MuhammadJanuarNabiri
9 views
217 slides
Dec 31, 2024
Slide 1 of 217
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
About This Presentation
Cerita ini berkisah tentang Picis, seorang kapten kapal Aksaraga, yang berlayar di lautan luas dengan membawa beban masa lalu dan pertempuran batin yang berat. Bersama seorang gadis bernama Hana, Picis menghadapi ketakutan dalam bentuk hantu-hantu yang menghuni dek bawah kapal. Hantu-hantu tersebut ...
Cerita ini berkisah tentang Picis, seorang kapten kapal Aksaraga, yang berlayar di lautan luas dengan membawa beban masa lalu dan pertempuran batin yang berat. Bersama seorang gadis bernama Hana, Picis menghadapi ketakutan dalam bentuk hantu-hantu yang menghuni dek bawah kapal. Hantu-hantu tersebut melambangkan keraguan, penyesalan, dan ketakutan dalam diri Picis, yang terus berbisik dan berusaha menghalangi perjalanan mereka menuju daratan.
Sepanjang perjalanan, Picis harus menghadapi badai fisik dan mental, di mana setiap gelombang dan setiap bisikan menjadi ujian keberaniannya. Dengan tekad yang kuat dan dukungan dari Hana, Picis akhirnya berhasil mengatasi ketakutannya dan menemukan daratan yang selama ini mereka cari.
Namun, kedatangan di daratan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru dalam hidup mereka. Picis menyadari bahwa hantu-hantu dari masa lalu mungkin akan selalu ada, tetapi mereka tidak akan pernah lagi memiliki kendali penuh atas dirinya. Bersama Hana, Picis melangkah dengan keyakinan ke dunia yang baru, meninggalkan kapal Aksaraga sebagai simbol perjalanan panjang yang penuh pelajaran dan keberanian.
Size: 1.66 MB
Language: none
Added: Dec 31, 2024
Slides: 217 pages
Slide Content
Negeri Perasaan
1
Negeri Perasaan
2
Negeri
Perasaan
Negeri Perasaan
3
Mengarungi Lautan Emosi
i atas kapal yang perlahan melaju melintasi samudra
luas, Picis berdiri di sisi dek, memandangi Tepi langit
yang tak pernah berujung. Lautan yang tak terhingga itu
seakan memantulkan perasaannya yang begitu mendalam—
rasa kosong yang tak terisi, kegelisahan yang berputar-putar,
dan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya.
Ia merasa terombang-ambing di tengah kehidupan, seperti
kapal kecil ini, yang terombang-ambing oleh ombak besar
tanpa bisa menentukan ke mana arah tujuannya.
Lautan yang luas ini bukanlah sekadar metafora bagi
kehidupan yang belum jelas tujuannya. Bagi Picis, laut ini
adalah simbol dari ketidakpastian yang selalu
mengelilinginya. Ketidakpastian tentang masa depan,
ketidakpastian tentang dirinya sendiri, dan ketidakpastian
tentang tempat yang ia cari untuk merasa utuh. Semua ini
terasa seperti ombak yang terus menghantam, tak memberi
ruang untuk bernafas, tak memberi ruang untuk berdiam
dengan tenang.
Setiap gelombang yang datang dari kejauhan membawa
perasaan yang baru. Terkadang gelombang itu tenang, hanya
D
Negeri Perasaan
4
memberikan riak kecil di permukaan, seakan dunia ini tidak
terlalu berat. Namun, sering kali gelombang itu datang
dengan kekuatan yang luar biasa, menghantam kapal dengan
begitu keras hingga membuatnya terasa hampir tenggelam.
Picis tahu persis bagaimana rasanya dihantam oleh perasaan
yang datang begitu tiba-tiba—kecemasan yang datang tanpa
peringatan, keraguan yang menyerang tanpa memberi ruang
untuk berpikir jernih. Sama seperti ombak-ombak yang
datang dan pergi, perasaan-perasaan ini datang begitu cepat
dan meninggalkan rasa hampa setelahnya.
Kapal kecil ini bukanlah tempat yang aman. Picis tahu
bahwa meskipun kapal ini memiliki layar yang kokoh dan
peralatan yang memadai, tidak ada yang bisa menghindarkan
dirinya dari gelombang yang datang begitu saja. Lautan ini
terasa seperti ruang yang tak bisa dia kendalikan, seperti
perasaan-perasaan yang tidak bisa ia tangani. Ada saat-saat di
mana ia merasa cukup kuat untuk melawan ombak, tetapi ada
juga saat-saat di mana ia merasa seolah-olah kapal ini akan
terbalik dan tenggelam di kedalaman lautan. Dan setiap kali
itu terjadi, ia merasa lebih jauh dari daratan yang ia impikan.
Namun, Picis tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di
sini, terombang-ambing tanpa arah. Ia harus menemukan cara
Negeri Perasaan
5
untuk mengendalikan kapal ini, untuk menghadapinya
dengan lebih berani. Ia harus belajar untuk tidak takut pada
gelombang-gelombang itu, meskipun kadang-kadang ombak
itu datang dengan begitu keras dan menakutkan. Ia harus
menemukan cara untuk berlayar ke daratan yang ia impikan,
meskipun itu terasa begitu jauh dan tak terjangkau.
Kapal ini adalah perwujudan dari hidupnya. Ini adalah
perjalanan yang panjang, yang terkadang terasa
membingungkan, terkadang terasa menantang, dan terkadang
terasa begitu kosong. Di atas kapal ini, Picis tidak hanya
mengarungi laut fisik, tetapi juga laut emosional yang tak
terhingga. Setiap kali ia merasa lelah, setiap kali ia merasa
bingung, setiap kali ia merasa tertekan, ia tahu bahwa
gelombang-gelombang ini bukanlah musuh yang harus
dihindari, tetapi tantangan yang harus ia hadapi.
Picis memandang ke Tepi langit, berharap bisa melihat
sedikit tanda daratan yang akan memberi petunjuk tentang
arah hidupnya. Namun, yang ia temui hanyalah luasnya
lautan yang tidak terhingga. Semua yang ada di depannya
hanyalah air biru yang memantulkan langit, seolah-olah
dunia ini adalah ruang tanpa batas. Perasaan ini begitu akrab
Negeri Perasaan
6
baginya—perasaan bahwa ia tidak tahu ke mana harus pergi,
dan lebih parah lagi, perasaan bahwa ia tidak tahu siapa
dirinya yang sebenarnya.
Sejak kecil, Picis selalu merasa bahwa hidup ini adalah
perjalanan yang penuh dengan teka-teki yang tidak bisa ia
pecahkan. Setiap kali ia mencoba meraih sesuatu yang lebih
besar, setiap kali ia mencoba mencapai tujuan yang lebih
tinggi, ia merasa ada hambatan yang menghalangi. Bukan
hambatan dari luar, tetapi hambatan dari dalam dirinya
sendiri—rasa takut, rasa ragu, dan rasa tidak cukup baik.
Sama seperti lautan yang luas ini, perasaan-perasaan itu tak
terhingga dan tak bisa ia kendalikan.
Kapal kecil ini adalah simbol dari perjuangannya untuk
menemukan kedamaian. Tetapi, dalam perjalanannya yang
panjang, Picis semakin menyadari bahwa kedamaian
bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan hanya
menghindari kesulitan atau ketidakpastian. Kedamaian
adalah sesuatu yang harus ditemukan dengan berani
menghadapi ombak-ombak itu, dengan menerima kenyataan
bahwa lautan ini tidak akan pernah benar-benar tenang. Ada
saat-saat ketika kapal akan berayun keras di tengah
Negeri Perasaan
7
gelombang, ada saat-saat ketika ia akan merasa terpuruk,
tetapi Picis tahu bahwa ia harus terus melaju.
Setiap detik yang berlalu di atas kapal ini, setiap detik
yang ia habiskan dalam perjalanan ini, adalah bagian dari
proses menemukan dirinya yang sejati. Ini bukan hanya
tentang mencapai daratan, tetapi tentang bagaimana ia bisa
bertahan dan bertumbuh di tengah ketidakpastian yang ada.
Setiap gelombang yang datang adalah kesempatan untuk
belajar, setiap angin yang bertiup adalah kesempatan untuk
mengarahkan layar ke arah yang benar. Semua ini adalah
bagian dari perjalanan hidupnya, yang tidak akan pernah bisa
ia hindari.
Picis tahu bahwa perjalanan ini bukanlah perjalanan
yang mudah. Tetapi ia juga tahu bahwa jika ia berhenti, jika
ia membiarkan dirinya terjebak dalam ketakutannya, maka
kapal ini tidak akan pernah sampai ke tujuan. Ia harus belajar
untuk mengarungi lautan ini dengan keberanian, meskipun ia
tahu bahwa perasaan-perasaan negatif akan selalu ada di
bawah dek kapal, menunggu saat yang tepat untuk muncul
dan menakut-nakuti.
Di tengah lautan yang tak terhingga ini, Picis belajar
untuk tidak melawan angin, tetapi untuk belajar bagaimana
Negeri Perasaan
8
memanfaatkannya. Ia belajar bahwa ketidakpastian bukanlah
musuh yang harus dihindari, tetapi teman yang mengajarinya
untuk beradaptasi dan tumbuh. Setiap kali ia merasa terpuruk,
setiap kali ia merasa terombang-ambing, ia mengingatkan
dirinya sendiri untuk tetap berlayar. Karena hanya dengan
terus berlayar, hanya dengan terus mengarungi lautan ini, ia
akan menemukan daratan yang ia cari.
Saat malam tiba, kapal itu melaju tanpa henti, meskipun
lautan gelap dan penuh dengan misteri. Di langit yang luas,
bintang-bintang bersinar, memberi sedikit cahaya di tengah
kegelapan. Picis tahu bahwa meskipun ia tidak tahu apa yang
ada di depan, ia harus terus maju. Ia harus tetap mengarahkan
kapal ini ke tujuan yang belum ia ketahui, karena hanya
dengan terus berlayar, ia akan menemukan jawabannya.
Lautan yang tak terhingga ini mungkin akan terus
menantangnya. Tetapi Picis tahu bahwa ia tidak akan pernah
berhenti mencari daratan, mencari kedamaian, dan mencari
dirinya yang sejati. Perjalanan ini adalah perjalanan yang
panjang, tetapi ia siap untuk menempuhnya, karena ia tahu
bahwa dalam setiap gelombang yang datang, ada pelajaran
yang bisa dipelajari. Dan dalam setiap perjalanan yang penuh
Negeri Perasaan
9
dengan ketidakpastian ini, ada kesempatan untuk menjadi
lebih kuat dan lebih bijaksana.
Picis selalu merasa seperti kapal yang terombang-
ambing di tengah lautan luas, tanpa kendali, tanpa arah yang
jelas. Meskipun fisiknya tampak tegap, dengan tubuh tinggi
dan rambut hitam legam yang terkadang tampak rapi
meskipun tak pernah benar-benar terawat, ia sering merasa
seperti kapal yang sedang tenggelam perlahan. Bukan karena
kekurangan fisik atau kondisi luar, tetapi karena
ketidakpastian yang selalu melanda dirinya.
Sebenarnya, Picis dilahirkan dalam keluarga yang
penuh dengan perhatian. Orang tuanya, meskipun terkadang
sibuk dengan urusan pekerjaan, selalu memberikan kasih
sayang yang tulus dan perhatian pada anak-anak mereka.
Namun, sejak kecil Picis selalu merasa ada yang kurang.
Mungkin, itu adalah standar tinggi yang tidak pernah ia
pahami sepenuhnya. Ia selalu merasa bahwa meskipun ia
mendapatkan perhatian, ada harapan besar yang melekat
padanya untuk menjadi seseorang yang sempurna.
Kehidupan masa kecil Picis penuh dengan pencapaian-
pencapaian kecil yang sering dianggap sebagai hal biasa.
Negeri Perasaan
10
Ketika ia berhasil meraih nilai tinggi di sekolah, ia merasa
tidak ada yang spesial dari itu. Ketika ia berhasil
memenangkan sebuah lomba, orang tuanya memberi selamat,
tetapi ia merasa itu tidak cukup besar. Semua pencapaian
yang didapatkannya terasa hampa, seperti tidak memenuhi
ekspektasi dirinya sendiri. Ia tahu bahwa orang tuanya tidak
pernah secara eksplisit mengatakan hal itu, tetapi entah
bagaimana, ia merasa ada tuntutan yang lebih besar—sesuatu
yang belum bisa ia capai, meskipun ia tidak tahu apa itu.
Sejak kecil, Picis selalu tertarik pada dunia seni dan
desain. Ketika teman-temannya memilih untuk bermain
sepak bola atau berlPicisn di luar rumah, Picis lebih suka
duduk di meja dan menggambar. Karyanya tidak terlalu
istimewa, tetapi itu memberinya ketenangan. Setiap garis
yang ia gambar, setiap bentuk yang ia buat, seolah-olah
memberi sedikit rasa kepemilikan dan kendali atas dunia
yang sering kali terasa begitu tidak pasti.
Namun, meskipun ia menemukan kenyamanan dalam
seni, perasaan tidak cukup itu tetap membekas. Di sekolah
menengah, Picis mulai merasa semakin terasing. Ia merasa
berbeda dengan teman-teman lainnya. Mereka memiliki rasa
percaya diri yang luar biasa, mereka tampak dengan mudah
Negeri Perasaan
11
bergaul dan berbicara dengan siapa saja. Sementara itu, Picis
sering kali merasa dirinya terjebak dalam kebingungannya
sendiri. Ia tidak tahu bagaimana berbicara dengan orang baru
tanpa merasa cemas, atau bagaimana bersosialisasi tanpa
merasa tertekan.
Pada saat ia memasuki perguruan tinggi, Picis memilih
jurusan desain grafis, sebuah jurusan yang sangat ia minati.
Itu adalah langkah pertama yang besar dalam hidupnya,
sebuah keputusan yang ia buat karena ingin mengejar sesuatu
yang ia cintai. Namun, meskipun ia sangat antusias pada
awalnya, dunia baru yang ia hadapi di kampus justru
membuatnya merasa semakin cemas. Rekan -rekan
sekelasnya tampak lebih berbakat, lebih percaya diri, dan
lebih sukses. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan
perhatian dosen, sementara Picis merasa bahwa setiap
karyanya tidak pernah cukup baik.
Picis selalu merasa bahwa ia harus lebih dari sekadar
baik dalam apa yang ia kerjakan. Jika ia menghasilkan karya
yang baik, ia merasa itu masih belum cukup. Ia ingin menjadi
yang terbaik, tetapi itu terasa seperti sebuah beban yang tidak
pernah bisa ia lepaskan. Setiap kali ia bekerja dengan serius
pada sebuah proyek desain, ia merasa ketakutan akan
Negeri Perasaan
12
kegagalan. Apa yang terjadi jika hasil karyanya tidak
memenuhi standar? Apa yang terjadi jika ia dianggap tidak
berbakat?
Rasa takut itu semakin mendalam saat ia mulai
berinteraksi dengan klien. Dalam dunia desain grafis,
sebagian besar waktu Picis dihabiskan untuk berkomunikasi
dengan klien, mencoba memahami keinginan mereka dan
menerjemahkannya dalam bentuk visual. Namun, setiap kali
Picis harus menyampaikan ide-idenya, ia merasa gelisah dan
cemas. Ketakutan bahwa idenya akan ditolak atau dianggap
tidak memadai selalu menghantui pikirannya. Bahkan ketika
ia mendapatkan pujian, ia merasa bahwa itu hanya sekadar
kebetulan. Ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang ia
lakukan, dan itu semakin mengikis rasa percaya dirinya.
Rasa cemas yang tak kunjung hilang itu membawanya
pada kebiasaan buruk. Pada malam hari, setelah sehPicisn
bekerja keras, Picis sering merasa tertekan dan gelisah. Ia
ingin melupakan kegelisahan yang ada dalam dirinya, ingin
menenangkan pikirannya yang terus-menerus berpikir
tentang kegagalan dan ketidakcukupan. Di sinilah makanan
menjadi pelPicisn. Setiap kali ia merasa tertekan, ia mencari
kenyamanan dalam makanan. Sebuah mangkuk besar es krim
Negeri Perasaan
13
atau sekotak pizza menjadi teman setia, memberi rasa tenang
sementara meskipun ia tahu itu hanya sesaat.
Namun, semakin sering ia melarikan diri dengan
makanan, semakin ia merasa terperangkap dalam lingkaran
setan. Ia makan untuk menghilangkan perasaan cemas, tetapi
setelah itu, ia merasa lebih buruk—tidak hanya karena rasa
bersalah atas kebiasaannya yang buruk, tetapi juga karena ia
merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ini
bukan cara yang sehat untuk menghadapinya, tetapi ia merasa
tidak ada cara lain untuk melarikan diri dari ketakutannya
yang mendalam.
Pada suatu malam yang gelap, setelah sehPicisn bekerja
keras, Picis duduk di meja makan sambil memandangi layar
ponselnya. Ia melihat orang-orang di media sosial yang
tampak memiliki kehidupan yang lebih baik darinya—
mereka memiliki pekerjaan yang menyenangkan, teman-
teman yang banyak, dan tampaknya bahagia dengan diri
mereka sendiri. Picis merasa seperti terjebak di dalam sebuah
dunia yang tidak pernah dia pilih, tetapi yang harus ia jalani.
Dia merasa terisolasi, dan perasaan itu semakin
memperburuk kecemasannya.
Negeri Perasaan
14
Pagi-pagi esoknya, Picis bangun dengan perasaan yang
berat. Ia merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional.
Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini tidak bisa terus
berlanjut, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia
merasa terperangkap dalam rutinitas yang tidak memberinya
kepuasan, dan kebiasaan buruk yang terus ia lakukan semakin
menggerogoti dirinya. Namun, ada dorongan kuat dalam
dirinya—sebuah dorongan yang entah dari mana
datangnya—untuk keluar dari semua ini. Ia ingin
menemukan sesuatu yang lebih, sesuatu yang bisa memberi
makna dalam hidupnya.
Pagi itu, Picis membuat keputusan besar. Ia
memutuskan untuk meninggalkan segalanya: pekerjaan yang
sudah menggerogoti dirinya, rutinitas yang menekan
jiwanya, dan bahkan hubungan yang sudah tidak lagi
memberinya kebahagiaan. Ia merasa bahwa untuk pertama
kalinya dalam hidupnya, ia harus mencari jalan keluar dari
ketakutannya. Mungkin inilah saatnya untuk pergi, untuk
mencari kedamaian yang selama ini ia dambakan.
Dengan keberanian yang masih terasa goyah, Picis
mulai merencanakan langkah pertamanya. Ia menjual
sebagian besar barang-barang yang tidak lagi ia butuhkan dan
Negeri Perasaan
15
memutuskan untuk membeli sebuah kapal. Sebuah kapal
kecil yang bisa membawanya menjauh dari keramaian kota,
jauh dari segala kebisingan yang membuatnya merasa
terperangkap. Tidak ada tujuan yang jelas, tidak ada peta
yang bisa membimbingnya. Hanya ada laut yang luas dan
sebuah kapal kecil yang siap untuk berlayar menuju
petualangan yang tak diketahui.
Ketika kapal itu pertama kali berlayar, Picis merasa ada
sesuatu yang aneh. Meskipun ia merasa gugup dan cemas,
ada rasa kebebasan yang luar biasa. Ia tahu bahwa
perjalanannya baru saja dimulai, dan meskipun ia tidak tahu
apa yang akan datang, ia merasa bahwa ia sedang menuju ke
arah yang lebih baik. Lautan yang luas ini adalah simbol dari
hidupnya yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga
penuh dengan kemungkinan.
Di sinilah Picis mulai menghadapi perjalanan yang
lebih besar dari sekadar perjalanan fisik—ini adalah
perjalanan menuju dirinya sendiri, menuju kedamaian yang
selama ini ia cari. Di atas kapal itu, ia harus menghadapi
hantu-hantu dari ketakutannya sendiri yang selama ini
tersembunyi dalam dirinya. Namun, Picis juga tahu bahwa
jika ia bisa bertahan, jika ia bisa melawan rasa takutnya, maka
Negeri Perasaan
16
ia akan menemukan sebuah daratan—sebuah tempat yang
penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang ia inginkan.
Kapal Picis terus melaju di tengah lautan yang tak
terhingga. Namun, meskipun arah kapal jelas, dalam hati
Picis, perasaan masih belum tentu. Ada kalanya dia merasa
berada di tengah perasaan yang begitu tenang, namun tiba-
tiba saja, tanpa peringatan, datanglah gelombang yang
mengguncang ketenangannya. Ini bukanlah ombak laut biasa,
melainkan ombak emosional yang datang begitu cepat dan
hebat.
Picis tahu bahwa rasa cemas, marah, dan ketakutan
akan selalu mengikutinya, seperti hantu yang tersembunyi di
bawah dek kapal. Namun, ada satu perasaan yang selalu ia
rasakan semakin kuat belakangan ini: perasaan bersalah yang
menghantui. Setiap kali ia berpikir tentang masa lalu, ada
bagian dalam dirinya yang merasa tidak cukup baik, tidak
cukup benar dalam membuat keputusan, dan bahkan merasa
seakan ia telah mengecewakan orang-orang yang ia cintai.
Gelombang bersalah ini datang dengan cara yang
sangat halus, seperti angin yang tidak terlalu kencang tetapi
cukup untuk membuat layar kapal goyah. Picis sering
Negeri Perasaan
17
terbangun di malam hari, terjaga dari tidur nyenyaknya,
dengan hati yang sesak dan pikiran yang kacau. Seakan ada
bagian dari dirinya yang terus berbicara tentang kesalahan-
kesalahan yang telah ia buat, mengingatkan tentang hal-hal
yang tidak bisa ia ubah lagi. "Seharusnya aku lebih baik,"
pikirnya. "Seharusnya aku tidak membiarkan itu terjadi."
Suara-suara ini, meskipun tak berbicara dengan kata-kata,
tetap terdengar begitu keras, seperti teriakan yang menggema
di dalam dirinya.
Ada saat-saat di mana Picis merasa sangat ingin
menghindari perasaan ini. Ia ingin menekan perasaan
bersalah itu, mengusirnya jauh-jauh, karena itu begitu
menyakitkan dan membuatnya merasa tak berdaya. Tetapi,
seperti ombak yang tak bisa dihindari, perasaan itu selalu
datang kembali. Setiap kali ia mencoba mengalihkan
pikirannya, setiap kali ia berusaha untuk berpikir positif atau
melihat sisi terang dari hidupnya, perasaan bersalah itu tetap
menghantuinya.
Di atas kapal, Picis mulai merasakan betapa kuatnya
perasaan-perasaan itu mempengaruhinya. Gelombang cemas
yang ia rasakan sebelumnya mulai bertambah besar. Pikiran-
pikiran negatif itu muncul satu per satu, membawa lebih
Negeri Perasaan
18
banyak keraguan dan ketakutan dalam dirinya. "Bagaimana
kalau aku gagal lagi?" pikirnya. "Bagaimana jika aku
membuat keputusan yang salah?" Semakin ia berpikir tentang
masa depan, semakin besar rasa takutnya. Tak hanya soal
keputusan yang harus diambil, tetapi juga tentang siapa
dirinya di mata orang lain—apakah mereka akan melihatnya
sebagai seseorang yang gagal, atau bahkan lebih buruk,
sebagai seseorang yang tidak cukup berharga?
Setiap kali ia berpikir seperti itu, rasa sakit itu semakin
membekas. Ia merasa seperti berada di tengah badai yang
hebat, di mana setiap pemikiran buruk datang seperti
gelombang yang menghantam kapal tanpa ampun. Ada saat-
saat ketika ia merasa kapal itu akan tenggelam, tak sanggup
melawan gelombang-gelombang yang datang dengan begitu
cepat dan kuat. Tapi ada juga saat-saat ketika ia merasa
tenang sejenak, meskipun hanya untuk beberapa detik, seolah
ombak itu menghilang untuk memberi ruang bagi kedamaian
yang sejenak datang.
Namun, Picis tahu bahwa dia tidak bisa terus berlarut-
larut dalam perasaan ini. Ia menyadari bahwa gelombang
perasaan bersalah ini tidak akan pernah berhenti jika ia terus
mencoba untuk menekan atau menghindarinya. Ia harus
Negeri Perasaan
19
belajar untuk menerima perasaan itu, bukan melawannya.
Karena bagaimanapun juga, perasaan-perasaan ini adalah
bagian dari dirinya. Picis merasa ada pelajaran yang bisa ia
petik jika ia mau berhenti sejenak dan mendengarkan apa
yang perasaan itu coba katakan.
Namun, apa yang bisa ia pelajari dari perasaan bersalah
yang begitu besar dan menghancurkan itu? Picis teringat
tentang suatu pelajaran yang pernah ia dengar—bahwa
perasaan bersalah adalah tanda bahwa seseorang memiliki
nilai-nilai yang baik dalam dirinya. Perasaan itu muncul
bukan karena seseorang benar-benar jahat atau salah, tetapi
karena mereka ingin menjadi lebih baik, ingin memperbaiki
kesalahan yang telah terjadi. Picis mulai mencoba berpikir
seperti itu. Mungkin perasaan bersalah itu bukanlah musuh
yang harus dihindari, tetapi teman yang mengingatkannya
untuk terus belajar, untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih
baik.
Dengan perasaan itu, Picis tahu bahwa ia harus mulai
mengubah cara pandangnya. Alih-alih berfokus pada apa
yang telah ia lakukan salah, ia mencoba fokus pada langkah-
langkah kecil yang bisa ia ambil untuk memperbaiki keadaan.
Seperti kapal yang berlayar di tengah lautan yang luas, hidup
Negeri Perasaan
20
Picis tidak bisa dipahami hanya dengan satu titik kesalahan.
Setiap perjalanan adalah kesempatan untuk mulai lagi, untuk
memperbaiki hal-hal yang tidak bisa diubah, dan untuk
melangkah lebih jauh ke arah yang lebih baik.
Namun, perjalanan itu tidak akan mudah. Setiap kali
Picis merasa ia bisa menghadapinya, setiap kali ia merasa
cukup kuat untuk melangkah maju, gelombang-gelombang
perasaan yang lebih kuat datang menyerang. Itu adalah
bagian dari kehidupan. Setiap kali ia merasa hampir
mencapai daratan, ada lagi ombak besar yang menghantam,
membawa perasaan ragu dan takut kembali.
Picis mulai menyadari bahwa untuk mengatasi
perasaan-perasaan ini, ia harus menerima mereka
sepenuhnya. Ia harus menerima bahwa perasaan bersalah itu
akan ada, begitu pula rasa takut dan kecemasan. Mereka
bukanlah musuh, melainkan bagian dari perjalanan yang
harus ia hadapi. Sama seperti kapal yang harus menahan
ombak-ombak besar, Picis harus menahan perasaan-perasaan
itu, tetapi tidak membiarkan mereka menguasai dirinya.
Semakin Picis berlayar, semakin ia menyadari bahwa
dalam dirinya ada kekuatan yang belum sepenuhnya ia
kenali. Kekuatannya bukan berasal dari kemampuannya
Negeri Perasaan
21
untuk menghindari rasa sakit atau mengelak dari kenyataan,
tetapi dari kemampuannya untuk menerima kenyataan itu dan
tetap bergerak maju meskipun ada gelombang yang datang.
Picis mengerti bahwa daratan yang ia impikan tidak akan
datang jika ia terus menghindari laut yang tak terhingga ini.
Hanya dengan berlayar, dengan menghadapi ombak yang
ada, ia akan menemukan daratan itu. Ia hanya perlu terus
maju dan percaya bahwa di suatu titik, gelombang itu akan
mereda.
Setelah berlayar jauh, Picis mulai merasakan sesuatu
yang berbeda. Gelombang yang sebelumnya begitu
mengguncang kini mulai sedikit mereda. Namun, meskipun
lautan tampak lebih tenang, ada sesuatu yang lebih besar yang
tengah terjadi—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ombak
yang bergulung. Perubahan itu datang begitu halus, namun
tak terelakkan. Picis mulai merasakan angin yang berbeda,
angin yang membawanya jauh dari zona nyaman yang selama
ini ia pertahankan.
Di atas kapal, angin bertiup lebih kencang. Seperti
sebuah pertanda, angin itu memeluk Picis dengan cara yang
sangat berbeda—bukan seperti angin laut yang biasa ia
Negeri Perasaan
22
rasakan sebelumnya, tetapi seperti angin yang mengajak
perubahan, yang mengingatkannya bahwa perjalanan ini
tidak hanya tentang mempertahankan kapal tetap
mengapung, tetapi juga tentang bergerak ke arah yang lebih
jelas, ke arah yang belum pernah ia tuju.
Perubahan itu datang dalam bentuk pertanyaan yang
tiba-tiba muncul dalam pikiran Picis. Dia tidak lagi hanya
bertanya-tanya tentang masa lalu atau apakah dia telah
membuat keputusan yang salah. Pertanyaannya kini lebih
mendalam, lebih filosofis. "Apa yang sebenarnya aku cari
dalam perjalanan ini?" Picis mulai menyadari bahwa dirinya
telah terjebak dalam rutinitas yang berputar-putar tanpa arah
yang jelas. Selama ini, ia hanya fokus pada berlayar dan
bertahan hidup, tetapi kini ia mulai bertanya apakah berlayar
hanya untuk bertahan hidup cukup bagi dirinya. Apakah ada
tujuan yang lebih besar?
Angin perubahan itu terasa seperti dorongan yang
lembut namun kuat. Picis tahu bahwa untuk menuju daratan,
ia harus lebih dari sekadar menghindari badai dan
gelombang. Dia harus tahu mengapa dia berlayar, dan apakah
tujuan itu benar-benar sejalan dengan apa yang dia inginkan
dalam hidupnya.
Negeri Perasaan
23
Selama beberapa waktu, ia hanya terfokus pada
penghindaran—menghindari ketakutan, menghindari rasa
bersalah, menghindari kenyataan. Tetapi, sekarang, ia mulai
bertanya pada dirinya sendiri apakah ia bisa menghadapinya
dan tetap maju. Apakah ia bisa menerima bahwa perubahan
itu tidak hanya mengubah arah kapal, tetapi juga dirinya?
Angin itu terasa seperti dorongan yang tidak hanya
datang dari luar dirinya, tetapi juga dari dalam dirinya.
Seperti sebuah panggilan untuk bertumbuh, untuk berubah,
untuk membiarkan kapal berlayar menuju daratan yang lebih
jauh dan lebih baik. Tetapi untuk itu, Picis tahu bahwa ia
harus melepaskan sesuatu—sesuatu yang telah ia bawa begitu
lama.
Melepaskan sesuatu tidaklah mudah. Picis merasa ada
ketakutan yang menghambatnya. Ketakutan itu bukan hanya
tentang perubahan yang akan datang, tetapi tentang apa yang
harus dia tinggalkan. Mungkin ada kenyamanan yang telah ia
temukan di atas kapal, meskipun itu hanya kenyamanan
semu. Ia merasa bahwa dengan menghindari daratan, dengan
tetap berada di laut, ia bisa menghindari rasa sakit yang
mungkin datang dari perubahan. Tetapi angin yang bertiup
semakin kencang seakan menantang keyakinannya itu.
Negeri Perasaan
24
Dengan angin yang semakin kuat, Picis mulai
merasakan ketegangan dalam dirinya. Ia tahu bahwa untuk
bertumbuh, ia harus melangkah keluar dari zona nyaman.
Tetapi untuk melangkah, ia harus terlebih dahulu merelakan
apa yang sudah ia kenal—apa yang telah ia pelajari tentang
dirinya sendiri selama ini. Picis mulai sadar bahwa selama
ini, ia mengabaikan kemungkinan-kemungkinan baru,
kemungkinan yang lebih besar dari apa yang ia bayangkan
sebelumnya.
Namun, perubahan itu bukan tanpa tantangan. Saat
angin itu semakin menguat, perasaan takut mulai
menyelimuti Picis. Ia merasa seperti kapal yang dibawa oleh
angin yang begitu kencang—tak terkendali, terbawa begitu
saja. Ia mulai meragukan apakah ia siap untuk perubahan
yang begitu besar. “Apa yang akan terjadi jika aku melangkah
terlalu jauh?” pikirnya. “Apa yang akan terjadi jika aku gagal
lagi?”
Namun, meskipun perasaan itu datang begitu kuat,
angin tetap mengarahkannya ke depan. Angin ini bukan
hanya membawa perubahan fisik, tetapi juga perubahan
dalam cara Picis melihat dirinya sendiri. Dia mulai
memahami bahwa hidupnya tak akan pernah berubah jika ia
Negeri Perasaan
25
hanya tetap berlayar dalam lingkaran yang sama, takut untuk
menghadapi perubahan yang perlu terjadi.
Dalam hatinya, Picis tahu bahwa untuk benar-benar
menuju daratan, ia harus melepaskan beberapa hal yang
selama ini ia pegang erat. Tidak hanya perasaan bersalah,
tetapi juga ketakutannya akan kegagalan. Angin itu
mengingatkannya bahwa tidak ada perjalanan yang mulus
tanpa ada hambatan, dan bahkan jika ia gagal, itu adalah
bagian dari proses yang akan membentuk dirinya.
"Ini bukan tentang menghindari kegagalan," Picis
berpikir dalam hati. "Ini tentang berani mengambil langkah
meski ada kemungkinan gagal, berani mempercayai bahwa
setiap langkah, baik atau buruk, adalah bagian dari perjalanan
ini."
Ketika Picis merenung, angin itu seolah mereda,
memberi ruang bagi pikiran dan perasaan untuk berkembang.
Angin itu bukanlah musuh yang harus ia hindari, tetapi teman
yang mengarahkan kapal ke tempat yang lebih baik. Sama
seperti perasaan-perasaan yang datang dan pergi, angin ini
adalah bagian dari alam yang harus ia hadapi dengan penuh
kesadaran dan keberanian.
Negeri Perasaan
26
Saat Picis menatap Tepi langit, ia merasa ada sesuatu
yang berbeda dalam dirinya. Ia tahu bahwa meskipun
perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian dan tantangan, ia
tidak lagi takut akan apa yang akan datang. Ia tidak perlu tahu
semua jawabannya sekarang. Yang penting adalah ia siap
untuk menerima perubahan itu dan melangkah maju.
Angin perubahan ini tidak hanya membawa kapal Picis
menuju daratan, tetapi juga membawa Picis menuju
pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri. Angin
itu mengajarkannya bahwa hidup tidak selalu tentang
bertahan di tempat yang aman, tetapi tentang berani bergerak
maju, meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi di depan.
Dengan angin yang semakin membawa kapal ke depan,
Picis merasa lebih kuat dan lebih yakin. Ia tahu bahwa
perjalanan ini mungkin panjang dan penuh dengan hambatan,
tetapi dengan setiap langkah yang ia ambil, ia semakin dekat
dengan tujuan yang ia impikan. Daratan itu, meskipun masih
jauh, kini terasa lebih nyata, dan Picis tahu bahwa ia siap
untuk menghadapinya.
Saat Picis memandang jauh ke Tepi langit, ia melihat
sebuah fenomena yang aneh: meskipun cuaca tampak cerah
Negeri Perasaan
27
di atas permukaan laut, ada bagian dari lautan yang begitu
gelap dan penuh misteri, seolah-olah ada kabut yang
menghalangi pandangan ke bawah. Gelombang yang tadi
tampak tenang, kini berubah menjadi lebih gelap, penuh
bayangan yang melayang-layang di dalamnya. Sebagian
besar lautan ini begitu tak terlihat dan tak terjamah, seperti
ruang yang belum tersentuh. Picis merasa seolah-olah ia
sedang berada di persimpangan antara dua dunia—di antara
laut yang terang dan lautan yang gelap.
Di dalam gelap itu, ada suara yang begitu familiar,
namun ia tak bisa sepenuhnya mengenalinya. Itu adalah suara
dari hantu-hantu yang sempat mengganggu perjalanan Picis
beberapa waktu lalu. Suara itu kembali terdengar, lebih keras,
lebih menuntut, dan lebih mengancam dari sebelumnya.
Hantu-hantu itu seperti semakin mendekat, berlPicisn di
sekitar dek kapal, seolah tidak rela Picis melanjutkan
perjalanan ke daratan yang ia impikan.
Picis mengerutkan dahi. Ia tahu bahwa selama ini, ia
hanya berusaha menghindari mereka, mencoba
menenggelamkan suara-suara mereka yang menyeramkan di
dalam hatinya. Namun kali ini, suara itu terasa lebih nyata.
Negeri Perasaan
28
Lebih hidup. Seperti sesuatu yang berusaha menahan dirinya
untuk tidak bergerak maju.
Dengan keteguhan yang baru ditemukan, Picis
mengamati gelombang yang ada di depannya. Ia tahu bahwa
meskipun laut terlihat gelap dan penuh bayangan, ia harus
berani melangkah melewati bagian tersebut. Dalam
kegelapan ini, ia menyadari bahwa setiap ketakutan yang ia
hadapi adalah bayangan dari perasaan-perasaan yang telah
lama ia pendam.
Namun, yang lebih mengejutkan, ketika ia menatap
lebih lama, ada cahaya samar yang muncul di tengah-tengah
gelap itu. Cahaya itu tidak datang dari matahari, tapi
sepertinya berasal dari dalam dirinya sendiri. Seperti sebuah
titik harapan yang mulai menyala. Ini bukan cahaya fisik,
tetapi lebih seperti cahaya yang datang dari kesadaran dalam
dirinya. Picis mulai merasa bahwa ia bisa menemukan jalan
meskipun terhalang oleh kegelapan.
Ia tahu, dalam perjalanan ini, kegelapan bukanlah
musuh yang harus ia takuti, tetapi sebuah bagian dari proses
yang harus ia lalui. Kegelapan itu mengajarkan Picis untuk
mengenali dirinya lebih dalam, untuk menyadari bahwa
ketakutan dan perasaan negatif adalah bagian dari dirinya
Negeri Perasaan
29
yang harus diterima dan dipahami, bukan dilawan atau
dihindari.
Cahaya samar itu semakin terang, seiring dengan
langkah kaki Picis yang semakin mantap. Ia tahu bahwa
untuk mencapai daratan, ia harus berani menghadapi
ketakutan dalam dirinya dan melepaskan ilusi tentang hidup
yang selalu sempurna tanpa hambatan. Gelap dan terang
dalam hidup saling melengkapi. Tanpa kegelapan, ia tidak
akan mengenal arti terang.
Saat kapal melaju dengan stabil di atas gelombang,
Picis merasa sebuah kedamaian yang datang seiring dengan
semakin terangnya cahaya itu. Gelombang-gelombang besar
yang sebelumnya tampak menakutkan kini seperti hanya
rintangan kecil yang harus ia lewati. Ia sudah siap untuk
menghadapi apa yang akan datang. Semua ketakutan yang
dahulu menghalangi langkahnya kini tidak lagi memiliki
kekuatan yang sama. Picis sadar bahwa meskipun di dalam
kegelapan, cahaya masih ada di dalam dirinya, dan itu adalah
sumber kekuatan yang lebih besar daripada apapun yang ada
di luar dirinya.
Tepat ketika ia melanjutkan pelayaran menuju pantai,
ada sebuah kesadaran yang lebih dalam yang muncul dalam
Negeri Perasaan
30
dirinya: hidup ini tidak pernah hanya tentang menuju ke
tempat yang lebih baik, tetapi juga tentang perjalanan itu
sendiri. Ia tidak hanya mencari daratan sebagai tujuan, tetapi
juga mencari kedamaian di setiap langkah, bahkan di tengah
kegelapan yang tak terelakkan. Tanpa kedamaian yang datang
dari penerimaan, daratan tidak akan pernah terasa seperti
tempat yang layak untuk dijadikan tujuan.
Dengan tekad baru, Picis berlayar lebih mantap menuju
Tepi langit, di mana ia tahu bahwa daratan mungkin masih
jauh, tetapi ia sudah merasa lebih siap menghadapi
perjalanan panjang ini.
Meskipun laut tampak lebih tenang, Picis tahu bahwa
perjalanannya belum selesai. Setiap angin yang bertiup dan
setiap gelombang yang menghempas adalah peringatan
bahwa ada sesuatu yang harus ia hadapi. Hantu-hantu yang
sebelumnya hanya terdengar samar kini mulai muncul di
sekitar kapal. Tidak lagi tersembunyi di bawah dek, mereka
tampak lebih nyata, memandangnya dengan tatapan tajam
penuh amarah dan kebencian. Suara mereka begitu keras,
penuh dengan hinaan dan ancaman.
Negeri Perasaan
31
“Kamu tidak akan pernah sampai ke daratan!” teriak
salah satu dari mereka, suaranya bagaikan gemuruh petir di
tengah malam.
Picis menelan ludah. Hantu-hantu itu berbentuk
beragam, ada yang seperti bayangan gelap dengan mata yang
menyala-nyala, ada yang berbentuk kenangan pahit, dan ada
pula yang berupa suara-suara keraguan yang pernah ia dengar
dalam pikirannya. Ketakutannya mulai mencuat, tetapi ia
tahu bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Ia harus melawan rasa
takut itu, menghadapi mereka, dan melanjutkan
perjalanannya.
“Jangan dengarkan mereka,” Picis berkata pada dirinya
sendiri, berusaha menenangkan dirinya. “Mereka tidak bisa
menyentuhmu.”
Namun, hantu-hantu itu tidak berhenti mengancam.
Mereka terus berbicara dengan suara yang semakin keras,
memprovokasi Picis untuk berhenti dan kembali. “Kamu
akan gagal lagi! Kamu tidak cukup kuat untuk menghadapi
kenyataan itu!”
Suara-suara itu semakin menekan, seakan-akan
mengingatkan Picis akan semua kegagalan yang pernah ia
alami. Setiap keputusan yang salah, setiap langkah yang tak
Negeri Perasaan
32
berhasil, semua kenangan pahit yang terkubur dalam dirinya
mulai muncul satu per satu. Picis merasa hampir tenggelam
dalam pusaran perasaan itu, tetapi sesuatu yang aneh terjadi.
Tiba-tiba, muncul sebuah suara lain yang lebih lembut,
menenangkan, dan penuh harapan.
“Jangan dengarkan mereka, Picis. Kamu lebih kuat dari
itu.”
Suara itu datang dari arah yang tidak jelas, namun
terasa sangat dekat. Picis mendongak dan melihat sebuah
sosok yang berbeda dari hantu-hantu yang menyerangnya.
Sosok itu tidak menakutkan, melainkan penuh dengan cahaya
lembut yang menyinari sekelilingnya. Malaikat. Atau
setidaknya, sosok itu tampak seperti malaikat dalam
pandangan Picis—sebuah gambaran penuh kedamaian dan
kasih yang membuatnya merasa tenang.
Malaikat itu tersenyum, seolah mengerti apa yang
sedang Picis rasakan. “Kamu telah menjalani perjalanan yang
berat, Picis. Tetapi kamu tidak sendirian. Setiap langkah yang
kamu ambil menuju daratan adalah bagian dari proses yang
lebih besar. Jangan biarkan hantu-hantu itu menghalangimu.”
Picis merasa ada ketenangan yang meresap ke dalam
dirinya saat mendengar kata-kata malaikat itu. Cahaya yang
Negeri Perasaan
33
mengelilinginya membuatnya merasa lebih ringan, seolah-
olah ia bisa mengangkat beban berat yang selama ini
menekannya. Hantu-hantu itu, meskipun berusaha keras
untuk mengganggunya, tidak bisa menghalangi cahaya itu.
Bahkan, mereka mulai menghilang satu per satu, diselimuti
oleh cahaya yang semakin terang.
“Berjalanlah, Picis. Teruslah berlayar ke daratan.
Jangan takut untuk menghadapi masa depanmu,” malaikat itu
berkata lembut, seolah memberikan berkah dalam setiap
kata-katanya.
Picis merasa sebuah kekuatan yang baru bangkit dalam
dirinya. Ia tidak lagi merasa terancam oleh hantu-hantu yang
selama ini menakutinya. Kini, ia bisa melihat mereka dengan
cara yang berbeda. Mereka hanyalah bayangan dari
ketakutannya, perasaan-perasaan yang selama ini ia coba
hindari, dan bukan kekuatan yang harus ditakuti.
“Terima kasih,” Picis berbisik. “Aku tahu apa yang
harus kulakukan.”
Saat ia kembali menatap Tepi langit, daratan itu tampak
lebih dekat daripada sebelumnya. Ada sesuatu yang baru
dalam dirinya—sebuah keyakinan bahwa ia tidak perlu takut
untuk melangkah, meskipun jalan di depan penuh dengan
Negeri Perasaan
34
ketidakpastian. Cahaya yang ditinggalkan oleh malaikat itu
memberi petunjuk bahwa ia harus melanjutkan perjalanan ini
dengan hati yang lebih terbuka, lebih percaya pada dirinya
sendiri.
Malaikat itu tersenyum lagi, memberi tanda agar Picis
melanjutkan perjalanan. Tanpa sepatah kata pun, malaikat itu
mulai menghilang, membiarkan Picis menghadapi lautan dan
semua tantangan yang ada di depannya sendirian. Namun,
meskipun sosok itu telah menghilang, perasaan damai yang
ditinggalkan tetap tinggal, mengisi ruang dalam hati Picis
dengan kekuatan yang baru.
Saat kapal terus melaju, Picis menyadari bahwa
perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi
tentang perjalanan itu sendiri—tentang bagaimana ia
menghadapi ketakutannya, tentang bagaimana ia belajar
menerima dirinya sendiri, dan tentang bagaimana ia belajar
untuk tidak lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.
Hantu-hantu itu masih ada, mungkin akan selalu ada.
Tetapi mereka tidak lagi memiliki kekuatan untuk
menghentikan Picis. Dengan langkah yang lebih pasti, ia
melanjutkan pelayarannya, meninggalkan laut yang penuh
Negeri Perasaan
35
dengan ketakutan di belakangnya, menuju daratan yang ia
tahu akan memberi kedamaian dan harapan baru.
Negeri Perasaan
36
Negeri Perasaan
37
Perkenalan Dengan Diri
i tengah hamparan lautan luas yang seakan tak
berujung, kapal kecil bernama Aksaraga mengapung
dengan tenang. Angin lembut membelai layar kapal yang
sudah mulai kusam, sementara suara gemercik air laut
menyatu dengan detak jantung sang nakhoda—Picis. Seorang
perempuan dengan sorot mata yang tajam namun menyimpan
kelelahan yang mendalam. Tangannya yang cekatan
menggenggam kemudi dengan erat, seolah kapal itu adalah
satu-satunya harapan yang tersisa dalam hidupnya.
Picis bukanlah seorang pelaut sejati. Ia tidak pernah
bercita-cita untuk mengarungi lautan yang luas dan penuh
misteri ini. Namun, entah bagaimana, hidup membawanya ke
atas kapal ini, memaksanya menjadi seorang nakhoda di
perairan yang penuh ketidakpastian. Rambutnya yang
berwarna cokelat gelap tergerai berantakan di bawah topi
lusuh yang selalu ia kenakan. Wajahnya terbakar matahari,
dan garis-garis tipis di bawah matanya menunjukkan banyak
malam yang dihabiskan tanpa tidur.
“Laut ini… seperti cermin dari pikiranku,” gumam
Picis pelan sambil menatap hamparan biru yang tak berujung.
D
Negeri Perasaan
38
Di bawah dek kapal, jauh di bawah papan kayu yang
usang, Picis tahu ada sesuatu yang bersembunyi—hantu-
hantu yang selalu berbisik di telinganya. Rasa takut,
penyesalan, kemarahan, dan keputusasaan; mereka tinggal di
sana, menunggu saat yang tepat untuk naik ke permukaan dan
mengganggu ketenangannya. Terkadang, Picis merasa seperti
hanya bertahan, bukan benar-benar hidup.
Pelayaran ini bukan sekadar perjalanan biasa bagi Picis.
Ini adalah pelPicisn dari sesuatu yang tidak bisa ia hadapi di
daratan—kenangan, kesalahan, dan luka-luka lama yang
terus mengintainya. Lautan, dengan segala keterasingannya,
menjadi satu-satunya tempat di mana Picis merasa aman,
meskipun kesendirian itu juga menyiksanya perlahan-lahan.
“Tetap fokus, Picis. Jangan biarkan pikiran itu
menyeretmu ke bawah,” ia mengingatkan dirinya sendiri
dengan suara pelan.
Namun, meskipun ia mencoba keras untuk tetap kuat,
pikirannya kadang-kadang seperti lautan badai—liar, kacau,
dan sulit dikendalikan. Kadang-kadang ia melihat pantai di
kejauhan, sebuah daratan yang menjanjikan kehangatan,
keamanan, dan harapan. Namun, setiap kali ia mencoba
Negeri Perasaan
39
mengarahkan kapal ke sana, para hantu di bawah dek mulai
bergemuruh.
“Kamu akan gagal lagi!” suara itu berbisik di
pikirannya.
“Tidak ada yang menunggumu di sana.”
“Kamu hanya akan kecewa.”
Suara-suara itu seperti rantai yang melilit hatinya,
menahannya untuk tetap berada di tengah lautan tanpa tujuan
yang jelas.
Namun, ada satu hal yang membuat Picis terus maju—
sebuah keyakinan kecil, sekecil percikan cahaya di tengah
kegelapan. Ada sesuatu di daratan yang memanggilnya,
sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Sebuah
harapan samar yang terus hidup meskipun terkadang hampir
padam.
“Kita tidak bisa selamanya berada di laut ini,” bisik
Picis pada dirinya sendiri. “Akan ada saatnya kita harus
berlabuh.”
Ia melangkah meninggalkan kemudi sejenak dan
berjalan menuju tepi kapal. Matanya memandang jauh ke
Tepi langit, di mana langit dan laut tampak menyatu dalam
garis yang tipis. Ombak kecil membentur lambung kapal
Negeri Perasaan
40
dengan lembut, seperti sebuah pengingat bahwa meskipun
lautan ini luas dan menakutkan, ia tidak akan pernah benar-
benar sendiri.
Di atas tiang layar, burung camar melintas dengan
anggun, melambangkan sebuah harapan bahwa daratan
tidaklah terlalu jauh. Picis tersenyum kecil, sesuatu yang
jarang terjadi. Senyum itu penuh dengan kesedihan dan
harapan yang berbaur menjadi satu.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari bawah dek—suara
seperti sesuatu yang menggeram, suara yang pernah Picis
dengar sebelumnya. Para hantu itu mulai bergerak lagi. Ia
tahu bahwa mereka merasakan niatnya untuk mendekati
daratan, dan mereka tidak menyukainya.
Picis menarik napas dalam-dalam dan kembali ke
kemudi kapal. Tangannya menggenggam roda kayu yang
besar itu dengan erat, dan ia mulai memutar arah menuju
daratan yang terlihat samar di kejauhan.
“Jika ini harus kuhadapi, maka aku akan
menghadapinya,” katanya dengan suara tegas.
Saat kapal mulai bergerak dengan lebih mantap, angin
bertiup kencang, dan gelombang mulai meninggi. Hantu-
Negeri Perasaan
41
hantu di bawah dek semakin gaduh, berusaha mengintimidasi
Picis agar mengubah haluannya. Namun, Picis tetap teguh.
Hidup, pikirnya, memang tidak pernah mudah. Akan
selalu ada badai, akan selalu ada kegelapan, akan selalu ada
suara-suara yang berusaha menghentikannya. Namun, ia
mulai menyadari satu hal penting: hantu-hantu itu tidak
benar-benar bisa menyakitinya. Mereka hanyalah bayangan
dari ketakutan dan rasa bersalah yang selama ini ia bawa.
Matahari mulai terbenam di ufuk barat, mewarnai
langit dengan semburat oranye dan merah. Lautan berkilauan,
dan untuk sesaat, segalanya terasa damai. Picis menatap
langit itu dengan perasaan campur aduk.
“Kamu bisa melakukannya, Picis,” ia berbisik pada
dirinya sendiri.
Malam perlahan turun, membawa serta bintang-bintang
yang mulai berkelip di langit. Picis tahu bahwa perjalanannya
masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya sejak lama, ia
merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih berani.
Dengan kapal Aksaraga yang melaju perlahan menuju
Tepi langit, Picis mempersiapkan dirinya untuk tantangan
yang akan datang—baik dari lautan, dari dirinya sendiri,
Negeri Perasaan
42
maupun dari para hantu yang masih bersembunyi di bawah
dek.
Malam telah menyelimuti lautan dengan selimut
kegelapan yang pekat. Cahaya bintang berkelip lemah di
langit, sementara bulan sabit menggantung pucat di Tepi
langit. Kapal Aksaraga masih melaju perlahan, diiringi oleh
suara gemericik ombak yang membentur lambung kapal. Di
balik kemudi, Picis berdiri mematung. Wajahnya diterangi
cahaya redup dari lentera kecil yang tergantung di tiang
kemudi. Matanya menatap jauh ke depan, namun pikirannya
melayang ke tempat lain—ke dalam dirinya sendiri, ke dalam
ruang gelap di mana hantu-hantu itu bersembunyi.
Picis tahu, di bawah dek kapal, sesuatu sedang
menunggu. Hantu-hantu itu tidak pernah benar-benar pergi;
mereka hanya diam, menunggu saat yang tepat untuk muncul.
Setiap kali Picis mencoba mendekati daratan, mereka bangkit
dari kegelapan, dengan cakarnya yang tajam dan suara yang
berbisik di telinganya.
Namun malam ini berbeda. Picis merasa getaran aneh
di lantai kayu di bawah kakinya. Suara berderit dari bawah
dek terdengar lebih sering dari biasanya, seperti ada sesuatu
Negeri Perasaan
43
yang bergerak di sana—sesuatu yang lebih gelisah dari
sebelumnya.
“Kau tidak akan bisa menghindari kami selamanya,
Picis…” suara itu terdengar samar, nyaris seperti bisikan
angin, tetapi terasa begitu nyata di telinganya.
Picis memejamkan mata dan menarik napas panjang. Ia
tahu ia harus turun ke bawah. Tidak bisa lagi ia mengabaikan
suara-suara itu. Dengan langkah yang mantap namun hati
yang berdebar kencang, Picis mengambil lentera dari tiang
dan berjalan menuju tangga yang mengarah ke bawah dek.
Tangga kayu itu berderit di setiap langkahnya, seakan-
akan protes pada keputusannya untuk turun. Udara di bawah
dek terasa lebih lembap dan pengap. Bau asin bercampur
dengan aroma kayu basah memenuhi hidungnya. Lentera
kecil di tangannya bergoyang, cahayanya memantul di
dinding kayu yang retak dan tua.
Saat Picis menjejakkan kakinya di lantai bawah dek,
suara berbisik semakin jelas. Ada gerakan samar di sudut-
sudut gelap ruangan itu, seperti bayangan yang melompat
dari satu titik ke titik lain. Perlahan, Picis melangkah maju,
matanya memindai setiap sudut dengan waspada.
Negeri Perasaan
44
“Picis…” suara itu memanggil namanya dengan nada
mengejek.
“Kau pikir bisa meninggalkan kami begitu saja? Kau
pikir bisa mencapai daratan dengan kami di sini?”
Tiba-tiba, dari bayangan gelap di sudut ruangan,
muncul sosok pertama. Matanya berkilat merah, tubuhnya
seperti gumpalan asap hitam yang bergerak dengan lincah.
Sosok itu melayang mendekat, mengelilingi Picis dengan
tatapan penuh kemarahan.
“Aku adalah rasa bersalahmu,” kata sosok itu dengan
suara serak. “Aku adalah semua keputusan buruk yang kau
buat. Semua orang yang kau kecewakan. Semua kesalahan
yang kau coba lupakan!”
Sosok lain muncul di sebelahnya, lebih besar, dengan
gigi tajam yang berkilauan di balik senyumannya yang
menakutkan. “Dan aku adalah ketakutanmu, Picis. Aku
adalah malam-malam tanpa tidurmu, aku adalah peluh dingin
yang membasahi punggungmu setiap kali kau mencoba
melangkah maju!”
Satu per satu, hantu-hantu itu muncul dari kegelapan.
Setiap sosok mewakili sesuatu yang pernah membuat Picis
terpuruk—rasa malu, kemarahan, kesepian, keputusasaan.
Negeri Perasaan
45
Mereka mengelilingi Picis, bergerak seperti bayangan yang
terus merayap di sekelilingnya.
Picis berdiri di tengah ruangan itu, lentera di tangannya
gemetar ringan. Namun, ia tidak mundur. Tidak kali ini.
“Aku tahu siapa kalian,” ucap Picis dengan suara yang
bergetar namun tegas. “Kalian adalah bagian dari diriku,
tetapi kalian tidak berkuasa atas diriku.”
Tawa dari para hantu menggema di seluruh ruangan.
“Benarkah, Picis? Kalau begitu, kenapa kau masih di sini?
Kenapa kau belum berlabuh? Kenapa kau terus terapung di
lautan ini?”
Pertanyaan itu menusuk tepat di hati Picis. Itu adalah
pertanyaan yang selalu ia hindari, jawaban yang selalu ia
takuti. Kenapa ia belum berani melangkah menuju daratan?
Kenapa ia membiarkan dirinya terperangkap di antara
gelombang dan angin yang tak henti-hentinya bergulung?
Namun kali ini, Picis tidak berpaling. Ia memandang
langsung ke arah para hantu itu, lentera di tangannya
terangkat tinggi, menerangi wajah-wajah samar mereka yang
dipenuhi kebencian.
Negeri Perasaan
46
“Aku takut,” katanya dengan suara serak. “Aku takut
gagal. Aku takut kehilangan. Aku takut menghadapi diriku
sendiri.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hantu-hantu
berhenti bergerak, seakan terkejut oleh pengakuan itu.
“Tapi aku juga tahu,” lanjut Picis, suaranya semakin
mantap, “bahwa jika aku terus mendengarkan kalian, aku
tidak akan pernah bergerak. Aku akan selamanya terjebak di
tengah laut ini. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
Para hantu mulai mundur perlahan, cahaya dari lentera
Picis tampak semakin terang. Untuk pertama kalinya, Picis
merasa bahwa ia memiliki kendali. Hantu-hantu itu memang
ada, tetapi mereka tidak lebih dari bayangan yang hidup dari
ketakutannya sendiri.
“Kalian boleh ada di sini,” kata Picis. “Aku tidak akan
mencoba mengusir kalian. Tapi kalian tidak akan
menghentikanku. Aku akan menuju daratan, dengan atau
tanpa kalian.”
Dengan langkah yang mantap, Picis memutar tubuhnya
dan berjalan kembali ke tangga kapal. Hantu-hantu itu masih
di sana, tetapi mereka tidak lagi mengejarnya. Mereka hanya
Negeri Perasaan
47
berdiri di tempat mereka, membisu, seperti bayangan yang
kehilangan kekuatan mereka.
Saat Picis naik kembali ke geladak kapal, udara segar
malam menyambutnya. Ia menatap bintang-bintang di langit
dan menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kalinya
dalam waktu yang lama, Picis merasa sedikit lebih ringan,
sedikit lebih berani.
Ia kembali ke kemudi, memegangnya dengan kedua
tangan. Ombak masih berayun, angin masih bertiup, dan
suara-suara hantu itu masih terdengar di kejauhan. Tapi kali
ini, Picis tidak takut.
“Kita akan sampai di daratan,” bisiknya pelan. “Aku
janji.”
Dan di tengah kegelapan malam itu, kapal Aksaraga
terus melaju, membelah lautan yang penuh rahasia,
membawa Picis menuju tujuan yang selama ini ia impikan.
Fajar mulai merayap di Tepi langit, mewarnai langit
dengan semburat oranye dan merah muda. Cahaya lembut
menyentuh permukaan laut yang tenang, seolah-olah
memberi Picis sedikit jeda dari pergulatan batinnya semalam.
Di geladak kapal Aksaraga, Picis berdiri dengan tangan masih
Negeri Perasaan
48
erat memegang kemudi. Matanya yang lelah menatap ke
depan, ke garis tipis yang memisahkan lautan dan langit.
Sudah berhari-hari, mungkin berminggu-minggu, Picis
berlayar tanpa tujuan yang pasti. Ia tahu ada daratan di suatu
tempat di depan sana, tetapi ia tidak tahu seberapa jauh atau
seberapa lama lagi ia harus bertahan. Angin bertiup lembut,
membuat rambutnya yang kusut berkibar pelan di udara.
Namun, di balik ketenangan ini, Picis merasakan
sesuatu yang menggelisahkan—ombak ketidakpastian. Ini
bukan sekadar angin laut atau suara ombak yang biasa; ini
adalah sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Pikiran-
pikiran mulai muncul kembali, berbisik lembut namun tajam
di telinganya.
"Apa yang kau cari, Picis? Apakah daratan itu benar-
benar ada? Bagaimana jika kau hanya mengejar sesuatu yang
semu? Bagaimana jika semua usahamu sia-sia?"
Picis memejamkan mata dan menarik napas dalam-
dalam. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak asing baginya; ia
sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya. Mereka
adalah suara dari ketakutan yang masih bersembunyi di sudut
pikirannya.
Negeri Perasaan
49
Dari jauh, seekor burung camar melintas, sayapnya
membelah udara pagi. Picis mengikutinya dengan pandangan
penuh harap. Burung biasanya adalah tanda bahwa daratan
tidak jauh lagi. Namun, saat burung itu menghilang di balik
kabut tipis, Picis merasa keraguannya semakin dalam.
Ia meninggalkan kemudi dan berjalan ke tepi kapal,
kedua tangannya bertumpu pada pagar kayu yang sudah
mulai lapuk. Ia memandang ke dalam air laut yang tenang.
Wajahnya yang pucat memantul di permukaan air, tetapi di
balik bayangan itu, Picis merasa ada sesuatu yang bergerak di
dalam kegelapan laut.
"Itu hanya pantulan… itu hanya pikiranku sendiri…"
gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Namun, dari bawah permukaan air, sepasang mata
kuning samar tampak menyala. Mata itu menatap langsung
ke dalam mata Picis, dan dalam sekejap, air di bawah kapal
beriak pelan.
"Picis…" bisik suara itu, meskipun tidak ada angin
yang cukup kuat untuk membawa suara seperti itu.
Picis terlonjak mundur. Jantungnya berdebar keras di
dalam dadanya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu
Negeri Perasaan
50
hanya imajinasinya—bahwa pikirannya sedang bermain trik
padanya lagi.
Namun, suara itu kembali memanggil, kali ini lebih
jelas.
"Picis, kau tahu apa yang ada di bawah sini. Kau tahu
apa yang kau hindari."
Laut di bawah kapal tampak semakin gelap, meskipun
matahari sudah naik lebih tinggi di langit. Picis tahu apa
maksud suara itu. Itu adalah lautan ketidakpastian, tempat di
mana semua ketakutannya berakar.
Ia menutup matanya dan bersandar pada pagar kapal.
"Mengapa semuanya terasa begitu sulit? Mengapa
setiap langkah ke depan terasa seperti melawan badai yang
tak terlihat?" pikirnya.
Angin bertiup lebih kencang sekarang,
menggoyangkan layar kapal dan membuat tiang-tiang
berderit keras. Laut yang tadinya tenang mulai berombak
kecil, seakan merespons kegelisahan Picis.
Ketika Picis membuka matanya lagi, ia melihat sesuatu
di kejauhan—sebuah garis samar yang tampak seperti
daratan. Dadanya berdegup lebih cepat. Harapan mulai
Negeri Perasaan
51
merayap ke dalam hatinya. Namun, suara dari dalam dirinya
kembali berbisik:
"Bagaimana jika itu hanya fatamorgana? Bagaimana
jika kau mendekat dan menemukan bahwa itu hanya ilusi?
Kau akan kecewa lagi, Picis."
Ia menggenggam pagar kayu kapal erat-erat, jarinya
memutih karena tekanan yang diberikan. Hantu-hantu di
bawah dek mungkin belum muncul, tetapi suara mereka
masih berputar-putar di kepalanya.
Picis! Fokus pada tujuanmu!
Suara itu bukan berasal dari hantu atau pikirannya
sendiri. Itu adalah suaranya—suaranya yang sejati, yang kecil
namun kuat, yang mencoba memberinya arah di tengah
kekacauan.
Dengan napas yang berat namun penuh tekad, Picis
kembali ke kemudi. Tangannya meraih roda kemudi kayu dan
memutarnya sedikit ke arah daratan yang samar di kejauhan.
"Aku akan terus berlayar. Sekalipun ombak ini penuh
ketidakpastian, aku akan terus maju."
Seiring dengan itu, angin berhembus lebih stabil,
mendorong layar kapal ke depan. Ombak yang tadi gelisah
Negeri Perasaan
52
perlahan-lahan mulai mereda, dan matahari memancar lebih
terang di atas kepala.
Picis tahu bahwa ini bukan akhir dari ketakutannya.
Hantu-hantu itu akan kembali, mungkin lebih kuat, mungkin
lebih menakutkan. Namun, untuk saat ini, ia berhasil
mengambil satu langkah kecil ke depan.
Di bawah dek, di kegelapan yang basah dan pengap,
hantu-hantu itu merasakan sesuatu yang berbeda. Mereka
tahu bahwa kendali mereka atas Picis mulai melemah.
Mereka berbisik satu sama lain, saling memandang dengan
mata menyala merah, tetapi mereka tetap di tempat mereka—
untuk saat ini.
Di atas sana, Picis tetap memegang kemudi, menatap
ke depan dengan tekad baru yang terpancar di matanya.
Ombak ketidakpastian masih ada, tetapi kali ini, Picis merasa
bahwa ia bisa menghadapinya.
"Satu langkah demi satu langkah… sampai aku
mencapai daratan."
Dan dengan itu, kapal Aksaraga terus melaju,
meninggalkan riak panjang di lautan luas yang penuh dengan
rahasia dan bayangan yang belum terungkap.
Negeri Perasaan
53
Matahari sudah tinggi ketika Picis berdiri di geladak
kapal Aksaraga. Angin laut membawa aroma asin yang pekat,
sementara ombak tenang menggoyangkan kapal dengan
lembut. Picis mengarahkan pandangan ke Tepi langit, di
mana garis samar daratan masih tampak seperti ilusi yang
sulit digapai. Namun, sesuatu di dalam dirinya berbisik
bahwa tujuan itu nyata.
Namun, ketenangan ini seperti lapisan tipis es di atas
air yang dalam. Picis tahu bahwa di bawah sana, di dek kapal
yang gelap dan berdebu, hantu-hantu masih menunggu.
Mereka bersembunyi di sudut-sudut kegelapan, mencakar
kayu tua kapal dengan kuku panjang mereka, berbisik dengan
suara sumbang yang menggema di pikiran Picis.
"Kau pikir kau bisa melarikan diri, Picis?"
"Kau pikir daratan itu akan menyelamatkanmu?"
"Kau hanya menipu dirimu sendiri."
Picis menelan ludah dan memejamkan mata sejenak,
mencoba meredam bisikan-bisikan itu. Namun, kali ini suara-
suara itu lebih keras, lebih mendesak.
Ketika kapal mulai berayun sedikit lebih keras akibat
ombak yang tiba-tiba datang, Picis merasakan ada sesuatu
Negeri Perasaan
54
yang berubah di udara. Rasanya lebih dingin, lebih pekat,
seolah-olah ada sesuatu yang merayap naik dari bawah kapal.
Dia menghela napas panjang sebelum memutuskan
untuk turun ke bawah dek. Dengan langkah hati-hati, Picis
membuka pintu kayu yang mengarah ke ruang di bawah
geladak. Derit engsel tua mengiris udara, dan kegelapan pekat
menyambutnya.
Tangga kayu yang licin dan lembap membawa Picis ke
dunia lain—dunia yang suram, dipenuhi bayangan dan bau
apak. Cahaya tipis dari atas menembus lubang-lubang kecil
di papan kayu, menciptakan pola aneh di lantai yang penuh
debu.
Di sini, suara-suara menjadi lebih jelas. Picis bisa
mendengar napas berat, geraman samar, dan langkah-langkah
kecil yang bersembunyi di balik peti-peti tua yang
berserakan.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Picis dengan
suara gemetar.
Tidak ada jawaban langsung, hanya keheningan yang
mengancam. Namun, sepasang mata merah tiba-tiba muncul
dari sudut ruangan, disusul oleh mata-mata lain yang menyala
Negeri Perasaan
55
di kegelapan. Hantu-hantu itu mulai bergerak, mendekat,
tetapi tidak melangkah keluar dari bayangan.
Salah satu dari mereka, yang tampaknya lebih besar
dari yang lain, maju selangkah ke depan. Wujudnya kabur,
tetapi Picis bisa melihat garis besar tubuhnya yang seperti
kabut tebal dengan cakar panjang dan taring tajam yang
berkilat.
"Kami tidak akan pergi, Picis," suara itu bergetar,
bergema di seluruh ruangan. "Selama kau mencoba bergerak
menuju daratan, kami akan selalu ada di sini. Kami adalah
bagian darimu. Rasa takutmu, keraguanmu, penyesalanmu…
semua itu membentuk kami."
Picis merasakan lututnya melemah. Kata-kata itu
menusuk langsung ke inti hatinya. Ia tahu hantu-hantu ini
tidak berbohong. Mereka adalah bagian dari dirinya—
bayangan yang tumbuh dari setiap kesalahan, setiap
ketakutan, setiap momen di mana ia merasa dirinya tidak
cukup baik.
"Tapi aku harus terus maju," kata Picis, suaranya nyaris
bergetar. "Aku tidak bisa terus terapung di lautan ini
selamanya. Aku tidak bisa membiarkan kalian
mengendalikan hidupku."
Negeri Perasaan
56
Hantu besar itu mendengus, suara tawanya rendah dan
penuh ejekan. "Kau bisa mencoba, Picis. Tapi setiap kali kau
melangkah maju, kami akan lebih kuat. Kami akan lebih
keras, lebih menakutkan. Kau tidak akan pernah bebas dari
kami."
Picis menunduk, matanya berkaca-kaca. Tetapi di
tengah ketakutan dan keraguannya, ada sesuatu yang
menyala di dalam dirinya—api kecil, hampir tak terlihat,
tetapi cukup untuk memberinya kekuatan.
"Kalian mungkin akan selalu ada di sini," kata Picis
dengan suara yang lebih tegas. "Tapi kalian tidak akan pernah
bisa menyentuhku. Kalian hanya bayangan. Kalian hanya
suara. Dan aku—aku masih di sini. Aku masih memegang
kendali."
Ruangan itu tiba-tiba hening. Hantu-hantu itu mundur
selangkah, mata mereka masih menyala tetapi cahayanya
tampak lebih redup.
Picis berdiri lebih tegak sekarang, napasnya lebih
stabil. Ia memutar badan dan mulai menaiki tangga kembali
ke geladak, meninggalkan hantu-hantu itu di kegelapan di
bawah.
Negeri Perasaan
57
Saat Picis muncul kembali di bawah langit terbuka,
angin laut menyambutnya dengan lembut. Cahaya matahari
terasa lebih hangat di kulitnya, dan suara ombak terdengar
seperti lagu yang menenangkan.
Ia tahu bahwa hantu-hantu itu tidak akan pernah benar-
benar pergi. Mereka akan tetap ada di bawah dek, menunggu
saatnya untuk muncul kembali. Tetapi untuk saat ini, Picis
berhasil menghadapi mereka. Ia berhasil berdiri di hadapan
ketakutannya dan memilih untuk tetap memegang kemudi.
"Aku akan terus maju," gumamnya pelan, tangannya
kembali memegang roda kemudi kapal.
Jauh di bawah kapal, di kegelapan yang pekat, hantu-
hantu itu saling berbisik. Mereka tidak lenyap, tetapi untuk
saat ini, mereka tidak berdaya. Mereka tahu bahwa Picis
mulai memahami sesuatu yang penting—bahwa kekuatan
mereka hanya sebatas apa yang ia izinkan.
Kapal Aksaraga terus bergerak maju, memotong ombak
dengan percaya diri. Lautan luas masih terbentang di depan,
penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, tetapi Picis
merasa lebih siap dari sebelumnya.
"Satu langkah demi satu langkah… sampai aku
mencapai daratan."
Negeri Perasaan
58
Langit di atas kapal Aksaraga perlahan berubah warna,
dari biru cerah menjadi abu-abu keunguan. Awan tebal
berkumpul di Tepi langit, tanda bahwa badai mulai mendekat.
Picis berdiri di depan kemudi, matanya terpaku pada
gumpalan mendung yang bergerak cepat, seperti pasukan
yang siap menyerang.
Angin mulai bertiup lebih kencang, mengibarkan
rambutnya dan mengisi layar kapal dengan penuh tenaga.
Ombak kecil mulai menghantam lambung kapal dengan
irama yang lebih keras, seakan lautan ingin mengingatkan
Picis bahwa tidak ada perjalanan yang sepenuhnya tenang.
Picis menarik napas dalam-dalam. Ia merasa tubuhnya
masih lelah setelah pertemuannya dengan hantu-hantu di
bawah dek. Kata-kata mereka masih berbisik di sudut
pikirannya, seperti bayangan yang menolak sirna. Namun, ia
tahu bahwa perjalanan harus dilanjutkan. Tidak peduli
seberapa besar badai yang datang, kapal ini harus tetap
bergerak maju.
"Aku harus tetap tenang," gumam Picis pada dirinya
sendiri, menggenggam roda kemudi lebih erat.
Dari balik layar yang berkibar, muncul sosok kecil
dengan langkah ragu-ragu. Itu adalah Hana, gadis kecil yang
Negeri Perasaan
59
sejak awal menjadi salah satu penumpang di kapal ini.
Dengan rambut cokelat kusut dan mata besar penuh rasa ingin
tahu, ia memandang Picis dengan cemas.
"Kapten Picis… apakah kita akan baik-baik saja?"
tanya Hana dengan suara kecil.
Picis tersenyum samar, meskipun hatinya dipenuhi
ketidakpastian. "Tentu saja, Hana. Badai hanyalah bagian
dari perjalanan. Kita akan melewatinya bersama-sama."
Hana tampak sedikit lega, tetapi ia tetap berdiri di sana,
memandangi Picis seakan mencari perlindungan dalam sosok
kapten mereka.
Sementara angin semakin kencang dan langit semakin
gelap, Picis merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya.
Ada ketenangan yang perlahan tumbuh di tengah kekacauan
ini. Mungkin, pikirnya, ketenangan sejati tidak datang dari
hilangnya badai, tetapi dari kemampuannya untuk tetap
berdiri tegak di tengah badai itu.
Tetapi ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Dari sudut
matanya, Picis melihat sesuatu di air. Bayangan hitam yang
besar bergerak di bawah kapal, seolah-olah mengikuti
mereka. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari
bahwa hantu-hantu dari bawah dek mungkin tidak hanya
Negeri Perasaan
60
tinggal di dalam bayangan kapal. Mereka sekarang mencoba
naik ke permukaan, memanfaatkan ketakutannya yang masih
tersisa.
"Tidak sekarang…" bisik Picis, mencoba
memfokuskan pikirannya pada kemudi kapal.
Suara-suara mulai terdengar di telinganya lagi.
"Ini salahmu, Picis. Kau yang membawa kami ke sini."
"Kau pikir kau bisa selamat dari badai ini?"
"Kau akan gagal. Kau akan tenggelam."
Angin menderu semakin keras, menciptakan suara
siulan tajam di antara tali layar kapal. Ombak mulai
menghantam lebih kuat, dan air laut menyiprat ke wajah
Picis.
Hana berpegangan pada tiang layar, wajahnya pucat
pasi. "Kapten, mereka mulai berbicara lagi…" katanya
dengan suara hampir tak terdengar.
Picis memejamkan mata sejenak. Ia bisa merasakan
ketakutan Hana, tetapi ia juga bisa merasakan ketakutannya
sendiri. Namun, di balik semua suara dan badai yang
melolong, ia mendengar sesuatu yang lebih dalam—suara
hatinya sendiri, suara yang lebih tenang dan lebih kuat dari
apa pun yang coba diteriakkan oleh hantu-hantu itu.
Negeri Perasaan
61
"Kalian hanya suara. Kalian hanya bayangan," ucap
Picis, kali ini dengan suara lebih mantap. "Aku tidak akan
membiarkan kalian mengambil alih kemudi ini."
Seketika itu, Picis merasakan kekuatan di tangannya
saat ia mengarahkan kapal sedikit ke kiri, menghindari
ombak besar yang datang dari arah depan. Kapal Aksaraga
bergoyang keras, tetapi berhasil melewati hantaman ombak
tanpa terbalik.
Hana menjerit kecil, tetapi kemudian memandang Picis
dengan kagum. Untuk pertama kalinya, gadis kecil itu
melihat sosok kapten mereka benar-benar berdiri tegak di
tengah badai, dengan kemudi kapal di tangannya dan tatapan
yang penuh keyakinan.
Badai terus mengguncang kapal, tetapi Picis mulai
merasa lebih percaya diri. Setiap suara hantu yang muncul,
setiap bisikan ketakutan yang menggema di pikirannya,
dihadapinya dengan satu pikiran sederhana:
"Aku masih di sini. Aku masih memegang kemudi."
Selama berjam-jam kapal Aksaraga terombang-ambing
di tengah badai. Langit seperti tidak mau membuka tirai
gelapnya, dan laut menjadi liar, seperti monster raksasa yang
marah.
Negeri Perasaan
62
Namun perlahan, cahaya mulai muncul di ufuk timur.
Warna oranye keemasan menyapu awan gelap, dan angin
mulai mereda. Ombak yang tadinya mengamuk mulai
melunak, menjadi alunan lembut yang menyapu permukaan
kapal.
Picis merasakan tubuhnya lemas, seakan semua
ketegangan yang tertahan akhirnya meledak keluar. Ia
melepaskan napas panjang, dan matanya memandangi
matahari yang perlahan naik di Tepi langit.
"Kita berhasil, Hana," katanya pelan.
Hana tersenyum lebar, meskipun wajahnya masih
dipenuhi jejak ketakutan. "Kau melindungi kita, Kapten.
Terima kasih."
Picis memandang ke laut luas di depannya. Lautan
masih membentang tak berujung, tetapi kali ini, Picis merasa
lebih yakin. Ia tahu bahwa badai tidak akan pernah benar-
benar hilang dari hidupnya, tetapi ia juga tahu bahwa ia bisa
melewati badai itu.
Di bawah kapal, di kedalaman gelap yang tak terlihat,
hantu-hantu itu kembali bersembunyi. Mereka masih ada,
masih menunggu kesempatan untuk muncul kembali. Tetapi
untuk saat ini, mereka kalah.
Negeri Perasaan
63
Picis memejamkan mata, menikmati sejenak
kedamaian yang diberikan oleh pagi hari setelah badai. Kapal
Aksaraga terus berlayar, menuju daratan yang masih samar di
kejauhan, tetapi kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.
"Selama aku memegang kemudi, selama aku berani
melihat ketakutanku, kita akan terus maju."
Setelah badai yang ganas itu berlalu, lautan kembali
tenang. Langit memantulkan warna biru lembut dengan awan
putih yang melayang damai. Cahaya matahari pagi memantul
di permukaan air, menciptakan kilauan emas yang seolah-
olah menjadi petunjuk arah bagi kapal Aksaraga. Picis berdiri
di kemudi, pandangannya tertuju ke Tepi langit.
Namun, meskipun badai telah reda, sisa-sisa
pertempuran batinnya masih terasa. Hantu-hantu di bawah
dek mungkin tengah bersembunyi, tetapi ia tahu mereka
belum pergi sepenuhnya. Mereka hanya menunggu saat yang
tepat untuk kembali muncul.
Hana duduk di dekat pagar kapal, menggambar sesuatu
di atas kayu dengan sebatang arang yang ditemukannya di
ruang penyimpanan. Gambar itu adalah matahari yang
bersinar di atas kapal kecil yang terapung di tengah laut. Picis
Negeri Perasaan
64
memperhatikan gambar itu dengan senyum kecil di
wajahnya.
"Kau menggambar dengan indah, Hana," ujar Picis
lembut.
"Aku hanya menggambar apa yang kulihat, Kapten,"
jawab Hana sambil tersenyum kecil. "Apakah kita akan
segera tiba di daratan?"
Picis menghela napas panjang. Ia memandang ke
depan, ke tempat di mana garis samar daratan mulai terlihat.
Itu bukan lagi fatamorgana. Itu adalah daratan nyata yang
selama ini mereka cari.
"Ya, Hana. Kita hampir sampai. Tapi perjalanan ini
belum selesai," jawabnya.
Di kejauhan, garis pantai mulai tampak lebih jelas.
Gunung-gunung kecil berdiri gagah di balik pepohonan yang
hijau. Pelabuhan kecil terlihat di sudut Tepi langit, dengan
tiang-tiang kapal lain yang berlabuh dan bendera yang
berkibar tertiup angin.
Namun, ada sesuatu yang membuat dada Picis terasa
sesak. Setiap mil yang mereka tempuh menuju pantai, suara
dari bawah dek mulai bergema lagi.
"Kau tidak pantas tiba di sana."
Negeri Perasaan
65
"Kau akan gagal di daratan, sama seperti di laut."
"Tidak ada yang menunggumu di sana, hanya
kekecewaan dan kehancuran."
Picis memejamkan mata dan meremas roda kemudi
dengan erat. Angin yang lembut terasa seperti bisikan dari
ketakutan lamanya, menyelinap di antara celah pikirannya.
Namun kali ini, Picis tidak membiarkan suara-suara itu
mendikte langkahnya. Ia tahu bahwa daratan di depan
bukanlah akhir dari perjalanan ini, melainkan awal dari yang
baru.
Di bawah dek, suara langkah kaki kecil terdengar. Hana
turun, meninggalkan gambarnya di atas dek. Beberapa saat
kemudian, Picis mendengar suara tawa kecil dari bawah sana.
Itu suara Hana, dan untuk sesaat, suara itu meredam bisikan
hantu-hantu yang berusaha menguasai pikirannya.
"Kau harus kuat, Picis," bisiknya pada dirinya sendiri.
"Jika bukan untuk dirimu, setidaknya untuk Hana."
Ketika kapal Aksaraga semakin mendekati pelabuhan,
Picis mulai melihat lebih banyak tanda-tanda kehidupan.
Perahu kecil melintas di kejauhan, burung camar berputar-
putar di udara, dan suara samar dari kehidupan di pelabuhan
mulai terdengar.
Negeri Perasaan
66
Tetapi sebelum mereka mencapai pelabuhan, laut di
depan mereka kembali memantulkan sesuatu yang aneh.
Bayangan gelap muncul di bawah permukaan air, membesar
dan bergerak dengan cepat ke arah kapal.
"Tidak… tidak sekarang," gumam Picis, merasakan
gelombang ketakutan naik ke tenggorokannya.
Ombak kecil mulai terbentuk di sekitar kapal, dan suara
dari bawah dek kembali menggelegar seperti guntur.
"Kau pikir ini sudah berakhir, Picis? Kami akan selalu
bersamamu."
Dada Picis terasa sesak. Ia ingin berteriak, ingin
menyerah. Namun, pada saat yang sama, ia mendengar suara
langkah kecil di belakangnya. Hana muncul kembali di dek,
memegang boneka kecil yang sudah lusuh.
"Kapten… apakah kita hampir sampai?" tanyanya
dengan polos.
Picis menatap Hana lama. Di balik mata anak kecil itu,
ia melihat harapan. Harapan yang lembut namun kuat, yang
cukup untuk mengalahkan badai di dalam dirinya.
Ia mengangguk dan memutar kemudi kapal dengan
penuh keyakinan.
Negeri Perasaan
67
"Ya, Hana. Kita hampir sampai. Dan tidak ada yang
bisa menghentikan kita sekarang."
Bayangan hitam di bawah air perlahan memudar.
Hantu-hantu itu mungkin masih ada, tetapi mereka tidak lagi
bisa mengendalikan Picis.
Ketika kapal Aksaraga akhirnya merapat di pelabuhan
kecil, Picis merasa dadanya ringan untuk pertama kalinya
dalam waktu yang lama. Kayu dermaga berderit di bawah
pijakan mereka saat Picis dan Hana melangkah turun dari
kapal. Udara darat terasa berbeda—lebih padat, lebih hidup.
Penduduk pelabuhan memandang mereka dengan rasa
ingin tahu, beberapa tersenyum, sementara yang lain hanya
menatap dengan tatapan kosong.
"Selamat datang di daratan, Kapten," kata seorang pria
tua dengan topi lusuh.
Picis mengangguk dan tersenyum kecil. Langkah
pertamanya di daratan terasa seperti langkah kecil menuju
kebebasan.
Namun, ia tahu bahwa perjalanan belum berakhir.
Daratan ini bukan akhir, tetapi awal yang baru. Hantu-hantu
itu mungkin akan mengikuti, mungkin akan muncul kembali
Negeri Perasaan
68
di tengah malam yang sunyi atau ketika tantangan baru
datang.
Tetapi sekarang, Picis tahu sesuatu yang penting:
Mereka tidak bisa benar-benar menyakitinya.
Sambil menggenggam tangan Hana, Picis berjalan
menjauh dari kapal Aksaraga, meninggalkan jejak pertama di
tanah yang kokoh.
Di balik mereka, kapal Aksaraga berlabuh dengan
tenang, seperti seorang pejuang yang akhirnya bisa
beristirahat setelah pertempuran panjang. Ombak kecil
menyentuh lambung kapal, seakan berbisik lembut: "Kau
berhasil."
Langit di atas pelabuhan kini cerah sempurna. Matahari
bersinar hangat di atas kepala mereka, dan angin membawa
aroma asin laut yang menyegarkan.
Picis menatap ke depan, ke jalan setapak yang
terbentang di daratan yang asing namun penuh janji.
"Mari kita lihat, Hana, petualangan apa yang menanti
kita di sini."
Negeri Perasaan
69
Pertemuan Dengan Hantu
Masa Lalu
ngin daratan berhembus lembut, membawa aroma asin
laut bercampur dengan wangi tanah basah dan bunga
liar yang tumbuh di sekitar pelabuhan. Picis berdiri di tepi
dermaga, memandangi kapal Aksaraga yang kini tertambat
dengan tenang. Di sampingnya, Hana menggenggam
bonekanya erat-erat, matanya berbinar memandangi
kehidupan di daratan yang baru.
Pelabuhan kecil itu penuh dengan aktivitas. Pedagang
menawarkan barang dagangan mereka, pelaut sibuk memuat
dan menurunkan peti dari kapal, dan anak-anak kecil
berlPicisn di antara tumpukan jaring ikan. Namun, di balik
keramaian itu, ada rasa asing yang menjalari tubuh Picis. Ia
telah lama berlayar di lautan, dan kini kakinya berpijak di
daratan yang stabil, namun anehnya, ia merasa seperti orang
asing di tempat ini.
"Ke mana kita akan pergi sekarang, Kapten?" tanya
Hana sambil memandang ke atas dengan penuh harapan.
Picis menghela napas panjang, merasakan berat beban
di pundaknya. Ada jalan setapak kecil yang membentang dari
A
Negeri Perasaan
70
pelabuhan menuju perbukitan hijau di kejauhan. Itu
tampaknya menjadi satu-satunya pilihan bagi mereka.
"Kita akan mencari tempat untuk beristirahat, Hana.
Kita butuh tempat aman sebelum memutuskan langkah
selanjutnya," jawab Picis sambil menggenggam tangan kecil
Hana dan mulai berjalan perlahan.
Setiap langkah di jalan setapak berbatu itu terasa seperti
menapaki dunia baru yang penuh teka-teki. Di sepanjang
jalan, mereka melewati kebun kecil dengan bunga liar
berwarna cerah dan pepohonan rindang yang menari
mengikuti arah angin. Suara burung berkicau di kejauhan dan
matahari perlahan mulai condong ke barat.
Namun, meski daratan tampak damai, bayangan
keraguan mulai merayap di benak Picis. Ia merasa seperti
tengah diawasi, seolah-olah sesuatu—atau seseorang—
mengamati setiap gerakannya. Setiap kali dedaunan berdesir
atau ranting patah, ia akan menoleh dengan cepat, namun
tidak ada siapa pun di sana.
Hana, di sisi lain, tampak lebih santai. Ia mengamati
bunga-bunga yang tumbuh di tepi jalan dan sesekali berhenti
untuk memungut batu kecil berwarna-warni.
Negeri Perasaan
71
"Kapten, lihat batu ini! Indah sekali, kan?" seru Hana
sambil mengangkat sebuah batu kecil berwarna biru
kehijauan.
Picis tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih
dipenuhi dengan ketidakpastian. Bagaimana jika hantu-hantu
itu mengikuti mereka ke daratan? Bagaimana jika bahaya
yang lebih besar menanti di depan?
Tiba-tiba, langkah mereka terhenti di depan sebuah
papan kayu tua yang bertuliskan: "Selamat Datang di Desa
Eldoria."
Di balik papan itu, tampak sebuah desa kecil yang
tertata rapi. Rumah-rumah kayu dengan atap jerami berjajar
di sepanjang jalan utama. Asap tipis mengepul dari cerobong,
aroma masakan rumah merayap di udara, dan suara tawa serta
percakapan lembut terdengar dari berbagai sudut.
"Lihat, Picis! Tempat ini seperti di cerita dongeng!"
ujar Hana dengan mata berbinar.
Picis hanya mengangguk. Untuk sesaat, rasa lega
menyelimuti dirinya. Desa ini tampak damai, jauh dari
kekacauan badai di laut dan bisikan hantu di bawah dek
kapal.
Negeri Perasaan
72
Mereka berjalan menyusuri jalanan berbatu desa
Eldoria. Penduduk desa menatap mereka dengan penuh rasa
ingin tahu, tetapi senyuman ramah muncul di wajah sebagian
besar orang yang mereka lewati.
Seorang wanita tua dengan selendang wol berwarna
cokelat mendekati mereka. Wajahnya dipenuhi kerutan, tetapi
matanya memancarkan kelembutan yang menenangkan.
"Selamat datang di Eldoria, para musafir. Dari mana
kalian datang?" tanyanya dengan suara serak namun hangat.
"Kami datang dari lautan, Nyonya," jawab Picis dengan
sopan. "Kami mencari tempat untuk beristirahat sebelum
melanjutkan perjalanan."
Wanita tua itu mengangguk pelan, tatapannya
menelusuri wajah Picis dan Hana. Ada sesuatu di balik
matanya yang seolah memahami beban yang mereka bawa.
"Kalian pasti sudah melalui perjalanan yang panjang,"
ujarnya. "Kemarilah, kalian bisa tinggal di penginapan kecil
di ujung jalan sana. Pemiliknya, Pak Gareth, adalah orang
baik."
Picis mengangguk berterima kasih dan melanjutkan
perjalanan ke arah yang ditunjukkan wanita tua itu. Jalanan
desa semakin ramai dengan suara kehidupan. Anak-anak
Negeri Perasaan
73
bermain di tepi jalan, seorang pandai besi bekerja di balik
percikan api dari besinya, dan aroma roti segar memenuhi
udara dari sebuah toko kecil di persimpangan.
Penginapan yang dimaksud adalah bangunan kayu
sederhana dengan papan bertuliskan "Penginapan Ombak
Tenang." Jendela kecilnya dihiasi bunga-bunga di dalam pot
tanah liat, dan lampu minyak berpendar hangat di balik tirai
tipis.
Pak Gareth, seorang pria paruh baya dengan tubuh
besar dan rambut beruban, menyambut mereka di pintu
masuk dengan senyum lebar.
"Selamat datang, Nak! Ayo, masuklah. Kalian pasti
kelelahan," ujarnya ramah sambil membuka pintu lebar-lebar.
Picis dan Hana melangkah masuk ke dalam penginapan
kecil itu. Suasana di dalamnya hangat dan nyaman. Meja
kayu tua tertata rapi, dan perapian di sudut ruangan
memancarkan cahaya oranye yang menenangkan.
Pak Gareth mengantar mereka ke sebuah kamar kecil di
lantai atas. Kamar itu sederhana, tetapi bersih. Ada dua
tempat tidur kecil, jendela menghadap ke taman kecil di
belakang penginapan, dan meja kecil dengan lilin yang sudah
menyala.
Negeri Perasaan
74
Setelah meletakkan tasnya, Picis duduk di tepi tempat
tidur dan menatap ke luar jendela. Bulan mulai muncul di
balik awan tipis, memancarkan cahaya perak yang lembut di
atas desa Eldoria.
Hana duduk di tempat tidurnya sendiri, memeluk
boneka lusuhnya dan menatap Picis.
"Kapten, apakah kita akan tinggal di sini selamanya?"
tanyanya pelan.
Picis menggeleng pelan. "Tidak, Hana. Kita masih
punya tujuan yang harus dicapai. Tapi untuk sekarang… kita
beristirahat di sini."
Hana tersenyum dan berbaring di tempat tidurnya,
perlahan terlelap dalam pelukan kehangatan malam itu.
Namun, meskipun keheningan malam menyelimuti
desa Eldoria, Picis tidak bisa benar-benar merasa tenang. Ia
tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih
besar. Ada sesuatu di Tepi langit yang menanti mereka—
sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Dengan perasaan campur aduk, Picis memejamkan
mata, membiarkan pikirannya perlahan larut dalam
ketenangan sesaat yang diberikan oleh desa kecil ini. Di luar,
Negeri Perasaan
75
angin malam berhembus lembut, membawa bisikan samar
dari lautan yang jauh di belakang mereka.
Malam telah sepenuhnya menyelimuti desa Eldoria.
Bintang-bintang berkilauan di langit gelap, dan bulan
menggantung seperti lentera perak di angkasa. Penginapan
Ombak Tenang senyap, hanya terdengar suara kayu yang
berderak di perapian dan desiran angin yang sesekali
menerobos celah jendela.
Picis duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela
ke arah taman kecil di belakang penginapan. Di sampingnya,
Hana tidur dengan tenang, wajah kecilnya tampak damai di
bawah sinar rembulan. Namun, ketenangan malam itu tidak
meresap ke dalam hati Picis. Ada kegelisahan yang
menggerogoti pikirannya, seperti bisikan halus yang datang
dari sudut gelap pikirannya.
"Mereka belum pergi… Mereka masih di sini…" suara
kecil itu berbisik di benaknya.
Picis memejamkan mata, berusaha menepis suara itu.
Ia tahu persis siapa "mereka" yang dimaksud—hantu-hantu
itu, emosi yang mengendap dalam dirinya: rasa takut,
Negeri Perasaan
76
keraguan, dan penyesalan yang seolah terus mengikutinya
meski ia telah menjejakkan kaki di daratan.
Tanpa berpikir panjang, Picis bangkit dari tempat tidur
dan meraih jaketnya. Ia melangkah keluar kamar dengan hati-
hati agar tidak membangunkan Hana. Tangga kayu
penginapan berderit pelan di bawah langkah kakinya saat ia
turun menuju lantai bawah.
Di ruang tengah, perapian masih menyala dengan api
kecil. Pak Gareth tertidur di kursi kayu di sudut ruangan,
mendengkur lembut dengan selimut tebal menyelimuti
tubuhnya. Picis melangkah keluar ke beranda penginapan,
menghirup udara malam yang dingin dan segar.
Desa Eldoria tampak begitu damai di bawah cahaya
bulan, tetapi ada sesuatu yang ganjil di udara—sesuatu yang
tidak bisa dijelaskan Picis dengan kata-kata. Jantungnya
berdegup lebih cepat ketika ia menangkap bayangan samar
bergerak di antara pepohonan di taman belakang.
"Siapa di sana?" seru Picis pelan, namun tidak ada
jawaban.
Ragu-ragu, ia melangkah ke arah taman, melewati
rerumputan basah yang dingin di bawah telapak kakinya.
Negeri Perasaan
77
Cahaya bulan memantulkan siluetnya di tanah, tetapi ada
bayangan lain yang bergerak di antara pohon-pohon.
Ketika ia semakin mendekat, suara bisikan mulai
terdengar—suara yang familiar, tetapi juga mengerikan.
"Picis… Kau pikir kau bisa lari dari kami? Kau pikir
daratan akan menyelamatkanmu?"
Picis memutar tubuhnya dengan cepat, matanya
menyapu setiap sudut taman. Tapi tidak ada siapa pun di sana.
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, dan suara itu
semakin jelas. Bayangan hitam muncul di balik pohon besar
di ujung taman. Wujud itu tidak memiliki bentuk yang pasti,
tetapi matanya bersinar dengan cahaya merah samar.
"Kami tahu apa yang kau rasakan, Picis. Rasa bersalah,
ketakutan, keraguan… Kau bisa berlari sejauh apa pun, tetapi
kami akan selalu ada di sini."
Picis mundur selangkah, tetapi kakinya tersandung akar
pohon, membuatnya hampir jatuh. Wujud bayangan itu
melayang mendekat, semakin dekat, dan semakin jelas. Itu
bukan makhluk fisik; itu adalah manifestasi dari pikirannya
sendiri—hantu yang selama ini ia bawa di dalam dirinya.
"Aku… Aku tidak akan membiarkan kalian menguasai
diriku!" seru Picis dengan suara gemetar.
Negeri Perasaan
78
Bayangan itu berhenti sejenak, lalu tertawa rendah—
suara yang menggema di seluruh taman.
"Kau berpikir bisa mengusir kami? Kami adalah bagian
darimu, Picis. Kami adalah ketakutanmu, kelemahanmu, dan
kesalahanmu. Kau tidak bisa melarikan diri dari kami."
Picis menutup telinganya dengan kedua tangan,
mencoba menghentikan suara itu. Tetapi suara itu tidak
berasal dari luar; suara itu berasal dari dalam dirinya sendiri.
Dadanya terasa sesak, dan napasnya memburu.
Tiba-tiba, tangan kecil menyentuh pundaknya.
"Kapten Picis… Apa yang terjadi?" suara lembut Hana
memecah ketegangan.
Picis menoleh dan melihat Hana berdiri di
belakangnya, masih mengenakan baju tidurnya, dengan
boneka lusuhnya tergenggam erat di tangan kecilnya.
Matanya memancarkan kebingungan dan ketakutan.
Melihat Hana, Picis seolah kembali ke dunia nyata.
Bayangan hitam itu mulai memudar perlahan, suaranya
semakin pelan hingga akhirnya lenyap sepenuhnya.
Picis berjongkok dan memeluk Hana erat-erat.
Tubuhnya gemetar, tetapi kehangatan dari pelukan Hana
memberinya ketenangan yang tak terduga.
Negeri Perasaan
79
"Aku baik-baik saja, Hana. Maaf… Aku hanya… butuh
udara segar," ujar Picis dengan suara pelan.
Hana memandangnya dengan mata polosnya,
kemudian tersenyum kecil.
"Jangan takut, Kapten. Aku di sini bersamamu."
Mata Picis berkaca-kaca, tetapi ia segera mengangguk
dan menggenggam tangan kecil Hana. Mereka berdua
berjalan kembali ke dalam penginapan, meninggalkan taman
yang kini terasa lebih sunyi daripada sebelumnya.
Malam itu, Picis duduk di tepi ranjangnya sambil
memandangi Hana yang kembali tertidur. Pikirannya masih
dipenuhi oleh bayangan yang dilihatnya di taman.
"Apakah aku akan selalu dihantui oleh mereka? Apakah
aku akan pernah bebas dari ketakutan ini?" tanyanya dalam
hati.
Namun, di balik keraguan itu, ada sebuah tekad kecil
yang mulai tumbuh di hatinya. Ia menyadari bahwa hantu-
hantu itu—ketakutan, penyesalan, dan keraguannya—akan
selalu ada di sana. Tapi mungkin, hanya mungkin, ia bisa
belajar untuk berjalan berdampingan dengan mereka tanpa
membiarkan mereka menguasainya.
Negeri Perasaan
80
Di luar jendela, bintang-bintang terus berkelip di langit
malam, seakan berbisik bahwa fajar akan segera datang. Dan
bersama dengan fajar itu, akan datang secercah harapan baru
bagi Picis dan Hana di daratan yang asing ini.
Fajar perlahan menyingsing di Tepi langit, mewarnai
langit dengan semburat oranye dan merah muda. Cahaya
matahari menelusup melalui celah jendela penginapan
Ombak Tenang, menerangi wajah Picis yang masih terjaga.
Matanya merah dan lelah, bekas dari semalam yang
dihabiskan dalam ketegangan dan ketakutan.
Di sampingnya, Hana masih terlelap, wajah kecilnya
terlihat damai di balik selimut tebal. Picis menghela napas
panjang dan berdiri. Ia berjalan ke jendela, menatap ke arah
laut yang tampak tenang di kejauhan. Namun, di balik
ketenangan itu, Picis merasa seakan-akan ombak besar siap
menghantam dirinya kapan saja.
"Aku tidak bisa terus begini," gumamnya pelan.
Suara langkah kaki yang mendekat mengejutkannya.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan di sana berdiri Pak Gareth
dengan nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring
roti.
Negeri Perasaan
81
"Selamat pagi, Nak Picis. Kuharap kau tidur nyenyak
tadi malam," ujar Pak Gareth dengan senyum lembut yang
entah mengapa membuat Picis merasa sedikit lebih tenang.
Picis tersenyum kecil. "Terima kasih, Pak Gareth.
Maaf, aku hanya… sulit tidur tadi malam."
Pak Gareth meletakkan nampan di meja kecil di dekat
ranjang. Ia menatap Picis dengan tatapan penuh pengertian.
"Aku sudah tua, Nak. Aku tahu mata seperti itu. Mata
yang pernah melihat sesuatu yang tidak ingin dilihat. Apa
yang kau temui tadi malam di taman?"
Picis terdiam, matanya menatap ke lantai kayu di
bawah kakinya. Ia meremas jemarinya, seakan mencoba
meraih keberanian untuk berbicara.
"Mereka… hantu-hantu itu, Pak Gareth. Mereka tidak
pergi. Mereka masih mengikutiku, bahkan di daratan ini.
Mereka membisikkan hal-hal yang membuatku meragukan
diriku sendiri," ucapnya dengan suara bergetar.
Pak Gareth mengangguk pelan, lalu menarik kursi dan
duduk di hadapan Picis.
"Dengar, Nak Picis. Kita semua punya hantu di dalam
diri kita. Beberapa dari kita memelihara mereka, beberapa
dari kita berusaha mengabaikannya. Tapi percayalah,
Negeri Perasaan
82
semakin kau mencoba melarikan diri dari mereka, semakin
keras mereka mengejarmu."
"Jadi… apa yang harus kulakukan?" tanya Picis,
suaranya hampir seperti bisikan.
Pak Gareth tersenyum kecil. "Hadapi mereka, Nak.
Akui keberadaan mereka, tetapi jangan biarkan mereka
mengendalikan kemudi kapalnya. Kau adalah nakhoda dari
kapal hidupmu sendiri. Tidak ada satu pun dari mereka yang
bisa benar-benar melukaimu, kecuali jika kau memberikan
mereka kekuatan untuk melakukannya."
Kata-kata itu meresap perlahan ke dalam pikiran Picis.
Ia tahu kata-kata itu benar, tetapi menerapkannya terasa
seperti tugas yang hampir mustahil.
Setelah sarapan, Picis dan Hana memutuskan untuk
berjalan-jalan di sekitar desa Eldoria. Jalanan berbatu terasa
hangat di bawah sinar matahari pagi. Udara laut yang segar
membawa aroma asin yang menenangkan.
Hana berlari kecil di depan Picis, tertawa ceria ketika
burung camar beterbangan di atas kepala mereka. Namun,
meskipun pemandangan di sekitarnya begitu indah, hati Picis
masih terasa berat.
Negeri Perasaan
83
Di tengah perjalanan, mereka tiba di dermaga tua yang
menjorok ke laut. Kayu-kayunya sudah lapuk dimakan usia,
tetapi masih kokoh untuk dipijak. Picis berjalan perlahan ke
ujung dermaga, membiarkan angin laut menyapu wajahnya.
"Kau masih terlihat sedih, Kapten Picis," ujar Hana
sambil memegang tangan Picis.
Picis tersenyum tipis dan berlutut di hadapan Hana.
"Maaf, Hana. Kadang, Kaptenmu ini terlalu banyak berpikir."
Hana mengangguk pelan, lalu menatap laut luas di
depan mereka. "Kau tahu, Kapten? Ayahku dulu pernah
bilang, laut ini seperti hati kita. Kadang tenang, kadang
berombak, dan kadang penuh badai. Tapi apa pun yang
terjadi, laut selalu kembali tenang pada akhirnya."
Kata-kata sederhana itu terasa begitu dalam bagi Picis.
Ia menatap mata Hana yang penuh ketulusan, lalu memeluk
gadis kecil itu erat-erat.
"Terima kasih, Hana. Kau benar. Aku harus belajar
menerima ombak-ombak itu, bukan melawannya."
Matahari mulai meninggi ketika Picis dan Hana
kembali ke penginapan. Desa Eldoria mulai ramai oleh
aktivitas penduduk yang memulai hari mereka. Di tengah
keramaian itu, seorang pria berpakaian lusuh dengan topi
Negeri Perasaan
84
lebar tampak berdiri di dekat sumur umum. Matanya tajam
dan penuh kewaspadaan.
Ketika Picis dan Hana melewatinya, pria itu menatap
mereka sejenak sebelum kembali berpura-pura sibuk dengan
seember air di tangannya. Picis merasa ada sesuatu yang
ganjil, tetapi ia memutuskan untuk tidak terlalu
memikirkannya.
Namun, ketika mereka mendekati penginapan, Picis
menyadari sesuatu. Ada secarik kertas terselip di bawah pintu
kamarnya. Dengan hati-hati, ia mengambil kertas itu dan
membacanya.
"Kami tahu siapa dirimu. Kami tahu apa yang kau
bawa. Jangan mencoba lari, atau semuanya akan berakhir
buruk."
Jantung Picis berdegup kencang. Tangannya bergetar
saat memegang kertas itu. Siapa yang menulis ini? Dan apa
maksud dari peringatan ini?
Hana memandangnya dengan mata penuh
kebingungan. "Apa itu, Kapten?"
Picis buru-buru meremas kertas itu dan menyimpannya
di saku jaketnya. "Tidak ada apa-apa, Hana. Hanya… surat
dari seseorang yang salah alamat."
Negeri Perasaan
85
Namun, senyum yang ia berikan pada Hana terasa
dipaksakan. Di dalam dirinya, badai baru sedang terbentuk.
Bukan lagi hantu dari pikirannya, tetapi ancaman nyata dari
seseorang di luar sana.
Malam nanti, Picis tahu bahwa ia harus lebih waspada.
Ombak keraguan kini bercampur dengan ketakutan yang
lebih nyata. Dan di kejauhan, laut biru tampak berkilauan di
bawah sinar matahari—tenang, tetapi penuh rahasia yang
belum terungkap.
Malam telah menyelimuti Desa Eldoria dengan jubah
gelapnya. Cahaya bulan pucat menggantung rendah di langit,
memantulkan kilauan perak di permukaan laut yang tenang.
Angin malam membawa aroma asin yang menusuk hidung,
bercampur dengan kesunyian yang menggantung di udara.
Picis duduk di dekat jendela kamar penginapan,
memandangi hamparan laut yang terbentang luas di
hadapannya. Surat ancaman yang diterimanya siang tadi
masih tergenggam erat di tangannya. Kata-kata di atas kertas
itu terus berputar di kepalanya seperti gema yang tak kunjung
reda.
Negeri Perasaan
86
"Kami tahu siapa dirimu. Kami tahu apa yang kau
bawa. Jangan mencoba lari, atau semuanya akan berakhir
buruk."
Siapa yang menulis ini? Bagaimana mereka tahu
tentang dirinya? Apakah ini ada hubungannya dengan kapal
dan hantu-hantu yang selalu menghantuinya di tengah lautan?
Pikiran Picis dipenuhi dengan berbagai pertanyaan
yang tak kunjung menemukan jawaban. Sesekali ia melirik
ke arah Hana yang tertidur pulas di ranjang dengan napas
yang teratur. Gadis kecil itu tampak begitu damai, seolah
dunia di sekelilingnya tak sedang diancam oleh bayang-
bayang kegelapan.
"Aku harus mencari jawaban," gumam Picis lirih.
Ia meraih jaket cokelatnya dan dengan hati-hati
membuka pintu kamar agar tidak membangunkan Hana.
Langkah kakinya terdengar pelan di sepanjang koridor kayu
penginapan. Udara malam yang dingin menyambutnya ketika
ia keluar ke jalanan berbatu di depan penginapan.
Desa Eldoria di malam hari terasa berbeda. Jalan-jalan
yang siang tadi dipenuhi pedagang dan anak-anak yang
bermain, kini tampak kosong dan sunyi. Lampu-lampu
Negeri Perasaan
87
minyak di tiang kayu memancarkan cahaya redup yang
bergoyang-goyang ditiup angin.
Picis berjalan menyusuri jalan kecil menuju dermaga
tua. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan surat ancaman itu
dan sosok pria misterius yang dilihatnya siang tadi di dekat
sumur. Ia merasa seperti diawasi, seolah-olah setiap
bayangan di balik gang sempit adalah mata yang
mengintainya.
Ketika ia tiba di dermaga, kabut tipis mulai naik dari
permukaan laut. Suara gemericik ombak kecil memecah
kesunyian malam. Di kejauhan, samar-samar Picis melihat
sosok seseorang berdiri di ujung dermaga, memandang ke
laut dengan tangan bersilang di dada.
Dengan hati-hati, Picis mendekat. Sepatu botnya
berdecit di atas kayu lapuk. Sosok itu menoleh perlahan,
memperlihatkan wajah pria tua dengan janggut abu-abu dan
mata tajam yang memancarkan keteguhan. Itu adalah Pak
Gareth.
"Aku tahu kau akan datang ke sini, Nak Picis," ujar Pak
Gareth dengan suara seraknya.
"Bagaimana Anda tahu saya akan datang ke sini, Pak
Gareth?" tanya Picis heran.
Negeri Perasaan
88
Pak Gareth memutar tubuhnya, kini menghadap
langsung ke Picis. Wajahnya diterangi samar oleh cahaya
lampu minyak di tiang dermaga.
"Karena di tempat seperti ini, jawaban sering kali
bersembunyi di balik kabut malam dan suara ombak, Nak.
Kau datang karena kau mencari jawaban, bukan? Tentang
surat itu?"
Picis mengangguk pelan. "Ya. Ada yang mengawasi
kami, Pak Gareth. Ada yang tahu tentang kapal dan… tentang
aku."
Pak Gareth menarik napas dalam-dalam dan
memandang jauh ke Tepi langit gelap di depan mereka.
"Picis, kau harus tahu sesuatu. Desa ini mungkin
terlihat damai di siang hari, tetapi di malam hari, bayang-
bayang bergerak lebih bebas. Ada kekuatan di sini, kekuatan
yang terhubung dengan laut dan… apa yang kau bawa
bersamamu dari kapal itu."
Picis merasakan tengkuknya meremang. "Apa maksud
Anda? Apa hubungannya dengan kapal itu?"
Pak Gareth menatap Picis dengan serius. "Hantu-hantu
yang kau lihat, Picis, bukan hanya sekadar ilusi dari
pikiranmu. Mereka memiliki jejak di dunia ini, dan jejak itu
Negeri Perasaan
89
tertinggal di kapalmu. Ada yang tertarik pada jejak itu, dan
mereka tidak akan berhenti sampai mereka
mendapatkannya."
"Siapa mereka, Pak Gareth? Siapa yang mengirim surat
ini?" tanya Picis dengan suara bergetar.
Pak Gareth terdiam sejenak sebelum menjawab, "Ada
kelompok di sini, mereka menyebut diri mereka 'Penjaga
Bayangan Laut'. Mereka percaya bahwa apa yang ada di
kapalmu—hantu-hantu itu, atau mungkin sesuatu yang kau
bawa tanpa kau sadari—adalah kunci untuk sesuatu yang jauh
lebih besar. Sesuatu yang tidak boleh jatuh ke tangan yang
salah."
Picis memproses informasi itu dengan hati yang
berdebar. "Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus
pergi dari sini? Apakah Hana dalam bahaya?"
Pak Gareth menggeleng pelan. "Pergi tidak akan
mengubah apa-apa, Picis. Mereka akan terus mengejarmu ke
mana pun kau pergi. Satu-satunya cara untuk menghadapinya
adalah dengan memahami apa yang mereka cari dan
menghadapinya secara langsung."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di ujung
dermaga. Dua sosok muncul dari balik kabut. Mereka
Negeri Perasaan
90
berpakaian serba hitam dengan syal yang menutupi wajah
mereka. Mata mereka tajam dan penuh kecurigaan.
"Waktu kita habis, Picis," bisik Pak Gareth. "Kau harus
kembali ke penginapan sekarang. Jaga Hana dan jangan
biarkan siapa pun masuk ke kamarmu malam ini. Aku akan
mengalihkan perhatian mereka."
"Tapi, Pak Gareth—"
"Pergi, sekarang!" potong Pak Gareth dengan tegas.
Tanpa membuang waktu, Picis berbalik dan berlari
secepat yang ia bisa. Angin malam mencambuk wajahnya,
dan jantungnya berdetak sekeras gendang perang.
Dari kejauhan, ia bisa mendengar suara konfrontasi di
dermaga. Suara Pak Gareth memerintah dengan tegas, diikuti
dengan suara gaduh yang entah apa penyebabnya.
Setibanya di penginapan, Picis langsung mengunci
pintu kamar dan menyandarkan tubuhnya di baliknya. Hana
masih tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang mengintai di
balik malam.
Picis mengusap wajahnya yang penuh keringat. Di luar
sana, kabut semakin tebal, dan bayang-bayang bergerak di
antara celah-celah cahaya lampu jalanan.
Negeri Perasaan
91
Satu hal yang pasti: permainannya sudah dimulai, dan
taruhannya jauh lebih besar daripada yang pernah ia
bayangkan.
Pagi datang dengan keheningan yang tak biasa di Desa
Eldoria. Kabut yang menutupi desa semalam perlahan
menghilang, namun kesan dingin dan tegang yang
ditinggalkan tetap menyelimuti setiap sudut jalanan yang
belum terjamah sinar matahari.
Picis duduk di meja makan penginapan, menggenggam
cangkir kopi yang mulai mendingin. Mata hitamnya menatap
kosong ke permukaan cangkir, pikirannya jauh lebih dalam
dari apa yang tampak di luar. Semalam, dia merasa dunia
berguncang. Surat ancaman, Pak Gareth, dan dua sosok
misterius yang menghalanginya di dermaga—semuanya
berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung
reda.
Hana, gadis kecil yang tidur di sampingnya tadi malam,
kini sudah bangun. Dengan rambut kusut yang jatuh di sekitar
wajahnya, Hana menghampiri meja dan duduk dengan
canggung.
Negeri Perasaan
92
"Picis, apa yang sebenarnya terjadi semalam?" tanya
Hana dengan suara lembut, meski raut wajahnya
mencerminkan kecemasan yang jelas terlihat.
Picis menatap Hana, mencoba menyusun kata-kata,
namun tak ada yang cukup tepat untuk menjelaskan
semuanya.
"Kita sedang dalam bahaya, Hana," jawabnya pelan.
"Ada orang-orang di luar sana yang ingin menghentikan kita.
Aku tidak tahu siapa mereka atau apa yang mereka inginkan,
tapi mereka tahu tentang kapal dan tentang kita."
Hana menggigit bibir bawahnya, memandang Picis
dengan tatapan penuh ketakutan. Namun, dia tidak berkata
apa-apa. Ada sesuatu dalam diri Picis yang membuatnya tahu
bahwa gadis kecil itu tidak ingin menambah beban di
pundaknya. Hana sudah cukup banyak kehilangan, dan
meskipun dia masih muda, dia merasa seperti sudah
mengenal dunia ini terlalu dalam, terlalu keras.
Picis meletakkan cangkir kopi yang hampir habis itu
dan menatap ke luar jendela. Desa ini, dengan segala
keindahan alamnya, tampak damai—seolah tak ada yang
salah. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang tak bisa
Negeri Perasaan
93
diabaikan. Sesuatu yang gelap, yang tersembunyi, sedang
berkembang di bawah permukaan, siap untuk meledak.
Di luar, tampak seorang pria berbadan kekar berjalan
menuju penginapan. Dia mengenakan jubah hitam panjang
dan sebuah penutup kepala yang menutupi sebagian
wajahnya. Tangan kirinya menggenggam sebuah gulungan
kertas yang tampaknya penting. Pria itu menatap penginapan
dengan tatapan tajam, seperti sedang mencari sesuatu atau
seseorang.
Picis merasa darahnya berdesir. Hatinya berdebar lebih
cepat. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan menahan Hana
dengan lembut agar tetap duduk.
"Hana, tetap di sini. Jangan keluar dulu."
Hana mengangguk, meskipun wajahnya terlihat
bingung dan sedikit cemas. Picis berjalan dengan hati-hati
menuju pintu depan, mencoba memastikan dirinya tidak
terlihat. Ketika pria itu mendekat, Picis merasakan
ketegangan yang semakin memuncak.
Pria itu mengetuk pintu penginapan dengan suara keras
dan tegas. Begitu pintu terbuka, dia mengangkat tangannya
dan menunjukkan gulungan kertas itu.
Negeri Perasaan
94
"Aku datang untuk memberimu pesan," katanya dengan
suara berat.
Picis menatap pria itu, mencoba membaca ekspresi
wajahnya. Ada sesuatu yang asing dalam tatapannya—
sesuatu yang membuat Picis merasa tidak nyaman.
"Pesan apa?" tanya Picis hati-hati.
Pria itu menarik napas panjang dan dengan perlahan
membuka gulungan kertas. Tulisan di atasnya tidak asing
bagi Picis. Itu adalah tulisan tangan yang sama dengan surat
ancaman yang dia terima kemarin.
"Pesan ini untukmu," kata pria itu, matanya menyipit.
"Kau tidak akan bisa menghindarinya. Kami tahu siapa kau,
dan kami tahu apa yang kau sembunyikan."
Picis menelan ludah. Ada getaran dalam suaranya yang
mengatakan bahwa ini bukan ancaman kosong. Mereka
benar-benar tahu lebih banyak dari yang dia kira.
"Apa yang kau inginkan dari kami?" Picis bertanya,
mencoba mempertahankan ketenangan.
Pria itu tidak menjawab langsung. Dia hanya
melangkah mundur sedikit dan melirik ke sekeliling dengan
waspada. "Kami hanya ingin memastikan bahwa kapal itu
tetap di tempatnya. Jangan coba-coba menghadapinya. Itu
Negeri Perasaan
95
akan lebih baik untuk semua orang jika kau mundur sekarang
sebelum semuanya semakin buruk."
Picis merasa setiap kata yang diucapkan pria itu seperti
senjata yang menusuk. Mereka sudah tahu tentang kapal itu,
dan mereka ingin menghentikan mereka. Tapi apa yang
sebenarnya mereka inginkan? Mengapa mereka begitu takut
dengan apa yang ada di kapal itu?
Ketika pria itu berbalik dan berjalan pergi, Picis merasa
jantungnya berdebar lebih keras. Tidak ada waktu untuk ragu.
Setiap langkah yang diambilnya sekarang membawa mereka
semakin dekat pada titik tanpa kembali.
Picis menutup pintu dengan hati-hati, menatap
gulungan kertas yang masih tergenggam di tangannya.
"Kita harus pergi, Hana," katanya dengan suara serak.
"Aku tidak tahu harus ke mana, tapi kita tidak bisa tetap
tinggal di sini. Mereka sudah mengincar kita."
Hana menatap Picis dengan mata besar dan penuh
pertanyaan. Namun, Picis hanya mengangguk dan
memaksakan senyuman tipis di wajahnya.
Mereka harus pergi, dan mereka harus siap menghadapi
apa pun yang ada di depan mereka. Selama ini, mereka hanya
bertahan di lautan. Namun sekarang, Picis tahu bahwa
Negeri Perasaan
96
perjalanan mereka menuju daratan bukan hanya sebuah
tujuan—itu adalah pertarungan untuk hidup mereka.
Dengan langkah pasti, Picis menyiapkan diri untuk
perjalanan yang lebih berat, mengetahui bahwa bayang-
bayang semakin mendekat.
Picis dan Hana melangkah pergi dari penginapan
dengan ketegangan yang merayapi setiap gerak mereka.
Dunia sekitar mereka tampak sepi, meskipun ada
kekhawatiran yang memenuhi udara. Dengan langkah kaki
yang mantap namun hati yang berdebar, mereka berusaha
melupakan perasaan terancam yang terus menghantui.
Namun, perasaan itu semakin kuat, semakin tidak bisa
ditangkal.
Mereka menuju ke dermaga yang jaraknya tidak terlalu
jauh dari penginapan. Gelombang laut yang sebelumnya
tenang kini terasa lebih gelisah. Ombak yang menerpa kapal-
kapal di dermaga seakan menyuarakan kekhawatiran yang
ada di hati Picis. Sejenak, ia merasakan ketakutan yang
mendalam, tetapi segera mencoba mengusirnya. Mereka
harus menuju ke kapal itu, apapun yang akan terjadi. Tidak
ada pilihan lain.
Negeri Perasaan
97
Hana berjalan di sampingnya, tangan kecilnya
menggenggam erat tangan Picis. Gadis kecil itu sepertinya
bisa merasakan ketegangan yang ada, namun ia memilih
untuk tetap diam, seakan memahami bahwa Picis tidak bisa
menjawab semua pertanyaan yang mengalir dalam dirinya.
Setiba di dermaga, suasana menjadi semakin sunyi. Tak
ada kapal yang terlihat bergerak, tak ada suara riuh seperti
biasa. Sebuah kapal besar, yang mereka tuju, terlihat lebih
mencurigakan di balik kabut pagi yang tebal. Picis menatap
kapal itu, merasakan aura yang berat dan menekan. Sesuatu
yang lebih besar dari ancaman fisik terasa di sana. Kegelapan
yang mengintai.
"Kita harus pergi, segera," kata Picis, suaranya hampir
berbisik. Meskipun ia berusaha terdengar tenang, ada getaran
takut yang tak bisa disembunyikan.
Namun, saat mereka hendak melangkah lebih jauh,
sebuah suara tiba-tiba menghalangi mereka.
"Ke mana kalian pergi?" suara itu terdengar keras,
tegas, dan penuh ancaman.
Picis menoleh dengan cepat, matanya bertemu dengan
sepasang mata yang penuh kebencian. Seorang pria tinggi,
mengenakan jubah hitam, berdiri di depan mereka. Wajahnya
Negeri Perasaan
98
tertutup sebagian oleh topi besar yang ia kenakan, tetapi
matanya yang dingin tidak bisa disembunyikan.
"Kami hanya ingin pergi. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan," Picis menjawab dengan suara tenang,
mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takut yang
menggerogoti dirinya.
Namun pria itu hanya tersenyum sinis. Dengan langkah
mantap, ia maju lebih dekat, dan dalam sekejap, dua orang
lain muncul dari bayang-bayang, mengelilingi mereka. Picis
dan Hana terjebak.
"Kami tahu tujuanmu," kata pria itu, suara rendah
penuh ancaman. "Kami tidak ingin masalah denganmu, Picis.
Tapi perjalananmu ke daratan hanya akan berakhir dengan
kehancuran."
Picis bisa merasakan ancaman itu. Ada sesuatu yang
sangat kelam di balik kata-kata pria itu, sesuatu yang lebih
dari sekadar ancaman fisik. Mereka tahu banyak
tentangnya—terlalu banyak. Dan mereka tahu akan apa yang
Picis dan Hana coba lakukan.
"Kami tidak mencari masalah," kata Picis sambil
berusaha tetap tenang. "Kami hanya ingin pergi."
Negeri Perasaan
99
Tapi pria itu tidak mundur. Matanya semakin tajam
menatap mereka. "Kalian tidak akan bisa pergi. Tidak ada
yang bisa pergi dari sini tanpa melalui kami."
Dalam sekejap, Picis merasakan ketegangan itu
mencapai puncaknya. Dua orang lainnya yang berdiri di
samping pria itu bergerak maju, memblokir jalan. Hana
menggenggam tangan Picis lebih erat, ketakutan jelas terlihat
di wajahnya.
Picis menarik napas panjang, berusaha menenangkan
dirinya. "Jika kalian menghalangi kami, kalian akan
menyesal," katanya dengan suara yang lebih tegas. Ada rasa
kemarahan yang mulai membakar dalam dirinya, tapi ia tahu,
kemarahan saja tidak akan cukup.
Tanpa memberikan kesempatan bagi pria itu untuk
membalas, Picis dengan cepat memutar tubuhnya dan
menarik Hana ke samping, menuju jalur yang lain. Mereka
berlari tanpa berpikir panjang, hanya mengikuti naluri
mereka. Namun, para pria itu sudah siap. Sebuah jeritan keras
terdengar, dan mereka berdua dikepung dalam sekejap.
Picis merasakan tekanan yang kuat di dadanya,
kepanikan yang mulai menguasai dirinya. Namun, dalam satu
detik yang sangat singkat, ia teringat akan sesuatu yang jauh
Negeri Perasaan
100
lebih penting—kapal itu. Mereka harus tetap sampai ke kapal,
apa pun yang terjadi. Itu adalah satu-satunya cara mereka bisa
melarikan diri dari kegelapan yang semakin mengancam
mereka.
"Hana, kita harus melawan mereka. Sekarang!" seru
Picis.
Hana mengangguk, meskipun ketakutan masih terlihat
jelas di wajahnya. Dengan cepat, Picis berbalik, mengambil
langkah cepat, dan melontarkan sebuah pukulan ke arah salah
satu pria yang menghalangi mereka. Pukulan itu tidak
sempurna, tetapi cukup untuk membuat pria itu mundur
beberapa langkah. Tanpa menunggu lebih lama, Picis
menarik Hana lebih jauh, berlari secepat yang mereka bisa.
Namun, mereka masih dikejar.
Para pria itu berteriak, suara mereka bergema di
sepanjang dermaga yang sepi. Namun Picis dan Hana tidak
berhenti. Mereka berlari, melawan rasa lelah dan rasa takut
yang mendera tubuh mereka. Setiap langkah mereka terasa
seperti pertempuran yang tak berkesudahan, tetapi mereka
tidak bisa menyerah.
Akhirnya, mereka tiba di kapal itu. Picis bergegas
menaiki tangga kapal, dengan Hana mengikuti di
Negeri Perasaan
101
belakangnya. Begitu mereka sampai di dek, Picis berbalik,
melihat ke bawah. Para pria itu masih berlari menuju kapal,
tapi kali ini, Picis tidak takut lagi. Ia tahu, jika mereka tidak
bisa mengalahkan ketakutan ini, mereka tidak akan pernah
mencapai tujuan mereka.
Dengan langkah mantap, Picis memasuki kabin kapal
dan menutup pintu dengan cepat. Dia menatap Hana yang
terlihat cemas, tetapi dalam tatapan mata gadis itu, Picis bisa
merasakan sedikit kelegaan. Meskipun mereka belum aman,
setidaknya mereka sudah berada di tempat yang lebih jauh
dari ancaman.
Namun, Picis tahu, ancaman itu masih belum selesai.
Itu baru permulaan.
Negeri Perasaan
102
Negeri Perasaan
103
Kebebasan Dalam Keterbatasan
i atas kapal yang semakin jauh meninggalkan
dermaga, Picis merasakan dunia di sekitarnya terasa
semakin sempit. Kapal itu melaju dengan mantap, tetapi hati
Picis tidak bisa lepas dari bayangan gelap yang mengintai di
balik kabut. Dia tahu, mereka belum aman. Mereka masih
berada dalam bahaya yang lebih besar dari yang bisa mereka
bayangkan.
Selama beberapa jam pertama di kapal, semuanya
tampak tenang. Angin laut yang sejuk dan ombak yang
tenang memberikan rasa sejenak kedamaian. Hana duduk di
sisi Picis, menghadap ke laut dengan mata yang tampak
kosong, seperti sedang mencoba menghilangkan ketakutan
yang masih menghantui dirinya. Picis, di sisi lain, lebih
banyak termenung. Pikiran-pikirannya terus dipenuhi dengan
gambar-gambar kabur tentang pria-pria yang menghalangi
mereka di dermaga, dan ancaman yang mereka lontarkan.
Ada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, yang ingin
menghentikan perjalanan mereka.
Picis tahu itu.
D
Negeri Perasaan
104
Pagi itu, langit yang cerah tiba-tiba berubah mendung.
Angin yang tadinya sepoi-sepoi kini berhembus lebih
kencang. Ada rasa aneh yang muncul di udara, dan Picis bisa
merasakannya. Sesuatu yang buruk sedang terjadi. Suara
derap langkah di atas dek menyadarkannya dari lamunannya.
Ia mengalihkan pandangannya ke pintu kabin yang terbuka,
di mana seorang pria dengan mantel hitam memasuki
ruangan.
Pria itu adalah orang yang mereka hadapi di dermaga
tadi—salah satu dari mereka yang mengancam untuk
menggagalkan perjalanan mereka. Wajahnya masih tertutup
sebagian oleh topi besar, tetapi matanya yang tajam menatap
Picis dengan kebencian yang mendalam.
"Sudah kuduga, kalian akan lari ke sini," kata pria itu
dengan suara datar. "Kalian tidak bisa melarikan diri."
Picis menghela napas dalam-dalam, menatap pria itu
tanpa menunjukkan rasa takut. Ia tahu ini adalah puncak dari
perjalanan mereka—saat di mana mereka harus menghadapi
kegelapan yang telah mereka lawan begitu lama.
"Kenapa kalian terus mengejar kami?" tanya Picis
dengan suara rendah namun tegas. "Apa yang kalian
inginkan?"
Negeri Perasaan
105
Pria itu tersenyum sinis. "Kami hanya melakukan apa
yang perlu dilakukan. Tidak ada yang bisa menghindar dari
takdir mereka. Kalian berdua tidak seharusnya ada di sini.
Tapi jika kalian ingin tahu lebih banyak..." Ia melangkah
maju dengan penuh ancaman, "Kalian akan segera
melihatnya."
Picis merasa ketegangan semakin meningkat. Ia bisa
merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Sebuah
ancaman yang lebih besar datang ke hadapannya. Pria itu
bukan hanya sekadar penjaga kapal, dia adalah bagian dari
sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Hana, yang sejak tadi diam, tiba-tiba memegang tangan
Picis dengan erat. "Kak Picis," katanya dengan suara gemetar,
"apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka tidak mau
melepaskan kita?"
Picis menatap Hana dengan penuh kasih sayang,
mencoba memberi kekuatan meskipun dirinya sendiri merasa
terpojok. "Aku tidak tahu pasti, Hana. Tapi kita harus terus
maju. Ini adalah jalan yang harus kita lalui."
Tiba-tiba, pria itu tertawa keras, seperti mendengar
jawaban Picis yang sangat tidak berarti baginya. "Kalian pikir
Negeri Perasaan
106
kalian bisa pergi begitu saja? Hanya dengan mengarungi
lautan? Tidak semudah itu."
"Sekarang waktunya untuk mengenal lebih dalam apa
yang kalian hadapi," lanjut pria itu dengan nada serius. Ia
melangkah lebih dekat, dan suasana menjadi semakin
mencekam.
Picis mengangkat dagunya, merasa adrenalin semakin
mengalir. "Apa yang kamu inginkan dariku?" Ia berusaha
tetap tegar, meski tubuhnya terasa lelah dan gemetar.
Dengan perlahan, pria itu melepas topinya, dan
wajahnya yang penuh dengan luka dan cacat terlihat. Tidak
ada lagi keraguan tentang siapa dia—pria itu adalah seorang
dari mereka yang telah lama tenggelam dalam kegelapan dan
keputusasaan. Matanya yang penuh kebencian menatap Picis,
seolah-olah dia adalah musuh yang harus dihancurkan.
"Kalian berdua tidak akan pernah mencapai daratan,"
kata pria itu. "Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi.
Lautan ini bukan hanya tentang air dan ombak. Lautan ini
penuh dengan kenangan dan emosi yang telah lama terkubur,
yang sekarang bangkit kembali untuk mengklaim kembali
apa yang mereka anggap milik mereka. Kapal ini, perjalanan
ini, semua yang terjadi—semuanya sudah ditentukan."
Negeri Perasaan
107
Hana menggenggam tangan Picis dengan lebih erat
lagi, matanya tampak penuh kecemasan. "Kak Picis, apa yang
dimaksud dengan itu?"
Picis mengalihkan pandangannya ke laut, mencoba
menemukan jawaban di balik kata-kata pria itu. Sesuatu yang
lebih besar, lebih berbahaya, sedang menunggu mereka.
Mereka bukan hanya berlayar melawan musuh fisik, tapi juga
melawan kekuatan yang jauh lebih sulit dipahami—kekuatan
dari perasaan dan kenangan yang tak terungkapkan.
"Jangan khawatir, Hana," kata Picis dengan suara yang
lebih tenang, meskipun hatinya berdebar. "Kami akan
berhasil. Kita tidak akan membiarkan mereka menghalangi
kita."
Tetapi pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, lebih
menyakitkan. "Kalian sudah melewati batas yang seharusnya
tidak kalian sentuh. Sekarang, lihatlah dunia di sekitar kalian.
Semua yang ada di sini adalah bagian dari kalian. Kegelapan
ini adalah bagian dari kalian sendiri."
Tiba-tiba, kapal itu berguncang keras. Gelombang yang
datang begitu cepat, menyapu bagian bawah kapal dengan
kekuatan yang tak terduga. Picis berpegangan pada railing
kapal, mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Hana berteriak
Negeri Perasaan
108
ketakutan, tetapi Picis tidak bisa berhenti untuk
menenangkan dirinya. Mereka baru saja memasuki wilayah
yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah mereka
duga.
Apa yang terjadi selanjutnya? Akankah mereka mampu
melawan kegelapan yang mengejar mereka? Picis tahu satu
hal: puncak konflik ini baru saja dimulai, dan mereka harus
siap menghadapi segala sesuatu yang akan datang.
Kapal itu berguncang keras, dan angin tiba-tiba bertiup
dengan kencang, membawa suara gemuruh dari jauh.
Gelombang yang datang begitu cepat menghantam kapal,
mengirimkan cipratan air yang memercik ke dek, membuat
semua orang berpegangan erat pada sesuatu untuk
menghindari terjatuh. Picis berusaha untuk tetap berdiri
tegak, meskipun tubuhnya berayun mengikuti arus ombak
yang menggulung. Hana di sampingnya tampak ketakutan,
wajahnya pucat, matanya yang besar penuh kecemasan.
“Apa yang terjadi?” Hana berteriak, suaranya hampir
tenggelam dalam suara badai yang mengamuk di sekitar
mereka.
Negeri Perasaan
109
Picis menggigit bibirnya, merasakan kepanikan yang
semakin meluas di dalam dirinya. Ia melihat sekeliling—
lautan seakan berubah menjadi lebih ganas, lebih
mengancam. Ombak yang tadinya tenang kini berubah
menjadi gelombang besar yang memukul keras kapal.
Seolah-olah seluruh alam semesta bersekongkol untuk
menenggelamkan mereka. Namun yang lebih menakutkan
daripada ombak itu adalah suara-suara yang datang dari
dalam kapal—suara hantu-hantu yang mulai muncul satu per
satu.
“Picis…,” suara Hana terdengar gemetar, “apa yang
harus kita lakukan?”
Picis menatap Hana, mencoba menyembunyikan rasa
takut yang mulai merayap di dalam dirinya. “Kita harus tetap
tenang,” jawabnya dengan tegas. “Badai ini bukan hanya
fisik. Ini adalah ujian bagi kita. Kita harus menjaga kapal ini
tetap bergerak maju, apapun yang terjadi.”
Saat itu, pria yang muncul di dek, yang tadi sempat
menantang mereka, mulai tertawa keras. “Kalian pikir bisa
menghindar dari takdir kalian?” suaranya terdengar lebih
dalam dan lebih mengerikan daripada sebelumnya, tercampur
dengan suara desisan angin dan riuhnya ombak yang terus
Negeri Perasaan
110
mengamuk. “Kalian tidak bisa melarikan diri dari apa yang
sudah kalian pilih.”
Hana mengerjap, bingung. “Apa maksudmu? Kami
hanya berusaha menuju pantai, menuju tempat yang aman.”
Pria itu mengangkat tangan, seolah menyilangkan
jarinya di udara. Tiba-tiba, angin semakin kencang, dan suara
ribut gelombang semakin menakutkan. Hantu-hantu yang
semula tersembunyi mulai muncul di atas dek kapal,
mengelilingi mereka dengan wajah-wajah yang penuh
kebencian. Mata mereka merah menyala, mulut mereka
terbuka dengan taring yang tajam, mengancam untuk
menerkam kapan saja.
“Ini adalah tempat kalian, Picis. Kalian tidak bisa lari
dari masa lalu kalian, dari emosi yang menghantui kalian.
Kami adalah ketakutan, penyesalan, kemarahan yang telah
lama terkubur dalam hati kalian. Kalian tidak akan pernah
bebas,” kata pria itu dengan nada yang penuh dengan
kebencian.
Hantu-hantu itu mulai mendekat, melayang-layang di
sekitar mereka, menunjukkan diri mereka dalam berbagai
bentuk yang mengerikan. Beberapa dari mereka adalah
wajah-wajah familiar dari masa lalu Picis, kenangan yang
Negeri Perasaan
111
pernah ia coba lupakan—kenangan akan kegagalan,
penolakan, dan ketakutan yang selalu mengikutinya.
Sebagian besar dari mereka adalah bentuk-bentuk
emosional—rasa takut akan kegagalan, rasa bersalah yang
tak pernah lepas, keraguan tentang kemampuan diri sendiri.
Hantu-hantu itu mengelilingi Picis dan Hana, memberikan
ancaman yang semakin dekat.
Picis menatap wajah hantu-hantu itu dengan keteguhan
yang semakin kuat. Ia tahu ini adalah ujian yang harus ia
hadapi, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk
Hana yang ada di sampingnya. Hantu-hantu itu mungkin bisa
mengancam mereka, bisa menakut-nakuti mereka, tetapi
mereka tidak bisa menyentuh jiwa mereka.
“Mereka hanya bayangan,” Picis berkata dengan suara
rendah. “Mereka hanya emosi-emosi yang terperangkap di
dalam kita. Mereka tidak bisa menguasai kita jika kita tidak
membiarkan mereka.”
Hana tampak sedikit bingung, tetapi dalam sorot
matanya, Picis bisa melihat ada sedikit keyakinan yang mulai
tumbuh. “Jadi kita tidak bisa membiarkan mereka menguasai
kita?” tanya Hana dengan penuh harap.
Negeri Perasaan
112
Picis mengangguk. “Betul. Mereka hanya akan
semakin kuat jika kita takut. Kita harus tetap berani dan terus
maju.”
Namun, badai di sekitar mereka semakin keras.
Gelombang-gelombang besar menghantam kapal dengan
keras, dan suara angin yang berteriak-teriak mengaburkan
segala sesuatu. Picis merasa ada sesuatu yang lebih besar dari
sekadar badai ini yang mengancam mereka—sesuatu yang
tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi bisa dirasakan dalam
setiap napas dan detak jantung. Sebuah kekuatan yang lahir
dari dalam diri mereka sendiri, dari perasaan-perasaan yang
tidak terungkapkan, dari ketakutan-ketakutan yang
tersembunyi di dalam lubuk hati mereka.
Kapal itu hampir terbalik saat gelombang besar
menyapu sisi kiri kapal. Hana berteriak ketakutan, tetapi Picis
dengan cepat menariknya lebih dekat ke dirinya, berusaha
menjaga keseimbangan meskipun badai semakin ganas.
“Kita harus terus bergerak,” kata Picis dengan suara
yang penuh tekad. “Kita harus menghadapi ini, apa pun yang
datang.”
Pria itu kini sudah mendekat dengan tatapan penuh
kemenangan. “Kalian akan menyerah. Kalian akan terjatuh
Negeri Perasaan
113
ke dalam kegelapan yang sama dengan yang telah lama
menghantui kalian.”
Tapi Picis tidak bisa membiarkan dirinya tunduk pada
ancaman itu. Dalam hati, ia tahu bahwa perjuangan ini lebih
besar dari sekadar bertahan hidup. Ini adalah perjalanan
untuk menghadapi diri mereka sendiri, untuk menerima
semua ketakutan dan emosi yang telah lama terpendam.
Mereka harus menghadapi masa lalu mereka jika ingin
mencapai pantai yang aman.
Hantu-hantu itu mulai mendekat dengan lebih cepat,
dan suara mereka semakin keras, berteriak, menuntut
perhatian. Mereka mencoba untuk menggoyahkan pikiran
Picis, untuk membuatnya meragukan dirinya sendiri. Tetapi
Picis menatap lurus ke depan, menatap langit yang gelap dan
penuh badai.
“Kita tidak akan menyerah,” katanya tegas.
Dengan satu langkah mantap, ia mengarahkan kapal ke
arah yang lebih jelas—menuju daratan yang jauh, menuju
tempat di mana mereka bisa menemukan kedamaian. Hantu-
hantu itu mengerang dengan keras, tetapi meskipun mereka
menakutkan, mereka tidak dapat menghentikan tekad Picis
untuk terus maju.
Negeri Perasaan
114
“Tidak ada yang akan menghentikan kita,” Picis
bergumam. “Tidak ada yang bisa menghentikan perjalanan
kita.”
Dan dengan itu, kapal itu mulai mengarah ke daratan,
meskipun badai masih mengamuk di sekitar mereka. Ombak
terus menghantam kapal, tetapi Picis dan Hana tahu, selama
mereka tidak berhenti berjuang, mereka akan mencapai
tempat yang mereka tuju.
Kapal itu bergoyang hebat, terdorong oleh ombak yang
datang bertubi-tubi. Angin semakin kencang, berdesir seperti
benturan gelombang yang menghempas ke sisi kapal. Hantu-
hantu yang mengelilingi mereka semakin banyak, bentuknya
semakin mengerikan. Wajah-wajah yang penuh kemarahan
dan penyesalan, tangan-tangan yang terulur menuju Picis dan
Hana seakan ingin menarik mereka ke dalam lautan. Suara
teriakan dan gertakan mereka memenuhi udara, menambah
kegelisahan yang semakin besar.
Picis menggenggam kemudi dengan kuat, matanya
tertuju pada Tepi langit yang semakin gelap. Setiap tarikan
napasnya terasa berat, seolah lautan ini menuntutnya untuk
Negeri Perasaan
115
menyerah. Tetapi dalam hatinya, dia tahu dia tidak bisa
mundur. Tidak ada lagi pilihan selain maju.
“Hana!” Picis berteriak, suaranya tenggelam dalam
raungan badai. “Kita harus tetap fokus! Jangan biarkan
mereka menguasai kita!”
Hana yang terhuyung-huyung di sampingnya
mengangguk meskipun wajahnya pucat. “Aku… aku takut,”
jawabnya dengan suara gemetar.
“Takut itu wajar,” Picis berkata tegas, menatap Hana
dengan mata penuh semangat. “Tapi kita harus
menghadapinya. Semua ini adalah bagian dari kita. Hantu-
hantu itu tidak bisa menguasai kita jika kita tidak
membiarkan mereka. Mereka hanya datang untuk
menggoyahkan kita.”
Tetapi hantu-hantu itu semakin mendekat, semakin
menakutkan. Wajah-wajah yang pernah familiar dalam hidup
Picis kini muncul satu per satu, membawa kenangan kelam
yang pernah dia coba lupakan. Wajah ibunya yang penuh
harapan, ayahnya yang penuh rasa kecewa, teman-teman
yang meninggalkannya—semua muncul dengan pandangan
yang seolah menyalahkan dirinya. Hantu-hantu itu berteriak-
teriak, berusaha menanamkan rasa bersalah yang mendalam.
Negeri Perasaan
116
“Mengapa kamu pergi?” suara ibunya terdengar di
telinga Picis. “Mengapa kamu meninggalkan kami begitu
saja?”
“Hidupmu hanya berisi kegagalan, Picis!” suara
ayahnya ikut bergema, menambah rasa sakit yang sudah lama
terpendam.
Picis menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak
tenggelam dalam suara-suara itu. “Aku tidak bisa lagi
membiarkan kalian mengendalikan hidupku,” desisnya, suara
terdengar berat, penuh perlawanan.
Di sisi lain, Hana juga menghadapi hantunya sendiri—
wajah teman-teman yang meninggalkannya, kesepian yang
menghantui setiap langkahnya, rasa tidak pernah cukup.
Wajah-wajah itu terus berputar di sekitar mereka, menambah
rasa takut yang semakin meluas.
“Aku tidak ingin takut lagi!” seru Hana, hampir
menangis.
“Tentu kamu tidak ingin takut,” Picis berkata sambil
menatap Hana dengan penuh keyakinan. “Kita tidak perlu
melawan ketakutan itu. Kita hanya perlu menerima mereka,
memberi mereka tempat tanpa membiarkan mereka
Negeri Perasaan
117
mengambil alih kita. Kita harus tetap fokus pada apa yang
kita inginkan.”
Gelombang-gelombang besar semakin menghantam
kapal, beberapa bagian dek hampir tenggelam. Ombak yang
datang sangat besar, dengan angin yang semakin kencang,
memaksakan Picis dan Hana untuk bertahan hidup. Tetapi
mereka tidak bisa membiarkan badai ini menguasai mereka.
Ini adalah ujian terbesar dalam hidup mereka, sebuah ujian
yang mengharuskan mereka untuk menghadapi ketakutan
dan emosi yang telah lama terkubur.
“Tetap tenang, Hana!” Picis berteriak. “Kita harus terus
mengarahkan kapal ini ke daratan! Jangan biarkan mereka
menarik kita ke dalam kegelapan!”
Di sekitar mereka, hantu-hantu itu semakin menjadi
semakin nyata—beberapa menyerang dengan cakar-cakar
tajam, mencoba menggigit mereka. Namun, setiap kali Picis
dan Hana mencoba menghadapi mereka, mereka tahu bahwa
mereka tidak bisa mengalahkan hantu-hantu itu. Yang bisa
mereka lakukan adalah menerima kehadiran mereka tanpa
takut. Mereka harus berani melangkah meskipun ketakutan
terus berteriak dalam hati mereka.
Negeri Perasaan
118
“Aku tidak bisa, Picis! Aku takut!” Hana terisak,
terjatuh ke lututnya di dek kapal. “Aku tidak tahu apakah aku
sanggup!”
Picis, meski merasa lelah dan hampir kehabisan tenaga,
menunduk dan berusaha untuk membantu Hana bangkit.
“Kita semua punya rasa takut. Kita semua punya keraguan.
Tapi yang membuat kita berbeda adalah apa yang kita pilih
untuk lakukan dengan itu. Kita bisa terus melangkah
meskipun ketakutan itu ada. Itu bukan tentang mengalahkan
mereka, tetapi tentang memilih untuk terus maju meski
mereka ada di sekitar kita.”
Picis menarik Hana kembali ke sampingnya dan
menggenggam kemudi dengan lebih kuat. Kapal itu hampir
terbalik, tetapi Picis dan Hana tidak menyerah. Hantu-hantu
yang mengelilingi mereka tidak lagi menakutkan. Semakin
mereka menerima kehadiran hantu-hantu itu, semakin
mereka merasakan kekuatan mereka untuk tetap bertahan.
Gelombang besar sekali lagi menghantam sisi kapal,
tetapi kali ini Picis tidak ragu. Ia mengarahkan kapal ke arah
yang benar, melewati badai yang semakin kuat. Hantu-hantu
itu mengerang, berusaha menarik mereka kembali, tetapi
mereka tidak bisa lagi menakutkan Picis. Mereka hanya bisa
Negeri Perasaan
119
melolong di sekitar mereka, tanpa kuasa untuk menghentikan
perjalanan mereka.
“Tunggu,” Hana berbisik, matanya yang basah dengan
air mata kini tampak lebih tenang. “Kita hampir sampai.”
Picis melihat ke depan, ke arah pantai yang sudah mulai
tampak di kejauhan. Daratan itu, meski masih jauh, kini
menjadi tujuan yang lebih nyata daripada sebelumnya.
Hantu-hantu itu semakin menghilang seiring dengan
kemajuan kapal. Mereka hanya bisa berteriak dan melambai-
lambaikan tangan mereka, tetapi mereka tidak bisa lagi
menghentikan Picis dan Hana.
“Aku bisa merasakannya,” kata Picis, matanya yang
penuh keyakinan kini bersinar. “Kita akan sampai. Kita akan
menghadapi semua ini dan menemukan kedamaian.”
Dengan hati yang penuh harapan, Picis dan Hana terus
mengemudikan kapal menuju daratan. Ombak semakin
tenang, angin mulai mereda. Hantu-hantu itu mulai
menghilang satu per satu, dan meskipun ada beberapa yang
masih berputar di sekitar mereka, kini mereka tidak
menakutkan. Perjalanan mereka hampir selesai, dan mereka
tahu bahwa mereka sudah berhasil melewati ujian terbesar
Negeri Perasaan
120
dalam hidup mereka—menerima ketakutan dan emosi, dan
terus bergerak maju.
Akhirnya, kapal itu mulai merapat ke pantai yang
tampak semakin jelas di kejauhan. Daratan yang sebelumnya
tampak jauh dan tak terjangkau kini berada di depan mata.
Ombak yang sebelumnya mengamuk kini mulai mereda, dan
angin yang mengamuk mulai berubah menjadi hembusan
yang lembut. Meski hantu-hantu itu masih mengelilingi
mereka, semakin sedikit jumlahnya. Satu per satu, mereka
mulai memudar, menghilang, tak lagi mampu menghalangi
perjalanan mereka. Picis dan Hana berdiri di atas dek,
memandangi garis pantai yang semakin dekat, dan rasanya
seperti beban besar di hati mereka perlahan-lahan mulai
terangkat.
"Kita... hampir sampai," kata Hana dengan suara yang
hampir tidak terdengar, matanya penuh dengan kelegaan.
Tangan yang sebelumnya gemetar kini tampak lebih tenang,
dan meskipun masih ada ketakutan yang menggerayangi, dia
merasakan sebuah harapan yang baru tumbuh dalam dirinya.
Picis menatap daratan yang semakin jelas, merasakan
getaran kekuatan yang datang dari dalam dirinya. "Kita sudah
Negeri Perasaan
121
melewati ini bersama," ujarnya dengan suara penuh
keyakinan. "Kita tidak menyerah pada ketakutan. Kita
memilih untuk tetap maju, meski kita tahu hantu-hantu itu ada
di sekitar kita."
Setiap langkah mereka, setiap tarikan napas yang
mereka ambil, kini terasa lebih ringan. Hantu-hantu yang
sebelumnya mengelilingi mereka seakan tak berdaya
menghadapi tekad mereka. Setiap kenangan buruk, setiap
rasa takut, dan setiap perasaan bersalah yang pernah mereka
bawa kini terasa semakin jauh, seakan mereka sedang
meninggalkan semuanya di belakang. Meskipun hantu-hantu
itu berusaha untuk kembali, mereka kini tahu bahwa mereka
tidak bisa lagi menghalangi langkah mereka.
Di sekitar mereka, suasana menjadi lebih tenang.
Gelombang-gelombang besar yang sebelumnya menghantam
kapal kini berangsur-angsur menghilang, berganti dengan
riak-riak kecil yang menyentuh sisi kapal. Para hantu yang
tersisa kini mulai mereda, dan meskipun mereka masih
terlihat, mereka tidak lagi memiliki kekuatan yang sama
seperti sebelumnya. Mereka hanya bisa melayang di sekitar
kapal, menggertakkan gigi, tetapi tidak dapat lagi menyentuh
Picis atau Hana.
Negeri Perasaan
122
“Aku merasa... lega,” Hana berbisik, matanya yang
penuh harapan kini bersinar. “Aku tidak tahu bagaimana kita
bisa sampai ke sini, tapi rasanya seperti kita sudah berhasil
menaklukkan sesuatu yang sangat besar dalam diri kita.”
Picis tersenyum, meski tubuhnya masih terasa lelah dan
hati mereka penuh dengan perasaan campur aduk. "Ini bukan
akhir," katanya dengan suara lembut. "Kita hanya baru saja
mulai. Tapi kita sudah menunjukkan bahwa kita bisa
bertahan. Hantu-hantu itu tidak bisa menghalangi kita."
Hana mengangguk, matanya kini lebih cerah. "Kita
tidak perlu menaklukkan mereka. Kita hanya perlu
mengizinkan mereka ada, tanpa membiarkan mereka
menguasai hidup kita. Mereka mungkin akan datang lagi, tapi
kita tahu apa yang harus kita lakukan."
Dengan setiap detik yang berlalu, kapal semakin dekat
dengan pantai, dan hantu-hantu itu mulai menghilang
sepenuhnya. Semua suara yang sebelumnya mengerikan kini
berubah menjadi bisikan jauh yang semakin memudar. Picis
dan Hana tahu bahwa ini adalah momen pembebasan mereka.
Mereka telah memilih untuk menerima ketakutan, emosi
negatif, dan masa lalu mereka tanpa membiarkan itu
menghalangi jalan mereka.
Negeri Perasaan
123
Ketika akhirnya kapal itu merapat ke pantai, Picis dan
Hana menginjakkan kaki mereka di pasir yang lembut, rasa
lega yang luar biasa memenuhi diri mereka. Mereka telah
berhasil mencapai tujuan mereka, bukan hanya fisik, tetapi
juga emosional dan mental. Daratan itu, yang dulu tampak
jauh dan penuh dengan ketidakpastian, kini terasa penuh
dengan potensi dan kemungkinan. Mereka telah
membuktikan bahwa mereka bisa mengatasi badai, meskipun
badai itu datang dari dalam diri mereka sendiri.
Picis menatap Hana, matanya penuh dengan rasa
syukur. "Kita tidak bisa mengendalikan hantu-hantu itu, tapi
kita bisa mengendalikan bagaimana kita meresponsnya,"
katanya. "Itulah yang membuat kita bebas."
Hana tersenyum, air mata yang semula mengalir kini
mengering. "Kita sudah bebas," jawabnya dengan suara
penuh keyakinan. "Bukan hanya dari lautan, tetapi juga dari
diri kita yang lama. Kita kini tahu bahwa kita bisa
menghadapi apa pun yang datang."
Kedua sahabat itu berdiri bersama di pantai, saling
berpandangan dengan penuh pemahaman. Mereka telah
melalui perjalanan yang sangat berat, tetapi sekarang mereka
merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Negeri Perasaan
124
Meskipun mereka tahu bahwa hantu-hantu dan ketakutan
mungkin akan kembali suatu saat nanti, mereka juga tahu
bahwa mereka kini memiliki kekuatan untuk menghadapinya.
Mereka tidak lagi takut.
Perlahan, angin yang semula kencang kini mulai
mereda, dan langit yang gelap mulai tersingkap oleh cahaya
fajar yang perlahan menyelimuti seluruh alam. Itu adalah
awal dari babak baru dalam hidup mereka, dan mereka tahu
bahwa meskipun perjalanan ini tidak akan selalu mudah,
mereka memiliki satu sama lain dan kekuatan yang baru
ditemukan untuk terus maju.
Akhirnya, mereka berdiri di pantai, menghadapi dunia
yang penuh dengan kemungkinan, bebas dari belenggu
ketakutan yang dulu menghalangi mereka. Mereka tahu
bahwa mereka telah memenangkan pertempuran terbesar
dalam hidup mereka—bukan dengan mengalahkan hantu-
hantu itu, tetapi dengan menerima dan memilih untuk terus
maju, apapun yang terjadi.
Dengan langkah penuh keyakinan, Picis dan Hana
melangkah maju menuju masa depan mereka, siap untuk
menjelajahi daratan baru yang penuh dengan harapan,
pertumbuhan, dan kebebasan.
Negeri Perasaan
125
Setelah kapal merapat di pantai, Picis dan Hana berdiri
bersama, menatap Tepi langit yang terbentang luas di depan
mereka. Angin laut yang sejuk menyapu wajah mereka,
membawa aroma segar yang menenangkan. Meskipun
mereka baru saja mencapai daratan yang mereka tuju, ada
perasaan yang mendalam dalam diri mereka berdua—sebuah
pemahaman baru tentang perjalanan yang telah mereka
tempuh dan perjuangan yang telah mereka lewati.
"Apakah kamu merasa seperti aku?" tanya Hana,
suaranya lembut, tetapi ada kelegaan yang jelas terdengar di
sana. "Seperti kita baru saja melewati sesuatu yang sangat
besar dalam diri kita?"
Picis mengangguk perlahan. "Ya," jawabnya, matanya
menatap jauh ke depan, menembus Tepi langit yang tak
terbatas. "Aku merasa seperti aku baru saja meninggalkan
beban berat. Semua ketakutan, kecemasan, dan perasaan
bersalah yang selama ini menggerogoti kita... mereka masih
ada, tapi mereka tidak lagi mengendalikan kita."
Mereka berdiri dalam keheningan sesaat, masing-
masing merenungkan kata-kata itu. Di depan mereka, daratan
yang dulu tampak seperti tujuan yang jauh kini terasa seperti
rumah baru yang penuh dengan kemungkinan. Namun,
Negeri Perasaan
126
meskipun mereka sudah sampai di sini, perasaan campur
aduk tetap mengisi dada mereka.
"Ketika kita mulai berlayar menuju daratan, hantu-
hantu itu masih mengelilingi kita, menggertak dan
mengancam," lanjut Picis, suara sedikit tergetar, "Tapi
sekarang... mereka sudah mulai menghilang, atau mungkin
kita yang telah belajar bagaimana menghadapinya."
Hana mengangguk, matanya yang tadinya penuh
kecemasan kini tampak lebih terang. "Kita belajar untuk tidak
takut lagi," katanya dengan penuh keyakinan. "Mereka hanya
ada dalam pikiran kita. Kita tidak bisa menyingkirkan mereka
begitu saja, tapi kita bisa memilih untuk tidak membiarkan
mereka menghalangi langkah kita."
Picis memandang sahabatnya, merasa sebuah perasaan
yang sangat kuat mengalir dalam dirinya. Mereka berdua
telah melewati perjalanan panjang yang penuh dengan
rintangan dan perasaan yang mengguncang. Namun, di
tengah segala ketakutan dan kebingungannya, mereka telah
menemukan kekuatan dalam diri mereka untuk terus maju.
"Menyerah kepada ketakutan dan kekhawatiran kita
tidak akan pernah membawa kita ke tempat yang lebih baik,"
Picis berkata perlahan, merenung. "Mungkin kita tidak bisa
Negeri Perasaan
127
mengontrol apa yang muncul dalam pikiran kita, tapi kita bisa
mengontrol bagaimana kita bereaksi terhadapnya."
Hana tersenyum, penuh pengertian. "Dan kita memilih
untuk terus maju. Tidak peduli betapa beratnya. Tidak peduli
berapa banyak hantu yang berusaha menghalangi."
Picis menoleh ke arah laut yang luas, perasaan lega dan
kebebasan mengalir dalam dirinya. "Aku merasa seperti kita
baru saja melepaskan diriku dari beban yang selama ini
mengikatku," katanya. "Seperti kita benar-benar mulai
belajar untuk hidup dengan perasaan kita, bukan melawan
mereka."
"Benar," jawab Hana, kini penuh dengan kedamaian.
"Hantu-hantu itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tapi
kita tidak perlu membiarkan mereka menguasai kita. Mereka
hanya datang dan pergi, dan kita bisa memilih untuk tidak
terjebak di dalamnya."
Dengan langkah yang lebih mantap, mereka mulai
berjalan ke arah daratan. Meskipun masih ada perasaan
cemas dan takut yang tersisa dalam diri mereka, mereka tahu
bahwa mereka telah mengambil langkah besar menuju
kebebasan emosional dan mental. Mereka kini memahami
bahwa hidup tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari rasa
Negeri Perasaan
128
takut, kecemasan, atau kenangan buruk, tetapi mereka juga
tahu bahwa mereka memiliki kekuatan untuk
menghadapinya.
"Ini bukan akhir dari perjalanan kita," Picis berkata,
suaranya penuh keyakinan. "Kita baru saja mulai memahami
cara kita menghadapi hidup, cara kita mengendalikan diri kita
sendiri di tengah badai yang datang."
Hana tersenyum lebar, matanya memandang jauh ke
depan. "Dan kita tahu, apa pun yang datang, kita bisa
menghadapinya bersama. Kita tidak sendirian dalam
perjalanan ini."
Dengan semangat baru yang tumbuh di dalam hati
mereka, Picis dan Hana melangkah maju, siap untuk
menghadapi dunia baru yang terbentang di depan mereka.
Mereka telah belajar bahwa meskipun dunia luar penuh
dengan ketidakpastian dan tantangan, yang terpenting adalah
bagaimana mereka menghadapi dan meresponsnya.
Keduanya tahu, bahwa perjalanan ini bukanlah tentang
menghindari kesulitan, tetapi tentang belajar bagaimana
menghadapinya dengan hati yang penuh keberanian dan
pikiran yang jernih.
Negeri Perasaan
129
Dan meskipun mereka tahu bahwa masih ada banyak
hantu yang akan datang, mereka kini merasa lebih siap untuk
menghadapi semuanya. Dengan satu sama lain di sisi mereka
dan kekuatan yang mereka temukan dalam diri mereka,
mereka tahu bahwa tidak ada yang terlalu besar untuk
dihadapi.
"Semua ini hanya awal," kata Picis dengan senyum
yang penuh arti. "Kita akan terus berlayar, terus maju. Karena
kita tahu, meskipun hantu-hantu itu ada, kita yang memilih
untuk tidak terjebak dalam ketakutan mereka."
Hana tersenyum, mengangguk dengan penuh
keyakinan. "Kita sudah bebas," jawabnya. "Sekarang, kita
bisa benar-benar mulai hidup."
Dengan langkah penuh semangat, mereka berjalan ke
daratan, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang—
tanpa rasa takut, tanpa keraguan, dan tanpa hantu-hantu yang
menghalangi. Mereka tahu bahwa hidup ini adalah perjalanan
yang penuh dengan tantangan, tetapi mereka sudah siap untuk
menghadapinya.
Saat Picis dan Hana melangkah lebih jauh ke daratan,
perasaan mereka semakin ringan. Mereka telah melewati
Negeri Perasaan
130
badai ketakutan yang menghantui mereka selama ini, dan kini
daratan yang penuh kemungkinan tampak lebih nyata
daripada sebelumnya. Langit yang cerah, udara yang segar,
dan pemandangan yang tak terbatas memberikan perasaan
kebebasan yang luar biasa. Tetapi, seperti halnya dalam
perjalanan panjang lainnya, dunia ini memiliki cara tersendiri
untuk menguji mereka.
Mereka berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya
mengikuti langkah mereka yang semakin mantap. Namun,
tiba-tiba, di tengah perjalanan, mereka merasakan perubahan
yang aneh di sekitar mereka. Tanah di bawah kaki mereka
terasa sedikit bergoyang, dan udara mulai terasa lebih tebal,
seolah-olah ada sesuatu yang sedang menyelubungi mereka.
"Apakah kamu merasakannya?" tanya Hana, matanya
sedikit terpejam, berusaha merasakan perubahan itu dengan
lebih jelas.
Picis mengangguk, matanya waspada. "Ada sesuatu
yang tidak beres," katanya. "Kita harus berhati-hati."
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh
atau menilai situasi dengan lebih baik, sebuah suara
menggelegar terdengar dari kejauhan. Suara itu datang
dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tanah bergetar di
Negeri Perasaan
131
bawah kaki mereka. Kedua sahabat itu berhenti dan saling
berpandangan, rasa penasaran dan kecemasan bercampur.
Dari kejauhan, muncul sosok besar yang berjalan
perlahan menuju mereka. Sosok itu tampak seperti sebuah
bayangan besar yang tak jelas bentuknya, namun aura yang
dipancarkannya membuat Picis dan Hana merasa seperti
mereka sedang dihadapkan pada sesuatu yang jauh lebih
besar daripada apa yang bisa mereka bayangkan.
Hana menelan ludahnya. "Apa itu?" tanyanya dengan
suara gemetar.
Picis tidak menjawab segera. Matanya terpaku pada
bayangan itu yang semakin mendekat. Rasanya, saat itu dunia
seakan berhenti berputar, dan waktu terasa melambat. Sosok
itu bergerak semakin dekat, hingga akhirnya bentuknya mulai
terlihat jelas. Ternyata, itu bukanlah makhluk yang
mengerikan seperti yang mereka bayangkan, melainkan
sebuah entitas yang besar, dengan tubuh yang transparan dan
wajah yang penuh dengan kesedihan.
"Hanya karena kita sampai di daratan, bukan berarti
perjalanan kita sudah berakhir," suara itu terdengar seperti
gemericik air, lembut namun penuh kehadiran. "Kalian
Negeri Perasaan
132
mungkin sudah berhasil melewati banyak hantu, tetapi ada
yang lebih besar yang menanti."
Picis dan Hana terkejut. Sosok besar itu bukanlah
ancaman fisik, tetapi lebih menyerupai sesuatu yang lebih
abstrak—sesuatu yang terhubung langsung dengan mereka
berdua. Rasa takut yang sebelumnya mereka rasakan mulai
kembali muncul, meskipun mereka tahu, di dalam diri
mereka, bahwa mereka telah tumbuh.
"Siapa kamu?" tanya Picis dengan tegas, meskipun
suaranya sedikit bergetar.
"Aku adalah bayangan dari setiap perasaan yang belum
kalian hadapi," suara itu menjawab. "Setiap ketakutan yang
tidak kalian ungkapkan, setiap rasa cemas yang kalian
sembunyikan, setiap kenangan buruk yang tidak kalian
lepaskan. Aku adalah bagian dari kalian yang belum kalian
terima."
Hana menatap dengan penuh kebingungan. "Tapi...
kami sudah melewati banyak hal," kata Hana dengan suara
yang terdengar ragu. "Kami sudah belajar untuk menerima
hantu-hantu itu. Kenapa ini masih datang?"
Bayangan itu menggelengkan kepalanya perlahan.
"Kalian memang telah berlayar melewati lautan ketakutan,
Negeri Perasaan
133
tetapi ada bagian dari diri kalian yang masih terjebak di sana.
Setiap keputusan yang kalian buat, setiap langkah yang kalian
ambil, masih ada bagian dari kalian yang ingin kembali ke
lautan itu."
Picis menundukkan kepala, mencoba memahami kata-
kata itu. "Apakah maksudmu, kami belum benar-benar
bebas?" tanyanya.
"Benar," jawab sosok itu dengan lembut. "Bebas
bukanlah tentang menghindari atau menyingkirkan ketakutan
dan perasaan negatif. Kebebasan sejati datang ketika kalian
bisa berdamai dengan semua bagian dari diri kalian—
termasuk yang paling gelap sekalipun. Jika kalian terus
berusaha melawan atau menyingkirkan bagian-bagian itu,
kalian akan terus terperangkap dalam putaran yang sama."
Hana dan Picis terdiam, merenung. Perjalanan yang
mereka lalui memang telah membawa mereka ke daratan,
namun sekarang mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa
kebebasan yang mereka cari tidak datang dengan cara yang
mudah. Mereka harus menghadapi bagian-bagian dari diri
mereka yang belum pernah mereka terima.
Negeri Perasaan
134
"Jadi, apa yang harus kami lakukan?" tanya Hana
dengan suara yang lebih tenang. "Apakah ini berarti kami
harus kembali ke lautan itu?"
Sosok besar itu tersenyum samar, meskipun wajahnya
tetap terlihat penuh dengan kedukaan. "Tidak, kalian tidak
perlu kembali ke lautan itu. Kalian hanya perlu berhenti
melarikan diri dari ketakutan dan kecemasan yang ada.
Terimalah mereka, biarkan mereka menjadi bagian dari
perjalanan kalian. Kalian akan mengetahui bahwa saat kalian
berhenti melawan, saat kalian membiarkan diri kalian
merasakannya, kalian akan mulai menemukan kedamaian
sejati."
Picis dan Hana saling berpandangan, dan meskipun
perasaan takut dan cemas kembali muncul, mereka
menyadari bahwa ini adalah bagian penting dari proses
mereka. Tidak ada jalan pintas untuk kebebasan sejati.
Mereka harus menerima bahwa perasaan-Perasaan Tersebut
Akan Selalu Ada, Tetapi Mereka Tidak Perlu Mengizinkan
Perasaan Itu Untuk Menguasai Mereka.
Dengan Perlahan, Mereka Melangkah Maju, Tidak
Lagi Berusaha Menghindari Perasaan Yang Muncul Dalam
Diri Mereka. Mereka Tahu, Hanya Dengan Menghadapi Dan
Negeri Perasaan
135
Menerima Setiap Perasaan—Baik Yang Gelap Maupun Yang
Terang—Mereka Akan Mampu Menemukan Kedamaian
Yang Sejati. Dunia Ini Tidak Akan Pernah Bebas Dari
Tantangan, Tetapi Mereka Sekarang Tahu Bagaimana
Menghadapinya Tanpa Takut.
Saat Sosok Itu Menghilang, Picis Dan Hana Berdiri Di
Sana, Merasa Lebih Kuat Dari Sebelumnya. Mereka Belum
Sepenuhnya Bebas Dari Segala Kecemasan, Tetapi Mereka
Telah Melangkah Lebih Jauh Dalam Perjalanan Menuju
Kebebasan Emosional. Perasaan Itu Bukanlah Musuh Yang
Harus Mereka Hindari, Melainkan Guru Yang Mengajarkan
Mereka Untuk Hidup Lebih Penuh Dan Lebih Sadar.
Dan Dengan Itu, Mereka Melanjutkan Perjalanan
Mereka, Tak Lagi Terjebak Oleh Bayangan Yang Menghantui
Mereka, Melainkan Terbuka Pada Segala Kemungkinan Yang
Ada Di Depan.
Negeri Perasaan
136
Negeri Perasaan
137
Keberanian Dalam Kegelapan
etelah perjalanan panjang yang penuh tantangan dan
penemuan, Picis dan Hana akhirnya tiba di sebuah titik
yang penuh dengan ketenangan. Daratan yang mereka tuju
bukanlah tempat yang jauh, penuh dengan peradaban atau
kebahagiaan instan, seperti yang mereka bayangkan.
Sebaliknya, daratan itu hanyalah sebuah tempat yang penuh
dengan kemungkinan, tempat di mana mereka bisa memulai
babak baru dalam hidup mereka. Namun, perjalanan mereka
menuju daratan itu ternyata jauh lebih rumit daripada yang
mereka kira.
Saat mereka mulai menjelajah daratan itu, rasa
kelegaan yang mereka rasakan sebelumnya mulai bergeser
menjadi rasa cemas yang baru. Mereka berdiri di sana, di
bawah langit yang cerah, namun perasaan mereka berombak
seperti ombak yang menghempas pantai. Ketenangan yang
mereka harapkan, ternyata hanya permukaan dari lapisan
perasaan yang lebih dalam.
Hana menatap Picis dengan raut wajah yang penuh
pertanyaan. "Jadi, ini dia? Begitu saja?" katanya, dengan
nada yang agak terkejut. "Aku kira kita akan menemukan
S
Negeri Perasaan
138
sesuatu yang lebih... dramatis, lebih epik, atau setidaknya
lebih berwarna!"
Picis tersenyum, meskipun ada kekhawatiran yang
terpendam di matanya. "Aku juga berpikir begitu," jawabnya.
"Aku kira setelah kita melewati hantu-hantu itu, kita akan
menemukan sesuatu yang lebih luar biasa. Tapi, yang ada
justru dunia yang sangat biasa. Aku rasa ini yang disebut
hidup setelah badai."
Hana tertawa ringan. "Jadi, hidup itu seperti pelayaran
panjang, dan apa yang kita cari itu ternyata bukanlah tujuan,
melainkan cara kita melihat laut?" katanya, mencoba
mengutip kata-kata bijak yang terngiang di pikirannya.
Picis mengangguk, meskipun ia merasa sedikit
bingung. "Mungkin. Tapi bukankah itu aneh? Kita
menghabiskan seluruh waktu untuk melarikan diri dari lautan
itu, berharap bahwa daratan yang jauh lebih baik akan
memberikan kita sesuatu yang luar biasa. Padahal, yang kita
temui hanyalah tempat yang biasa-biasa saja. Kadang-
kadang, apa yang kita cari sebenarnya sudah ada di depan
mata kita, tapi kita terlalu sibuk mencari hal yang lebih
besar."
Negeri Perasaan
139
Hana tertawa lagi, sedikit tertarik dengan paradoks
yang baru saja mereka temui. "Aneh, ya. Kita lari dari hantu-
hantu itu, berharap kebebasan dan kedamaian, tapi malah
bertemu dengan kenyataan yang jauh lebih membingungkan.
Jadi, mungkin kita harus berhenti mencari kebahagiaan, dan
justru menemukannya di tempat yang tak terduga? Atau
mungkin... kita malah harus mencari hantu-hantu itu lagi,
supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita inginkan?"
Picis mengernyitkan dahi, merasa bingung oleh
perkataan Hana, yang terdengar seperti teka-teki yang tak ada
jawabannya. "Aku rasa... kita mungkin baru saja menemukan
paradoks kehidupan yang sesungguhnya," jawabnya dengan
senyum nakal. "Kita menghindari ketakutan untuk mencari
kebebasan, tetapi ternyata kebebasan itu bukanlah tempat
yang kita tuju, melainkan cara kita menghadapi ketakutan itu.
Dan sekarang kita di sini, di tempat yang kita anggap sebagai
tujuan akhir, tapi malah harus menghadapi kenyataan bahwa
tidak ada tujuan yang pasti, hanya perjalanan tanpa akhir."
Hana mengangguk dengan serius, namun senyum di
wajahnya tidak bisa disembunyikan. "Jadi, kita lari dari
hantu-hantu itu, berharap menemukan kedamaian, tetapi apa
yang kita temui adalah kenyataan bahwa kedamaian itu tidak
Negeri Perasaan
140
ada di luar kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Ke mana
pun kita pergi, kita hanya membawa diri kita bersama."
"Betul!" jawab Picis sambil tertawa. "Dan mungkin,
yang kita butuhkan bukanlah untuk mencapai tujuan, tetapi
untuk terus berlayar meskipun kita tahu, tujuan itu tidak
pernah benar-benar ada."
Mereka berdiri di sana, memandang luasnya daratan
yang terbentang di hadapan mereka, menyadari bahwa tujuan
mereka tidak lagi terletak pada pencapaian luar, melainkan
pada perjalanan itu sendiri—pada cara mereka menjalani
hidup dengan kesadaran dan keberanian untuk menghadapi
segala ketakutan, kecemasan, dan kenyataan yang datang.
"Mungkin kita sudah sampai di daratan," kata Hana
dengan ringan, "tapi aku rasa perjalanan kita baru saja
dimulai."
Picis tersenyum, menatap Hana dengan penuh
pengertian. "Aku rasa ini adalah paradoks terbaik yang
pernah kita temui," ujarnya. "Bahwa kita harus berhenti
mencari, untuk bisa menemukan. Dan dengan begitu, kita
akan menemukan kedamaian, bukan di tujuan kita, tetapi
dalam cara kita menjalani perjalanan itu sendiri."
Negeri Perasaan
141
Setelah melalui perjalanan panjang, Picis dan Hana
akhirnya mulai menerima kenyataan bahwa perjalanan
mereka bukanlah sekadar tentang mencapai daratan atau
menghindari hantu-hantu yang mengancam. Pada titik ini,
mereka sadar bahwa apa yang sebenarnya mereka cari adalah
penerimaan terhadap ketidakpastian yang tak terhindarkan
dalam hidup.
Kehidupan, seperti lautan yang luas, tidak selalu
memberikan kepastian. Banyak hal yang tidak dapat mereka
kontrol, seperti arah angin, ombak yang datang tiba-tiba, atau
bahkan kapal yang mereka tumpangi yang kadang
berguncang hebat. Begitu pula dalam hidup, mereka tidak
bisa mengontrol segala sesuatu, dan terkadang, tidak ada
jawaban pasti atas segala masalah yang dihadapi. Namun, hal
itu bukan berarti mereka harus berhenti bergerak maju.
"Saat kita berlayar di lautan ini," kata Picis, sambil
melihat ke Tepi langit yang tak berujung, "kita selalu
berharap menemukan tempat yang aman, tempat di mana kita
bisa beristirahat tanpa rasa takut. Tapi, mungkin
kenyataannya adalah, kita tidak pernah benar-benar
menemukan tempat yang aman. Kita hanya perlu belajar
Negeri Perasaan
142
untuk menerima ketidakpastian, dan terus melaju meskipun
kita tidak tahu apa yang ada di depan."
Hana memandang Picis dengan tatapan yang penuh
arti. "Jadi, kita harus berhenti mencari tempat yang sempurna,
dan justru belajar untuk menerima tempat yang kita hadapi
sekarang, meskipun itu tidak selalu sesuai dengan harapan
kita?"
Picis mengangguk perlahan. "Ya, seperti laut ini. Kita
tidak tahu apa yang akan datang. Mungkin ada badai besar di
depan, atau mungkin ombak tenang yang membawa kita ke
tujuan kita. Yang penting adalah kita terus mengemudikan
kapal kita, meskipun ketidakpastian itu ada. Kita tidak bisa
menghindarinya, tapi kita bisa memilih untuk
menghadapinya dengan ketenangan."
Hana tersenyum. "Sepertinya itu adalah pelajaran yang
sangat berharga. Kita tidak perlu menghindari rasa takut atau
ketidakpastian. Kita hanya perlu menerima mereka, dan
melangkah maju."
Namun, dalam hati mereka, masih ada rasa ragu yang
mengganjal. Meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini
akan penuh dengan ketidakpastian, mereka tetap merasa
terombang-ambing. Mereka tidak bisa mengabaikan perasaan
Negeri Perasaan
143
takut akan kegagalan, kesalahan, atau penolakan yang bisa
saja datang di sepanjang jalan. Hantu-hantu yang mereka
tinggalkan di lautan kadang-kadang masih berbisik, mencoba
untuk kembali, menggoda mereka untuk kembali ke zona
yang lebih aman—meskipun itu adalah zona yang tidak
membawa kebahagiaan.
"Rasanya seperti kita berusaha mencari sesuatu yang
tidak akan pernah ada," kata Hana, melirik ke Picis dengan
ekspresi yang penuh pertanyaan. "Seperti kita mengejar
bayangan yang tidak pernah bisa kita pegang."
Picis menghela napas dan menatap ke langit yang luas.
"Terkadang, kita memang terjebak dalam pencPicisn tanpa
akhir. Tapi aku mulai sadar, Hana. Mungkin itu bukan tentang
menemukan jawaban yang sempurna, melainkan bagaimana
kita menjalani perjalanan ini dengan menerima setiap
langkah yang kita ambil—meskipun langkah itu kadang
penuh keraguan."
Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat, tenggelam
dalam pikiran mereka masing-masing. Meski begitu, ada
sebuah ketenangan yang perlahan-lahan meresap ke dalam
diri mereka. Mereka menyadari bahwa perjalanan ini bukan
hanya tentang tujuan akhir, melainkan bagaimana mereka
Negeri Perasaan
144
menghadapi setiap tantangan, baik besar maupun kecil, yang
muncul di sepanjang jalan.
"Saat kita belajar menerima ketidakpastian ini," lanjut
Picis, "mungkin kita akan menemukan kedamaian yang
sejati, bukan dalam hal-hal yang kita kuasai, tapi dalam cara
kita merespons segala yang datang."
Hana mengangguk, tampaknya mulai memahami inti
dari perjalanan panjang mereka. "Jadi, kita tidak perlu
menunggu semuanya menjadi sempurna untuk bisa merasa
damai. Kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa tidak
ada yang sempurna, dan belajar untuk menikmati prosesnya."
"Betul," jawab Picis dengan senyum yang tulus. "Dan
kita bisa melakukannya. Kita sudah melewati banyak hal, dan
kita masih berdiri di sini, bersama. Itulah yang terpenting."
Keduanya melanjutkan perjalanan mereka di daratan
yang penuh ketidakpastian, tetapi sekarang dengan
pandangan yang lebih jernih. Mereka tahu bahwa
ketidakpastian akan selalu ada—tak peduli seberapa jauh
mereka berlayar atau seberapa lama mereka berusaha
mencari jawaban. Yang mereka miliki adalah diri mereka
sendiri, kekuatan untuk terus bergerak meski kadang
Negeri Perasaan
145
terombang-ambing, dan keberanian untuk menghadapi setiap
badai yang datang tanpa rasa takut.
Dengan setiap langkah yang mereka ambil, mereka
semakin menyadari bahwa hidup bukan tentang menemukan
jawaban yang sempurna, melainkan tentang bagaimana
mereka memilih untuk menjalani hidup dengan keberanian,
menerima ketidakpastian, dan menghargai setiap momen
perjalanan yang mereka lalui.
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan penuh
liku, Picis dan Hana akhirnya sampai di titik di mana mereka
menyadari bahwa pertempuran yang mereka hadapi bukan
hanya dengan dunia luar, tetapi juga dengan diri mereka
sendiri. Lautan, daratan, dan hantu-hantu yang mereka
takuti—semuanya adalah refleksi dari ketakutan,
kekhawatiran, dan keraguan yang ada dalam hati mereka.
Namun, di titik ini, sesuatu mulai berubah. Ketika
mereka berdua berdiri di atas tanah yang mereka anggap
sebagai tujuan mereka, mereka menyadari bahwa mereka
tidak hanya mencari tempat yang aman. Mereka tidak hanya
berusaha melarikan diri dari ketidakpastian dan rasa takut.
Mereka mulai memahami bahwa keberanian bukanlah
Negeri Perasaan
146
tentang mengalahkan ketakutan atau menghindari rintangan,
tetapi tentang melanjutkan perjalanan meskipun ketakutan itu
ada.
"Kita sudah melalui banyak hal, bukan?" kata Picis,
suaranya penuh kelelahan namun juga kebijaksanaan. "Tapi
sepertinya kita terus saja bergerak, bahkan saat hantu-hantu
itu datang lagi dan mencoba menakut-nakuti kita."
Hana menatapnya dengan senyum tipis, seolah
memahami sepenuhnya apa yang dirasakan Picis. "Iya, kita
tetap berjalan. Bahkan ketika kita merasa seperti kita akan
menyerah, kita masih punya kekuatan untuk terus
melangkah."
Ada keheningan yang terjadi di antara mereka, seakan-
akan dunia di sekitar mereka menjadi lebih tenang. Mereka
berdiri di tengah padang rumput yang luas, angin lembut
menyentuh wajah mereka, dan suara alam seakan memberi
tanda bahwa segala sesuatu di dunia ini memang selalu
berubah. Perasaan cemas yang semula begitu kuat kini terasa
sedikit lebih jauh, meski masih ada di sana.
"Jadi, apa yang sekarang kita lakukan?" tanya Hana,
suara yang lebih rendah dari sebelumnya, penuh rasa ingin
tahu.
Negeri Perasaan
147
Picis menghela napas panjang, mencoba untuk
memproses semua yang telah mereka alami. "Kita terus
berjalan," jawabnya akhirnya. "Kita terus melangkah,
meskipun kita tidak tahu pasti ke mana arah kita.
Ketidakpastian akan selalu ada, tetapi kita tidak bisa
membiarkan itu menghentikan kita."
Hana mengangguk, dan keduanya melangkah maju
bersama, meskipun dengan langkah yang penuh kesadaran.
Mereka mulai menyadari bahwa perjalanan ini tidak hanya
tentang mencapai tujuan yang mereka impikan, tetapi juga
tentang bagaimana mereka menghadapi perjalanan itu
dengan penuh keberanian, bahkan saat mereka terombang-
ambing oleh ketakutan yang tak terlihat.
Kekuatan terbesar yang mereka temui bukanlah
kemampuan untuk menghindari rasa takut, melainkan
keberanian untuk melangkah maju meskipun rasa takut itu
ada. Mereka sadar bahwa ketakutan, seperti halnya hantu-
hantu yang terus kembali, adalah bagian dari hidup yang tidak
bisa dihindari. Tetapi mereka juga menyadari bahwa
ketakutan itu bukanlah penghalang. Ketakutan itu, ketika
dihadapi dengan hati yang terbuka dan keberanian untuk terus
Negeri Perasaan
148
bergerak, bisa menjadi kekuatan yang memotivasi mereka
untuk menjadi lebih kuat.
"Mungkin inilah yang disebut dengan hidup," kata Picis
dengan suara yang lebih tenang. "Menerima segala hal yang
datang, tanpa perlu takut. Menghadapi ketidakpastian,
meskipun itu terasa berat. Terus berjalan, meskipun kita tidak
tahu pasti ke mana arah kita."
Hana tersenyum. "Ya, kita tidak bisa mengendalikan
semuanya. Tetapi kita bisa memilih untuk tetap melangkah,
meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan."
Dan dengan itu, mereka berdua melanjutkan perjalanan
mereka. Mereka mungkin tidak pernah benar-benar mengusir
hantu-hantu itu, tetapi mereka telah belajar untuk tidak
membiarkan ketakutan dan keraguan menghentikan langkah
mereka. Ketidakpastian masih ada, tetapi sekarang mereka
bisa menghadapi segala sesuatu dengan kepala tegak,
mengetahui bahwa mereka memiliki kekuatan untuk
menghadapinya.
Di sepanjang jalan mereka, dunia tidak menjadi lebih
mudah. Namun, mereka tahu bahwa dengan keberanian untuk
melangkah maju, mereka akan selalu menemukan kekuatan
untuk terus bertumbuh. Dan dengan itu, mereka tahu bahwa
Negeri Perasaan
149
mereka tidak akan pernah benar-benar sendirian, karena
mereka telah belajar untuk menerima bahkan ketakutan
mereka, dan tetap berani melanjutkan perjalanan.
Picis dan Hana terus berjalan, dan meskipun perjalanan
mereka belum berakhir, mereka sudah merasa lebih kuat dari
sebelumnya, karena mereka tahu bahwa tidak ada yang lebih
kuat daripada hati yang tidak pernah menyerah.
Perjalanan yang telah ditempuh oleh Picis dan Hana
mengajarkan mereka lebih banyak tentang diri mereka sendiri
daripada yang mereka bayangkan. Daratan yang mereka tuju
bukanlah sekadar tempat fisik, tetapi juga perjalanan dalam
diri mereka untuk memahami dan menerima kenyataan
hidup. Ketika mereka mulai memahami bahwa ketakutan
bukanlah sesuatu yang harus mereka hindari, tetapi sesuatu
yang harus dihadapi, mereka mulai menyadari kekuatan besar
yang telah ada dalam diri mereka sepanjang waktu.
Suatu pagi, mereka tiba di sebuah tempat yang terlihat
damai, di mana cahaya matahari yang lembut menyinari
tanah yang gersang, memberikan nuansa kedamaian.
Keduanya duduk di sebuah batu besar, beristirahat setelah
perjalanan panjang. Udara di sekitarnya terasa berbeda—
Negeri Perasaan
150
lebih sejuk, lebih tenang, meskipun mereka masih merasa ada
yang tertinggal.
“Lihat,” kata Picis, sambil memandang ke arah lembah
di depan mereka. "Sepertinya kita sudah mencapai tempat
yang kita cari, tapi kenapa aku merasa masih ada sesuatu
yang hilang?"
Hana tersenyum dan mengangguk, lalu menjawab
dengan tenang, "Karena, Picis, kita tidak hanya mencari
tempat fisik, tapi juga kedamaian dalam hati kita. Itu bukan
sesuatu yang bisa ditemukan begitu saja—kita harus
menghadapinya terlebih dahulu. Perjalanan ini mengajarkan
kita bahwa kedamaian itu datang dari dalam diri kita, bukan
dari tempat yang kita tuju."
Picis termenung. Ia mulai merenung, memikirkan
semua yang telah mereka lewati. Hantu-hantu yang dulu
terasa mengancam kini mulai tampak seperti bayangan yang
memudar, meskipun mereka masih terkadang muncul di
benaknya. Apa yang dulu terasa seperti penghalang besar,
kini hanya tampak seperti tantangan yang harus mereka
hadapi dan terima.
“Aku merasa lebih kuat sekarang,” kata Picis dengan
suara penuh keyakinan. "Sebelumnya aku takut pada banyak
Negeri Perasaan
151
hal—takut gagal, takut ditolak, takut tidak bisa mencapai apa
yang aku inginkan. Tapi sekarang aku tahu bahwa itu semua
hanya bagian dari perjalanan. Hantu-hantu itu mungkin
muncul kembali, tapi aku tahu aku bisa menghadapi mereka."
Hana menatap sahabatnya, tersenyum bangga. "Benar.
Kita telah belajar untuk menerima ketakutan kita, untuk tidak
membiarkan mereka menghalangi langkah kita. Perjalanan
ini mengajarkan kita bahwa kita punya kekuatan yang lebih
besar dari yang kita kira."
Keduanya terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang
kini mereka rasakan. Namun, kedamaian ini bukan datang
dari kenyataan bahwa mereka telah mengalahkan segala
ketakutan, tetapi dari kenyataan bahwa mereka telah belajar
untuk hidup berdampingan dengan ketakutan itu, tanpa
membiarkan ketakutan itu menguasai hidup mereka.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya
Picis, setelah beberapa saat hening.
Hana tersenyum. "Kita akan terus berjalan, Picis.
Perjalanan ini belum berakhir, dan kita tahu bahwa hidup
akan selalu penuh dengan tantangan dan ketakutan. Tetapi
sekarang kita tahu bahwa kita bisa menghadapinya. Tidak ada
Negeri Perasaan
152
lagi yang perlu kita takutkan, karena kita telah menemukan
kekuatan yang ada dalam diri kita."
Picis mengangguk, merasa lebih ringan dari
sebelumnya. "Aku siap. Tidak peduli apa yang datang
selanjutnya. Kita akan menghadapinya bersama."
Dengan itu, keduanya bangkit dari batu besar tempat
mereka duduk, siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Mereka tahu bahwa jalan ke depan tidak akan selalu mudah,
dan hantu-hantu mungkin masih akan muncul di sepanjang
perjalanan. Namun, mereka tidak lagi takut. Mereka tahu
bahwa setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka
lebih dekat pada pemahaman diri yang lebih dalam, dan pada
kedamaian yang sejati.
Ketika mereka berjalan bersama, mereka menyadari
bahwa setiap tantangan yang mereka hadapi hanyalah bagian
dari perjalanan panjang yang penuh dengan pembelajaran dan
pertumbuhan. Mereka tahu bahwa kedamaian yang mereka
cari bukanlah tempat atau keadaan yang sempurna, tetapi
keadaan batin yang datang dari keberanian untuk menghadapi
setiap aspek dari diri mereka sendiri—termasuk ketakutan,
kecemasan, dan keraguan yang ada dalam diri mereka.
Negeri Perasaan
153
Picis dan Hana melanjutkan langkah mereka, tidak lagi
menghindari ketakutan mereka, tetapi menghadapinya
dengan kepala tegak. Mereka tahu bahwa hidup adalah
perjalanan yang penuh ketidakpastian, tetapi mereka juga
tahu bahwa selama mereka bersama dan saling mendukung,
mereka bisa menghadapinya dengan lebih kuat daripada
sebelumnya.
Dalam setiap langkah, mereka semakin memahami
bahwa keberanian bukanlah tentang menghindari rasa takut,
tetapi tentang bergerak maju meskipun ketakutan itu ada.
Dengan setiap langkah, mereka merasa lebih dekat dengan
tujuan mereka yang sebenarnya—bukan hanya kedamaian
luar, tetapi kedamaian dalam diri mereka.
Mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di
depan, tetapi mereka yakin satu hal: mereka siap untuk
menghadapinya, bersama.
Mereka berjalan semakin jauh, menapaki jalan yang tak
pernah mereka kenal sebelumnya. Dunia di sekitar mereka
terasa baru, seakan-akan setiap langkah membawa mereka ke
tempat yang lebih dalam dari sekadar fisik—ke dalam diri
mereka sendiri. Picis dan Hana tahu bahwa perjalanan
Negeri Perasaan
154
mereka bukan hanya untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
untuk menemukan sesuatu yang lebih besar, yang lebih
penting: diri mereka yang sejati.
"Kenapa aku merasa lebih tenang sekarang?" tanya
Picis, sambil menatap hamparan padang rumput yang luas.
"Bukankah sebelumnya aku takut sekali dengan perubahan?"
Hana berhenti sejenak, menatap sahabatnya dengan
mata penuh pengertian. "Kita semua takut dengan perubahan,
Picis. Karena perubahan itu berarti melepaskan sesuatu yang
kita kenal dan beradaptasi dengan yang belum kita ketahui.
Tapi aku pikir, yang kita temui dalam perjalanan ini adalah
kenyataan bahwa kita tak pernah bisa menghindari
perubahan—itu bagian dari hidup."
Picis terdiam, meresapi kata-kata Hana. Ia melihat ke
langit biru yang terbentang luas, seolah dunia ini tidak punya
batas. Ketika mereka mulai perjalanan ini, semuanya terasa
begitu berat. Rasa takut, kecemasan, dan kebingungannya
begitu dominan, tetapi kini, semuanya terasa lebih ringan.
Apakah mereka telah mencapai kedamaian? Ataukah hanya
sebuah jeda sebelum tantangan baru datang? Picis merasa ada
perubahan dalam dirinya, dan ia tidak tahu apakah itu berarti
ia telah berubah sepenuhnya atau hanya sementara.
Negeri Perasaan
155
"Tapi, aku merasa seperti aku bisa lebih hidup
sekarang," kata Picis, mengungkapkan perasaan yang telah
menggerakkan hatinya. "Mungkin sebelumnya aku terlalu
terjebak dalam ketakutan akan kegagalan, tapi sekarang aku
merasa lebih bebas."
Hana tersenyum dan melangkah mendekat. "Itulah
yang aku maksud. Ketika kita menerima ketakutan itu, dan
memutuskan untuk tetap bergerak maju meskipun ketakutan
itu ada, kita menemukan kebebasan sejati. Itu bukan berarti
ketakutan itu hilang, tapi kita tidak membiarkannya
menguasai kita. Kita memilih untuk melanjutkan meskipun
kita tidak tahu apa yang ada di depan."
Picis mengangguk, dan untuk pertama kalinya, ia
merasa benar-benar mengerti apa yang dimaksud Hana.
Ketakutan itu tidak akan pernah benar-benar hilang, namun
dengan memilih untuk tetap melangkah, mereka bisa
mengubah ketakutan itu menjadi bagian dari perjalanan yang
lebih besar. Mereka tidak harus menghindari ketakutan untuk
merasa bebas; justru, mereka harus menghadapinya dan tetap
melangkah maju.
Mereka berdua terus berjalan, melangkah lebih jauh ke
dalam dunia yang tak mereka kenal, namun dengan
Negeri Perasaan
156
keyakinan yang lebih besar daripada sebelumnya. Setiap
langkah mereka terasa lebih pasti. Setiap perasaan yang dulu
dianggap sebagai hambatan kini menjadi alat untuk
pertumbuhan. Ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan—
semuanya adalah bagian dari hidup yang harus mereka
hadapi, bukan hindari.
Perjalanan ini tidak hanya mengubah dunia mereka,
tetapi juga cara mereka melihat diri mereka sendiri. Mereka
belajar bahwa hidup bukan tentang menghindari ketakutan,
tetapi tentang bagaimana menghadapi ketakutan tersebut
dengan hati yang terbuka. Mereka menyadari bahwa
kedamaian sejati datang bukan dari menghindari konflik atau
ketidakpastian, tetapi dari keberanian untuk menerima dan
menghadapinya.
"Mungkin kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya," kata Picis, berbicara dengan suara
yang lebih lembut. "Tapi aku tahu satu hal: aku tidak lagi
merasa terjebak oleh ketakutanku. Aku tidak lagi terikat pada
masa lalu atau apa yang akan datang. Aku hanya ingin terus
melangkah."
Hana menatap sahabatnya dengan bangga. "Itulah
kebebasan, Picis. Untuk bisa tetap berjalan meskipun kita
Negeri Perasaan
157
tidak tahu apa yang ada di depan. Untuk bisa tetap berjalan
meskipun kita merasa takut. Itu adalah kemenangan yang
sejati."
Keduanya berhenti sejenak, memandang satu sama lain
dengan keheningan yang penuh arti. Mereka tahu bahwa
mereka telah melalui perjalanan yang luar biasa, dan
meskipun dunia mereka masih penuh dengan ketidakpastian,
mereka siap untuk menghadapi apapun yang akan datang.
Perubahan memang tak terelakkan. Mereka tahu itu.
Dan meskipun awalnya terasa menakutkan, kini mereka
menyadari bahwa perubahan itulah yang membawa mereka
lebih dekat pada diri mereka yang sejati. Mereka bukan lagi
orang yang takut pada masa depan atau terjebak pada masa
lalu. Mereka adalah orang-orang yang berani menghadapi
ketakutan dan melangkah maju, tanpa tahu pasti apa yang
akan terjadi.
Dengan langkah yang mantap, mereka melanjutkan
perjalanan mereka. Dunia di depan masih penuh dengan
misteri, namun kini mereka tidak takut lagi. Mereka tahu
bahwa sejauh apapun jalan yang mereka tempuh, mereka
akan selalu punya kekuatan untuk melanjutkan, karena
Negeri Perasaan
158
mereka telah belajar untuk menerima ketakutan dan perasaan
mereka, dan terus melangkah dengan hati yang lebih kuat.
Perjalanan mereka mungkin belum berakhir, tapi Picis
dan Hana tahu bahwa mereka tidak lagi perlu takut pada
perubahan. Karena setiap langkah yang mereka ambil adalah
langkah menuju kebebasan sejati—sebuah kebebasan yang
hanya bisa ditemukan dengan berani menghadapi dunia, baik
yang terang maupun yang gelap.
Di tengah perjalanan yang terasa semakin damai, Picis
dan Hana mendapati diri mereka berada di suatu lembah yang
sunyi. Keheningan yang melingkupi mereka terasa berbeda—
bukan kesunyian yang mengintimidasi, tetapi seperti sebuah
ruang yang memberi ruang bagi kedamaian untuk tumbuh. Di
tempat ini, segala perasaan yang telah mereka rasakan
sebelumnya terasa semakin jauh, seakan-akan mereka telah
melangkah keluar dari bayang-bayang ketakutan yang pernah
membayangi mereka.
"Mengapa kita merasa begitu tenang?" tanya Picis,
memandang sekeliling dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Hana tersenyum tipis. "Kadang-kadang, kita perlu
berhenti sejenak untuk menyadari betapa jauh kita telah
Negeri Perasaan
159
berjalan. Keheningan ini adalah hadiah, sebuah kesempatan
untuk benar-benar merasakan kedamaian yang kita cari
selama ini."
Namun, ketika mereka duduk berdua, merenung,
sebuah suara datang dari kejauhan, mengganggu kedamaian
yang baru saja mereka temukan.
"Siapa itu?" Picis bertanya, matanya menyusuri lembah
yang kosong. Ia merasa sesuatu yang tidak biasa, seakan ada
yang memperhatikan mereka.
Hana mengernyitkan dahi, mengintip lebih dekat ke
arah suara tersebut. "Aku tidak tahu, tapi kita harus hati-hati.
Kadang-kadang, ketika kita merasa terlalu nyaman, hal-hal
tak terduga muncul."
Suara itu semakin mendekat, dan dalam sekejap, dari
balik pepohonan muncul sosok yang asing. Picis dan Hana
saling berpandangan, hati mereka mendesah seakan-akan
mereka tahu bahwa ini adalah ujian terakhir yang harus
mereka hadapi dalam perjalanan ini.
Sosok itu semakin dekat, dan ternyata itu adalah
seorang pria tua, mengenakan jubah putih yang tampak lusuh.
Wajahnya dipenuhi kerutan, namun matanya memancarkan
Negeri Perasaan
160
kebijaksanaan yang mendalam. Ia berjalan pelan, seolah tidak
terburu-buru, namun setiap langkahnya terasa penuh arti.
"Apakah kalian yang mencari kedamaian?" tanya pria
itu dengan suara lembut, namun memiliki kekuatan yang
tidak bisa diabaikan.
Picis dan Hana terkejut, namun mereka merasa bahwa
pria itu bukan ancaman. Mereka mengangguk, merasa
tertarik dengan pertanyaannya.
"Kami... kami sedang berusaha mencapainya," jawab
Picis dengan hati-hati.
Pria itu tersenyum bijak. "Kedamaian tidak ditemukan
di luar diri kalian. Kedamaian yang sejati adalah ketika kalian
bisa menerima segala ketakutan, kegagalan, dan keraguan
yang ada dalam hati kalian. Hanya dengan begitu, kalian bisa
benar-benar bebas."
Hana mengernyit. "Tapi kami sudah melewati banyak
hal, dan kami sudah belajar untuk menerima ketakutan kami.
Apakah itu berarti kami telah menemukan kedamaian yang
sejati?"
Pria itu tertawa kecil, suaranya hangat namun penuh
misteri. "Kedamaian bukanlah sesuatu yang bisa dicapai
dalam sekejap, anak-anak. Itu adalah perjalanan yang tiada
Negeri Perasaan
161
henti. Ketika kalian merasa sudah mencapainya, sesuatu yang
baru akan datang untuk menguji kalian kembali. Tetapi itu
bukanlah sebuah kekalahan, itu adalah kesempatan untuk
tumbuh lebih kuat."
Picis merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi. Ia
berpikir bahwa perjalanan mereka hampir berakhir, tetapi
sekarang pria itu memberitahunya bahwa kedamaian yang
sejati bukanlah sesuatu yang bisa dicapai begitu saja.
"Kami telah belajar banyak dalam perjalanan ini," kata
Picis, suara penuh rasa ingin tahu. "Namun, apakah itu berarti
kami harus terus mencari kedamaian itu tanpa akhir?"
Pria itu mengangguk perlahan. "Ya, karena dalam
pencPicisn itu sendiri kalian akan menemukan kebijaksanaan
dan pemahaman yang lebih dalam. Dunia ini selalu berubah,
dan kita juga selalu berubah. Kejutan dalam hidup datang
bukan hanya untuk mengguncang kita, tetapi untuk memberi
kita kesempatan untuk berkembang. Yang penting adalah cara
kita menerima perubahan itu—dengan hati yang terbuka dan
pikiran yang lapang."
Picis merasa ada kebenaran dalam kata-kata pria itu. Ia
mulai menyadari bahwa setiap perjalanan, baik itu fisik
maupun emosional, tidak akan pernah benar-benar berakhir.
Negeri Perasaan
162
Yang membuat perjalanan itu berarti adalah cara mereka
menghadapinya. Tidak ada titik akhir yang jelas. Setiap
langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dalam
ke dalam pemahaman tentang diri mereka sendiri dan dunia
di sekitar mereka.
"Jadi, perjalanan ini tidak pernah selesai?" tanya Picis
lagi, mencoba memahami lebih dalam.
Pria itu tersenyum. "Tidak. Hanya ada perjalanan yang
terus berlanjut. Kalian akan terus menghadapi tantangan,
ketakutan, dan keraguan—tetapi setiap kali kalian melangkah
dengan keberanian dan penerimaan, kalian akan menemukan
kedamaian yang lebih dalam. Itu adalah hadiah yang tak
ternilai."
Hana melihat Picis dengan mata yang penuh
pengertian. "Mungkin itu yang kita cari selama ini—bukan
akhir dari perjalanan, tetapi prosesnya. Kita mungkin tidak
akan pernah menemukan tempat yang sepenuhnya bebas dari
tantangan, tetapi kita akan belajar untuk hidup berdampingan
dengan tantangan itu."
Picis mengangguk, merasa bahwa setiap kata yang
diucapkan pria tua itu membuka lapisan baru dalam
pemahaman mereka. Mereka telah mencari kedamaian
Negeri Perasaan
163
seperti mencari tempat yang damai dan sempurna, namun
kenyataannya, kedamaian adalah proses yang terus berlanjut,
dan setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada
pemahaman yang lebih dalam.
"Terima kasih," kata Picis, dengan suara yang lebih
tenang dari sebelumnya.
Pria itu hanya tersenyum dan memberi mereka
anggukan kecil. "Jangan khawatir, anak-anak. Kalian sudah
berada di jalan yang benar. Cobalah untuk tidak terlalu
terburu-buru. Terima apa yang ada, dan teruslah melangkah."
Dengan itu, pria tua itu berbalik dan berjalan menjauh,
seolah-olah ia hanyalah sebuah ilusi, sebuah bayangan yang
menghilang begitu saja di antara pepohonan. Picis dan Hana
hanya diam, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Dunia
di sekitar mereka tampak lebih cerah, lebih luas, dan lebih
penuh kemungkinan.
"Apakah kita sudah siap untuk melanjutkan
perjalanan?" tanya Picis, merasakan kebingungannya masih
ada, namun kini terasa lebih ringan.
Hana tersenyum, menjawab dengan penuh keyakinan.
"Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang akan datang.
Tetapi kita sudah belajar bahwa yang terpenting bukanlah
Negeri Perasaan
164
tujuan akhir, tetapi perjalanan itu sendiri. Selama kita tetap
berani menghadapi apa pun yang datang, kita akan selalu
berada di jalur yang benar."
Keduanya melanjutkan langkah mereka, melangkah ke
depan dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih
terbuka. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum
berakhir, namun kini mereka lebih siap daripada sebelumnya
untuk menghadapi segala kejutan yang akan datang.
Negeri Perasaan
165
Menerima,Dan Menjadi Satu
Dengan Kehidupan
icis dan Hana berdiri di tepi tebing, memandang Tepi
langit yang terbentang luas di depan mereka. Langit
yang mengubah warna menjadi jingga keemasan dengan
sinar matahari yang perlahan memudar menandakan
berakhirnya hari. Namun, di hati mereka, sepertinya
perjalanan mereka baru saja dimulai. Meski mereka telah
melewati banyak hal, ada perasaan bahwa langkah mereka ke
depan lebih berat daripada sebelumnya.
"Apa yang kita cari sebenarnya?" tanya Picis, suara
berat namun penuh dengan makna. Pertanyaan itu seperti
terngiang dalam pikiran mereka berdua.
Hana memandangnya, kemudian melirik ke arah langit
yang semakin gelap. "Aku rasa kita bukan hanya mencari
kedamaian atau tujuan akhir. Kita mencari pemahaman—
tentang siapa kita, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita
menghadapi dunia ini."
Picis terdiam, mencoba mencerna kata-kata Hana.
Seiring waktu, perjalanan yang mereka lakukan seakan
membuka lapisan-lapisan baru dalam hidup mereka. Setiap
P
Negeri Perasaan
166
pertemuan, setiap tantangan, bahkan setiap hantu yang
muncul di atas dek kapal mereka memiliki pesan tersendiri.
"Kadang-kadang aku merasa seperti kita hanya
mencoba melarikan diri dari sesuatu, bukan?" ujar Picis,
mengingat kembali saat-saat di mana mereka berdua merasa
terperangkap oleh emosi dan ketakutan mereka. "Kita
berusaha menghindari hantu-hantu itu, melawan mereka,
seolah-olah mereka bisa hilang begitu saja. Tapi
kenyataannya... kita tak bisa menghindari mereka, kan?"
Hana menatap Picis dengan senyum lembut. "Ya, kita
tidak bisa menghindari hantu-hantu itu, dan kadang kita
memang tidak perlu. Mereka bukan musuh yang harus
dihancurkan. Mereka adalah bagian dari kita—bagian dari
perjalanan ini."
Picis memalingkan wajahnya ke arah Tepi langit yang
kelam, merasa ada sesuatu yang mendalam di balik kata-kata
Hana. Emosi, ketakutan, dan kenangan buruk—semua itu
adalah bagian dari siapa mereka. Setiap langkah yang mereka
ambil, setiap perasaan yang mereka hadapi, semuanya
memberi pelajaran yang tak ternilai. Selama ini, ia mungkin
telah berusaha untuk menghindar dari perasaan-perasaan itu,
Negeri Perasaan
167
tetapi kini ia menyadari bahwa menerima mereka adalah
langkah pertama menuju kedamaian yang sejati.
"Jadi, kita tidak harus lari dari semuanya?" tanya Picis,
mencari kepastian.
Hana menggelengkan kepala. "Tidak. Kadang kita
merasa bahwa kita harus melarikan diri, tapi pada
kenyataannya, kita harus berhenti sejenak dan melihat ke
dalam. Hantu-hantu itu—emosi, kenangan, rasa takut—
semuanya memiliki peran. Mereka memberi kita kesempatan
untuk berkembang. Dengan menerimanya, kita tidak hanya
menemukan kedamaian, tapi juga kekuatan."
Picis mengangguk pelan. Kini ia mulai mengerti.
Selama ini, ia terlalu sibuk berjuang melawan perasaan-
perasaan itu, berusaha mengabaikannya atau menekannya.
Namun, setiap kali ia mencoba menghindar, ia merasa
semakin terperangkap. Sekarang, dengan pemahaman baru
yang dimilikinya, ia tahu bahwa untuk benar-benar bebas, ia
harus berdamai dengan segala ketakutan dan keraguannya.
"Apakah itu artinya kita harus terus berjalan, meski
terkadang kita merasa lelah atau bingung?" tanya Picis lagi,
matanya mulai bersinar dengan semangat yang baru.
Negeri Perasaan
168
Hana tersenyum dan meraih tangan Picis. "Ya, terus
berjalan. Tidak peduli seberapa sulit atau gelap jalan itu, kita
akan menemukan cara untuk melanjutkan. Kita sudah melalui
begitu banyak hal bersama. Kita hanya perlu percaya pada
diri kita sendiri dan satu sama lain."
Malam semakin gelap, namun kedamaian yang mereka
rasakan justru semakin terang. Mereka menyadari bahwa
meskipun perjalanan mereka penuh dengan rintangan dan
ketakutan, mereka telah tumbuh lebih kuat, lebih bijaksana,
dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang di
masa depan.
Picis menatap langit yang kini penuh dengan bintang-
bintang, sebuah pemandangan yang seakan menyambut
perjalanan baru mereka. "Kita sudah berjalan jauh, tapi masih
banyak yang harus dipelajari."
Hana mengangguk. "Perjalanan tidak akan pernah
berakhir, Picis. Begitu kita menyadari bahwa kita terus
tumbuh, kita akan menemukan kebahagiaan dalam proses itu
sendiri. Tidak ada yang lebih berharga daripada perjalanan
itu, karena itulah yang membentuk kita."
Mereka berdua berdiri diam, membiarkan angin malam
mengusap wajah mereka. Waktu seolah berhenti, dan dunia
Negeri Perasaan
169
di sekitar mereka terasa begitu luas dan penuh kemungkinan.
Mereka tahu, bahwa meskipun banyak hal yang tidak bisa
diprediksi, yang terpenting adalah keberanian untuk
melangkah ke depan, dengan hati yang terbuka dan pikiran
yang lapang.
"Untuk saat ini," kata Picis, sambil menatap ke depan,
"aku merasa bahwa perjalanan ini telah memberi kita lebih
dari sekadar jawaban. Ini memberi kita keberanian untuk
terus melangkah."
Hana tersenyum. "Dan aku yakin kita akan menemukan
lebih banyak hal seiring perjalanan kita. Karena sejatinya,
perjalanan ini bukan tentang mencari jawaban. Tapi tentang
menemukan cara untuk bertumbuh, berdamai dengan diri
sendiri, dan menjalani hidup dengan penuh keberanian."
Di bawah langit yang penuh bintang, mereka
melangkah maju. Perjalanan mereka tidak berakhir di sini—
mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah
langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri
mereka sendiri dan dunia ini. Keduanya siap untuk
menyambut apa pun yang akan datang, dengan hati yang
lebih lapang dan pikiran yang lebih terbuka.
Negeri Perasaan
170
Malam itu, mereka berdua tahu bahwa yang paling
penting bukanlah tujuan akhir, tetapi bagaimana mereka
berjalan bersama menuju cahaya yang tak terhingga di depan.
Picis dan Hana melanjutkan perjalanan mereka
menyusuri tepi pantai, tetapi kali ini, ada perasaan yang lebih
tenang di hati mereka. Mereka tahu, perjalanan ini tidak
hanya tentang menemukan tujuan, melainkan tentang
bagaimana mereka menyikapi setiap tantangan yang
datang—dengan keterbukaan dan penerimaan. Namun,
kadang ketidaksempurnaan itu datang begitu kuat, membuat
mereka ragu akan kemampuan mereka untuk terus
melangkah.
"Ketika aku berpikir tentang semua yang telah kita
lalui, aku merasa seperti kita seharusnya sudah lebih 'sukses'
daripada ini," kata Picis dengan nada yang sedikit berat. "Kita
masih merasa ragu, belum sepenuhnya tahu ke mana arah
kita, dan hantu-hantu itu sepertinya masih mengganggu kita."
Hana mengangguk, lalu berhenti sejenak untuk
menatap Picis dengan lembut. "Aku mengerti apa yang kamu
rasakan. Kita sering kali berpikir bahwa kita harus sempurna,
bahwa kita harus memiliki segala jawaban sebelum
Negeri Perasaan
171
melangkah. Tapi kenyataannya, ketidaksempurnaan adalah
bagian dari hidup. Bahkan di saat kita merasa belum
sepenuhnya siap atau belum tahu jalan yang tepat, kita tetap
melangkah—dan itu sudah cukup."
Picis mengernyitkan dahi. "Tapi bagaimana bisa kita
merasa cukup dengan ketidaksempurnaan? Bukankah kita
seharusnya berusaha menjadi lebih baik?"
"Perbaikan itu bukan berarti menghapus semua
ketidaksempurnaan kita," jawab Hana. "Melainkan menerima
bahwa kita tidak harus sempurna untuk berharga. Kita dapat
terus belajar, terus tumbuh, tetapi kita juga harus memberi
ruang bagi diri kita untuk tidak selalu berhasil atau tidak
selalu tahu jawabannya. Ketidaksempurnaan adalah bagian
dari proses yang membentuk kita menjadi lebih kuat."
Picis terdiam, mencoba mencerna kata-kata Hana. Ia
tahu bahwa dalam perjalanan ini, ia telah sering kali merasa
tidak cukup. Ketika menghadapi tantangan, ia sering kali
merasa tertekan untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan
lebih siap. Namun, saat-saat itu, ketika ia merasakan
ketidaksempurnaan itu, ada perasaan takut bahwa ia tidak
akan pernah cukup untuk mencapai apa yang ia impikan.
Negeri Perasaan
172
"Tapi kadang aku merasa seperti ada standar yang
sangat tinggi yang harus aku capai," ujar Picis, merasa
bingung. "Apakah itu salah?"
Hana tersenyum lembut. "Tidak salah. Setiap orang
punya harapan untuk dirinya sendiri, itu normal. Namun, kita
harus ingat bahwa standar yang kita buat untuk diri kita
sendiri bukanlah beban yang harus dipikul. Mereka harus
menjadi pendorong untuk tumbuh, bukan beban yang
menekan. Ketika kita menerima bahwa kita tidak selalu bisa
memenuhi harapan kita setiap saat, kita memberikan diri kita
izin untuk gagal dan belajar dari kegagalan itu."
Picis mengangguk pelan, merasakan pemahaman baru.
"Jadi, ketidaksempurnaan itu bukan musuh yang harus kita
lawan? Itu justru sesuatu yang harus kita terima?"
"Benar," jawab Hana. "Ketidaksempurnaan adalah
bagian dari keindahan hidup. Bayangkan jika semuanya
sempurna, apakah kita masih bisa belajar? Apakah kita masih
bisa merasa bahagia dengan pencapaian kita jika tidak ada
perjuangan di dalamnya? Setiap ketidaksempurnaan
mengajarkan kita untuk lebih menghargai perjalanan dan diri
kita sendiri."
Negeri Perasaan
173
Picis merasa ada kelegaan dalam kata-kata Hana. Ia
sadar bahwa selama ini, ia sering kali berjuang melawan rasa
tidak cukup yang ia rasakan. Ia ingin menjadi lebih baik,
tetapi tanpa menyadari bahwa itu juga memberi tekanan
padanya. Kini, ia mulai menerima kenyataan bahwa
perjalanan ini tidak selalu harus mulus, dan tidak ada masalah
dengan ketidaksempurnaan yang datang bersama dengan
hidup.
"Mungkin aku sudah terlalu keras pada diri sendiri,"
ujar Picis dengan suara lembut, hampir seperti sebuah
pengakuan. "Mungkin aku perlu lebih memberi ruang untuk
diriku sendiri."
Hana tersenyum dan memberi pelukan singkat kepada
Picis. "Kamu tidak sendirian dalam hal ini. Kita semua
memiliki ketidaksempurnaan, dan itu tidak mengurangi nilai
kita. Justru, itu yang membuat kita lebih manusiawi."
Perlahan, Picis merasa lebih ringan. Ia tidak perlu
mengatasi semua masalah sekaligus, dan ia tidak perlu
menjadi sempurna untuk melangkah maju. Yang terpenting
adalah untuk terus bergerak, belajar dari setiap kesalahan, dan
menerima diri mereka—dalam ketidaksempurnaan mereka.
Negeri Perasaan
174
Mereka melanjutkan perjalanan mereka, tetapi kali ini,
mereka tidak merasa terburu-buru. Langkah-langkah mereka
lebih mantap dan penuh ketenangan. Ketidaksempurnaan
yang mereka terima bukan lagi sebuah beban, melainkan
sebuah pengingat bahwa mereka bisa berkembang tanpa
harus selalu mencapai kesempurnaan.
Di tengah perjalanan, Hana berhenti sejenak dan
melihat Picis. "Kamu tahu, kita masih punya banyak waktu
untuk belajar. Hidup ini bukan tentang cepat-cepat mencapai
tujuan, tapi tentang bagaimana kita menikmati perjalanan
itu."
Picis mengangguk. "Ya, aku mulai mengerti. Dan
mungkin, bagian terbaik dari perjalanan ini adalah bahwa kita
bisa menikmati setiap langkah, baik itu langkah maju maupun
mundur."
Hana tersenyum, merasakan kedamaian dalam hati
mereka berdua. Mereka tahu bahwa mereka tidak harus
memiliki semua jawaban sekarang, dan itu bukanlah suatu
masalah. Yang penting adalah mereka terus melangkah
dengan niat yang baik, menerima ketidaksempurnaan, dan
belajar dari setiap pengalaman yang mereka hadapi.
Negeri Perasaan
175
Hari mulai beranjak sore ketika Picis dan Hana tiba di
ujung tebing, tempat yang seharusnya menjadi titik
perhentian terakhir mereka sebelum mencapai tujuan mereka.
Lautan di bawah tampak bergelombang dengan warna biru
tua yang mendalam. Di sana, hantu-hantu yang selama ini
mengganggu mereka kini semakin menguat, menyerbu
pikiran mereka dengan rasa takut dan keraguan yang semakin
mendalam.
Picis berdiri di tepian, pandangannya menatap jauh ke
bawah, merasa cemas. "Apa yang akan terjadi jika kita gagal?
Bagaimana jika kita tidak bisa mencapai pantai itu?
Bagaimana jika semua usaha ini sia-sia?"
Hana berdiri di sampingnya, mengamati gelombang
yang berdebur di bawah sana, lalu dengan lembut menjawab,
"Takut itu adalah bagian dari perjalanan ini. Setiap langkah
yang kita ambil membawa kita lebih dekat dengan ketakutan
itu. Tetapi ingat, ketakutan bukanlah sesuatu yang harus kita
hindari. Ketakutan adalah tanda bahwa kita sedang bergerak
menuju sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri."
Picis menghela napas, masih merasa terjebak dalam
rasa takut yang menguasainya. "Tapi bagaimana bisa kita
menghadapi sesuatu yang begitu menakutkan? Aku merasa
Negeri Perasaan
176
seperti aku sedang menghadapi seluruh lautan dengan segala
hantu dan bayangannya."
Hana tersenyum dan menepuk bahu Picis. "Itulah yang
perlu kita ingat, Picis. Ketakutan bukanlah sesuatu yang harus
kita kalahkan, melainkan sesuatu yang harus kita hadapi.
Ketika kita memilih untuk melangkah, kita memilih untuk
menerima ketakutan itu, bukan melawannya. Dan dengan
begitu, ketakutan itu tak akan lagi memiliki kekuatan untuk
menghalangi kita."
Picis mengangguk perlahan. Ia mengerti bahwa
perasaan takut yang datang bukanlah tanda kelemahan,
melainkan tanda bahwa ia sedang menghadapi tantangan
baru. Ketakutan itu adalah reaksi alami tubuhnya, tetapi ia
tidak harus membiarkannya mengendalikan keputusan dan
langkahnya.
"Jadi, jika kita merasa takut, kita tidak perlu
menghindari rasa itu?" tanya Picis, mencoba untuk
memahaminya lebih dalam.
"Tepat sekali," jawab Hana. "Ketakutan memberi kita
kesempatan untuk mengenali diri kita lebih baik. Ia
mengajarkan kita untuk lebih waspada, untuk lebih berhati-
hati, dan yang terpenting, untuk tetap maju meskipun ada rasa
Negeri Perasaan
177
takut itu. Ketika kita menerima rasa takut itu, kita memberi
diri kita kebebasan untuk berkembang, untuk bergerak tanpa
terhenti."
Picis merasa ada kekuatan yang baru dalam kata-kata
Hana. Ketakutan, yang selama ini selalu ia anggap sebagai
musuh, kini tampak berbeda. Ia tidak perlu berlari darinya,
melainkan menghadapinya dengan keberanian untuk tetap
melangkah, meskipun perasaan itu ada.
"Ketakutan itu seperti kabut yang menutupi jalan kita,
bukan?" ujar Picis, sedikit tersenyum. "Saat kita terus
berjalan, kabut itu akan menghilang dengan sendirinya."
Hana mengangguk, tersenyum. "Betul sekali.
Ketakutan kita akan menghilang dengan waktu, dan kita akan
menemukan bahwa banyak dari hal yang kita takuti
sebenarnya tidak seburuk yang kita bayangkan."
Picis merasa lebih ringan. Meski ketakutan itu masih
ada, ia tahu bahwa itu bukan akhir dari segalanya. Ketakutan
itu hanya bagian dari perjalanan, dan ia harus terus
melangkah meskipun ada keraguan. Ia melihat ke arah pantai
yang semakin dekat, tahu bahwa langkah mereka semakin
kuat, semakin berani.
Negeri Perasaan
178
"Jadi, kita akan terus melangkah, meskipun takut?"
tanya Picis, memastikan.
"Ya," jawab Hana dengan penuh keyakinan. "Karena
setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat
kepada siapa kita sebenarnya. Rasa takut itu akan selalu ada,
tapi bukan berarti kita harus berhenti. Justru, kita harus
menghadapinya dengan hati yang terbuka, karena setiap
ketakutan yang kita hadapi akan membawa kita ke tempat
yang lebih baik."
Picis menarik napas dalam-dalam, merasakan
kedamaian yang perlahan mengisi hatinya. Ia tahu bahwa
perjalanan ini tidak akan mudah, dan mungkin akan ada
banyak ketakutan yang harus ia hadapi. Namun, ia juga tahu
bahwa dengan menerima ketakutan itu dan terus melangkah,
ia akan menemukan kekuatan dalam dirinya yang selama ini
tersembunyi.
Dengan langkah yang mantap, mereka melanjutkan
perjalanan mereka menuju pantai. Meskipun hantu-hantu
ketakutan masih ada di sekitar mereka, mereka tidak lagi
berusaha menghindarinya. Sebaliknya, mereka terus
bergerak, dengan keberanian yang semakin kuat.
Negeri Perasaan
179
"Ketakutan bukanlah penghalang," ujar Picis, hampir
seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Itu adalah bagian dari
perjalanan. Dan aku siap untuk menghadapi semuanya."
Hana tersenyum, merasa bangga atas perubahan yang
terjadi pada Picis. "Kita semua punya ketakutan, tetapi
ketakutan itu tidak perlu mengendalikan kita. Kita yang
mengendalikan perjalanan kita, bukan ketakutan kita."
Mereka berdua terus berjalan, dan meskipun jalan
menuju pantai masih panjang, mereka tahu bahwa mereka
tidak lagi sendirian dalam perjalanan ini. Ketakutan itu ada,
tetapi mereka memiliki kekuatan untuk menghadapinya—
dan itu membuat perjalanan mereka jauh lebih berarti.
Langit mulai berubah menjadi senja, memancarkan
warna oranye yang hangat di Tepi langit. Di depan mereka,
pantai itu semakin mendekat. Meskipun langkah mereka
semakin mantap, rasa takut masih tersemat di hati Picis.
Namun, kali ini, rasa takut itu bukan lagi monster yang harus
ditaklukkan. Itu adalah teman yang tidak dapat dihindari—
dan lebih penting lagi, itu adalah bagian dari dirinya yang
harus diterima.
Negeri Perasaan
180
Picis berhenti sejenak, menatap ombak yang
menghempas ke pantai dengan kuat. Ia merasa ada
kedamaian yang mulai merayapi hatinya. Terkadang, saat ia
berhenti untuk merenung, ia menyadari bahwa selama ini ia
telah berusaha menghindari ketakutan dan rasa cemas yang
datang. Namun, saat ia berhenti melawan mereka, ia mulai
merasa lebih ringan, seolah-olah beban yang selama ini ada
di pundaknya telah berkurang sedikit demi sedikit.
Hana berdiri di sampingnya, memperhatikan perubahan
pada wajah Picis. "Kamu merasa lebih baik?" tanyanya,
dengan senyum yang penuh pengertian.
Picis mengangguk perlahan. "Aku merasa... lebih
ringan. Mungkin aku sudah terlalu lama berusaha
menghindari rasa takut, menganggapnya sebagai sesuatu
yang harus dihancurkan. Tapi sekarang, aku mulai menyadari
bahwa ketakutan itu tidak perlu dihilangkan. Itu hanya perlu
diterima."
Hana tersenyum dengan bangga. "Betul. Ketakutan
yang kita hadapi bukanlah sesuatu yang harus kita lawan. Ia
ada untuk mengingatkan kita tentang keberanian yang ada
dalam diri kita. Ketakutan itu adalah suara hati kita yang
meminta kita untuk tetap waspada, tetapi bukan untuk
Negeri Perasaan
181
menghalangi kita. Ketakutan itu memberikan kita
kesempatan untuk berkembang, dan saat kita belajar untuk
berdamai dengannya, kita akan menemukan kekuatan yang
lebih besar dalam diri kita."
Picis menundukkan kepala sejenak, meresapi kata-kata
Hana. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ketakutan
tidak mengendalikan dirinya. Ketakutan itu hanya perasaan,
sebuah reaksi dari tubuh dan pikiran yang muncul ketika ia
berada di luar zona nyaman. Tetapi ia kini sadar, bahwa untuk
mencapai pantai, ia tidak perlu menaklukkan ketakutan itu. Ia
hanya perlu menghadapinya dan terus berjalan.
"Jadi, jika ketakutan itu adalah bagian dari perjalanan,
berarti kita tidak perlu takut untuk menghadapinya, ya?"
tanya Picis, dengan sedikit rasa lega di suaranya.
"Benar," jawab Hana. "Ketakutan tidak akan hilang,
tetapi kita akan belajar untuk hidup bersamanya. Kita akan
menemukan cara untuk berjalan meskipun ada rasa takut itu.
Dan akhirnya, kita akan tiba di tempat yang lebih baik—
tempat yang kita tuju, meskipun kita pernah merasa ragu atau
cemas."
Picis memandang Hana dengan penuh rasa syukur.
"Terima kasih, Hana. Kamu sudah mengajarkan aku banyak
Negeri Perasaan
182
hal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi
aku merasa lebih siap untuk menghadapi segala tantangan."
"Jangan pernah ragu untuk melangkah, Picis," kata
Hana, dengan lembut. "Kamu sudah lebih kuat dari yang
kamu kira. Ketakutan hanya akan bertahan selama kamu
membiarkannya menguasai pikiranmu. Tetapi jika kamu
memilih untuk terus berjalan, maka ketakutan itu akan
mereda seiring berjalannya waktu."
Mereka melanjutkan langkah mereka menuju pantai,
dan Picis merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya. Ia
tidak lagi merasa tertekan oleh rasa takut yang menghantui
pikirannya. Kini, ia tahu bahwa ketakutan adalah bagian dari
perjalanan yang harus diterima, bukan dihancurkan.
Mereka akhirnya tiba di pantai, dan ombak yang tenang
menyambut mereka dengan suara lembut. Di sana, di pantai
itu, mereka melihat keindahan yang telah mereka cari selama
ini. Tetapi lebih dari itu, Picis merasa bahwa pantai itu bukan
hanya sebuah tujuan fisik. Pantai itu adalah simbol dari
perjalanan yang telah mereka lalui, dari ketakutan yang telah
mereka hadapi, dan dari keberanian yang telah mereka
temukan dalam diri mereka sendiri.
Negeri Perasaan
183
Hana berdiri di samping Picis, menatap laut yang luas.
"Kita telah sampai, Picis. Kita telah melawan ketakutan kita,
dan kita telah sampai di sini."
Picis mengangguk, merasakan kebanggaan yang
dalam. "Aku tidak tahu apa yang akan datang selanjutnya,
tetapi aku merasa bahwa aku lebih siap untuk
menghadapinya. Ketakutan itu masih ada, tetapi aku tidak
lagi takut untuk melangkah."
Di bawah langit senja, mereka berdiri bersama di pantai
itu, merasa damai dan penuh harapan. Mereka tahu bahwa
perjalanan ini tidak berakhir di sini. Di luar sana masih ada
banyak tantangan yang menanti mereka, tetapi mereka juga
tahu bahwa mereka tidak lagi sendirian. Dengan keberanian
yang mereka temukan, mereka siap untuk menghadapi dunia,
dan lebih penting lagi, mereka siap untuk menghadapi diri
mereka sendiri—dengan segala ketakutan, kekuatan, dan
harapan yang ada.
Dan dalam perjalanan ini, Picis menyadari bahwa
ketakutan bukanlah musuh yang harus dihancurkan,
melainkan teman yang harus diterima. Sebab, di balik setiap
ketakutan yang dihadapi, ada kebebasan yang lebih besar
yang menanti.
Negeri Perasaan
184
Malam mulai merayap di pantai, tetapi hati Picis tidak
merasa gelap. Di sekelilingnya, langit yang luas dan bintang-
bintang yang berkelip memberi rasa damai yang mendalam.
Ia berdiri di sana, menatap ke laut yang tenang, dan
merasakan adanya sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Proses panjang yang dilalui—dari ketakutan hingga
keberanian, dari kebingungannya menuju kedamaian—
memungkinkan dirinya untuk melihat dunia ini dengan cara
yang berbeda.
Hana yang berdiri di sampingnya memberi sebuah
senyuman lembut, menyaksikan perubahan yang begitu nyata
dalam diri Picis. Mereka berdua kini menyadari bahwa
perjalanan mereka tidak hanya tentang mencapai tujuan fisik
atau menemukan pantai yang jauh. Perjalanan ini adalah
tentang pemahaman diri yang lebih dalam, dan tentang
bagaimana mereka belajar menerima semua perasaan, baik
yang gelap maupun yang terang, sebagai bagian dari hidup
yang berharga.
"Ketakutan itu akhirnya tidak lagi menjadi tembok
yang menghalangi jalan kita, bukan?" tanya Hana dengan
nada yang penuh pengertian.
Negeri Perasaan
185
Picis tersenyum, merasakan bahwa kata-kata Hana
benar. "Aku tidak tahu apa yang ada di depan, tetapi aku
merasa lebih siap menghadapi segala sesuatu, baik itu terang
maupun gelap. Mungkin yang lebih penting adalah bahwa
aku tidak lagi berusaha menghindar dari ketakutan itu. Aku
sekarang bisa berdamai dengan mereka, dan terus maju."
Hana mengangguk. "Kamu sudah menemukan kunci
untuk hidup dengan lebih bebas. Tidak ada yang salah dengan
merasa takut. Yang salah adalah jika kita membiarkan
ketakutan itu mengendalikan kita, bukan?"
Picis menatap bintang-bintang di atas. "Dulu aku
berpikir bahwa hidup itu tentang menghindari rasa takut,
menjauh dari apapun yang bisa membuatku merasa cemas.
Tapi sekarang aku tahu bahwa hidup justru lebih berarti
ketika kita berani menghadapinya. Bahkan dalam ketakutan,
ada kekuatan yang bisa kita temukan."
"Dan ketika kita menghadapinya, kita menyadari
bahwa kita tidak sendirian," kata Hana. "Ketakutan itu ada di
dalam setiap diri kita, tetapi ada juga harapan, keberanian,
dan kedamaian yang menanti kita saat kita bersedia untuk
melangkah."
Negeri Perasaan
186
Picis merasa ada kelegaan besar dalam hatinya. Tidak
ada lagi keraguan yang mencekik. Setiap langkah yang ia
ambil kini terasa lebih ringan, lebih penuh makna. Ia tahu
bahwa meskipun dunia di luar sana masih penuh tantangan
dan ketakutan, ia kini memiliki kekuatan untuk terus berjalan
menuju tujuan yang lebih besar—bukan hanya pantai ini,
tetapi hidup yang lebih bermakna.
Akhirnya, Picis memandang Hana dengan penuh rasa
syukur. "Terima kasih telah menemaniku, Hana. Tanpa kamu,
aku tidak akan pernah bisa menemukan keberanian ini. Kamu
sudah menunjukkan padaku bahwa ketakutan bukanlah hal
yang perlu kita hindari, melainkan hal yang perlu kita hadapi
dengan penuh keberanian."
Hana tertawa kecil, namun penuh kelembutan. "Kamu
sudah melakukannya sendiri, Picis. Aku hanya ada di sini
untuk mengingatkanmu bahwa kamu sudah cukup kuat.
Semua jawaban sudah ada di dalam dirimu, dan yang perlu
kamu lakukan hanyalah mempercayainya."
Picis menatap laut yang luas sekali lagi, merasakan
angin laut yang membawa kedamaian. Kini ia tahu bahwa
meskipun perjalanan hidup tak selalu mudah, ia bisa
menjalani setiap langkah dengan ketenangan. Ketakutan akan
Negeri Perasaan
187
datang dan pergi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana ia
bereaksi terhadapnya—apakah ia akan tetap berdiri tegak
atau membiarkan ketakutan itu menguasainya.
Dengan penuh harapan, Picis melangkah maju, berani
menghadapi apa pun yang akan datang. Tak peduli seberapa
besar gelombang atau badai yang menantinya, ia tahu bahwa
ia akan terus mengarahkan kapalnya menuju cahaya yang
lebih cerah. Sebab, kini ia mengerti, bahwa dalam kegelapan
sekalipun, ada cahaya yang selalu menunggu untuk
ditemukan.
Waktu terus berjalan, dan hari demi hari Picis
merasakan kedamaian yang semakin mengalir dalam dirinya.
Ia telah belajar menerima ketakutan, kebingungan, dan
kecemasan sebagai bagian dari dirinya, namun yang lebih
penting, ia juga mulai memahami bahwa ada kekuatan yang
jauh lebih besar yang tersembunyi di dalam dirinya sendiri—
sebuah kekuatan yang hanya bisa ditemukan ketika ia
berhenti melawan dan mulai menerima perjalanan hidup
dengan segala ketidakpastiannya.
Pada suatu pagi yang cerah, Picis duduk di tepi pantai,
menatap matahari yang baru saja terbit. Cahayanya yang
Negeri Perasaan
188
lembut menari di atas permukaan laut, membawa rasa hangat
yang menenangkan. Ia merasakan angin pagi yang
menyegarkan, seolah memberikan energi baru untuk
memulai hari yang baru. Di tengah ketenangan itu, Picis tahu
bahwa ia telah menemukan sesuatu yang sangat berharga:
kedamaian yang datang dari dalam dirinya sendiri.
Hana duduk di sampingnya, juga menikmati
pemandangan yang luar biasa ini. "Kamu terlihat berbeda,
Picis. Seperti ada sesuatu yang telah berubah dalam dirimu."
Picis tersenyum, matanya berbinar. "Aku merasa lebih
tenang. Aku sudah lama berjuang dengan perasaan cemas,
takut, dan ragu. Tapi sekarang, aku mulai memahami bahwa
semua itu hanya bagian dari hidup yang harus aku hadapi,
bukan sesuatu yang harus aku hindari."
Hana memandangnya dengan penuh penghargaan.
"Kamu sudah melewati banyak hal, Picis. Kadang-kadang
kita perlu melalui kesulitan dan ketakutan untuk akhirnya
menemukan kedamaian. Dan yang terpenting, kamu telah
belajar untuk berdamai dengan dirimu sendiri."
Picis mengangguk, menatap matahari yang semakin
tinggi di langit. "Dulu aku selalu merasa bahwa aku harus
menjadi sempurna, tanpa ketakutan, tanpa rasa cemas. Tapi
Negeri Perasaan
189
sekarang, aku tahu bahwa ketidaksempurnaan itu adalah
bagian dari keindahan hidup. Ketakutan itu ada untuk
mengingatkan kita tentang keberanian yang harus kita
temukan di dalam diri kita."
Hana tersenyum lebar, menyadari betapa besar
perubahan yang telah terjadi pada Picis. "Kadang-kadang,
kita terlalu keras pada diri kita sendiri. Kita berpikir bahwa
kita harus menjadi lebih baik, lebih kuat, atau lebih sempurna.
Tapi yang sebenarnya kita butuhkan adalah menerima diri
kita apa adanya, dengan semua kelemahan, ketakutan, dan
keraguan kita."
"Dan itu tidak membuat kita lemah?" tanya Picis,
sedikit ragu.
"Justru sebaliknya," jawab Hana dengan tegas.
"Menerima diri kita dengan segala kekurangan kita justru
menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Ketika kita
menerima bahwa kita tidak sempurna, kita membuka diri kita
untuk tumbuh dan berkembang. Kita menjadi lebih fleksibel,
lebih kuat, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan
hidup."
Picis menatap ombak yang berdebur di pantai,
merenung. "Aku merasa seperti telah menemukan sesuatu
Negeri Perasaan
190
yang sangat penting dalam perjalanan ini. Selama ini aku
mencari jawaban di luar diriku, berusaha untuk menghindari
ketakutan dan kecemasan. Tapi sekarang, aku tahu bahwa
jawabannya ada di dalam diriku. Semua perasaan itu—baik
yang positif maupun negatif—adalah bagian dari perjalanan
yang harus aku jalani."
"Benar," kata Hana, menepuk bahunya dengan lembut.
"Ketika kita belajar untuk menerima perasaan kita tanpa
menghakimi mereka, kita akan merasa lebih bebas. Perasaan-
perasaan itu hanya menjadi bagian dari cerita hidup kita. Dan
ketika kita berhenti melawan mereka, kita akan menemukan
kedamaian yang lebih dalam."
Picis menarik napas dalam-dalam, merasakan
kedamaian itu mengalir dalam dirinya. Ia tahu bahwa
perjalanan ini belum berakhir. Akan ada lebih banyak
tantangan yang menantinya di luar sana. Namun, ia juga tahu
bahwa ia tidak lagi takut menghadapi apa pun. Karena kini,
ia memiliki kekuatan untuk berjalan maju, meskipun ada
ketakutan yang masih menyertainya.
"Terima kasih, Hana," kata Picis dengan tulus. "Tanpa
bantuanmu, aku mungkin tidak akan bisa sampai di titik ini."
Negeri Perasaan
191
Hana hanya tersenyum, matanya penuh kebanggaan.
"Kamu sudah melakukan perjalananmu sendiri, Picis. Aku
hanya ada untuk mengingatkanmu bahwa kekuatan itu sudah
ada di dalam dirimu sejak awal. Kamu hanya perlu
mengingatnya dan memberikannya ruang untuk tumbuh."
Di bawah langit yang cerah dan laut yang tenang, Picis
merasakan bahwa ia tidak hanya telah menemukan pantai
yang selama ini ia tuju. Ia juga telah menemukan dirinya
sendiri, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dengan
segala ketakutan dan keberaniannya. Dan lebih dari itu, ia
telah belajar bahwa hidup bukanlah tentang menghindari
ketakutan atau mencari kesempurnaan. Hidup adalah tentang
menerima diri kita apa adanya dan terus melangkah,
meskipun terkadang kita merasa ragu atau takut.
Picis tersenyum, merasa ada cahaya baru dalam
dirinya—sebuah cahaya yang datang dari penerimaan,
keberanian, dan kedamaian yang telah ia temukan dalam
perjalanan panjang ini. Dengan hati yang lebih ringan dan
jiwa yang lebih kuat, ia tahu bahwa ia siap untuk menjalani
setiap langkah hidup yang akan datang. Dan apa pun yang
terjadi, ia tidak akan lagi merasa sendirian. Karena dalam
Negeri Perasaan
192
dirinya, ada cahaya yang akan selalu menyala, siap untuk
menuntunnya menuju tempat yang lebih baik.
Negeri Perasaan
193
Menemukan Kedamaian
Dalam Ketidaktahuan
unia tampak lebih luas dari sebelumnya, seolah-olah
segala sesuatu yang Picis hadapi sekarang adalah
kesempatan untuk tumbuh lebih jauh. Meskipun perjalanan
yang telah dilalui terasa berat, setiap langkah yang ia ambil
sekarang memberikan arti dan rasa kedamaian yang tidak
pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, meskipun ia merasa
lebih kuat dan lebih bijaksana, ada satu hal yang selalu
membuatnya merenung: apakah ia benar-benar sudah siap
untuk apa yang ada di depan?
Pada suatu pagi yang cerah, Picis berjalan menyusuri
pantai dengan langkah ringan. Ombak yang datang ke tepian
mengalun lembut, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma
laut yang menyegarkan. Setiap tarikan napasnya terasa lebih
dalam, seolah-olah setiap molekul udara membawa
kedamaian yang telah lama ia cari.
Namun, di dalam hati Picis, ada semacam kegelisahan
yang tak dapat dihindari. Meskipun ia telah menerima
ketakutan dan keraguan dalam dirinya, ada satu hal yang
belum sepenuhnya ia terima—perubahan yang terus
D
Negeri Perasaan
194
berlangsung dalam hidupnya. Perjalanan menuju pantai yang
telah ia anggap sebagai tujuan ternyata hanyalah titik awal
dari perjalanan baru yang lebih kompleks. Dalam setiap
langkah yang diambil, ada kemungkinan tak terduga yang
siap menghadangnya.
Hana, yang berdiri di dekatnya, tampak mengamati
Picis dengan tatapan penuh pengertian. "Kamu tampaknya
sedang berpikir keras, Picis," katanya lembut.
Picis berhenti sejenak dan menatap Hana. "Aku
merasa... ada sesuatu yang lebih besar dari yang aku
bayangkan. Perjalanan ini belum selesai, bukan?"
Hana tersenyum, menatap ke arah laut yang terbentang
luas. "Tentu saja. Hidup selalu berkembang, selalu ada yang
baru untuk ditemukan, dan perubahan tidak pernah berhenti
datang. Tapi itu bukan hal yang buruk. Perubahan adalah
bagian dari hidup yang harus kita sambut, meskipun
terkadang terasa menakutkan."
Picis mengangguk perlahan, matanya menatap jauh ke
horison. "Aku tahu, tapi ada ketakutan dalam diriku yang
masih belum bisa aku lepaskan sepenuhnya. Apakah aku
sudah benar-benar siap untuk menghadapi semua yang akan
datang?"
Negeri Perasaan
195
"Siap atau tidak siap, perjalanan ini akan terus
berjalan," jawab Hana dengan penuh bijaksana. "Yang bisa
kita lakukan adalah belajar untuk beradaptasi dengan setiap
perubahan yang datang. Ketakutan itu akan selalu ada, tetapi
kita tidak harus membiarkannya mengendalikan kita. Yang
lebih penting adalah bagaimana kita memilih untuk
merespons setiap perubahan yang datang."
Picis meresapi kata-kata Hana. Ia tahu bahwa ia telah
melewati banyak hal, tetapi perjalanan hidupnya baru saja
dimulai. Ia merasa seperti sedang berada di persimpangan
jalan yang tak terduga—sebuah jalan yang penuh dengan
tantangan dan peluang yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Apakah kita akan selalu merasa seperti ini?" tanya
Picis, lebih kepada dirinya sendiri. "Terus-menerus berada di
ujung ketidakpastian, selalu ada lebih banyak yang harus
dipelajari dan diterima?"
Hana tertawa pelan, menepuk bahu Picis dengan
lembut. "Mungkin. Tetapi justru di situlah keindahannya.
Hidup bukanlah tentang menemukan semua jawaban, tetapi
tentang menemukan kebebasan dalam menjalani setiap
pertanyaan yang ada. Kita tidak perlu tahu segalanya untuk
merasa utuh. Kadang-kadang, hanya dengan berjalan
Negeri Perasaan
196
bersama ketidakpastian itulah kita menemukan siapa kita
sebenarnya."
Picis merenung. Kata-kata Hana terasa seperti
pencerahan. Ia menyadari bahwa perjalanan hidupnya
memang penuh dengan ketidakpastian, tetapi itu bukan
alasan untuk berhenti atau mundur. Setiap ketakutan, setiap
keraguan, hanyalah bagian dari proses yang mengajarinya
untuk lebih menerima dan lebih kuat. Bahkan dalam
ketidakpastian, ada kekuatan untuk bertumbuh.
"Terima kasih, Hana," katanya, dengan hati yang lebih
ringan. "Aku merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun
yang datang sekarang."
Hana tersenyum, memberikan senyuman penuh
kebijaksanaan. "Kamu sudah siap sejak pertama kali kamu
memilih untuk berjalan. Tidak ada yang benar-benar siap
untuk segala sesuatu, tetapi kita selalu bisa belajar, tumbuh,
dan beradaptasi."
Picis merasa ada kedamaian yang lebih dalam dalam
dirinya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah
sepenuhnya bebas dari ketakutan dan keraguan. Namun, ia
juga tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk terus berjalan,
menghadapi setiap langkah yang datang dengan keberanian
Negeri Perasaan
197
dan keyakinan. Dalam ketidakpastian itu, ada kebebasan
yang menanti untuk ditemukan.
Dengan langkah mantap, Picis melanjutkan
perjalanannya, menyusuri pantai yang kini terasa seperti
rumah. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, ia
tidak akan lagi merasa sendirian. Karena setiap langkah yang
diambilnya, ia selalu dibimbing oleh cahaya yang telah ia
temukan di dalam dirinya—cahaya yang selalu menyala,
bahkan ketika kegelapan datang.
Picis berdiri di ujung jembatan yang menghubungkan
dunia lamanya dengan dunia yang baru. Di depan, terbentang
jalanan yang lebih lebar, lebih cerah, namun juga penuh
dengan tantangan yang belum ia kenal. Beberapa langkah lagi
dan ia akan melangkah ke dalam dunia yang sepenuhnya
berbeda—suatu tempat yang penuh dengan kemungkinan,
tetapi juga potensi kegagalan. Meski demikian, ada satu hal
yang jelas dalam pikirannya: ini adalah jalan yang ia pilih.
Selama beberapa bulan terakhir, ia telah mengatasi
banyak hal—baik itu hantu-hantu emosional yang dulu
menguasai pikirannya, atau rasa ketakutan yang mencekam
setiap kali ia mendekati sesuatu yang baru. Tetapi pada
Negeri Perasaan
198
akhirnya, ia mulai menyadari bahwa ketakutan tersebut
bukanlah musuh. Sebaliknya, ketakutan itu adalah tanda
bahwa ia sedang tumbuh, bahwa ia sedang bergerak maju
menuju sesuatu yang lebih besar, lebih baik, meskipun
perjalanan itu menakutkan.
Di belakangnya, pemandangan lama masih ada—lautan
luas yang menggulung, penuh dengan kenangan dan emosi
yang sulit untuk dilupakan. Itu adalah tempat yang aman,
meski pada akhirnya terasa menyesakkan. Di depannya, jalan
baru itu terbuka, penuh dengan sinar matahari yang hangat,
namun tak terduga.
"Picis," suara Hana terdengar dari belakangnya,
menenangkan, namun mengandung ketegasan yang tak bisa
diabaikan. "Apakah kamu benar-benar siap untuk mengambil
langkah berikutnya?"
Picis menoleh, melihat Hana dengan senyum yang
lebih lembut dari sebelumnya. Meskipun tak ada yang bisa
memastikan apa yang akan terjadi di depan, ia merasa lebih
tenang karena Hana ada di sampingnya. "Aku tak tahu apakah
siap atau tidak," jawabnya dengan jujur. "Tapi aku tahu
bahwa ini adalah langkah yang harus aku ambil. Aku tak bisa
terus bersembunyi di tempat yang sama selamanya."
Negeri Perasaan
199
Hana mengangguk, matanya berbinar dengan
kebanggaan. "Kamu sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Tidak ada jalan yang mulus, tetapi selama kamu terus
berjalan, kamu akan menemukan cara untuk melewatinya."
Picis menghela napas, melihat ke depan, lalu
melangkah maju. Setiap langkah terasa lebih berat dari yang
ia kira, seakan dunia di depan menuntut lebih banyak dari
yang ia mampu berikan. Tetapi ia tahu, meskipun jalan ini
tidak akan mudah, itu adalah jalan yang ia pilih—dan itu
memberi arti baru dalam hidupnya.
Sementara ia berjalan, bayangan-bayangan masa lalu
mulai mengambang di benaknya. Ketakutan akan kegagalan,
keraguan akan kemampuan diri, dan rasa bersalah yang
kadang masih muncul. Semua itu adalah hantu-hantu yang
masih sering menghantui, meskipun mereka tidak lagi
memiliki kekuatan untuk mengendalikan hidupnya.
Setiap perasaan itu datang dan pergi, kadang seperti
ombak besar yang menghempas, kadang seperti angin sepoi-
sepoi yang hampir tak terasa. Namun, kini ia tahu bahwa ia
tidak harus menghindari perasaan itu. Ia hanya perlu
membiarkan perasaan itu ada, tanpa membiarkan mereka
menguasai dirinya.
Negeri Perasaan
200
"Hana," Picis berkata setelah beberapa saat, suaranya
tenang namun penuh pertanyaan. "Apakah kita akan selalu
merasa seperti ini—terus-menerus ragu, terus-menerus
bertanya apakah kita sudah melakukan hal yang benar?"
Hana tersenyum lembut. "Rasa ragu adalah bagian dari
perjalanan, Picis. Bahkan ketika kamu merasa paling yakin,
keraguan akan selalu muncul. Yang penting bukanlah apakah
kita meragukan diri sendiri, tetapi bagaimana kita memilih
untuk menghadapinya. Kamu sudah berada di jalan yang
benar. Itu sudah cukup."
Picis berhenti sejenak, merenung. Kata-kata Hana
terasa seperti angin yang menyejukkan hatinya. Mungkin ia
tidak akan pernah bisa sepenuhnya lepas dari ketakutan atau
keraguan, tetapi ia belajar untuk tidak lagi membiarkan hal
itu menghalangi langkahnya. Setiap rasa takut dan ragu
hanyalah bagian dari proses. Dan jika ia terus melangkah, ia
akan menemukan jawabannya—tidak melalui pencPicisn
yang sempurna, tetapi melalui pengalaman yang ia jalani
dengan sepenuh hati.
Akhirnya, setelah beberapa detik hening, Picis
mengambil langkah pertama ke jalan yang lebih luas itu,
merasakan kekuatan dalam setiap langkahnya. Keputusan
Negeri Perasaan
201
untuk bergerak maju bukanlah hal yang mudah, tetapi
sekarang ia merasa lebih siap dari sebelumnya untuk
menghadapi apa pun yang akan datang. Ia tahu bahwa tidak
ada yang pasti, tetapi ia yakin bahwa langkah-langkah kecil
yang ia ambil setiap hari akan membawanya lebih dekat pada
tujuannya. Dan itulah yang membuatnya terus berjalan.
Dengan jalan yang terbentang di depannya, Picis
melangkah ke dalam dunia baru itu. Ketakutannya ada, tetapi
ia juga tahu bahwa ia telah belajar untuk hidup berdampingan
dengan ketakutan itu, untuk tidak membiarkan ketakutan itu
menghalanginya. Dunia baru ini adalah dunia yang penuh
dengan kemungkinan—dan ia siap menjalaninya.
Setelah mengambil langkah pertama, Picis merasa
dunia di sekitarnya semakin nyata. Udara segar yang
menyentuh wajahnya, aroma tanah yang lembap, dan suara
alam yang menenangkan membawanya pada kesadaran baru.
Namun, di balik kedamaian itu, ada bayangan yang selalu
mengikuti setiap langkah yang diambilnya. Bayangan itu
adalah masa lalu, yang tak pernah benar-benar pergi. Tidak
peduli seberapa jauh ia melangkah, bayangan-bayangan itu
Negeri Perasaan
202
seolah selalu berada di sampingnya, mengingatkan akan
segala kegagalan dan ketakutan yang pernah ia alami.
Dia tahu bahwa untuk mencapai kedamaian sejati, ia
harus berhadapan langsung dengan bayangannya. Tidak lagi
lari atau bersembunyi, tetapi menerima dan memahami setiap
bagian dari dirinya yang terasa belum terselesaikan.
Di tengah perjalanan, ia tiba di sebuah lembah yang
sepi, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang rimbun. Angin
berdesir pelan, dan keheningan itu begitu mencekam, seolah
mengajak Picis untuk berdiam lebih lama dan merenung.
Tiba-tiba, di tengah keheningan itu, bayangan pertama
muncul.
“Masih ada banyak yang belum kamu selesaikan,
Picis,” suara itu terdengar jelas, memecah keheningan yang
menenangkan. Suara itu begitu familiar, seakan datang dari
dalam dirinya sendiri. Suara yang mengingatkan pada
ketidakmampuan, kegagalan, dan perasaan tidak cukup baik.
Picis menoleh, dan di depan matanya, berdirilah bayangan
seorang diri yang sudah lama ia lupakan—bayangan dari
masa lalu yang penuh dengan penyesalan.
"Apakah kamu akan terus melarikan diri dariku?" suara
itu bertanya, penuh dengan nada yang menggetarkan.
Negeri Perasaan
203
Picis menatap bayangan itu, hatinya berdegup lebih
kencang. “Aku tidak melarikan diri,” jawabnya dengan suara
yang agak gemetar. “Aku hanya belajar untuk tidak
terperangkap lagi dalammu.”
Bayangan itu tertawa dingin. “Kamu bisa lari sejauh
mungkin, tetapi aku akan selalu ada. Setiap kali kamu gagal,
aku akan datang. Setiap kali kamu merasa tidak cukup, aku
akan mengingatkanmu.”
Picis menarik napas dalam-dalam. Ketakutan itu
kembali muncul, menyelimuti dirinya seperti kabut yang tak
bisa dihindari. Tapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak bisa
membiarkan ketakutan itu menguasai dirinya lagi. Ia telah
terlalu lama hidup di bawah bayangannya.
“Tidak,” jawab Picis dengan tegas. “Aku sudah cukup
lama hidup di bawah bayanganmu, dan sekarang aku memilih
untuk berdiri sendiri. Aku tidak akan biarkan kamu lagi
menilai siapa aku.”
Bayangan itu menggelengkan kepala dengan raut wajah
yang penuh kesedihan. “Kamu masih belum mengerti.
Bayanganku adalah bagian dari dirimu. Tidak ada cara untuk
menghapusku. Aku adalah kenanganmu, ketakutanmu,
kegagalanmu.”
Negeri Perasaan
204
Picis merasa ada perasaan berat yang menahan
langkahnya. Ia ingin lari, ingin menghindar, tetapi kali ini ia
memutuskan untuk tidak mundur. Dengan perlahan, ia
melangkah maju menuju bayangan itu, dan untuk pertama
kalinya dalam hidupnya, ia menatapnya dengan penuh
keyakinan. “Aku tahu kamu adalah bagian dari diriku,”
jawabnya pelan, namun jelas. “Tapi itu tidak berarti kamu
harus mengendalikan diriku. Aku adalah siapa aku sekarang,
bukan siapa aku di masa lalu.”
Bayangan itu terdiam sejenak, seolah terkejut dengan
jawaban yang diberikan. Perlahan, bayangan itu mulai
menghilang, menguap seperti kabut yang tersapu angin. Hati
Picis berdebar, merasa seolah-olah ada beban yang telah lepas
dari pundaknya. Ia tahu, ini bukan akhir dari segalanya, tetapi
ini adalah langkah pertama menuju kebebasan yang sejati—
kebebasan dari bayangan-bayangan yang mengikatnya.
Dengan langkah yang lebih mantap, Picis melanjutkan
perjalanan. Bayangan itu mungkin akan muncul lagi di lain
waktu, tetapi kini ia tahu cara menghadapinya. Ia tidak perlu
lari. Ia hanya perlu mengingat bahwa ia memiliki kendali atas
dirinya sendiri. Setiap langkah yang ia ambil adalah bukti
bahwa ia tidak lagi dibatasi oleh masa lalu atau ketakutannya.
Negeri Perasaan
205
Di luar lembah yang sunyi itu, dunia terbentang lebih
luas, penuh dengan kemungkinan baru. Dan Picis tahu,
meskipun jalan itu tidak selalu mudah, ia memiliki kekuatan
untuk melangkah ke depan. Bayangan mungkin akan datang
dan pergi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana ia
memilih untuk meresponsnya. Dengan hati yang lebih ringan
dan langkah yang lebih pasti, ia terus melangkah, memasuki
dunia baru yang menantinya.
Picis melanjutkan perjalanan, namun kali ini, segala
sesuatu terasa berbeda. Jalan yang sebelumnya terlihat penuh
dengan rintangan dan ketidakpastian, kini terasa lebih
terbuka. Langkahnya semakin ringan, meskipun bayangan-
bayangan dari masa lalu masih mencoba merayapi
pikirannya. Namun, ia kini tahu, untuk setiap bayangan yang
muncul, ada kekuatan dalam dirinya yang semakin tumbuh,
kekuatan untuk menerima dan menghadapinya tanpa rasa
takut.
Keheningan yang menyelimutinya di sepanjang
perjalanan itu memberikan ruang bagi dirinya untuk
merenung lebih dalam. Tidak ada lagi suara bising yang
mengganggu pikirannya, hanya suara alam yang lembut,
Negeri Perasaan
206
gemerisik daun yang jatuh, dan tiupan angin yang
menenangkan. Keheningan itu bukan lagi tanda kesendirian
atau ketidakpastian, tetapi simbol dari kebebasan—
kebebasan untuk mendengarkan dirinya sendiri, kebebasan
untuk memilih arah yang ingin diambil.
“Apakah kamu benar-benar siap, Picis?” suara Hana
terdengar lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam, lebih
penuh makna. Hana berjalan di sampingnya, senyum penuh
pengertian terpancar di wajahnya. “Apa yang kamu cari di
sini?”
Picis berhenti sejenak, meresapi setiap kata yang baru
saja keluar dari mulut Hana. "Aku mencari kedamaian,"
jawabnya dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya.
"Kedamaian bukan dalam bentuk yang mulus dan tanpa
masalah, tetapi dalam cara aku menerima segala hal, baik itu
kegagalan atau kesuksesan. Aku ingin bisa berdamai dengan
semua perasaan yang datang—baik itu rasa takut,
kebingungan, atau bahkan kebahagiaan. Aku ingin hidup
dengan sepenuh hati, bukan terjebak dalam ketakutan atau
penyesalan."
Hana berhenti dan memandang Picis dengan mata yang
penuh makna. "Kamu telah menemukan sesuatu yang banyak
Negeri Perasaan
207
orang cari seumur hidup mereka, Picis. Kedamaian bukan
sesuatu yang datang dari luar, tetapi dari dalam diri kita
sendiri. Kamu sudah berada di jalan yang benar."
Picis tersenyum, merasakan kedamaian yang aneh
namun indah itu meresap dalam dirinya. Ia tidak merasa harus
berjuang keras untuk menemukan kedamaian. Itu bukanlah
sesuatu yang harus dikejar atau diraih. Sebaliknya,
kedamaian itu datang ketika ia bisa menerima segala sesuatu
yang ada—baik itu perasaan baik maupun buruk—dan
melangkah maju tanpa takut.
Namun, saat mereka melanjutkan perjalanan, angin
tiba-tiba berubah. Suara alam yang sebelumnya tenang kini
berganti menjadi riuh, seperti mengingatkan mereka akan
sesuatu. Picis memperlambat langkahnya, merasa ada sesuatu
yang akan datang. Tanpa peringatan, bayangan yang sama—
bayangan yang sudah ia hadapi sebelumnya—kembali
muncul di hadapannya.
"Tunggu, Picis," suara bayangan itu terdengar seperti
sebuah peringatan yang samar. "Kamu tidak bisa pergi begitu
saja. Apa yang kamu cari di sini tidak akan mudah. Jangan
kira kamu akan selamanya bebas dari rasa takut dan
keraguan. Mereka akan selalu kembali."
Negeri Perasaan
208
Picis menatap bayangan itu dengan tenang. Kini ia
tidak merasa cemas atau takut seperti dulu. "Aku tahu kamu
akan kembali," jawabnya dengan suara yang penuh
ketenangan. "Kamu adalah bagian dari diriku. Tapi aku tidak
lagi ingin hidup dalam bayanganmu. Aku tidak akan lari
darimu, tapi aku juga tidak akan membiarkanmu
mengendalikan hidupku."
Bayangan itu terdiam sejenak, seolah terkejut dengan
jawaban Picis. Perlahan, bayangan itu mulai menghilang,
seperti kabut yang menguap di tengah udara yang semakin
hangat. Picis merasakan hati yang lebih ringan, tetapi juga
kesadaran baru. Ia tahu, bayangan-bayangan itu tidak akan
pernah sepenuhnya hilang. Mereka akan terus ada, datang dan
pergi, menguji ketahanan diri. Tetapi yang penting adalah
bagaimana ia memilih untuk menghadapinya.
Kebebasan yang ia rasakan bukan berarti hidup tanpa
tantangan. Kebebasan itu justru datang dari kemampuan
untuk tetap melangkah meskipun tantangan datang. Ia tidak
lagi terikat pada ketakutan yang dulu mengekangnya. Kini,
Picis bisa melihat ketakutan itu dengan mata yang lebih
jernih, sebagai bagian dari perjalanan yang harus dilalui,
bukan sebagai penghalang.
Negeri Perasaan
209
Dengan langkah yang lebih mantap, Picis melanjutkan
perjalanannya bersama Hana. Jalan di depannya mungkin
masih terjal, penuh dengan ketidakpastian dan bayangan
yang akan terus menguji dirinya. Namun, Picis kini tahu
bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah langkah menuju
kebebasan sejati—kebebasan untuk hidup dengan sepenuh
hati, untuk menerima semua perasaan yang datang, dan untuk
terus maju tanpa takut menghadapi apa pun yang ada di
depan.
Saat langit senja mulai memerah, memberikan rona
keemasan pada dunia di sekitar Picis, ia berhenti sejenak,
menatap Tepi langit yang membentang tak terhingga. Di
depannya terbentang jalan yang penuh dengan kemungkinan.
Tanpa sadar, langkahnya berhenti, seolah menunggu untuk
meresapi momen yang tak terlukiskan itu. Semua rasa cemas,
kesedihan, bahkan kegembiraan yang datang dan pergi
selama ini, kini tampak begitu kecil di hadapan kedamaian
yang ia rasakan.
Semuanya terasa begitu jelas, begitu tepat. Setiap
langkah yang ia ambil telah membawa Picis pada titik ini,
pada momen di mana ia tidak lagi mencari jawaban dari luar
Negeri Perasaan
210
dirinya, tetapi mulai menemukan kebenaran dalam dirinya
sendiri. Betapa banyak kali ia terjebak dalam keraguan, di
mana dunia seakan menawarkan pilihan yang tak pernah
cukup baik. Betapa banyak malam yang ia habiskan dalam
keheningan, merenung, berjuang melawan suara-suara dalam
kepala yang terus mengingatkannya pada kegagalan dan
ketakutan. Namun di sini, di tempat ini, ia merasa suatu
ketenangan yang sulit dijelaskan.
"Apakah kamu merasa tenang sekarang?" suara Hana
yang lembut memecah keheningan. Ia berdiri di samping
Picis, menatap jauh ke depan, seakan mengerti setiap
perasaan yang mengalir di hati Picis.
Picis mengangguk, meski sedikit ragu. “Aku rasa aku
akhirnya mengerti. Semua yang selama ini aku takutkan,
semua yang aku coba hindari, akhirnya muncul ke
permukaan, dan aku sadar... mereka bukan musuh. Mereka
hanya bagian dari diri yang belum aku kenali sepenuhnya.”
Hana tersenyum dengan mata yang berbinar, penuh
kebijaksanaan. “Terkadang kita merasa harus melawan apa
yang ada di dalam diri kita. Tapi, seperti yang kamu tahu, kita
tak bisa melawan diri kita sendiri selamanya. Semua itu
Negeri Perasaan
211
hanya akan terus kembali, lebih kuat, lebih keras, sampai kita
belajar untuk berdamai dengan mereka.”
Picis menundukkan kepala, merenung, merasa seolah
semua kegelisahan yang ada selama ini mulai mencair,
memberi ruang bagi penerimaan. Bayangan-bayangan yang
selama ini ia lawan, kini terasa lebih ringan. Mereka tidak
menguasainya. Mereka hanya ada sebagai cermin dari
ketakutannya yang belum diselesaikan.
"Selama ini, aku selalu berusaha menghindari rasa
sakit," Picis berbisik, hampir seperti sebuah pengakuan pada
dirinya sendiri. "Aku pikir aku harus lari dari segala rasa takut
dan perasaan yang tidak nyaman. Tapi sekarang aku tahu, aku
harus menghadapinya. Aku harus melewatinya. Tanpa lari,
tanpa menghindar."
Kata-kata itu seperti batu besar yang jatuh dari
pundaknya. Ketakutan itu tidak lagi mengikatnya. Rasa takut
akan kegagalan, penolakan, atau ketidakpastian, tidak lagi
mengendalikan pikirannya. Ia merasa seperti seseorang yang
baru saja membuka matanya, untuk pertama kalinya melihat
dunia dengan perspektif yang berbeda—bahwa semuanya,
baik yang indah maupun yang menyakitkan, memiliki peran
dan makna yang saling melengkapi.
Negeri Perasaan
212
Di tengah keheningan yang semakin dalam, sebuah
angin lembut menyapa wajahnya. Picis menutup matanya,
merasakan angin itu membawa ketenangan yang dalam. Ia
tidak perlu lagi mencari tempat perlindungan dari perasaan-
perasaan negatif. Ia sudah belajar menerima bahwa hidup
tidak akan selalu datang dengan kepastian yang diinginkan.
Tetapi yang ia bisa lakukan, adalah berjalan dalam
ketidakpastian itu, penuh keyakinan bahwa setiap langkah
yang ia ambil adalah bagian dari perjalanan menuju
kedamaian sejati.
Hana berjalan mendekat, memegang pundaknya
dengan lembut. “Ini adalah langkah besar, Picis. Kamu telah
membebaskan dirimu dari banyak hal yang mengikatmu.
Sekarang, kamu siap untuk hidup sepenuhnya—bukan untuk
mencari kebahagiaan di luar, tetapi untuk menemukan
kebahagiaan dalam dirimu sendiri.”
Picis membuka matanya, dan untuk pertama kalinya, ia
merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Kedamaian yang datang bukan dari pencapaian
luar, bukan dari pengakuan orang lain, melainkan dari
penerimaan terhadap dirinya sendiri. Ia tidak perlu menjadi
Negeri Perasaan
213
seseorang yang sempurna. Ia hanya perlu menjadi dirinya
yang asli, dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
“Apakah aku akan baik-baik saja?” tanya Picis, meski
suara hatinya tahu bahwa pertanyaan itu hanyalah untuk
menegaskan perjalanan panjang yang telah dimulai.
“Ya,” jawab Hana dengan keyakinan yang tak
terbantahkan. “Kamu sudah melangkah jauh lebih dekat
dengan kedamaian yang kamu cari. Dan meskipun perjalanan
ini tidak akan selalu mudah, kamu akan selalu memiliki
kekuatan untuk menghadapinya. Yang penting adalah kamu
tidak lagi mencari jawaban di luar, tapi di dalam diri.”
Picis menatap ke depan, ke arah jalan yang masih
panjang. Di sana, ia tahu, ada banyak tantangan yang akan
datang. Namun, ia tidak lagi merasa takut. Bayangan-
bayangan itu mungkin akan kembali, tetapi kini ia tahu
bagaimana cara menghadapinya—dengan penuh keberanian
dan cinta pada diri sendiri.
Ia melangkah maju, dan setiap langkahnya terasa lebih
ringan, lebih berarti. Dunia yang tadinya penuh dengan
kebingungan dan ketakutan, kini tampak lebih terang. Semua
rasa takut itu, yang dulunya seperti bayangan gelap yang
mengekang, kini terasa lebih kecil. Ia tidak perlu lagi
Negeri Perasaan
214
menakut-nakuti dirinya sendiri dengan kemungkinan yang
belum terjadi.
Keheningan senja itu mengajarkan Picis bahwa
kebahagiaan sejati bukanlah tentang mencapai suatu titik atau
tujuan, tetapi tentang kemampuan untuk menerima
perjalanan hidup dengan segala dinamikanya. Ia tahu,
perjalanan ini mungkin tidak selalu mulus. Akan ada saat-saat
jatuh dan bangun, saat-saat kebingungan dan keraguan.
Namun, yang terpenting, ia telah menemukan kedamaian
dalam dirinya sendiri. Dan itu, lebih dari segalanya, adalah
kebebasan sejati.
Picis mengangkat kepala, menyadari bahwa hidup ini
lebih dari sekadar mencari tempat perlindungan. Ini adalah
tentang hidup dengan penuh kesadaran, menerima setiap
bagian dari diri sendiri, dan dengan berani melangkah menuju
dunia yang lebih luas.
Dan dengan langkah pertama yang mantap, Picis
melanjutkan perjalanannya, kini lebih yakin bahwa ia tidak
hanya siap menghadapi masa depan, tetapi juga siap
menerima segala yang datang dengan hati yang penuh
kedamaian.
Negeri Perasaan
215
Malam semakin larut, dan angin malam berhembus
pelan, membawa kesunyian yang menenangkan. Picis
berhenti, sejenak, menatap langit yang gelap, namun penuh
dengan bintang-bintang yang berkilau. Seolah-olah, seluruh
alam semesta mengerti perjalanan yang baru saja ia jalani.
Perasaan yang melingkupinya kini bukan lagi keraguan atau
kecemasan, tetapi semacam kedamaian yang dalam dan
tenang.
Dia tahu bahwa langkah berikutnya bukanlah akhir dari
perjalanan panjangnya. Ada lebih banyak hal yang akan
datang, lebih banyak tantangan dan pelajaran hidup yang
akan ia temui. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa
bahwa tidak ada lagi yang perlu ia takutkan. Semua yang
selama ini mengganggunya, semua emosi dan perasaan yang
datang dan pergi, kini terasa lebih bisa diterima, lebih
dimengerti.
Dalam diam, ia berteriak di dalam hatinya, bukan
karena kekuatan atau semangat yang menggebu-gebu, tetapi
karena penerimaan yang tulus pada diri sendiri. Tidak perlu
lagi menyembunyikan rasa takut, tidak perlu lagi berlari dari
kegagalan atau kekecewaan. Segalanya terasa lebih ringan,
Negeri Perasaan
216
lebih jernih. Tidak ada yang perlu diperjuangkan, selain
menjadi diri sendiri yang sebenarnya.
Picis tersenyum, walau tanpa kata. Rasanya seperti
hidupnya kembali dipenuhi dengan warna. Bukan warna
yang cerah dan sempurna, tetapi warna yang penuh dengan
makna—warna yang mengajarkannya bahwa setiap langkah,
meski terkadang berat dan penuh rintangan, memiliki tujuan.
Tujuan itu bukanlah sebuah pencapaian besar, tetapi tentang
menjalani hidup dengan sepenuh hati, meski tidak ada yang
pasti.
Dia tahu, perjalanan ini akan terus berlanjut. Tapi kali
ini, ia tidak lagi mencari sesuatu yang jauh di depan,
melainkan menikmati setiap detik yang ia jalani, dengan
segala emosi dan pengalaman yang datang bersamanya.
Ketenangan ini, meskipun sederhana, terasa begitu penuh.
Dengan langkah yang tenang dan yakin, Picis
melangkah pergi. Tidak untuk melarikan diri, tetapi untuk
terus maju, menikmati perjalanan yang ada di depannya,
dengan segala yang telah ia pelajari dan terima. Hari esok
mungkin masih penuh dengan tantangan, tetapi ia tahu satu
hal: ia siap untuk menghadapinya.
Negeri Perasaan
217
TENTANG PENULIS
Mohammad Januarnabiri
Indonesia,24 Januari 2003
Seorang penulis independen
yang mendalami filsafat penerimaan
dan refleksi diri sebagai cara
memahami kehidupan. Melalui karya tulisnya, Mohammad
Januarnabiri berusaha mengajak pembaca untuk merenungi
makna dari setiap pengalaman hidup dengan sikap terbuka
dan tanpa penolakan.
Buku ini merupakan bagian dari perjalanan pribadi
dalam menemukan kedamaian melalui penerimaan dan
kesadaran penuh terhadap saat ini.
Sebagai penulis independen, Januar percaya bahwa
pemikiran sederhana namun mendalam dapat membuka
ruang bagi pemahaman yang lebih luas tentang diri dan dunia
di sekitar kita.