Kontrak Perkuliahan M ahasiswa wajib mengikuti perkuliahan tepat waktu. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 15 menit setelah perkuliahan dimulai tidak diperkenankan mengikuti perkuliahan. Mahasiswa wajib memperhatikan dan memantau kehadiran data presensi perkuliahan pada aplikasi Siakad Untan. Konfirmasi terhadap kesalahan input data kehadiran perkuliahan hanya diperbolehkan selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Mahasiswa yang tidak hadir karena alasan yang dibenarkan menurut peraturan seperti : Sakit, pelaksanaan tugas institusi, perintah atau panggilan wajib dari institusi yang berwenang, menyerahkan surat keterangan/tugas/perintah/panggilan atau bukti lainnya kepada dosen mata kuliah selambat-lambatnya pada hari perkuliahan berikutnya. Jika dosen tidak dapat hadir pada jadwal yang telah ditetapkan karena sesuatu hal, maka dosen diwajibkan memberikan informasi kepada mahasiswa paling lambat 1 hari sebelum jadwal perkuliahan.
Apabila dosen tidak hadir setelah 20 menit dari jadwal kuliah, mahasiswa berhak menghubungi dosen dengan menanyakan kepada petugas waskat/ piket perkuliahan tentang perkuliahan dilaksanakan atau tidak. Jika dosen tidak datang dalam waktu 2 x 20 menit dari jadwal perkuliahan maka mahasiswa berhak tidak mengikuti perkuliahan pada waktu tersebut dan perkuliahan dianggap tidak dilaksanakan. Mahasiswa wajib menyerahkan tugas-tugas kelompok atau individual yang dibebankan dosen pada waktu yang telah disepakati bersama sebagaimana dalam jadwal perkuliahan. Mahasiswa harus berpakaian rapi dan sopan (Menggunakan pakaian berkerah, menggunakan pakaian yang tertutup dan pantas menurut norma kesusilaan dan kesopanan, menggunakan sepatu ketika perkuliahan). Mahasiswa dilarang menyalakan nada dering handphone (HP), makan, merokok pada saat perkuliahan berlangsung. Penggunaan perangkat elektronik seperti Handphone, Laptop, Tablet, Komputer Desktop, diperkenankan selama perkuliahan selama digunakan untuk kepentingan pembelajaran.
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Pengertian Hukum Acara : Hukum acara (hukum formil ) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil , oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil .
Hubungan Hukum Acara Peradilan Agama Dengan Hukum Acara Perdata Berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut , oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama . Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
Hukum Acara Peradilan Agama Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman . Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman .
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 2 disebutkan : “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama , dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama . Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang cerai talak, cerai gugat dan cerai karena alasan zina.
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan , melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara ) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA SUMBER UTAMA HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA : HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum). Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004. tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 . yang telah diganti dengan UU No. 16/2019 tentang Perkawinan Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004. tentang Mahkamah Agung Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan no. 50 tahun 2009. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan
PP Nomor 9 Tahun 1975 Pelaksanaan UU Perkawinan RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering). Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. Peraturan Mahkamah Agung Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Surat Edaran Mahkamah Agung. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih, DLL
SUMBER UTAMA HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA: Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Undang-Undang perkawinan No. 16 tahun 2019 per. UU No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 per-ke2 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ttg Pelaksanaan Peradilan Agama. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang PERWAKAFAN TANAH MILIK . Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 TAhun 1987 tentang Wali Hakim. Yuriprudensi. Doktrin/Ilmu Pengetahuan Hukum dalam Kitab-kitab Fiqih. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan Agama. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama. Dll.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Undang-Undang No 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Undang Undang No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Peraturan Menteri Keuangan ( Permenkeu ) No. 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas Umum Kewenangan Peradilan Agama
Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Asas Ketuhanan Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
Asas Fleksibelitas Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Asas Non Ekstra Yudisial Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
Asas Legalitas Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama Asas Personalitas Ke-islaman Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Asas Ishlah (Upaya perdamaian) Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
Asas Terbuka Untuk Umum Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan sidang tertutup . Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
Asas Equality Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya , sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah : a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law” . b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law” c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
Asas “Aktif” memberi bantuan Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama .
Asas Upaya Hukum Banding Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
Asas Upaya Hukum Kasasi Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung , apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut , memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Kewenangan Mengadili Peradilan Agama
Tugas Pokok Badan Peradilan Agama Menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: Perkawinan. Waris. Wasiat. Hibah. Wakaf. Zakat. Infaq. Shadaqoh. Ekonomi Syari’ah.
Tugas Lain Dari Badan Peradilan Agama Selain dari tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-peraturan lainnya yaitu : Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006). Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas lainnya.
BERACARA DI PERADILAN AGAMA Cara Mengajukan Tuntutan ke Pengadilan Agama Cara Beracara di Peradilan Agama Pelaksanaan Putusan
Cara Mengajukan Tuntutan ke Pengadilan Agama
Beracara di Peradilan Agama
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Sumber Buku
PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Samudra Pasai Perlak VS AGAMA ISLAM DI INDONESIA
Periode Pra-pemerintahan Hindia Belanda
Muncul Berbagai Istilah Peradilan Agama Aceh Mahkamah Syar’iyah Jeumpa Sumatera Utara Mahkamah Majelis Syara Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya Hakim Syara ’ atau Qadhi Kalimantan (Kalimantan Selatan) Kerapatan Qadhi atau Kerapatan Qadhi Besar Sumbawa Hakim Syara Bima (NTB) Badan Hukum Syara ’ Kerajaan Mataram Pengadilan Surambi
Fungsi Peradilan Agama : Lembaga yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara Perkawinan, Perceraian dan segala akibatnya serta masalah waris Lembaga Pemberi nasihat dan pertimbangan kepada sultan menurut Hukum Islam
Kriteria orang-orang Islam yang diadili oleh Pengadilan Agama 1. Apabila secara lahiriah berkumpul dan hidup bersama-sama orang-orang islam , tinggal bersama didaerah orang islam , dan sepergaulan dalam orang islam , maka orang itu adalah orang islam 2. Orang islam adalah orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat . 3. Dianggap orang islam apabila mengakui rukun imam. Percaya kepada Allah SWT Percaya kepada Malaikat Percaya kepada al- quran Percaya kepada rasulullah Percaya kepada hari kiamat Percaya kepada Qadha dan Qadhar 4. Melakukan syariat islam : Sholat 5 waktu , puasa dibulan ramadhan , berzakat dan haji bagi yang mampu .
Periode Transisi 20 Maret 1682
BERDAGANG MENJAJAH
HUKUM PERDATA ISLAM DIAKUI OLEH VOC DENGAN DIKELUARKANNYA RESOLUTIE DER INDISCHE REGELING TGL. 25 MEI 1760 Terdapat aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam (Compendium Freijer ) yang digunakan pada Pengadilan VOC.
Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845 - 1927) Periode Pemerintahan Hindia (1882-1937) Muncul Teori Receptie In Complexu Adanya pemberian legitimasi yuridis oleh Pemerintah Hindia Belanda bagi berdirinya Pengadilan Agama di Indonesia. ( Regeerings Reglement (RR) : Stbl . 1855 No. 02, Pasal 75, 78 dan 109)
Regeerings Reglement (RR) : Stbl. 1855 No. 02, Pasal 75, 78 dan 109 Pasal 75 Ayat 3 Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU agama ( godsdienstige wetten ) dan kebiasaan penduduk Indonesia Pasal 75 Ayat 4 UU Agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim eropa pada pengadilan yang lebih tinggi , bila terjadi pemeriksaan banding. Pasal 78 Ayat 2 Dalam hal terjadi perkara perdata antar sesama orang-orang indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka , maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama ( godsdienstige wetten ) atau ketentuan lama mereka , Pasal 109 Ketentuan termasuk dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “ inlander ” yaitu orang arab , orang moor, orang cina dan semua mereka yang beragama islam dan orang-orang yang tidak beragama
Lahirnya Stbl. 1882 William III of the Netherlands Pengadilan Agama pertama di Indonesia dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit) Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152, terdiri dari 7 pasal. Keputusan Raja Belanda tersebut dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Agustus 1882 berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor 153. Pemerintah Hindia Belanda mengatur kewenangan absolut peradilan agama dalam Staatsblad 1937 Nomor 116 tanggal 1 April 1937 meliputi: nikah, talak, rujuk, mahar dan tuntutan nafkah . https://www.pta-jakarta.go.id/tentang-pengadian/sejarah-pengadilan
Staatsblad 1882 no. 152, berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut : Di samping setiap Landraad ( Pengadilan Negeri ) di Jawa dan Madura diadakan suatu Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum Landraad ; Pengadilan Agama terdiri atas ; penghulu yang diperbantukan kepada Landraad sebagai ketua . Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota . Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur / residen ; Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan , kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota termasuk ketua . Kalau suara sama banyak , maka suara ketua yang menentukan ; Psl.4-7
Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasannya yang singkat , juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan . Dalam beperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang beperkara ; Kepada pihak-pihak yang beperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua ; Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian ( visum ) dan pengukuhan ; Keputusan Pengadilan Agamayang melampaui batas wewenang / kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan Ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku . Lanjutan Staatsblad 1882 no. 152
Cornelos Van Vollenhoven Bapak Hukum Adat Christiaan Snouck Hurgronje Pencetus Teori Reseptie Tokoh Penentang Teori Receptie In Complexu
http://deerham.com/strategi-snouck-hurgronje-membentuk-sekularisme/ 1. Pemisahan Adat dan Ritual Keagamaan 2. Pemberian Gelar Haji Untuk Mengontrol Pemberontakan 3. Membangun Kader Kader Lokal Berjiwa Pendidikan Barat 4. Kriminalisasi: Merusak peran ulama dan Dekontruksi Image dari Ulama dan Syariat 5.Deislamisasi Sejarah Nusantara 6 “Theorie Receptie”: Mengutamakan hukum adat diatas syariat
Teori Receptie merubah atau menggantikan Teori Receptie in Complexu yang terkandung didalam pasal 178 : 2 LL Stbl 1.1855 (2) yang kemudian menjadi pasal 134 : 2 (IS). Dari Regeerings Reglement (RR) berubah menjadi Indishe Staatsregeling pada Tahun 1919 Pasal 134 (2) IS : “ Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam akan diselesaikan oleh hakim agama islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi . “ Arti pasal ini adalah bahwa hukum islam dapat berlaku kelau telah diresepsi oleh hukum adat .
Hazairin Penentang Teori Receptie Teori Receptie adalah Teori IBLIS yang menentang Al-Quran dan Sunnah Rasul
Periode Penjajahan Jepang Tahun 1942 adalah Tahun Indonesia diduduki oleh Jepang Peradilan Agama pada waktu itu, hanya merubah nama dari Pengadilan Agama berubah menjadi Sooryoo Hooin dan Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama) berubah menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin
Periode Awal Kemerdekaan
Tahun 1945-1957 Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang .” Pasal 29 UUD 1945 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa . Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu . Munculnya Teori Receptio a Contario lawan dari Teori Receptie Pasal 29 UUD 1945 menghapus Pasal 134 (2) IS : “ Hukum Adat baru berlaku kalau diperbolehkan oleh Agama Islam. “( Hazairin )
1. Dengan Peraturan Pemerintah No. V SD 25 Maret 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementerian Kehakiman dipindahkan ke Kementerian Agama . Yakni pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian ( sekarang Departemen Agama). 2. UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah , Talak dan Rujuk , untuk Jawa dan Madura 3. UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan 4. Masa Indonesia RIS, adanya Peradilan Federal dan Daerah Bagian 5. Masa UUDS Tahun 1950 dan UU No. 7 Tahun 1950, bidang peradilan tetap sebagaimana masa RIS. 6. UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan , Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil , Keberadaan Peradilan Agama ditetapkan merupakan bagian dari peradilan swapraja terutama bagi daerah selain Jawa , Madura dan Kalimantan Selatan. 7. UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak Rujuk diseluruh Daerah Luar Jawa dan Madura Rentang waktu 12 Tahun (1945-1957) ada 7 hal yang dapat diungkap terkait peradilan agama :
Tahun 1957 Dikeluarkan PP No. 45 Tahun 1947 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah didaerah luar pulau Jawa dan Madura, kecuali daerah sekitar Banjarmasin. Jawa dan Madera Stbl . 1882 No. 152 Jo. Stbl . 1937 No. 610 Stbl . 1937 No. 116 Kalimantan Selatan dan Timur Stbl . 1937 No. 638 dan No. 639 Luar Jawa dan Madura PP No. 45 Tahun 1957 Mahkamah Islam Tinggi ( Provinsi ) Kerapatan Kadi Besar Mahkamah Syar’iyah Provinsi Priesterrad Pegadilan Agama Kerapatan Kadi Mahkamah Syar’iyah Struktur Organisasi Peradilan Agama
Tahun 1957-1974 Dikeluarkannya UU No. 14Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Prinsip Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“ ( Psl . 4 ayat 1). dan Peradilan dilakukan dengan sederhana , cepat dan biaya ringan ( Psl . 4 ayat 2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan ; a. Peradilan Umum ; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer ; d. Peradilan Tata Usaha Negara. ( Psl . 10 ayat 1) Kasasi berada ditangan MA untuk semua Lingkung Peradilan Negara ( Psl 10 ayat 2,3, dan 4) Badan-badan peradilan ( diluar lingkungan Departemen Kehakiman secara organisatoris , administrative, dan finansial tetap berada dibawah kekuasaan masing-masing departemen ( Psl . 11 ayat 1) Susunan Kekuasaan dan Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut diatur dalam UU tersendiri ( Psl . 12)
Tahun 1974-1989 Lahir UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing . ( Psl . 2 ayat 1) Perkawinan harus dicatat . ( Psl 2 ayat 2) Ada 6 alasan perceraian ( Penjelasan Pasal 39 ayat 2) Lahirnya PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Psl . 63 ayat 1 a. Peradilan Agama bagi mereka yang beragama islam b. Peradilan Umum bagi yang lainnya . Psl . 63 ayat 2 Setiap putusan Pengadilan Agama dikukuhkan Pengadilan Negeri . ( masih berpengaruh teori Reseptie )
Lahirnya Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 “ Nama pengadilan agama yang berbeda-beda untuk seluruh Indonesia diseragamkan dengan sebutan atau istilah “ Pengadilan Agama” untuk pengadilan tingkat pertama dan “ Pengadilan Tinggi Agama” untuk untuk pengadilan tingkat Banding untuk seluruh Indonesia.” Lahirnya UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Keputusan Menteri Agama No. 28 Tahun 1972 tentang Penetapan Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan Tertinggi . Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana yang dimaksud dalam ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkung peradilan , yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya .
Tahun 1989-1999 Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Disusul : SE MA No. 1 Tahun 1990, Tgl. 12 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai Pasal 84 ayat 4 UU No. 7 Tahun 1989 “Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.” SE MA No. 2 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1989 . Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebar Luasan Komplikasi Hukum Islam. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
Point PENTING didalam UU No. 35 Tahun 1999 “Pasal 1 angka 2 ayat (2) mengatur selama belum dilakukan pengalihanmaka organisasi administrasi, dan finansial bagi Pengadilan Agama tetap berada dibawah kekuasaan Departemen Agama” Kini UU No. 35 Tahun 1999 telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Tujuan Terbentuknya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Terbentuknya UU Peradilan Agama tidak terlepas dari pada sejarah agama islam datang di Nusantara
Setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat , baik secara filosofis , sosiologis , maupun yuridis
Landasan Filosofis bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup , kesadaran , dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) . Landasan Sosiologis bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek . Landasan Yuridis Bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada , yang akan diubah , atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat .
Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang .” Pasal 29 UUD 1945 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa . Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu . Urgensi PA bermula :
Adanya keberagaman Nama2 PA berikut Putusan dari Peradilan Tersebut
Jawa dan Madera Stbl . 1882 No. 152 Jo. Stbl . 1937 No. 610 Stbl . 1937 No. 116 Kalimantan Selatan dan Timur Stbl . 1937 No. 638 dan No. 639 Luar Jawa dan Madura PP No. 45 Tahun 1957 Mahkamah Islam Tinggi ( Provinsi ) Kerapatan Kadi Besar Mahkamah Syar’iyah Provinsi Priesterrad Pegadilan Agama Kerapatan Kadi Mahkamah Syar’iyah Struktur Organisasi Peradilan Agama sebelum UU Peradilan Agama
Eksistensi Keberadaan Peradilan Agama Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama dibawah pengawasan landraad ( pengadilan negeri ). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk excecutoire verklaring ( pelaksanaan putusan ). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang . Mengurangi kompentensi pengadilan agama daIam bidang perselisihan harta benda , yang berarti masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri . Tidak adanya kewenangan yang seperti ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .
UU Pendahulu sebelum Lahirnya UU PA
1. Dengan Peraturan Pemerintah No. V SD 25 Maret 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementerian Kehakiman dipindahkan ke Kementerian Agama . Yakni pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian ( sekarang Departemen Agama). 2. UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah , Talak dan Rujuk , untuk Jawa dan Madura 3. UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan 4. Masa Indonesia RIS, adanya Peradilan Federal dan Daerah Bagian 5. Masa UUDS Tahun 1950 dan UU No. 7 Tahun 1950, bidang peradilan tetap sebagaimana masa RIS. 6. UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan , Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil , Keberadaan Peradilan Agama ditetapkan merupakan bagian dari peradilan swapraja terutama bagi daerah selain Jawa , Madura dan Kalimantan Selatan. 7. UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak Rujuk diseluruh Daerah Luar Jawa dan Madura Rentang waktu 12 Tahun (1945-1957) ada 7 hal yang dapat diungkap terkait peradilan agama :
Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementerian Kehakiman dipindahkan ke Kementerian Agama Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama Nikah , Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama. Pasal 6. (1) Dalam Negara Republik Indonesia ada tiga lingkungan peradilan , yaitu : Peradilan Umum . Peradilan Tata- usaha Pemerintahan . Peradilan Ketentaraan .
Pentingnya pembentukan PERADILAN AGAMA dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman
Point Penting UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan ; a. Peradilan Umum ; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer ; d. Peradilan Tata Usaha Negara. ( Psl . 10 ayat 1) Kasasi berada ditangan MA untuk semua Lingkung Peradilan Negara ( Psl 10 ayat 2,3, dan 4) Badan-badan peradilan ( diluar lingkungan Departemen Kehakiman secara organisatoris , administrative, dan finansial tetap berada dibawah kekuasaan masing-masing departemen ( Psl . 11 ayat 1) Susunan Kekuasaan dan Acara dari Badan-badan Peradilan tersebut diatur dalam UU tersendiri ( Psl . 12)
Munculnya Asas Personalitas Keislaman Cikal Bakal Lahirnya PA
Lahir UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing . ( Psl . 2 ayat 1) Perkawinan harus dicatat . ( Psl 2 ayat 2) Ada 6 alasan perceraian ( Penjelasan Pasal 39 ayat 2) Lahirnya PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Psl . 63 ayat 1 a. Peradilan Agama bagi mereka yang beragama islam b. Peradilan Umum bagi yang lainnya . Psl . 63 ayat 2 Setiap putusan Pengadilan Agama dikukuhkan Pengadilan Negeri . ( masih berpengaruh teori Reseptie )
Munculnya Aturan yang harus melegitimasi PA
Lahirnya Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 “ Nama pengadilan agama yang berbeda-beda untuk seluruh Indonesia diseragamkan dengan sebutan atau istilah “ Pengadilan Agama” untuk pengadilan tingkat pertama dan “ Pengadilan Tinggi Agama” untuk untuk pengadilan tingkat Banding untuk seluruh Indonesia.” Lahirnya UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Keputusan Menteri Agama No. 28 Tahun 1972 tentang Penetapan Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan Tertinggi . Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana yang dimaksud dalam ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkung peradilan , yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya .
Tahun 1989-1999 Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
RUU PA Telah Dimulai Dari Tahun 1961 (1961-1989)
PERSIAPAN PENYUSUNAN RUU PA Periode 1961-1971 Lahirnya UU No. 19/1964 Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman UU Peradilan Umum No. 13/1965 Adanya Peristiwa G.30.S/PKI Departemen Agama menghasilkan 2 RUU (RUU Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama serta RUU tentang Acara Peradilan Agama) Periode 1971-1981 Munculnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Periode 1981-1988 Adanya kesepakatan Menteri Agama dan Menteri Kehakiman tentang Hukum Acara Peradilan Agama ( Ketentuan Hukum Acara Bersifat Umum yang ada di PN dan Khusus yang berada di PA, cerai talak , cerai gugat dan Lian .
PEMBAHASAN 28 Januari 1989 – 14 Desember 1989 4 Tahapan Pembahasan : Pembahasan Pertama Urgensi PA sebagai salah satu peradilan dibawah MA tanpa membeda2kan agama berdasarkan ketuhanan yang maha esa dan wawasan kebangsaan Bhineka Tunggal Ika . Pembahasan Kedua Pandangan Umum fraksi2 ( Fraksi Karya Pembangunan (FKP), F. ABRI, F. PP dan F. PDI terkait masalah fundamental dari RUU PA yakni Ruang Lingkup dan Kewenangan PA). Pembahasan Ketiga Keberadaan PA ditingkat Kabupaten dan Provinsi (PT) Menegaskan wewenang PA dibidang Waris ( Hak Opsi ) Pembahasan Keempat Keputusan DPR untuk menyetujui RUU PA untuk disahkan menjadi UU.
Sistematika UU Peradilan Agama 7 BAB dan 108 Pasal Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Bab 2 Tentang Susunan Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama Bab 3 Tentang Kekuasaan Pengadilan dalam Lingkup Peradilan Agama Bab 4 Tentang Hukum Acara Peradilan Agama Bab 5 Tentang Ketentuan-Ketentuan Lain mengenai Administrasi Peradilan , Pembagian Tugas Para Hakim, Panitera melaksanakan Tugasnya Masing-masing Bab 6 Tentang Ketentuan Peralihan Bab 7 Tentang Ketentuan Penutup
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Tanggal 29 Desember 1989 Memuat 3 ( tiga ) Tujuan Utama : Untuk mempertegas posisi / kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana Judicial Power ( Kekuasaan Kehakiman ) Untuk menciptakan unifikasi hukum Peradilan Agama Untuk memurnikan Fungsi Peradilan Agama
PERBAIKAN DAN PENYEMPURNAAN DENGAN ADANYA UU PERADILAN AGAMA KESERAGAMAN NAMA LEMBAGA KESERAGAMAN TUGAS DAN WEWENANG EKSISTENSI SEMAKIN JELAS SEBAGAI PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN MANDIRI, TANPA PERLU EKSEKUTORIAL VERKLARING DARI PN TERDAPAT JURU SITA SEBAGAI PERLENGKAPAN YANG BERARTI MEMILIKI HUKUM ACARA (UMUM MAUPUN KHUSUS) MEMBERIKAN PERLINDUNGAN DAN PENINGKATAN KEDUDUKAN KAUM WANITA KUALITAS HAKIM MENGARAH KEPADA KUALITAS KERJA HAKIM SEBAGAI PROFESI MUJTAHID PENGEMBALIAN MASALAH WARIS MENJADI KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA (MESKIPUN BERSIFAT PILIHAN HUKUM)
Perbedaan Peradilan Agama dan Peradilan Islam
PERADILAN ISLAM PERADILAN AGAMA Adanya di negara-negara Islam Hanya ada di Indonesia hukum keluarga (al- akhwal al- syakhshiyah ), mu'amalah ( hukum perdata ) serta hukum jinayat ( pidana )( Murni Hukum Islam) Hanya Menangani Perkara Perdata Islam tertentu . Berlaku untuk orang islam dan non islam Hanya berlaku bagi orang islam Berdasarkan Al- quran dan Hadist serta Ijtihad dalam memutus suatu perkara Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan syariat islam dalam memutus suatu perkara