PERTEMUAN KEDUA PPT HUKUM PAJAK TENTANG SEJARAH HUKUM

Efrianza1 16 views 21 slides Sep 16, 2025
Slide 1
Slide 1 of 21
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21

About This Presentation

Hukum Pajak


Slide Content

Sejarah Hukum di Indonesia: Penafsiran Peraturan Pajak & Sektor Penerimaan Pajak D osen Pengampu : Efrianza , S.H., M.KN PERTEMUAN KEDUA

Pendahuluan • Pajak = kontribusi wajib rakyat kepada negara • Landasan : Pasal 23A UUD 1945 • Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara untuk pembangunan

PENJELASANYA… Pada bagian pendahuluan ini kita akan memahami mengapa pajak begitu penting bagi negara . Pertama , pajak merupakan kontribusi wajib dari rakyat kepada negara . Artinya , setiap warga negara punya kewajiban untuk membayar pajak sesuai ketentuan . Pajak ini bersifat memaksa , tapi sah secara hukum , karena hasilnya dipakai untuk kepentingan bersama . Jadi walaupun kita tidak menerima imbalan secara langsung , manfaat pajak bisa kita rasakan melalui berbagai fasilitas publik . Kedua , landasan hukumnya ada di Pasal 23A UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang . Dengan kata lain, negara tidak bisa sembarangan menarik pajak , semua harus jelas dasar hukumnya demi menjamin kepastian hukum dan keadilan . Ketiga , pajak adalah sumber utama penerimaan negara . Lebih dari 70 persen penerimaan APBN kita berasal dari pajak . Dana inilah yang kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan , mulai dari infrastruktur , pendidikan , kesehatan , hingga subsidi masyarakat . Bahkan gaji pegawai negeri dan biaya keamanan negara juga berasal dari pajak . Karena itulah pajak bisa kita sebut sebagai tulang punggung keuangan negara sekaligus bentuk partisipasi nyata rakyat dalam pembangunan nasional .”

Sejarah Pajak di Indonesia • Masa Kerajaan : upeti / hasil bumi • Masa Kolonial Belanda : landrent ( tanam paksa ), pajak kepala • Pasca Kemerdekaan (1945–1983): adopsi sistem kolonial → UU baru • Reformasi Perpajakan (1983– sekarang ): self-assessment, modernisasi administrasi pajak

Landasan Hukum Pajak • UUD 1945 ( Pasal 23A) • UU KUP ( Ketentuan Umum & Tata Cara Perpajakan ) • UU Pajak Penghasilan ( PPh ) • UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) • UU Cukai , Bea Masuk , dsb .

LANDASAN HUKUM PAJAK PENJELASANYA: UUD 1945 ( Pasal 23A) Merupakan dasar konstitusional pajak di Indonesia. Bunyi pasal : “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang .” Maknanya : negara hanya boleh menarik pajak jika ada UU yang mengaturnya , sehingga menjamin kepastian hukum , keadilan , dan perlindungan hak warga negara . UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Menjadi payung hukum administrasi pajak di Indonesia. Mengatur hak dan kewajiban wajib pajak serta wewenang fiskus . Contoh : pendaftaran NPWP, pelaporan SPT, pemeriksaan pajak , sanksi administrasi , dan penyelesaian sengketa pajak . UU Pajak Penghasilan ( PPh ) Mengatur pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak , baik orang pribadi maupun badan . Contoh : gaji , honorarium, keuntungan usaha , dividen , bunga , royalti . Pajak ini bersifat langsung , karena bebannya tidak bisa dialihkan ke pihak lain. UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPnBM ) Mengatur pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri . PPN dikenakan di setiap rantai produksi dan distribusi , tetapi beban akhirnya ditanggung konsumen . PPnBM khusus dikenakan pada barang mewah , misalnya mobil mewah , perhiasan , kapal pesiar . UU Cukai , Bea Masuk , dan Pajak Perdagangan Internasional Cukai : pajak atas barang tertentu dengan sifat konsumsi yang perlu dikendalikan ( contoh : rokok , minuman beralkohol ). Bea Masuk : pungutan negara atas barang impor . Bea Keluar / Pajak Ekspor : pungutan atas barang tertentu yang diekspor , untuk mengatur ketersediaan barang dalam negeri dan menjaga stabilitas harga .

Penafsiran Hukum Pajak 1. Penafsiran Gramatikal → arti kata dalam UU 2. Penafsiran Sistematis → hubungan antar pasal 3. Penafsiran Historis → sejarah pembentukan UU 4. Penafsiran Teleologis / Sosiologis → tujuan pembentukan UU 5. Restriktif & Ekstensif → mempersempit / memperluas aturan 6. Analogis → mengisi kekosongan hukum

1. Penafsiran Gramatikal Berdasarkan arti kata atau kalimat dalam undang-undang sesuai 1. Penafsiran Gramatikal Berdasarkan arti kata atau kalimat dalam undang-undang sesuai bahasa sehari-hari atau bahasa hukum . Tujuannya menjaga konsistensi dengan teks asli . Contoh : kata “ penghasilan ” dalam UU PPh ditafsirkan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan . 2. Penafsiran Sistematis Melihat hubungan antar pasal dalam satu undang-undang atau antar undang-undang terkait . Tujuannya agar tidak terjadi pertentangan antar ketentuan hukum . Contoh : ketentuan PPN dihubungkan dengan PPnBM , karena keduanya sama-sama diatur dalam UU PPN. bahasa sehari-hari atau bahasa hukum . Tujuannya menjaga konsistensi dengan teks asli . Contoh : kata “ penghasilan ” dalam UU PPh ditafsirkan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan . Penafsiran Hukum Pajak Dalam praktik perpajakan , undang-undang seringkali mengandung istilah yang bisa ditafsirkan berbeda . Oleh karena itu , digunakan beberapa metode penafsiran hukum pajak :

3. Penafsiran Historis Berdasarkan sejarah pembentukan undang-undang atau maksud pembuat undang-undang pada saat itu . Bisa dilihat dari risalah sidang DPR, naskah akademik , atau dokumen sejarah hukum . Contoh : penafsiran UU Pajak Penghasilan tahun 1983 tidak lepas dari sejarah reformasi perpajakan Indonesia yang beralih dari official assessment ke self assessment. 4. Penafsiran Teleologis / Sosiologis Berdasarkan tujuan hukum ( keadilan , kemanfaatan , kemaslahatan masyarakat ). Lebih fleksibel karena menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat . Contoh : tarif cukai rokok ditafsirkan bukan sekadar untuk penerimaan negara , tetapi juga untuk mengendalikan konsumsi demi kesehatan masyarakat . 5. Penafsiran Restriktif & Ekstensif Restriktif : mempersempit cakupan aturan agar tidak meluas melebihi maksud UU. Ekstensif : memperluas cakupan aturan agar sesuai tujuan UU. Contoh : istilah “ usaha ” dalam UU PPh bisa ditafsirkan restriktif hanya sebagai kegiatan bisnis formal, atau ekstensif termasuk usaha informal. 6. Penafsiran Analogis Mengisi kekosongan hukum dengan membandingkan pada aturan serupa . Berbahaya jika tidak hati-hati , karena bisa menimbulkan ketidakpastian hukum . Contoh : jika ada jenis transaksi baru dalam ekonomi digital yang belum diatur , bisa dianalogikan dengan transaksi konvensional yang sudah diatur . ✨ Jadi , penafsiran hukum pajak diperlukan agar undang-undang pajak tidak kaku , dapat diterapkan sesuai maksud pembuat UU, serta relevan dengan perkembangan masyarakat dan ekonomi .

Contoh Penafsiran Pajak • PPN: penafsiran sistematis → barang & jasa kena pajak • PPh Pasal 21: penafsiran gramatikal → definisi penghasilan • Cukai rokok : penafsiran teleologis → pengendalian konsumsi & penerimaan

Contoh Penafsiran Pajak 1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) → Penafsiran Sistematis Kasus : Penentuan apakah suatu barang atau jasa termasuk objek PPN. Penafsiran : Sistematis , yaitu melihat hubungan antar pasal dalam UU PPN. Contoh : Pasal 4 UU PPN menyebut barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Pasal 16D mengatur perlakuan khusus untuk penyerahan BKP tertentu . Maka , untuk memastikan suatu transaksi kena PPN atau tidak , harus ditafsirkan dengan melihat keseluruhan pasal yang saling berkaitan , bukan hanya satu pasal saja . 2. Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 21 → Penafsiran Gramatikal Kasus : Menentukan apa yang dimaksud dengan “ penghasilan ” yang dipotong PPh 21. Penafsiran : Gramatikal , yaitu berdasarkan arti kata dalam UU. Contoh : Pasal 4 ayat (1) UU PPh mendefinisikan penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak . Maka gaji , honorarium, tunjangan , bonus, termasuk kategori penghasilan yang dikenai PPh 21. Penafsiran ini mengikuti arti kata sesuai rumusan UU, tanpa perlu memperluas atau mempersempit . 3. Cukai Rokok → Penafsiran Teleologis ( Sosiologis ) Kasus : Mengapa rokok dikenai cukai dengan tarif tinggi ? Penafsiran : Teleologis , melihat tujuan pembentuk UU. Contoh : UU Cukai menegaskan bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang peredarannya perlu dikendalikan , konsumsinya diawasi , dan memberikan dampak negatif bagi masyarakat . Maka cukai rokok tidak hanya bertujuan menambah penerimaan negara , tetapi juga mengendalikan konsumsi karena berdampak buruk bagi kesehatan . Di sini terlihat bahwa tujuan sosial dan kesehatan lebih menonjol daripada sekadar aspek fiskal . Jadi , dari ketiga contoh ini , kita bisa melihat bagaimana metode penafsiran hukum pajak diterapkan secara nyata dalam praktik : PPN memakai sistematis , PPh memakai gramatikal , dan Cukai memakai teleologis .

Sektor Penerimaan Pajak 1. Pajak Dalam Negeri : - PPh (Orang Pribadi , Badan , Final) - PPN & PPnBM - Bea Materai - Cukai 2. Pajak Perdagangan Internasional : - Bea Masuk - Pajak Ekspor

PENJELASANYA: 1. Pajak Dalam Negeri Merupakan pajak yang dipungut atas kegiatan ekonomi dan transaksi di dalam negeri . Pajak Penghasilan ( PPh ) Dipungut atas penghasilan yang diterima / diperoleh Wajib Pajak . PPh Orang Pribadi : pajak atas gaji , honorarium, usaha , atau pekerjaan bebas . PPh Badan : pajak atas laba perusahaan , termasuk PT, CV, koperasi . PPh Final : pajak yang dikenakan langsung pada objek tertentu dengan tarif final, misalnya UMKM 0,5%, bunga deposito , sewa tanah / bangunan . Pajak Pertambahan Nilai (PPN) & Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPnBM ) PPN : pajak atas konsumsi barang / jasa di dalam negeri . PPnBM : dikenakan tambahan pada barang mewah , seperti mobil mewah , kapal pesiar , perhiasan . Bea Materai Pajak atas dokumen yang memiliki nilai hukum , misalnya perjanjian , akta notaris , kwitansi , surat berharga . Tarif saat ini Rp10.000 untuk setiap dokumen tertentu . Cukai Pajak atas barang-barang tertentu yang peredarannya perlu diawasi . Contoh : hasil tembakau ( rokok , cerutu ), minuman beralkohol , dan produk tertentu yang ditetapkan pemerintah . Tujuan selain penerimaan negara juga untuk mengendalikan konsumsi . 2. Pajak Perdagangan Internasional Pajak yang dikenakan pada kegiatan ekspor dan impor . Bea Masuk (Import Duty) Pungutan atas barang impor yang masuk ke wilayah Indonesia. Tujuannya : melindungi industri dalam negeri serta menjadi sumber pendapatan negara . Pajak Ekspor (Bea Keluar ) Dikenakan pada barang tertentu yang diekspor , misalnya hasil tambang , kelapa sawit , atau rotan . Tujuannya : menjaga pasokan dalam negeri , mengendalikan harga , dan meningkatkan penerimaan negara .

Dengan demikian , sektor penerimaan pajak di Indonesia dibagi dua : pajak dalam negeri (yang mencakup PPh , PPN/ PPnBM , Bea Materai , dan Cukai ) serta pajak perdagangan internasional (Bea Masuk dan Pajak Ekspor ). Keduanya menjadi tulang punggung penerimaan negara untuk membiayai pembangunan nasional .

Kontribusi Pajak dalam APBN • Pajak = ±70% penerimaan negara • Fungsi Pajak : - Budgetair → sumber pendapatan - Regulerend → pengatur perilaku ekonomi

Kontribusi Pajak dalam APBN 1 . Pajak sebagai Sumber Utama Penerimaan Negara Pajak menyumbang sekitar ±70% dari total penerimaan negara . Artinya , sebagian besar belanja negara untuk pembangunan , subsidi , gaji aparatur negara , pendidikan , kesehatan , dan infrastruktur dibiayai dari pajak . Tanpa pajak , negara akan sulit menjalankan fungsi pemerintahan . 2 . Fungsi Pajak Fungsi Budgetair ( Sumber Pendapatan Negara) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran negara . Contoh : pembangunan jalan , sekolah , rumah sakit , subsidi BBM/ listrik , gaji pegawai negeri . Fungsi Regulerend ( Alat Pengatur Ekonomi & Sosial ) Pajak digunakan untuk mengatur perilaku masyarakat atau ekonomi . Contoh : Cukai rokok → mengendalikan konsumsi . Pajak progresif kendaraan bermotor → mengurangi kepemilikan mobil berlebih . Pajak ekspor → menjaga pasokan barang di dalam negeri . 3 . Grafik Kontribusi Pajak dalam APBN ( Sketsa sederhana untuk presentasi , bisa divisualisasikan dengan pie chart) Penerimaan Negara APBN 100% Pajak : ±70% Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): ±20% Hibah & lain-lain: ±10 % ✨ Jadi , dapat disimpulkan bahwa pajak adalah tulang punggung APBN . Selain sebagai sumber pendapatan , pajak juga dipakai sebagai instrumen pengendalian ekonomi agar pembangunan berjalan adil dan berkelanjutan .

Tantangan Penafsiran Pajak • Kompleksitas regulasi • Perbedaan tafsir fiskus & wajib pajak • Sengketa pajak di Pengadilan Pajak • Solusi : penyederhanaan & harmonisasi regulasi

Tantangan Penafsiran Pajak 1. Kompleksitas Regulasi Peraturan perpajakan di Indonesia sangat banyak dan sering berubah . Hal ini menimbulkan kebingungan bagi wajib pajak maupun aparat pajak . Contoh : aturan PPh dan PPN yang memiliki banyak pasal , ayat , serta peraturan turunan . 2. Perbedaan Tafsir antara Fiskus & Wajib Pajak Sering terjadi perbedaan pemahaman atas suatu pasal atau ketentuan . Fiskus ( otoritas pajak ) biasanya menafsirkan aturan untuk memperluas penerimaan . Wajib pajak cenderung menafsirkan untuk meringankan beban pajak . Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum . 3. Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak Perbedaan tafsir dapat berujung pada sengketa yang harus diselesaikan di Pengadilan Pajak . Sengketa ini memakan waktu , biaya , dan tenaga , baik bagi negara maupun wajib pajak . Menunjukkan perlunya kepastian hukum dalam interpretasi peraturan pajak . 4. Upaya Penyelesaian : Penyederhanaan & Harmonisasi Regulasi Pemerintah terus melakukan reformasi perpajakan , misalnya melalui UU HPP ( Harmonisasi Peraturan Perpajakan ) . Tujuan : Menyederhanakan aturan agar mudah dipahami . Mengurangi tumpang tindih regulasi . Meningkatkan kepastian hukum dan kepatuhan wajib pajak . ✨ Kesimpulan : Tantangan utama penafsiran pajak adalah kompleksitas aturan dan perbedaan tafsir . Solusinya adalah dengan menyusun regulasi yang sederhana , konsisten , dan harmonis , sehingga menciptakan kepastian hukum , keadilan , dan kepercayaan wajib pajak .

Kesimpulan • Sejarah perpajakan Indonesia: tradisional → kolonial → modern • Penafsiran hukum pajak penting untuk kepastian hukum • Pajak = tulang punggung penerimaan negara • Perlu pembaruan hukum agar adil , sederhana , pasti

Kesimpulan … Sejarah perpajakan Indonesia Berkembang dari sistem tradisional ( upeti dan hasil bumi ), Lanjut ke masa kolonial ( landrent , pajak kepala ), Hingga sistem modern pasca kemerdekaan dengan reformasi perpajakan . Penafsiran hukum pajak Sangat penting untuk menjamin kepastian hukum . Membantu menghindari perbedaan tafsir yang bisa menimbulkan sengketa . Pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara Menyumbang ±70% dari total penerimaan APBN. Membiayai pembangunan , pelayanan publik , dan kesejahteraan rakyat . Perlunya pembaruan hukum pajak Agar lebih adil ( tidak membebani berlebihan ), Sederhana ( mudah dipahami masyarakat ), Dan pasti ( memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun negara ). ✨ Dengan demikian , pajak bukan sekadar kewajiban , tetapi juga bentuk partisipasi rakyat dalam membangun negara . Supaya sistem ini berjalan efektif , hukum perpajakan harus terus disempurnakan sesuai kebutuhan zaman .

THANK YOU!!!
Tags