Pertemuan 2 Perpajakan TEORI PAJAK 25 SORE.pptx

NuyMangge 0 views 28 slides Sep 29, 2025
Slide 1
Slide 1 of 28
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28

About This Presentation

Materi Pajak


Slide Content

STIE PORT NUMBAY PERPAJAKAN DIGITAL Dr. Margo, S.P., S.E., M.Kes., M.S.A., Ak., CA

Selamat SORE Salam sejahtera Selamat berjumpa Semoga semua Dalam keadaan sehat

TEORI PAJAK

ASAS DAN DASAR PEMUNGUTAN PAJAK Dalam memungut pajak, institusi pemungut pajak hendaknya memerhatikan berbagai faktor yang selanjutnya dikenal sebagai asas pemungutan pajak. Pada uraian di bawah ini disajikan berbagai asas pemungutan pajak menurut para ahli ekonomi. Adam Smith. Asas Equality , pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Asas Certainty , semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. Asas Convinience of Payment , pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. Asas Efficiency , biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

W.J. Langen Asas Daya Pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan. Asas Manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum. Asas Kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Asas Kesamaan, dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama). Asas Beban Yang Sekecil-kecilnya, pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

Adolf Wagner Asas Politik Finansial, pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara. Asas Ekonomi, penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah Asas Keadilan, pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula. Asas Administrasi, menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak. Asas Yuridis, segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.

DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK Meski dijelaskan berbagai teori tentang dasar pemungutan pajak, pembayaran pajak umumnya tetap dianggap sebagai sebuah beban, ketimbang sebagai sebuah kewajiban apalagi sebuah kesadaran bahwa pemungutan pajak memang perlu didukung. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak adanya kontrasepsi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Teori yang menjadi dasar bagi Negara untuk memungut pajak, antara lain : Teori Asuransi Teori Kepentingan Teori Gaya Pikul Teori Bakti Teori Gaya Beli

A. Teori Asuransi Dalam perjanjian asuransi diperlukan premi. Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingannya misalnya keselamatan atau kemanan harta bendanya. Masyarakat seakan mempertanggungjawabkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada Negara sehingga masyarakat harus membayar “premi” kepada Negara. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Pada kenyataannya menyamakan pajak dengan premi tidaklah tepat, karena jika masyarakat mengalami kerugian, Negara tidak dapat memberikan penggantian layaknya perusahaan asuransi.

B. Teori Kepentingan Teori kepentingan diartikan bahwa Negara yang melindungi kepentingan harta dan jiwa warga Negara dengan memperhatikan pembagian beban yang harus di pungut dari masyarakat Pembebanan ini didasarkan pada kepentingan setiap orang termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran Negara untuk melindunginya dibebankan pada masyarakat. Warga Negara yang memilik harta lebih banyak akan membayar pajak yang lebih besar dan sebaliknya yang memiliki harta lebih sedikit membayar pajak lebih kecil untuk melindungi kepentingannya.

C. Teori Gaya Pikul Teori ini berpangkal dari azas keadilan yaitu bahwa tiap orang dikenakan pajak dengan bobot sama. Pajak yang dibayar adalah menurut gaya pikul dengan ukuran besarnya penghasilan dan pengeluaran seseorang. Kekuatan(gaya pikul) untuk membayar pajak baru ada setelah terpenuhinya kebutuhan primer seseorang. Dalam pajak penghasilan kita kenal konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Bila seseorang berpenghasilan di bawah PTKP berarti gaya pikulnya tidak ada sehingga ia tidak harus membayar pajak. Teori ini lebih menekankan unsur kemampuan sesorang dan rasa keadilan.

D. Teori Bakti Teori ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini mendasarkan bahwa Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa membayar pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap Negara karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat Negara.

E. Teori Gaya Beli Pembayaran pajak dimaksudkan untuk memelihara masyarakatnya. Pembayaran pajak yang dilakukan kepada Negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur dari pajak agar masyarakat tetap eksis . Teori ini mendasarkan pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu atau Negara, sehingga pajak lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur. Dalam teori ini kemaslahatan masyarakat akan tetap terjamin dengan pembayaran pajak.

PEMBAGIAN HUKUM PAJAK Hukum Pajak Material Hukum Pajak Formal

1. Hukum Pajak Material Pengertian: Hukum pajak material adalah bagian dari hukum pajak yang mengatur secara langsung mengenai timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak. Artinya, hukum pajak material menentukan siapa yang wajib membayar pajak, apa objek pajaknya, berapa besar pajak yang terutang, serta kapan kewajiban pajak itu lahir dan berakhir. Ruang lingkup: Subjek Pajak → siapa yang dikenakan pajak (orang pribadi, badan, dll.). Objek Pajak → apa yang dikenai pajak (penghasilan, barang/jasa, tanah, dll.). Tarif Pajak → besarnya pajak yang dikenakan. Saat Terutang Pajak → kapan kewajiban pajak timbul. Hapusnya Utang Pajak → misalnya karena pembayaran, kompensasi, daluwarsa, atau penghapusan.

2. Hukum Pajak Formal Pengertian : Hukum pajak formal adalah bagian dari hukum pajak yang mengatur cara untuk mewujudkan ketentuan hukum pajak material menjadi suatu realitas. Jadi, hukum pajak formal mengatur tata cara pelaksanaan, administrasi, penagihan, pengawasan, serta penyelesaian sengketa perpajakan. Ruang lingkup: Prosedur Pendaftaran dan Pelaporan → misalnya pendaftaran NPWP, kewajiban menyampaikan SPT. Tata Cara Penetapan dan Pembayaran Pajak → misalnya melalui self assessment (WP menghitung, membayar, melaporkan sendiri). Pemeriksaan Pajak → prosedur pemeriksaan oleh DJP. Penagihan Pajak → melalui surat teguran, surat paksa, penyitaan, hingga lelang. Upaya Hukum/Sengketa Pajak → keberatan, banding, gugatan, peninjauan kembali.

Hubungan Keduanya: Hukum pajak material dan formal saling melengkapi. Tanpa hukum material, tidak ada dasar pengenaan pajak. Tanpa hukum formal, pelaksanaan pemungutan pajak tidak bisa berjalan secara tertib dan adil. Keduanya merupakan satu kesatuan sistem perpajakan yang utuh. Kesimpulan: Hukum pajak material menjawab pertanyaan: “Kenapa, atas apa, dan berapa pajak yang harus dibayar?” Hukum pajak formal menjawab pertanyaan: “Bagaimana caranya melapor, membayar, dan menyelesaikan sengketa pajak?” Pemahaman terhadap kedua aspek ini sangat penting bagi wajib pajak maupun aparat pajak agar hak dan kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan dengan benar, adil, dan sesuai hukum.

PENGGOLONGAN PAJAK Penggolongan Pajak adalah cara mengelompokkan pajak berdasarkan kriteria tertentu untuk memudahkan pemahaman, pengelolaan, dan penerapan sistem perpajakan. Berikut adalah beberapa penggolongan pajak beserta penjelasannya: Berdasarkan Sifat Pemungutannya Berdasarkan Lembaga Pemungutnya Berdasarkan Sifat Tarifnya Berdasarkan Sistem Pemungutannya

1. Berdasarkan Sifat Pemungutannya Pajak Langsung ( Direct Tax ). Pajak yang pembebanannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Wajib pajak langsung menanggung beban pajak tersebut. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ciri: Beban pajak ditanggung sendiri oleh wajib pajak. Biasanya bersifat progresif (tarif naik seiring dengan meningkatnya penghasilan). Pajak Tidak Langsung ( Indirect Tax ). Pajak yang pembebanannya dapat dialihkan kepada pihak lain, biasanya konsumen akhir. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPnBM ), Bea Meterai. Ciri: Beban pajak dapat dialihkan. Biasanya dikenakan atas konsumsi atau transaksi.

2. Berdasarkan Lembaga Pemungutnya Pajak Pusat. Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah pusat. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPnBM ), Bea Meterai Pajak Daerah. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (provinsi/ kabupaten/ kota) dan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Bumi dan Bangunan.

3. Berdasarkan Sifat Tarifnya Pajak Subjektif. Pajak yang memperhatikan kondisi atau keadaan pribadi wajib pajak (subjek pajak), seperti jumlah tanggungan, status perkawinan, dll. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) — karena mempertimbangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan status wajib pajak. Pajak Objektif. Pajak yang hanya memperhatikan objek pajak tanpa mempertimbangkan keadaan pribadi wajib pajak. Contoh: PPN, PBB — karena dikenakan berdasarkan nilai transaksi atau nilai jual objek pajak, tanpa melihat siapa pemiliknya.

4. Berdasarkan Sistem Pemungutannya a. Pajak Resmi ( Official Assessment System ). Wewenang menghitung besarnya pajak berada sepenuhnya di tangan fiskus (petugas pajak). Wajib pajak hanya membayar setelah menerima surat ketetapan pajak. Contoh: PBB (dalam sistem lama), Bea Meterai (untuk dokumen tertentu). b. Pajak Stelsel Sendiri ( Self Assessment System ). Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Contoh: PPh dan PPN — sistem yang dominan digunakan di Indonesia saat ini. c. Pajak Campuran ( Withholding System / Third Party Assessment ). Pajak dipungut oleh pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak) yang ditunjuk oleh undang-undang. Contoh: PPh Pasal 21 (dipotong oleh pemberi kerja), PPh Pasal 23 (dipotong oleh pihak yang membayar jasa).

Sejarah Perpajakan di Indonesia

Masa Penjajahan Belanda Pajak pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada masa kolonial Belanda.Abad ke-17 (VOC) → Pajak lebih bersifat pungutan sewenang-wenang, misalnya pajak tanah dan hasil bumi. 1830 – Sistem Tanam Paksa ( Cultuurstelsel ) → Petani diwajibkan menyerahkan sebagian hasil bumi sebagai bentuk pajak. 1870 ke atas → Pajak mulai diatur lebih sistematis melalui pajak tanah, pajak rumah tangga, dan pajak perdagangan.

Masa Pendudukan Jepang (1942–1945) - Pajak warisan Belanda tetap berlaku - Digunakan untuk biaya perang - Sangat memberatkan rakyat

Masa Kemerdekaan Awal (1945–1960-an) Kondisi Awal Pasca Proklamasi (1945)Setelah Indonesia merdeka, pemerintah belum memiliki sistem perpajakan sendiri.Untuk sementara, aturan pajak warisan Belanda (ordonansi pajak kolonial) tetap digunakan.Hal ini karena penyusunan sistem pajak nasional membutuhkan waktu, sementara negara baru merdeka butuh dana segera untuk membiayai pemerintahan. Peran Pajak sebagai Sumber Dana NegaraPajak dijadikan sumber utama pembiayaan negara karena keterbatasan pendapatan lain (misalnya dari ekspor, industri, atau pinjaman).Pada masa revolusi (1945–1949), penerimaan pajak sangat penting untuk membiayai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Upaya Perubahan dan Penyesuaian1951 → Pemerintah mulai melakukan revisi atas peraturan perpajakan kolonial agar sesuai dengan kebutuhan nasional.Tujuan utamanya:Memberikan keadilan bagi rakyat.Menyesuaikan tarif dan sistem pungutan dengan kondisi ekonomi Indonesia yang masih lemah.Namun , penerapan pajak belum maksimal karena:Infrastruktur administrasi pajak belum memadai.Kesadaran pajak masyarakat masih rendah.Kondisi politik dan ekonomi masih belum stabil.

Masa Modernisasi (1967–1980-an) Tahun 1967 → Pemerintah menyadari perlunya reformasi pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. 1983 – Reformasi Pajak Besar Diberlakukannya Self Assessment System (wajib pajak menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya). Lahir Undang-Undang Perpajakan baru, menggantikan warisan Belanda.

Era Reformasi & Digitalisasi (1990–sekarang) 1994 dan 2000 → Penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 2008 → Reformasi perpajakan tahap kedua. 2016 → Tax Amnesty (pengampunan pajak). 2021 → Disahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai penyempurnaan terbaru. Saat ini → Sistem perpajakan semakin digital (e- filing , e- bupot , e-faktur, core tax system ).
Tags