MPI.1 TATA LAKSANA HIV Workshop Test and Treat Perluasan Layanan PDP di Indonesia Tahun 2024 dr. Irvin Romyco
TUJUAN PEMBELAJARAN 01 Tim Layanan memahami sasaran tes HIV 02 Tim layanan memahami alur diagnosa tes HIV 03 Tim layanan mampu memberikan tatalaksana terapi ARV
PENEMUAN KASUS
Sasaran Tes HIV
Bagan Alur Layanan Pemeriksaan HIV
Menempatkan HIV sama seperti penyakit lainnya Terkait dengan karakter penyakit HIV Perlu menjawab beberapa pertanyaan yaitu Bagaimana cara menemukan kasus – secara aktif dan pasif Bagaimana kasus yang ditemukan dapat diobati dan ditindaklanjuti dengan membangun jejaring kerja internal maupun eksternal Bagaimana membangun layanan yang dapat diakses oleh populasi kunci dan tidak memberikan ketakutan dan stigma. Sistem promosi atau marketing agar masyarakat tahu jika tersedia layanan diagnosis dan pengobatan HIV serta dapat diakses Dibangun secara terintegrasi dengan sistem layanan yang ada Konsep Layanan Tes HIV
Consent (persetujuan pasien) Confidentiality (konfidensialitas) Counseling (konseling) Correct test result (hasil tes yang sahih) Connect to care , prevention and treatment services (dihubungkan dengan layanan Pengobatan Dukungan dan Perawatan serta pencegahan) Prinsip Tes HIV
Consent Cukup informasi singkat alasan di tes HIV, termasuk kebijakan pemerintah sebagai landasan Cukup verbal dan tidak perlu tanda tangan Definisi usia pada anak- mempertimbangkan banyak anak remaja sudah tertular dan tidak mau diketahui orang tua/keluarga – pada anak usia < 18 thn siapa yang jadi wali jika tidak ada ortu atau jauh dari keluarga Confidentiality Status HIV akan dibuka kepada sesama nakes untuk kepentingan perawatan dan pengobatan Pembukaan status HIV kepada pasangan dengan atau tanpa persetujuan dari penderita Pengertian 5C
Counselling Tidak perlu melakukan evaluasi detail risk assessment dan “konseling” Pasca tes HIV ditekankan pada menjelaskan arti tes dan rencana kerja pengobatan Dilakukan oleh nakes – tidak tergantung konselor Correct result Perlunya PMI dan PME ( dari sisi laboratorium ) Connect to care Memastikan bahwa semua hasil tes positif wajib mendapatkan akses pengobatan ARV Pengertian 5C
BAGAN ALUR LAYANAN PEMERIKSAAN HIV Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
Berbasis fasyankes Skrining HIV berbasis fasyankes dilakukan di fasyankes seperti puskesmas, rumah sakit, klinik, praktikdokter atau bidan swasta, oleh tenaga kesehatan. Berbasis komunitas Skrining HIV berbasis komunitas dilakukan di luar fasyankes oleh: tenaga kesehatan; tenaga non-kesehatan, seperti kader kesehatan, petugas penjangkau, atau pendukung sebaya; individu secara mandiri (skrining HIV mandiri) Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Pemeriksaan HIV untuk Skrining
BAGAN ALUR PEMERIKSAAN HIV UNTUK SKRINING. Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
FOTO SKRINING
PEMERIKSAAN HIV UNTUK PENEGAKAN DIAGNOSIS Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila: Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda menunjukan hasil reaktif. Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
PEMERIKSAAN SEROLOGIS Metode pemeriksaan serologis yang digunakan adalah: Rapid diagnostic test (RDT) Enzyme immuno assay (EIA) ( tidak dilakukan di Puskesmas ) Secara umum metode pemeriksaan rapid test (tes cepat) dan EIA adalah untuk mendeteksi antigen dan/atau antibodi. Alat diagnostik yang digunakan untuk pemeriksaan serologis harus mempunyai sensitivitas minimal 99% (untuk reagen ke-1) dan spesifisitas minimal 98% (untuk reagen ke-2) dan spesifisitas minimal 99% (untuk reagen ke-3) dengan kesalahan baca <5%. Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
PEMERIKSAAN VIROLOGIS Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV. Pemeriksaan virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada: Bayi dan anak di bawah 18 bulan; Pasien pada kasus terminal, dengan hasil pemeriksaan antibodi yang negatif walaupun gejala klinis sangat mendukung; dan Konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda. Pemeriksaan virologis pada bayi/anak berusia <18 bulan yang direkomendasikan adalah PCR DNA HIV, tetapi bila tidak tersedia atau sulit diakses dapat digunakan PCR RNA HIV ( viral load ). Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
Bagan Alur Pemeriksaan HIV untuk Diagnosis dengan pemeriksaan serologis pada usia ≥18 bulan Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
Bagan Alur Diagnosis HIV dan Sifilis dengan Pemeriksaan Serologis Dual Rapid Test HIV Dan Sifilis Pada Usia ≥18 Bulan Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
Pemeriksaan HIV ulang dilakukan pada waktu dan sampel yang berbeda dengan pemeriksaan sebelumnya. Pemeriksaan HIV ulang dilakukan pada seseorang dengan hasil pemeriksaan: HIV-inkonklusif Pemeriksaan HIV ulang dilakukan 14 hari kemudian, sesuai bagan alir pemeriksaan HIV HIV-negatif, pada individu dengan risiko pajanan tinggi, Pemeriksaan HIV ulang dilakukan dengan mempertimbangkan periode jendela untuk mengantisipasi kemungkinan infeksi akut pada periode yang terlalu dini untuk melakukan pemeriksaan diagnostik. Meski demikian pemeriksaan ulang hanya perlu dilakukan pada individu dengan HIV negatif yang baru saja mendapat atau sedang memiliki risiko tinggi. *) Pemeriksaan ulang HIV pada kelompok Populasi Kunci dilakukan setiap 3 bulan atau minimal satu kali dalam setahun. Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Pemeriksaan HIV Ulang
TINDAK LANJUT PASCA TES
BAGAN ALUR TINDAK LANJUT PASCA DIAGNOSIS HIV (PMK 23 Tahun 2022)
Jika Hasil test HIV ( - ) Jelaskan arti hasil tes negatif Jelaskan kemungkinan dalam periode jendela Informasi penggunaan dan pemberian kondom LASS, PTRM Penawaran sirkumsisi Tes rutin untuk kelompok berisiko tinggi Anjuran untuk ARV profilaksis ( PrEP )
Penetapan stadium klinik Skrining dan tatalaksana IO yang ditemukan Penapisan IMS (sifilis atau pendekatan sindrom), jika pasien berisiko idealnya pemeriksaan HIV dan sifilis dimintakan bersamaan Indikasi pemberian PPK dan TPT KIE kepatuhan minum obat Penawaran Notifikasi pasangan Inform consent penelusuran pasien jika LFU Inisiasi pengobatan ARV dan pemantauan Jika hasil tes HIV ( + )
STADIUM KLINIS
Obat kotrimoksazol diberikan untuk pencegahan beberapa penyakit infeksi oportunistik, yaitu Pnemonitis jirovecii (PCP), Toxoplasmosis, Salmonelosis, Isospora beli , dan malaria bagi pasien yang tinggal di daerah endemis malaria. Kotrimoksazol diberikan pada semua pasien HIV dengan stadium klinis 3 dan 4 dan/atau jika nilai CD4<200 sel/mm3 (pasien AIDS), dengan dosis 1x960 mg/hari diberikan sampai dengan CD4>200 dua kali berturut-turut dengan interval 6 bulan atau selama 2 tahun pada tempat yang tidak mempunyai pemeriksaan CD4. Profilaksis kotrimoksazol diberikan secara rutin pada ODHIV dengan TBC aktif tanpa melihat jumlah CD4. Apabila pengobatan OAT selesai dan nilai CD4 >200 sel/μL, maka pemberian kotrimoksazol dapat dihentikan, tetapi apabila CD4 < 200 sel/μL, maka kotrimoksazol dapat diteruskan dengan dosis yang sama. Profilaksis Kotrimoksazol
Kriteria Inisiasi Kriteria Pemberhentian a Jumlah CD4 < 200 sel/mm 3 dan berapapun stadium klinis Jumlah CD4 > 200 sel/mm 3 setelah 6 bulan ART c atau Jika tidak ada CD4: PPK dpt Stadium klinis 3 atau 4 atau dihentikan setelah 2 tahun ART Semuanya b TB aktif, berapapun jumlah CD4 Sampai pengobatan TB selesai jika jumlah CD4 > 200 sel/mm 3 a kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD. b pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (dewasa)
Terapi Pencegahan TBC (TPT) diberikan pada semua ODHIV tanpa tanda TBC aktif, termasuk ibu hamil, anak, dan orang dengan HIV yang telah menyelesaikan pengobatan TBC (TPT sekunder) Terdapat 2 jenis Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) pada ODHIV: TPT Primer : TPT yang diberikan pada ODHIV yang tidak memiliki TBC aktif, baik ODHIV dengan/ tanpa riwayat pemberian terapi OAT sebelumnya. TPT Sekunder : TPT yang diberikan pada ODHIV sebagai suatu kelanjutan setelah menyelesaikan terapi OAT dan dinyatakan sembuh/pengobatan lengkap. Terapi Pencegahan Tuberkulosis
Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Bagan Alur Skrining TBC pada ODHIV
PILIHAN PADUAN TPT YANG DIREKOMEN DASIKAN
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepatuhan minum obat Kesiapan dan kendala yang dihadapi pasien untuk memulai pengobatan ARV, Keuntungan memulai pengobatan ARV lebih dini untuk menekan virus, pulihnya daya tahan tubuh, perbaikan kondisi klinis, mencegah penularan, Jenis obat ARV yang diberikan, dosis dan jadwal pemberian , Kemungkinan efek samping yang sifatnya sementara dan dapat diobati, serta adanya obat pengganti jika timbul efek samping, Interaksi dengan obat lain , Perlunya kontrol ulang untuk pemantauan respon terapi dan efek samping.
NOTIFIKASI PASANGAN
Pengobatan HIV merupakan pengobatan seumur hidup dan memerlukan kepatuhan minum obat Petugas perlu menjelaskan hal ini kepada pasien dan meminta persetujuan tertulis pasien bahwa dapat dilakukan tindakan penelusuran bila dibutuhkan Informed Consent Penelusuran Pasien
PENGOBATAN ANTI RETROVIRAL (ARV)
TERAPI ARV TUJUAN Menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak terdeteksi dan mempertahankannya Mencegah infeksi oportunistik Mencegah progresi penyakit Memperbaiki kualitas hidup Mengurangi transmisi kepada yg lain ( Treatment as Prevention )
MANFAAT ARV
Apa itu 4S ? START memulai pengobatan ARV SUBSITUSI mengganti jenis ARV di lini yang sama – karena efek samping SWITCH mengganti ARV, pindah lini karena gagal terap STOP toksisitas berat atau MRS atas pertimbangan dokter
Pengobatan ARV diberikan pada semua ODHIV tanpa melihat stadium klinis dan nilai CD4 Memulai pengobatan ARV dini telah terbukti mengurangi morbiditas, mortalitas, dan penularan HIV Kebijakan Pengobatan ARV
Pengobatan ARV Pada ODHIV yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, ARV diberikan pada hari yang sama dengan atau selambat-lambatnya pada hari ketujuh setelah tegaknya diagnosis. Pada ODHIV yang sudah siap untuk memulai ARV, dapat ditawarkan untuk memulai ARV pada hari yang sama, terutama pada ibu hamil. Pada pasien koinfeksi HIV dengan TBC, pengobatan TBC dimulai terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 2 minggu pertama pengobatan TBC tanpa memandang nilai CD4. Kecuali pada TBC meningitis, pengobatan ARV harus ditunda minimal setelah 4 minggu (dan dimulai dalam 8 minggu) setelah pengobatan TBC. Dalam keadaan infeksi HIV disertai infeksi toksoplasmosis, pengobatan ARV diberikan setelah 2 minggu sejak pemberian pengobatan toksoplasmosis. Sedangkan infeksi HIV yang disertai infeksi kriptokokus, pengobatan ARV diberikan setelah 4-6 minggu sejak pemberian terapi kriptokokus.
Protease inhibitor Integrase Inhibitor Pengobatan ARV
Contoh Obat ARV
Contoh Obat TPT dan DTG 50 mg
*) Pada ODHIV yang sudah menggunakan regimen ARV sebelumnya dengan hasil virus tersupresi dan dapat menoleransi efek samping, regimen ARV tetap dipertahankan, kecuali bagi ODHIV yang menggunakan regimen ARV mengandung Nevirapin akan ditransisikan ke regimen ARV yang mengandung Dolutegravir secara bertahap. Pilihan regimen Antiretroviral lini pertama untuk dewasa dan remaja yang akan memulai terapi
56 AMBANG RESISTENSI DAN POTENSI ARV Tang and Shafer, Drugs 2012 Ambang resistensi menunjukkan jumlah mutasi pada virus untuk menjadi resisten obat Hanya dibutuhkan satu mutasi pada virus untuk menjadi resisten terhadap NVP, EFV demikian juga 3TC dan FTC. Bila obat ARV memiliki ambang resistensi tinggi seperti kelas PI dan INSTI, berarti obat akan lebih sulit resisten.
INTERAKSI OBAT DENGAN DTG Interaksi memerlukan penyesuaian dosis Rifampicin (DTG 50mg BD) Carbamazepin (DTG 50mg 2x/hari atau ganti obat) Mg, Zinc, calcium, vitamin C, D, dan Fe (minum 2 jam sebelum atau 6 jam setelah TLD) Metformin (dosis metformin lebih rendah; monitor kadar gula darah) Kontraindikasi/jangan diberikan Fenitoin Fenobarbital Dofetilid (anti-aritmia) Amodiaquine (anti-malaria)
PEMANTAUAN PENGOBATAN ARV
Pemantauan Efek Samping Obat dan Substitusi ARV Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Kunjungan klinik untuk pemantauan efek samping obat dimulai pada minggu ke-2 setelah pemberian ARV, dilanjutkan 1 bulan, 3 bulan kemudian dan selanjutnya tiap 3 bulan atau jika diperlukan. Efek samping yang dapat dikenali melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah reaksi alergi, gangguan neuropsikiatri. Pada efek samping hipersensitivitas atau alergi, demam dapat sebagai penanda timbulnya reaksi alergi selain karena sebab lain
WAKTU TERJADINYA TOKSISITAS OBAT ARV
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi TDF Sudah ada penyakit ginjal sebelumnya Usia lanjut Disfungsi tubulus renalis IMT <18,5 atau BB <50kg pada dewasa Sindrom Fanconi DM tak terkontrol Hipertensi tak terkontrol Penggunaan bersama obat nefrotoksik lain atau boosted PI Dewasa= AZT atau TDF disesuaikan dosis renal Anak = AZT atau ABC Jangan memberikan TDF pada pasien dengan eLFG <50mL/menit, hipertensi tidak terkontrol, diabetes yang tidak terkontrol, atau adanya gagal ginjal Menurunnya densitas mineral tulang Riwayat osteomalasia dan fraktur patologis Faktor risiko osteoporosis atau bone-loss lainnya Defisiensi vitamin D hepatomegali dengan steatosis Penggunaan nukleosida analog yang lama Obesitas Penyakit hati Eksaserbasi hepatitis B (hepatic flares) Jika TDF dihentikan karena toksisitas lainnya pada ko-infeksi hepatitis B Gunakan alternatif obat hepatitis lainnya seperti entecavir Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Toksisitas ARV dan substitusi yang dianjurkan
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi AZT Anemia atau neutropenia berat Anemia atau neutropenia sebelum mulai terapi Jumlah CD4 ≤200 sel/μL (dewasa) Dewasa (sbg lini 2): AZT dosis rendah 2x250 ABC, atau rujuk ke layanan lebih tinggi Anak: ABC atau TDF (TDF jika usia >3 tahun) Intoleransi saluran cerna berat Asidosis laktat atau hepatomegali dengan steatosis Miopati, lipoatrofi atau lipodistrofi IMT > 25 atau BB > 75 kg (dewasa) Penggunaan nukleosida analog yang lama Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Toksisitas ARV dan substitusi yang dianjurkan
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi DTG Gangguan neuropsikiatri Usia tua, penggunaan bersama ABC, perempuan Umumnya ringan dan membaik kemudian Terapi simtomatik Gastrointestinal Hepatotoksisitas Ko-infeksi VHC dan VHB Hipersensitivitas obat Belum diketahui Substitusi dengan EFV (lini 1) atau LPV/r (lini 2) Penambahan berat badan Tidak disubstitusi, tatalaksana gizi dan latihan jasmani Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Toksisitas ARV dan substitusi yang dianjurkan
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi EFV Toksisitas SSP persisten (seperti mimpi buruk, depresi, kebingungan, halusinasi, psikosis) Sudah ada gangguan mental atau depresi sebelumnya Penggunaan siang hari Pertimbangkan penggunaan EFV dosis rendah (400 mg/hari) Jika pasien tidak dapat mentoleransi EFV, gunakan DTG Kejang Riwayat kejang Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver sebelumnya Ko-infeksi VHB dan VHC Penggunaan bersama obat hepatotoksik lain Hipersensitivitas obat Ginekomastia pada pria Faktor risiko tidak diketahui Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Toksisitas ARV dan substitusi yang dianjurkan
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi NVP Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver Substitusi dengan EFV 600 sebelumnya atau EFV 400. Jika tidak dapat juga, Ko-infeksi VHB dan VHC gunakan DTG Penggunaan bersama obat hepatotoksik lain jumlah CD4 baseline tinggi, CD4 >250 sel/μL pada perempuan CD4 >400 sel/μL pada pria Hipersensitivitas Faktor risiko tidak diketahui obat Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Toksisitas ARV dan substitusi yang dianjurkan
ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi LPV/r Diare simtomatik Sindrom metabolik, dislipidemia Tidak diketahui Tatalaksana gizi dan latihan jasmani, simtomatik Lipoatrofi Rujuk EKG abnormal (PR dan QT interval prolongation, torsade de pointes Gangguan konduksi jantung Penggunaan bersama obat yang dapat memperpanjang interval PR lainnya Stop obat lain yang memperpanjang interval PR Pemanjangan interval QT Sindrom pemanjangan interval QT kongenital Hipokalemia Penggunaan bersama obat yang dapat memperpanjang interval QT lainnya Stop obat lain yang memperpanjang interval PR Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati sebelumnya Ko-infeksi VHB dan VHC Penggunaan bersama obat hepatotoksik lainnya Rujuk Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Toksisitas ARV dan substitusi yang dianjurkan
Tentukan beratnya toksisitas Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena (satu atau lebih) obat ARV atau karena obat lainnya Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan saluran empedu (duktus bilier) jika timbul ikterus) Penanganan efek samping bergantung pada beratnya reaksi Prinsip penanganan efek samping ARV
Pemantauan pengobatan ARV perlu dilakukan untuk memastikan keberhasilan pengobatan Keberhasilan pengobatan akan mempengaruhi progresifitas penyakit dan risiko penularan -> mencegah kematian akibat AIDS dan infeksi baru Manfaat pemantauan dengan viral load : sebagai alat ukur menilai bagaimana pemahaman dan motivasi kepatuhan minum obat Hasil pemeriksaan VL HIV bisa digunakan untuk mengkaji risiko kegagalan terapi -> intervensi bisa dilakukan lebih dini. Pemantauan Pengobatan ARV
Standar emas untuk memantau keberhasilan pengobatan ARV adalah pemeriksaan jumlah virus atau viral load RNA HIV (VL). Karena itu pemeriksaan viral load harus dilakukan terhadap semua pasien yang menerima pengobatan ARV. Pemeriksaan viral load dapat digunakan untuk mendeteksi lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pemantauan menggunakan kriteria imunologis dan klinis Keberhasilan pengobatan ditandai dengan tidak terdeteksi virus pada pemeriksaan viral load mengikuti standar nilai cut off setiap mesin pemeriksaan viral load . Pemeriksaan viral load dilakukan pada bulan ke-6, ke-12, dan selanjutnya minimal setiap 1 tahun atau pada kondisi dimana dicurigai adanya gagal terapi Selain itu juga dilakukan pada ibu hamil terinfeksi HIV terutama dalam menentukan cara persalinan Pemantauan Pengobatan ARV
KATEGORI LEVEL VIRAL LOAD Terdapat 3 kategori hasil pemeriksaan viral load : Tidak tersupresi Tersupresi Tidak terdeteksi Viral load pada ODHIV dapat berfluktuasi tergantung pada akses dan kepatuhan pengobatan (The role of hiv viral suppression in improving individual health and reducing transmission, Policy Brief. WHO 2023)
U = U adalah akronim dari undetectable equals untransmittable yang artinya “tidak terdeteksi, tidak menularkan” Artinya ODHIV dengan viral load atau jumlah virus tidak terdeteksi, yakni ≤ 50 copies/ml, tidak berisiko menularkan HIV kepada pasangan seksualnya Beberapa studi, seperti OPPOSITES ATTRACT, PARTNER dan HPTN 052 menunjukkan bukti -> tidak ada penularan ( zero transmission ) pada pasangan serodiscordant yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Konsep U = U
BAGAN ALUR PEMERIKSAAN VL HIV UNTUK PEMANTAUAN PENGOBATAN (PMK 23 Tahun 2022)
4-8 wks Up to 12 years 2-3 years Infection Seroconversion Asymptomatic Symptomatic AIDS Death 2-12 mo Viral load after HIV-1 Infection [without treatment] viral load 2 million copies/mL Time
4-8 wks Up to 12 years 2-3 years Infection Seroconversion Asymptomatic Symptomatic AIDS Death 1000 500 CD4+ Cells/mm3 viral load 200 2-12 mo 2 million copies/mL Viral load after HIV-1 Infection [without treatment] Time
1-12 yrs +1-6 mo Chronic Infection Start treatment 1000 500 CD4+ cells/mm3 viral load (RNA) copies/mL 200 2 million + 1-40+ years !! < 50 copies/mL Viral load <50 copies/mL After HIV treatment (ARVs): effect on CD4 and viral load Time
(The role of hiv viral suppression in improving individual health and reducing transmission, Policy Brief. WHO 2023) MONITORING PENGOBATAN PADA IBU HAMIL HIV + Jika memungkinkan, menggunakan same day POCT ( point of care testing ) VL 🡪 untuk mendapatkan hasil dan pengambilan keputusan klinis yang lebih cepat. Jika tidak memungkinkan, prioritas pemeriksaan VL pada ibu hamil dan ibu menyusui. Konseling kepatuhan selalu diberikan pada semua kunjungan antenatal dan post-natal untuk memastikan hasil VL selalu tersupresi. Pada ibu hamil pemeriksaan VL pada minggu 34-36 atau menjelang masa persalinan 🡪 mengukur risiko penularan dan gagal terapi. Ibu hamil yang memulai ART sebelum kehamilan 🡪 pemeriksaan VL bisa dilakukan pada ANC pertama untuk mengukur risiko penularan Jika memulai terapi selama kehamilan 🡪 periksa 3 bulan setelahnya untuk melihat apakah sudah tersupresi
VL dan pemilihan metode kelahiran Proses persalinan dipilih berdasarkan risiko pada ibu dengan melihat viral load . Bila ODHIV hamil pada usia gestasi (umur kehamilan) 38 minggu, sudah dalam pengobatan ARV teratur minimal selama 6 bulan dan/atau viral load <1000 kopi/ml, dapat dipilih persalinan per vaginam, kecuali ada indikasi obstetri lain. Pada ODHIV hamil pada usia gestasi 38 minggu dalam pengobatan ARV dengan nilai viral load ≥1000 kopi/ml atau yang viral load tidak diketahui dapat dipilih persalinan dengan bedah sesar elektif untuk mengurangi risiko transmisi vertikal. Jika ODHIV belum mendapatkan pengobatanARV menjelang persalinan dipertimbangkan untuk bedah sesar.
PENGGANTIAN REGIMEN ARV ( SWITCH ) Penggantian regimen ARV ( Switch ) ke lini selanjutnya dilakukan jika virus tidak tersupresi dengan pemberian obat ARV atau terjadi kegagalan pengobatan (gagal terapi) dengan syarat pengobatan ARV telah berlangsung selama 6 bulan dan kepatuhan minum obat yang tinggi. Penyebab utama kegagalan pengobatan adalah pasien tidak minum obat dan adanya interaksi obat. Ada 3 kriteria gagal terapi, yaitu gagal terapi secara virologis, gagal terapi secara imunologis, dan gagal terapi secara klinis
Penyebab kegagalan ART NON-ADHERENCE ATAU KETIDAK- PATUHAN PATUHAN Malabsorbsi obat Interaksi obat-obat Resistensi virus
KRITERIA GAGAL TERAPI Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
Regimen ARV lini kedua untuk dewasa dan remaja Sumber : Permenkes 23 tahun 2022
Nevirapine Phasing Out Pada ODHIV Yang Sudah Lama Menggunakan NVP Regimen Saat Ini p ilihan Regimen pengganti Utama p ilihan Regimen pengganti Alternatif TDF(300)+3TC(150)+NV p (200) TDF(300)/3TC(300)/DTG(50) TDF(300)/FTC(200)+NV p (200) ZDV(300)/3TC(150)+NV p (200) ZDV(300)/3TC(150)+DTG(50) ABC(300)+3TC(150)+NV p (200) ABC(300)+3TC(150)+DTG (50)
Profilaksis pasca pajanan adalah pemberian regimen obat ARV dalam waktu 28-30 hari untuk mengurangi kemungkinan infeksi HIV setelah seseorang terpajan saat bekerja (misalnya tertusuk jarum), atau setelah kekerasan seksual. Profilaksis pasca pajanan sebaiknya diberikan pada kejadian pajanan yang berisiko penularan HIV sesegera mungkin dalam waktu 72 jam atau kurang, idealnya 4 jam setelah pajanan Individu yang menerima PPP perlu dipastikan status HIV-nya negatif, sebelum PPP dimulai, dan mendapat informasi keuntungan, kerugian, dan perlu mengonsumsi ARV teratur Profilaksis Pasca Pajanan (PPP)
Sumber : Permenkes 23 tahun 2022 Regimen Antiretroviral Untuk Profilaksis Pasca Pajanan
MULTIMONTH DISPENSING (MMD)
MULTIMONTH DISPENSING (MMD) ▶ Metode MMD me r upakan pemberian ARV untuk beberapa bulan sekaligus ▶ Metode MMD memungkinkan tenaga kesehatan membeíikan obat ARV untuk 3 sampai 6 bulan sekaligus dalam sekali kunjungan pasien ODHIV. ▶ Metode ini memberikan banyak keuntungan baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pasien
Dalam hal ini Kementerian Kesehatan menekankan perlunya pemberian MMD hingga 3 bulan. Pada keadaan khusus dapat diberikan hingga 6 bulan, misalnya pasien yang bertugas ke luar domisili, sekolah ke luar negeri, pelaut, dsb.
MANFAAT MMD MMD Mengurangi beban kerja Tenaga kesehatan mempunyai waktu dan perhatian lebih baik bagi pasien baru, pasien dengan kepatuhan dan retensi rendah Sesuai dengan kebutuhan mereka yang sedang berada jauh dari Fasyankes Berkontribusi dalam mempertahankan kepatuhan dan retensi pasien Keuntungan bagi layanan Keuntungan bagi pasien Manfaat MMD
SYARAT PEMBERIAN MMD Telah mengkonsumsi obat ARV selama 6 bulan atau lebih, dengan kepatuhan yang baik, dan memiliki Viral Load HIV (HIV-RNA) tidak terdeteksi (≤50 copies/ml). Jika tidak ada pemeriksaan VL, pemeriksaan CD4 >200 sel/ml (pada anak 3-5 tahun >350 sel/mm) Tidak ada tanda dan gejala dari infeksi oportunsitik.
GAMBARAN PEMBERIAN MMD Manfaat MMD: Mengurangi pembiayaan pasien dan mengurangi kunjungan pasien Menurunkan resiko dari infeksi lainnya baik bagi petugas maupun pasien dengan berkurangnya jumlah kunjungan ke fasyankes. Meningkatkan retensi ARV oleh pasien, yang akhirnya meningkatkan penekanan virus HIV
Pre-Exposure Prophylaxis / Profilaksis Pra Pajanan (PrEP)
PRE-EXPOSURE PROPHYLAXIS / PROFILAKSIS PRA PAJANAN (PREP) ▶ “ Penggunaan obat antiretroviral (ARV) yang bertujuan agar tidak terinfeksi HIV.” ▶ PrEP diminum selama seseorang berada dalam risiko tinggi terinfeksi HIV. PrEP dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV hingga lebih dari 90%, jika dikonsumsi dengan dosis yang tepat.
PREP DI INDONESIA, MERUPAKAN: ▶ Rekomendasi WHO untuk pencegahan HIV menggunakan obat ARV ▶ PrEP tidak untuk semua orang. Target PrEP adalah kelompok berisiko tinggi tertular HIV. ▶ PrEP diberikan dalam bentuk paket pencegahan yang komprehensif: ▶ Tidak bertujuan untuk menggantikan metoda pencegahan penularan HIV lainnya ▶ Tidak dapat mencegah penularan IMS, pemakaian kondom tetap dianjurkan ▶ PrEP dapat meningkatkan cakupan : ▶ Layanan tes HIV rutin pada kelompok risiko tinggi ▶ Skrining dan pengobatan IMS ▶ Layanan pencegahan HIV termasuk kondom ▶ Layanan kesehatan seksual reproduksi yang terintegrasi ▶ Untuk saat ini, pencatatan dan pelaporan dilakukan dalam aplikasi tersendiri.
SYARAT MENDAPATKAN PREP: Berstatus HIV negatif berdasarkan hasil tes HIV dengan SOP yang berlaku di Indonesia. Warga Negara Indonesia Tidak ada tanda klinis infeksi HIV akut Catatan terkait usia sasaran PrEP: ▶ Kelompok sasaran yang berusia 18 tahun ke bawah harus didampingi oleh pengantar/pendamping untuk mengakses PrEP.
KRITERIA SASARAN PREP Kriteria kelompok populasi risiko yang menjadi sasaran ditawarkan PrEP: Memiliki pasangan seksual lebih dari satu Tidak menggunakan kondom secara konsisten Melakukan hubungan seksual melalui anus (anal sex) tanpa kondom Terdapat riwayat IMS dalam 3 bulan terakhir Pernah menggunakan PrEP Memiliki pasangan HIV positif dengan kondisi berikut (minimal salah satu): Belum menggunakan ARV, Penggunaan ARV yang tidak teratur dalam 6 bulan terakhir, Jumlah viral load belum diketahui, Viral load tidak tersupresi (>1000 kopi/mL) setelah pengobatan ARV minimal selama 6 bulan , Berencana memiliki anak dengan pasangan HIV positif yang viral loadnya masih terdeteksi. Jika salah satu kriteria di atas telah terpenuhi, maka orang tersebut disarankan untuk mengakses program PrEP.
REJIMEN PREP Kombinasi obat ARV yang digunakan dalam program PrEP di Indonesia TDF + 3TC Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF) / Lamivudine (3TC) 300 mg TDF dan 300 mg 3TC TDF + FTC Tenofovir Disoproxil Fumarate (TDF) / Emtricitabine (FTC) 300 mg TDF dan 200 mg FTC
CONTOH KASUS
KASUS 1 Pasien A, usia 27 tahun, laki-laki ingin tes HIV, bukan populasi kunci. Hasil tes menunjukkan R1 non reaktif. Bagaimana follow up nya ? Disimpulkan sebagai hasil tes HIV negatif Mendapatkan KIE terkait paket untuk hasil pemeriksaan HIV negatif
KASUS 2 Pasien B , ada riwayat anal seks dengan lelaki tanpa kondom, datang ingin tes HIV. Seks terakhir minggu lalu. Hasil tes menunjukkan R1 non reaktif. Bagaimana follow up nya ? Disampaikan sebagai hasil tes negatif Disarankan tes ulang karena dalam periode jendela dan merupakan kelompok berisiko ( populasi kunci) Mendapatkan KIE terkait paket untuk hasil pemeriksaan HIV negatif
KASUS 3 Pasien B , ada riwayat anal seks dengan lelaki tanpa kondom, datang ingin tes HIV. Seks terakhir minggu lalu.Hasil tes menunjukkan R1 reaktif dan R2 non reaktif. Bagaimana follow up nya ? Disarankan datang 2 minggu lagi untuk tes HIV kembali .
KASUS 4 Ibu hamil trimester 1 , 27 tahun pada skrining HIV saat ANC ditemukan R1 reaktif. Bagaimana tatalaksana selanjutnya ? Konfirmasi dengan tes HIV