PASOLA_sumbaNarasi By Guardian M Rihi.pdf

AntoniusTamoAma 8 views 2 slides Nov 03, 2024
Slide 1
Slide 1 of 2
Slide 1
1
Slide 2
2

About This Presentation

Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan.[1] Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.[1] Ja...


Slide Content

PASOLA
Oleh : Guardian Michaella Rihi
SD KRISTEN TUNAS DAUD JAYA, Waikabubak.
No HP: 081 338 487 355
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk
saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang
berlawanan.[1] Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.
[1] Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari
atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.[1]
Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang
Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat
sumba).[1] Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.[1]
Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.[1] Pelaksanaan
pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga
Maret setiap tahunnya.
Tradisi pasola menggabungkan keahlian menunggang kuda dan melempar lembing yang
diadakan untuk menyambut tahun baru dalam kepercayaan Marapu dan panen.
SEJARAH
Menurut cerita rakyat Sumba, pasola berawal dari seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di
Kampung Waiwuang.[2] Rabu Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Amahu,
salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.[2] Selain Umbu Amahu, ada dua orang pemimpin
lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu.[2] Suatu saat, ketiga pemimpin
ini memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut.[2] Tapi, mereka pergi ke selatan
pantai Sumba Barat untuk mengambil padi.[2] Warga menanti tiga orang pemimpin tersebut
dalam waktu yang lama, namun mereka belum pulang juga ke kampungnya.[2] Warga
menyangka ketiga pemimpin mereka telah meninggal dunia, sehingga warga pun mengadakan
perkabungan.[2] Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum Umbu Amahu, Rabu Kaba
terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang berasal dari Kampung Kodi.[2] Namun keluarga
dari Rabu Kaba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan mereka, sehingga mereka
mengadakan kawin lari.[2] Teda Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya.
[2] Beberapa waktu berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Bayang
Amahu dan Umbu Amahu) yang sebelumnya telah dianggap meninggal, muncul kembali di
kampung halamannya.[2] Umbu Amahu mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda
Gaiparono.[2] Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah
memendam asmara dengan Teda Gaiparona tidak ingin kembali.[2] Kemudian Rabu Kaba
meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari

keluarga Umbu Amahu.[2] Belis merupakan banyaknya nilai penghargaan pihak pengambil isteri
kepada calon isterinya, seperti pemberian kuda, sapi,kerbau, dan barang-barang berharga
lainnya.[2] Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti.[2] Setelah
seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda
Gaiparona.[2] Pada akhir pesta pernikahan, keluarga Umbu Amahu berpesan kepada warga
Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan
mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba.
PROSES UPACARA
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa
syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan
cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.[3] Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan
purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai.[3]
Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai
terang.[3] Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk
dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.[3] Bila nyale tersebut gemuk,
sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen
yang berhasil.[3] Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka. Setelah
penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola
tidak dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh
segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing
maupun lokal. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang
dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun berujung tumpul,
permainan ini dapat memakan korban jiwa. Kalau ada korban dalam pasola, menurut
kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah
melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan. Dalam permainan pasola, penonton dapat
melihat secara langsung dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan,
kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan. Selain itu,
para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh
lawan. Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan
garang penunggangnya menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini. Pekikan para
penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi
tegang dan menantang. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat
untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Apabila terjadi kematian dalam permainan
pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang
dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.
Sumber : Wikipedia.
Tags