Auto-etnografi adalah salah satu metode dalam penelitian antropologi yang memusatkan subjek kajian pada peneliti sendiri.
Size: 155.46 KB
Language: none
Added: Sep 23, 2025
Slides: 15 pages
Slide Content
Auto- etnografi Kelompok 2 Monica Cravenetya Luckfi Nurcholis Sofiatul Hardiah
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Pada bagian ini, Buzard mengulas akar pembahasan mengenai auto-etnografi dari sudut pandang otoritasnya. Dia berfokus pada posisi auto-etnografi sebagai sebuah genre etnografi dan otoritas informasi yang disampaikan karena ini menyangkut isu self-representation ethnography yang berupaya merespons isu voice silencing dan place representation. Buzzard mengulas autoethnography sebagai isu yang vital dalam antropologi , yang berkaitan dengan " letting the silenced speak ", " telling our own story ", or " speaking for ourselves " tapi di sisi lain ada isu yang muncul mengenai " situated knowledges ", " the politics of location ", atau " standpoint epistemologies. "
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Terdapat beberapa pertimbangan bagi antropologi terlambat mengulas genre autoetnografi sejak awal : Para antropolog masih terjebak pada esensialisme atau identitas politis , dan sebenarnya karakteristik autoetnografi telah muncul di beberapa etnografi sebelumnya namun mereka tidak menggunakan term 'autoethnography' itu sendiri karena percaya bahwa tanpa menggunakan itu mereka juga bisa melakukannya , namun tetap ada batasan / sandungan yang dikhawatirkan ( menurut Buzard) ketika istilah itu tidak digunakan . Antropologi tidak memiliki metafora / konsep untuk menjelaskan bagaimana seseorang / etnografer bisa menjelaskan / mempelajari kebudayaan dari dirinya sendiri , selayaknya ada metode untuk menjelaskan kebudayaan orang lain ( perihal otoritas pengetahuan). Konsep dan metafora yang established di antropologi merelasikan dengan place and movement ketika membicarakan eutoetnografi .
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Berdasarkan argumentasi Arjun Appadurai (1988) bahwa isu yang muncul dalam etnografi adalah mengenai 'place'. Place sebagai lokasi penelitian dianggap sebagai tempat kelompok tertentu hidup / inhabit dan dalam tempat tersebut juga kebudayaan bersemai dan dibagikan . Dengan begitu , melalui pemikiran Appadurai dan teoris sejenisnya , Buzard mengajak untuk memikirkan kembali tentang 'space' yang tidak given melainkan discursively mapped but corporeally practiced . (p. 62)
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Bagi Appadurai, persoalan suara ( voice )/ ' speaking for ' dan ' speaking to ' bersinggungan dengan persoalan tempat ( place )/ ' speaking from' dan ' speaking of '. Sebab biasanya etnografer hanya menuliskan data dari informan dan menuliskannya " mewakili " suara informan apabila data tersebut sesuai dengan perceived theories etnografer . Menurut Pratt, autoetnografi bukanlah bentuk autentik dari sebuah upaya merepresentasikan cerita/informasi tentang diri, melainkan itu hanya sebuah upaya kolaborasi parsia yang menyesuaikan dengan kebutuhan etnografer/penjelajah.
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Seperti layaknya jender , kebudayaan merupakan identitas seseorang yang ditanamkan dalam pengasuhan , sehingga memunculkan kesulitan dalam proses auto- etnografi karena harus menerapkan pandangan berbeda sebagai subject-object. Proses self- etnografi mendapatkan kritik karena menyerupai dengan autobiografi sekaligus "exoticizing, native-silencing" karya etnografi atau dianggap kehilangan objektivitas .
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Pandangan post- structuralis terbiasa untuk mencari determinasi dari sebuah kebudayaan yang sedang berubah . Pengaruh etnografer dalam perubahan tersebut dianggap terlalu minimal. Autoetnografer tidak memerlukan dukungan dalam menjabarkan realita karena hal ini yang dicari dalam karya etnografi ; Membuka jarak antara individu (auto) dan kolektif ( ethno ) dimana pandangan pribadi dalam tulisan ( graphy ) tidak dapat dihindari .
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Auto- etnografi merupakan solusi untuk menghindari kecenderungan untuk menempatkan masyarakat sebagai 'surrogate object' dari sebuah teori . Kritik terhadap auto- etnografi dapat membantu munculnya pemikiran baru , asumsi-asumsi retoris yang diposisikan dalam sebuah tempat.
On Auto-Ethnographic Authority (Buzard, 2003) Memikirkan ulang tentang kebudayaan dan memikirkan ulang posisi sebagai 'negotiator' tanpa merasa melakukan pengkhianatan terhadap kepentingan bersama . Auto- etnografi seharusnya diapresiasi sebagai bentuk yang memungkinkan untuk melakukan detachment and re-attachments terhadap sebuah kebudayaan .
Autoethnographic Challenges: Confronting Self, Field and Home ( Voloder , 2008) Dalam artikel Autoethnographic Challenge Confronting Self, Field and Home , Lejla Volder mengemukakan bahwa partisipan sangat menganggap dirinya orang lo kal, orang dalam, terlibat dan peduli dengan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka sendiri , dan melalui frasa seperti “ Anda tahu ” atau “ Anda pernah mengalaminya ” , mereka berusaha membentuk jembatan pemahaman, menghubungkan pengalaman mereka dengan Lejla . Tentu saja karena dalam artikel ini adalah sebuah pengalaman dimana Lejla melakukan penelitian Ph.D-nya di lingkungan tempat tinggalnya di Melbourne, dimana partisipannya “ merupakan teman-teman yang sering minum kopi bersama dan membicarakan banyak hal , tentu saja permasalahan-permasalah yang dihadapi para imigran ( pengungsi ) Bosnia yang menjadi subyeknya . Contoh ini lebih lanjut mempermasalahkan determinan yang dominan digunakan untuk menilai status orang dalam dan menunjukkan bahwa terlepas dari jarak budaya antara tempat tinggal antropolog dan lokasi lapangan, ahli etnografi dapat memanfaatkan diri dan pengalamannya sendiri untuk menginformasikan penelitian. 1
Autoethnographic Challenges: Confronting Self, Field and Home ( Voloder , 2008) Jarak ini, umumnya dicari melalui diferensiasi budaya, sosial dan spasial antara lokasi rumah dan lapangan. Gupta dan Ferguson, Abu Lughod, dan Paerregaard mengizinkan otoritas antropolog untuk mengklaim kejelasan analitik melalui pengertian implisit tentang netralitas dan objektivitas yang diperoleh melalui pemisahan dari subjek yang diteliti. Karena peningkatan kedekatan dan persimpangan antara “home” dan lapangan, kepentingan pribadi dan profesional, prospek pembatasan parameter temporal dan spasial kapan dan di mana penelitian akan dilakukan sangat perlu dibuat . Lejla sebagai penulis mencari strategi alternatif yang dengan hal itu , alih-alih mencoba menjauhkan diri dari penelitian, penulis dapat, seperti yang disarankan Cohen, mengeksploitasi diri sebagai sumber daya etnografi , daripada men njadi sebagai penghalang metodologis. 2
Autoethnographic Challenges: Confronting Self, Field and Home ( Voloder , 2008) Mode autoetnografi seperti yang diperjuangkan oleh Denzin , serta Ellis dan Bochner , berfokus pada pengalaman emosional subjektif dari etnografer ; cerita dan narasi diri yang sangat intim, mengungkapkan kerentanan dan kemanusiaan peneliti. Fokusnya adalah pada Kedudukan . Mengutip Abu Lughod bahwa pengetahuan, pengakuan bahwa sejarah pribadi ahli etnografi memainkan peran penting dalam mengaktifkan atau menghambat jenis wawasan analitik tertentu atau kekeliruan Hastrup . Di sini Lejla juga menekankan bahwa “ Distance from, or proximity to ,” dengan partisipan sering dianggap sebagai kunci dalam memahami orang lain. Disisi lain Lejla menunjukan pentignya atau menjadi keuntungan tersendiri Ketika dia memahami budaya dan Bahasa Bosnia, sehingga diidentifikasi sebagai orang Bosnia. Hal ini menjadi catatan bahwa kedekatan dan kemampuan akan budaya dan Bahasa setempat menjadikan Antropolog akan lebih mudah “ dianggap ” sebagai orang dalam . 3
Autoethnographic Challenges: Confronting Self, Field and Home ( Voloder , 2008) Tentu saja ada persoalan-persoalan yang harus dihadapi sebagai “orang dalam ” dalam mendeteminasi dan membedakan untuk mengungkapkan hasil kedekatan ini dalam hasil penelitian . Tentu saja tulisan ini ingin menunjukan bagaimana etnografi yang berbasis lingkungan tempat tinggal sendiri yang dalam hal ini disebut “Home” memiliki keunggulan dan juga kendala yang tetap harus dihadapi etnografer . Dalam hal ini , Lejla menguti apa yang disampaikan Anderson, Autoethnographers should illustrate analytic insights through recounting their own experiences and thoughts as well as those of others. Furthermore, they should openly discuss changes in their beliefs and relationships over the course of fieldwork, thus vividly revealing themselves as people grappling with issues relevant to membership and participation in fluid rather than static social worlds . (Anderson 2006: 384) (Lejla, H.34). 4
Autoethnographic Challenges: Confronting Self, Field and Home ( Voloder , 2008) Lebih lanjut Lejla melanjutkan “ Although autoethnography is dominantly viewed as a narrative, a technique by which to write the ethnographer into the text, I contend that autoethnography can also provide a strategy for allowing the ethnographer to use self as an analytic resource .” (Lejla, p.34) Dalam artikel ini Lejla menunjukan bagaimana etnografer juga adalah partisipan , pengamat , dan juga informan , yang saling berkelindan satu sama lain. Itu sebabnya dalam hal ini penting bagi etnografer untuk tetap memiliki guideline dan “ jarak ” sehingga hasil etnografinya bukan semata refleksi diri tetapi ada hasil-hasil obyektif . Dari artikel Lejla ini juga, kami melihat bahwa karya autoetnografi memerlukan kecakapan untuk etnografer tidak terjebak dalam persfektif pribadi yang menghilangkan obyektifitas hasil . Secara pribadi saya mengatakan ini sangat sulit , bahkan tanpa ada dukungan penelitian lain, hasilnya akan bias. 4
References Buzard, J. (2003) “On Auto-Ethnographic Authority,” The Yale Journal of Criticism 16(1):61—91. Voloder , Lejla (2008) “Autoethnographic Challenges: Confronting Self, Field and Home,” The Australian Journal of Anthropology 19(1):27—40.