Referat (Bangkitan Pascatrauma) departemen neurologi FK UNMAL 2025.pptx

EnkAzaria 6 views 21 slides Sep 09, 2025
Slide 1
Slide 1 of 21
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21

About This Presentation

ilmiah referat neurologi mengenai penjelasan bangkitan pascatrauma


Slide Content

BANGKITAN PASCATRAUMA REFERAT KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMENT NEUROLOGI RS BINTANG AMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDARLAMPUNG 2025 Preceptor : dr. Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S 01 Oleh : Rani Rahmawati, S.Ked ( NPM.23360074 )

PENDAHULUAN Cedera kepala akibat trauma merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang besar. Secara global terdapat peningkatan kasus cedera kepalatraumatik. Pada tahun 2016 didapatkan 27,8 juta kasus baru cedera kepala. Dengan peningkatan age-standardised incidence rates 369 (331-412) per 100.000 penduduk global. Secara umum, insidens bangkitan pascatrauma atau posttraumatic seizure (PTS) bervariasi tergantung periode waktu pascacedera, rentang usia populasi studi dan juga spektrum keparahannya, dilaporkansebesar 4-53%. Setelah bangkitan pertama, 86% pasien mengalami bangkitan kedua dalam dua tahun pertama. Remisi jangka panjang dilaporkan sebesar 25-40% 02

BANGKITAN PASCATRAUMA TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Bangkitan Pascatrauma 03 Bangkitan pascatrauma: Kejang yang muncul setelah cedera kepala. dapat diklasifikasikan berdasarkan jarak waktu kejadian cedera kepala hingga terjadinya bangkitan. Klasifikasi bangkitan: - Immediate seizure: kurang dari 24 jam. - Early onset: 24 jam sampai 7 hari. - Late onset: lebih dari 7 hari. Epilepsi pascatrauma (PTE) : Bangkitan rekuren yang muncul lebih dari 1 minggu setelah cedera kepala.

PATOFISIOLOGI

PATOFISIOLOGI Epilepsi Pascatrauma yang Dihubungkan dengan Cedera Otak Primer dan Sekunder

Faktor Resiko Faktor risiko bangkitan pascatrauma early onset antara lain: Skala Koma Glasgow (SKG) <10, Immediate seizure Amnesia pascatrauma yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, Fraktur tengkorak linear atau impresi, Cedera kepala tembus, Perdarahan subdural, Perdarahan epidural atau hematoma intraserebral Kontusio kortikal, Usia <65 tahun Alkoholisme kronik. 05

FAKTOR PERSONAL : Usia muda atau penambahan usia dari 15 tahun, riwayat keluarga, depresi dan kondisi alkoholisme premorbid. FAKTOR CEDERA : Derajat cedera yang semakin berat seperti cedera tembus dan fraktur impresi, bangkitan pascatrauma early onset. Faktor Resiko 07

ETIOLOGI Cedera otak akut dapat disebabkan oleh bermacam hal termasuk cedera kepala traumatik dan dapat bersifat epileptogenik ataupun nonepileptogenik. Epileptogenesis mencakup proses perubahan struktur otak sehingga lebih rentan terhadap bangkitan spontan berulang dan perkembangan, progresifitas bangkitan itu sendiri.

Bangkitan pascatrauma dapat muncul sebagai berbagai jenis bangkitan, antara lain : bangkitan fokal tanpa gangguan kesadaran bangkitan fokal dengan gangguan kesadaran bangkitan focal to bilateral tonic clonic Namun, bangkitan umum primer seperti bangkitan absans, tidak diperkirakan disebabkan oleh cedera kepala. Manifestasi Klinis 07 Lobus temporal merupakan lokasi fokus paling umum pada bangkitan pascatrauma late onset yang berkaitan dengan aura. Aura dapat bersifat otonom (abdominal discomfort, mual, abdominal rising feeling), psikis (rasa takut, ansietas, perasaan deja vu atau jamais vu), atau halusinasi olfaktorik dan gustatorik (biasanya rasa atau bau yang menyengat).

Lobus frontal merupakan lokasi fokus bangkitan kedua pada PTE. Aura pada epilepsi lobus frontal jarang terjadi. Perilaku khas bangkitan frontal antara lain; gerakan hipermotor, gerakan seperti rnengayuh sepeda, hip thrusting, dan postur tonik asimetrik. Progresi rnenjadi bangkitan focal to bilateral tonic clonic umum terjadi pada bangkitan dengan awitan lobus frontal .

Perlu kecurigaan tinggi adanya SENK (Status Epileptikus Non-Konvulsif) pada kondisi seperti: 1) pemanjangan keadaan pascaiktal setelah kejang konvulsif umum atau penurunan kewaspadaan memanjang pascaprosedur operatif atau cedera neurologis; 2) awitan akut gangguan kesadaran atau fluktuatif dengan diselingi kondisi mental normal; 3) perubahan status mental atau kesadaran disertai mioklonus pada otot wajah atau gerakan nistagmoid; 4) terdapat episode tatapan kosong, afasia, otomatisme (mengecapngecap bibir), preservasi; 5) afasia tanpa perubahan struktural akut; 6) perubahan perilaku akut tanpa penyebab yang jelas

Kaksade Mekanisme yang Terlibat dalam Transisi Bangkitan Tunggal Menjadi Status Epileptikus

Kriteria Modifikasi Salzburg untuk Diagnosis Status Epileptikus Non- Konvulsif

Bangkitan yang terjadi pada cedera kepala tentunya juga dapat berkembang menjadi status epileptikus. 07 perubahan struktur hingga tingkat seluler yang terjadi pascacedera kepala dapat menyebabkan munculnya bangkitan. Pascacedera kepala dapat terjadi peningkatan input eksitatorik yang diikuti peningkatan axon sprouting pada populasi neuron yang memproyeksikan GABA , dan peningkatan permeabilitas sawar darah otak. Manifestasi klinisnya bervariasi dapat sebagai SEK ataupun SENK.

PENATALAKSANAAN 03 Sampai saat ini pemberian obat anti bangkitan (OAB) profilaksis untuk PTS masih belum didukung bukti klinis kelas I , tetapi panduan dari brain trauma foundation merekomendasikan pemberian fenitoin pada kasus cedera kepala berat selama tujuh hari pertama setelah awitan cedera kepala. Sejauh ini. Studi oleh Temkin dkk menunjukkan pemberian fenitoin diawali dengan dosis 20 mg/kg BB pada 24 jam pertama awitan cedera kemudian dilanjutkan pemberian rutin dengan rentang dosis intravena 200-1200 mg secara signifikan berhubungan dengan penurunan kejadian bangkitan pascatrauma early onset (3,6% pada kelompok fenitoin, 14,2% pada kelompok plasebo), tetapi tidak didapatkan efek yang sama pada kasus bangkitan pascatrauma onset lanjut.

Rekomendasi Brain Trauma Foundation mendukung pemberikan OAB profilaksis tersebut pada pasien risiko tinggi mengalami bangkitan yaitu pasien dengan kondisi 5KG <10, kontusio kortikal, fraktur impresi, perdarahan subdural, cedera kepala tembus dan mengalami bangkitan dalam 24 jam pascatrauma. Valproat juga memiliki efek mengurangi insiden bangkitan pascatrauma, tapi tidak dapat mengurangi risiko bangkitan pascatrauma late onset. Namun didapat kan kecenderungan mortalitas lebih tinggi pada penggunaan valproat.

Karakteristik Obat Anti-Bangkitan

03 Pada pemberian profilaksis , obat anti epilepsi yang direkomendasikan dilanjutkan selama 1 minggu, jika bangkitan tidak ada, kemudian dosis dapat diturunkan bertahap. Pasien yang sudah Bangkitan Pascatrauma mengalami bangkitan pascatrauma early onset, baik yang konvulsif ataupun nonkonvulsif harus diberikan OAS dengan tujuan untuk mengontrol bangkitan. Pada pasien yang sudah diberikan monoterapi OAB optimal dan bangkitan masih belum terkontrol diperimbangkan penambahan OAB kedua dan selanjutnya. Pasien yang mengalami status epileptikus pascatrauma dilakukan sesuai protokol status epileptikus. Durasi OAS setelah bangkitan pascatrauma early onset tipikalnya berlangsung 3-6 bulan. Sedangkan, untuk bangkitan pascatrauma late onset harus diberikan OAB sejak bangkitan yang pertama karena risiko rekurensinya sangat tinggi.

KESIMPULAN pentingnya pemahaman yang mendalam tentang bangkitan yang terjadi setelah cedera kepala, serta mekanisme patologis dan perubahan yang mengarah pada munculnya bangkitan tersebut. Pemberian obat antiepilepsi yang tepat dan sesuai dengan karakteristik pasien menjadi krusial dalam mengelola bangkitan pascatrauma, baik yang konvulsif maupun nonkonvulsif. Pendekatan dalam pengobatan perlu dibedakan antara bangkitan pascatrauma early onset dan late onset, dalam hal durasi pengobatan dan pengawasan setelah terjadinya bangkitan. Selain itu, kesadaran akan risiko jangka panjang dan potensi terkendalinya kondisi ini melalui penanganan yang tepat juga sangat penting. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperkaya pemahaman tentang faktor-faktor penyebab dan konsekuensi yang mungkin muncul, demi meningkatkan hasil klinis bagi pasien. Secara keseluruhan, penanganan bangkitan pascatrauma membutuhkan pendekatan yang multidisipliner agar dapat memberikan kualitas perawatan yang optimal bagi pasien.

TERIMA KASIH SEKIAN SELESAI
Tags