1. Demam Tifoid - dr. Adry Leonardo Tendean , Sp.PD.pdf
RifkyNakata
0 views
23 slides
Oct 10, 2025
Slide 1 of 23
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
About This Presentation
materi pembelajran demam tifoid
Size: 2.08 MB
Language: none
Added: Oct 10, 2025
Slides: 23 pages
Slide Content
A. LEONARDY TENDEAN
FK UHO
2023
DEMAM
TIFOID
Image Credit: Rocky Mountain Laboratories, NIAID
Demam Tifoid
Tifus Abdominalis, Typhoid Fever, Enteric Fever
USA dan Eropa → insidens menurun sejak awal abad ke-20
Asia Tenggara (Insidens >100 kasus per 100.000 populasi / tahun)
Penyakit endemik di Indonesia: Urutan ke-3 dari 10 pola peny terbanyak rawat inap (Depkes RI 2010)
Infeksi bakterial:
* Salmonella enterica serotype Typhi
* Salmonella enterides serotype ParatyphiA, B,C
Sumber penularan: Manusia
Cara Penularan: Fecal –Oral-> feses atau urin dari karier
•Salmonella →Basil gram negatif anaerobik fakultatif
•Infeksi terjadi jika tertelan 200 hingga 10
6
organisme
•Kondisi berkurangnya asiditas lambung atau integritas usus menyebabkan
kerentanan terjadinya infeksi.
•S. Typhi dan S. Paratyphi“dapat bertahan dalam makrofag” menyebar ke
seluruh tubuh melalui limfatik, mengkolonisasi jaringan-jaringan
retikuloendotelial
•Terjadi diare inflamatorik
•Nontifoid salmonella menyebabkan Gastroenteritis,menyerang usus halus
dan usus besar, infiltrasi PMN dibandingkan dengan Tifoid yang
diinfiltrasi sel mononuclear.
Patofisiologi-
Bakteriemi I
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
VI 2014
Makanan terkontaminasi → lambung →
usus(IgA) →menembus sel epitel →
lamina propria →berkembang biak →
difagosit makrofag →plek peyeri ileum
distal →KGB mesenterika →Duktus
torasikus -> sirkulasi darah (Bakteriemi 1)
→menyebar ke seluruh organ RE (dalam
makrofag) terutama hati & limpa →
meninggalkan sel fagosit
Patofisiologi-
Bakteriemi II
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
VI 2014
Sel fagosit -> berkembang biak di
extraseluler:
1. Sirkulasi darah (Bakteriemi II) →tanda
& gejala sistemik
2. Hati →kandung empedu:
a. Usus →feses
b. Menembus usus →makrofag yg
sudah teraktivasi
Gejala sistemik →
1.Sitokin inflamasi sistemik →gejala
2.Hipersensitivitas tipe lambat +
hiperplasi plek peyeri →nekrosis →
Erosi →perdarahan saluran cerna →
berlanjut →perforasi usus
Gejala-gejala
Sakit Perut
BAB encer
Konstipasi
Sakit Kepala
Ggn kesadaran : apatis, berkabut
Demam tinggi : awalnya tipe stepladder, lalu
kontinyu (39-40oC)
Bingung
Temp. >39
Lidah Kotor
Roseole
Perut tegang
Bradikardia relative (setiap peningkatan 1
O
C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8x)
Hepatomegali
Splenomegali
Nyeri tekan perut
Rose spots on the chest of a patient with typhoid fever due
to the bacterium Salmonella typhi
CDC/Armed Forces Institute of Pathology, Charles N. Farmer
Laboratory
Parameters at
presentation for
enteric fever pts
Kuijpers et al (2017) The clinical
and michrobiological characteristics
of enteric fever in Cambodia, PLOS
Neglected Tropical Diseases
11(9):e0005964
Leukositosis : 2-10%, Leukopenia : 6-9%, Trombositopenia: 16-21%Leukositosis : 2-10%, Leukopenia : 6-9%, Trombositopenia: 16-21%
Uji Widal
-Diubuat oleh F Widal (1896)
-Reaksi serologi klasik berupa aglutinasi oleh antibody spesifik (serum pasien) langsung terhadap antigen
spesifik (S.Typhi yang sudah dimatikan sebagai antigen)
-Deteksi aglutinasi antibodi terhadap lipopolisakarida (Antigen O) & flagel (antigen H)
-Tidak dapat memberikan diagnostik terpercaya di daerah endemic, khususnya hanya pada pemeriksaan
tunggal. Tes harusnya 2x (akut vs konvalesen sera) → melihat kenaikan titer 4x
-Sensitivitas dan spesifitas kurang baik
-Cut-off titer antibody terhadap antigen O dan H di Indonesia belum ada kesepakatan. Nilai titer
“baseline” tergantung tingkat endemisitas suatu daerah
Uji Widal
-Aglutinin terbentuk akhir minggu pertama demam, meningkat cepat dan puncaknya pada minggu ke-
empat.
-Fase akut, muncul agglutinin O, lalu diikuti agglutinin H.
-Pada orang yang sembuh, aglutinin O menetap 4-6 bulan, aglutinin H menetap 9-12 bulan.
-Uji widal bukanuntuk menentukan kesembuhan penyakit.
-Batasan titer agglutinin yang bermakna adlaah berdasarkan kesepakatan bersama.
Tubex TF
-In vitro semi-quantitative test. Metode “magnetic binding inhibition immunoassay
-Mengukur kemampuan antibody dalam serum untuk menghambat reaksi antara antigen (“magnetix latex
particles”) dan antibody monoclonal S.Typhi
-Hasil diagnostic cepat (10 menit)
-Deteksi antibody spesifik terhadap IgM anti-S.Typhi LPS –9 (Fase akut)
-Sensitivitas & Spesifitas > 90%
Tatalaksana
Edukasi
Makanan lunak, rendah serat
Tirah baring
Pengobatan : Antibiotik
Sebaiknya perawatan RS / Puskesmas
Cegah Penularan :Higiene, sanitasi terutama cuci tangan
dengan sabun antiseptik
Antibiotik
-Kloramfenikol 4x500 mg sampai 7 hari bebas demam
-Tiamfenikol 4x500 mg
-Kotrimoksazol 2x 960 mg selama 2 minggu
-Ampisilin & Amoksisilin 50-150 mgk/kgBB selama 2 mgu
-Sefalosporin gen III: Ceftriaxone 3-4 gr dlm dextrose 100
cc selama ½ jam per infus sekali sehari, 3-5 hari
Sefotaxime 2-3x 1 gr, sefoperazon 2x1 gr
Fluorokuinolon:
◦Norflosasin 2x400 mg/hari selama 14 hari
◦Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
◦Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari
◦Levofloxacin 1x500 mg /hari selama 5 hari
Azitromisin 2x500 mg selama 5 hari
Antibiotik
Tatalaksana
Demam Tifoid
(Karier)
Karier → feses / urin mengandung S.Typhi selama 1
tahun pasca demam tifoid.
Pasien asimptomatik
Diagnosis → biakan feses / urin
Terapi Karier:
-Tanpa kolelitiasis: Ampisilin , amoksisilin,
kotrimoksasol
-Dengan kolelitiasis: siprofloksasin, norfloksasin
-Dengan infeksi Schistosoma Haematobium : Eradikasi
dulu dengan prazikuantel atau metrifonate. Lalu
pengobatan tifoid karier
Relaps
Terjadi pada 2 –10 % kasus
Umumnya terjadi pada 2 –3 minggu setelah selesai
terapi
Sering terjadi akibat penggunaan antibiotik inadekuat (
lama terapi terlalu singkat )
Gejala klinis lebih ringan dari serangan pertama
Berhubung umumnya bakteri tetap peka dengan
antibiotika yang lalu, maka terapi antibiotika sama
dengan serangan awal lalu.