20240601 Numerasi Apa, Mengapa, dan Bagaimana.pdf

raviiramadhan 37 views 114 slides Feb 13, 2025
Slide 1
Slide 1 of 114
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90
Slide 91
91
Slide 92
92
Slide 93
93
Slide 94
94
Slide 95
95
Slide 96
96
Slide 97
97
Slide 98
98
Slide 99
99
Slide 100
100
Slide 101
101
Slide 102
102
Slide 103
103
Slide 104
104
Slide 105
105
Slide 106
106
Slide 107
107
Slide 108
108
Slide 109
109
Slide 110
110
Slide 111
111
Slide 112
112
Slide 113
113
Slide 114
114

About This Presentation

sjdj


Slide Content

NUMERASI: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
Ditulis oleh:
Erwin Oktoma
Agusmanto JB Hutauruk
Iden Rainal Ihsan
Mardyanto Barumbun
Rizki Amalia
Rustam E. Simamora
Diterbitkan, dicetak, dan didistribusikan oleh
PT. Literasi Nusantara Abadi Grup
Perumahan Puncak Joyo Agung Residence Kav. B11 Merjosari
Kecamatan Lowokwaru Kota Malang 65144
Telp : +6285887254603, +6285841411519
Email: [email protected]
Web: www.penerbitlitnus.co.id
Anggota IKAPI No. 340/JTI/2022
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip
atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku
dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Cetakan I, Mei 2024
Perancang sampul: Bagus Aji Saputra
Penata letak: Bagus Aji Saputra
ISBN : 978-623-114-797-4
vi + 106 hlm. ; 15,5x23 cm.
©Mei 2024

KATA PENGANTAR
Kepada para pembaca yang terkasih,
Kami sangat gembira dapat mempersembahkan ide dan gagasan
dalam book chapter kami yang berjudul “Numerasi: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana?”. Book Chapter ini disusun oleh para penulis dan pemikir
numerasi yang handal dan ahli di bidangnya, dengan tujuan untuk
memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat umum dan para
pembelajar di dunia pendidikan mengenai pentingnya numerasi dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam pengembangan diri.
Dunia yang terus berkembang dengan cepat menuntut kita untuk
memiliki keterampilan numerasi yang kuat. Namun, tak jarang kita melihat
banyak orang yang merasa canggung atau bahkan takut akan angka-angka.
Melalui bab-bab yang ada di book chapeter ini, kami berharap dapat
merangkum apa sebenarnya yang dimaksud dengan numerasi, mengapa
hal tersebut penting, dan bagaimana kita semua dapat meningkatkan
kemampuan numerasi kita.
Bab ini tidak hanya ditujukan untuk membantu pembaca memahami
konsep dasar numerasi, tetapi juga untuk memberikan inspirasi dan
motivasi bagi para pendidik dalam membantu siswa mengembangkan
keterampilan numerasi yang kokoh. Kami percaya bahwa dengan
pemahaman yang lebih baik tentang numerasi, kita dapat membuka
pintu menuju peluang yang lebih luas dalam kehidupan dan karier kita.
iii

Terima kasih kepada semua yang telah mendukung pembuatan buku
ini, dan semoga bab ini dapat memberikan manfaat yang berarti bagi
Anda semua.
Selamat membaca!
Hormat kami,
Tim Penulis
iv

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................iii
Daftar Isi............................................................................................................v
BAB 1
APA ITU NUMERASI?..................................................................................1
Oleh : Agusmanto JB Hutauruk
BAB 2
DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA
KETERAMPILAN NUMERASI...................................................................13
Oleh : Iden Rainal Ihsan
BAB 3
INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM...................................27
Oleh : Erwin Oktoma
BAB 4
MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI........................55
Oleh : Rizki Amalia
BAB 5
BAGAIMANA ASESMEN NUMERASI DALAM
PEMBELAJARAN?.....................................................................................71
Oleh : Rustam Effendy Simamora, Mardyanto Barumbun
Daftar Pustaka..............................................................................................105
v

vi

BAB 1
APA ITU NUMERASI?
Agusmanto JB Hutauruk
Universitas HKBP Nommensen
D
i Indonesia, saat ini literasi dan numerasi merupakan komponen
utama dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) sebagai
pengganti Ujian Nasional. Dalam AKM, kapasitas siswa diukur terkait
dengan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi),
selain kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan
penguatan pendidikan karakter. Asesmen tersebut dirancang untuk
memberi dorongan lebih kuat ke arah pembelajaran yang inovatif dan
berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan sekedar hafalan.
Alasan penggantian Ujian Nasional menjadi AKM adalah agar asesmen
berfokus pada tiga hal penting: literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.
Numerasi sering kali diartikan secara sempit sebagai
keterampilan yang hanya melibatkan kecakapan dengan angka
dan berhitung menggunakan kertas dan pensil atau mencongak
sehingga penggunaan kalkulator dianggap sebagai bukti seseorang
tidak memiliki numerasi. Namun, definisi “keterampilan dasar”
dari numerasi semacam ini sudah ketinggalan zaman di dunia
abad ke- 21 yang kaya akan data dan teknologi (Goos, dkk., 2014).
Numerasi, disebut juga literasi numerasi dan literasi matematika,
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan
konsep dan keterampilan matematika untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai ragam konteks kehidupan sehari-hari,
misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan
masyarakat dan sebagai warga negara (Kemendikbud, 2017). Selain
itu, numerasi juga termasuk kemampuan untuk menganalisis dan
menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita
yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan,
1

dsb.) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk
memprediksi dan mengambil keputusan (Kemendikbud, 2017).
Berdasarkan definisi di atas, numerasi merupakan kunci bagi
peserta didik untuk mengakses dan memahami dunia dan membekali
peserta didik dengan kesadaran dan pemahaman tentang peran penting
matematika di dunia modern. Penekanan pada aplikasi dari matematika
yang berhubungan dengan kehidupan memungkinkan peserta didik untuk
mengembangkan kemampuan dan kepercayaan diri untuk berpikir secara
numerik, spasial, dan data untuk menafsirkan dan menganalisis secara
kritis situasi sehari-hari dan untuk memecahkan masalah.
Menjadi seseorang yang memiliki kemampuan numerasi diartikan
sebagai seseorang yang, melibatkan lebih dari sekadar menguasai
matematika dasar saja, tetapi dapat menghubungkan matematika yang
dipelajari di sekolah dengan situasi di luar sekolah yang juga membutuhkan
pemecahan masalah dan penilaian kritis dalam nonmatematika.
Gambar 1.1 Model Numerasi
Gambar 1.1 menunjukkan sebuah model numerasi abad ke-
21 (Goos, dkk., 2020) dengan lima dimensinya. Seorang yang
memiliki kemampuan numerasi tentu membutuhkan pengetahuan
matematika yang melingkupi konsep, keterampilan dan strategi
pemecahan masalah, serta kemampuan untuk membuat taksiran. Karena
numerasi berhubungan dengan penggunaan matematika dalam NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
2

dunia nyata, seseorang perlumenjadi numerat dalam beragam
konteks. Konteks merupakan aspek dari kehidupan seseorang di mana
masalah ditempatkan. Selain pengetahuan dan konteks, menjadi
numerat juga berarti memiliki disposisi (atau sikap) yang positif,
yaitu kemauan dankepercayaan diri ketika menyelesaikan
permasalahan, baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan orang
lain, dan dengan luwes dan mudah beradaptasi menerapkan pengetahuan
matematika yang dimilikinya.
Situasi numerasi sering kali membutuhkan alat, termasuk alat
fisik, alat representasi, dan alat digital. Oleh karena itu, keterampilan
numerasi di abad ke- 21 tentunya termasuk kefasihan dalam memilih
dan menggunakan alat yang tepat sesuai dengan kebutuhan dari
masalah yang dihadapi. Keempat dimensi di atas berlandaskan pada
orientasi kritis yang menuntut seorang numerat bukan saja mengetahui
dan menggunakan metode yang efisien, namun juga menilai kelayakan
dari hasil yang didapat dan menyadari kegunaan penalaran matematika
untuk menganalisis situasi dan mengambil kesimpulan.
Dari model di atas terlihat jelas bahwa kemampuan numerasi tidaklah
sama dengan kompetensi matematika. Kompetensi matematika dapat
dipikirkan sebagai kemampuan seseorang untuk bertindak secara sesuai
dalam respons terhadap tantangan matematika tertentu pada situasi
tertentu (Niss & Højgaard, 2019). Meskipun keduanya berlandaskan pada
pengetahuan dan keterampilan yang sama, perbedaannya terletak
pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam
kehidupan seharihari. Permasalahan tersebut sering kali diwarnai
dengan keadaan yang tidak terstruktur, dengan informasi dalam
masalah yang terbatas atau justru terlalu banyak. Permasalahan
dapat memiliki banyak cara penyelesaian, atau bahkan tidak ada
penyelesaian yang tuntas (Kemendikbud, 2017).
Lalu, apa itu Numerasi? Numerasi adalah kemampuan
memahami dan menggunakan berbagai macam angka dan simbol-
simbol yang terkait dengan matematika dasar dan menganalisis
BAB 1 - APA ITU NUMERASI 3

informasi yang ditampilan dalam berbagai bentuk (grafik,
tabel, bagan, dan lain sebagainya) untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari.
Numerasi memiliki beberapa tujuan, antara lain: mengasah dan
menguatkan pengetahuan serta keterampilan numerasi dalam
menginterpretasikan angka, data, tabel, grafik, dan diagram,
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan literasi numerasi
untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan dalam kehidupan
sehari-hari berdasarkan pertimbangan yang logis, membentuk
dan menguatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu
memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Kemampuan numerasi adalah kemampuan berpikir
menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang
relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia
(Kemendikbud, 2020). Selain itu, kemampuan numerasi juga merupakan
kemampuan penting yang harus dimiliki oleh peserta didik sebab
kemampuan atau keahlian ini berkaitan dengan penggunaan
angka untuk menyelesaikan dengan praktis dalam berbagai masalah
sehari-hari (Mariamah, Suciyati & Hendrawan 2021).
Menurut Baharuddin, Sukmawati & Wahyuni (2022)
pentingnya kemampuan numerasi tidak terlepas dari data yang
sering ditampilkan dalam layar media baik cetak maupun digital.
Hampir semua data baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
sering kali tersaji dalam bentuk numerasi. Anggraini & Setianingsih
(2022) mengemukakan bahwa kemampuan numerasi adalah
kemampuan menginterpretasikan pemahaman dan penerapan konsep
matematis dalam memahami keadaan sekitar, mengembangkan diri
serta menyelesaikan atau memecahkan masalah dengan cakupan
yang luas dalam kehidupan sehari- hari. Menurut Mariamah et al.,
(2021) bahwa kemampuan numerasi merupakan kemampuan dalam
menggunakan berbagai macam angka dan simbol yang terkait dengan NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
4

matematika dasar untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-
hari, dan kemampuan menganalisis informasi yang ditampilkan dalam
berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dan sebagainya).
Kemampuan numerasi yaitu kemampuan menggunakan
angka atau simbol matematika dalam menyelesaikan masalah
sehari-hari, mampu menganalisis informasi dalam bentuk
tabel, grafik, dan sebagainya, juga dapat mengambil keputusan
dari tafsiran hasil analisis informasi yang ditemukan. Adapun beberapa
indikator kemampuan numerasi menurut Tim Gerakan Literasi
Numerasi (2017) indikator kemampuan numerasi ada tiga yaitu
(1) Menggunakan berbagai macam angka atau simbol yang terkait
dengan matematika dasar dalam menyelesaikan masalah kehidupan
sehari-hari, (2) Menganalisis informasi yang ditampilkan dalam
berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, diagram dan lain sebagainya)
serta (3) Menafsirkan hasil analisis tersebut untuk memprediksi
dan mengambil keputusan.
Numerasi berperan menentukan cara dan arah pembelajaran
matematika di sekolah, sehingga pembelajaran matematika lebih
bermakna bagi peserta didik secara kontekstual. Berdasarkan
model Numerasi Abad Ke-21 (Goos et al. 2020) yang telah dibahas
di atas, dimensi numerasi mencakup (1) memberikan perhatian
pada konteks kehidupan nyata; (2) menerapan pengetahuan
matematika dalam menyelesaikan permasalahandalam kehidupan
sehari-hari; (3) menggunaan alat fisik, representasi dan digital
untuk membantu dalam penyelesaian masalah; (4) meningkatan
sikap positif (disposisi) terhadap penggunaan matematika untuk
memecahkan masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari;
dan (5) memiliki orientasi kritis untuk menginterpretasi hasil
matematika dan membuat keputusan berdasarkan bukti.
Tuntutan numerasi (numeracy demands) dalam mata pelajaran
matematika melibatkan pengetahuan dan kapasitas untuk
memanfaatkan keterkaitan ide-ide matematika (baik dalam satu
BAB 1 - APA ITU NUMERASI 5

topik maupun antar topik). Penguatan numerasi di matematika
dapat dilakukan dengan melihat mata pelajaran lain sebagai
menyediakan konteks yang bermakna di mana konsep matematika
dapat diperkenalkan atau dikembangkan. Untuk guru matematika,
tantangannya adalah memberikan perhatian khusus pada bagaimana
matematika digunakan di luar kelas matematika, misalnya
memberikan masalah yang solusinya bergantung pada konteks
tertentu dan meminta peserta didik untuk memeriksa kebenaran
solusi mereka dan pilihan keterampilan matematika yang mereka
gunakan dalam menyelesaikan masalah.
Sebagaimana penjelasan di bagian sebelumnya, numerasi bukan
merupakan bagian yang terpisah dari matematika, namun berlandaskan
pada pengetahuan dan keterampilan yang sama dengan matematika.
Perbedaan terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan
tersebut dalam kehidupan seharihari. Numerasi sebaiknya tidak dilihat
sebagai sesuatu tambahan yang perlu dimasukkan dalam kurikulum,
tetapi melibatkan pengetahuan matematika yang melekat dalam disiplin
ilmu lain. Sebagai contoh, kemampuan membaca dan menginterpretasi
informasi yang ditampilkan dalam bentuk grafik merupakan keterampilan
yang dibutuhkan di berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, strategi
penguatan numerasi yang sesuai adalah melakukan mengembangkan
terhadap materi pembelajaran yang sudah ada. Modifikasi dapat dilakukan
baik pada mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya.
Strategi numerasi lintas kurikulum (numeracy across the curriculum), yaitu
penerapan numerasi secara konsisten dan menyeluruh di sekolah untuk
mendukung pengembangan numerasi bagi setiap peserta didik.
Kenyataan bahwa peserta didik sering kali tidak dapat menerapkan
pengetahuan matematika mereka di bidang lain secara langsung
menunjukkan adanya suatu kebutuhan bahwa semua pendidik perlu
memfasilitasi proses tersebut. Keterampilan numerasi secara eksplisit
diajarkan di dalam mata pelajaran matematika, tetapi peserta didik
diberikan berbagai kesempatan untuk menggunakan matematika di NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
6

luar mata pelajaran matematika, dalam berbagai situasi. Menggunakan
keterampilan matematika lintas kurikulum memperkaya pembelajaran
bidang studi lain dan memberikankontribusi dalam memperluas dan
memperdalam pemahaman numerasi. Selain melalui kurikulum,
numerasi juga dimunculkan di dalam lingkungan sekolah oleh tenaga
kependidikan atau melalui kegiatan-kegiatan rutin yang dilaksanakan di
sekolah, yang memberikan kesempatan nyata bagi peserta didik untuk
mempraktikkan keterampilan numerasi mereka, misalnya, membuat
anggaran untuk berbagai kegiatan sekolah yang sudah dilaksanakan
secara rutin.
Bentuk pertanyaan yang mengintegrasikan numerasi dapat dilihat
dengan menemukan perbedaan dari kedua soal di bawah ini.
Pada kedua soal di atas, pembaca dapat menemukan perbedaan
dalam penyusunan soalnya. Soal di sebelah kiri merupakan soal yang
mengintegrasikan numerasi serta mengaitkannya dengan keadaan
kontekstual. Contoh soal lain yang menunjukkan numerasi dapat dilihat
dari soal di bawah ini.
BAB 1 - APA ITU NUMERASI 7

Soal 1.
Tentukan KPK dari 5 dan 7!
Soal 2.
Dahulu kegiatan jual-beli masyarakat di Jawa didasarkan pada
sistem penanggalan Jawa atau “pasaran”, sehingga tempat-tempat
itu disebut pasar. Sebagai contoh pasar yang kegiatannya hanya ada
pada hari Legi disebut Pasar Legi. Nama-nama hari dalam sistem
pasaran Jawa secara berurutan adalah: Pahing – Pon – Wage –
Kliwon – Legi Pertanyaan. Perhatikan kalender berikut yang
memuat informasi tentang penanggalan pasaran jawa. Pada Jumat
2 September 2022 terdapat Pasar Legi. Pasar Legi pada hari Jumat
selanjutnya adalah tanggal ….. bulan … 2022.
Pada kedua soal di atas, apa yang menjadi perbedaan dan kesamaannya?
Mari kita kaji perbandingan dari dua soal di atas berdasarkan 3 sudut
pandang.
a. Perbandingan kedua soal dipandang dari segi proses penyelesaiannya.
Jika dipandang dari proses penyelesaiannya, maka soal 1 hanya
membutuhkan satu kali proses saja untuk mendapatkan jawaban
dengan benar, yaitu proses menerapkan pengetahuan matematika.
Sementara itu, karena soal 2 berbentuk masalah kontekstual,
dibutuhkan beberapa proses penyelesaian masalah yang perlu NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
8

untuk dilibatkan. Diantaranya adalah 1) Proses perumusan masalah
konteks ke dalam kalimat matematika, 2) Proses menerapkan konsep
matematika dalam menyelesaikan bentuk matematika, 3) Menafsirkan
hasil penyelesaian tersebut ke dalam konteks awal. Berikut adalah
ilustrasinya (mengacu pada model literasi matematis OECD (2019).
Tahapan merumuskan atau memformulasikan:
Banyaknya hari pada kalender umum = 7
Banyaknya hari pada kalender jawa = 5
Jadi jumat legi berikutnya adalah KPK dari 7 dan 5
Tahapan menerapkan:
KPK 7 dan 5 adalah 7 × 5 = 35
Tahapan menafsirkan:
Perhatikan bulan Septerber 2022, ada berapa hari? Benar 30.
Sehingga, 2+28 hari kemudian ada sisa 7 hari yang masuk di
bulan Oktober. Sehingga Jumat Legi berikutnya terjadi pada
tanggal 7 Oktober 2022.
b. Perbandingan kedua soal dipandang dari segi konteksnya. Dilihat
dari segi konteks, kedua soal di atas memiliki perbedaan yang
sangat signifikan. Soal 1, tidak melibatkan konteks karena sudah
berbentuk masalah matematis atau model matematika. Sementara
itu, soal 2 melibatkan konteks sosial budaya (lihat konteks soal
pada framework AKM numerasi Pusmenjar pada bagian bahan
bacaan), yaitu konteks pasaran atau nama hari pada tradisi
Jawa. Oleh karena itu, dengan menyelesaikan masalah tersebut
siswa akan lebih mengenal peran matematika dalam kehidupan
BAB 1 - APA ITU NUMERASI 9

sehari-hari. Hal ini akan membantu guru dalam menjelaskan
peran matematika dalam kehidupan pada peserta didik.
c. Perbandingan kedua soal dipandang dari segi kontennya. Pada dasarnya,
konsep atau konten matematika yang digunakan untuk menyelesaikan
kedua soal tersebut adalah sama, yaitu konten bilangan, lebih khusus
pada materi KPK dan bahkan melibatkan bilangan yang sama.
Secara umum, berdasarkan framework literasi matematika/
numerasi yang digunakan Pusmenjar yang diadaptasi dari
PISA OECD, masalah numerasi diantaranya harus memiliki:
1) Proses penyelesaian yang meliputi tahap merumuskan/
memformulasikan, menggunakan, dan mengintepretasikan; 2) Salah
satu dari 3 kategori konteks, yaitu personal, sosial budaya, dan
saintifik. 3) Salah satu dari 4 kategori konten, yaitu bilangan,
geometri dan pengukuran, aljabar, dan data dan ketidakpastian.
REFERENSI
Dewayani, S., Retnaningdyah, P., Antoro, B., Susanto, D., Ikhwanudin,
T., Fianto, F., Muldian, W., Syukur, Y., & Setiakarnawijaya, Y.
(2021). Panduan Penguatan Literasi dan Numerasi di Sekolah
Dasar. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,
Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. http://repositori.kemdikbud.
go.id/22599/1/Panduan_Penguatan_Literasi_dan_Numerasi_di_
Sekolah_bf1426239f.pdf
Dicky Susanto, Ed.D, Savitri Sihombing, M.Sc., Marianna Magdalena
Radjawane,
M. S., & Ambarsari Kusuma Wardani, M. P. (2021). Inspirasi
Pembelajaran yang Menguatkan Numerasi. In Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan (Vol. 1, Issue 1). https://repositori.
kemdikbud.go.id/22996/1/Book 1–Modul Numerasi
Matematika SMP–23 Juli 2021.pdfNUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
10

Fachrudin, A. D. (2022). Modul berkembang : Pengetahuan Numerasi:
Proses, Konten, dan Konteks. In Modul Pelatihan Peningkatan
Kompetensi Numerasi untuk Guru:KEMDIKBUDRISTEK. https://
medium.com/@arifwicaksanaa/pengertian-use-case-
a7e576e1b6bf
Muchsin, S. B. (2016). Modul Pelatihan Peningkatan Kompetensi Numerasi
untuk Guru: Pengetahuan dan Pengalaman Numerasi yang Dibawa
Peserta Didik (Pengetahua, Vol. 01).
Susanto. (2021). Inspirasi Pembelajaran yang Menguatkan Numerasi Pada
Mata Pelajaran IPA, IPS, PJOK, dan Seni Budaya untuk Jenjang
Sekolah Menengah Pertama. Kemdikbudristek. https://repositori.
kemdikbud.go.id/25533/
Goos, M., Geiger, V., Dole, S., Forgasz, H., & Bennison, A. (2020). Numeracy
Across the Curriculum. https://doi.org/10.4324/9781003116585
Hamidah, D., Putri, R. I. I., & Somakim, S. (2018). Eksplorasi Pemahaman
peserta didik pada Materi Perbandingan Senilai Menggunakan
Konteks Cerita di SMP. Jurnal Riset Pendidikan dan Inovasi
Pembelajaran Matematika (JRPIPM), 1(1), 1-10.
BAB 1 - APA ITU NUMERASI 11

NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana? 12

BAB 2
DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA
KETERAMPILAN NUMERASI
Iden Rainal Ihsan
Universitas Samudra
P
eserta didik memerlukan berbagai komprehensi dan kompetensi baik
dalam menjalani rutinitas keseharian (beraktivitas), mempersiapkan
diri untuk menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi, ataupun
dalam memilih kariernya kelak. Pembelajaran di sekolah sudah seharusnya
menjadi wahana bagi peserta didik untuk memperoleh komprehensi dan
kompetensi yang mereka perlukan. Menyoal komprehensi dan kompetensi
yang terkait dengan aktivitas keseharian peserta didik, numerasi dapat
diposisikan sebagai keterampilan yang sangat penting untuk dimiliki
setiap peserta didik.
Aktivitas keseharian peserta didik, disadari atau tidak, tentu tidak
akan terlepas informasi numerikal. Berbagai ilustrasi aktivitas dapat
menjadi contoh informasi numerikal dalam keseharian peserta didik,
beberapa diantaranya seperti peserta didik mempertimbangkan waktu
dalam berkegiatan, mengelola uang untuk bekal dan ongkos transportasi,
menentukan sisa waktu energi baterai gadget berdasarkan persentasi
daya baterai yang masih dimiliki, dan lain sebagainya. Tidak menutup
kemungkinan juga peserta didik dituntut untuk memahami informasi
numerik yang disajikan dalam bantuk tabel, grafik, atau diagram meskipun
bukan dalam mata pelajaran matematika. Dalam pembelajaran IPS atau
geografi, peserta didik akan berhadapan dengan tabel jumlah penduduk
atau diagram yang merepresentasikan rasio antara banyaknya laki-laki dan
perempuan. Dalam pembelajaran IPA peserta didik berurusan dengan
data-data kuantitatif tentang hasil eksperimen yang harus dibuat suatu
konklusi atas data-data tersebut. Contoh-contoh lain yang serupa dapat
ditambahkan, namun yang perlu disampaikan di sini adalah kebutuhan
13

penguasaan untuk memahami data, rasio, dan informasi numerikal
oleh peserta didik baik dalam berkehidupan sehari-hari maupun
dalam mengikuti pembelajaran. Untuk menjawab kebutuhan ini,
keterampilan numerasi dapat menjadi salah satu alternatif. Kemudian
perlu disadari oleh setiap pendidik bahwa numerasi tidak hanya dapat
muncul dalam pelajaran matematika saja. Sebagaimana disampaikan
oleh Derek Haylock dalam bukunya yang berjudul Numeracy for
Teaching (Haylock, 2001) bahwa guru, di semua tahapan dan di semua
mata pelajaran, harus mampu membuat keputusan dan penilaian
berdasarkan informasi numerik dengan percaya diri dan tingkat
akurasi yang wajar.
Dalam mengimplementasikan pembelajaran berorientasi pada
keterampilan numerasi tentu diperlukan perencanaan desain pembelajaran.
Pada bagian ini akan dibahas aspek-aspek dasar yang perlu untuk
diperhatikan dalam mempersiapkan desain pembelajaran berorientasi
pada keterampilan numerasi peserta didik. Pada pembahasan di bagian
ini, konsep penyusunan desain pembelajaran mengadopsi design-based
research (Bakker, 2018, 2019; Bakker & van Eerde, 2015; Doorman et
al., 2016; Ihsan & Karjanto, 2019; Plomp, 2013). Sub pembahasan dalam
bagian ini dipusatkan pada tahapan pertama pada design-based research,
yakni preparation and design. Kemudian akan disampaikan pembahasan
mengenai model penalaran pedagogis (pedagogical reasoning) yang diadopsi
dari model of pedagogical reasoning and action (Shulman, 1987) yang akan
membahas mengenai proses transformasi pemahaman (komprehensi) guru
akan materi ajar (beserta pengajarannya) ke perencanaan pelaksanaan,
evaluasi, dan refleksi kegiatan pembelajaran secara berturut-turut sehingga
dihasilkan suatu pemahaman (komprehensi) guru yang baru.
1. Persiapan Pengajaran Numerasi
Dalam mempersiapkan rencana pengajaran numerasi, perlu
didasarkan pada perhatian guru (teachers’ noticing) (Alwast
& Vorhölter, 2022; Kaiser et al., 2017; Ricart et al., 2022;
Stockero et al., 2017). Guru perlu memperhatikan pemahaman NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
14

yang sudah dimiliki peserta didik sebelumnya (prior knowledge).
Ketika berurusan dengan konten pembelajaran numerasi
yang memuat informasi matematis dan numerikal, tentu guru
harus memastikan peserta didik sudah menguasai konten yang
menunjang pembelajaran. Pembelajaran tidak akan berjalan
dengan baik apabila pengetahuan awal peserta didik belum
cukup mendukung pembelajaran. Pertanyaan yang mungkin
muncul adalah bagaimana guru bisa mengetahui (notice) mengenai
kemampuan awal peserta didik? Guru dapat melakukan analisis
kebutuhan dan analisis konteks sebagaimana yang dijelaskan
pada tahapan design-based research menuru Plomp (Ihsan &
Kosasih, 2018; Plomp, 2013). Guru dapat melakukan analisis
kurikulum tentang susunan materi kurikulum, misalkan
guru IPS (atau guru kelas SD yang akan mengajarkan IPS)
ingin mengajarkan konten numerasi yang terkait dengan rasio
(perbandingan). Guru IPS tersebut dapat membaca dokumen
kurikulum mengenai susunan materi pada pelajaan matematika.
Dapat dilakukan justifikasi apakah pada pembelajaran-pembelajaran
sebelumnya peserta didik sudah mempelajari konsep rasio atau
belum.
Sebagai kegiatan suplemen, guru IPS tersebut dapat melakukan
diskusi dengan guru matematika. Dengan diskusi tersebut, selain
memperoleh informasi mengenai prior knowledge, dapat terjadi
sharing knowledge antara kedua guru sehingga memunculkan
kebaharuan (yang sesuai dengan konteks tentunya) dan peluang
kolaborasi dalam pembelajaran (misal pembelajaran berbasis proyek
bagi peserta didik dalam mata pelajaran IPS dan matematika).
Penulis sangat berharap iklim tersebut dapat terjadi di sekolah-
sekolah di Indonesia.
Dalam mempersiapkan pembelajaran numerasi, Anne Bennison
menilai ada lima domain yang menjadi perhatian guru (Bennison,
2015b). Domain yang pertama adalah pengetahuan (knowledge). Sangat
BAB 2 - DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA KETERAMPILAN NUMERASI 15

rasional ketika akan mengajar dengan berorientasi pada keterampilan
numerasi seorang guru harus memahami kemampuan matematika
yang mendasari numerasi yang akan diajarkan. Pengetahuan yang
diperlukan dalam konteks ini adalah pemahaman konten matematika
(mathematical content knowledge/MCK). Guru pembelajar tidak akan
memiliki kekhawatiran untuk tetap belajar, termasuk mempelajari
matematika (meskipun bukan guru matematika). Bukan merupakan
suatu narsistik keilmuan matematika, setiap guru mata pelajaran
apapun harus menguasai konten matematika yang mendasari
pembelajaran numerasi yang akan diajarkan oleh setiap guru pada
masing-masing konten.
Setelah guru menguasai MCK, guru perlu menguasai
pemahaman kurikulum (curriculum knowledge) untuk
memahami di mana dan bagaimana matematika dapat
mendukung pembelajaran subjek/mata pelajaran masing-
masing. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan
mempelajari dan kemudian paham kurikulum, seorang guru
dapat menganalisis pra-syarat yang dimiliki oleh peserta didik.
Selanjutnya untuk dapat mendesain pembelajaran yang sesuai
dan relevan, guru perlu menguasai pengetahuan konten pedagogis
(Pedagogical content knowledge/PCK). Pengetahuan ini juga
diperlukan untuk “menyisipkan” numerasi dalam pembelajaran. Guru
dengan penguasaan ketiga pengetahuan yang sedang dibahas ini akan
memiliki basis pemahaman yang diperlukan untuk identifikasi
dan mengimplementasikan pembelajaran numerasi (Bennison,
2015b, 2022).
Domain kedua adalah afektif. Upaya menjadi guru
pembelajaran merupakan domain afektif. Domain afektif ini
sangat penting bagi guru yang berorientasi pada pembelajaran
numerasi. Sebagai ilustrasi, tidak jarang peserta didik mengalami
kecemasan dalam menghadapi atau berurusan dengan matematika
(math anxiety) (Rice, 2019). Dengan afeksi yang baik seorang NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
16

peserta didik dapat mengatasi kecemasan dan tetap gigih dalam
belajar (Mamolo, 2022). Begitu juga dengan guru pembelajar,
dengan upaya yang baik seorang guru tidak akan terhalangi dalam
mempelajari matematika meskipun memiliki kecemasan terhadap
matematika. Selain menyoal mengenai attitude guru terhadap
matematika, dalam domain afektif juga mencakup konsepsi
pribadi tentang numerasi dan persiapan yang dirasakan untuk
“menanamkan” keterampilan numerasi. Hal ini dapat dipenuhi
dengan baik oleh seorang guru apabila dia senantiasa memiliki
minat dan kemauan untuk belajar dan mengaktualisasikan diri
dalam upaya memahami numerasi secara lebih komprehensif
(Bennison, 2015b).
Sosial adalah domain ketiga yang perlu untuk dijadikan
perhatian. Seorang guru harus dapat mengoptimalkan komunitas,
baik komunitas guru di sekolah maupun komunitas secara
keprofesian (seperti MGMP), dan diperlukan pula pemosisian
diri yang baik di dalamnya guna mengembangkan pemahaman
mengenai PCK. Dalam komunitas guru di dalam satu sekolah,
seorang guru dapat saling berdiskusi (terlepas mata pelajaran
sama atau berbeda) guna memperkaya perbendaharaan strategi
atau desain pembelajaran numerasi (Connolly et al., 2023).
Kemudian dalam ranah komunitas profesional, seorang guru
dapat saling memvalidasi desain pembelajaran yang telah dibuat
oleh masing-masing. Dengan adanya iklim pengembangan
yang demikian, terbuka peluang bagi guru-guru untuk berbagi
praktik baik dan memperdalam kajian desain pembelajaran
numerasi.
Domain kelima adalah pengalaman hidup guru. Dalam
membentuk identitas guru sebagai “pengajar numerasi”
ditentukan juga oleh pengalaman hidup guru (Bennison,
2015b), dalam hal ini meliputi pengalaman matematika di masa
lalu, pengalaman mengikuti pendidikan calon guru/pra-jabatan
BAB 2 - DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA KETERAMPILAN NUMERASI 17

(pre-service teacher program), dan pengalaman mengajar,
terutama pengalaman di awal karier. Pengalaman dalam belajar
matematika di masa lampau jelas mempengaruhi identitas guru
sebagai “pengajar numerasi”. Pengalaman belajar matematika
yang traumatis dapat menyebabkan seorang guru memiliki
kecemasan dalam mempelajari matematika. Jangankan guru mata
pelajaran selain matematika, mahasiswa pendidikan matematika
saja mungkin mengalami kecemasan terhadap matematika
(Bekdemir, 2010; Sanders et al., 2019). Hal ini terkait juga
dengan pengalaman yang kedua, yakni pengalaman mengikuti
program pendidikan guru. Eksistensi konten pedagogis
mengenai pembelajaran numerasi dapat mempersiapkan calon
guru untuk mengajarkan numerasi. Sebaliknya, ketika numerasi
menjadi suatu hal yang asing bagi calon guru dapat menjadi
penghambat dalam mengimplementasikan pembelajaran
numerasi.
Domain terakhir adalah konteks. Dalam merencanakan dan
mengimplementasikan pembelajaran numerasi, seorang guru perlu
memberikan perhatian kepada dua hal, kebijakan dan sumber daya
sekolah. Kebijakan sekolah perlu menjadi landasan pengembangan
rencana pembelajaran, setiap program akademik di sekolah idealnya
meendukung kebijakan-kebijakan yang berlaku di sekolah. Dengan
sistem dukungan secara mikro (dalam hal ini pembelajaran kelas),
visi dan misi sekolah dapat dicapai sesuai perencanaan. Kemudian
perlu diperhatikan juga sumber daya yang dimiliki sekolah, seperti
sarana dan prasarana, media dan alat peraga, perlu dijadikan
landasan dalam menganalisis dan menyusun desain pembelajaran.
Tabel 2.1 berikut merupakan ringkasan lima domain yang perlu
diperhatikan oleh guru dalam memposisikan diri sebagai pengajar
numerasiNUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
18

Tabel 2.1 Kerangka Konseptual untuk Mengidentifikasi Guru
sebagai Pengajar Numerasi (Bennison, 2015a)
21
kebijakan-kebijakan yang berlaku di sekolah. Dengan sistem dukungan
secara mikro (dalam hal ini pembelajaran kelas), visi dan misi sekolah
dapat dicapai sesuai perencanaan. Kemudian perlu diperhatikan juga
sumber daya yang dimiliki sekolah, seperti sarana dan prasarana, media
dan alat peraga, perlu dijadikan landasan dalam menganalisis dan
menyusun desain pembelajaran. Tabel 2.1 berikut merupakan ringkasan
lima domain yang perlu diperhatikan oleh guru dalam memposisikan diri
sebagai pengajar numerasi
Tabel 2.1
Kerangka Konseptual untuk Mengidentifikasi Guru sebagai Pengajar
Numerasi (Bennison, 2015a)
Domain Karakteristik
Pengetahuan
(Knowledge)
1. Pengetahuan Konten Matematika
2. Pengetahuan Konten Pedagogis
3. Pengetahuan Kurikulum
Afektif ( Affective) 1. Konsepsi personal mengenai Numerasi
2. Sikap terhadap matematika
3. Persiapan yang dirasakan untuk
“menanamkan” numerasi
Sosial (Social) 1. Komunitas sekolah
2. Komunitas Profesional
Pengalaman Hidup
(Life History)
1. Pengalaman belajar matematika
2. Pengalaman Program keguruan (Pre-
service teacher
)
3. Pengalaman mengajar Konteks (Context) 1. Kebijakan sekolah
2. Sumber Daya Sekolah

2. Desain dan Penalaran Pedagogis Pembelajaran Numerasi
Setelah mengetahui domain yang perlu diperhatikan dalam
merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran
numerasi, guru perlu menganalisis pengetahuan awal peserta
didik, baik dari segi konteks maupun konten. Hal tersebut perlu
dilakukan agar peserta didik tidak asing dengan materi pelajaran.
Membahas keseharian peserta didik dapat menjadi alternatif cara
untuk mengajak peserta didik untuk aktif dalam belajar, khususnya
aktif secara mental. Peserta didik akan lebih mudah memahami
pembelajaran yang memang ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari, ranah numerasinya tidak terlalu abstrak. Desain pembelajaran
dapat diawali dengan pertanyaan-pertanyaan (sesuai tematik
BAB 2 - DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA KETERAMPILAN NUMERASI 19

pembelajaran) terkait rutinitas keseharian atau fenomena yang
dialami atau diketahui peserta didik.
Di lain pihak, pengetahuan awal dari segi konten perlu dianalisis
terutama kemampuan bermatematika. Akan tetapi perlu diyakini
oleh guru bahwa kesulitan belajar dan kekhawatiran akan materi
matematika dapat diatasi dan ditemukan suatu desain pembelajaran
sebagai solusi.
Membicarakan pengajaran tidak akan terlepas dari pengetahuan.
Beberapa pengetahuan diperlukan oleh seorang pengajar, termasuk
guru, untuk dapat mengimplementasikan kegiatan pengajaran yang
baik. Sebagaimana telah dibahas pada sub bagian pertama, terdapat
pengetahuan konten dan pengetahuan konten pedagogis yang perlu
dikuasai (Shulman, 1986, 1987).
Lebih lanjut, Shulman mengedepankan konsep mengenai
model penalaran pedagogis yang merupakan rangkaian siklus
kegiatan pengajaran dari mulai komprehensi, transformasi, instruksi
(pengajaran), evaluasi, refleksi, dan komprehensi baru (Shulman,
1987). Sangatlah logis apabila terdapat suatu keharusan
dimilikinya pemahaman, terkait materi dan pengajarannya, oleh
seorang guru sebelum merencanakan dan mengimlementasikan
pembelajaran. Terlebih dalam mengajarkan numerasi, bagi guru
mata pelajaran selain matematika perlu menguasai pemahaman
matematis yang akan “disisipkan” sebagai konten numerasi.
Pada model penalaran pedagogis ini, Shulman mendefenisikan
tahapan komprehensi ini sebagai kondisi yang mana guru perlu
memahami tujuan pembelajaran, struktur materi Pelajaran, dan
ide-ide baik di dalam maupun di luar disiplin ilmu.
Tahapan model penalaran yang kedua adalah transformasi.
Yang dimaksud di sini adalah proses transformasi pemahaman ke
ranah materi yang dapat diajarkan (teachable). Transformasi menurut
Shulman terdari dari empat sub-proses, yaitu persiapan, representasi,
seleksi, kemudian adaptasi.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
20

Persiapan merupakan interpretasi kritis dan analisis teks,
penataan dan segmentasi, pengembangan kurikulum, repertoar, dan
klarifikasi tujuan. Dalam mengajar peserta didik, seorang guru sudah
terbiasa dan dibiasakan untuk memiliki buku rujukan. Dalam tahapan
ini guru harus mampu memberikan penilaian mengenai validitas
materi yang dimuat pada buku. Kemudian guru dapat membuat
susunan materi yang bisa saja berbeda denga napa yang tersusun di
buku rujukan.
Representasi berisikan penggunaan repertoar
representasional yang mencakup analogi, metafora, contoh,
demonstrasi, penjelasan, dan lain sebagainya. Dalam
menjelaskan suatu materi ajar kepada siswa, guru dapat
menggunakan berbagai sumber yang ada (termasuk yang ada di
buku rujukan) dengan bantuan gaya komunikasi yang relevan.
Beberapa hal abstrak misalnya, dapat dsampaikan esensi materi
dengan menggunakan analogi kepada hal yang dipahami oleh
peserta didik. Penggunaan bahasa juga sedikit banyak dapat
memberikan dampak kepada pemahaman siswa, dengan
demikian pada tahapan transformasi, guru dipandang perlu
untuk memilih representasi yang benar-benar representatif.
Selanjutnya guru melakukan seleksi. Guru menentukan pilihan
di antara repertoar instruksional yang mencakup cara mengajar,
mengorganisasi, mengelola, dan mengatur kelas. Dalam perencanaan
guru tidak hanya diharuskan bisa memastian dirinya mampu untuk
menyampaikan materi secara langsung kepada peserta didik, mereka
harus membuat perencanaan sedemikian sehingga mereka dapat
juga mengatur ritme kegiatan diskusi dalam kelas. Guru harus dapat
memastikan peserta didik dapat terkomodasi kebutuhannya akan
belajar.
Guru perlu juga melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan
karakteristik siswa. Perlu adanya pertimbangan mengenai konsepsi,
praduga, miskonsepsi, dan kesulitan peserta didik dalam belajar.
BAB 2 - DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA KETERAMPILAN NUMERASI 21

Kemudian dari segi bahasa, budaya, motivasi, kelas sosial, jenis
kelamin, usia, kemampuan, bakat, minat, konsep diri, dan aspek
lain yang dapat mempengaruhi kebutuhan belaja siswa. Paling
tidak, dalam mengajarkan konten numerasi, guru perlu mengetahui
pengalaman dan kesulitan belajar peserta didik.
Setelah transformasi selesai, guru mengimplementasikan
kegiatan pembelajaran yang tentu sesuai dengan rencana namun
dapat fleksibel sesuai dinamika yang terjadi di kelas. Guru
diharuskan dapat mengatur jalannya pembelajaran dengan baik.
Disamping itu guru harus mampu mempresentasikan dengan
baik materi sesuai rencana. Shulam menekankan kepada
pembelajaran aktif sehingga diharapkan ada interaksi dan kerja
kelompok penemuan atau penyelidikan, dan bentuk pengajaran
di kelas yang dapat diamati. Dalam ranah pembelajaran
numerasi, dengan adanya pembelajaran aktif, guru dapat
menggali pengalaman belajar peserta didik dan pembelajaran
akan semakin kaya dengan adanya diskusi kelompok.
Setelah pembelajaran numerasi selesai dilaksanakan, guru perlu
mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Evaluasi dapat dilakukan
dengan memeriksa pemahaman peserta didik pada saat pembelajaran
interaktif maupun diakhir pembelajaran. Dalam evaluasi ini,
guru diharapkan dapat mengevaluasi performa peserta didik dan
mencatatnya sebagai pengalaman.
Dalam pelaksanaan pembelajaran numerasi, guru perlu melakukn
refleksi. Dilakukan dengan cara meninjau ulang catatan pada kegiatan
evaluasi untuk kemudian dianalisis penyebab terjadinya dana alternatif
solusi agar tidak terjadi di pembelajaran-pembelajaran selanjutnya.
Dengan model seperti ini diharapkan guru akan mendapatan
komprehensi yang baru mengenai pembelajaran. Sehingga proses
dapat ilanjutkan pada pembelajaran selanjutnya dengan siklus yang
sama, pemahaman guru akan semaki bertambah dan mengasah jam
terbang guru itu sendiri.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
22

REFERENSI
Alwast, A., & Vorhölter, K. (2022). Measuring pre-service
teachers’ noticing competencies within a mathematical
modeling context – an analysis of an instrument. Educational
Studies in Mathematics, 109(2), 263–285. https://doi.
org/10.1007/s10649-021-10102-8
Bakker, A. (2018). Design research in education. Taylor & Francis. https://
doi.org/10.1049/ic:19990398
Bakker, A. (2019). What is design research in education? 1. Design Research
in Education, 3–22. https://doi.org/10.4324/9780203701010-2
Bakker, A., & van Eerde, D. (2015). An Introduction to Design-
Based Research with an Example From Statistics Education
BT–Approaches to Qualitative Research in Mathematics
Education. In Approaches to Qualitative Research in
Mathematics Education (Issue Chapter 16). https://doi.
org/10.1007/978-94-017-9181-6
Bekdemir, M. (2010). The pre-service teachers’ mathematics
anxiety related to depth of negative experiences in mathematics
classroom while they were students. Educational Studies in
Mathematics, 75(3), 311–328. https://doi.org/10.1007/s10649-
010-9260-7
Bennison, A. (2015a). Developing an analytic lens for investigating
identity as an embedder-of-numeracy. Mathematics Education
Research Journal, 27(1), 1–19. https://doi.org/10.1007/
s13394-014-0129-4
Bennison, A. (2015b). Supporting teachers to embed numeracy
across the curriculum: a sociocultural approach. ZDM–
International Journal on Mathematics Education, 47(4), 561–
573. https://doi.org/10.1007/s11858-015-0706-3
Bennison, A. (2022). Using zone theory to understand teacher
identity as an embedder-of-numeracy: an analytical
BAB 2 - DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA KETERAMPILAN NUMERASI 23

framework. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 50(2),
171–186. https://doi.org/10.1080/1359866X.2020.1828821
Connolly, C., Carr, E., & Knox, S. (2023). Diving deep into numeracy,
cross- curricular professional development. International Journal
of Mathematical Education in Science and Technology, 54(6), 1034–
1053. https://doi.org/10.1080/0020739X.2021.1986160
Doorman, M., Bakker, A., Drijvers, P., & Wijaya, A. (2016). Design-based
Research in Mathematics Education. Proceediings of the 2nd SULE-
IC 2016, 2003, 21–46.
Haylock, D. (2001). Numeracy for Teaching. Paul Chapman Publishing.
Ihsan, I. R., & Karjanto, N. (2019). Optimizing Students
Combinatorial
Thinking Skill Through Design-based Research. International Congress
on Industrial and Applied Mathematics 2019, 1–5. https://arxiv.org/
abs/1911.07655
Ihsan, I. R., & Kosasih, U. (2018). Desain Pembelajaran Materi
Permutasi Untuk Mengoptimalkan Kemampuan Berpikir
Kombinatorial Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika. TRIPLE S (Journal of Mathematics Education),
1(2), 97–106. https://jurnal.unsur.ac.id/triple-s/article/
viewFile/432/328
Kaiser, G., Blömeke, S., König, J., Busse, A., Döhrmann, M., &
Hoth, J. (2017). Professional competencies of (prospective)
mathematics teachers— cognitive versus situated approaches.
Educational Studies in Mathematics, 94(2), 161–182. https://
doi.org/10.1007/s10649-016-9713-8
Mamolo, L. A. (2022). Online Learning and Students’ Mathematics
Motivation, Self-Efficacy, and Anxiety in the “new
Normal.” Education Research International, 2022. https://doi.
org/10.1155/2022/9439634NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
24

Plomp, T. (2013). Introduction to Educational Design Research: An
Introduction. In T. Plomp & N. Nieveen (Eds.), Educational Design
Research (pp. 11–50).
Ricart, M., Estrada, A., & Fortuny, J. M. (2022). Analysis of
Tutoring in the Professional Development of STEM
Teachers. Mathematics, 10(18), 1–19. https://doi.org/10.3390/
math10183331
Rice, J. (2019). Mathematics anxiety: what is known and what is still to be
understood. In British Journal of Educational Studies (Vol. 67, Issue
4). https://doi.org/10.1080/00071005.2019.1622307
Sanders, S., Nielsen, W., Sandison, C., & Forrester, T. (2019). Maths
Anxious Pre-Service Teachers’ Perspectives of “Doing”
Mathematics in a Whiteboard Room. Mathematics Teacher
Education and Development, 1, 145–168.
Shulman, L. S. (1986). Those Who Understand: Knowledge Growth
in Teaching. Educational Research, 15(2), 4–14. https://
definicion.de/computo/
Shulman, L. S. (1987). Knowledge and teaching: Foundations of the new
reform. Harvard Educational Review, 57(1), 1–22. http://people.
ucsc.edu/~ktellez/shulman.pdf
Stockero, S. L., Rupnow, R. L., & Pascoe, A. E. (2017). Learning to notice
important student mathematical thinking in complex classroom
interactions. Teaching and Teacher Education, 63, 384–395. https://
doi.org/10.1016/j.tate.2017.01.006
BAB 2 - DESAIN PEMBELAJARAN BERORIENTASI PADA KETERAMPILAN NUMERASI 25

NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana? 26

BAB 3
INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM
Erwin Oktoma
Universitas Kuningan
A. Kebutuhan akan Numerasi
Konsep numerasi muncul pada pertengahan abad ke-20 dan terus
berkembang dalam maknanya dan signifikansinya. Berbeda dengan
matematika, yang melibatkan struktur abstrak dan pemikiran
deduktif, Numerasi diperlihatkan melalui apa yang dilakukan
orang ketika mereka menggunakan penalaran kuantitatif, spasial,
atau probabilistik untuk berinteraksi dengan, dan membuat makna
dari, konteks dan situasi kehidupan nyata. Menjadi cakap angka
melibatkan lebih dari menguasai matematika dasar, karena numerasi
menghubungkan matematika yang dipelajari di sekolah dengan situasi di
luar sekolah yang juga memerlukan pemecahan masalah, penilaian
kritis, dan memahami konteks nonmatematika.
Meskipun matematika telah lama menjadi mata pelajaran
inti dalam kurikulum sekolah, sedikit orang yang mengejar studi
matematika tingkat lanjut yang diperlukan untuk menjadi ahli matematika
profesional; sebaliknya, semua orang perlu memiliki numerasi untuk
berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat kontemporer.
Sebagai contoh, numerasi diperlukan untuk memahami perdebatan
politik dan ekonomi, klaim periklanan, saran diet, prakiraan cuaca,
catatan olahraga, peluang memenangkan lotere, bukti forensik
dalam persidangan pembunuhan, penyebaran pandemi, penipuan
keuangan, dan risiko yang terkait dengan pengobatan medis.
Namun, John Allen Paulos (1988), dalam bukunya yang klasik
berjudul Innumeracy, berpendapat bahwa bahkan orang dewasa
yang terdidik dengan baik memiliki pemahaman yang sedikit
27

terhadap matematika yang meresap ke dalam kehidupan sehari-
hari, dan akibatnya mereka dapat dengan mudah disesatkan oleh
klaim numerik dan statistik yang muncul di media massa dan media sosial.
Pada tingkat yang lebih fundamental, konsekuensi dari kurangnya
numerasi dapat sangat merugikan peluang hidup seseorang. Numerasi
yang buruk telah ditemukan dapat secara serius membatasi transisi yang
sukses dari sekolah ke pekerjaan dan peluang pekerjaan berikutnya,
berkontribusi pada rendahnya harga diri, prospek kesehatan yang buruk,
dan kurangnya partisipasi sosial dan politik (Parsons & Bynner, 2005).
Sebagai hasilnya, pentingnya numerasi secara luas diakui dalam kebijakan
pendidikan dan kurikulum sekolah di banyak negara (misalnya, Alberta
Education, 2019; Australian Curriculum, Assessment and Reporting
Authority [ACARA], t.t.; National Council for Curriculum and Assessment
[NCCA], 2022; Pemerintah Selandia Baru, t.t.; Direktorat Norwegia untuk
Pendidikan dan Pelatihan, 2012).
Namun, apa yang kurang jelas adalah bagaimana sistem
pendidikan dapat mencapai tujuan memungkinkan semua siswa untuk
mengembangkan dan mengaplikasikan kemampuan numerasi dalam
konteks yang berbeda. Oleh karena itu, pendidik sering berpendapat
bahwa siswa perlu menghadapi kesempatan numerasi yang muncul secara
alami dalam berbagai konteks kurikulum serta dalam kehidupan sehari-
hari mereka (Steen, 2001). Argumen ini menyiratkan bahwa numerasi
harus diajarkan sebagai elemen penting dari semua mata pelajaran di
kurikulum sekolah.
B. Mendefinisikan Numerasi: Perkembangan
Sejarah dan Istilah Alternatif
Tampaknya lebih mudah menjelaskan mengapa numerasi penting daripada
mencapai definisi tunggal untuk apa itu numerasi. Mendefinisikan
numerasi menantang karena numerasi mengambil isinya dari konteks
kehidupan nyata di sekitarnya, sehingga maknanya tidak dapat dipastikan
secara permanen untuk semua situasi dan sepanjang waktu.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
28

Konsep numerasi pertama kali muncul di Britania Raya dalam
laporan Crowther (Kementerian Pendidikan, 1959), di mana
itu dijelaskan sebagai gambaran dari literasi tetapi melibatkan
pemikiran kuantitatif. Laporan berpengaruh lainnya di Inggris
tentang pengajaran dan pembelajaran matematika, Laporan
Cockcroft (1982), mengusulkan bahwa ada dua atribut menjadi
cakap angka: memiliki “keakraban” dengan angka dan mampu
memahami informasi yang disajikan dalam istilah matematika,
bukan hanya secara numerik tetapi juga dalam grafik, tabel, dan
bagan. Bekerja di Amerika Serikat, Steen (2001) mengidentifikasi
elemen-elemen berbeda yang, ketika digabungkan, memberikan
gambaran numerasi yang lebih kompleks: termasuk rasa percaya diri
dengan penalaran kuantitatif dan kemampuan membuat perkiraan
yang masuk akal, pemikiran logis dan pengambilan keputusan,
penggunaan alat matematika dalam konteks tertentu, kemampuan
untuk berpikir dengan data, dan kenyamanan dalam menggunakan
angka dan simbol secara tepat untuk merepresentasikan situasi.
Membandingkan ketiga definisi ini, yang diterbitkan dengan selang
waktu sekitar 20 tahun, menunjukkan bagaimana interpretasi
numerasi telah berkembang dan menjadi lebih canggih dari waktu
ke waktu.
Bukan hanya makna numerasi yang selalu berubah, tetapi juga
ada istilah alternatif, seperti literasi kuantitatif dan literasi matematika,
yang memiliki makna serupa. Literasi kuantitatif umumnya
digunakan di Amerika Serikat untuk merujuk pada kemampuan
untuk berurusan secara efektif dengan aspek kuantitatif kehidupan
(Tim Desain Literasi Kuantitatif, 2001). Literasi matematika adalah
istilah yang relatif baru yang menjadi terkenal karena Program
Asesmen Siswa Internasional (PISA) dari Organisasi Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Tes literasi matematika PISA
dirancang untuk menilai kemampuan siswa berusia 15 tahun untuk
menggunakan pengetahuan matematika yang diperoleh di sekolah
untuk menyelesaikan masalah dalam pengaturan dunia nyata di luar
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 29

sekolah. Definisi literasi matematika PISA menekankan penalaran
matematika dan pemecahan masalah serta peran matematika dalam
membantu warga abad ke-21 membuat keputusan dan penilaian
yang baik (OECD, 2018). Meskipun literasi kuantitatif, literasi
matematika, dan numerasi memiliki akar sejarah yang berbeda,
mereka dapat dianggap sebagai konsep yang erat terkait yang telah
memengaruhi kebijakan pendidikan secara internasional.
C. Makna Kontemporer Numerasi
Berguna untuk memikirkan makna kontemporer numerasi
sebagai berada dalam suatu kontinum yang membedakan antara
numerasi sebagai keterampilan teknis dan numerasi sebagai praktik
sosial. Kebijakan pendidikan cenderung memberikan prioritas pada
kebutuhan akan tenaga kerja yang cakap angka dengan keterampilan
untuk mengembangkan dan memajukan ekonomi suatu negara
(Yasukawa & Black, 2016), sehingga menghargai numerasi sebagai
keterampilan teknis. Sebaliknya, sebagian besar literatur penelitian
pendidikan tentang numerasi berpendapat bahwa numerasi hanya
dapat dipahami sepenuhnya dengan memperhitungkan konteks sosial,
budaya, dan politik di mana itu terdapat (Oughton, 2018; Street
et al., 2005). Mengkonsepsikan numerasi dengan cara ini, sebagai
praktik sosial, mengalihkan perhatian kepada manifestasi sosial dan
konsekuensi numerasi dalam setting rumah, kerja, dan masyarakat.
Empat interpretasi numerasi, yang memiliki implikasi berbeda untuk
tempat numerasi dalam kurikulum sekolah, dapat ditempatkan pada
kontinum keterampilan teknis/praktik sosial ini (Gambar 1). Yang pertama
adalah interpretasi prosedural numerasi yang menekankan pengajaran
pengetahuan dan keterampilan matematika dasar untuk mempersiapkan
siswa, terutama mereka yang kesulitan Pandangan pertama tentang
numerasi mendorong pendidikan matematika untuk mempersiapkan
siswa dengan keterampilan teknis, agar dapat menghadapi dunia di luar
sekolah. Pandangan ini telah dikritik karena menumbuhkan harapan NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
30

rendah terhadap siswa dan guru serta memfavoritkan pedagogi berbasis
latihan dalam kelas matematika (Dole, 2003). Interpretasi kedua
tentang numerasi mengambil perspektif fungsional, berfokus pada
manfaat numerasi untuk kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi
individu (Parsons & Bynner, 2005) dan untuk memungkinkan sistem
pendidikan suatu negara berkontribusi pada produktivitas nasional
dan daya saing global (lihat Department of Education and Skills, 2016).
Interpretasi ketiga tentang numerasi pada kontinum
keterampilan teknis/praktik sosial yang digambarkan dalam
Gambar 1 menyoroti kontribusi numerasi dalam membentuk
kewarganegaraan yang cerdas dalam berbagai konteks. Di Australia,
misalnya, Departemen Pendidikan, Pelatihan, dan Urusan
Pemuda (DETYA, 2000) menerbitkan strategi nasional numerasi
yang menetapkan tujuan untuk pendidikan numerasi berdasarkan
definisi berikut: “Menjadi cakap angka adalah menggunakan
matematika secara efektif untuk memenuhi tuntutan umum kehidupan
di rumah, dalam pekerjaan berbayar, dan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat dan sipil” (hlm. 3). Interpretasi kontekstual
numerasi ini disertai dengan pernyataan yang lebih panjang yang
mengakui pusat numerasi di semua area kurikulum sekolah dan
menyajikan ringkasan pengetahuan matematika, keterampilan berpikir
umum, dan disposisi yang mencirikan seseorang sebagai cakap
angka.
Interpretasi keempat tentang numerasi mengambil perspektif
kritis dengan mengakui bagaimana persepsi orang terhadap isu dapat
dibentuk oleh penafsiran yang salah terhadap data mereka dan, sebaliknya,
bagaimana argumen matematika dapat digunakan untuk menantang
ketidakadilan sosial dan politik (Frankenstein, 2010; Jablonka, 2003).
Interpretasi kritis numerasi dapat dikembangkan pada siswa sekolah
melalui tugas-tugas yang melibatkan analisis hati-hati terhadap data
yang disajikan dalam laporan media. Sebagai contoh, selama pandemi
COVID-19, media secara rutin melaporkan bahwa jumlah kasus yang
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 31

divaksin penuh yang masuk ke unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit
setara atau melebihi jumlah kasus yang tidak divaksin, sehingga membuat
banyak orang percaya bahwa vaksin tidak efektif. Namun, angka tersebut
perlu diinterpretasikan dalam konteks status vaksinasi semua orang yang
dinyatakan positif.
Tabel 3.1 Penerimaan ICU di antara kasus COVID-19, berdasarkan
status vaksinasi.
Sumber : Goos, M., Access, T., and O’Sullivan, K (2022)
Grafik ini menunjukkan data tipikal dari periode 6 minggu
di suatu yurisdiksi kesehatan di Australia. Untuk menyelidiki
pertanyaan tentang efektivitas vaksin, siswa mungkin memulai
dengan membandingkan jumlah orang yang divaksinasi dan yang
tidak divaksinasi di unit perawatan intensif (250 versus 50) dan
menyimpulkan—secara keliru—that you are five times more likely
to be admitted if you are unvaccinated. Namun, isu utamanya
adalah bahwa orang yang tidak divaksinasi overrepresented dalam
penerimaan ICU (1,4% dari total kasus) dan orang yang divaksinasi
penuh underrepresented (hanya 0,1% dari total kasus). Dalam
contoh ini, jika Anda didiagnosis dengan COVID-19 dan tidak
divaksinasi, Anda 14 kali lebih mungkin untuk masuk ICU daripada
jika Anda divaksinasi. Contoh ini menyoroti cara menggunakan
pengetahuan matematika tentang proporsi dan persentase untuk
menginterpretasikan secara kritis data kesehatan yang penting.
D. Numerasi dalam Kurikulum Sekolah
Tiga pendekatan umum dapat diidentifikasi untuk menangani numerasi
dalam kurikulum sekolah. Dalam pendekatan pertama, pengembangan NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
32

kemampuan numerasi siswa dilihat sebagai hasil dari pengajaran
matematika. Di Jepang, misalnya, pengaruh PISA menyebabkan
peningkatan penekanan pada aplikasi matematika di sekolah menengah
atas; artinya, siswa diharapkan tidak hanya memiliki pengetahuan
matematika, tetapi juga dapat menggunakan pengetahuan itu untuk
menyelesaikan masalah dalam konteks kehidupan nyata (Tasaki, 2017).
Pendekatan kedua untuk menangani numerasi dalam kurikulum
sekolah melibatkan penawaran mata pelajaran numerasi terpisah
dalam bidang matematika. Ini adalah pendekatan yang diambil
di Afrika Selatan sebagai bagian dari reformasi kurikulum pasca-
apartheid yang didorong oleh tujuan memberikan akses demokratis
untuk “matematika untuk semua” (Volmink, 2018). Selama era apartheid
dan hingga tahun 2007, siswa dapat memilih untuk mempelajari
matematika pada tingkat yang lebih tinggi, tingkat standar, atau sama
sekali tidak. Sistem diferensiasi kurikulum ini menghasilkan proporsi
siswa kulit hitam yang sangat rendah mengambil matematika tingkat
lebih tinggi, dan hingga 40% siswa tidak mengambil mata pelajaran
matematika sama sekali. Reformasi berikutnya dimaksudkan untuk
mencapai kesetaraan yang lebih besar dalam penyediaan kurikulum,
dengan persyaratan bahwa semua peserta didik harus mengambil
beberapa bentuk matematika. Mata pelajaran baru, literasi matematika,
dikembangkan dengan tujuan melibatkan siswa dalam penggunaan
konsep dan keterampilan matematika untuk menyelesaikan masalah
dalam konteks kehidupan nyata. Namun, kurangnya kapasitas guru
dan akses yang tidak merata ke sumber daya antara sekolah swasta dan
sekolah umum yang lebih miskin dapat merusak potensi transformatif
literasi matematika dan menempatkannya sebagai mata pelajaran
berstatus lebih rendah daripada matematika (Cranfield, 2012).
Pendekatan ketiga mengembangkan numerasi di seluruh kurikulum
dan berasal dari argumen bahwa numerasi perlu digunakan dan dipelajari
dalam semua mata pelajaran dan dalam konteks yang bermakna bagi
siswa (Steen, 2001). Dua strategi umumnya diakui untuk mengajar
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 33

numerasi di seluruh kurikulum (Geiger et al., 2015), dan keduanya sejalan
dengan model praktik sosial numerasi yang disajikan dalam Gambar 1.1
Strategi pertama mengandalkan tradisi penyelidikan interdisipliner untuk
mengintegrasikan matematika dengan bidang lain dalam kurikulum,
sedangkan strategi kedua mengidentifikasi tuntutan dan peluang numerasi
dalam disiplin selain matematika.
E. Numerasi Interdisipliner Melalui Integrasi
Kurikulum
Pendidikan matematika interdisipliner adalah bidang penelitian yang
relatif baru yang muncul dari kekhawatiran tentang bagaimana matematika
berhubungan dengan disiplin lain dalam mempersiapkan lulusan
perguruan tinggi untuk pekerjaan di berbagai profesi sains, teknologi,
rekayasa, dan matematika (STEM), humaniora, dan ilmu sosial (Williams
et al., 2016). Karena sebagian besar praktik interdisipliner melibatkan
pendekatan inovatif untuk menyusun kembali kurikulum di sekolah dan
universitas, berguna untuk menggunakan istilah integrasi kurikulum
sebagai konsep umum dan kemudian membedakan antara kerangka
integrasi yang menunjukkan tingkat interdisipliner yang berbeda (Doig
et al., 2019).
Kerangka organisasi kurikulum berbeda tergantung pada jenis
koneksi yang dibuat antara bidang studi. Di satu ujung adalah pendekatan
berpusat pada mata pelajaran, dan di ujung lain adalah integrasi kurikulum
penuh di mana pengetahuan dari disiplin yang relevan digunakan dalam
situasi pemecahan masalah. Di antara keduanya terdapat berbagai strategi
yang berbeda dalam tingkat interdisipliner mereka dan menghubungkan
bidang studi dengan cara yang berbeda; misalnya, strategi merencanakan
mata pelajaran terpisah sekitar tema atau masalah bersama, atau strategi
menyatukan beberapa mata pelajaran ke dalam satu kursus yang diajarkan
oleh dua atau lebih guru. Huntley (1998) membahas variasi ini dalam
tiga kategori besar. Pertama, ia menggambarkan kurikulum intradisiplin
sebagai fokus pada satu disiplin. Kedua, kurikulum interdisipliner NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
34

memusatkan perhatian pada satu disiplin, tetapi menggunakan disiplin
lain untuk mendukung konten domain pertama (misalnya, dengan
membangun relevansi atau konteks). Ketiga, dalam kurikulum terintegrasi
sepenuhnya, batas disiplin berubah sepenuhnya karena konsep dan
metode penyelidikan dari satu disiplin diinfuskan ke dalam disiplin lain.
Studi kasus integrasi kurikulum yang didorong oleh tujuan numerasi
interdisipliner memberikan pemahaman tentang faktor sistem, sekolah,
dan guru yang memengaruhi strategi ini. Di Irlandia, proyek Numeracy
Deep Dive merespons kebijakan nasional untuk meningkatkan literasi
dan numerasi dalam sistem sekolah dengan mendorong guru untuk
menjelajahi cara menggunakan matematika dalam mata pelajaran sekolah
lainnya (Connolly et al., 2021). Guru dari delapan sekolah menengah
bekerja sama untuk mengintegrasikan matematika ke dalam berbagai
“mata pelajaran pembawa” yang memberikan konteks untuk membuat
konsep matematika terlihat dan bermakna bagi siswa. Pasangan guru, satu
di antaranya guru matematika dan yang lain guru mata pelajaran pembawa,
merancang penyelidikan numerasi untuk mencapai tumpang tindih antara
hasil pembelajaran kurikulum matematika dan mata pelajaran pembawa—
seperti ilmu pengetahuan, bisnis, seni, geografi, dan desain grafis. Siswa
merespons positif melihat bagaimana konsep matematika diinfuskan ke
dalam mata pelajaran lain, dan guru mendapatkan wawasan tentang arti
numerasi sebagai kompetensi lintas kurikulum, sebagaimana dijelaskan
oleh kurikulum sekolah menengah tingkat pertama (NCCA, 2022).
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 35

Tabel 3.2. Faktor yang mempengaruhi integrasi kurikulum
Sumber : Goos, M., Access, T., and O’Sullivan, K (2022)
Tabel 3.2 merangkum faktor-faktor tingkat sistem, tingkat
sekolah, dan tingkat guru yang dapat baik memfasilitasi maupun
menghambat integrasi kurikulum, dan menunjukkan bahwa
faktor-faktor ini secara umum memiliki efek positif dalam Proyek
Pembenahan Numerasi Irlandia. Namun, dalam hal kategori
organisasi kurikulum Huntley (1998), hasil proyek Irlandia lebih
cocok dengan kurikulum lintas disiplin, di mana matematika mendukung
konten dari domain disiplin lain, daripada mencapai kurikulum
yang sepenuhnya terintegrasi di mana batas-batas mata pelajaran
hilang.
F. Mengidentifikasi Tuntutan dan Peluang
Numerasi dari Disiplin Ilmu Selain Matematika
Di beberapa negara, numerasi dianggap sebagai keterampilan umum
yang harus dikembangkan dalam semua mata pelajaran di kurikulum
sekolah. Di Norwegia, sebagai contoh, kurikulum sekolah mengidentifikasi
literasi matematika sebagai keterampilan dasar yang mendasar untuk
pembelajaran di semua mata pelajaran (Direktorat Norwegia untuk NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
36

Pendidikan dan Pelatihan, 2012). Bolstad (2020) mengamati kelas
matematika di sekolah menengah Norwegia untuk menyelidiki
pengajaran literasi matematika. Meskipun guru matematika yang
berpartisipasi mengajar beberapa mata pelajaran lain yang dapat
memberikan konteks yang sesuai untuk mengembangkan literasi
matematika, Bolstad menemukan sedikit bukti tentang pengajaran
lintas kurikuler. Karya tersebut menyimpulkan bahwa guru-guru
kurang memiliki pengetahuan tentang cara bekerja dalam konteks
kehidupan nyata atau lintas disiplin, karena mereka cenderung lebih
memilih metode tradisional yang bergantung pada tugas terstruktur
dari buku teks matematika. Begitu pula, di provinsi British Columbia,
Kanada, numerasi diidentifikasi sebagai salah satu area pembelajaran
lintas mata pelajaran dari taman kanak-kanak hingga kelas 9 dan
sebagai salah satu tujuan pendidikan matematika untuk kelas 10 hingga
12. Namun, Kementerian Pendidikan British Columbia tidak memberikan
dukungan kepada guru dalam memahami dan menyisipkan numerasi
dalam mata pelajaran di seluruh kurikulum; sebaliknya, distrik sekolah
hanya diharuskan untuk menyampaikan laporan tahunan tentang kinerja
numerasi siswa. Dengan tujuan menghasilkan data kinerja numerasi untuk
memenuhi persyaratan Kementerian, Liljedahl (2015) bekerja dengan
tim 10 guru sekolah menengah untuk merancang tugas numerasi yang
dapat diberikan kepada semua siswa kelas 5 dan kelas 8 di distrik tersebut.
Tugas-tugas ini dimaksudkan untuk memperkaya pengajaran matematika
dengan memanfaatkan keterampilan pemecahan masalah dalam konteks
kehidupan nyata, namun tidak menyelidiki tuntutan numerasi dari mata
pelajaran selain matematika. Contoh-contoh ini dari dua negara yang
berbeda menyoroti beberapa tantangan menyisipkan numerasi di seluruh
kurikulum, terutama ketika numerasi disamakan dengan matematika
dan perkembangan numerasi diasumsikan menjadi tanggung jawab guru
matematika.
Untuk strategi numerasi lintas mata pelajaran menjadi efektif,
kurikulum perlu memberikan definisi numerasi yang sejalan
dengan penelitian kontemporer, alasan untuk mengintegrasikan
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 37

numerasi dan kompetensi lintas mata pelajaran dengan konten
disiplin mata pelajaran sekolah yang terpisah, dan panduan
bagi guru dalam mengembangkan kemampuan numerasi siswa
dalam mata pelajaran yang mereka ajarkan. Australia dan Irlandia
telah mengadopsi elemen-elemen dari pendekatan ini dalam
kurikulum sekolah mereka, lebih banyak daripada kebanyakan
negara lainnya. Kurikulum Australia mendefinisikan numerasi
sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan disposisi yang
diperlukan siswa untuk menggunakan matematika dalam berbagai
situasi. Kurikulum juga memberikan saran terbatas tentang
tuntutan numerasi setiap mata pelajaran (ACARA, t.t.). Sebagai
contoh, kurikulum sejarah mensyaratkan siswa untuk belajar cara
menggunakan garis waktu yang berskala, kurikulum sains menyoroti
peran analisis dan representasi data, dan kurikulum seni merujuk
pada penggunaan penalaran spasial dengan pola dan simetri. Di
Irlandia, kurikulum sekolah menengah junior mencakup serangkaian
delapan keterampilan kunci—termasuk “menjadi berhitung”—yang
guru harus menyematkan dalam hasil pembelajaran setiap
mata pelajaran (NCCA, 2022). Numerasi dijelaskan dalam hal
mengekspresikan ide matematis; memperkirakan, meramalkan,
dan menghitung; mengembangkan disposisi positif terhadap
penyelidikan, penalaran, dan pemecahan masalah; melihat pola,
tren, dan hubungan; mengumpulkan dan menginterpretasi data; dan
menggunakan teknologi digital untuk mengembangkan keterampilan
dan pemahaman numerasi.
Di kedua Australia dan Irlandia, kurikulum dengan tegas menyatakan
bahwa semua guru bertanggung jawab untuk mengembangkan
kemampuan numerasi siswa dalam mata pelajaran yang mereka ajarkan.
Namun, kurikulum resmi tidak memberikan panduan khusus kepada
guru tentang cara mengidentifikasi tuntutan numerasi inheren suatu
mata pelajaran maupun cara merancang dan melaksanakan tugas
numerasi yang kaya di dalam kelas. Ini bukan suatu pengabaian yang
mengejutkan, karena konten dan tingkat detail yang ditemukan dalam NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
38

kurikulum resmi sekolah dapat bervariasi luas antar negara. Variasi
ini dapat dimengerti dalam hal model kurikulum yang diusulkan
oleh Remillard dan Heck (2014), yang menjelaskan bahwa kurikulum
resmi, sebagaimana diamanatkan oleh otoritas pemerintah suatu
negara, memiliki tiga komponen: tujuan dan objektif kurikulum,
konten penilaian yang bersifat konsekuensial, dan kurikulum yang
ditentukan. Komponen terakhir mencakup rencana pengajaran
dan materi yang ditentukan oleh kementerian pendidikan untuk
memberikan panduan dalam mencapai tujuan kurikulum. Namun,
terdapat perbedaan signifikan di seluruh sistem pendidikan dalam
bentuk dan spesifik dari kurikulum yang ditentukan, dan di banyak
negara, materi-materi ini tidak dianggap sebagai bagian dari kurikulum
resmi. Sebaliknya, dibiarkan kepada pendidik guru dan penyedia
pengembangan profesional untuk memberikan panduan tidak resmi
tentang cara mengatasi tujuan kurikulum— termasuk tujuan untuk
numerasi di seluruh kurikulum.
G. Mendukung Guru dalam Menyisipkan Numerasi
di Seluruh Kurikulum.
Pertanyaan kunci yang memotivasi penelitian tentang numerasi di
seluruh kurikulum adalah bagaimana guru dapat didukung dalam
upaya ini, terutama di negara-negara di mana kurikulum resmi
mendukung numerasi sebagai kompetensi lintas mata pelajaran
tanpa menyediakan sumber daya kelas atau panduan eksplisit tentang
pedagogi. Secara internasional, penelitian dan proyek pengembangan
profesional paling signifikan yang bertujuan untuk mendukung guru
dalam menyisipkan numerasi di seluruh kurikulum sekolah telah
dilakukan di Australia, di mana konteks kebijakan nasional yang
berubah untuk pendidikan menciptakan kondisi menguntungkan
untuk keterlibatan guru dan dampak penelitian. Australia adalah
federasi dari negara dan wilayah, dan adalah yurisdiksi terakhir
yang memiliki tanggung jawab konstitusional untuk penyediaan
pendidikan. Namun, pada awal abad ke-21, kurikulum nasional dan
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 39

standar nasional untuk akreditasi program pendidikan guru awal
telah menggantikan kurikulum dan standar yang sudah ada berbasis
negara dan wilayah. Pembangunan kebijakan ini menciptakan
persyaratan yang konsisten secara nasional untuk mengintegrasikan
numerasi ke dalam semua mata pelajaran dalam kurikulum sekolah
dan memastikan bahwa lulusan pendidikan guru tahu bagaimana
mengenali dan memanfaatkan tuntutan numerasi mata pelajaran
mereka.
Sebelum pergeseran kebijakan nasional ini, minat dalam
pengembangan numerasi di seluruh kurikulum telah dipicu oleh publikasi
strategi numerasi nasional (DETYA, 2000), bersama dengan pendanaan
pemerintah selama periode 2001 hingga 2004 untuk proyek penelitian dan
pengembangan numerasi. Fokus proyek-proyek ini bervariasi mulai dari
menyelidiki kebijakan sekolah dan pendidikan guru awal hingga strategi
pengajaran yang lebih khusus untuk meningkatkan hasil pembelajaran
numerasi (Departemen Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Pelatihan
[DEST], 2005).
Hanya satu proyek besar tentang numerasi di seluruh kurikulum yang
didanai selama empat tahun oleh inisiatif penelitian dan pengembangan
numerasi nasional Australia (DEST, 2004). Proyek ini mengoperasikan
definisi numerasi sebagai lebih dari keterampilan dan prosedur dan
memberikan bukti bahwa matematika perlu tetapi tidak mencukupi
untuk numerasi (Hogan, 2000). Tujuan proyek ini adalah mendukung
guru dalam mengembangkan cara berpikir tentang numerasi sebagai
kemampuan untuk menerapkan “know-how” matematika, kontekstual, dan
strategis. “Know- how” matematika dikembangkan dengan meningkatkan
repertoar atau pengetahuan matematis siswa—yakni konsep matematis,
keterampilan, dan praktik matematis yang dijelaskan dalam kurikulum
resmi. “Know-how” kontekstual melibatkan peningkatan repertoar
atau situasi praktis di mana siswa perlu menggunakan matematika
untuk tujuan tertentu. “Know-how” strategis diperlukan untuk
meningkatkan repertoar strategi siswa dalam menangani masalah yang NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
40

tidak dikenal. Guru yang berpartisipasi dalam proyek ini menjadi lebih
sadar akan tuntutan numerasi dari mata pelajaran selain matematika
dan dapat merencanakan serta merancang pengalaman belajar yang
memberikan siswa kesempatan untuk menerapkan matematika dalam
situasi yang berbeda (Thornton &; Hogan, 2003). Meskipun hasil yang
menjanjikan tersebut, menyisipkan numerasi di seluruh kurikulum
tetap menjadi elemen opsional dari repertoar pedagogis guru sampai
diciptakannya kurikulum nasional yang mengidentifikasi numerasi
sebagai “kemampuan umum” yang harus dikembangkan dalam semua
mata pelajaran.
Mengambil inspirasi dari pergeseran kebijakan numerasi
di Australia pada awal abad ke-21, Goos dan rekan-rekannya
mengembangkan model numerasi untuk menangkap hubungan antara
matematika, mata pelajaran lain yang diajarkan di sekolah, dan konteks
dunia nyata. Model ini terdiri dari empat elemen inti: perhatian pada
konteks kehidupan nyata dan kurikulum; penerapan pengetahuan
matematika; penggunaan alat fisik, representasional, dan digital;
dan promosi disposisi positif terhadap penggunaan matematika
untuk memecahkan masalah dunia nyata. Sebuah elemen utama
kelima— orientasi kritis—memerlukan pemilihan dan penerapan
matematika yang tepat untuk masalah dunia nyata serta interpretasi
dan kritik terhadap hasil (lihat Gambar 2). Elemen-elemen model
ini didasarkan pada penelitian tentang penggunaan pengetahuan
matematika di tempat kerja dan konteks dunia nyata lainnya (lihat Noss
et al., 2000; Straesser, 2007), bagaimana berbagai alat dapat mewakili
konsep matematika dan mendukung pemecahan masalah (lihat Drijvers
& Weigand, 2010; Hoyles et al., 2010), tanggapan afektif terhadap
matematika (Attard et al., 2016), dan aspek interpretatif, evaluatif,
dan analitis dari menjadi berhitung (Ernest, 2002). Bersama-sama,
elemen- elemen ini menggambarkan konseptualisasi yang kaya
tentang numerasi di kedua konteks dunia nyata dan kurikulum.
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 41

Gambar 3.2 Model Numerasi
Sumber: © Mathematics Education Research Group of Australasia
Model numerasi dirancang untuk dapat diakses oleh guru untuk
membantu mereka mengenali tuntutan dan peluang numerasi dari semua
mata pelajaran dalam kurikulum. Pendekatan ini menghindari banyak
tantangan dari integrasi kurikulum sebagai strategi untuk mengatasi
numerasi, karena tujuannya bukan untuk menggabungkan matematika
dengan mata pelajaran lain, tetapi sebaliknya untuk menemukan numerasi
intrinsik dalam setiap mata pelajaran sebagaimana direpresentasikan
dalam kurikulum resmi. Dalam konteks Australia, pengembangan
model numerasi ini tepat waktu karena bersamaan dengan peluncuran
kurikulum nasional yang mencakup numerasi sebagai kompetensi lintas
mata pelajaran (ACARA, t.t.). Model ini kemudian diperkenalkan kepada
guru di Irlandia ketika kurikulum sekolah menengah junior baru
menetapkan menjadi berhitung sebagai keterampilan kunci lintas
mata pelajaran.
Proyek penelitian tindakan dan pengembangan profesional di sekolah
dasar dan menengah di Australia dan Irlandia serta di berbagai domain
mata pelajaran menyelidiki berbagai cara di mana model numerasi dapat NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
42

digunakan oleh guru (Goos, 2021; Goos et al., 2012, 2014). Metode audit
kurikulum dikembangkan untuk mengevaluasi tuntutan numerasi dari
setiap mata pelajaran dalam kurikulum resmi dengan merujuk pada
elemen-elemen model numerasi. Analisis ini menghasilkan “sidik jari”
numerasi yang khas untuk setiap mata pelajaran—misalnya, dengan
mengungkapkan tuntutan matematika dan alat khusus mata pelajaran
yang berbeda. Para guru juga belajar menggunakan model ini untuk
merancang dan mengevaluasi tugas berbasis kurikulum yang meningkatkan
kemampuan numerasi siswa, seperti yang tercantum dalam Tabel 3.3
Tabel 3.3 Tugas yang Meningkatkan Pembelajaran Numerasi di
Seluruh Kurikulum Sekolah
Sumber : Goos, M., Access, T., and O’Sullivan, K (2022)
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 43

Model numerasi juga mendukung refleksi guru tentang pemahaman
mereka yang semakin meningkat tentang cara menyisipkan numerasi di
seluruh kurikulum. Dengan memberi anotasi pada salinan cetak model,
guru dapat melacak lintasan yang telah mereka ambil dari waktu ke waktu
dalam menjelajahi dan menjadi akrab dengan setiap elemennya. Sebagian
besar guru dimulai dengan keinginan untuk meningkatkan pengetahuan
atau disposisi matematika siswa mereka, dan kemudian beralih untuk
menggabungkan berbagai alat dan konteks ke dalam perencanaan mereka.
Lebih sulit bagi guru untuk memahami dan menerapkan elemen orientasi
kritis dari model numerasi. Pemetaan lintasan guru melalui model
numerasi adalah teknik penelitian yang berguna yang mengidentifikasi
kapan aktivitas tambahan diperlukan untuk mendukung guru dalam
memahami apa artinya menjadi kritis.
H. Tantangan untuk Numerasi dalam Kurikulum
Sekolah
Bahkan di negara-negara di mana kebijakan pendidikan menuntut
pengembangan numerasi di seluruh kurikulum sekolah, ada tantangan
yang harus diatasi sebelum tujuan ini dapat dicapai. Pertama,
numerasi perlu didefinisikan dengan cara yang bermakna bagi guru
dan dapat diterjemahkan ke dalam rencana pribadi untuk mengajar.
Definisi numerasi yang muncul dalam kurikulum resmi tidak selalu
memiliki karakter “siap kelas”. Penelitian yang menghubungkan niat
kurikulum dengan praktik kelas telah membuat beberapa kemajuan
dalam pengembangan kerangka dan model numerasi yang dapat
diimplementasikan oleh guru (lihat Goos et al., 2014; Thornton &
Hogan, 2003). Studi-studi ini memberikan prinsip dasar dan bukti
yang dapat membantu agenda penelitian masa depan yang fokus pada
peningkatan praktik numerasi lintas mata pelajaran di berbagai sistem
pendidikan. Tantangan untuk penelitian dan pengembangan kurikulum
muncul dari kebutuhan untuk membuat keputusan tentang bagaimana
numerasi harus direpresentasikan dalam kurikulum sekolah: sebagai
hasil dari instruksi matematika, sebagai mata pelajaran terpisah, atau NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
44

sebagai kompetensi lintas mata pelajaran yang harus dikembangkan
dalam semua mata pelajaran. Prinsip numerasi di seluruh kurikulum
sejalan dengan pendekatan terakhir tetapi menciptakan kesulitan
praktis yang signifikan untuk perencanaan dan implementasi
kurikulum di sekolah. Masalah ini mungkin kurang nyata di negara-
negara di mana sekolah dasar menggunakan guru umum yang dapat
mencari peluang numerasi di semua bidang kurikulum yang mereka
ajar. Namun, di sekolah menengah, batas-batas disiplin ditetapkan
dengan jelas oleh jadwal sekolah dan spesialisasi mata pelajaran guru.
Pembagian waktu pelajaran dan keahlian guru sebagai sumber daya
untuk menyampaikan mata pelajaran terpisah dalam kurikulum
mungkin dianggap bekerja melawan ideal menyisipkan numerasi di
seluruh kurikulum. Penelitian tentang reformasi kurikulum dalam
pendidikan matematika masih belum berkembang (lihat Shimizu &
Vithal, 2018), jadi penelitian tentang representasi numerasi dalam
kurikulum mungkin perlu didukung oleh kerangka teoritis yang lebih
luas untuk kebijakan, desain, dan enactmen kurikulum (lihat Remillard
& Heck, 2014).
Program penilaian internasional memiliki dampak langsung pada
cara pendidikan numerasi disampaikan dan bagaimana perkembangan
dan kebijakan numerasi digunakan di seluruh dunia (Bolstad, 2019). Haara
et al. (2017) menekankan perlunya mengalihkan fokus penelitian dalam
bidang numerasi dari ujian internasional, seperti PISA, dan sebaliknya
melihat bagaimana mengajar untuk masyarakat yang mengerti numerasi.
Mencapai tingkat numerasi yang memadai untuk semua generasi muda
adalah target global dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (2015) untuk memastikan pendidikan berkualitas yang
inklusif dan merata. Namun, penyampaian pendidikan berkualitas—
termasuk pendidikan untuk pengembangan numerasi—tergantung pada
kualitas guru dan pengajaran (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan,
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2015). Pengajaran yang
efektif sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pendidikan semua
peserta didik, terutama mereka di negara-negara berpenghasilan rendah
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 45

dan menengah yang mungkin kurang memiliki sistem pendidikan yang
berkecukupan. Investasi yang signifikan dalam mempersiapkan dan
mendukung guru yang berkualifikasi baik diperlukan untuk mengatasi
tantangan pengembangan numerasi di negara-negara miskin dan kaya
sama.
Penelitian numerasi cenderung fokus pada metode untuk mendukung
guru yang sedang praktik daripada menyelidiki bagaimana pendidikan
guru awal dapat dirancang untuk mengatasi tujuan numerasi (untuk
contoh kursus numerasi dalam pendidikan guru awal, lihat Forgasz
& Hall, 2019; Groves, 2001; Watson & Moritz, 2002). Pengamatan ini
menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pendidikan numerasi untuk
calon guru harus direpresentasikan dalam kurikulum pendidikan guru:
misalnya, apakah itu menjadi kursus mandiri tentang numerasi di seluruh
kurikulum, aktivitas insidental dalam kursus tentang pedagogi umum,
atau terpadu dalam kursus pedagogi khusus mata pelajaran (atau kursus
“metode”)? Sama seperti semua guru diharapkan bertanggung jawab
untuk mengenali tuntutan dan peluang numerasi dalam mata pelajaran
yang mereka ajarkan, dapat dikemukakan bahwa pendidikan guru
untuk numerasi di seluruh kurikulum tidak boleh dibiarkan hanya
kepada spesialis pendidikan matematika. Penelitian tentang tempat
pendidikan numerasi dalam pendidikan guru awal diperlukan untuk
mengembangkan proses kolaboratif di mana baik pendidik guru
matematika maupun non-matematika dapat memahami tuntutan
numerasi inheren dari spesialisasi mata pelajaran mereka sendiri.
Makna numerasi telah berubah seiring waktu, awalnya sangat terkait
dengan disiplin matematika, tetapi kemudian berkembang untuk
mencakup interpretasi numerasi sebagai praktik sosial di mana semua
orang perlu terlibat untuk memastikan partisipasi penuh dan kritis
dalam masyarakat. Menyoroti pentingnya pengembangan numerasi
dan cara-cara di mana numerasi dapat disisipkan di seluruh kurikulum
sekolah merupakan inti dari banyak sistem pendidikan di seluruh
dunia. Namun, seringkali, para pembuat kebijakan dan pemerintah
memberikan rekomendasi tentang pengembangan numerasi berbasis NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
46

sekolah tanpa memberikan perhatian yang cukup tentang bagaimana
numerasi harus ditempatkan dalam struktur kurikulum dan bagaimana
guru harus dipersiapkan dan didukung dalam mengenali tuntutan
dan peluang numerasi mata pelajaran mereka. Pertanyaan tentang
siapa yang bertanggung jawab atas pengembangan numerasi siswa,
dan bagaimana hal ini harus dilakukan di sekolah, kemungkinan
akan menjadi subjek perdebatan yang berkelanjutan dan seharusnya
menjadi bahan penelitian lanjutan di berbagai konteks dan budaya
pendidikan.
REFERENSI
Alberta Education. (2019). What is numeracy? <https://education.
alberta.ca/literacy-and-numeracy/numeracy/ everyone/
what-is-numeracy/>.
Attard, C., Ingram, N., Forgasz, H., Leder, G., & Grootenboer, P.
(2016). Mathematics education and the affective domain
<https://doi.org/10.1007/978-981-10-1419-2>. In K. Makar, S.
Dole, J. Visnovska, M. Goos, A. Bennison, & K. Fry (Eds.),
Research in mathematics education in Australasia 2012–
2015 (pp. 73–96). Springer.
Australian Curriculum, Assessment and Reporting Authority.
(n.d.). Numeracy <https:// www.australiancurriculum.edu.
au/f-10- curriculum/general-capabilities/numeracy/>.
Bolstad, O. H. (2019). Teaching for mathematical literacy: School
leaders’ and teachers’ rationales <https://doi.org/10.30935/
scimath/9537>. European Journal of Science and
Mathematics Education, 7(3), 93– 108.
Bolstad, O. H. (2020). Secondary teachers’ operationalisation
of mathematical literacy. European Journal of Science and
Mathematics Education, 8(3), 115–135.
Cockcroft, W. (1982). Mathematics counts. HMSO.
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 47

Connolly, C., Carr, E., & Knox, S. (2021). Diving deep into
numeracy, cross- curricular professional development
<https://doi.org/10.1080/0020739X.2021.1986160>. International
Journal of Mathematical Education in Science and Technology.
Cranfield, C. (2012). The implementation of mathematical literacy as a new
subject in the South African curriculum. In M. Tatto (Ed.), Learning
and doing policy analysis in education (pp. 207–232). Sense.
Department of Education and Skills. (2016). Ireland’s national skills
strategy 2025 <https://www.education.ie/en/ Publications/
Policy Reports/pub_national_skills_strategy_2025.pdf>.
Department of Education, Science and Training. (2004). Numeracy across
the curriculum. Commonwealth of Australia.
Department of Education, Science and Training. (2005). Numeracy
research and development initiative 2001–2004. An overview of the
numeracy projects. Commonwealth of Australia.
Department of Education, Training and Youth Affairs. (2000). Numeracy,
a priority for all: Challenges for Australian schools. Commonwealth
of Australia.
Doig, B., Williams, J., Swanson, D., Borromeo Ferri, R., & Drake, P.
(Eds.). (2019). Interdisciplinary mathematics education: The
state of the art and beyond <https://doi.org/10.1007/978-3-
030-11066-6>. Springer.
Dole, S. (2003). Questioning numeracy programs for at-risk students
in the middle years of schooling. In L. Bragg, C. Campbell, G.
Herbert, & J. Mousley (Eds.), Proceedings of the 26th annual
conference of the Mathematics Education Research Group of
Australasia (pp. 278– 285). MERGA.
Drijvers, P., & Weigand, H. (2010). The role of handheld
technology in the mathematics classroom <https://doi.org/
10.1007/s11858-010- 0285-2>. ZDM—The International
Journal on Mathematics Education, 42(7), 665–666.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
48

Ernest, P. (2002). Empowerment in mathematics education <http://www.
ex.ac.uk/~PErnest/pome15/contents.htm>.
Forgasz, H., & Hall, J. (2019). Learning about numeracy: The impact
of a compulsory unit on pre-service teachers’ understandings
and beliefs <http://dx.doi.org/10.14221/ajte.2018v44n2.2>.
Australian Journal of Teacher Education, 44(2), 15–33.
Frankenstein, M. (2010). Developing critical mathematical numeracy
through real real-life word problems. In U.
Gellert, E. Jablonka, & C. Morgan (Eds.), Proceedings of the sixth
international Mathematics Education and Society conference (pp.
248–257). Freie Universität Berlin.
Geiger, V., Goos, M., & Forgasz, H. (2015). A rich interpretation of
numeracy for the 21st century—A survey of the state of the field
<https://doi.org/10.1007/s11858-015-0708-1>. ZDM
Mathematics Education, 47, 531–548.
Goos, M. (2021). Numeracy across the curriculum as a stimulus for
interdisciplinary inquiry in elementary school mathematics
<https://www.semt.cz/>. In J. Novotna & H. Moraova (Eds.),
Broadening experiences in elementary school mathematics:
Proceedings of the 16th International Symposium on Elementary
Mathematics Teaching (pp. 21–32). Charles University.
Goos, M., Dole, S., & Geiger, V. (2012). Auditing the numeracy demands of
the Australian curriculum. In J. Dindyal, L. Chen, & S. F. Ng (Eds.),
Mathematics education: Expanding horizons—Proceedings of the
35th Annual Conference of the Mathematics Education Research
Group of Australasia (pp. 314–321). MERGA.
Goos, M., Geiger, V., & Dole, S. (2014) Transforming professional
practice in numeracy teaching <https://doi.org/10.1007/978-
3-319-04993- 9_6>. In Y. Li, E. Silver, & S. Li (Eds.),
Transforming mathematics instruction: Multiple approaches
and practices (pp. 81–102). Springer.
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 49

Groves, S. (2001). Numeracy across the curriculum: Recognising and
responding to the demands and numeracy opportunities inherent in
secondary teaching. Mathematics Teacher Education and
Development, 3, 48–61.
Haara, F. O., Bolstad, O. H., & Jenssen, E. S. (2017). Research on
mathematical literacy in schools—Aim, approach and attention
<https://doi.org/10.30935/scimath/9512>. European Journal
of Science and Mathematics Education, 5(3), 285–313.
Hogan, J. (2000). Numeracy across the curriculum. Australian Mathematics
Teacher, 56(3), 17–20.
Hoyles, C., Noss, R., Kent, P., & Bakker, A. (2010). Improving mathematics
at work: The need for techno-mathematical literacies. Routledge.
Huntley, M. (1998). Design and implementation of a framework for
defining integrated mathematics and science education <https://
doi.org/10.1111/j.1949-8594.1998.tb17427.x>. School
Science and Mathematics, 98(6), 320–327.
Jablonka, E. (2003). Mathematical literacy <https://doi.
org/10.1007/978- 94-010-0273-8>. In A. Bishop, M. A.
Clements, C.
Keitel, J. Kilpatrick, & F. S. K. Leung (Eds.), Second international handbook
of mathematics education (pp. 75–102).
Kluwer. Liljedahl, P. (2015). Numeracy task design: A case of changing
mathematics teaching practice. ZDM Mathematics Education, 47,
625– 637.
Ministry of Education. (1959). 15 to 18: A report of the Central
Advisory Council for Education <http://www.educationengland.
org.uk/documents/crowther/crowther 1959-1.html>. HMSO.
Thornton, S., & Hogan, J. (2003). Numeracy across the curriculum:
Demands and opportunities <http://www.acsa.edu.au/pages/
images/thornton_-_numeracy_across_the_curriculum.pdf>.
Paper presented at theNUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
50

annual conference of the Australian Curriculum Studies Association,
Adelaide, 28–30 September.
National Council for Curriculum and Assessment. (2022). Framework
for junior cycle <https://ncca.ie/en/junior-cycle/ framework-for-
junior-cycle/>.
New Zealand Government. (n.d.). Numeracy project PLD<https://
nzmaths.co.nz/numeracy-project-pld>.
Norwegian Directorate for Education and Training. (2012). Framework
for basic skills <https://www.udir.no/in-english/Framework-for-
Basic-Skills/>.
Noss, R., Hoyles, C., & Pozzi, S. (2000). Working knowledge:
Mathematics in use <https://doi.org/10.1007/0-306-47226-
0>. In A. Bessot & J. Ridgeway (Eds.), Education for
mathematics in the workplace (pp. 17–35).
Kluwer. Organisation for Economic Co-operation and Development.
(2018). PISA 2021 mathematics framework (draft) <https://
www.oecd.org/pisa/publications/pisa-2021-assessment-
and- analytical-framework.htm>.
Oughton, H. (2018). Disrupting dominant discourses: A (re)
introduction to social practice theories of adult numeracy
<https://doi.org/10.5038/1936-4660.11.1.2>. Numeracy,
11(1), Article 2.
Parsons, S., & Bynner J. (2005). Does numeracy matter more? National
Research and Development Centre for Adult Literacy and Numeracy.
Paulos, J. A. (1988). Innumeracy: Mathematical illiteracy and its
consequences. Hill and Wang.
Quantitative Literacy Design Team. (2001). The case for quantitative
literacy. In L. Steen (Ed.), Mathematics and democracy: The
case for
quantitative literacy (pp. 1–22). National Council on Education and the
Disciplines.
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 51

Remillard, J., & Heck, D. (2014). Conceptualising the curriculum
enactment process in mathematics education <https://doi.
org/10.1007/s11858- 014-0600-4>. ZDM Mathematics
Education, 46, 705–718.
Shimizu, Y., & Vithal, R. (Eds.). (2018). ICMI Study 24 Conference
Proceedings (School mathematics curriculum reforms:
Challenges, changes and opportunities)<http://www.human.
tsukuba.ac.jp/~icmi24/ICMISTUDY24DiscussionD ocument.
pdf>. University of Tsukuba & ICMI.
Steen, L. (2001). Mathematics and democracy: The case for quantitative
literacy. National Council on Education and the Disciplines.
Straesser, R. (2007). Didactics of mathematics: More than
mathematics and school! <https://doi.org/10.1007/
s11858-006-0016-x> ZDM—The International Journal on
Mathematics Education, 39(1), 165–171.
Street, B. V., Baker, D., & Tomlin, A. (2005). Navigating
numeracies: Home/school numeracy practices. Springer
Science & Business Media. Tasaki, N. (2017). The impact
of OECD-PISA results on Japanese educational policy
<https://doi.org/10.1111/ejed.12217>. European Journal of
Education, 52, 145–153.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
(2015). Investing in teachers is investing in learning: A
prerequisite for the transformative power of education
<https://en.unesco.org/gem-report/investing-teachers-
investinglearning-prerequisite-transformative-power-
education>.
United Nations. (2015). Transforming our world: The 2030 agenda for
sustainable development <https://sdgs.un.org/2030agenda>.
Volmink, J. (2018). School mathematics reform in South Africa: A
curriculum for all and by all? <http://www.human.tsukuba.
ac.jp/~icmi24/> In Y.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
52

Shimizu & R. Vithal (Eds.), ICMI Study 24 Conference Proceedings
(School mathematics curriculum reforms: Challenges, changes and
opportunities, pp. 101–108). University of Tsukuba & ICMI.
Watson, J., & Moritz, J. (2002). Quantitative literacy for pre-service teachers
via the Internet. Mathematics Teacher Education and Development,
4, 42–55.
Williams, J., Roth, W.–M., Swanson, D., Doig, B., Groves, S.,
Omuvwie, M., Borromeo Ferri, R., & Mousoulides, N. (2016).
Interdisciplinary mathematics education: A state of the
art<https://doi.org/10.1007/978-3-319-42267-1>. Springer.
Yasukawa, K., & Black, S. (Eds.). (2016). Beyond economic interests:
Critical perspectives on adult literacy and numeracy in a globalised
world<https://doi.org/10.5130/Ins.v24i2.5305>. Sense.
BAB 3 - INTEGRASI NUMERASI DALAM KURIKULUM 53

NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana? 54

BAB 4
MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG
NUMERASI
Rizki Amalia
Universitas samudra
A. Pendahuluan
Numerasi saat ini menjadi salah satu fokus perhatian di dunia
pendidikan. Numerasi, disebut juga literasi numerasi dan
literasi matematika, dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
mengaplikasikan konsep dan keterampilan matematika untuk
memecahkan masalah praktis dalam berbagai ragam konteks kehidupan
sehari-hari, misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam
kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara (Kemendikbud,
2017). Berbagai bidang dapat mengintegrasikan numerasi dalam
kajian materinya, tidak terbatas pada matematika saja. Tentunya
matematika sendiri juga erat kaitannya dengan bidang lainnya, baik
dalam hal ilmu eksakta,misalnya pada bidang ilmu fisika, kimia dan
lain-lain, maupun dalam bidang ilmu non-eksakta, seperti sosiologi,
geografi dan lain-lain.
Integrasi numerasi dalam pembelajaran, tentu saja dapat disajikan
oleh pendidik dengan menggunakan model atau media pembelajaran
yang inovatif dan variatif. Menurut Octavia (2020), model pembelajaran
adalah kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik
atau (teratur) dalam pengorganisan kegiatan (pengalaman) belajar untuk
menccapai tujuan belajar (kompetensi belajar). Berbagai hasil penelitian
menunjukkan penerapan model pembelajaran, seperti Discovery
Learning, Problem-based Learning (PBL), STEAM dan lainnya berperan
mengembangkan numerasi peserta didik [Febianti, D., Aisha, S., &
55

Huljannah, M. (2023), Masliah, L., Nirmala, S. D., & Sugilar, S. (2023),
Sari, P. N., & Ekayanti, A. (2021)].
Selain itu, media pembelajaran juga mendukung penguatan numerasi
dalam pembelajaran. Media pembelajaran adalah segala bentuk alat atau
bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membantu
peserta didik dalam memahami dan menguasai materi pelajaran. Beberapa
penelitian juga menunjukkan hasil yang baik terhadap upaya peningkatan
numerasi melalui penggunaan media pembelajaran, seperti game, power
point, poster, Video pembelajaran dan lainnya [Lestari, M. W., dkk(2023),
Putri, M. S. N., Bezaleel, M., & Prasida, T. A. S. (2023), Ramadhan, D. N.,
Hermawan, H. D., & Septiyanti, N. D. (2023), Sitorus, P., dkk (2023)].
B. Media Pembelajaran
Media dalam bidang pendidikan merupakan instrumen pendukung
keberhasilan proses pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran
bertujuan agar peserta didik dapat lebih mudah menerima konten materi
yang disampaikan serta mendapatkan pengalaman belajar yang menarik,
interaktif dan bermakna. Pengembangan media pembelajaran diupayakan
untuk memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki media tersebut
dan meminimalisir kesulitan/hambatan yang muncul dalam proses
pembelajaran (Daryanto, 2010). Pendidik harus cermat memilih media
pembelajaran yang sesuai dengan konten materi yang akan disampaikan
atau yang dapat juga disesuaikan dengan model pembelajaran yang
digunakan.
Terdapat berbagai jenis media pembelajaran yang dapat digunakan.
Arsyad (2017) mengungkapkan bahwa berdasarkan perkembangan
teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu
media hasil teknologi cetakan (misal buku, storybook), media hasil teknologi
audio-visual (misal video, animasi), media hasil teknologi komputer
(misal, game, komik digital), media hasil gabungan antara teknologi
cetak dan komputer (misal worksheet, komik pembelajaran).
Beberapa ahli juga membedakan berbagai jenis media pembelajaran NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
56

lainnya, misalnya media pembelajaran objek hidup, maya/virtual,
dua dimensi, tiga dimensi dan lainnya. Namun, tentunya setiap
media memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing,
untuk itu pendidik dapat menentukan media terbaik, tepat dan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi sasaran didik.
C. Ragam Media Pembelajaran Pendukung Nu -
merasi
Berikut akan dibahas beberapa contoh media pembelajaran
pendukung numerasi, yaitu komik digital, animasi pembelajaran,
e-modul, student worksheet, dan Google Site.
1. Komik Digital
Komik merupakan cerita bergambar dengan penokohan dan alur
tertentu. Komik dapat dibuat versi cetak maupun digital. Saat ini,
meskipun seorang pendidik tidak begitu mahir menggambar sendiri,
dengan aplikasi tertentu dapat memudahkan pendidik dalam membuat
komik pembelajaran. Beberapa platform atau aplikasi yang dapat
membantu pendidik membuat komik yaitu dengan memanfaatkan
canva, storyboardthat, comipo manga maker, pixton dan lainnya.
Pendidik tentu saja perlu membuat tokoh, alur cerita dan
mengaitkan konten materi yang diintegrasikan dengan numerasi
sehingga pendidik dapat membuat komik pembelajaran yang
sistematis dan tepat sasaran. Berikut contoh komik digital yang
dibuat menggunakan platform storyboardthat pada materi
penyajian data tingkat SMP.
BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 57



Selengkapnya ada pada link berikut:
https://drive.google.com/file/d/1asvICwnPMlOdTI-0yx9QtQkWII-
FobQgc/view?usp=drive_link
2. Animasi Pembelajaran
Animasi merupakan gambar bergerak. Konten pembelajaran
dibuat pendidik dengan menyertakan gambar-gambar atau objek
bergerak dan memiliki alur penyampaian sedikit berbeda dengan
video pembelajaran. Video pembelajaran bisa saja dibuat dengan
menggunakan wajah sendiri (dan) seperti sedang menyampaikan
materi, juga terdapat konten materi yang ditampilkan. Jika animasi
pembelajaran biasa juga berbentuk video, namun gambar-gambar
yang disajikan biasanya berbentuk kartun yang variatif, ada yang
dibuat sendiri dengan aplikasi atau platform tertentu, dan ada juga
yang menggunakan objek-objek yang sudah disediakan Google.
Aplikasi atau platform yang dapat memudahkan pendidik
dalam membuat animasi pembelajaran, diantaranya yaitu Canva,
Toontastic 3D, Doratoon, Animaker, FlipaClip, Draw Cartoons 2,
dan lainnya. Aplikasi dan platform ini ada yang bisa diakses di
PC maupun di Android. Pendidik perlu memperhatikan sketsa,
objek dan konten yang akan diinput pada animasi pembelajaran
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Berikut
contoh animasi/video pembelajaran dengan contoh masalah yang
disadur dari Susanto, D, dkk. (2021) menggunakan aplikasi Canva.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
58



Selengkapnya ada pada link berikut:
https://drive.google.com/file/d/1hhia43p-SatYeR3BZxQonmm-
BJMTxKEjy/view?usp=sharing
3. E-Modul
Modul merupakan salah satu sumber belajar bagi peserta didik
terkait materi yang disampaikan di sekolah. Menurut Winkel
(2009), Modul pembelajaran adalah paket program pembelajaran
sistematis yang bisa dipelajari secara mandiri oleh peserta didik
atau melalui arahan pendidik. Modul biasanya disajikan dalam
bentuk cetakan atau tertulis. Adapun karakteristik modul yang
baik, yaitu self instructional, self contained, stand alone, adaptive
dan user friendly (Ditjend PMPTK, 2008).
Sedangkan E-Modul merupakan modifikasi dari modul
konvensional dengan memadukan pemanfaatan teknologi informasi,
sehingga modul yang ada dapat lebih menarik dan interaktif.
Karena dengan e-Modul kita dapat menambahkan fasilitas
multimedia (gambar, animasi, audio dan video) di dalamnya.
Pada umumnya, e-modul dilengkapi petunjuk bagi peserta
didik untuk belajar mandiri. Adapun contoh komponen
yang terdapat dalam e-modul yaitu cover, profil e-modul,
petunjuk penggunaan e-modul, kompetensi pembelajaran,
BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 59

peta konsep atau mind mapping, lembar kegiatan, lembaran
evaluasi, lembaran kuis, lembaran kunci evaluasi, referensi dan
profil penulis.
Berbagai aplikasi atau platform untuk membuat e-modul
yang menarik dan interaktif yaitu dengan membuat e-modul
menjadi flipbook menggunakan Anyflip, 3D Pageflip, Flip Html
5 dan lainnya. Selain itu, dengan Canva, pendidik juga bisa
membuat e-modul atau e-book sebagai salah satu sumber
belajar peserta didik. E-modul yang dirancang dapat diinput
gambar dan warna yang menarik, musik instrumental, rekaman
audio atau video pendidik dan hal-hal menarik dan interaktif
lainnya. Berikut contoh numerasi pada e-book (Widyasari, N,
dkk. 2021).NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
60


BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 61

NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
62


BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 63

4. Student Worksheet
Student worksheet atau lembar kerja peserta didik ini merupakan
panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan
penyelidikan atau pemecahan masalah (Trianto, 2007). Lembar
kerja ini merupakan salah satu bahan ajar yang biasanya berupa
petunjuk dan langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu
tugas.
Beberapa contoh aplikasi atau platform yang bisa dimanfaatkan
untuk membuat lembar kerja peserta didik yang menarik dan
interaktif adalah Canva, Liveworksheet, Wizer.me, dan lainnya.
Melalui platform ini dapat dibuat lembar kerja yang menarik dan
sesuai dengan model dan media pembelajaran yang digunakan
pendidik. Sebagai pertimbangan dalam membuat lembar kerja, guru
dapat memberikan masalah-masalah yang kontekstual bagi peserta
didik dan mereka dapat mengerjakan langkah- langkah yang sudah
diarahkan oleh pendidik. Berikut merupakan sebagian contoh student
worksheet atau lembar kerja siswa pada materi sistem pertidaksamaan
linear untuk kelas X SMA.
NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
64


5. Google Site
Google Site merupakan aplikasi terstruktur untuk membuat
situs web sederhana bagi pribadi atau kelompok untuk keperluan
tertentu. Kita dapat membuat halaman web sendiri melalui fitur-
fitur sederhana dari Google Site. Pendidik dapat merancang
Google Site sebagai salah satu bahan ajar yang menyediakan
berbagai fitur guna mempermudah peserta didik untuk belajar
mandiri. Misalnya pada gambar berikut ditunjukkan “Si
PerLin” sebagai salah satu sumber belajar pada materi Sistem
Persamaan Linier yang terdiri dari halaman Home sebagai
pemantik awal siswa pada materi yang akan dibahas, lalu ada
peta konsep, kompetensi, materi, latihan soal, evaluasi dan
profil pengembang.
BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 65



Berikut contoh penggunaan Google site sebagai media
pembelajaran numerasi bagi siswa.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
66





BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 67

REFERENSI
Arsyad, A. 2017. Media Pembelajaran. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
Ditjen PMPTK. 2008. Penulisan Modul. Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas.
Febianti, D., Aisha, S., & Huljannah, M. (2023). Upaya Meningkatkan
Keaktifan Peserta Didik Yang Diakibatkan Rendahnya
Kemampuan Literasi dan Numerasi Menggunakan Model
Pembelajaran Discovery Learning. Advanced In Social
Humanities Research, 1(5), 765-786.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Gerakan Literasi Nasional
Materi Pendukung Literasi Numerasi. Jakarta: Tim Gerakan Literasi
Nasional.
Lestari, M. W., Rahmadhani, I. N., Huda, M., Na’im, H., Kusuma, R. A.,
& Munahefi, D. N. (2023). Pengembangan Media Pembelajaran
Poster Berbasis Literasi dan Numerasi di SDN 3 Krakitan. Jurnal
Ilmiah Kampus Mengajar, 88-97.
Masliah, L., Nirmala, S. D., & Sugilar, S. (2023). Keefektifan Model
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap
Kemampuan Literasi dan Numerasi Peserta Didik di Sekolah
Dasar. Jurnal Basicedu, 7(1), 1-10.
Octavia, S. A. 2020. Model-Model Pembelajaran. Deepublish.
Putri, M. S. N., Bezaleel, M., & Prasida, T. A. S. (2023). Perancangan
Video Pembelajaran Literasi Numerasi Kelas 1-2 SD
Menggunakan Karakter Boneka Tangan. Jurnal Pendidikan
Indonesia, 4(6), 628-641.
Ramadhan, D. N., Hermawan, H. D., & Septiyanti, N. D. (2023).
Implementasi dan Pengembangan Media Pembelajaran Game
Calistung untuk Meningkatkan Literasi dan Numerasi di SD N
04 Kemuning. Jurnal Ilmiah Kampus Mengajar, 13-25.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
68

Sari, P. N., & Ekayanti, A. (2021). Penerapan model pembelajaran
STEAM (science, technology, engineering, art, and math)
untuk penguatan literasi-numerasi siswa. Jurnal Abdimas
Indonesia, 1(2), 89-96.
Sitorus, P., Siburian, C. G., Aritonang, C., Rajagukguk, N. M.,
Purba, S. L. J., & Silangit, K. N. T. (2023). Pemanfaatan Media
Pembelajaran Power Point untuk Meningkatkan Kemampuan
Reading Comprehension dan Numerasi di SMA Nusantara Lubuk
Pakam. Jurnal Pendidikan Tambusai, 7(1), 27- 40.
Susanto, D, dkk. 2021. Inspirasi Pembelajaran yang Menguatkan Numerasi
pada Mata Pelajaran Matematika untuk Jenjang Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Kemendikbudristek RI.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Widyasari, N, dkk. 2021. Modul Matematika Dasar Berbasis Case
Method. Jakarta: UM Jakarta Press.
Winkel. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.
Bagaimana Asesmen Numerasi dalam Pembelajaran?
Rustam Effendy Simamora, Mardyanto Barumbun

Pendidikan Matematika,
Universitas Borneo Tarakan, [email protected]
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Borneo Tarakan
BAB 4 - MEDIA PEMBELAJARAN PENDUKUNG NUMERASI 69

NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana? 70

BAB 5
BAGAIMANA ASESMEN NUMERASI DALAM
PEMBELAJARAN?
Rustam Effendy Simamora, Mardyanto Barumbun
Universitas Borneo Tarakan
Pendahuluan
Pembelajaran dan asesmen merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Guru dan siswa perlu memahami kompetensi yang dituju
sehingga keseluruhan proses pembelajaran yang diupayakan mencapai
kompetensi tersebut. Mengingat pentingnya pendidikan numerasi, guru
diharapkan memiliki beberapa kompetensi dalam praktik pembelajaran
profesional bidang numerasi yang salah satu aspeknya adalah asesmen.
Menurut Kemendikbudristek (2022), guru disebut mahir dalam aspek
asesmen pada pendidikan numerasi apabila guru tersebut mampu
membandingkan beberapa strategi penyelesaian dan jawaban siswa yang
berbeda dan menilai yang paling efektif dalam menyelesaikan suatu
permasalahan numerasi.
Asesmen memegang peran kunci dalam membentuk pengalaman
belajar, dengan bentuk-bentuk seperti assessment for learning (asesmen
untuk pembelajaran), assessment as learning (asesmen sebagai
pembelajaran), dan assessment of learning (asesmen atas pembelajaran).
Asesmen untuk pembelajaran memberikan kesempatan kepada guru untuk
memperbaiki pembelajaran berdasarkan informasi tentang kondisi siswa.
Asesmen sebagai pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melihat capaian dan kemajuan belajarnya dalam menentukan target
pembelajaran. Sementara itu, asesmen atas pembelajaran ditujukan untuk
mengukur pencapaian siswa terhadap kompetensi yang ditetapkan setelah
mengikuti suatu rangkaian proses pembelajaran yang lama waktunya
71

minimal satu semester, seperti penilaian akhir semester dan ujian sekolah
(Kemendikbud, 2017). Asesmen untuk dan sebagai pembelajaran sama-
sama dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung (penilaian
proses). Asesmen untuk pembelajaran dapat dilakukan melalui tugas-
tugas di kelas, unjuk kerja/presentasi, kuis, tes awal atau tes diagnostik,
dan asesmen kompetensi minimum (AKM). Asesmen untuk pembelajaran
menjadi acuan untuk melihat kemajuan belajar siswa dan memperbaiki
atau meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Asesmen sebagai
pembelajaran melibatkan siswa secara aktif dalam penilaian yang dapat
dilakukan melalui penilaian diri sendiri (self assessment) dan penilaian
antarteman (peer assesment). Dalam menyusun prosedur instrumen
asesmen sebagai pembelajaran, siswa dapat juga dilibatkan sehingga
mereka memahami dengan baik apa yang harus dilakukan untuk
mendapatkan capaian pembelajaran yang optimal.
Ragam bentuk asesmen tertanam kuat dalam literatur pendidikan dan
menawarkan berbagai perspektif dalam mengevaluasi dan meningkatkan
pemahaman dan kinerja siswa. Asesmen untuk pembelajaran dan asesmen
sebagai pembelajaran dapat dikelompokkan sebagai asesmen formatif,
sedangkan asesmen atas pembelajaran dapat dikelompokkan sebagai
asesmen sumatif (State Government of Victoria, 2021). Asesmen formatif
adalah asesmen terhadap pembelajaran yang dilakukan secara aktif,
terencana, terus menerus, dan sistematis untuk mengumpulkan bukti
pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan capaian pembelajaran
siswa. Asesmen pada pembelajaran numerasi merupakan asesmen
formatif, karena asesmen numerasi difokuskan ketika pembelajaran atau
pemberian tugas.
Berdasarkan hasil asesmen formatif, guru dapat menyesuaikan
metode pengajaran dan memberikan umpan balik yang sesuai dengan
kebutuhan siswa. Pada implementasi Kurikulum Merdeka, asesmen
formatif menjadi landasan dalam mengembangkan kompetensi siswa
(Kemendikbudristek, 2022). Sebagai asesmen formatif, asesmen untuk
pembelajaran adalah proses berkelanjutan yang memberikan umpan NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
72

balik interaktif selama rangkaian pembelajaran. Asesmen ini berfungsi
mengarahkan pembelajaran dan meningkatkan regulasi diri siswa.
Lebih lanjut, asesmen sebagai pembelajaran menekankan keterlibatan
aktif siswa dalam proses asesmen, membantu mereka memahami dan
mengatur pembelajaran mereka secara pribadi (Dann, 2022). Asesmen
pembelajaran, baik asesmen formatif maupun sumatif, diharapkan dapat
mengukur aspek yang seharusnya diukur dan bersifat holistik.
Asesmen formatif dapat berupa asesmen pada awal pembelajaran,
asesmen pada saat pembelajaran, dan sesudah pembelajaran. Dalam
mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, asesmen pada awal
pembelajaran digunakan untuk mendukung pembelajaran terdiferensiasi
sehingga siswa dapat memperoleh pembelajaran sesuai dengan yang
mereka butuhkan (Kemendikbudristek, 2022). Sebelum pembelajaran
dimulai, penilaian formatif berperan secara diagnostik untuk menilai
apakah peserta didik sudah memiliki pengetahuan dasar yang diperlukan
untuk pembelajaran selanjutnya (Susanto et al., 2021a). Sementara itu,
asesmen formatif pada saat pembelajaran dapat dijadikan sebagai dasar
dalam melakukan refleksi terhadap keseluruhan proses belajar yang dapat
dijadikan acuan untuk perencanaan pembelajaran dan melakukan revisi
apabila diperlukan. Ketika pembelajaran berlangsung, penilaian formatif
difokuskan pada pemantauan kemajuan peserta didik dan memberikan
informasi kepada guru apakah diperlukan penyesuaian dalam pendekatan
pengajaran. Setelah pembelajaran selesai, penilaian formatif bertujuan
untuk mengevaluasi pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik dan
menetapkan langkah-langkah selanjutnya yang perlu diambil selanjutnya
(Susanto et al., 2021a). Apabila tujuan pembelajaran telah tercapai, guru
dapat meneruskan pada tujuan pembelajaran berikutnya. Namun, apabila
tujuan pembelajaran belum tercapai, guru perlu melakukan penguatan
terlebih dahulu.
Guru dapat memanfaatkan AKM versi kelas sebagai alat diagnostik
untuk mengevaluasi kemampuan numerasi siswa. Sebagai bagian dari
penilaian formatif, guru dapat memberikan tugas rumah, contohnya
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran73

proyek sederhana, yang menantang peserta didik untuk mengaitkan
konsep matematika yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi
kehidupan sehari-hari mereka. Pada bab ini, kami menawarkan asesmen
yang dapat dimanfaatkan baik sebagai asesmen formatif maupun sumatif
(lihat lampiran).
Adapun, asesmen sumatif dilakukan di akhir suatu periode
pembelajaran untuk memberikan gambaran tentang capaian pembelajaran
siswa secara keseluruhan. Ini dapat berupa ujian, tugas besar, atau proyek
akhir. Asesmen sumatif memberikan gambaran kepada siswa, guru, dan
orang tua tentang pencapaian pembelajaran siswa secara umum. Asesmen
sumatif bertujuan untuk mengukur ketercapaian dari keseluruhan tujuan
pembelajaran.
Prinsip Asesmen
Asesmen merupakan bagian terpadu dari proses pembelajaran,
fasilitasi pembelajaran, dan penyediaan informasi yang holistik, sebagai
umpan balik untuk pendidik, siswa, dan orang tua/wali agar dapat
memandu mereka dalam menentukan strategi pembelajaran selanjutnya
(Kemendikbudristek, 2022).
• Guru menguatkan asesmen di awal pembelajaran yang digunakan
untuk merancang pembelajaran sesuai dengan kesiapan siswa.
• Guru merencanakan pembelajaran dengan mengacu pada tujuan
yang hendak dicapai dan memberikan umpan balik agar siswa dapat
menentukan langkah untuk perbaikan kedepannya.
• Guru memberikan umpan balik berupa kalimat dukungan untuk
menstimulasi pola pikir bertumbuh.
• Guru melibatkan siswa dalam melakukan asesmen, melalui asesmen
diri, asesmen antarteman, refleksi diri, dan pemberian umpan balik
antarteman.
• Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berefleksi
tentang kemampuan mereka, serta bagaimana meningkatkan
kemampuan tersebut berdasarkan hasil asesmen.
Asesmen Numerasi pada Mata Pelajaran Matematika dan Non-MatematikaNUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
74

Supaya numerasi bermanfaat bagi siswa, maka numerasi harus
dipelajari dalam berbagai konteks dan di semua mata pelajaran, bukan
hanya pada mata pelajaran Matematika. Siswa sering kali tidak dapat
menerapkan pengetahuan matematika mereka di bidang lain secara
langsung merupakan indikasi adanya suatu kebutuhan bahwa semua
guru penting untuk memfasilitasi pembelajaran numerasi pada
pembelajarannya (Goos et al., 2014). Mengacu kepada gagasan bahwa
pembelajaran numerasi dilakukan lintas mata pelajaran, maka asesmen
sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran juga hadir secara lintas
mata pelajaran. Jadi, termasuk di pembelajaran non-Matematika, penting
juga dilakukan asesmen numerasi.
Pada pembelajaran Matematika, asesmen memiliki peran sentral dalam
mengembangkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika.
Asesmen numerasi secara formatif dilakukan selama pembelajaran
untuk mengidentifikasi pemahaman siswa dan memberikan umpan
balik langsung. Asesmen numerasi memungkinkan juga dilakukan pada
saat tes sumatif yang tentunya hanya fokus kepada kemampuan kognitif
siswa. Berdasarkan gagasan bahwa implementasi asesmen numerasi lebih
fokus kepada asesmen formatif, asesmen numerasi bukan lagi sebatas alat
evaluasi, tetapi juga instrumen yang sangat penting untuk mengarahkan
proses belajar-mengajar. Pada mata pelajaran Matematika, asesmen
numerasi menjadi sarana untuk mengoptimalkan proses pembelajaran
dan meningkatkan kualitas pendidikan Matematika di tingkat pendidikan
dasar dan menengah.
Pada mata pelajaran non-Matematika, fokus utama asesmen adalah
pada pengembangan pemahaman konsep dan keterampilan non-
kognitif. Asesmen formatif dan asesmen sebagai pembelajaran menjadi
instrumen utama dalam mengarahkan siswa menuju pencapaian tujuan
pembelajaran dan perkembangan pribadi mereka. Untuk mata pelajaran
non-Matematika, guru tidak memiliki tanggung jawab untuk melakukan
asesmen numerasi secara komprehensif, kognitif dan non-kognitif, karena
memang bukan tujuan dari mata pelajaran tersebut untuk mencapai
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran75

kemampuan kognitif pada aspek numeras. Masing-masing mata pelajaran
sudah memiliki capaian pembelajaran sesuai dengan kurikulum. Namun
guru dapat terlibat pada saat melakukan asesmen non-kognitif melalui
pengamatan perilaku siswa dengan memperhatikan dan mencatat apa
yang dikatakan dan dilakukan siswa saat pembelajaran di kelas. Guru juga
dapat meminta siswa melakukan asesmen diri dalam melakukan asesmen
non-kognitif pada penguatan numerasi walaupun mata pelajarannya
bukan Matematika.
Dua aspek yang berkaitan dengan numerasi yang perlu diperhatikan
guru saat mengamati peserta didik adalah kemampuan numerasi dan
disposisi. Asesmen numerasi dilakukan ketika siswa berhadapan dengan
masalah numerasi, yaitu soal, tugas, atau tantangan yang berkaitan dengan
situasi nyata atau kehidupan sehari-hari yang untuk menyelesaikannya
membutuhkan pengetahuan matematika. Pada mata pelajaran Matematika,
asesmen untuk mengukur kognitif siswa (asesmen kognitif) dan melihat
keterampilan dan sikap/disposisi siswa (asesmen non-kognitif) dapat
dilakukan, sementara mata pelajaran non-Matematika lebih terbatas,
yaitu keterampilan dan disposisi siswa saja yang dapat dilakukan melalui
observasi dan asesmen diri (Susanto et al., 2021a; 2021b).
Secara umum topik-topik pada mata pelajaran Matematika di sekolah
dasar (SD)/sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP)/sederajat
dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Sementara Matematika
di sekolah menengah atas (SMA)/sederajat, khususnya Matematika
Peminatan, lebih terbatas dalam pengintegrasian numerasi. Oleh karena
itu dibutuhkan kepekaan dan kreatifitas guru Matematika untuk melihat
tuntutan numerasi dan mengembangkan skenario pembelajaran sehingga
numerasi siswa dapat dikembangkan melalui mata pelajaran Matematika
Peminatan tersebut.
Asesmen Kognitif pada Pembelajaran Numerasi
Asesmen Proses Pemecahan Masalah
Dalam menyelesaikan masalah, proses yang dilakukan siswa terdiri
dari beberapa fase yang mungkin tidak berjalan linear: memahami NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
76

masalah dalam konteks yang dihadapi, menyederhanakan masalah,
memodelkan masalah, memecahkan masalah dengan mendapatkan
solusi matematikanya (melakukan perhitungan langkah demi langkah),
menginterpretasi solusi, dan memeriksa kesahihan hasil dalam konteks
masalah tersebut (Tekin-Dede & Bukova-Güzel, 2018). Setiap aspek
pemecahan masalah tersebut terdiri dari empat level: perlu intervensi
khusus, dasar, cakap, dan mahir (Susanto et al., 2021a).
Tabel 1. Rubrik penilaian proses pemecahan masalah pada
pendidikan numerasi.
Aspek Kriteria
Perlu
Intervensi
Khusus
Dasar Cakap Mahir
Memahami
masalah
numerasi
Siswa tidak
memahami
masalah,
tidak
menentukan
apa yang
diberikan
dan tujuan
masalah,
dan tidak
menyusun
atau salah
menyusun
hubungan di
antara
informasi
yang
diketahui
dan tujuan
yang ingin
dicapai
Siswa
memahami
sebagian
masalah,
menentukan hal
yang diberikan
dan tujuan
sampai batas
tertentu tetapi
tidak menyusun
atau keliru
dalam
menyusun
hubungan di
antara
keduanya.
Siswa
memahami
masalah secara
lengkap,
menentukan
apa yang
diberikan dan
tujuannya,
tidak menyusun
atau salah
dalam
menyusun
hubungan di
antara
keduanya.
Siswa
memahami
masalah secara
lengkap,
menentukan
apa yang
diketahui dan
tujuan, dan
menyusun
hubungan di
antara
keduanya.
melalui
pemecahan
masalah.
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran77

Menyedeharha
nakan masalah
numerasi
Siswa tidak
menyederha
nakan
masalah,
tidak
menentukan
variabel
yang
diperlukan/
tidak
diperlukan,
atau
membuat
asumsi yang
salah.
Siswa
menyederhana
kan masalah
tetapi
mengabaikan
sebagian
informasi
penting,
menentukan
variabel yang
diperlukan/tida
k perlu sampai
batas tertentu,
dan membuat
asumsi yang
salah.
Siswa
menyederhana
kan masalah,
menentukan
variabel yang
diperlukan/tidak
perlu, dan
membuat
asumsi yang
dapat diterima
sebagian.
Siswa
menyederhana
kan masalah,
menentukan
variabel
yangdiperluka
n/tidak
diperlukan,
dan membuat
asumsi yang
realistis.
Memodelkan
masalah
numerasi
secara
matematis
Siswa tidak
membuat,
atau salah
membuat,
model
matematika.
Siswa membuat
model
matematika
yang tidak
lengkap/salah
berdasarkan
asumsi yang
dapat diterima
sebagian.
Siswa membuat
model
matematika
yang benar
berdasarkan
asumsi yang
dapat diterima
sebagian.
Siswa
membuat
model
matematika
yang
dibutuhkan
dengan benar
sesuai dengan
asumsi
realistik,
menjelaskan
model dan
menghubungk
annya satu
sama lain.
Melakukan
perhitungan
langkah demi
langkah
Siswa tidak
menyajikan
solusi
matematika,
salah
menyelesaik
an model
yang dibuat,
atau
mencoba
menyelesaik
an model
matematika
yang salah.
Siswa
memberikan
solusi yang
mengandung
kekurangan/kes
alahan dalam
menyelesaikan
model
matematika
yang dibuat
secara tidak
lengkap/salah.
Siswa
memberikan
solusi yang
mengandung
kekurangan/kes
alahan dalam
menyelesaikan
model
matematika
yang sudah
tepat.
Siswa
mencapai
solusi
matematika
yang benar
berdasarkan
model yang
sudah tepat.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
78

Menginterpret
asi solusi
Siswa tidak
menginterpr
etasi solusi
matematika
dalam
konteks
kehidupan
nyata.
Siswa salah
dalam
menginterpreta
si solusi
matematika
dalam konteks
kehidupan nyata.
Siswa
menginterpreta
si dengan tidak
lengkap solusi
matematika
dalam konteks
kehidupan
nyata.
Siswa
menginterpreta
sikan dengan
benar dan
lengkap solusi
matematika
dalam konteks
kehidupan
nyata.
Memverifikasi
solusi
Siswa tidak
memvalidasi
atau
membuat
validasi
yang tidak
tepat.
Siswa
memverifikasi
sebagian dan
tidak
mengoreksi
kesalahan yang
ditemukan.
Siswa
memverifikasi
sepenuhnya,
tetapi tidak
mengoreksi
kesalahan yang
ditemukan.
Siswa
memverifikasi
sepenuhnya,
mengoreksi
kesalahan
yang
ditentukan.
Sumber: Diadaptasi dari Tekin-Dede dan Bukova-Güzel (2018)
Asesmen Non-Kognitif pada Pembelajaran Numerasi
Asesmen Keterampilan Penalaran Matematis dan Penggunaan Alat
Matematis Selain asesmen kognitif, guru juga perlu melakukan asesmen
non-kognitif melalui observasi perilaku siswa dengan memperhatikan dan
mencatat apa yang mereka katakan dan lakukan di dalam kelas. Aspek
keterampilan yang berkaitan dengan numerasi yang perlu diperhatikan
ketika mengobservasi peserta didik adalah (a) kemampuan menggunakan
keterampilan dan alat matematika, dan (b) disposisi atau sikap dari peserta
didik. Berikut rubrik yang dapat digunakan untuk menilai kedua aspek
tersebut.
Tabel 2. Rubrik penilaian keterampilan penalaran matematis dan
penggunaan alat matematis pada pendidikan numerasi.
Keterampilan YaTidakCatatan
Penalaran matematis
Siswa memahami keterampilan matematis
yang dibutuhkan. Siswa menggunakan
strategi yang sesuai untuk menemukan
jawaban.
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran79

Siswa mencapai solusi yang tepat. Siswa dapat
menjelaskan cara memperoleh jawaban yang
diperoleh.
Penggunaan alat matematis
Siswa memilih alat yang sesuai dengan
permasalahan. Siswa dapat memberikan
argumentasi mengapat alat tertentu yang
digunakan. Siswa dapat menggunakan alat
dengan tepat. Siswa memberikan hasil yang
ditunjukkan alat dengan akurat dan tepat.
Sumber: Diadaptasi dari Susanto et al. (2021a)
Asesmen Sikap Siswa
Untuk menilai disposisi, yaitu kualitas yang melekat pada persepsi atau
karakter siswa yang meliputi sikap dan/atau keyakinan yang meliputi
keterlibatan atau partisipasi dalam pembelajaran, antusiasme, keluwesan
(fleksibilitas), inisiatif, dan keberanian mengambil risiko, guru dapat
memanfaatkan rubrik penilaian ketika mengobservasi siswa dalam
mengerjakan tugas atau masalah numerasi.
Tabel 3. Rubrik penilaian disposisi pada pendidikan numerasi.
Sikap YaTidakCatatan
Siswa menunjukkan inisiatif dalam mengerjakan
tugas.
Siswa menunjukkan keterlibatan dalam
mengerjakan tugas.
Siswa menunjukkan antusiasme dalam berhadapan
dengan tugas.
Siswa mencoba menggunakan pendekatan yang lain
ketika mengalami hambatan dalam menyelesaikan
tugas.
Siswa memberikan asumsi yang masuk akal atau
mencari informasi tambahan untuk melengkapi
informasi yang tidak diketahui.
Sumber: Diadaptasi dari Susanto et al. (2021a)NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
80

Asesmen Diri Siswa
Dann (2022) mengatakan bahwa asesmen sebagai bagian penting dari
pembelajaran harus dipahami oleh siswa supaya siswa tersebut dapat
membuat penilaian tentang kemajuan siswa itu sendiri. Lebih lanjut
menurut Dann, penilaian sebagai pembelajaran paling terlihat ketika
dimanifestasikan melalui asesmen diri dan melalui keterlibatan siswa
dalam menentukan aspek penilaian diri, perkembangan pribadi dan
kognitif mereka dapat ditingkatkan. Penggunaan asesmen diri (self-
assessment) dapat dimanfaatkan untuk menilai disposisi.
Siswa dapat diminta merefleksikan dan menggambarkan perasaan mereka
selama mengikuti pembelajaran numerasi atau berhadapan dengan tugas
numerasi di akhir suatu pembelajaran. Asesmen diri dapat dilakukan untuk
melihat bagaimana siswa dalam menggambarkan perasaannya ketika
sedang mengerjakan tugas, dan perasaannya terhadap tugas itu sendiri.
Siswa dapat diminta untuk memilih kata yang tersedia dan menambahkan
kata yang menggambarkan perasaan mereka dengan lebih lengkap atau
lebih baik sesuai dengan persepsi mereka.
Contoh:
Lingkari kata (boleh lebih dari satu) yang menunjukkan perasaanmu
ketika mengerjakan tugas. Selanjutnya tambahkan kata lain pada daftar
sebanyak yang dibutuhkan untuk melengkapi apa yang kamu alami.
tertarik cemas bingung biasa saja lebih aktif
tertekan senang merasa
bodoh
puas merasa lebih pintar
termotivasibosan bersemangattertantangmenyenangkan
…. …. …. …. ….
Sumber: Diaptasi dari Susanto et al. (2021a)
Lingkari kata (boleh lebih dari satu) yang menunjukkan penilaian
kamu terhadap tugas yang diberikan pada saat pembelajaran. Selanjutnya
tambahkan kata lain pada daftar sebanyak yang kamu butuhkan sehingga
perasaanmu terhadap tugas lebih lengkap.
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran81

sangat
mudah
seperti
biasa
teksnya
terlalu
panjang
susah tidak relevan
menantangsangat
sulit
tidak
masuk akal
baru sesuai dengan
pengalaman
berbedamenarikterlalu
sulit
tertantangmembingungkan
…. …. …. …. ….
Sumber: Diadaptasi dari Susanto et al. (2021a)
Rencana asesmen dimulai dengan perumusan tujuan asesmen.
Tujuan ini tentu berkaitan erat dengan tujuan pembelajaran. Setelah
tujuan dirumuskan, guru memilih dan/atau mengembangkan instrumen
asesmen sesuai tujuan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
memilih/mengembangkan instrumen, antara lain: karakteristik siswa,
kesesuaian asesmen dengan rencana/tujuan pembelajaran dan tujuan
asesmen, kemudahan penggunaan instrumen untuk memberikan umpan
balik kepada siswa dan pendidik. Sementara itu, teknologi dapat menjadi
alat yang sangat bermanfaat dalam asesmen numerasi. Berbagai platform
dan aplikasi dapat digunakan untuk membuat kuis online, tugas interaktif,
dan asesmen berbasis proyek. Selain itu, teknologi juga memungkinkan
analisis data yang lebih baik, memungkinkan guru untuk memahami tren
pembelajaran dan merancang intervensi yang sesuai.
Contoh Asesmen Numerasi pada Pembelajaran Matematika
Numerasi pada Fungsi Kuadrat
Sebagai contoh bagaimana melakukan asesmen numerasi pada
pembelajaran Matematika, berikut ini akan dipilih topik fungsi kuadrat
yang merupakan topik yang dipelajari di SMP/sederajat (di kelas 9) dan
SMA/sederajat (di kelas 10). Topik ini dapat disebut sebagai contoh yang
baik karena dipelajari di dua tingkatan level pendidikan yang berbeda,
yaitu SMP dan SMA.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
82

Kita mulai dengan asumsi bahwa siswa sudah mempelajari konsep dasar
fungsi kuadrat, bagaimana bentuk umum, menggambar sketsa grafik, dan
menyusun persamaan fungsi kuadrat. Seperti disampaikan sebelumnya,
antara pembelajaran dan asesmen saling berkaitan dan saling mengisi.
Pembelajaran numerasi bukanlah suatu model pembelajaran melainkan
suatu strategi untuk mengembangkan numerasi yang dapat diintegrasikan
di berbagai model pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah (problem
based-learning – PBL), dan pembelajaran berbasis proyek (project based-
learning – PjBL) sebenarnya sudah memfasilitasi pembelajaran numerasi
karena masalah atau tantangan yang dihadapi dalam model pembelajaran
ini merupakan masalah otentik atau kontekstual. Selanjutnya, ketika
mengoperasionalkan kedua model pembelajaran tersebut sudah
memfasilitasi penalaran matematis: merumuskan masalah, menggunakan
pengetahuan matematika, menginterpretasi dan memverifikasi solusi.
Pada saat guru melakukan pembelajaran untuk menguatkan numerasi
pada fungsi kuadrat, guru dapat memberikan masalah berikut sebagai
model tugas numerasi.
83

Jembatan Kahayan

Jembatan Kahayan yang terletak di Kalimantan Tengah merupakan
salah satu jembatan pelengkung. Fajar, siswa SMA Negeri 1 Tarakan,
ingin memprediksi panjang total kabel penggantung yang dibutuhkan
pada jembatan tersebut. Fajar merasa tertantang untuk menentukan
panjang total kabel penggantung tersebut tetapi ia mengalami
kebuntuan. Mari membantu Fajar untuk memecahkan masalah
tersebut!









150 m
Kabel
penggantung
dipelajari di SMP/sederajat (di kelas 9) dan SMA/sederajat (di kelas 10).
Topik ini dapat disebut sebagai contoh yang baik karena dipelajari di dua
tingkatan level pendidikan yang berbeda, yaitu SMP dan SMA.
Kita mulai dengan asumsi bahwa siswa sudah mempelajari konsep dasar
fungsi kuadrat, bagaimana bentuk umum, menggambar sketsa grafik, dan
menyusun persamaan fungsi kuadrat. Seperti disampaikan sebelumnya,
antara pembelajaran dan asesmen saling berkaitan dan saling mengisi.
Pembelajaran numerasi bukanlah suatu model pembelajaran melainkan
suatu strategi untuk mengembangkan numerasi yang dapat diintegrasikan di
berbagai model pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah (problem
based-learning – PBL), dan pembelajaran berbasis proyek (project based-
learning – PjBL) sebenarnya sudah memfasilitasi pembelajaran numerasi
karena masalah atau tantangan yang dihadapi dalam model pembelajaran ini
merupakan masalah otentik atau kontekstual. Selanjutnya, ketika
mengoperasionalkan kedua model pembelajaran tersebut sudah
memfasilitasi penalaran matematis: merumuskan masalah, menggunakan
pengetahuan matematika, menginterpretasi dan memverifikasi solusi.
Pada saat guru melakukan pembelajaran untuk menguatkan numerasi pada
fungsi kuadrat, guru dapat memberikan masalah berikut sebagai model tugas
numerasi.

Gambar 1. Contoh masalah numerasi pada pembelajaran Matematika.
Gambar 1. Contoh masalah numerasi pada pembelajaran Matematika.
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran83

Sebagai tugas numerasi, pada saat pembelajaran Matematika
yang mengintegrasikan numerasi pada kegiatan inti, siswa diharapkan
melakukan aktivitas sebagai manifestasi penalaran matematis yang terdiri
dari beberapa tahapan: memformulasikan atau merumuskan, mengerjakan
atau menerapkan pengetahuan matematika, dan selanjutnya menafsirkan
dan mengevaluasi (https://pisa2022- maths.oecd.org/ca/index.html).
Sepanjang aktivitas ini, guru Matematika dapat melakukan asesmen
numerasi kognitif dan non-kognitif melalui observasi.
Sebelum menyusun strategi memecahkan masalah tersebut, siswa
diminta untuk menjawab pertanyaan berikut.
(1) Informasi apa sajakah yang kamu ketahui dari masalah tersebut?
(2) Apakah informasi pada soal masalah cukup untuk menjawab
masalah tersebut?
(3) Apa yang menjadi tujuan yang ingin dicapai pada soal tersebut?
(4) Bagaimanakah hubungan antara informasi yang diketahui dengan
tujuan yang ingin dicapai pada masalah di atas?
(5) Adakah hal yang belum kalian mengerti pada masalah di atas?
Tuliskan jika ada.
Ketika siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, guru
Matematika dapat melakukan penilaian proses pemecahan masalah
pada aspek memahami masalah. (Perhatikan rubrik penilaian proses
pemecahan masalah pada Tabel 1.)
Tahap memformulasikan
Pada tahap ini, siswa diminta untuk berusaha mengenali aspek pada
masalah numerasi yang dapat diabstraksi dan dibuat dalam model
matematika yang dapat dapat diselesaikan. Siswa didorong untuk menalar
dan mempertimbangkan keterbatasan dan pengandaian atau asumsi
dalam masalah. Untuk masalah di atas siswa diharapkan bahwa jembatan
busur tersebut dapat dikaitkan dengan fungsi kuadrat.
Untuk merumuskan masalah di atas, siswa diajak untuk menjawab
pertanyaan berikut.
(1) Bagaimanakah bentuk pelengkung jembatan tersebut?NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
84

(2) Apabila dikaitkan dengan fungsi, dapatkah bentuk jembatan
tersebut dikaitkan dengan fungsi kuadrat? Jelaskan!
(3) Buatlah sketsa jembatan tersebut pada grafik Cartesius!
(4) Tentukanlah variabel yang Anda butuhkan dan jelaskan makna
variabel tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapi Fajar
di atas.
Jembatan tersebut berbentuk busur sehingga dapat dimodelkan
sebagai suatu fungsi kuadrat. Pelengkung jembatan berbentuk parabola
?????? dan panjang kabel penggantung adalah nilai ?????? untuk beberapa nilai
??????, misalkan {??????
1
, ??????
2
, ??????
3
, … , ??????
12
}. Jembatan tersebut dapat digambarkan
seperti Gambar 2.
Gambar 2. Representasi masalah numerasi dalam bentuk gambar.
Ketika siswa berhadapan dengan pertanyaan di atas, guru Matematika
melakukan penilaian terhadap proses pemecahan masalah pada aspek
menyederhanakan masalah numerasi dan memodelkan masalah numerasi.
Tahap mengerjakan
Setelah memformulasikan masalah dalam model matematika, siswa
diarahkan untuk menerapkan konsep, sifat atau fakta, prosedur dan
penalaran matematis untuk menyelesaikan masalah numerasi yang
bentuknya telah menjadi seperti soal matematika.
Untuk masalah numerasi di atas, siswa dapat diminta untuk menjawab
pertanyaan berikut.
(1) Buatlah persamaan fungsi berdasarkan gambar yang Anda buat!
(2) Lakukan perhitungan untuk menentukan panjang tali penggantung
jembatan tersebut!
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran85

Persamaan fungsi kuadrat yang memotong memotong sumbu ?????? di dua
titik, yaitu (1, 0) dan (14, 0) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
?????? = ??????(?????? − ??????
1
) (?????? − ??????
2
). Nilai ?????? dapat ditentukan dengan memasukkan salah
satu titik yang dilalui
??????. Memilih titik paling sederhana (0, −1) akan memudahkan perhitungan
dan selanjutnya menentukan nilai ?????? untuk {?????? = 1, ?????? = 2, ?????? = 3, … , ?????? = 14}.
?????? = ??????(?????? − 1) (?????? − 14)
Subtitusi (0, −1) diperoleh ?????? = −
1
.
14
Diperoleh persamaan =-
1

(?????? − 1) (?????? − 14).
14
• Untuk ?????? = 1 → ??????
1
= − 1

(1 − 1) (1 − 14) = 0
14
• Untuk ?????? = 2 → ??????
2
= − 1

(2 − 1) (2 − 14) = 0,86
14
• Untuk ?????? = 3 → ??????
3
= 1,57
• Untuk ?????? = 14 → ?????? = 0.
Himpunan nilai ?????? =
{
(1,0), (2; 0,86), (3; 1,57), (4; 2,14), (5; 2,57), (6; 2,86), (7, 3),
(8, 3), (9; 2,86), (10; 2,57), (11; 2,14), (12; 1,57), (13; 0,86), (14, 0)
}
Total nilai ?????? = 2(0,86 + 1,57 + 2,14 + 2,57 + 2,86 + 3) = 13.
Pada saat siswa bekerja menjawab pertanyaan di atas, guru Matematika
menilai proses pemecahan masalah pada aspek melakukan perhitungan
langkah demi langkah.
Tahap menginterpretasi dan mengevaluasi
Pada tahap ini siswa diminta untuk mengevaluasi solusi matematika yang
mereka buat, kemudian menerapkan solusi matematika tersebut ke dalam
situasi masalah numerasi tersebut.
Untuk masalah di atas, siswa dapat diminta menjawab pertanyaan
berikut.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
86

(1) Periksa hasil perhitungan Anda sejauh ini. Jelaskan apakah hasil
perhitungan tersebut sudah sesuai atau tidak untuk menjawab
masalah di atas.
(2) Simpulkan berapa panjangkah total tali penggantung pada
jembatan busur tersebut.
Hasil perhitungan tersebut masih harus dilanjutkan karena jembatan
tersebut terdiri dari dua sisi. Sementara panjang total tali penggantung yang
dihitung masih satu sisi saja. Dengan demikian, panjang tali penggantung
adalah 26 m karena satu satuan pada koordinat kartesius sama dengan
satu meter pada ukuran sebenarnya.
Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang dapat dilihat sebagai
indikator pada aspek menginterpretasi dan memverifikasi solusi.
Proses pemecahan masalah sebagai hal yang dinilai secara kognitif
dapat dilakukan ketika pembelajaran berlangsung, saat siswa berhadapan
dengan tugas seperti contoh di atas. Asesmen kognitif siswa juga dapat
juga dilihat ketika siswa diminta mengerjakan soal latihan atau pekerjaan
rumah (PR) pada mata pelajaran Matematika yang memuat soal numerasi.
Penilaian terhadap soal latihan dan PR lebih mudah dilakukan karena
berbeda dengan penilaian saat pembelajaran berlangsung, perhatian guru
terbagi; di satu sisi mengajar atau memfasilitasi siswa belajar, di sisi lain
guru mengases siswa.
Sementara asesmen proses pemecahan masalah matematis dilakukan
pada setiap masalah, penilaian non-kognitif siswa yang meliputi
keterampilan penalaran matematis, penggunaan alat matematis, dan sikap
siswa, dilakukan berdasarkan pengamatan sepanjang pembelajaran dan
dilakukan tanpa melihat secara rinci setiap masalah yang diselesaikan.
Penilaian dilakukan bagaimana keterampilan dan sikap siswa selama
pembelajaran. Selanjutnya, penilaian diri siswa dapat dilaksanakan setelah
kegiatan inti.
Pada pembelajaran Matematika, keterampilan matematika siswa
tergambar melalui proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Pada
pembelajaran numerasi- fungsi kuadrat di atas, alat matematis yang sesuai
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran87

meliputi koordinat cartesius, rumus untuk menyusun persamaan kuadrat,
kertas berpetak, dan dapat juga aplikasi perangkat lunak seperti GeoGebra.
Contoh Asesmen Numerasi pada Pembelajaran Non-Matematika
Seperti disampaikan sebelumnya, antara pembelajaran dan asesmen
tidak dapat dipisahkan sekalipun pada pembelajaran mata pelajaran
non-Matematika. Untuk asesmen numerasi pada pembelajaran non-
Matematika, guru tersebut bukan berarti harus menghadirkan capaian
pembelajaran yang mengandung Matematika. Akan tetapi, gurunya
diharapkan menyematkan atau menancapkan pembelajaran numerasi
pada rancangan dan pelaksanaan pembelajarannya. Penguatan numerasi
pada mata pelajaran non-Matematika, bukan hanya meningkatkan
numerasi, tetapi juga meningkatkan pemahaman siswa terhadap topik
yang sedang dipelajarai tersebut. Berikut ini akan disajikan contoh
bagaimana melakukan asesmen pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) untuk kelas 9 SMP dengan topik Kerja Sama Dunia.
Numerasi pada Kerja Sama Dunia
Topik IPS Kerja Sama Dunia ini dipelajari di semester genap. Yang
menjadi capaian pembelajaran pada topik ini adalah siswa memahami
perubahan sosial yang sedang terjadi di era kontemporer. Salah satu
tujuan pembelajarannya adalah siswa diharapkan mampu menjelaskan
keragaman lingkungan alam dan masyarakat di dunia. Populasi penduduk
di berbagai negara adalah salah satu hal yang menjadi perhatian pada
topik ini. Tabel 4 berikut menunjukkan sepuluh negara dengan populasi
terbesar di dunia.
Tabel 4. Luas wilayah dan populasi sepuluh negara dengan penduduk
terbanyak di dunia.
NoNegara Jumlah Populasi (Jiwa)Luas Wilayah (Km)
1 India 1.441.719.852 3.287.590
2 China 1.425.178.782 9.706.961
3 United
States
341.814.420 9.372.610NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
88

4 Indonesia 279.798.049 1.904.569
5 Pakistan 245.209.815 881.912
6 Nigeria 229.152.217 923.768
7 Brazil 217.637.297 8.515.767
8 Bangladesh 174.701.211 147.570
9 Russia 143.957.079 17.098.242
10Ethiopia 129.719.719 1.104.300
Sumber: https://worldpopulationreview.com/countries
Mengacu ke tabel di atas penguatan numerasi dapat dilakukan ketika
siswa diminta untuk menjawab pertanyaan: “Apakah posisi Indonesia
masih tetap berada di urutan nomor tiga apabila dilihat dari kepadatan
penduduk dari sepuluh negara tersebut? Jika tidak, mengapa?” Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, guru meminta siswa untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut.
(1) Berdasarkan isi tabel tersebut, data yang manakah dibutuhkan untuk
menentukan kepadatan penduduk suatu negara? Jelaskan!
(2) Bagaimanakah cara kamu menentukan urutan keberapa Indonesia
apabila kepadatan penduduk diurutkan dari yang tertinggi sampai
dengan terendah?
(3) Lakukan perhitungan untuk menentukan kepadatan penduduk
masing-masing negara dan tuangkan hasil perhitungan Anda dalam
bentuk tabel! Anda boleh menggunakan alat hitung untuk membantu
Anda. Di antara kalkulator, handphone, dan microsoft excel yang
manakah yang Anda gunakan untuk berhitung? Mengapa?
(4) Urutan keberapakah Indonesia dilihat dari kepadatan penduduk?
(5) Di antara bilangan berikut yang manakah yang paling tepat untuk
menyatakan kepadatan penduduk Indonesia: 146 jiwa/km
2
, 146,90
jiwa/km
2
, 146,91 jiwa/km
2
, 147 jiwa/km
2
?
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran89

Pertanyaan pertama di atas mengindikasikan pemahaman terhadap
keterampilan matematis yang dibutuhkan, karena menyiratkan pengertian
siswa terhadap data mana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan soal.
Pertanyaan nomor dua mengacu kepada strategi yang dipilih siswa
untuk menemukan jawaban. Selanjutnya pertanyaan yang ketiga dan
keempat mengindikasikan bagaimana siswa melakukan perhitungan
untuk mencapai solusi yang tepat. Sementara pertanyaan terakhir
mengindikasikan orientasi kritis yang dapat dijadikan sebagai indikasi
kemampuan siswa dalam menjelaskan jawaban mereka. Dengan demikian,
guru dapat melakukan pengamatan untuk melakukan asesmen terhadap
keterampilan penalaran matematis siswa. Guru dapat memanfaatkan
rubrik seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, data yang dibutuhkan adalah
jumlah penduduk dan luas wilayah, karena kepadatan penduduk
ditentukan berdasarkan banyaknya penduduk setiap kilometer persegi:
kepadatan penduduk adalah populasi penduduk dibagi luas wilayah.
Urutan Indonesia dilihat dari kepadatan penduduk mulai dari yang
terbesar sampai dengan yang terendah dapat ditentukan dengan membagi
populasi penduduk dengan luas wilayah masing-masing negara. Alat
yang paling efisien digunakan adalah Microsoft Office Excel. Dengan
menggunakan Excel, cukup menghitung kepadatan penduduk India,
kemudian di-drag untuk mendapatkan besar kepadatan penduduk lainnya.
Selanjutnya, fitur filter pada Excel dapat dimanfaatkan untuk mengurutkan
negera dengan kepadatan penduduk terbesar sampai dengan terkecil.
Sama seperti asesmen pada keterampilan penalaran matematis, guru dapat
memanfaatkan rubrik pada Tabel 2.
Jawaban atas pertanyaan nomor 5 berbentuk bilangan bulat karena
banya orang tidak mungkin kurang dari satu orang, oleh karena itu
bilangan 146 jiwa/km
2
. Ekspresi 147 jiwa/km
2
kurang tepat karena hasil
perhitungan menunjukkan bahwa kepadatan penduduk kurang dari
147 jiwa/km
2
. Pembulatan tetap dilakukan ke bawah walaupun desimal NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
90

menunjukkan lebih dari 0,50. Tabel 5 berikut merupakan hasil perhitungan
kepadatan penduduk dengan menggunakan Microsoft Office Excel.
Tabel 5. Kepadatan penduduk di sepuluh negara dengan populasi
terbanyak di dunia.
NoNegara Populasi
Penduduk
(jiwa)
Luas
Wilayah
(km
2
)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km
2
)
1Bangladesh174.701.211147.570 1.183,85
2India 1.441.719.8523.287.590 438,53
3Pakistan 245.209.815881.912 278,04
4Nigeria 229.152.217923.768 248,06
5Indonesia 279.798.0491.904.569 146,91
6China 1.425.178.7829.706.961 146,82
7Ethiopia 129.719.7191.104.300 117,47
8United
States
341.814.4209.372.610 36,47
9Brazil 217.637.2978.515.767 25,56
10Russia 143.957.07917.098.242 8,42
Asesmen diri sebagaimana pada penilaian sikap pada mata
pelajaran Matematika, dapat dilaksanakan di akhir pembelajaran dengan
memanfaatkan contoh asesmen non-kognitif yang disampaikan di atas.
Tentunya guru dapat mengembangkan atau membuat sendiri asesmen
diri sesuai dengan kebutuhan pembelajaran,
Penutup
Asesmen numerasi tidak hanya menjadi alat untuk mengukur pencapaian,
tetapi juga alat untuk meningkatkan pembelajaran dan pengajaran.
Dengan merencanakan asesmen secara hati-hati, melibatkan siswa dalam
proses asesmen, dan memanfaatkan teknologi, guru dapat menciptakan
lingkungan pembelajaran yang responsif dan mendukung pertumbuhan
siswa dalam pemahaman numerasi. Asesmen numerasi yang baik harus
mencerminkan tujuan pembelajaran, melibatkan siswa aktif dalam proses,
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran91

dan memberikan umpan balik yang konstruktif untuk meningkatkan
pembelajaran. Harapannya, penguatan numerasi baik melalui mata
pelajaran Matematika, maupun non-Matematika disambut baik oleh
pendidik. Asesmen numerasi dapat disederhanakan atau dikembangkan
guru sesuai dengan kebutuhan tanpa menjadikannya sebagai beban.
Lampiran
Masalah 1: Beroti untuk Kosen
Untuk membuat kosen jendela seperti gambar di atas, dibutuhkan beroti
dengan kriteria tertentu. Dari semua persediaan beroti yang tersisa di
Panglong Arjuna, tinggal 12 batang beroti yang memenuhi syarat untuk
dijadikan bahan kosen. Panjang setiap beroti tersebut adalah 3,65 meter.
a) Banyak beroti yang dibutuhkan untuk membuat satu buah kosen
pintu adalah …. batang.
b) Banyak kosen jendela paling yang dapat dibuat dari beroti tersebut
adalah …. buah.
Alternatif Penyelesaian:
a) Untuk membuat satu buah kosen pintu, dibutuhkan beroti
sepanjang:
• 2(140 ????????????) + 2(40 ????????????) = 360 ???????????? = 3,60 ??????NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
92

• Panjang satu buah beroti adalah 3,65 m
Berarti, banyak beroti yang dibutuhkan untuk membuat satu buah
kosen pintu adalah 1 batang.
b) Banyak kosen jendela yang dapat dibuat dari beroti tersebut adalah
12 buah, karena beroti yang tersisa ada 12 batang.
Masalah 2: Mengatur Keuangan 50/20/30
Budi mengatur keuangannya dengan menggunakan prinsip 50/20/30.
Prinsip atau aturan keuangan 50/20/30 adalah membagi pendapatan
bersih dengan cara sebagai berikut:
• 50% dari pendapatan bersih untuk kebutuhan hidup.
• 20% dari pendapatan bersih dibelanjakan untuk hobi atau rekreasi.
• 30% dari pendapatan bersih untuk ditabung.
a) Tiga per empat dari uang Budi untuk kebutuhan hidup, yaitu
sebesar Rp1.200.000,00, digunakan untuk makan dan minum setiap
bulannya. Pendapatan Budi per bulan adalah Rp ….
b) Mulai bulan depan, Budi mengalokasikan satu per sepuluh dari
uang yang ditabung disumbangkan untuk beramal. Banyak bagian
yang disumbangkan untuk amal apabila dinyatakan dalam pecahan
biasa paling sederhana adalah ….
Alternatif Penyelesaian:
a) Misalkan: ?????? adalah pendapatan Budi dalam satu bulan.
• Uang untuk kebutuhan hidup: 50%?????? =
50

??????
100
• Uang untuk hobi atau rekreasi: 20%?????? =
20

??????
100
• Uang untuk ditabung: 30%?????? =
30

??????
100
• Uang untuk makan dan minum:
3 × 50

?????? = 1200000
4 100
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran93

?????? = ….
?????? =
4
×
100
× 1200000
3 50
?????? = 3200000
∴ Penghasilan Budi per bulan adalah Rp 3.200.000,00.
b) Uang yang ditabung: 30%
Uang untuk beramal:
1
×
30
= 3
10 100
∴ Banyak bagian yang disumbangkan untuk amal dalam pecahan
biasa paling sederhana adalah
3
.
10
Masalah 3: Baterai Laptop
Suatu laptop sedang dicas sehingga baterainya sekarang sudah terisi
sebesar 93%. Berdasarkan keterangan dari indikator baterai, dibutuhkan
10 menit lagi supaya baterai terisi penuh atau 100%. Apabila baterai laptop
penuh, maka laptop tersebut akan dapat digunakan untuk mengetik
selama 10 jam tanpa dicas.
a) Jika baterai laptop benar-benar kosong, maka waktu yang dibutuhkan
untuk mengisi baterai hingga penuh sekitar …. jam … menit.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
94

b) Apabila setelah baterai terisi 93% pengecasan terhenti, maka laptop
akan bisa beroperasi tanpa dicas sekitar …. jam.
Alternatif Penyelesaian:
93

Masalah 4: Tahu
Isi
b) Apabila setelah baterai terisi 93% pengecasan terhenti, maka laptop
akan bisa beroperasi tanpa dicas sekitar …. jam.

Alternatif Penyelesaian:
a) ????????????= ….
Persentase Baterai Lama Pengecasan (menit)
srr?−{u?Ly? 10
srr? ????????????

????????????
sr
L

srr?
y?
→????????????≈svt?zx
svt?zxLstrEttEr?zx
str????????????????????????????????????‹????????????Lt????????????????????????????????????

r?zx????????????????????????????????????‹????????????Lzxsrr Hxr????????????????????????????????????‹????????????Lws?xr????????????????????????????????????‹????????????.

∴Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi baterai hingga penuh adalah 2
jam 22 menit 51,60 detik atau sekitar 2 jam 23 menit.

b) ????????????= ….
Persentase Baterai Lama Pemakaian (jam)
srr? 10
{u? ????????????

????????????{u?
sr
L
srr?
→????????????≈{?ur
{?urL{Er?ur
r?urjam = r?urHxrmenit = s?zmenit L:sEr?z;menit
r?zmenit = r?zHxrdetik = 48 detik.

∴Laptop akan bisa beroperasi tanpa dicas selama 9 jam 1 menit 48 detik
atau sekitar 9 jam.

bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran95

Masalah 4: Tahu Isi
Tahu isi dalam plastik pada gambar di atas ada sebanyak 9 biji yang
dibeli dengan harga Rp 15.000,00.
a) Harga untuk mendapatkan 3 biji tahu isi adalah Rp ….
b) Dengan uang Rp 35.000,00 akan mendapatkan tahu isi sebanyak .…
biji.
Alternatif Penyelesaian:
94

Masalah 5: Jeruk yang
Tersusun Rapi



Tahu isi dalam plastik pada gambar di atas ada sebanyak 9 biji yang dibeli
dengan harga Rp 15.000,00.
a) Harga untuk mendapatkan 3 biji tahu isi adalah Rp ….
b) Dengan uang Rp 35.000,00 akan mendapatkan tahu isi sebanyak .… biji.


Alternatif Penyelesaian:

Banyak Tahu (biji) Harga (Rp)
{ 15000
u ????????????
???????????? 35000


a) Harga untuk mendapatkan 3 biji tahu isi adalah:
swrrr
???????????? L
u
L wrrr
∴ Harga untuk mendapatkan 3 biji tahu isi adalah Rp 5.000,00.

b) Dengan uang Rp 35.000,00 akan mendapatkan tahu isi:
???????????? uwrrr
{
L
swrrr
→ ???????????? L ts
∴ Uang Rp 35.000,00 akan mendapatkan tahu isi sebanyak 21 biji.
NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
96

Masalah 5: Jeruk yang Tersusun Rapi
(Sumber gambar: https://www.mathscareers.org.uk/)
Pedagang buah sering menata buah jeruk seperti gambar di atas.
a) Banyak jeruk pada gambar di atas adalah .… buah.
b) Seandainya pedagang dapat menata jeruk sebanyak tujuh baris,
maka banyak jeruk pada baris ke tujuh adalah .… buah.
Alternatif Penyelesaian:
a) Banyak jeruk pada gambar di atas adalah:
1 + 4 + 9 + 16 = 30
∴ Banyak jeruk pada gambar di atas adalah 30 buah.
b) Baris ke tujuh penataan jeruk tersebut adalah:
7 × 7 = 49
∴ Banyak jeruk pada baris ketujuh adalah 49 buah.
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran97

Masalah 6: Bensin dalam Fungsi Matematika
(Sumber Gambar: http://tribunkaltim.com)
Penjual bensin eceran di sekitar Kota Tanjung Selor, mematok harga
Rp 10.000,00 per liter untuk bensin Premium dan Pertamax. Pada gambar
di atas, bensin yang dikemas dalam botol tersebut memiliki isi 1 liter.
a) Apabila pelanggan meminta diisikan 3 botol, maka harga yang harus
dibayar adalah Rp ….
b) Arman menerima kembalian Rp 80.000,00 setelah membayar Rp
100.000,00 kepada penjual atas pembelian bensin. Banyak bensin
yang dibutuhkan Arman adalah …. liter.
Alternatif Penyelesaian:
a) Harga untuk 3 botol adalah 3 ?????????????????????????????? ×
????????????10.000,00
= Rp 10.000,00
??????????????????????????????
b) Harga yang dibayar oleh Arman Rp 20.000,00. Berarti banyak bensin
yang dibutuhkan Arman adalah 2 liter.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
98

Masalah 7: Piramida Jeruk
Perhatikan gambar berikut!
(Sumber Gambar: https://donsteward.blogspot.com/)
Berdasarkan gambar di atas, diperoleh bahwa: Banyak jeruk pada baris
ke-1 adalah 1 buah.
Banyak jeruk pada baris ke-1 dan ke-2 adalah (1 + 4) buah.
Banyak jeruk pada baris ke-1, ke-2 dan ke-3 adalah (1 + 4 + 9) buah, dst.
a) Banyak jeruk mulai dari baris ke-1 sampai dengan ke-10 adalah ….
Buah.
b) Banyak jeruk seluruhnya pada gambar di atas dapat dicari dengan
rumus:
??????(??????) =
??????
3

+
??????
2

+
??????
, dengan ?????? adalah banyak baris jeruk.
3 2 6
Dengan menggunakan rumus di atas, maka diperoleh hasil bahwa
total jumlah jeruk adalah …. buah
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran99

Alternatif Penyelesaian:
a) Tabel banyak jeruk:
Baris ke- Banyak Jeruk
1 1
2 2 × 2 = 2
2
= 4
3 3 × 3 = 3
2
= 9
4 4 × 4 = 4
2
= 16
5 5 × 5 = 5
2
= 25
6 6 × 6 = 6
2
= 36
7 7 × 7 = 7
2
= 49
8 8 × 8 = 8
2
= 64
9 9 × 9 = 9
2
= 81
10 10 × 10 = 10
2
= 100
∴ Banyak jeruk mulai dari baris ke-1 sampai dengan ke-10 adalah:
(1 + 4 + 9 +
… + 100) buah = 385 buah.
b) Diketahui rumus banyak jeruk dari baris ke-1 sampai dengan ke-??????:
97

Masalah 8. Bensin dalam Rumus
Fungsi


Baris ke- Banyak Jeruk
1 1
2 tHtLt
tLv
3 uHuLu
t
L{
4 vHvLv
t
Lsx
5 wHwLw
tLtw
6 xHxLx
tLux
7 yHyLy
tLv{
8 zHzLz
tLxv
9 {H{L{
tLzs
10 srHsrLsr
tLsrr


∴Banyak jeruk mulai dari baris ke-1 sampai dengan ke-10 adalah: (1 + 4 +
9 +
… + 100) buah = 385 buah.

b) Diketahui rumus banyak jeruk dari baris ke-1 sampai dengan ke-????????????:
????????????(????????????;L
????????????
u


u
????????????
t????????????
E
t
E
x

Banyak baris susunan jeruk adalah 23 baris.
????????????(tu;L
tu
u



u
tu
ttu
E
t
E
x
Lvutv

∴Total jumlah jeruk adalah 4324 buah.


(Sumber Gambar: tribunkaltim.co)

Penjual bensin eceran di sekitar Kota Tanjung Selor, mematok harga Rp
10.000,00 per liter untuk bensin Premium. Pada gambar di atas, bensin yang
dikemas dalam botol tersebut memiliki isi 1 liter.
a) Banyak bensin per botol dapat dinyatakan dengan variabel ????????????, sementara
harga bensin dalam rupiah dapat dinyatakan dalam ƒ(????????????;. Dengan
demikian, harga bensin dapat dinyatakan dalam rumus fungsi
matematika: ƒ(????????????;L????????????????????????E????????????. Nilai
????????????dan ????????????berturut-turut adalah .… dan .…
b) Apabila ƒ(????????????;Ltwrrrpada pertanyaan di atas, maka ????????????adalah ….
∴ Total jumlah jeruk adalah 4324 buah.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
100

Masalah 8: Bensin Dalam Rumus
(Sumber Gambar: tribunkaltim.co)
Penjual bensin eceran di sekitar Kota Tanjung Selor, mematok harga Rp
10.000,00 per liter untuk bensin Premium. Pada gambar di atas, bensin
yang dikemas dalam botol tersebut memiliki isi 1 liter.
a) Banyak bensin per botol dapat dinyatakan dengan variabel ??????,
sementara harga bensin dalam rupiah dapat dinyatakan dalam ƒ(??????).
Dengan demikian, harga bensin dapat dinyatakan dalam rumus
fungsi matematika: ƒ(??????) = ???????????? + ??????. Nilai
?????? dan ?????? berturut-turut adalah .… dan .…
b) Apabila ƒ(??????) = 25000 pada pertanyaan di atas, maka ?????? adalah ….
Alternatif Penyelesaian:
a) Fungsi harga bensin adalah ƒ(??????) = 10000??????
Itu berarti ?????? = 10000 dan ?????? = 0.
b) Karena ƒ(??????) = 25000 maka 10000?????? = 25000 → ?????? = 2,5
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran101

Masalah 9: Grafik Ketinggian Air
Perhatikan gambar berikut!
Tinggi permukaan air semula sebelum keran dibuka adalah 16. Selanjutnya,
keran dibuka selama 9 menit sehingga ember terisi penuh.
a) Dari grafik-grafik berikut yang paling tepat menggambarkan
hubungan ketinggian permukaan air dalam ember dan waktu adalah
gambar …… dengan alasan ….NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
102

b) Luas permukaan minimal tutup ember adalah …. ????????????
2
.
Alternatif Penyelesaian:
a) Gambar iv karena tinggi permukaan air diketahui telah mencapai 16
cm sebelum keran dibuka. Ketika keran dibuka, tinggi permukaan
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran103

air semakin lambat bertambah karena ember semakin ke atas
semakin membesar diameternya.
b) Bagian atas ember memiliki diameter: ?????? = 48 ???????????? → ?????? = 24 ????????????. Luas
permukaan tutup ember minimal adalah:
?????? = ????????????
2
?????? = 3,14(24 ????????????)
2
?????? = 1808,64 ????????????
2
Masalah 10: Jumlah Murid 2018-2020
Tabel Jumlah Peserta Didik di Kabupaten Tanah Tidung Tahun 2018-2019
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan:
a) Terjadi penurunan jumlah murid SD/PAUD dari tahun .… ke tahun
.… sebesar .… %.
b) Terjadi peningkatan jumlah siswa SMA dari tahun .… ke tahun ….
sebesar …. %.
Alternatif Penyelesaian:
a) Penurunan jumlah murid murid SD/PAUD dari tahun 2019 ke
tahun 2020 sebesar:
(327 − 315)/315 * 100% ≈ 3,81%.
b) Peningkatan jumlah siswa SMA dari tahun 2019 ke tahun 2020
sebesar: (928 − 908)/908 * 100% ≈ 2,20%.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
104

DAFTAR PUSTAKA
Dann, R. (2012). Promoting assessment as learning: Improving the learning
process. Routledge.
Goos, M., Geiger, V., & Dole, S. (2014). Transforming professional practice
in numeracy teaching. Transforming mathematics instruction:
Multiple approaches and practices, 81-102.
Kemendikbud. (2017). Panduan Penilaian oleh Pendidik dan Satuan
Pendidikan Sekolah Menengah Atas. Diakses November 28, 2023,
dari https://repositori.kemdikbud.go.id/18053/
Kemendikbudristek (2022). Panduan Pembelajaran dan Asesmen
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah.
Diakses November 28, 2023, dari https://kurikulum.kemdikbud.
go.id/wp-content/uploads/2022/06/Panduan- Pembelajarn-dan-
Asesmen.pdf
Kemendikbudristek. (2022). Panduan Pembelajaran dan Asesmen
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah.
Diakses September 8, 2023, dari https://kurikulum.kemdikbud.
go.id/wp-content/uploads/2022/06/Panduan-Pembelajarn-dan-
Asesmen.pdf
Kemendikbudristek. (2022). Peraturan Direktur Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi Nomor 0340/B/HK.01.03/2022 tentang Kerangka
Kompetensi Literasi dan Numerasi bagi Guru pada Sekolah Dasar.
bab 5 - Bagaimana Asesmen Numerasi Dalam Pembelajaran105

Diakses November 27, 2023, dari https://gurudikdas.kemdikbud.
go.id/pdf- viewer/web/viewer.html?file=/storage/users/3/Berita/
file%20pdf/salinan%20P Erdirjen%20tentang%20kompetensi%20
literasi%20dan%20numerasi%20dikda s.pdf
State Government of Victoria. (2021). Assessment. Diakses November
29, 2023, dari https://www.education.vic.gov.au/school/
teachers/teachingresources/practice/Pages/assessment.
aspx#:~:text=Assessment%20as%20learning%3A%20occurs%20
when,and%20standards%20(summative%20assessment)
Susanto, D., Sihombing, S., Radjawane, M. M., & Wardani, A. K. (2021).
Inspirasi Pembelajaran yang Menguatkan Numerasi Matematika
pada Mata Pelajaran Matematika untuk Jenjang Sekolah Menengah
Pertama. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi.
Susanto, D., Sihombing, S., Radjawane, M. M., & Wardani, A. K. (2021).
Inspirasi Pembelajaran yang Menguatkan Numerasi pada Mata
Pelajaran IPA, IPS, PJOK dan Seni Budaya untuk Jenjang Sekolah
Menengah Pertama. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi.NUMERASI
Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
106
Tags