PIDANA DAN PEMIDANAAN PROF.CHRISTINA MAYA INDAH S.,SH.MHUM
Pidana merupakan nestapa / derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara ( melalui pengadilan ) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana . Istilah pemidanaan berasal dari kata “ pidana ”. Pidana didefinisikan sebagai nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ( hukum pidana ), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa . Prof. Sudarto , S.H.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai penderitaan ( nestapa ) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana . Menurut Moeljatno , dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, arti asal kata straf adalah hukuman yang merupakan istilah yang konvensional . Moeljatno menggunakan istilah inkonvensional yaitu pidana . Letak perbedaan antara istilah hukuman dan pidana , bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan formal atau ketentuan undang-undang ( pidana ), sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya . Kedua istilah ini juga mempunyai persamaan , yaitu keduanya berlatar belakang tata nilai ( value ), baik dan tidak baik , sopan dan tidak sopan , diperbolehkan dan dilarang .
Roeslan Saleh Pidana adalah reaksi-reaksi atas delik , yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik Pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah : “ Suatu penderitaan yang bersifat khusus , yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang pelanggar , yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh Negara”. Van Bemmelen Adami Chazawi Pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan / diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum ( sanksi ) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana
Dasar Pemikiran Penjatuhan Pidana : Berpijakan pada KeTuhanan Menurut ajaran ini dalam mencari dasar pemidanaan didasarkan pada ajaran kedaulatan Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci , penguasa adalah abdi Tuhan untuk melindungi yang baik dan mengecutkan penjahat dengan penjatuhan pidana . Pidana adalah tuntutan keadilan dan kebenaran Tuhan. Demikian juga Thomas Van Aquino bertolak pangkal bahwa negara sebagai pembuat undang-undang dimana hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya . Oleh karena itu kebutuhan negara untuk mencapai tujuannya berupa kesejahteraan umum maka negara selain berhak menentukan hukum , negara juga berhak memaksa untuk mentaati hukum dengan ancaman pidana .
Berpijakan pada falsah sebagai dasar pemidanaan Ajaran ini berpijakan pada perjanjian masyarakat ( du contrat social maatschappelijke verdrag ) artinya adanya perjanjian fiktif antara rakyat dengan negara, dimana rakyatlah yang berdaulat dan menentukan betuk pemerintahan . Kekuasaan negara tidak lain dari pada kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Setiap warga negara menyerahkan sebahagian dari hak asasinya ( kemerdekaannya ) sebagai imblannya mereka menerima perlindungan kepentingan hukum dari negara. Dan negara memperoleh hak untuk mempidana . Dilandasari oleh ajaran J.J Rousseau Berpijakan pada perlindungan hukum sebagai dasar pemidanaan Ajaran ini dipelopori oleh Bentham dan juga Van Hamel dan Simons. Mereka mecari dasar hukum pemidanaan berpijakan pada kegunaan dan kepentingan . Penerapan pemidanaan bertujuan sebagai perlindungan hukum maka dengan kata lain penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum .
Unsur Hukuman Sanksi tersebut harus diberlakukan dan dilaksanakan oleh suatu badan yang dibentuk oleh suatu sistem hukum terhadap siapa pelanggaran hukum tersebut dilakukan . Harus dilakukan secara sengaja oleh manusia lain selain pelaku. Harus melibatkan rasa sakit atau akibat lain yang biasanya dianggap tidak menyenangkan Harus karena suatu pelanggaran terhadap peraturan hukum . Harus mengenai pelaku tindak pidana yang sebenarnya atau yang diduga melakukan tindak pidana . H.L.A. Hart
PEMIDANAAN Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana / sentecing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana .
Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana . Pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman . Dalam Bahasa Belanda disebut straftoemeting dan dalam Bahasa Inggris disebut sentencing . Sudarto menyatakan bahwa “ pemidanaan ” memiliki arti yang sama dengan “ penghukuman ”, sebagaimana pendapatnya bahwa : “ Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum , sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja , akan tetapi juga hukum perdata , oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana , maka istilah tersebut harus disempitkan artinya , yakni penghukuman dalam arti pidana , yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling .”
Andi Hamzah Pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman . Pemberian pidana ini menyangkut dua arti yakni : Dalam arti umum , menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana ( pemberian pidana in abstracto ); Dalam arti konkrit ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu .
Pemidanaan harus didasarkan pada aturan yang pengenaannya berdasarkan pada tujuan . Hal ini sejalan dengan pendapat Casia Sphon tentang pemidanaan : “ Punishment is an institution in almost every society. Only very small and very isolated communities are at a loss about what to do with transgressors, and even they recognize the punishment of children by parents ... It is an institution which is exemplified in transaction involving individuals, transactions that are controled by rules, laying down what form it is to take, who may order it, and for what”. Pemidanaan melekat dalam setiap kehidupan masyarakat , untuk mengekspresikan tentang apa yang harus dilakukan terhadap para pelanggar hukum , sekali pun berupa hukuman terhadap anak oleh orang tuanya . Pemidanaan adalah lembaga yang menunjukkan transaksi yang melibatkan individu , transaksi yang dikendalikan oleh aturan , berbentuk apa yang harus dilakukan , terhadap siapa pidana itu dikenakan , dan untuk apa pidana itu dijatuhkan
Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri . Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial . Dalam hal ini , pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku , yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “ hati nurani bersama ” sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu . Bentuknya berupa konsekuensi yang menderitakan atau setidaknya tidak menyenangkan .
Praktik pemidanaan selama ini berdasarkan asas-asas pemidanaan yang tersusun di dalam sistem pemidanaan berdasarkan KUHP ( WvS ), di mana asas pemidanaan di dalamnya bertumpu pada asas legalitas yang mengatur berlakunya aturan pemidanaan menurut waktu , di samping asas berlakunya aturan pidana menurut tempat dengan asas territorial, asas universal, asas nasional aktif , dan asas perlindungan atau nasional pasif . Asas legalitas formal di dalam KUHP sebagai asas yang menentukan sumber hukum hanyalah undang-undang , sekaligus sebagai asas untuk menentukan apakah perbuatan dapat dipidana atau sebaliknya , menjadi tumpuan bagi hakim dalam mengadili dan memutus perkara pidana .
Asas pemidanaan dalam teori dan praktik di luar KUHP ( WvS ) saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat baik di dalam tataran legislative perundang-undangan di luar KUHP, maupun di dalam praktik penegakan hukum pidana atas dasar terobosan-terobosan yang dilakukan oleh hakim guna memberikan pemidanaan yang adil bagi pelaku , korban dan masyarakat . Berkembangnya asas-asas pemidanaan di luar KUHP tersebut menggambarkan bahwa KUHP ( WvS ) sudah usang ( obsolete/outmoded ) dan sekaligus mengabaikan keadilan ( unjust) yang dikehendaki masyarakat dalam praktik penegakan hukum pidana .
Asas pemidanaan mendasari perumusan norma-norma di dalam perundang-undangan pidana , yang mengikat dan memberi batasan-batasan serta mendasari pikir bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan hukum pidana , khusunya bagi hakim dalam menjatuhkan pidana . Di samping asas-asas pemidanaan , peranan tujuan pemidanaan juga sangat penting dalam menjatuhkan pidana . Oleh karena tujuan pemidanaan adalah ruh /spirit bagi hakim dalam menjatuhkan pidana . Pidana dijatuhkan harus sesuai dengan tujuannya yang tidak semata-mata bertujuan pembalasan , akan tetapi juga bertujuan mencegah kejahatan , perlindungan masyarakat , dan pemulihan keadilan bagi pelaku , korban, dan Masyarakat.
TUJUAN PEMIDANAAN Alasan karena pelaku pantas mendapatkannya untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban untuk menghentikan pelaku melakukan tindak pidana berikutnya untuk menenangkan hati korban bahwa masyarakat peduli terhadap apa yang telah menimpanya , untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama Tujuan pemidanaan adalah dasar pembenaran ( justification ) mengapa seseorang dijatuhi pidana . melindungi masyarakat dari bahaya dan perbuatan orang-orang yang tidak jujur , untuk memberi kesempatan pada pelaku untuk membayar kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya untuk membuat orang sadar bahwa hukum harus dipatuhi . Ada berbagai macam alasan yang memberikan dasar pembenaran penjatuhan pidana , seperti :
Tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah adalah penjeraan ( deterent ), baik yang ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada masyarakat dari perbuatan jahat ; perbaikan (reformasi) penjahat .
Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama , sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahatpenjahat potensial dalam masyarakat . Memberikan efek penjeraan dan penangkalan . Teori tujuan menganggap pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana . Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar . Pemidanaan sebagai rehabilitasi . Karena itu dalam proses pemidanaan , si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya . Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral atau merupakan proses reformasi. Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu :
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sistem berarti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas . Secara harfiah “ sistem pemidanaan ” terdiri dari dua kata yaitu “ sistem ” dan “ pemidanaan ”. SISTEM PEMIDANAAN Sementara pemidanaan berarti proses, cara , perbuatan memidana . Jadi sistem pemidanaan berarti sistem pemberian atau penjatuhan pidana . Sebuah sistem yang mengandung keterpaduan atau integralitas beberapa unsur atau faktor sebagai pendukungnya sehingga menjadi sebuah sistem . Sedangkan pemidanaan atau pemberian / penjatuhan pidana oleh hakim yang oleh Sudarto dikatakan berasal dari istilah penghukuman dalam pengertian yang sempit . Lebih lanjut , dikatakan “ penghukuman ” yang demikian mempunyai makna “ sentence ” atau “ veroordeling ”. Jadi system pemidanaan Adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan .
Keterpaduan dari ketiga tahapan dimaksud di atas yang menjadikan sebuah sistem dan tahap penetapan pidana memegang peranan yang sangat penting di dalam mencapai tujuan di bidang pemidanaan dan tahap ini harus merupakan tahap perencanaan yang matang dan yang memberi arah pada tahap-tahap berikutnya , yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana . Di sinilah sistem peradilan pidana bekerja melalui komponen-komponen subsistemnya Menurut Barda Nawari Arief Bahwa sistem pemidanaaan merupakan bagian dari mekanisme penegakan hukum ( pidana ), maka pemidanaan yang biasa juga diartikan “ pemberian pidana ” tidak lain merupakan suatu “proses kebijakan ” yang sengaja direncanakan . Pemberian pidana itu benar-benar dapat terwujud direncakakan melalui beberapa tahap yaitu : Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang L.H.C. Hulsman mendefinisikan sistem pemidanaan sebagai seperangkat peraturan yang berkaitan dengan sanksi pidana dan pelaksanaannya .
Sistem Pemidanaan Mencakup Pengertian Keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) untuk pemidanaan . Keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) untuk pemberian / penjatuhan dan pelaksanaan pidana Keseluruhan sistem ( perundang-undangan ) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi ( hukum pidana ). Keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) untuk fungsionalisasi / opoerasionalisasi / konkretisasi pidana
Semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Materiel/ Subtantif , Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan . J.M. Van Bemmelen menjelaskan perbedaan hukum pidana materil dan hukum pidana formil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut , peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu , dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu . Hukum Pidana Materiil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu .” Hukum Pidana Formil kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana , menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum , menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana . Hukum Pidana Materil Sementara Tirtamidjaja membedakan hukum pidana meteril dan hukum pidana formil kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu , atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim. Hukum Pidana Formil
D apat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi , sedangkan hukum pidana formil dalah aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil .
Sistem pemberian / penjatuhan pidana ( sistem pemidanaan ) itu dapat dilihat dari dua sudut yaitu : Sistem pemidanaan dari sudut bekerjanya / berfungsinya / prosesnya , dapat diartikan sebagai : Keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) untuk fungsionalisasi / operasionalisasi / konkretisasi pidana . Keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi ( hukum ) pidana . Sudut Fungsional S istem pemidanaan identik dengan sistem penegakan keseluruhan subsistem hukum pidana yang terdiri dari hukum pidana materil / substantif , subsistem pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan pidana . Ketiga subsistem merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan / ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu subsistem itu . Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas
Sistem pemberian / penjatuhan pidana ( sistem pemidanaan ) itu dapat dilihat dari dua sudut yaitu : Sistem hukum dalam pengertian ini hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif , sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai : Keseluruhan sistem aturan /norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan . Keseluruhan sistem aturan /norma hukum pidana materiel untuk pemberian / penjatuhan dan pelaksanaan hukum pidana . Sudut Norma- Substantif
Dari sudut fungsional , sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan system ( aturan perundang-undangan ) untuk fungsionalisasi / operasionalisasi / konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret , sehingga seseorang dijatuhi sanksi ( hukum ) pidana . Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub- sistem Hukum Pidana Materiil / Substantif , sub- sistem Hukum Pidana Formil dan sub- sistem Hukum Pelaksanaan Pidana . Sudut norma- substantif ( hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif ), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan /norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan ; atau Keseluruhan sistem aturan /norma hukum pidana materiel untuk pemberian / penjatuhan dan pelaksanaan pidana . keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan , yang terdiri dari “ aturan umum ” (“general rules”) dan “ aturan khusus ” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP, baik yang mengatur hukum pidana khusus maupun yang mengatur hukum pidana umum .
Teori absolut atau teori pembalasan ( vergeldingstheorien ) Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana . Penganut teori absolut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Pola, Van Bemmelen , Pompe dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Khatolik . Teori pembalasan mengatakan , bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis , seperti memperbaiki penjahat . TEORI PEMIDANAAN
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana . Pidana secara mutlak ada , karena dilakukannya kejahatan . Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu . Setiap kejahatan berakibat dijatuhkannya pidana pada si pelaku . Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut . Pidana merupakan tuntutan mutlak , bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan . Hakekat suatu pemidanaan adalah pembalasan . Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana . Pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana .Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana . Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau , maksudnya masa terjadinya tindak pidana , masa datang yang bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan .
Teori Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis , seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak , bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan , dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan ( revegen ). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa : “Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri . Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan .”
Pendapat Soesilo menyebutkan pidana adalah suatu pembalasan berdasar atas keyakinan zaman kuno , bahwa siapa yang membunuh harus dibunuh . Dasar keyakinan ini adalah “ Talio ” atau “ Qisos ” dimana orang yang membunuh itu harus menebus dosanya dengan jiwanya sendiri . Ini berarti bahwa kejahatan itu sendirilah yang memuat unsur-unsur menuntut dan membenarkan dijatuhkannya pidana ”.
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant dalam bukunya “ Philosophy of Law ” sebagai berikut : “ Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan / kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat , tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan . Bahkan walauun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri ( membubarkan masyarakatnya ) pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi / keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan . Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya , dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat , karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum ”.
Vos membagi Teori pembalasan absolut ini menjadi atas pembalasan subyektif dan pembalasan obyektif . Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku P embalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar .
1 2 3 4 5 Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat ; Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar ; Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana Pidana melihat ke belakang , merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki , mendidik , atau memasyarakatkan kembali si pelanggar . Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan memiliki beberapa tujuan . Tujuan dari pemidanaan tersebut , yaitu :
Penganut Teori retributive murni (The Pure Retributivist) Pidana harus cocok atau sepadan degan kesalahan si pembuat . Penganut teori retributif yang terbatas ( the limiting retributivist ) yang berpendapat : Pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan ; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan kesalahan terdakwa . Penganut teori retributif yang distributive ( Retibution in distribution ), yang disingkat dengan sebutan teori “distributive” yang berpendapat : Pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah , tetapi pidana juga tidak harus cocok / sepadan dan dibatasi oleh kesalahan . Prinsip “ tiada pidana tanpa kesalahan ” dihormati tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “ strict liability ”. Penganut teori retributif ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan yaitu : Penganut teori retributif tidak murni ( dengan modifikasi ) Yang dapat pula dibagi dalam :
Dalam buku John Kaplan, teori retribution ini dibedakan lagi menjadi dua teori yaitu : Teori pembalasan ( the revenge theori ), dan Teori penebusan dosa ( the expiation theory ) Kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda , tergantung kepada cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yakni apakah pidana itu dijatuhkan karena kita “ menghutangkan sesuatu kepadanya ” atau karena “ ia berhutang sesuatu kepada kita ”. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang sipenjahat “ telah dibayarkan kembali ” ( the criminal is paid back ) sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “ membayar kembali hutangnya ” ( the criminal pays back ). Teori Tujuan atau Teori Relatif ( doeltheorien )
Pembalasan berdasarkan tuntutan multak dari ethica ( moraal-philosopie ) Teori ini dikemukan oleh Immauel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan ( etika ) terhadap seorang penjahat . Menurut Kant walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya ( Fait Justitia ruat coelum ) . Pembalasan bersambut ( diakletis ) Teori ini dikemukan Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan , sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan . Kejahatan harus dilenyapkan dengan memberikan ketidakadilan ( pidana ) kepada penjahat . Dalam bahasa asing teori ini disebut dialectische vergelding Pembalasan demi keindahan / Kepuasan ( aesthetisch ) Teori ini dikemukan oleh Herbart yang mentakan bahwa tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasaan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan untuk memidana penjahat agar ketidak puasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan Kembali. Dalam istilah asing disebut aesthetische vergelding . Teori pembalasan dibagi kedalam lima bagian yaitu :
Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama) Teori ini dikemukan oleh stahl , Thomas Van Aquino. Kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap pri keadilan Tuhan dan harus ditiadakan , karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya prikeadilan Tuhan. Istilahnya ( Vergelding als een eisch der goddelijke gerechtigheid ) Pembalasan sebagai kehendak manusia Para mashab hukum alam memandang negara sebagai hasil dari kehendak manusia mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia . Teori pembalasan dibagi kedalam lima bagian yaitu :
Teori Tujuan atau Teori Relatif ( doeltheorien ) Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaranaan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi terjadinya kejahatan . Wujud pidana ini berbeda-beda menakutkan , memperbaiki atau membinasakan . Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi khusus . Prevensi umum menghendaki agar orang-orang lain pada umumnya tidak melakukan delik TEORI PEMIDANAAN
Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekkan sampai revolusi Perancis . Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan di depan khalayak ramai . Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya , dengan tujuan supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya . Untuk ini terkenal suatu adagium Latin yang berbunyi , “nemo prudens punit , quia peccatum , sed net peccetur ” ( supaya khlayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan , maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum ). Pada zaman Aufklarung , abad ke 18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara besar-besaran . Terutama oleh Beccaria dalam bukunya Dei Delliti e delle pene . Keberatan terhadap prevensi umum ini ialah diperguanakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum . Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah dipidana , dipergunakan untuk maksud prevensi umum tersebut . Sebaliknya , prevensi khusus , yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Lizt (Jerman) mengatakan , bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku ( dader ) bertujuan mencegah bakal pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya .
Maksud prevensi khusus dari suatu pemidanaan ialah : Bahwa pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya Dengan pemidanaan harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana Pemidanaan mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi T ujuan satu-satunya suatu pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum .
Adapun dasar teori relatif atau teori tujuan ini adalah bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib ( hukum ) dalam masyarakat . Pendapat Muladi tentang teori ini adalah : Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat . Sanksi ditekankan pada tujuannya , yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan , maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan . Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est ( karena orang membuat kejahatan melainkan ne paccatum ( supaya orang jangan melakukan kejahatan ).
Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa pendapat , yaitu : Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan . Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas Pencegahan Umum (General Preventie ) dan Pencegahan Khusus (Speciale Preventie )
Barda Nawawi Arief membagi dua aspek tujuan , yaitu : Aspek perlindungan masyarakat , yang pada intinya meliputi tujuan mencegah , mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan Masyarakat . Aspek perlindungan terhadap individu , yang pada intinya meliputi tujuan untuk melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana dan mempengaruhi tingkah laku tindak pidana agar taat dan patuh pada hukum . Aspek perlindungan individu ini sering disebut aspek individualisasi pidana .
Berbeda dengan teori retribution atau teori pembalasan , teori relatif menyatakan bahwa pemidanan memiliki tujuan sebagai berikut : 01 02 03 04 05 Pencegahan ( prevention ) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja ( misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana . Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan Pidana melihat ke muka ( bersifat prospektif ) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat .
Kedua teori di atas , baik teori retribution maupun teori relatif pada dasarnya adalah sama-sama memberikan sanksi pidana / hukuman terhadap penjahat atau pelanggar hukum , hanya saja sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya . Tujuan pemidanaan atau penghukuman di sini dimaksudkan bukan hanya sekedar pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku tindak pidana , agar menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatannya , melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas , artinya penderitaan itu merupakan obat penyembuh bagi pelaku kejahatan agar dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan datang .
Teori ini membenarkan pemidanaan dan tergantung dari tujuan pemidanaan yaitu perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadainya kejahatan Dipandang dari tujuan pemidanaan teori ini dibagi : 01 02 03 04 Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti calon penjahat . Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia . Menyingkirkan penjahat dari lingkungan masyarakat. dengan cara menjatuhkan hukum pidana yang lebih berat kalau perlu pidana mati Menjamin ketertiban umum . Caranya ialah mengadakan norma-norma yang menjamin ketertiban hukum . kepada pelanggar norma negara menjatuhkan pidana
Teori Gabungan /Modern ( Vereningings Theorien ) Selain teori absolut dan teori relatif , muncul teori ketiga yang di satu sisi mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana . Akan tetapi di sisi lain, mengakui pula unsur pencegahan dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana . Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi terdapat beberapa variasi . Ada yang menitikberatkan pada pembalasan , dan ada pula yang menghendaki unsur pembalasan dan prevensi seimbang . TEORI PEMIDANAAN
Yang pertama , yaitu menitik beratkan pada unsur pembalasan yang antara lain dianut oleh Pompe, yang mengatakan , “ bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan ”. Sedangkan teori gabungan yang kedua , yaitu yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat . Menurut teori ini , bahwa pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya . Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat , dengan mewujudkan ketertiban . Teori ini menggunakan kedua teori yaitu teori absolut dan teori relatif sebagai dasar pemidanaan , dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu : Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan . Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat ; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat ; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan .
Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif , kelemahan kedua teori tersebut adalah : Kelemahan teori relatif : Dapat menimbulkan ketidakadilan . Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati , melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada . Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan , maka mengapa hanya Negara saja yang memberikan pidana ? Kelemahan teori absolut : Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti , maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja , sehingga menjadi tidak seimbang . Hal mana bertentangan dengan keadilan . Kepuasan masyarakat diabaikan . Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat , masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan . Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek . Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan . Misalnya terhadap recidive .
Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif ( tujuan ) dan absolut ( pembalasan ) sebagai satu kesatuan . Teori ini bercorak ganda , dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari .
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut : Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat . Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis . Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan . Pidana bukanlah satu-satunya sarana , oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya . M enurut teori ini pemidanaan mensyaratkan agar bukan hanya memberikan penderitaan jasmani tapi juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan . Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan , yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan .
Pidana Denda Pidana Mati Pidana Penjara JENIS-JENIS PEMIDANAAN Pidana Kurungan Pidana Pokok Pidana Tutupan
PIDANA MATI Pada abad 19, bahkan abad ke 20 dalam beberapa persoalan kekerasan , pemidanaan diperlunak . Pada tahun 1809 di negeri Belanda dalam kitab undang-undang kriminal , pidana mati tetap dipertahankan dengan ketentuan bahwa hakim boleh memutuskan , apakah pidana itu akan dijalankan di tiang gantungan atau dengan pedang , tanpa upacara algojo , juga pukulan cemeti dan mencap badan dengan besi panas tanpa berlaku , tetapi di samping itu disahkan pidana penjara yang bersifat sementara dengan maksimum 20 tahun . Pidana mati merupakan pidana yang terberat di dunia. Dilihat dari sejarah , Pidana mati merupakan komponen permasalahan yang erat kaitannya . Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis , yakni sejak adanya undang-undang Raja Hammuburabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi . Hukuman mati merupakan talio ( pembalasan ), yakni siapa yang membunuh , maka ia harus dibunuh juga oleh keluarga si korban. Dan menurut codex Hammburabi ( dari 2.000 sebelum tarikh masehi ) kalau ada binatang pemeliharaan yang membunuh orang, maka binatang dan pemiliknya dibunuh juga.
Hukuman pidana mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan ( atau tanpa pengadilan ) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya Pidana mati merupakan sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan dan penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi . Sesuai dengan perkembangan hukum pidana yang modern yang menyusun pidana untuk melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan yang menjadi korban dari kejahatan dan penjahat . Roeslan Saleh mengatakan bahwa : " Pidana mati merupakan jenis pidana yang yang terberat menurut hukum positif kita . Bagi kebanyakan negara soal pidana mati itu tinggal mempunyai arti kulturhistoris . Dikatakan demikian , karena kebanyakan negaranegara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya .
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan ( atau tanpa pengadilan ) sebagai bentuk hukuman terberat yang terhadap seseorang atas perbuatannya . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukuman mati diartikan sebagai hukuman yang dijalanakan dengan membunuh orang yang bersalah . Orang yang bersalah dalam konteks hukum , yaitu orang-orang yang melanggar peraturanperaturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama atau kebiasaan dalam suatu komunitas masyarakat . Untuk melaksanakan hukuman mati , pada umumnya eksekusi terhadap terpidana mati dilakukan dengan berbagai metode sesuai dengan tempat dan perkembangan zamannya , antara lain di gantung atau ditembak mati oleh aparat-aparat yang ditugaskan khusus . Hukuman mati tersebut dijatuhkan dengan penuh kehati-hatian kepada pelaku-pelaku kejahatan yang berat , karena menyangkut penghilangan nyawa seseorang .
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat . Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 ( sepuluh ) tahun , jika : Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar , Terpidana menunjukKan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki , Kedudukan terpidana dalam penyertaan tidak terlalu penting ; dan Ada alasan yang meringankan Jika terpidana selama masa percobaan menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh ). Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati , akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati . Berhubung dengan inilah pada zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum .
PIDANA PENJARA Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan untuk menanggulangi masalah kejahatan adalah pidana penjara . Dilihat dari sejarahnya penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum para penjahat baru dimulai pada bagian terakhir abad 18 yang bersumber pada paham individualisme . Dengan makin berkembangnya paham individualisme dan gerakan prikemanusiaan , maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam . Selain itu di antara berbagai jenis pidana pokok , pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak ditetapkan dalam produk perundang-undangan pidana selama ini . Menurut P.A.F Lamintang pidana penjara adalah suatu bentuk pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana , yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan , dengan mewajibkan orang itu mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatn , yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut
Ada beberapa sistem pidana penjara . Yang pertama ialah , masing-masing terpidana dimasukan dalam sel-sel (cel) tersendiri . Ia sama sekali tidak diizinkan menerima tamu , baik dari luar maupun sesama narapidana . Dia tidak boleh bekerja di luar sel tersebut . Satu- satunya pekerjaannya ialah untuk membaca buku suci yang diberikan kepadanya . Sistem ini pertama kali digunakan di Pensylvania . Karenanya disebut sebagai Pensylvania system . Karena pelaksanaannya dilakukan dalam sel-sel , disebut juga sebagai cellulaire system . Sistem yang kedua adalah apa yang disebut dengan auburn system , karena pertama kalinya digunakan di Auburn. Disebut juga sebagai silent system , karena pelaksanannya . Pada waktu malam hari terpidana dimaksukkan dalam sel-sel secara sendiri-sendiri seperti cellulaire system. Pada siang hari diwajibkan bekerja bersama-sama dengan nara pidana ( penjara ) lainnya , akan tetapi dilarang berbicara antara sesam narapidana atau kepada orang lain. Sistem ketiga yang disebut sebagai English system atau Ire system atau Progressive system . Cara pelaksanaan pidana penjara menurut sistem ini adalah bertahap . Pada tahap pertama selama lebih kurang tiga bulan , terpidana menjalaninya seperti cellulaire system . Jika setelah tiga bulan tersebut terbukti ada kemajuan kesadaran terpidana , maka diikuti dengan tahap pelaksanaan yang ringan , yaitu ia sudah dibolehkan menerima tamu , berbincang-bincang sesama narapidana , bekerja bersama-sama dan lain sebagainya . Tahapan selanjutnya lebih ringan lagi , bahkan pada tahap terkahir dalam status terpidana ia boleh menjalani pidananya di luar tembok-tembok penjara . Sistem lainnya ialah dimasukkannya para narapidana ( penjara ) secara berkelompok dalam satu ruang dan mereka bekerja juga secara bersama-sama . Hal ini disebut juga dengan sistem bangsal / blok .
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa perampasan kemerdekaan atau kebebasan bergerak dari seorang terpidana dengan menempatkannya di lembaga pemasyarakatan , karena penjara sudah berubah menjadi lembaga pemasyarakatan . Konsep pemidanaan pun berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan . Prinsip-prinsip tata perlakuan terhadap para pelanggar hukum , terpidana dan narapidana sudah berubah dari prinsip-prinsip kepenjaraan menjadi prinsip-prinsip pemasyarakatan , yang sudah dituangkan kedalam suatu sistem yang disebut dengan sistem pemasyarakatan .
Sejak disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah menjadi landasan hukum yang kuat dari segi formil dan materil dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan . Berhasil atau tidaknya pembinaan sesuai sistem pemasyarakatan ditentukan oleh faktor pendukung yaitu lembaga pemasyarakatan ( meliputi antara lain faktor organisasi , personal petugas , sarana prasarana dan financial); narapidana ; dan masyarakat . Implementasinya , secara sederhana faktor-faktor tersebut dapat dicerminkan dalam pola perlakuan atau sikap petugas pemasyarakatan terhadap narapidana dan kondisi lingkungan lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan .
PIDANA KURUNGAN Pada dasarnya mempunyai dua fungsi , pertama sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan . Yaitu delik culp a dan beberapa delik dolus , seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP) pasal-pasal tersebut diancam dengan pidana penjara . Contoh tersebut sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilan , sedangkan yang ke dua adalah sebagai cutodia simplex , suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran , maka pidana kurungan menjadi pidana pokok , khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran , yaitu penempatan ditempat kerja negara.
Menurut Roeslan Saleh, pidana kurungan hanya untuk kejahatan-kejahatan culpoos , dan sering alternatif dengan pidana penjara , juga pada pelanggaran-pelanggaran berat . Beberapa pidana pokok sering secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama , alternatif berarti bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan secara kumulatif dengan denda . Jadi pidana penjara atau kurungan dan denda tidaklah mungkin , dalam perkara-perkara perbuatan pidana ekonomi . Di negara lain sudah dimungkinkan , walaupun dalam pidana bersyarat yaitu disamping pidana bersyarat ditimpakan pula pidana denda yang tidak bersyarat . Bilamana denda yang diancamkan terhadap kejahatan biasa ini alternatif dengan pidana penjara (Pasal 167, 281,310, 351, 362) kurungan (Pasal 231, ayat (4)) atau pidana dan kurungan atau kedua-duanya (Pasal 188, 483).
PIDANA TUTUPAN Pelaksanaan pidana tutupan berbeda dengan penjara karena ditempatkan di tempat khusus bernama Rumah Tutupan yang pengurusan umumnya dipegang oleh Menteri Pertahanan ( Pasal 3 ayat [1] PP 8/1948 ). Walaupun berbeda pelaksanaannya , penghuni Rumah Tutupan juga wajib melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dengan jenis pekerjaan yang diatur oleh Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman ( Pasal 3 ayat [1] UU 20/1946 jo. Pasal 14 ayat [1] PP 8/1948 ). Penghuni Rumah Tutupan tidak boleh dipekerjakan saat hari minggu dan hari raya , kecuali jika mereka sendiri yang menginginkan ( Pasal 18 ayat [1] PP 8/1948 ). Selain itu , Penghuni Rumah Tutupan wajib diperlakukan dengan sopan dan adil serta dengan ketenangan ( Pasal 9 ayat [1] PP 8/1948 ).
Mr. Utrecht berpendapat bahwa Rumah Tutupan bukan suatu penjara biasa tetapi merupakan suatu tempat yang lebih baik dari penjara biasa , selain karena orang yang dihukum bukan orang biasa , perlakuan kepada terhukum tutupan juga istimewa . Misalnya ketentuan Pasal 33 ayat (2) PP 8/1948 yang berbunyi “ makanan orang hukuman tutupan harus lebih baik dari makanan orang hukuman penjara ” serta ketentuan Pasal 33 ayat (5) PP 8/1948 yang berbunyi “buat orang yang tidak merokok , pemberian rokok diganti dengan uang seharga barang-barang itu .”
Andi Hamzah dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana , pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya . Tetapi, dalam praktik dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan . Akan tetapi , menurut pendapat Adam Chazawi dalam buku Pelajaran Hukum Pidana Bagian I serta pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia , sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 atau dikenal juga dengan sebutan “Tiga Juli Affaire”.
Pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku , apabila ia melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara , akan tetapi karena terdorong oleh maksud yang patut di hormati . Jika tindakan itu sendiri , atau cara melakukan tindakan itu ataupun akibat dari tindakan itu adalah sedemikian rupa sehingga lebih wajar dijatuhkan pidana penjara , maka pidana tutupam tidak berlaku . Pidana tutupan ditujukan bagi pelaku kejahatan
Pasal 69 ayat 1 KUHP ( WvS ) juga menyebutkan bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam Pasal 10. Menurut Andi Hamzah penempatan pidana tutupan setelah pidana denda adalah keliru dan seharusnya ditempatkan pada urutan ketiga , setelah pidana penjara , karena bagamanapun juga pidana tutupan mirip seperti penjara dan menghilangkan kemerdekaan seseorang sehingga lebih berat dibanding pidana kurungan apalagi pidana denda .
Penambahan pidana tutupan kedalam ketentuan KUHP didasarkan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 1946 di saat Indonesia baru saja merdeka dan menghadapai keadaan bahaya atau darurat . Di dalam ketentuan undang-undang hanya mengatur secara singkat mengenai hukuman tutupan yaitu (Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1946) : Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara , karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati , hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat , bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya . Selanjutnya pengaturan mengenai cara melaksanakan hukuman tutupan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan . Mengenai alasan seseorang dapat dijatuhi pidana tutupan tidak diatur lebih lanjut baik dalam UU No. 20 Tahun 1946 maupun pada PP No. 8 Tahun 1948 mengenai unsur maksud yang patut dihormati itu , oleh karena itu kriteria penilaian hal ini menjadi sepenuhnya didasarkan kepada pertimbangan hakim.
Ketentuan PP No. 8 Tahun 1948 mengatur secara terperinci mengenai pelaksanaan hukuman tutupan dan isi ketentuan tersebut dapat dikelompokan menjadi aturan tentang Rumah Tutupan dan aturan tentang penghuni Rumah Tutupan . Mengenai Rumah Tutupan diatur berbagai hal antara lain: Rumah tutupan merupakan tempat pelaksanaan hukuman pidana tutupan dan berada dibawah Menteri Pertahanan Menteri Pertahanan menentukan berapa jumlah orang yang boleh ditempatkan dalam Rumah Tutupan Pengawasan sehari-hari Rumah Tutupan dilaksanakan oleh Kepala Bagian Kehakiman Tentara dari Menteri Pertahanan Opsir-opsir yang bertugas termasuk Kepala Rumah Tutupan boleh berasal dari pegawai sipil yang diberikan pangkat tituler Tentara yang bertugas sebagai pegawai Rumah Tutupan tetap berlaku peraturan disiplin tentara Pegawai Rumah Tutupan dilarang keras baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan keuangan atau menerima hadiah baik dengan penghuni Rumah Tutupan maupun dengan sanak keluarganya Pegawai Rumah Tutupan wajib memperlakukan penghuni Rumah Tutupan dengan sopan adil tetapi dilarang menjalin persahabatan dengan penghuni Rumah Tutupan Pegawai Rumah Tutupan harus bertempat tinggal sedekat-dekatnya pada Rumah Tutupan , dan apabila ada disediakan rumah oleh Negera , mereka diwajibkan mendiami rumah yang ditunjuk itu .
Sedangkan mengenai penghuni Rumah Tutupan terdapat ketentuan sebagai berikut : Penghuni Rumah Tutupan boleh diperintahkan bekerja maksimal 6 jam sehari dengan diberi masa istirahat 1 jam Mereka dilarang bekerja diluar tembok Rumah Tutupan Penghuni Rumah Tutupan yang bekerja melebihi jam kerja diberikan hadiah uang atau barang Pada hari minggu dan hari raya , penghuni Rumah Tutupan tidak boleh dipekerjakan kecuali oleh kemauan mereka sendiri Jika pada hari mereka tidak bekerja , penghuni Rumah Tutupan diperbolehkan dengan pengawasan untuk berolahraga atau membaca buku , majalah , atau surat kabar Makanan penghuni Rumah Tutupan harus lebih baik daripada hukuman penjara
Apabila penghuni Rumah Tutupan tidak merokok , jatahnya diganti dengan uang senilai rokoknya Apabila menurut pemeriksaan dokter , penghuni Rumah Tutupan sakit atau tidak boleh bekerja maka ia tidak boleh dipekerjakan Untuk penghuni Rumah Tutupan disediakan air minum yang bersih dan sudah dimasak dalam tempat yang tertutup dengan baik Setiap pagi setelah kamar-kamar penghuni Rumah Tutupan dibuka maka mereka harus diperiksa kesehatannya oleh dokter Orang-orang hukuman tutupan diperkenankan memakai pakaian sendiri , dan apabila tidak mempunyai pakaian sendiri dan juga tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya , diberi pakaian seperlunya menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan . Pakaian ini harus lebih baik daripada pakaian orang hukuman penjara Apabila penghuni Rumah Tutupan melanggar peraturan ketertiban dan keamanan maka ia akan dihukum , dan hukuman terberat adalah isolasi ( tutupan sunyi ) paling lama 14 hari dalam sel tertutup dengan tidak diperbolehkan berbicara dengan siapapun kecuali seorang guru agama atau seorang pegawai Rumah Tutupan
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 tersebut antara lain adalah sebagai berikut : Pengurusan dan pengawasan tertinggi atas Rumah Tutupan (RT) dipegang oleh Menteri Pertahanan Terpidana wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan selama 6 jam sehari , akan tetapi tidak boleh dipekerjakan di luar tembok RT. Hukuman (tata tertib ) yang dibolehkan dijatuhkan kepada pelanggar-pelanggar peraturan rumah tutupan adalah : Pemarahan Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak yang mereka peroleh berdasarkan peraturan rumah tutupan atau peraturan administrasi Tutupan sunyi maksimum 14 hari , setelah jam kerja Tutupan sunyi maksimum 14 hari . Pelaksanaan tutupan sunyi ada kemiripan dengan cellulaire system . Yaitu dengan ciri : Terpidana diperkenankan memakai pakaian sendiri Makanan terpidana tutupan harus lebih baik dari terpidana penjara dan terpidana boleh memperbaiki makanan atas biaya sendiri Di dalam rumah tutupan diperbolehkan mengadakan penghiburan yang sederhana dan pantas Sedapat-dapatnya dalam rumah tutupan diadakan perpustakaan bagi terpidana dan para terpidana diperkenankan membawa buku-buku . Apabila terpidana meninggal , jenazahnya sedapat-dapatnya diserahkan kepada keluarganya .
PIDANA DENDA Dalam sejarahnya , pidana denda telah digunakan dalam hukum pidana selama berabadabad . Anglo saxon mula-mula secara sistematis menggunakan hukuman finansial bagi pelaku kejahatan . Pembayaran uang sebagai ganti kerugian diberikan kepada korban. Ganti rugi tersebut menggambarkan keadilan swadaya yang sudah lama berlaku yang memungkinkan korban untuk menuntut balas secara langsung terhadap mereka yang telah berbuat salah dan akibat terjadinya pertumpahan darah . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman terhadap kehidupan dan harta benda suatu kelompok yang ditimbulkan oleh pembalasan korban adalah faktor penting dalam perkembangan dan popularitas hukuman dalam bentuk uang
Pidana denda itu sendiri sebenarnya merupakan pidana tertua dan lebih tua daripada pidana penjara . Pembayaran denda terkadang dapat berupa ganti kerugian dan denda adat . Dalam zaman modern, denda dijatuhkan untuk delik ringan dan delik berat dikumulatifkan dengan penjara . Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan trakhir atau keempat , sesudah pidana mati , pidana penjara dan pidana kurungan . Pidana denda diancamkan sering kali sebagai altenatif dengan pidana kurungan terhadap hampir semua pelanggaran ( overtredingen ) yang tercantum dalam Buku III KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan , pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara . Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja . Alternatif lain adalah dengan pidana kurungan . Pidana denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain.
Pengaturan pidana denda dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 10 jo. Pasal 30. Pasal 30 mengatur mengenai pola pidana denda . Ditentukan bahwa banyaknya pidana denda sekurang - kurangnya Rp. 3,75 sebagai ketentuan minimum umum . Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum . Dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus ) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim. Pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakana jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam peraktek peradilan di Indonesia. Sejak 1960 sampai sekarang , belum ada ketentuan yang menyesuaikan mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk menerapkan pidana hilang kemerdekaan , dibandingkan dengan pemberian pidana denda .
Dalam suatu sanksi pidana , penderitaan merupakan salah satu unsur yang penting , sama pentingnya dengan unsur-unsur pidana lainnya . Walaupun demikian hal tersebut tidak boleh digunakan sebagai sarana pembalasan , tetapi tidak lebih hanya shock terapi bagi narapidana agar dia sadar . Pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu , yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu . Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan . Dengan ancaman pidana yang akan dijatuhkan dapat bersifat sebagai pencegahan khusus , yakni untuk menakutnakuti sipenjahat supaya jangan melakukan kejahatan lagi dan pencegahan umum , yaitu sebagai cermin bagi seluruh anggota masyarakat supaya takut melakukan kejahatan . Menurut Emile Durkheim bahwa fungsi dari pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau guncangan oleh adanya kejahatan .
Pencabutan hak-hak tertentu Perampasan barang-barang tertentu Pengumuman putusan hakim Pidana Tambahan JENIS-JENIS PEMIDANAAN
Pencabutan hak-hak tertentu Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut . Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan . Pencabutan hak-hak tertentu tersebut adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara yaitu tidak bersifat otomatis tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim dan tidak berlaku selama hidup tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim. Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut yaitu : Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu ; Hak untuk memasuki angkatan bersenjata ; Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum ; Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum , hak menjadi wali pengawas , pengampu atau pengampu pengawas , atas orang-orang yang bukan anak sendiri ; Hak menjalankan kekuasaan bapak , menjalankan perwakilan atau pengampuan atas anak sendiri ; Hak menjalankan pencaharian tertentu .
Perampasan Barang Tertentu Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut . Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan . Pencabutan hak-hak tertentu tersebut adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara yaitu tidak bersifat otomatis tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim dan tidak berlaku selama hidup tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim. Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut yaitu : Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu ; Hak untuk memasuki angkatan bersenjata ; Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum ; Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum , hak menjadi wali pengawas , pengampu atau pengampu pengawas , atas orang-orang yang bukan anak sendiri ; Hak menjalankan kekuasaan bapak , menjalankan perwakilan atau pengampuan atas anak sendiri ; Hak menjalankan pencaharian tertentu .
Undang-undang hukum pidana tidak mengenal adanya perampasan seluruh harta kekayaan , karena apabila sampai terjadi demikian keluarga terpidana akan mati kelaparan . Perampasan terhadap barang-barang tertentu dari harta kekayaan milik terpidana itu harus dilakukan dengan keputusan hakim dan harus disebutkan secara terperinci satu persatu dalam putusan hakim yang bersangkutan . Ada dua macam barang yang dapat dirampas , yaitu Barang- barang yang di dapat karena kejahatan,misalnya seperti uang yang diperoleh dari kejahatan pencurian dll . Barang- barang ini disebut dengan corpora delicti dan barang-barang inilah yang selalu dapat dirampas asalkan menjadi milik dari terpidana dan berasal dari kejahatan , baik kejahatan dolus maupun kejahatan colpus . Dal hal corpora delicti itu diperoleh dengan pelanggaran ( overtredingen ) maka barang-barang itu hanya dapat dirampas dalam hal- hal yang ditentukan oleh undang-undang misalnya Pasal 502 ayat (2) dan Pasal 519 ayat (2) , Pasal 549 ayat (2) dan lain-lain barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan . Misalnya senjata api , pistol pisau , belati , bahan racun , alat-alat aborsi yang tidak sah dan lain sebagainya . Barangbarang ini disebut dengan isntrumenta delicti dan selalu dapat dirampas asalkan itu merupakan milik terpidana dan dipakai untuk melakukan kejahatan colpus atau pelanggaran , maka instrumenta delicti itu hanya dapat dirampas dal hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang misalnya Pasal 205 ayat (3), Pasal 502 ayat (2) , Pasal 519 ayat (2), Pasal 549 ayat (2) dam lain sebagainya .
Pasal 39 KUHP menyatakan : (1) Barang- barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan , dapat dirampas . (2) Dalam hal karena pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja , atau karena pelanggaran , dapat juga dirampas seperti diatas , tetapi hanya dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang . (3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada Pemerintah , tetapi hanya atas barang-barang yang disita
Pada prinsipnya barang-barang dirampas itu harus milik terpidana , sehingga terpidana pribadi dapat merasakan akibat putusan pidana tambahan perampasan tersebut . Akan tetapi dalam hal-hal perampasan itu menonjol sebagai satu tindakan polisi dan sifat pidananya hampir dihilangkan , maka tidak perlu keharusan bahwa barang yang hendak dirampas itu harus milik terpidana , seperti ketentuan dalam Pasal 250 bis KUHP kalimat terakhir bahwa dirampas juga jika barang-barang itu bukan kepunyaan terpidana . Disampiang itu , ada pula perumusan ketentuan pidana yang dalam redaksinya tidak mengulangi dengan tegas prinsip umum bahwa barang-barang yang hendak dirampas itu harus menjadi milik terpidana , misalnya Pasal 261 ayat (2), dan Pasal 275 ayat (2) KUHP. Perampasan barang menurut ketiga pasal tersebut bersifat imperative.
Ketentuan perampasan dalam pasal-pasal khusus ini merupakan penegasan bahw prinsip umum barang-barang yang hendak dirampas harus menjadi milik terpidana itu harus dipertahankan , kecuali dalam hal-hal ada penegasan seperti tersebut dalam Pasal 250 bis KUHP. Kalimat terkahir dalam itu Pasal 250 bis KUHP bahwa barang bukan kepunyaan terpidana yang dirampas itu masih ada persoalannya , jika barang yang hendak dirampas itu milik terpidana bersama-sama dengan milik orang lain yang tidak bersangkut dalam perkara yang dituduhkan terhadap terpidana masih juga dapat dirampas ? Mengenai hal ini , berdasarkan prinsip umum dan pengecualian yang ditentukan oleh undang-undang maka selayaknya barang milik bersama itu dapat dirampas setelah diamati keperluannya untuk merampas dan kedudukan hukum barang yang bersangkutan . Misalnya milik bersama itu pembelian senjata api atau bahan petasan yang terkait dengan kejahatan . Namun apabila barang milik bersama tidak bersifat berbahaya , kiranya perlu dipertimbangkan perlindungan hukum bahwa dalam hal demikian ini tidak dapat dilakukan perampasan karena perampasan tersebut akan meliputi pula barang yang tidak menjadi milik terpidana .
Pengumuman Putusan Hakim Di dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya diumumkan berdasarkan kitab undang-undang atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana . Menurut Andi Hamzah, kalau diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan tersebut adalah agar masyarakat waspada terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan , perbuatan curang dan lainnya .
PIDANA BERSYARAT Pidana bersyarat memiliki pengertian sebagaimana yang dikemukan Lamintang adalah Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya . Menurut Muladi Pidana bersyarat adalah suatu pidana , dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut , kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan . Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut . Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana . Menurut R. Soesilo , Pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang “ hukum dengan perjanjian ” atau “ hukuman dengan bersyarat ” atau “ hukuman janggelan ” artinya adalah : orang dijatuhi hukuman , tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan , kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya , jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada . Sosilo juga berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian ( syarat-syarat ) yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya .
Persyaratan dapat dijatuhkannya pidana bersyarat menurut Muladi yaitu : a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara , asal lamanya tidak lebih dari 1 ( satu ) tahun . Jadi dalam hal in ipidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun , sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut , tetap pada pidana yang dijatuhkan terhadap si terdakwa , dari penjelasan tersebutnampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus , pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun , maka hakim tersebut memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut , akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat ( penyimpangan ), antara lain: Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda , namun harus pula dibuktikan bahwapidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan terpidana Kejahatan dan pelanggaran candu , perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan
Selain ketiga hal di atas , sebagai pengeculian tidak dapat dijatuhkannya pidana bersyarat , terdapat juga pengecualian lain mengenai lamanya waktu satu tahun juga dapat disimpangi , yaitu dengan masa percobaan selama tiga tahun namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu , yaitu Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau keamanan bagi orangorang lain ataupun melakukan sesuatu , dalam hal ini . Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum , baik dilakukan oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun . Perbuatan berkeliaran kemana -mana tanpa memiliki mata pencaharian , perbuatan tersebut dilakukan oleh sendiri atau tiga orang atau lebih dan usia mereka di atas enam belas tahun dan dalam hal ini perbuatan tersebut adalah bergelandangan . Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari perbuatan susila oleh seorang wanita . Perbuatan berada di jalan umum dalam keadaan mabuk .
Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubngan dengan pidana kurungan , dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda , mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan , sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari , alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana bersyarat , karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda , sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadapsesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan . Dalam hal menyangkut pidana denda , maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan , dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa .
Sedangkan masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti ( pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepaa terpidaan sesuai dengan tata tauran hukum yang sah , apabila mengacu pada Staatblad tahun 1926 Nomor 251 jo 486 mengenai aturan pidana bersyarat ( regeling van de voorwaardelijke veroordeling ) itu sendiri bahwa dalam Pasal 1 menyatakan : Ditentukan putusan pengadilan yang berisi tentang perintah pidana bersyarat setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap , oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan pengadilan , secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana secarapribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan tersebut , dengan menyerahkan suatu pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah tersebut .
Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat , antara lain: Sebelum melakukan tindak pidana itu , terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana lain dan selalutaat pada hukum yang berlaku Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun ) Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar Terdakwa tidak menduga , bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat , yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya .
Tindak pidaan tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar , baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat noninstitusional Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga Tindak pidana terjadi karena kealpaan Terdakwa sudah sangat tua Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa Khusus untuk terdakwa di bawah umur , hakim kurang yakin akan kemampuan orang tua untuk mendidik .
Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat , apabila dalam proses pemeriksaan terpidana bersyarat dikenai penahanan ( perampasan kemerdekaan ), maka masa percobaan terhadap terpidana tersebut tidak berlaku pada saat selama terpidana tersebut dirampas kemerdekaannya . Bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana bersyarat , hakim dapat memberikan syarat-syarat khusus , selain daripada syarat umum yang telah disebutkan di atas , syarat khusus yang dapat dijatuhkan hakim tersebutseperti pembebanan ganti kerugian terhadap korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang telah melanggar hukum , pembebanan ganti kerugian tersebut menyangkut sebagian ataupun seluruh kegiatan yang ditimbulkan , akan tetapi persyaratan khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak boleh membatasi kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya menurut ketatanegaraan . Seseorang yang dikenai pidana bersyarat apabila melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap , ataupun jika si terpidana tidak mentaati serta melanggar syarat khusus yang telah dijatuhkan kepadanya , maka hakim yang mejatuhkan pidana bersyarat tersebut dapat memerintahkan agar hukuman sebagai konsekuensi pidana bersyarat tersebut dilaksankaan atau memberi peringatan terhukum atas perbuatan yang telah dilakukan .
Manfaat- manfaat pidana bersyarat adalah sebagai berikut : Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan , khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif , dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan ( umum dan khusus ), perlindungan masyarakat , memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan .
PELEPASAN BERSYARAT Pelepasan bersyarat adalah seorang narapidana dibebaskan sebelum menjalani hukuman selesai dengan peryaratan-persyaratan tertentu . Hal ini dimaksud agar narapidana ketika selesai masa menjalani hukuman , yang bersangkutan dapat diterima kembali oleh masyarakat disekelilingnya . Pelepasan bersyarat tersebut merupakan sebagaian sisa pidana penjara yang disebut juga dengan voorwaardelijke invrijheidstelling (V.I) yang pada pemulaan berlakunya WvS tahun 1915, dan dicantumkan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 KUHP. Pada tahun pertama 1918 berlakunya WvS di Indonesia kemungkinan mengadakan pelaksanaan pelepasan bersyarat itu sudah ada , karena pelepasan bersyarat itu hanya sebagian dari masa pidana pada bagian akhir saja yang tidak dieksekusi . Sedangkan pada pidana bersyarat seluruh masa pidananya tidak dieksekusi . Oleh karena itu ada anggapan bahwa untuk mengawasi terpidana dalam hal pelepasan bersyarat ini akan lebih mudah daripada pengawasan terhadap terpidana dalam hal pidana bersyarat .
Peraturan mengenai pelepasan bersyarat ini bukanlah imperatif , tetapi hanya kemungkinan saja dan bukan suatu keharusan . Pelepasan dengan perjanjian atau pelepasan bersyarat ini bersifat luar biasa , misalnya putusan hakim pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap , terpidana itu harus menjalani penjara selama Sembilan tahun dan kemudian Menteri Kehakiman melepaskan terpidana ketika baru menjalani masa pidana selama enam tahun , maka kedua putusan pejabat itu dianggap bertentangan dan lembaga pelepasan bersyarat itu dapat mengurangi kekuasaan para hakim.
Pelepasan bersyarat dalam KUHP diatur dengan beberapa ketentuan yaitu : Narapidana yang berhak mendapatkan pelepasan bersyarat adalah jika yang bersangkutan telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya atau sekurang-kurangnya harus 9 bulan . Ketika memberikan pelepasan bersyarat , ditentukan pula suatu masa percobaan , serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan Masa percobaan lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani , ditambah satu tahun . Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa narapidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik . Selain syarat umum , boleh ditambahkan juga syarat-syarat khusus mengenai kelakuan narapidana , namun tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik .
Selama masa percobaan , syarat-syarat dapat diubah atau dihapus atau dapat diadakan syarat khusus baru dan juga dapat diadakan pengawasan khusus . Jika narapidana yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaab tersebut melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan , maka pelepasan bersyarat dapat dicabut . Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis , pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali , kecuali bila sebelum waktu tiga bulan berlalu , narapidana dituntut karena melakukan perbuatan pidana dalam masa percobaan , dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap . Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa narapidana melakukan perbuatan pidana selama masa percobaan . Pelepasan bersyarat adalah milik setiap narapidana , akan tetapi tidak serta merta setiap narapidana harus mendapatkannya . Hal ini tergantung apakah narapidana selama menjalankan proses pemasyarakatan berkelakuan baik ataukah tidak . Oleh karena itu , kewenangan untuk memberikan hak tersebut ada pada negara yang dalam hal ini adalah Menteri Kehakiman atau menteri yang berwenang untuk itu .
Tujuan Pembalasan /Retributive dan Penebusan Dosa Sebagai Dasar Pemberian Keadilan Herbert L Packer mengatakan bahwa pandangan retributive terletak pada ide bahwa hak bagi pelaku kejahatan ( wicked man ) untuk dipidana , karena setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya , sehingga pelaku pantas menerima pidananya . Perkembangan Tujuan Pemidanaan
Dikatakan bahwa ada 2 (dua) versi dalam pandangan retributive, yaitu : teori pembalasan ( the revenge theory ) dan teori penebusan dosa ( the expiation theory ). Teori pembalasan sebagai alasan pembenar pidana , berakar dalam pada pengalaman manusia , dan memandang kembali ke belakang sejauh mungkin sebagaimana lex talionis : an eye for an eye, a tooth for a tooth, a life for a life . Sir James Fitzjames Stephen mengatakan bahwa pidana adalah pernyataan / ekspresi hasrat yang sederhana atas kemarahan ( hartred ) dan ketakutan ( fear ) yang muncul dalam masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana , sebagaimana pernyataannya yang terkenal bahwa the punishment bears the same relation to appetite for revenge as marriage bears to the sexual appetite .
Pandangan teori retributive lainnya ( expiation theory ), bahwa hanya melalui pengenaan pidana pelaku dapat menebus dosanya . Konsep pertaubatan melalui pidana ini merupakan tema utama dalam pandangan religius yang peranannya tidak dapat diragukan lagi dalam pandangan tentang pidana yang sekuler . Pandangan ini menekankan pada pergeseran dari tuntutan pada pelaku pidana kepada tuntutan terhadap perbuatannya , yang harus membuat pelaku untuk kembali pada tatanan sosial .
Barbara Hudson memandang Teori Retributive sebagai teori yang memberi pembenaran pemidanaan karena pidana dipandang sebagai pantas / layak dan sebagai penggantian kerugian yang diderita oleh korban. Oleh karena itu retribusi /retribution berarti mengembalikan kerugian dan memidana yang sesuai dengan perbuatan pelaku . Menurut Hudson , ada dua unsur yang menjadi ciri kunci teori retributive pidana , yaitu : Bahwa pidana harus bersifat membalas / menuntut kembali atas kejahatan yang dilakukan pada masa lalu , daripada berorientasi pada antisipasi di masa mendatang . ( That punishment should be in return of crimes past rather than in anticipation of crimes future ) Bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatannya , beratnya pidana yang dijatuhkan harus sebanding dengan keseriusan tindak pidana / kejahatan yang dilakukan oleh pelaku . ( That the punishment should be suitable for the crime – the severity of punishment should be commensurate to the seriousness of the crime for which it inflicted ).
Pada tahun 1980an, pendekatan baru teori retributive sangat berpengaruh dalam teori pidana.Penganut teori retributive ini menitikberatkan pada pemidanaan terhadap perbuatan , bukan pada orangnya.Asas utama dalam retributive yang baru ( new retributivism ) adalah bahwa pidana harus sepadan dengan keseriusan tindak pidana . Dibandingkan dengan teori retributive sebelumnya dengan sistem pembalasan yang sepadan ( talionist ), dalam teori retribusi baru ini , interpretasi modern tentang konsep sepadan ( commensurate ) dimaknai sebagai proporsional ( proportionate), dengan syarat pidana yang sangat serius diperuntukkan bagi kejahatan yang sangat serius pula. Penggolongan pidana seluruhnya harus menurut skala keseriusan tindak pidananya , atau seringkali dikenal dengan istilah “ a tariff sentencing” di mana setiap tindak pidana / kejahatan mempunyai harga yang harus dibayar .
Dalam perkembangannya kepatutan dalam pemidanaan beralih lingkupnya untuk mengurangi ruang diskresi pengadilan , yaitu digunakan untuk memidana orang karena karakteristik pribadinya maupun sosialnya , daripada untuk memidana perbuatannya , sebagaimana konsep sebelumnya.Sangat banyak penganut retribusi ini yang menekankan pada aspek pencelaan dalam pemidanaan.Menyatakan adanya pidana adalah untuk mencela perbuatan , untuk membuat sebuah pernyataan publik tentang pencelaan perilaku / perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku . Tingkat beratnya pidana merupakan pernyataan tingkat pencelaan terhadap perbuatan pelaku . Sebagaimana dikatakan oleh Duff dan Von Hirsch, bahwa pencelaan yang dikatakan oleh kaum retribution ini menjadi inti karakteristik dan fungsi pemidanaan . Dalam hal ini terapi yang berat dalam pemidanaan ( hard treatment ) didasarkan pada prinsip penghilangan keuntungan yang dirampas oleh pelaku secara curang . Pentingnya pidana di sini adalah untuk memperbaiki (to restore ) keseimbangan atas keuntungan dan kerugian sosial , kemanfaatan , dan beban masyarakat , sehingga pidana dibutuhkan untuk menghilangkan keuntungan yang diperoleh secara curang oleh pelaku .
Jika ada pertanyaan “ mengapa harus pidana dan bukan kompensasi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana ? Maka jawaban para kaum retributivist adalah bahwa pidana itu sangat penting berkaitan dengan pencelaan yang merupakan bagian dari pelaku ( teori komunikasi , sebuah bentuk dari rehabilitasi moral) atau alasan bahwa pidana lebih efektif daripada kompensasi dalam pencegahan kejahatan . Sebagai contoh adalah Duff dan Von Hirsch, yang membedakan antara aspek pencelaan ( censure ) dengan aspek pidana yang berat ( hard treatment ), dengan memberikan fungsi pencelaan yang merupakan pernyataan kesalahan disertai pidana yang berat ( hard treatment ) sebagai sebuah alasan yang bijaksana dalam mencegah pelaku untuk melakukan kejahatan . Keberadaan sistem tariff dalam pemidanaan akan mencegah orang dari kejahatan yaitu dengan mengumumkan perbuatan yang dinyatakan salah dan konsekuesi penderitaan yang akan dijalaninya jika mereka melakukannya .
Hal di atas sejalan dengan fungsi ekspresif pidana dalam teori komunikasi ( commucation theory ), yang dinyatakan oleh J. Feinberg, bahwa pidana adalah sarana konvensional untuk menyatakan sikap kemarahan ( resentment ) dan kejengkelan ( indignation) dan penilaian (judgment ) atas pencelaan ( disapproval ) dan makian (reprobation ) . Hal ini ditegaskan oleh Gardner saat menjelaskan pidana dari sisi moralitas , sebagaimana dikutip oleh J. Feinberg, sebagai berikut : “Inti pemidanaan dalam konteks pelanggaran moral terletak di dalam pemidanaan terhadap pelaku itu sendiri . Pemidanaan di sini merupakan ekspresi dari kemarahan , ketakutan , atau gangguan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap terpidana itu sendiri , yang dengan sendirinya memberikan ciri keras secara fisik sebagai pidana . Dengan demikian yang dimaksud kejahatan adalah perilaku yang semestinya menunjukan sebagai perilaku yang mendatangkan pencelaan moral dari masyarakat baik secara formal maupun dalam arti sesungguhnya ”.
Tujuan Memperbaiki Pelaku dan Perlindungan Masyarakat Pandangan utilitarian tentang pidana adalah sebagai pengenaan derita , yang tidak dapat dibenarkan kecuali jika dapat ditunjukkan hasil pengenaannya untuk membuat pelaku lebih baik daripada jika tidak mengenakan pidana . Kebaikan sebagai hasil pemidanaan yang dimaksud adalah pencegahan atau pengurangan kejahatan yang lebih besar , pandangan ini dikenal dengan istilah “utilitarian prevention (deterrence)”. Teori pencegahan klasik biasanya digambarkan sebagai pencegahan ( deterrence ) yaitu efek pencegah dari pidana , baik yang telah dijatuhkan maupun yang berupa ancaman yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan . Perkembangan Tujuan Pemidanaan
Pandangan deterrence mempunyai dua aspek , yaitu pencegahan setelah seseorang dikenakan pidana ( special deterrence ), dan pencegahan yang didahului dengan adanya ancaman maupun contoh dari pelaku yang dikenakan pidana ( general deterrence ). Adanya ide pencegahan sebagai pencegahan kejahatan seringkali dianggap berasal dari dasar psikologis pelaku.Hal ini didukung oleh pendapat Jeremy Bentham dengan Calculus Theory yang menilai rasio pelaku dalam hal melakukan perhitungan untuk memaksimalkan kesenangan dan menimimalkan penderitaan . Di mana sebelum melakukan perbuatan pelaku merenung berdasarkan sebuah perhitungan ( a calculus ) yaitu tentang seberapa banyak keuntungan yang diperolehnya dengan melakukan ejahatan , seberapa banyak kerugiannya jika tertangkap , seberapa banyak kesempatan untuk melarikan diri , apakah seimbang antara keuntungan dan kerugian yang diperoleh jika tertangkap ? Sehingga tujuan pidana pada model ini adalah memasukan ke dalam perhitungan pelaku kemungkinan penderitaan atau kerugian untuk menguranginya sampai pada titik nol ketertarikan pelaku terhadap untungnya melakukan kejahatan .
Pandangan utilitarian kedua tentang pidana ditegaskan berkecenderungan untuk mengurangi atau mengurangi dilakukannya pidana di masa mendatang dengan memidana pelaku . Konsep ini terutama diletakkan pada rasionalitas , model perilaku hedonistic.. Dalam teori ini individu dikondisikan untuk menghindari perilaku yang telah diketahuinya akan mendatangkan penderitaan berupa pidana di masa mendatang .
G . Peter Hoefnagels membedakan antara teori pencegahan umum ( the theory of general prevention ) dengan teori pencegahan khusus ( the theory of special prevention ). TEORI PENCEGAHAN UMUM Lebih menekankan pada dorongan emosi masyarakat untuk menghentikan kejahatan dan mencari keamanan . Ini berkaitan dengan perasaan masyarakat untuk mewujudkan rasa aman . TEORI PENCEGAHAN KHUSUS Lebih menekankan pada Hasrat yang langsung ditujukan kepada individu pelaku ., kebutuhannya untuk memperbaiki dan mendidik pelaku , bahkan kebutuhan untuk memahami pelaku
Bentuk pencegahan ketiga dalam pandangan utilitarian adalah incapacitation ( tindakan membuat pelaku tidak mampu melakukan tindak pidana ). Dikatakan oleh Packer bahwa incapacitation berbeda sama sekali dari pencegahan umum ( general deterrence ) sebagai cara pencegahan kejahatan . Deterrence bekerja sesuai dengan hakikat tindak pidana , karakteristik kebanyakan orang yang dipidana karena melakukan kejahatan tidak diketahui oleh masyarakat di mana ancaman pidana ditujukan . Sementara itu incapacitation bersandar pada prediksi bahwa seseorang yang melakukan kejahatan tertentu adalah sama dengan melakukan kejahatan lainnya . Incapacitation Sebuah cara pemidanaan yang menggunakan fakta bahwa seseorang yang melakukan sebuah jenis kejahatan sebagai dasar untuk menilai kepribadian dan memprediksi bahwa pelaku akan melakukan kejahatan-kejahatan berikutnya .
Pandangan utilitarian tentang pencegahan kejahatan berikutnya Adalah Rehabilitation . Pandangan rehabilitasi sebagai pencegahan kejahatan dilakukan dengan merubah kepribadian pelaku yang selanjutnya menjadikannya sebagai warga yang taat hukum , atau dengan kata lain, memperbarui perilakunya . Rehabilitasi dapat menjadi tujuan pemidanaan yang paling manusiawi , tetapi rehabilitasi ini menjadi tujuan pidana sepanjang terdapat penemuan bahwa sebuah tindak pidana telah dilakukan , dan sepanjang tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya tindak pidana . Pada prinsipnya sistem rehabilitasi ini sama dengan incapacitation yaitu berorientasi pada pelaku daripada pada tindak pidananya . Jika rehabilitasi adalah tujuan pemidanaan , maka pidana adalah relevan hanya jika dibutuhkan dalam rangka merehabilitasi pelaku .
Prinsip rehabilitasi mengajarkan untuk memperlakukan pelaku kejahatan sebagai seorang individu yang mempunyai kebutuhan khusus dan masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidananya harus diketahui sebanyak mungkin untuk mencapai efektivitas rehabilitasi . Pidana harus berpandangan ke depan ( forward looking ). Beratnya / keseriusan tindak pidana yang dilakukannya hanya sebagai penanda ( clue ) untuk menentukan beratnya dan durasi / jangka waktu tindakan yang dibutuhkan untuk merehabilitasi pelaku.Dalam konsep rehabilitasi yang berorientasi pada aspek pelaku , maka beratnya dan jangka waktu pidana didasarkan pada tindakan yang dibutuhkan untuk merubah kepribadian pelaku . Tidak seperti incapacitation, yang menilai seberapa bahaya pelaku tetapi rehabilitasi lebih pada pemenuhan syarat untuk merawat pelaku .
Dalam rehabilitasi tentu saja dimasukan konsep pendidikan moral ( moral education ) kepada terpidana . Pendidikan moral diakui sebagai pengembangan mekanisme (yang jika berhasil ) akan menciptakan terpenuhinya aturan moral tertentu (dan hukum ) sebagai tujuan yang harus didukung . Dengan kata lain, jika seorang individu melalui pendidikan moral dimasukkan aturan moral tertentu dan akan berkembanglah kebiasaan moral tertentu secara konsisten sesuai dengan aturan moral tertentu . Pengembangan pendidikan moral ini berkaitan dengan aturan moral dan kebiasaan moral yang konsisten dengan hukum , sehingga mendukung perilaku taat hukum . Keefektifan pencegahan kejahatan melalui pendidikan moral ini terjadi jika perbuatanperbuatan kejahatan tercegah karena individu telah dimasukkan ( diinternalisasi ) aturan moral tertentu dan mampu mengembangkan kebiasaan moral tertentu yang mencegahnya untuk melakukan kejahatan .
Efektivitas pencegahan kejahatan melalui pendidikan moral secara empiris menunjukan bahwa individu-individu yang telah menempuh proses pendidikan moral, telah : Diinternalisasi / dimasukkan aturan moral khusus yang mencegahnya untuk melakukan perbuatan kejahatan yang baginya dianggap sebagai sebuah alternative. Dikembangkan kebiasaan moral yang menjauhkan dari pelanggaran hukum .
Rehabilitasi sebagai tujuan utama pemidanaan dengan strategi persuasive yang pada tahun 1960an mendapat berbagai kritik dari gerakan “back to justice ” ( kembali ke keadilan ). Semua pakar rehabilitasi baru ( new rehabilitation ) akhirnya sepakat bahwa rehabilitasi harus diberikan dalam konteks pidana yang pasti , baik pada pidana yang lebih berat atau lebih ringan , bahwa pidana harus pasti sesuai dengan keseriusan tindak pidananya . Para penganut new rehabilitation mendesak bahwa semua dasar pemikirannya hanya satu yang menggabungkan antara tujuan pengurangan kejahatan dan pengakuan hak asasi manusia pelaku.Pencegahan umum ( general deterrence ) tidak menunjuk pada pelaku sebenarnya , sehingga tidak peduli dengan ketidaktepatan antara pelaku dengan pidananya , tidak juga peduli pada pengaruh pidana terhadap kehidupan pelaku , dan kemungkinan dilakukannya kejahatan di masa mendatang.Hal ini karena pidana yang diancamkan untuk dikenakan kepada pelaku secara langsung justru ditujukan kepada orang lain/ masyarakat . Kritik dari para penganut “ desert ” ( pidana yang layak / setimpal ) kepada pandangan deterrence, yang kemudian melanggar perintah “ Kantian-Rawlesian ” untuk memperlakukan orang/ pelaku sebagai tujuan ( people as an end ) dan bukan semata-mata sebagai alat ” ( not a means). Pencegahan dengan cara membuat pelaku tidak mampu ( incapacitation ) menolak hak para pelaku hanya untuk dipidana semata-mata atas perbuatan pelaku , yang menghilangkan otonominya , secara moral dan fisik , dengan menghapus kemungkinan bagi mereka untuk bebas berbuat di masa mendatang .
Pencegahan khusus individu ( individual special deterrence ) melalui taktik seperti “ taste of custody” ( merasakan hilang kemerdekaan ) yang berkaitan dengan kebebasannya , juga menolak hak pelaku untuk dipidana hanya karena perbuatan yang dilakukannya . Rehabilitasi bersama dengan kesadaran untuk memidana secara layak / setimpal ( just desert ), di mana apabila pelaku melakukan kejahatan maka penderitaan berupa pidana akan dijatuhkan kepadanya . Pidana selanjutnya di samping harus merefleksikan kejahatan itu sendiri , tetapi juga harus dijatuhkan secara tepat kepada pelaku sebagaimana tindak pidananya.Sebagaimana penilaian masyarakat atas pencelaan terhadap perbuatannya , sehingga pidana harus memberikan kekuatan kepada pelaku untuk mengurangi kemungkinan pengulangannya
Hubungan antara retribusi dan deterrence kurang jelas , antara retribusi dan rehabilitasi atau incapacitation , keduanya membutuhkan sistem penggolongan pidana , retribusi untuk mencapai proporsionalitas dalam pemidanaan , dan deterrence untuk mendorong pelaku untuk menahan diri dari kejahatan yang lebih berat . Keduanya mempertimbangkan daya tarik bagi alasan dan kebebasan berbuat para pelaku potensial , dan menawarkan dorongan untuk menghindari pidana dengan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan . Keduanya mengabaikan skala beratnya pidana secara keseluruhan : retribusi karena bergantung pada penilaian subjektif tentang pidana yang sepadan ; deterrence karena sangat tergantung pada penilaian subjektif tentang apa yang secara memadai mempengaruhi pelaku bahwa risiko pidana bukanlah manfaat dari keuntungan melakukan kejahatan .
Tujuan Pemulihan Keadilan ( Restorative Justice ) Bagi Pelaku, Korban dan Masyarakat Restorative menekankan bahwa pidana adalah sarana yang efektif untuk mengamankan kepentingan-kepentingan yang diklaim sebagai pembenaran sanksi pidana . Tidak hanya sebagai penjelasan para penganut rehabilitasi , bahwa hal yang dapat mengurangi angka kejahatan dapat dicapai lebih efektif , melalui kebijakan sosial dan ekonomi , dan perbaikan hak ( kekuasaan dan keuntungan ) dari para korban dapat dilindungi lebih efektif melalui kompensasi ( compensation ) atau reparasi ( reparation ). Perkembangan Tujuan Pemidanaan
Braithwaite dan Petit, juga Cavadino dan Dignan, dengan pandangan yang sama tentang perspektif umum , mendesak agar dalam menghadapi kasus-kasus , pilihan pertama yang digunakan dalam merespon kejahatan harus ada kesempatan dengan suka rela untuk diberikan restitusi atau kompensasi oleh pelaku kepada korban, dan jika tidak memungkinkan ( pelaku tidak mempunyai uang untuk mengganti harta ) korban maka korban harus menerima kompensasi dari negara dan harus mendapatkan perbaikan oleh pelaku . Pidana penjara dan penahanan hanya digunakan jika dapat menunjukan adanya kebutuhan perlindungan masyarakat , dan pidana non custodial, seperti pidana bersyarat ( probation ) atau pidana kerja sosial ( community service ) hanya dijatuhkan jika pelaku tidak mau memberikan perbaikan .
Braithwaite menjelaskan bahwa restorative justice dikembangkan sebagai cara yang menjadikan korban sebagai pusat peradilan pidana tanpa pemberian sanksi pidana ( punitive) maupun tindakan represif kepada para pelaku . Selanjutnya Braithwaite memberi pengertian restorative justice sebagai berikut : “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular an offense come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offense and its implications for the future
Adanya ide bahwa peradilan pidana formal telah “ mencuri ” hak-hak dari pemiliknya ”, yaitu para korban dan para pelaku , dengan menetapkan perbuatan pelaku sebagai kejahatan terhadap negara, telah sampai pada teoriteori tentang keadilan masyarakat ( community justice ). Keadilan masyarakat itu sendiri digambarkan sebagai sebuah filsafat keadilan ( a philosophy of justice ), strategi keadilan ( a strategy of justice ), dan rangkaian program keadilan ( series of justice progremmes ). Sebagai filsafat , keadilan masyarakat didasarkan pada pencarian visi keadilan yang mengakui bahwa kejahatan dan masalah kejahatan adalah rintangan utama bagi kualitas kehidupan masyarakat . Jadi pendekatan keadilan masyarakat ( community justice ) tidak hanya mencari cara untuk merespon kejahatan saja , tetapi juga untuk membuat sebuah tujuan perbaikan kualitas kehidupan masyarakat , khususnya pada masyarakat yang ditimpa kejahatan tingkat tinggi .
Secara strategi, pendekatan keadilan masyarakat menggabungkan tiga pendekatan inovasi keadilan saat ini , yaitu : community policing ( pemolisian masyarakat ) restorative justice ( pemulihan keadilan ) environmental crime prevention ( pencegahan kejahatan lingkungan )
Restorative justice lebih mengendepankan “ hak hubungan baik ” (right relationships ) daripada “ hak menegakan aturan ” ( right rules). Tugas penting dari keadilan di sini adalah untuk memulihkan keseimbangan hubungan yang telah dirusak oleh kejahatan / tindak pidana ( victim-offender; victim- offendercommunity , offender-community; offender – family) daripada meyakinkan bahwa aturan hukum telah diikuti , diinterpretasi , dan diterapkan secara benar .
Teori restorative justice didasarkan dari ide reintegrative shaming ( penyatuan kembali dengan rasa malu ). Teori ini menyatakan bahwa kejahatan akan berkurang jika masyarakat distrukturkan sehingga orang merasa malu dengan perilaku buruknya , dan bagi orang yang melakukan sesuatu yang karenanya dipermalukan , pelaku tidak secara permanen dikeluarkan dari masyarakat . Asas Kedua Asas Pertama Reaksi terhadap perilaku buruk harus berkonsentrasi pada kesalahan dan kerugian atas perbuatan pelaku , dan tidak boleh membuat para pelaku merasa bahwa dia benar-benar tidak berharga . Masyarakat harus mempunyai standar moral yang jelas , dan bahwa para pelaku menyadari bahwa tujuan perbuatannya akan dicela oleh masyarakat luas .
Dalam memperluas ide tentang piramida penegakan hukum , Braithwaite menggambarkan 3 (tiga) tahap pemidanaan. Restorative justice Tahap Pencegahan Incapacitation memberikan keluhuran dan kebaikan bagi pelaku yang pada dasarnya menghendaki masuk ke dalam kesepakatan restorative justice Menghitung rasionalitas pelaku yang tidak responsif terhadap seruan moral tentang kerugian atas perbuatan mereka , tetapi dengan hati-hati didesak dengan ancaman pidana ( membuat pelaku tidak mampu lagi melakukan tindak pidana ) di mana pelaku menjadi tidak mampu dan menahan diri untuk melakukan tindak pidana berikutnya atau tidak mau lakukan tindak pidana lagi .
Restorative justice dapat sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu pencelaan ( censure ), rehabilitasi (rehabilitation ), perlindungan masyarakat ( public protection ) --- tujuan retribusi biasanya menjadi antithesis. Hal ini terletak pada dua masalah penting yang berhubungan antara keadilan retribusi dengan restorative justice, yaitu pertama , peranan proporsionalitas dalam restorative justice dan kedua , apakah ada tempat bagi retribusi dalam restorative justice.
Masalah tuntutan proporsionalitas menjadi lebih urgen jika restorative justice diperluas pada tindak-tindak pidana yang lebih serius , di mana tuntutan perbaikan dan jaminan keamanan lebih besar.Adanya kemungkinan korban melebih-lebihkan kerugian yang diderita atau membuat tuntutan yang tidak proporsional atas kerugian yang diderita . Aspek kedua hubungan antara restorative justice dan keadilan retributive adalah apakah mereka sebagai dikotomi , sebagaimana sering tampak demikian , atau apakah faktanya mereka sesuai , apakah faktanya tindakan retribusi adalah bagian dari proses restorative?
Daly berpendapat bahwa unsur retributive adalah penting bagi restorative justice untuk mempertahankan unsur kesalahan ( wrongness ) sebagaimana kerugian yang timbul dari kejahatan.Kesalahan inilah yang membedakan kejahatan dari jenis kerugian lainnya , dan ciri kesalahan ini adalah bagian dari kepentingan yang dikehendaki oleh masyarakat dalam peradilan pidana.Meskipun tindakan reparasi dijatuhkan untuk membayar kerugian kepada korban, tetapi masih ada hak masyarakat untuk menegakan aturan dan standar moral yang telah disepakati.Hal ini jelas bahwa unsur simbolik dari peradilan pidana adalah penting dalam restorative justice maupun retributive justice .
POLITIK PEMIDANAAN DALAM KUHP Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas : pidana pokok : pidana mati ; pidana penjara ; pidana kurungan ; pidana denda ; pidana tutupan . pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu ; perampasan barang-barang tertentu ; pengumuman putusan hakim. Ketentuan pidana tersebut metode pengamanannya dalam norma hukum pidana diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 43 KUHP. Ketentuan pemidanaan dalam Buku I KUHP ini diformulasikan secara konsisten dalam norma hukum pidana dalam Buku II dan Buku II KUHP. Fungsi ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I benar-benar menjadi pedoman dalam memformulasikan ancaman pidana dalam norma hukum pidana dan dalam pelaksanaan pidana .
Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana , paling tidak terdapat 3( tiga ) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum pidana di dalam masyarakat , yaitu : Membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang dicitakan , Mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat , Mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat dengan teknik perumusan norma yang negative. Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana , dalam konteks ini alasan pemidanaan adalah pembalasan , kemanfaatan , dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu .
Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan ukuran atau dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana . Dalam konteks ini , pemidanaan erat hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana . Sebagai sebuah sistem , telaahan mengenai pemidanaan dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut , yaitu sudut fungsional dan sudut norma substantif . Dari sudut fungsional , sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) untuk fungsionalisasi / operasionalisasi / konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem ( aturan perundang-undangan ) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret , sehingga seseorang dijatuhi sanksi ( hukum ) pidana . Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub- sistem Hukum Pidana Materiil / Substantif , sub- sistem Hukum Pidana Formil dan sub- sistem Hukum Pelaksanaan Pidana .
Sedangkan dari sudut norma- substantif ( hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif ), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan /norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan ; atau Keseluruhan sistem aturan /norma hukum pidana materiel untuk pemberian / penjatuhan dan pelaksanaan pidana . Dengan pengertian demikian , maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan , yang terdiri dari “ aturan umum ” (“general rules”) dan “ aturan khusus ” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP,1 baik yang mengatur hukum pidana khusus maupun yang mengatur hukum pidana umum .
Norma hukum pidana dan norma pengancaman sanksi pemidanaan dalam KUHP disusun secara sistematik sehingga nampak jelas hubungan antara norma hukum pidana dalam satu pasal dengan pasal lain, demikian juga cara merumuskan ancaman sanksi pidana . Unsur sistematik tersebut menjadi ciri dari suatu hukum yang terkodifikasi , karena disusun dan dipersiapkan dan dirumuskan dalam waktu dan oleh lembaga perumus yang sama . Hal ini berbeda dengan hukum non- kodifikasi atau dalam undang-undang di luar KUHP/ kodifikasi yang biasanya dibuat dan diberlakukan untuk merespon kejahatan tertentu dan dipengaruhi oleh situasi kondisi kejahatan pada saat itu .
Deskripsi penormaan hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana dalam KUHP dapat dideskripsikan sebagai berikut : Pengaturan sistem pengancaman pidana dalam KUHP diatur dalam pedoman umum pengancaman pidana dimuat dalam Buku I tentang Ketentuan Umum: Jenis pidana ( dimuat dalam Pasal 10 KUHP) Cara pengancaman pidana Penjatuhan pidana perbarengan Pemberatan dan pemeringan pidana
Pidana mati dipergunakan sebagai ancaman sanksi pidana sebanyak 10 kali dengan cara pengancaman : Pidana mati sebagai pidana pokok terberat Pidana mati selalu diancamkan sebagai pidana pemberatan ditujukan kepada delik yang dikualifisir . Pidana mati selalu dialternatifkan sebagai pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun Pidana denda dipergunakan sebanyak 123 kali, dengan rincian : Ancaman pidana denda saja sebanyak 1 kali dengan menggunakan rumusan „ pidana denda ‟ saja yang ditujukan kepada pengurus perseroan yang turut andil dalam menerbitkan ijin untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar . Ancaman pidana denda sebagai pidana alternatif pidana lain sebanyak 122 kali yang didahului dengan frase „ atau pidana denda ‟. 2. Formulasi pengaturan pengancaman pidana dalam Buku II KUHP Pidana kurungan diterapkan sebanyak 37 kali dengan rincian : Pidana kurungan dipergunakan sebagai ancaman pidana pokok sebanyak 9 kali yang prumusannya diawali dengan kata „ dengan pidana kurungan ‟. Pidana kurungan sebagai pidana alternatif dari pidana lain dipergunakan sebanyak 28 kali yang dalam prumusannya diawali dengan kata „ atau pidana kurungan ”.
Pidana Penjara dipergunakan sebagai ancaman pidana sebanyak 485 kali dengan rincian : Kedudukan sanksi pidana penjara sebagai pidana pokok , sebagai alternatif atau sebagai pidana yang bersifat sementara atau sebagai pidana pengganti . Pidana penjara dengan hitungan tahun sebagai ancaman pidana pokok dipergunakan sebanyak 274 kali. Pidana penjara baik dengan hitungan tahun atau seumur hidup dipergunakan sebanyak 292 kali. Pidana penjara diancamkan sebagai ancaman pidana alternatif dari ancaman pidana lain dipergunakan sebanyak 26 kali. e. Perumusan sanksi pidana penjara dalam Buku II dideskripsikan sebagai berikut : Pidana Penjara paling lama 1 bulan = 3 kali Pidana Penjara paling lama 1 tahun = 48 kali Pidana Penjara paling lama 1 tahun 6 bulan = 6 kali Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 36 kali Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 37 kali Pidana Penjara paling lama 3 bulan = 9 kali Pidana Penjara paling lama 3 tahun = 5 kali Pidana Penjara paling lama 4 tahun = 47 kali Pidana Penjara paling lama 5 tahun = 30 kali Pidana Penjara paling lama 6 bulan = 5 kali Pidana Penjara paling lama 6 tahun = 17 kali Pidana Penjara paling lama 7 tahun = 41 kali Pidana Penjara paling lama 8 tahun = 14 kali Pidana Penjara paling lama 9 bulan = 36 kali Pidana Penjara paling lama 9 tahun = 19 kali Pidana Penjara paling lama 12 tahun = 28 kali Pidana Penjara paling lama 15 tahun = 28 kali Pidana Penjara paling lama 20 tahun = 7 kali Pidana Penjara seumur hidup = 23 kali
3. Pengaturan pengancaman pidana dalam Buku III KUHP: Pidana denda dipergunakan sebanyak 84 kali dengan rincian : Pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan sebanyak 8 kali Pidana denda sebagai alternatif pidana kurungan dipergunakan sebanyak 35 kali. Pidana denda sebagai pidana pokok dipergunakan sebanyak 39 kali. Pidana kurungan dipergunakan sebanyak 55 kali dengan rincian sebagai berikut : Pidana kurungan paling lama 1 bulan sebanyak 7 kali Pidana kurungan paling lama 1 tahun sebanyak 1 kali Pidana kurungan paling lama 10 hari sebanyak 2 kali Pidana kurungan paling lama 12 hari sebanyak 2 kali Pidana kurungan paling lama 2 bulan sebanyak 7 kali Pidana kurungan paling lama 2 minggu sebanyak 2 kali Pidana kurungan paling lama 3 bulan sebanyak 9 kali Pidana kurungan paling lama 3 hari sebanyak 5 kali Pidana kurungan paling lama 3 minggu sebanyak 2 kali Pidana kurungan paling lama 6 bulan sebanyak 1 kali Pidana kurungan paling lama 6 hari sebanyak 10 kali Pidana kurungan paling lama 6 minggu sebanyak 1 kali
POLITIK PEMIDANAAN DI LUAR KUHP 1. Tentang Ancaman Pidana Pidana adalah reaksi atas tindak pidana , yang berujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana tersebut . Dari definisi ini ada tiga unsur utama dari pengertian ” pidana ”, yaitu : (1) merupakan re- aksi atas suatu aksi , yaitu reaksi atas suatu ” criminal act ” atau tindak pidana ; (2) yang berujud nestapa ; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana ( daader ) oleh negara. Antara ” perbuatan yang dilarang ” atau strafbaar dan ” ancaman pidana ” atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat ( kausalitas ). Dilihat dari hakekatnya , perbuatan pidana adalah perbuatan yang tercela ( tercela karena dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya ), sedangkan pidana merupakan konkretisasi dari celaan . Bahkan ” larangan ” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ” timbul ” karena adanya ancaman penjatuhan pidana tersebut barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut . Pidana mesti mempunyai sifat pembalasan didalamnya , sehingga ” nestapa ” menjadi bagian dari tujuan jangka pendek dari penjatuhan suatu pidana . Mengingat tingkat ketercelaan di antara tindak pidana yang satu berbeda dari tindak pidana yang lain, maka tingkat nestapa yang diancamkannya pun berbeda-beda . Baik perbedaan karena jenis , maupun perbedaan karena jumlah .
Selain itu , ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan kepada orang yang melakukan . Artinya , dengan penjatuhan pidana maka celaan yang objektif ada pada tindak pidana kemudian berubah bentuk menjadi celaan subyektif kepada pembuatnya . Dalam hukum pidana modern, pembuat tindak pidana dapat merupakan ”orang perseorangan ” ( natuurlijke persoon ) ataupun korporasi ( korporatie ) . Umumnya penancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana , dapat mengikuti beberapa model, yaitu : satu jenis pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal ( kecuali terhadap pidana mati , selalu harus dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu ); satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana yang lain; satu jenis pidana diancamkan secara komulatif dengan jenis pidana yang lain; dan pidana diancamkan dengan kombinasi alternatif kumulatif . Konsepsi teoretik sebagaimana tersebut membawa konsekuensi apabila dituangkan dalam rumusan tindak pidana dalam peraturan perundangundangan . Oleh karena itu , pengkajian terhadap rumusan ancaman pidana dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP berpangkal tolak dari konsepsi teoretik tersebut .
2. Nomenklatur Ancaman Pidana Meskipun umumnya para ahli sepakat , menggunakan istilah ” pidana ” , tetapi istilah tersebut tidak selalu digunakan dalam undang-undang . Beberapa undang-undang menggunankan istilah ” hukuman ” . Misalnya , Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya . Begitu juga dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian , terhadap ” pidana penjara ” misalnya digunakan istilah ” hukuman penjara ” dan ” kurungan ” disebut dengan ” hukuman kurungan ” . Namun demikian , dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian uang, didepan kata ” penjara ” tidak digunakan kata ” pidana ” , sehingga tertulis : ”... dipidana dengan penjara ....
Selain itu , berbagai undang-undang mengunakan istilah ” pidana ” di depan istilah ” denda ” sementara berbagai undang-undang yang lain tidak demikian . Misalnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menggunakan idiom ” pidana denda ” . Dalam Pasal 16 undangundang tersebut ditentukan : ”... dipidana dengan pidana denda ....” . Demikian pula Pasal 34 Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, menggunakan istilah ” pidana denda ” . Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan berbagai undang-undang lainnya hanya menggunakan istilah ” denda ” saja tanpa ditambahkan istilah ” pidana ” didepannya . Selain itu , untuk menggambarkan jumlah minimum khusus maupun maksimum khusus yang dapat dijatuhkan bagi pembuat tindak pidana tertentu , juga menunjukkkan perbedaan-perbedaan penggunaan nomenklatur antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain.
3. Adressaat Norm Ancaman Pidana Dalam hukum pidana modern, ancaman pidana ditujukan kepada orang perseorangan ( natuurlijke persoon ) atau korporasi ( korporatie ). Sebelumnya tidaklah demikian , karena pada mulanya ancaman pidana hanya ditujukan terhadap orang perseorangan . Secara umum hal ini direpresentasikan dengan dua istilah ” barangsiapa ” atau ” setiap orang” . Mengingat , ancaman pidana mulanya hanya ditujukan terhadap orang perseorangan , maka sebutan umum yang digunakan untuk menunjukkan addressaat norm tindak pidana adalah ” barang siapa ” . Istilah ” setiap orang” pertama kali dugunakan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian . Namun demikian , pembentuk undang-undang dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 kembali menggunakan istilah ” barangsiapa ”. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom ” setiap orang”, pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakan istilah ” barang siapa ” untuk menunjukkan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya . Tidak jelas betul adakah hubungan antara penggunaan istiah ” setiap orang” dengan perkembangan hukum pidana bahwa ancaman pidana juga ditujukan terhadap korporasi .
4 . Penempatan Ancaman Pidana Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan tindak pidana . Namun demikian , apabila ancaman pidana ditujukan terhadap beberapa perbuatan sekaligus , maka ancaman pidana ditempatkan di depan perbuatan terlarangnya . Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman pidana tertuju hanya terhadap sebagian perbuatan saja . Adakalanya status rumusan tindak pidana yang melarang beberapa perbuatan sekaligus menempatkan ancaman pidana pada bagian akhir rumusan delik tersebut , sehingga menimbulkan kesan ancaman pidana tertuju pada perbuatan yang dirumuskan paling akhir .
5. Model Ancaman Pidana Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum pengacaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan model pengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung ”dan” diantara dua jenis pidana yang diancamkan ) atau model kombinasi alternatif-kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung ”dan/ atau ” diantara dua jenis pidana yang diancamkan ). Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus . Persoalannya , pada subyek tindak pidana korporasi , hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda , dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan . Mengingat konstruksi ini , akan timbul kesulitan penjatuhan pidana ( hanya ) terhadap korporasi dalam hal tindak pidana yang dilakukan mengancamkan secara kumulatif pidana-pidana dengan jenis berbeda . Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda , tetapi tetap saja dengan model pengancaman kumulatif hakim ” harus ” menjatuhkan keduanya . Akibatnya , pengancaman pidana terhadap korporasi menjadi ”non applicable”