NASKAH EBOOK STUDI ISLAM KONTEMPORER.pdf

DrHasaniAhmadSaidMA 48 views 292 slides Nov 16, 2024
Slide 1
Slide 1 of 292
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90
Slide 91
91
Slide 92
92
Slide 93
93
Slide 94
94
Slide 95
95
Slide 96
96
Slide 97
97
Slide 98
98
Slide 99
99
Slide 100
100
Slide 101
101
Slide 102
102
Slide 103
103
Slide 104
104
Slide 105
105
Slide 106
106
Slide 107
107
Slide 108
108
Slide 109
109
Slide 110
110
Slide 111
111
Slide 112
112
Slide 113
113
Slide 114
114
Slide 115
115
Slide 116
116
Slide 117
117
Slide 118
118
Slide 119
119
Slide 120
120
Slide 121
121
Slide 122
122
Slide 123
123
Slide 124
124
Slide 125
125
Slide 126
126
Slide 127
127
Slide 128
128
Slide 129
129
Slide 130
130
Slide 131
131
Slide 132
132
Slide 133
133
Slide 134
134
Slide 135
135
Slide 136
136
Slide 137
137
Slide 138
138
Slide 139
139
Slide 140
140
Slide 141
141
Slide 142
142
Slide 143
143
Slide 144
144
Slide 145
145
Slide 146
146
Slide 147
147
Slide 148
148
Slide 149
149
Slide 150
150
Slide 151
151
Slide 152
152
Slide 153
153
Slide 154
154
Slide 155
155
Slide 156
156
Slide 157
157
Slide 158
158
Slide 159
159
Slide 160
160
Slide 161
161
Slide 162
162
Slide 163
163
Slide 164
164
Slide 165
165
Slide 166
166
Slide 167
167
Slide 168
168
Slide 169
169
Slide 170
170
Slide 171
171
Slide 172
172
Slide 173
173
Slide 174
174
Slide 175
175
Slide 176
176
Slide 177
177
Slide 178
178
Slide 179
179
Slide 180
180
Slide 181
181
Slide 182
182
Slide 183
183
Slide 184
184
Slide 185
185
Slide 186
186
Slide 187
187
Slide 188
188
Slide 189
189
Slide 190
190
Slide 191
191
Slide 192
192
Slide 193
193
Slide 194
194
Slide 195
195
Slide 196
196
Slide 197
197
Slide 198
198
Slide 199
199
Slide 200
200
Slide 201
201
Slide 202
202
Slide 203
203
Slide 204
204
Slide 205
205
Slide 206
206
Slide 207
207
Slide 208
208
Slide 209
209
Slide 210
210
Slide 211
211
Slide 212
212
Slide 213
213
Slide 214
214
Slide 215
215
Slide 216
216
Slide 217
217
Slide 218
218
Slide 219
219
Slide 220
220
Slide 221
221
Slide 222
222
Slide 223
223
Slide 224
224
Slide 225
225
Slide 226
226
Slide 227
227
Slide 228
228
Slide 229
229
Slide 230
230
Slide 231
231
Slide 232
232
Slide 233
233
Slide 234
234
Slide 235
235
Slide 236
236
Slide 237
237
Slide 238
238
Slide 239
239
Slide 240
240
Slide 241
241
Slide 242
242
Slide 243
243
Slide 244
244
Slide 245
245
Slide 246
246
Slide 247
247
Slide 248
248
Slide 249
249
Slide 250
250
Slide 251
251
Slide 252
252
Slide 253
253
Slide 254
254
Slide 255
255
Slide 256
256
Slide 257
257
Slide 258
258
Slide 259
259
Slide 260
260
Slide 261
261
Slide 262
262
Slide 263
263
Slide 264
264
Slide 265
265
Slide 266
266
Slide 267
267
Slide 268
268
Slide 269
269
Slide 270
270
Slide 271
271
Slide 272
272
Slide 273
273
Slide 274
274
Slide 275
275
Slide 276
276
Slide 277
277
Slide 278
278
Slide 279
279
Slide 280
280
Slide 281
281
Slide 282
282
Slide 283
283
Slide 284
284
Slide 285
285
Slide 286
286
Slide 287
287
Slide 288
288
Slide 289
289
Slide 290
290
Slide 291
291
Slide 292
292

About This Presentation

Buku Studi Islam Kontemporer di tulis oleh Dr. Hasani AHmad Said, M.A. dkk


Slide Content

STUDI ISLAM
KONTEMPORER
EDITOR : ABDULLOH HANIF

i
Studi Islam Kontemporer :
Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner




Hairunnisa, M. Faiz Al Arif, Sheyla Nichlatus Sovia, Dewi
Anggraeni, Ramdan Wagianto, Ari Susandi, Suhermanto
Ja’far, Teguh Hadi Wibowo, Meta Malihatul Maslahat, Atika
Ulfia Adlina, Hasani Ahmad Said, Afriadi Putra, Nur Khosiah

ii
Studi Islam Kontemporer :
Suatu Kajian Pembacaan Kontemporer

Penulis : Hairunnisa, M. Faiz Al Arif, Sheyla
Nichlatus Sovia, Dewi Anggraeni,
Ramdan Wagianto, Ari Susandi,
Suhermanto Ja’far, Teguh Hadi
Wibowo, Meta Malihatul Maslahat,
Atika Ulfia Adlina, Hasani Ahmad Said,
Afriadi Putra, Nur Khosiah
Editor : Abdulloh Hanif
proofreader : DSI Press
Setting dan layout : DSI Press
desain cover : DSI Press
link : www.dutasains.com
Isbn : 978-623-10-3843-2

Hak Penerbitan ada pada © Duta Sains Indonesia 2024
Ukuran 17.6 cm x 25 cm
Halaman : vii + 284 hal
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Duta
Sains Indonesia
Cetakan I, Oktober 2024





Sedati Agung 3 RT 07 RW 01 Kec. Sedati
Jawa Timur – Indonesia
Telp. 0877 5551 0658
E-mail : [email protected]
Website: www.dutasains.com

iii
PENGANTAR EDITOR
Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, studi
Islam interdisipliner muncul sebagai pendekatan yang krusial
untuk memahami agama, budaya, dan masyarakat Muslim dalam
konteks kontemporer. Sebagai sebuah disiplin yang
mengintegrasikan berbagai perspektif—seperti sosiologi,
antropologi, sejarah, dan ilmu politik—studi ini menawarkan
wawasan yang lebih holistik tentang realitas kehidupan umat
Islam di seluruh dunia.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemikiran dan praktik
keagamaan di kalangan umat Islam telah mengalami transformasi
signifikan, dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, migrasi,
dan interaksi lintas budaya. Oleh karena itu, diperlukan usaha
untuk mengeksplorasi bagaimana aspek-aspek ini saling terkait
dan memengaruhi pemahaman tentang Islam. Buku ini berupaya
menjembatani berbagai disiplin ilmu untuk menggali dan
mendiskusikan fenomena keagamaan, sosial, dan politik yang
relevan dengan dunia Muslim saat ini.
Sheyla Nichlatus Sovia melihat transformasi yang
mencerminkan proses yang kompleks dan dinamis dalam
menyesuaikan ajaran agama dengan perkembangan zaman sambil
menjaga esensinya. Ia juga menunjukkan beberapa pendekatan
yang telah diusahakan oleh para ulama dan cendekiawan muslim,
seperti pendekatan ijtihad (penafsiran independen) dan tajdid
(pembaruan), pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan
konteks sosial, budaya, dan historis untuk menjaga relevansi di
era kontemporer, termasuk pendekatan modernis dan
postmodernis, bahkan gender. Di mana kesemuanya itu
berimplikasi pada pembaruan pemikiran Islam, penguatan
identitas, dan pelestarian nilai-nilai tradisi. Hal tersebut kemudian
menjadi sebuah refleksi, sebagaimana diungkap oleh
Hairunnnisa, bahwa Islam tetap relevan dalam menghadapi isu-
isu sosial kontemporer dan berkontribusi terhadap
pembangunan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Ramdan Wagianto memberikan gambaran bagaimana
pembaruan dalam Islam diterapkan dalam ranah hukum keluarga

iv
untuk membentuk kerangka hukum yang relevan dan adaptif. Ia
menegaskan bahwa tradisi dan modernitas saling melengkapi dan
mempengaruhi, dengan prinsip bahwa perubahan hukum
dipengaruhi oleh perubahan waktu dan keadaan (la yunkaru
taghayyur al ahkam bi taghayyur al azman wa al ahwal). Tradisi baginya
berperan sebagai dasar, baik dasar syari’at yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Sunnah, dan juga dasar yang bersumber dari
kearifan lokal yang tidak berseberangan dengan Al-Qur’an dan
sunnah. Sementara moderntitas memberikan kerangka
metodologis dan epistemologis yang dapat memenuhi prinsip-
prinsip seperti dar al mafasid muqaddamun ‘ala jalb al masalih,
mubadalah, dan lain sebagainya. Sehingga hubungan antara tradisi
Islam dan modernitas serta kontribusi pemikir-pemikir
kontemporer mampu menjembatani berbagai kesenjangan dalam
masyarakat Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Teguh Hadi
Wibowo dan Afriadi Putra. Baginya, titik temu antara pemikiran
Islam dan Barat mencerminkan kesaling-terhubungan global
yang semakin meningkat, sehingga para pemikir dari kedua tradisi
tersebut diharapkan terus terlibat dalam dialog terbuka dan
konstruktif, berfokus pada kontribusi prinsip etis dan spiritual
Islam untuk memecahkan masalah global dan menciptakan dunia
yang lebih harmonis dan berkelanjutan.
Ari Susandi menjelaskan karakteristik utama dalam siyasah
Islam yang mencerminkan nilai-nilai dan ideologi Islam,
termasuk sifat Rabbani, keadilan, moderasi, dan keseimbangan.
Siyasah Islam berupaya menciptakan masyarakat yang egaliter
dan peduli terhadap lingkungan serta hak-hak manusia,
menjadikan syariah sebagai panduan utama dalam legitimasi
kekuasaan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesejahteraan
bagi semua, baik di dunia maupun di akhirat. Semua itu salah
satunya bermula dari pemaknaan terhadap tradisi. Nur Khosiah
dalam persoalan Hermeneutika, merangkum metode
hermeneutika dalam Islam yang mencakup pendekatan
tradisional dan inovatif. Pendekatan tradisional menggunakan
tafsir bi al-ma'thur dan tafsir bi al-ra'yi, sementara pendekatan
modern lebih mengutamakan konteks sosial dan sejarah. Kedua
metode ini membantu dalam memahami teks-teks keagamaan

v
secara lebih mendalam dan relevan dengan kondisi saat ini.
Suhermanto Ja’far menambahkan bahwa kebangkitan Islam,
melalui kontribusi pemikir seperti Abu Rabi’, menciptakan ruang
untuk dialog dan pembaruan dalam studi keislaman yang lebih
komprehensif.
Selain itu, tema-tema lain yang juga menjadi fokus
perhatian yakni tradisi spiritualitas Islam dan aspek
kemasyarakatan di era digital. Meta Malihatul Maslahat
membahas tasawuf sebagai aspek spiritual dalam Islam yang
menawarkan pendekatan relevan dengan kesehatan mental dan
spiritualitas modern. Dengan tahapan seperti taubat, riyadhah, dan
ma’rifatullah, tasawuf memberikan cara untuk mendekatkan diri
kepada Allah serta mencapai ketenangan jiwa. Di sisi lain,
tantangan dalam seni sufi mencerminkan konflik antara estetika
dan tujuan spiritual, dengan pentingnya menjaga keseimbangan
agar seni tetap mendukung pengalaman spiritual. Sementara itu
Dewi Anggraeni mengungkapkan bahwa Generasi Z, yang sangat
terpengaruh oleh media digital, menghadapi tantangan dalam
menavigasi informasi keagamaan yang beragam dan potensi
ekstremisme. Pentingnya moderasi beragama dan strategi seperti
produksi konten positif, literasi digital, serta dialog antar agama
menjadi kunci dalam membantu Gen Z membentuk identitas
keagamaan yang inklusif dan positif.
Melalui serangkaian studi dan analisis mendalam, kami
berharap pembaca dapat merasakan kekayaan perspektif yang
ditawarkan oleh pendekatan interdisipliner. Dengan memadukan
teori dan praktik, buku ini tidak hanya mengajak pembaca untuk
memahami Islam secara lebih dalam, tetapi juga untuk
menciptakan dialog yang konstruktif tentang peran agama dalam
kehidupan modern. Semoga karya ini dapat menjadi referensi
yang berharga bagi para akademisi, mahasiswa, dan siapa pun
yang tertarik untuk menjelajahi kompleksitas dunia Islam.

Abdulloh Hanif

vi
DAFTAR ISI

HALAMA JUDUL ...................................................... i
HALAMAN BALIK JUDUL ...................................... ii
PENGANTAR EDITOR ............................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................... v
LATAR BELAKANG SOSIAL -HISTORIS ISLAM
KONTEMPORER
1) Hairunnisa .................................................................... 1
2) M. Faiz Al Arif ............................................................ 21
TRADISI DAN MODERNITAS DALAM STRUKTUR
SOSIAL-POLITIK
3) Dewi Anggraeni ........................................................... 32
4) Ramdan Wagianto ....................................................... 60
5) Sheyla Nichlatus Sovia ............................................... 79
6) Ari Susandi ................................................................... 99
DINAMIKA DISKURSUS FILOSOFIS ISLAM
KONTEMPORER
7) Suhermanto Ja'far ........................................................ 125
8) Teguh Hadi Wibowo .................................................. 151
DISKURSUS TASAWUF DAN SPIRITUALITAS
9) Meta Malihatul Maslahat ............................................ 173
10) Hasani Ahmad Said .................................................... 192
11) Atika Ulfia Adlina ....................................................... 208
HERMENEUTIKA ISLAM
12) Nur Khosiah ................................................................ 230
13) Afriadi Putra ................................................................ 254
DAFTAR KONTRIBUTOR ....................................... 276

Hairunnisa| 1

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
LATAR BELAKANG SOSIAL -HISTORIS
STUDI ISLAM KONTEMPORER DALAM
REFLEKSI SOSIAL DAN HISTORIS ISLAM DI
ZAMAN MODERN

Hairunnisa


PENDAHULUAN
Seiring dengan perjalanan waktu, Islam telah mengalami
berbagai perubahan dan penyesuaian di tengah dinamika sosial
dan sejarah. Buku ini, yang berjudul "Refleksi Sosial dan Historis
Islam di Zaman Modern," berusaha untuk mengungkap dan
merenungkan berbagai aspek transformasi Islam dalam konteks
dunia kontemporer.
Islam, sebagai agama yang kaya akan sejarah dan tradisi,
telah memainkan peran yang signifikan dalam membentuk
peradaban dan kebudayaan di berbagai belahan dunia. Dari masa
keemasan Islam di abad pertengahan hingga era kolonial dan
pasca-kolonial, umat Islam telah melalui berbagai tantangan dan
perubahan yang mempengaruhi cara mereka memahami dan
mempraktikkan ajaran agama.
Di zaman modern ini, globalisasi, kemajuan teknologi,
dan perubahan sosial-politik telah membawa dampak yang
signifikan terhadap komunitas Muslim di seluruh dunia.
Fenomena seperti migrasi, urbanisasi, dan akses informasi yang
semakin mudah telah menciptakan interaksi dan pertukaran
budaya yang lebih intensif. Di satu sisi, hal ini membawa peluang
untuk memperkaya pemahaman dan pengalaman beragama,
namun di sisi lain, juga memunculkan tantangan baru yang harus
dihadapi oleh umat Islam.

2 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Seperti penelitian terdahulu dalam jurnal Perspektif
Sosio-Historis tentang Menata ke Depan Keunggulan
Pendidikan Islam Perhatian Nabi Muhammad saw terhadap
pendidikan sangat besar dan dapat dilihat berdasarkan sejarah
pendidikan Islam. Nabi saw selalu mengadakan ta‘līm
(pembelajaran) kepada para sahabatnya supaya mereka
memahami ajaran-ajaran Islam secara universal
Buku ini akan mengeksplorasi berbagai tema penting
dalam refleksi sosial dan historis Islam di zaman modern,
termasuk dinamika Sosial bagaimana perubahan sosial, seperti
peran gender, pendidikan, dan ekonomi, mempengaruhi
kehidupan umat Islam. perkembangan Pemikiran Islam
Bagaimana intelektual Muslim beradaptasi dan merespons isu-isu
kontemporer melalui interpretasi baru terhadap teks-teks agama.
Politik dan Kekuasaan:Peran Islam dalam politik modern, baik
dalam konteks negara-negara mayoritas Muslim maupun
minoritas Muslim di negara-negara non-Muslim. Globalisasi dan
Identitas:Bagaimana globalisasi mempengaruhi identitas Muslim
dan bagaimana mereka menavigasi identitas tersebut dalam
konteks global.Interaksi Antaragama:Dialog dan hubungan
antara Islam dan agama-agama lain dalam kerangka keberagaman
dan toleransi.
Melalui pendekatan multidisiplin, buku ini berusaha
untuk memberikan wawasan yang komprehensif tentang
bagaimana Islam terus berkembang dan berinteraksi dengan
berbagai aspek kehidupan modern. Dengan demikian,
diharapkan buku ini dapat menjadi sumber inspirasi dan refleksi
bagi pembaca yang ingin memahami lebih dalam tentang
dinamika Islam di era kontemporer.
Penulis menyadari bahwa topik yang dibahas dalam buku
ini sangat luas dan kompleks. Oleh karena itu, kontribusi dari
berbagai ahli dan perspektif yang berbeda diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih kaya dan mendalam. Semoga
buku ini dapat menjadi sumbangan berharga dalam kajian Islam

Hairunnisa| 3

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
modern dan memberikan pencerahan bagi semua yang ingin
memahami perjalanan dan tantangan Islam di zaman modern ini.

PEMBAHASAN
A. Refleksi Sosial Islam
Merefleksikan sosial islam secara garis besar bahwa,
sosiologi sosial dalam studi islam digunakan sebagai lensa untuk
dapat memeriksa dinamika interaksi yang sangat komplek antara
agama dan masyarakat, dengan menganalisis struktur sosial,
dinamika kelompok dan perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat muslim. Sosiologi membantu memberikan
pemahaman kepada kita bagaimana agama tidak hanya
dipandang sebagai sumber keyakinan semata akan tetapi juga
sebagai landasan untuk membangun norma sosial, institusi dan
konflik yang muncul dalam masyarakat muslim.(Dedi Mahyudi
2023)(KHUDRI et al., 2024)
Sosiologi dalam studi islam merupakan sebuah perluasan
dari kajian sosiologi yang berkaitan dengan sosiologi agama,
Sosiologi agama mengkaji lebih khusus kepada masyarakat
beragama dan Lembaga ke agamaan. Sosiologi agama bermula
pada abad 19 dimana para sosiolog Barat tertarik meneliti agama
sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
Masyarakat
Secara objek material, sosiologi agama mengkaji tentang
masyarakat beragama yang terdiri dari, pertama struktur sosialnya
yang meliputi stratifikasi, institusi, kelompok, dan yang jenisnya,
yang kedua fungsinya yang meliputi aspek-aspek perubahan
sosial dan produk- produknya. Yang ketiga tentang pengaruh
masyarakat beragama baik internal maupun eksternal. Yang
dimaksud dengan internal adalah pola hubungan diantara mereka
sesama masyarakat beragama dan eksternal adalah pola
hubungan dengan masyarakat luas. (Wibisono, M.Y., 2020)

4 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pemahaman Institusi Keagamaan melalui sosiologi
membantu memahami peran organisasi keagamaan, seperti
masjid, lembaga pendidikan agama, dan organisasi keagamaan
lainnya, dalam masyarakat Muslim. (KHUDRI et al., 2024)Studi
Perubahan Sosial sosiologis membantu kita memahami
bagaimana Islam berkembang dan beradaptasi dengan
perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di komunitas
Muslim. Sedangkan dalam konteks analisis Konflik dan Integrasi,
sosiologi memungkinkan untuk menganalisis konflik dan upaya
integrasi antara masyarakat yang beragam, serta radikalisasi. Oleh
sebab itu, studi Islam melalui sosiologi menawarkan cara untuk
memahami agama ini sebagai fenomena sosial yang dinamis dan
hidup yang berinteraksi dengan berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, studi
Islam menjadi lebih komprehensif dan kontekstual dan
membantu kita memahami bagaimana Islam dihayati dan
dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial dan budaya.
Dari berbagai pendapat ahli diatas penulis berpendapat
bahwa hubungan sosiologi atau sosial dan agama dalam islam
merupakan hal yang mengkaji tentang lembaga dan struktur serta
jenis serta fungsi agama dalam masyarakat.
B. Refleksi Historis Islam
Refleksi Historis Islam mengacu pada pemahaman dan
analisis terhadap sejarah perkembangan Islam, serta cara
pandang terhadap peristiwa-peristiwa historis dalam konteks
keagamaan, sosial, dan budaya. Ini mencakup penelusuran
dampak-dampak sejarah terhadap pemahaman dan praktik umat
Islam saat ini, serta relevansinya dalam konteks zaman modern.
Pendekatan historis merupakan sebuah pandangan ataun
meninjau suatu permasalahan darisudut tinjauan sejarah, dan
menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan
menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah
studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian

Hairunnisa| 5

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang
sebenarnya.(Kartini et al., 2023)
Historis oleh para sejarawan memiliki pendapat yang
beragam, Edward Freeman, misalnya menyatakan historis adalah
politik masa lampau (history is past politics). Sementara Ernst
Bernheim, menyebut historis sebagai ilmu tentang
perkembangan manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai
makhluk sosial. Dan menurut Hasan, historis atau tarikh adalah
suatu seni yang membahas tentang kejadian-kejadian waktu dari
segi spesifikasi dan penentuan waktunya, tema-nya manusia dan
waktu, permasalahaannya adalah keadaan yang menguraikan
bagian-bagian ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia
dalam suatu waktu(Kartini et al., 2023). Historis merupakan
penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi
mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis, maka
dapat dikatan bahwa pendekatan historis dalam kajian Islam
merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan
memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-
beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik
berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari,
sepanjang sejarahnya.
C. Pembelajaran dari Sejarah Islam Masa Kenabian
Rasulullah merukan sosok suri tauladan yang sempurna
yang seharusnya menjadi contoh utama bagi kita umat islam
kerena dalam ajaran Islam yang begitu kompleks menjawab
berbagai situasi dan kondisi serta tantangan zaman, berpedoman
dengan Al-Qur’an dan Hadist. Salah satu contoh pembelajaran
dari beliau menekankan pentingnya kepemimpinan yang adil dan
kepedulian terhadap semua lapisan masyarakat. Dalam sejarah
perkembangan dunia Islam, sistem pendidikan Islam dapat
ditelusuri sejak masa Nabi Muhammad saw. Wahyu pertama yang
diterima Nabi Muhammad saw memperlihatkan betapa
pentingnya pendidikan. Kata iqra’ ) أ al-qalam ( ا قر إ )

6 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
menunjukkan pada kegiatan membaca, kata لقلم ) mengisyaratkan
pentingnya sarana dan teknologi pendidikan untuk kegiatan
menulis, dan kata mālam ya‘lam (يعلم ملام) menunjukkan objek
dalam pendidikan dan perlunya seorang pendidik (Al-Asfahani,
2004; Nata, 2002; Al-Maragi, 2001). Nabi saw juga menganjurkan
kepada kaum perempuan untuk mempelajari ilmu tenun dan
memintal (keterampilan), menulis dan membaca, merawat orang
sakit (pengobatan dan keperawatan), dan bahasa asing (Ilmi,
2012; Al-Baghdadi & Eva, 1996). Nabi Saw. memerintahkan pula
agar orang tua mengajarkan anak anaknya berenang,
menunggang kuda, dan memanah, supaya mereka sehat fisik dan
rohaninya (Pendidikan Olah Raga dan Seni). Nabi Muhammad
memberikan dorongan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu
dari berbagai bidang; semisal teknik – engineering, ilmu
kedokteran, ilmu fisika, ilmu pertanian, dan lain-lain, karena
semua bidang ilmu mempunyai sumber dari al-Qur’an . Ini
berarti bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu
agama (Burga, 2019a; Mulkhan, 1998). Oleh karena itu, menuntut
ilmu pengetahuan wajib bagi setiap muslim (al-Hadis).
Sedangkan dalam pendidikan rumah tangga (informal), Aisyah
(istri Nabi saw) menjadi sumber inspirasi kaum perempuan
dalam mendidik anak-anak dalam lingkungan rumah tangga.
Keunggulan pendidikan Islam sudah terlihat sejak Nabi
Muhammad SAW. mengajarkan Islam. Berbagai indikator
keunggulan pendidikan Islam yang ditunjukkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Antara lain:
1) Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama nilai
ilmu pengetahuan (tidak ada dikotomi ilmu).
2) Pendidik (para guru dan orang tua) mengajar secara
profesional (menguasai materi ajar, ikhlas mengajar,
dan memberi teladan/metode fi’liyah).
3) Peserta didik termotivasi dan mempunyai perhatian
yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran. Mereka
memahami dan mengamalkan ilmu yang diperoleh.

Hairunnisa| 7

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
4) Lembaga pendidikan informal dan formal (rumah
dan masjid) berfungsi secara efektif.
5) Teknologi pendidikan/pembelajaran sangat
diperhatikan (Rama, 2012).
Dari uraian diatas dapat kita ambil inti sari bahwa belajar
dari Sejarah masa lampau dizaman nabi mengajarkan untuk kita
umat muslim yang beriman harus mampu menguasai Pendidikan
dan menjadi manusia dengan pribadi yang terdidik agar mampu
menghadapi tantangan aman terlebih zaman modern sekarang
banyak umat yang hanya memakai indentitas agama tanpa
mampu merefleksikannya secara baik dikehidupan nyata bahkan
memakai topeng agama sebagai wadah mencari ketenaran semata
tanpa dasar ilmu yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan
Hadits.
D. Peran besar pendidikan dalam kemajuan Islam
Peran besar Pendidikan islam dalam kemajuan
perkembangan dunia pendidikan membawa umat islam pada
kemajuan yang sangat berarti. Menurut Suwendi dalam Rama
(2016: 229), berkembangnya pusat-pusat peradaban yang
dipenuhi dengan berbagai kegiatan ilmiah menjadikan posisi
umat Islam ketika itu sangat diperhitungkan oleh dunia Barat.
Malah tidak sedikit sarjana Barat yang menuntut ilmu
pengetahuan pada dunia islam. Sarjana Barat melakukan kegiatan
pendidikan di dunia Islam, antara lain dengan penerjemahan
kitab-kitab karya cendekiawan muslim yang kemudian ilmu
tersebut diterapkan di dunia barat/ negaranya(Rama, 2020).
Kontribusi utama Agama Islam terhadap pertahanan
negara dan kejayaan terletak pada penekanannya pada
pendidikan. Peradaban Islam awal memiliki komitmen yang
mendalam terhadap ilmu pengetahuan, membuat kemajuan
signifikan dalam berbagai bidang seperti matematika, astronomi,
kedokteran, dan ilmu militer. Umat Islam memahami pentingnya
memperoleh pengetahuan dan memajukan pendidikan sebagai

8 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
sarana untuk melindungi bangsanya (Sijamhodžić- Nadarević,
2023).
Menurut Syalabi (1973: 280), kemajuan dunia pendidikan
islam dan ilmu pengetahuan di dunia Islam karena motivasi Al-
Qur'an dan Sunnah Rasul. Artinya, motivasi al-Qur'an dan Hadis
dalam menuntut ilmu telah membawa kejayaan umat Islam sejak
periode Nabi dan puncaknya pada tahun 650 M hingga pada
tahun 1256 M (Yatim, 1999). Di mana masa tersebut seluruh
jenjang pendidikan, di mulai dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi dibuka.
Pendidikan besar memainkan peran penting dalam
memupuk nilai-nilai seperti toleransi, kasih sayang, dan berpikir
kritis. Memasukkan ajaran Islam yang menekankan perdamaian,
keadilan, dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia ke dalam Pendidikan membentuk Masyarakat yang
harmonis (Kuzub.2022).
Dengan demikian Pendidikan islam sangat tidak bisa
dipandang sebelah mata karena sebenarnya melalui kemajuan
Pendidikan islam sangat besar perannya dalam membangun
Masyarakat yang maju dan beradab tidak kalah bersaing dengan
dunia luar. Sebab dengan umat yang memiliki Pendidikan yang
baik dan terdidik terlebih dalam Pendidikan agama dan umum
maka sangat besar berpengaruh terhadap kualitas kehidupannya.
E. Peran Agama Islam dalam pertahanan negara
Di dalam dunia islam kontemporer, agama Islam sering
kali dikaitkan dengan militansi, yang menimbulkan tantangan
besar terhadap upaya pertahanan negara. Menjaga keseimbangan
antara menghormati hak individu untuk menjalankan agamanya
secara bebas dan memastikan keamanan nasional semakin
menjadi tugas yang kompleks bagi pemerintah di seluruh dunia.
. M., & Sarjito, A. (2023). Sangat penting bagi kita memahami
peran agama islam yang sebenarnya guna mengatasi masalah
salah paham agama, guna memupuk keharmonisan dalam

Hairunnisa| 9

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
masyarakat yang beragam dan secara efektif memerangi
ekstremisme.
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, memberikan panduan
tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk peperangan. Ajaran
Islam menekankan pentingnya pertahanan diri, mengedepankan
gagasan Jihad sebagai kewajiban agama. Jihad sering disalah
pahami dan disalah artikan sebagai terorisme atau agresi; namun,
dalam konteks sebenarnya, hal ini mengacu pada perjuangan yang
adil untuk membela diri, keharmonisan komunal, dan keadilan
sosial (Yilmaz & Erturk, 2021)
Masa Kekhalifahan Rashidun memberikan contoh ajaran
Islam dan pengaruhnya terhadap pertahanan negara. Tentara
Rashidun, yang dipimpin oleh para pemimpin Islam awal seperti
Khalifah Umar ibn al-Khattab, berkembang pesat namun
mempertahankan persatuan Arab-Muslim melalui prinsip-
prinsip toleransi, belas kasihan, dan rasa hormat terhadap non-
Muslim. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu
dipertimbangkan (El-Hibri, 2010)
1) Kekhalifahan Rashidun: Kekhalifahan Rashidun
merupakan kekhalifahan pertama yang
menggantikan nabi Islam Muhammad SAW. Kota
ini diperintah oleh empat khalifah pertama berturut-
turut Muhammad SAW setelah wafatnya pada tahun
632 M (11 H).
2) Persatuan Arab-Muslim: Tentara Rashidun menjaga
persatuan Arab-Muslim melalui prinsip toleransi,
belas kasihan, dan menghormati non-Muslim.
Kebijakan Para Khalifah Rashidun: Kebijakan para
Khalifah Rashidun meletakkan dasar gaya
pemerintahan bagi banyak penguasa di masa depan.
Mereka berkuasa di tanah Islam sebagai raja muda
Nabi Muhammad SAW, dan kebijakan mereka
meletakkan dasar gaya pemerintahan bagi banyak
penguasa di masa depan.

10 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
3) Kategori warga negara: Secara umum, warga negara
Kekhalifahan Rasyidin dapat dibagi menjadi dua
kategori: Muslim dan non-Muslim. Meskipun umat
Islam menikmati hak-hak istimewa tertentu yang
diperuntukkan bagi mereka seperti standar
kewarganegaraan yang lebih tinggi, kebebasan
beribadah sepenuhnya ditawarkan kepada semua
orang, dan khalifah adalah pelindung spiritual atas
kehidupan dan harta benda mereka.
Pakistan, yang didirikan pada tahun 1947 sebagai negara
mayoritas Muslim yang independen, sangat menekankan
pertahanan negara dan ajaran Islam. Strategi pertahanan negara,
pelatihan militer, dan perekrutan sering kali mengacu pada nilai-
nilai Islam, yang mencerminkan perpaduan sentimen agama dan
nasionalistik. Kehadiran pasukan Pakistan dalam misi penjaga
perdamaian PBB menunjukkan bagaimana ajaran Islam
mempengaruhi partisipasi negara tersebut dalam upaya
pertahanan global (Naz, 2020).
Dengan demikian belajar dari Sejarah bahwa menjaga
kedaulatan negara merupakan kewajiban umat terlebih dalam
islam memaknainya sebagai jihad, Jihad dalam Islam, atau
peperangan untuk membela kehidupan dan hak beragama umat
Islam, secara hukum dapat dianalogikan dengan teori perang
yang adil yang diabadikan dalam hukum internasional. Jihad
sendiri merupakan sebuah konsep dan arti yang lebih luas dalam
Islam, termasuk tindakan amal yang sulit dan perjuangan spiritual
melawan hawa nafsu (Parrott, 2020).
Jihad yang sesungguhnya adalah perang melawan hawa
nafsu dengan demikian pemahaman akan ekstrimis atau ghulluw
dalam islam sangatlah ditentang dan tak dapat diterima oleh
syariat. Faham dan sikap ekstrimis mampu menghancurkan ke
amanan serta setiap sendi kemajemukan pemeluk agama,
keanekaragaman bangsa, budaya dan menimbulkan dampak
negatif bagi setiap warga Negara terlebih di Republik Indonesia

Hairunnisa| 11

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ini. Dapat menghancurkan Agama Islam itu sendiri sehingga
menghilangkan harmoni dalam keragaman dan keberagamaan,
menghancurkan keindahan dalam perbedaan, melunturkan nilai
dan semangat nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara.
F. Islam dan Keharmonisan Antar Umat
Islam yang sebenarnya adalah pembawa Rahmat kasih
sayang untuk sekalian alam , seperti Sejarah penyebaran islam di
Indonesia melalui peran Walisongo, Walisongo tidak hanya
menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga berusaha memahami dan
menggali nilai-nilai lokal yang ada di Nusantara. Mereka secara
aktif mengintegrasikan unsur-unsur kearifan lokal ke dalam
ajaran Islam, menciptakan harmoni antara agama dan budaya .
Contohnya, dalam menyebarkan Islam di Jawa, mereka
menggabungkan seni, sastraan dan seni pertunjukan wayang
sebagai media dakwah. Ritual slametan juga diakomodasi dengan
diberi makna syukuran kepada Sang Pencipta. Demikian pula
praktik ziarah kubur, yang sebelumnya sudah di lazim dalam
tradisi Hindu-Buddha dan kepercayaan asli, tetap dilestarikan
dengan mengarahkannya pada kuburan para wali-wali dan
penyebar Islam. Melalui cara-cara seperti ini, Islam dapat berakar
kuat dalam bumi Nusantara karena tidak bertentangan secara
frontal dengan nilai-nilai budaya yang telah melekat. Agama dan
tradisi lokal bukan dipandang sebagai edentitas yang saling
bertolak belakang, melainkan sebagai mitra dialogis yang
keduanya mengandung kearifan (Hardhi, 2014). Inilah inti dari
Islam Nusantara versi Walisongo; sebuah corak Islam inklusif,
akomodatif, dan kontekstual dengan nafas budaya lokal
(Muhajarah, 2021).
Islam yang ada di Nusantara hidup berdampingan dan
harmonis dalam kedamaian merangkul semua elemen lapisan
corak agama dan budaya yang ada yang seharusnya selalu kita
jaga,rawat dan pupuk, agar selalu adanya persatuan dan kesatuan
rakyat Indonesia yang sudah dirumuskan serta diwariskan oleh
para pejuang bangsa kita terdahulu.

12 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Negara indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam
suku, bangsa dan bahasa. Secara geografis Indonesia terdiri dari
berbagai pulau dengan kekayaan budaya dan kearifan lokalnya
masing-masing. Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk,
dan multy varian sehingga cara yang paling ampuh dalam
menanggulangi perpecahan, egosentris, primordial hingga
munculnya radikalisme ialah dengan menanamkan perilaku
Moderasi(Luqmanul Hakim Habibie et al., 2021), pemeluk agama
islam telah juga disiapkan moderasi beragama Islam. Pendidikan
Islam yang telah menggunakan teknik moderasi diharapkan dapat
mencegah masyarakat untuk berperilaku intoleran dan
radikalisme, baik dalam sikap, perilaku maupun pemikiran semata
sehingga setiap orang lulusan Produk Moderasi Beragama
mampu menerima segala macam keragaman dan keberagamaan
serta dapat menghargai keyakinan yang diyakini oleh pemeluk
lain dengan sangat toleran dan penuh keharmonisan dalam
berkehidupan berbangsa dan bertanah air.
G. Tatanan Ekonomi dalam Kejayaan Islam
Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Allah Swt ridoi
dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan
disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw
dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar
selamat baik di dunia maupun akhirat.(Istiqomah & Zulaikhah,
2019), Merupakan sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup
aqidah, akhlaq dan syari‟at merupakan undang-undang ilahiyah
berisi berbagai aturan-aturan dalam tatanan kehidupan. Diantara
keagungan dan kejayaan sistem Islam adalah sistem
perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari‟ah.
Jika instrumen ekonomi syari‟ah dapat diimplementasikan, maka
beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi
sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial
sebagaimana yang saat ini tengah terjadi zaman sekarang.
Beberapa instrumen ekonomi Islam diantaranya adalah zakat
serta sistem mata uang dinar dan dirham yang telah terbukti
mampu mengatasi berbagai gejolak perekonomian maupun

Hairunnisa| 13

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
finansial, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah masa
kejayaan Islam ketika institusi kepemimpinan Islam (khilafah)
masih berdiri. Zakat sebagai salah satu pilar (rukun) Islam
merupakan instrumen strategis dari sistem perekonomian Islam
yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap penanganan
problem kemiskinan serta problem sosial lainnya, karena zakat
dalam pandangan Islam merupakan “hak fakir miskin yang
tersimpan dalam kekayaan orang kaya”.
H. Pengaruh Sejarah dalam Kehidupan Modern
Sejarah memainkan peran penting dalam membentuk
identitas individu dan masyarakat. Memahami sejarah
memberikan wawasan tentang asal-usul nilai, norma, dan struktur
sosial yang kita warisi. Analisis ini akan menjelaskan bagaimana
sejarah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan modern,
termasuk politik, ekonomi, budaya, dan identitas.
I. Pengaruh Politik
1) Pembentukan Negara dan Batas Wilayah:
• Sejarah kolonialisme dan perjanjian internasional
masa lalu banyak menentukan batas-batas negara
saat ini. Contohnya, perjanjian-perjanjian seperti
Perjanjian Versailles pasca Perang Dunia I yang
mengubah peta Eropa.
• Banyak negara modern lahir dari perjuangan
kemerdekaan melawan penjajahan, yang
menciptakan narasi nasionalisme dan
kebanggaan nasional.
2) Sistem Pemerintahan:
• Sistem politik seperti demokrasi, monarki
konstitusional, dan republik sering kali berakar
dari tradisi sejarah. Contoh, demokrasi modern

14 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Yunani kuno
dan Pencerahan Eropa.
J. Pengaruh Ekonomi
1) Perkembangan Sistem Ekonomi:
• Revolusi Industri mengubah struktur ekonomi
dunia, dari ekonomi agraris ke ekonomi industri.
Dampaknya masih terasa hingga kini dengan
adanya industrialisasi dan urbanisasi (Istiqomah
& Zulaikhah, 2019).
• Sejarah perdagangan, seperti Jalur Sutra,
mempengaruhi hubungan ekonomi antar bangsa
dan membentuk jaringan perdagangan global
yang masih relevan saat ini.
2) Kebijakan Ekonomi dan Krisis Finansial:
• Kebijakan ekonomi sering kali dipengaruhi oleh
pelajaran dari krisis masa lalu, seperti Depresi
Besar pada tahun 1930-an yang mempengaruhi
kebijakan ekonomi keynesianisme dan regulasi
pasar modern.
K. Pengaruh Budaya
1) Warisan Budaya dan Tradisi:
• Banyak praktik budaya, seni, dan sastra yang
diwarisi dari masa lalu. Misalnya, festival-festival
tradisional, musik klasik, dan arsitektur
bersejarah.
• Bahasa dan dialek yang digunakan saat ini juga
merupakan hasil evolusi sejarah panjang,
membawa serta nilai-nilai dan identitas
komunitas.

Hairunnisa| 15

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
2) Identitas dan Nilai-nilai Sosial:
• Sejarah membantu membentuk identitas kolektif
suatu kelompok masyarakat. Misalnya, sejarah
perjuangan dan pengorbanan sering kali menjadi
fondasi nilai-nilai kebangsaan dan solidaritas
sosial.
L. Pengaruh pada Identitas
1) Kesadaran Sejarah dan Identitas Individu:
• Individu sering kali mengidentifikasi diri mereka
berdasarkan sejarah keluarga dan komunitas
mereka. Ini membentuk sense of belonging dan
identitas personal.
2) Sejarah dalam Pendidikan dan Pembentukan Identitas
Nasional:
• Kurikulum sejarah di sekolah memainkan peran
penting dalam membentuk pemahaman generasi
muda tentang identitas nasional dan global. Ini
mempengaruhi cara pandang mereka terhadap
dunia dan peran mereka di dalamnya.
Sejarah tidak hanya menjadi catatan masa lalu, tetapi juga
sebagai kompas yang membimbing kita dalam memahami dan
mengarahkan masa depan. Pengaruh sejarah dalam kehidupan
modern terlihat dalam struktur politik, sistem ekonomi, budaya,
dan identitas. Dengan memahami sejarah, kita dapat lebih
menghargai kompleksitas dunia modern dan mengambil
keputusan yang lebih bijaksana untuk masa depan.
Islam memiliki sejarah panjang yang kaya akan solusi
sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan,
kesejahteraan, dan solidaritas. Dengan menganalisis refleksi
historis ini, kita dapat menemukan solusi sosial yang relevan
untuk tantangan-tantangan modern.

16 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
M. Solusi Sosial dalam Sejarah Islam
1) Sistem Zakat dan Sadaqah: Salah satu contoh paling
menonjol dari solusi sosial dalam Islam adalah sistem
zakat dan sadaqah. Zakat, sebagai salah satu dari lima
rukun Islam, merupakan bentuk redistribusi kekayaan
yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
sosial. Dalam sejarah Islam, zakat digunakan untuk
membiayai berbagai aspek kesejahteraan sosial, termasuk
bantuan kepada fakir miskin, pembangunan
infrastruktur, dan pendidikan.
2) Waqf (Wakaf): Wakaf adalah institusi filantropi di mana
aset disumbangkan untuk kepentingan umum. Dalam
sejarah Islam, wakaf telah digunakan untuk mendirikan
masjid, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik
lainnya. Wakaf berperan penting dalam mendukung
perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat.
3) Sistem Keadilan Sosial: Khalifah Umar bin Khattab
dikenal dengan kebijakan sosialnya yang progresif. Salah
satu contohnya adalah pendirian Baitul Mal, sebuah
lembaga keuangan negara yang mengelola zakat, jizyah,
dan kharaj untuk distribusi yang adil kepada masyarakat.
Ini menunjukkan pentingnya tata kelola yang baik dan
keadilan dalam distribusi sumber daya.
N. Aplikasi Solusi Sosial Historis di Zaman Modern
1) Modernisasi Zakat dan Wakaf: Pengelolaan zakat dan
wakaf dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan
teknologi modern. Misalnya, platform digital dapat
digunakan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan
zakat secara efisien, sementara transparansi dan
akuntabilitas dapat diperkuat melalui sistem blockchain.
2) Inklusi Keuangan: Mengikuti prinsip-prinsip Baitul Mal,
lembaga keuangan Islam modern dapat memainkan
peran penting dalam inklusi keuangan. Pembiayaan

Hairunnisa| 17

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mikro berbasis syariah dapat membantu memberdayakan
masyarakat yang kurang mampu untuk memulai usaha
kecil dan meningkatkan taraf hidup mereka.
3) Pendidikan dan Pelatihan: Sejarah Islam menunjukkan
pentingnya pendidikan. Investasi dalam pendidikan,
terutama pendidikan agama yang disertai dengan
keterampilan praktis, dapat membantu menciptakan
generasi yang berpengetahuan dan berdaya saing.
Program beasiswa dan pelatihan kerja yang didanai oleh
zakat dan wakaf dapat menjadi solusi yang efektif.
Solusi sosial yang diilhami dari refleksi historis Islam
menunjukkan bahwa prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, dan
solidaritas memiliki relevansi yang kuat di zaman modern.
Dengan mengadaptasi pendekatan historis ini menggunakan
teknologi dan kebijakan kontemporer, kita dapat menghadirkan
solusi yang berkelanjutan dan inklusif untuk tantangan sosial saat
ini. Islam memberikan contoh konkret bagaimana prinsip-prinsip
ini dapat diterapkan secara praktis dan efektif dalam masyarakat.

KESIMPULAN
Refleksi sosial historis Islam merujuk pada bagaimana
ajaran dan nilai-nilai Islam diterapkan dan dipahami dalam
konteks masyarakat modern. Beberapa tema utama dalam
refleksi sosial historis Islam mencakup keadilan sosial,
Pendidikan dan pertahanan negara, gender, dan interaksi antara
tradisi dan modernitas. Berikut merupakan refleksi sosial Islam:
1) Keadilan Sosial
Islam menekankan pentingnya keadilan sosial, yang
meliputi distribusi kekayaan yang adil, perlindungan terhadap
kaum miskin dan rentan, serta penegakan hukum yang tidak
diskriminatif. Dalam konteks modern, berbagai organisasi dan
gerakan Islamis menekankan pentingnya zakat dan wakaf sebagai

18 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
instrumen untuk mengurangi ketimpangan sosial. Di berbagai
negara Muslim, ada upaya untuk meningkatkan transparansi dan
efisiensi dalam pengelolaan zakat untuk memastikan bahwa dana
tersebut benar-benar sampai kepada yang membutuhkan.
2) Pendidikan dan pertahanan negara
Pendidikan dalam Islam dianggap sebagai hak dasar
setiap individu dan merupakan alat untuk mencapai
pengembangan pribadi dan masyarakat. Dalam konteks modern,
banyak negara Muslim berusaha memperbaiki sistem pendidikan
mereka agar sesuai dengan standar internasional, sambil tetap
mempertahankan nilai-nilai Islam. Hal ini terlihat dari
meningkatnya jumlah sekolah dan universitas Islam yang
menawarkan kurikulum yang menggabungkan ilmu pengetahuan
modern dan studi Islam.
3) Gender
Masalah gender dalam Islam sering menjadi subjek
perdebatan dan refleksi. Dalam beberapa dekade terakhir, ada
peningkatan dalam kesadaran dan upaya untuk mempromosikan
kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim. Ini termasuk
meningkatkan partisipasi perempuan dalam pendidikan dan
pasar tenaga kerja, serta menentang praktik-praktik yang
merugikan perempuan, seperti pernikahan anak dan kekerasan
dalam rumah tangga. Di beberapa negara, ada kemajuan
signifikan dalam legislasi yang melindungi hak-hak perempuan,
meskipun tantangan masih tetap ada.
4) Tradisi dan Modernitas
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh
masyarakat Muslim adalah bagaimana menyeimbangkan antara
tradisi dan modernitas. Islam memiliki tradisi yang kaya yang
telah berkembang selama berabad-abad, tetapi dalam era
globalisasi, ada kebutuhan untuk menyesuaikan dan
menginterpretasikan ajaran-ajaran ini dalam konteks
kontemporer. Hal ini melibatkan diskusi yang terus-menerus

Hairunnisa| 19

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
antara ulama, cendekiawan, dan masyarakat umum tentang
bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam dunia yang
terus berubah.
5) Ekonomi Islam
Ekonomi Islam menawarkan alternatif terhadap sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis dengan prinsip-prinsip seperti
larangan riba (bunga), keadilan dalam transaksi, dan berbagi
risiko. Di banyak negara Muslim, ada peningkatan dalam
penggunaan dan pengembangan instrumen keuangan syariah,
seperti perbankan Islam dan sukuk (obligasi syariah). Ini
mencerminkan upaya untuk menciptakan sistem ekonomi yang
lebih adil dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
6) Teknologi dan Media
Teknologi dan media memainkan peran penting dalam
menyebarkan nilai-nilai Islam dan membentuk opini publik.
Media sosial, khususnya, telah menjadi alat penting bagi umat
Islam untuk berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan memobilisasi
gerakan sosial. Namun, ini juga membawa tantangan, seperti
penyebaran informasi yang salah dan ekstremisme online. Oleh
karena itu, penting bagi masyarakat Muslim untuk
mengembangkan literasi digital dan menggunakan teknologi
dengan bijak untuk mempromosikan nilai-nilai positif.
Refleksi sosial historis Islam dalam konteks modern
mencerminkan dinamika yang kompleks antara tradisi dan
perubahan. Dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip inti
Islam, masyarakat Muslim berusaha untuk menavigasi tantangan-
tantangan modern dan mencari solusi yang adil dan
berkelanjutan. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa Islam
memiliki relevansi yang kuat dalam menghadapi isu-isu sosial
kontemporer dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pembangunan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Akan perlunya penelitian lanjutan dari para ahli demi
keeksistensian kemajuan Islam dari segala aspek.

20 | Hairunnisa

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asfahani, Al-Raghib. 2004. Mu’jam al-Mufradat al-Fadz al-
Qur’an. Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Baghdadi, Abdurrahman, dan Nur Eva. 1996. Sistem
Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil Jatim: Al-Izzah.
Istiqomah, L., & Zulaikhah, A. 2019. "Telaah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam." Jurnal Al-Iqtishod, 1(1), 1–19.
Kartini, K., Maharini, P., Raimah, R., Hasibuan, S. L., Harahap,
M. H., & Armila, A. 2023. "Pendekatan Historis Dan
Pendekatan Filosofis Dalam Studi Islam." Jurnal Ilmiah
Multidisiplin, 2 (03), 21 –29.
https://doi.org/10.56127/jukim.v2i03.739
KHUDRI, N. U. R. S., KAMAL, T., HAKIM, R., & HANAFI,
H. 2024. "Kedudukan Dan Fungsi Sosiologi Dan
Antropologi Dalam Pendekatan Studi Islam." Jurnal
Ekonomi, Sosial & Humaniora, 6 (02), 29–34.
Luqmanul Hakim Habibie, M., Syakir Al Kautsar, M., Rochmatul
Wachidah, N., & Sugeng, A. 2021. "Moderasi Beragama
dalam Pendidikan Agama Islam di Indonesia." Jurnal
Moderasi Beragama, 01 (1), 121–150.
Rama, B. 2020. "Perspektif Sosio-Historis tentang Menata ke
Depan Keunggulan Pendidikan Islam." Al-Musannif, 2(1),
1–14. https://doi.org/10.56324/al-musannif.v2i1.20

M. Faiz Al Arif | 21

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


SOSIAL-HISTORIS STUDI ISLAM
KONTEMPORER

M. Faiz Al Arif


PENDAHULUAN
Studi Islam kontemporer menjadi semakin relevan dalam
konteks global yang terus berubah, di mana dinamika sosial,
politik, dan budaya saling berinteraksi dalam kerangka
pemahaman keagamaan. Pendekatan sosial-historis dalam kajian
Islam memberikan perspektif yang mendalam tentang bagaimana
tradisi keagamaan ini berkembang dan beradaptasi seiring dengan
perubahan zaman.
Melalui lensa sosial-historis, kita dapat memahami Islam
tidak hanya sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sebagai
fenomena sosial yang terjalin dengan berbagai faktor, seperti
ekonomi, politik, dan budaya. Ini mencakup analisis mengenai
peran komunitas Muslim dalam masyarakat, interaksi dengan
agama dan kepercayaan lain, serta respons terhadap isu-isu
kontemporer seperti globalisasi, pluralisme, dan hak asasi
manusia.
Studi ini juga mengajak kita untuk menggali bagaimana
narasi-narasi sejarah—baik yang dominan maupun marginal—
mempengaruhi pemahaman umat Islam tentang identitas, tradisi,
dan praktik keagamaan mereka. Dalam konteks ini, penting
untuk mempertimbangkan bagaimana gerakan reformasi,

22 | M. Faiz Al Arif

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
radikalisasi, dan dialog antaragama membentuk wajah Islam masa
kini.
Dengan fokus pada interaksi antara faktor sosial dan
sejarah, pendekatan ini tidak hanya berkontribusi pada
pemahaman akademis tentang Islam, tetapi juga memberikan
wawasan praktis untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh
masyarakat Muslim di seluruh dunia. Melalui eksplorasi ini,
diharapkan muncul pemahaman yang lebih holistik tentang peran
Islam dalam dunia kontemporer, serta strategi untuk
membangun dialog dan kerjasama yang lebih baik di antara
berbagai komunitas.
Dengan ketiga bahasan dibawah ini, kita dapat
memahami lebih dalam tentang kompleksitas Islam dalam
konteks sosial-historis dan tantangan yang dihadapi umat Muslim
di era modern. Berikut adalah tiga bahasan mengenai sosial-
historis studi Islam kontemporer:
1. Evolusi Pemikiran Islam dalam Konteks Sosial dan
Politik
Bahasan ini akan mengeksplorasi bagaimana pemikiran
Islam telah berevolusi sebagai respons terhadap perubahan sosial
dan politik di berbagai belahan dunia. Dalam konteks ini, penting
untuk menganalisis gerakan pemikiran reformis, moderat, dan
konservatif, serta dampaknya terhadap identitas dan praktik
keagamaan. Kajian ini mencakup tokoh-tokoh kunci, teks-teks
penting, dan perdebatan intelektual yang terjadi dalam komunitas
Muslim, baik di tingkat lokal maupun global. Selain itu, pengaruh
konteks politik, seperti kolonialisme, pasca-kolonialisme, dan
globalisasi, juga menjadi fokus penting dalam memahami
dinamika ini.
2. Kekerasan, Radikalisasi, dan Respon Masyarakat
Kekerasan berbasis agama dan radikalisasi menjadi isu
penting dalam studi Islam kontemporer. Bahasan ini akan
menganalisis faktor-faktor sosial, ekonomi, dan psikologis yang

M. Faiz Al Arif | 23

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
berkontribusi pada fenomena tersebut, serta bagaimana narasi
keagamaan bisa dimanipulasi untuk mendukung kekerasan.
Lebih jauh, kajian ini juga akan mengeksplorasi upaya masyarakat
sipil dan lembaga keagamaan dalam merespons radikalisasi,
termasuk program-program deradikalisasi dan dialog
antaragama. Dengan memahami konteks sosial yang
melatarbelakangi kekerasan, kita dapat lebih baik merumuskan
strategi pencegahan yang efektif.
3. Interaksi antara Islam dan Modernitas
Bahasan ini akan menggali bagaimana Islam berinteraksi
dengan nilai-nilai modernitas, termasuk hak asasi manusia,
gender, dan pluralisme. Studi ini akan menyoroti bagaimana
komunitas Muslim di berbagai negara menanggapi tantangan
modernitas dan bagaimana mereka mengintegrasikan nilai-nilai
tersebut ke dalam praktik keagamaan mereka. Analisis ini
mencakup peran pendidikan, media, dan teknologi dalam
membentuk pandangan generasi muda terhadap Islam. Selain itu,
fokus pada pemikiran feminis dalam Islam dan upaya untuk
mendefinisikan ulang peran gender dalam konteks kontemporer
juga menjadi aspek penting dalam diskusi ini.

EVOLUSI PEMIKIRAN ISLAM DALAM KONTEKS
SOSIAL DAN POLITIK
Evolusi pemikiran Islam tidak dapat dipisahkan dari
konteks sosial dan politik di mana ia berkembang. Sejak masa
awal, pemikiran Islam telah berinteraksi dengan berbagai faktor
eksternal, mulai dari kekuasaan politik hingga perubahan sosial.
Dalam konteks ini, pemikiran tokoh-tokoh reformis seperti
Muhammad Abduh dan Rashid Rida menjadi sorotan, di mana
mereka berusaha mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan
tantangan modernitas, sekaligus merespons dinamika sosial yang
ada. Abduh, misalnya, menekankan pentingnya ijtihad sebagai

24 | M. Faiz Al Arif

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
upaya untuk memperbarui pemikiran Islam dalam menghadapi
tantangan zaman.
Dalam perkembangan selanjutnya, munculnya gerakan
politik Islam di abad ke-20 menandai fase baru dalam evolusi
pemikiran Islam. Di berbagai negara, organisasi seperti Ikhwanul
Muslimin di Mesir dan Partai Islam di Indonesia mengusung
agenda yang mengaitkan Islam dengan politik. Pemikiran Hasan
al-Banna dan Syahrur menjadi penting dalam memahami
bagaimana pemikiran Islam dapat diadaptasi untuk memenuhi
tuntutan politik kontemporer. Mereka mengembangkan ide-ide
tentang bagaimana Islam dapat menjadi dasar bagi negara dan
masyarakat yang lebih baik, merespons kebutuhan akan keadilan
sosial dan politik.
Perkembangan pemikiran Islam di era globalisasi juga
membawa perubahan signifikan. Pemikir seperti Amina Wadud
dan Nurcholish Madjid menekankan pentingnya interpretasi
ulang terhadap teks-teks agama dalam konteks modern,
khususnya terkait dengan isu gender dan pluralisme. Mereka
berargumen bahwa pemahaman yang lebih inklusif dan progresif
terhadap Islam dapat membantu umat Muslim beradaptasi
dengan realitas sosial yang semakin kompleks, serta
memperjuangkan hak-hak kelompok yang terpinggirkan.
Evolusi Pemikiran Islam dalam Konteks Sosial dan
Politik
Evolusi pemikiran Islam tidak dapat dipisahkan dari
konteks sosial dan politik di mana ia berkembang. Sejak masa
awal, pemikiran Islam telah berinteraksi dengan berbagai faktor
eksternal, mulai dari kekuasaan politik hingga perubahan sosial.
Dalam konteks ini, pemikiran tokoh-tokoh reformis seperti
Muhammad Abduh dan Rashid Rida menjadi sorotan, di mana
mereka berusaha mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan
tantangan modernitas, sekaligus merespons dinamika sosial yang
ada. Abduh, misalnya, menekankan pentingnya ijtihad sebagai

M. Faiz Al Arif | 25

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
upaya untuk memperbarui pemikiran Islam dalam menghadapi
tantangan zaman. (Abdurrahman, M. 2016)
Dalam perkembangan selanjutnya, munculnya gerakan
politik Islam di abad ke-20 menandai fase baru dalam evolusi
pemikiran Islam. Di berbagai negara, organisasi seperti Ikhwanul
Muslimin di Mesir dan Partai Islam di Indonesia mengusung
agenda yang mengaitkan Islam dengan politik. Pemikiran Hasan
al-Banna dan Syahrur menjadi penting dalam memahami
bagaimana pemikiran Islam dapat diadaptasi untuk memenuhi
tuntutan politik kontemporer. Mereka mengembangkan ide-ide
tentang bagaimana Islam dapat menjadi dasar bagi negara dan
masyarakat yang lebih baik, merespons kebutuhan akan keadilan
sosial dan politik. (Yudi Latif. 2011)
Perkembangan pemikiran Islam di era globalisasi juga
membawa perubahan signifikan. Pemikir seperti Amina Wadud
dan Nurcholish Madjid menekankan pentingnya interpretasi
ulang terhadap teks-teks agama dalam konteks modern,
khususnya terkait dengan isu gender dan pluralisme. Mereka
berargumen bahwa pemahaman yang lebih inklusif dan progresif
terhadap Islam dapat membantu umat Muslim beradaptasi
dengan realitas sosial yang semakin kompleks, serta
memperjuangkan hak-hak kelompok yang terpinggirkan.
(Damanik, A. 2017)
Melalui analisis evolusi pemikiran Islam dalam konteks
sosial dan politik, kita dapat melihat bagaimana tradisi ini terus
berkembang dan beradaptasi, mencerminkan tantangan dan
dinamika yang dihadapi umat Islam di berbagai belahan dunia.
Pemikiran ini tidak hanya berfungsi sebagai respons terhadap
kondisi yang ada, tetapi juga sebagai upaya untuk membentuk
masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Muslim.

26 | M. Faiz Al Arif

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
KEKERASAN, RADIKALISASI, DAN RESPON
MASYARAKAT
Kekerasan berbasis agama dan radikalisasi telah menjadi
isu yang semakin menonjol dalam masyarakat kontemporer,
khususnya di kalangan komunitas Muslim. Fenomena ini sering
kali dipicu oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi yang
kompleks. Dalam banyak kasus, ketidakadilan sosial,
marginalisasi, dan diskriminasi menjadi latar belakang yang
mendorong individu atau kelompok untuk terlibat dalam
tindakan kekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan
sosial yang tidak mendukung dapat menjadi faktor pendorong
bagi individu untuk mencari makna melalui ideologi ekstremis.
(Haris, M. 2020).
Salah satu aspek penting dalam memahami radikalisasi
adalah proses bagaimana individu terpapar pada ideologi
ekstremis. Dalam banyak kasus, paparan ini dapat terjadi melalui
jaringan sosial, media sosial, atau melalui pengalaman traumatis
yang dialami oleh individu. Penelitian menunjukkan bahwa
kelompok radikal sering memanfaatkan jaringan sosial untuk
menyebarluaskan ideologi mereka, sehingga menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi radikalisasi. Ini menunjukkan
pentingnya analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
individu dalam memilih jalan kekerasan. (Setiawan, D. 2019)
Dalam menghadapi fenomena radikalisasi, berbagai
respon dari masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan. Upaya
pencegahan melalui pendidikan, dialog antaragama, dan
keterlibatan komunitas menjadi kunci dalam mengatasi
radikalisasi. Program deradikalisasi yang melibatkan mantan
anggota kelompok ekstremis juga menunjukkan hasil positif
dalam reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Ini menunjukkan
bahwa intervensi yang berbasis pada pemahaman sosial dan
budaya dapat membantu mengurangi kekerasan dan radikalisasi.
(Rahmawati, N. 2021)

M. Faiz Al Arif | 27

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Kombinasi antara pemahaman yang mendalam mengenai
faktor-faktor yang mendorong radikalisasi dan respon yang
konstruktif dari masyarakat sangat penting dalam mencegah
kekerasan berbasis agama. Melalui pendekatan yang holistik,
diharapkan masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih
aman dan inklusif, sekaligus memberikan kesempatan bagi
individu untuk berpartisipasi dalam pembangunan sosial yang
positif. (Indriani, S. 2022)
INTERAKSI ANTARA ISLAM DAN MODERNITAS
Interaksi antara Islam dan modernitas merupakan tema
yang semakin penting dalam kajian akademik, mengingat
tantangan yang dihadapi umat Muslim di era globalisasi.
Modernitas membawa nilai-nilai baru seperti hak asasi manusia,
demokrasi, dan pluralisme, yang sering kali bertentangan dengan
interpretasi tradisional terhadap Islam. Penelitian menunjukkan
bahwa respon umat Islam terhadap modernitas bervariasi,
tergantung pada konteks sosial, politik, dan budaya masing-
masing negara. Beberapa komunitas Muslim berusaha
mengadaptasi nilai-nilai modern tanpa meninggalkan prinsip-
prinsip dasar ajaran Islam. (Ahmad, N. 2021).
Dalam konteks pendidikan, modernitas telah mendorong
munculnya berbagai pemikiran baru dalam Islam. Tokoh-tokoh
pemikir Muslim kontemporer seperti Amina Wadud dan
Nurcholish Madjid berupaya untuk mendefinisikan ulang peran
gender dan keadilan sosial dalam kerangka Islam. Melalui
pendekatan inklusif, mereka mencoba menjawab tantangan
modernitas dengan menawarkan interpretasi yang lebih progresif
terhadap teks-teks keagamaan. Ini mencerminkan bagaimana
pemikiran Islam dapat berkembang seiring dengan tuntutan
zaman. (Wibowo, A. 2020).
Peran teknologi dan media sosial juga menjadi faktor
penting dalam interaksi antara Islam dan modernitas. Media
sosial memberikan platform bagi individu dan kelompok untuk
menyebarkan ide-ide Islam yang beragam, sekaligus menciptakan

28 | M. Faiz Al Arif

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ruang untuk diskusi dan dialog. Namun, fenomena ini juga
membawa tantangan, seperti penyebaran informasi yang salah
dan ekstremisme. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk
mengembangkan literasi digital yang kritis agar dapat
memanfaatkan teknologi secara positif. (Kurniawan, F. 2019)
Dengan memahami interaksi antara Islam dan
modernitas, kita dapat melihat bagaimana umat Muslim berupaya
untuk menyeimbangkan antara tradisi dan perubahan. Proses ini
tidak hanya melibatkan penyesuaian ideologis, tetapi juga praktik
sosial dan budaya yang mencerminkan nilai-nilai Islam dalam
konteks yang lebih luas. Oleh karena itu, pendekatan yang
holistik dan inklusif sangat diperlukan untuk menciptakan
masyarakat yang harmonis.

SIMPULAN
Studi sosial-historis Islam kontemporer menawarkan
wawasan yang mendalam tentang dinamika pemikiran dan
praktik keagamaan umat Muslim di berbagai konteks. Melalui
pendekatan ini, kita dapat memahami bahwa Islam bukan hanya
sekadar sistem kepercayaan yang statis, tetapi juga merupakan
entitas yang berkembang dan beradaptasi dengan perubahan
sosial, politik, dan budaya yang terjadi di sekitar umatnya.
Dengan demikian, pemahaman tentang Islam harus
mempertimbangkan latar belakang sejarah dan faktor-faktor
sosial yang memengaruhi perjalanan umat Muslim dalam
menjalani kehidupan mereka.
Salah satu aspek penting dari studi ini adalah evolusi
pemikiran Islam dalam konteks sosial dan politik. Di berbagai
belahan dunia, pemikir Muslim telah berupaya mengintegrasikan
nilai-nilai Islam dengan tantangan modernitas. Pemikiran tokoh-
tokoh reformis, seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida,
menjadi contoh bagaimana tradisi keagamaan dapat beradaptasi
dan berevolusi. Di sisi lain, munculnya gerakan politik Islam

M. Faiz Al Arif | 29

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
menunjukkan keinginan untuk mengaitkan ajaran Islam dengan
pembangunan masyarakat yang lebih adil. Dengan demikian,
pemikiran Islam terus berlanjut dan berinteraksi dengan konteks
sosial yang kompleks, yang sering kali melibatkan ketegangan
antara nilai-nilai tradisional dan tuntutan modernitas.
Fenomena kekerasan dan radikalisasi dalam konteks
Islam juga menjadi perhatian utama dalam studi sosial-historis.
Banyak faktor yang dapat memicu radikalisasi, termasuk
ketidakadilan sosial, marginalisasi, dan pengalaman trauma.
Penelitian menunjukkan bahwa radikalisasi sering kali dipicu oleh
ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan politik yang ada. Oleh
karena itu, pemahaman yang lebih dalam mengenai faktor-faktor
yang mendasari kekerasan berbasis agama sangat penting untuk
merumuskan strategi pencegahan yang efektif. Upaya
pencegahan, seperti program deradikalisasi dan dialog
antaragama, menunjukkan pentingnya keterlibatan komunitas
dalam membangun ketahanan sosial.
Interaksi antara Islam dan modernitas merupakan tema
sentral lainnya dalam studi ini. Modernitas telah membawa nilai-
nilai baru yang sering kali bertentangan dengan interpretasi
tradisional terhadap Islam. Namun, banyak komunitas Muslim
yang berusaha mengadaptasi nilai-nilai modern tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Tokoh-tokoh
seperti Amina Wadud dan Nurcholish Madjid telah menekankan
perlunya reinterpretasi teks-teks keagamaan untuk menjawab
tantangan modern. Melalui pendekatan inklusif, mereka berusaha
untuk menciptakan dialog yang konstruktif antara tradisi dan
perubahan, sehingga pemikiran Islam dapat berkembang seiring
dengan tuntutan zaman.
Lebih jauh, teknologi dan media sosial telah mengubah
cara umat Muslim berinteraksi dengan dunia dan dengan satu
sama lain. Meskipun media sosial memberikan platform untuk
menyebarkan pemikiran Islam yang beragam, fenomena ini juga
menghadirkan tantangan, seperti penyebaran ekstremisme dan

30 | M. Faiz Al Arif

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
informasi yang salah. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat
untuk meningkatkan literasi digital agar dapat memanfaatkan
teknologi secara positif dan membangun komunitas yang inklusif
dan toleran.
Secara keseluruhan, studi sosial-historis Islam
kontemporer memberikan kerangka kerja yang holistik untuk
memahami kompleksitas Islam dalam konteks modern. Melalui
pendekatan ini, kita dapat melihat bahwa Islam adalah entitas
yang dinamis, yang terus berevolusi dan beradaptasi dengan
tantangan zaman. Dengan memahami konteks sosial-historis ini,
kita dapat menciptakan dialog yang lebih baik dan membangun
pemahaman yang lebih dalam antara berbagai komunitas,
sekaligus mencari solusi untuk tantangan yang dihadapi umat
Muslim di era modern ini.
Akhirnya, penting untuk menekankan bahwa studi sosial-
historis tidak hanya bermanfaat bagi akademisi, tetapi juga bagi
para pembuat kebijakan, aktivis, dan masyarakat luas.
Pemahaman yang lebih baik tentang pemikiran dan praktik
keagamaan umat Muslim dapat membantu membangun
jembatan antara berbagai komunitas dan menciptakan
lingkungan yang lebih aman dan inklusif. Dalam menghadapi
tantangan global, kolaborasi antaragama dan antarbudaya
menjadi semakin penting, dan studi sosial-historis dapat
memainkan peran kunci dalam proses tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2016). Reformasi Pemikiran Islam: Sejarah dan
Dinamika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damanik, A. (2017). Islam dan Pluralisme: Paradigma Baru dalam
Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Yudi Latif. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Relasi, dan
Keberagaman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

M. Faiz Al Arif | 31

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Ahmad, N. (2021). "Modernitas dan Interpretasi Islam: Antara Tradisi
dan Inovasi." Jurnal Ilmu Agama dan Budaya, 6(2), 155-170.
Indriani, S. (2022). "Membangun Ketahanan Sosial dalam Menghadapi
Radikalisasi: Strategi dan Implementasi." Jurnal Sosial dan
Pembangunan, 8(1), 92-107.
Haris, M. (2020). "Radikalisasi dan Kekerasan dalam Perspektif Sosial:
Studi Kasus di Indonesia." Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora,
2(1), 45-60.
Kurniawan, F. (2019). "Peran Media Sosial dalam Penyebaran
Pemikiran Islam Kontemporer: Peluang dan Tantangan." Jurnal
Komunikasi Islam, 3(2), 75-90
Rahmawati, N. (2021). "Respon Masyarakat terhadap Radikalisasi:
Peran Pendidikan dan Dialog." Jurnal Pendidikan dan
Masyarakat, 5(3), 178-194.
Setiawan, D. (2019). "Dinamika Radikalisasi: Faktor-faktor Penyebab
dan Prosesnya." Jurnal Kajian Keislaman, 7(2), 105-122.
Wibowo, A. (2020). "Pemikiran Gender dalam Islam di Era Modern:
Studi Kasus Pemikiran Nurcholish Madjid." Jurnal Pendidikan
Islam, 12(1), 45-60.

32 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ISLAM DI TENGAH ARUS MODERNITAS:
TREN BERAGAMA GENERASI Z DAN
TANTANGAN MODERASI BERAGAMA

Dewi Anggraeni


PENDAHULUAN
Modernitas telah membawa perubahan besar dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal beragama. Sejak
pertengahan tahun 1970-an, pertentangan antara tradisi dan
modernitas telah menjadi isu problematik dalam wacana budaya
Islam dan Arab (Rahman,1992). Para pemikir Islam kontemporer
telah berusaha memosisikan tradisi dan modernitas secara
seimbang dalam perkembangan agama dan budaya, menghadapi
dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional yang
diwariskan dari generasi ke generasi dan mengakomodasi
perubahan sosial yang pesat akibat modernisasi dan globalisasi
(Ismail,2018). Pengaruhnya terus dirasakan hingga hari ini,
terutama dalam konteks keberagamaan generasi Z.
Dalam konteks kajian Islam kontemporer, model
beragama generasi Z memiliki karakteristik yang unik. Generasi
Z, juga disebut dengan generasi post-millenials yang umumnya
lahir antara tahun 1997 hingga 2012, merupakan generasi
pertama yang tumbuh dalam era digital dan globalisasi yang
sangat terhubung, mereka yang terlahir dalam keadaan dunia
sudah melek internet dan bergelimang teknologi (Andrea et al.,
2018). Generasi ini hidup di tengah kemajuan teknologi yang
sangat pesat, yang memberikan mereka akses tak terbatas ke
informasi global, termasuk pandangan-pandangan keagamaan
yang beragam. Di satu sisi, mereka hidup di dunia yang
menawarkan kebebasan berekspresi dan keterbukaan dalam

Dewi Anggraeni | 33

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mengakses berbagai ide dan pandangan keagamaan. Namun, di
sisi lain, generasi ini juga dihadapkan pada fragmentasi identitas,
krisis spiritual, dan kecenderungan sekularisme yang mereduksi
agama hanya sebagai aktivitas ritual, tanpa mendalam pada
makna spiritual atau nilai-nilai universal Islam. Pengaruh ini
membentuk cara mereka memaknai agama, menghadirkan
tantangan untuk mempertahankan identitas keislaman di tengah
arus modernitas.
Gejala dan fenomena agama kontemporer paling menonjol
adalah “kebangkitan agama” dan revitalisasi yang terekspresikan
dalam bentuk peningkatan gairah dan semangat keagamaan
(Hatta, 2018). Di era digital dewasa ini telah mewujudkan
perpindahan manusia secara besar-besaran dari sebuah
masyarakat lama menuju sebuah masyarakat baru yang menurut
Rhenald Kasali disebut dengan The Great Shifting (Kasali, 2018)
jauh sebelum itu Alvin Toffler telah memprediksikan perubahan
yang luar biasa dengan teknologi dengan istilah The Third Wave
(Toffler, 1980). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dirilis
oleh Varkey Foundation yang mengungkapkan bahwa Generasi
Z dari 20 negara beranggapan bahwa komitmen terhadap agama
menjadi salah satu faktor penting kebahagiaan (Broadbent & All,
2017). Bahkan Indonesia menduduki peringkat tertinggi dengan
persentase sebesar 93%, artinya generasi Z di Indonesia masih
tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai religiositas ajaran agama
dalam kehidupan pada era digital saat ini (Karim, 2020).
Kajian di atas memperkuat apa yang dikatakan oleh
Hoover bahwa pada saat ini perbincangan mengenai agama tidak
dapat dipisahkan dari media dan teknologi keduanya sangat erat
kaitannya dalam memberikan pesan terhadap agama (Anggraeni,
2023). Hal ini berimplikasi pada bergesernya kehidupan
beragama dari pola Islam komunal kepada Islam yang cenderung
individual. Masyarakat sudah tidak perlu lagi berkumpul dan
bertatap muka dalam sebuah majelis untuk mendengarkan
pengajian secara rutin, sudah dicukupkan dengan mendengarkan
pengajian-pengajian yang bisa diakses lewat gawai masing-

34 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
masing. Hal senada diutarakan oleh Morgan bahwa dengan
adanya revolusi industri manusia lebih kental dengan penggunaan
media dan teknologi, bahwa perkembangan kajian tentang agama
dan media semakin pesat meningkat. Selain itu muncul
kecenderungan untuk lebih senang mengikuti tren memperdalam
pengetahuan keagamaan secara mudah dan instan melalui
teknologi digital (Muhammad, 2017).
Tren beragama generasi Z sering kali ditandai dengan
pergeseran dari model keberagamaan tradisional menuju bentuk
yang lebih personal, dinamis, dan plural. Mereka cenderung
memandang agama bukan hanya sebagai warisan turun-temurun,
tetapi sebagai pilihan pribadi yang dapat diakses dan dipraktikkan
dengan cara yang lebih fleksibel. Terkait dengan aktivitas yang
berhubungan dengan agama, geliat aktivitas beragama Islam di
kalangan generasi Z tampak tinggi. M. Hatta mengungkapkan
bahwa teknologi sebagai kebutuhan primer generasi Z
merupakan fakta yang tak terbantahkan. Dari empat jam lebih
waktu yang digunakan dalam mengakses internet minimal
seperempatnya dimanfaatkan untuk mempelajari atau menambah
pengetahuan mereka tentang agama(Hatta, 2018).
Di tengah dinamika ini, muncul tantangan besar bagi
generasi Z bagaimana mempraktikkan ajaran Islam yang inklusif
yang menjalankan agama yang didasarkan kepada tawasuth,
tawazun, tasamuh dan itidal di tengah kemajemukan. Pemahaman
terhadap Islam yang sangat beragam memunculkan upaya-upaya
yang berusaha untuk menggiring opini masyarakat kepada sebuah
pemahaman tertentu termasuk narasi-narasi ekstremisme
ketimbang narasi-narasi persatuan dan perdamaian. Teknologi
digital sebagai ruang free market idea sangat potensial menjadi
tempat berseminya gagasan eksklusif dalam beragama (Karim,
2020). Hal ini terlihat dalam beberapa ekspresi keagamaan yang
ditampilkan dengan merasa paling benar sendiri dan menganggap
orang lain di luar kelompok mereka salah dan sesat. Praktik
tradisi kehidupan keagamaan kita yang sudah turun temurun dan
bahkan sudah mendapatkan legitimasi hujjah dan dalil dari ulama-

Dewi Anggraeni | 35

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ulama nusantara tiba-tiba dituduh sebagai bid’ah dan kurafat (Ali,
2021).
Pemikiran eksklusif ini bila dibiarkan lebih jauh bisa
berkembang menjadi praktik kehidupan yang cenderung
intoleran, mata rantai ini bila berlanjut terus menerus tidak
menutup kemungkinan tumbuhnya benih radikalisme dan
terorisme. Keduanya dapat mengancam esensi Islam sebagai
agama yang rahmatan lil ‘alamin. Tantangan moderasi beragama
dalam konteks ini adalah bagaimana membentuk generasi Z yang
mampu menjalankan agama dengan tetap menghargai
keberagaman, menghindari sikap ekstremis, dan tetap berpegang
teguh pada nilai-nilai universal Islam. Oleh karenanya, generasi Z
sebagai pengguna aktif media digital perlu terus diperkuat dengan
gagasan dan narasi yang mendukung toleransi dan keharmonisan
sosial. Salah satu caranya adalah dengan mengisi platform digital
dengan informasi keagamaan yang berlandaskan moderasi
beragama. Langkah ini penting untuk membangun kontra narasi
terhadap pesan-pesan yang bersifat provokatif, atau berbau
radikalisme dan terorisme. Pesan keagamaan yang berbasis
moderasi beragama dapat menjadi alternatif dalam membentuk
pola pikir yang moderat, toleran, serta berorientasi pada
perdamaian.
Memahami tren beragama generasi Z dan mencari strategi
yang tepat untuk menanggulangi tantangan moderasi beragama.
Bagaimana Islam, sebagai agama yang dinamis dan penuh
rahmat, dapat dihadirkan secara relevan bagi generasi Z tanpa
kehilangan esensi ajarannya di tengah gempuran modernitas?
Pada saat yang sama, mereka dihadapkan pada pertanyaan
mendasar: Bagaimana menyeimbangkan nilai-nilai Islam yang
tradisional dengan kehidupan modern yang sangat dinamis?.
MODERNITAS, LOKALITAS DAN GENERASI Z
Modernitas (modernity) atau kemodernan, berati kualitas
yang bercorak modern (Ismail, 2018).Berbicara mengenai
modernitas terdapat berbagai macam teori yang

36 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mendefinisikannya (Ritzer, 2014). Modernitas merujuk pada
karakteristik masyarakat modern yang telah mengalami
transformasi sosial signifikan dibandingkan dengan masyarakat
di era pra-modern, khususnya pada abad pertengahan.
Kemunculan modernitas dipicu oleh perubahan besar dalam
berbagai bidang, seperti perkembangan pesat ilmu pengetahuan
(revolusi ilmiah), perubahan dalam sistem ekonomi (revolusi
industri di Inggris), serta perubahan dalam tatanan sosial dan
politik (revolusi Prancis). Transformasi ini melahirkan elemen-
elemen utama modernitas, termasuk sains, teknologi, demokrasi,
dan kapitalisme, yang menjadi fondasi bagi kehidupan
masyarakat modern(Giddens, 1990).
Berbeda dari teori barat terkait modernitas menurut Cak
Nur modernitas tidak terlepas dari ajaran Islam sebagai sebuah
agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan yang ke arah
kemajuan. Islam justru sangat membuka peluang dan memberi
tempat pada modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja
hidup di alam kemodernan dengan tetap mempertahankan dan
memegang teguh nilai-nilai agama yang dianut. Menjadi modern
tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dalam
menjalankan ajaran agamanya (Madjid, 2008). Modernitas
(kemodernan, sikap modern), tidak hanya mengandung
kegunaan praktis, tapi pada hakikatnya mengandung arti yang
lebih mendalam lagi, yaitu pendekatan kepada Kebenaran
Mutlak(Rachman, 2019).
Sifat modernitas tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan, selain memberikan kegunaan-kegunaan praktis,
juga dikejar, karena kekuatannya untuk mengantarkan manusia
pada keinsafan yang lebih mendalam tentang alam raya ini.
Keinsafan diungkapkan oleh Einstein dalam Buddy dengan kata-
katanya: Emosi paling indah dan paling mendalam yang dapat kita alami
ialah rasa mistis. Ia merupakan kekuatan semua ilmu pengetahuan yang
benar (Rachman, 2019). Konsep ini menekankan pentingnya
pergeseran dari otoritas tradisional menuju pendekatan yang
lebih berbasis sains dan rasionalitas dalam memahami dunia.

Dewi Anggraeni | 37

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Modernitas bukan hanya tentang kemudahan fasilitas, tapi yang
terpenting adalah kualitas, karena modernitas sangat identik
dengan kualitas, baik itu kualitas hidup, kualitas berpikir, kualitas
diri maupun kualitas spiritual(Hasanah et al., 2023).
Lokalitas merujuk pada ciri khas, identitas, dan konteks
khusus suatu wilayah atau komunitas yang tercipta dari interaksi
antara budaya, sosial, lingkungan, dan sejarah. Konsep ini
menekankan pentingnya faktor-faktor lokal dalam membentuk
identitas individu atau kelompok, serta pengaruhnya terhadap
dinamika sosial dan budaya yang lebih luas. Geertz memandang
lokalitas sebagai konteks budaya yang unik di mana masyarakat
hidup dan berinteraksi. Ia menekankan pentingnya memahami
makna-makna simbolik dan narasi budaya dalam lingkup lokal,
serta bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi pola perilaku,
tradisi, dan norma sosial di komunitas tertentu (Geertz, 1992).
Bagi Geertz, lokalitas adalah hasil dari interaksi sejarah dan
budaya yang terus berkembang, tetapi tetap mempertahankan
identitas unik yang berbeda dari wilayah lainnya.
Dalam perspektif Gus Dur, konsep lokalitas sangat terkait
dengan gagasannya tentang pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam
adalah upaya untuk menempatkan ajaran-ajaran Islam dalam
konteks lokal tanpa harus kehilangan esensi ajaran
tersebut(Wahid, 1989). Gus Dur meyakini bahwa Islam harus
dapat beradaptasi dengan budaya dan tradisi lokal tanpa merusak
atau mengubah inti dari ajaran Islam itu sendiri(Wahid, 2001).
Dalam konsep ini, lokalitas menjadi elemen penting karena ia
mencerminkan identitas dan karakter suatu masyarakat yang
terbentuk melalui sejarah, tradisi, dan nilai-nilai budaya. Islam
tidak perlu ditransformasikan ke dalam bentuk yang seragam dan
asing dari konteks lokal, melainkan harus bersanding harmonis
dengan kebudayaan setempat. Hal ini terlihat dari praktik Islam
di Indonesia yang telah lama menyatu dengan tradisi-tradisi lokal,
seperti dalam perayaan keagamaan atau nilai-nilai sosial yang
diadaptasi dari budaya Nusantara.

38 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Lokalitas, dalam konteks Gus Dur, adalah ruang di mana
Islam dapat "membumi" dengan tetap menghormati keragaman
budaya setempat. Menurut Gus Dur, Islam yang hidup di tanah
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan daerah lainnya tidak harus
seragam dengan Islam yang dipraktikkan di tempat asalnya, tetapi
dapat menyesuaikan dengan karakteristik dan nilai-nilai lokal.
Dalam pandangannya, nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam
masyarakat lokal dengan cara yang fleksibel, selama tidak
merusak nilai-nilai universal Islam, seperti keadilan,
kemanusiaan, dan perdamaian. Bagi Gus Dur, kebudayaan lokal
dan Islam tidak harus dilihat sebagai dua hal yang berlawanan,
melainkan dapat saling melengkapi dan memperkaya. Dengan
demikian, lokalitas dalam pandangan Gus Dur bukan hanya
sekadar ruang geografis, tetapi juga kerangka sosial dan budaya
di mana Islam dapat dijalankan dengan penuh penghormatan
terhadap identitas lokal masyarakat.
Menurut Tapscott generasi Z adalah golongan yang
dilahirkan tahun 1995 hingga 2010 yang identik dengan teknologi
(Don, 2008). Oleh karenanya, generasi Z, disebut juga
iGeneration atau generasi internet (generasi Net). Prensky
mengistilahkan generasi Z dengan digital native’s yang sangat lekat
dengan penggunaan teknologi, hal tersebut seperti sudah
tertanam dalam diri mereka sejak lahir (Prensky, 2001). Generasi
Z juga memiliki karakteristik yang ingin selalu terhubung dengan
internet setiap saat untuk membuat dan membagikan konten
kepada orang lain yang membuat mereka sangat aktif
menggunakan media sosial. Generasi Z juga banyak
menghabiskan waktu dengan teknologi dalam setiap aktivitasnya
dan menjadi masyarakat digital yang sebenarnya. Segala hal yang
dilakukan oleh generasi Z biasanya berhubungan dengan dunia
maya. Dengan dibantu oleh perkembangan teknologi, mereka
lebih mampu untuk melakukan semua kegiatan dalam satu
waktu (multitasking) dibandingkan generasi-generasi
terdahulunya. Secara tidak langsung, hal ini berpengaruh
terhadap kepribadian dan karakteristik mereka.

Dewi Anggraeni | 39

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Berdasarkan hasil laporan Gen Z tahun 2024(Pasaman &
Dkk, 2024), saat ini merupakan kelompok generasi terbesar di
Indonesia dengan jumlah 27,94% dari total populasi atau 74,93
juta orang. Signifikansi mereka lebih besar daripada generasi
milenial, yang merupakan generasi kedua generasi terbesar kedua
di Indonesia dengan 25,87% dari total populasi atau 69,38 juta
orang. Hampir setengah dari Gen Z telah memasuki usia
produktif. Gen Z tentunya memiliki sikap dan perilaku yang
berbeda dan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan
generasi sebelumnya.
Setiap individu memiliki karakteristiknya masing-masing,
sehingga tidak dapat disamakan antara satu dengan lainnya.
Termasuk generasi Z, dengan ciri khasnya sendiri yang
membedakan mereka dengan generasi-generasi sebelumnya.
Menurut Stillman terdapat 7 karakteristik ideal generasi Z antara
lain(Stillman & Stillman, 2018):
1) Figital dalam konteks generasi Z berarti mereka tidak
membedakan antara dunia nyata dan dunia digital.
Teknologi berkembang pesat di era mereka, membuat
segala sesuatu mudah diakses melalui aplikasi dan situs
online. Meskipun dunia digital bisa mengurangi interaksi
fisik dengan orang lain, generasi Z cenderung tidak
terlalu mempermasalahkannya. Mereka lebih fokus pada
efisiensi waktu, karena dunia digital dan teknologi sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Dengan hanya beberapa kali klik, mereka dapat
memenuhi semua kebutuhan dan keperluan mereka.
2) Hiper-kustomisasi dalam konteks generasi Z berarti
mereka tidak ingin diberi label atau stereotip. Mereka
ingin menonjolkan kelebihan dan keunikan sebagai
identitas mereka, bukan berdasarkan agama, suku, atau
ras. Generasi Z ingin mengkustomisasi identitas mereka
sebanyak mungkin di hadapan masyarakat, sehingga
mereka terlihat unik dibanding orang lain di lingkungan
mereka.

40 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
3) Realistis, Generasi Z cenderung lebih mengutamakan
pembelajaran praktis daripada teoritis. Mereka lebih
tertarik mempelajari cara menjual produk atau
menyelesaikan masalah nyata dalam kehidupan sehari-
hari. Sejalan dengan karakteristik mereka yang suka
menyesuaikan diri, generasi Z berfokus pada hal-hal yang
mereka anggap penting untuk masa depan. Meskipun
terkadang terlihat tidak terlalu percaya pada mimpi besar,
tindakan mereka lebih nyata dan dapat memberikan
dampak positif pada lingkungan sekitar.
4) Fear of Missing Out (FOMO) Generasi Z, yang dikenal
sebagai generasi digital, memiliki kecenderungan untuk
selalu mencari dan mengumpulkan informasi dari
internet. Mereka sering kali merasa khawatir jika
tertinggal dari informasi terbaru. Rasa ingin tahu yang
tinggi membuat mereka cemas jika tidak mengikuti
berita-berita terkini. Kekhawatiran ini muncul dari
ketakutan akan ketinggalan dari orang-orang di sekitar
mereka. Generasi Z juga ingin memahami dan
mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan orang lain,
melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan daya
saing mereka.
5) Weconomist, Generasi Z merupakan satu di antara
sekian generasi yang mengenal kata kolaborasi, terutama
pada bidang ekonomi. Biasa dikenal sebagai Ekonomi
Berbagi atau Weconomist, mereka turut berpengaruh
pada pasar industri digital, seperti Gojek, Grab, dan
Disney+ Hotstar. Generasi Z cenderung lebih terbuka.
6) Do It Yourself (D.I.Y.)Generasi Z dikenal sebagai
generasi digital yang mandiri, terutama dalam hal
mempelajari hal-hal baru. Mereka tidak memerlukan
bimbingan atau bantuan khusus, karena cukup dengan
mencari video tutorial di platform seperti YouTube,
mereka bisa menyelesaikan berbagai tugas dengan
mudah. Namun, kemandirian ini juga memiliki sisi lain,

Dewi Anggraeni | 41

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
yaitu anggapan bahwa generasi Z kurang memiliki
kemampuan untuk bekerja dalam tim.
7) Generasi Z memang dikenal realistis dan cenderung tidak
memiliki mimpi besar yang utopis, namun mereka sangat
termotivasi untuk membawa perubahan positif di
lingkungan sekitar. Dengan teknologi yang selalu ada di
tangan mereka, generasi ini siap melakukan tindakan yang
lebih besar untuk membantu banyak orang yang
membutuhkan. Semangat yang mendorong mereka ini
memungkinkan generasi Z membangun dan
memperkenalkan personal branding mereka kepada dunia,
guna mendukung aksi-aksi positif dan inovatif di masa
depan.

Berdasarkan hasil survei tahun 2024, mengungkapkan
bahwa Generasi Z memiliki kepedulian dan kepekaan sosial lebih
dari setengahnya, yaitu 60%, mengidentifikasi ketimpangan sosial
dan ketimpangan sosial dan ekonomi sebagai masalah utama.
Kesehatan mental dan kesejahteraan diikuti dengan angka 51%,
sementara hak asasi manusia dan keadilan sosial dan hak asasi
manusia dan keadilan sosial dicatat oleh 42% responden. Akses
ke pendidikan mendapat perhatian dari 34% responden,
sementara masalah sosial masyarakat, sementara dampak
perkembangan teknologi menjadi perhatian bagi 31% Gen Z.
Perubahan iklim, ketidaksetaraan gender dan perubahan politik
tampaknya kurang penting, hanya beresonansi dengan 25%, 12%
dan 11% dari responden Gen Z(Pasaman & Dkk, 2024).
Generasi Z menunjukkan karakteristik yang kuat dalam
konteks sosial, budaya, dan teknologi. Keterhubungan global dan
kemampuan mereka untuk menavigasi dunia digital menjadikan
generasi ini salah satu generasi yang paling dinamis dan adaptif
dalam sejarah modern. Generasi Z sering dianggap sebagai
generasi yang telah mengalami keuntungan dan kerugian dari
digitalisasi(Olçum & Gülova, 2023). Keuntungannya antara lain
akses yang lebih mudah dan cepat terhadap informasi mengenai
pendidikan umum dan agama, hiburan, serta ruang dan waktu

42 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
yang tidak terbatas untuk berkomunikasi. Namun, potensi
kerugiannya termasuk kecanduan layar, yang dimulai sejak masa
kanak-kanak, berkurangnya kemampuan untuk menganalisis
informasi, dan masalah keamanan informasi pribadi.

TRANSFORMASI BERAGAMA GENERASI Z
Transformasi adalah konsep yang melibatkan perubahan
sistemik dan mendalam, mencakup pergeseran paradigma
(Amundsen & Hermansen, 2020). Transformasi ini secara
signifikan mempengaruhi proses komunikasi dan hubungan
sosial dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan,
sehingga memengaruhi institusi formal maupun informal.
Biasanya, transformasi terjadi karena adanya pergeseran nilai dan
norma baru dalam masyarakat (Pabbajah, 2024b).
Teknologi digital, media sosial, dan akses tanpa batas
terhadap informasi global telah memberikan pengaruh yang
besar pada generasi Z. Sebagai pengguna aktif internet, generasi
Z menggunakan media digital untuk memperoleh literasi agama.
Digitalisasi agama memungkinkan berbagai platform online
menyediakan materi keagamaan yang bisa diakses secara bebas.
Perkembangan teknologi yang pesat dan kompleks ini tidak
hanya menghasilkan produk budaya, ekonomi, dan politik, tetapi
juga mempengaruhi ideologi dan agama (Abdullah, 2017).
Banyak individu, terutama generasi Z, mencari sumber-sumber
hukum agama atau dasar-dasar teologi melalui media digital, dan
tren ini semakin meningkat dengan akses yang lebih mudah ke
pendidikan agama secara daring (Garner, 2012).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Alvara (Ali & Purwandi, 2020), bahwa generasi Z mengakses
konten keagamaan di platform seperti YouTube, Website dan
Facebook menjadi sangat populer, dengan para influencer agama
yang menyajikan ajaran keagamaan dalam format yang menarik
dan sesuai dengan gaya hidup modern. Di media sosial,

Dewi Anggraeni | 43

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
influencer agama menyajikan ajaran keagamaan dalam format
yang menarik dan sesuai dengan gaya hidup modern, sehingga
semakin populer di kalangan generasi ini. Media baru ini
menghadirkan tantangan terhadap otoritas keagamaan
tradisional. Generasi Z cenderung lebih memilih mengikuti
informasi agama dari influencer di media sosial ketimbang dari
pemuka agama yang memiliki otoritas keilmuan (sanad). Di sisi
lain, terjadi penurunan dalam partisipasi pada ritual keagamaan
yang bersifat kultural dan turun temurun. Generasi Z lebih jarang
mengikuti kegiatan seperti Tahlilan, Maulid Nabi, Qunut, dan
Ziarah Kubur dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Ali &
Purwandi, 2020). Fenomena ini mencerminkan bagaimana
modernitas telah menciptakan transformasi yang signifikan
dalam praktik keagamaan generasi Z.
Pemahaman agama di kalangan generasi Z telah mengalami
perubahan signifikan, terutama dipengaruhi oleh kemunculan
dan intensitas penggunaan media digital. Transformasi ini
menciptakan pergeseran dalam cara pandang dan praktik
keagamaan, yang dapat dilihat dari beberapa aspek utama sebagai
mana berikut(Pabbajah, 2024b).
Pertama, media digital telah mengubah semangat beragama
masyarakat. Dengan dukungan dari platform-platform online,
Gen Z kini memiliki akses yang lebih luas dan cepat terhadap
materi keagamaan. Hal ini mengarah pada pembentukan
pemahaman agama yang lebih terfokus pada informasi yang
tersedia secara digital, sering kali mengabaikan dimensi
tradisional dan komunitas dalam praktik keagamaan. Media
digital mengubah semangat beragama dengan menggeser cara
pemahaman agama dari pendekatan berbasis komunitas dan
tradisi ke pendekatan yang lebih individualistis dan terfokus pada
akses cepat. Ini menciptakan tantangan baru dalam menjaga
keseimbangan antara keberagamaan yang berbasis teknologi dan
yang bersandar pada tradisi, otoritas keagamaan, dan nilai
komunitas. Semangat beragama yang muncul dalam konteks ini
cenderung dipengaruhi oleh apa yang mudah diakses dan viral di

44 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
internet, sehingga membentuk perspektif yang mungkin tidak
selalu sejalan dengan ajaran agama secara menyeluruh. Dengan
akses mudah ke berbagai sumber informasi melalui internet,
generasi Z mungkin merasa bahwa mereka tidak perlu mengikuti
ritual-ritual tradisional untuk memenuhi kebutuhan spiritual
mereka.
Kedua, fenomena ini juga menyebabkan individu atau
kelompok lebih mudah mengklaim kebenaran agama hanya
berdasarkan teks-teks yang mereka temukan secara online, tanpa
mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Ketergantungan
pada sumber informasi yang terbatas dan terkadang sempit dapat
mengakibatkan kurangnya toleransi terhadap perbedaan
pandangan. Generasi Z mungkin lebih cenderung menilai
kebenaran agama berdasarkan interpretasi pribadi atau kelompok
mereka, yang sering kali tidak memperhitungkan keragaman
pemahaman dalam komunitas yang lebih besar.
Ketiga, visualisasi keagamaan di media sosial telah menjadi
sarana penting dalam mengekspresikan semangat beragama.
Gambar, simbol, dan konten visual lainnya dapat diposting dan
dibagikan secara instan, memberikan dampak yang kuat terhadap
bagaimana orang memahami dan merasakan agama. Visualisasi
ini tidak hanya memperkuat identitas keagamaan tetapi juga dapat
mempengaruhi cara masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi
mengenai keyakinan mereka. Tampilan visual yang viral sering
kali menciptakan dorongan emosional yang cepat dan intens,
mempengaruhi semangat keagamaan dalam cara yang mungkin
lebih spontan dan kurang reflektif.
Perubahan pola beragama dari generasi sebelumnya ke
Generasi Z menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara
pandang dan praktik agama. Generasi Z lebih cenderung
memiliki menggunakan dan mengakses media digital dalam
mempelajari agama. Generasi Z menunjukkan kecenderungan
kuat untuk menggunakan media digital sebagai sumber utama
dalam mempelajari agama dibandingkan dengan metode

Dewi Anggraeni | 45

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tradisional seperti menghadiri ceramah atau bergabung dalam
kelompok studi agama secara langsung. Sementara generasi
sebelumnya cenderung bergantung pada interaksi langsung dan
pengalaman komunitas dalam praktik keagamaan, Generasi Z
lebih sering menggunakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan
spiritual mereka.
Transformasi ini tidak hanya mengubah cara Generasi Z
belajar tentang agama, tetapi juga memengaruhi bagaimana
mereka mempraktikkan keyakinan mereka. Media digital
memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan komunitas
keagamaan secara global, memberikan pandangan yang lebih luas
tentang berbagai interpretasi dan praktik agama. Namun,
perubahan ini juga membawa tantangan, seperti risiko terpapar
informasi yang tidak akurat atau ekstrem, serta penurunan dalam
keterlibatan dalam ritual dan tradisi keagamaan.
Dalam teori religious social shaping of technology (Cho &
Campbell, 2015)menjelaskan bahwa dampak era digital terhadap
cara beragama masyarakat, diantara yang paling terasa adalah
memudarnya afiliasi terhadap lembaga keagamaan dan tradisi
keagamaan. Hal ini senada dengan pendapat Syamsurijal
(Syamsurijal, 2019)bahwasanya kerap dijumpai di antara mereka
ada yang hanya belajar untuk kebutuhan sekolah dan mempelajari
hal lain di luar kebutuhan sekolah. Ada yang aktif menelusuri
konten keagamaan kemudian membagikannya tanpa paham betul
bagaimana esensi dari ajarannya. Ada yang senang belajar agama
dari internet sehingga sangat bergantung dengan konten-konten
pada internet tersebut dan terakhir, ada yang belajar dari internet
tetapi sudah memiliki ideologi keagamaan tertentu sehingga
memiliki dasar.
Orientasi keagamaan di ruang digital, menyoroti tiga aspek
utama. Pertama, kemudahan belajar agama secara online
memberikan pemahaman instan tanpa langsung dari otoritas
agama. Kedua, adanya pergeseran ke arah pragmatisme dan
materialisme dalam pemahaman agama daripada didasarkan pada

46 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
prinsip-prinsip agama yang kuat. Ketiga, agama sering ditampilkan
secara fisik di dunia maya tetapi gagal memasukkan nilai-nilai
agama yang esensial. Sebaliknya, agama di ruang digital
cenderung dipahami secara tekstual, yang dapat menimbulkan
dapat menimbulkan sikap ekstrem dan intoleran, yang
bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri (Pabbajah, 2024a).
Secara keseluruhan, transisi dari pola beragama tradisional
ke pendekatan berbasis digital dalam Generasi Z
menggambarkan perubahan besar dalam dinamika keagamaan.
Sementara media digital menawarkan banyak peluang untuk
pembelajaran dan keterlibatan yang lebih personal, hal ini juga
membutuhkan perhatian untuk memastikan bahwa generasi ini
dapat menyeimbangkan antara penggunaan teknologi dan
pelestarian nilai-nilai keagamaan yang mendalam.

DIGITALISASI AGAMA: MEDIA DIGITAL SEBAGAI
WADAH SPIRITUALITAS BARU
Digitalisasi telah menjadi representasi kehidupan manusia
dalam segala aspek, termasuk dalam membentuk pengalaman
religiositas dan upaya membangun spiritualitas (Zaluchu, 2024).
Spirit religiositas membahas konsep spiritualitas agama dan
maknanya dalam kehidupan manusia. Spiritualitas agama adalah
aspek eksistensi manusia yang kompleks dan dinamis yang
mencakup pencarian makna dan identitas yang berkaitan dengan
masalah eksistensial dan praktik keagamaan. Menurut Selvam
(Selvam, 2013), spiritualitas religius dapat bersifat positif atau
negatif, tergantung pada signifikansi dan perannya dalam
kehidupan individu. Spiritualitas religius melibatkan hubungan
antara spiritualitas manusia dengan pengalaman dan makna
hidup. Pengalaman multidimensi umumnya mempengaruhi
spiritualitas keagamaan seseorang (Brandt, 2019). Jika
pengamalan agama hanya dihasilkan dari produk media, maka
agama menjadi kurang sakral. Praktik keagamaan semacam ini

Dewi Anggraeni | 47

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
biasanya mengarah pada desakralisasi agama(Abraham &
Stewart, 2014).
Digitalisasi agama, kini merepresentasikan kehidupan
manusia secara menyeluruh, mempengaruhi cara kita
membangun dan mengekspresikan pengalaman religius. Gen Z
dan media online adalah dua elemen yang tidak dapat dipisahkan.
Gen Z menggunakan internet sebagai alat untuk mencari literasi
agama melalui media digital. Peran media digital sangat signifikan
dalam memperkenalkan berbagai platform untuk latihan
spiritual. Sebelumnya, ritual dan praktik keagamaan sering kali
dilakukan secara langsung dan terikat oleh ruang fisik tertentu
seperti masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya. Namun,
melalui media digital, individu kini memiliki akses ke berbagai
bentuk ibadah dan pembelajaran agama dari mana saja dan kapan
saja yang akhirnya membawa perubahan dalam cara individu
menjalani spiritualitas mereka.
Digitalisasi telah merevolusi cara kita berinteraksi dengan
agama dan spiritualitas. Media digital tidak hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai ruang bagi
pengalaman religius yang lebih personal dan adaptif terhadap
tuntutan kehidupan modern. Meski membawa tantangan,
teknologi digital menawarkan peluang baru peradaban hibrida
untuk membangun dan menjalani kehidupan spiritual yang lebih
dinamis dan relevan di era kontemporer (Deguchi, 2020).
Campbell menjelaskan bahwa konsep agama digital tidak
hanya terbatas pada representasi agama di dunia maya, melainkan
lebih luas sebagai bagian dari budaya baru yang muncul dalam
konteks masyarakat digital. Awalnya, agama digital didefinisikan
sebagai praktik keagamaan yang dilakukan atau diartikulasikan
secara online, seperti penggunaan platform digital untuk
penyebaran ajaran agama, diskusi spiritual, dan ritual keagamaan.
Namun, seiring perkembangan teknologi dan internet,
pemahaman ini semakin berkembang. Campbell mencatat bahwa
agama digital kini mencakup berbagai bentuk komunitas dan

48 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ritual keagamaan baru yang terbentuk melalui interaksi antara
teknologi dan kehidupan spiritual manusia. Teknologi digital
tidak hanya menjadi medium penyebaran ajaran agama, tetapi
juga menciptakan ruang baru bagi interaksi spiritual (Campbell &
Connelly, 2020).
Media sosial, sebagai salah satu pilar utama dari revolusi
digital, telah menjadi wadah yang signifikan untuk eksplorasi dan
praktik keagamaan di era modern ini. Media sosial menawarkan
akses tak terbatas ke berbagai konten spiritual, mulai dari
ceramah agama dan kajian, hingga renungan dan doa harian.
Konten ini dapat diakses kapan saja dan di mana saja,
memungkinkan individu untuk belajar dan memperdalam
pemahaman mereka tentang agama dalam kenyamanan rumah
mereka sendiri (Campbell, 2010). Konten yang tersedia di media
sosial juga sering kali disajikan dalam format yang menarik dan
mudah dipahami, seperti video singkat, info grafis, dan postingan
interaktif. Hal ini memudahkan individu untuk mengakses dan
menyerap informasi spiritual dengan cara yang lebih dinamis dan
engaging. Selain itu, berbagai platform sering menyediakan opsi
untuk berinteraksi langsung dengan pembuat konten atau
komunitas, seperti sesi tanya jawab live atau diskusi online, yang
memungkinkan pengikut untuk terlibat secara aktif dan
mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka.
Namun, meskipun menawarkan berbagai manfaat,
digitalisasi juga membawa tantangan dalam konteks spiritualitas
dan religiositas. Konten keagamaan digital dapat mempengaruhi
bagaimana individu membentuk pandangan mereka terhadap
ajaran agama. Paparan terhadap berbagai interpretasi dan
pandangan keagamaan dapat memperluas perspektif seseorang,
tetapi juga dapat menyebabkan kebingungan jika tidak diimbangi
dengan pemahaman yang kritis(Pabbajah, 2024a). Arus informasi
yang begitu cepat dan luas sering kali diiringi oleh konten yang
kurang kredibel atau tidak otoritatif dalam konteks keagamaan.
Selain itu, meskipun digitalisasi memudahkan akses, pengalaman
spiritual yang lebih mendalam melalui interaksi langsung dengan

Dewi Anggraeni | 49

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pemuka agama atau komunitas keagamaan mungkin sulit dicapai
hanya melalui media digital. Oleh karena itu, penting bagi
individu untuk tetap kritis dalam memilih dan menyaring
informasi keagamaan secara digital.
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Santalia
dan Galib bahwa tren belajar agama secara onlilne (digitalisasi
agama) berdampak kepada sikap beragama mahasiswa yang
dulunya terbuka dan toleran terhadap agama kini telah
mengadopsi model keagamaan yang lebih radikal dan intoleran
(Santalia & Galib, 2019). Pergeseran pemahaman ini telah
menyebabkan eskalasi kekerasan atas nama agama. Sejalan
dengan perspektif Ishomuddin (Ishomuddin, 2017) tentang
perubahan lanskap keagamaan bahwa pemahaman agama secara
tekstual melalui platform media sosial dapat menimbulkan sikap
ekstrem dan intoleran, yang bertentangan dengan ajaran agama
itu sendiri. Hal ini menyoroti potensi implikasi negatif dari
pemahaman agama berbasis teks di era digital.
Digitalisasi agama telah menyebabkan perubahan orientasi
pemahaman agama, yang berfokus pada aspek praktis agama
daripada pemahaman yang komprehensif. Ruang digital telah
mengubah orientasi keagamaan, menyebabkan pergeseran ke
arah pragmatis dalam menampilkan semangat keagamaan tanpa
perlu belajar agama secara mendalam(Pabbajah, 2024b).

MODERASI BERAGAMA: STRATEGI MENGHADAPI
MODEL BERAGAMA GENERASI Z
Akses informasi keagamaan Gen Z di dominasi dari media
digital. Sebagai generasi yang tumbuh dalam era digital, mereka
memiliki kemudahan untuk menjelajahi dan mengakses berbagai
sumber informasi keagamaan melalui platform online. Konten
keagamaan yang mereka konsumsi juga lebih beragam, dari
ceramah, diskusi, dan kajian agama, hingga doa harian dan tips
praktis menjalankan ibadah. Media sosial bahkan

50 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
memperkenalkan tokoh-tokoh agama dan influencer yang
menyajikan konten keagamaan dalam format yang lebih modern,
menarik, dan sesuai dengan gaya hidup digital Gen Z. Namun,
fenomena ini juga membawa tantangan terkait otoritas
keagamaan. Konsumsi informasi keagamaan secara digital di satu
sisi memberikan kemudahan, tetapi di sisi lain, sering kali
menyederhanakan ajaran agama menjadi konten singkat yang
kurang menyeluruh.
Perkembangan media sosial yang begitu dinamis dapat
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menebar
paham-paham keagamaan baik yang diskriminatif, intoleran,
maupun yang mengandung ujaran kebencian. Oleh karena itu,
ruang digital media sosial harus direbut. Media sosial harus
menjadi wadah edukasi masyarakat agar memiliki pemahaman
yang moderat dalam beragama (Iffan et al., 2020). Disisi lain,
agama-agama besar di dunia sedang memiliki persoalan yang
sama, yakni tumbuh suburnya benih-benih ekstremisme,
radikalisme, intoleransi, dan eksklusivisme(Gazali et al., 2023;
Muslih et al., 2023).
Menurut Savic Ali Gen Z memiliki potensi besar untuk
memiliki pandangan yang inklusif terhadap berbagai informasi,
termasuk informasi keagamaan. Namun, di sisi lain, mereka juga
rentan terhadap informasi yang tidak benar jika tidak bersikap
kritis(Attar, 2024). Menurut Binder (Binder & Kenyon, 2022)
generasi muda termasuk Gen Z, sering kali menjadi target utama
dari propaganda ekstremis di dunia maya. Oleh karena itu, perlu
adanya upaya untuk mendampingi Gen Z agar mampu beragama
dan berinteraksi di dunia digital dengan menjunjung tinggi nilai-
nilai moderasi. Dalam konteks ini, moderasi beragama berfungsi
sebagai panduan penting untuk membantu Gen Z dalam
menavigasi kompleksitas digitalisasi agama. Moderasi beragama
menekankan pada pendekatan yang seimbang dan inklusif,
menghindari ekstremisme dan intoleransi.

Dewi Anggraeni | 51

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Moderasi beragama sebagai cara pandang, sikap, dan
perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu
bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama(Kemenag,
2019). Moderasi Beragama sebagai jalan tengah cara pandang dan
praktik keberagamaan semakin penting untuk diimplementasikan
bagi Gen Z. Setidaknya 3 alasan kenapa ini penting (Ali &
Purwandi, 2020), Pertama, secara jumlah mereka sangat dominan,
56% penduduk Indonesia adalah Gen Z. Kedua, konsumsi
internet sangat tinggi, lebih dari 80% anak muda Indonesia sudah
terkoneksi dengan internet. Ketiga, berdasarkan hasil survei
BNPT mengungkapkan bahwa anak muda paling rawan terpapar
paham radikal.
Moderasi beragama yang digalakkan di ranah digital adalah
wujud nyata untuk merebut narasi keagamaan yang moderat di
tengah-tengah pemahaman keagamaan yang intoleran. Konten
moderasi beragama harus dikemas dengan baik dan sistematis
untuk kemudian disebarluaskan di pelbagai platform media
sosial(Hefni, 2020). Inilah ruang yang sangat strategis dalam
upaya memelihara pemahaman masyarakat agar terus-menerus
hidup dalam suasana keagamaan yang penuh cinta kasih. Praktik
indah kehidupan beragama, yang selama ini ada di Indonesia,
harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi Muda. Gen Z
adalah ahli waris kehidupan berbangsa. Mereka yang akan
menjadi pemain utama dalam rangka menyongsong Indonesia
Emas tahun 2045. Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan
generasi muda, termasuk gaya keberagamaan di ruang virtual
harus menjadi perhatian(Faesol, 2023).
Pengejawantahan nilai-nilai moderasi beragama dalam
kehidupan akan menjadikan sebuah agama yang benar-benar
berfungsi untuk menjaga harkat dan martabat manusia. Oleh
karenanya, penguatan moderasi beragama bagi Gen Z perlu
dilakukan baik secara struktural maupun kultural. Secara
struktual melalu Kementerian Agama telah dilakukan berbagai
upaya dalam pengarusutamaan moderasi beragama (Saifudin,
2019). Secara kultural moderasi beragama pada Gen Z perlu

52 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dilakukan di ruang tak terbatas, yakni ruang virtual. Media sosial
harus direbut dan diisi penuh dengan paham moderat dalam
beragama. Pertama, produksi konten narasi pengetahuan agama
yang tidak hanya sebatas teori tetapi juga praktik yang dikaitkan
dengan konteks kehidupan sehari-hari. Kedua, memaksimalkan
peran para influencer yang moderat dalam membangun wacana
keberagaman yang positif dan inklusif di media sosial yang
diimbangi dengan diskusi dan dialog dalam memahami esensi
ajaran agama. Ketiga, peningkatan literasi keagamaan digital
generasi Z, dengan memperkaya muatan ajaran Islam yang
Rahmatan lil Alamin di ruang digital serta digitalisasi pengajian ala
pesantren. Generasi Z perlu diajarkan keterampilan untuk
mengevaluasi kredibilitas sumber informasi dan memahami
bagaimana algoritma media sosial dapat mempengaruhi apa yang
mereka lihat dan konsumsi. Keempat, pengenalan dan pelibatan
Gen Z dalam berbagai tradisi lokal keagamaan, sebagai warisan
budaya yang kayak akan nilai-nilai kearifan lokal. Kelima, ruang
perjumpaan lintas agama, untuk mempromosikan dialog
antaragama, menghormati perbedaan budaya, dan membangun
masyarakat yang inklusif dan harmonis.
Dengan penerapan strategi moderasi beragama baik secara
struktural maupun kultural , diharapkan generasi Z dapat
menghadapi tantangan digitalisasi agama dengan bijaksana.
Mereka dapat menikmati keuntungan dari akses informasi yang
luas tanpa terjebak dalam ekstremisme atau intoleransi. Moderasi
beragama tidak hanya membantu dalam menjaga keseimbangan
antara tradisi dan modernitas, tetapi juga mempromosikan
harmoni dan pemahaman yang lebih baik dalam konteks
keberagaman agama. Dalam akhirnya, ini akan memungkinkan
generasi Z untuk membentuk identitas keagamaan yang kuat dan
positif yang selaras dengan nilai-nilai inklusif dan toleran.

KESIMPULAN

Dewi Anggraeni | 53

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Perkembangan teknologi dan informasi sebagai bagian dari
modernisasi memiliki dampak yang sangat besar dalam berbagi
aspek kehidupan termasuk agama. Dalam pandangan Islam,
modernitas dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang tidak
bisa dihindari. Modernitas, yang melibatkan perubahan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi, adalah bagian dari dinamika
peradaban manusia yang terus berkembang. Sebagaimana ajaran
Islam harus diimplementasikan dalam konteks budaya dan
kehidupan masyarakat lokal, tanpa harus kehilangan esensi
universal Islam. Ini adalah bentuk adaptasi Islam terhadap
modernitas dengan tetap mempertahankan identitas lokal dan
tradisional. Disisi lain, perkembangan teknologi telah
memunculkan keberadaan media baru yang dapat diakses secara
terbuka menyebabkan perubahan pemahaman keagamaan di
kalangan Gen Z. Transformasi beragama Gen Z menciptakan
pola keberagamaan baru melalui digitalisasi agama, Gen Z lebih
cenderung menggunakan dan mengakses media digital dalam
mempelajari agama. Di satu sisi, muatan literasi keagamaan yang
tersaji di media digital tidak selamanya memberikan muatan yang
positif dalam membentuk pengetahuan dan sikap beragama yang
inklusif.
Perubahan pola beragama dari generasi sebelumnya ke
Generasi Z menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara
pandang dan praktik agama. Media sosial dengan berbagai
jenisnya, memberikan muatan terkait dengan pengetahuan
keagamaan, kendati demikian diperlukan nalar kritis dalam
menerima berbagai informasi yang tersedia di ruang digital.
Pembentukan spiritualitas tidak hanya cukup dengan mengakses
berbagai platform media sosial, tetapi juga diperlukan upaya
mendalam dalam memahami esensi ajaran agama secara
komprehensif. Belajar agama secara paripurna memang tidak
mudah, dan tidak bisa instan dari sosial media. Kendati di era
digital belajar agama memerlukan kiai dan para ulama sebagai
sumber yang otoritatif dan memiliki sanad keilmuan. Dengan
cara ini, pemahaman agama menjadi lebih utuh dan dapat

54 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
diintegrasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, bukan
sekadar ritual atau simbolisme di media sosial.
Moderasi beragama sebagai panduan Gen Z dalam
menavigasi kompleksitas digitalisasi agama. Moderasi beragama
menekankan pada pendekatan yang seimbang dan inklusif,
menghindari ekstremisme dan intoleransi. Ruang virtual dan
berbagai media sosial perlu dijadikan pengarusutamaan
keberagamaan yang moderat dan inklusif melalui moderasi
beragama baik secara struktural maupun kultural. Pada titik
kesadaran inilah betapa sesungguhnya narasi moderasi beragama
sangat penting untuk disebarluaskan melalui pelbagai platform
media sosial. Dengan mempromosikan keberagamaan yang
inklusif, generasi Z dapat dihadapkan pada contoh bagaimana
Islam dapat berfungsi sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan
hanya dalam konteks Indonesia tetapi juga dalam skala global.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. (2017). Di bawah bayang-bayang Media: Kodifikasi,
divergensi, dan kooptasi agama di era Internet. Sabda:
Jurnal Kajian Kebudayaan; , 12(2).
https://doi.org/10.14710/sabda.12.2.116-121
Abraham, I. B. & Stewart, F. (2014). Desacralizing Salvation in
Straight Edge Christianity and Holistic Spirituality.
International Journal for the Study of New Religions, 15(3), 77–
102. https://doi.org//doi.org/10.1558/ijsnr.v5i1.77
Ali, H. (2021). Kelompok Hijrah dan Moderasi Beragama. Hasanuddin
Ali.Com.
Ali, H. & Purwandi, L. (2020). Indonesia Gen Z and Millennial Report
2020.
Amundsen, H. & Hermansen, E. A. T. (2020). Green
transformation is a boundary object: An analysis of
conceptualisation of transformation in Norwegian primary

Dewi Anggraeni | 55

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
industries. Environment and Planning E: Nature and Space,
4(3), 864 –885.
https://doi.org/10.1177/2514848620934337
Andrea, B., Gabriella, H.-C. & Tímea, J. (2018). Y And Z
Generations at Workplaces. Journal of Competitiviness, 8(3).
https://doi.org/10.7441/joe.2016.03.06
Anggraeni, D. (2023). Perempuan dalam Dakwah Melalui
Pendekatan Tekno-Religi. In D. Anggraeni & A.
Anggraeni (Eds.), Mendigdayakan Dakwah NU (1st ed.).
Divisi Leterasi dan Penerbitan Lembaga Dakwah PBNU.
Attar, H. (2024). Gen Z Dinilai Miliki Peran Penting Jaga Moderasi
Beragama. NU Online. https://jakarta.nu.or.id/jakarta-
raya/gen-z-dinilai-miliki-peran-penting-jaga-moderasi-
beragama-Ebcaf
Binder, J. F. & Kenyon, J. (2022). Terrorism and the internet:
How dangerous is online radicalization? Frontiers in
Psychology, 13.
https://doi.org/https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.997
390
Brandt, P.-Y. (2019). Religious and Spiritual Aspects in the
Construction of Identity Modelized as a Constellation.
Integrative Psychological and Behavioral Science, 53(1), 138–157.
https://doi.org/10.1007/s12124-018-9436-8
Broadbent, E. & All, E. (2017). Generation Z: Global Citizen Survey.
Campbell, H. A. (2010). When religion meets new media. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203695371
Campbell, H. A. & Connelly, L. (2020). Religion and Digital
Media. In The Wiley Blackwell Companion to Religion and
Materiality (pp. 471 –486).
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/978111866007
2.ch25

56 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Cho, K. J. & Campbell, H. A. (2015). What is Religious Social
Shaping of Technology. In Encyclopedia of Mobile Phone
Behavior. IGI Global. https://doi.org/10.4018/978-1-
4666-8239-9.ch027
Deguchi, A. (2020). From smart city to society 5.0. In Society 5.0:
A People -centric Super-smart Society.
https://doi.org/10.1007/978-981-15-2989-4_3
Don, T. (2008). Grown Up Digital: How the Net Generation is
Changing Your World. McGraw Hill Professional.
Faesol, A. (2023). Moderasi beragama dalam kontestasi narasi
keagamaan di media sosial. In Moderasi Beragama: Akar
Teologi, Nalar Kebudayaan, dan Kontestasi di Ruang Digital (pp.
287–324). Brin. https://doi.org/10.55981/brin.9
Garner, S. (2012). Theology and the new media. In Digital
Religion. Routledge.
Gazali, H., Anggraeni, D. & Eit Ahmed, M. (2023). Salafi-Jihadist
Movements and Ideology in Educational Institutions
Exploring the Nexus with Religious Moderation. Edukasia
Islamika, 8(1).
https://doi.org/https://doi.org/10.28918/jei.v8i1.7658
Geertz, C. (1992). Kebudayaan dan Agama. Kanisius.
Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Stanford
University Press.
Hasanah, M., Thayyibah, A. & Khairi, M. F. (2023). Hakikat
Modern, Modernitas Dan Modernisasi Serta Sejarah
Modernisasi Di Dunia Barat. Jurnal Religion: Jurnal Agama,
Sosial, Dan Budaya , 1(2).
https://maryamsejahtera.com/index.php/Religion/articl
e/view/76/94
Hatta, M. (2018). Media Sosial, Sumber keberagamaan Alternatif
Anak Milenial Fenomena Cyberreligion Siswa SMA Negeri

Dewi Anggraeni | 57

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
6 Depok Jawa Barat. Jurnal Kajian Dakwah Dan
Kemasyarakatan, 22(1), 25.
https://doi.org/https://doi.org/10.15408/dakwah.v22i1.
12044
Hefni, W. (2020). Moderasi Beragama dalam Ruang Digital: Studi
Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam Negeri. Jurnal Bimas Islam, 13(1).
Iffan, A., Nur, M. R. & Saiin, A. (2020). Konseptualisasi
Moderasi Beragama Sebagai Langkah Preventif Terhadap
Penanganan Radikalisme Di Indonesia. PERADA, 3(2
SE-Articles), 187.
https://doi.org/10.35961/perada.v3i2.220
Ishomuddin, I. (2017). The Change of Religious Understanding
from Ideal-Rationality to Pragmatic-Materialistic. El
Harakah: Jurnal Budaya Islam , 19(2).
https://doi.org/10.18860/el.v19i2.4186
Ismail, F. (2018). Studi Islam Kontemporer (N. Nur (ed.); 1st ed.).
IRCisod.
Karim, R. I. (2020). Kehidupan Beragama Generasi Z Dalam Era
Digital (Studi Kasus di Perumahan Purwokerto Indah (Purin)
Kendal). UIN Walisongo Semarang.
Kasali, R. (2018). The Great Shifting. Gramedia Pustaka Utama.
Kemenag, K. A. (2019). Moderasi Beragama.
Madjid, N. K. (2008). Islam,Kemodernan dan Keindonesiaan (E.
Santoso (ed.)). Mizan.
Muhammad, N. (2017). Resistensi Masyarakat Urban Dan
Masyarakat Tradisional Dalam Menyikapi Perubahan
Sosial. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19(2).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/substantia.v
19i2.2882

58 | Dewi Angraeni

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Muslih, M., Anggraeni, D. & Ghoni, M. I. A. (2023). Harmony
in Diversity: Exploring Religious Moderation Perspectives
through Interfaith Dialogue. Jurnal Penelitian, 20(2 SE-
Artikel), 171 –182.
https://doi.org/10.28918/jupe.v20i2.2275
Olçum, G. & Gülova, A. A. (2023). Digitalization and
Generation Z: Advantages and Disadvantages of
Digitalization * . In B. Akkaya & A. Tabak (Eds.), Two
Faces of Digital Transformation (pp. 31–46). Emerald
Publishing Limited. https://doi.org/10.1108/978-1-
83753-096-020231003
Pabbajah, M. (2024a). Religious Disorientation in the Digital
Transformation: An Islamic Review. In Advances in Digital
Transformation – Rise of Ultra-Smart Fully Automated Cyberspace
The (p. 15).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.1
004235
Pabbajah, M. (2024b). The religious transformation of Gen Z in
the new media era. Islamic Communication Journal, 9(1), 17-
34.
https://doi.org/https://doi.org/10.21580/icj.2024.9.1.20
557
Pasaman, K. A. & Dkk. (2024). Indonesia Gen Z Report.
Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants Part 1.
On the Horizon , 9(5), 1 –6.
https://doi.org/10.1108/10748120110424816
Rachman, B. M. (2019). Karya Lengkap Nurcholis Madjid “Keislama,
KeIndonesiaan dan Kemoderenan” (Issue Icmi).
Rahman, F. (1992). Islam dan Modernity (5th ed.). The University
of Chicago Press.
Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern (Triwibowo (ed.); 7th ed.).
Kencana.

Dewi Anggraeni | 59

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Saifudin, L. H. (2019). Moderasi Beragama. Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI.
Santalia, I. & Galib, S. A. (2019). Prodi Studi Agama-Agama
Sebagai Pelopor Inklusifitas Beragama: Refleksi
Pengalaman Prodi Studi Agama-Agama UIN Alauddin
Makassar. Religi: Jurnal Studi Agama-Agama, 15(1).
https://doi.org/https://doi.org/10.14421/rejusta.2019.1
501-01
Selvam, S. G. (2013). Towards Religious-Spirituality: A
Multidimensional Matrix of Religion and Spirituality.
Journal for the Study of Religions and Ideologies, 12(36).
https://jsri.ro/ojs/index.php/jsri/article/view/718
Stillman, D. & Stillman, J. (2018). Generasi Z: Memahami Karakter
Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja. Gramedia
Pustaka Utama.
Syamsurijal. (2019). Guruku Orang-Orang Dari Gawai: Wajah
Islam Gen Z Yang Belajar Agama Melalui Media Online.
Mimikri: Jurnal Agama Dan Kebudayaan, 7(1), 1–19.
https://blamakassar.e-
journal.id/mimikri/article/view/495/328
Toffler, A. (1980). The Third Wave. William Morrow & Co.
Wahid, A. (1989). Pribumisasi Islam. Gusdur.Net.
https://gusdur.net/pribumisasi-islam/
Wahid, A. (2001). Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan.
Desantara.
Zaluchu, S. E. (2024). Digital Religion, Modern Society and the
Construction of Digital Theology. Transformation, 1, 1–11.
https://doi.org/10.1177/02653788231223929

60 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


TRADITION AND MODERNITY : PERAN
DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PEMIKIRAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA

Ramdan Wagianto


PENDAHULUAN
Tradisi dan modernitas merupakan dua entitas yang
keberadaannya masih mengundang banyak perdebatan. Bahkan
Zakiyudin Baidawi menyebutkan tradisi dan modernitas menjadi
dua permasalahan problematis yang utama dalam wacana Islam
sejak perkiraan pertengahan tahun tujuh puluhan (Baidhawy,
Moderasi Islam: Tradisi, Modernitas, dan Kontemporer). Hal ini
berangkat dari kepentingan dan orientasi yang berbeda dimana
tradisi direpresentasikan sebagai sesuatu yang konservatif, klasik,
cenderung bersifat statis dan berusaha mempertahankan nilai-
nilai luhur. Sebaliknya, modernitas lebih merepresentasikan pada
sesuatu yang kekinian, kontemporer, dan lebih bersifat
dinamis(Kristina 2023).
Menurut Jabiri, turats, yang berarti tradisi, tidak hanya
mencakup kebenaran, fakta, kata-kata, konsep, bahasa, dan
pemikiran, tetapi juga mitos, legenda, dan cara berpikir (Wijaya,
2011). Al Jabiri menyebutkan bahwa ada tiga cara untuk
membaca turas. Pertama, membaca tradisi tanpa memahami dasar
kognitif sebagai pijakannya. Meskipun demikian, yang paling
penting bukanlah berbagai tesis yang dapat dipertahankan, tetapi

Ramdan Wagianto | 61

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pola pikir yang diikuti. Tanpa itu, kritik akan menghasilkan kritik
ideologi semata-mata dan tidak menghasilkan hipotesis yang
signifikan. Kedua, pembacaan yang mengabaikan sejarah. Ketiga,
pembacaan ala fundamentalis, di mana subjek terserap ke dalam
objek, sembari objek menggantikan posisi subjek sebelumnya
Posisi subjek dan barang-barangnya harus berlindung untuk
mencari naungan ke masa lalu dan mencari dukungan dari nenek
moyang. Subjek mampu mengembalikan harga dirinya melalui
perantara leluhur. Menurut Al Jabiri konsep modernitas mengacu
pada pengembangan cara dan perspektif kontemporer tentang
tradisi (Ichwan, 2003). Konsep modernitas mengacu pada
pengembangan cara dan perspektif kontemporer tentang tradisi.
Karena modernitas adalah upaya untuk melampaui pemahaman
tradisi yang terperangkap dalamnya untuk memperoleh
pemahaman modern dan perspektif baru tentang tradisi (Wijaya,
2011).


Dengan demikian sebenarnya konsep modernitas tidak
berarti menolak tradisi atau menghapus masa lalu; sebaliknya, itu
berarti meningkatkan sikap dan pendirian kita dengan
mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat
kebudayaan "modern". Oleh karena itu, konsep modernitas
berarti membangun metode dan perspekti modern tentang
tradisi. Koentjaraningrat mengatakan bahwa modernisasi adalah
upaya yang dilakukan oleh orang-orang untuk bisa hidup sesuai
dengan perkembangan zaman. Perkembangan dunia saat ini
terutama berkaitan dengan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam proses ini, orang-orang berusaha menerapkan
ilmu pengetahuan dan teknologi pada tingkatan yang berbeda
untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Selain itu,
modernisasi mengacu pada proses industrialisasi, adaptasi
terhadap kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, cara
berpikir yang lebih logis, dan peningkatan kualitas hidup
(Pratama, Modernisasi: Definisi dan Dampaknya, 2020). Sibarani
mengatakan bahwa modernitas dan tradisi tidak dapat
dipisahkan. Modernitas selalu mengubah tradisi. Ini sebenarnya
terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tidak semua

62 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
masyarakat dapat hidup dengan memilih satu di antara keduanya
tanpa batasan. Dalam pusaran perubahan sosial yang berjalan,
masyarakat menghadapi keduanya secara bersamaan, bahkan
sifat dari keduanya muncul secara bersamaan dalam kehidupan
setiap orang (Sibarani, 2012).
Dalam konteks hukum keluarga Islam, tradisi –terutama
tradisi perkawinan yang bersinggungan dengan kajian hukum
keluarga Islam – menjadi pembahasan yang menarik, terlebih
ketika dibenturkan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer
dalam wacana hukum keluarga Islam, seperti pemikiran
Muhammad Syahrur dengan teori limitnya, Fazlur Rahman
dengan teori double movement, dan tokoh pemikir Islam
modern lainnya. Maka sebenarnya dalam rangka untuk
mengembangkan pemikiran hukum keluarga Islam dalam
konteks ke-Indonesian sebisa mungkin harus ada upaya untuk
harmonisasi antara Islam, tradisi (baca: adat), dan modernisasi
(Wagianto, April 2022). Berikut ini akan penulis sajikan analisis
mengenai bagaimana tradisi dan modernitas mempengaruhi
perkembangan pemikiran hukum keluarga Islam di Indonesia.

TRADISI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA
Tradisi, secara umum dapat dipahami sebagai adat istiadat
atau kebiasaan yang secara terus menerus dilakukan oleh
masyarakat(Sudirana, 2019). Rofiq, dengan mengutip pendapat
Hasan Hanafi, menyatakan bahwa tradisi mencakup segala
sesuatu yang telah diwariskan kepada kita dari masa lalu dan
digunakan, serta masih berlaku di masa sekarang. Sementara
Funk dan Wagnalls berpendapat bahwa tradisi adalah transmisi
doktrin dan praktik yang sama dari generasi ke generasi. Tradisi
dapat berupa doktrin, kebiasaan, praktik, atau
pengetahuan(Ainur Rofiq, 2019).

Ramdan Wagianto | 63

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Dari kedua pendapat ini setidaknya dapat dipahami bahwa
tradisi adalah kebiasan – kebiasaan turun menurun yang hingga
sekarang masih terus dipraktikkan oleh masyarakat, termasuk
dalam konteks ini adalah bagaimana masyarakat Islam di
Indonesia dalam mewarisi tradisi berhukum dalam wilayah kajian
hukum keluarga Islam. Tradisi hukum keluarga Islam di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh interpretasi klasik dan praktik
yang telah ada selama berabad-abad. Beberapa hal yang dapat
dijadikan sebagai teropong dalam melihat tradisi hukum (hukum
keluarga Islam) yang berkembang di Indonesia, misalnya dalam
upaya tradisi penetapan hukum. Indonesia, sebagai Negara yang
mayoritas penduduk muslim, dalil-dalil menjadi pijakan dalam
menetapkan hukum (istinbat al ahkam) adalah dalil Nas (al-Quran
dan Hadis) dan Ijtihad (ijma’, Qiyas, Istihsan, Istihlah, dan lain
sebagainya). Selain itu, sebagai Negara hukum, Indonesia dalam
konteks penetapan hukum dengan memperhatikan aturan
perundang-undangan yang ada, seperti Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, dan undang-undang lainnya yang bersinggungan
dengan kajian-kajian hukum keluarga Islam, seperti undang-
undang perlindungan anak, undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga, dan hak asasi manusia.
Selain itu, sebagai Negara yang mempunyai kekayaan
tradisi kebudayaan, maka banyak masyarakat Indonesia masih
mempraktikkan adat dan kebiasaan lokal yang berhubungan
dengan hukum keluarga, seperti ritual pernikahan dan upacara
adat. Tradisi ini sering disertakan dalam peraturan hukum
keluarga, yang kemudian menjadikannya bagian integral dari
praktik sehari-hari. Bahkan tradisi-tradisi tersebut kemudian
menjadi aturan-aturan yang terakomodir dalam hukum adat.
Tradisi perkawinan di Jawa misalnya, terdapat tradisi siraman dan
midodareni. Tradisi Siraman, salah satu upacara penting dalam
tradisi perkawinan Jawa, dilakukan sebelum hari pernikahan dan
merupakan simbol penyucian diri calon pengantin secara fisik

64 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dan spiritual. Nilai-nilai spiritual, simbolisme, dan harapan bahwa
calon pengantin akan memulai kehidupan pernikahan mereka
dengan bersih dan suci adalah bagian dari tradisi ini (Sari 2023).
Terdapat sebuah keyakinan yang tertanam pada masyarakat
bahwa tradisi seperti ini mengandung makna filosofis yang sangat
mendalam, yaitu sebagai symbol pembersihan diri seseorang atas
semua energy negative, dosa dan kesalahan sebelum memulai
kehidupan sebagai pasangan suami atau istri (Astuti and Marvelia
2019). Pelaksanaannya dilakukan sehari sebelum ijab qobul,
proses siraman dilakukan dalam waktu tertentu, yaitu dari pukul
10.00 hingga 15.00) (Irmawati 2013), yang menurut orang Jawa,
waktu tersebut adalah saat bidadari turun ke bumi untuk mandi.
Sementara midodareni, bagian dari tradisi perkawinan Jawa yang
dilakukan pada malam sebelum hari pernikahan. "Widodari"
adalah etimologi dari kata "Midodareni", yang berarti "bidadari".
Tujuan Midodarareni adalah untuk mempersiapkan calon
pengantin wanita secara fisik dan mental untuk menjalani
kehidupan pernikahan. Dianggap sebagai malam yang sakral dan
penuh berkah. Keluarga terdekat berkumpul pada malam
Midodareni untuk mendoakan calon pengantin (Wardani, 2022).
Tujuan dari doa-doa ini adalah untuk memberi calon pengantin
kebahagiaan, keamanan, dan kehidupan rumah tangga yang
harmonis (Inka Kristina, 2023).

MODERNITAS DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM
DI INDONESIA
Kata modern identic dengan sesuatu yang baru dan kata ini
(atau kata lain yang mempunyai makna generic yang sama, seperti
modernism, modernitas,modernisasi) dikontraskan dengan kata
tradisi. Namun secara spesifik tentu ada sisi yang
membedakannya. Modern berarti hal-hal yang dibacarakan
seputar masa pada era industry barat sekitar abad ke-16 (sejarah
umum barat) dan abad ke-19 (sejarah Islam). Oleh karenanya, era
modern menurut Nurcholis Majid sebagaimana dikutip oleh

Ramdan Wagianto | 65

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Maula, adalah wajar terjadi sebagai kontinyuitas sejarah
manusia(Maula, 2017). Sementara modernitas berbicara tentang
hasil atau produk yang diakibatkan dari adanya proses
modernisasi. Sementara modernism berarti yang dibacararakan
adalah persoalan faham atau golongan yang mempunyai
keyakinan, pandangan bahwa pemikiran-pemikiran modern
sangat relevan dengan kondisi masyarakat sekarang dan yang
akan datang(Jainuri, 2014). Dengan demikian, modernitas dalam
Hukum Keluarga Islam yang dibicarakan akan mengarah
bagaimana produk hukum yang dihasilkan dengan menggunakan
teori-teori modern sebagai perspektif atau pendekatan, seperti
sosiologis,antropologis, fenomenologis, psikologis, dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu, dalam rangka menghasilkan produk
hukum tersebut, maka salah satu masalah penting yang harus
dipertimbangkan dalam konteks modernisasi atau pembaharuan
Islam, termasuk dalam hukum keluarga Islam adalah masalah
metodologis. Hal ini karena pembaharuan adalah perubahan atau
koreksi dari pemahaman, pemikiran, dan keadaan umat
sebelumnya, yang berarti bahwa mereka tidak dapat selalu
memiliki akurasi metodologis. Selain itu, para kritisi muslim
sering mengkritik pembaharuan karena tidak memberikan
metode untuk membunuh ide-ide mereka.
Para pembaharu mengedepankan gagasan-gagasan mereka
dengan setidaknya menggunakan empat langkah metodologis.
Pertama, dimulai dengan pertanyaan tentang seberapa
terbelakang umat Islam dibandingkan dengan masyarakat Barat
kontemporer. Kemudian, diagnosis keterbelakangan dibuat.
Pada saat ini, para pembaharu sangat kritis terhadap keadaan
umat Islam; mereka bahkan sangat mengevaluasi cara orang-
orang memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran tertentu dalam
Islam, termasuk ijtihad para ulama yang dianggap memiliki
dampak besar. Seolah-olah para pemikir itu ingin melepaskan
manusia dari keterbelakangannya. Kedua, diagnosis terhadap
pendapat para ulama terdahulu dilakukan dengan memahami

66 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pendekatan yang digunakan dengan melakukan perenungan yang
mendalam terhadap Alquran dan Hadis.
Selanjutnya, para pembaharu memutuskan untuk membagi
ajaran Islam menjadi dua bagian: (1) ajaran dasar yang absolut,
yang tidak dapat diubah dan diperbarui; dan (2) ajaran Islam yang
tidak dasar, nisbi, dan bias, yang bahkan perlu diperbarui. Yang
terakhir menjadi fokus utama para pembaharu (Harahap, 1994).
Sebabnya ditemukan dan dikenal sebagai "benang hijau", yang
menghubungkan pemahaman para pembaharu bahwa nash-nash
yang bersifat zhanny harus ditafsirkan agar dapat diterapkan
dalam kehidupan umat Islam (Muhammad Hasan al-Amîn,
2000). Ketiga, setelah mengidentifikasi berbagai penyebab
keterbelakangan masyarakat, para pembaharu
mengkampanyekan kesadaran dan upaya untuk mencegah orang-
orang tetap terpenjara dengan taqlid mereka terhadap para
pendahulu. Para pembaharu menegaskan bahwa ajaran para
ulama terdahulu adalah ajaran agama yang nisbi dan dapat dan
tidak harus diubah. Keempat, para pembaharu menekankan niat
mereka untuk membantu umat Islam maju. Dengan cara apa
umat Islam ini dapat maju? Sebenarnya, para pembaharu
menawarkan banyak pilihan baik secara metodologis maupun
ide-ide agar umat Islam dapat maju tanpa menggunakan metode
untuk mencapainya.
Dengan demikian, dengan adanya gagasan yang dibawa
oleh para pembaharu dalam Islam, maka modernitas di Indonesia
juga membawa berbagai perubahan dan tantangan terhadap
pemikiran hukum keluarga Islam, misalnya terjadinya reformasi
hukum yang dimana sejak tahun 1974, Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi landasan hukum
perkawinan di Indonesia. Undang-undang ini menggabungkan
prinsip-prinsip hukum Islam dengan norma-norma hukum
nasional, seperti menetapkan usia minimum perkawinan dan
memberikan hak-hak yang lebih adil untuk perempuan. Selain itu,
adanya pemikiran modern yang menekankan pada kesetaraan
gender, yang mempengaruhi perubahan dalam hukum keluarga

Ramdan Wagianto | 67

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Islam. Reformasi hukum di Indonesia, seperti amandemen dalam
hukum perceraian dan hak-hak perempuan dalam perkawinan,
bertujuan untuk mencerminkan nilai-nilai kesetaraan gender dan
hak asasi manusia. Sebagai salah satu contoh kasus adalah
terbitnya undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang
perubahan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan terkhusus pada batas usia minimal menikah baik laki-
laki maupun perempuan yakni 19 tahun.
Selain itu, dalam konteks modernisasi terhadap
perkembangan hukum keluarga Indonesia tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh Globalisasi. Globalisasi membawa ide-ide
internasional tentang hak asasi manusia dan kesetaraan gender ke
Indonesia. Hal ini mempengaruhi bagaimana hukum keluarga
Islam dipahami dan diterapkan, dengan adanya tekanan untuk
menyesuaikan diri dengan standar internasional. Selama
bertahun-tahun, hukum Islam telah dimodernisasi dalam
berbagai aspek, mengikuti perkembangan zaman. Ini disebabkan
oleh fakta bahwa hukum-hukum yang ditemukan dalam kitab-
kitab fikih klasik tidak dapat lagi menangani persoalan-persoalan
baru yang muncul. Misalnya, dalam hukum keluarga, anak angkat
atau orang tua angkat tidak berhak atas harta waris. Menurut fikih
klasik (berdasarkan nass), anak angkat tidak berhak atas harta
waris. Demikian pula orang tua angkat. Ada dua pilihan yang
masuk akal: anak angkat telah memberikan perhatian, perawatan,
dan biaya lainnya kepada orang tua angkatnya atau anak angkat
masih membutuhkan biaya pendidikan. Tentu saja, dari sudut
pandang ekonomi, sosiologis, dan psikologis, bagian dari harta
warisan harus diberikan kepada anak angkat. Oleh karena itu,
fikih harus menawarkan solusi untuk masalah ini(Safiuddin,
Harisudin, and Busriyanti 2023). Hakim Pengadilan Agama
dalam memutuskan perkara waris, misalnya, tidak selamanya
berpatokan pada pembagian yang telah ditetapkan oleh
Kompilasi Hukum Islam (yang notabene dirujuk dari kitab-kitab
fiqh) bahwa bagian harta waris laki-laki dan perempuan dua
berbanding satu. Namun bisa saja antara keduanya mendapatkan
bagian yang sama atau bahkan dalam keadaan tertentu

68 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
perempuan mendapatkan lebih banyak bagiannya, setelah
dilakukan berbagai pendekatan yang dilakukan hakim terhadap
perkara yang dihadapi(Sumarwan, 2022). Hal ini didasarkan pada
prinsip kemaslahatan dan keadilan sosial dengan merujuk pada
teori batas (theory of limit/nazariyyat al hudud) yang dicetuskan
oleh tokoh pembaharu hukum Islam kontemporer, Muhammad
Syahrur(Yuhendri, 2019).

TRADISI DAN MODERNITAS DALAM PEMIKIRAN
HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA : PERAN
DAN PENGARUHNYA
Dalam pemikiran hukum keluarga Islam di Indonesia,
peran tradisi dan modernitas sangat penting dan kompleks.
Keduanya bekerja sama untuk membuat kerangka hukum yang
mengatur kehidupan keluarga Islam di Indonesia. Sementara
modernitas membawa perubahan dan penyesuaian yang
diperlukan untuk memenuhi tuntutan zaman, tradisi, yang
diwakili oleh ajaran-ajaran klasik dan adat istiadat, berfungsi
sebagai fondasi moral dan spiritual. Dengan perkataan lain bahwa
tradisi dan modernitas adalah sebuah keniscayaan yang
eksistensinya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Maka kaidah fiqh yang mengatakan bahwa perubahan
hukum dilatarbelakangi karena perubahan waktu dan keadaan (la
yunkaru taghayyur al ahkam bi taghayyur al azman wa al ahwal
(Ahmad Ibn Al-Syeikh Muhammad Al-Zarqa, n.d.)itu dapat
dijadikan landasan dalam penetapan suatu hukum.
Dengan demikian, tradisi mempunyai peran yang sangat
urgen terhadap dalam pemikiran hukum keluarga Islam.
Setidaknya terdapat tiga aspek pondasi dalam peran tradisi
sehingga berpengaruh terhadap pemikiran hukum keluarga,
diantaranya adalah Syariah, yang terdiri dari Al-Qur'an, Hadis,
dan ijtihad ulama klasik, merupakan dasar utama tradisi hukum
keluarga Islam di Indonesia. Peraturan dasar tentang pernikahan,
perceraian, warisan, dan hak-hak anggota keluarga diberikan oleh

Ramdan Wagianto | 69

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Syariah. Ajaran-ajaran ini menjadi dasar bagi pengembangan
hukum keluarga Islam dan terus dipertahankan sebagai
komponen penting dalam mempertahankan identitas Islam.
Syariah Islam mempunyai karakter yang universal, sehingga ia
akan selalu relevan (cocok, sesuai) dengan setiap waktu dan
tempat (salih likulli zaman wa makan) (Qutah, 1997).
Selain itu, peran kearifan local (local wisdom) juga menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Tradisi juga mencakup kearifan
lokal dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Muslim
Indonesia. Misalnya, adat istiadat seperti Siraman dan
Midodareni dalam pernikahan Jawa menunjukkan bagaimana
tradisi lokal memengaruhi pemikiran hukum keluarga, sehinga
hukum Islam Indonesia menerima tradisi ini, memberikan warna
lokal yang kaya dalam penerapan syariah. Dalam kajian-kajian
Islamic family Law, persoalan tradisi yang berkembang di
masyarakat termasuk masalah perkawinan-perkawinan adat,
al‘urf menjadi teori yang sering kali digunakan sebagai pisau
analisisnya. Dalam kaidahnya disebutkan bahwa al ‘adatu
muhakkamatun (bahwa tradisi dapat dijadikan sebagai landasan
dalam penetapan suatu hukum).
Sedangkan modernitas juga mempunyai banyak
pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran dalam hukum
keluarga di Indonesia. Sebagai salah satu pengaruhnya adalah
adanya reformasi dalam bidang hukum keluarga Islam.
Perubahan batas minimal usia menikah yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 menjadi bukti adanya
modernitas ini. Undang-undang tersebut adalah reformasi dari
aturan tentang batas usia minimal menikah yang tertuang di
dalam Pasal 7 ayat (1), yang memberi aturan bagi laki-laki berusia
perempuan harus berusia 19 tahun untuk dapat melangsungkan
pernikahan. Reformasi aturan tersebut merupakan sebuah
keniscayaan yang sudah semestinya untuk dilakukan. Hal ini
disebabkan untuk menghindari terjadinya perkawinan anak, yang
tentu akan menyebabkan banyak mafsadah (kerusakan) jika tidak

70 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dilakukan perubahan dan untuk mengakomodir hak-hak
perempuan(Wagianto, 2022)
Dengan demikian, reformasi ini dilakukan dalam rangka
untuk mencegah kemadaratan dan mendatangkan kemaslahatan
(dar al mafasid muqaddamun ‘ala jalb al masalih – mencegah
kerusakan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan
kemaslahatan) (Wagianto, 2017). Reformasi ini juga didasari
dengan pemikiran bahwa hak asasi manusia (human right) yang
setiap anak harus mendapatkannya. Artinya bahwa anak-laki dan
perempuan mempunyai hak yang sama dalam berbagai aspek,
seperti hak memperoleh pendidikan yang berkualitas, hak
mendapatkan keadilan, dan hak untuk mendapatkan kesehatan
reproduksi.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah
satu fiqh ala Indonesia yang terkodifikasi dalam bentuk peraturan
presiden (PERPRES), merupakan respon dari kondisi dan
kebutuhan umat Islam di Indonesia. KHI tidak dapat dipisahkan
dari latar belakang dan perkembangan pemikiran hukum Islam di
Indonesia ketika didirikan. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait
erat dengan upaya untuk keluar dari situasi dan kondisi internal
hukum Islam yang masih diliputi kebekuan intelektual yang kuat.
Di sisi lain, KHI menunjukkan perkembangan hukum Islam
dalam konteks hukum nasional, bebas dari teori receptie,
terutama dalam hal upaya pengembangan Pengadilan Agama
(Hikmatullah, 2018). Dalam praktiknya, para hakim di
Pengadilan Agama menjadikan KHI ini sebagai salah satu
pedoman dalam menetapkan suatu hukum (istinbath al ahkam)
selain Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dahulu, sebelumnya adanya KHI, seringkali terjadi
disparitas hakim dalam memutuskan suatu perkara yang sama.
Hal ini disebabkan karena rujukan kitab yang digunakan oleh
hakim berbeda-beda atau pemahaman terhadap hasil bacaan yang
berbeda, sehingga menghasilkan produk (ijtihad) hukum yang
berbeda.

Ramdan Wagianto | 71

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Berdasarkan PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyyah di luar Jawa dan
Madura, Peradilan Agama No. B/I/735 Tanggal 18 Februari
1958 merekomendasikan agar hakim agama menggunakan 13
kitab fiqh sebagai pedoman, diantaranya:
1) Al-Bajuri;
2) Fathul Mu’in;
3) Asy-Syarkawi ‘ala at-Tahrir;
4) Al-Qalyubi/al-Mahalli;
5) Fathu al-Wahhab wa Syarhuh;
6) At-Tuhfah;
7) Targhib al-Musytaq;
8) Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid bin Yahya;
9) Al-Qawanin asy-Syar’iyyah li Sayyid Shadaqoh Dachlan;
10) Asy-Syamsuri fi al-Faraid;
11) Bughyah al-Mustarsyidin;
12) Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib alArba’ah;
13) Al-Mughni al-Muhtaj.(Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama, 2000)

Dalam perkembangannya, pemikiran tentang hukum
keluarga Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan. Hal
ini dapat dilihat dari munculnya Counter Legal Drafting (CLD)
KHI, yang memandang bahwa beberapa pasal yang terdapat di
KHI masih mengandung unsur deskriminatif, patriarkal, dan
formalistic. Sehingga values yang ditawarkan oleh CLD-KHI
adalah prinsip kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan
keberagaman. Meskipun CLD KHI belum diakui secara resmi
oleh pemerintah, dokumen ini telah menjadi referensi penting
dalam diskusi dan advokasi untuk reformasi hukum keluarga
Islam di Indonesia. Menurut CLD KHI, ada kemungkinan untuk
membuat hukum keluarga Islam yang lebih adil dan setara, dan
masyarakat sipil dapat memainkan peran penting dalam proses
tersebut (Sumaelan, 2024).

72 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Erat kaitanya konsep kesetaraan, maka menurut penulis,
sangat relevan pemikiran Faqihuddin tentang konsep
mubadalahnya (kesalingan) dalam konteks kekinian. Cara
pandang mubadalah mencerminkan kesetaraan dan keadilan
dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, yang dapat
mendorong sikap kerja sama yang adil dan adil yang
menguntungkan keduanya. Tidak hanya kaum laki-laki yang
berhak atas ruang publik, tetapi juga kaum perempuan.
Partisipasi yang adil dalam kedua ruang, publik dan domestik,
harus dimungkinkan dengan cara, model, dan pilihan yang
berbeda(Wagianto 2021). Dengan pembacaan qiraah mubadalah,
kita akan menemukan bahwa QS. an-Nisa', 4: 11 merupakan
bagian dari teks juz'i, yang membahas tentang aturan
bermuamalah. Teks ini tidak boleh dipahami secara berbeda
dengan teks yang mengandung prinsip universal (al-mabadi) dan
teks khusus (al-qawa'id), yang kedua prinsip ini menentukan
pemaknaan ayat-ayat tertentu. sehingga, berdasarkan kedua
landasan dasar pemaknaan ayat tersebut, dapat dijelaskan bahwa
adanya rasio dua banding satu dalam hak pembagian waris dapat
disesuaikan. sepanjang hal ini tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasar keadilan. Akibatnya, pembagian 2 : 1 dapat berubah
menjadi 1 : 2. seiring dengan perubahan peran dan kewajiban
kedua pihak kepada muwaris dan keluarganya.
Masih dalam konteks kewarisan, pemikiran yang relevan
dengan hal ini adalah pemikiran Hazairin, yang disebut-disebut
sebagai tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap
reformasi hukum kewarisan Islam di Indonesia. Menurutnya,
dengan berdasarkan pada penafsiaran terhadap QS.an-Nisa,11,
system kewarisan yang terdapat didalam Islam adalah kewarisan
bilateral. Artinya anak laki-laki dan anak perempuan mewarisi
kedua orang tua mereka. Hak mewarisi bagi laki-laki dan
perempuan sama, artinya baik laki-laki maupun perempuan
mewarisi dari anaknya( Muhammad Darwis dan Agusnidar
2014).

Ramdan Wagianto | 73

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Dalam pemikirannya, Hazairin juga menekankan betapa
pentingnya menafsirkan kembali hukum Islam agar sesuai
dengan konteks budaya dan sosial yang berbeda dari Indonesia.
Hal disebabkan sistem warisan patrilineal yang dominan di
banyak masyarakat Muslim, di mana lebih banyak harta diberikan
kepada ahli waris laki-laki dari pihak ayah. Dia melihat sistem ini
tidak sepenuhnya adil dan melanggar prinsip kesetaraan Islam.
Maka sudah semestinya harta warisan dibagikan secara adil
kepada semua ahli waris tanpa diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin atau garis keturunan. Ini berarti bahwa semua keturunan
laki-laki dan perempuan, dari pihak ayah dan ibu, harus
menerima bagian yang sebanding.
Kontribusi pemikirannya yang kemudian terakomodir di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tentang Mawali
atau ahli waris pengganti, tepatnya pada Pasal 185. Pasal tersebut
menyebutkan bahwa; (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu
daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, (2)
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti. Maksud dari mawali
disini adalah Ahli waris yang menggantikan seseorang untuk
menerima sebagian dari harta warisan yang seharusnya diterima
orang tersebut. Sebab, yang digantikan adalah orang yang
seharusnya menerima harta warisan itu seandainya ia masih
hidup, namun dalam hal ini ia meninggal sebelum ahli warisnya.
Konsep Mawali terdapat dalam QS. An Nisa (4), 33;

ۚ
ْ
م
ُ
ه
َ
ـبي
م
صَن
ْ
م
ُ
هوُتاَ ـَف
ْ
مُكُنَٰ
َْيَأ ْتَدَق
َ
ع
َ
ني
م
ذَّلٱ
َ
و ۚ َنو
ُ
ب
َ
رْـقَْلْٱ
َ
و مناَد
م
لَٰ
َ
وْلٱ َك
َ
رَـت اَّ
م
مِ
َ
ىلَِٰ
َ
و
َ
م اَنْل
َ
ع
َ
ج ٍّ

لُك
م
ل
َ
و
ديمهَش
ٍّ
ء
ْ
ىَش م

لُك
َٰ
ىَل
َ
ع َناَك
َ
َّللَّٱ َّنمإا

Artinya :Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika
ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka

74 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.
Perbedaan pendapat Hazairin dengan para ulama lainnya
terletak pada penafsiran kata mawaaliya dan tempat perkataan
waalidaani. Dia berpendapat bahwa al-waalidaani adalah subjek
kata kerja taraka. Oleh karena itu, pengertian mawaaliya adalah
cucu dari anak yang sudah meninggal karena ada anak lain yang
masih hidup. Ulama lain berpendapat bahwa kedudukan
perkataan alwaalidaani adalah penjelasan dari mawaaliya. Karena
itu, cucu yang ayahnya meninggal lebih dahulu tidak termasuk
jika pewaris masih memiliki anak laki-laki lain.

KESIMPULAN
Di Indonesia, pemikiran hukum keluarga Islam merupakan
hasil dari interaksi antara tradisi dan modernitas. Tradisi
memberikan dasar nilai-nilai dan praktik yang telah ada sejak
lama, sementara modernitas membawa tantangan dan peluang
untuk pembaharuan. Proses ini melibatkan penyeimbangan
antara mempertahankan prinsip-prinsip Islam dan menyesuaikan
dengan kebutuhan sosial dan hukum kontemporer. Dialog,
reformasi, dan adaptasi menjadi kunci dalam memastikan bahwa
hukum keluarga Islam di Indonesia tetap relevan dan adil dalam
konteks yang terus berkembang. Pengadopsian terhadap teori-
teori kontemporer dalam hukum Islam, dapat dijadikan sebagai
salah satu komponen penting dalam menghasilkan produk
hukum yang berkeadilan dan berdampak pada kemaslahatan yang
lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqa. Ahmad Ibn Al-Syeikh Muhammad Syarh al-Qawaid
alFiqhiyyah, (Suriyah : Dar Al-Qalam, 1409 H), jilid 2

Ramdan Wagianto | 75

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
al-Amîn, Muhammad Hasan. ‘Ishlâh al-Fikr al-Islâmî’ dalam ‘Abd
al-Jabbâr al-Rifâ’iy, Manâhij al-Tajdîd, ((Beirut: Dâr al-Fikr,
2000)
al-Qadir bin Muhammad Waliy Qutah, ‘Adil bin ‘Abd . al-‘Urf:
Hujjiyyatuhu wa Atsaruhu fî Fiqh al-Mu’âmalât al-Mâliyah ‘inda
al-Hanâbilah, Vol. I, (Mekkah: al-Maktabah al-Makkiyyah,
1997)
al-Zuhailiy, Wahbah. Usûl al-Fiqh al-Islâmiy, Vol. II, (Damaskus:
Dâr al-Fikr, Cetakan 16, 2008)
al-Jabiri, Mohammed ‘Abed. Kritik Kontemporer Atas Filsafat
Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta:
Islamika, 2003)
Ainur Rofiq. 2019. “No Title.” Attaqwa: Jurnal Ilmu Pendidikan
Islam 15 (2): 93–107.
Astuti, Hani, and Anggie Putri Marvelia. 2019. “Makna Simbol
Ritual Siraman Pernikahan Adat Jawa Tengah (Analisis
Interaksional Simbolik Pada Ritual Siraman Pernikahan
Adat Jawa Tengah).” Komunikologi 16 (1): 38.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. 2000. No Title.
Hikmatullah, Hikmatullah. 2018. “Selayang Pandang Sejarah
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.”
Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 1 (2): 39–52.
Irmawati, Waryunah. 2013. “Makna Simbolik Upacara Siraman
Pengantin Adat Jawa.” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan 21 (2): 309.
Islam, Hukum. 2014. “Tentang Mawali” XIV (1): 82–89.
Jainuri, Achmad. 2014. “Tradisi Dan Modernitas.” Jurnal Tarjih
12 (2): 232.

76 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Jalil, Abdul & Aminah, Siti. (2017). Resistensi Tradisi terhadap
Modernitas. Umbara: Indonesian Journal of Antropology. 2
(2)
Kristina, Inka. 2023. “Tradisi Midodareni Pada Perkawinan
Masyarakat Jawa Perspektif ‘Urf ( Studi Kasus Di Desa
Purwasaba Kecamatan Mandiraja Kabupaten Banjarnegara
).”
Maula, Bani Syarif. 2017. “Islam Dan Modernitas: Pandangan
Muslim Terhadap Perkembangan Sosial, Politik Dan
Sains.” Fikrah.
Ritzer, George & Smart, Barry. (2015). Handbook Teori Sosial
(terjemahan). Bandung: Penerbit Nusa Media.
Safiuddin, Angga Dwi, M. Noor Harisudin, and Busriyanti
Busriyanti. 2023. “Modernisasi Hukum Keluarga Islam
Analisis Yuridis Sosiologis.” Al Qalam: Jurnal Ilmiah
Keagamaan Dan Kemasyarakatan 17 (6): 4309.
Sari, Onica. 2023. “Religiusitas Ritual Siraman Pengantin Adat
Jawa.” Journal of Language Education, Literature, and Local
Culture 39 (1): 2657–1625.
Sudirana, I Wayan. 2019. “Tradisi Versus Modern: Diskursus
Pemahaman Istilah Tradisi Dan Modern Di Indonesia.”
Mudra Jurnal Seni Budaya 34 (1): 127–35..
Sumaelan, Tedi. 2024. “KHI Versus CLD KHI : Studi Kasus
Pada Implementasi Di Indonesia” 3 (1): 298–319.
Sumarwan. 2022. “No Title.” Lestari, Puji, Perempuan dalam
Harmoni Tradisi dan Modernisasi (Studi pada Perempuan Suku
Osing), Jurnal Integralistik, Vol. 32 Nomor 2, Juli 2021
Safiuddin, Angga Dwi, M. Noor Harisudin, Busriyanti,
Modernisasi Hukum Keluarga Islam Analisis Yuridis Sosiologis,
Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan,
Vol. 17, No. 6 November - Desember 2023

Ramdan Wagianto | 77

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode
Tradisi Lisan. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Jakarta:
Asosiasi Tradisi Lisan.
Wagianto. Ramdan. 2017. “Tradisi Kawin Colong Pada
Masyarakat Osing Banyuwangi Perspektif Sosiologi
Hukum Islam.” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 10
(1): 61–84. https://ejournal.uin-
———. 2021. “Konsep Keluarga Maslahah dalam Perspektif
Qira’ah Mubadalah1.” Juris : Jurnal Ilmu Syariah 20 (1): 1–
17.
Wagianto, Ramdan. 2022. “Reviewing Hak-Hak Perempuan
Dalam Reformasi Hukum Keluarga Islam Di Indonesia
Dan Tunisia.” Asy-Syari`ah : Jurnal Hukum Islam 8 (2): 81–
102. Wagianto, Ramdan. Harmonisasi Hukum Adat dan
Hukum Agama dalam Perkawinan Adat Masyarakat Osing
Banyuwangi, Vol 6 No 1 (2022): Ancoms, April 2022
Wagianto, Ramdan. Reviewing Hak-Hak Perempuan Dalam
Reformasi Hukum Keluarga Islam Di Indonesia Dan Tunisia, Asy
- Syari`ah : Jurnal Hukum Islam Vol 8 , No. 2,2022
Wagianto, Ramdan. Reformasi Batas Minimal Usia Perkawinan dan
Relevansinya dengan Hak-Hak Anak di Indonesia Perspektif
Maqashid Asy-Syari'ah, Asy-Syir’ahJurnal Ilmu Syari’ah dan
Hukum, Vol. 51, No.2, Desember 2017
Wijaya, Aksin. Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas
Nalar Tafsir. Gender. Cetakan I-Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2011
Wardani, Desy Eka. Tradisi Midodareni Dalam Perkawinan Perspektif
Hukum Islam (Studi Pada Desa Baran Toriyo Kabupaten
Sukoharjo), Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia
Makassar 2022

78 | Ramdan Wagianto

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Yuhendri, Eka. 2019. “Muhammad Syahrûr; Theory of Limit
(Teori Batas).” Tajdidukasi: Jurnal Penelitian Dan Kajian
Pendidikan Islam 9 (1): 29.

Sheyla Nichlatus Sovia | 79

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


TRANSFORMASI TRADISI DALAM
PERSPEKTIF ISLAM KONTEMPORER:
SEBUAH KAJIAN TEORETIS

Sheyla Nichlatus Sovia


PENDAHULUAN
Dalam lintasan sejarah umat manusia, tradisi telah
memainkan peranan yang sangat penting sebagai penopang
identitas budaya dan agama. Tradisi dalam Islam, yang di
dalamnya meliputi praktik ibadah, hukum, etika, dan kebiasaan
sehari-hari, telah diwariskan dari generasi ke generasi, untuk
menjaga kesinambungan nilai-nilai yang diyakini berasal dari
ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Namun,
seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai oleh
kemajuan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial yang pesat,
tradisi-tradisi ini menghadapi tantangan dan tuntutan untuk
bertransformasi.
Modernitas membawa dinamika baru yang sering kali
bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisional. Perubahan gaya
hidup, pola pikir, dan struktur sosial sebagai akibat dari
modernitas memaksa umat Islam untuk beradaptasi dengan
konteks kontemporer tanpa kehilangan esensi dari tradisi
mereka. Hal ini menimbulkan diskursus yang kompleks
mengenai bagaimana tradisi dalam Islam dapat dipertahankan,
diadaptasi, atau bahkan ditransformasikan untuk tetap relevan
dalam kehidupan modern.(Shihab, 1996)

80 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Tulisan ini berupaya untuk mengkaji transformasi tradisi
dalam perspektif Islam kontemporer melalui pendekatan teoretis.
Dengan memahami bagaimana masyarakat Muslim berupaya
menyeimbangkan antara pelestarian nilai-nilai tradisional dan
penerimaan terhadap perubahan yang terjadi, diharapkan kita
dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang
identitas dan praktik keagamaan dalam konteks Islam
kontemporer. Pandangan ulama dan cendekiawan Muslim
mengenai transformasi tradisi serta implikasinya terhadap
kehidupan umat Islam di era kontemporer juga penting untuk
dieksplorasi dalam kajian ini.
Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan wawasan
tentang dinamika tradisi dan modernitas dalam Islam, sehingga
umat Islam dapat menemukan cara yang bijaksana untuk
menjembatani masa lalu dan masa depan, menjaga nilai-nilai
tradisional sekaligus merespon tuntutan zaman dengan tepat.
Melalui pemahaman yang lebih baik tentang transformasi tradisi,
diharapkan umat Islam dapat menghadapi tantangan modernitas
dengan lebih percaya diri dan bijaksana.

KONSEP TRADISI DALAM ISLAM
Dalam Islam, tradisi merujuk pada berbagai praktik,
kebiasaan, dan ajaran yang telah diwariskan dari generasi ke
generasi sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Tradisi ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari
ibadah ritual, hukum, etika, hingga aspek budaya sehari-hari.
Dalam konteks ini, tradisi tidak hanya dilihat sebagai sebuah
kebiasaan saja, melainkan juga merupakan cerminan pemahaman
dan penghayatan umat Islam terhadap ajaran agama. Tradisi
shalat lima waktu misalnya, tidak hanya dilihat sebagai sebuah
kewajiban, namun juga sebagai bagian dari identitas dan
kehidupan sehari-hari seorang Muslim.

Sheyla Nichlatus Sovia | 81

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Jika dilihat melalui perspektif sosial, tradisi dalam Islam
berfungsi sebagai pengikat komunitas. Ia menciptakan rasa
solidaritas dan identitas kolektif di antara anggota masyarakat
Muslim. Apabila dijalankan secara konsisten, tradisi dapat
memperkuat ikatan sosial dan membantu individu memahami
tempat mereka dalam komunitas yang lebih besar. Misalnya,
tradisi Maulid Nabi yang dirayakan di berbagai negara Muslim
dengan cara yang berbeda-beda, mencerminkan bagaimana nilai-
nilai Islam dapat disesuaikan dengan budaya lokal tanpa
kehilangan esensi keagamaannya. Dalam hal ini, tradisi juga
berperan dalam menjaga keberlangsungan nilai-nilai Islam di
tengah arus modernisasi yang semakin kuat.
Secara keseluruhan, tradisi dalam Islam bukanlah sesuatu
yang statis, namun merupakan sesuatu yang dinamis dan
kontekstual. Tradisi selalu berkembang dan bertransformasi
seiring dengan perjalanan waktu, merespons berbagai tantangan
dan perubahan yang dihadapi oleh umat Islam. Di sisi lain esensi
dari tradisi ini tetap berakar pada ajaran-ajaran dasar Islam yang
mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan
keadilan. (Nasr, 1981)

PERAN TRADISI DALAM ISLAM
Dalam Islam peran tradisi sangat signifikan, sebab tradisi
tidak hanya menjadi pengikat sosial, namun juga sarana untuk
memperkuat identitas keagamaan umat Muslim. Tradisi dalam
Islam mencakup berbagai praktik, adat, dan ritual yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagai contoh, perayaan
hari raya seperti Idul Fitri dan Idul Adha bukan hanya memiliki
makna spiritual, tetapi juga merupakan momen penting untuk
berkumpul bersama keluarga dan komunitas. Praktik-praktik ini
membantu umat Islam merasakan kedekatan dan solidaritas di
antara sesama, serta menjadi pengingat akan nilai-nilai
kemanusiaan dan kebersamaan.(Azra, 2004)

82 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Lebih dari itu, tradisi juga berfungsi untuk menjebatani
antara ajaran agama dan budaya lokal. Dalam banyak kasus,
tradisi lokal diadaptasi ke dalam praktik keagamaan. Sebagai
contoh di Indonesia, terdapat tradisi "mudik" yang dilakukan saat
Idul Fitri, di mana orang-orang pulang ke kampung halaman
untuk berkumpul dengan keluarga. Tradisi ini mencerminkan
nilai-nilai Islam tentang pentingnya hubungan keluarga dan
komunitas, sekaligus menunjukkan bagaimana Islam dapat
beradaptasi dengan budaya setempat. Dalam hal ini, tradisi tidak
hanya menjadi bentuk pelestarian budaya, tetapi juga
memperkaya praktik keagamaan dengan makna yang lebih dalam.

SEJARAH DAN EVOLUSI TRADISI ISLAM
Sejarah dan evolusi tradisi dalam Islam sangat kompleks
dan berakar dari periode awal penyebaran ajaran Islam oleh Nabi
Muhammad SAW pada abad ke-7. Saat itu, tradisi-tradisi yang
berkaitan dengan ritual keagamaan mulai dibentuk, termasuk
praktik shalat, puasa, dan zakat, yang menjadi pilar utama dalam
kehidupan umat Islam. Di samping itu, ajaran-ajaran Nabi juga
melahirkan norma-norma sosial yang mengatur interaksi
antarindividu dalam masyarakat, dan menciptakan dasar bagi
tradisi Islam yang berkelanjutan.(Azra, 2004)
Setelah Nabi Muhammad wafat, tradisi Islam mulai
berkembang dan beradaptasi dengan berbagai budaya di wilayah
yang lebih luas, termasuk di kawasan Persia, Mesir, dan Afrika.
Proses akulturasi ini berhasil memperkaya tradisi Islam dengan
elemen-elemen lokal, yang sering kali dihubungkan ke dalam
praktik keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi Islam
tidak bersifat kaku, melainkan mampu beradaptasi dengan
konteks budaya yang berbeda.
Hadirnya berbagai aliran pemikiran, seperti Sunni dan
Syiah, yang masing-masing memiliki interpretasi dan praktik yang
berbeda terhadap ajaran Islam juga dapat dijadikan sebuah

Sheyla Nichlatus Sovia | 83

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pertanda evolusi tradisi dalam Islam. Perbedaan ini menciptakan
keragaman dalam praktik keagamaan di kalangan umat Islam.
Tradisi dan praktik keagamaan Syiah yang sering kali berbeda
dengan tradisi dan praktik keagamaan Sunni, memberikan warna
tersendiri dalam kehidupan spiritual umat Islam di seluruh
dunia.(Hamka, 2020)
Seiring dengan perkembangan modernisasi dan globalisasi,
tradisi dalam Islam juga menghadapi tantangan. Banyak umat
Islam yang berupaya untuk mempertahankan tradisi mereka,
sementara yang lain mencari cara untuk mengadaptasi tradisi
tersebut agar relevan dengan konteks zaman modern. Dari sini
tercipta sebuah dinamika di mana tradisi dapat dipertahankan,
namun secara bersamaan juga dievolusi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat saat ini. Ini menunjukkan bahwa tradisi
dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang statis, melainkan
sebuah proses yang terus berkembang dan beradaptasi.
(Esposito, 2016)
Dalam hal ini, penting bagi umat Islam untuk melakukan
refleksi kritis terhadap tradisi yang ada, sehingga mereka dapat
memastikan bahwa tradisi yang dijalankan tetap sesuai dengan
nilai-nilai dasar Islam tanpa kehilangan esensi budaya yang ada.
Dalam jangka panjang, tradisi dapat berfungsi sebagai sumber
inspirasi dan kekuatan bagi generasi mendatang,
menghubungkan mereka dengan warisan spiritual dan budaya
yang kaya.

TANTANGAN DAN FAKTOR PENYEBAB
TRANSFORMASI TRADISI
1) Pengaruh Modernitas
Pengaruh modernitas dalam transformasi tradisi Islam
telah membawa dampak yang signifikan dalam berbagai aspek
kehidupan umat Islam, terutama dalam konteks sosial, budaya,
dan agama. Modernitas, dengan segala aspeknya seperti

84 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
teknologi, globalisasi, dan perubahan nilai-nilai sosial, telah
mengubah cara umat Islam memahami dan mengamalkan tradisi
mereka. Menurut Talal Asad, pengaruh modernitas terhadap
transformasi dalam praktek keagamaan dan tafsir terhadap teks-
teks suci terjadi melalui adaptasi terhadap nilai-nilai universal
modern seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan
demokrasi, yang kadang-kadang bertentangan dengan
interpretasi tradisional. (Asad, 2003)
Selain itu, modernitas juga memengaruhi pola pikir dan
perilaku umat Islam terutama dalam konteks urbanisasi dan
perkotaan, di mana nilai-nilai tradisional sering kali ditempatkan
di bawah tekanan oleh perkembangan ekonomi dan sosial yang
cepat. Dalam konteks budaya, media massa dan internet telah
mengubah cara penyebaran nilai-nilai Islam dan praktik
keagamaan yang memungkinkan umat Islam untuk mengakses
informasi dan perspektif baru yang tidak selalu sesuai dengan
tradisi lokal.
Secara keseluruhan, pengaruh modernitas dalam
transformasi tradisi Islam mencerminkan dinamika antara nilai-
nilai tradisional yang diwariskan dan tantangan serta peluang yang
ditimbulkan oleh perubahan zaman.
2) Pengaruh Globalisasi dan Teknologi
Globalisasi dan kemajuan teknologi telah membawa
dampak yang signifikan terhadap transformasi tradisi di seluruh
dunia, termasuk dalam konteks masyarakat Muslim. Proses
globalisasi menciptakan ruang di mana budaya dan praktik dari
berbagai belahan dunia saling berinteraksi dan memengaruhi satu
sama lain. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai bentuk
praktik keagamaan yang lebih beragam, di mana individu dapat
mengakses berbagai perspektif dan interpretasi ajaran Islam.
Meskipun globalisasi dapat memperkaya pengalaman spiritual,
globalisasi juga berpotensi mengikis tradisi lokal yang telah ada
selama berabad-abad, disebabkan masyarakat cenderung

Sheyla Nichlatus Sovia | 85

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mengadopsi praktik yang lebih modern dan universal. (Salsabila
dkk., 2023)
Teknologi, terutama internet dan media sosial, memiliki
peran yang penting dalam mempercepat proses ini. Melalui
platform digital, informasi tentang praktik keagamaan, fatwa, dan
diskusi teologis dapat diakses dengan mudah. Hal ini
memungkinkan individu untuk terhubung dengan komunitas
Muslim di seluruh dunia dan terpapar pada pemikiran baru yang
mungkin berbeda dari tradisi lokal mereka. Di sisi lain, dampak
positif dari aksesibilitas informasi ini sering kali diimbangi
dengan tantangan, seperti munculnya pemahaman yang
fragmentaris dan potensi salah interpretasi terhadap ajaran
agama. Dalam beberapa kasus, aksesibilitas informasi dapat
menyebabkan perpecahan di dalam komunitas yang sebelumnya
homogen.
Di sisi lain, teknologi juga telah mengubah cara orang
menjalankan praktik keagamaan sehari-hari. Misalnya, aplikasi
mobile untuk pengingat waktu salat dan platform streaming
untuk khutbah atau ceramah agama mulai menggantikan cara
tradisional dalam menjalankan ibadah. Ini menunjukkan bahwa
teknologi tidak hanya mempermudah akses informasi, tetapi juga
mengubah cara orang berinteraksi dengan agama mereka.
Masyarakat kini lebih cenderung untuk mengikuti praktik yang
dianggap lebih praktis dan efisien, yang kadang kala mengabaikan
elemen-elemen budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian
integral dari praktik keagamaan. (Arivianto dkk., 2023)
3) Faktor Sosial dan Politik
Tradisi Islam mengalami transformasi yang signifikan di
bawah pengaruh berbagai faktor sosial dan politik. Kedua aspek
ini memainkan peran penting dalam membentuk dan mengubah
praktik, interpretasi, serta penyebaran ajaran Islam di berbagai
wilayah. Faktor sosial yang mempengaruhi transformasi tradisi
Islam mencakup perubahan dalam struktur masyarakat, interaksi
antar komunitas, dan dinamika sosial lainnya.

86 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Urbanisasi, modernisasi, dan perubahan demografis
berdampak pada cara umat Islam mempraktikkan tradisi mereka.
Urbanisasi mempengaruhi pola hidup umat Islam, di mana
mereka mulai mengadaptasi tradisi keagamaan sesuai dengan
konteks perkotaan yang lebih dinamis. Interaksi antara
komunitas Muslim dengan komunitas lain, baik di dalam negeri
maupun internasional, mendorong adaptasi dan perubahan
dalam tradisi Islam. Interaksi yang intensif antar komunitas
agama dapat menghasilkan modifikasi dalam praktik keagamaan
untuk menciptakan harmoni sosial. (Ulfah, 2021)
Faktor politik seperti kebijakan pemerintah, dinamika
politik internasional, dan gerakan politik memiliki pengaruh yang
besar terhadap transformasi tradisi Islam. Pemerintah memiliki
peran penting dalam menentukan bagaimana tradisi Islam
dipraktikkan. Di Indonesia, kebijakan pemerintah yang
mendukung kebebasan beragama memungkinkan
berkembangnya berbagai tradisi Islam yang beragam. (Mukhibat
dkk., 2023)
Politik global dan hubungan internasional juga turut
mempengaruhi tradisi Islam.Pengaruh negara-negara Islam besar
seperti Arab Saudi dan Iran membawa perubahan dalam
interpretasi dan praktik tradisi Islam di negara lain. Selain itu,
gerakan politik Islam sering kali berusaha untuk mengembalikan
atau memperbarui tradisi Islam sesuai dengan interpretasi
mereka. Gerakan politik Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah, berkontribusi dalam pembentukan
dan transformasi tradisi Islam melalui berbagai program dan
kebijakan. (Ma’arif, 2009)

Sheyla Nichlatus Sovia | 87

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
TRANSFORMASI TRADISI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM KONTEMPORER
1) Transformasi dalam Ritual Keagamaan
Transformasi tradisi dalam ritual keagamaan adalah sebuah
fenomena yang menarik untuk dikaji, khususnya dalam konteks
masyarakat modern yang terus berubah. Ritual keagamaan sering
kali mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan, dan identitas budaya
suatu komunitas. Namun, seiring dengan perubahan sosial,
ekonomi, dan teknologi, ritual ini juga mengalami transformasi.
Perubahan sosial dan ekonomi memiliki peran besar dalam
transformasi tradisi keagamaan. Modernisasi, urbanisasi, dan
globalisasi telah mengubah cara masyarakat memandang dan
menjalankan ritual keagamaan. Sebagai contoh, modernisasi di
Jawa berpengaruh terhadap praktik keagamaan tradisional,
termasuk ritual dan adat istiadat. Perubahan ini terlihat dari cara
masyarakat kota mempraktikkan ritual keagamaan yang lebih
sederhana dibandingkan dengan masyarakat pedesaan yang
masih memegang teguh tradisi. Begitu pula ritual slametan di
masyarakat Jawa telah mengalami perubahan dalam konteks
urbanisasi dan modernisasi, di mana aspek-aspek tradisional
mulai digantikan oleh praktik-praktik yang lebih modern.
(Geertz, 2014)
Teknologi dan media juga memiliki dampak signifikan
terhadap transformasi ritual keagamaan. Penggunaan media
sosial, televisi, dan internet memudahkan penyebaran ritual
keagamaan ke audiens yang lebih luas dan sering kali mengubah
cara ritual tersebut dipraktikkan. Teknologi dan media
mempengaruhi ritual keagamaan dengan memperkenalkan
elemen-elemen baru yang tidak tradisional dan menciptakan
bentuk-bentuk baru dari praktik keagamaan. Media digital juga
mengubah cara orang berpartisipasi dalam ritual keagamaan,
termasuk penggunaan aplikasi keagamaan dan penyiaran
langsung acara keagamaan melalui media sosial. (Campbell, 2013)

88 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Selain itu, akulturasi dan sinkretisme juga memiliki
pengaruh dalam transformasi ritual keagamaan. Akulturasi dan
sinkretisme adalah proses di mana tradisi keagamaan dari
berbagai budaya bergabung dan menghasilkan bentuk-bentuk
baru dari praktik keagamaan. Ini sering terjadi dalam masyarakat
multikultural di mana berbagai tradisi keagamaan saling
mempengaruhi. Reinterpretasi dan pembaruan tradisi adalah
proses di mana elemen-elemen dari ritual keagamaan diubah
untuk sesuai dengan nilai-nilai dan konteks sosial yang baru. Ini
sering dilakukan oleh pemimpin agama atau komunitas yang
ingin menjaga relevansi ritual keagamaan dengan masyarakat
modern. (Bell, 1997)
2) Transformasi dalam Hukum dan Etika
Transformasi tradisi dalam hukum dan etika
mencerminkan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma
tradisional Islam beradaptasi dengan perkembangan zaman dan
perubahan sosial. Di berbagai negara, termasuk Indonesia,
hukum dan etika Islam mengalami perubahan untuk tetap
relevan dan efektif dalam konteks modern.
Upaya pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia
memiliki tujuan untuk menyesuaikan norma-norma tradisional
dengan prinsip-prinsip modern, seperti penyesuaian terhadap
hak-hak perempuan dan anak, serta penerapan prinsip-prinsip
keadilan gender dalam konteks perkawinan dan perceraian. Hal
ini terefleksikan dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang memasukkan elemen-elemen
perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Penerapan syariah dalam konteks modern mencakup
penyesuaian hukum-hukum tradisional dengan realitas sosial,
ekonomi, dan politik masa kini. Dalam bukunya yang berjudul
Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Abdurrahman Wahid
membahas konsep pribumisasi Islam, yaitu adaptasi nilai-nilai
Islam dengan budaya lokal untuk menciptakan hukum yang lebih

Sheyla Nichlatus Sovia | 89

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
relevan dan dapat diterima oleh masyarakat setempat. (Wahid,
1989)
Perkembangan etika bisnis Islam seiring dengan globalisasi
dan kebutuhan akan standar etika yang lebih universal dalam
praktik bisnis, juga menandakan sebuah transformasi tradisi.
Prinsip-prinsip etika bisnis Islam, seperti keadilan, transparansi,
dan tanggung jawab sosial, diterapkan dalam praktik perbankan
syariah di Indonesia. Perusahaan syariah di Indonesia
mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis Islam
dalam operasional sehari-hari, serta tantangan yang dihadapi.
(Antonio, 2001)
Begitu pula etika lingkungan dalam Islam yang
menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan
tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Ajaran Islam
mengandung prinsip-prinsip etika lingkungan, termasuk
pentingnya menjaga kelestarian alam dan penggunaan sumber
daya secara bertanggung jawab. Konsep khalifah fil ard (wakil
Tuhan di bumi) dalam Islam dan implikasinya terhadap etika
lingkungan, termasuk tanggung jawab manusia untuk
melestarikan alam.
3) Transformasi dalam Budaya dan Gaya Hidup
Transformasi tradisi Islam dalam budaya dan gaya hidup
adalah proses yang dinamis dan kompleks. Budaya dan gaya
hidup yang dulunya bersifat lokal dan tradisional harus
beradaptasi dengan perkembangan zaman, perubahan nilai sosial,
dan kemajuan teknologi. Transformasi tradisi yang tidak hanya
terjadi di Indonesia namun juga di berbagai negara Muslim
lainnya mencerminkan dinamika yang universal dalam praktik
keagamaan dan gaya hidup Islam.
Sebagaimana transformasi tradisi yang tercermin dalam
ranah budaya pop dan media modern, telah mengubah cara nilai-
nilai Islam diinterpretasikan dan disebarluaskan agar dapat
menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam. Budaya pop

90 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
yang di dalamnya termasuk film dan musik, mempengaruhi cara
Islam dipresentasikan dan dipersepsikan di Indonesia. Adaptasi
nilai-nilai Islam dalam media pop membantu memperkenalkan
Islam kepada generasi muda dengan cara yang lebih menarik.
(Heryanto, 2015) Sebagai contoh, film dan musik religi
memainkan peran dalam menyebarkan nilai-nilai Islam secara
populer, menciptakan interaksi antara tradisi Islam dan budaya
modern.
Bagitu pula transformasi yang terjadi dalam industri
fashion yang berkembang pesat dengan desain yang memadukan
nilai-nilai kesopanan Islam dan tren mode modern.
Perkembangan industri fashion Muslim di Indonesia yang
memadukan elemen tradisional dengan gaya modern bertujuan
untuk menarik perhatian pasar yang lebih luas.
Sedangkan transformasi tradisi dalam gaya hidup dapat
dilihat dari maraknya tren gaya hidup halal yang mencakup
berbagai aspek kehidupan mulai dari makanan, kosmetik, hingga
perbankan dan pariwisata. Peningkatan kesadaran dan
permintaan masyarakat akan produk-produk halal di Indonesia,
merupakan salah satu faktor yang mendorong tren ini dan
implikasinya terhadap industri halal.

ANALISIS TEORETIS PERSPEKTIF ISLAM
KONTEMPORER
1) Teori Transformasi Sosial dalam Islam
Teori transformasi sosial dalam Islam mencakup berbagai
pandangan mengenai bagaimana nilai-nilai, norma, dan praktik-
praktik Islam dapat beradaptasi dan berubah sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Transformasi sosial
ini penting untuk memahami bagaimana masyarakat Muslim
merespon perubahan zaman. Prinsip dasar transformasi sosial
dalam Islam berakar pada kemampuan Islam untuk beradaptasi
dengan berbagai konteks sosial dan budaya tanpa mengorbankan

Sheyla Nichlatus Sovia | 91

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
prinsip-prinsip fundamentalnya. Islam memiliki fleksibilitas yang
memungkinkan penyesuaian ajarannya dengan kondisi sosial
yang berbeda. Prinsip-prinsip dasar Islam tetap dijaga, sementara
penerapannya dapat berubah sesuai dengan konteks waktu dan
tempat. (Nasution, 1985)
Hal ini mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang
memiliki kemampuan adaptif kuat, yang memungkinkan
masyarakat Muslim untuk terus berkembang dan berubah seiring
dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas
keagamaannya. Teori-teori modernisasi, dependensi, dan
postkolonial memberikan kerangka konseptual untuk memahami
bagaimana Islam dapat bertransformasi tanpa kehilangan
esensinya.
a) Teori Modernisasi dan Islam
Teori modernisasi melihat transformasi sosial sebagai
proses di mana masyarakat tradisional berubah menjadi
masyarakat modern melalui adopsi teknologi,
pendidikan, dan nilai-nilai baru, sementara Islam
memainkan peran kunci dalam mengarahkan perubahan
ini. Pada dasarnya, modernisasi dalam konteks Islam
bukanlah adopsi total nilai-nilai Barat, tetapi suatu proses
di mana nilai-nilai Islam disesuaikan dengan tuntutan
modernitas untuk mencapai kemajuan sosial dan
ekonomi. Dalam Islam, modernisasi dapat berjalan
seiring dengan transformasi nilai-nilai Islam, yang
memungkinkan masyarakat Muslim untuk tetap
memegang teguh keimanan sambil mengadopsi aspek-
aspek modernitas. (Gellner, 1987)
b) Teori Dependensi dan Islam
Teori dependensi mengkritik modernisasi dengan
menekankan ketergantungan negara-negara berkembang
pada negara-negara maju. Dalam konteks Islam, teori ini
menjelaskan bagaimana negara-negara Muslim dapat
mengembangkan model pembangunan yang mandiri
berdasarkan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, negara-

92 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
negara Muslim dapat mencari model pembangunan yang
independen dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, tanpa
harus memiliki ketergantungan terhadap negara-negara
Barat. (Sardar, 1999)
c) Teori Postkolonial dan Islam
Teori postkolonial memberi penekanan terhadap
pemahaman tentang sejarah kolonialisme dan
dampaknya terhadap masyarakat Muslim. Transformasi
sosial dalam konteks ini melibatkan proses dekolonisasi
pemikiran dan praksis Islam dalam menemukan kembali
identitas Islam yang otentik. (Ahmed, 1982)

2) Pendekatan Ulama dan Cendekiawan Muslim
Dalam transformasi tradisi, ulama dan cendekiawan
Muslim melibatkan adaptasi dan interpretasi nilai-nilai Islam
untuk menjawab tantangan modernitas dan perubahan sosial.
Mereka menggunakan berbagai metode dan kerangka teori untuk
memastikan bahwa tradisi Islam tetap relevan dan dapat
diterapkan dalam konteks kontemporer.
Salah satu metode yang digunakan ulama dalam
transformasi tradisi adalah ijtihad dan tajdid. Ijtihad (upaya
penafsiran independen) dan tajdid (pembaruan) merupakan dua
konsep penting yang digunakan oleh ulama dalam rangka
mentransformasi tradisi Islam agar sesuai dengan perkembangan
zaman. Qardhawi (1996) dalam karyanya yang berjudul Al-Ijtihad
fi al-Shari'ah al-Islamiyyah menekankan pentingnya ijtihad sebagai
alat untuk menyesuaikan hukum Islam dengan konteks modern.
Ijtihad memungkinkan ulama untuk memberikan solusi yang
relevan terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi oleh umat
Islam.
Selain menggunakan metode ijtihad dan tajdid, para ulama
juga menggunakan pendekatan kontekstual untuk menafsirkan
teks-teks agama, dengan mempertimbangkan konteks sosial,
budaya, dan historis. Dalam hal ini, Madjid (1987) memberi

Sheyla Nichlatus Sovia | 93

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
penekanan penting terkait penggunaan pendekatan kontekstual
dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam. Ia
berargumen bahwa pemahaman yang kontekstual dapat
membantu menjaga relevansi Islam di tengah masyarakat
modern. Senada dengan itu Engineer (2007) juga mengemukakan
bahwa pendekatan kontekstual melalui ijtihad dapat memberikan
respons yang tepat terhadap tantangan modernitas, menjaga
relevansi ajaran Islam di era kontemporer.
Pendekatan lain yang digunakan oleh para cendekiawan
Muslim dalam transformasi tradisi adalah modernisme Islam.
Para cendekiawan Muslim modernis berusaha
mentransformasikan tradisi Islam dengan mengadopsi prinsip-
prinsip rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan progresivitas. Sebagai
contoh, Arkoun (2009) menekankan pentingnya kritik dan
refleksi dalam memahami Islam, mendorong pendekatan yang
rasional dan progresif untuk menafsirkan tradisi Islam di era
modern. Rahman (1982) memberi penekanan terhadap
bagaimana modernisme Islam berusaha mengintegrasikan nilai-
nilai Islam dengan prinsip-prinsip modernitas, termasuk
rasionalitas dan ilmiah, untuk menciptakan masyarakat yang maju
dan adil.
Beberapa cendekiawan Muslim juga menggunakan
pendekatan postmodernisme dan dekonstruksi untuk
menganalisis dan mentransformasikan tradisi Islam,
mempertanyakan narasi dominan dan membuka ruang bagi
interpretasi yang lebih pluralistik. Dalam hal ini, Sardar (1998)
mengeksplorasi bagaimana pendekatan postmodern dapat
digunakan untuk mendekonstruksi narasi-narasi dominan dalam
Islam, membuka ruang bagi pemahaman yang lebih pluralistik
dan inklusif. Bhabha (2004) juga membahas pentingnya
dekonstruksi dalam memahami budaya dan tradisi, termasuk
dalam konteks Islam, untuk memungkinkan transformasi yang
lebih inklusif dan adaptif.

94 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Peran cendekiawan perempuan juga tidak kalah pentingnya
dalam transformasi tradisi Islam. Mereka berusaha
mentransformasikan tradisi Islam dengan menekankan keadilan
gender dan pemberdayaan perempuan. Wadud (1999), seorang
feminis Muslim mengajak untuk membaca ulang teks-teks suci
Islam dari perspektif perempuan, untuk menekankan prinsip-
prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam Islam. Selain itu,
Barlas (2019) juga mengemukakan bahwa interpretasi patriarkal
terhadap teks-teks agama dapat ditantang dan diubah untuk
mendukung keadilan gender dan pemberdayaan perempuan
dalam Islam.

IMPLIKASI TRANSFORMASI TRADISI
Transformasi tradisi dalam Islam merupakan proses yang
signifikan dan kompleks yang membawa berbagai implikasi bagi
umat Islam di seluruh dunia. Transformasi ini tidak hanya
melibatkan perubahan dalam praktik dan pemahaman agama
saja, melainkan juga memengaruhi aspek sosial, politik, dan
budaya. Beberapa implikasi utama dari transformasi tradisi dalam
Islam antara lain:
1) Pembaruan Pemikiran Islam
Salah satu implikasi utama dari transformasi tradisi dalam
Islam adalah pembaruan pemikiran Islam. Pemikir
modern seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-
Afghani mendorong umat Islam untuk kembali kepada
ajaran murni dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Upaya ini memicu lahirnya
gerakan modernisme Islam yang berusaha menjembatani
antara tradisi dan modernitas. Pembaruan pemikiran
mencoba menafsirkan ulang ajaran Islam agar tetap
relevan dengan perkembangan zaman. (Rahman, 1982)
2) Penguatan Identitas dan Keberagaman
Transformasi tradisi dalam Islam juga memperkuat
identitas Muslim dengan cara yang lebih relevan terhadap

Sheyla Nichlatus Sovia | 95

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
konteks zaman dan tempat. Hal ini memungkinkan
munculnya keberagaman interpretasi dan praktik Islam
yang sesuai dengan berbagai budaya dan tradisi lokal.
Dengan demikian, Islam dapat tetap esensial dan
bermakna bagi umatnya tanpa mengorbankan esensi
ajarannya.
3) Integrasi dan Adaptasi Sosial
Transformasi tradisi dalam Islam membantu komunitas
Muslim untuk lebih mudah beradaptasi dengan
perubahan sosial dan politik. Islam sering kali menjadi
sumber moral dan etika yang membimbing perilaku dan
kebijakan publik, sehingga membantu menciptakan
masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
4) Pelestarian Nilai-nilai Tradisional
Meski terjadi transformasi tradisi dalam Islam, masih
banyak komunitas Muslim yang berusaha untuk tetap
melestarikan nilai-nilai tradisional yang dianggap esensial.
Nilai-nilai seperti solidaritas, kedermawanan, dan
spiritualitas tetap dijaga meskipun bentuknya mungkin
disesuaikan dengan konteks modern. (Nasr, 1981)
5) Tantangan terhadap Otoritas Tradisional
Di samping beberapa implikasi yang telah disebutkan, hal
yang mungkin tidak dapat dihindari dari transformasi
tradisi ialah pertentangan dengan otoritas ulama
tradisional. Upaya transformasi tradisi ini dapat
menciptakan konflik antara kelompok konservatif dan
progresif. Ketegangan ini secara tidak langsung dapat
menyebabkan fragmentasi dalam komunitas Muslim, di
mana berbagai kelompok memiliki pandangan yang
berbeda mengenai cara menjalankan ajaran Islam.

KESIMPULAN
Transformasi tradisi dalam Islam kontemporer
menunjukkan adanya adaptasi yang dinamis antara nilai-nilai

96 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tradisional dan tuntutan modernitas. Pemahaman yang
mendalam tentang transformasi tradisi dalam perspektif Islam
kontemporer penting untuk menjaga keseimbangan antara masa
lalu dan masa depan. Kearifan lokal dan nilai-nilai tradisional
dapat menjadi sumber daya yang berharga dalam membangun
masyarakat Muslim yang harmonis dan berkelanjutan di era
modern.
Untuk menghadapi transformasi tradisi, umat Islam perlu
mengembangkan pemahaman yang lebih fleksibel dan adaptif
terhadap perubahan zaman, tanpa mengorbankan esensi ajaran
Islam. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji dampak
jangka panjang dari transformasi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, L. (1982). Western Ethnocentrism and Perceptions of
the Harem. Feminist Studies , 8(3).
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema
Insani Press.
Arivianto, S., Arnoldus David, Yordan Syahputra, & Muhammad
Syafiq Syah Nur. (2023). Dampak Teknologi pada
Implikasi Sosial, Kultural, dan Keagamaan dalam
Kehidupan Manusia Modern. Moderasi: Jurnal Kajian Islam
Kontemporer, 1(1).
Arkoun, M. (2009). Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers. Routledge.
Asad, T. (2003). Formations of the Secular: Christianity, Islam,
Modernity. Stanford University Press.
Azra, Azyumardi. (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Prenada
Media.

Sheyla Nichlatus Sovia | 97

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Barlas, A. (2019). Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal
Interpretations of the Qur’an. University of Texas Press.
Bell, C. (1997). Ritual: Perspectives and Dimensions. Oxford
University Press.
Bhabha, H. K. (2004). The Location of Culture. Routledge.
Campbell, H. A. (2013). Introduction: The Rise of The Study of
Digital Religion. Dalam Digital Religion: Understanding
Religious Practice in New Media World. Routledge.
Engineer, A. A. (2007). Islam in Contemporary World. New Dawn
Press Group.
Esposito, J. L. (2016). Islam: The Straight Path. Oxford University
Press.
Geertz, C. (2014). Agama Jawa; Abangan, Santri, Priyayi dalam
Kebudayaan Jawa. Komunitas Bambu.
Gellner, E. (1987). Religion and Modernization in the Islamic
World. Journal of International Affairs , 61(2).
Hamka. (2016). Sejarah Umat Islam: Pra-Kenabian hingga Islam di
Nusantara. Gema Insani.
Heryanto, A. (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar
Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia.
Ma’arif, A. S. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan. Mizan.
Madjid, N. (1987). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan.
Mukhibat, M., Ainul Nurhidayati Istiqomah, & Nurul Hidayah.
(2023). Pendidikan Moderasi Beragama di Indonesia
(Wacana dan Kebijakan). Southeast Asian Journal of Islamic
Education Management, 4(1).
Nasr, Seyyed Hossein. (1981). Islamic Life and Thought. State
University of New York Press.

98 | Sheyla Nichlatus Sovia

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. UI
Press.
Qardhawi, Y. (1996). al-Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah. Dar al-
Qolam.
Rahman, F. (1982). Islam & Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition. The University of Chicago Press.
Salsabila, G., Hanifatul Akmila, Indi Ariqah Putri Dadi, Luthfi
Muhammad Hamdani, & Asep Abdul Muhyi. (2023).
Pandangan Islam tentang Globalisasi: Analisis Tafsir
Maudhu’i. Gunung Djati Conference Series, 25.
Sardar, Z. (1998). Postmodernism and the Other: The New Imperialism
of Western Culture. Pluto Press.
Sardar, Z. (1999). Development and the Locations of
Eurocentrism. Dalam Critical Development Theory:
Contributions to a New Paradigm. Zed Books.
Shihab, M. Quraish. (1996). Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Ma'ani.
Mizan.
Ulfah, E. M. (2021). Dinamika Masyarakat Urban (Kajian
Perubahan Pola Keberagamaan dan Sosial-Budaya
Masyarakat Urban di Penampungan Tanggul Rejo Sidoarjo
dalam Perspektif Pengembangan Masyarakat. Dirasah :
Jurnal Studi Ilmu Dan Manajemen Pendidikan Islam, 4(1).
Wadud, A. (1999). Preface. Dalam Qur’an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford University
Press.
Wahid, A. (1989). Pribumisasi Islam. Dalam M. Azhari & A. M.
Saleh (Ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan. P3M.

Ari Susandi | 99

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


WACANA SOSIAL POLITIK ISLAM
KONTEMPORER

Ari Susandi


SEJARAH POLITIK ISLAM
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, “politik” diartikan
dengan (1) (pengetahuan) yang berkenaan dengan ketatanegaraan
atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan dan dasar
pemerintahan); (2) Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,
dsb.) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain;
(3). Cara bertindak (dalam menghadapi dan menangani suatu
masalah). Kata turunan dari kata “politik”, seperti “politikus”
atau “politisi” berarti orang yang ahli di bidang politik atau ahli
ketatanegaan atau orang yang berkecimpung di bidang politik.
Kata, “politis” berarti bersifat politik atau bersangkutan dengan
politik, dan “politisasi” berarti membuat keadaan (perbuatan,
gagasan dan sebagainya) bersifat politis (Yusuf, 2018). Sedangkan
secara terminologi politik adalah cara dan upaya menangani
masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang- undang
untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang
merugikan bagi kepentingan manusia (Imtihana, 2009).
Secara hakikat, politik menunjukkan perilaku atau tingkah
laku manusia, baik berupa kegiatan, aktivitas, ataupun sikap, yang
tentunya bertujuan akan mempengaruhi atau mempertahankan
tatanan kelompok masyarakat dengan menggunakan kekuasaan.
Ini berarti kekuasaan bukanlah hakikat politik, meskipun harus

100 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
diakui tidak dapat dipisahkan dari politik, justru politik
memerlukannya agar suatu kebijaksanaan dapat berjalan dalam
kehidupan masyarakat (Nambo & Puluhuluwa, 2005). Politik
dalam bahasa Arab disebut siyasah yang berarti mengatur,
mengurus dan memerintah atau pemerintahan, politik dan
pembuatan kebijaksanaan. Pengertian secara kebahasaan ini
mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur dan
membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk
mencapai sesuatu. Fiqh yang membahas masalah itu disebut fiqh
siyasah.
Menurut (Ibrahim et al., 2014) fiqh siyasah merupakan
ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang
seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada
umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan hukum,
peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang
bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya berbagai
kemudharatan yang mungkin timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijalaninya.
(Yusuf, 2018) mendefenisikan politik sebagai menjadikan syari’at
sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya,
mengaplikasikannya di muka bumi, menancapkan ajaran-ajaran
dan prinsip- prinsipnya di tengah manusia, sekaligus sebagai
tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya.
Politik Islam juga dapat diartikan sebagai aktivitas politik
sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai
dan basis solidaritas berkelompok. Karena Islam adalah meliputi
akidah dan syariat, ad Diin wad Daulah. Hal ini tentu sangat
berbeda dengan agama-agama lain, seperti Kristen, Yahudi,
Budha, Hindu. Sebab agama-agama tersebut hanya memuat
tuntunan-tuntunan moral saja, tidak mengajarkan sistem politik,
sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pemerintahan dan sistem
sosial. Sehingga wajar jika kemudian pelibatan agama tersebut
dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan menyebabkan
“pemerkosaan” dan “penodaan” terhadap agama. Karena pada

Ari Susandi | 101

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dasarnya yang membuat aturan tersebut bukanlah Tuhan, tetapi
akal dan nafsu manusia. Sementara Islam yang bersifat syamil dan
kamil, yaitu bersifat menyeluruh, tidak memiliki cacat sedikit pun,
mengatur seluruh sisi kehidupan manusia dari kehidupan
individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Dari urusan yang
paling kecil seperti makan, tidur dan lain-lain sampai yang paling
besar, seperti politik, hukum, ekonomi dan lain-lain.

MACAM-MACAM POLITIK ISLAM
Politik Islam secara umum terbagi menjadi tiga macam
sebagai berikut; Pertama, Siyasah Dusturiyah merupakan segala
bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang politik tata negara
dalam Islam atau yang membahas masalah perundang-undangan
negara agar sejalan dengan nilai-nilai syari’at (Lidinillah, 2006).
Artinya, undang-undang itu mengacu terhadap konstitusinya
yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-
hukum syari’at yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah
Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah maupun
berbagai macam hubungan yang lain. Prinsip-prinsip yang
diletakkan dalam perumusan undang-undang dasar adalah
jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan
persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa
membeda- bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan
agama. Sehingga tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai suatu petunjuk bagi
manusia, al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan
tidak berubah lagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang
perlu bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur’an
memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan
tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai anggota masyarakat
dalam rangka menciptakan suatu kehidupan berimbang di dunia
ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. Ini berarti
penerapan nilai-nilai universal al- Qur’an dan hadist adalah faktor

102 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
penentu keselamatan umat manusia di bumi sampai di akhirat,
seperti peraturan yang pernah diperaktekkan Rasulullah SAW
dalam negara Islam pertama yang disebut dengan “Konstitusi
Madinah” atau “Piagam Madinah”
Setelah Nabi wafat, tidak ada konstitusi tertulis yang
mengatur negara Islam, umat Islam dari zaman ke zaman, dalam
menjalankan roda pemerintahan berpedoman kepada prinsip-
prinsip al-Qur’an dan teladan Nabi dalam sunnahnya. Pada masa
khalifah empat, teladan Nabi masih dapat diterapkan dalam
mengatur masyarakat Islam yang sudah berkembang. Namun
pasca Khulafa‟ ar-Rasyidin tepatnya pada abad ke-19, setelah
dunia Islam mengalami penjajahan barat,timbul pemikiran di
kalangan ahli tata negara di berbagai dunia Islam untuk
mengadakan konstitusi. Pemikiran ini timbul sebagai reaksi atas
kemunduran umat Islam dan respon terhadap gagasan politik
barat yang masuk di dunia Islam bersamaan dengan kolonialisme
terhadap dunia Islam. Sebab salah satu aspek dari isi konstitusi
atau Undang- Undang Dasar adalah bidang-bidang kekuasaan
negara. Kekuasaan itu dikenal dengan istilah Majlis Syura atau
Dewan Perwakilan Rakyat (ahl al-halli wa al-aqdi) (Wijaya et al.,
2016). Sedangkan kekuasaan dalam negara Islam itu secara umum
dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam
Negara Islam, yaitu: (1). Sulthah Tanfizhiyyah (kekuasaan
penyelenggara undang-undang). (2). Sulthah Tashri‟iyah
(kekuasaan pembuat undang-undang). (3). Sulthah Qadhoiyah
(kekuasaan kehakiman). (4). Sulthah Maliyah (kekuasaan
keuangan). (5). Sulthah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan
pengawasan masyarakat).
Kedua, Siyasah Dauliyah merupakan segala bentuk tata
ukuran atau teori-teori tentang sistem hukum internasional dan
hubungan antar bangsa. Dalam arti lain politik yang mengatur
hubungan suatu negara Islam dengan negara Islam yang lain atau
dengan negara lainnya (Lidinillah, 2006). Pada awalnya Islam
hanya memperkenalkan satu sistem kekuasaan politik negara
yaitu kekuasaan di bawah risalah Nabi Muhammad SAW dan

Ari Susandi | 103

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
berkembang menjadi satu sistem khilafah atau kekhilafahan.
Dalam sistem ini dunia internasional, dipisahkan dalam tiga
kelompok kenegaraan, yaitu, 1), negara Islam atau darussalam,
yaitu negara yang ditegakkan atas dasar berlakunya syariat Islam
dalam kehidupan. 2), darus-harbi, yaitu negara non Islam yang
kehadirannya mengancam kekuasaan negara-negara Islam serta
menganggap musuh terhadap warga negaranya yang menganut
agama Islam. 3), darus-sulh, yaitu negara non-Islam yang
menjalin persahabatan dengan negara- negara Islam, yang
eksistensinya melindungi warga negara yang menganut agama
Islam.
Antara darus-salam dengan darus-sulh terdapat persepsi
yang sama tentang batas kedualatannya, untuk saling
menghormati dan bahkan menjalin kerja sama dengan dunia
Internasional. Keduanya saling terikat oleh konvensi untuk tidak
saling menyerang dan hidup bertetangga secara damai, sementara
hubungan antara darus-salam dengan darus-harb selalu diwarnai
oleh sejarah hitam. Masing-masing selalu memperhitungkan
terjadi konflik, namun demikian Islam telah meletakkan dasar
untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang.
Perang dalam hal ini merupakan letak mempertahankan diri atau
sebagai tindakan balasan. Perang dalam rangka menghadapi
serangan musuh di dalam Islam memperoleh pengakuan yang sah
secara hukum, dan termasuk dalam ketegori jihad (Yunof, 2019)
Meskipun jihad dalam bentuk perang dibenarkan di dalam
Islam, namun pembenaran tersebut sebatas di dalam
mempertahankan diri atau tindakan balasan. Juga terbatas di
dalam rangka menaklukkan lawan bukan untuk membinasakan
dalam arti pembantaian atau pemusnahan. Oleh karena itu,
mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orangtua dan
anak-anak, orang-orang cacat, tempat- tempat ibadah, dan sarana
serta prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dilindungi
(Lidinillah, 2006). Kekuasaan politik berikutnya mengalami
perubahan tidak hanya mengakui satu sistem khilafah tetapi telah
mengakui keragaman tentang khilafah. Selain itu juga memberi

104 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pengakuan atas otonomi negara-negara bagian kerajaan maupun
kesultanan di Spanyol hingga Asia Tenggara.
Pada konteks sekarang teori politik Islam kontemporer
hanya memperkenalkan konsepsi hukum internasional dalam dua
bagian besar; pertama, al-Ahkam ad-Dauliyah al- Ammah; yaitu
suatu hukum internasional yang menangani masalah-masalah
makro. Kedua, al-Ahkam ad-Dauliyah al-Khosoh, yaitu suatu
hukum internasional yang menangani masalah-masalah mikro
Menurut Zubaidah (2018), terdapat sembilan prinsip-
prinsip politik luar negeri dalam siyasah dauliyah. a). Saling
menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat (perjanjian) (QS. al-
Anfaal [8]: 58, at-Taubah [9]: 47, an-Nahl [16]: 91, dan al- Isra’
[17]: 34). b). Kehormatan dan integrasi nasional (QS. an- Nahl
[16]: 92). c). Keadilan universal Internasional (QS. al- Maidah [5]:
8). d). Menjaga perdamaian abadi. e). Menjaga ketenteraman
negara-negara lain (QS. an-Nisa [4]: 89-90). f). Memberikan
perlindungan dan dukungan kepada orang- orang Islam yang
hidup di negara lain (QS. al-Anfaal [8]: 72). g). Bersahabat dengan
kekuasaan-kekuasaan netral (QS. al- Mumtahanah [60]: 8-9). h).
Kehormatan dalam hubungan Internasional (QS. ar-
Rahman [55]: 60). i). Persamaan keadilan untuk para penyerang
(QS. an-Nahl [16]: 126). Ketiga, Siyasah Maaliyah; Politik yang
mengatur sistem ekonomi dalam Islam (Lidinillah, 2006). Dr.
Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa politik ekonomi
Islam adalah sejumlah hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (kebutuhan
sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kemampuannya.
Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan
untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi dan (jika
memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap
orang (perindividu) yang hidup di dalam Negara Islam, sesuai
dengan syariah Islam.

Ari Susandi | 105

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Ketiga, Rosnaeni; Politik yang mengatur sistem ekonomi
dalam Islam (Rosnaeni, 2021) menyatakan bahwa politik
ekonomi Islam adalah sejumlah hukum (kebijakan) yang
ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap
individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap
(kebutuhan sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar
kemampuannya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam
harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi
dan (jika memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap
pada setiap orang (perindividu) yang hidup di dalam Negara
Islam, sesuai dengan syariah Islam.
Dengan demikian, politik ekonomi Islam didasarkan pada
empat pandangan dasar: 1). Setiap orang adalah individu yang
membutuhkan pemenuhan atas kebutuhan- kebutuhannya. 2).
Adanya jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam Daulah
Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya. 3). Islam
mendorong setiap orang untuk berusaha dan bekerja mencari
rezeki agar mereka bisa mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup; alias bisa memasuki mekanisme pasar. 4).
Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh
interaksi di tengah-tengah masyarakat serta menjamin
terwujudnya nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam setiap
interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi.
Atas dasar itu, politik ekonomi Islam tidak sekedar
diarahkan untuk meningkatnya pendapatan nasional atau
disandarkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, keadilan
sosial, dan lain sebagainya. Politik ekonomi Islam terutama
ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer
secara menyeluruh bagi setiap orang yang hidup di Negara Islam.
Atas dasar itu, persoalan ekonomi bukanlah bagaimana
meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi
sampainya barang dan jasa itu kepada setiap orang (distribusi).
Hanya saja, pertumbuhan ekonomi juga menjadi obyek yang
diperhatikan dan hendak diselesaikan di dalam sistem ekonomi
Islam. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa obyek persoalan

106 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ekonomi dalam sistem ekonomi Islam ada macam: (1) politik
ekonomi; (2) pertumbuhan kekayaan.
Sari, H. P. (2020) politik ekonomi Islam adalah jaminan
atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (al-hajat al-
asasiyah/basic needs) bagi setiap individu dan juga pemenuhan
berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah)
sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup
dalam masyarakat tertentu dengan kekhasan di dalamnya.
Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan
dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu
manusia bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat).
Sedangkan menurut Syamsi, M. (2018) ada empat perkara yang
menjadi asas politik ekonomi Islam. Pertama, setiap orang adalah
individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua,
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara
menyeluruh lengkap). Ketiga, mubah (boleh) hukumnya bagi
individu mencari rezki (bekerja) dengan tujuan untuk
memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran
hidupnya. Keempat, nilai-nilai luhur (syariat Islam) harus
mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi
yang melibatkan individu-individu di dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
politik ekonomi Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan
pokok setiap warga negara (muslim dan non muslim/kafir
dzimmi) dan mendorong mereka agar dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan
kemampuan yang mereka miliki.

PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM
Menurut (Widodo, 2019) adalah sistem Arab original dan
merupakan satu tradisi suku-suku Arab tribal yang sudah
membumi dan turun-temurun hingga sekarang. Ia muncul dan
tumbuh, bukan untuk menguasai kepala atau kepala suku,

Ari Susandi | 107

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
melainkan lebih merupakan mekanisme penjaringan ide-ide
terbaik dan terbagus yang berlangsung di lembaga Majelis
Permusyawaratan Suku. Sedangkan kata syura‟ dalam bahasa
Arab berarti menjaring ide-ide terbaik dengan mengumpulkan
sejumlah orang yang diasumsikan memiliki akal, argumentasi,
pengalaman, kecanggihan pendapat, dan prasyarat-prasyarat lain
yang menunjang mereka untukmemberikan pendapat yang tepat
dan keputusan yang tegas.
Musyawarah dapat juga diartikan sebagai suatu forum
tukar menukar pikiran, gagasan, ataupun ide, termasuk saran-
saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum
tiba pada suatu pengambilan keputusan. Dilihat dari sudut
kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip
konstitusional, dalam politik Islam yang wajib dilaksanakan
dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah
lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau
rakyat. Sebagai suatu prinsip konstitusional, maka dalam politik
Islam musyawarah berfungsi sebagai rem atau pencegah
kekuasaan absolut dari seorang penguasa atau kepala negara
(Wulandari, 2018).
Meskipun demikian, musyawarah berbeda dengan
demokrasi liberal yang berpegang pada rumus “setengah plus
satu” atau suara mayoritas yang lebih dari separo berakhir dengan
kekalahan suara bagi suatu pihak dan kemenangan bagi pihak
yang lain. Dalam musyawarah yang dipentingkan adalah jiwa
persaudaraan yang dilandasi keimanan kepada Allah, sehingga
yang menjadi tujuan musyawarah bukan mencapai kemenangan
untuk pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk kepentingan
atau kemaslahatan umum dan rakyat. Karena itu, yang perlu
diperhatikan dalam musyawarah bukan soal siapa yang menang
dan siapa yang kalah, tetapi sejauh mana keputusan yang akan
diambil itu dapat memenuhi kepentingan atau kemaslahatan
umum danrakyat. Inilah yang dijadikan suatu kriterium dalam
pengambilan keputusan melalui musyawarah menurut politik

108 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Islam. Selain itu, dalam setiap musyawarah yang perlu
diperhatikan adalah bukan siapa yang berbicara.
Jadi dalam musyawarah buah pikiran seseorang adalah
lebih penting dari orangnya sendiri. Mungkin saja buah pikiran
itu lahir dari seorang yang bukan hartawan atau bangsawan,
namun gagasannya itu sangat berguna bagi kepentingan umum
ketimbang misalnya, buah pikiran dari seorang yang memiliki
kedudukan lebih tinggi dalam masyarakat, namun tidak berguna
bagi kepentingan umum, maka buah pikiran yang pertama itulah
yang patut diperhatikan dalam musyawarah (Jasman, J. 2016).
Lebih lanjut prinsip musyawarah bertujuan melibatkan
atau mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam
kehidupan bernegara. Pada masa Rasulullah SAW sebagai kepala
negara, beliau selalu mengumpulkan para sahabat di Masjid
Madinah untuk bermusyawarah setiap kali beliau menghadapi
masalah kenegaraan. Misalnya, ketika Nabi mendapat berita
bahwa kaum Quraisy telah meninggalkan kota Mekkah untuk
berperang melawan kaum muslimin, beliau belum menentukan
sikap kecuali setelah mendapat persetujuan dari kaum Muslimin
dan Ashar. Untuk itu beliau bermusyawarah dengan mereka
untuk membicarakan kondisi mereka, seperti belanja perang dan
jumlah pasukan mereka. Beliau juga secara khusus meminta sikap
dan pendapat kaum Ashar sebagai golongan kaum muslimin
dalam menghadapi perang tersebut. Beliau mendapat dukungan
penuh dari mereka dan bersedia mengorbankan segala-galanya
demi perjuangan Nabi (Aprilia, R. R. 2020).Tradisi ini dilanjutkan
oleh keempat khalifah yang menggantikan Rasulullah SAW, yaitu
Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib.
Kedua, al-Adl (Keadilan). Prinsip keadilan merupakan
prinsip kedua dalam politik Islam. Keadilan dalam Islam tidak
ada persamaannya dengan keadilan dalam sistem mana pun.
Seperti halnya musyawarah, perkataaan keadilan juga bersumber
dari al-Qur’an. Keadilan menurut al-Qur’an sendiri meliputi lima
hal (Lidinillah, 2006). (1) Keadilan Allah SWT bersifat mutlak

Ari Susandi | 109

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran [3] ayat
18. Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan dia
(yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Di dalam al-Qur’an diserukan agar supaya orang-
orang yang beriman dapat menegakkan keadilan semata-mata
karena Allah dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi.
Bahkan Nabi Muhamammad SAW sendiri dengan tegas
diperintahkan agar berlaku adil terhadap orang-orang yang Non
Islam sekalipun. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surah
Asy-Syura [42] ayat 15. Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka
kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan
kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan
Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.
Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal
kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran
antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita).””

KARAKTERISTIK POLITIK ISLAM
Corak sebuah masyarakat termasuk masyarakat Islam pada
dasarnya ditentukan oleh interaksi warga dengan ideologi yang
menjadi keyakinannya, serta pengalaman dalam menghadapi
tantangan eksternalnya. Interaksi ideologi dan pengalaman
dirinya yang mengkristal dalam sebuah masyarakat dapat
melahirkan karakteristik yang khas, yang menjadi ciri sosial dan
siyasah Masyarakat tersebut. Sedangkan setiap ideologi
melahirkan konsep- konsep dan tata sosial dan kultural beserta
sub sistem-sub sistem, termasuk sub sistem siyasah yang

110 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
membentuk perilaku siyasah dan sekaligus menjadi
karakteristiknya yang unik (Rahayu et al, 2018). Menurut Yusuf
Qaradhawy sebagaimana dikutip (Putra A, 2016)) masyarakat
Islam merupakan sebuah masyarakat yang unik baik dalam
komposisi unsur pembentukannya ataupun dalam karakteristik
spesifiknya.Ia adalah masyarakat Rabbani, manusiawi dan
seimbang. Keanggotaannya mencakup ragam etnisitas dan
komunal. Ia adalah masyarakat lintas lokal, lintas kultural, dan
lintas etnis yang diikat oleh nilai-nilai dan akidah Islam, sehingga
melahirkan tata sosial dan siyasah yang khas.
Siyasah Islam merupakan cerminan utuh dari karakter
Islam seperti sifat syumuliyah (universal), rabbaniyah (bersifat
ketuhanan), tsabak (tetap), tawazun (seimbang), dan waqi‟iyah
(realistik). Adapun karakteristik siyasah Islam adalah sebagai
berikut: Pertama, Bersifat Rabbaniyah, dalam arti sumber, teori,
dan aplikasinya. Maksudnya seluruh aktivitas siyasah mengacu
kepada hukum dan nilai-nilai yang berasal dari Allah SWT atau
keteladanan Nabi Muhammad SAW. Maka semua konsepsi,
metodologi, dan aplikasi siyasah Islam mengacu pada sumber-
sumber rabbaniyah. Aktivitas siyasah apapun yang dilakukan
kaum muslimin tidak pernah lepas dari tanggung jawab manusia
sebagai khalifah-Nya di bumi yang bertugas memakmurkannya
dengan kehendak dan ketentuan-Nya.
Kedua, Syari’ah. Maksudnya menjunjung tinggi syari’ah
yang berisi hukum-hukum Allah SWT dalam seluruh aspeknya.
Menurut Imam al-Mawardi, syariah mempunyai posisi
menentukan sebagai sumber legitimasi terhadap kekuasaan. Ia
memadukan antara realita kekuasaan dan idealita siyasah seperti
disyariatkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai ukuran
justifikasi kepantasan atau kepatutan siyasah yang menyebabkan
ia berhak menjalankan kekuasaan (Ridha, 2004). Dengan
demikian, dalam siyasah Islam, sebuah penguasa atau
pemerintahan yang tidak menerapkan syariah dipandang sebagai
pemerintahan atau penguasa yang tidak syar’i (tidak legitimed).
Setiap muslim wajib menolak pemerintah yang tidak syar’i dan

Ari Susandi | 111

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tidak menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Muslim yang
dengan kejujurannya melakukan penolakan terhadap
pemerintahan yang bathil digolongkan sebagai pejuang yang
nilainya tidak jauh berbeda dengan nilai jihad. Bahkan, pejuang
yang meluruskan pemerintahan kaum muslimin yang bengkok
dikategorikan sebagai jihad siyasi (Ridha, 2004).
Ketiga, seimbang baik dalam pandangan hidup ataupun
perilaku. Maksudnya bahwa seluruh sistem siyasah Islam berdiri
di atas landangan keseimbangan yang telah menjadi ciri alamiah
segala makhluk Allah SWT. Oleh karena itu, sikap, kebijakan,
atau tindakan, lebih-lebih tindakan siyasah yang menjauh dari
asas keseimbangan akan menimbulkan dampak dan implikasi
luas, yaitu terjadinya berbagai kerusakan di segala bidang
kehidupan. Selanjutnya kerusakan-kerusakan itu akan semakin
meluas dan melahirkan berbagai malapetaka yang kehancurannya
bukan hanya melanda kehidupan manusia sebagai pelaku
kerusakan tapi juga pada alam lingkungannya (Ridha, 2004).
Keeempat, adil yaitu meletakkan sesuatu di tempatnya
tanpa melampaui batas. Maksudnya, bahwa siyasah Islam
meletakkan adil sebagai pra syarat bagi legitimasi sebuah
pemerintahan. Oleh karenanya, Islam memandang suatu
kebijakan atau tindakan yang jelas-jelas mengabaikan keadilan
dan menyepelekan kebenaran adalah salah satu bentuk
kezaliman. Kezaliman dan ketidakadilan identic dengan
kerusakan dan kegelapan. Keduanya menjadi sumber kehancuran
bagi kemanusiaan (Ridha, 2004).
Kelima, moderat (wasathiyah). Maksudnya, bahwa siyasah
Islam harus berdiri dengan kebenaran tengah dua kebatilan,
keadilan di tengah dua kedzaliman, di tengah- tengah di antara
dua ekstemitas yang menolak eksageritas. Misalnya, masalah-
masalah yang menyangkut sistem moral yang memadu perilaku
siyasah seorang muslim. Ia berada di tengah antara sistem moral
yang sangat idealistik yang nyaris tidak dapat diterapkan oleh
manusia dengan sistem moral yang sangat pragmatik yang

112 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
cenderung tidak mengindahkan norma-normal ideal (Ridha,
2004).
Keenam, alamiah dan manusia. Maksudnya siyasah Islam
tidak mengeksploitasi alam secara membabi buta. Bahkan
aktivitas siyasah yang dapat merusak tata alamiah yang
disebabkan pembangkangan terhadap hukum-hukum Allah SWT
dipandang sebagai telah melakukan kerusakan di muka bumi.
Demikian pula Islam memandang penghargaan dan
penghormatan kepada harkat masing-masing sebagai kebajikan
yang sangat manusiawi. Untuk itu, Islam menekankan para
pemegang kekuasaan supaya terus menjunjung tinggi HAM yang
paling fundamental seperti hak hidup dan kehormatannya selain
memperhatikan masalah kebutuhan primer manusia yang
dengannya ia dapat menjaga harkat dan martabatnya (Ridha,
2004; 96).
Ketujuh, Egaliter, maksudnya siyasah Islam menempatkan
manusia pada posisi yang sama dan juga menjanjikan semua
manusia memperoleh persamaan dan keadilan yang merata tanpa
membeda-bedakan warna kulit, jenis kelamin, kebangsaan,
ataupun keyakinannya (Ridha, 2004).
Kedelapan, memerdekakan. Watak siayasah Islam yang
alamiah, manusiawi, egaliter berkonsekuensi pada menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Kemanusiaan adalah
salah satu nilai kemanusiaan yang paling fundamental. Secara luas
kaum muslimin menyakini tiga nikmat dari Allah SWT yang
dipandang paling fundamental, yaitu nikmat iman, nikmat hidup,
dan kemerdekaan. Dalam Islam ketiga nikmat itu dikategorikan
sebagai bagian dari HAM yang asasi dan karenanya harus
dihormati secara proporsional. Maka Islam menekankan enam
prinsip yang harus menjadi landasan aktivitas siyasah yang
bertujuan menciptakan suatu situasi dan iklim kemerdekaan,
yaitu (a) kebebasan dalam Islam tidak boleh lepas dari prinsip
keadilan, (b) kebebasan yang ditekankan Islam adalah kebebasan
yang disertai sifat akhlak terpuji, seperti kasih sayang, lemah

Ari Susandi | 113

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
lembut dan sebagainya, (c) kebebasan yang diberikan Islam
kepada inividu dan masyarakat adalah kebebasan yang
disesuaikan dengan syariah dan selaras dengan tabiat manusia, (d)
kebebasan yang dikuatkan Islam adalah kebebasan yang
menyelaraskan antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat,
(e) kebebasan individu menurut Islam akan berhenti di mana,
bermula kebebasan orang lain, (f) kebebasan hakiki tidak akan
terwujud jika tidak dalam rangka agama, akhlak, tanggung jawab,
akal dan keindahan (Ridha, 2004).
Kesembilan, Bermoral. Maksudnya kebebasan yang ingin
diwujudkan oleh siyasah Islam bertujuan untuk memastikan
manusia sebagai makhluk bermoral yang dengan kemerdekaan
dan kebebasannya ia menjadi orang yang bertanggung jawab
terhadap semua pilihan yang diambilnya. Kesepuluh, Orientasi
pelayanan. Maksudnya secara fundamental aktivitas siyasah Islam
bertanggung jawab dalam memperhatikan dan melayani semua
yang barada dalam kekuasaannya, terutama mereka yang lemah
secara ekonomi dan sosial. Selanjutnya pemerintah berkewajiban
memberikan jaminan yang layak kepada semua penduduk agar
memperoleh semua hak-haknya dan terbebas dari kesewang-
wenangan orang kuat yang memangsa mereka. Kesebelas,
orientasi ukhrawi. Maksudnya dengan siyasah Islam diharapkan
akan terciptanya kehidupan yang Sejahtera di dunia dan akhirat.
Karena aktivitas siyasah yang hanya diarahkan untuk
memperoleh kesenangan atau kesejahteraan duniawi justru
berjuang pada kesengsaraan dan penderitaan, bahkan dalam
banyak kasus, kehancuran (Ridha, 2004).

POLITIK ISLAM PADA MASA KHULAFA’ AR -
RASYIDIN
Pada hari Senin, tanggal 12 Rabi‟ul Awwal 11 H
bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 M, Rasulullah wafat. Beliau
tidak pernah pernah berwasiat tentang siapa dan kelompok mana
yang harus menggantikannya sebagai pemimpin politik umat

114 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Islam sepeningalnya (Mansur, 2019). Beliau tampaknya
menyerahkan persoalan tersebut pada kaum muslimin sendiri
untuk menentukannya. Oleh karenanya, muncul problem
tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi. Kelompok
Muhajirin dan Anshar masing-masing mengklaim bahwa
merekalah yang paling berhak menggantikan posisi Nabi. Sa‟ad
bin Ubadah salah seorang tokoh Ansar, berinisiatif menggagas
pertemuan di Balai Saqifah Bani Sa‟adah di kota Madinah untuk
membicarakan soal pergantian Nabi Muhammad SAW.
Pertemuan tersebut dihadiri sejumlah tokoh dari kelompok
Muhajirin seperti Abu Bakar Assiddiq, Umar ibnu al-Khattab,
Abu Ubaidah ibnu Abi Jarrah (Mansur, 2019).
Menurut pendapat (Muali C, 2017) menyatakan bahwa
hasil musyawarah di Saqifah Bani Sa‟adah dapat disimpulkan
menjadi 3 pandangan. Pertama, sahabat Anshar karena
membantu Rasulullah SAW serta mempertahankan iman mereka
dengan jiwa dan hartanya merasa bahwa jabatan khalifah (jabatan
pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat atau khalifah)
berhak milik mereka. Mereka menilai bahwa kaum Muhajirin
(emigran) telah menerima kebaikan hingga diterima tinggal
menjadi penduduk Madinah. Karena mereka tergolong dalam
kelompok mereka.
Kedua, pandangan dari kaum Muhajirin, pandangan
mereka disampaikan oleh Abu Bakar dan menjawab tuntutan
kaum Anshar. Beliau sepakat terhadap jasa mereka dan
melindungi Rasulullah SAW, juga usaha mereka untuk terus
mempertahankan imam mereka. Namun menurut Abu Bakar,
sebuah jasa bukanlah alasan yang cocok untuk menuntut hak atas
jabatan khalifah. Sebab, mungkin sebaiknya kaum Muhajirin bisa
membalik dengan mengatakan; kelompok pertama yang berbakti
kepada Allah dan merasa satu klan dengan Rasulullah. Juga sama-
sama ikut menderita dan berjuang bersama Rasulullah
menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Abu Bakar kemudian
menyatakan; “Namun dunia Arab hanya mengakui adanya klan
yang paling tinggi darah kebangsaannya, yaitu Quraisy.

Ari Susandi | 115

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Ketiga, Pandangan al-Hubah bin al-Mundhir dari kaum
Anshar yang menyatakan bahwa perlunya dua orang yang sama-
sama berkuasa dan memimpin pemerintahan Islam berikutnya.
Satu dari golongan Anshar dan satunya dari Muhajirin. Namun
pandangan itu ditolak, baik oleh golongan Anshar sendiri
maupun golongan Muhajirin. Ketika peristiwa itu berlangsung,
Umar bin Khattab mengusulkan Abu Bakar sebagai orang yang
paling pantas menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW
karena faktor kedekatan dan senioritasnya. Lalu Umar pun
membaiat Abu Bakar yang kemudian diikuti oleh yang ainnya.
Dengan demikian, proses pemilihan Abu Bakar dilakukan secara
aklamasi oleh perorangan, yaitu Umar bin Khattab lalu disetujui
oleh kaum Muslimin (Buchori, 2009).
Khalifah Umar bin Khattab di dalam sejarah Islam tercatat
sebagai salah seorang administrator yang terampil dan pandang
mengelola administrasi pemerintahan dengan perangkat
mekanisme yang makin disempurnakan. Kondisi politik dalam
keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil
yang gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar bin Khattab
meliputi Semenanjung Arabiah, Palestina, Syria, Irak, Persia dan
Mesir (Zainudin, 2015). Struktur pemerintahan Madinah diatur
oleh Umar sedemikian rupa baiknya, sehingga lebih
mencerminkan karakteristik politik Islam. Salah satu mekanisme
yang paling penting ialah pembentukan majelis permusyawaratan
yang anggota- anggotanya terdiri dari kelompok Muhajirin dan
Anshar. Kelompok Anshar terdiri dari suku Aus dan Khazraj.
Tercatat sebagai anggota pada majelis itu antara lain Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Mu‟az bin
Jabal, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain. Tempat
persidangan majelis adalah di Masjid Madinah (Riza M, 2017).
Umar ibn al-Khattab dicatat sejarah sebagai orang yang
pertama kali mendirikan kamp-kamp militer yang permanen.
Pos-pos militer di daerah perbatasan, mengatur berapa lama
seorang suami diperbolehkan pergi berjihad meninggalkan
isterinya yaitu tidak melebihi 4 bulan. Al- Faruq juga orang yang

116 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pertama kali memerintahkan panglima perang untuk
menyerahkan laporan secara terperinci mengenai keadaan
prajurit, dengan membuat buku khusus untuk mencatat para
prajurit dan mengatur secara tertib gaji tetap mereka,
mengikutsertakan dokter, penerjemah, dan penasihat yang
khusus menyertai pasukan (Pratama, 2018). Bahkan terdapat pula
petugas pengawas yang melaporkan kepadanya tentang
kemungkinan- kemungkinan terjadinya penyelewengan baik yang
dilakukan oleh pejabat sipil maupun pejabat militer. Setiap kasus
penyelewengan beliau selesaikan secara hukum. Untuk hal ini
tiada seorang pun dikucilkan (Riza M, 2017). Prinsip persamaan
ini juga terlihat dalam suatu surat Umar bin Khattab kepada Abu
Musa al-Asy‟ari ketika itu menjabat sebagai hakim.
Persamakanlah rakyat di hadapanmu, di persidangan-
persidangan dalam mahkamahmu agar orang yang mempunyai
kedudukan tinggi tidak mengharapkan sesuatu (yang buruk)
daripadamu sedang orang-orang yang lemah tidak putus asa
mengharapkan keadilanmu.
Untuk memelihara keutuhan negara, di mana diperlukan
kekuatan militer yang tangguh dan berkelanjutan, Umar mulai
membentuk diwan tentara regular dengan sistem imbalan oleh
negara dari baitul mal. Diwan tersebut dikenal dengan sebutan
Diwan Umar, yaitu suatu daftar orang-orang dalam laskar yang
diatur menurut suku masing-masing. Diwan itu juga memberikan
penetapan jumlah gaji yang harus diterima. Bahkan diwan
tersebut juga menjelaskan pengelompokan jumlah gaji itu
berdasarkan pada waktu mereka memeluk Islam. Umar juga
membentuk dewan-dewan dalam pemerintahan, mendirikan
baitul mal, membuat mata uang emas, membentuk korps tentara
untuk menjaga tapal batas, mengatur gaji, mengangkat hakim-
hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun hijrah, dan
mengontrol hisbah. Hisabah merupakan pengawasan terhadap
pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran,
pengawasan terhadap tata tertib kesusilaan, sampai pengawasan
terhadap kebersihan jalan.

Ari Susandi | 117

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Hanya saja, akhir hidup Umar sangat tragis pada hari Rabu
bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar bin Khattab wafat lantaran
terbunuh oleh seorang budak dari Persia Bernama Abu Lu‟luah.
Tragedi ini terjadi sewaktu penduduk Tengah berkumpul untuk
menjalankan shalat subuh, Abu Lu‟luah masuk ke tengah-tengah
mereka. Ketika Khalifah Umar memasuki masjid, ia menyerbu
dan menikamnya dengan sebilah pisau tajam dengan cepat
melarikan diri. Pembunuhan tersebut diduga bermotif dendam
akibat penaklukan atas Persia yang dilakukan pasukan Islam pada
masa Umar. Umar memerintah paling lama dibandingkan tiga
khalifah lain, yaitu sepuluh tahun enam bulan.
Ketika Umar bin Khattab meninggal dunia, Miqdad
mengumpulkan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa‟ad bin Abi Waqqash, dan
Abdurrahman bin Auf di rumah Aisyah. Sedangkan Thalhah
tidak hadir dalam pertemuan. Dalam pertemuan itu disetujui satu
kesepakatan penting yang memutuskan Abdurrahman bin Auf
sebagai pemimpin pemilihan dan teknisnya diserahkan
kepadanya. Disepakati pula bahwa yang akan dicalonkan adalah
orang yang tidak ada kaitannya keluarga khalifah dan tidak boleh
mengabaikan nasihat dan pendapat kaum muslimin (Aspahani,
E. 2019).
Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman menemui
sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang ada di Madinah, dari mulai
para pemimpin militer sampai para pembesar diajak
bermusyawarah dalam masalah tersebut. Sehingga ia tidak tidur
di malam terakhir, terus-menerus memperbincangkan persoalan
pengganti Umar ini sampai esok harinya. Pada hari keempat,
pagi-pagi Abdurrahman sudah mengumpul- kan kaum muhajirin,
Anshar, para pembesar, tokoh-tokoh dan para sahabat senior,
serta para pemimpin prajurit. Mereka berkumpul sampai
memenuhi Masjid Madinah. Kemudian Abdurrahman berkata:
“Wahai Manusia, berikan pendapat anda? Ammar bin Yasir lalu
berkata: “Jika Anda tidak ingin kaum muslimin berselisih maka
pilih dan baiatlah Ali.”“

118 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pendapat Ammar bin Yasir ini didukung oleh Abdullah bin
Rabi‟ah. Maka orang-orang pun saling berguman. Lalu
Abdurrahman berkata: “Sesungguhnya aku telah melihat dan
bermusyawarah maka wahai orang-orang yang telah dijanjikan
masuk surga, janganlah jadikan diri Anda sebagai jalan
perselisihan.” Abdurrahman kemudian memanggil Ali dan
berkata; “Anda harus berjanji kepada Allah, akan bekerja dengan
kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta tradisi dua Khalifah
terdahulu.” Ali bin Abi Thalib berkata: “Saya berharap akan
bekerja sesuai dengan ilmu dan kemampuanku.” Kemudian
Utsman dipanggil dan dikatakan kepadanya seperti yang
dikatakan kepada Ali. Utsman pun berkata; “Ya.” Maka
Abdurrahman mengangkat kepalanya ke arah atap dan kedua
tangannya memegang tangan Utsman dan ia berkata, “Ya Allah,
dengar dan saksikanlah, sesungguhnya aku telah berbaiat kepada
Utsman.” Maka orang-orang pun semuanya membaiatnya.
Kemudian Thalhah datang pada hari pembaiatan tersebut
dan setelah berlangsungnya pembaitan Utsman lalu berkata
kepadanya, “Terserah Anda, jika Anda keberatan, aku akan
mengembalikannya.” Thalhah berkata, “Anda akan
mengembalikannya?” Utsman menjawab, “Ya.” Thalhah berkata,
“Apakah semua orang telah membaiatmu?” Utsman berkata,
“Ya.” Thalhah menjawab; “Kalau begitu aku
sekarangmembaiatmu dengan penuh kerelaan.
Pada masa ini pula kekompakan umat Islam lambat laun
mulai retak dan keserasian antara sahabat senior serta rakyat
mulai terganggu, hal ini terutama disebabkan oleh kepemimpinan
yang lemah, dan nepotisme. Utsman mengisi jabatan-jabatan
penting dengan anggota-anggota keluarganya tanpa
memperhatikan kecakapan mereka, seperti Marwan ibn Hakam.
Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah (Zainudin,
2015). Tindakan ini, membuat Masyarakat semakin tidak puas,
ditambah lagi dengan perilaku-perilaku yang tidak terpuji dari
pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh khalifah Utsman. Kekacauan

Ari Susandi | 119

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
memuncak dengan timbulnya pemberontakan terhadap
pemerintahan pusat yang berakhir dengan terbunuhnya Utsman,
atau dalam sejarah Islam dikenal dengan al-fitnah al-kubra
(Sjadzali, 1993).
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, Masyarakat Islam
dari golongan Muhajirin dan Anshor berulang kali mendatangi
Ali bin Abi Thalib dan meminta kesediaannya menjadi khalifah.
Permintaan tersebut selalu ditolak oleh Ali karena persoalan siapa
yang menjadi khalifah tegas Ali sebaiknya diselesaikan lewat
musyawarah sehingga memperoleh legitimasi dari sahabat-
sahabat termuka di Madinah ketika itu. Tetapi, karena masyarakat
Madinah seringkali mendesak Ali dan menyebutkan bahwa
masyarakat Islam perlu segera memiliki seorang pemimpin
sehingga tidak terjadi kekacauan yang lebih besar. Lalu Ali
berkata: “Kalau begitu mari kita ke Masjid.” Kemudianorang-
orang berkumpul, lalu membaiatnya (Hawwa, 2002).
Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merupakan masa
yang paling banyak menghadapi masalah dalam negeri. Bibit-bibit
pemberontakan yang sudah timbul pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan semakin tumbuh dan berkembang. Situasi
dalam negeri yang dihadapi oleh khalifah Ali demikian rumitnya.
Beberapa sahabat senior seperti Abdullah bin Umar, Saad bin
Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Salam yang
ketika itu berada di Madinah belum mau ikut membaiat Ali.
Mereka baru mau membaiat Ali jika semua umat Islam sudah
menyatakan baiat (Pulungan, 2001). Selain itu, mereka menuntut
agar pelaku pembunuhan terhadap khalifah Utsman ditangkap
dan diadili. Suatu tuntutan yang sulit dipenuhi oleh khalifah Ali,
karena situasi politik yang tidak mendukung. Akan tetapi,
Khalifah Ali tetap menggunakan prinsip musyawarah dengan
para pembangkang yang tidak bersedia melakukan bai’at
kepadanya.
Muawiyah termasuk salah satunya, dan mendorongnya
untuk memisahkan diri dengan pemerintahan „Ali ibn Abi

120 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Thalib, kemudian mendeklarasikan „pemerintahan tandingan‟ di
Damaskus. Mu‟awiyah mulai menyebarkan isu-isu politis,
dengan menuduh „Ali bin Abi Thalib sebagai aktor di balik
pembunuhan „Utsman bin „Affan. Dia juga menyeru penduduk
Damaskus untuk mengkudeta pemerintahan sekaligus
mempropagandakan revolusi (Purnama, 2016)
Perang pertama yang dilakukan Ali adalah menghadapi tiga
serangkai Aisyah, Thalhah dan Zubair dalam Perang Jamal.
Disebut Perang Jamal karena perang ini dipimpin oleh Siti Aisyah
yang menunggang unta. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar
keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara
damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran
yang dahsyat pun berkobar. Ali berhasil mengalahkan lawannya.
Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri,
sedangkan Aisyah ditawan dan dikirimkembali ke Madinah
(Lubis, 2013).
Setelah Perang Jamal berakhir, Ali dan pasukannya
menghadapi perang kedua dengan pemberontak yang dipimpin
oleh Muawiyah. Dalam sejarah Islam dikenal dengan nama
Perang Shiffin, karena terjadi di Shiffin. Saat pasukan Ali hampir
saja memenangkan peperangan, muncul kelicikan dan tipu
muslihat Muawiyah dengan cara mengangkat al-Qur‟an tinggi-
tinggi sebagai tanda perdamaian. Ali memahami bahwa itu tidak
lebih hanya siasat Muawiyah agar tidak kalah. Namun, demi
menjaga agar korban tidak banyak berjatuhan, Ali menerima
genjatan senjata yang ditawarkan musuh atau sering dikenal
dengan nama peristiwa tahkim (Zada, 2007).
Alhasil, peperangan kemudian diselesaikan melalui
perundingan. Masing-masing pihak mengajukan juru bicara. Dari
pihak Ali mengajukan Abu Musa al-Asy‟ari sebagai juru runding,
sementara pihak Muawiyah mengajukan Amr bin Ash. Ironi
perundingan terjadi di luar dugaan siapa pun. Abu Musa diberi
giliran pertama berbicara dan sepakat menurunkan Ali sebagai

Ari Susandi | 121

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
khalifah untuk selanjutnya mengangkat pemimpin baru sesuai
kesepakatan bersama. Namun, dengan kelicikan Amr bin Ash, ia
menerima peletakan jabatan Ali, tetapi kemudian ia
menempatkan Muawiyah untuk mengisi jabatan khalifah yang
kosong. Hasil perundingan tentu saja dimenangkan oleh
Muawiyah, sementara Ali berada pada posisi yang kalah. Pasca
tahkim, mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai
khalifah dan dua bulan berikutnya diiringi pula oleh Muawiyah
yang memproklamirkan diri sebagai khalifah. Karena merasa
ditipu, Ali bin Abi Thalib tidak mau meletakkan jabatan khalifah
hingga akhirnya hayatnya. Hasil tahkim yang tidak adil juga
mendapat protes dan kecaman dari sebagian pendukung Ali.
Mereka bukan hanya tidak setuju dengan keputusan majelis
tahkim melainkan juga menyatakan keluar dari kelompok Ali.
Kelompok yang keluar inilah yang sangat populer dengan
sebutan kaum Khawarij. Karena itu, munculnya kaum Khawarij
dalam perspektif sosio-historis adalah refleksi dari kekecewaan
kepada hasil tahkim yang tidak adil. Atas nama kepentingan,
tahkim tidaknmampu mengakomodasi kepentingan semua
Masyarakat Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, R. R. (2020). Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Pada
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Kelas
VII MTs Ma’arif NU 1 Ajibarang Kabupaten Banyumas.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr, 9(1), 75-92.
Aspahani, E. (2019). Implementasi Pendidikan Holistik dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP Gita Bangsa
Panongan Tangerang (Master's thesis, Jakarta: FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta).
Buchori, D. S. (2009). Sejarah Politik Islam. Pustaka Intermasa.
Hawwa, S. (2002). al-Islam. Terj. Fakhruddin Nur Syam dan
Muhil Dhofir. al-I‟tishom Cahaya Umat.

122 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Ibrahim, O. U., & Lateef, O. A. (2014). Muslim/Christian
Politics of Religion in Nigeria: The Sharīah Application
and The Religious Foundations of Global Muslim
Engagement with Modernity. International Journal of Sociology
and Anthropology, 6(5), 169 –179.
https://doi.org/10.5897/ijsa2013.0466
lidinillah, M. A. (2006). Pendidikan Agama Islam. Badan Penerbit
Filsafat UGM
Imtihana, A. (2009). Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi. Universitas
Sriwijaya.
Jasman, J. (2016). Pendekatan Holistik dalam Pendidikan Agama
Islam. Studia: Jurnal Hasil Penelitian Mahasiswa, 1(2), 1-15.
Lubis, J. (2013). Kontribusi Peradaban Islam Masa
Khulafaurrasyidin: Pembentukan Masyarakat Politik
Muslim Junaidi. Pekan Baru, 17(1), 48 –57.
https://jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/alidarah/article/view/4839/pdf.
Maarif, M. A., & Sulistyanik, E. D. (2019). Pengembangan
Potensi Peserta Didik dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kecerdasan Majemuk (Multiple
Intelligence). Al-Tarbawi Al-Haditsah: Jurnal Pendidikan
Islam, 4(2), 81-105
Mansur, M. (2019). Pasang Surut Perpolitikan Islam dalam
Kancah Sejarah. Sophist: Jurnal Sosial Politik, Kajian Islam dan
Tafsir, 1(1), 76 –91.
https://doi.org/10.20414/sophist.v1i1.757.
Muali, C. (2017). Rasionalitas Konsepsi Budaya Nusantara dalam
Menggagas Pendidikan Karakter Bangsa Multikultural.
Jurnal Islam Nusantara, 1(1), 105-117.

Ari Susandi | 123

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Nambo, A., & Puluhuluwa, M. (2005). Memahami tentang
Beberapa Konsep Politik (Suatu Telaah dari Sistem
Politik). MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 21(2),
262–285.
Pulungan, J. S. (2001). Kepemimpinan Rasulullah; Suatu
Tinjauan Historis – Politis. In et. a. M. Tuwah (Ed.), Islam
Humanis. Moyo Segoro Agung
Purnama, F. F. (2016). Khawarijisme: Pergulatan Politik
Sektarian dalam Bingkai Wacana Agama. Al-A‟raf: Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat, 13(2), 213.
https://doi.org/10.22515/ajpif.v13i2.156
Pratama, M. A. Q. (2018). Kepemimpinan dan Konsep
Ketatanegaraan Umar ibn al-Khattab. JUSPI (Jurnal Sejarah
Peradaban Islam), 2 (1), 59.
https://doi.org/10.30829/j.v2i1.1496
Putra, A. A. (2016). Konsep Pendidikan Agama Islam Perspektif
Imam Al-Ghazali. Al-Thariqah, 1(1).
Rahayu, P., Turmudi, Muharram, A., Kasmad, M., & Majid, N.
W. A. (2018). Penguatan Karakter Kebangsaan dan
Kompetensi Pedagogik Berorientasi Pada Keterampilan
Abad 21. Madrasah: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran
Dasar, 10(2).
Ridha, A. (2004). Karakteristik Politik Islam. Syamil Cipta Media.
Riza, M. (2017). Epistimologi Pendidikan Islam Perspektif Hasan
Langgulung. Jurnal As-Salam, 1 (2), 38-46.
Rosnaeni. (2021). Karakteristik dan Asesmen Pembelajaran Abad
21. Jurnal Basicedu, 5(5).
Sari, H. P. (2020). Rekonstruksionisme Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Iqbal. Jurnal Al Fikra, 19(1).

124 | Ari Susandi

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Sjadzali, M. (1993). Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. UI-Press.
Syamsi, M. (2018). Konsep Pendidikan Agama Islam; Studi atas
Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah. Attaqwa: Jurnal Ilmu
Pendidikan Islam, 14(2).
Wijaya, E. Y., Sudjimat, D. A., & Nyoto, A. (2016). Transformasi
pendidikan abad 21 sebagai tuntutan pengembangan
sumber daya manusia di era global [The transformation of
21st century education as a demand for human resource
development in the global era]. Seminar Nasional Pendidikan
Matematika, 2016, 1.
Yunof Candra, B. (2019). Problematika Pendidikan Agama
Islam. Journal ISTIGHNA, 1(1).
Yusuf, B. (2018). Politik dalam Islam: Makna, Tujuan dan
Falsafah (Kajian Atas Konsep Era Klasik). Aqidah-Ta:
Jurnal Ilmu Aqidah, 4 (1), 114 –130.
https://doi.org/10.24252/aqidahta.v4i1.5653
Widodo, H. (2019). Pendidikan Holistik Berbasis Budaya Sekolah.
Yogyakarta: UAD Press
Wulandari, D. E. (2018). Pendidikan Holistik dalam Perspektif
Pendidikan Islam (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan
Lampung).
Zada, M. I. S. & K. (2007). Fiqh Siyasah. Erlangga.
Zainudin, E. (2015). Peradaban Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin.
03(01), 50–58.
Zubaidah, S. (2018). Keterampilan Abad Ke-21: Bagaimana
Membelajarkan dan Mengaksesnya. Seminar Nasional
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Islam Riau

Suhermanto Ja’far | 125

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


WACANA FILOSOFIS KEBANGKITAN ISLAM
DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP STUDI
ISLAM

Suhermanto Ja’far


PENDAHULUAN
Bangkitnya negara-negara yang berbasis Islam dari
tidurnya merupakan gerakan awal dari kebangkitan Islam secara
internasional. Banyak negara-negara Islam yang telah merdeka
dari penjajahan kolonialismse, sehingga menimbulkan suatu
kesadaran baru masyarakat Islam untuk tumbuh dan berkembang
sebagai negara yang berdaulat. Dengan adanya kemerdekaan ini,
masyarakat Islam mulai tumbuh sikap kritisnya terhadap Barat
yang telah membawa modernisasi atau modernisme terhadap
negara-negara jajahannya, termasuk pada masyarakat Islam.
Tumbuhnya sikap kritis di kalangan umat Islam terhadap
Barat, baik berupa gerakan intelektual maupun sosial politik,
merupakan gejala yang tumbuh sekitar abad 18. Maraknya
kebangkitan Islam terhadap Barat merupakan gejala yang
beragam dari masyarakat Islam. Keberagaman reaksi tumbuhnya
kebangkitan Islam ini menyebabkan sulit mencari istilah yang
tepat dan mencakup semua gejala kebangkitan Islam.
Sesungguhnya Barat merupakan penggelinding pertama bola
kebangkitan Islam yang dimulai oleh ekspansi Napoleon
Bonaparte ke Mesir.

126 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Kebangkitan Islam merupakan langkah awal adanya
pembaharuan pemikiran dan modernisasi dalam dunia Islam.
Umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman berusaha untuk
melakukan upaya pembaharuan pemikiran. Pembaharuan atau
modernisasi merupakan sebuah upaya masyarakat Islam dengan
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham, adat
istiadat dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana Baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam pengertian ini, modernisasi sudah barang tentu
terjadi pada zaman teknik meminjam istilah Hodgson. Sekalipun
pembaharuan timbul pertama kali di dunia Barat, ini tidak berarti
bahwa Islam tidak mengenal pembaharuan. Konon nabi
Muhammad pernah memberi tahukan bahwa setiap kurun waktu
selalu ada seorang pembaharu (mujaddid) yang akan
mengembalikan pemikiran Islam pada jalan yang benar. Selain itu
pembaharuan juga mendapat pendasarannya dalam al-Qur’an.
Sesungguhnya, pembaharuan dalam dunia Islam pada hakikatnya
adalah merupakan kritik diri dan perjuangan untuk menegaskan
bahwa Islam berwatak dinamis, selalu cenderung kepada
kemajuan serta selalu relevan dalam situasi apapun yang dihadapi
masyarakat Islam atau dengan kata lain Islam salih li kulli zaman
wa makan.
Kebangkitan Islam yang akhirnya melahirkan suatu
kesadaran baru masyarakat Islam untuk melakukan suatu koreksi
total terhadap kemunduran Islam terjadi sebagai akibat adanya
kontak dengan dunia Barat melalui kolonialisme dan
imperialisme yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Kontak
dengan dunia Barat ini terjadi sekitar pertengahan abad ke 19
sampai awal abad ke 20. Gerakan yang muncul pada saat itu
akhirnya dikenal dengan istilah modernisme klasik. Gerakan ini
tidak hanya berbicara pada persoalan teologis, tetapi telah
merambah pada persoalan sosial, politik, pendidikan dalam
bentuk yang baru dengan dunia Islam sebelumnya.

Suhermanto Ja’far | 127

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pembaharuan dalam dunia Islam sangat beragam,
tergantung dari persoalan-persoalan yang muncul dan yang
dihadapi dalam sebuah negara, sehingga bentuk-bentuk
pembaharuannya tidak lepas dari latar belakang sosial, ekonomi,
politik maupun keagamaan yang melingkupinya. Pembaharuan
tidak cukup hanya dengan aktifitas pikiran semata, melainkan
juga harus diikuti dan di dukung oleh kegiatan yang cukup luas
oleh kalangan masyarakat yang mengusahakan pembaharuan
tersebut dalam bentuk tindakan.

LATAR BELAKANG SOSIOLOGIS DAN HISTORIS
Secara sosiologis, istilah resurgence (kebangkitan) merupakan
istilah yang tepat untuk menggambarkan bangunnya ummat
Islam dari tidur panjangnya. Kata “kebangkitan” dapat
didefenisikan sebagai “tindakan membangkitkan kembali”, dan
dicirikan dengan beberapa hal, di antaranya. Pertama, seperti yang
diungkap oleh banyak pemikir Muslim sendiri bahwa Islam
menjadi penting kembali, mendapatkan kembali prestise dan
harga dirinya. Kedua, Islam menemukan kembali kebesaran masa
lalu, jalan hidup yang ditempuh oleh Nabi Muhammad dan para
sahabat dimana masa lalu tersebut mempengaruhi pemikiran
kaum Muslim sekarang. Ketiga, Islam menjadi dipandang sebagai
alternatif dan karena itu dianggap sebagai ancaman bagi
pandangan hidup atau ideologi lain yang sudah mapan,
khususnya ideologi Barat.
Bangkitnya negara-negara yang berbasis Islam dari
tidurnya merupakan gerakan awal dari kebangkitan Islam secara
internasional. Banyak negara-negara Islam yang telah merdeka
dari penjajahan kolonialismse, sehingga menimbulkan suatu
kesadaran baru masyarakat Islam untuk tumbuh dan berkembang
sebagai negara yang berdaulat. Dengan adanya kemerdekaan ini,
masyarakat Islam mulai tumbuh sikap kritisnya terhadap Barat
yang telah membawa modernisasi atau modernisme terhadap
negara-negara jajahannya termasuk pada masyarakat Islam.

128 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Tumbuhnya sikap kritis di kalangan umat Islam terhadap
Barat, baik berupa gerakan intelektual maupun social politik,
merupakan gejala yang tumbuh sekitar abad 19. Maraknya
kebangkitan Islam terhadap Barat merupakan gejala yang
beragam dari masyarakat Islam. Keberagaman reaksi tumbuhnya
kebangkitan Islam ini menyebabkan sulit mencari istilah yang
tepat dan mencakup semua gejala kebangkitan Islam.
Sesungguhnya Barat merupakan penggelinding pertama bola
kebangkitan Islam yang dimulai oleh ekspansi Napoleon
Bonaparte ke Mesir.
Kebangkitan Islam disikapi secara beragam oleh Barat,
sehingga istilah yang digunakan oleh Barat untuk menunjukkan
gejala tersebut adalah revivalisme, aktivisme, milenarisme,
militansi Islam, Resurgence dan reassertion. Tetapi istilah yang
sering kita dengar dalam khazanah pemikiran Islam adalah Ishlah
dan Tajdid. Kebangkitan Islam merupakan salah satu dari arti
relevansi khusus dari tradisi Tajdid dan Ishlah, sebab dua tradisi
ini adalah tradisi dinamis yang mengungkapkan dirinya dalam
bentuk yang berbeda-beda dan dalam abad ini (XV H). Secara
khusus tradisi Tajdid dan Ishlah mengungkapkan diri dalam
bentuk Kebangkitan Islam.
Premis utama sebagai karakterisitik dasar Kebangkitan
Islam adalah: Pertama, kebangkitan Islam telah menekankan
peran akal dalam teori hukum Islam, dan menyerukan
kebangkitan Islam di dunia modern atas dasar suatu reaktivasi
ijtihad dalam ilmu-ilmu agama dan hukum. Kaum Muslim dapat
mencapai cita-cita Islam sebagai sebuah agama, sebagai syari'ah
dan sebagai sebuah negara, dengan membuka pintu
ijtihad. Kedua, revivalisme Islam telah menyerukan rekonstruksi
gagasan dan membangun sistem hukum Islam yang
komprehensif, birokrasi pemerintahan, pendidikan, dan etika
dalam dunia modern dengan landasan teologis sumber-sumber
asli Islam. Ketiga, menyerukan rekonstruksi sumber-sumber
pengetahuan. Al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber moral,

Suhermanto Ja’far | 129

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
doktrin dan sosial dari era Nabi atau para sahabat sebagai kriteria
sebuah kebenaran.
Kebangkitan Islam perlu disikapi secara retrospektif
(didasarkan pada persoalan masa lalu) dengan melakukan studi
dan analisa secara komprehensif. Dialog antar ideologi akan
mampu membersihkan perselisihan paradigma wacana
pemikiran agama dan entitas-entitas didalamnya. Disamping itu,
perlu adanya rekonstruksi mental umat Islam (Arab) secara
kolektif bahwa agama adalah unsur prinsipil yang orisinil,
pembentuk komponen kemasyarakatan yang utuh, sehingga
konstruk dasar agama sangat membutuhkan prinsip dan elemen
fundamental (asasi) dalam proyek kebangkitannya.

KONFLIK INTERPRETASI: ANTARA TRADISI DAN
BARAT
Menurut Abu Rabi’ dalam bukunya Intellectual Origins of the
Islamic Resurgence in the Modern Arab World berbagai problem yang
melingkupi terkait dengan Islamic Resurgence terutama masalah
keadaan mental masyarakat Arab (state of Arab mind), problem
pemikiran Arab Modern, tradisi melawan Westernisasi dan
sejarah intelektual Arab Modern. Fenomena Nahdah merupakan
problem yang harus didasarkan pada struktur epistemologis yang
kompleks, yang memiliki komponen baik Islam dan Barat.
Dengan demikian, Nahdah diterjemahkan menjadi gerakan
historis dan sosial yang kuat.
Kontekstualisasikebangkitan Islam dalam sejarah
intelektual (Intellectual history) merupakan tema utama
pembahasan ini. Sebagai sebuah tanda, keduanya akan selalu
berjalan secara dialektis, dimana reproduksi makna akan selalu
berkembang dalam tahapan-tahapan sejarah manusia yang
disebut episteme, meminjam istilah Foucault dalam Archeolgy of
Knowledge. Dalam tulisan ini, saya akan menyoroti sejumlah istilah
kunci, konsep-konsep seperti tradisi Islam (turath), Penolakan

130 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
(kemunduran), renaisans (Nahdah), Westernisasi,
modernitas/modernisasi, otoritas, pengetahuan, rekonstruksi,
dan kritik sebagai metamorfosis penting dalam konstruk nalar
para pemikir Arab Modern. Konstruk nalar mereka,
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh segala macam faktor
subyektif dan obyektif.
Problematika kebangkitan Islam dalam pembacaan Abu
Rabi’ sebagai aktor sosial cukup ditelisik dalam beberapa terma
esesnsial. Pertama, pemahaman terhadap kecenderungan sikap
yang dikembangkan institusi agama resmi sebuah negara dan
paradigma pemikiran tokoh-tokoh intelektual dibelakanngnya,
ketika dihadapkan pada tuntutan pelurusan kontardiksi
keagamaan. Kedua, orientasi yang bersinggungan dengan corak
pembentukan suatu peradaban Islam baru. Stigma buruk yang
berkembang di sebagian kalangan umat Islam sendiri dalam
memandang modernitas -terutama peradaban Amerika dan
Eropa- telah menjerumuskan mereka pada sikap arogansi dan
fanatisme kesukuan serta chauvinism (sifat patriotik yang
berlebih-lebihan).
Mereka lebih senang mengisolasi diri dari segala dinamika
modernitas dan hanya bangga akan sejarah kegemilangan Islam
klasik. Terdapat aspek penting yang terlupakan ketika menutup
diri dari sikap plagiarisme peradaban bangsa lain, bahwa hal ini
tidak akan pernah sempurna dengan hanya mencoba
menghidupkan kembali kultur budaya dan peradaban Islam
klasik yang telah mengalami banyak reduksi. Seolah-olah ada
sejarah panjang peradaban manusia pra-Islam terpenggal, yaitu
dinamika kehidupan yang telah membentuk sosio-kultur
masyarakat kala itu secara dialektik-akulturatif. Proses akulturasi
ini dapat dilihat dari banyaknya pengaruh budaya dan pemikiran
Eropa –mulai dari marxisme, sosialisme bahkan sekulerisme–
terhadap peradaban Islam.

Suhermanto Ja’far | 131

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
MODE WACANA NAHDAH (KEBANGKITAN ISLAM)
Secara teoritis, masalah dari Nahdah, dapat dilihat dalam
tiga komponen wacana utama yang saling terkait: 1) wacana
doktriner, 2) wacana filosofis, dan 3) wacana sejarah/politik.
Pertama, wacana doktrinal merupakan mode wacana yang
menempatkan aspek pemurnian (purifikasi) dasar-dasar agama.
Jargon yang terkenal adalah "Tidak ada reformasi doktrinal yang
mungkin tanpa kembali ke sumber aslinya”.Reformasi atau
Ishlah didefinsikan sebagai bentuk pemahaman yang hanya
kembali pada agama, dan penegasan kebenaran transenden dalam
suasana yang modern. Program kaum reformis ini telah
mendominasi aktivitas intelektual Arab pada saat ini yang
berkisar pada penegasan dari "metode tradisionalis dan bahasa"
dalam suasana yang modern. Oleh karena itu, filsuf Muslim
kontemporer dan intelektual menemukan diri mereka
berhadapan dengan seperangkat pertanyaan sosial dan historis
yang menunggu jawaban teologis.
Kedua, wacana filosofis, seperti yang muncul dalam tulisan-
tulisan awal filsuf Mesir, Syaikh Mustafa Abd al-Raziq adalah
untuk menunjukkan keaslian traditional wacana filsafat Islam,
dan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat Muslim modern.
Ketiga, wacana sejarah/politik, yang mengambarakan hubungan
agama-negara. Hubungan ini telah mengalami transformasi sejak
abad kesembilan belas. Pada fase pertama Nahdah, Islam
diasumsikan anti nasionalisme yang tujuannya adalah untuk
membangun negara yang kuat mampu bersaing dengan Barat.
Pada fase kedua, Islam diungkapkan oleh Afghani, Abduh, dan
Ridla dalam terminologi pan-Islamisme. Tujuannya adalah untuk
melakukan reinstitusi konsep Ummah [komunitas orang percaya]
sebagai penjaga dan pembela tradisi. Dengan demikian, setiap
refleksi intelektual Nahdah di Arab modern harus
mempertimbangkan tradisi, problem hubungan negara-agama
dan situasi budaya Islam saat ini.

132 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Tumbuhnya sifat kritis dikalangan umat Islam atas
modernisasi (Barat), baik berupa gerakan intelektual maupun
sosial politik, merupakan gejala yang cukup beragam, keragaman
ini menyebabkan sulitnya mencari istilah yang tepat yang
mencakup semua gejala itu. Walaupun Barat sebagaimana
disebutkan, merupakan penggelinding pertama bola kebangkitan
Islam, tetapi pada kenyataannya mereka menggunakan istilah
yang berbeda-beda. Kebangkitan Islam adalah sebuah fenomena
tradisi, budaya, dan politik yang luas dalam kaitannya dengan
Islam modern. Kebangkitan Islam telah menafsir ulang tradisi
Islam dengan cara yang kreatif dan unik, sehinga kebangkitan
Islam merupakan fenomena ekspresi filosofis masyarakat
Muslim modern dan kontemporer

SEKULARISME DAN WACANA NAHDAH
Sekularisme merupakan salah satu wacana keagamaan yang
menyeruak dalam proyek kebangkitan Islam. Sekulerisme
bukanlah seperti apa yang dituduhkan penentangnya sebagai
bentuk atheisme sebagai usaha pemisahan otoritas agama dari
realitas sosial dan kehidupan. Harus dipahami bahwa, pemisahan
otoritas agama dari otoritas pemerintahan (politik) dengan
pemisahan otoritas agama dari realitas sosial dan kehidupan
sangatlah berbeda. Bentuk pertama (pemisahan otoritas agama
dari otoritas pemerintahan) sangat mungkin diaplikasikan dalam
realitas kehidupan beragama dan bernegara, sebagaimana
diterapkan oleh negara-negara di Eropa dalam tindakan nyata,
sehingga mereka mampu keluar dari masa-masa kegelapan abad
pertengahan menuju kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan
kemerdekaan.
Kita dapat menggambarkan tiga momen atau fase dalam
interaksi antara Islam dan Barat modern. Pertama adalah
penaklukan militer negeri-negeri Muslim oleh kekuatan-kekuatan
Barat. Muslim lemah secara militer dan politik. Respon mereka
hanyalah mencari perlindungan dalam Islam sebagai sumber

Suhermanto Ja’far | 133

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kekuatan mereka. Kedua, hegemoni Eropa ke dalam sistem
budaya dan agama. Fase ini adalah fase westernisasi. Tahap
ketiga adalah pasca kolonialisme, salah satu yang membedakan
adalah munculnya revivalisme baik nasionalisme maupun
agama yang dapat digambarkan sebagai berkut:
1) Tahapan Hegemonic-kolonialis






Tahapan ini Islam sebagai objek masih terkungkung dalam
kekuatan subjek (Barat). Tahapan ini merupakan sebuah tahapan
hegemonic negara-negara Barat terhadap masyarakat Islam
dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam
masih berada dalam bayang-bayang Barat. Disinilah interaksi
pertama kali masyarakat Islam dengan Barat yang melahirkan
suatu gerakan yang dikenal dengan sebutan modernisme Islam.
Khurshid Ahmad, seorang pemikir Islam kontemporer
menegaskan bahwa adanya kolonialisme telah menjadi faktor
yang sangat penting dalam metamorfosis masyarakat muslim
modern. Kemunduran intelektual di dunia Arab modern
terutama disebabkan oleh bencana militer dan politik akibat
peperangan antara dunia Arab dan kolonialisme Barat. Tidak
diragukan lagi, inteligensia tradisionalis Arab di saat itu waspada
terhadap kesenjangan antara budaya Arab-Islam dan Barat.
Oleh karena itu, renaisans filosofis masih merupakan
keharusan sejarah. Kebangkitan filsafat dalam budaya Arab
modern merupakan tanda adanya tingkat kesadaran dan
kebebasanberpikir kritis telah menandai bangkitnya refleksi
filosofis dalam dunia Arab modern. Hadirnya kesadaran ini
Barat

134 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
sebagai tanda awal tersentuhnya filsafat modern oleh kalangan
muslim harus dipahami dengan latar belakang dari Nahdah dari
abad kesembilan belas.
Di samping tumbuhnya gerakan modernisme Islam,
kolonialisme juga meracuni dunia Islam sehingga sebagian besar
umat Islam terjangkit penyakit Westtomania. Tak pelak lagi,
kemerdekaan yang diperoleh dunia Islam pasca Perang Dunia II
tidak mampu mengobati penyakit mental yang cukup parah ini.
Pembangunan dan reorganisasi politik di dunia Islam pasca
kemerdekaan berorientasi dan bersandar pada pengalaman Barat,
yang belum tentu cocok untuk dunia Timur (Islam). Orientasi ini,
pada gilirannya, mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah
mengirimkan mahasiswa ke Barat untuk mempelajari ilmu
pengetahuan sebagai hasil eksperimentasi di dunia Barat.
Pendidikan Barat modern nampaknya tidak secara
otomatis membuat mereka menjadi modern dan westernized.
Penyaksian yang langsung terhadap proyek-proyek Barat di
sarangnya sendiri menimbulkan rasa kekecewaan bagi mereka.
Rasa kekecewaan ini merupakan hasil dari keyakinan bahwa
peradapan Barat telah merendahkan kemanusiaan. Kapitalisme
liberal, sosialisme demokrat dan sosialisme Marxis menjadi
semakin sulit mengalami masalah-masalah masyarakat industri.
Krisis nilai di dunia Barat ini menyebabkan kaum Muslimin yang
belajar di Barat sekarang ini tidak terpaku lagi dengan peradaban
Barat yang nampak tidak terarah dan menentu itu. Karena itu,
muncul seruan lantang agar dibangun suatu tatanan baru
Masyarakat Islam yang bersumber pada nilai-nilai Islam.
Kekecewaan terhadap Barat ini melahirkan suatu sikap penting
bagi dunia Muslim secara keseluruhan.
2) Tahapan Ideologis-Nasionalis

Suhermanto Ja’far | 135

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Tahapan ini merupakan tahap kebangkitan Islam melawan
kolonialisme sebagai kelanjutan tahapan hegemonic-
kolonialisme. Tahap ini sudah muncul kesadaran nasionalisme
masyarakat Arab (Islam) untuk merdeka. Pada tahap ini,
masyarakat Islam tidak hanya berkenalan dengan Barat dan
modernisasi, tapi sudah mempelajari Barat dengan modernisasi
dan industrialisasinya. Kerangka epistemologis masyarakat Arab
sudah mulai tampak melalui pembacaan ulang terhadap turath.
Dalam memandang Barat, Intelektual Arab-Islam masih dalam
kerangka ideologis-politis. Secara epistemologis, Islam masih vis
a vis Barat, keduanya masih memandang secara kontradiktori.
Islam memandang Barat sebagai “musuh” dan Barat memandang
Islam sebagai “teroris”. Islam dan Barat terlibat antagonisme atau
clash civilization dalam Istilah Huntington.
Pada tahap ini, cendikiawan Nahdah (kaum intelektual
kebangkitan) berusaha untuk menyelamatkan nalarIslam dari
tidur dan kemerosotannya selama berabad-abad. Mereka
berpendapat untuk kelangsungan hidup nalar Islam kita harus
mempersiapkan diri dengan apa yang mereka anggap sebagai
kriteria wacana Islam yang otentik. Para pemikir kebangkitan
Islam mengambil dua model pembacaan: pertama, model Islam
yang mengambil bentuk historisnya dalam pengalaman Nabi dan
para sahabatnya. Kedua, model Barat yang menekankan ide-ide
liberalisme, rasionalisme, dan sekularisme.
Secara epistemologis, kebangkitan Islam ditandai dengan
adanya pertemuan nalar Islam dengan nalar Barat modern. Salah
satu konsekuensi utama dari pertemuan antara dua nalar itu
adalah munculnya kritik, inovasi, dan orientasi futuristik. Pada
tahap ini, para pemikir Nahdah telah melakukan kritik penalaran
Islam sebagai sarana menghidupkan pemikiran Arab untuk
mencapai kemajuan pada era kontemporer. Para pemikir Nahda,
seperti Tahtawi, Afghani dan Abduh -menurut Abu Rabi’-
dihadapkan dengan masalah bagaimana menafsirkan tradisi Islam
yaitu, al- Qur’an dan hadith dengan filsafat dalam lingkungan
sosio-politik dan ilmiah yang didominasi oleh Barat. Pertanyaan

136 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
penting yang diajukan oleh para pemikir Kebangkitan Islam
adalah bagaimana Islam bisa tetap otentik dan modern pada saat
yang sama. Mereka melihat pentingnya revitalisasi Islam secara
total dalam menghadapi serangan budaya Barat, karena
"serangan Barat di dunia Arab, selain dari efek politik, juga
serangan langsung terhadap Islam sebagai sebuah agama”.
Apa manfaat kritik epistemologis dari pikiran Arab baik
klasik dan modern? Jabiri berpendapat bahwa dekonstruksi
menyeluruh dan kritik dari "struktur pikiran Arab" merupakan
langkah penting untuk membangun masa depan Arab Islam yang
layak. Ia menyatakan bahwa para pemikir Nahdah pada abad
kesembilan belas tidak menghasilkan terobosan epistemologis
dan filosofis. Sangat menarik untuk dicatat bahwa dalam analisist
entang sejarah pemikiran Arab, Jabiri berpijak pada gagasan yang
menjelaskan evolusi pemikiran Arab yang linear dan monolitik,
dalam arti bahwa masalah Nahda sebagai peristiwa sejarah hanya
dipahami dengan latar belakang epistemologi pra-Islam.
Meskipun ada beberapa "keterputusan epistemik" dalam sejarah
panjang pemikiran Arab. Pemikiran ini harus dipahami sebagai
arkeologi pengetahuan daripada mutasi epistemis. Oleh karena
itu, Jabiri menyimpulkan, akan selalu ada koneksi yang kuat
antara epistemologi dan ideologi atau tradisi dan ideologi.
3) Tahapan Relasional-Interaksi





Pada tahap ini, perjumpaan nalar Islam dan Barat sebagai
konsekuensi langsung adalah pola hubungan keduanya berubah
dari pola oposisi biner, menjadi pola relasional-interaksi
keduanya. Tahap ini semakin meneguhan interaksi Islam dan
Barat. Keduanya berdiri sejajar dengan paradigma nalarnya

Suhermanto Ja’far | 137

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
masing-masing. Islam dan Barat tidak lagi dipandang secara
dikotomis, tapi sudah dipandang secara dialogis-komunikatif.
Tahap ini sudah sangat terasa pada abad 20an. Semangat
hegemonic Barat dan Nasionalisme Islam pada tahapan ini masih
muncul dan berkembang dengan suasana yang lebih rasionalis-
realistis.
Bisa dikatakan bahwa kehidupan intelektual abad kedua
puluh lebih maju dibandingkan dengan abad sebelumnya. Hal ini
karena beberapa sebab. Pertama, dengan berakhirnya
kolonialisme dan bangkitnya negara bangsa merdeka, isu-isu baru
datang. Kedua, pasca-kolonial masyarakat Muslim telah berjuang
dengan isu-isu identitas, terutama identitas agama, dan tugas
untuk mendefinisikan hubungan antara negara bangsa dan
agama, yaitu Islam, menjadi lebih mendesak. Ketiga, berakhirnya
kolonialisme tidak berarti akhir dari pengaruh budaya Barat di
dunia Muslim.Dalam cara-cara tertentu, pengaruh Barat pada
beberapa negara Muslim meningkat dengan pesat. Sekarang ini,
hegemoni Barat terhadap dunia Islam tidak berupa bentuk
militer, ekonomi, dan politik, melainkan modernisasi Barat,
modernisme, modernitas, dan Westernisasi.
Namun demikian tetap saja pada tahap ini Barat dan Islam
secara umum dipandang secara relasional dan intersubyektif.
Barat telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi
masyarakat Islam untuk studi Islam di Barat. Di kalangan Islam
sudah tumbuh kesadaran baru untuk memasukan menjadi kajian
dan praktek di lembaga maupun negara tentang term Barat
seperti demokrasi, liberalisme maupun HAM pada konstruksi
nalar masyarakat Islam (Arab). Di kalangan masyarakat Arab
maupun Islam telah mulai muncul kesadaran Baru tentang Barat
untuk menjadikannya sebagai mitra. Pada akhirnya, telah terjadi
perubahan pada Islam yang “tertutup” menjadi “terbuka”. Ini
semua karena masyarakat Arab (Islam), secara epistemologis
sudah semakin rasionalis, intersubyektif dan liberal dalam
memahami kedua peradaban, yaitu Islam dan Barat.

138 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Mengenai munculnya Liberalisme Islam secara implisit
Binder berasumsi bahwa liberalisme Barat telah menjadi
penyebab utama di balik transisi dunia Arab modern dari
"masyarakat tertutup" menjadi "masyarakat terbuka." Binder
berpendapat dengan mengutip Karl Popper bahwa karakteristik
utama dari "masyarakat tertutup" adalah adanya ikatan organik,
mentalitas suku dan kolektivis, kurangnya individualitas, dan
pemahaman agama yang kaku. Masyarakat terbuka (liberal) di sisi
lain, ditandai dengan individualitas, kebebasan berekspresi,
rasionalisme, mobilitas sosial, dan penilaian kritis dari realitas
sosial. Dengan kata lain, menurut Binder, liberalisme telah
membantu masyarakat Arab modern dalam mempertahankan
tingkat toleransi dan keterbukaan terhadap pengaruh
luar. Selanjutnya, transisi dari "masyarakat tertutup" dengan salah
satu sinyal membuka rincian total tribalisme dan kekakuan
agama. Kemudian, dalam pikiran Binder, setiap reaksi terhadap
liberalisme di Dunia Arab modern, baik dalam bentuk
fundamentalisme Islam atau nasionalisme anti Barat adalah, pada
kenyataannya, reaksi terhadap kemajuan ekonomi sosial, dan
budaya ilmiah dari peradaban Barat

PROBLEM NAHDAH: KONFLIK INTERPRETASI
Apa makna dan pengertian Islam, kebangkitan Islam dan
Barat? Para pemikir Islam dan Barat memaknai keduanya (Islam
dan Barat) tidaklah utuh dan komprehensif dengan hanya
memberikan makna linguistik, menurut Abu Rabi’. Ibaratkan
sebuah tanda, pemaknaannya hanya serpihan serpihan dari tanda
yang retak, tidak utuh. Pembacaan Barat tentang Islam dan Islam
tentang Barat masih mempergunakan struktur epistemologis
subjek-obyek, atau meminjam istilah Charles J. Adam normatif
misionaris. Barat vis-a-vis Islam masih dipahami sebagai Clash
Civilization (Huntington). Ibarat sebuah Tanda, Barat dan Islam
masih berada dalam perang tanda. Abu Rabi’ bermula ketika ia
menganalisa pembacaan para pemikir Islam dan Barat tentang

Suhermanto Ja’far | 139

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Islamic Resurgence yang masih bias pemaknaannya, ia mendapati
bahwa para pemikir Islam cenderung memahaminya sebagai
sebuah ikon kesadaran kolektif umat Islam untuk berdiri sejajar
dengan Barat. Bahkan Islam dianggap sebagai solusi alternatif
dari segala problema kehidupan. Begitu pula Barat memahaminya
sebagai bentuk reaksi terhadap kemajuan hegemonic Barat,
termasuk politik, budaya, sains maupun teknologi. Islamic
Resurgence merupakan tanda keberadaan eksistensi Islam.
Disinilah Barat maupun pemikir Islam masih bias dan subyektif
pembacaannya. Abu Rabi’ melihat problem serius pembacaan
pemikir Islam dan Barat sebagai problem kekuasaan dan ideologi.
Selanjutnya adalah adanya simplifikasi pemaknaan
terminologi Nahdah yang diidentifikasi sebagai benturan
peradaban secara diametral antara revitalisme Turath dan upaya
westernisasi. Bahkan disamping itu, bisa dikatakan kebangkitan
Islam hanya dapat dipahami kaitannya dengan peradaban dan
kemajuan Barat baik filsafat, budaya, ekonomi dan militer.
Selanjutnya, adalah adanya identifikasi Islam sebagai agama yang
mengajarkan doktrin kekerasan setelah meledaknya kasus 11
September (peristiwa pengeboman Menara Kembar WTC di
Washington DC). Peristiwa ini memunculkan gejala Islamphobia
di Barat, sehingga stigma teroris terhadap gerakan Islam
mendapatkan legitimasinya. Disamping itu, peristiwa 11
September ini dainggap sebagai tanda adanya perang salib baru.
Peristiwa ini pula telah memporak porandakan bangun interaksi
dan interrelasi antara Barat dan Islam yang telah terbentuk sangat
kondusif, sehingga Barat telah benar-benar tersinggung dan
marah terhadap Islam. Peristiwa ini merupakan sebuah tanda
yang retak dari struktur budaya, politik, sosial maupun
intelektual.

140 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
TAWARAN METODOLOGI STUDI ISLAM
1) Pendekatan
Melihat problema tersebut, kita harus keluar dari ”kuasa”
atau “ideologi” Turath yang masih dianggap sakral maupun
Barat yang masih hegemonic. Untuk itu, dalam memahami dan
menganalisis kebangkitan Islam berangkat dari tahapan
“recollection of meaning”, yaitu babakan sejarah dan latihan
kecurigaan (a suspicion), baik terhadap tradisi Islam (turath)
maupun peradaban Barat dengan proyek modernisasinya.
Melalui tahapan “recollection of meaning”, Abu Rabi’ berusaha
untuk mengeksplor sejarah intelektual, baik secara kronologis
maupun terhadap peristiwa tindakan dalam rangka mengungkap
makna. Melalui a suspicion, Abu Rabi’ ingin merelativisir semua
pembacaan, baik Turath maupun Barat termasuk pembacaan
Barat terhadap Islam. Semua makna dari pembacaan keduanya
adalah perspektif tertentu, karena itu Abu Rabi’mengangapnya
sebagai kebenaran relatif, sehingga dia berusaha melampaui
makna obyektivisme dan relativisme dari pembacaan keduanya.
Tawaran metodologis sebagai kerangka epistemologis Abu
Rabi’ dalam diskursus wacana Islamic Resurgence yang disebut
dengan terminogi Nahdah mempergunakan pendekatan
deskriptif-historis. Sosiologi pengetahuan dan paham
Strukturalisme -termasuk di dalamnya wacana tentang budaya
dan fenomenologi- telah mengalami lompatan cukup signifikan
dan turut mempengaruhi paradigmaberfikir para intelektual yang
concern terhadap persoalan ini. Banyaknya penawaran konsep ini
justru akan dihadapkan pada sebuah polemik substansial, dimana
proyek kebangkitan Islam terbentur dengan sulitnya menentukan
pilihan konsepsi dan orientasi tepat-guna bagi peradaban
manusia yang heterogen (majemuk). Problematika wacana
kebangkitan Islam ini, seyogyanya dipandang dari perkembangan
frame konstruk dasar orientasi dan struktur wacana keagamaan.
Sementara itu pendekatan sejarah (historis) juga sangat
berperan penting. Pendekata ini mempunyai dua pengertian,

Suhermanto Ja’far | 141

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pertama historis dalam pengertian archeology, yaitu pendekatan yang
didasarkan pada sebuah peristiwa tindakan dalam struktur
budaya dalam setiap episode sejarah. Setiap peristiwa tindakan
mempunyai episteme sendiri-sendiri yang bersifat diskontinyu
dengan episteme sebelumnya, sehingga setiap episode sejarah
berjalan sesuai dengan epistemenya. Kedua, Historis dalam
pengertian sebuah peristiwa yang didasarkan pada kejadian sesuai
dengan ruang dan waktunya secara kronologis. Setiap peristiwa
dan kejadian bersifat kontinyu dengan kejadian dan peristiwa
sebelumnya.
Menurut Abu-Rabi’, sejarah intelektual bersifat ideologis.
Dalam hal ini, seseorang harus membaca unsur-unsur yang
membentuk sejarah intelektual dalam kaitan dengan konteks
sosial dan politik. Dengan kata lain, “sejarah intelektual
(intellectual history) tidak dapat mengklaim sebagai satu-satunya
sejarah. Sejarah intelektual hanya ada dalam kaitan dengan
kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupinya, artinya
sejarah intelektual semata tidak pernah ada.
Dalam studi sejarah intelektual, analisis dilakukan terhadap
teks atau disebut analisis tekstual (textualanalysis). Ada juga analisis
intertekstual atau antar-teks (inter-textual analysis) untuk
mengaitkan satu teks dengan teks yang lain agar diketahui relasi
dan interrelasi serta kemungkinan adanya saling mempengaruhi.
Selain itu, analisis konteks (contextual analysis) juga dilakukan
untuk meletakkan teks-teks yang menjadi data penelitian dalam
konteks sejarah, sosial dan politiknya. Menurut Foucault, seperti
dikutip oleh Abu-Rabi‘, sejarah intelektual selalu ditandai oleh
adanya transformasi (transformation), pergeseran (shift) dan
keterputusan epistemik (epistemic rupture) dalam pemikiran atau
konsep. Dinyatakan: discontinuity, epistemic rupture, and continuous
shifts in conceptual boundaries are what define the space of ideas, be they
modern or classical.

142 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
2) Metode Wacana
Wacana Islamic Resurgence (Nahdah) -menurut Abu Rabi’-
sejak kemunculan kebangkitan Islam, penafsiran yang diberikan
tentang berbagai fenomena agama telah melahirkan wacana yang
berbeda. Selanjutnya, terminologi dan pemaknaannya yang
digunakan berbeda dari pada setiap wacana. Wacana ini telah
dikondisikan oleh konsep-konsep, bentukan mental, kondisi
ekonomi, dan sikap politik situasi tertentu sejarah mereka. Oleh
karena itu, dalam memberikan keputusan pada pekerjaan
seseorang, seseorang harus mengajukan pertanyaan tentang
kondisi sejarah di mana wacana itu dihasilkan. Selain itu, kita
harus mempelajari wacana Islam yang berbeda dalam
hubungannya dengan Barat. Barat sebagai kategori konseptual
harus didefinisikan secara historis dan filosofis. Dan metode
yang digunakan harus merinci hubungan yang mungkin antara
ideologi dan wacana.
Metode Kritis-radikal. Diantara bentuk rekonstruksi wacana
keagamaan adalah dengan tidak melakukan pembacaan pada
tataran ‘permukaan’ teks-teks keagamaan. Begitu pula, perlu
adanya pemahaman mendalam tentang konstruk historis
dinamika penyusunan hukum-keadilan sosial kemasyarakatan,
serta independensi politik-ekonomi dalam hubungannya dengan
situasi sosio-politik dan kultur kemasyarakatan saat itu –yang
notabene penuh dengan intrik-intrik kekuasaan dan unsur
mitologi.
Metode kritik-dialektik. Ketika titik tolak diskursus
keagamaan berpijak pada mitologi agama dan pemberangusan
nalar-dialektik (merasa cukup dengan kegemilangan peradaban
Islam klasik), proses kebangkitan hanya akan berkutat dalam
lingkup wacana, hingga akhirnya menjadi utopia belaka. Pada
akhirnya, tidak diragukan lagi bahwa agama (tidak hanya Islam
tentunya) pastilah memiliki komponen fundamental dalam setiap
proyek kebangkitannya. Perbedaannya justru terfokus pada
tujuan dasar agama; apakah tujuan tersebut adalah ideologi, atau

Suhermanto Ja’far | 143

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
setelah dilakukan reinterpretasi, rekonstruksi dan analisa ulang,
agama akan terbebas dari bentuk ideologi dan mitologi.
Metode interpretative. Pola interpretasi terhadap warisan
pemikiran Islam adalah dengan melakukan problematisasi-kritik
pembacaan nash keagamaan secara ilmiah dan objektif.
Pembacaan teks yang tepat sangat berperan serta dalam
mengawal polemik rivalitas pemikiran Islam klasik dan
kontemporer dari rongrongan kelompok penentang proyek
revitalisasi wacana keagamaan dengan jargon “Islam adalah
jawaban dan solusi”. Orientasi ini bukan semata-mata bentukan
dari kemunculan gerakan perluasan wacana keagamaan, juga
bukan respon negatif terhadapnya, akan tetapi merupakan arus
pergerakan orisinil yang menyeruak ditengah-tengah para
pemikir kontemporer. Mereka –bisa diklaim– merupakan ikon
dari semangat Renaissance dengan sekulerisme sebagai ideologi
yang ditawarkan. Hanya saja, sekulerisme itu sendiri sering kali
dituduh sebagai bertuk sarkasme dan pengkhianatan terhadap
agama, bahkan dianggap sebuah manifesto dari faham atheis.

KONTRIBUSI TERHADAP STUDI ISLAM
KONTEMPORER
Kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) sebagai problem
utama dari sejarah intelektual Muslim merupakan pintu gerbang
utama terhadap pengembangan Studi keislaman. Relevansi
Kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) dengan studi Islam
setidaknya tergambar pada beberapa poin berikut: Pertama,
Pemaknaan wacana yang berbeda-beda dari pembacaan para
pemikir ini menimbulkan serpihan-serpihan “meaning” Islamic
resurgence (Nahdah) yang berserakan, sehingga serpihan-
serpihan makna menimbulkan sebuah “keretakan” makna yang
sebenarnya dari pembacaan Islamic Resurgence. Abu Rabi’
menawarkan paradigma baru tidak hanya satu metode, tetapi
pluralisme metode. Satu metode pembacaan terhadap
IslamicResurgence sebagai sebuah tanda eksistensi Islam hanya akan

144 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
menimbulkan pemaknaan tentang sebuah tanda yang retak.
Hanya pluralisme metode yang bisa memberikan alternatif.
Artinya metode dan pendekatan apapun bisa dijadikan kerangka
epistemologis dalam pembacaan tentang Nahdah. Pendekatan ini
-meminjam istilah Paul Fayerabend- dikenal sebagai anarkhisme
metodologis.
Selanjutnya, kontribusi intelektual yang terpenting dalam
memberikan kerangka teori terhadap studi keislaman adalah
metode kritik ideologi agar tidak terjadi reifikasi tradisi yang
mengarah pada taqdis al-afkr al dini. Disinilah secara cermat Abu
Rabi’ mempegunakan paradigma baru epistemologis mengenai
ideologi. Abu Rabi’ memberikan model pembacaan baru kepada
pera pemikir ke-Islaman dalam berhubungan dengan tradisi
Islam. Suatu pembacaan yang mendalam, radikal dan tajam
terhadap tradisi Arab-Islam dengan memperkenalkan
pendekatan hermeneutika. Ini merupakan kontribusi Abu Rabi
dalam kajian ilmu-ilmu keislaman melalui metode analisis inter-
teks.
Abu Rabi’ sebagai pemikir Islam kontemporer yang hadir
belakangan merupakan seorang yang sangat beruuntung dapat
memahami dan menguasai setiap episteme para pemikir
sebelumnya, sehingga mampu melakukan sebuah dekonstruksi
maupun rekonstruksi terhadap pola pendekatan dan metode
dalam memahami setiap problem pemikiran dalam studi
keislaman. Abu Rabi’ sangat piawai dalam melakukan kritik-
sintesis maupun integrasi-interkoneksitas dari setiap pemikir
Islam dari jaman-ke jaman dengan melakukan kontekstualisasi,
bahkan Abu Rabi’ juga melakukan sebuah terobosan baru dengan
melalui dialog peradaban antar Islam dan Barat bersama teman-
teman sejawatnya antara lain Fathullah Gulen dan Waleed al-
Anshary.
Dialog Peradaban disini tidak hanya sebatas pada dialog
peradaban ansich, tapi masuk pada ranah agama dengan segala
perangkatnya, baik kepercayaan, budaya maupun kehidupan,

Suhermanto Ja’far | 145

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
yang kemudian dikenal dengan interfath dialoque. Dialog antar
agama khususnya dialog antara Islam dan Kristen merupakan
sebuah keniscayaan sejarah, dimana kita hidup. Dialog antar iman
ini semakin marak setelah kasus 11 September yang
memunculkan Islamphobia di kalangan Barat dan Islam.
Tumbuhnya sifat kritis di kalangan umat Islam atas modernisasi
(Barat), baik berupa gerakan intelektual maupun sosial politik,
merupakan gejala yang cukup beragam. Keragaman ini
menyebabkan sulitnya mencari istilah yang tepat yang mencakup
semua gejala itu. Walaupun Barat sebagaimana disebutkan,
merupakan penggelinding pertama bola kebangkitan Islam, tetapi
pada kenyataannya mereka menggunakan istilah yang berbeda-
beda. Di antara istilah yang digunakan oleh Barat untuk
menunjukkan gejala di atas adalah revivalisme, aktivisme,
milenarisme, militansi Islam, resurgense dan reassertion.
Istilah di atas sering muncul dalam pembahasan tentang
kebangkitan Islam. Di antara Istilah lain, yang mendekati
pengertian “resurgence” adalah istilah “reassertion” (penegakan
kembali) dan revivalisme (kebangkitan kembali). Walaupun
“reassertion” memiliki banyak makna, tetapi intinya ia tidak
mengandung pengertian sebagai tantangan terhadap aturan sosial
yang ada, bahkan tidak mengandung pengertian bahwa
paradigma-paradigma yang dominan sedang digugat. Ia hanya
memiliki konotasi tuntutan pada maksud seseorang, termasuk
sikapnya. Demikian pula “revivalisme” yang dengan jelas
mengandung pengertian kembali ke masa lampau, bahkan
mengandung makna keinginan untuk menghidupkan kembali apa
yang sudah kuno. Walaupun ini benar merupakan unsur tertentu
dari gerakan Islam, tetapi ia tidak mewakili pandangan
pergerakan tersebut secara keseluruhan yang menekankan bahwa
penekanannya pada al-Qur’an dan al-Sunnah hanya merupakan
suatu kesetiaan terhadap nilai-nilai abadi, asali dan universal.
Karena itu, “resurgence” merupakan istilah yang tepat untuk
mengidentifikasikan gerakan tersebut.

146 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Dalam khazanah Islam, tidak dijumpai padanan kata bagi
“resurgence”, dan juga istilah-istilah lain yang tersebut di atas.
Istilah yang sering ditemukan dalam khazanah Islam adalah
“Ishlah” dan ”Tajdid”. Menurut John O Voll, Tajdid biasanya
diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan Ishlah} sebagai
“perubahan”. Kedua kata ini demikian lanjut John O. Voll, secara
bersama-sama merefleksikan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu
upaya menghidupkan kembali keimanan Islam berserta praktek-
prakteknya dalam sejarah komunitas-komunitas kaum Muslim. Ia
merupakan dasar bagi keyakinan bahwa gerakan-gerakan
pembaharuan tetap merupakan bagian asli dan sah dari
penjabaran Islam di panggung sejarah, walaupun tidak secara
tegas mengungkapkan kata-kata Tajdid dan Islah.

KESIMPULAN
Kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) sebagai isu
menarik dalam Studi Islam Kontemporer yang hangat
belakangan ini secara arkeologis dan genealogis memberikan
pencerahan baru bagi kita untuk dapat memahami dan menguasai
setiap Episteme para pemikir sebelumnya, sehingga mampu
melakuikan sebuah dekonstruksi maupun rekonstruksi terhadap
pola pendekatan dan metode dalam memahami setiap problem
pemikiran dalam studi keislaman. Kebangkitan Islam disikapi
secara beragam oleh Barat, sehingga istilah yang digunakan oleh
Barat untuk menunjukkan gejala tersebut adalah Revivalisme,
Aktivisme, Milenarisme, Militansi Islam, Resurgence dan Reassertion.
Tetapi istilah yang sering kita dengar dalam khazanah pemikiran
Islam adalah Ishlah dan Tajdid. Kebangkitan Islam merupakan
salah satu dari arti relevansi khusus dari tradisi tajdid dan Ishlah,
sebab tradisi tajdid dan Islah adalah tradisi dinamis yang
mengungkapkan dirinya dalam bentuk yang berbeda-beda dan
dalam abad ini (XV H) tradisi Tajdid dan Ishlah mengungkapkan
diri dalam bentuk Kebangkitan Islam.

Suhermanto Ja’far | 147

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Problematika kebangkitan Islam dalam pembacaan Abu
Rabi’ sebagai aktor sosial cukup ditelisik dalam beberapa terma
esesnsial. Pertama, pemahaman terhadap kecenderungan sikap
yang dikembangkan institusi agama resmi sebuah negara dan
paradigma pemikiran tokoh-tokoh intelektual dibelakanngnya,
ketika dihadapkan pada tuntutan pelurusan kontardiksi
keagamaan. Kedua, orientasi yang bersinggungan dengan corak
pembentukan suatu peradaban Islam baru. Stigma buruk yang
berkembang di sebagian kalangan umat Islam sendiri dalam
memandang modernitas--terutama peradaban Amerika dan
Eropa--telah menjerumuskan mereka pada sikap arogansi dan
fanatisme kesukuan serta chauvinism (sifat patriotik yang
berlebih-lebihan).
Kehidupan intelektual abad kedua puluh lebih maju
dibandingkan dengan abad sebelumnya. Hal ini karena beberapa
sebab. Pertama, dengan berakhirnya kolonialisme dan bangkitnya
negara bangsa merdeka, isu-isu baru datang. Kedua, pasca-
kolonial masyarakat Muslim telah berjuang dengan isu-isu
identitas, terutama identitas agama, dan tugas untuk
mendefinisikan hubungan antara negara bangsa dan agama, yaitu
Islam, menjadi lebih mendesak. Ketiga, berakhirnya kolonialisme
tidak berarti akhir dari pengaruh budaya Barat di dunia
Muslim.Dalam cara-cara tertentu, pengaruh Barat pada beberapa
negara Muslim meningkat dengan pesat. Sekarang ini, hegemoni
Barat terhadap dunia Islam tidak berupa bentuk militer, ekonomi,
dan politik, melainkan modernisasi Barat, modernisme,
modernitas, dan Westernisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the
Modern Arab World, ( Albany: State Universtiy of New
York Press, 1996)

148 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
-------------------------., Islamic Resurgence: Challenges, Directions and
Future Perspectives, a Round Table with Khurshid Ahmad
(Tampa: The World and Islam Studies Enterprise,
1994),
--------------------------,,“Contemporary Islamic Intellectual History: A
Theoretical Perspective,” Muis Occasional Paper Series
No. 2 (Singapore: Majlis Ugama Islam Singapura,
2006).
---------------------------, "Reflections on the Islamic Renaissance
in the Modern Arab World: Some Methodological
Questions," Islamic Culture, Vol. LXIII (3), July 1989,
pp. 42-59,
----------------------------, "Secularization, Islam and the Future of
the Arab World: A Derivative Discourse," Peuples
Mediterraneens, Issue Number 60 (July-September
1992), pp.1741.
---------------------------, A post-September 11 Critical assessment of
Modern Islamic History dalam Ian Markham dan Ibrahim
Abu Rabi’ (ed), 11 September Religious Perspective on the
causes and consequenses (Oxford : Hartford Seminary,
2002), 21-52
Barthes, Roland, Mytholgies, khusunya bab Myth today (Paris:s
euil, 1957)..
Boulatta, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought,
(New York : State University New York Press, 1990)
Esposito, John L. (ed), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses
dan Tantangan, Terjemahan Bakri Siregar (Jakarta :
Rajawali Press, 1987)
------------------. Islam dan Politik, Penterj. Joesoef Sou’yb. Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.

Suhermanto Ja’far | 149

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Eriyanto, “Analisis Wacana” Pengantar Analisis Teks Media,
(Jogjakarta: LKiS, 2003
Fillingham, Lydia Alix, “Foucault Untuk Pemula” (Jogjakarta:
Kanisius, 2001),
Foucaul, Michel, History of Sexuality, Vol. 1 An Introduction
Translation of Historie de la sexualiti by Robert
Hurleye, (New York, Vintage Books, A Division of
Random House Inc. 1990)
Huntington, Samuel P. , “The Clash of Civilization?” Foreign Affair
(Musim Panas, 1993), 22-49.
Ja’far, Suhermanto, Pemikiran Islam Modern (Surabaya: eLKAF,
2012)
------------------, Kebangkitan Islam dan Pembaharuan Pemikiran Islam
Modern (Surabaya: Diktat Kuliah PMDI Fakultas
Ushuluddin, 1996)
------------------, Pola dan model Gerakan Islam Jurnal at-Tafkir,
Volume 7 No. 2 (2014).
------------------, Diktat Filsafat Kebudayaan (Surabaya:Fakultas
Ushuluddin Surabaya, 2001).
Mortimer, Edward. Islam dan Kekuasaan, penterj. En Hadi dan
Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1984.
Muzani, Syaiful, (ed.). Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tanggra. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,1993.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (penyunt.). Perkembangan
Modern dalam Islam. Jogjakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1985.
--------------------. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran.
Bandung: Mizan, 1996.

150 | Suhermanto Ja’far

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
--------------------. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Popper, Karl, The Open Society and Its Enemies, two volumes
(Princeton: Princeton University Press, 1962).
--------------------. "Pembaharuan Pemahaman dalam Penelitian"
dalam Amrullah Ahmad (ed.). Dakwah Islam dan
Perubahan social. Jogjakarta: PLP2M, 1993.
Richard J. Berstein, Beyond obyektivism and Relativism
(Pennsyilvana: University of Pennsyilvana Press,
1989).
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on
Language, Action and Interpretation, edited by John B.
Thomson, Cambridge : Cambridge University Press,
1982
------------------------, Hermeneutics : Restoration of Meaning or Reduction of
illusion, dalam Ciritical sosiology,
------------------------, Hermeneutics and Critics of Ideology, dalam
Hermeneutics and the Human Sciences,

Teguh Hadi Wibowo | 151

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


TRANSFORMASI PEMIKIRAN DALAM
DISKURSUS FILOSOFIS ISLAM
KONTEMPORER

Teguh Hadi Wibowo


PENDAHULUAN
Filsafat Islam telah mengalami perjalanan yang panjang
dan dinamis sejak kemunculannya. Filsafat Islam pada hakikatnya
adalah upaya untuk memahami dan menginterpretasikan realitas,
kebenaran, dan eksistensi dari segi makna dan nilai-nilainya.
Upaya ini merupakan bagian integral dari tradisi intelektual Islam,
yang berusaha menyelaraskan antara akal dan wahyu (Latief et al.,
2022; Wibowo, 2021).
Filsafat Islam memiliki fondasi yang kuat yang dipengaruhi
oleh berbagai tradisi intelektual besar, termasuk tradisi pemikiran
Yunani, Persia, dan India. Meskipun demikian, filsafat Islam
bukanlah semata mewarisi tradisi pemikiran filosofis dari
peradaban-peradaban tersebut (Latief et al., 2022). Para filsuf
Muslim terkemuka, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina
(Avicenna), Ibn Rushd (Averroes) dan lainnya, memainkan peran
penting dalam proses asimilasi dan pengembangan ide-ide
filosofis dari peradaban-peradaban tersebut. Mereka secara
mendalam mempelajari, mengkritisi, memodifikasi, dan
mengintegrasikan karya-karya filsuf klasik. Sehingga, melalui
upaya mereka, pemikiran-pemikiran tersebut diadaptasi dan
diintegrasikan dengan prinsip-prinsip dan ajaran Islam (Husaini

152 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
et al., 2020; Nasr, 2019). Proses ini menunjukkan bahwa filsafat
Islam adalah sebuah tradisi intelektual yang dinamis, yang terus
beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan tantangan zaman,
sembari tetap setia pada akar-akar spiritual dan teologisnya.
Pada era kontemporer, dinamika diskursus filsafat Islam
mengalami perubahan yang mencolok. Terdapat beberapa
kondisi yang menjadi indikator mengapa para filsuf di era ini
berupaya untuk merumuskan sistem filsafat yang unik dan sesuai
dengan zamannya. Setidaknya, faktor-faktor seperti krisis
kemanusiaan, krisis ekonomi dan politik, serta munculnya
teknologi, terutama perkembangan pesat dalam teknologi
komunikasi dan informasi yang secara signifikan telah
memengaruhi struktur sosial, ekonomi, dan budaya.
Transformasi ini bukan hanya terkait dengan aspek metodologi
dan tema-tema yang dibahas, tetapi juga melibatkan reinterpretasi
dan reaktualisasi konsep-konsep filosofis klasik dalam rangka
menjawab pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dari kondisi
dunia modern. Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh besar modernitas, yang membawa serta paradigma
baru dalam cara berpikir manusia, dan globalisasi, yang
menciptakan interaksi lintas budaya yang semakin intensif
(Ismail, 2019).
Salah satu ciri utama dari transformasi pemikiran dalam
diskursus filsafat Islam kontemporer adalah keterlibatan yang
lebih aktif dalam dialog dengan tradisi intelektual Barat. Para
filsuf Muslim kontemporer tidak hanya berupaya untuk
mempertahankan warisan intelektual klasik, tetapi juga mencoba
untuk mengembangkan sintesis baru antara tradisi Islam dan
pemikiran Barat. Dialog ini meliputi berbagai bidang filsafat,
mulai dari metafisika, epistemologi, etika, hingga filsafat politik.
Selain itu, sudut pandang filsafat Islam kontemporer juga telah
berkembang dengan memasukkan perspektif historis, tematis,
dan analisis kritis terhadap materi filsafat Islam (Habibi, 2023).
Pemikir seperti Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, dan Seyyed
Hossein Nasr, misalnya, berusaha untuk menghadirkan sebuah

Teguh Hadi Wibowo | 153

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
filsafat Islam yang relevan dengan tantangan-tantangan zaman
modern, tanpa kehilangan akar-akar spiritualitas Islam yang
menjadi landasan utama dalam tradisi intelektual Islam (Ismail,
2019).
Lebih jauh lagi, transformasi pemikiran dalam filsafat Islam
kontemporer juga menunjukkan adanya pergeseran dari
pendekatan yang normatif menuju pendekatan yang lebih pluralis
dan inklusif. Pendekatan normatif yang cenderung menekankan
pada keseragaman interpretasi dan dogmatisme mulai ditantang
oleh munculnya berbagai pandangan yang lebih terbuka terhadap
perbedaan dan keberagaman. Para pemikir Muslim kontemporer
mulai melihat pluralitas bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai
kekayaan yang perlu diakomodasi dalam kerangka pemikiran
filosofis Islam. Hal ini tercermin dalam upaya untuk
mengintegrasikan berbagai perspektif dari berbagai mazhab dan
tradisi keagamaan dalam Islam, serta dalam dialog dengan agama-
agama dan filsafat-filsafat lain di dunia (Habibi, 2023).
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa transformasi
pemikiran dalam diskursus filsafat Islam kontemporer
merupakan fenomena yang kompleks dan multidimensi.
Transformasi ini menjadi penting untuk dikaji karena ia
mencerminkan bagaimana para pemikir Islam bergulat dalam
berbagai dinamika diskursus filosofis yang kompleks, di mana
berbagai aliran pemikiran berinteraksi, berdebat, dan terkadang
bertentangan, tetapi pada saat yang sama memperkaya tradisi
intelektual Islam secara keseluruhan. Karya ini bertujuan untuk
mengeksplorasi berbagai bentuk transformasi pemikiran dalam
diskursus filosofis Islam kontemporer, dengan tiga sub bab
utama, yakni: dinamika diskursus: kontroversi dan konsensus
dalam pemikiran Islam kontemporer, reinterpretasi tradisi: upaya
pembaruan dalam pemikiran filosofis Islam dan titik temu filsafat
Islam dan pemikiran barat di era kontemporer. Dengan
memahami dinamika diskursus ini, kita dapat memperoleh
wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana filsafat Islam terus

154 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
berkembang dan beradaptasi dalam menghadapi tantangan-
tantangan baru di era kontemporer.

DINAMIKA DISKURSUS: KONTROVERSI DAN
KONSENSUS DALAM PEMIKIRAN ISLAM
KONTEMPORER
Dinamika diskursus dalam pemikiran Islam kontemporer
menunjukkan bahwa kontroversi dan konsensus merupakan dua
sisi dari mata uang yang sama. Keduanya memainkan peran
penting dalam evolusi pemikiran Islam dan memungkinkan
tradisi ini untuk tetap hidup dan relevan dalam menghadapi
tantangan-tantangan baru sembari tetap setia pada ajaran-ajaran
fundamental Islam. Dalam konteks ini, para filsuf, teolog, dan
intelektual Muslim terlibat dalam perdebatan yang kompleks
mengenai bagaimana Islam harus dipahami dan diterapkan dalam
dunia yang terus berubah.
Kontroversi dalam pemikiran Islam modern sering kali
timbul ketika para pemikir mencoba menjembatani kesenjangan
antara tradisi dan modernitas. Contoh yang signifikan adalah
perdebatan mengenai hermeneutika Qur’an. Pemikir seperti Nasr
Hamid Abu Zayd, seorang intelektual Mesir, menekankan
pentingnya pendekatan kontekstual dalam memahami teks-teks
Islam, yang memicu kontroversi besar dan bahkan menyebabkan
dia diadili di Mesir atas tuduhan murtad. Abu Zayd berargumen
bahwa teks-teks agama harus dipahami dalam konteks
historisnya, yang memungkinkan penafsiran yang dinamis dan
relevan dengan zaman modern. Pendekatan ini menimbulkan
resistensi dari kalangan ulama tradisional yang memandang
bahwa pendekatan seperti ini bisa mengancam keutuhan ajaran
Islam (Nasr, 2019; Subchi, 2020).
Contoh lain dari pemikir kontemporer yang menantang
pandangan tradisional dalam Islam, khususnya terkait dengan
isu-isu gender adalah Amina Wadud. Tokoh feminis ini mulai

Teguh Hadi Wibowo | 155

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dikenal luas ketika ia membuat gebrakan dengan ijtihad
kontroversialnya saat memimpin langsung jamaah shalat Jumat
di gereja St. John the Divine di New York pada tanggal 18 Maret
2005. Ijtihad Amina ini jelas menantang tradisi dalam agama
Islam yang mensyaratkan bahwa hanya laki-laki yang boleh
menjadi imam dalam shalat Jumat (Majidah & Firmansyah, 2022)
Dalam Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman's Perspective, Amina Wadud membahas sejumlah isu
penting yang terdiri dari empat bagian utama. Pertama, ia
memaparkan berbagai problematika terkait analisis prosedur
penciptaan makhluk, di mana ia menyoroti beberapa pandangan
yang berkaitan dengan perempuan. Wadud menekankan bahwa
dalam proses penciptaan, terdapat kesetaraan mendasar antara
laki-laki dan perempuan. Kedua, ia membahas teks-teks yang
berkembang di Jazirah Arab pra-Islam, yang sering kali
digunakan untuk mempertahankan pemahaman diskriminatif
terhadap perempuan. Ketiga, Wadud menganalisis perbedaan-
perbedaan dalam teks-teks al-Qur'an yang berhubungan dengan
gender dan gramatika. Keempat, ia menguraikan beberapa istilah
dan pemahaman pokok dalam al-Qur'an, serta memperkenalkan
tokoh-tokoh perempuan fenomenal yang diceritakan dalam kitab
suci tersebut. Tujuannya adalah untuk menantang interpretasi
tradisional yang dianggap tidak adil dan mempromosikan
pemahaman yang lebih inklusif terhadap kesetaraan gender
dalam Islam (Webb & Wadud, 2000).
Sebagai seorang teolog dan aktivis feminis, Wadud
memperjuangkan hak-hak perempuan dalam Islam dan
menekankan perlunya reinterpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang
sering kali dianggap mendukung ketidaksetaraan gender. Wadud
menegaskan bahwa penafsiran yang lebih inklusif dan
kontekstual diperlukan untuk memastikan bahwa ajaran-ajaran
Islam mendukung keadilan dan kesetaraan bagi semua umat,
termasuk perempuan. Pendekatan Wadud menimbulkan
kontroversi, terutama di kalangan ulama konservatif, namun ia
juga mendapatkan dukungan dari banyak kalangan progresif yang

156 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mendukung reformasi dalam interpretasi teks-teks agama
(Majidah & Firmansyah, 2022; Webb & Wadud, 2000).
Selain kontroversi, terdapat upaya signifikan untuk
mencapai konsensus di antara berbagai aliran pemikiran Islam.
Salah satu area di mana konsensus sering kali dicapai adalah
dalam hal penerimaan terhadap pentingnya ijtihad. Muhammad
Iqbal, menjadi salah satu tokoh kunci yang menekankan perlunya
revitalisasi dan reinterpretasi ijtihad dalam rangka menghadapi
tantangan-tantangan modern. Upaya Iqbal untuk mengangkat
kembali martabat umat Islam diwujudkan melalui tulisan-tulisan
dan puisi-puisinya, serta melalui keterlibatannya dalam organisasi
All Pakistan Muslim League. Iqbal melihat ijtihad sebagai
mekanisme yang dapat memungkinkan umat Islam untuk terus
berkembang sambil tetap mempertahankan identitas keislaman
mereka. Ia menegaskan bahwa Islam bukanlah sekadar agama
yang statis, tetapi sebuah sistem pemikiran yang dinamis dan
terbuka untuk perubahan (Saepulah, 2021).
Sebagai seorang pemikir, ia telah memelopori upaya
rekonstruksi pemikiran Islam untuk mendorong kemajuan umat
Muslim. Ia meyakini bahwa Islam, sebagai sebuah pandangan
hidup (way of life), memiliki kemampuan untuk mengantisipasi dan
mengarahkan perubahan zaman serta dinamika umat manusia
sesuai dengan kehendak Tuhan. Meskipun tidak menawarkan
pandangan praktis dalam filsafatnya, pemikirannya diterima
secara luas dan menjadi dasar bagi banyak pemikir kontemporer
dalam membangun teori-teori baru yang relevan dengan konteks
zaman sekarang. Ia berhasil menginspirasi umat Muslim untuk
keluar dari cara pandang yang statis dan mendorong mereka
untuk beradaptasi dengan dinamika kehidupan sambil tetap
berpegang pada prinsip-prinsip keislaman dan pengabdian
kepada Tuhan (Hidayatullah, 2018).
Selain Iqbal, Tariq Ramadan, seorang pemikir Islam
kontemporer asal Swiss, berfokus pada bagaimana Muslim yang
tinggal di Barat dapat tetap memegang teguh identitas Islam

Teguh Hadi Wibowo | 157

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mereka sambil beradaptasi dengan nilai-nilai modern seperti
pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ia berpendapat
bahwa mengandalkan beberapa pendapat hukum Islam saja
tidaklah cukup; umat Islam harus berani membuka jalan bagi
prospek baru. Dalam konteks ini, prioritas utama adalah mencari
keadilan, mengakhiri diskriminasi, dan mendorong reformasi,
yang mengharuskan untuk menilai kembali kerangka kerja dan
metodologi yang ada. Ini dilakukan dengan tetap setia pada
sumber-sumber kitab suci, namun dengan mempertimbangkan
sejarah serta konteks sosial budaya yang berbeda. Proses ini juga
harus mencakup refleksi dan pemahaman mendalam mengenai
hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta bagaimana
pembagian peran di antara mereka (Junedi, 2022).
Ramadan berusaha mencapai konsensus di antara
komunitas Muslim yang sering kali terpecah antara
konservatisme dan modernisme. Ia menekankan pentingnya
memahami konteks sosial dan budaya di mana Muslim hidup saat
ini, dan menyesuaikan praktik-praktik Islam agar tetap relevan
tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama.
Pendekatannya yang moderat ini diterima oleh banyak kalangan,
meskipun ia juga menghadapi kritik dari kedua sisi, baik dari
mereka yang menganggapnya terlalu liberal maupun yang
menganggapnya terlalu konservatif (Junedi, 2022).
Dengan kemajuan teknologi informasi saat ini, akses yang
lebih besar terhadap berbagai sumber pengetahuan telah
memperkaya diskursus filosofis. Dinamika diskursus filosofis
Islam kontemporer kemungkinan akan terus berkembang,
dengan kontroversi dan konsensus yang selalu menjadi bagian
integral dari perjalanan intelektual Islam. Umat Islam kini
memiliki kesempatan untuk menjelajahi berbagai pemikiran dan
interpretasi, baik dari tradisi Islam sendiri maupun dari tradisi
intelektual lainnya, termasuk pemikiran Barat. Ini
memungkinkan diskusi yang lebih mendalam, beragam, dan
inklusif, di mana ide-ide dapat dipertukarkan secara bebas dan
lebih cepat.

158 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Dalam konteks inilah, pemikir-pemikir Islam baru akan
terus bermunculan, membawa ide-ide segar dengan
mengintegrasikan berbagai pandangan yang berbeda ke dalam
sebuah kerangka kerja yang koheren dan relevan. Mereka akan
terus berupaya mengharmoniskan ajaran Islam dengan
tantangan-tantangan kontemporer, baik dalam bidang sosial,
politik, ekonomi, maupun budaya. Dengan demikian, pemikiran
Islam akan tetap hidup dan terus berkembang, sejalan dengan
kebutuhan zaman yang selalu berubah.

REINTERPRETASI TRADISI: UPAYA PEMBARUAN
DALAM PEMIKIRAN FILOSOFIS ISLAM
Dalam sejarah intelektual Islam, tradisi filsafat telah
memainkan peran yang signifikan dalam membentuk cara
berpikir umat Muslim, baik dalam hal teologis maupun praktis.
Namun, seiring dengan kemajuan zaman, pemikir-pemikir Islam
mulai menyadari perlunya melakukan reinterpretasi terhadap
tradisi agar tetap relevan dengan tantangan dan perubahan yang
dihadapi umat di era kontemporer. Reinterpretasi ini mencakup
upaya pembaruan pemikiran yang berangkat dari teks-teks klasik,
yang kemudian dihadapkan pada konteks modern dengan segala
kompleksitasnya.
Para pemikir Islam kontemporer menyadari bahwa ajaran-
ajaran klasik, meskipun kaya akan nilai dan kebijaksanaan, harus
ditinjau kembali dalam konteks realitas saat ini yang jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan masa lalu. Mereka berusaha
menjembatani kesenjangan antara tradisi dan modernitas,
sehingga terwujud integrasi antara nilai-nilai universal Islam
dengan prinsip-prinsip rasionalitas dan ilmu pengetahuan
modern. Mereka berargumen bahwa Islam, sebagai sebuah
sistem pemikiran yang komprehensif, memiliki fleksibilitas yang
memungkinkan adaptasi terhadap kondisi zaman tanpa harus
mengorbankan inti ajarannya. Dengan demikian, reinterpretasi
tradisi dalam filsafat Islam tidak hanya bertujuan untuk

Teguh Hadi Wibowo | 159

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mempertahankan relevansi ajaran Islam di era kontemporer,
tetapi juga untuk memperkaya dan memperluas cakrawala
pemikiran Islam, sehingga mampu memberikan kontribusi yang
lebih signifikan dalam dialog global tentang kemanusiaan, etika,
dan ilmu pengetahuan.
Reinterpretasi tradisi dalam filsafat Islam merupakan
langkah penting untuk memastikan bahwa Islam tetap menjadi
sumber inspirasi dan panduan bagi umat Muslim di tengah
tantangan zaman yang terus berubah. Upaya ini tidak hanya
memperkuat posisi Islam dalam konteks global, tetapi juga
membuka peluang bagi dialog yang lebih konstruktif antara dunia
Islam dan tradisi intelektual lainnya, khususnya Barat, dalam
rangka membangun peradaban yang lebih inklusif dan
berkelanjutan.
Salah satu tokoh penting dalam konteks ini adalah Fazlur
Rahman (1919-1988), seorang cendekiawan asal Pakistan yang
banyak dikenal melalui karyanya dalam bidang filsafat dan tafsir
Al-Qur'an. Rahman berpendapat bahwa umat Islam harus
memahami Al-Qur'an sebagai teks yang dinamis, yang maknanya
harus digali dengan mempertimbangkan konteks historis dan
situasi kontemporer. Rahman mengidentifikasi dua masalah
utama yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Pertama, terdapat
ketidakselarasan antara kajian keagamaan dan ilmu-ilmu modern,
yang menyebabkan kurangnya integrasi antara keduanya. Kedua,
terdapat ketegangan dalam hubungan antara agama dan politik.
Rahman berargumen bahwa kegagalan umat Islam dalam
mengharmoniskan nilai-nilai Islam dengan aspek-aspek
modernitas, serta adanya politisasi agama, telah mengakibatkan
hilangnya kreativitas intelektual di kalangan umat Islam.
Akibatnya, ilmu pengetahuan Islam saat ini tidak mampu
memberikan solusi efektif terhadap permasalahan yang dihadapi
umat Islam dan umat manusia secara umum. Oleh karena itu,
Rahman mengemukakan pentingnya pendekatan double movement
yaitu pendekatan yang pertama-tama memahami konteks historis

160 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dari teks-teks Islam, kemudian menerapkannya secara kreatif
dalam konteks modern (Rahman, 1982).
Secara umum pemikiran Fazlur Rahman dapat diringkas
sebagai berikut: Pertama, Rahman mengutamakan ajaran moral
Al-Qur'an di atas definisi literalnya, tanpa mengabaikan teks. Ia
menggunakan ayat-ayat tertentu sebagai referensi sekunder
berdasarkan interpretasi generasi sahabat. Memahami konteks
sejarah wahyu Al-Qur'an dan menyusun ajaran moralnya secara
metodis dianggap penting untuk membantu Muslim yang tidak
hidup sezaman dengan Nabi dalam memahami pesan Al-Qur'an
secara utuh (Romadhon, 2023).
Kedua, Menurut Rahman, sumber pengetahuan mencakup
tiga sudut pandang: pembaca, penulis, dan dunia teks. Rahman
menekankan pentingnya memahami kata-kata Al-Qur'an dalam
konteks adat istiadat Arab saat wahyu diturunkan, dan kemudian
menginterpretasikan kembali Al-Qur'an untuk relevansi masa
kini. Ketiga, Rahman menekankan pentingnya pengetahuan
intersubjektif yang reliabel, di mana tidak ada satu model
interpretasi yang dianggap mutlak, dan tidak ada organisasi yang
memiliki hak eksklusif untuk menerapkannya. Sebaliknya, Ia
mendukung pendekatan pluralistik di mana semua individu dan
organisasi berbagi pengetahuan dan kebenaran dari sudut
pandang hermeneutis. Ini berarti pesan Al-Qur'an yang relevan
dalam konteks tertentu mungkin tidak relevan dalam konteks lain
(Romadhon, 2023).
Selain Rahman, Mohammed Arkoun (1928-2010), seorang
filsuf dan sejarawan asal Aljazair yang terkenal dengan
pendekatannya yang kritis terhadap studi Islam. Menurut
Arkoun, pemikiran Islam telah mengalami stagnasi, menjadi
terbatas, tertutup, sempit, dan terlalu terfokus pada logosentris.
Pemikiran Islam telah kehilangan fleksibilitasnya dan tidak lagi
terbuka terhadap perubahan dalam proses dan aktivitasnya.
Umat Islam perlu menyadari bahwa selama empat abad terakhir,
pemikiran Islam tidak berkembang seperti pemikiran di Eropa.

Teguh Hadi Wibowo | 161

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pemikiran Islam hanya terus menerus mengulangi pendekatan
rasional-religius skolastik yang konservatif, yang telah digunakan
sejak Abad Pertengahan, tanpa beranjak dari posisi ini menuju
pemikiran yang lebih modern (Arkoun & Lee, 2019; Soekarba,
2006).
Arkoun berusaha menggabungkan tradisi Islam dengan
pemikiran modern dan pascamodern. Ia mengkritik pendekatan
tekstual dan skripturalis yang terlalu kaku dalam memahami
ajaran Islam dan mengusulkan pendekatan yang lebih terbuka,
inklusif dan interdisipliner. Ia menekankan perlunya
dekonstruksi terhadap teks-teks klasik dan sejarah Islam untuk
memungkinkan pemikiran yang lebih segar dan relevan dengan
konteks kontemporer. Ia mengkritik ketergantungan pada
metode interpretasi yang kaku dan kurangnya keterlibatan
dengan wacana modern, baik dalam ranah intelektual maupun
sosial. Selain itu, Arkoun juga mengajak umat Islam untuk
mempertimbangkan kembali bagaimana Islam dipahami dan
dipraktikkan, serta bagaimana agama ini dapat berkontribusi
secara konstruktif dalam dialog global tentang etika,
kemanusiaan, dan ilmu pengetahuan (Arkoun & Lee, 2019)
Arkoun membedakan tradisi (turats) menjadi dua bentuk
utama dalam pemikirannya. Pertama, ia mengidentifikasi Tradisi
atau Turats dengan huruf T kapital sebagai tradisi transenden
yang dianggap ideal, berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diubah
oleh perkembangan sejarah. Tradisi ini bersifat abadi dan absolut.
Kedua, ia menyebut tradisi dengan huruf t kecil (tradisi atau
turats), yang terbentuk melalui sejarah dan budaya manusia,
termasuk warisan turun-temurun serta penafsiran manusia
terhadap wahyu Tuhan melalui teks suci (Arkoun & Lee, 2019;
Soekarba, 2006).
Arkoun memilih untuk fokus pada tradisi jenis kedua, yang
dibentuk oleh konteks sejarah dan budaya manusia, karena
menurutnya, tradisi transenden berada di luar jangkauan
pengetahuan dan kemampuan akal manusia. Bagi Arkoun,

162 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
membaca turats berarti membaca semua jenis teks dalam konteks
sejarahnya. Karena turats dibentuk dan dikodifikasi dalam sejarah,
maka teks-teks tersebut harus dipahami melalui kerangka sejarah.
Salah satu tujuan utama dari pembacaan ini, terutama terhadap
teks-teks suci, adalah untuk menilai relevansinya di tengah
perubahan yang terus berlangsung. Arkoun berusaha untuk
mengharmoniskan tradisi dengan modernitas melalui pendekatan
baru ini, yang menekankan pentingnya adaptasi ajaran agama agar
tetap sesuai dengan kondisi zaman (Soekarba, 2006).
Tokoh lainnya adalah Muhammad Iqbal (1877-1938),
seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20. Iqbal
berupaya merekonstruksi pemikiran religius dalam Islam yang
sebelumnya menekankan ketaatan pada tradisi, kepasrahan
terhadap takdir, dan penolakan terhadap realitas konkret. Ia ingin
mengubah pendekatan ini menjadi Islam yang menekankan
penafsiran kontekstual, penciptaan kreatif, dan afirmasi terhadap
realitas yang nyata. Melalui teori evolusi kehidupan keagamaan
yang mencakup iman, pemikiran, dan penemuan, yang semuanya
berpuncak pada konsep insan kamil. Menurutnya, iman adalah
landasan dari segala sesuatu, tetapi iman yang hidup harus
didukung oleh pemikiran kritis dan refleksi yang mendalam.
Pemikiran dalam Islam, bagi Iqbal, bukanlah sesuatu yang statis,
tetapi harus terus berkembang seiring dengan penemuan-
penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam
konteks ini, Iqbal dianggap berhasil menjembatani antara ilmu
pengetahuan dan pengalaman religius, serta merekonsiliasi kedua
dimensi tersebut dalam kerangka pemikiran Islam (Saepulah,
2021).
Pemikiran Iqbal memiliki dampak yang luas, tidak hanya
dalam dunia intelektual Islam, tetapi juga dalam politik dan
gerakan sosial. Iqbal sering dianggap sebagai salah satu inspirator
utama di balik pembentukan negara Pakistan, meskipun ia sendiri
tidak pernah menyaksikan negara tersebut berdiri. Gagasan-
gagasannya tentang kebangkitan spiritual, kebebasan individu,
dan rekonstruksi pemikiran Islam terus mempengaruhi generasi-

Teguh Hadi Wibowo | 163

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
generasi berikutnya, baik di dunia Islam maupun di luar dunia
Islam. Secara keseluruhan, Iqbal berusaha membawa umat Islam
keluar dari kemandekan intelektual dan spiritual, dan
mengarahkan mereka menuju masa depan yang lebih cerah, di
mana Islam dapat memainkan peran penting dalam membentuk
peradaban dunia yang lebih adil dan harmonis. Pendekatan Iqbal
yang menggabungkan tradisi dengan inovasi, serta iman dengan
pemikiran kritis, menjadikan dia salah satu pemikir Islam terbesar
dan paling berpengaruh di abad ke-20. Pemikirannya tetap
relevan hingga hari ini, memberikan panduan bagi mereka yang
berusaha mengintegrasikan keyakinan agama dengan tuntutan
dunia modern (Hidayatullah, 2018; Saepulah, 2021)
Reinterpretasi tradisi dalam diskursus filosofis Islam
kontemporer merupakan upaya penting untuk menjaga relevansi
ajaran Islam di era kontemporer. Para pemikir seperti Fazlur
Rahman, Mohammed Arkoun, dan Muhammad Iqbal telah
menunjukkan bahwa tradisi Islam, yang sering kali dipandang
sebagai statis, sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi
dengan perkembangan zaman, asalkan diinterpretasikan dengan
pendekatan yang kritis dan kontekstual.
Meskipun demikian, proses ini juga tidak tanpa tantangan.
Kritik dari kelompok konservatif dan tantangan politik serta
sosial seringkali menghambat upaya pembaruan ini. Kelompok
konservatif menggunakan pendekatan tradisional dan
konvensional yang sangat mengandalkan metodologi dan sistem
(manhaj) secara kaku. Pendekatan tradisional ini beranggapan
bahwa makna hanya bisa diperoleh secara akurat melalui
penerapan metodologi dan sistem yang tepat. Dalam pandangan
ini, teks, wacana, dan pengetahuan pada umumnya diyakini
dibangun semata-mata berdasarkan metodologi dan sistem yang
ketat dan terstruktur. Pandangan seperti ini masih cukup populer
dan mendominasi pemikiran modern, yang menekankan standar
ilmiah (scientific), serta pemikiran klasik, yang kuat dalam
otoritasnya (Muslih, 2012).

164 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pada akhirnya, upaya-upaya reinterpretasi ini tetap penting
untuk memastikan bahwa Islam dapat terus menjadi sumber
inspirasi dan panduan bagi umat Muslim di dunia yang terus
berubah. Secara keseluruhan, upaya reinterpretasi tradisi dalam
Islam kontemporer, seperti yang ditunjukkan oleh Rahman,
Arkoun, dan Iqbal, membuktikan bahwa Islam bukanlah agama
yang statis, tetapi sebuah sistem pemikiran yang dinamis dan
terbuka terhadap perubahan. Pendekatan kritis dan kontekstual
ini memungkinkan Islam untuk tetap relevan, tidak hanya bagi
umat Muslim, tetapi juga dalam percaturan pemikiran global,
sehingga mampu berkontribusi secara konstruktif dalam
membangun peradaban yang lebih adil dan berkelanjutan di era
modern.

TITIK TEMU FILSAFAT ISLAM DAN PEMIKIRAN
BARAT DI ERA KONTEMPORER
Secara historis, negara-negara Barat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, menggunakan kekuatan mereka untuk
menjajah berbagai bagian dunia, termasuk negara-negara Islam.
Pada saat itu, umat Islam belum siap menghadapi modernitas.
Dunia Islam cenderung lebih fokus pada tradisi keagamaan tanpa
melakukan introspeksi terhadap kondisi modernitas yang sedang
berkembang. Akibatnya, otoritas agama lebih dominan daripada
usaha pembaharuan. Kondisi ini mendorong para pembaharu
Muslim untuk merespons tantangan modernitas. Mereka
berupaya membebaskan umat Islam dari cengkeraman
kolonialisme sekaligus membawa Islam ke dalam era pemikiran
yang lebih modern (Fiqron, 2023).
Kedua tradisi ini, meskipun memiliki latar belakang sejarah
yang kelam, telah menemukan titik-titik temu yang
memungkinkan pertukaran ide yang lebih mendalam dan
pemahaman yang lebih kaya. Dalam beberapa dekade terakhir,
diskursus antara filsafat Islam dan pemikiran Barat telah
berkembang menjadi sebuah dialog yang semakin kompleks dan

Teguh Hadi Wibowo | 165

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
produktif. Transformasi pemikiran dalam konteks ini bukan
hanya menyangkut adaptasi gagasan-gagasan dari satu tradisi ke
tradisi lainnya, tetapi juga penciptaan perspektif baru yang
berakar pada penggabungan elemen-elemen dari kedua belah
pihak.
Pada era kontemporer, Beberapa pemikir Muslim berupaya
menjembatani kesenjangan antara tradisi Islam dan modernitas
Barat. Salah satu tokoh terkemuka dalam hal ini adalah
Muhammad Iqbal. Iqbal juga mengadopsi gagasan-gagasan dari
filsafat Barat, khususnya dari Friedrich Nietzsche, Henri
Bergson, Hegel, dan Kant. Dari Nietzsche, ia mengembangkan
konsep ego, yang mengusung gagasan tentang potensi manusia
untuk mencapai kebebasan dan otonomi. Selain itu, gagasan
Nietzsche lainnya yang menyatakan bahwa kebaikan adalah
segala sesuatu yang memperkuat kekuasaan, sementara
keburukan adalah segala sesuatu yang berasal dari kelemahan,
dikembangkan oleh Iqbal bahwa kekuatan memiliki dimensi yang
lebih Ilahiah dibandingkan dengan kebenaran, karena Tuhan
sendiri adalah sumber kekuatan. Baginya, kekuatan merupakan
semacam inspirasi di mana kebenaran muncul dan
diperjuangkan. Iqbal memang sangat terinspirasi oleh Nietzsche,
terutama dalam hal semangatnya (Hidayatullah, 2018).
Sementara dari Bergson, Iqbal terinspirasi oleh konsep
intuisi dan élan vital, yang ia interpretasikan sebagai kekuatan
pendorong di balik evolusi spiritual umat manusia. Berdasarkan
argumen élan vitalnya, Bergson menolak gagasan tentang adanya
tujuan akhir yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut
Bergson, intuisi merupakan bentuk tertinggi dari akal. Intuisi juga
mengandung unsur kognitif, sama seperti rasio. Iqbal
berpendapat bahwa pengalaman yang diperoleh melalui intuisi
memiliki tingkat objektivitas yang sama dengan pengalaman yang
didapatkan melalui sumber lain. Bagi Iqbal, intuisi melampaui
kedua sumber epistemologi sebelumnya, yakni akal (rasio) dan
indera. Dengan menggabungkan elemen-elemen ini, Iqbal
berusaha menciptakan filsafat Islam yang relevan dengan zaman

166 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
modern tanpa kehilangan akar tradisionalnya (Hidayatullah,
2018; Saepulah, 2021).
Sedangkan terhadap Hegel, Iqbal memberikan kritiknya
dengan cara yang mirip dengan kritik yang ia arahkan kepada para
pemikir rasionalis sebelumnya, yakni bahwa Hegel tidak
memberikan peran yang memadai kepada indera. Iqbal
menggambarkan pandangan Hegel sebagai pemikiran yang
terlalu melambung tinggi, sebuah pemikiran yang tidak pernah
menyentuh realitas duniawi. Dalam pandangan Hegel, indera dan
intuisi tidak mendapatkan tempat yang signifikan, sehingga Iqbal
kemudian menyebut pemikiran Hegel sebagai "pemikiran yang
tidak memiliki pasangan" (Hidayatullah, 2018).
Tokoh lainnya adalah Mohammed Arkoun, karakteristik
utama pemikiran Arkoun adalah menggabungkan elemen-elemen
dari dunia Barat dan dunia Islam, sesuai dengan cita-citanya
untuk menyatukan berbagai pendekatan pemikiran yang berbeda.
Upaya Arkoun untuk memadukan dua elemen ini, yakni elemen
yang paling bernilai dalam pemikiran Islam (nalar Islam) dan
elemen yang paling signifikan dalam pemikiran Barat modern
(nalar modern), menjadi landasan bagi seluruh aktivitas dan
karyanya. Tujuan utamanya adalah menciptakan integrasi
tertentu dari berbagai pendekatan berpikir yang berbeda.
Epistemologi dan metodologi Arkoun berakar pada rasionalisme
Descartes dan kritisisme Kant, serta dipengaruhi oleh
strukturalisme de Saussure, semiotika Barthes, Hjemslev, dan
Greimas, termasuk "aliran Paris". Selain itu, Arkoun juga
memanfaatkan konsep mitos dari Ricoeur, teori wacana dan
epistémé dari Foucault, serta dekonstruksi dari Derrida
(Soekarba, 2006).
Tokoh lain yang signifikan dalam dialog ini adalah Ali
Shariati (1933–1977), seorang sosiolog dan pemikir revolusioner
dari Iran. Shariati dikenal karena kritiknya terhadap kolonialisme
dan imperialisme Barat, serta usahanya untuk merumuskan Islam
sebagai ideologi pembebasan yang dapat menantang dominasi

Teguh Hadi Wibowo | 167

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Barat. Ia mengkritik modernitas Barat yang ia anggap telah
membawa dehumanisasi dan eksploitasi, tetapi pada saat yang
sama, ia juga mengakui perlunya memahami dan merespon
dinamika modernitas secara kritis (Esposito, 1995).
Meskipun kontroversial, hampir semua orang sepakat
bahwa Syari’ati adalah sosok yang penting dan berpengaruh. Akar
pemikiran Syari’ati berfokus pada kemanusiaan secara umum,
terutama bagi masyarakat di Dunia Ketiga. Ia meyakini bahwa
imperialisme Barat akan menjadikan massa sebagai budak. Bagi
Syari’ati, Islam merupakan alternatif dari Marxisme dan
Kapitalisme. Beberapa konsep kunci dalam karya tulis dan pidato
Syari’ati meliputi syahadah (kesyahidan), zhulm (penindasan
terhadap keadilan Sang Imam), jihad i’tiraz (protes), ijtihad
(keputusan independen untuk menghasilkan aturan hukum),
rausyan fikran (pemikiran yang tercerahkan), mas’uliyat (tanggung
jawab), dan ‘adalah (keadilan sosial) (Esposito, 1995; Marhaeni,
2018).
Syari’ati meminjam gagasan konflik dialektik dan konsep
jabr-i tarikh (determinisme historis) dari Marxisme. Namun, ia
lebih memilih teori Hegel mengenai keunggulan kontradiksi antar
ide daripada pandangan Marx yang menekankan konflik material
dan pertentangan kelas sebagai inti kebenaran mutlak. Dari
pemikiran liberal Barat, Syari’ati mengadopsi model pencerahan
rasional sebagai solusi atas masalah-masalah sosial. Secara
keseluruhan, tampaknya Syari’ati memiliki kesadaran akan bahaya
yang ditimbulkan oleh agama yang telah terlembagakan
(Esposito, 1995; Marhaeni, 2018).
Salah satu perkembangan menarik dalam diskursus
kontemporer adalah munculnya gagasan kosmopolitanisme
Islam, yang berupaya menggabungkan nilai-nilai universal dari
tradisi Islam dengan prinsip-prinsip kosmopolitanisme Barat.
Tariq Ramadan (1962–2023), seorang pemikir Islam Swiss yang
berpengaruh, adalah salah satu tokoh utama yang
mengembangkan konsep ini. Ramadan mengeksplorasi

168 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
bagaimana Muslim yang tinggal di Barat dapat mengintegrasikan
nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi
manusia, dan pluralisme. Ramadan mengusulkan sebuah model
identitas ganda, di mana seorang Muslim dapat menjadi warga
negara yang setia di negara Barat sambil tetap memegang teguh
keyakinan agamanya. Ia juga menekankan pentingnya dialog
antaragama dan interkultural sebagai cara untuk menciptakan
masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Dalam hal ini,
Ramadan melihat Islam bukan sebagai entitas yang terpisah dari
Barat, tetapi sebagai bagian integral dari perkembangan budaya
dan intelektual Barat itu sendiri (Junedi, 2022).
Titik temu antara filsafat Islam dan pemikiran Barat di era
kontemporer tidak hanya mencerminkan kesalingterhubungan
global yang semakin meningkat, tetapi juga menandai langkah
penting menuju dialog yang lebih mendalam dan saling
menguntungkan. Tantangan yang dihadapi oleh kedua tradisi
ini—termasuk masalah etika, identitas, dan keberlanjutan—
mendorong pencarian solusi yang dapat diadopsi secara universal
tanpa mengorbankan kekayaan warisan masing-masing. Ke
depan, para pemikir dari kedua tradisi perlu terus terlibat dalam
dialog yang terbuka dan konstruktif, dengan fokus pada
bagaimana prinsip-prinsip etis dan spiritual dari Islam dapat
berkontribusi pada pemecahan masalah global yang dihadapi
oleh umat manusia. Hal ini tidak hanya akan memperkaya
diskursus filosofis, tetapi juga akan membangun jembatan yang
lebih kuat antara dunia Islam dan Barat, menciptakan sebuah
dunia yang lebih harmonis dan berkelanjutan.

KESIMPULAN
Filsafat Islam telah berkembang secara dinamis sejak
kemunculannya, dengan upaya utama memahami realitas,
kebenaran, dan eksistensi melalui integrasi akal dan wahyu. Pada
era kontemporer, diskursus filsafat Islam mengalami
transformasi yang mencolok, terutama karena terdapat

Teguh Hadi Wibowo | 169

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
pergeseran dari pendekatan normatif yang dogmatis menuju
pendekatan yang lebih inklusif. Para pemikir Muslim
kontemporer mulai mengintegrasikan berbagai perspektif dari
mazhab dan tradisi keagamaan yang berbeda, serta berdialog
dengan agama dan filsafat lain di dunia. Transformasi ini
menunjukkan bahwa filsafat Islam terus berkembang dan
berinovasi, sambil tetap setia pada akar spiritual dan teologisnya.
Dinamika diskursus dalam pemikiran Islam kontemporer,
ditandai dengan adanya kontroversi dan konsensus sebagai dua
sisi yang saling melengkapi. Kontroversi dan konsensus yang
muncul dalam proses ini mencerminkan ketegangan antara
pendekatan tradisional yang lebih kaku dan usaha pembaruan
yang lebih terbuka. Meskipun menghadapi tantangan dari
kelompok konservatif, upaya-upaya ini menunjukkan bahwa
Islam memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan perubahan
zaman, tanpa kehilangan esensinya.
Upaya reinterpretasi tradisi dalam Islam bertujuan untuk
menjaga relevansi ajaran Islam di era modern, memungkinkan
Islam untuk terus berkembang tanpa kehilangan esensinya. Para
pemikir seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun,
Muhammad Iqbal, Amina Wadud, Tariq Ramadan, dan Ali
Shariati, menunjukkan bahwa tradisi Islam memiliki fleksibilitas
yang cukup untuk beradaptasi dengan tantangan zaman, asalkan
diinterpretasikan secara kritis dan kontekstual.
Selain itu, diskursus antara filsafat Islam dan pemikiran
Barat juga memperlihatkan potensi untuk menemukan titik temu
dan menciptakan dialog yang lebih mendalam dan konstruktif,
yang dapat menghasilkan solusi universal untuk tantangan global.
Dengan keterbukaan terhadap perubahan dan adaptasi, Islam
dapat terus berperan sebagai sumber inspirasi dan panduan
dalam membangun peradaban yang lebih adil dan harmonis di
era kontemporer yang semakin kompleks ini.

170 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, M., & Lee, R. D. (2019). Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers . Routledge.
https://books.google.co.id/books?id=8B-eDwAAQBAJ
Esposito, J. L. (1995). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic
World (Issue v. 1). Oxford University Press.
https://books.google.co.id/books?id=LeYpAQAAMAAJ
Fiqron, M. Z. (2023). Kontestasi dan Kontekstualisasi Filsafat
Islam di Tengah Modernitas. Journal of Islamic Thought and
Philosophy, 2(2), 151 –169.
https://doi.org/10.15642/jitp.2023.2.2.151-169
Habibi, F. (2023). Kalam dan Filsafat Dalam Era Postmoderisme
Amin Abdullah: Studi atas Perkembangan Literatur Filsafat
Islam di Indonesia. SETYAKI : Jurnal Studi Keagamaan Islam,
1(2), 35–41. https://doi.org/10.59966/setyaki.v1i2.238
Hidayatullah, S. (2018). Epistimologi Pemikiran Sir Muhammad
Iqbal. Jurnal Filsafat, 24(1), 94–118.
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/3476
1/20739
Husaini, A., Arif, S., Syarif, N., Kania, D. D., & Alim, A. (2020).
Filsafat Ilmu: Perspektif Barat & Islam. Gema Insani.
https://books.google.co.id/books?id=ppzzDwAAQBAJ
Ismail, Y. (2019). Postmodernisme dan Perkembangan
Pemikiran Islam Kontemporer. Jurnal Online Studi Al-Qur
An, 15(2), 235–248. https://doi.org/10.21009/jsq.015.2.06
Junedi, J. (2022). Pemikiran Tariq Ramadan dan Islam di Swiss.
AL-MAQASHID: Journal of Economics and Islamic Business,
2(2), 46–56. https://doi.org/10.55352/maqashid.v2i2.644
Latief, M., Gilang Fikri Ash-Shufi, C., Reza Kusuma, A., & Dzul
Fadhlil, F. (2022). Framework Richard Walzer Terhadap
Filsafat Islam Dalam Bukunya; Greek Into Arabic Essay On

Teguh Hadi Wibowo | 171

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Islamic Philosophy. JAQFI: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam,
7(1), 1–14. https://doi.org/10.15575/jaqfi.v7i1.12095
Majidah, S., & Firmansyah, R. (2022). Menggagas Tafsir
Emansipatoris dalam Al-Qur’an (Perspektif Pemikiran
Aminah Wadud dalam Buku Al-Qur’an wal Mar’ah).
Academic Journal of Islamic Principles and Philosophy, 2(2), 215–
238. https://doi.org/10.22515/ajipp.v2i2.4064
Marhaeni, S. (2018). Ali Syara’ati; Pemikiran dan Gagasannya.
Jurnal Aqidah-Ta, IV(2), 182 –196.
https://doi.org/10.24252/aqidahta.v4i2.7301
Muslih, M. (2012). Pemikiran Islam Kontemporer, Antara Mode
Pemikiran dan Model Pembacaan. TSAQAFAH, 8(2), 347.
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v8i2.28
Nasr, S. H. (2019). Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam. Ircisod.
https://books.google.co.id/books?id=QPrHDwAAQBAJ
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
https://books.google.co.id/books?id=FJcyIeHeeZwC
Romadhon, K. (2023). Pendekatan Hermeneutika dalam
Pemikiran Teori Fazlur Rahman terhadap Tafsir Al-Qur’an.
Zawiyah: Jurnal Pemikiran Islam, 9(1), 65.
https://doi.org/10.31332/zjpi.v9i1.5803
Saepulah, A. (2021). Pentingnya Ijtihad dalam Agama Perspektif
Muhammad Iqbal dan implikasinya bagi Teologi dan
Kemiskinan. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran,
Dan Fenomena Agama , 22(2), 218–237.
https://doi.org/10.19109/jia.v22i2.10966
Soekarba, S. R. (2006). Kritik Pemikiran Arab: Metode
Dekonstruksi Mohammed Arkoun. Wacana, Journal of the
Humanities of Indonesia , 8(1), 78.
https://doi.org/10.17510/wjhi.v8i1.248

172 | Teguh Hadi Wibowo

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Subchi, I. (2020). Nasr Hamid Abu Zayd dan Gagasan
Hermeneutika dalam Tafsir Al-Qur’an. Mimbar Agama
Budaya, 36(2), 145 –157.
https://doi.org/10.15408/mimbar.v36i2.14186
Webb, G., & Wadud, A. (2000). Qur’an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Journal of Law
and Religion , 15(1/2), 519.
https://doi.org/10.2307/1051560
Wibowo, T. H. (2021). Persinggungan Filsafat dengan Bahasa
Arab. Kilmatuna: Journal Of Arabic Education, 1(2), 105–114.
https://doi.org/10.55352/pba.v1i2.64

Meta Malihatul Maslahat | 173

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner



Meta Malihatul Maslahat


PENDAHULUAN
Kehidupan di zaman modern saat ini banyak sekali godaan
dan ujian yang datang silih berganti. Jika seseorang tidak hati-hati
dan mawas diri setiap harinya, maka ia akan terjerumus pada
jurang kehancuran dan kenistaan sehingga menyebabkan dirinya
jauh dari Tuhan. Orang yang jauh dari Tuhan maka batinnya akan
selalu merasakan kegelisahan, kekhawatiran, kecemasan dan
gangguan psikologis lainnya (Nasaruddin Umar, 2014, pp. v–vii).
Oleh karena itu, tidak heran jika Seyyed Hossein Nasr
berargumen bahwa manusia modern saat ini banyak yang
kehilangan arah dalam mencapai ketenangan jiwa. Banyaknya
manusia modern yang kehilangan arah dalam mencapai
ketenangan jiwa disebabkan karena terlalu melekatnya seseorang
terhadap hal-hal yang bersifat materialisme dan jauhnya
seseorang dari hal-hal yang bersifat spiritualisme (Seyyed Hossein
Nasr, 2000, pp. 1–27). Sementara itu, menurut Abu Wafa al-
Ghanimi al-Taftazani sebagaimana yang dikutip oleh Amin
Syukur menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan manusia
modern tidak menemukan ketenangan jiwa disebabkan oleh
karena banyaknya manusia modern yang kehilangan visi keilahian
sehingga mengakibatkan kegelisahan psikologis dan kehampaan
spiritual (Amin Syukur, 2004, p. 178).
TASAWUF SEBAGAI SOLUSI BAGI MANUSIA
MODERN YANG MENDAMBAKAN KETEN ANGAN
JIWA

174 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Statement ini diperkuat juga oleh pendapat Yunasril Ali yang
mengatakan bahwa kehilangan visi keilahian atau visi metafisis
yang dialami manusia modern saat ini disebabkan karena mereka
tidak mempercayai adanya Tuhan, tidak mempercayai hari akhir
dan tidak mempercayai adanya balasan terhadap apa yang
dikerjakan selama hidup di dunia (Yunasril Ali, 2012, p. 212).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka tidak heran banyak
manusia modern yang akhirnya mengalami berbagai gangguan
psikologis. Adapun gangguan psikologis yang biasa dialami
manusia modern diantaranya perasaan was-was, takut, khawatir,
stres, depresi bahkan sampai ada keinginan untuk bunuh diri
(Zakiah Daradjat, 2016, pp. 10–66).
Selain yang sudah dijelaskan di atas, Komarudin Hidayat
berpendapat bahwa gangguan psikologis yang dialami manusia
modern juga dipengaruhi oleh kondisi batinnya. Banyak manusia
modern yang mencari ketenangan jiwa dengan cara selalu
mencari kesenangan di dunia luar dan melupakan dunia dalam
dirinya sendiri. Mereka sering berpikiran bahwa hanya dengan
melampiaskan keinginan, ego atau hasratnya di luar maka ia akan
meraih ketenangan jiwa. Padahal faktanya, semakin ia mencari
keluar maka semakin dirinya terasing dengan dunia di dalam
dirinya. Dengan demikian banyak di antara mereka yang
meskipun terlihat seperti kaya namun batinnya tidak sejahtera,
meskipun terlihat banyak relasi namun tetap merasa teralienasi
dan meskipun memiliki jabatan yang tinggi namun tetap saja
korupsi (Komaruddin Hidayat, 2012, pp. 33–35).
Sementara itu menurut Zakiah Darajat, problematika
psikologis yang dialami manusia modern disebabkan oleh
beberapa faktor di antaranya yaitu: pertama, banyak manusia
modern yang kehilangan arah tujuan hidup sehingga ia tidak
mampu menentukan langkah apa yang harus dikerjakannya.
Kedua, manusia modern tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan perubahan zaman sehingga ada ketidaksiapan
dan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi perubahan dan
persaingan. Ketiga, manusia modern lupa akan identitas dirinya

Meta Malihatul Maslahat | 175

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
sehingga seluruh hidupnya ia habiskan untuk mengejar
kenikmatan-kenimatan yang sifatnya materialitstik. Manusia
modern lupa bahwa di dalam dirinya ada dimensi batin yang juga
harus dirawat dan dipenuhi. Menurut Zakiah, ketika seseorang
lupa terhadap dimensi spiritual maka ia akan mengalami
keguncangan batin atau permasalahan psikologis (Zakiah
Darajat, 1985).
Menanggapi statement di atas, Djamaluddin Ancok dan
Fuad Nashori sebagaimana yang ia kutip dari Henry A. Murray
berpendapat bahwa banyak manusia modern yang mengalami
permasalahan psikologis disebabkan oleh karena
ketidakmampuan manusia modern untuk memenuhi kebutuhan
untuk berafiliasi. Kebutuhan untuk berafiliasi ini berkaitan
dengan kebutuhan manusia untuk bersosialisasi, berinteraksi dan
juga mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Ketika mereka
tidak diakui, tidak dihargai serta tidak dianggap oleh
komunitasnya maka ia akan merasa insecure dan terisolasi. Selain
kebutuhan untuk berafiliasi, manusia modern juga membutuhkan
kebebasan atau kemandirian (otonomi) dalam menentukan
hidupnya. Banyak manusia modern yang merasa terkekang
hidupnya karena banyaknya aturan sehingga ia tidak dapat
mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaanya. Ia
tidak mampu menjadi dirinya sendiri sehingga ia merasa hidup ini
seolah-olah menjalankan kegiatan yang memang sudah di setting
oleh aturan-aturan. Ketika mereka tidak mampu mengikuti
aturan dan tidak mampu memuaskan apa yang diinginkan oleh
banyak orang maka mereka akan merasa kecewa dan gelisah.
Adapun kebutuhan lain yang juga penting untuk dipenuhi yaitu
kebutuhan berprestasi. Kebutuhan prestasi ini menjadi penting
untuk dipenuhi karena dengan berprestasi maka seseorang akan
merasa percaya diri, penuh harapan dan selalu bersemangat
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Namun demikian, ketika
kebutuhan ini tidak terpenuhi maka biasanya seseorang akan
mengalami frustrasi dan hopeless terhadap kehidupan (Djamaludin
Ancok dan Fuad Nashori Suroso, 2011).

176 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Eni Zulaiha yang
mengatakan bahwa dewasa ini banyak manusia modern yang
merasakan kegelisahan, kehampaan dan gangguan psikologis
lainnya disebabkan oleh karena jauhnya seseorang dari Tuhan
sehingga menyebabkan ia mengalami krisis spiritual. Krisis
spiritual inilah yang kemudian menjadi akar permasalahan
banyaknya manusia modern yang mengalami berbagai macam
gangguan psikologis (Eni Zulaiha, 2018, pp. 94–103).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami
permaslahan psikologis. Adapun menurut Frederick H. Kanfer
dan Arnold P. Goldstein yang sebagaimana yang dikutip oleh
Djamulddin Ancok dan Fuad Nashori, ciri-ciri orang yang
mengalami permasalahan psikologis di antaranya yaitu: pertama,
seseorang akan selalui diliputi perasaan cemas (anxiety) dan tegang
(tension). Kedua, merasa diri tidak berdaya sehingga hilang rasa
percaya diri. Ketiga, terlalu larut dalam permasalahan sehingga
lupa untuk memperbaiki diri. Keempat, ketidakmampuan dirinya
dalam menghadapi segala permasalahan hidup dan persaingan
yang semakin ketat(Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori
Suroso, 2011).
Sementara itu, menurut Zakiah Darajat ciri-ciri orang yang
mengalami permasalahan psikologis di antaranya yaitu ia akan
merasa cemas, iri hati, sedih, rendah diri, pemarah, ragu dan
bimbang. Rasa cemas dan gelisah yang dialami seseorang
biasanya terjadi ketika pikiran dan emosinya tidak seimbang.
Orang akan merasa cemas ketika terlalu berpikir negatif terhadap
hidupnya. Ia khawatir jika di masa depan ia tidak akan sukses, ia
khawatir jika di masa tuanya tidak ada orang yang menyayanginya
dan seterusnya. Kecemasan dan kekhawatirannya ini diciptakan
oleh dirinya sendiri karena ia terlalu berlebih-lebihan dalam
berpikir pada hal-hal yang belum tentu terjadi sehingga emosinya
tidak stabil. Jika seseorang memiliki pikiran yang jernih dan juga
emosinya stabil maka ia akan terhindari dari rasa cemas ini.

Meta Malihatul Maslahat | 177

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Selain rasa cemas, manusia modern juga banyak yang
mengalami rasa iri hati terhadap orang lain. Rasa iri hati ini
biasanya timbul disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam
mencapai cita-cita sehingga hidupnya menjadi tidak bahagia.
Orang akan merasa iri hati ketika ada orang yang lebih bahagia
dari dirinya, lebih sukses dari dirinya dan juga lebih berprestasi
dari dirinya. Tidak dapat kita pungkiri, bahwa di masa modern ini
persaingan hidup semakin ketat. Oleh sebab adanya persaingan
ketat inilah banyak manusia modern yang terjebak pada perasaan
iri hati ketika ia tidak mampu bersaing dengan orang lain.
Permasalahan psikologis lainnya yang juga sering melanda
manusia modern yaitu perasaan sedih dan merasa rendah diri.
Banyak manusia modern yang diliputi rasa sedih dikarenakan
banyaknya ujian hidup yang tidak dapat diselesaikannya. Ujian
yang sejatinya dapat dijadikan sebagai ajang untuk memperbaiki
diri, tapi karena ketidakmampuannya dalam menyelesaikan
masalah hidupnya maka ia akan berlarut-larut dalam kesedihan.
Ia merasa sedih karena tidak ada yang dapat membantu dan
peduli terhadapnya, bahkan tidak jarang banyak juga yang
menyalahkan Tuhan karena Tuhan dianggap telah
meninggalkannya dalam kesendirian. Perasaan sedih yang
berlarut ini menyebabkan permasalahan psikologis yang baru
yaitu merasa rendah diri atau insecure. Orang banyak mengalami
rasa rendah diri disebabkan oleh karena ia merasa sudah tidak ada
yang peduli terhadap dirinya sehingga akhirnya ia memilih untuk
pasrah terhadap nasib yang menimpa dirinya tanpa mau
berikhtiar untuk memperbaiki situasi dan kondisi hidupnya.
Menurut Zakiah, orang-orang yang merasa rendah diri ini,
ternyata lebih sensitif dan tersinggung sehingga ketika ada hal-hal
yang menyakiti perasaannya ia akan mudah marah. Rasa marah
pada dasarnya adalah ungkapan dari emosi negatif yang
disebabkan oleh banyaknya kekecewaan, ketidakpuasan dan
ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. (Darajat, 2016)

178 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Berdasarkan uraian di atas, Zakiah Darajat menanggapi
bahwa permasalahan psikologis yang terjadi pada seseorang
harus segera ditemukan solusinya. Hal ini dikarenakan jika
permasalahan tersebut tidak diselesaikan dan tidak diberikan
solusinya maka permasalahan tersebut akan berakibat semakin
fatal misalnya orang tidak mau bersosialisasi dan cenderung
murung, mereka akan sakit fisik (psikosomatis) dan bahkan yang
lebih fatal mereka akan jauh dengan Tuhan dan meninggalkan
agama (Zakiah Darajat, 2016, pp. 10–66). Oleh karena itu, untuk
membantu para manusia modern keluar dari gangguan psikologis
maka diperlukan upaya untuk menguatkan kembali aspek visi
metafisisnya. Adapun ajaran di dalam Islam yang mampu
mengantarkan seseorang untuk menemukan kembali visi
metafisis dalam hidupnya sehingga menemukan ketenangan jiwa
yaitu melalui jalan tasawuf (Nasaruddin Umar, 2014, pp. v–vii).
Menurut Mukhtar Solihin dan M. A. Munir (Mukhtar
Solihin dan M.A. Munir, 2017, pp. 2584–2591), Hoerul Umam
dan Iyad Suryadi (Hoerul Umam dan Iyad Suryadi, 2019, pp. 34–
39) serta Robert Frager (Robert Frager, 1999, pp. 1–19)
berargumen bahwa ajaran tasawuf dapat dijadikan sebagai media
untuk membantu seseorang keluar dari permasalahan psikologis,
mentransformasikan nafs, menemukan ketenangan jiwa serta
mengantarkan seseorang untuk sampai kepada Allah. Melalui
pengamalan ajaran tasawuf maka seseorang akan diantarkan pada
pemahaman bahwa permasalahan psikologis yang dialami selama
ini disebabkan oleh kelalaian dirinya dalam merawat
keseimbangan dimensi fisik dan batin. Melalui ajaran tasawuf
seseorang juga akan disadarkan pada tujuan hidupnya yang hakiki
yaitu kembali kepada Allah dengan kondisi jiwa yang tenang (nafs
muthmainnah).
Beberapa penelitian terakhir sebagaimana yang ditulis oleh
Moh. Saifullah menyebutkan bahwa melalui ajaran tasawuf maka
aspek moral dan spiritual manusia modern akan menjadi baik.
Mereka akan tetap mampu mengendalikan diri ketika diuji,
mampu mengembangkan potensi ketika ada kesempatan dan

Meta Malihatul Maslahat | 179

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mampu menjadi pribadi yang selalu menebarkan cinta kasih pada
semua makhluk ciptaan Allah (Saefulloh, 2014, pp. 207–216). Hal
ini sebagaimana yang disampaikan juga oleh Ali Imron bahwa
tasawuf merupakan salah satu disiplin ilmu dalam khazanah
keilmuan Islam yang fokus pada dimensi spiritual untuk
menyeimbangkan aspek jasmani dan rohani manusia digunakan
untuk mengatasi berbagai problematika psikologis. Melalui ajaran
tasawuf, manusia modern diingatkan kembali bahwa hakikat
manusia bukan hanya sebagai makhluk fisik, tetapi juga makhluk
spiritual. Aspek spiritual inilah yang seringkali diabaikan manusia
modern sehingga merasakan ketidakbermakaan dan kekosongan
hidup (Imron, 2018, pp. 23–35). Mengingat pentingnya ajaran
tasawuf, maka dari itu penulis tertarik untuk megkaji lebih
mendalam terkait peranan tasawuf dalam menyelesaikan
permasalahan psikologis manusia modern sehingga pada
akhirnya mereka akan menemukan ketenangan jiwa dan
kebahagiaan yang sejati.

DISKURSUS MENGENAI KETENANGAN JIWA
DALAM PERSPEKTIF TASAWUF
Ketenangan jiwa diartikan sebagai suasana jiwa yang
sedang dalam kondisi seimbang. Orang yang tenang jiwanya
maka ia akan terhindar dari segala macam keresahan jiwa seperti
gelisah, cemas, was-was dan lain sebagainya (Burhanuddin, 2020,
pp. 15–25). Di dalam tradisi tasawuf, terminologi ketenangan
jiwa pada dasarnya memiliki similarisasi dengan terminologi nafs
mutma’innah . Terminologi nafs mutma’innah ini telah banyak dikaji
oleh para sufi klasik seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Qayyim al-
Jawziyyah. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-
Din berargumen bahwa nafs mutma’innah merupakan nafs tertinggi
yang dicapai oleh para salik setelah melalui proses perjuangan
(mujahadah) dan latihan (riyadah). Orang-orang yang batinnya
sudah tenteram inilah yang kemudian akan kembali kepada

180 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Tuhannya dengan kondisi jiwa yang damai dan diridoi (Al-
Ghazali, 2005, pp. 876–878).
Pernyataan di atas, sesuai pula dengan dengan firman
Allah dalam Qur’an surat al-Fajr (89) ayat 27-30, yang berbunyi:

يِف يِلُخۡدٱَف ٗةَّيِضۡرَّم ٗةَيِضاَر ِكِ بَر ٰىَلِإ
َٰٓ
يِعِجۡرٱ ُةَّنِئَم
ۡ
طُم
ۡ
لٱ ُسۡفَّنلٱ اَهُتَّيَأ
ََٰٰٓي
يِتَّنَج يِلُخۡدٱَو يِدَٰبِع
Artinya: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”.
Berdasarkan ayat di atas, Ibn Qayyim al-Jawziyyah
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Habib Fathuddin
and Fachrur Razi Amir juga menjelaskan bahwa nafs mutami’nnah
adalah kondisi jiwa yang sudah tenang, bahagia, dan sejahtera.
Makna ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang
disampaikan oleh Ibn Qayyim ini esensinya mengacu pada satu
kondisi jiwa yaitu kondisi jiwa yang telah dirahmati oleh Tuhan.
Kondisi jiwa yang telah dirahmati ini senantiasa akan
mencerminkan perilaku positif baik terhadap diri, manusia, alam,
bahkan Tuhannya (Ibnu Qayyim al Jauziyah, 1992, pp. 613–622).
Adapun perilaku positif tersebut di antaranya yaitu: hilangnya
kegundahan, kekhawatiran dan keguncangan; Mencintai Allah
dan Rasul-Nya melebihi apapun; Mengikhlaskan penghambaan,
ibadah, dan segala perbuatan hanya kepada Allah; Pasrah dan
ridha pada-Nya; Baik dalam perilaku dan tutur katanya; Mencinta
makhluk Allah atas izin-Nya; Tawakal, Inabah (kembali) kepada
Allah; Merendahkan diri; Khasyyah (takut); dan Raja'
(pengharapan) (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 2003, p. 7).
Menurut Ibn Qayyim sebagaimana yang dikutip oleh
Muhammad Habib Fathuddin and Fachrur Razi Amir
berargumen bahwa untuk dapat dekat dengan Tuhan dan
mencapai kondisi jiwa yang tenang, ada beberapa jalan yang harus

Meta Malihatul Maslahat | 181

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dilewati (etape), diantaranya yaitu: Pertama, Yaqzah, diartikan
sebagai kesadaran. Kesadaran di sini merupakan pintu utama
untuk membuka kedekatan dengan Tuhan, karena dengan
kesadaran maka seseorang mampu mengukur kualitas dirinya;
Kedua, Al-‘Azm, yaitu tekad yang kuat untuk memperbaiki diri
dan siap melakukan perjalanan panjang (suluk) menuju Tuhan
sehingga jiwa mejadi tenang; Ketiga, Al-Fikrah, yaitu pandangan
hati yang hanya tertuju pada Tuhan sehingga ia merasa bahwa
Tuhan selalu berada dengannya; Keempat, Al-Basirah, yaitu cahaya
di dalam hati untuk melihat kebenaran dan makna sesungguhnya
tentang kehidupan di dunia dan kehidupan setelahnya
(Muhammad Habib Fathuddin and Fachrur Razi Amir, 2016, pp.
63–64).
Dalam kitab Ighashat al-Lahfan min Masayid al-Shaitan, Ibn
Qayyim juga menyampaikan bahwa ada metode lain yang dapat
mengantarkan seseorang pada kondisi jiwa yang tenang, di
antaranya yaitu melalui jalan spiritual atau yang disebut dengan
maqamat dalam tradisi tasawuf. Jalan spiritual yang harus dilalui
oleh para salik tersebut, di antaranya yaitu: Pertama, tawbat yaitu
kembali dan menetapkan hati kepada Allah. Maksudnya yaitu
menetapkan hatinya untuk menaati segala titah dan menjauhi
larangan-Nya; Kedua, muhasabah yaitu mengkaji ulang segala
perbuatan yang akan atau telah dilakukannya. Apakah perbuatan
tersebut mamberi kebermanfaatan bagi orang lain dan mendapat
rida dari Tuhan atau sebaliknya. Jika perbuatan tersebut
mendatangkan kebaikan maka ia akan melanjutkannya, akan
tetapi jika perbuatan tersebut mendatangkan keburukan maka ia
akan meninggalkannya; Ketiga, riyadah dan mujahadah yaitu melatih
dan mendisiplinkan diri yang disertai dengan kesungguhan hati
untuk terus melakukan perbuatan baik dan berinvestasi amal.
Latihan dan kesungguhan mendisiplinkan diri akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan akan menciptakan kepribadian tangguh,
dan dari kepribadian ini maka nasib seseorang akan ditentukan;
Keempat, muraqabah yaitu kedekatan hati dengan Tuhan yang
dilalui dengan melakukan amalan-amalan lahir dan batin (Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, 2003, pp. 53–78).

182 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Sementara itu, menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana
yang dikutip oleh Muhammad Utsman Najati menjelaskan bahwa
ciri-ciri orang yang telah sampai pada kondisi jiwa yang tenang
maka akhlaknya akan menjadi baik. Parameter akhlak yang baik
sendiri terbagi menjadi empat, di antaranya yaitu kebijaksanaan
(al-hikmah), keberanian (al-shaja’ah), penjagaan diri (al-‘iffah), dan
keadilan (al-‘adl) (Muhammad Utsman Najati, 2002, p. 242) .
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan
al-Ghazali orang yang tenang jiwanya akan selalu mencerminkan
perilaku yang baik seperti bijaksana, berani, adil, dan mampu
menjaga kehormatan diri.
Sejalan dengan pemikiran Ibn Qayyim dan Imam al-
Ghazali, Javad Nurbakhsy dalam buku Psychology of Sufism juga
menjelaskan hal yang sama bahwa terminologi ketenangan jiwa
memiliki similarisasi dengan terminologi nafs mutma’innah.
Menurut Nurbakhsy, karakteristik nafs mutma’innah yaitu: realisasi
diri, pengabdian, keyakinan, sabar, jujur, ridha, open minded
(berpengetahuan luas), mandiri dan adil (Javad Nurbakhsy, 2008,
pp. 73–115). Pendapat Nurbakhsy ini diperkuat pula oleh
pendapat Sachiko Murata yang mengungkapkan bahwa orang
yang telah tenteram batinnya maka ia akan mencapai tingkat
kepasrahan, ketundukan, dan penyerahan diri secara total
terhadap Tuhannya. Menurut Murata, orang yang telah
menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan maka ia telah
bertawhid dengan baik dan memahami makna hidup yang hakiki.
Dengan demikian, maka orang yang tenang jiwanya maka ia tidak
akan mudah dihinggapi permasalahan psikologis (Sachiko
Murata, 2000, pp. 327–372).
Adapun beberapa faktor yang dapat memengaruhi
ketenangan jiwa di antaranya yaitu, faktor internal dan eksternal.
Menurut Zakiah Darajat sebagaimana yang dikutip oleh
Burhanuddin, faktor internal yang memengaruhi kondisi
ketenangan jiwa seseorang di antaranya yaitu faktor keimanan
dan ketaqwaan seseorang terhadap Allah. Faktor ini sangat
menentukan dalam meraih ketenangan jiwa, karena ketika

Meta Malihatul Maslahat | 183

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
seseorang mempercayai bahwa Allah yang mengatur
kehidupannya dan juga yang memberikan jalan keluar atas segala
problematika hidup yang dialaminya maka ia akan selalu berpikir
positif terhadap segala ujian hidup. Selain itu, faktor eksternal
yang juga mempengaruhi ketenangan jiwa seseorang di antaranya
yaitu faktor lingkungan atau sosial, pendidikan, ekonomi dan
lainnya. Faktor-faktor yang berada di luar dirinya juga
memengaruhi kondisi ketenangan jiwa seseorang, karena jika
lingkungannya tidak tenang atau tidak aman maka hal itu akan
berdampak juga pada ketidaktenangan jiwa seseorang. Namun
demikian, pada dasarnya faktor utama yang menentukan
ketenangan jiwa yaitu faktor internal atau faktor yang berasal dari
diri sendiri karena jika seseorang memiliki batin yang kuat atau
tingkat spiritualitas yang tinggi maka ia akan tetap tenang jiwanya
dan tidak mudah tergoyahkan oleh ujian hidup apapun yang
menimpa dirinya (Burhanuddin, 2020, pp. 15–25).

TASAWUF SEBAGAI SOLUSI BAGI MANUSIA
MODERN YANG MENDAMBAKAN KETENANGAN
JIWA
Tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu yang
menekankan pada dimensi spiritual dalam Islam yang
mengajarkan tentang metode dan jalan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan (Harun Nasution, 2014, p. 43). Dimensi spiritual
dalam Islam ini dapat mengambil berbagai bentuk di dalamnya.
Misalnya, dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih
menitikberatkan pada pengkajian aspek ruhani dari pada aspek
jasad. Dalam kaitannya dengan kehidupan, tasawuf lebih
menitikberatkan pada kehidupan yang bernuansa ukhrowi
(eskatologi) dari pada kehidupan duniawi. Sedangkan dalam
kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf lebih
menitikberatkan pada pemahaman esoterik (batini) dari pada
pemahaman eksoterik (lahiriah) (Mulyadhi Kartanegara, 2006b,
p. 2). Dalam bahasa Arab, spiritual sering dipadankan dengan

184 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kata ruhaniyyat atau ma’nawiyat. Ruhaniyyat berasal dari kata ruh, dan
ma’nawiyat berasal dari kata ma’na yang berarti esensi. Kedua kata
ini memiliki arti yang berbeda dengan segala sesuatu yang bersifat
lahiriah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dimensi
spiritual dalam Islam (tasawuf) yaitu segala hal yang mencakup
pengertian, pengalaman, pendalaman, dan penghayatan yang
lebih menekankan pada aspek batiniah dari ajaran Islam (Shihab,
2004, p. 234).
Di kalangan orientalis Barat, tasawuf sering diidentikkan
dengan kata Islamic Mysticism. Dalam bahasa Yunani, mysticism
berasal dari kata myen yang berarti ‘menutup mata’, yang juga
menjadi asal kata mystery, dan kemudian terbentuklah kata
mysticism. Makna dari kata mysticism sendiri yaitu cinta kepada
Yang Maha Absolut, Kebenaran, Realitas Tunggal atau Tuhan.
Makna tersebut biasa dikenal juga sebagai upaya seseorang untuk
menyingkap “the mystery of the Kingdom of Heaven (rahasia-rahasia
kerajaan langit)”. Dalam tradisi Islam, kata mystic tidak lazim
dipakai, karena menerjemahkan tasawuf dengan kata mysticism
tidaklah tepat, yang lebih tepat adalah dengan kata sufism. Adapun
definisi sufism atau tasawuf menurut tokoh sufi terdahulu seperti
Dzu Nun al-Misri (wafat tahun 245 H) dan Abu Nasr Attusi al-
Sarraj (wafat 378 H/ 988 M) mengatakan bahwa bertasawuf yaitu
kita selalu mengutamakan Tuhan di atas segalanya, sebagaimana
Tuhan mengutamakan kita (Shihab, 2004, pp. 204–205).
Sementara itu, menurut Imam Junayd al-Baghdadi dan Amru ibn
Utsman al-Makki sebagaimana yang dikutip oleh Nursamad
Kamba menjelaskan bahwa tasawuf yaitu jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mentransformasikan
diri ke level tertinggi dan terus membebaskan diri dari egosentris
dan keinginan-keinginan duniawi (Muhammad Nursamad
Kamba, 2020, pp. 48–49).
Perbedaan para sufi dalam mendefinisikan tasawuf
merupakan sebuah keniscayaan, hal ini karena dalam
perjalanannya tasawuf telah mengalami fluktuasi sehingga
berakibat pada meluasnya spektrum pengertian dan interpretasi

Meta Malihatul Maslahat | 185

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
yang diberikan para praktisi dan ahli tasawuf sepanjang masa.
Pendefinisian dan penginterpretasian terhadap tasawuf yang
begitu luas pada akhirnya juga membawa dampak terhadap para
pemikir tasawuf kontemporer untuk mengembangkan ajaran
tasawuf. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nurshamad
Kamba yang mengatakan bahwa tasawuf tidak hanya sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah saja, namun juga
dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih baik.
Selain itu, ajaran tasawuf juga dapat dijadikan terapi atau
pengobatan bagi manusia modern yang mengalami berbagai
macam gangguan psikologis (Muhammad Nursamad Kamba,
2020, pp. 2–78). Oleh karena itu, tidak heran jika Mustamir
Pedak -salah satu terapis di Indonesia- mengatakan bahwa
tasawuf dapat dijadikan sebagai terapi holistik dalam menangani
permasalahan hidup yang dialami manusia modern (Mustamir
Pedak, 2021, pp. 1–97).
Statement di atas dikuatkan juga oleh pendapat Mukhtar
Solihin dan M. A. Munir (Mukhtar Solihin dan M.A. Munir, 2017,
pp. 2584–2591), Hoerul Umam dan Iyad Suryadi (Hoerul Umam
dan Iyad Suryadi, 2019, pp. 34–39) yang mengatakan bahwa
tasawuf dapat dijadikan sebagai obat atau terapi untuk
menyembuhkan penyakit jiwa seseorang karena di dalam ajaran
tasawuf mengandung ajaran Islam yang mengajak manusia untuk
kembali kepada Allah. Ajaran tasawuf juga memiliki peranan
penting dalam membantu seseorang agar memiliki fisik, psikis
dan spiritual yang sehat karena di dalam ajaran tasawuf manusia
diajak untuk kembali kepada fitrahnya yang sejati.
Sebelum pendapat para peneliti mutakhir mengemuka,
para sufi terdahulu seperti Imam Junayd al-Baghdadi juga telah
lama berargumen bahwa tasawuf adalah satu jalan yang mampu
mengantarkan seseorang untuk selalu dekat dengan Allah. Orang
yang dekat dengan Allah inilah yang kemudian akan merasakan
kedamaian dan ketenangan jiwa. Adapun cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah yaitu degan selalu berupaya untuk
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-

186 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Nya. Selain Imam Junayd al-Baghdadi, Zakaria al-Anshrai juga
menyatakan bahwa tasawuf merupakan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Melalui pengamalan ajaran tasawuf maka
seseorang akan merasakan kebahagiaan yang sejati yaitu
kebahagiaan karena selalu terberkati dan terrahmati oleh Allah
dimanapun dan kapanpun ia berada (Nasaruddin Umar, 2014, p.
vi). Hal ini sejalan juga dengan hadits Nabi yang berbunyi:
ْ نَم ىَداَع يِل اًّيِلَو ْ دَقَف ُْهُت نَذآ ِْب رَح لاِب اَمَو َْبَّرَقَت َّْيَلِإ يِد بَع ْ ء يَشِب
َّْبَحَأ َّْيَلِإ اَّمِم ُْت ضَرَت فا ِْه يَلَع اَمَو ُْلاَزَي يِد بَع ُْبَّرَقَتَي َّْيَلِإ ِْلِفاَوَّنلاِب
ىَّتَح ُْهَّبِح
ُ
أ اَذِإَف ُْهُت بَب حَأ ُْت نُك ُْهَع مَس يِذَّلا ُْعَم سَي ِْهِب ُْهَرَصَبَو يِذَّلا
ُْرِص بُي ِْهِب ُْهَدَيَو يِتَّلا ُْشِط بَي اَهِب ُْهَل جِرَو يِتَّلا يِش مَي اَهِب ْ نِإَو يِنَلَأَس
ُْهَّنَيِط ع
َُلَ ْ نِئَلَو ْيِنَذاَعَت سا ُْهَّنَذيِع
َُلَ
Artinya: "Siapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah
menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan
diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang
telah Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa seorang hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang
ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk
berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika
ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia
memohon perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya” (HR.
Al-Bukhari).
Selain uraian di atas, Robert Frager berargumen bahwa inti
dari tujuan bertasawuf yaitu untuk mentransformasikan jiwa agar
lebih baik sehingga ia akan sampai kepada Allah dengan jiwa yang
damai dan tenang. Orang yang sudah dalam kondisi jiwa yang
tenang inilah yang kemudian akan selalu ridha atau senang
terhadap segala takdir yang sudah Allah berikan (Robert Frager,
1999, pp. 1–19).
Selain itu, dalam tradisi tasawuf, para sufi biasanya
melakukan zikir dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Meta Malihatul Maslahat | 187

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Kalangan sufi meyakini bahwa dengan berzikir maka kondisi jiwa
akan tenang dan damai. Ketika kondisi jiwa seseorang sudah
tenang atau damai maka ia akan menjadi insan yang mulia yang
selalu menebarkan kebajikan dan kesejahteraan bagi alam
semesta. Sementara, bagi orang yang kondisi jiwanya tidak tenang
atau tidak damai maka kehidupan yang ia jalani akan terasa sempit
dan selalu mengeluh atas semua takdir yang menimpa dirinya.
Oleh karena itu, dalam tradisi tasawuf dzikir memiliki peran
dalam meningkatkan ketenangan jiwa seseorang (Ade Sucipto,
2020, pp. 58–67).
Selain dengan mengingat Allah, dalam ajaran tasawuf
Imam al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin
Rakhmat juga menyampaikan beberapa tahapan untuk meraih
ketenangan jiwa, diantaranya yaitu: Pertama, melalui takhalli yaitu
tahap upaya penyucian diri; Kedua, melalui tahalli yaitu tahap
upaya pembiasaan diri dengan melakukan hal yang baik; Ketiga
yaitu tajalli atau tersingkapnya asma dan sifat Tuhan dalam diri
manusia (Jalaluddin Rakhmat, 2000, pp. 221–224). Pendapat
tersebut diperkuat pula oleh Said Aqil Siroj yang mengatakan
bahwa agar seseorang kembali meraih jiwa yang tenang maka
diperlukan upaya takhalli dan tahalli. Takhalli merupakan upaya
pembersihan jiwa dari sifat-sifat basyariyah seperti nafsu tirani.
Dalam proses takhalli seseorang akan memasuki maqam taubat,
wara’, dan zuhud. Upaya ini menyentuh aspek lahiriah dan
jasmani kemanusiaan. Adapun Tahalli merupakan upaya
menghiasi diri dengan sifat-sifat insaniyah. Dalam proses tahalli
seorang sufi akan memasuki maqam faqr, shabr, tawakkal, rida atau
syukur. Upaya ini menyentuh aspek spiritual dan ruhani
kemanusiaan (Said Aqil Siroj, 2006, p. 93).
Di samping melakukan proses takhalli dan tahalli, Imam al-
Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution (Harun
Nasution, 2014, pp. 48–49) dan Mulyadhi Kartanegara (Mulyadhi
Kartanegara, 2006a, pp. 196–202) juga menjelaskan bahwa untuk
sampai pada kondisi ketenangan jiwa maka seseorang dapat
melakukan tahapan spiritual (maqamat), di antaranya yaitu: tawbat,

188 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, ma‘rifat, kerelaan (rida).
Statement ini diperkuat pula oleh pendapat Muhammad Nursamad
Kamba yang mengatakan bahwa untuk mencapai kesucian jiwa,
maka hal pertama yang harus dilakukan yaitu dengan
membebaskan diri dari egosentrisme atau meniadakan sifat-sifat
buruk dalam jiwa dan menggantinya dengan akhlak yang baik dan
budi pekerti yang luhur, yang akhirnya berkembang menjadi rasa
ketiadaan diri (takhalli). Dengan adanya rasa ketiadaan diri inilah
maka seseorang akan mencapai jiwa yang tenang karena dia
merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya,
semuanya sudah diatur oleh Allah SWT (Muhammad Nursamad
Kamba, 2020, pp. 36–49).

KESIMPULAN
Tasawuf merupakan salah satu ajaran Islam yang mampu
mengantarkan seseorang untuk kembali menemukan visi
metafisis dalam hidupnya. Visi metafisis dalam kehidupan yang
harus dipegang erat oleh manusia modern supaya selalu
mendapatkan ketenangan jiwa yaitu dengan cara meyakini bahwa
Allah itu ada dan selalu membersamainya, meyakini bahwa setiap
amal perbuatan pasti akan ada balasannya dan meyakini bahwa
kelak di akhirat segala amalan tersebut akan dimintai tanggung
jawabnya. Dengan adanya penguatan visi metafisis ini maka
manusia modern akan terhindar dari segala gangguan psikologis
seperti kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, kegelisahan,
ketidakbermaknaan dan juga krisis spiritual. Oleh karena itu,
tasawuf mampu dijadikan sebagai solusi bagi manusia modern
untuk keluar dari segala permasalahan psikologisnya. Selain itu,
tasawuf juga mampu mengantarkan seseorang untuk
menemukan ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang sejati yaitu
kebahagiaan yang membawanya menjadi pribadi yang dekat
dengan Tuhannya dan selalu menebarkan kebajikan serta cinta
kasih terhadap alam semesta.

Meta Malihatul Maslahat | 189

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
DAFTAR PUSTAKA
Ade Sucipto. (2020). Dzikir as a Therapy in Sufistic Counseling.
Journal of Advanced Guidance and Counseling, 1(1), 58–67.
Al-Ghazali, I. (2005). Ihya ‘Ulum al-Din. Dar Ibn Hazam.
Amin Syukur. (2004). Zuhud di Abad Modern. Pustaka Pelajar.
Burhanuddin. (2020). Zikir dan Ketenangan Jiwa (Solusi Islam
Mengatasi Kegelisahan dan Kegalauan Jiwa). Jurnal Media
Intelektual Muslim Dan Bimbingan Rohani : Institut Agama
Islam Muhammadiyah Sinjai, 6(1), 19–20.
Darajat, Z. (2016). Kesehatan Mental. PT. Gunung Agung.
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso. (2011). Psikologi
Islami: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Pustaka
Pelajar.
Eni Zulaiha. (2018). Spiritualitas Taubat dan Nestapa Manusia
Modern. Syifa Al-Qulub, 2(2), 94–103.
Harun Nasution. (2014). Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. PT
Bulan Bintang.
Hoerul Umam dan Iyad Suryadi. (2019). Sufism as a Therapy in
the Modern Life. International Journal of Nusantara Islam,
07(01), 34–39.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2003). Ighatsah Al-Lahfan Min Mashayid
Al-Syaithan. Dar el-Fikr.
Ibnu Qayyim al Jauziyah. (1992). Kitab Al Ruh. Dar al Taqwa.
Imron, A. (2018). Tasawuf dan Problem Psikologi Modern. Jurnal
Pemikiran Keislaman, 29(1), 23 –35.
https://doi.org/10.33367/tribakti.v29i1.561
Jalaluddin Rakhmat. (2000). “Menuju Kesehatan Jiwa” dalam
Sukardi, Kuliah-Kuliah Tasawuf. Pustaka Hidayah.

190 | Meta Malihatul Maslahat

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Javad Nurbakhsy. (2008). Psychology of Sufism (Del wa Nafs),
terjemahan Arief Rakhmat, Psikologi Sufi. Pyramedia.
Komaruddin Hidayat. (2012). Psikologi Kematian: Mengubah
Ketakutan Menjadi Optimisme. Noura Books.
Muhammad Habib Fathuddin and Fachrur Razi Amir. (2016).
Konsep Tazkiyatun Nafs Menurut Ibnu Qoyyim Al
Jauziyah Dalam Kitab Madarijus Shalikin Serta
Implikasinya Terhadap Pendidikan. Ta’dibi, 5(2), 117–127.
Muhammad Nursamad Kamba. (2020). Mencintai Allah secara
Merdeka: Buku Saku Tasawuf Praktis Pejalan Maiyah. Penerbit
IIMAN.
Muhammad Utsman Najati. (2002). Jiwa dalam Pandangan Para
Filosof Muslim. Pustaka Hidayah.
Mukhtar Solihin dan M.A. Munir. (2017). The Concept of Sufi
Psychotherapy. Journal of Engineering and Applied Science,
12(10), 2584–2591.
Mulyadhi Kartanegara. (2006a). Menyelami Lubuk Tasawuf.
Erlangga.
Mulyadhi Kartanegara. (2006b). Menyelami Lubuk Tasawwuf.
Erlangga.
Mustamir Pedak. (2021). Sufi Healing in Action: cara Menggunakan
Sufi Healing dalam Proses Penyembuhan. Literasi Nusantara.
Nasaruddin Umar. (2014). Tasawuf Modern: Jalan Mengenal dan
Mendekatkan Diri Kepada Allah. Republika.
Robert Frager. (1999). Heart, Self, and Soul: The Sufi Psychology of
Growth, Balance, and Harmony. Quest Books Theosophical
Publishing House.
Sachiko Murata. (2000). The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang
Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Mizan Media
Utama.

Meta Malihatul Maslahat | 191

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Saefulloh, M. (2014). Tasawuf sebagai Solusi Alternatif dalam
Problematika Modernitas. ISLAMICA: Jurnal Studi
Keislaman, 2(2), 207.
https://doi.org/10.15642/islamica.2008.2.2.207-216
Said Aqil Siroj. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. PT Mizan Pustaka.
Seyyed Hossein Nasr. (2000). Tasauf Dulu dan Sekarang,
diterjemahkan oleh Abdul Hadi. Pustaka Firdaus.
Shihab, A. (2004). Membedah Islam di Barat: Menepis Tudingan
Meluruskan Kesalahpahaman. Gramedia Pustaka Utama.
Yunasril Ali. (2012). “Problema Manusia Modern dan Solusinya
dalam Perpektif Tasawuf.” Jurnal Tasawuf, 1(2).
Zakiah Daradjat. (2016). Kesehatan Mental. PT. Gunung Agung.
Zakiah Darajat. (1985). Peran Agama dalam Kesehatan Mental. PT
Gunung Agung.
Zakiah Darajat. (2016). Kesehatan Mental. PT. Gunung Agung.

192 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


TASAWUF DAN SENI : EKSPRESI KREATIF
DALAM SPIRITUALITAS

Hasani Ahmad Said


PENDAHULUAN
Tasawuf, atau Sufisme, adalah cabang spiritual dalam Islam
yang menekankan pencarian kedekatan dengan Tuhan melalui
pengalaman mistik dan kontemplasi mendalam. Sebagai jalan
spiritual yang mendalam, tasawuf tidak hanya membentuk
praktik ibadah dan etika moral, tetapi juga mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan budaya, termasuk seni. Seni dalam
tradisi tasawuf muncul sebagai ekspresi kreatif dari pengalaman
spiritual dan refleksi mendalam atas cinta dan keagungan Tuhan.
Sejak awal sejarah tasawuf, seni telah memainkan peran
penting sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan
spiritual yang sulit diungkapkan dengan kata-kata biasa. Puisi
mistik, musik sufistik, dan seni visual merupakan beberapa
bentuk seni yang telah berkembang di bawah pengaruh ajaran
tasawuf. Misalnya, puisi Jalaluddin Rumi yang penuh dengan
simbolisme dan metafora, atau musik Qawwali yang
membangkitkan perasaan religius dan ekstasi spiritual, semuanya
adalah contoh bagaimana seni dapat menjadi saluran untuk
pengalaman spiritual.
Dalam konteks tasawuf, seni bukan sekadar bentuk
ekspresi estetika, tetapi juga merupakan cara untuk menyelami
pengalaman mistik yang lebih dalam. Melalui seni, para pengikut

Hasani Ahmad Said | 193

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tasawuf dapat mengungkapkan kekaguman mereka terhadap
Tuhan dan perjalanan spiritual mereka dengan cara yang
melampaui batas-batas bahasa dan rasionalitas. Seni menjadi
cerminan dari pengalaman batin yang suci dan medium untuk
berbagi wawasan spiritual dengan orang lain.
Namun, hubungan antara tasawuf dan seni tidak selalu
mulus dan diterima secara universal. Terdapat berbagai
pandangan mengenai apakah seni, khususnya bentuk-bentuk
tertentu, sesuai dengan prinsip-prinsip tasawuf. Beberapa aliran
dalam tasawuf mendukung penggunaan seni sebagai alat untuk
memperdalam pengalaman spiritual, sementara yang lain
mungkin memandangnya dengan skeptisisme, mempertanyakan
potensi penyimpangan dari tujuan spiritual yang murni.
Dalam pembahasan ini, kita akan mengeksplorasi
bagaimana seni dan tasawuf saling mempengaruhi dan
memperkaya satu sama lain. Kita akan membahas berbagai
bentuk seni yang berkembang dalam konteks tasawuf, serta
bagaimana ekspresi kreatif ini berfungsi sebagai cermin dari
pengalaman mistik dan perjalanan spiritual. Selain itu, kita juga
akan menelaah tantangan dan kontroversi yang muncul terkait
dengan integrasi seni dalam praktik tasawuf, serta bagaimana seni
dapat berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman individual
dan pemahaman kolektif dalam komunitas spiritual. Dengan
memahami hubungan ini, kita dapat lebih menghargai bagaimana
seni tidak hanya memperkaya pengalaman spiritual, tetapi juga
mencerminkan kekayaan dan kedalaman perjalanan batin dalam
tasawuf.

SENI PUISI DAN TASAWUF
Puisi dalam tradisi tasawuf adalah salah satu bentuk
ekspresi spiritual yang sangat penting. Para penyair sufi
menggunakan puisi untuk menyampaikan pengalaman mistik dan
ajaran spiritual mereka, mengungkapkan hubungan mereka

194 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dengan Tuhan melalui metafora dan simbolisme yang mendalam.
Puisi sufi tidak hanya berfungsi sebagai bentuk estetika, tetapi
juga sebagai alat untuk mencapai dan mengkomunikasikan
pengalaman spiritual yang intens dan kompleks (Dawam, 2008).
Dalam konteks ini, puisi menjadi jembatan antara pengalaman
batin dan pemahaman kolektif masyarakat sufi.
Berikut adalah penyair sufi yang mewarnai dalam dunia
tasawuf.
a) Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi yang sangat terkenal,
menggunakan puisi sebagai sarana untuk menyampaikan
ajaran spiritual dan pengalaman mistiknya. Karya-karyanya
seperti Masnavi dan Diwan-e Shams-e Tabrizi mengandung
metafora dan simbolisme yang mendalam tentang cinta
ilahi dan persatuan dengan Tuhan. Puisi Rumi sering kali
mengeksplorasi tema cinta mistik, kerinduan, dan
pencarian spiritual, menawarkan pandangan yang
mendalam tentang perjalanan batin dan pengalaman
transendental (Husain, 2010).
b) Hafiz
Hafiz, penyair sufi dari Persia, juga dikenal dengan puisi-
puisinya yang mendalam dan penuh dengan simbolisme.
Puisinya sering kali menggambarkan kebahagiaan,
kerinduan, dan cinta ilahi, mencerminkan kedekatannya
dengan Tuhan. Puisi Hafiz mengajak pembaca untuk
merenungkan hubungan mereka dengan Tuhan dan
menemukan kedamaian spiritual melalui refleksi dan
pengalaman mistik (Arif, 2015). Karya Hafiz memiliki
kekuatan untuk menyentuh hati dan jiwa pembaca,
menghubungkan mereka dengan pengalaman spiritual
yang lebih dalam.

Seni puisi sufi tidak hanya berdampak pada individu tetapi
juga berperan penting dalam komunitas sufi dan masyarakat
secara umum. Puisi sering kali digunakan dalam berbagai ritual,

Hasani Ahmad Said | 195

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ceramah, dan pertemuan spiritual sebagai cara untuk
menyebarluaskan ajaran tasawuf. Dengan menggabungkan unsur
estetika dan spiritual, puisi menjadi alat yang efektif untuk
membagikan pengalaman mistik dan pengetahuan spiritual
kepada masyarakat luas. Ini menunjukkan bagaimana puisi sufi
dapat menjembatani kesenjangan antara pengalaman individu
dan pemahaman kolektif dalam komunitas (Masyhuri, 2012).
Meskipun puisi sufi memiliki peranan yang signifikan, ada
beberapa kontroversi dan kritik terkait penggunaannya dalam
tradisi tasawuf. Beberapa pandangan konservatif mungkin
memandang puisi sebagai pengalihan dari tujuan spiritual yang
murni, menganggap bahwa penekanan pada estetika dan
kreativitas dapat mengarah pada kesombongan atau
penyimpangan dari praktik spiritual yang asli. Namun, banyak
praktisi tasawuf yang tetap melihat puisi sebagai alat yang sah dan
bermanfaat untuk menyampaikan dan mendalami pengalaman
spiritual, mencerminkan pandangan yang lebih inklusif mengenai
seni dalam konteks spiritual (Fauzi, 2018).

MUSIK SUFI DAN EKSPRESI SPRITUALITAS
Musik sufi, terutama dalam bentuk Qawwali dan tari sufi,
memainkan peran penting dalam ekspresi spiritual dalam tradisi
tasawuf. Musik ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk hiburan,
tetapi juga sebagai medium untuk mencapai pengalaman mistik
dan kedekatan dengan Tuhan. Melalui nyanyian, ritme, dan puisi,
musik sufi menciptakan suasana yang memungkinkan pendengar
untuk merasakan dan menyelami dimensi spiritual yang lebih
dalam (Amiruddin, 2015). Dalam tradisi sufi, musik dianggap
sebagai alat yang dapat membantu dalam proses pencapaian
kehadiran spiritual dan hubungan dengan Yang Ilahi. Berikut
menurut tokoh tentang music sufi dan ekspresi spritualitas
a) Jalaluddin Rumi, salah satu tokoh utama dalam tradisi sufi,
melihat musik sebagai sarana penting untuk mencapai

196 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kedekatan dengan Tuhan. Dalam karyanya, Rumi sering
menyebutkan bahwa musik dan nyanyian sufi, termasuk
bentuk-bentuk seperti Qawwali, memiliki kemampuan
untuk membawa jiwa ke dalam keadaan ekstase spiritual
dan mendekatkan individu kepada pengalaman mistik.
Menurut Rumi, musik sufi adalah manifestasi dari cinta
ilahi yang dapat menembus batas-batas rasional dan
menyentuh kedalaman hati manusia (Yusuf, 2016). Rumi
percaya bahwa melalui musik, individu dapat melampaui
dunia material dan memasuki dimensi spiritual yang lebih
tinggi.
b) Shah Waliullah al-Dihlawi, seorang ulama sufi terkemuka
dari India, juga memberikan pandangan yang signifikan
mengenai peran musik dalam praktik tasawuf. Menurut al-
Dihlawi, musik, terutama dalam bentuk Qawwali,
memainkan peran kunci dalam meningkatkan pengalaman
spiritual dan membantu dalam proses zikir (ingat Tuhan).
Ia berpendapat bahwa musik dapat menjadi alat yang
efektif dalam membangkitkan rasa kehadiran Tuhan dan
memfasilitasi kondisi meditasi yang mendalam (Fauzi,
2019). Namun, ia juga memperingatkan bahwa
penggunaan musik harus dilakukan dengan penuh
kesadaran dan tidak boleh mengalihkan fokus dari tujuan
spiritual yang lebih tinggi.
c) Fariduddin Attar, seorang penyair dan mistikus Persia,
memiliki pandangan mendalam tentang bagaimana musik
dapat mempengaruhi pengalaman spiritual. Attar, dalam
karyanya seperti Mantiqu’t-Tayr, menggambarkan musik
sebagai jalan untuk mencapai pengalaman mistik dan
kedekatan dengan Tuhan. Ia berpendapat bahwa musik
sufi, melalui lirik dan melodi yang harmonis, dapat
membantu jiwa manusia mencapai pencerahan dan
mendalami makna kehidupan spiritual (Mansur, 2017).
Attar melihat musik sebagai sarana untuk membawa jiwa
manusia lebih dekat kepada realitas ilahi.

Hasani Ahmad Said | 197

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
d) Abu Hamid al-Ghazali, seorang teolog dan filsuf sufi
terkenal, memiliki pandangan yang cukup kompleks
tentang peran musik dalam tasawuf. Dalam karyanya Ihya'
Ulum al-Din, al-Ghazali mengakui bahwa musik dapat
memainkan peran dalam mengangkat semangat spiritual
dan mendekatkan individu kepada Tuhan, tetapi ia juga
menekankan pentingnya keseimbangan dan niat yang tulus.
Al-Ghazali memperingatkan bahwa musik tidak boleh
menjadi distraksi dari tujuan utama praktik tasawuf, yaitu
pencapaian kedekatan dengan Tuhan dan penyucian jiwa
(Rahman, 2018). Musik, menurutnya, harus digunakan
dengan bijaksana dalam konteks spiritual.
e) Syekh Nazzam al-Maturidi, seorang ulama dan tokoh sufi,
melihat musik sebagai alat yang berguna untuk membantu
mengatasi kesulitan spiritual dan meningkatkan
pengalaman mistik. Dalam pandangannya, musik sufi
dapat memfasilitasi suasana batin yang mendukung
meditasi dan zikir, sehingga memungkinkan individu untuk
lebih fokus pada pengalaman spiritual mereka. Namun, al-
Maturidi juga mengingatkan bahwa musik harus selalu
digunakan dengan kesadaran akan konteks dan tujuan
spiritual yang lebih besar (Kamal, 2021). Musik harus
memperkuat, bukan mengalihkan, niat spiritual yang
sebenarnya.

Pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh sufi ini menunjukkan
bahwa musik, dalam tradisi tasawuf, memiliki peran yang
beragam dan kompleks. Musik sufi tidak hanya dianggap sebagai
alat ekspresi tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai dan
mendalami pengalaman spiritual. Meskipun terdapat variasi
dalam pandangan, kesemuanya menekankan pentingnya niat dan
konteks dalam penggunaan musik untuk tujuan spiritual.
1) Qawwali: Musik Spiritual dari Subkontinen India
Qawwali adalah bentuk musik religius yang berkembang di
subkontinen India, yang memainkan peran penting dalam praktik

198 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
spiritual sufi. Musik ini menggabungkan nyanyian, puisi, dan
ritme untuk menciptakan pengalaman spiritual yang mendalam.
Qawwali sering dinyanyikan dalam upacara ritual, dan tujuannya
adalah untuk mengantar pendengar menuju pengalaman mistik
dan kedekatan dengan Tuhan. Penelitian menunjukkan bahwa
Qawwali mempengaruhi pendengar dengan menciptakan
suasana emosional dan spiritual yang memungkinkan mereka
merasakan kehadiran Tuhan secara langsung (Sulaiman, 2018).
2) Tari Sufi: Ekspresi Spiritual Melalui Gerakan
Tari sufi, khususnya Tariq Mevlevi atau Whirling
Dervishes, juga merupakan bentuk seni yang penting dalam
tradisi tasawuf. Tari ini melibatkan gerakan berputar yang
simbolis, menggambarkan pencarian dan kecintaan yang abadi
terhadap Tuhan. Gerakan ini bukan hanya bentuk latihan fisik
tetapi juga ekspresi spiritual yang mendalam. Penelitian
menunjukkan bahwa tari sufi dapat menginduksi pengalaman
spiritual dengan membawa penari ke dalam keadaan meditatif
dan memperdalam koneksi mereka dengan dimensi mistik
(Haris, 2017).
3) Dampak Musik Sufi Terhadap Psikologi dan Emosi
Musik sufi, termasuk Qawwali dan tari sufi, memiliki
dampak signifikan terhadap psikologi dan emosi pendengarnya.
Melalui struktur melodi dan lirik yang penuh makna, musik ini
dapat mempengaruhi kondisi emosional dan mental pendengar,
menciptakan rasa kedekatan dengan Tuhan dan mengurangi
stres. Penelitian menunjukkan bahwa musik sufi dapat
memfasilitasi perubahan dalam keadaan emosional dan
meningkatkan kesejahteraan psikologis melalui pengalaman
spiritual yang intens (Budiarti, 2020).
Secara keseluruhan, musik sufi, baik dalam bentuk
Qawwali maupun tari sufi, memainkan peran integral dalam
ekspresi spiritual dalam tradisi tasawuf. Melalui penggunaan
melodi, lirik, dan gerakan, musik sufi menawarkan cara yang unik

Hasani Ahmad Said | 199

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
untuk merasakan dan menyelami dimensi spiritual yang lebih
dalam. Meskipun terdapat kontroversi dan kritik, musik tetap
menjadi alat yang berharga dalam mengkomunikasikan dan
mendalami pengalaman mistik. Penelitian lebih lanjut dapat
membantu dalam memahami lebih dalam bagaimana musik sufi
berfungsi sebagai sarana spiritual dan psikologis dalam konteks
modern (Sulaiman, 2018).

SENI VISUAL DAN TASAWUF
Seni visual dalam konteks tasawuf mencakup berbagai
bentuk ekspresi artistik yang digunakan untuk mendalami dan
mengekspresikan pengalaman spiritual. Dalam tradisi tasawuf,
seni visual sering kali dipandang sebagai sarana untuk
merefleksikan keindahan ilahi dan mengungkapkan kedalaman
pengalaman mistik. Berbeda dengan seni visual konvensional
yang mungkin lebih fokus pada estetika dan teknik, seni visual
dalam tasawuf sering kali mengandung dimensi spiritual yang
mendalam. Misalnya, karya seni yang terinspirasi oleh prinsip-
prinsip sufi bisa berupa kaligrafi, seni geometris, dan motif
simbolis yang mencerminkan konsep-konsep seperti keesaan
Tuhan dan hubungan antara makhluk dan Sang Pencipta
(Nugroho, 2020).
Dalam konteks tasawuf, seni visual dipahami sebagai
media untuk mengekspresikan dan mendalami pengalaman
spiritual dan mistik. Seni visual tidak hanya berfungsi sebagai
bentuk estetika, tetapi juga sebagai sarana untuk merefleksikan
keindahan ilahi dan kedalaman pengalaman mistik. Dalam tradisi
tasawuf, karya seni seperti kaligrafi, motif geometris, dan ilustrasi
simbolis sering kali dipandang sebagai cara untuk menyampaikan
konsep-konsep spiritual yang kompleks dan membantu dalam
proses meditasi. Melalui seni visual, para pengamal tasawuf dapat
menggambarkan dan menginternalisasi pengalaman spiritual
mereka, menjembatani dunia material dan spiritual (Abdullah,
2017).

200 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
KALIGRAFI SEBAGAI EKSPRESI SPIRITUAL DALAM
TASAWUF
Kaligrafi Arab merupakan salah satu bentuk seni visual
yang sangat penting dalam tradisi sufi. Dalam tasawuf, kaligrafi
tidak hanya berfungsi sebagai bentuk estetika, tetapi juga sebagai
sarana untuk mediasi spiritual. Kaligrafi sufi sering kali
mengandung kutipan-kutipan dari teks-teks suci dan ajaran
tasawuf yang diatur dalam bentuk artistik yang harmonis.
Penelitian menunjukkan bahwa kaligrafi sufi, dengan
penggunaan bentuk dan gaya yang khas, berfungsi untuk
mengungkapkan keindahan ilahi dan mendalami makna spiritual
dari teks-teks yang ditulisnya (Rachman, 2019). Ini
mencerminkan bagaimana seni visual bisa menjadi jembatan
antara dunia material dan spiritual.
Kaligrafi Arab merupakan salah satu bentuk seni visual
yang paling signifikan dalam tradisi sufi. Dalam konteks tasawuf,
kaligrafi bukan hanya sebuah bentuk tulisan, tetapi juga
merupakan ekspresi spiritual yang mendalam. Kaligrafi sering kali
menampilkan kutipan dari teks-teks suci dan ajaran tasawuf yang
disusun dengan bentuk artistik yang harmonis. Karya-karya
kaligrafi ini tidak hanya berfungsi sebagai elemen dekoratif, tetapi
juga sebagai sarana untuk mediasi spiritual dan refleksi mendalam
atas pesan-pesan religius. Kaligrafi sufi mengintegrasikan
keindahan artistik dengan makna spiritual yang mendalam
(Hasyim, 2019).

MOTIF GEOMETRIS DALAM SENI VISUAL SUFI
Motif geometris adalah elemen penting dalam seni visual
sufi, yang sering digunakan untuk menggambarkan konsep-
konsep metafisik dan spiritual. Pola geometris seperti mandala
dan bentuk simetris sering kali digunakan untuk mencerminkan
struktur kosmos dan keesaan Tuhan. Dalam tradisi sufi, motif-
motif ini tidak hanya memiliki nilai estetika tetapi juga

Hasani Ahmad Said | 201

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mengandung makna simbolis yang mendalam. Mereka berfungsi
sebagai representasi visual dari prinsip-prinsip spiritual dan
membantu dalam proses meditasi dengan menawarkan struktur
visual yang harmonis dan teratur (Prabowo, 2020).
Motif geometris dalam seni visual sufi sering kali
digunakan untuk menggambarkan konsep-konsep metafisik dan
spiritual. Bentuk-bentuk geometris, seperti mandala dan pola
simetris, dianggap sebagai representasi visual dari struktur
kosmos dan keesaan Tuhan. Dalam tradisi sufi, motif-motif ini
tidak hanya memiliki nilai estetika tetapi juga mengandung makna
simbolis yang mendalam. Penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan motif geometris dalam seni visual sufi berfungsi
untuk menyampaikan konsep-konsep spiritual yang kompleks
dan membantu dalam proses meditasi dan kontemplasi (Pratama,
2021).

SENI VISUAL DAN PENGALAMAN MISTIS
Seni visual dalam tradisi sufi sering kali digunakan untuk
mengeksplorasi dan menyampaikan pengalaman mistis yang
pribadi. Dalam konteks ini, seni visual tidak hanya merefleksikan
keindahan tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk
menyampaikan pengalaman spiritual yang mendalam. Seniman
sufi kontemporer menggunakan berbagai media seni, dari lukisan
hingga instalasi, untuk mengekspresikan pengalaman mistik
mereka. Ini mencerminkan bagaimana seni visual dapat
beradaptasi dan berkembang untuk mencerminkan pengalaman
spiritual kontemporer dan kompleks (Santosa, 2021).
Dalam perspektif sufi kontemporer, seni visual juga
dianggap sebagai alat untuk mengeksplorasi dan menyampaikan
pengalaman mistik yang pribadi. Seni ini sering kali
mencerminkan pengalaman spiritual individual dan pencarian
akan kehadiran ilahi. Penelitian menunjukkan bahwa dalam
konteks modern, seniman sufi menggunakan berbagai media

202 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
untuk mengekspresikan pengalaman mistik mereka, dari lukisan
hingga instalasi seni. Hal ini mencerminkan evolusi dan adaptasi
seni visual dalam tradisi tasawuf, yang terus berkembang untuk
mencerminkan pengalaman spiritual kontemporer (Sari, 2022).

TANTANGAN DAN KONTROVERSI
Seni dalam konteks tasawuf merupakan ekspresi kreatif
yang mendalam dan kompleks, berfungsi untuk menggambarkan
dan mendalami pengalaman spiritual. Namun, meskipun seni sufi
memiliki peran penting dalam spiritualitas, terdapat berbagai
tantangan dan kontroversi yang mengelilinginya. Berikut adalah
beberapa pencerahan mengenai tantangan dan kontroversi
tersebut:
a) Kontroversi Terhadap Representasi Visual dalam Tasawuf
Salah satu kontroversi utama terkait seni dalam tasawuf
adalah masalah representasi visual. Dalam beberapa aliran
tasawuf, ada kekhawatiran bahwa penggunaan seni visual,
terutama dalam bentuk lukisan dan patung, dapat
mengalihkan perhatian dari pencapaian spiritual yang
sejati. Beberapa pandangan konservatif berpendapat
bahwa representasi visual bisa menciptakan
ketergantungan pada bentuk fisik dan estetika, yang
mungkin mengganggu konsentrasi pada pengalaman
spiritual murni dan zikir. Hal ini berkaitan dengan
kekhawatiran bahwa seni visual dapat menjadi bentuk
kesyirikan jika terlalu menekankan pada aspek material dan
estetika (Setiawan, 2020).
b) Debat Mengenai Musik Sufi dan Ekspresi Spiritual
Musik sufi, termasuk Qawwali dan tari sufi, sering menjadi
subjek perdebatan dalam komunitas sufi. Beberapa tokoh
sufi khawatir bahwa musik dapat mengalihkan perhatian
dari tujuan spiritual utama, yaitu pencapaian kedekatan
dengan Tuhan. Mereka menganggap bahwa aspek hiburan

Hasani Ahmad Said | 203

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dan penampilan dalam musik sufi dapat mengganggu fokus
pada praktik zikir dan meditasi. Di sisi lain, banyak praktisi
sufi berpendapat bahwa musik memiliki kekuatan untuk
meningkatkan pengalaman spiritual dan memfasilitasi
keadaan ekstase mistik. Perdebatan ini mencerminkan
ketegangan antara nilai estetika dan tujuan spiritual dalam
praktik sufi (Budiarti, 2020).
c) Tantangan dalam Mempertahankan Autentisitas dalam
Seni Kontemporer
Dalam konteks seni visual sufi kontemporer, terdapat
tantangan untuk mempertahankan autentisitas dan
kesesuaian dengan prinsip-prinsip tasawuf. Seniman
kontemporer seringkali mengeksplorasi media dan teknik
baru yang dapat membawa perubahan pada cara tradisional
dalam mengekspresikan spiritualitas. Tantangannya adalah
bagaimana mengintegrasikan inovasi artistik dengan nilai-
nilai tradisional tasawuf tanpa mengorbankan esensi
spiritual yang mendasarinya. Ini mencakup penyesuaian
antara ekspresi kreatif yang baru dan pengajaran sufi yang
klasik (Santosa, 2021).
d) Perdebatan tentang Kaligrafi sebagai Alat Spiritualitas
Kaligrafi dalam tasawuf sering dipandang sebagai bentuk
seni yang mendalam dan sarat makna, namun juga
menghadapi perdebatan. Beberapa kalangan mungkin
menilai bahwa kaligrafi, meskipun memiliki nilai estetika
dan spiritual, dapat menjadi simbol status atau objek
pemujaan yang menyimpang dari tujuan utama tasawuf.
Ada kekhawatiran bahwa fokus berlebihan pada kaligrafi
sebagai bentuk seni dapat mengalihkan perhatian dari inti
ajaran tasawuf yang seharusnya lebih menekankan pada
penyucian jiwa dan pengalaman langsung dengan Tuhan
(Hasyim, 2019).
e) Keseimbangan antara Estetika dan Spiritualitas
Tantangan utama dalam seni sufi adalah menjaga
keseimbangan antara estetika dan tujuan spiritual. Seni,
dalam bentuk apapun, harus berfungsi untuk mendukung

204 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dan memperkaya pengalaman spiritual tanpa menjadi
distraksi. Dalam praktik tasawuf, penting untuk
memastikan bahwa seni visual dan musik tidak hanya
dihargai karena keindahan eksternal tetapi juga karena
kemampuannya untuk mendukung pengalaman mistik dan
meditasi. Kesadaran akan keseimbangan ini sangat penting
untuk memastikan bahwa seni tetap menjadi alat yang
efektif dalam praktik spiritual (Nugroho, 2020).

Tantangan dan kontroversi terkait seni dalam tasawuf
mencerminkan kompleksitas dalam mengintegrasikan ekspresi
kreatif dengan nilai-nilai spiritual. Meskipun seni sufi memiliki
peran yang penting dalam mendalami dan menyampaikan
pengalaman spiritual, penting untuk terus mempertimbangkan
bagaimana seni tersebut digunakan dalam konteks tasawuf dan
memastikan bahwa ia mendukung, bukan mengalihkan, tujuan
spiritual.

KESIMPULAN
Tasawuf dan seni memiliki hubungan yang mendalam dan
saling melengkapi, terutama dalam konteks ekspresi spiritual.
Seni, dalam berbagai bentuknya seperti puisi, musik, dan seni
visual, berfungsi tidak hanya sebagai medium estetika tetapi juga
sebagai sarana untuk menyampaikan dan mendalami pengalaman
mistik dan spiritual dalam tradisi tasawuf.
1) Seni Puisi dalam Tasawuf : Puisi sufi, dengan lirik yang
penuh makna dan simbolisme, berfungsi sebagai ekspresi
kreatif dari pengalaman spiritual. Karya-karya puisi sufi,
seperti yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi dan Fariduddin
Attar, tidak hanya mengungkapkan kedalaman emosi dan
pengalaman mistik tetapi juga berfungsi untuk
membimbing pembaca menuju pemahaman spiritual yang
lebih dalam.

Hasani Ahmad Said | 205

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
2) Musik Sufi sebagai Ekspresi Spiritualitas : Musik sufi,
melalui bentuk-bentuk seperti Qawwali dan tari sufi,
memainkan peran penting dalam menciptakan suasana
spiritual yang mendalam. Musik ini bertujuan untuk
membawa pendengar atau peserta ke dalam keadaan
ekstase spiritual, memungkinkan mereka untuk merasakan
kedekatan dengan Tuhan. Meskipun ada perdebatan
mengenai peran musik dalam tasawuf, musik sufi tetap
menjadi alat yang berharga dalam eksplorasi spiritual.
3) Seni Visual dalam Tasawuf : Seni visual, termasuk kaligrafi
dan motif geometris, juga berfungsi sebagai ekspresi
spiritual dalam tradisi sufi. Kaligrafi Arab tidak hanya
dianggap sebagai bentuk tulisan artistik tetapi juga sebagai
sarana untuk mediasi spiritual. Motif geometris digunakan
untuk menggambarkan konsep-konsep metafisik dan
spiritual, membantu dalam proses meditasi dan refleksi.
Meskipun terdapat kontroversi mengenai penggunaan seni
visual dalam konteks spiritual, seni visual tetap memainkan
peran yang penting dalam mengekspresikan dan
menyampaikan pengalaman spiritual.
Secara keseluruhan, seni dalam tasawuf menunjukkan
bagaimana kreativitas artistik dapat digunakan untuk
mendalami dan mengungkapkan dimensi spiritual. Baik
dalam bentuk puisi, musik, maupun seni visual, seni sufi
tidak hanya berfungsi sebagai alat estetika tetapi juga
sebagai jembatan untuk mencapai dan menginternalisasi
pengalaman spiritual. Ini menekankan pentingnya ekspresi
kreatif dalam memahami dan menjalani spiritualitas dalam
tradisi tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. (2017). Seni Visual dalam Tradisi Tasawuf: Ekspresi
dan Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit Amanah.

206 | Hasani Ahmad Said

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Amiruddin, M. (2015). Peran Musik dalam Tradisi Tasawuf: Studi
Kasus Qawwali dan Tari Sufi. Jurnal Musik dan Spiritualitas,
10(2), 45-56.
Arif, R. (2015). Karya-Karya Hafiz dan Makna Spiritualnya dalam
Tradisi Sufi. Penerbit Mizan.
Budiarti, R. (2020). Pengaruh Musik Sufi terhadap Kesejahteraan
Psikologis dan Emosi: Sebuah Kajian Empiris. Jurnal Psikologi
dan Musik, 15(4), 89-102.
Fauzi, A. (2018). Kontroversi dalam Penggunaan Puisi Sufi: Perspektif
Tasawuf Kontemporer. Penerbit Pustaka Pelajar.
Dawam, M. (2008). Tasawuf dan Budaya: Studi Tentang Puisi Sufi
dalam Tradisi Islam. Penerbit Alvabet.
Nugroho, I. (2020). Seni Visual dan Tasawuf: Studi tentang Kaligrafi
dan Motif Geometris dalam Tradisi Islam. Jurnal Seni Rupa dan
Budaya, 11(2), 102-115.
Nugroho, I. (2020). Seni Visual dalam Tradisi Tasawuf: Ekspresi dan
Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit Amanah.
Masyhuri, H. (2012). Peran Puisi Sufi dalam Kehidupan Sosial dan
Spiritual. Penerbit Pustaka Al-Kautsar.
Husain, S. (2010). Jalaluddin Rumi: Karya dan Pesannya dalam Puisi
Sufi. Penerbit Nusa Indah.
Sulaiman, A. (2018). Qawwali dan Pengalaman Spiritual: Analisis
Musik Sufi dalam Konteks Ritual. Jurnal Musik dan Budaya,
13(1), 75-88.
Pratama, H. (2021). Motif Geometris dalam Seni Visual Sufi: Makna
dan Fungsi dalam Praktik Tasawuf. Jurnal Seni dan Desain,
16(1), 34-47.
Prabowo, D. (2020). Motif Geometris dalam Seni Visual Sufi: Makna
dan Simbolisme. Bandung: Penerbit Sufi Press.

Hasani Ahmad Said | 207

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Rachman, A. (2019). Kaligrafi Sufi dan Dimensi Spiritualnya: Analisis
Karya dalam Konteks Tasawuf. Jurnal Kajian Seni dan
Spiritualitas, 14(3), 88-101.
Sari, L. (2022). Seni Visual Kontemporer dalam Tradisi Sufi: Ekspresi
dan Pengalaman Mistis. Jurnal Seni dan Kultural, 18(4), 55-
68.
Santosa, R. (2021). Seni Visual Kontemporer dalam Tasawuf: Ekspresi
dan Pengalaman Mistis. Surabaya: Penerbit Harapan.
Setiawan, E. (2020). Kontroversi dalam Penggunaan Seni Visual dalam
Tasawuf: Perspektif dan Tantangan. Jurnal Studi Islam dan
Seni, 13(2), 44-57
Hasyim, U. (2019). Kaligrafi dalam Tasawuf: Kajian Estetika dan
Spiritualitas. Jakarta: Penerbit Lintas Budaya.

208 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


SUFI HEALING DALAM PERKEMBANGAN
LITERASI TASAWUF

Atika Ulfia Adlina


PENDAHULUAN
Kelahiran ilmu tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam
Islam pada abad pertama dan kedua Hijriah. Sejak saat itu, para
sufi telah ramai membicarakan konsep zuhud dan pengalaman
spiritual terkait itu yang kemudian disebut sebagai ajaran tasawuf.
Literasi awal para sufi yang muncul pada abad ke dua Hijriyah
seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hakim al-Tirmidzi (w.285 H),
dan al-Junaidi (w. 297 H) (Pakar, 2013, hal. 33). Kemunculan
literasi sufistik awal ini menandai tersusunnya ilmu tasawuf. Pada
akhir abad ke dua Hijriah, perbincangan seputar tema zuhud
sudah mengalami peralihan dari gerakan zuhud ke tasawuf.
Lalu pada abad ketiga Hijriah, ada kesadaran dari para
cendekia muslim untuk merumuskan episteme tasawuf Islam
sebagai bagian dari upaya identifikasi tasawuf Islam dengan
perilaku keagamaan yang senada. Pada abad ini, tokoh-tokoh
utama yang merumuskan episteme tasawuf sebagai sebuah
disiplin ilmu yang memuat sejumlah teori dan banyaknya tema-
tema sufistik yang tersebar adalah al-Muhasibi (w.243 H), al-
Hakim al-Tirmidzi (w.285 H), al-Junaidi (w. 297 H) (Al-
Taftazani, 1997, hal. 95).
Al-Muhasibi adalah penulis sufi pertama dari barisan
terkemuka dan membentuk pola pemikiran ilmu tasawuf

Atika Ulfia Adlina | 209

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
selanjutnya sekaligus awal mulainya persinggungan paradigmatik
ilmu tasawuf. Tulisan al-Muhasibi sebagian besar bertema
muhasabah dan karyanya yang berjudul “al-Ri’ayah li Huquq
Allah” memberikan pengaruh besar kepada al-Ghazali dalam
menulis “Ihya Ulum al-Din. Kitab “al-Washaya (al-Nasha’ih)
yang juga merupakan karya al-Muhasibi berisi serangkaian
nasehat yang berkaitan dengan tema-tema kezuhudan. Tulisan
tersebut juga mempengaruhi al-Ghazali terutama dalam menulis
kitab “Munqidz min al-Dhalal (Pakar, 2013, hal. 87). Lebih dari
itu, karya-karya al-Muhasibi termasuk “Fahm al-Qur`an wa
ma’anihi” disebut bersisi tentang gagasan yang sudah melangkah
jauh dan berfikir ke depan dengan mengusung gagasan mengenai
rasionalisasi agama (Akbar Kadir Riyadi, 2016, hal. 29). Ide
tentang psikologi moral dapat ditemui pada karya “al-Washaya”.
Abu Nashr al-Sarraj at-Thusi (w.378 H) juga merupakan
salah seorang penulis teks tertua tentang tasawuf. Kitab “al-
Luma” merupakan sebuah tulisan at-Tusi yang menjelaskan
tentang aliran, doktrin-doktrin dan praktek-praktek kehidupan
para sufi, juga berisi banyak kutipan dari berbagai sumber (Pakar,
2013, hal. 87). “al-Luma” sendiri merupakan ihtiar at-Tusi dalam
melakukan rekonsiliasi untuk mendamaikan tasawuf agar sejajar
dengan ilmu-ilmu islam lainnya. Melalui “al-Luma”, at-Tusi
hendak menyajikan pemahaman yang benar terhadap tasawuf
setelah adanya penyelewengan-penyelewengan terhadap
pandangan para sufi sehingga mengalami distorsi.
Selain at-Tusi, sufi pencipta literasi sufistik adalah Abu
Thalib Al-Makki (w. 386 H). “Qutal-Qulub” merupakan kitab
karya al-Makki yang memberikan pengaruh besar terhadap para
penulis di masa setelahnya. Uraian dari kitab “Qutal-Qulub”
lebih menjelaskan desain ilmu tasawuf yang lebih komprehensif.
Di dalam kitab tersebut terdapat penjelasan mengenai bagaimana
membangun kepribadian, mentalitas dan pola pikir manusia
terutama untuk mengentaskan persoalan masyarakat seperti
penindasan dan perampasan hak rakyat jelata. Itu mengapa kitab

210 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
“Qutal Qulub” disebut kita yang bermuatan nilai tasawuf sosial
(Akbar Kadir Riyadi, 2016, hal. 95).
Agak berbeda dengan al-Makki, Abu Bakar Al-Kalabadzi
(w. 380 H) disebut sebagai sufi yang moderat. Kitab al-Ta’aruf li
Madzhab ahl al-Tashawwuf” karya al-Kalabadzi dianggap sebagai
sebuah jalan tengah yang mensinergikan ortodoksi dan tasawuf.
Kitab “at-Ta’aruf” berisi tentang ringkasan pandangan para sufi
tentang berbagai isu kalam dan tasawuf yang sedang berkembang,
juga tentang keesaan Tuhan, nama dan sifat Tuhan, keterciptaan
al-Qur`an, hingga konsep-konsep tasawuf seperti ma’rifat,
maqamat, ahwal dan lain-lain. Meski demikian pergulatan
paradigma tasawuf pada abad tiga hijriyah dan keempat hijriah
tampak lebih berbicara mengenai pertentangan antara Syariah
(ortodoks) dengan tasawuf.
Selain al-Kalabadzi, sufi yang mencoba memadupadankan
aspek eksoterik (Syariah) dan esoteri (tasawuf) adalah Abu Abd
al-Rahman al-Sulami (w. 421 H) yang menulis kitab “al-
Futuwwah”. Selain kitab tersebut, “al-Thabaqat al-Shufiyyah”
menjadi karya al-Sulami yang berisi sejarah hidup para sufi.
Sufi lain sebelum al-Ghazali yang perlu disebut namanya
adalah Abu al-Qasim al-Qusyayri (w.465 H). Kitab “ar-Risalah”
karya al-Qusyayri berisi gambaran umum tentang ajaran dan
praktek tasawuf yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip
tauhid yang benar. Kitab tersebut menjadi kritik sosial bagi
implementasi tasawuf pada waktu itu yang menyimpang dari
tasawuf, baik segi akidah maupun moral. Sufi produktif lain yaitu
Abu al-Hasan Ali ibn Usman al-Hujwiri (w. 465 H) yang berasal
dari Persia terkenal dengan kitabnya yang berjudul “Kasyf al-
Mahjub”. Kitab tersebut juga berisi tentang doktrin-doktrin dan
praktek-praktek para sufi. Al-Hujwiri juga termasuk sufi moderat
yang terlihat dari karya-karyanya berupaya untuk mendamaikan
tasawuf dan syariat. Sufi-sufi moderat termasuk al-Ghazali
menempatkan dzauq di atas akal. Konsekuensi paradigma
tersebut menjadikan konsep-konsep seperti al-faqr (kemiskinan,

Atika Ulfia Adlina | 211

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
al-jul (lapar) al-khumul (lemah, lesu) dan al-tawakkul (kepasrahan)
sebagai keutamaan-keutamaan yang harus dijalani seseorang
Ketika harus menempuh jalan hidup sebagai seorang sufi (Pakar,
2013, hal. 80).
Al-Ghazali barangkali merupakan satu-satunya sufi
produktif yang paling terkenal di kalangan cendekiawan. Selain
karyanya yang demikian besar, al-Ghazali juga mampu
menampilkan tasawuf dari banyak perspektif meski al-Ghazali
disebut sebagai tokoh tasawuf sunni, sebuah aliran tasawuf yang
mudah dipahami dan diterima semua orang. Kitab “Misykatul al-
Anwar” misalnya merupakan kitab yang berisi pandangan-
padangan esoterik filosofis al-Ghazali yang sangat radikal. Meski
demikian, image sebagai tokoh tasawuf falsafi tidak mutlak
disematkan kepada al-Ghazali dibandingkan dengan Abu Bakar
Muhammad ibn Ali al-Khatami al-hali al-Andalusi atau yang
biasa disebut Ibn ‘Arabi. Karya Ibn ‘Arabi seperti “al-Futuhat al-
Makkiyah” dan “Fushush al-Hikam” berisi gagasannya tentang
konsep al-insan al-kamil dengan perspektif filsafat dan tasawuf.
Abd al-Karim al-Jili yang juga memiliki gagasan tentang konsep
insan kamil, menjabarkan pembahasan konsep insan kamil dalam
karyanya yang berjudul “al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awalil wa
al-Awakhir” (Pakar, 2013, hal. 120–123).
Sufi produktif dari kalangan pendiri tarekat tepatnya
tarekat Qadiriyah juga turut mengambil peran dalam
mengembangkan literasi sufistik seperti Syeikh Abdul Qadir al-
Jailani (w. 748 H). Kitab “al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq”
merupakan kitabnya yang terkenal. Kitab yang lain karya al-Jailani
adalah “Futuhal Ghaib” dan “at-Tashawwuf fi Mizan al-Bahts wa
al-Tahqiq”.
Sebelumnya ada sufi produktif di abad ke tujuh Hijriah atau
sekitar tahun 649 H yaitu Taj ad-Din Abi Fadhl Ahmad ibn
Muhammad ibn Abd al Karim ibn Abd ar Rahman ibn Abd Allah
ibn Isa al-Hasaniy ibn ‘Atha’illah al-Judzamiy al-Malikiy as-
Sakandariy (w. 709 H atau 1309 M) alias Ibn ‘Atha’illah yang juga

212 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
merupakan pengikut sekaligus penyebar tarekat asy-Syadzaliyyah.
Karyanya diantaranya adalah “al-Hikam al-Athaliyyah”, “Ushul
Muqaddimah al-Qushul”, “Taj al-Arus al-Hawi ila Tahzib an-
Nufus”, “ath-Thariq al-Jaddah fi Nayl as-Sa’adah”, “Lathaif al
Minan fi Manaqib asy-Syaykh Abu al-Abbas al-Mursiy wa
Syaykhih al-Syadzaly Abu al-Hasan”, “al-Qashd al-Mujarrad fi
Ma’rifah al-Ism al-Mufrad”, “Bahjah an-Nufus”.
Seperti al-Jailani, al-Syadzili dan ibn ‘Atha’illah,
Syihabuddin Umar Suhrawardi merupakan murid intelektual al-
Ghazali. Karya “Awarif al-Ma’arif”, terdiri dari 58 pembahasan,
diawali dengan pembahasan mengenai ihwal syaikh dan diakhiri
dengan persoalan tarian sufi. Seperti pada kitab tasawuf pada
umumnya, kitab tersebut juga membicarakan konsep hal dan
maqamat, ma’rifat, khalwat, tauhid dan lain-lain. Sebagai
tambahannya, di kitab “Awarif” itu terdapat pembahasan
mengenai konsep tajrid (keterpisahan lahiriyah) dan tafris
(kesenderian batin), talwin (perubahan) dan tamkin
(ketidakberubahan).
Sufi produktif selanjutnya adalah Syihabuddin Yahya
Suhrawardi (w. 1191 M) dan karya monumentalnya adalah
“hikmah al-isyraq” atau familier disebut filsafat iluminasi. Dalam
kitab tersebut topik mengenai hulul, ittihad dan wahdatul wujud
dibahas. Meski Yahya Suhrawardi pernah mengalami perseteruan
dengan pemerintah pada waktu itu karena gagasannya yang
kontroversial, namun nyatanya Yahya Suhrawardi memberikan
pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat Barat dan
dikenal oleh peneliti Barat seperti Henry Corbin, Louis
Massignon (Akbar Kadir Riyadi, 2016, hal. 245).
Selisih sekitar 53 tahun sebelum wafatnya Ibn Athaillah,
hidup sufi produktif lainnya yaitu Muhammad ibn Abu Bakr ibn
Ayyud ibn Salad ibn Haris al-Zarliy al-Dimasyqiy alas Ibn a-
Qayyim al-Jawziyah (w. 656 H). Karyanya demikian banyak dan
berasal dari ragam keilmuan. Dari aspek keilmuan tasawuf
terlihat pada karyanya yang berjudul “Madarij as-Salikin hayan

Atika Ulfia Adlina | 213

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Manazil Iyyaka Na’bu wa Iyyaka Nasta’in”, “’Iddah ash-
Shabirin” dan “Miftah as-Sa’adah”. Karyanya tersebut sekaligus
juga menunjukkan bahwa meskipun al-Jawziyah pernah menjadi
murid Ibn Taymiyyah, berhasil melepas bayang-bayang gaya
gurunya yang keras dan konfrontatif dan menggantinya dengan
gaya yang tenang dan damai (Pakar, 2013, hal. 134). Selain itu,
kitab yang lain adalah “Dawa’ al-Qulub” (obat hati) atau “al-
Da’wa al-Dawa” (penyakit dan obatnya), “al-Fath al-Makki” yang
berisi bahasan akhlak dan sulu, “al-Futuhah al-Qudsiyyah” berisi
tentang akidah dan akhlak.
Abdul Karim ibn Ibrahim ibn Abdul Karim alias al-Jilli (w.
1421 M) yang juga merupakan murid dari ibn ‘Arabi disebut
sebagai jembatan pertama Tasawuf di Nusantara melalui Syaikh
Yusuf al-Makassari yang terpengaruh dengan gagagasan al-Jilli
(Akbar Kadir Riyadi, 2016, hal. 293). Karya pertama al-Jilli “al-
Kahf wa al-Raqim” merupakan usaha al-Jilli dalam mengungkap
rahasia di balik penciptaan wujud-wujud melalui penjelasan
mengenai makna surat al-Fatihah. Karya selanjutnya adalah
“Kitab al-Nuqtah” (buku tentang titik). Kitab tersebut mencoba
menjelaskan makna simbolis yang terkandung dalam setiap
huruf, kata dan kalimat. Gagasannya adalah bahwa Tuhan dan
manusia dapat dipahami dan dimaknai melalui huruf, kata,
kalimat dan titik.
Dari tahun ke tahun, pergulatan pemikiran tasawuf tak
pernah berhenti dan selalu melahirkan sufi-sufi produktif lainnya.
Kajian pembahasan yang menjadi isi dari kitab karya para sufipun
berkembanga dari yang awalnya memperbincangkan tentang
paradigma yang digunakan dalam tasawuf, aliran tasawuf,
pengalaman para pelaku ajaran tasawuf, diskusi tentang ortodoksi
dan filosofi dalam tasawuf, secara perlahan-lahan mulai
mengarah pada diskusi mengenai kepribadian manusia,
mentalitas dan tasawuf sosial.
Hamzah Fansuri (w. 1636 M) menjadi sufi awal yang
mengembangkan ajaran tasawuf di Nusantara melalui karyanya

214 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
yang berjudul “Asrar al-Arifin”. Kitab itu sendiri berisi ringkasan
dari ajaran para pemuka tasawuf seperti pemikiran Ibn ‘Arabi
Abdul Karim al-Jilli, al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jilani dll. Karya
lainnya adalah “Syarh al-‘Asyiqin” dan “al-Muntahi”.
Muhammad Fadh Allah al-Burhanpuri (w. 1620 M) dan
Nuruddin al-Raniri (w. 1658) merupakan sufi tanah air yang
terpengaruh oleh gagasan Ahmad Sirhindi yang sangat keras
menentang tasawuf falsafi. Kitab “al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh
al-Nabi” karya al-Burhanpuri berisi tentang penolakan tasawuf
martabat lima ajaran Fansuri dan menggantinya dengan tasawuf
martabah tujuh. Sebagai upaya menjadi jalan tengah antara al-
Burhanpuri dan Fansuri, Abdul Rauf al-SInkili (w. 1693) menulis
kita dengan judul “Mir’at al-Thullab” (cermin bagi para murid).
Muhammad Nawawi al-Jawi (w. 1897) dari Banten
merupakan tokoh kebangkitan Islam Nusantara. Ia juga yang
memprakarsai berdirinya pesantren di tanah air. Beberapa
karyanya yaitu “Tanqih al-qaul” (pemurnian ucapan), “Nasaih al-
‘Ibad” (nasehat-nasehat bagi para hamba), “Murah Labid”
(tempat istirahat yang abadi). Karya yang lain “Muraqi al-
Ubudiyah” dan “Kasyfiyat al-Saja” merupakan karya yang
dialamatkan sebagai pengingat bagi orang bodoh dan lengah
seperti “diriku”, demikian penjelasan al-Jawi (Akbar Kadir
Riyadi, 2016, hal. 372). Kitab tersebut sudah seperti buku seri
motivasi jika dikaitkan dengan konteks saat ini. Kitab “al-Futuhat
al-Madaniyah” al-Jawi merupakan kitab yang mencoba
mengharmonisasikan tasawuf dengan fikih (syariat).
Mulai sekitar abad 20, tasawuf mulai mendapat tempat di
ruang khazanah keilmuan global sebagai ilmu yang yang
berbicara mengenai konsep kesehatan jiwa baik dalam upaya
pencegahan sampai pada pengobatan gangguan kejiwaan. Tidak
hanya berhenti pada penjabaran mengenai hakikat manusia dan
kemanusian dan kesehatan jiwa, tasawuf mampu menembus
batas lebih dalam dari itu. Para cendekia menyebutnya dengan
istilah spiritualitas atau transendental. Tetapi pengakuan terhadap
tasawuf yang mendapat peran penting dalam kesehatan jiwa

Atika Ulfia Adlina | 215

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
manusia, agaknya masih setengah hati. Disiplin ilmu terutama
yang diajarkan di Perguruan Tinggi, masih menggunakan
paradigma saintik dimana empirisitas dan objektifitas menjadi
pokok penting dari keberadaan sebuah ilmu. Dengan indikasi
bahwa sebuah ilmu dapat diterapkan oleh siapa saja dimana saja
dan kapan saja. Oleh karenanya, pada aspek itu, pengembangan
ilmu tasawuf terutama pada konsep sufi healing masih perlu
sebanyak mungkin dilakukan upaya-upaya keilmiahan agar posisi
konsep sufi healing menjadi semakin mapan. Dari sinilah
pentingnya kembali pada pembacaan literasi sufistik agar
bangunan teori tasawuf mengakar kuat sebagai pondasi keilmuan
tasawuf pada aspek sufi healing.
Tidak berhenti sampai di situ, fungsi ilmu pengetahuan
harus juga disoroti secara praktis-pragmatik atau Kadir (Nst,
2016, hal. 5) menyebutnya dengan istilah menggunakan
paradigma Amali. Kadir sebagaimana dikutip Mulyadi (2016, hal.
5) menjelaskan bahwa pembentukan keberagamaan tidak
berhenti hanya pada paradigma bayani (ahkami), burhani (falsafi)
dan irfani wijdani) saja melainkan juga harus sampai pada
paradigma amali. Kadir (2003) menambahkan bahwa pokok
bahasan, perspektif umum dan metode pemecahan masalah ilmu
islam tidak boleh hanya berhenti pada norma atau pemikiran
spekulatif tetapi juga harus dapat dipastikan menjangkau dimensi
terapan ajaran dalam kehidupan praktis. Langkah tersebut juga
sesuai dengan karakter tasawuf sendiri yang memiliki dua aspek
yaitu aspek teoretis (nazhari) dan aspek praktis (amali) (Bagir,
2005, hal. 45).
Tetapi sebenarnya tidak hanya pada konsep sufi healing saja,
pada konsep Neosufisme misalnya, sebuah konsep pemikiran
dalam ilmu tasawuf dapat disebut sebagai cikal bakal dari adanya
internalisasi nilai sufistik pada berbagai bidang kehidupan
manusia juga dalam ilmu pengetahuan lainnya. Konsep
neosufsime menjelaskan bahwa tasawuf harusnya dimaknai
sebagai sikap hidup yang responsif terhadap perkembangan
zaman. Neosufisme harusnya mampu menjadi problem solving

216 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
solution, sebab tasawuf mengajarkan tentang bagaimana
membersihkan jiwa dan mengendalikannya. Sementara segala
persoalan manusia selalu dihadapkan pada diri manusia itu
sendiri. Tasawuf sesungguhnya mengajarkan bagaimana
seseorang memiliki cara dan pola berfikir yang sehat, memiliki
kehendak dan hati yang sehat, mampu mendengar dan
mengeksekusi dengan baik apa kata hati nurani.
Neosufisme juga disambut baik oleh masyarakat modern
yang menyadari bahwa mereka membutuhkan ‘obat’ untuk
membebaskan diri mereka dari spiritual dumbness (kehampaan
spiritual). Kehampaan spiritual terjadi lantaran tidak
terpenuhinya kebutuhan spiritual seseorang. Freud melalui
psikoanalisis menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan
seseorang akan mendatangkan kecemasan, kegelisahan,
ketidaknyamanan. Sementara Maslow, menambahkan bahwa
kebutuhan manusia tidak hanya mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan pemenuhan standar hidup makhluk hidup yaitu biologis,
fisiologis saja namun kebutuhan manusia bersifat hirarki dan
puncaknya adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Sayangnya,
meski kedua tokoh ini menyebut bahwa tidak terpenuhinya
kebutuhan manusia akan mendatangkan kegelisahan, mereka
tidak menyebut spiritual sebuah kebutuhan inti dari jiwa manusia.
Tetapi sebenarnya, meski dianggap belum tuntas, Maslow
sebenarnya telah menyempurnakan hirarki kebutuhan manusia
menjadi delapan, dan menempatkan transcendence atau spiritual
needs setelah kebutuhan self-actualized (Yount, 2009, hal. 84).
Menurut Yount (2009), Hamachek adalah satu satunya penulis
yang ditemukannya memasukkan tingkatan kedelapan (spiritual
needs) tersebut pada teori Hirarki kebutuhan Maslow.
Spiritualitas memang telah menjadi ‘yang banyak’ dicari
orang sejak sekitar abad ke 20. Pencarian akan spiritualitas terjadi
di berbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi,
Pendidikan, politik, sosial, budaya dan termasuk dunia
kedokteran dan kesehatan. Masyarakat sejatinya telah
mengetahui bahwa, spiritualitas, religiusitas dan juga tasawuf

Atika Ulfia Adlina | 217

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mampu membantu mereka mampu menghadapi situasi-situasi
dan persoalan-persoalan berat. Kuntowijoyo (2008, hal. 308)
secara khusus memberikan contoh konsep-konsep tentang nafs-
al-ammarah, nafs al-lawwamah, al-nafs al-muthmainnah, tazkiyah
merupakan contoh dari konsep yang perlu mendapatkan
sentuhan rekontruksi ilmu pengetahuan yang diarahkan pada
reorientasi epistemology “mode of thought” dan “mode of inquiry”.
Sehingga konsep-konsep tersebut tidak hanya menjadi sekedar
konsep teoretis ilmu tasawuf, tetapi dapat juga diturunkan
menjadi konsep teoretis ilmu jiwa untuk mengukur kematangan
seseorang.

SEJARAH DAN KERANGKA KONSEP SUFI HEALING
Teknik penyembuhan penyakit fisik, psikis, mental
maupun gangguan spiritual dengan menggunakan pendekatan
tasawuf merupakan produk ijtihad ulama tasawuf dan ahli
hikmah dalam membumikan tasawuf sebagai media terapi untuk
penyembuhan dan Kesehatan. (Bakri & Saifuddin, 2019) Teknik
penyembuhan spiritual ini kemudian disebut dengan istilah sufi
healing atau familiar dikenal dengan istilah terapi sufistik.
Meskipun dalam konteks penerapan teknik sufi healing semakin
mengalami perkembangan, teknik sufi healing sesungguhnya
terinsiprasi oleh laku lampah Rasulullah saw (Abdul Kadir Riyadi,
2014) dan sesuai dengan petunjuk dalam Al-Quran sebagaimana
ajaran tasawuf lahir. Gagasan teknik sufi healing melibatkan diri
psikospiritual, pembersihan diri untuk tidak hanya mengubah
kondisi pikiran seseorang (Mitha, 2019) tetapi juga level nafs
(Mustamir Pedak, 2021) dimana nafs dimaknai sebagai
keseluruhan dari totalitas fungsi potensi internal manusia
meliputi ruh, akal, qalbu, kehendak, syahwat, ghadab dll.
(Firmansyah, 2020) Konsep penyembuhan menggunakan cara
tasawuf mendasarkan pada wacana teologis dimana para Sufi
merasa bahwa perpisahan dengan Illahi merupakan predisposisi

218 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
bagi seseorang untuk mengalami penyakit emosional. (Mitha,
2019)
Oleh karena itu, kesehatan dalam tradisi sufi hanya dapat
dipahami ketika seseorang memiliki pemahaman yang baik
tentang dirinya sendiri (ma’rifatun nafs). (Abdussalam, 2003;
Chisti, 1991) tanpa memiliki pemahaman yang baik tentang diri
manusia, manusia menjadi keliru memahami tentang apa itu sakit,
dan apa itu sehat. Padahal apa yang terjadi dalam tubuh, yang
dimaknai dengan sakit oleh kebanyakan orang, seringkali bukan
merupakan sakit yang sebenarnya melainkan merupakan upaya
tubuh dalam mencapai keseimbangan dalam tubuh. Manusia
sering merasa apa yang tidak “baik” merupakan sesuatu yang
buruk bagi dirinya. Padahal sebagaimana yang ada dalam Al-
Quran Surat Al-Baqarah ayat 216 “boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu” Konsep
mengenal diri sendiri (ma’rifatun Nafs) dapat mengantar seseorang
menuju mengenal Hakikat Allah Swt (ma’rifatullah). (Abdussalam,
2003)
Para filusuf Islam klasik, yang konsen dalam kajian-kajian
manusia (ilm nafs), menjelaskan bahwa manusia seharusnya
dipahami secara komprehensif, integral (tidak terpisah antara jiwa
dan tubuhnya). (Al-Balkhi, 1990) Karya-karya filusuf klasik lebih
berfokus pada pembahasan tentang hakikat jiwa, relasi dengan
tubuh, daya-daya yang dimiliki jiwa, akal, dan perolehan
pengetahuan. Sementara parasufi melengkapi penjelasan dengan
pembahasan mengenai sifat-sifat jiwa yang kemudian disebut
dengan istilah amradh al-qulub (penyakit-penyakit hati) atau amradh
ruhaniyyah (penyakit-penyakit ruhaniah). Munculnya penyakit-
penyakit tersebut disebabkan karena manusia memperlakukan
dirinya secara tidak seimbang. Barangkali hanya memperhatikan
aspek rasionalitas dan empiritas manusia sementara aspek
spiritualitas tidak mendapat porsi yang proporsional. Pemikiran
Ibn Arabi melalui konsep Insan Kamil menjelaskan bahwa inti
manusia adalah spiritualitas. Melalui daya spiritualitas, manusia

Atika Ulfia Adlina | 219

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
memiliki kualitas untuk mendekati Tuhan dan dengan cara ini
juga dapat menjadi obat bagi masyarakat modern. (Abdul Kadir
Riyadi, 2014) Konsep ma’rifatun nafs dan ma’rifatullah ini menjadi
dasar dari pengobatan atau penyembuhan menggunakan teknik
sufi healing.
Praktek penyembuhan dalam tradisi sufi telah dilakukan
oleh ulama sufi bahkan dicontohkan langsung dalam sikap hidup
Rasulullah saw. Pada umumnya, praktek sufi healing tampak
dalam konsep tazkiyatun nafs, atau pendakian jalan atau latihan
spiritual dengan menempuh maqamat. Mulla Sadra menjelaskan
bahwa latihan spiritual (riyadhoh) yang dilakukan secara sungguh-
sungguh (mujahadah) untuk membersihkan jiwa akan
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran yang mendalam, dan
bermuara pada peningkatan level nafs manusia. (Bagir, 2017)
Latihan spiritual yang merupakan teknik sufi healing dapat
berupa berpuasa, mengasingkan diri (uzlah/Khalwat), adab,
pelayanan, dzikir, dan Shalat. (Pambuka, 2020) Terdapat juga sufi
healing dalam bentuk biblioterapi, yaitu terapi penyembuhan jiwa
dengan menggunakan cerita-cerita atau hikayat sufi. Kitab
Masnawi karya Jalaluddin Rumi terdapat pesan cerita dan frasa
tentang penyebuhan jiwa, pecinta dan obat untuk orang-orang
yang sakit. Penggunaan pikiran metaforis yang ada dalam cerita-
cerita sufi dapat memperbaiki perangkat internal manusia dengan
cara bercerita bagaimana terbebas dari kecemasan dan ketakutan,
memberikan contoh tentang bagaimana meningkatkan
kepercayaan diri, bagaimana menghilangkan prasangka, terdapat
juga cerita untuk meluruskan ide-ide yang salah dan memberikan
ruang untuk berfikir alternatif. (Tarhan, 2021) Sufi healing
sebagai sebuah terapi psikospiritual memiliki perbedaan yang
mendasar dengan psikoterapi konvesional. (Frager, 1999) Tujuan
psikoterapi konvesional adalah menghilangkan sifat-sifat
kepribadian neurotik dan membantu seseorang menyesuaikan
diri terhadap masyarakat. Sementara praktek tasawuf bertujuan
untuk mengubah sifat buruk kepribadian untuk membuka hati,
berhubungan dengan kearifan mendalam di dalam diri dan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. (Frager, 1999) Dengan demikian,

220 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tujuan sufi healing dapat dipahami sebagai proses penyembuhan
dengan cara menaikkan level nafs dari level nafs amarah al-bissu,
yang merupakan tingkat nafs terendah kemudian terus mengalami
peningkatan pada level nafs lawwamah hingga mencapai level nafs
Kamilah. (Frager, 1999; Mustamir Pedak, 2021) Praktek Sufi
healing juga diterapkan pada tarekat-tarekat di seluruh dunia.
(Amirudin, 2012; Iqbal & Farid, 2017) Kini, sepanjang tahun
2000, kajian-kajian penelitian secara khusus mempertimbangkan
hubungan antara spiritualitas Sufi dan kesejahteraan mental
semakin meningkat dengan penerapan teknik sufi healing yang
beragam. (Cetinkaya & Billings, 2023).

GAGASAN SUFI HEALING DALAM KITAB TAJUL
ARUS KARYA IBNU ATHAILLAH AS -SAKANDARI
Kitab Tajul Arus secara garis besar berbicara mengenai tiga
kategori akhlak yaitu 1) akhlak bagi diri sendiri, 2) akhlak kepada
Allah dan 3) Akhlak kepada sesama manusia. Ketiga kategori
akhlak tersebut dikaitkan dengan Pendidikan jiwa (mujahadah an-
Nafs). Dapat dipahami bahwa proses mendidik jiwa agar
senantiasa dapat dekat kepada Allah swt harus melalui proses
pembentukan akhlak atau perilaku dengan menyasar pada tiga
target yaitu diri sendiri, Allah dan sesama manusia. Keterangan
tersebut sesuai dengan teori Al-Ghazali tentang segitiga kerangka
kerja perilaku. Penjelasannya adalah bahwa target perubahan
perilaku adalah mengubah kondisi qalb, yaitu dengan memberi
intervensi pada ilmu dengan melakukan restrukturisasi kembali
pikiran seseorang (cognitive restructuring) atau dengan melakukan
modifikasi terhadap amal (behaviour modification)(R. Firmansyah,
2020, hal. 106).
Proses berakhlak dengan tiga target tersebut merupakan
riyadhah yang dapat juga diartikan sebagai modifikasi terhadap
amal (behaviour modification). Jika diamati lebih dalam, ada sedikit
perbedaan pemaknaan istilah “akhlak” dalam kitab tajul arus
dengan yang dimaksud al-Ghazali. Akhlak dalam teori al-Ghazali

Atika Ulfia Adlina | 221

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tentang kerangka kerja akhlak adalah perilaku yang berarti
perbuatan yang dilakukan seseorang yang menjadi kebiasaan
sehingga menimbulkan tabiat. Sementara akhlak dalam kitab tajul
arus lebih dipahami sebagai adab atau upaya atau amal yang harus
dilakukan seseorang. Berikut adalah kategorisasi penjabaran tiga
kategori akhlak yang ada dalam kitab Tajul Arus.
Table 1 : Kategorisasi Penjabaran Tiga Kategori Akhlak
Yang Ada Dalam Kitab Tajul Arus
AKHLAK
TERHADAP
DIRI SENDIRI
AKHLAK
TERHADAP
ALLAH
AKHLAK
TERHADAP
SESAMA
MANUSIA
Taubat


Siapa yang
sungguh-sungguh
bertaubat akan
dicintai Allah swt
Langit dan bumi
hormat kepada
wali
Dampak maksiat
terhadap lahir dan
batin
Berada dalam
hukum-hukum
Allah Swt.
Keharusan
hormat pada
sahabat
Orang yang umurnya
sudah dekat cepat-
cepat mencari bekal

Hal-hal yang
membantu
membersihkan hati;
ketujuh, Nikmat
Allah yang besar

Kekurangan pada
dirimu dan adanya
hijab dari dirimu

222 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Pada pembahasan mengenai taubat, Syeikh Ibn Atha’illah
tidak hanya mengkaitkannya dengan kondisi qalbu atau hati
seseorang yang gelap sehingga harus melakukan muhasabah, tetapi
juga menambahkan bahwa taubat secara hakikat adalah
pengakuan diri seseorang di hadapan Allah swt atas hina, serba
kurang dan tiada daya kekuatan hamba selain hanya mendapat
pertolongan dari Allah swt. Taubat merupakan jalan awal seorang
manusia menyadari kehadiran atau keberadaan Allah. Lebih jauh
dari itu, bila seseorang mampu merasakan kehadiran Allah
melalui proses taubat tersebut, maka dirinya akan dicintai oleh
Allah swt.
Selain itu, tidak hanya maksiat yang dijabarkan melainkan
juga dampak dari seseorang yang melakukan maksiat. Dampak
maksiat meliputi lahir dan batin. Aspek lahir ditunjukkan dengan
wajah yang suram. Ini dapat dipahami bahwa secara fitrah (qalbu),
manusia menyukai kebenaran, kebaikan, kesucian sehingga ketika
seseorang melakukan maksiat, terdapat pertentangan batin yang
ada dalam diri seseorang. Pertentangan ini menimbulkan
ketidakseimbangan yang menunjukkan disfungsi-nya qalbu(R.
Firmansyah, 2020, hal. 93). Pada akhirnya memunculkan emosi-
emosi negatif yang menimbulkan jejak pada wajah dan bahasa
tubuh.
Grafik 1 : Proses Terjadinya Emosi (Adaptasi dari
Greenberg&Watson, 2002)

Atika Ulfia Adlina | 223

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Bahkan Hude(2006) menuturkan reaksi fisiologis akibat
emosi tidak hanya wajah melainkan juga kulit dan buluroma,
kinesis, pernafasan, dan denyut Jantung. Tentang adanya reaksi
eksternal (fisiologis) melalui wajah yang dikaitkan dengan adanya
emosi pada diri seseorang, juga telah diilhamkan dalam al-Quran
surat ke 80 yaitu ‘Abasa ayat 38-42.
اَهُقَهۡرَت ٞةَرَبَغ اَهۡيَلَع ٍذِئَمۡوَي ٞهوُجُوَو ٞةَرِشۡبَتۡسُّم ٞةَكِحاَض ٞةَرِفۡسُّم ٖذِئَمۡوَي ٞهوُجُو
ُةَرَجَف
ۡ
لٱ ُةَرَفَك
ۡ
لٱ ُمُه َكِئ
َٰٓ َلْو
ُ
أ ٌةَرَتَق
“[Beberapa] wajah, Hari itu, akan cerah, Tertawa, bersukacita karena
kabar baik. Dan wajah-wajah [lainnya], pada hari itu, di atas mereka
ada debu. Kegelapan akan menutupi mereka. Mereka itulah orang-orang
kafir, orang-orang fasik”
Disfungsi Qalb akibat maksiat tidak hanya berdampak pada
aspek fisik manusia melainkan juga aspek psikis. Kecemasan,
ketakutan, kekhawatiran, kesedihan yang kerap muncul akibat
disfungsi qalb, sering menyebabkan seseorang menjadi tidak
tenang dan terus-menerus merasa tertekan. Tetapi yang lebih
parah lagi adalah apabila seseorang tetap melakukan maksiat
tetapi tidak merasakan hal-hal yang demikian seperti kecemasan,
ketakutan dll, maka kondisi qalb nya sudah pada derajat hati yang
keras.
Untuk mereduksi dan mengeliminasi efek-efek negatif dari
ketegangan-ketegangan yang mungkin muncul pada
keterbangkitan emosi diperlukan berbagai model yang dapat
digunakan sebagai pengendali emosi. Beberapa diantaranya
adalah pengalihan dari objek yang sebenarnya kepada objek yang
bersifat semu (displacement) meliputi katarsis positif, rasionalisasi
dan dzikrullah. Penyesuaian kognisi juga dapat dilakukan seperti
pada atribusi positif (husnudzon), empati dan altruism. Model lain
adalah coping, yaitu mencoba menjalani segala sesuatu sebagai
resiko kehidupan. Di sini kita dapat melakukan mekanisme sabar,
syukur, mudah memberi maaf dan adaptasi-adjusment, relaksasi,
regresi, represi dan penguatan.

224 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner

Grafik 2 Skema Manajemen Pembentukan Akhlak
Berdasarkan Kitab Tajul Arus














KESIMPULAN
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, tasawuf bersifat
dinamis. Jika literasi sufistik pada masa-masa sebelumnya lebih
membicarakan tasawuf pada aspek paradigma, aliran, doktrin-
doktrin, pengalaman para sufi dan lain sebagainya, kini
pembacaan dan pengembangan literasi sufistik di masa
mendatang harus berorientasi pada masa kekinian sebagai upaya
menyelesaikan persoalan manusia terutama pada aspek psikis
manusia. Pembacaan literasi sufistik harus dilakukan dengan cara
mendekontruksi atau membongkar gagasan-gagasan keilmuwan
klasik untuk kemudian dicari dan disusun kembali dengan
menekankan aspek relevansinya dan manfaatnya dalam kaitannya
dengan upaya memahami realitas masyarakat, realitas
keberagamaan dan menjelaskan realitas alam.
Sufi Healing sebagai pendidikan jiwa dalam Kitab Tajul
Arus meliputi 1) Taubat, pada tahap tersebut berfungsi untuk

Atika Ulfia Adlina | 225

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mengaktifkan kembali fungsi qalbu melakui aktifitas kognisi
sehingga qalbu berada dalam kondisi kesadaran yang prima. 2)
Riyadhah berupa dzikir, banyak diam, khalwat dll, tahap ini
adalah teknik amalan yang harus dilakukan agar mendorong
kesadaran qalbu selalu dalam keadaan prima, 3) Meingkatkan
upaya ma’rifatullah atau mengenal lebih dalam tentang Allah
melalui proses-proses kehidupan alamiah yang menimpa
seseorang seperti peristiwa yang nampak oleh manusia berupa
anugrah, musibah,
Tahap ke empat adalah Hormat kepada sesama terutama
yang lebih utama dari kita, tahapan ini adalah berupaya untuk
meningkatkan kesadaran qalbu seseorang tentang lingkungan
sekitar. 5) Bermuhasabah, atau mengoreksi dan melihat diri
sendiri digunakan untuk memonitoring diri sendiri sebagai
control agar selalu dalam keadaan waspada terhadap penyakit hati
yang sifatnya halus misalnya sombong, riya dan lain sebagainya.
Jika didapati diri dalam keadaan yang perlu dibersihkan maka
seseorang perlu melanjutkan kembali ke tahap taubat. Pada
skema 2 menunjukkan sebuah proses yang harus dilakukan terus
menerus (istiqomah). Tahapan tersebut juga bukan menunjukkan
keniscayaan tingkatan seperti jika begini maka begitu, akan tetapi
lebih kepada proses.

DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, I. bin. (2003). Syajaratul Ma’arif wal Ahwal wa Shalihil
Aqwal wal A’mal. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Balkhi, A. ibn S. (1990). Masalih al-Abdan wa al-anfus. Dar al
Da’qah li al-Nashr wa al-Tawzi.
Al-Taftazani, A. al W. alGhanimi. (1997). Sufi dari Zaman ke
Zaman (A. Mukti (penerj.)). Pustaka.
Amirudin, A. A. (2012). Terapi Sufistik dalam Perspektif Tarekat
Tijaniyah Samarang Kabupaten Garut: Studi Deskriptif di

226 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Samarang Kabupaten Garut [UIN Sunan Gunung Djati
Bandung]. https://digilib.uinsgd.ac.id/931/
Bagir, H. (2005). Buku Saku Tasawuf. PT Mizan Pustaka.
Bagir, H. (2017). Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar. PT Mizan
Pustaka.
Bakri, S., & Saifuddin, A. (2019). Sufi Healing: Integrasi Tasawuf
dan Psikologi dalam Penyembuhan Psikis dan Fisik. In
Universitas Nusantara PGRI Kediri (Vol. 01). PT Raja
Grafindo Persada.
Cetinkaya, M., & Billings, J. (2023). Systematic review of the
relationship between Islamic-Sufi spirituality and practice
and mental well-being. Mental Health, Religion and Culture,
26(10), 1065 –1080.
https://doi.org/10.1080/13674676.2023.2256265
Chisti, M. (1991). The Book of Sufi Healing. Inner Traditions
International.
Firmansyah, R. (2020). Psikologi Ghazalian. Bettermind
Publishing.
Frager, R. (1999). Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth,
Balance and Harmony (H. Rauf (penerj.)). Qaf Media Kreativa.
Iqbal, T., & Farid, M. (2017). Sufi Practices as the Cause of
Spiritual, Mental and Physical Healing at Chishti Shrines in
Pakistan. Mental Health, Religion and Culture, 20(10), 943–953.
https://doi.org/10.1080/13674676.2017.1372736
Kadir, M. A. (2003). Ilmu Islam Terapan. Pustaka Pelajar dan
STAIN Kudus.
Kuntowijoyo. (2008). Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. PT.
Mizan Pustaka.
Mitha, K. (2019). Sufism and healing. Journal of Spirituality in
Mental Health , 21(3), 194 –205.

Atika Ulfia Adlina | 227

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
https://doi.org/10.1080/19349637.2018.1464423
Mustamir Pedak. (2021). Kerangka Konsep Sufi Healing. Literasi
Nusantara.
Nst, M. H. (2016). Telaah Pemikiran Epistemologi Ilmuan
Muslim Kontemporer: Perspektif Intelektual Muslim
Indonesia. Proceeding of International Conference on Islamic
Epistemology, 141–149.
Pakar, S. I. (2013). Tokoh-Tokoh Tasawuf Dan Ajarannya. In
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Deepublish.
Pambuka, F. R. S. (2020). Proses Penyembuhan dengan Metode Tasawuf
(sufi healing) pada Pelaku Tari Sufi di Surakarta [Institut Agama
Islam Negeri Surakarta].
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
Riyadi, Abdul Kadir. (2014). Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia
Spiritual dan Pengetahuan. LKiS.
Riyadi, Akbar Kadir. (2016). Arkeologi Tasawuf. Mizan.
Tarhan, N. (2021). Terapi Rumi: Dari Era Pengetahuan ke Era
Kebijaksanaan. Qaf Media Kreativa.
Yount, W. R. (2009). Transcendence and aging: The secular
insights of erikson and maslow. Journal of Religion, Spirituality
and Aging , 21(1–2), 73 –87.
https://doi.org/10.1080/15528030802265361
Abdussalam, I. bin. (2003). Syajaratul Ma’arif wal Ahwal wa Shalihil
Aqwal wal A’mal. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Balkhi, A. ibn S. (1990). Masalih al-Abdan wa al-anfus. Dar al
Da’qah li al-Nashr wa al-Tawzi.
Al-Taftazani, A. al W. alGhanimi. (1997). Sufi dari Zaman ke
Zaman (A. Mukti (penerj.)). Pustaka.

228 | Atika Ulfia Adlina

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Amirudin, A. A. (2012). Terapi Sufistik dalam Perspektif Tarekat
Tijaniyah Samarang Kabupaten Garut: Studi Deskriptif di
Samarang Kabupaten Garut [UIN Sunan Gunung Djati
Bandung]. https://digilib.uinsgd.ac.id/931/
Bagir, H. (2005). Buku Saku Tasawuf. PT Mizan Pustaka.
Bagir, H. (2017). Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar. PT Mizan
Pustaka.
Bakri, S., & Saifuddin, A. (2019). Sufi Healing: Integrasi Tasawuf
dan Psikologi dalam Penyembuhan Psikis dan Fisik. In
Universitas Nusantara PGRI Kediri (Vol. 01). PT Raja
Grafindo Persada.
Cetinkaya, M., & Billings, J. (2023). Systematic review of the
relationship between Islamic-Sufi spirituality and practice
and mental well-being. Mental Health, Religion and Culture,
26(10), 1065 –1080.
https://doi.org/10.1080/13674676.2023.2256265
Chisti, M. (1991). The Book of Sufi Healing. Inner Traditions
International.
Firmansyah, R. (2020). Psikologi Ghazalian. Bettermind
Publishing.
Frager, R. (1999). Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth,
Balance and Harmony (H. Rauf (penerj.)). Qaf Media Kreativa.
Iqbal, T., & Farid, M. (2017). Sufi Practices as the Cause of
Spiritual, Mental and Physical Healing at Chishti Shrines in
Pakistan. Mental Health, Religion and Culture, 20(10), 943–953.
https://doi.org/10.1080/13674676.2017.1372736
Kadir, M. A. (2003). Ilmu Islam Terapan. Pustaka Pelajar dan
STAIN Kudus.
Kuntowijoyo. (2008). Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. PT.
Mizan Pustaka.

Atika Ulfia Adlina | 229

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Mitha, K. (2019). Sufism and healing. Journal of Spirituality in
Mental Health , 21(3), 194 –205.
https://doi.org/10.1080/19349637.2018.1464423
Mustamir Pedak. (2021). Kerangka Konsep Sufi Healing. Literasi
Nusantara.
Nst, M. H. (2016). Telaah Pemikiran Epistemologi Ilmuan
Muslim Kontemporer: Perspektif Intelektual Muslim
Indonesia. Proceeding of International Conference on Islamic
Epistemology, 141–149.
Pakar, S. I. (2013). Tokoh-Tokoh Tasawuf Dan Ajarannya. In
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952.
Deepublish.
Pambuka, F. R. S. (2020). Proses Penyembuhan dengan Metode Tasawuf
(sufi healing) pada Pelaku Tari Sufi di Surakarta [Institut Agama
Islam Negeri Surakarta].
http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf
Riyadi, Abdul Kadir. (2014). Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia
Spiritual dan Pengetahuan. LKiS.
Riyadi, Akbar Kadir. (2016). Arkeologi Tasawuf. Mizan.
Tarhan, N. (2021). Terapi Rumi: Dari Era Pengetahuan ke Era
Kebijaksanaan. Qaf Media Kreativa.
Yount, W. R. (2009). Transcendence and aging: The secular
insights of erikson and maslow. Journal of Religion, Spirituality
and Aging , 21(1–2), 73 –87.
https://doi.org/10.1080/15528030802265361

230 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


METODE HERMENEUTIKA DALAM ISLAM
(ANTARA TRADISI DAN INOVASI )

Nur Khosiah


PENDAHULUAN
Kehadiran hermeneutika, yang asalnya dari luar tradisi
keilmuan Islam, wajar saja menimbulkan berbagai tanggapan di
kalangan umat Muslim. Namun, hermeneutika tidak hanya
diterapkan pada kitab suci; ia juga berkembang pesat dalam
berbagai disiplin ilmu. Kajian ini juga mencakup teks-teks klasik.
Hermeneutika erat kaitannya dengan perkembangan pemikiran
tentang bahasa dalam filsafat dan ilmu lainnya. Pada awalnya,
hermeneutika digunakan untuk menafsirkan kehendak Tuhan
dalam kitab suci, seperti Injil, kepada manusia. Metode ini disebut
ilmu Yunani dan Romawi. Pada abad ke-17 dan ke-18, bentuk
hermeneutika dalam kajian tersebut mulai berkembang. (Anwar
& Ridho, 2021) Metode hermeneutika dalam Islam, sebagai
pendekatan dalam menafsirkan teks-teks suci, telah menjadi
topik yang semakin relevan dalam kajian ilmiah dan teologis
kontemporer. Hermeneutika, yang awalnya berkembang dalam
konteks filsafat Barat, menawarkan cara baru dalam memahami
makna teks dengan mempertimbangkan konteks historis,
kultural, dan filosofis. Dalam konteks Islam, penerapan metode
ini membuka ruang untuk inovasi dalam penafsiran al-Qur'an
dan hadis, serta mengajak para cendekiawan untuk merefleksikan
kembali tradisi penafsiran yang telah ada.

Nur Khosiah | 231

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Menurut Jan Grondin, kemunculan sejarah hermeneutika
sebagai metode penafsiran setidaknya dapat ditelusuri ke periode
Patristik, atau bahkan ke filsafat Stoik yang mengembangkan
penafsiran alegoris terhadap mitos, serta tradisi sastra Yunani
kuno. Namun, baru pada abad ke-17 hermeneutika mulai
berkembang sebagai metode penafsiran yang lebih sistematis.
Perlu dicatat bahwa sebelum abad ke-17, hermeneutika belum
memperkenalkan istilah ini secara definitif dan belum memiliki
karakter filosofis. (Anwar & Ridho, 2021)
Tradisi tafsir Islam yang telah berkembang selama
berabad-abad didasarkan pada metode-metode yang telah
dirumuskan oleh ulama klasik dan berorientasi pada pelestarian
ajaran asli serta konteks historis dan linguistik. Metode-metode
ini, seperti tafsir bi al-Ma'thur dan tafsir bi al-Ra'y, telah
memberikan kerangka kerja yang mendalam dan kaya untuk
memahami teks-teks suci. Namun, dengan munculnya
pendekatan hermeneutika, terdapat dorongan untuk
mengeksplorasi cara-cara baru dalam menafsirkan teks, yang
dapat memperkaya pemahaman kita dan menghadirkan
perspektif yang lebih luas. Manusia adalah makhluk sosial dan
historis. Pengalaman sosial membantu mendefinisikan apa yang
dianggap positif dan benar, sementara pengalaman historis
menunjukkan adanya faktor penyebab, peristiwa, dan cerita
sejarah yang berkembang dan berkaitan dengan pengalaman
manusia. Penafsiran kitab suci juga bergantung pada kemampuan
penerjemah untuk menyampaikan makna teks sesuai dengan
konteks sejarah dan sosialnya. Penafsir mengacu pada kehidupan
masa lalu dan mengaitkannya dengan pengalaman masa
kini.(Yudantiasa, 2021)
Hermeneutika adalah ilmu yang membahas tentang teori
penafsiran dan berfokus pada memahami dan menafsirkan
sebuah teks. Hermeneutika merupakan disiplin atau teori
metodis tentang penafsiran yang bertujuan untuk menjelaskan
teks beserta karakteristiknya, baik secara objektif (arti gramatikal
kata-kata dan berbagai variasi historisnya) maupun subjektif

232 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
(maksud pengarang). Teks-teks otoritatif atau kitab suci
merupakan bahan kajian utama dalam hermeneutika. (Zayyadi,
2017) Metode hermeneutika dapat diintegrasikan dalam studi
Islam, menganalisis perbedaan dan kesamaan dengan metode
tafsir tradisional, serta membahas tantangan dan peluang yang
muncul dari penggunaan pendekatan ini. Dengan memahami
dinamika antara tradisi dan inovasi dalam penafsiran teks-teks
suci, diharapkan kita dapat mencapai pemahaman yang lebih
mendalam dan relevan dalam konteks zaman sekarang.

KONSEP DASAR HERMENEUTIKA DALAM ISLAM
1) Definisi dan Sejarah Hermeneutika
Dalam bahasa Yunani, kata "hermeneutika" berasal dari
kata "hermeneuein," yang berarti "menafsirkan," dan kata
bendanya, "hermeneia," berarti "tafsiran." Dalam tradisi Yunani
kuno, kata ini digunakan dengan tiga makna utama: mengatakan
(to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to
translate). Dalam bahasa Inggris, ketiga makna ini diekspresikan
dengan istilah "to interpret." Dengan demikian, interpretasi
mencakup tiga aspek utama: pengucapan lisan (an oral
recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable
explanation), dan terjemahan ke dalam bahasa lain (a translation
from another language) (Anwar & Ridho, 2021) Menurut istilah,
hermeneutika adalah seni dan ilmu menafsirkan, khususnya
tulisan-tulisan yang otoritatif, terutama yang berkaitan dengan
kitab suci, dan setara dengan exegesis (tafsir). Ada juga yang
memandang hermeneutika sebagai sebuah filsafat yang
memfokuskan kajiannya pada masalah "pemahaman terhadap
pemahaman" teks, terutama teks Kitab Suci yang berasal dari
waktu, tempat, dan situasi sosial yang berbeda dan asing bagi para
pembacanya. (Anwar & Ridho, 2021) Istilah hermeneutika secara
etimologis berasal dari kata Yunani "Hermenuin," yang berarti
tafsir, penjelasan, dan penerjemahan. Kata hermeneutika diambil
dari kata kerja Yunani "hermeneuin" dan kata benda

Nur Khosiah | 233

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
"hermeneia." Kata ini sering diterjemahkan sebagai
mengungkapkan (to say), menjelaskan (to explain), dan
menerjemahkan (to translate). Dalam bahasa Inggris, terjemahan
yang mewakili adalah "to interpret" (menginterpretasikan,
menafsirkan, dan menerjemahkan). Hermeneutika diartikan
sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi pemahaman. (Habibie & Ilmu, 2016)
Secara terminologis, hermeneutika diartikan sebagai teori
atau metode untuk menafsirkan teks, terutama teks-teks Alkitab,
kata-kata bijak, dan teks filsafat. Hery A. Vikrler dalam bukunya,
"Hermeneutic," mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu dan
seni dalam interpretasi Alkitab. Istilah "ilmu" digunakan karena
hermeneutika dapat dikategorikan dalam sistem yang teratur,
sedangkan "seni" digunakan karena proses komunikasinya
bersifat fleksibel. Oleh karena itu, penerapan aturan yang
mekanis dan kaku kadang-kadang bisa mengubah makna
sebenarnya dari komunikasi tersebut. (Горбунов А., 2016)
Secara terminologis, dalam penggunaan klasiknya, hermeneutika
dapat diartikan sebagai proses penafsiran teks, terutama teks-teks
Alkitab, serta teks-teks filosofis.(Yudantiasa, 2021) Menurut
pandangan lain, kata "hermeneutic" berasal dari nama Hermes,
yang dalam mitologi Yunani merupakan utusan para dewa.
Namun, Hermes juga diidentifikasi dengan dewa Mesir kuno,
Thoth. Dengan demikian, hermeneutika mengembangkan teori
penafsiran mengenai alam, eksistensi, asal usul, dan kembalinya
sesuatu. Tugas utama hermeneutika adalah menemukan
dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks,
sehingga teks tersebut dapat menyampaikan maknanya secara
efektif. (Yudantiasa, 2021)
Menurut istilah, hermeneutika adalah seni dan ilmu
menafsirkan, khususnya tulisan-tulisan yang otoritatif, terutama
yang berkaitan dengan kitab suci, dan setara dengan exegesis
(tafsir). Ada juga yang memandang hermeneutika sebagai sebuah
filsafat yang memfokuskan kajiannya pada masalah "pemahaman
terhadap pemahaman" teks, terutama teks Kitab Suci yang

234 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
berasal dari waktu, tempat, dan situasi sosial yang berbeda dan
asing bagi para pembacanya. (Anwar & Ridho, 2021) The New
Encyclopedia Britannica menjelaskan bahwa hermeneutika
merupakan studi tentang prinsip-prinsip umum dalam penafsiran
Alkitab. Dari berbagai definisi hermeneutika yang ada, dapat
disimpulkan bahwa hermeneutika adalah metode untuk
menafsirkan atau mengungkapkan makna. Hermeneutika adalah
istilah yang mencakup berbagai level refleksi, seperti yang sering
terjadi dengan kata-kata Yunani yang menjadi bagian dari
terminologi akademik. Pertama, hermeneutika merujuk pada
praktik atau seni yang membutuhkan keterampilan khusus, yang
dalam bahasa Yunani disebut techne. Hermeneutika adalah seni
praktik (a-techne), yang melibatkan khotbah, interpretasi bahasa
asing, menjelaskan dan menguraikan teks, dan yang mendasari
semua ini, seni memahami. Seni ini sangat diperlukan setiap kali
makna sesuatu tidak jelas atau ambigu. (Yudantiasa, 2021)
Istilah hermeneutika dapat ditemukan dalam literatur
Yunani kuno, seperti dalam karya Aristoteles yang berjudul
Organon, di mana terdapat frasa peri hermeneias (yang dalam
Bahasa Indonesia berarti tentang penafsiran). Frasa ini muncul
dalam bentuk nominal di Epos Oedipus at Colonus, beberapa
kali dalam tulisan Plato, serta dalam karya-karya penulis kuno
lainnya seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus,
Lucretius, dan Longinus. Kedua istilah ini dikaitkan dengan
Hermes. (hermeias), (Горбунов А., 2016)
Penerapan hermeneutika tidak dimaksudkan untuk
mengubah atau merendahkan kesakralan Al-Qur'an, melainkan
untuk memperbarui penafsirannya, sehingga Al-Qur'an menjadi
lebih relevan dan bermakna di setiap era..(Горбунов А., 2016)
Fazlur Rahman juga mengungkapkan pandangan serupa,
menyatakan bahwa sangat penting untuk menerapkan
hermeneutika dalam studi Al-Qur'an, terutama dalam penafsiran,
untuk memahami makna dan pesan moral Al-Qur'an secara
menyeluruh. Hal ini akan menciptakan sebuah kesatuan yang
kompleks dan saling terhubung. (Горбунов А., 2016)

Nur Khosiah | 235

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Hermeneutika merupakan disiplin atau teori metodologis yang
berfokus pada penafsiran, bertujuan untuk menguraikan teks dan
karakteristiknya, mencakup aspek objektif (seperti makna
gramatikal kata-kata dan variasi historisnya) serta aspek subjektif.
(Zayyadi, 2017) Hermeneutika sudah dikenal oleh para ilmuwan
yang menekuni teologi, filsafat, kitab, dan ilmu sosial. Sepanjang
sejarah, metode ini digunakan untuk mengkaji teks-teks kuno
yang otoritatif, kemudian diterapkan dalam konteks teologi dan
dianalisis secara filosofis. (Moh.Irfan, 2023)
Wahyu agama, baik berupa kitab suci maupun hadis Nabi,
yang telah melalui proses sejarah yang sangat panjang, tidak
mungkin dipahami dengan cara yang sederhana. Dengan rentang
waktu yang begitu lama, apakah mungkin kehendak dari
"penulis" (author) dapat dipahami melalui interpretasi pemikiran
manusia sebagai pembaca (reader) terhadap teks tersebut? Ini
adalah pertanyaan yang sering mengganggu kita dalam
memahami hukum dan ajaran Islam. (Maharsi et al., 2008)
Peran Islam di masa depan, dalam dunia global modern,
akan bergantung pada sikap yang diambilnya dalam konteks
historis ini. Jika agama-agama cenderung bereaksi secara tertutup
dan mengalami reprimordialisasi, Islam bisa menjadi ancaman
bagi kesatuan, persatuan, dan masa depan bangsa. Sebaliknya,
jika Islam berani memperjuangkan hak-hak manusia dan
masyarakat yang lebih manusiawi, sesuai dengan kehendak Sang
Pencipta dalam hubungan antarmanusia, maka Islam akan
menjadi pembela manusia, melawan kekuatan politik dan
ekonomi yang mendehumanisasi masyarakat. (Maharsi et al.,
2008)
2) Hermeneutika dalam Tradisi Islam
Dalam tradisi Hermeneutik, ada konsep yang dikenal
sebagai lingkar Hermeneutik. Dalam hal ini, kerangka lingkar
Hermeneutik yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer
patut diperhatikan (Richard F. Palmer: 1969: 194-217). Gadamer
merumuskan teori filosofi tentang pemahaman setelah

236 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mengkritik pandangan hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey
(Josef Bleicher: 2003: 12-24) yang bersifat romantis, menganggap
kesenjangan waktu antara penafsir dan pengarang sebagai sesuatu
yang negatif. (Maharsi et al., 2008)
Hermeneutika tidak tiba-tiba muncul sebagai cabang dari
filsafat dalam khazanah ilmu pengetahuan, melainkan berasal dari
subdisiplin teologi yang telah ada sejak awal peradaban manusia.
Subdisiplin ini mencakup kajian metodologis tentang autentikasi
dan penafsiran teks. Namun, seiring waktu, cakupannya
berkembang dan meliputi masalah penafsiran secara menyeluruh.
. (Anwar & Ridho, 2021) Menurut istilah, hermeneutika adalah
seni dan ilmu menafsirkan, terutama tulisan-tulisan otoritatif
seperti kitab suci, dan setara dengan tafsir. Beberapa orang juga
memahami hermeneutika sebagai sebuah filsafat yang fokus pada
"pemahaman tentang pemahaman" teks, khususnya teks kitab
suci yang berasal dari waktu, tempat, dan situasi sosial yang asing
bagi para pembacanya. (Anwar & Ridho, 2021)
Ada tiga tren utama dalam teori hermeneutika, terutama
yang diterapkan pada pembacaan Al-Qur'an kontemporer.
Pertama, teori yang berpusat pada pengarang (author), yang
menyatakan bahwa makna teks adalah apa yang dimaksudkan
oleh pengarangnya. Dalam konteks Al-Qur'an, yang paling
memahami maksud pengarang adalah Nabi Muhammad SAW,
sahabat, tabi’in, dan para ulama berikutnya. Kedua, teori yang
berpusat pada teks, yang berpendapat bahwa makna suatu teks
terletak pada teks itu sendiri, sehingga penulisnya tidak terlalu
penting, membuat teks menjadi independen, otoritatif, dan
objektif. Ketiga, teori yang berpusat pada penafsir atau pembaca
(reader), yang berargumen bahwa makna teks bergantung pada
apa yang diterima dan diproduksi oleh penafsir, sehingga teks
dapat ditafsirkan sesuai dengan perspektif pembacanya.
(Zayyadi, 2017) Bahasa hermeneutika menjelaskan tentang
pemahaman dan penafsiran dengan membentuk pengertian baru,
sehingga memungkinkan manusia untuk mengungkapkan
sesuatu dengan cara yang berbeda.(Habibie & Ilmu, 2016)

Nur Khosiah | 237

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Manusia mampu merefleksikan dan
mempertanggungjawabkan pemikirannya. Dengan kebebasan
berbahasa dan kemampuan menguasai bahasa, manusia dapat
melakukan ini. (Habibie & Ilmu, 2016) Upaya manusia untuk
memahami makna universal dari sebuah teks sering kali terbatasi
oleh ruang dan waktu. Bahkan sering kali, penerima pesan
(manusia pada umumnya) terperangkap oleh tradisi, budaya,
sosial, dan berbagai kepentingan subjektif lainnya.(Maharsi et al.,
2008) upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai
metode mentafsirkan kalam-kalam Tuhan menggantikan metode
yang telah dirumuskan oleh para tokoh dan ulama.(Habibie &
Ilmu, 2016)
Selain itu, masalah lain dalam metode hermeneutika adalah
bahwa manusia sebagai penafsir memiliki peran yang signifikan.
Oleh karena itu, dalam pandangan hermeneutika, tidak ada
konsep kebenaran tunggal dalam penafsiran, melainkan adanya
relativisme penafsiran yang didasarkan pada maksud dan tujuan
manusia. (Habibie & Ilmu, 2016)
Metode hermeneutika yang digunakan untuk memahami
teks Al-Qur’an, seperti yang ditawarkan oleh Sahiron
Syamsuddin, disebut Ma’nā-Cum-Maghzā. Pendekatan ini
melibatkan dua prinsip utama. Pertama, penafsir harus
memperhatikan makna asli dari teks (Al-Qur’an) seperti yang
dipahami oleh audiens pada saat Al-Qur’an diturunkan (Ma’nā).
Kedua, penafsir harus mengembangkan signifikansi teks dalam
konteks situasi kontemporer saat ini (Maghzā). Pendekatan ini
juga mensyaratkan pemahaman terhadap konteks historis ayat
tersebut, yang dalam tradisi Islam disebut Asbāb al-Nuzūl (latar
belakang turunnya ayat). Jadi, ada dua hal yang harus dilakukan:
analisis bahasa dari ayat yang dikaji dan pemahaman konteks
sosio-historis ayat tersebut untuk mengidentifikasi makna
historis (Syamsuddin, 2018, hal. 69–72).
Hermeneutika dipahami sebagai metode penafsiran yang
tidak hanya diterapkan pada Alkitab tetapi juga pada teks-teks

238 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
filosofis, dengan tujuan untuk mengungkap kebenaran dan nilai
dari teks-teks tersebut yang sejak awalnya sudah menimbulkan
masalah. (Yudantiasa, 2021) Hermeneutika memiliki cakupan
yang sangat luas, mencakup bidang teologis, filosofis, linguistik,
dan hukum. Dalam konteks filsafat, hermeneutika merupakan
bagian dari seni berpikir. Pertama-tama, ide yang ada dalam
pikiran manusia dipahami sebelum diungkapkan. Itulah sebabnya
Schleiermacher menyatakan bahwa bahasa manusia berkembang
seiring dengan pemikiran manusia itu sendiri. Namun, jika saat
berpikir diperlukan persiapan untuk menyampaikan pemikiran
tersebut, maka terjadi apa yang disebutnya sebagai transformasi
dari pemikiran asli, sehingga penjelasan juga menjadi
penting..(Yudantiasa, 2021)

METODE HERMENEUTIKA TRADISIONAL DALAM
ISLAM
Hermeneutika, sebagai ilmu interpretasi teks, memiliki
peran penting dalam berbagai tradisi intelektual, termasuk dalam
studi agama Islam. Dalam konteks Islam, hermeneutika berkaitan
erat dengan metode tafsir dan penafsiran Al-Qur'an serta Hadis.
Metode hermeneutika tradisional dalam Islam telah berkembang
selama berabad-abad dan mencakup berbagai pendekatan yang
digunakan oleh ulama untuk memahami teks-teks suci. Pada
masa awal Islam, penafsiran Al-Qur'an dan Hadis dilakukan
secara langsung oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW yang
memiliki kedekatan dan pemahaman langsung dari sumber
utamanya. Seiring berjalannya waktu, penafsiran ini berkembang
menjadi disiplin ilmu yang lebih sistematis dengan munculnya
berbagai metode dan pendekatan yang digunakan oleh para
ulama untuk menguraikan makna teks-teks suci tersebut. Dua
metode utama yang muncul adalah Tafsir Bil-Ma'tsur (penafsiran
berdasarkan riwayat) dan Tafsir Bil-Ra'yi (penafsiran berdasarkan
penalaran logis).

Nur Khosiah | 239

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Metode hermeneutika tradisional dalam Islam tidak hanya
penting dari segi sejarah, tetapi juga memiliki relevansi
kontemporer yang signifikan. Dengan meningkatnya
kompleksitas masyarakat modern dan munculnya berbagai
tantangan baru, ada kebutuhan yang terus-menerus untuk
memahami teks-teks agama dengan cara yang tetap setia pada
tradisi tetapi juga relevan dengan konteks saat ini.Pemahaman
yang mendalam tentang metode hermeneutika tradisional dalam
Islam memberikan wawasan tentang bagaimana ulama masa lalu
menghadapi tantangan interpretasi dan bagaimana prinsip-
prinsip ini dapat diterapkan dalam konteks modern. Melalui
kajian ini, kita dapat memahami bagaimana pendekatan-
pendekatan tersebut bisa memberikan panduan yang berguna
bagi umat Islam dalam memahami dan mengimplementasikan
ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hermeneutik dalam Kajian Islam Dalam diskursus Islam,
hermeneutik dikenal dengan istilah tafsir, takwil, bayan, syarh,
dan sebutan lainnya. Dalam kajian ushul al-fiqh, metode atau
teori untuk memahami dan menafsirkan teks-teks Al-Qur'an,
hadits, atau sumber lainnya dikenal sebagai “al-istidlal bi al-
alfazh”. Di kalangan ulama tafsir, telah berkembang tradisi
penafsiran Al-Qur'an yang luar biasa, yang kemudian dikenal
sebagai ilmu tafsir. Mereka cenderung fokus pada pengembangan
berbagai kaidah untuk menemukan makna teks berdasarkan
konteks masa dan tempat turunnya. Analisis tradisional ini lebih
menekankan pada aspek lafad atau teks. (Yudantiasa, 2021)
Kajian hermeneutika berpendapat bahwa setiap kalimat, dalam
bentuk apapun, selalu mengandung tiga elemen: pengarang atau
orang yang menyampaikan (mutalaffizh/mutakallim), teks itu
sendiri (teks/'ibarah), dan penerima atau pembaca
(mutalaqqi/sami'). Prinsip-prinsip ini merupakan dasar dalam
analisis hermeneutik. (Yudantiasa, 2021)
Hermeneutika tradisional dalam Islam adalah pendekatan
untuk memahami dan menafsirkan teks-teks suci, terutama Al-
Qur'an, dengan menggunakan metode-metode yang telah

240 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dikembangkan oleh ulama klasik. Metode ini mencakup berbagai
aspek dan prinsip yang bertujuan untuk menangkap makna yang
benar dari teks-teks tersebut, dengan memperhatikan konteks
historis, linguistik, dan budaya.
Berikut beberapa aspek utama dari metode hermeneutika
tradisional dalam Islam:
1) Tafsir Bi al-Ma'thur: Metode penafsiran ini menggunakan
hadis Nabi Muhammad SAW, perkataan para sahabat,
dan tabi'in untuk menjelaskan makna ayat-ayat Al-
Qur'an. Penafsiran ini dianggap paling otoritatif karena
bersumber langsung dari generasi pertama Islam.
Langkah-langkah: a) Tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an:
Mencari ayat lain yang dapat menjelaskan atau
melengkapi makna ayat yang sedang ditafsirkan. b)Tafsir
Al-Qur'an dengan Hadis: Menggunakan Hadis untuk
menjelaskan konteks atau makna dari ayat-ayat tertentu.
Kelebihannya, Memberikan penafsiran yang paling
otentik karena bersumber langsung dari teks-teks suci.,
Menjaga kesinambungan dan konsistensi dalam
pemahaman Al-Qur'an
2) Tafsir Bi al-Ra'yi: Metode ini menggunakan penalaran dan
ijtihad untuk menafsirkan teks-teks suci. Ulama yang
menggunakan metode ini berusaha memahami konteks
dan tujuan ayat dengan cara yang lebih rasional dan
kontekstual, meskipun tetap berpegang pada prinsip-
prinsip dasar Islam. Langkah-langkahnya, a) Analisis
Kontekstual: Memahami konteks sejarah, sosial, dan
budaya di mana ayat diturunkan.b) Penalaran Logis:
Menggunakan logika dan pemikiran rasional untuk
menafsirkan makna ayat. Kelebihannya adalah Membuka
ruang bagi pemahaman yang lebih fleksibel dan dinamis,
Memungkinkan adaptasi penafsiran dengan konteks
kontemporer.
3) Penggunaan Bahasa Arab: Mengingat Al-Qur'an
diturunkan dalam bahasa Arab, memahami gramatika,

Nur Khosiah | 241

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kosa kata, dan gaya bahasa Arab sangat penting.
Pengetahuan mendalam tentang bahasa ini membantu
penafsir dalam menangkap nuansa makna yang mungkin
tidak terlihat dalam terjemahan. Langkah-langkahnya : a)
Pendekatan Tematiknya, Mengelompokkan ayat-ayat
berdasarkan tema tertentu untuk memahami pesan secara
menyeluruh. b) Relevansi Sosial: Menekankan aplikasi
sosial dan politik dari ajaran-ajaran Al-
Qur'an.Kelebihannya Memberikan pemahaman yang
lebih aplikatif terhadap isu-isu sosial dan politik,
Menggugah kesadaran akan peran aktif umat Muslim
dalam masyarakat.
4) Asbab al-Nuzul: Mengetahui latar belakang turunnya ayat-
ayat (sebab-sebab turunnya) membantu dalam
memahami konteks spesifik dan situasi historis yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Ini penting untuk
memahami tujuan dan aplikasi dari ayat tersebut.
Langkah-langkahnya a) Kontemplasi Spiritual:
Merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan hati dan jiwa
untuk menemukan makna yang lebih dalam. b)
Interpretasi Simbolik, Menafsirkan ayat-ayat dengan
simbolisme dan analogi untuk mengungkap makna
spiritual.Kelebihannya, Membuka dimensi spiritual yang
lebih dalam dari Al-Qur'an., Memperkaya pengalaman
keagamaan melalui pemahaman yang lebih mendalam
dan personal
5) Mufassir: Ulama atau ahli tafsir memainkan peran penting
dalam hermeneutika tradisional. Mereka biasanya
memiliki keahlian dalam berbagai disiplin ilmu seperti
bahasa Arab, ilmu hadis, fiqh, dan sejarah Islam.
Integritas dan keilmuan mereka sangat dihormati dalam
komunitas Muslim.
6) Ilmu Hadist yaitu Ilmu hadis mempelajari ucapan,
tindakan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Hadis
berfungsi sebagai sumber hukum dan panduan dalam
Islam yang kedua setelah Al-Qur'an. Memahami dan

242 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
memverifikasi keabsahan hadis adalah elemen kunci
dalam metode tradisional.
7) Konteks Historis dan sosial yaitu memahami konteks
historis dan sosial saat teks-teks suci diturunkan sangat
penting. Ini membantu penafsir menangkap pesan yang
sebenarnya dengan mempertimbangkan situasi politik,
budaya, dan sosial pada masa itu.
8) Metodologi Fiqh ialah Fiqh atau jurisprudensi Islam
adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman dan
penerapan hukum-hukum Islam. Metodologi fiqh
melibatkan penafsiran dan penerapan teks-teks suci
dalam kehidupan sehari-hari, memastikan bahwa ajaran
tersebut relevan dan dapat diterapkan.
9) Keselarasan dengan Tradisi yaitu Penafsiran tradisional
harus selaras dengan pemahaman ulama terdahulu. Ini
termasuk menghormati pandangan dan interpretasi yang
telah diakui oleh mayoritas umat Islam sepanjang sejarah,
menjaga kontinuitas dan konsistensi dalam ajaran.
Metode hermeneutika tradisional ini tetap relevan hingga
saat ini dan digunakan secara luas oleh umat Islam untuk
memahami ajaran-ajaran dalam Al-Qur'an. Meski ada
perkembangan dan pendekatan baru dalam studi Islam, prinsip-
prinsip dasar dari metode ini tetap dihargai dan digunakan
sebagai dasar dalam interpretasi teks-teks suci. Banyak kalangan
agamawan yang juga memanfaatkan hermeneutik, yang
sebelumnya dikembangkan dalam dunia ilmiah, untuk
menafsirkan kitab suci mereka. (Yudantiasa, 2021).
Para pemikir kontemporer seperti Hasan Hanafi dan
Fazlur Rahman mencatat bahwa istilah hermeneutika memang
tidak ditemukan dalam wacana keilmuan Islam. Namun, ada
istilah yang mirip dengan hermeneutika. Menurut M. Plegger,
hermeneutika setara dengan kata هرمس (dibaca: Hirmis, Harmas,
atau Harmis) yang terdapat dalam kitab al-Ulf karya Abu
Mansyur, yang berkaitan dengan hermetisme dalam tradisi filsafat
Yunani. (Yudantiasa, 2021) Metode hermeneutika tradisional

Nur Khosiah | 243

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dalam Islam, sering dikenal sebagai tafsir, merupakan upaya
sistematis untuk memahami dan menjelaskan makna teks-teks
suci, terutama Al-Qur'an. Metode ini telah berkembang selama
berabad-abad, dipengaruhi oleh berbagai ulama dan cendekiawan
yang telah mengabdikan hidup mereka untuk studi mendalam
tentang teks-teks keagamaan. Berikut adalah beberapa elemen
kunci dari metode hermeneutika tradisional dalam Islam:

METODE HERMENEUTIKA INOVATIF DALAM
ISLAM
Saat ini, selain berdialog, para penafsir juga dituntut untuk
mampu menerapkan pesan-pesan teks dalam konteks ruang dan
waktu yang sekarang. Pemahaman tidak hanya berarti memahami
ajaran dan menyimpannya dalam pikiran, tetapi juga
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pesan yang harus
disampaikan melalui penafsiran bukanlah makna literal,
melainkan makna yang mendalam dan berarti. Pemahaman tidak
hanya terbatas pada penjelasan melalui kata-kata, tetapi juga
terwujud dalam perilaku. Seseorang dianggap mengerti sebuah
teks jika ia mampu menerapkannya dalam situasi khusus yang
dihadapinya, serta dapat menyeimbangkan ajaran ortodoksi dan
ortopraksi. Sebuah teks suci akan dianggap ideal dan dihormati
apabila terdapat keseimbangan dan kesesuaian antara perkataan
dan perilaku oleh penafsir dan pembaca.. (Yudantiasa, 2021)
Hermeneutika, atau ilmu interpretasi teks, adalah disiplin
yang sangat penting dalam memahami dan mengkaji teks-teks
suci dalam berbagai tradisi agama, termasuk Islam. Dalam Islam,
hermeneutika digunakan terutama untuk menafsirkan Al-Qur'an
dan Hadis, yang merupakan sumber utama ajaran agama. Selama
berabad-abad, metode hermeneutika tradisional telah
memainkan peran penting dalam membantu ulama dan sarjana
Islam memahami teks-teks ini. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman, muncul kebutuhan untuk metode yang

244 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
lebih inovatif yang dapat menjawab tantangan dan pertanyaan
yang dihadapi umat Islam saat ini.
Metode hermeneutika inovatif dalam Islam bertujuan
untuk memperkaya dan memperluas pemahaman kita tentang
teks-teks suci dengan menggunakan pendekatan-pendekatan
baru dan interdisipliner. Pendekatan ini tidak hanya berupaya
untuk tetap setia pada tradisi, tetapi juga berusaha untuk relevan
dengan konteks sosial, politik, dan budaya kontemporer. Metode
ini melibatkan penggunaan berbagai disiplin ilmu, seperti
sosiologi, antropologi, linguistik, dan studi gender, untuk
memberikan perspektif baru dalam penafsiran teks-teks agama.
Inovasi dalam hermeneutika Islam juga sering kali dipicu oleh
perubahan sosial yang cepat dan tantangan global yang kompleks,
seperti isu-isu hak asasi manusia, lingkungan, dan keadilan sosial.
Dengan demikian, metode hermeneutika inovatif berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang timbul dari konteks
modern sambil tetap berakar pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip
dasar Islam.
Salah satu contoh dari metode hermeneutika inovatif
adalah pendekatan kontekstual yang menekankan pentingnya
memahami teks-teks suci dalam konteks historis dan sosial
mereka. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya dialog antar
agama dan antar budaya untuk menciptakan pemahaman yang
lebih komprehensif dan inklusif tentang ajaran Islam. Dengan
memahami dan menerapkan metode hermeneutika inovatif, kita
dapat lebih baik menjembatani antara tradisi dan modernitas,
serta membantu umat Islam dalam menghadapi berbagai
tantangan kontemporer dengan cara yang lebih bijaksana dan
relevan.
Masalah hermeneutika yang muncul kemudian adalah
bahwa karena Al-Qur'an merupakan teks yang disusun di masa
lampau, teks ini menjadi kurang akrab atau asing bagi pembaca
masa kini. Tidak ada yang dapat mengetahui secara pasti maksud
di balik teks tersebut kecuali penciptanya, namun pencipta teks

Nur Khosiah | 245

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tersebut tidak hadir sehingga tidak dapat
dikonfirmasi.(Yudantiasa, 2021) Pada awalnya, hermeneutika
secara legal merupakan metode interpretasi teks Bibel yang
digunakan untuk menjelaskan isinya dan memahami kehendak
Tuhan dalam Bibel. Kemudian, para sarjana barat
menyempurnakannya dan menggunakannya untuk mengkaji
berbagai teks lain, termasuk teks sejarah, sastra, dan
lainnya.(Syaekh, 2021) Ada tiga hal utama yang perlu
diperhatikan dalam mengaplikasikan hermeneutika. Pertama,
kainunah yang berasal dari kata "kana" berarti keadaan atau
kondisi keberadaan (being). Kedua, sairurah yang berasal dari
kata "saara" berarti berjalan, perjalanan sejarah, atau kondisi
berproses. Ketiga, syairurah yang berasal dari kata "syâra" berarti
kondisi menjadi (becoming).(Syaekh, 2021)
Hermeneutika sebagai pendekatan untuk memahami teks
merupakan bagian yang tak terpisahkan antara maksud dan
pemahaman. Dengan kata lain, proses penafsiran melibatkan
keseluruhan interaksi antara teks, penulis, dan penafsir. (Muslim
HD, 2019) Hermeneutik adalah teori mengenai bagaimana
pemahaman bekerja dalam penafsiran teks. Hermeneutik
mencakup dua fokus utama yang saling berinteraksi: pertama,
proses pemahaman terhadap teks; kedua, isu-isu yang lebih
spesifik terkait dengan pemahaman interpretasi itu sendiri.
(Farida, 2013) Bahasa al-Qur’an: Diskursus yang muncul terkait
hal ini adalah meskipun al-Qur’an adalah wahyu, bahasa Arab
yang digunakan sebagai medianya sampai batas tertentu termasuk
kategori budaya yang mengandung sifat relatif dan sistem tanda
bahasa yang bersifat arbitrer (berdasarkan kesepakatan sosial).
Bahasa merupakan alat bagi manusia untuk mewariskan makna
dari generasi ke generasi melalui komunikasi, sehingga
memastikan kelangsungan tradisi kemanusiaan. (Gadamer, 2011)
Metode hermeneutika inovatif dalam Islam merupakan
pendekatan baru dalam penafsiran teks-teks suci yang berusaha
untuk menjembatani pemahaman tradisional dengan kebutuhan
dan tantangan kontemporer. Pendekatan ini bertujuan untuk

246 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
menjaga relevansi ajaran Islam dalam konteks modern tanpa
mengabaikan landasan-landasan pokok agama. Berikut adalah
beberapa elemen utama dari metode hermeneutika inovatif
dalam Islam:
Hermeneutika sebenarnya berkaitan dengan masalah
penafsiran, yang berpusat pada hubungan antara teks dan
penafsir. Nasr Hamid Abu Zaid mengajukan sebuah teori
hermeneutika modern sebagai tanggapan terhadap tradisi
penafsiran teks klasik yang cenderung mengabaikan peran
penafsir. (Ahmad, 2015) Hermeneutika adalah Pergantian
epistemologi dalam merespons studi Islam klasik yang tekstual.
Penerapan hermeneutika tidak berarti sepenuhnya mengabaikan
studi Islam klasik, karena hal-hal yang mungkin dianggap tidak
relevan saat ini bisa menjadi penting di masa depan. (Baihaqi,
2021)
Hermeneutika adalah metode atau teori filsafat untuk
menafsirkan simbol-simbol dalam teks guna memahami arti dan
maknanya. Metode ini mulai diterapkan dalam kajian al-Qur'an
pada abad ke-19 M oleh para sarjana Islam, namun banyak ulama
mempertanyakannya karena dianggap dapat menimbulkan
keraguan terhadap keaslian dan kesucian al-Qur'an. (Mukmin,
2019) Sejarah panjang perkembangan hermeneutika sebagai
metode interpretasi memungkinkan pemisahan antara subjek dan
objek dalam teks sebagai karya yang bersifat aksiomatik dalam
realisme. Hermeneutika juga menjadi fondasi dan kerangka
filosofis bagi interpretasi literatur. (Studi Jurnal Ilmu Al-Qur et
al., 2021) Hermeneutika, sebagai metode penafsiran al-Qur’an,
telah menjadi sangat populer di berbagai perguruan tinggi Islam.
Banyak orang yang tertarik dan merasa ketagihan dengan
pendekatan ini karena hermeneutika menawarkan perspektif
yang baru, segar, dan spektakuler. Akibatnya, hermeneutika
dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dan diperlukan,
sementara mereka yang tidak menggunakan pendekatan ini
sering kali menghadapi berbagai stigma negatif. (Rohmah, 2016)

Nur Khosiah | 247

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Hermeneutika secara umum dapat diartikan sebagai teori
atau filosofi mengenai interpretasi makna. Secara etimologis,
istilah "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani "hermeneuin,"
yang berarti menafsirkan. Oleh karena itu, kata benda
"hermeneia" secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran
atau interpretasi. Dalam terminologi modern, hermeneutika juga
merujuk pada ilmu yang digunakan untuk memahami teks secara
menyeluruh. Ini melibatkan pengajuan berbagai pertanyaan yang
saling terkait mengenai karakteristik teks, hubungannya dengan
konteks lingkungan, serta hubungan antara penulis dan pembaca
teks. Selain itu, hermeneutika juga fokus pada hubungan
mendalam antara penafsir (atau kritikus teks sastra) dengan teks,
khususnya dalam konteks Alkitab. Tujuan utama hermeneutika
adalah untuk mengungkap kebenaran dan nilai-nilai yang
terkandung dalam Alkitab. (Muchtar, 2016)
Beberapa orang juga menyatakan bahwa hermeneutika
adalah disiplin yang fokus pada usaha memahami makna atau arti
dari suatu konsep pemikiran. Dalam konteks ini, makna yang
sebenarnya dari teks mungkin belum sepenuhnya jelas atau masih
tersembunyi, sehingga diperlukan penafsiran untuk membuat
makna tersebut lebih transparan, terang, jelas, dan gamblang.
(Muchtar, 2016) Makna hermeneutika telah bergeser untuk
mencakup pemahaman realitas yang terdapat dalam teks kuno
seperti Alkitab dan bagaimana menerjemahkan realitas tersebut
ke dalam kehidupan kontemporer. Dengan perubahan ini, fungsi
hermeneutika berubah dari sekadar alat untuk menafsirkan
Alkitab menjadi metode untuk memahami teks secara umum.
Gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh ahli filologi Friederich
Ast (1778-1841). (Muchtar, 2016) Perspektif hermeneutika
menjadi penting dalam studi ilmu tafsir jika kita ingin melihat
kajian tersebut dari sudut pandang yang lebih filosofis. Hal ini
dikarenakan kedua disiplin ini memiliki latar belakang dan
karakteristik yang berbeda. Ilmu tafsir berkembang dalam
konteks pemikiran Islam yang berfokus pada pelestarian tradisi
Islam awal yang dianggap paling autentik, sementara
hermeneutika berkembang dalam tradisi filsafat yang

248 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
menekankan kebebasan berpikir secara lebih luas.(Safrodin,
2021)
Belakangan ini, penggunaan hermeneutika dan pendekatan
berbasis hermeneutika semakin “populer” dan banyak diterapkan
oleh para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk kritikus
sastra, sosiolog, sejarawan, antropolog, dan filsuf..(Rahman,
2021) Hermeneutika sebagai pendekatan dalam memahami teks
melibatkan hubungan yang integral antara maksud dan
pemahaman. Dengan kata lain, proses penafsiran mencakup
keseluruhan hubungan antara teks, penulis, dan penafsir.
(Muslim HD, 2019) Saat ini, terdapat upaya untuk menerapkan
hermeneutika sebagai metode baru dalam menafsirkan wahyu
Tuhan, menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para
tokoh dan ulama sebelumnya. Namun, terdapat beberapa
masalah terkait dengan penggunaan hermeneutika, terutama
berkaitan dengan teks-teks tersebut..(Habibie & Ilmu, 2016)
Dengan memahami dan menerapkan metode
hermeneutika inovatif, kita dapat lebih baik menjembatani antara
tradisi dan modernitas, serta membantu umat Islam dalam
menghadapi berbagai tantangan kontemporer dengan cara yang
lebih bijaksana dan relevan.
Adapun Integrasi antara tradisi dan inovasi dalam
hermeneutika Islam melibatkan penggabungan dua aspek
penting dari pemahaman dan interpretasi teks-teks keagamaan,
yaitu tradisi (turats) dan inovasi (tajdid). Hermeneutika Islam
adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran teks-teks
suci Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis, untuk memahami pesan-
pesan keagamaan dalam konteks sejarah, budaya, dan sosial.
1) Tradisi (Turats)
Tradisi dalam Islam merujuk pada warisan intelektual yang
telah diwariskan oleh generasi sebelumnya, termasuk tafsir klasik,
fiqh (hukum Islam), dan karya-karya ulama terdahulu. Tradisi ini

Nur Khosiah | 249

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
memiliki peran penting dalam menjaga kontinuitas pemahaman
Islam dan memberikan landasan yang kokoh bagi umat Muslim
dalam menjalankan ajaran agama. Kepentingan Tradisi: 1)
Stabilitas dan Konsistensi: Tradisi memberikan stabilitas dan
konsistensi dalam pemahaman dan praktik keagamaan.
2)Landasan Hukum: Fiqh dan tafsir klasik menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan hukum dan etika. 3) Kearifan Ulama:
Menghargai kearifan dan pengalaman ulama terdahulu yang telah
mendedikasikan hidup mereka untuk memahami teks-teks
keagamaan.
2) Tradisi (Tajdid)
Inovasi dalam konteks hermeneutika Islam merujuk pada
usaha-usaha untuk memperbarui dan menyesuaikan pemahaman
teks-teks keagamaan dengan perkembangan zaman dan konteks
kontemporer. Inovasi ini tidak berarti mengubah ajaran dasar
Islam, tetapi menafsirkan teks dengan cara yang relevan dengan
tantangan dan kebutuhan masa kini. Kepentingan Inovasi: 1)
Relevansi Kontemporer: Menjawab tantangan zaman modern
dan mempertahankan relevansi Islam dalam kehidupan sehari-
hari. 2) Kontekstualisasi: Menafsirkan teks-teks keagamaan
dalam konteks sosial, politik, dan budaya yang berbeda dari masa
lalu. 3) Kemajuan Ilmu Pengetahuan: Mengintegrasikan
pengetahuan dan temuan ilmiah terbaru dalam pemahaman
keagamaan.
3) Integrasi antara Tradisi dan Inovasi
Integrasi antara tradisi dan inovasi dalam hermeneutika
Islam adalah usaha untuk mengharmoniskan warisan intelektual
masa lalu dengan kebutuhan dan realitas masa kini. Beberapa
aspek penting dari integrasi ini meliputi: a.Pendekatan
Kontekstual: 1)Menggunakan metode penafsiran yang
mempertimbangkan konteks historis dan sosial dari teks-teks
keagamaan. 2) Memahami maksud asli teks serta bagaimana teks

250 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tersebut dapat diterapkan dalam konteks kontemporer. b. Dialog
antara Ulama dan Cendekiawan Modern: 1) Mengadakan dialog
konstruktif antara ulama tradisional dan cendekiawan modern
untuk menjembatani pemahaman. 2) Menghargai kontribusi dari
kedua belah pihak dalam memperkaya diskursus keagamaan.
c.Penekanan pada Nilai-nilai Universal: 1) Menekankan pada
nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kesejahteraan, dan
kemanusiaan yang dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks. 2)
Menerapkan prinsip-prinsip ini dalam menghadapi isu-isu
modern seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan globalisasi.
d.Metode Hermeneutika Kritis: 1) Menggunakan metode
hermeneutika kritis yang mencakup analisis teks, sejarah, dan
konteks untuk memahami makna yang lebih dalam dari teks-teks
keagamaan. 2) Membuka ruang bagi reinterpretasi dan
pemahaman yang lebih dinamis. Integrasi antara tradisi dan
inovasi dalam hermeneutika Islam bukanlah tugas yang mudah,
tetapi penting untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan ajaran
Islam dalam dunia yang terus berubah. Ini memerlukan
keseimbangan antara penghormatan terhadap warisan intelektual
dan keberanian untuk beradaptasi dengan realitas baru.

KESIMPULAN
Metode hermeneutika tradisional dalam Islam telah lama
menjadi landasan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks
suci, seperti Al-Qur'an dan Hadis. Pendekatan ini menekankan
pentingnya: 1) Tafsir Bi al-Ma'thur, yang bergantung pada riwayat
dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Penguasaan
2)Tafsir Bi Ro,yi 3) Bahasa Arab untuk menangkap nuansa asli
dari teks. 4) Asbab al-Nuzul, yang memahami konteks historis
dan sosial dari turunnya ayat-ayat. 5) Ilmu Hadis, yang
memverifikasi dan mengaplikasikan ucapan dan tindakan Nabi.
6) Metodologi Fiqh, yang mengaplikasikan hukum-hukum Islam
dalam kehidupan sehari-hari.7) Konteks historis dan sosial
8)Keselaran dengan tradisi.

Nur Khosiah | 251

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Di sisi lain, ada kebutuhan yang berkembang untuk
menafsirkan teks-teks suci dalam konteks yang lebih modern.
Pendekatan inovatif dalam hermeneutika Islam melibatkan: 1)
Tafsir Bi al-Ra'yi, yang menggunakan penalaran dan ijtihad untuk
menafsirkan teks dengan cara yang lebih rasional dan
kontekstual. 2) Konteks Historis dan Sosial Modern, yang
mempertimbangkan situasi politik, budaya, dan sosial saat ini. 3)
Pendekatan Interdisipliner, yang menggabungkan pengetahuan
dari berbagai bidang ilmu untuk memberikan pemahaman yang
lebih holistik.
Kesimpulannya, metode hermeneutika dalam Islam
berfungsi sebagai jembatan antara tradisi yang kaya dan inovasi
yang diperlukan. Pendekatan tradisional menyediakan fondasi
yang kokoh, menjaga kontinuitas dan konsistensi ajaran,
sementara pendekatan inovatif memungkinkan adaptasi dan
relevansi dalam konteks modern. Keseimbangan antara keduanya
adalah kunci untuk memastikan bahwa ajaran Islam tetap hidup,
dinamis, dan mampu menjawab kebutuhan umat di setiap zaman.
Untuk selanjutnya dalampenelitian lain agar dapat di lanjutkan
dan di kaji lebih mendalam oleh peneliti lain. Jadi hermeneutika
dalam islam sangat menarik apalagi di zaman modern ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, N. (2015). Kajian Hermeneutika Al-Qur’am
Kontemporer : Telaah Kritis Terhadap Model
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Hermeneutik, 9(1),
115–138.
Anwar, M. K., & Ridho, A. R. (2021). Kontroversi Penerapan
Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-Qur’an. El-’Umdah,
3(2), 217–244. https://doi.org/10.20414/el-
umdah.v3i2.2877
Baihaqi, N. N. (2021). Hermeneutika Khaled Abou El Fadl;
Analisis dan Kritik Tipologi Islam Moderat dan Islam

252 | Nur Khosiah

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Puritan. Tajdid, 28(2), 212–232. https://riset-
iaid.net/index.php/tajdid/article/view/722%0Ahttps://ri
set-iaid.net/index.php/tajdid/article/download/722/629
Farida, E. N. (2013). Studi Islam Pendekatan Hermeneutik. Jurnal
Penelitian, 7(2), 381–404.
Gadamer, C. (2011). Pemahaman Kontemporer. Jurnal Religia,
14(2), 207–230.
Habibie, M. L. H., & Ilmu, D. (2016). HERMENEUTIK
DALAM KAJIAN ISLAM M. Luqmanul Hakim Habibie
Dosen Ilmu al- Qur‟an dan Tafsir Institut Agama Islam
Ma‟arif NU Metro Lampung. At-Tibyan, 1(1).
file:///C:/Users/Asus/Downloads/40-Article Text-116-
1-10-20170127 (1).pdf
Maharsi, Fahsin, M., & Farid, M. (2008). Hermeneutika
Humanistik (Studi Pemikiran M. Amin Abdullah dan
Khaled Aboe El-Fadl). Jurnal Penelitian Agama, 17(3), 556–
570.
Moh.Irfan, M. F. N. (2023). Hermeneutika Tauhid : Interpretasi
Amina Wadud Terhadap Gender. Humanistika: Jurnal
Keislaman, 9(2), 128–143.
Muchtar, M. I. (2016). Analisis Konsep Hermeneutika Dalam
Tafsir Alquran. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 13(1), 67.
https://doi.org/10.24239/jsi.v13i1.414.67-89
Mukmin, T. (2019). Metode Hermeneutika dan Permasalahannya
Dalam Penafsiran Al-Quran. EL-Ghiroh, 16(01), 65–86.
https://doi.org/10.37092/el-ghiroh.v16i01.75
Muslim HD, A. T. (2019). Diskursus Fertilitas Dalam Perspektif
Hadis (Aplikasi Hermeneutik Fungsionalisme Jorge J. E.
Gracia). Jurnal Living Hadis, 3(2), 277–297.
https://doi.org/10.14421/livinghadis.2018.1695
Rahman. (2021). Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Talbi

Nur Khosiah | 253

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
(Diskursus Pemimpin Non Muslim dalam Konteks
Indonesia). Al-Irfani: Journal of Qur’anic and Tafsir (JQT),
01(02), 62–76. https://doi.org/10.51700/irfani.v1i02
Rohmah, L. (2016). Hermeneutika Al-Qur’an: Studi Atas Metode
Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid. HIKMAH Journal of
Islamic Studies, XII(2), 223–244.
Safrodin, S. (2021). Integrasi Tafsir dan Hermeneutika Dalam
Memahami Teks al-Qur’an. Hermeneutik, 15(1), 91.
https://doi.org/10.21043/hermeneutik.v15i1.7885
Studi Jurnal Ilmu Al-Qur, P., dan Tafsir, an, Ilir Sumatera
Selatan, O., Sassi IAI Al-Qur, K., & Al-Ittifaqiah Indralaya
Ogan Ilir Sumatera Selatan, an. (2021). Jurnal AT-
TAHFIZH DISKURSUS HERMENEUTIKA SEBAGAI
METODE INTERPRETASI RUH TEKS . 2(02), 32–49.
Syaekh, K. A. (2021). Hukum Waris Islam Kontemporer
(Perspektif Hermeneutika Muhammad Syahrûr). An
Nawawi, 1(2), 107 –120.
https://doi.org/10.55252/annawawi.v1i2.14
Yudantiasa, M. R. (2021). Diskursus Pluralisme dalam Perspektif
Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3):
19 dan Yohanes 14: 6. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama
Dan Lintas Budaya , 5(1), 73–86.
https://doi.org/10.15575/rjsalb.v5i1.8920
Zayyadi, A. (2017). Pendekatan Hermeneutika Al-Quran
Kontemporer Nashr Hamid Abu Zaid. MAGHZA: Jurnal
Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 2(1), 1–22.
https://doi.org/10.24090/maghza.v2i1.1563
Горбунов А. (2016). ПИФАГОРЕЙСКАЯ ШКОЛА И ЕЁ
РОЛЬ В ФИЛОСОФИИ No Title. Научно-Техническое
Творчество Аспирантов И Студентов, 2, 139–141.

254 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


DISKURSUS HERMENUTIKA KONTEMPORER:
ANANLISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN ABID AL -
JABIRI DAN SAHIRON SYAMSUDDIN

Afriadi Putra


LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan sumber utama ajaran
Islam. Isi kandungan Al-Qur’an memuat dasar-dasar ajaran Islam
yang universal. Untuk mengungkap isi kandungan Al-Qur’an
tersebut diperlukan kajian yang serius dan mendalam agar Al-
Qur’an tetap shalih likulli zaman wa makan. Kajian terhadap al-
Qur’an mengalami perkembangan yang signifikan dari masa ke
masa, terutama segi penafsirannya. Munculnya berbagai
penafsiran dan karya-karya tafsir dengan berbagai ragam metode
dan pendekatan merupakan bukti bahwa upaya untuk
menafsirkan Al-Qur’an memang tidak pernah berhenti.
Di era modern-kontemporer ini trend penafsiran Al-Qur’an
mengalami pergeseran paradiagma dari era sebelumnya. Para
tokoh (baca: mufasir) mengembangkan berbagai corak dalam
menafsirkan Al-Qur’an misalnya, bernuansa hermenutis,
kontekstual, ilmiah dan non sektarian. Berbicara tentang Al-
Qur’an dan metodologi dalam memahaminya, Al-Qur’an adalah
korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala
bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan,
penafsiran, hingga pengambilannya sebagai sumber rujukan. Lalu
adakah dan apakah metode terbaik untuk berinteraksi dengan Al-
Qur’an yang jelas faktanya adalah bahwa kajian kritis terhadap

Afriadi Putra | 255

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
metodologi belum menjadi agenda cendikiawan muslim. Mereka
lebih tertarik kepada komentar aktual tentang teks dan bersifat
praksis, ditimbang kepada hermeneutika yang lebih terkait
dengan metodologi menafsirkan dan lebih bersifat teoritik.
Masalah metodologi ini masih menjadi bidang yang belum
banyak dilirik dan mendapatkan perhatian yang layak, sekalipun
pada level perguruan-perguruan tinggi Islam.
Dalam kesarjanaan Muslim modern, pemikir seperti
Hasaan Hanafi juga menawarkan pembacaan Hermeneutika.
Alih-alih dianggap baru, sebetulnya apa yang dilakukan Hanafi
merupakan upaya rekonfigurasi tradisi sarjana muslim terdahulu
yang kritis dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci.
Dalam pandangannya, kekakuan pemahaman keagamaan yang
berbasis Al-Qur’an bukan disebabkan tidak tersedianya alat
bantu seperti rasio dan berbagai metode kritik sastra, melainkan
ketidakjujuran umat muslim dalam melihat sejarah kemajuan
Islam di masa lampau yang disebabkan keterbukaan pemikiran
dan penafsiran tehadap Alquran. Tawaran Hanafi adalah
mendudukkan Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi lebih
pada bentuk rasionalisasi dan aksiomatisasi yang tertinggi yang
membentuk dialektika Hermeneutikaa. Hermeneutikaa sebagai
aksiomatika ini menjelaskan proses Hermeneutika sebagai sains
rasional, formal, dan universal. Dalam upaya memahami teks,
lanjut Hanafi, Hermeneutika harus mencoba menganalisis semua
masalah dalam ruang lingkupnya lebih dahulu tanpa merujuk
kepada data wahyu tertentu (revelata dato).
Studi tentang hermeneutika dalam studi Al-Qur’an sudah
banyak diteliti oleh para peneliti dan peminat studi Al-Qur’an.
Secara umum, menurut hemat penulis, ada tiga kecenderungan
dalam kajian-kajian tersebut, yaitu: pertama, kajian-kajian yang
membahas aspek teoretis dari tokoh hermeneutika kontemporer,
seperti kajian yang dilakukan oleh Ahmad Zayyadi, Ahmad
Efendi Hadirois & Suryo Ediyono, dan Muhammad Islahuddin.
Kedua, penelitian tentang penerimaan dan penolakan
hermeneutika dalam studi Islam terutama studi Al-Qur’an,

256 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
seperti yang dibahas oleh Ahmad Roisy Arrasyid, Safrudin Edi
Wibowo, dan Reflita. Ketiga, kajian tentang kaitan antara
hermeneutika dan studi Al-Qur’an yang dilakukan oleh Zen
Amrullah, Abdur Razzaq & Deden Mula Saputra, dan
Muhammad Furqan & Sakdiah.
Salah satu corak penafsiran yang populer di kalangan para
mufasir adalah penafsiran Al-Qur’an bernuansa hermenutis,
sebagaimana yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman, Nasr
Hamid Abu Zayd, Abed Al-Jabiri, dan Sahiron Syamsuddin. Dua
nama terakhir merupakan pokok pembahasan dalam makalah ini.
Abid Al-Jabiri dan Sahiron Syamsuddin menawarkan sebuah
metode baru untuk memahami Al-Qur’an dengan pendekatan
historisitas guna mengungkap isi kandungan Al-Qur’an dan
perjalanan dakwah Muhammad Saw. Pada makalah ini penulis
akan memaparkan bagaimana geneologi keilmuan, deskripsi dan
analisis metode yang ditawarkan oleh Al-Jabiri dan Sahiron
Syamsuddin serta aplikasinya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an.
Penelitian ini penting dilakukan mengingat studi terhadap
Al-Qur’an senantiasa mengalami perkembangan yang cukup
signifikan dari waktu ke waktu. Di sisi lain, paradigama Al-Qur’an
yang selalu shalih likulli zaman wa makan menuntut adanya kajian-
kajian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga Al-
Qur’an senantiasa bisa menjadi petunjuk terhadap problem-
problem yang dihadapi di era modern-kontemporer.

HERMENEUTIKA ISLAM ABID AL -JABIRI
1) Cendikiawan Muslim Progresif dan Visioner
Ia adalah Mohammed ’Abed al-Jabiri. Ia dilahirkan di Fejij,
Maroko, 27 Desember 1935 dari pasangan Mohammed dan al-
Wazinah. Dalam dirinya mengalir darah ulama besar dari pihak
ibu dan darah nasionalis dan pejuang kemerdekaan dari pihak
ayah. Saat ia dilahirkan, ketika itu Maroko merupakan salah satu

Afriadi Putra | 257

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
negara protektorat penjajah koloni Prancis dan Spanyol. Masa
kecilnya dilalui dengan bahagia karena kebutuhannya baik secara
material ataupun psikologis selalu terpenuhi. Keluarga dari pihak
ibu dan bapaknya sangat menyayangi dan memperlakukannya
dengan istimewa. Meskipun kedua orang tuanya berscerai sejak
ia masih dalam kandungan, akan tetapi ia selalu mendapatkan
fasilitas dan kasih sayang yang cukup dari keduanya sejak lahir
hingga usia tujuh tahun.
Latar belakang keluarga politisi ikut membawa Al-Jabiri
terjun ke dunia politik sebelum menggeluti dunia akademis secara
intens, di bawah bimbingan politikus ulung, Mehdi B. Barka yang
mendirikan Union Nationale des Forcess Populaires (UNFP) yan
g pada akhirnya berubah nama menjadi Union Socialiste des
Forces Populaires (USFP), aktivitasnya ini kemudian hari
mengakibatkan dia dijebloskan ke dalam penjara pada bulan Juli
1964 karena dianggap berkonsprirasi melawan negara.
Pendidikannya dimulai di sebuah Mesjid Jami’ Zinakah
dalam Asuhan al-Haj Muhammad Faraj sembari menyelesaikan
pendidikan formalnya di sebuah sekolah agama. Ia juga pernah
merasakan pendidikan di Sekolah Dasar Prancis selama dua
tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke cabang Sekolah Swasta
Nasionalis (Madrasah Hurrah Wataniyyah), yang didirikan oelh al-
Haj Muhammad bin Faraj dan tokoh gerakan kemerdekaan lain
yang ada di Ferij hingga tahun 1949. Selanjutnya, jenjang
pendidikan al-Takmili ia lalui di tanah kelahirannya, Fejij. Pada
masa ini, Al-Jabiri mulai melatih diri dan membiasakan menulis
hingga menjadi skill-nya di kemudian hari. Ia juga telah membaca,
mempelajari, menghafal buku-buku standar untuk pendidikan
tradisional, seperti: Mukhtasar Khalil, Alfiyyah Ibn Malik, Qasa’id
Umru’u al-Qais dan lain sebagainya.
Setelah menyelesaikan jenjang al-Takmili, antara tahun
1950–1951, ia melanjutkan pada tingkat I’dadiyyah di salah satu
Madrasah al-Hurrah al-Wataniyyah al-Ma’rabiyyah yang berafiliasi
kepada Sekolah Swasta Nasional yang didirikan oleh gerakan

258 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kebangsaan. Pada tahun ini (1951) ini, tepatnya di akhir
pendidikannya di Wijdah, ibunya meninggal dunia. Pendidikan di
wijdah ditempuh selama satu tahun, setelah itu ia masuk ke
sekolah setingkat menengah atas di al-Dar al-Baida (Casablanca)
dan menyelesaikannya tahun 1953. Pendidikan di tempat baru ini
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar pertama dan
bahasa Prancis sebagai bahasa kedua. Masa pendidikan tingginya,
ia tempuh di Universitas Damaskus, Syria (satu tahun), lalu
pindah ke Universitas Muhammad (V) sampai lulus hingga
jenjang doktoral. Al-Jabiri meninggal pada tanggal 3 Mei 2010 di
Casablanca dalam usia 75 tahun.
Al-Jabiri adalah pemikir muslim yang sangat produktif
menghasilkan karya-karya intelektual. Diantara karya-karyanya
yang terkenal dan berkaitan dengan kajian ini yaitu; Takwin al-
’Aql al-Arabi (1982), Binyah al-’Aql al-Arabi (1986), al-’Aql al-Siyasi
al-Arabi (1990) dan al-’Aql al-Akhlaqi al-Arabi, keempat karya
tersebut merupakan tertraloginya yang sangat terkenal, Naqd al-
Aql al-Arabi atau Kritik Nalar Arab. Dalam studi qur’an, Al-Jabiri
menulis buku; Madkhal ila al-Qur’an al-Karim: al-Juz al-Awwal fi al-
Ta’rif bi al-Qur’an (Pengantar Menuju al-Qur’an al-Karim: Bagian
pertama tentang Penafsiran al-Qur’an). Fahm al- Qur’an al-Hakim:
al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul (Wawasan al-Qur’an al-
Hakim: Sebuah tafsir yang Jelas dalam Paradigma Kronologi
Penurunan). Selain buku-buku, masih banyak lagi karya al-Jabiri
lainnya yang dipublikasikan dalam bentuk artikel lepas dalam
majalah maupun website yang dikelolahnya.
2) Corak dan Akar Pemikiran Al- Jabiri
Analisis A. Luthfi Assyaukanie dalam sebuah artikelnya
mencoba memetakan corak pemikiran cendekiawan muslim
Arab Kontemprer. Menurutnya, secara umum ada tiga tipologi
pemikiran dalam merespons tradisi dan modernitas, yaitu.
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para
pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses
transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-

Afriadi Putra | 259

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka
menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang
tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan
tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman
sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini diwakili
pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen,
seperti Shibli Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini,
kelompok itu diteruskan oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan
berorientasi pada Marxisme seperti Thayyib Tayzini, Abdullah
Laroui dan lain-lain.
Kedua, tipologi reformistik. Kelompok ini yang hendak
digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang
lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok
ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Pertama,
para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif,
yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali.
Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup
dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali secara
baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan
prasyarat rasional. Kelompok ini diwakili oleh; Al-Afghani,
'Abduh dan Kawakibi, sedangkan di era sekarang diwakili oleh
Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad
Khalafallah dan lain-lain. Kedua, para pemikir yang
menggunakan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi
merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer.
Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir Arab yang
dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan
beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss,
Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer. Kelompok
kedua ini diwakili oleh, Mohammed Arkoun dan Mohammed
Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan al-Jabiri
adalah M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, dan lainnya.
Ketiga, tipologi pemikiran ideal-totalistik. Ciri utama dari
tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran
Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat komitmen

260 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dengan aspek religius budaya Islam. Proyek peradaban yang
hendak mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam
sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-
unsur asing yang datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah
cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi. Para
pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir ideal-totalistik
adalah para pemikir-ulama seperti M. Ghazali, Sayyid Quthb,
Anwar Jundi, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang
berorientasi pada gerakan Islam politik.
Ketiga tipologi di atas telah meramaikan wacana pemikiran
Arab kontemporer. Meskipun kategori tipologi semacam ini
tidak sepenuhnya mempunyai batasan yang jelas, tapi secara
umum substansi setiap ide para pemikir Arab dapat dijelaskan
melalui salah satu tipologi tersebut. Sebagai analisis, penjelasan
selanjutnya tentang akar pemikiran Al-Jabiri akan menjawab
posisi al-Jabiri dalam peta pemikir Arab kontemporer.
Secara geneologi, semenjak kecil Al-Jabiri sudah akrab
dengan karya-karya dari tokoh-tokoh Prancis karena Maroko
notabene adalah jajahan Prancis. Pembacaannya terhadap karya-
karya ilmuwan Prancis mengakibatkan Al-Jabiri terpengaruh oleh
pemikiran Karl Max, karena akses karya-karya Karl Kax mudah
didapat. Al-Jabiri juga membaca karya Yves Lacoste tentang Ibnu
Khaldun, pemikiran Lacoste tersebut dikemudian hari
memudarkan kekagumannya terhadap Karl Max. Tidak puas
sampai disitu, ia kemudian membandingkan pemikiran Karl Max
dan Ibnu Khaldun tentang efektifitas pendekatan terhadap kajian
sejarah Islam dengan menulis buku ‘Asabiyah wa al-Daulah hawla
Fikr Ibnu Khaldun. Al-Jabiri hidup dalam masa di mana masa
lampau sering disebut sebagai turas} telah dikonstruksi dan
dijadikan sebagai basis legitimasi bagi gagasan-gagasan kekinian.
Sebagai seorang pemikir yang berkecimpung dalam tradsi (turas),
Al-Jabiri merasa sangat perlu menelusuri akar tradisi yang
membentuk nalar Arab. Turas kemudian menjadi pintu gerbang
untuk memasuki pemikiran Arab. Turas di kalangan pemikir arab
selalu disandingkan dengan hadasah (modernitas), karena

Afriadi Putra | 261

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
problem antara turas dan hadasah inilah yang mendominasi
wacana pemikiran Arab kontemporer.
Adapun epistemologi yang ditawarkan oleh al-Jabiri dalam
membaca turas ini adalah metode dekontruksi. Hal ini
mengindikasikan keterkaitan pemikirannya dengan pemikir-
pemikir Prancis yang ia baca lewat karya-karya mereka.
Ringkasnya, Al-Jabiri mengambil konsep kritik nalar (arkeologi)
dan kritik nalar politik (geneologi) yang kemudian ia terapkan
sebagai bentuk kritik. Dari Levi-Strauss dan Lalande, Al-Jabiri
mengenal satu pengetahuan tentang al-’aql (nalar). Dan dari
Althusser yang mengenalkannya cara pembacaan terhadap karya
monumental Karl Max, Das Capital yang selanjutnya membawa
al-Jabiri bagaimana cara membaca turas. Langkah selanjutnya,
untuk meng-goal-kan proyeknya ini, al-Jabiri menulis buku Naqd
al-’Aql al-Arabi.
3) Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Al-Jabiri
Hermenutika dan ilmu tafsir mempunyai peran yang sama
yaitu pencarian makna teks, apakah makna subyektif atau
objektif. Karena itu, ada tiga bentuk hubungan hermenutika:
hubungan penggagas dengan teks; hubungan pembaca dengan
penggagas dan hubungan pembaca dengan teks. Dalam
persoalan ini Al-Jabiri mencoba bersifat netral dengan berusaha
untuk tidak terjerembab pada satu sisi pemahaman subyektif atau
obyektif. Bagi al-Jabiri obyektifitas merupakan hal yang penting
sebagai landasan dalam memahami teks. Untuk itu, Al-Jabiri
menawarkan suatu metode dalam upaya menggali makna pesan
Tuhan di dalam al-Qur’an. Lebih jelasnya penulis akan
memetakan pemikiran al-Jabiri kepada poin-poin sebagai berikut;
a) Paradigma Penafsiran
Al-Qur’an sebagai teks posisinya sama dengan teks-teks
lain, namun sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an merupakan
kitab yang syarat dengan makna dan pokok ajaran Islam, maka
dari itu al-Qur’an tidak bisa dipahami dengan cara sebagaimana
membaca surat kabar atau novel. Al- Qur’an adalah kitab yang

262 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kaya akan muatan sejarah. Oleh karena itu, untuk berinteraksi
dengan al-Qur’an, seseorang membutuhkan pengetahuan
tentang historisitas tradisi budaya keilmuan Arab-Islam, terutama
disiplin teologi dan yurispondensi. Untuk membaca paradigma
penafsiran Al-Jabiri, penulis mengacu pada tipologi yang
dikemukakan oleh Abdul Mustaqim dalam memetakan
paradigma penafsiran para tokoh (baca: mufasir) dari periode
klasik hingga kontemporer. Menurut analisisnya, para mufasir di
era modern-kontemporer cenderung kepada paradigma bahwa
al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan.
Baginya jarak antara al-Qur’an yang diwahyukan 14 abad
lalu dengan saat ini sangatlah jauh, tentunya ini berimplikasi
dengan terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan manusia.
Disamping itu, agar kandungan al-Qur’an tidak ”basi” dan al-
Qur’an senantiasa memberikan jawaban yang solutif terhadap
masalah kekinian yang dihadapi oleh umat Islam, penafsiran al-
Qur’an harus kontemporer sepanjang masa.
b) Metode Penafsiran
Sebelum menawarkan sebuah konsep pembacaan terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, Al-Jabiri terlebih dahulu mengkritisi gaya
pembacaan terhadap turas. Setelah itu barulah ia tawarkan sebuah
konsep yang ia sebut dengan istilah al-fasl dan al-wasl. Al-Jabiri
menginginkan dengan tawaran ini pembacaan yang objektif dan
rasional. Sepemahaman penulis dari bacaan-bacaan yang penulis
akses, kedua prinsip di atas akan penulis jabarkan sebagai berikut:
▪ Prinsip al-Fasl dan Problem Obyektifitas
Prinsip pertama yang harus dilakukan dalam pembacaan
terhadap teks adalah menjadikannya kontemporer untuk
dirinya sendiri, dalam arti seorang pembaca harus mampu
menemukan otensitas teks (al-asalah), yakni kemandirian teks
dari segala bentuk pemahaman terhadapnya pada tataran
problematika teoritis. Oleh karena itu, pembaca harus
memisahkan diri dari objek bacaan (fasl al-maqru’ an al-qari)
dengan cara menjaga jarak antara dirinya (selaku subyek) dan

Afriadi Putra | 263

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
teks yang menjadi objek kajian. Pada tataran ini, al-Jabiri
menawarkan langkah teoritis, yaitu Dekonstruksi dan Kritik
Ideologis.
Kerangka dekonstruksi menginginkan pembaca
membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi
dan keinginan-keinginan masa kini. Yang difokuskan kemudian
adalah menimba makna teks dari teks itu sendiri. Dalam
kerangka dekonstruksi ini, pembaca setidaknya harus membidik
konteks historis objek kajian, yakni dengan mengupas tuntas
aspek sosio-kultural, politik dan fungsi ideologisnya. Demi
mencapai tujuan itu, al-Jabiri mengusulkan tiga langka
metodologis; Pertama, pendekatan struktural. Pendekatan ini
dilakukan untuk mendudukkan teks sebagai sebuah
keseluruhan yang diatur oleh kesatuan-kesatuan konstan. Salah
satu doktrin umum dalam pendekatan pertama ini menegaskan
perlunya menghindari pembacaan makna sebelum membaca
ungkapan. Kedua, analisis historis. Analisis historis ini digunakan
untuk menemukan keterkaitan antara realitas dengan teks
dengan maksud menemukan unsur-unsur pembentuk teks.
Pendekatan ini bertujuan untuk mempertautkan pemikiran teks
dengan konteks historis, budaya, idiologi politik, dan dimensi
sosial yang menaungi teks.
Selanjutnya, kerangka kritik ideologis bertujuan untuk
mengungkapkan fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik
yang dikandung teks, atau yang sengaja dibebankan pada teks
tersebut dalam suatu sistem pemikiran (episteme) tertentu yang
jadi rujukannya. Dengan kritik ideologi ini akan menemukan
asumsi dasar dan kepentingan-kepentingan politik apa yang
tersembunyi di balik teks.
▪ Prinsip al-Wasl dan Problem Kontinuitas dan
Rasionalitas
Al-Wasl atau wasl al-qari bin maqru’ adalah mengaitkan
kembali antara pembaca dengan objek bacaan. Melalui langkah
ini diharapkan teks akan menjadi kontemporer untuk pembaca.

264 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Objektifitas sebagai prinsip awal tidak dimaksudkan untuk
mengikis dan melemparkan teks tersebut jauh darinya,
melainkan untuk kembali kepadanya dalam bentuk baru dengan
hubungan-hubungan dan relasi-relasi yang juga baru. Dalam
bahasa al-Jabiri, menjadikannya kontemporer pada masa kini
dengan cara memahaminya secara rasional, baik untuk
menerapkannya sebagai rumusan teoritis ataupun ideologi.
Penerapan sebagai ideologi tidak diingkari dan dilihat sebagai
sesuatu yang negatif oleh al-Jabiri, ketika disertai dengan
semangat kritik dan dilakukan secara rasional.
Menariknya, rasionalisme yang ditawarkan oleh al-Jabiri
merupakan hasil formulasi dari para tokoh terdahulu.
Diantaranya yaitu; Pertama, kontribusi rasionalisme Ibn Rusyd
dalam filsafat. Semangat yang mendasari rasionalisme
pemikiran Ibn Rusyd adalah sikap kritis dan ilmiah, serta
berafiliasi kepada tradisi pemikiran rasionalisme yang
merupakan pengetahuan aksiomatik. Kedua, kontribusi
rasionalisme Ibn Rusyd dalam syari’ah. Disini Ibn Rusyd
membuktikan hubungan yang tidak bertentangan antara filsafat
dan agama. Menurutnya, sisi rasionalitas dari perintah-perintah
agama beserta larangan-larangannya dibangun atas landasan
moral keutamaan atau al-fadilah. Ketiga, kontribusi rasionalisme
Syatibi. Kontribusi ini berkaitan dengan prinsip-prinsip dalam
kajian fikih. Dan Keempat, rasionalisme Ibn Khaldun. Kelebihan
Ibn Khaldun dalam memaparkan sejarah, seperti dalam
kitabnya, Muqaddimah adalah penelitian, penyelidikan dan
analisis yang mendalam akan sebab-sebab dari latar belakang
terjadinya sesuatu. Menurut al-Jabiri, dengan metode ini disiplin
sejarah menjadi bagian dari tradisi ilmu rasional.
c) Aplikasi dalam Penafsiran
Berbicara mengenai aplikasi penafsiran, al-Jabiri telah
menulis buku yang berbicara tentang bagaimana langkah-langkah
yang ia tempuh dalam menafsirkan al-Qur’an. Buku yang
ditulisnya yaitu, Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba
Tartib al-Nuzul. Dalam buku inilah al-Jabiri mencoba

Afriadi Putra | 265

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
mengaplikasikan metode tafsir yang ia gagas. Perbedaan tafsir
yang ia gagas dengan tafsir yang lain adalah dari susunan (tartib)
penafsiran yang berdasarkan kronologis.
Sebelum lansung menafsirkan al-Qur’an, al-Jabiri
menjelaskan terlebih dahulu tahap-tahap yang ia lakukan.
Adapun tahap-tahapan tersebut yaitu; Pertama, penafsiran yang
dilakukan al-Jabiri berdasarkan kepada urutan turunnya wahyu,
bukan berdasarkan tartib mushafi. Kedua, ketika menafsirkan surat
demi surat di setiap pembahasan, ia membagi menjadi tiga
bagian, yaitu: Pendahuluan (tentang asbab al-nuzul), Catatan Kaki
(penjelas tentang riwayat yang ia kutip), dan Komentar
(kesiimpulan komprehensif). Ketiga, pada penjelasan surat, al-
jabiri menyertakan arti kalimat per kalimatnya dan maksudnya di
dalam dua tanda kurung. Keempat, pada beberapa kesempatan,
al-jabiri menjadikan isi ayat sebagai judul disertakan dengan
pendahuluan dan penutup.
Contoh penafsiran al-Jabiri atas ayat-ayat Hijab. Meskipun
terkesan tematis, namun al-Jabiri menafsirkannya secara
kronologis.

َك
ِ
لٰذ

�نِهِب
ْ
يِبَلَ
َ
ج
ْ
ن
ِ
م �نِه
ْ
يَل
َ
ع
َْ
يْ
ِ
نْد
ُ
ي
َْ
يْ
ِ
ن
ِ
مْؤ
ُ
مْلا
ِ
ء
ۤ
ا
َ
س
ِ
ن
َ
و َك
ِ
تٰن
َ
ب
َ
و َك
ِ
جا
َ
وْزَ
ِ
ِلّ
ْ
لُق
�
ِبِ�نلا ا
َ
ه� يَاٰيٰ
ا
ً
م
ْ
ي
ِ
ح�ر ا
ً
ر
ْ
وُفَغ
ُ
ٰ
ِ
للّا َناَك
َ
و

َ
ن
ْ
يَذْؤ
ُ
ي َلََف
َ
نْف
َ
ر
ْ
ع� ي ْنَا
ا
ٰنْٰدَا
Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih
mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Jabiri
dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hijab ini adalah sebagai
berikut; Pertama, menggambarkan kondisi masyarakat Arab
ketika ayat tersebut turun dan hal-hal yang menjadi sebab
turunnya ayat tersebut. Kondisi sosial dan pandangan orang Arab

266 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
terhadap perempuan. Kedua, menjelaskan bahwa yang menjadi
maksud adalah menyembunyikan perhiasan batini bukan zahiri.
Ketiga, memberikan batasan kepada orang-orang yang
diperbolehkan bagi perempuan untuk menampakkan
perhiasannya di hadapan mereka. Dan dilanjutkan oleh ayat:

ر
ْْ
يِب
َ
خ
َ
ٰ
ِ
للّا �ن
ِ
ا

ْ
م
َُلَ ىٰكْزَا َك
ِ
لٰذ

ْ
م
ُ
ه
َ
ج
ْ
و
ُ
رُ ف ا
ْ
وُظَف
َْ�
َ
و
ْ
م
ِ
هِرا
َ
ص
ْ
بَا
ْ
ن
ِ
م ا
ْ
و�ضُغ
َ
ي
َْ
يْ
ِ
ن
ِ
مْؤ
ُ
مْل
ِ
ِل
ْ
لُق اَ
ِ
بِ
َن
ْ
و
ُ
عَ ن
ْ
ص
َ
ي

َ
ر
َ
ه َظ ا
َ
م �لّ
ِ
ا �ن
ُ
هَ تَ ن
ْ
يِز
َ
ن
ْ
ي
ِ
د
ْ
ب
ُ
ي َلّ
َ
و �ن
ُ
ه
َ
ج
ْ
و
ُ
رُ ف
َ
نْظَف
َْ�
َ
و �ن
ِ
هِرا
َ
ص
ْ
بَا
ْ
ن
ِ
م
َ
نْضُضْغ
َ
ي
ِ
تٰن
ِ
مْؤ
ُ
مْل
ِ
ِل
ْ
لُق
َ
و

ِ
ء
ۤ
َ
بَٰا
ْ
وَا �نِهِٕى
ۤ
َ
بَٰا
ْ
وَا �نِه
ِ
تَل
ْ
و
ُ
ع
ُ
ب
ِ
ل �لّ
ِ
ا �ن
ُ
هَ تَ ن
ْ
يِز
َ
ن
ْ
ي
ِ
د
ْ
ب
ُ
ي َلّ
َ
و
َّۖ
�ن
ِِ
بِ
ْ
و
ُ
ي
ُ
ج ىٰل
َ
ع �ن
ِ
هِر
ُ
مُ
ِ
بِ
َ
ن
ْ
بِرْض
َ
يْل
َ
و ا
َ
هْ ن
ِ
م

ْ
وَا �ن
ِِ
تِٰو
َ
خَا ا
ْ
ِن
َ
ب
ْ
وَا �ن
ِِ
نِا
َ
و
ْ
خ
ِ
ا ا
ْ
ِن
َ
ب
ْ
وَا �ن
ِِ
نِا
َ
و
ْ
خ
ِ
ا
ْ
وَا �نِه
ِ
تَل
ْ
و
ُ
ع
ُ
ب
ِ
ء
ۤ
اَن
ْ
بَا
ْ
وَا �نِهِٕى
ۤ
اَن
ْ
بَا
ْ
وَا �نِه
ِ
تَل
ْ
و
ُ
ع
ُ
ب

َْلَ
َ
ن
ْ
ي
ِ
ذ�لا ِلْف
ِ
ِطلا ِوَا ِلا
َ
جِ
ِ
رلا
َ
ن
ِ
م
ِ
ة
َ
ب
ْ
ر
ِ
ْلّا ِلِوُا ِ
ْ
يَغ
َْ
يْ
ِ
عِبٰ
ِتلا ِوَا �نُُنِاَْيَْا
ْ
تَكَل
َ
م ا
َ
م
ْ
وَا �نِهِٕى
ۤ
ا
َ
س
ِ
ن
َلِ
ِ
ا اا
ْ
و
ُ
ب
ْ
وُ ت
َ
و

�نِه
ِ
تَن
ْ
يِز
ْ
ن
ِ
م
َْ
يْ
ِ
فُْ� ا
َ
م
َ
مَل
ْ
ع
ُ
ي
ِ
ل �نِه
ِ
ل
ُ
ج
ْ
رَ
ِبَ
َ
ن
ْ
بِرْض
َ
ي َلّ
َ
وَّۖ
ِ
ء
ۤ
ا
َ
س
ِ
ِنلا
ِ
تٰر
ْ
و
َ
ع ىٰل
َ
ع ا
ْ
و
ُ
ر
َ
هْظ
َ
ي
َن
ْ
و
ُ
ح
ِ
لْفُ ت
ْ
مُك�ل
َ
عَل َن
ْ
وُ ن
ِ
مْؤ
ُ
مْلا
َ
ه�يَا ا
ً
ع
ْ
ي
ِ
َجَ
ِٰ
ِ
للّا
30. Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka
menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang
mereka perbuat. 31. Katakanlah kepada para perempuan yang beriman
hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang
(biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya
(auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami
mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara
laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra
saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba
sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak
mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka

Afriadi Putra | 267

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang
yang beriman, agar kamu beruntung.
Perdebatan yang muncul dari ayat di atas adalah tentang
al-zinah al-zahir dan al-zinah al-batin. Ada yang mengatakan
perhiasan zahir adalah pakaian yang dikenakan perempuan untuk
menutup seluruh badannya. Adapula yang mengatakan wajah dan
kedua telapak tangan. Ada juga yang mengatakan apabila dalam
keadaan darurat diperbolehkan bagi perempuan menampakkan
sebagian anggota tubuhnya seperlunya, seperti ketika berobat,
melahirkan, mencuci dan sebagainya. Dari sini kemudian
menurut al-Jabiri, kaidah ”al-dharuratu tubihu al-mahzurat” dapat
diberlakukan dan dengan demikian paptut dipertanyakan
mengapa para perempuan yang berprofesi sebagai pekerja,
pelajar, guru, dan lain-lain tidak masuk dalam pengecuualian ini?
Beberapa hal yang kemudian patut dipertimbangkan terkait
diwajibkan hijab antara lain;
1) Perempuan masa kini tidak lagi berdiam di rumah
dan tidak pula keluar untuk membuang hajat.
2) Saat ini suudah tidak ada lagi yang disebut sebagai
budak, dan para perempuan keluar rumah sendirian.
3) Perempuan keluar rumah untuk bersekolah dan
tidak ada yang menyakitinya.
4) Dimungkinkan untuk membahas masalah hijab ini
dalam konteksnya.

Beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh al-Jabiri
tersebut setidaknya merupakan langkah baginya untuk sampai
pada sebuah rasionalitas, yakni demi menjadikannya
kontemporer untuk masa sekarang. Di bagian akhir
pembicaraannya tentang ayat-ayat hijab dan problematikanya, al-
Jabiri menambahkan bahwa apa yang dilakukan di sini tidak
berarti membatalkan hukum Tuhan, tidak memarkirkannya dan
tidak juga menodai kesuciannya. Terkait dengan maksud
Ilahiyyah dari ayat-ayat hijab tersebut sudah jelas, yakni menahan
pandangan, mengokohkan kewibawaan dan kehormatan, serta

268 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
tidak mempertontonkan dan memamerkan kecantikan diri
seperti perilaku masyarakat jahiliyah.

MA’NA CUM MAGHZA : TAWARAN
HERMENEUTIKA SAHIRON SYAMSUDDIN
Nama lengkapnya adalah Sahiron Syamsudin, lahir di
daerah Cirebon 11 Agustus 1968. Baground pesantren ditempuh
di Pesantren Raudlatu at-Thalibin Babakan Ciwaringin Cirebon
tahun 1981–1987, sekaligus pendidikan menengah formal, mulai
dari MTS Negeri Babakan Ciwaringin (1981–1984) sampai MAN
Babakan Ciwaringin (1984–1987). Pendidikan di tingkat
perguruan tinggi ia mulai dari tingkat strata 1 jurusan hukum
Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1987–1993.
Pendidikan dan pengabdiannya ia lanjutkan hinga sekarang di
bidang studi Islam dengan lebih fokus ke bidang tafsir kitab suci
Al-Qur’an. Studi magisternya dilanjutkan di Mcgill Kanada
dengan memperoleh gelar Master of Arts dengan judul tesisnya
yaitu An Examination of Bint al-Shati Method Interpreting the Qur’an.
S3 di Universitas Bamberg pada tahun 2001–2006 dan pasca S3
di Universitas Frankfurt Germany di selesaikan pada Juli 2010.
Latar belakang pendidikannya tersebut menunjukan pengethauan
dan keahliannya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Setelah kembali
ke Indonesia, Sahiron Syamsuddin tidak menjadi manusia yang
Baratisme apalagi terhadap Islam Indonesia. Bahkan
sekembalinya dari Barat, Sahiron Syamsuddin kemudian
mendirikan pesantren Baitul Hikmah. Dalam hal ini Sahiron
membuktikan bahwa belajar di Barat bukan melemahkan iman,
tetapi memperkuat keimanan tersebut melalui keilmuan
mendalam. Hingga saat ini, selain pimpinan Pondok Pesantren
Baitul Hikmah, banyak jabatan penting yang ditempati oleh
Sahiron, diantaranya ketua Asiosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
se-Indonesia (AIAT), pernah menjadi Steering Commite di
Netherlands-Indonesia Consortium.

Afriadi Putra | 269

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Sahiron Syamsuddin seorang sarjana dalam studi Al-
Qur’an di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah memodifikasi
teori Rahman dan Abū Zayd dengan mengenalkan teori Ma’na
cum Maghza. Pendekatan yang memberikan penekanan terhadap
makna yang sesuai dengan konteks pemaknaan pada masa Al-
Qur’an diturunkan dan mengambil pesan utama (signifikansi)
yang terkandung dalam makna untuk dikontekstualkan pada
masa kekinian dengan pemaknaan yang sesuai. Pendekatan ini
menekankan pada fungsi signifikansi sebagai perangkat produksi
makna. Aspek ini yang ditemukan Sahiron menjadi kekurangan
dari berbagai aliran penafsiran Al-Qur’an sebelumnya. Sebagai
bentuk penjelas terhadap signifikansi, ia membaginya menjadi
dua aspek; signifikansi fenomenal historis (al-magzā at-tārīkhī) dan
signifikansi fenomenal dinamis (al-magzā al-mutaḥarrik al-mu’āṣir).
Signifikansi fenomenal historis merupakan pesan utama ayat
yang dipahami dan diaplikasikan pada masa pewahyuan.
Sedangkan signifikansi fenomenal dinamis merupakan pesan
utama yang dipahami dan diaplikasikan pada masa ayat
ditafsirkan. Identifikasi pesan utama dalam setiap momen
pemaknaan menjadi konsep dasar bagi pendekatan ma’nā-cum-
maghzā agar dapat menghasilkan keseimbangan hermeneutik
(balanced hermeneutics).
Teori ini menjelaskan bahwa seorang pembaca harus
mencari makna awal teks (makna objektif) yang dipahami oleh
pendengar atau penerima pertama Al-Qur’an, selanjutnya dari
makna itu dicari signifikansinya dalam konteks hari ini.
Syamsuddin sendiri menyadari bahwa ada beberapa istilah serupa
untuk menjelaskan teori tersebut seperti Hermeneutika double
movement milik Fazlur Rahman dan pendekatan kontekstual
(contextual approach) milik Abdullah Saeed. Tetapi, dia menegaskan
bahwa kedua istilah itu selama ini hanya dipraktekkan dalam
memahami ayat-ayat Alquran tentang hukum. Sementara itu,
Ma’na cum Maghza diharapkan mampu diterapkan untuk
penafsiran seluruh teks Al-Qur’an.

270 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Teori Ma’na cum Maghza mengasumsikan bahwa setiap kata
(simbol) dalam sebuah teks apapun termasuk Al-Qur’an memiliki
makna historis yang spesifik dalam konteks tertentu. Turunnya
Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad juga berada dalam konteks
budaya tertentu yang menjadi ciri khas masyarakat Arab abad
ketujuh. Perhatian penafsir diarahkan tidak hanya terhadap teks,
tetapi juga kepada konteks sejarah masyarakat Arab waktu itu.
Sahiron menambahkan bahwa proses tersebut bersandar pada
asumsi setiap bahasa apapun memiliki makna dalam aspek
sinkronik dan diakronik. Sinkronik artinya bahasa dalam sebuah
komunitas itu tetap dan tidak berubah, sedangkan diakronik
adalah perubahan bahasa sesuai perubahan konteks sejarah.
Kehati-hatian pembaca dalam menganalisis bahasa yang
berkembang harus diarahkan pada mislanya aspek frase, idiom,
dan struktur. Asbāb al-nuzūl merupakan bagian konteks mikro,
sementara konteks makro merupakan kondisi umum dalam
tradisi, sistem hukum, dan sosial-politik di sekeling masyarakat
Arab dan yang berhubungan dengannya pada abad ketujuh.
Pencapaian hermeneutika yang seimbang ditempuh
dengan memberikan porsi yang sama antara makna asal literal (al-
ma’na al-aṣlī) dengan pesan utama (al-maghzā) di balik makna
literal. Proses pencarian makna asal literal (al-ma’nā at-tārikhī)
dilakukan secara bersama dengan signifikansi fenomenal historis
(al-magzā at-tārikhī) melalui empat komponen analisis; analisis
linguistik, analisis intratekstual, analisis intertekstual, dan analisis
konteks historis. Pertama, analisis linguistik digunakan untuk
menelusuri makna asli (original meaning) seseuai dengan
pemahaman masyarakat Arab abad ke-7 M. tentang makna suatu
kata. Identifikasi makna kata sebelum Al-Qur’an diturunkan (pre-
qur’anic meaning), masa pewahyuan (qur’anic meaning), dan setelah
masa pewahyuan (post-qur’anic meaning) menjadi titik tekan dalam
proses ini untuk mendeteksi pesan utama (al-maghzā at-tārīkhi)
dalam setiap perubahan makna. Kedua, analisis intertekstual
digunakan untuk menemukan makna suatu kata yang sedang
dicari makna aslinya dalam ayat-ayat lain. Identifikasi sintagmatis

Afriadi Putra | 271

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dan paradigmatik dibutuhkan dengan melihat struktur ayat dan
kategori masing-masing ayat (makkiyah atau madaniyah).
Ketiga, analisis intertekstual dilakukan untuk menemukan
relasi makna dan pesan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan teks
lain yang ada di sekitar Al-Qur’an dengan cara
membandingkannya. Keempat, analisis konteks historis makri
dan makro. Konteks historis makro merupakan konteks yang
mencakup situasi dan kondisi masyarakat Arab pada masa
pewahyuan Al-Qur’an. Sedangkan konteks historis mikro
merupakan kejadian-kejadian spesifik yang melatar-belakangi
turunnya suatu ayat (asbāb al-nuzūl). Empat komponen analisis
tersebut saling bersinergi untuk menentukan makna asli dan
signifikansi historis yang meng-hasilkan makna saat ayat
dipahami pada masa pewahyuan dan menjadi dasar penemuan
makna baru yang menye-suaikan dengan pesan utama fenomenal
dinamis (al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu’āṣir).

ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN ABED AL -
JABIRI VERSUS SAHIRON SYAMSUDDIN
Menurut hemat penulis, seorang pemikir tidak bisa
dilepaskan dari kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud disini
adalah kekuasaan intelektual di zamannya, bukan kekuasaan
politik. Munculnya suatu gagasan besar dari seorang pemikir
tentunya tidak akan lepas dari pemikir sebelumnya. Hal ini bisa
dilihat dari buah pikiran atau karya-karya yang dihasilkan dalam
upaya melacak geneologi keilmuan tokoh tersebut. Bagian ini
tidak bermaksud mencocok-cocokkan antara pemikiran al-Jabiri
dengan Sahiron Syamsuddin atau bahkan mengkontradiksikan,
namun berusaha membandingkan pemikiran hermenutika dua
tokoh tersebut yang mewakili dunia Arab di satu pihak dan
konteks ke-Indonesia-an di pihak lain, untuk selanjutnya
menelaah kontribusi pemikiran-pemikiran keduanya dalam studi
Islam.

272 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Secara historis pemikiran al-Jabiri dan Sahiron Syamsuddin
lahir dari kegelisahan-kegelisan yang dirasakan melihat kondisi
keberagamaan umat Islam di mana mereka mengabdi. Sebagai
seorang pemikir mereka merasa berkepentingan merespons
keadaan itu kemudian menyumbangkan gagasan dalam upaya
beranjak kepada tatanan yang lebih baik. Al-Jabiri misalnya
menganggap turas yang sudah melembaga di kalangan Arab
selama ini sudah memasung pemikiran orang Arab sehingga sulit
untuk bangkit dari keterpurukan. Untuk itu ia merasa perlu untuk
me-dekontruksi turas kemudian memberikan tawaran baru untuk
melakukan pembacaan terhadapnya. Gagasan-gagasan progresif
dan visioner al-Jabiri menjadi wacana yang banyak
diperbincangkan di kalangan peminat studi Islam khususnya.
Basis keilmuan filsafat yang kuat disertai dengan pemahaman
terhadap literatur-literatur klasik menjadikan ia seorang pemikir
produktif dan sistematis.
Kesamaan pemikiran antara kedua tokoh ini terlihat ketika
mereka berpijak pada turas. Sahiron selalu menekankan
pentingnya makna awal atau makna objektif dari nash itu sendiri.
Sementara Al-Jabiri, sebelum menawarkan sebuah konsep
pembacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Jabiri terlebih
dahulu mengkritisi gaya pembacaan terhadap turas. Setelah itu
barulah ia tawarkan sebuah konsep yang ia sebut dengan istilah
al-fasl dan al-wasl. Prinsip pertama yang harus dilakukan dalam
pembacaan terhadap teks adalah menjadikannya kontemporer
untuk dirinya sendiri, dalam arti seorang pembaca harus mampu
menemukan otensitas teks (al-asalah), yakni kemandirian teks dari
segala bentuk pemahaman terhadapnya pada tataran
problematika teoritis. Oleh karena itu, pembaca harus
memisahkan diri dari objek bacaan (fasl al-maqru’ an al-qari)
dengan cara menjaga jarak antara dirinya (selaku subyek) dan teks
yang menjadi objek kajian. Pada tataran ini, al-Jabiri menawarkan
langkah teoritis, yaitu Dekonstruksi dan Kritik Ideologis.
Kemudian dilanjutkan dengan al-wasl atau wasl al-qari bin maqru’
adalah mengaitkan kembali antara pembaca dengan objek
bacaan. Melalui langkah ini diharapkan teks akan menjadi

Afriadi Putra | 273

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
kontemporer untuk pembaca. Objektifitas sebagai prinsip awal
tidak dimaksudkan untuk mengikis dan melemparkan teks
tersebut jauh darinya, melainkan untuk kembali kepadanya dalam
bentuk baru dengan hubungan-hubungan dan relasi-relasi yang
juga baru. Dalam bahasa al-Jabiri, menjadikannya kontemporer
pada masa kini dengan cara memahaminya secara rasional, baik
untuk menerapkannya sebagai rumusan teoritis ataupun ideologi.
Sementara itu penggalian makna objektif yang dilakukan
oleh Sahiron, kemudian dari makna itu dicari signifikansinya
dalam konteks hari ini. Proses pencarian makna asal literal (al-
ma’nā at-tārikhī) dilakukan secara bersama dengan signifikansi
fenomenal historis (al-magzā at-tārikhī) melalui empat komponen
analisis; analisis linguistik, analisis intratekstual, analisis
intertekstual, dan analisis konteks historis. Upaya-upaya yang
dilakukan oleh kedua tokoh ini agar ayat-ayat Al-Qur’an tidak
stagnan, namun menjadi solusi terhadap problematika
kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Abdur Razzaq & Deden Mula Saputra, Studi Analisis Komparatif
Antara Ta’wil Dan Hermeneutika Dalam Penafsiran Al-
Qur’an, Wardah: Vol. 17 No. 2 (2016)
Afandi, Abdullah, Pemikiran Tafsir Muhammad Abed Al-Jabiri, Tesis
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009
Ahmad Efendi Hadirois & Suryo Ediyono, Pemikiran Hassan
Hanafi Tentang Kritik Tradisi Islam (Analisis
Hermeneutika), CMES Journal, Vol 8, No 2 (2015)
Ahmad Roisy Arrasyid, ”Kontroversi Hermeneutika Al-Qur’an
sebagai Metodologi Menafsirkan Al-Qur’an: Analisis
Pemikiran Sahiron Syamsuddin dan Adian Husaini”,
Tesis Pascasarjana PTIQ, Jakarta: 2022

274 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Ahmad Zayyadi, “Pendekatan Hermeneutika Al-Quran
Kontemporer Nashr Hamid Abu Zaid: (Aplikasi
Terhadap Gender Dan Woman Studies Dalam Studi
Hukum Islam),” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir 2, No. 1 (May 10, 2017): 1.
Al-Jabiri, M. Abed, Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih
Hasba Tartib al-Nuzul, Beirut: Markaz dirasat al-Wihdah
al-’Arabiyyah, 2009
Al-Jabiri, M. Abed, Hafriyat fi al-Zakirah min Ba’id, Beirut: Markaz
Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1997
Al-Jabiri, M. Abed, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso,
Yogyakarta: LkiS, 2000
Haryono, Dwi, dalam Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan
Hadis, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010
Hassan Hanafi, Membumikan Tafsir Revolusioner, Terj. Yudian
Wahyudi dan Hamdiah Latif (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, tt)
Muhammad Furqan, Sakdiah, Kajian Hermeneutika Kontemporer:
Studi Analisis atas Penafsiran Al-Qur’an Nasr Hamid Abu
Zayd dan Hassan Hanafi, TAFSE: Journal of Qur’anic
Studies, Vol. 7 No. 1 Tahun 2022
Muhammad Islahuddin, Hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl
Tentang Konsep Otoritarianisme Dalam Hukum Islam,
IMTIYAZ: Jurnal Ilmu Keislaman, Vol. 3 No. 2 Tahun
2019
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997
Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta:
Adab Press, 2012
Reflita, “Kontroversi Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir
(Menimbang Penggunaan Hermeneutika dalam

Afriadi Putra | 275

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Penafsiran al-Qur’an)”. Jurnal Ushuluddin Vol. 24. No.
2 Tahun 2016
Roswantoro, Alim Epistemologi Pemikiran Islam M. Amin Abdullah
dalam Islam, Agama-agama dan Nilai Kemanusiaan;
Festchrift untuk M. Amin Abdullah, Yogyakarta: CISForm,
2013
Safrudin Edi Wibowo, ”Kontroversi Penerapan Hermenutika dalam
Studi Al-Qur’an”, Disertasi Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta: 2017
Shahrur, Muhammad, (editor Sahiron Syamsuddin), Prinsip dan
Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer,
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007
Syamsudin, Sahiron, Pendekatan Ma’na cum Maghza atas Al-Qur’an
dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era
Kontemporer, Bantul: AIAT & Lembaga Ladang Kata,
2020
Yahya, Mohamad, Al-Qasas al-Qur’ani Perspektif M. Abed Al-
Jabiri, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2010
Zen Amrullah, Hermeneutika Al-Qur’an dan Studi Al-Qur’an dalam
Konteks Keindonesiaan, Jurnal Al-Ulum: Jurnal Pemikiran
dan Penelitian Ke-Islaman, Vol. 2 No. 1 (2015)

276 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner


DAFTAR KONTRIBUTOR


Hairunnisa : lahir di Kalimantan Tengah,
tepatnya di Bahaur pada tanggal 06
Juni 1994. Saat ini dia tinggal di
Palingkau Baru, Kec. Kapuas
murung, Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah. Hairunnusa
telah menamatkan pendidikan
sarjananya dia selesaikan di STAI
Kuala Kapuas pada tahun 2017.
Pendidikan magisternya di
selesaikan di Universitas KH.Abdul
Chalim Pacet Mojokerto 2020
sebelum kemudian dia mengabdikan
diri untuk mengajar di STAI Kuala
Kapuas hingga saat ini. Hairunnisa
telah menghasilkan karya untuk
menunjang profesinya, yang
berjudul Pengembangan Bahan Ajar
PAI. Untuk menjalin kontak
dengannya, bisa melalui nomor:
081255727206.

M. Faiz Al Arif

: Aktif sebagai dosen tetap di
lingkungan Institut Al Fithrah
Surabaya. Penulis saat ini sedang
melanjutkan studi S3 di kampus
Universitas KH. Abdul Chalim
Pacet Mojokerto.

Afriadi Putra | 277

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Sheyla Nichlatus Sovia : lahir di Magetan 32 tahun silam,
menamatkan pendidikan S-1 di
Universitas Al-Azhar Mesir dengan
konsentrasi Aqidah dan Filsafat dan
lulus pada tahun 2013, melanjutkan
pendidikan S-2 di UIN Sunan
Kalijaga konsentrasi Aqidah dan
Filsafat Islam. Sejak tahun 2019
mengabdikan diri sebagai dosen di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Kediri. Untuk korespondensi lebih
lanjut dapat dihubungi melalui
email: [email protected]

Dewi Anggraeni : kelahiran Majalengka, 06 Agutus
1989, menempuh pendidikan S1
Islamic Studies di Universite Ibn
Tofail Kenitra Morocco,
Menyelesaikan Studi S2 Islamic
Studies di Universite Hassan Tsani
Ain Chok Casablanca Morocco.
Saat ini sebagai peneliti di KPPP
MUI Pusat, sekaligus dosen di
Universitas Islam Negeri K.H.
Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Beberapa karya yang dihasilkan
dengan kajian Islam dengan
konsentrasi terkait dengan
Pesantren, Agama dan Tradisi,
Pendidikan Islam dan Moderasi
Beragama yang dituangkan baik
dalam bentuk buku maupun artikel
ilmiah yang dapat diakses melalui
Sinta ID: 6660324

278 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Ramdan Wagianto : lahir di Banyuwangi pada 21 April
1990. Menamatkan pendidikan
sarjana sarjana di jurusan Al Ahwal
Asy Syakhsiyyah (AS/HKI) Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
pada tahun 2013. Kemudian pada
tahun 2015 Penulis menempuh
Pendidikan Magister (S2) pada
almamater yang sama, dengan
mengambil jurusan Hukum Islam
Konsenterasi Hukum Keluarga dan
selesai pada 2018. Sejak 2021 sampai
sekarang, penulis menjadi Dosen
tetap pada program studi Hukum
Keluarga Islam Fakultas Syariah
Universitas Islam Zainul Hasan
(UNZAH) Genggong Probolinggo
Jawa Timur, dan kini menjabat
sebagai Ketua Prodi Perbandingan
Madzhab Fakultas Syariah.

Ari Susandi : lahir di Banyuwangi pada tanggal
10 Januari 1991. Menyelesaikan
Pendidikan program sarjana pada
jurusan S1 Pendidikan Guru
Sekolah Dasar di Universitas
Terbuka Lulus Tahun 2016,
Melanjutkan Program Magister S2
Pendidikan Dasar di Universitas
Negeri Surabaya Lulus Tahun 2018
dan melanjutkan studi program
Doktoral S3 Pendidikan Dasar di
Universitas Negeri Yogyakarta lulus
2024. Pada tahun 2019-2022
mengajar sebagai Dosen Tetap di

Afriadi Putra | 279

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Institut Ahmad Dahlan Kota
Probolinggo dan menjabat sebagai
Ketua Program studi Pendidikan
Agama Islam periode 2019-2021
kemudian pada tahun 2023
berpindah tugas di Universitas
Muhammadiyah Lamongan pada
program studi S1 PGSD. Untuk
menjalin kontek dengan Ari Susandi
dapat melaui email:
[email protected], atau melalui
nomor: 082138347201.

Suhermanto Ja'far : adalah dosen Pascasarjana dan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya.
Menamatkan studi magister di Ilmu
Filsafat UI dan Doktor di prodi
Pemikiran Islam/Filsafat UIN
Sunan Ampel. Beberapa publikasi
jurnal di antaranya: The Forest
Warrior Of Walisongo Islamic Boarding
School Tuban: Supporting Students as
Ecotheology Based Forest Conservator
(2019), The Emergence of New Religious
Movement and Threats to Social
Harmony in Kupang, East Nusa
Tenggara (2020), Pengaruh penguatan
karakter Islam terhadap sikap tentang
bullying (2021), Islam And Homo Deus
In Anthropocentric Theology: A Religious
Challenge In The Future (2022), Islam
Aboge Between Heritage Tradition and
Religious Sect in the Horseshoe Area
(2023), Islam, Cyberspace And Post-

280 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Truth: Epistemological Problems In The
Digital Age (2023).

Teguh Hadi Wibowo : adalah seorang akademisi dan
pendidik yang memiliki dedikasi
tinggi dalam bidang pendidikan
Islam dan kajian keislaman.
Menyelesaikan kuliah S1 pada tahun
2014 di Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus S2
pada tahun 2018 di Universitas yang
sama. Saat ini Ia berdomisili di tanah
kelahirannya dan aktif mengajar di
Universitas Muhammadiyah
Lamongan. Saat ini, Ia sedang
melanjutkan pendidikannya di
jenjang doktoral, mengambil
program Pendidikan Agama Islam
di Universitas Muhammadiyah
Malang. Instagram:
teguh_hadiwibowo.

Hasani Ahmad Said : adalah Lektor Kepala (Associate
Professor) Fakultas Ushuluddin
UIN Jakarta yang saat ini menjabat
Ketua Prodi Ilmu Tasawuf Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta. Dia Lahir
di Cilegon Banten dan menamatkan
studi sarjananya di UIN Jakarta pada
jurusan Tafsir Hadis tahun 2005.
Dia juga menamatkan studi
magisternya di jurusan yang sama
pada tahun 2007, namun
menempuh magister kembali di
jurusan Bahasa dan Sastra Arab
pada tahun 2015. Studi doktoralnya

Afriadi Putra | 281

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
dia tamatkan di UIN Jakarta dengan
konsentrasi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir pada tahun 2011. Hingga saat
ini, Hasani Ahmad Said sudah
menghasilkan berbagai karya, di
antaranya: Sejarah al-Qur’an (Jakarta:
Amzah: Bumi Aksara, 2022), Gaya
Bahasa Majaz dalam al-Qur’an
(Bandung: Manggu Makmur Lestari,
2022), Corak Sastra Tafsir al-Qur’an:
Studi atas Tafsit al-Azhar Karya
Hamka (Bandung: Manggu Makmur
Lestari, 2021), Relasi Islam & Tradisi
Lokal: Potret atas NU,
Muhammadiyah, Wahabi, & Baduy
(Bandung: Manggu Makmur Lestari,
2021), Jaringan & Pembaharuan
Ulama tafsir Nusantara Abad XVI-
XXI (Bandung: Manggu Makmur
Lestari, 2020), Tuah Islam bagi Jagat
Raya: Primbon Pesona Islam Untuk
Kehidupan Hakiki – Manifestasi Islam
Rahmatan lil ‘Alamin (Bandung:
Manggu Makmur Lestari, 2020),
Tafsir Teologis: Menggali Ayat-ayat
Kalam dalam tafsir Fath al-Qadir
(Depok: Rajawali Pers, 2020),
Diskursus Munasabah al-Qur’an dalam
Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Amzah,
Bumi Aksara, 2015), Studi Islam;
Kajian Islam Kontemporer (Jakarta:
Rajagrafindo, 2016), dan lain
sebagainya.
Atika Ulfia Adlina : adalah seorang Spiritual Consultant
sekaligus dosen di bidang keilmuan
Tasawuf dan Psikoterapi. Lahir di

282 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Kudus 21 Januari 1988.
Menamatkan pendidikan S1 di
Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi,
UIN Walisongo dan S2 Ilmu
Tasawuf di kampus yang sama,
menjadikannya memiliki komitmen
dan konsisten dalam
mengembangkan keilmuan Tasawuf
dan psikoterapi. Ia juga cukup aktif
menjadi narasumber di berbagai
kegiatan seminar dan workshop
dengan tema Tasawuf dan
psikoterapi juga tentang spiritual
dan adaptability career. Selain itu,
juga menjadi pendamping
psikospiritual bagi lembaga yang
membutuhkan seperti Lembaga
sosial, lembaga pendidikan dan
masyarakat. Aktif di berbagai
organisasi seperti Konsorsium
Tasawuf dan Psikoterapi Indonesia
(Kotaterapi) dan aktif menjalin
relasi mitra kerjasama dengan
berbagai lembaga.

Meta Malihatul
Maslahat
: lahir di Cirebon, 2 Mei 1992,
seorang Dosen tetap Prodi Tasawuf
dan Psikoterapi Fakultas
Ushuluddin IAIN Kudus sejak
tahun 2019. Menempuh pendidikan
S1 jurusan Tasawuf dan Psikoterapi
Fakultas Ushuluddin UIN Bandung
lulus tahun 2014, S2 Program
Pengkajian Islam Konsentrasi
Psikologi Islam Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif

Afriadi Putra | 283

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
Hidayatullah Jakarta lulus tahun
2016. Telah menulis beberapa buku
di antaranya: Tasawuf
Entrepreneurship: Membangun Jiwa
Entrepreneur Berbasis Nilai-nilai
Sufistik (diterbitkan oleh IAIN
Kudus Press, 2021); Psikologi
Sufistik: Memahami Ilmu Jiwa dalam
Perspektif Tasawuf (diterbitkan oleh
Penerbit Nusa Litera Inspirasi,
2021); Tari Sufi: Sebagai Jalan Meraih
Cinta Ilahi (diterbitkan oleh Penerbit
Nusa Litera Inspirasi, 2023); Agama
dalam Logoterapi: Terapi Makna Hidup
Bagi Pasien Pasca Psikosis (diterbitkan
oleh Al Qolam Media Lestari, 2024).
Untuk berkorespondensi dengan
penulis, para pembaca dapat
menghubungi melalui email:
[email protected].

Nur Khosiah : lahir di Probolinggo pada tahun
1980. Menyelesaikan Strata I
Progam Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Tinggi Agama Islam
Pasuruan. Pendidikan Jenjang
Magister diperolah di Universitas
Negeri Surabaya pada Progam
Pendidikan Dasar. Aktif sebagai
Tenaga Pendidik pada progam studi
Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah, di Institut Ahmad
Dahlan Probolinggo. Aktif
melakukan penelitian, pengabdian,
mengikuti pertemuan dan kegiatan

284 | Afriadi Putra

Studi Islam Kontemporer : Suatu Kajian Pembacaan Interdisipliner
ilmiah baik nasional maupun
internasional.

Afriadi Putra : lahir pada 20 April 1989 di
Bangkinang, Kabupaten Kampar,
Riau. Setelah menamatkan
pendidikan Tsanawiyah dan
Aliyahnya, penulis melanjutkan
rihlah ilmiah ke kota pelajar
Yogyakarta di Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
sampai tingkat Magister. Bidang
kajian utamanya adalah Studi
Qur’an dan Hadis. Penulis aktif
menulis di koran lokal dan nasional
seperti Riau Pos dan Kompas. Ikut
mengembangkan gagasan dan
pemikiran melalui publikasi artikel
di jurnal-jurnal nasional terakreditasi
dan jurnal internasional bereputasi.
Saat ini sedang menjalani studi
doktoral di Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan
pembiayaan dari Beasiswa BIB-
LPDP Kemenag RI. Penulis adalah
Dosen Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau. Untuk
berkomunikasi lebih lanjut dapat
menghubungi: 0813 2817 9116 atau
[email protected].

STUDI ISLAM
KONTEMPORER
EDITOR : ABDULLOH HANIF
Duta Sains Indonesia
Alamat : Sedati Sidoarjo
Web Penerbit : dutasains.com
Info Penerbitan : 0877-5551-0658