Materi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti kelas XII SMA/SMK
Size: 1.26 MB
Language: none
Added: Sep 16, 2025
Slides: 24 pages
Slide Content
PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK
KOMPETENSI DASAR
3.1 Memahami panggilan hidupnya sebagai Umat Allah (Gereja) dengan
menentukan langkah yang tepat dalam menjawab panggilan hidup tersebut
4.1 Melaksanakan panggilan hidupnya sebagai Umat Aallah (Gereja) dengan
menentukan langkah yang tepat dalam menjawab panggilan hidup tersebut
INDIKATOR
• Menjelaskan makna perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan
• Menjelaskan makna perkawinan menurut Kitab Suci (Kej 2:18 –25; Mark 10:2-12)
• Menjelaskan makna dan sifat perkawinan menurut Ajaran Gereja (Hukum
Kanonik 1055 dan Gaudium et Spess art. 3a, 48, 52a)
PENGANTAR
Perkawinan antara seorang pria dan wanita dalam agama apapun
merupakan suatu peristiwa kehidupan manusia yang sangat sakral.
Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan
motif apapun. Sayang sekali bahwa dalam masyarakat, kita sering
mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri
yang menimbulkan keretakan hubungan antara mereka.
Tak jarang relasi suami-istri yang sangat bersifat pribadi itu di bawa ke
ranah publik, terutama para pesohor; entah artis, politisi, dan tokoh
masyarakat dijadikan konsumsi masyarakat umum melalui infotainment
di televisi atau sarana sosial media digital yang kini berkembang pesat.
Pemberitaan media massa tentang kasus perkawinan dengan berbagai
latarbelakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan masif dalam
masyarakat bahwa perceraian suami-istri merupakan hal yang biasa-
biasa saja, bahkan dianggap sebagai suatu budaya dalam kehidupan
modern.
DOA PEMBUKA
Allah Bapa yang penuh kasih,
Puji dan syukur kami haturkan kehadirat-Mu atas anugerah
kehidupan yang Engkau berikan kepada kami. Bimbinglah
kami ya Bapa dalam kegiatan pembelajaran tentang
perkawinan dalam tradisi Katolik, sehingga kami sungguh
memahami dan menghayatinya kelak. Doa ini kami
sempurnakan dengan doa yang diajarkan Yesus Putra-Mu...
Bapa Kami....
PERTANYAAN YANG MUNCUL
1.Apakah orang Katolik boleh menikah secara adat?
2.Pernikahan beda agama (Katolik dg Krsten lain)
3.Cara hidup berkeluarga dlm ajaran Iman Katolik
4.Menyikapi perbedaan agama dlm satu keluarga
5.Apa hukumnya bagi orang Katolik menikah lalu pindah ke agama lain
6.Keluar masuk dlm agama Katolik
7.Menika lagi setelah bercerai dlm tradisi Katolik
8.Orang katolik yang tidak pernah/mau ke gereja
9.Kebiasaan Kristiani jarang dilakukan dalam keluarga katolik
10.Sdh dibaptis katolik tp masih sering berdoa menurut tata cara Kong Hu Chu
11.Org tidk Katolik tp memahami Kitab Suci
12.Bagaimana menyelesaikan maslah dlm keluarga Katolik
13.Pernikahan beda agama, harus diberkati di mana?
14.Baptis dewasa tanpa persetujuan keluarga
MENDALAMI ARTI DAN MAKNA PERKAWINAN MENURUT
BERBAGAI PANDANGAN
1) Menurut Peraturan perundang-undangan.Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan, pasal 1 UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungan
dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan
pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
2) Pandangan tradisional. Perkawinan merupakan suatu ”ikatan”, yang tidak
hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat
kaum kerabat si laki-laki dengan kaum kerabat si wanita dalam suatu hubungan
tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari
saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan
seterusnya.
3) Pandangan hukum (yuridis). Perkawinan dipandang sebagai suatu
”perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling
berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat
negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.
4) Pandangan sosiologi. Perkawinan merupakan suatu ”persekutuan hidup”
yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antaranggota. Ia
merupakan suatu lingkungan hidup yang khas. Dalam lingkungan hidup ini,
suami dan istri dapat mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai
manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.
5) Pandangan antropologis. Perkawinan dilihat sebagai suatu ”persekutuan
cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan
akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai
suami-istri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.
AJARAN KITAB SUCI (ALKITAB) TENTANG PERKAWINAN
Kejadian 2:18 -25
18TUHAN Allah berfrman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan
penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” 19 Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala
binatang hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat,
bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang
hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. 20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada
burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai
penolong yang sepadan dengan dia. 21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. 22
Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu
dibawa-Nya kepada manusia itu. 23 Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari lakilaki.” 24 Sebab itu seorang
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging. 25 Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak
merasa malu.
Markus 10:2-12; (bdk Luk 16:18)
2“Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-
Nya: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?”: 3Tetapi jawab-Nya
kepada mereka: “Apa perintah Musa kepada kamu?” 4Jawab mereka: “Musa memberi izin
untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” 5Lalu kata Yesus kepada mereka:
“Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. 6
Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 7sebab itu
lakilaki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, 8sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
9Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” 10Ketika
mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. 11Lalu
kata-Nya kepada mereka: “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan
perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. 12Dan jika si isteri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
AJARAN GEREJA TENTANG PERKAWINAN
a) Kitab Hukum Kanonik; 1055
b) Gaudium et Spess art. 48
c) Gaudium et Spess art. 3a
d) Gaudium et Spess art. 52a
MAKNA PERKAWINAN
1) Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik
Kanon 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi, antara lain tentang:
a) Perkawinan sebagai perjanjian; Gagasan perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber
pada Konsili Vatikan II (GS 48), yang pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab Suci.
b) Perkawinan sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan
dan umatnyadalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan Perjanjian Baru (Kristus dengan
GerejaNya). Tetapi dengan perjanjian ingin diungkapkan pula dimensi personal dari
hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad modern ini.
c) Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita; Kebersamaan
seluruh hidup tidak hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu) tetapi juga kualitatif
(intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh dalam segala aspeknya,
apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih.
d) Perkawinan sebagai sakramen; Hal ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua
orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada
ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya.
PERKAWINAN MENURUT AJARAN KONSILI VATIKAN II
Gaudiumet Spes, no.48: “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara
pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan
masyarakat”. Karena itu, perkawinan bagi Gereja Katolik tidak sekedar ikatan cinta mesra dan hidup
bersama yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi hukum-hukum-Nya. Perlu pula dilihat
bahwa perkawinan menurut bentuknya merupakan suatu lembaga dalam hidup kemasyarakatan.
Tanpa pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam “hidup bersama” yang dipandang oleh
masyarakat sebagai liar (kumpul kebo). Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan
intinya merupakan kesatuan hidup dari dua pribadi. Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang
ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan antara seorang pria
dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup satu sama lain. Persetujuan itu
mesti dinyatakan secara publik, artinya di hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut
aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.
TUJUAN PERKAWINAN
1) Kesejahteraan lahir-batin suami-istri. Kitab Suci mengajarkan bahwa tujuan perkawinan ialah saling menjadikan
baik dan sempurna, saling mensejahterakan, yaitu dengan mengamalkan cinta seluruh jiwa raga. Perkawinan adalah
panggilan hidup bagi sebagian besar umat manusia untuk mengatasi batas-batas egoisme; untuk mengalihkan perhatian
dari diri sendiri kepada sesama; dan untuk menerima tanggungjawab sosial; serta menomorduakan kepentingan sendiri
demi kepentingan kekasih dan anak-anak mereka bersama. Seorang yang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup
menikah, karena hakikat perkawinan adalah panggilan untuk hidup bersama.
2) Kesejahteraan lahir batin anak-anak.Gereja Katolik berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun
mereka tetaplah suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi Tuhan! Dalam dokumen-
dokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling
pokok dan utama. Anak-anak adalah “anugerah perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan
orangtua. Dalam tanggungjawab menyejahterakan anak terkandung pula kewajiban untuk mendidik anak-anak. “Karena
telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik
anak-anak mereka dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka (GE.3a).
“Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa
tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih status hidup; apabila mereka memilih
status pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang
menguntungkan mereka” (GS. 52a). Pemenuhan tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak
harus dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral, keagamaan, hidup
sakramental, dan lain-lain.
SIFAT PERKAWINAN
1) Monogam
Salah satu perwujudan dan kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan yang bersifat monogam. Dalam
perkawinan Kristen ditolak poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Kristen suami mesti menyerahkan diri seutuh-
utuhnya kepada istrinya; dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada suaminya. Tidak boleh
terbagi kepada pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan mereka. Yesus tegaskan
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu” (Mat19:15). Inilah persatuan dan cinta yag sungguh
menyeluruh, tak terbagi dan total sifatnya.
2) Tak Terceraikan
Perkawinan Kristen bukan saja monogam, tetapi juga tak dapat diceraikan. Perkawinan Kristen bersifat tetap, hanya maut
yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai
untuk menikah lagi dengan orang lain. Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personil, total, dan permanen. Suatu cinta
tanpa syarat. Suatu pernikahan dengan jangka waktu dan syarat-syarat terbatas tidak mencerminkan cinta yang personil,
total dan permanen itu (Baca: Mrk 10:2-12; Lk 16:18). Untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji pernikahan
setiap calon mempelai dihadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada satu sama lain sampai maut
memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka
diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang
syarat apapun.
TINGKAT KEKUKUHAN PERKAWINAN
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun
ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu
memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam
perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.
(1) Perkawinanputativum(putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya
oleh satu pihak (Kan 1061, $1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian
sama sekali.
(2) Perkawinanlegitimumantara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus
mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan denganPrevilegium Paulinum*karena suatu alasan yang berat.
(3) Perkawinanlegitimumantar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak
sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena
suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri
kekukuhan dalam dirinya.
(4) Perkawinanratum(et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan
persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen,
namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.
(5) Perkawinanratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan
persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat
sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK
Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:
(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083). Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap
16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas
minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan
1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.
(2) Impotensi (Kan. 1084). Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi.
Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang
menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan
bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber
dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.
(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085). Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri
timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam
perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau
poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari
hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya
perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan
sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”
(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086). Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-
sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan
dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa
dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman,
mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan
anak dan kesejahteraan keluarga. Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan
pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar
anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah
dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah
norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang
membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta
dan bakti.
(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087). Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik
yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan
1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah
menerima tahbisan suci”.
(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088). Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius
tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul
kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)
(7) Penculikan (Kan. 1089). Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin
kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas
adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.
(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090). Ini disebut halangan kriminalconjungicide.
(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091). Gereja menetapkan halangan hubungan darah
untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk
menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk
terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah
dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan
bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.
(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092). Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling
mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua
keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan
perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat
manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus
ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak
tiri perempuan.
(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)
Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo
(konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik
dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan
pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.
(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak
kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang
mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat
kedua.”
KONSENSUS ATAU KESEPAKATAN NIKAH
a. Pengertian Konsensus. Konsensus (Kan 1057, $ 2) adalah perbuatan kemauan dengan
mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk
perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
b. Faktor Penyebab Tak Adanya Konsensus. Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama
sekali oleh faktor-faktor berikut:
1) Ketidakmampuan psikologis (Kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
(4) Penipuan (Kan. 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
(6) Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum
sakramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)
10 SERUAN INI DALAM ANJURAN APOSTOLIK AMORIS LAETITIA
1.Memahami setiap keluarga dan individu: Paus menekankan perlunya Gereja
memahami setiap keluarga dan individu dengan segala kompleksitas mereka. Ia
menegaskan, Gereja perlu bertemu mereka di mana mereka berada. Imam
hendaknya menghindari penilaian-penilaian yang tidak mempertimbangkan
kompleksitas dari berbagai situasi.
2.Pentingnya hati nurani: Paus menyatakan, hati nurani berperan penting dalam
membuat keputusan moral.
3.Terkait umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi: Menurut Paus, mereka
perlu secara penuh diintegrasikan ke dalam Gereja. Mereka tidak
diekskomunikasikan. Perlakuan demikian, kata dia, karena mereka masih bagian
dari Gereja.
4.Sungguh-sungguh menjadi Kristiani: Paus mengajak semua anggota keluarga
untuk secara baik menjalani kehidupan Kristiani. Seruan Paus ini banyak berisi
tentang refleksi tentang Injil dan ajaran Gereja tentang cinta kasih, keluarga dan
anak-anak.
5. Terkait orang yang hidup dalam dosa. Paus mengatakan, kita tidak seharusnya
bicara lagi soal orang yang hidup dalam dosa. Menurutnya, tidak bisa sekedar
mengatakan bahwa mereka yang hidup dalam situasi yang tidak wajar atau kondisi
khusus sepertisingle motherperlu dimengerti, dihibur dan diterima.
6. Adaptasi dengan situasi setempat. Ia mengatakan, apa yang bisa dilakukan di satu
tempat belum tentu bisa dilakukan di tempat lain. Setiap negara atau daerah bisa
mencari solusi yang baik yang sesuai dengan kebudayaan dan peka terhadap tradisi
dan kebutuhan setempat.
7. Posisi Gereja tegas soal perkawinan: Ajaran tradisional tentang perkawinan itu
tegas, tapi Gereja hendaknya tidak membebani umat dengan ekspektasi yang tidak
realistis. Para calon imam dan imam perlu dilatih dengan lebih baik untuk memahami
kompleksitas kehidupan berkeluarga.
8. Pendidikan seks dan seksualitas: Anak-anak harus dididik soal seks
dan seksualitas. Seks harus selalu dipahami sebagai berkah atas
kehidupan baru.
9. Gay dan lesbian hendaknya dihormati: Perkawinan sejenis tidak
diperbolehkan, tapi Paus mengatakan bahwa ia ingin menegaskan
kembali bahwa gay dan lesbian harus dihormati martabatnya dan
diperlakukan dengan baik.
10. Menerima semua orang: Gereja harus membantu keluarga dan
mengerti ketidaksempurnaan mereka dan bahwa mereka dicintai Allah dan
bisa membantu orang lain untuk mengalami kasih itu.
REflEKSI
Sepasang suami-istri merayakan pesta emas atau peringatan 50 tahun perkawinannya. Dalam misa syukur itu,
pasangan yang berbahagia ini diminta oleh imam untuk bersaksi tentang perjalanan hidup perkawinan mereka.
Sang Suami mewakili istri tercintanya memberikan kesakisan itu kepada imam dan seluruh umat yang hadir.
Berikut kesaksiannya:
“Kami merayakan hari ulang tahun pernikahan hari ini dengan meriah persis seperti yang terjadi 51 tahun yang
lalu. Pengalaman yang sangat mengesankan saya adalah pada lima tahun pertama pernikahan kami. Istri saya
waktu itu sakit-sakitan, kadang tidak bisa bangun. Kami hanya berdua dan jauh dari keluarga maka saya
sendiri bertugas sebagai pelayan setianya. Saya bangun pagi menyiapkan sarapan, membereskan rumah,
sering kali menyuapnya lalu pergi ke kantor. Kembali dari kantor saya berlaku lagi sebagai pembantu bagi
nyonya.
Kalau melihat status, saya bukan hanya suami tetapi di kantor saya adalah kepala bagi yang lain. Namun
semakin lama saya melayaninya, saya merasa bahwa ini adalah cinta yang murni, sebuah cinta kasih rohani,
sebuah agape. Saya berdoa meminta dua hal setiap malam setelah melayani dan melihatnya tidur yakni
semoga istri saya cepat sembuh dan dikarunia anak. Tuhan mengabulkannya,
istri saya sembuh. Dia melahirkan dua anak kami, sehat dan baik hingga saat ini”. (P.JSDB)
Peserta didik silahkan menuliskan sebuah refleksi pribadi bertemakan perkawinan sebagai panggilan hidup.
DOA PENUTUP
Ya Allah yang mahasetia, Engkau telah menguduskan
cintakasih suami isteri, dan mengangkat perkawinan,
menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja.
Semoga kedua suami-istri Katolik, semakin menyadari
kesucian hidup berkeluarga, dan berusaha menghayatinya
dalam suka dan duka. Demi Yesus Kristus, PuteraMu dan
Pengantara kami, yang bersama Dikau dalam persekutuan
dengan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, kini dan
sepanjang segala masa. Amin.