179-Article Text-1113-1-10-202006430.pdf

andhikaperceka1 9 views 4 slides Apr 13, 2025
Slide 1
Slide 1 of 4
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4

About This Presentation

Stuting di indonesia


Slide Content

Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 15 Nomor 2 Tahun 2020 ● eISSN : 2302-2531
154

GAMBARAN STUNTING DI INDONESIA: LITERATUR REVIEW

Yusran Haskas

STIKES Nani Hasanuddin Makassar

Alamat korespondensi: ([email protected]/081355203337)

ABSTRAK

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk
pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk
malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah
menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Stunting dapat terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi terutama pada saat 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Metode yang digunakan
pada penelitian ini adalah menggunakan studi literatur dengan metode mencari, menggabungkan inti
sari serta menganalisis fakta dari beberapa sumber ilmiah yang akurat dan valid. Stunting menjadi
masalah yang sangat serius karena dikaitkan dengan risiko kesakitan dan kematian yang lebih besar,
obesitas, dan penyakit tidak menular di masa depan, orang dewasa yang pendek, buruknya
perkembangan kognitif dan rendahnya produktivitas dan pendapatan. Untuk mencegah kejadian
stunting, pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama, khususnya pada bayi yang berasal dari
keluarga miskin, harus dioptimalkan melalui program edukasi gizi dan kelompok pendukung ASI.
Selanjutnya, diharapkan hasil literature ini dapat dijadikan sebagai tambahan informasi untuk
mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran stunting di Indonesia.

Kata Kunci: Balita, Kekurangan Gizi, Stunting

PENDAHULUAN
Stunting pada anak-anak merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama di Indonesia. Stunting menjadi
masalah yang sangat serius karena dikaitkan
dengan risiko kesakitan dan kematian yang
lebih besar, obesitas, dan penyakit tidak
menular di masa depan, orang dewasa yang
pendek, buruknya perkembangan kognitif dan
rendahnya produktivitas dan pendapatan.
Dengan kata lain, stunting akan
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia
di kemudian hari (Paramashanti et al., 2016).
Stunting merupakan salah satu target
Sustainable Development Goals (SDGs) yang
termasuk pada tujuan pembangunan
berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan
kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada
tahun 2030 serta mencapai ketahanan
pangan. Target yang ditetapkan adalah
menurunkan angka stunting hingga 40% pada
tahun 2025 (Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI, 2018).
Anak mengalami stunting sebagai akibat
kekurangan gizi terutama pada saat 1000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK). Saat ini, jumlah
anak balita di Indonesia sekitar 22,4 juta.
Setiap tahun, setidaknya ada 5,2 juta
perempuan di Indonesia yang hamil. Dari
mereka, rata-rata bayi yang lahir setiap tahun
berjumlah 4,9 juta anak. Tiga dari sepuluh
balita di Indonesia mengalami stunting atau
memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar
usianya. Tak hanya bertubuh pendek, efek
domino pada balita yang mengalami stunting
lebih kompleks. Selain persoalan fisik dan
perkembangan kognitif, balita stunting juga
berpotensi menghadapi persoalan lain di luar
itu (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018).
Stunting ketika usia balita pada
umumnya sering tidak disadari oleh keluarga
dan setelah 2 tahun baru terlihat dan
berdampak pada kemampuan kognitif dan
produktivitas jangka panjang, bahkan bisa
berdampak pada kematian (Oktarina &
Sudiarti, 2014). Negara Indonesia jika
dibandingkan dengan negara lain masuk
dalam grup yang mempunyai prevalensi cukup
tinggi yaitu 30%-39%. Negara Indonesia
menempati peringkat ke 5 dunia dengan
jumlah anak pendek terbanyak. Posisi
Indonesia hanya lebih baik dari India,
Tiongkok, Nigeria, dan Pakistan (Trihono et al,

Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 15 Nomor 2 Tahun 2020 ● eISSN : 2302-2531
155
2015).
Berdasarkan data Pemantauan Status
Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek
memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi
kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita
pendek mengalami peningkatan dari tahun
2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia
cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan
prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar
36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi
balita pendek kembali meningkat pada tahun
2013 yaitu menjadi 37,2% (Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI, 2018).
Belum ada laporan di Indonesia yang
melaporkan tren prevalensi kurang berat
badan, stunting, dan kelebihan berat badan
pada anak usia 2,0- 4,9 tahun, bersama
dengan faktor risiko yang terkait. Pemahaman
yang lebih baik tentang beban ganda gizi
buruk di Indonesia, terutama pada anak usia
dini, akan membantu pengambilan keputusan
tentang strategi potensial untuk mengatasi
masalah tersebut (Rachmi et al., 2016).
Anak kerdil yang terjadi di Indonesia
sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah
tangga/keluarga yang miskin dan kurang
mampu, karena stunting juga dialami oleh
rumah tangga/keluarga yang tidak miskin/yang
berada di atas 40 % tingkat kesejahteraan
sosial dan ekonomi (TNP2K, 2017).

BAHAN DAN METODE
Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah menggunakan studi literatur dengan
metode mencari, menggabungkan inti sari
serta menganalisis fakta dari beberapa
sumber ilmiah yang akurat dan valid. Studi
literatur menyajikan ulang materi yang
diterbitkan sebelumnya dan melaporkan fakta
atau analisis baru. Tinjauan literatur
memberikan ringkasan berupa publikasi
terbaik dan paling relevan kemudian
membandingkan hasil yang disajikan dalam
jurnal.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Indonesia mempunyai masalah gizi
yang cukup berat yang ditandai dengan
banyaknya kasus gizi kurang. Stunting
merupakan salah satu keadaan malnutrisi
yang berhubungan dengan ketidakcukupan zat
gizi masa lalu sehingga termasuk dalam
masalah gizi yang bersifat kronis. Stunting
disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak
hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang
dialami oleh ibu hamil maupun anak balita
(Sutarto et al, 2018).
Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir
tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya
stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu
dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu
(ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini
dapat menjadi salah satu faktor terjadinya
stunting. Sedangkan dari sisi pemberian
makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang
perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas,
dan keamanan pangan yang diberikan (Pusat
Data dan Informasi Kemenkes RI, 2018).
Kerangka kerja konseptual WHO
memungkinkan dilakukannya tinjauan literatur
yang menyeluruh tentang faktor-faktor penentu
anak stunting di Indonesia. Faktor rumah
tangga dan keluarga bahwa perawakan
pendek ibu, kelahiran prematur, panjang lahir
pendek, rendahnya pendidikan ibu, dan
rendahnya kekayaan rumah tangga adalah
faktor penentu terdekat dari anak stunting di
Indonesia. Penghentian menyusui dini, status
ayah yang pendek, dan rumah tangga dengan
air minum yang tidak diobati dan jamban yang
tidak diperbaiki juga dapat menjadi penentu
kuat anak stunting di Indonesia (Beal et al.,
2018).
Lingkungan rumah mencakup stimulasi
dan aktivitas anak yang tidak memadai, praktik
pengasuhan yang buruk, sanitasi dan pasokan
air yang tidak memadai, kerawanan pangan,
alokasi makanan rumah tangga yang tidak
tepat, dan pendidikan pengasuh yang rendah.
Anak stunting dikaitkan dengan praktik
pengasuhan yang buruk, sanitasi dan pasokan
air yang tidak memadai, kerawanan pangan,
dan pendidikan pengasuh yang rendah.
Penentu tambahan yang tidak secara khusus
tercantum dalam lingkungan rumah ditemukan
terkait dengan anak stunting dalam literatur di
Indonesia yaitu indikator kekayaan rumah
tangga, ayah merokok dan ibu, perawakan
pendek ayah, dan rumah tangga yang ramai
(Beal et al., 2018).

Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 15 Nomor 2 Tahun 2020 ● eISSN : 2302-2531
156

Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi
tempat tinggal juga berkaitan dengan
terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat
kaitannya dengan kemampuan dalam
memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan
kesehatan untuk ibu hamil dan balita.
Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan
dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
infeksi (Pusat Data dan Informasi Kemenkes
RI, 2018).
Di Indonesia, lokasi persebaran
kejadian stunting paling banyak adalah
wilayah Nusa Tenggara Timur, namun daerah-
daerah lain pun juga masih perlu perhatian
dan kepedulian bersama (Rafika, 2019).
Stunting memiliki dampak yang besar
terhadap tumbuh kembang anak dan juga
perekonomian Indonesia di masa yang akan
datang (Pusat Data dan Informasi Kemenkes
RI, 2018).
Dampak stunting terhadap kesehatan
dan tumbuh kembang anak sangat merugikan.
Stunting dapat mengakibatkan gangguan
tumbuh kembang anak terutama pada anak
berusia di bawah dua tahun. Anak-anak yang
mengalami stunting pada umumnya akan
mengalami hambatan dalam perkembangan
kognitif dan motoriknya yang akan
mempengaruhi produktivitasnya saat dewasa.
Selain itu, anak stunting juga memiliki risiko
yang lebih besar untuk menderita penyakit
tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan
penyakit jantung pada saat dewasa. Secara
ekonomi, hal tersebut tentunya akan menjadi
beban bagi negara terutama akibat
meningkatnya pembiayaan kesehatan. Potensi
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
stunting sangat besar (Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI, 2018).
Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widanti (2017) bahwa
anak yang mengalami stunting memiliki
potensi tumbuh kembang yang tidak
sempurna, kemampuan motorik dan
produktivitas rendah, serta memiliki risiko lebih
tinggi untuk menderita penyakit tidak menular.
Stunting mengakibatkan kemampuan
pertumbuhan yang rendah pada masa
berikutnya, baik fisik maupun kognitif, dan
akan berpengaruh terhadap produktivitas di
masa dewasa.

Penelitian lainnya oleh Sumartini, (2020)
bahwa anak yang mengalami stunting pada
umur dibawah dua tahun memiliki risiko besar
memiliki kemampuan kognitif yang rendah.
Anak yang mengejar ketinggalan pertumbuhan
di masa selanjutnya memiliki peluang untuk
meningkatkan skor kognitif dibandingkan
dengan anak yang tetap terhambat.
Intervensi yang paling menentukan
untuk dapat mengurangi pervalensi stunting
oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak
balita. Pencegahan stunting dapat dilakukan
antara lain dengan cara pemenuhan
kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, ASI eksklusif
sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6
bulan diberi makanan pendamping ASI
(MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya,
memantau pertumbuhan balita di posyandu,
meningkatkan akses terhadap air bersih dan
fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan
lingkungan (Sutarto et al, 2018). Tiga hal yang
perlu diperhatikan dalam pencegahan stunting
adalah perbaikan terhadap pola makan, pola
asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air
bersih (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018).
Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Muslihah et al (2016) bahwa intervensi untuk
mencegah kekurangan gizi seharusnya
diimplementasikan pada hari pertama '1000'.
Periode antara 6 dan 24 bulan sangat penting
karena anak-anak menjalani transisi dari ASI
ke makanan pendamping ASI periode ini dan
kadang-kadang mengkonsumsi kuantitas dan
kualitas makanan yang buruk. Praktek
pemberian makan yang buruk adalah salah
satu penentu faktor stunting; dan ini terjadi
bersamaan dengan infeksi dan masalah
kesehatan lain daripada kekurangan.
Dari sumber yang lain dikemukakan
bahwa anak dengan stunting diawal dua tahun
kehidupannya cenderung berisiko mengalami
permasalahan pada kondisi psikologis ketika
remaja bila dibandingkan dengan anak normal.
Diantaranya adalah kecenderungan cemas
dan rentan depresi,kepercayaan diri yang
rendah, dan menampakkan perilaku-perilaku
hiperaktif yang mengarah pada perilaku yang
bertentangan dengan kondisi normal (Rafika,
2019).

Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 15 Nomor 2 Tahun 2020 ● eISSN : 2302-2531
157
KESIMPULAN
Stunting merupakan kegagalan
pertumbuhan akibat akumulasi dari
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung
lama mulai dari kehamilan sampai dengan
usia 24 bulan. Stunting menjadi masalah yang
sangat serius karena dikaitkan dengan risiko
kesakitan dan kematian yang lebih besar,
obesitas, dan penyakit tidak menular, orang
dewasa yang pendek, buruknya
perkembangan kognitif anak dan rendahnya
produktivitas dan pendapatan di masa depan.
Dengan demikian, stunting akan
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia
di kemudian hari.

SARAN
Pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan
pertama dapat dilakukan untuk mencegah
kejadian stunting, khususnya pada bayi yang
berasal dari keluarga miskin, harus
dioptimalkan melalui program edukasi gizi dan
kelompok pendukung ASI. Selanjutnya,
diharapkan hasil literature ini dapat dijadikan
sebagai tambahan informasi untuk
mengembangkan penelitian lebih lanjut
mengenai gambaran stunting di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2018). A review of child stunting
determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition, 14(4), 1–10. https://doi.org/10.1111/mcn.12617

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Warta Kesmas - Cegah Stunting Itu Penting. Warta Kermas,
1–27.

Muslihah, N., Khomsan, A., Briawan, D., & Riyadi, H. (2016). Complementary food supplementation with a small-
quantity of lipid-based nutrient supplements prevents stunting in 6-12-month-old infants in rural West
Madura Island, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 25(November), S36–S42.
https://doi.org/10.6133/apjcn.122016.s9

Oktarina, Z., & Sudiarti, T. (2014). Faktor risiko stunting pada balita (24—59 bulan) di sumatera. Jurnal gizi dan
pangan, 8(3), 177-180.

Paramashanti, B. A., Hadi, H., & Gunawan, I. M. A. (2016). Pemberian ASI eksklusif tidak berhubungan dengan
stunting pada anak usia 6–23 bulan di Indonesia. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia (Indonesian Journal
of Nutrition and Dietetics), 3(3), 162. https://doi.org/10.21927/ijnd.2015.3(3).162-174

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Buletin Jendela
Data Dan Informasi Kesehatan, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Rachmi, C. N., Agho, K. E., Li, M., & Baur, L. A. (2016). Stunting, underweight and overweight in children aged
2.0-4.9 years in Indonesia: Prevalence trends and associated risk factors. PLoS ONE, 11(5), 1–17.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0154756

Rafika, M. (2019). Dampak Stunting Pada Kondisi Psikologis Anak. Buletin Jagaddhita, 1(1), 1-4.

Sumartini, E. (2020). Studi literatur: Dampak stunting terhadap kemampuan kognitif anak. 127–134.

Sutarto, S. T. T., Mayasari, D., & Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor Resikodan
Pencegahannya. AGROMEDICINE UNILA , 5(1), 540-545.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk
Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Cetakan Pertama.

Trihono, T., Atmarita, A., Tjandrarini, D. H., Irawati, A., Nurlinawati, I., Utami, N. H., & Tejayanti, T. (2015).
Pendek (stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya.

Widanti, Y. A. (2017). Prevalensi, Faktor Risiko, dan Dampak Stunting pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Teknologi
Dan Industri Pangan, 1(1), 23–28.
Tags