Namun masih ada perdebatan mengenai apakah Homo floresiensis memang betul
spesies yang terpisah. Beberapa ilmuwan meyakini Homo floresiensis adalah Homo sapiens
modern dengan dwarfisme patologis. Hipotesis ini sebagian didukung karena beberapa
manusia modern yang hidup di Flores, pulau di mana skeleton ini ditemukan dengan alat-
alat yang biasanya dimiliki oleh Homo sapiens.
Namun hipotesis dwarfisme patologis gagal menerangkan fitur-fitur anatomi
tambahan yang berbeda dengan manusia modern (berpenyakit atau tidak) tetapi lebih mirip
fitur anggota lampau dari genus kita. Selain dari fitur cranial, fitur-fitur ini meliputi bentuk
tulang di pergelangan tangan, lengan bawah, bahu, lutut, dan kaki (Hassan, Munif S, dkk.
2014).
C.Persebaran
Homo floresiensis (manusia Flores, dijuluki hobbit) adalah nama yang diberikan
oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume
otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu)
dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001.
Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling
tinggi sepinggang manusia modern (sekitar 100 cm).
Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen
menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka
yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di
sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun
yang lalu.
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa
penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah
ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip
gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka.
Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta
tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.