Agustino, L. (2017). Mekanisme Pengawasan Birokrasi dan Akuntabilitas
Publik: Studi pada Inspektorat Provinsi Jawa Barat. Jurnal Bina
Praja, 9(2), 113-124.
Ahmadi, M. (2016). A Comparative Study of Lean �inking in Healthcare.
Asian Journal of Research in Business Economics and Management,
6(11), 38-47.
Akgün, A. E., Keskin, H., & Ayar, H. (2016). Developing a scale for
measuring bureaucratic e�ciency in local governments: evidence
from Turkey. International Journal of Public Sector Management,
29(6), 562-580.
Akinci, S. (2016). E-Budgeting Implementation in Turkey: �e E�ect of
Institutional Factors. Procedia Computer Science, 102, 135-142.
Alavi, H. R., & Heydari, H. (2019). Performance measurement indicators
in governmental organizations: a systematic literature review.
International Journal of Productivity and Performance Management,
68(7), 1195-1219.
AlAwadhi, S., & Morris, A. (2008). �e use of mobile computing devices
in higher education: A case study. Computers & Education, 51(4),
1405-1416.

144MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Amabile, T. M., et al. (2004). Assessing the work environment for creativity.
Academy of Management Journal, 39(5), 1154-1184.
Amalia, F. (2019). Analisis Keefektifan Audit Keuangan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Sumatera Barat.
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau, 6(2),
1-12.
Amusa, K. O., & Inanga, E. L. (2014). Evaluation of a performance
measurement system using the analytic hierarchy process. Expert
Systems with Applications, 41(10), 4735-4745.
Andersen, L. B., & Pedersen, L. H. (2014). �e impact of education on
attitudes towards public governance: A cross-national analysis.
International Journal of Public Administration, 37(4), 221-234.
Andersen, P. H., & Henriksen, H. Z. (2017). �e impact of innovation
labs: A systematic review. Creativity and Innovation Management,
26(4), 354-371.
Anechiarico, F., & Jacobs, J. B. (1996). �e Pursuit of Absolute Integrity:
How Corruption Control Makes Government Ine�ective. University
of Chicago Press.
Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and
practice. Journal of Public Administration Research and �eory,
18(4), 543-571.
Anwar, K. (2019). Faktor-faktor yang Mempengaruhi E�siensi Birokrasi
pada Instansi Pemerintah di Indonesia. Jurnal Reformasi
Administrasi Negara, 9(2), 120-137.
Ardi, A., Wahyuni, D., & Hakim, A. (2019). �e e�ects of training
and motivation on organizational performance of government
institutions in Indonesia. �e International Journal of Business and
Management, 7(7), 132-140.
Armenakis, A. A., & Bedeian, A. G. (1999). Organizational change: A
review of theory and research in the 1990s. Journal of Management,
25(3), 293-315.
Armstrong, M. (2006). A handbook of human resource management
practice. Kogan Page Publishers.
Arnstein, S. R. (1969). A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the
American Institute of Planners, 35(4), 216-224.

145DAFTAR PUSTAKA
Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Weber, T. J. (2019). Leadership: Current
theories, research, and future directions. Annual Review of
Psychology, 60, 421-449.
Badan Kebijakan Fiskal. (2015). Modul Analisis Biaya-Manfaat. Jakarta:
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Baldwin, T. T., & Ford, J. K. (1988). Transfer of training: A review and
directions for future research. Personnel Psychology, 41(1), 63-105.
Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood Cli�s, NJ: Prentice-
Hall.
Banker, R. D., Charnes, A., & Cooper, W. W. (1984). Some models for
estimating technical and scale ine�ciencies in data envelopment
analysis. Management science, 30(9), 1078-1092.
Bannister, F., & Connolly, R. (2014). �e trouble with ‘digital
government’and the return of the bureaucracy: Transforming the
state in Scandinavia. Public Administration, 92(3), 795-818.
Barney, J. B. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage.
Journal of Management, 17(1), 99-120.
Barrows, H. S. (1996). Problem-based learning in medicine and beyond: A
brief overview. New Directions for Teaching and Learning, 68, 3-12.
Behn, R. D. (2003). Why measure performance? Di�erent purposes
require di�erent measures. Public Administration Review, 63(5),
586-606.
Behn, R. D. (2014). �e performanceStat revolution: Understanding the
future of government through its past. Brookings Institution Press.
Bell, S. (2010). Project-based learning for the 21st century: Skills for the
future. �e Clearing House, 83(2), 39-43.
Bevilacqua, M., & Ciarapica, F. E. (2018). �e Lean Healthcare Paradigm:
�eory, Evidence, and Practice. Springer.
Bhatnagar, S. (2003). E-government: From vision to implementation—A
practical guide with case studies. SAGE Publications.
Bitner, M. J., Booms, B. H., & Tetreault, M. S. (1990). �e service
encounter: Diagnosing favorable and unfavorable incidents. Journal
of Marketing, 54(1), 71-84.
Bordia, P., Hobman, E., Jones, E., Gallois, C., & Callan, V. J. (2004).
Uncertainty during organizational change: Is it all about control?
European Journal of Work and Organizational Psychology, 13(3),
345-365.

146MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Boss, S., & Krauss, J. (2007). Reinventing project-based learning: Your �eld
guide to real-world projects in the digital age. International Society
for Technology in Education.
Bouckenooghe, D., Devos, G., Van den Broeck, H., & Matthews, R. A.
(2014). �e role of change in the relationship between commitment
and turnover: A latent growth modeling approach. Journal of
Applied Psychology, 99(3), 468-481.
Bracken, D. W., Timmreck, C. W., & Church, A. H. (2001). �e handbook
of multisource feedback. Jossey-Bass.
Brennan, G., & Buchanan, J. M. (1980). �e power to tax: Analytical
foundations of a �scal constitution. Cambridge University Press.
Brinkerho�, D. W., & Crosby, B. L. (2002). Managing policy reform:
Concepts and tools for decision-makers in developing and transitioning
countries. Kumarian Press.
Bryson, J. M., Crosby, B. C., & Bloomberg, L. (2014). Public value
governance: Moving beyond traditional public administration and
the new public management. Public Administration Review, 74(4),
445-456.
Burns, T., & Stalker, G. M. (1961). �e management of innovation. University
of Illinois at Urbana-Champaign’s Academy for Entrepreneurial
Leadership Historical Research Reference in Entrepreneurship.
Burns, T., & Stalker, G. M. (1961). �e management of innovation. London,
UK: Tavistock.
Buttle, F. (1996). SERVQUAL: Review, critique, research agenda. European
Journal of Marketing, 30(1), 8-32.
Carayannis, E., Alexander, J., & David, F. (2015). Innovation ecosystems:
A critical examination. Technological Forecasting and Social Change,
99, 181-192.
Cavanaugh, M. A., Boswell, W. R., Roehling, M. V., & Boudreau, J. W.
(2000). An empirical examination of self-reported work stress
among U.S. managers. Journal of Applied Psychology, 85(1), 65-74.
Chand, D., & Sultana, S. (2019). E-government service quality and citizen
satisfaction: A literature review. Transforming Government: People,
Process and Policy, 13(1), 14-33.
Charnes, A., Cooper, W. W., & Rhodes, E. (1978). Measuring the e�ciency
of decision-making units. European journal of operational research,
2(6), 429-444.

147DAFTAR PUSTAKA
Chen, C. C., & Chang, C. J. (2013). A novel performance evaluation model
by integrating balanced scorecard, fuzzy theory and utility theory.
Expert Systems with Applications, 40(13), 5277-5290.
Christensen, T., Lægreid, P., & Wise, L. R. (Eds.). (2018). �e Oxford
handbook of comparative administrative reform. Oxford University
Press.
Churchill, G. A., Jr., & Surprenant, C. (1982). An investigation into
the determinants of customer satisfaction. Journal of Marketing
Research, 19(4), 491-504.
Coelli, T. J., Rao, D. S. P., O’Donnell, C. J., & Battese, G. E. (2005). An
introduction to e�ciency and productivity analysis. Springer Science
& Business Media.
Cole, C. (2019). Building organizational e�ectiveness: A case study of a
bureaucratic organization. Management Research Review, 42(3),
336-353.
Collier, D., & Mahoney, J. (1996). Insights and pitfalls: Selection bias in
qualitative research. World Politics, 49(1), 56-91.
Cotton, J. L., Vollrath, D. A., Froggatt, K. L., Lengnick-Hall, M. L., &
Jennings, K. R. (1988). Employee participation: Diverse forms and
di�erent outcomes. Academy of Management Review, 13(1), 8-22.
Creswell, J. W. (2014). Research design: Qualitative, quantitative, and
mixed methods approaches. Sage Publications.
Cropanzano, R., & Ambrose, M. L. (2001). Procedural and distributive
justice are more similar than you think: A monistic perspective and a
research agenda. In Advances in organizational justice (pp. 119-151).
Stanford, CA: Stanford University Press.
Crozier, M. (1964). �e bureaucratic phenomenon. University of Chicago
Press.
Dalkir, K. (2013). Knowledge Management in �eory and Practice.
Routledge.
Damanpour, F., & Schneider, M. (2009). “Characteristics of innovation
and innovation adoption in public organizations: Assessing the role
of managers.” Journal of Public Administration Research and �eory,
19(3), 495-522.
Davenport, T. H., & Prusak, L. (1998). Working knowledge: How
organizations manage what they know. Harvard Business Press.

148MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
DeChurch, L. A., & Marks, M. A. (2006). Leadership in multiteam systems.
Journal of Applied Psychology, 91(2), 311-329.
DeMers, M. N. (2015). Fundamentals of Geographic Information Systems.
John Wiley & Sons.
Deng, Z., Lu, Y., Wei, K. K., & Zhang, J. (2010). Understanding
customer satisfaction and loyalty: An empirical study of mobile
instant messages in China. International Journal of Information
Management, 30(4), 289-300.
Denison, D. R. (1990). Corporate culture and organizational e�ectiveness.
John Wiley & Sons.
Denscombe, M. (2014). �e good research guide: For small-scale social
research projects. Open University Press.
Dey, M. (2015). Factors a�ecting decision making in an organization. Global
Journal of Management and Business Research: A Administration
and Management, 15(5), 33-40.
Dierkes, M., & Antal, A. B. (1986). Information and organization: A
new perspective on the theory of the �rm. Administrative Science
Quarterly, 31(2), 278-300.
Dunleavy, P., Margetts, H., Bastow, S., & Tinkler, J. (2005). New public
management is dead—long live digital-era governance. Journal of
public administration research and theory, 16(3), 467-494.
Dunn, W. N. (2021). Public Policy Analysis: An Integrated Approach.
Routledge.
Eby, L. T., Allen, T. D., & Collin, K. M. (2008). �e Oxford Handbook of
Mentoring. Oxford University Press.
Eisenhardt, K. M. (1985). Control: Organizational and economic
approaches. Management Science, 31(2), 134-149.
Eisenhardt, K. M. (1989). Agency theory: An assessment and review.
Academy of Management Review, 14(1), 57-74.
Emrouznejad, A., & De Witte, K. (2010). COOPER-framework: A
uni�ed process for non-parametric projects. European Journal of
Operational Research, 207(3), 1573-1586.
Evans, P., & Rauch, J. E. (1999). Bureaucracy and growth: A cross-national
analysis of the e�ects of “Weberian” state structures on economic
growth. American sociological review, 64(5), 748-765.
Farazmand, A. (2014). Bureaucracy and administration. Handbook of
Public Administration, 33-45.

149DAFTAR PUSTAKA
Fletcher, C., & Williams, R. (1996). Performance management, job
satisfaction and organizational commitment. British Journal of
Management, 7(2), 169-179.
Ford, J. D., Ford, L. W., & McNamara, R. T. (2008). Resistance and the
background conversations of change. Journal of Organizational
Change Management, 21(2), 256-269.
Fox, J. (2007). �e uncertain relationship between transparency and
accountability. Development in practice, 17(4-5), 663-671.
Frey, B. S., & Homberg, F. (2017). Bureaucracy and Public Economics.
Oxford Research Encyclopedia of Economics and Finance.
Fung, A., & Wright, E. O. (2003). Deepening Democracy: Innovations in
Empowered Participatory Governance. Politics and Society, 31(1),
73-103.
Fung, H. G., Wong, K. Y., & Aspinwall, E. (2004). An empirical study
of SERVQUAL-based scale in measuring telecommunications
services. Journal of Targeting, Measurement and Analysis for
Marketing, 13(1), 26-43.
Galbraith, J. R., & Nathanson, D. A. (1978). Strategy implementation: �e
role of structure and process. St. Paul, MN: West Publishing.
Gargan, J. J. (2004). Bureaucracy and policy implementation: A comparative
analysis of the capacity of the bureaucracy to implement policy in
twelve countries. Journal of Public Administration Research and
�eory, 14(3), 391-418.
Getha-Taylor, H. (2015). �e role of public management reform in building
democratic governance: Lessons from the developing world. Public
Administration Review, 75(1), 29-41.
Gilster, P. (1997). Digital literacy. Wiley Computer Publishing.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than
IQ. New York, NY: Bantam Books.
Gómez-Mejía, L. R., & Balkin, D. B. (1992). Determinants of faculty pay:
An agency theory perspective. Academy of Management Journal,
35(5), 921-955.
Grant, R. M., & Collins, C. J. (2001). “Modeling the sources of managerial
discretion: A review and empirical study of innovation adoption
decisions.” Academy of Management Journal, 44(4), 710-732.
Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of con�ict between work
and family roles. Academy of Management Review, 10(1), 76-88.

150MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Gri�n, R. W. (2017). Fundamentals of management. Cengage Learning.
Grimmelikhuijsen, S. (2012). Linking transparency, knowledge and
citizen trust in government: An experiment. International Review
of Administrative Sciences, 78(1), 50-73.
Grindle, M. S., & �omas, J. W. (1991). Public Choices and Policy Change:
�e Political Economy of Reform in Developing Countries. JHU Press.
Groot, R., McLeod-Kilmurray, H., & Allott, A. (Eds.). (2013). Cambridge
Handbook of Environmental Law. Cambridge University Press.
Gruber, J. (2011). Public �nance and public policy. Worth Publishers.
Gupta, V., Turban, D. B., Wasti, S. A., & Sikdar, A. (2018). �e role of
bureaucratic obstacles in hindering innovative work behavior:
Mediation by perceived organizational support and moderating
e�ects of supervisors’ creative expectations. Journal of Organizational
Behavior, 39(4), 487-501.
Haberlah, M., Schmelzer, P., & Schäfer, M. (2018). �e relationship
between public service motivation, employee competencies, and
public service quality. Public Administration, 96(3), 532-548.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse
theory of law and democracy. MIT Press.
Hackman, J. R., & Oldham, G. R. (1976). Motivation through the design
of work: Test of a theory. Organizational Behavior and Human
Performance, 16(2), 250-279.
Halligan, J. (2016). Public Policy in the Digital Age: �eory, Evidence, and
Ethics. Springer.
Hamzah, I., & Adha, M. (2018). Akuntabilitas Birokrasi dalam
Meningkatkan Pelayanan Publik di Sektor Publik (Studi pada
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Ekonomi,
Bisnis &
Harrison, D. A., Newman, D. A., & Roth, P. L. (2006). How important are
job attitudes? Meta-analytic comparisons of integrative behavioral
outcomes and time sequences. Academy of Management Journal,
49(2),
Heady, F. (2017). Public Administration: A Comparative Perspective (7th
ed.). Oxford University Press.
Heeks, R. (2017). �e ICT4D 2.0 manifesto: Where next for ICTs and
international development?. Development studies research, 4(1),
143-161.

151DAFTAR PUSTAKA
Holt, D. T., Armenakis, A. A., Feild, H. S., & Harris, S. G. (2017). Readiness
for organizational change: �e systematic development of a scale.
Journal of Applied Behavioral Science, 53(2), 231-259.
Hood, C. (1991). A public management for all seasons? Public
Administration, 69(1), 3-19.
Hood, C. (1995). �e “new public management” in the 1980s: variations
on a theme. Accounting, organizations and society, 20(2-3), 93-109.
Hood, C., & Lodge, M. (2006). �e Politics of Public Service Bargains:
Reward, Competency, Loyalty - and Blame. Oxford University Press.
Houghton, K. A., Allen, D. G., & Newton, C. J. (2018). “�e in�uence
of evidence-based practice implementation and organizational
culture on employee outcomes: A moderating role for personality.”
Journal of Business and Psychology, 33(4), 449-462.
Huang, T. C. (2001). A study of the relationships between training and
organizational commitment: A path analysis approach. Journal
of Vocational Behavior, 58(3), 466-476. Santoso, A. (2017). �e
impact of training on employee performance: An evidence from
Indonesian public sector. Journal of Human Resources and Adult
Learning, 13(1), 118-129.
Inyang, B. J. (2013). Public Administration and Bureaucracy in Nigeria: A
Critical Review. International Journal of Public Administration and
Management Research, 2(3), 16-28.
Isabella, L. A. (1990). Evolving interpretations as a change unfolds:
How managers construe key organizational events. Academy of
Management Journal, 33(1), 7-41.
Janssen, M., Estevez, E., & Zuiderwijk, A. (2015). Bene�ts, adoption
barriers and myths of open data and open government. Information
Systems Management, 32(4), 371-382.
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). �eory of the �rm: Managerial
behavior, agency costs, and ownership structure. Journal of Financial
Economics, 3(4), 305-360.
Jreisat, J. E. (2018). Organizational structure: In�uencing factors and
impact on a �rm. American Journal of Industrial and Business
Management, 8(5), 1197-1207.
Jungherr, A. (2016). Twitter use in election campaigns: A systematic
literature review. Journal of Information Technology & Politics,
13(1), 72-91.

152MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Kamal, M. A. (2017). E-government implementation challenges in
developing countries: A case study from Bangladesh. Government
Information Quarterly, 34(3), 360-368.
Kasimin, H., & Hayati, F. (2018). �e Adoption of e-Catalog on
E-Procurement System in Indonesian Government. Journal of
Physics: Conference Series, 997(1), 012008.
Katz, D., & Kahn, R. L. (1966). �e Social Psychology of Organizations
(Vol. 2). John Wiley & Sons.
Kelliher, C., & Anderson, D. (2008). Doing more with less? Flexible
working practices and the intensi�cation of work. Human Relations,
61(1), 83-106.
Kessler, E. H., & Chakrabarti, A. K. (2018). Organizational innovation: A
metaanalysis of e�ects of determinants and moderators. Journal of
Business Research, 88, 229-241.
Kim, J., Kim, J., & Choi, C. (2018). E�ects of e-Budgeting on Budget
Transparency: Evidence from Korean Local Governments. Public
Performance & Management Review, 41(1), 7-31.
Kim, Y. (2017). �e in�uence of organizational culture on organizational
decision-making: Focusing on Korean public sector organizations.
Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity,
3(4), 1-16.
Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2017). �e leadership challenge: How to
make extraordinary things happen in organizations. John Wiley &
Sons.
Krajcik, J., & Blumenfeld, P. (2006). Project-based learning. Handbook of
educational psychology, 2, 471-504.
Kumbhakar, S.C., & Lovell, C.A.K. (2000). Stochastic frontier analysis.
Cambridge University Press.
Kuncoro, M., & Prabowo, M. A. (2020). Analisis Kepuasan Masyarakat
terhadap Kualitas Pelayanan Publik pada Sektor Birokrasi Publik.
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 6(1), 20-32.
Kurniawan, E., & Kusumawati, A. (2018). Corruption eradication in
Indonesia: �e roles of the Corruption Eradication Commission
(KPK) and the Supreme Audit Agency (BPK). Journal of Public
Administration and Governance, 8(3), 116-131.
La Porta, R., López-de-Silanes, F., Shleifer, A., & Vishny, R. (2008). Law
and �nance. Journal of Political Economy, 106(6), 1113-1155.

153DAFTAR PUSTAKA
Lado, A. A., & Wilson, M. C. (1994). Human resource systems and
sustained competitive advantage: A competency-based perspective.
Academy of Management Review, 19(4), 699-727.
Lambsdor�, J. G. (2006). Causes and consequences of corruption: What do
we know from a cross-section of countries? In Handbook of economic
corruption (pp. 3-28). Edward Elgar Publishing.
Lawler, E. E., & Jenkins, G. D. (1992). Strategic reward systems:
Understanding the di�erence between the instrumental and
relational views. Human Resource Management Review, 2(2), 175-
200.
Lawler, E. E., & Suttle, J. L. (1973). Expectancy theory and job behavior.
Organizational Behavior and Human Performance, 9(3), 482-503.
Lawrence, P. R., & Lorsch, J. W. (1967). Di�erentiation and integration
in complex organizations. Administrative Science Quarterly, 12(1),
1-47.
Lawrence, P. R., & Lorsch, J. W. (1967). Organization and environment:
Managing di�erentiation and integration. Boston, MA: Harvard
University Press.
Lee, G., & Kwak, Y. H. (2017). Digital government and public bureaucracy:
Beyond the hype of disruption. Public Administration Review, 77(1),
26-32.
Lee, H., & Park, J. (2017). Implementation of electronic document
management system (EDMS) and its e�ects on work productivity.
Information Systems Frontiers, 19(3), 597-611.
Leedy, P. D., & Ormrod, J. E. (2018). Practical research: Planning and
design. Pearson.
Liker, J. K. (2004). �e Toyota Way: 14 Management Principles from the
World’s Greatest Manufacturer. McGraw-Hill Education.
Longley, P., Goodchild, M., Maguire, D., & Rhind, D. (2015). Geographic
Information Science & Systems. John Wiley & Sons.
Lukito, R. (2018). Reformasi birokrasi di Indonesia: Sebuah tinjauan
kebijakan dan pelaksanaannya. Jurnal Bina Praja: Journal of Home
A�airs Governance, 10(2), 127-138.
Lynn, L. E., & Hill, C. J. (2020). Public Management: A �ree-Dimensional
Approach. Routledge.
March, J. G., & Olsen, J. P. (1976). Ambiguity and choice in organizations.
Universitetsforlaget.

154MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
March, J. G., & Olsen, J. P. (1989). Rediscovering institutions: �e
organizational basis of politics. Simon and Schuster.
Mardiasmo. (2014). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Mardiasmo. (2015). Akuntansi Sektor Publik. Rajawali Pers.
Mardiyono, & Umiyati, N. (2016). �e performance measurement
system of public organizations in Indonesia: an exploratory study.
International Journal of Public Sector Performance Management,
3(4), 314-334.
Martin, L. L., & Rosenbloom, D. H. (2012). Public administration: An
action orientation (7th ed.). Wadsworth Publishing.
Maslach, C., & Leiter, M. P. (1997). �e truth about burnout: How
organizations cause personal stress and what to do about it. Jossey-
Bass.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review,
50(4), 370-396.
McAllister, D. J. (1995). A�ect- and cognition-based trust as foundations
for interpersonal cooperation in organizations. Academy of
Management Journal, 38(1), 24-59.
Meier, K. J. (2019). Public Administration: �e Interdisciplinary Study of
Government. Oxford University Press.
Meijer, A. J. (2015). Understanding modern governmentality: �e rise
of bureaucracy in the Netherlands. Public Administration Review,
75(6), 887-897.
Méon, P. G., & Sekkat, K. (2005). Does corruption grease or sand the
wheels of growth? Public choice, 122(1-2), 69-97.
Merton, R. K. (1957). Bureaucratic structure and personality. Social forces,
35(4), 295-308.
Meyer, J. W., & Rowan, B. (1977). Institutionalized organizations: Formal
structure as myth and ceremony. American Journal of Sociology,
83(2), 340-363.
Mintzberg, H. (1983). Structure in 5’s: A synthesis of the research on
organization design. Management Science, 29(5), 536-553.
Moe, T. M. (1989). �e politics of structural choice: Toward a theory of
public bureaucracy. Journal of Law, Economics, & Organization,
5(2), 289-327.
Moon, M. J. (2002). �e Evolution of E-Government among Municipalities:
Rhetoric or Reality?. Public Administration Review, 62(4), 424-433.

155DAFTAR PUSTAKA
Mulgan, G. (2006). Social innovation: What it is, why it matters, and how
it can be accelerated. Oxford University Press.
Niskanen, W. A. (1971). Bureaucracy and representative government.
Aldine Transaction.
Noe, R. A. (2013). Employee training and development. McGraw-Hill
Education.
Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2017). Human
Resource Management: Gaining a Competitive Advantage. McGraw-
Hill Education.
Norris, D. F., & Reddick, C. G. (2013). �eories of e-government: A
review focusing on public value-oriented perspectives. Government
Information Quarterly, 30(Supplement 1), S35-S51.
Norris, P. (2001). Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty,
and the Internet Worldwide. Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2003). Capabilities as Fundamental Entitlements: Sen
and Social Justice. Feminist Economics, 9(2-3), 33-59.
OECD. (2014). �e Measurement of Government Output and Productivity
for the National Accounts. OECD Publishing.
Oliver, R. L. (1980). A cognitive model of the antecedents and consequences
of satisfaction decisions. Journal of Marketing Research, 17(4), 460-
469.
Oreg, S., Vakola, M., & Armenakis, A. (2013). Change recipients’ reactions
to organizational change: A 60-year review of quantitative studies.
Journal of Applied Behavioral Science, 49(1), 6-32.
O’Reilly, C. A., Chatman, J., & Caldwell, D. F. (1991). People and
organizational culture: A pro�le comparison approach to assessing
person-organization �t. Academy of Management Journal, 34(3),
487-516.
Osborne, S. P. (2010). �e new public governance? Emerging perspectives
on the theory and practice of public governance. International
Public Management Journal, 13(3), 283-333.
Osman, N. M., & Jaafar, A. (2017). E-Budgeting: A Conceptual Study in the
Malaysian Government Sector. International Journal of Economics,
Commerce and Management, 5(2), 8-13.
O’Toole Jr, L. J. (2000). Research on policy implementation: Assessment
and prospects. Journal of Public Administration Research and
�eory, 10(2), 263-288.

156MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Ouchi, W. G. (1979). A conceptual framework for the design of
organizational control mechanisms. Management Science, 25(9),
833-848.
Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1985). A conceptual
model of service quality and its implications for future research.
Journal of Marketing, 49(4), 41-50.
Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1988). SERVQUAL: A
multiple-item scale for measuring consumer perceptions of service
quality. Journal of Retailing, 64(1), 12-40.
Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1994). Reassessment
of expectations as a comparison standard in measuring service
quality: Implications for further research. Journal of Marketing,
58(1), 111-124.
Perry, J. L., & Wise, L. R. (1990). �e motivational bases of public service.
Public Administration Review, 50(3), 367-373.
Peters, B. G. (2018). �e Politics of Bureaucracy (7th ed.). Routledge.
Peters, B. G. (2018). �e politics of bureaucracy: An introduction to
comparative public administration. Routledge.
Peters, B. G., & Pierre, J. (2015). Handbook of public administration. SAGE
Publications.
Petruzzellis, L., D’Uggento, A. M., & Romanazzi, S. (2006). Measuring
service quality in the automotive industry: A validity study in a
multi-country context. Managing Service Quality: An International
Journal, 16(4), 410-428.
Pitsis, T., Clegg, S., Marosszeky, M., & Rura-Polley, T. (2003). Constructing
the Olympic dream: A future perfect strategy of project management.
Organization Science, 14(5), 574-590.
Podsako�, P. M., MacKenzie, S. B., & Podsako�, N. P. (2018). �e
Leadership Quarterly: State of the Science and New Directions.
Journal of Leadership & Organizational Studies, 25(1), 10-38.
Pollitt, C. (1993). Managerialism and the public services: �e Anglo-
American experience. Oxford University Press.
Pollitt, C., & Bouckaert, G. (2011). Public management reform: A
comparative analysis. Oxford University Press.
Pollitt, C., & Bouckaert, G. (2017). Public Management Reform: A
Comparative Analysis (4th ed.). Oxford University Press.
Prasetyo, A. (2009). Manajemen Kinerja Sektor Publik. Erlangga.

157DAFTAR PUSTAKA
Prasojo, E. (2012). Rational Choice �eory in Bureaucratic Reform:
A Study on the In�uence of Individual Interests on Bureaucratic
Reform Process in Indonesia. International Journal of Business and
Social Science, 3(13), 224-234.
Purwanto, B. (2012). Analisis Biaya Manfaat Pelayanan Publik. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN.
Radnor, Z., & Walley, P. (2008). Learning to Walk Before We Run: �e
Importance of Lean �inking in Healthcare. �e International
Journal of Public Sector Management, 21(4), 372-384.
Rafaeli, A., & Sutton, R. I. (1987). Expression of emotion as part of the
work role. Academy of Management Review, 12(1), 23-37.
Ragin, C. C., & Becker, H. S. (1992). What is a case? Exploring the
foundations of social inquiry. Cambridge University Press.
Rahim, M. A., et al. (2014). Impact of Tangible Service Quality on
Perceived Service Quality and Customer Satisfaction in Public and
Private Banks in India. Global Journal of Commerce & Management
Perspective, 3(4), 80-88.
Rahman, M., & Kamaruddin, B. (2012). Service Quality and its Impact on
Customer Satisfaction towards Bureaucratic Service. World Applied
Sciences Journal, 18(4), 556-566.
Rahman, S. M., Wahid, N. H. A., & Ahmed, V. (2018). Impact of electronic
document management system (EDMS) on organizational
productivity: A case study of healthcare industry in Malaysia.
Procedia Computer Science, 143, 48-55.
Rainer, R. K., & Cegielski, C. G. (2011). Introduction to information
systems: Supporting and transforming business. John Wiley & Sons.
Rainey, H. G. (2009). Understanding and Managing Public Organizations
(4th ed.). John Wiley & Sons.
Rajasekar, J. (2016). Factors in�uencing bureaucratic e�ciency: Evidence
from India. International Journal of Public Administration, 39(3),
214-225.
Riketta, M., & Van Dick, R. (2005). Foci of attachment in organizations:
A meta-analytic comparison of the strength and correlates of
workgroup versus organizational identi�cation and commitment.
Journal of Vocational Behavior, 67(3), 490-510.
Robbins, S. P., Coulter, M., & DeCenzo, D. A. (2017). Fundamentals of
Management (11th ed.). Pearson.

158MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Robeyns, I. (2005). �e Capability Approach: A �eoretical Survey.
Journal of Human Development, 6(1), 93-114.
Rokeach, M. (1973). �e nature of human values. Free Press.
Romzek, B. S., & Ingraham, P. W. (Eds.). (2016). Cross-Cutting Issues in
Public Administration. Routledge.
Rowe, G., & Frewer, L. J. (2004). Evaluating Public-Participation Exercises:
A Research Agenda. Science, Technology, & Human Values, 29(4),
512-556.
Sabatier, V., & Mangematin, V. (2007). Building argumentative strategies
in public–private partnerships for R&D: �e role of boundary
objects and public–private interfaces. Research Policy, 36(4), 557-
72.
Saunders, M. N., Lewis, P., & �ornhill, A. (2019). Research methods for
business students. Pearson Education.
Scholl, H. J., & Stoyanovich, J. (2012). Electronic Government Reference
Models: Challenges and Opportunities. In EGOVIS/EDEM (pp. 101-
111). Springer.
Scholtes, P. R. (1998). �e leader’s handbook: Making things happen, getting
things done. McGraw-Hill.
Schön, D. A. (1983). �e re�ective practitioner: How professionals think in
action. New York, NY: Basic Books.
Schware, R. (2000). Using information technology in public administration:
A global perspective. In Public Administration in an Information Age:
A Handbook (pp. 285-298). CRC Press.
Schwartz, S. H. (1994). Beyond individualism/collectivism: New cultural
dimensions of values. In U. Kim, H. C. Triandis, Ç. Kagitcibasi, S.-
C. Choi, & G. Yoon (Eds.), Individualism and collectivism: �eory,
method, and applications (pp. 85-119). Sage Publications.
Scott, R. W. (2014). Institutions and organizations: Ideas, interests, and
identities. Sage Publications.
Scott, W. R. (2008). Organizations and Organizing: Rational, Natural, and
Open System Perspectives. Pearson Education.
Seiford, L. M., & �rall, R. M. (1990). Recent developments in DEA: �e
mathematical programming approach to frontier analysis. Journal
of econometrics, 46(1-2), 7-38.
Sen, A. (1999). Development as Freedom. Anchor Books.

159DAFTAR PUSTAKA
Setyawati, R. S. (2018). Masyarakat dan E�siensi Birokrasi: Tinjauan
Kebijakan Pelayanan Publik di Indonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
FEB, 3(1), 1-11.
Smith, G. (2009). Democratic innovations: Designing institutions for citizen
participation. Cambridge University Press.
Soekartawi. (2009). Analisis Biaya-Manfaat dan Pengambilan Keputusan
Investasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Spreng, R. A., & Mackoy, R. D. (1996). An empirical examination of a
model of perceived service quality and satisfaction. Journal of
Retailing, 72(2), 201-214.
Sridhar, K., & Venkataiah, S. (2019). E-Budgeting System: A Comprehensive
Review of Electronic Budgeting Systems. International Journal of
Scienti�c Research and Management Studies, 6(1), 68-72.
Suharto, E. (2018). �e role of training and accountability in improving
public service performance in Indonesia. International Journal of
Economics, Commerce and Management, 6(10), 164-171.
Suharyono. (2015). Analisis Biaya-Manfaat Proyek Infrastruktur. Jakarta:
Penerbit Rajawali Press.
Sureshchandar, G. S., Rajendran, C., & Anantharaman, R. N. (2002). �e
relationship between service quality and customer satisfaction–a
factor speci�c approach. Journal of Services Marketing, 16(4), 363-
379.
Sutisna, I., & Haryanto, E. (2019). Implementation of Personnel
Management Information System (SIMPEG) in Improving
Employees Data Management at the O�ce of Banyumas Regency.
Journal of Social Sciences and Humanities, 8(4), 118-126.
Svara, J. H. (2015). Responsive bureaucracy: A new paradigm for
government. Routledge.
Tams, S., & Arthur, M. B. (2010). �e Handbook of Career Studies. SAGE
Publications.
�amhain, H. J. (2017). Team building and collaboration. Wiley
Encyclopedia of Management, 1-4.
�omas, J. W. (2000). A review of research on project-based learning.
California: �e Autodesk Foundation.
�ompson, J. D. (1967). Organizations in Action: Social Science Bases of
Administrative �eory. McGraw-Hill.

160MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
�ornhill, A., & Fowler, A. (2000). “Taking a critical approach to evidence-
based practice: �e case of Project 2000 nurse education.” Journal of
Advanced Nursing, 31(1), 57-66.
Tiebout, C. M. (2019). Bureaucratic e�ciency and the regulatory
environment. Journal of Public Economics, 177, 1-1.
Transparency International. (2021). Corruption Perception Index. Diakses
dari https://www.transparency.org/en/cpi
Treisman, D. (2000). �e causes of corruption: a cross-national study.
Journal of Public Economics, 76(3), 399-457.:
UN DESA. (2016). E-Government Survey 2016: E-Government in Support
of Sustainable Development. United Nations Department of Economic
and Social A�airs.
UN E-Government Survey 2022. United Nations. Diakses pada 10 Mei
2023 dari https://publicadministration.un.org/egovkb/en-us/
Reports/UN-E-Government-Survey-2022
UNDESA. (2018). E-government survey 2018: Gearing e-government to
support transformation towards sustainable and resilient societies.
United Nations Department of Economic and Social A�airs.
UNDP. (2017). E�ective Public Service Delivery and Ethical Governance:
Key Elements in Implementing the Sustainable Development Goals.
United Nations Development Programme.
UNDP. (2017). Innovation in Government: �e New Normal. United
Nations Development Programme. Diakses dari https://www.
undp.org/content/dam/undp/library/Democratic%20Governance/
Publications/Innovation-in-Government/Innovation-in-
Government-�e-New-Normal.pdf
United Nations. (2002). E-government survey 2002: E-government for
development. United Nations Department of Economic and Social
A�airs.
United States Geological Survey. (n.d.). GIS Data. Diakses pada 12 Juni
2023, dari https://www.usgs.gov/core-science-systems/ngp/gap/
data-and-tools/gis-data
Valmohammadi, C., & Abbaspour, A. (2015). Decision-making in
organizations. International Journal of Academic Research in
Business and Social Sciences, 5(2), 72-84.

161DAFTAR PUSTAKA
Van Dyke, T. P., Kappelman, L. A., & Prybutok, V. R. (1997). Measuring
information systems service quality: Concerns on the use of the
SERVQUAL questionnaire. MIS Quarterly, 21(2), 195-208.
Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). �e Policy Implementation
Process: A Conceptual Framework. Administration & Society, 6(4),
445-488.
Velev, D., & Ivanov, S. (2016). E-Budgeting Implementation and Impacts:
A Comparative Analysis of Experiences in Central and Eastern
Europe. Procedia Computer Science, 100, 1027-1036.
Verba, S., Schlozman, K. L., & Brady, H. E. (1995). Voice and Equality:
Civic Voluntarism in American Politics. Harvard University Press.
Vroom, V. H. (1964). Work and motivation. Wiley.
Wang, Y., & Chen, Y. (2012). Transparency in local governance and
its impact on public trust in Taiwan. International Review of
Administrative Sciences, 78(1), 50-75.
Wanous, J. P., & Lawler, J. J. (1972). Relationship between job satisfaction
and job performance: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology,
57(3), 259-271.
Weber, M. (1947). �e theory of social and economic organization (A. M.
Henderson & T. Parsons, Trans.). Free Press.
Weber, M. (1968). Economy and society: An outline of interpretive sociology.
University of California Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology.
University of California Press.
Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology
(G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.
Weber, R. P. (1990). Basic content analysis (Vol. 49). Sage.
West, D. M. (2004). E-government and the transformation of service
delivery and citizen attitudes. Public Administration Review, 64(1),
15-27.
West, D. M. (2005). Digital Government: Technology and Public Sector
Performance. Princeton University Press.
West, J., & Bogers, M. (2014). Leveraging external sources of innovation:
a review of research on open innovation. Journal of Product
Innovation Management, 31(4), 814-831.
West, M. A., & Farr, J. L. (1990). Innovation and creativity at work:
Psychological and organizational strategies. John Wiley & Sons.

162MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
West, M. A., & Farr, J. L. (1990). Innovation at work: Psychological
perspectives. Social Behavior and Personality: An International
Journal, 18(1), 5-12.
Wijaya, D., & Abdullah, S. (2017). Implementation of Personnel
Management Information System (SIMPEG) at the Regional
Secretariat of Boyolali Regency. Journal of Public Administration,
3(3), 27-38.
Womack, J. P., Jones, D. T., & Roos, D. (2007). �e Machine �at Changed
the World: �e Story of Lean Production—Toyota’s Secret Weapon in
the Global Car Wars �at Is Now Revolutionizing World Industry.
Free Press.
Woodward, J. (1965). Industrial organization: �eory and practice. Oxford,
UK: Oxford University Press
World Bank. (1996). Participation Sourcebook. World Bank.
World Bank. (2016). World development report 2016: Digital dividends.
World Bank Publications.
World Bank. (2018). Digital Government Transformation in Indonesia:
Towards Better Public Service Delivery. World Bank Group.
World Bank. (2020). World Development Report 2021: Data for Better
Lives. World Bank Publications.
Yamin, M., & Agarwal, R. (2019). Achieving Responsive Governance
through E-Government: A Comparative Study of Singapore and
Malaysia. Government Information Quarterly, 36(3), 469-479.
Yang, K., & Pandey, S. K. (2017). �e impact of transparency on trust
in government: A cross-national comparative experiment. Public
Administration Review, 77(4), 574-586.
Yin, R. K. (2017). Case study research and applications: Design and
methods. Sage Publications.
Yusof, N. M., Abdullah, N. S., & Othman, Z. (2020). User-Centered
Design in the Innovation Lab: A Systematic Literature Review.
International Journal of Innovation, Creativity and Change, 14(6),
1021-1034.
Zeithaml, V. A., Berry, L. L., & Parasuraman, A. (1993). �e nature and
determinants of customer expectations of service. Journal of the
Academy of Marketing Science, 21(1), 1-12.
Zeithaml, V. A., Berry, L. L., & Parasuraman, A. (1996). �e behavioral
consequences of service quality. Journal of Marketing, 60(2), 31-46.

163DAFTAR PUSTAKA
Zeithaml, V. A., Bitner, M. J., & Gremler, D. D. (2018). Services marketing:
Integrating customer focus across the �rm. McGraw-Hill Education.
Zeithaml, V. A., Parasuraman, A., & Berry, L. L. (1988). SERVQUAL: A
multiple-item scale for measuring consumer perceptions of service
quality. Journal of Retailing, 64(1), 12-40.
Zhang, L., & Olfman, L. (2017). Beyond IT innovation labs: Enabling
collaborative innovation across organizational boundaries. Journal
of Management Information Systems, 34(4), 1160-1191.
Zhang, Y., & Wu, X. (2019). Social media use and political participation:
A meta-analysis. New Media & Society, 21(7), 1563-1585.
Fikri, Z. (2020). Collaborative Governance: Penguatan Peran Pemerintah
dalam Mengatasi Pandemi Covid 19. Dalam Gotong Royong
Mengahdapi Pandemi Covid, 19.
Tahirs, J. P. JEMMA| JURNAL OF ECONOMIC, MANAGEMENT, AND
ACCOUNTING.
Rivai, N. I. (2020). Implementation of the Supervision Function on
Public Sector Employees (Study at PT. PLN's South Sulawesi,
Southeast Sulawesi and West Sulawesi Regions). Jurnal Ilmiah Ilmu
Administrasi Publik: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi
Publik, 10(1), 159-164.

164MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

165
A
administratif,1, 2, 68, 89, 101, 102,
118, 119
Amartya Sen,94, 95
audit,68, 70, 110
B
birokrasi,iii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28,
29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37,
38, 39, 40, 51, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 77, 78,
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92, 101, 102, 103,
104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 113, 114, 115, 116, 117, 118,
119, 121, 122, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 135, 136, 137,
138, 139, 140, 141, 142, 153
C
change,7, 144, 145, 146, 149, 151,
155
cost-e�ectiveness,8
E
efektivitas,1, 5, 6, 9, 25, 52, 54, 56,
57, 59, 60, 62, 71, 72, 73, 74, 75,
81, 82, 86, 108, 109, 113, 116,
121, 138, 140
e�siensi,iii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28,
29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 39, 40,
42, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,
59, 60, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 70,
71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79,
80, 81, 82, 87, 102, 103, 105, 106,
108, 109, 113, 115, 121, 123, 132,
133, 135, 136, 137, 138, 139
Everett M. Rogers,104
F
feedback,6, 146
H
hierarki,1, 2, 4, 35
Howard Barrows,75
I
independensi,2, 3
INDEKS

166MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
inovasi,iii, 5, 26, 27, 31, 32, 34, 35,
36, 37, 38, 48, 52, 76, 88, 89, 104,
112, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 119
institusi,9, 35, 59, 60, 61, 75, 90, 107
Internet of �ings,104, 105, 106
K
kompetitif,3, 29, 132
kontingensi,4, 5, 25, 26, 71, 72
kreativitas,5, 35, 114, 115, 119
L
legitimasi,9, 12, 53, 58, 60, 68, 81,
84, 86, 90, 91, 107, 108, 117
Leighninger,91
M
meritokrasi,2, 3, 13
N
Nabatchi,91
O
objektif,2, 9, 15, 66, 110, 137, 138,
140, 141
OneService,102, 103
P
principal-agent,3, 4
project-based learning,79, 146, 159
R
real-time,61, 68, 70, 91, 102, 103,
106
representatif,18, 112, 123, 124
S
SKM,11
stabilitas,iii, 33, 35, 37
T
TIK,54, 87, 91, 104
W
Weberian,1, 2, 3, 107, 148

167
BIOGRAFI PENULIS
Dr. Nur Ilmiah Rivai S.IP, M.Si.
Lahir di Makassar. Lulus S3 di Program Studi Ilmu
Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Negeri
Makassar 2020. Saat ini sebagai Dosen di Universitas
Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang pada Program
Studi Ilmu administrasi Negara FISIP.
Jemi Pabisangan Tahris, S.E, M.Si.
Lahir di Makassar, 22 Juni 1972. Lulus S2 di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin tahun
2007. Sementara menyelesaikan S3 Ilmu ekonomi di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Saat ini sebagai Dosen di Fakultas Ekonomi Prodi
Manajemen di Universitas Kristen Indonesia Toraja.
Bukhari Muslim, S.E., M.M., M. Si.
Lahir di Dompu, 30 Mei 1976. Lulus S1 Ilmu
Manajemen pada STIE Kalpataru, Lulus S2 pada STIE
IPWIJA dan Lulus S2 berikutnya pada Universita
Krisnadwipayana di Program Studi Ilmu Administrasi
tahun 2020. Saat ini sebagai Dosen di STIE Kalpataru.

168MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Zakiyudin Fikri, S.I.P.,M.I.P.
Lahir di Bangka, 04 April 1992. Lulus S2 di Program
Studi Ilmu Pemerintahan Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2017.
Pengalaman Kerja: Pengalaman kerja tahun
2014 – 2017 Menjadi Staf Bidang Riset pada PT.
Sinergi Visi Utama dan CV. Aghna Partnership. pada
Tahun 2018 – 2020 menjadi Fasilitaror pemerintah
Desa pada Kementerian Desa dan PDTT. Tahun 2017 - Saat ini sebagai
Dosen di STISIPOL Pahlawan 12 pada Program Studi Ilmu administrasi
Negara.