4. Peran Kerajaan Banjar dan Kerajaan.docx

samhudi9 15 views 24 slides Jan 11, 2025
Slide 1
Slide 1 of 24
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24

About This Presentation

tolong buat slide ppt sebanyak 12 slide


Slide Content

1
Peran Kerajaan Banjar dan Kerajaan Bagian Timur Nusantara dalam
Sejarah Perkembangan Islam dan Budaya di Indonesia
A.Pendahuluan
Sejarah Indonesia tidak lepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan yang pernah
ada di berbagai wilayah Nusantara. Setiap kerajaan membawa kontribusi yang
signifikan dalam perkembangan budaya, agama, politik, dan ekonomi. Di antara
kerajaan-kerajaan tersebut terdapat kerajaan Banjar di Kalimantan dan kerajaan-
kerajaan di bagian timur Nusantara lainnya yang memainkan peran penting dalam
membentuk identitas bangsa Indonesia yang kaya dan beragam. Kerajaan-kerajaan
ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga menjadi titik pertemuan
budaya dan agama yang berkembang pesat ke seluruh pelosok nusantara.
Kerajaan Banjar yang berpusat di Kalimantan Selatan, dikenal sebagai
salah satu kerajaan Islam yang berpengaruh pada abad ke-16 hingga abad ke-19
masehi. Peran Kerajaan Banjar tidak hanya terbatas pada penyebaran agama
Islam, tetapi juga dalam perdagangan rempah-rempah yang menjadi tulang
punggung ekonomi kerajaan pada saat itu.
1
Hubungan diplomatik dan
perdagangan yang dijalin dengan kerajaan-kerajaan lain, baik di dalam maupun
luar Nusantara menjadikan Banjar sebagai salah satu kekuatan regional yang
diperhitungkan. Disamping itu juga kerajaan Banjar berkontribusi dalam
pelestarian seni dan tradisi lokal seperti seni ukir, seni tari, dan adat istiadat yang
hingga kini masih terjaga dan masih dapat ditemukan khususnya di wilayah timur
Indonesia.
Sementara itu, kerajaan-kerajaan di bagian timur Nusantara, seperti
Kerajaan Ternate, Tidore, dan Kerajaan Gowa Tallo, juga memainkan peran vital
dalam membentuk jaringan perdagangan global dan penyebaran agama Islam di
kawasan tersebut. Sebagai produsen utama rempah-rempah seperti cengkeh dan
pala, kerajaan-kerajaan ini menarik perhatian pedagang dari berbagai belahan
1
Alfrida Dyah Miranti dan Lutfiah Ayundasari, “Kesultanan Banjar: Peranan dalam
persebaran Islam di Kalimantan (abad XVI M - XIX M),” Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif
Ilmu-Ilmu Sosial 1, no. 2 (28 Februari 2021): 227–37, https://doi.org/10.17977/um063v1i2p227-
237. h. 232

2
dunia, termasuk Arab, Cina, dan Eropa. Selain itu, interaksi budaya yang intens di
kawasan ini melahirkan tradisi dan nilai-nilai yang khas, seperti seni musik
tradisional dan sistem pemerintahan lokal yang berbasis pada nilai-nilai adat
masyarakat setempat.
Kerajaan Banjar dan kerajaan-kerajaan di bagian timur Nusantara tidak
hanya penting dalam konteks sejarah lokal tetapi juga dalam kaitannya dengan
sejarah global. Kehadiran mereka sebagai pusat perdagangan internasional
menunjukkan bahwa nusantara telah lama menjadi bagian dari jaringan ekonomi
dan budaya dunia. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat nusantara memiliki
kemampuan adaptasi dan inovasi yang tinggi dalam menghadapi perubahan global
pada saat itu.
Selain aspek perdagangan, peran budaya dari kedua wilayah ini juga
terlihat dalam pembentukan identitas nasional. Kerajaan Banjar dengan seni
tradisionalnya, seperti wayang Banjar dan syair-syair keislaman telah
memperkaya khazanah budaya Indonesia. Demikian pula tradisi lisan dan seni
dari wilayah timur, seperti musik sasando dari Rote dan tari Cakalele dari
Maluku.
2
Hal ini telah memberikan kontribusi besar terhadap keberagaman seni
budaya Indonesia.
Di sisi lain perkembangan agama Islam di Nusantara tidak terlepas dari
peran kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah tersebut. Mereka menjadi pelopor
dalam penyebaran Islam melalui pendekatan budaya dan Pendidikan Islam di
wilayah timur Indonesia. Kerajaan Banjar misalnya, mendirikan banyak pusat
pendidikan Islam tradisional yang menjadi cikal bakal pesantren-pesantren
modern yang berkembang pesat saat ini. Kerajaan-kerajaan lain di bagian timur
juga memainkan peran serupa dengan menjadikan agama sebagai bagian integral
dari kehidupan sosial dan politik.
3
Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran penting kerajaan Banjar
yang terletak di pulau Kalimantan serta kerajaan-kerajaan lain di wilayah timur
2
Yusliani Noor, “Sejarah Perkembangan Islam di Banjarmasin dan Peran Kesultanan
Banjar (Abad XV-XIX),” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Keislaman Vol. 11, No. 2 (Juli
2012): 239–263. h. 252
3
Kamrani Buseri, “Kesultanan Banjar dan Kepentingan Dakwah Islam,” Al-Banjari:
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Keislaman 11, no. 2 (Juli 2012): 221–230. h. 228

3
nusantara dalam membentuk identitas budaya nusantara yang pluralistik sekaligus
harmonis sesuai dengan ajaran Islam. Melalui kajian ini, kita juga akan dapat
memahami bagaimana Kerajaan Banjar dan kerajaan-kerajaan di bagian timur
Nusantara berkontribusi terhadap sejarah dan perkembangan budaya Indonesia.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah ini, diharapkan kita
sebagai penerus dapat lebih menghargai warisan budaya yang telah ditinggalkan
dan menjadikannya sebagai inspirasi dalam menghadapi tantangan masa kini dan
mendatang sekaligus kepekaan dalam menjaga warisan budaya dari para
pendahulu nusantara.
B.Sejarah dan Peran Kerajaan Banjar dalam Perkembangan Islam di
Indonesia
1.Sejarah Kerajaan Banjar
Kesultanan Banjar tidak terlepas dari sejarah kerajaan-kerajaan
sebelumnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, baik yang bercorak
Hindu maupun yang berasal dari masyarakat Dayak. Salah satu kerajaan Hindu
yang berpengaruh di wilayah ini adalah Kerajaan Negara Daha (1437-1526) yang
merupakan penerus dari Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Negara Dipa.
4
Pada akhir abad ke-15, Kerajaan Negara Daha dipimpin oleh Maharaja
Sukarama, yang memiliki tiga orang putra dan satu orang putri. Putrinya bernama
Galuh Intan Sari, yang menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit dan
melahirkan seorang anak bernama Pangeran Samudera. Maharaja Sukarama
menunjuk Pangeran Samudera sebagai pewaris takhtanya, karena ia menganggap
putra-putranya tidak layak memimpin.
Keputusan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan putra-putra
Maharaja Sukarama, terutama Pangeran Tumenggung, yang merasa berhak atas
takhta kerajaan. Setelah Maharaja Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung
berhasil membunuh kakaknya, Pangeran Mangkubumi, dan merebut kekuasaan
dari Kerajaan Negara Daha. Pangeran Samudera yang merasa terancam
4
Ita Syamtasiyah Ahyat, “Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin,” Jurnal
Lektur Keagamaan 2, no. 2 (2012): 233–248. h. 237

4
keselamatannya memilih untuk meninggalkan istana dan pergi ke daerah Banjar,
yang merupakan salah satu wilayah bawahan Negara Daha.
Di Banjar, Pangeran Samudera disambut oleh Patih Masih, pemimpin
setempat yang tidak mau lagi tunduk kepada Negara Daha. Patih Masih meminta
Pangeran Samudera untuk memerdekakan Banjar dari pengaruh Negara Daha dan
mendirikan kerajaannya sendiri. Pangeran Samudera menyetujui permintaan Patih
Masih dan mulai membangun benteng pertahanannya di daerah Kuin atau yang
lebih dikenal diseputaran sungai Kuin. Patih Masih berjasa besar dalam proses
perjuangan hingga terbentuknya Kerajaan Banjar serta pentahbisan atau
pendeklarasian Pangeran Samudera atau yang kemudian dikenal dengan gelar
Sultan Suriansyah sebagai Raja Banjar pertama di Banjarmasih.
2.Proses Islamisasi dan Perkembangan Kesultanan Banjar
Pada tahun 1520, Pangeran Samudera mendapat kunjungan dari utusan
Kesultanan Demak dari Jawa, yang datang untuk menyebarkan agama Islam.
Utusan tersebut bernama Syekh Abdullah atau Sunan Gunung Jati, yang
merupakan salah satu dari Wali Songo. Syekh Abdullah berhasil mengislamkan
Pangeran Samudera dan memberinya gelar Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah kemudian berusaha mengislamkan rakyatnya dengan
bantuan Syekh Abdullah dan para ulama lainnya. Ia juga mengubah nama
kerajaannya menjadi Kesultanan Banjar Darul Ihsan.
5
Sultan Suriansyah
memindahkan ibu kota kerajaannya beberapa kali, antara lain ke Pemakuan,
Batang Mangapan, Batang Banyu, dan Martapura Lama.
Pada masa kejayaannya, kerajaan Banjar memiliki pengaruh yang luas di
Kalimantan dan sekitarnya. Kerajaan Banjar dikenal sebagai pusat perdagangan
penting yang menghubungkan Indonesia dengan dunia luar, terutama dunia Islam.
Pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526–1550 M), keraaan Banjar mulai
5
Abdul Wahab Syakhrani dan Ahmad Rangga Islami, “Islam di Tanah Banjar,” Cross-
border 5, no. 1 (Juni 2022): 792–802. h. 795

5
menunjukkan eksistensinya sebagai kerajaan besar di Nusantara, yang menguasai
jalur perdagangan penting di Selat Makassar dan Laut Jawa.
6
Sultan Suriansyah meninggal pada tahun 1550 dan digantikan oleh
putranya, Sultan Rahmatullah. Sultan Rahmatullah melanjutkan usaha ayahnya
dalam mengembangkan agama Islam di wilayahnya. Ia juga memperluas wilayah
kekuasaannya hingga ke daerah Hulu Sungai, Tanah Laut, Pulau Laut, dan
sebagian Kalimantan Tengah.
Sultan Rahmatullah meninggal pada tahun 1570 dan digantikan oleh
putranya, Sultan Hidayatullah. Sultan Hidayatullah memindahkan ibu kotanya ke
Sungai Pangeran di Banjarmasin. Ia juga mempererat hubungan dengan
Kesultanan Mataram di Jawa, yang saat itu dipimpin oleh Panembahan Senopati.
Sultan Hidayatullah menikahkan putrinya, Putri Junjung Buih, dengan
Panembahan Senopati dan memberinya gelar Ratu Mas Jolang.
Sultan Hidayatullah meninggal pada tahun 1595 dan digantikan oleh
putranya, Sultan Mustain Billah. Sultan Mustain Billah memindahkan ibu kotanya
ke Kayu Tangi, yang kemudian dikenal sebagai Martapura. Ia juga memperkuat
pertahanan kerajaannya dengan membangun benteng-benteng di sepanjang
sungai. Sultan Mustain Billah meninggal pada tahun 1642 dan digantikan oleh
putranya, Sultan Agung.
Sultan Agung adalah sultan yang paling lama memerintah Kesultanan
Banjar, yaitu selama 50 tahun.
7
Ia berhasil membawa kerajaannya ke puncak
kejayaan, baik dari segi politik, ekonomi, maupun budaya. Ia juga dikenal sebagai
sultan yang bijaksana, adil, dan religius. Ia memperbaiki sistem pemerintahan,
mengatur hukum syariah, membangun masjid-masjid, dan mendukung
pengembangan ilmu pengetahuan dan kesenian.
Sultan Agung juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain
di Nusantara maupun di luar negeri. Ia menjalin persekutuan dengan Kesultanan
Mataram melawan Belanda yang mulai masuk ke Indonesia. Ia juga menjalin
6
Sahriansyah, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar, 1 ed. (Banjarmasin: IAIN
Antasari Press, 2015). h. 5
7
Ita Syamtasiyah Ahyat, “Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin,” Jurnal
Lektur Keagamaan 2, no. 2 (2012): 233–248. h. 244

6
perdagangan dengan negara-negara seperti Aceh, Johor, Siam, Cina, India, Persia,
Turki, dan Portugal.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1692 dan digantikan oleh putranya,
Sultan Inayatullah. Sultan Inayatullah adalah sultan yang lemah dan tidak mampu
mengendalikan kerajaannya dengan baik. Ia menghadapi banyak pemberontakan
dari rakyatnya yang tidak puas dengan pemerintahannya. Ia juga menghadapi
ancaman dari Belanda yang semakin agresif dalam menguasai wilayah-wilayah di
Indonesia.
3.Kemunduran dan Pembubaran Kesultanan Banjar
Pada tahun 1700, Belanda berhasil menduduki Banjarmasin dan
mendirikan bentengnya di sana. Belanda kemudian menekan Sultan Inayatullah
untuk menandatangani perjanjian yang merugikan Kesultanan Banjar. Perjanjian
tersebut antara lain mengharuskan Sultan Inayatullah untuk membayar upeti
kepada Belanda, menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Belanda, dan
memberikan hak monopoli perdagangan kepada Belanda.
Sultan Inayatullah menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut dan
melarikan diri ke Martapura. Ia kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan
Tamjidillah I, yang bersedia bekerja sama dengan Belanda. Namun, kerjasama ini
tidak berlangsung lama karena Sultan Tamjidillah I juga merasa tertekan oleh
tuntutan-tuntutan Belanda.
Pada tahun 1714, terjadi pemberontakan besar-besaran dari rakyat Banjar
yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Pemberontakan ini bertujuan untuk
mengusir Belanda dari wilayah Banjar dan mengembalikan kedaulatan Kesultanan
Banjar. Pemberontakan ini berlangsung selama beberapa tahun dan melibatkan
banyak tokoh-tokoh dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa.
Pemberontakan ini sempat mengancam keberadaan Belanda di Banjar, namun
akhirnya dapat dipadamkan oleh Belanda dengan bantuan dari beberapa pihak

7
yang bersekutu dengan mereka. Pangeran Antasari gugur dalam pertempuran pada
tahun 1862 dan dimakamkan di Amuntai.
8
Sepeninggal Pangeran Antasari, Belanda semakin memperketat kendalinya
atas wilayah Banjar. Belanda mengangkat Sultan Muhammad Seman sebagai
pemimpin boneka yang taat kepada mereka. Sultan Muhammad Seman tidak
memiliki kekuasaan nyata dan hanya berfungsi sebagai simbol bagi rakyat Banjar.
Pada tahun 1860, Belanda secara sepihak menghapuskan Kesultanan Banjar dan
menjadikannya sebagai bagian dari Hindia Belanda. Sultan Muhammad Seman
ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Ia meninggal di sana pada tahun
1905. Dengan demikian, berakhirlah sejarah Kesultanan Banjar sebagai sebuah
kerajaan yang berdaulat.
Namun, rakyat Banjar tidak serta-merta menyerah kepada Belanda.
Mereka tetap melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik secara terbuka
maupun diam-diam. Mereka juga tetap mengakui adanya pemerintahan darurat
yang dipimpin oleh keturunan Sultan Muhammad Seman. Pemerintahan darurat
ini berusaha mempertahankan identitas dan budaya Banjar dari pengaruh asing.
Pada tahun 1942, Jepang menggantikan Belanda sebagai penjajah baru di
Indonesia, termasuk di Banjar. Jepang juga menekan rakyat Banjar dengan
kebijakan-kebijakan yang sewenang-wenang dan kejam. Rakyat Banjar kembali
melakukan perlawanan terhadap Jepang dengan bergabung dengan gerakan-
gerakan nasionalis yang menuntut kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya
dari penjajahan asing. Rakyat Banjar mendukung penuh proklamasi tersebut dan
berjuang bersama-sama dengan rakyat Indonesia lainnya untuk mempertahankan
kemerdekaan dari serangan-serangan Belanda yang ingin kembali menguasai
Indonesia. Rakyat Banjar juga berpartisipasi dalam pembentukan negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada tahun 1957, wilayah Banjar menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan
Selatan yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Rakyat Banjar tetap
8
Wahyuddin dkk, Perang Banjar - Peran Islam dalam Pembebasan Tanah Banjar, 1 ed.
(Banjarmasin: Antasari Press, 2007). h. 16

8
menjaga identitas dan budaya mereka sebagai bagian dari kekayaan dan
kebhinekaan bangsa Indonesia. Rakyat Banjar juga tetap menghormati sejarah dan
tradisi Kesultanan Banjar sebagai warisan leluhur mereka.
4.Peran Kerajaan Banjar dalam Perdagangan dan Penyebaran Agama
Islam
Kerajaan Banjar yang berdiri di Kalimantan Selatan sejak abad ke-16,
merupakan salah satu kerajaan penting dalam sejarah Nusantara. Peran
strategisnya dalam perdagangan, kebudayaan, dan penyebaran agama Islam tidak
hanya berdampak lokal tetapi juga meluas hingga ke berbagai wilayah di Asia
Tenggara.
Banjar memainkan peran penting dalam jalur perdagangan internasional, dengan
menghubungkan pedagang dari luar negeri, seperti dari Arab, Cina, dan Eropa,
dengan masyarakat lokal.
9
Melalui pelabuhan-pelabuhan penting di wilayah
tersebut, seperti Pelabuhan Banjarmasin, Banjar ini menjadi tempat pertemuan
budaya yang sangat beragam.
Letak geografis Kerajaan Banjar yang strategis di pesisir Kalimantan
Selatan menjadikannya salah satu pusat perdagangan utama di Nusantara. Sungai
Barito sebagai jalur transportasi utama memungkinkan interaksi antara pedagang
lokal dan internasional. Hasil bumi seperti lada, emas, dan kayu ulin merupakan
komoditas utama yang diperdagangkan. Kerajaan Banjar menjadi penghubung
antara pedagang dari Jawa, Malaka, Tiongkok, dan Arab.
Sultan Suriansyah, raja pertama Kerajaan Banjar, memahami pentingnya
perdagangan dalam memperkuat ekonomi kerajaan. Ia mendukung aktivitas
perdagangan dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pedagang.
Selain itu, hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain seperti Kesultanan
Demak turut membantu memperluas jaringan perdagangan Banjar. Dalam
9
Berkat Immanuel Salempa dan Seniwati Seniwati, “Diplomasi Maritim ‘Rempah’ di
Nusantara: Perjalanan dari Maluku Sampai ke Pelabuhan Malaka,” Journal of Creative Student
Research 2, no. 6 (2 Desember 2024): 71–84, https://doi.org/10.55606/jcsr-politama.v2i6.4571. h.
82

9
beberapa catatan sejarah, Kerajaan Banjar bahkan disebut sebagai salah satu
pemasok utama rempah-rempah dan hasil hutan untuk pasar global dunia.
Aktivitas perdagangan ini juga berdampak pada dinamika sosial di
Kerajaan Banjar. Interaksi dengan pedagang asing membawa pengaruh budaya
baru, teknologi, dan inovasi dalam sistem perdagangan. Misalnya, penggunaan
alat timbang modern serta pengenalan sistem pembukuan yang lebih terstruktur
sehingga sistem perdagangan menjadi lebih modern saat itu.
Kerajaan Banjar juga menjadi pusat pendidikan Islam di Kalimantan
dengan mendirikan pesantren dan mendatangkan ulama-ulama dari Jawa, Aceh,
dan Arab. Perdagangan yang intensif dengan dunia Islam turut membawa masuk
buku-buku keagamaan dan mendorong perkembangan intelektual di kalangan
masyarakat Banjar. Selain itu, hukum syariat Islam diterapkan dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat, termasuk sistem pemerintahan dan hukum adat.
Pengaruh Kerajaan Banjar tidak terbatas pada wilayah Kalimantan Selatan.
Melalui perdagangan dan dakwah, nilai-nilai Islam dan budaya Banjar menyebar
juga ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Filipina Selatan dan Brunei
Darussalam.
10
Dalam beberapa dokumen sejarah, disebutkan bahwa Kerajaan
Banjar menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Brunei dan Mindanao yang
memperkuat pengaruh Islam di kawasan tersebut.
5.Warisan Budaya dari Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar telah meninggalkan warisan budaya yang signifikan
dan masih dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat hingga
saat ini. Warisan tersebut mencakup bahasa Banjar, yang berfungsi sebagai
medium identitas dan komunikasi budaya lokal. Bahasa Banjar adalah bahasa
yang digunakan oleh rakyat Banjar sebagai bahasa ibu mereka. Bahasa ini
merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang memiliki banyak penutur
dan variasi dialek. Bahasa ini juga dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain seperti
Melayu, Jawa, Arab, Sanskerta, dan Belanda.
10
Kamrani Buseri, “Kesultanan Banjar dan Kepentingan Dakwah Islam,” Al-Banjari:
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Keislaman 11, no. 2 (Juli 2012): 221–230. h. 227

10
Selain itu, warisan budaya juga dapat ditemukan dalam aspek adat istiadat,
yang merefleksikan nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat Banjar.
11
Tradisi ini
tercermin dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, kelahiran, dan
kematian, yang dijalankan dengan penuh penghormatan terhadap leluhur. Selain
itu, adat istiadat ini juga menjadi sarana untuk memperkuat hubungan
antaranggota masyarakat serta menjaga harmoni sosial. Dengan demikian,
warisan budaya masyarakat Banjar tidak hanya berfungsi sebagai identitas, tetapi
juga sebagai perekat yang menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan
yang akan datang.
Dalam bidang seni dan sastra, warisan budaya Kerajaan Banjar kaya akan
estetika dan nilai historis. Seni tari Banjar, seperti Tari Bakar dan Tari Hudoq,
menggambarkan cerita-cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun dan
sering kali diiringi oleh musik tradisional yang khas. Selain itu, sastra Banjar
mencakup berbagai puisi dan cerita epik yang mencerminkan kehidupan
masyarakat pada masa itu serta nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi. Keahlian
dalam anyaman, ukiran kayu, dan pembuatan peralatan tradisional juga
menunjukkan tingkat keterampilan tinggi dan kreativitas para seniman Banjar.
Festival budaya yang rutin diadakan, seperti Festival Banjar dan Pasola, tidak
hanya melestarikan tradisi tetapi juga menarik minat wisatawan, sehingga
memperkuat identitas budaya sekaligus mendorong perkembangan ekonomi
lokal. Semua elemen ini tidak hanya berkontribusi pada identitas budaya Banjar,
tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus
melestarikan dan mengembangkan warisan budaya mereka.
Selain itu, jejak warisan Kesultanan Banjar juga tampak dalam arsitektur
tradisional, seperti rumah Bubungan Tinggi yang mencerminkan keunggulan seni
bina lokal, serta busana dan perhiasan tradisional, yang menjadi simbol status
sosial dan estetika. Rumah Bubungan Tinggi, dengan desain atap bertingkatnya,
tidak hanya menjadi ciri khas budaya Banjar, tetapi juga mencerminkan nilai-
nilai keagamaan dan sosial yang dipertahankan turun-temurun. Busana tradisional
11
Wardhatun Nadhiroh, “Nalar Keberagaman Masyarakat Banjar: Dari Mistis-Relialis
Hingga Tradisional-Kritis,” Al-Banjari
 : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman
18, no. 2 (28
Desember 2019): 246–273, https://doi.org/10.18592/al-banjari.v18i2.3003. h. 254

11
Banjar, seperti kebaya dan pakaian adat, serta perhiasan emas yang dipakai oleh
masyarakat, menggambarkan identitas budaya yang kental dan menunjukkan
pengaruh kuat dari Kesultanan Banjar terhadap kehidupan sehari-hari
masyarakatnya. Kehadiran elemen-elemen ini juga menjadi bukti adaptasi budaya
lokal terhadap perubahan zaman, di mana warisan Kesultanan Banjar tetap hidup
dan berkembang dalam bentuk-bentuk estetika yang dihargai.
Warisan budaya lain juga dapat dilihat dalam bidang arsitektur dan seni
bina. Arsitektur dan seni bina yang menunjukkan kecanggihan dan keunikan
rancangan bangunan-bangunan rakyat Banjar, seperti rumah-rumah, masjid-
masjid, istana-istana, benteng-benteng, dan lain-lain. Bangunan-bangunan ini
tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal, tetapi juga berfungsi sebagai
simbol identitas dan kekuatan sosial pada masa itu. Arsitektur dan seni bina ini
juga dipengaruhi oleh arsitektur dan seni bina dari daerah-daerah lain seperti
Jawa, Melayu, Cina, dan Eropa, yang menciptakan perpaduan gaya yang unik dan
melambangkan interaksi budaya yang dinamis sepanjang sejarah.
12
Selain itu,
desain-desain ini sering mengandung nilai-nilai simbolik yang menggambarkan
keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Dalam kaitan dengan pakaian dan perhiasan, rakyat Banjar memiliki
warisan buadaya pakaian dan perhiasan yang menampilkan keindahan dan
keanggunan busana rakyat Banjar, seperti baju kurung, baju kebaya, baju
kampung, baju melayu, kain sasirangan, kain songket, kain batik, tudung saji,
tanggui, gelang kana, anting-anting, cincin, dan lain-lain. Pakaian dan perhiasan
ini juga dipengaruhi oleh pakaian dan perhiasan dari daerah-daerah lain seperti
Jawa, Melayu, Cina, India, dan Arab.
C.Kerajaan-Kerajaan di Bagian Timur Nusantara
Selain Kerajaan Banjar, ada banyak kerajaan penting lainnya di bagian
timur Nusantara, seperti Kerajaan Ternate, Tidore, dan Buton. Kerajaan-kerajaan
ini memainkan peranan penting dalam pembentukan identitas budaya,
12
Wajidi. Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimatan Selatan dan Makna
Simbolisnya. Jurnal Kebijakan Pembangunan. Vol. 2. No. 12 (Desember 2017)
https://jkpjournal.com/index.php/menu/article/view/105. h. 158.

12
perdagangan, dan interaksi internasional Nusantara dengan dunia luar. Kerajaan-
kerajaan di timur Nusantara, khususnya Ternate dan Tidore, dikenal sebagai pusat
perdagangan rempah-rempah, yang memiliki hubungan kuat dengan kekuatan
kolonial Eropa seperti Portugis dan Belanda pada abad ke-16 dan 17. Hubungan
ini turut memperkaya budaya lokal dengan masuknya pengaruh luar, seperti
agama, seni, dan teknologi. Sementara itu, Kerajaan Buton dikenal dengan sistem
pemerintahan yang khas dan menjadi model bagi beberapa kerajaan di wilayah
tersebut dalam hal administrasi dan budaya. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan ini
tidak hanya memainkan peran dalam aspek politik dan ekonomi, tetapi juga
berkontribusi pada pembentukan kekayaan budaya yang kini menjadi bagian dari
warisan sejarah bangsa Indonesia.
1.Kerajaan Ternate dan Tidore
Kerajaan Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan yang terletak di
Kepulauan Maluku, Indonesia. Kedua kerajaan ini memiliki peran yang sangat
penting dalam sejarah perdagangan rempah-rempah dan politik di Asia Tenggara
pada abad pertengahan hingga awal modern.
13
Meskipun mereka terletak
berdekatan, Ternate dan Tidore memiliki ciri khas masing-masing dalam hal
kebudayaan, politik, dan hubungan internasional.
Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan yang memiliki peran
penting dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam hal perdagangan rempah-
rempah dan interaksi dengan dunia luar. Meskipun keduanya terletak berdekatan
dan sering kali bersaing, mereka juga memiliki kerjasama yang menguntungkan
dalam beberapa periode sejarah, seperti ketika mereka menghadapi ancaman dari
kekuatan asing. Selain itu, kedua kerajaan ini memainkan peran kunci dalam jalur
perdagangan internasional, menghubungkan Indonesia dengan wilayah-wilayah
seperti India, Cina, dan Timur Tengah. Pengaruh kedua kerajaan ini tidak hanya
terasa di wilayah Maluku, tetapi juga dalam sejarah politik dan ekonomi dunia,
terutama pada masa penjajahan Eropa, di mana Ternate dan Tidore menjadi pusat
13
Herman, Bahaking Rama, Syamsuddin. Perkembangan Pendidikan Islam Masa Awal
Di Maluku. JUPENJI: Jurnal Pendidikan Jompa Indonesia. Vol. 3. No. 2 Mei 2024 e-ISSN: 2830-
1080 p-ISSN: 2830-1072 https://jurnal.jomparnd.com/index.php/jupenji. h.74

13
pertemuan antara kekuatan Eropa dan kerajaan-kerajaan lokal. Dalam konteks ini,
peran strategis rempah-rempah seperti cengkeh dan pala yang dihasilkan oleh
kedua kerajaan tersebut turut menjadi alasan utama untuk eksploitasi kolonial oleh
bangsa-bangsa Eropa. Hal ini tercermin dalam catatan sejarah yang
menggambarkan ketegangan dan kerjasama antara kerajaan-kerajaan ini dengan
Belanda, Portugis, dan Spanyol.
Kerajaan Ternate dan Tidore terkenal karena keterlibatannya dalam
perdagangan internasional, terutama dalam perdagangan rempah-rempah yang
bernilai tinggi seperti cengkeh, pala, dan lada. Kedua kerajaan ini juga terkenal
dengan interaksi mereka dengan bangsa Eropa, termasuk Portugis, Belanda, dan
Spanyol, yang datang untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di
kawasan ini.
Pada masa kejayaannya, Ternate dan Tidore menjadi pusat penyebaran
agama Islam di kawasan Maluku dan Indonesia timur. Sultan Ternate, seperti
Sultan Baabullah (1570-1583), sangat berperan dalam memperkuat pengaruh
Islam di wilayah tersebut dan juga dalam melawan kolonialisasi asing yang
mencoba menguasai perdagangan rempah. Sultan Baabullah dikenal tidak hanya
sebagai pemimpin yang berhasil mempertahankan kekuasaan lokal, tetapi juga
sebagai figur yang menyebarkan ajaran Islam ke seluruh Maluku,
memperkenalkan sistem pemerintahan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam,
dan menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan lainnya di dunia Islam,
seperti Kesultanan Aceh dan Demak. Selain itu, peran Sultan Baabullah dalam
menanggulangi ekspansi Portugis di kawasan tersebut menunjukkan bagaimana
Islam tidak hanya menjadi agama, tetapi juga alat strategis dalam
mempertahankan kedaulatan politik dan ekonomi daerah. Melalui kekuatan politik
dan militer yang dimilikinya, Sultan Baabullah berhasil memperkuat posisi
Ternate sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan dunia
Timur dan Barat.
a.Sejarah dan Peran Kerajaan Ternate

14
Kerajaan Ternate berdiri pada awal abad ke-13 Masehi yakni sekitar tahun
1257 Masehi. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang sangat besar di wilayah
Maluku. Ternate dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah, khususnya
cengkeh, yang sangat berharga pada masa itu. Ternate juga memiliki hubungan
yang erat dengan berbagai kerajaan besar di Asia, seperti kerajaan Majapahit dan
kerajaan-kerajaan di Arab, Cina, serta Eropa, yang tertarik dengan komoditas
rempah dari wilayah ini.
Selain itu juga, kerajaan Ternate sering terlibat dalam berbagai konflik
politik, baik dengan kerajaan-kerajaan lokal lainnya maupun dengan kekuatan
asing. Salah satu momen penting dalam sejarah Ternate adalah ketika kerajaan
Ternate bersekutu dengan Portugis pada abad ke-16 Masehi. Namun, hubungan
ini tidak berlangsung lama karena ketegangan yang muncul yang pada akhirnya
mengarah pada aliansi dengan Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya Ternate
tetap menjadi salah satu kerajaan yang berpengaruh meskipun menghadapi
tekanan dari kolonialisme Eropa.
b.Sejarah dan Peran Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore juga terletak di Kepulauan Maluku dan memiliki sejarah
yang hampir sejajar dengan Ternate. Berdiri sekitar abad ke-12 Masehi, Tidore
menjadi rival utama Ternate dalam hal pengaruh dan kontrol atas perdagangan
rempah. Tidore memiliki hubungan dekat dengan kerajaan-kerajaan Islam di Asia
Tenggara, dan bahkan sempat bersekutu dengan Spanyol pada abad ke-16 Masehi
untuk melawan Portugis yang menguasai Ternate.
Kekayaan rempah-rempah, terutama pala dan cengkeh, menjadikan Tidore
sebagai salah satu pusat perdagangan yang diperhitungkan. Selain itu, Tidore
memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan Kesultanan Gowa dan kerajaan-
kerajaan di Papua, menunjukkan pengaruh lintas budaya dan wilayah yang kuat.
Penyebaran Islam oleh para sultan Tidore turut membentuk identitas keagamaan
di wilayah timur Nusantara
Konflik antara Ternate dan Tidore sering kali terjadi, terutama mengenai
perebutan kekuasaan atas wilayah rempah. Namun, kedua kerajaan ini memiliki

15
hubungan diplomatik yang lebih sering saling menguntungkan daripada
merugikan. Sebagai contoh, Tidore dan Ternate sempat berdamai dan menjalin
aliansi yang saling menguntungkan dalam perdagangan dan pertahanan melawan
ancaman eksternal, termasuk ancaman dari penjajahan Eropa.
c.Pengaruh Eropa di Ternate dan Tidore
Kedatangan bangsa Eropa di Maluku, khususnya di Ternate dan Tidore,
memiliki dampak besar terhadap sejarah, budaya, dan politik kawasan tersebut.
Kedua pulau ini, yang dikenal sebagai "Kepulauan Rempah-Rempah," telah lama
menjadi pusat perdagangan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Keberadaan
rempah-rempah yang sangat bernilai tinggi di pasar internasional menjadi magnet
bagi bangsa Eropa untuk datang dan memperebutkan kendali atas wilayah ini.
Pada awal abad ke-16, bangsa Portugis menjadi penjelajah Eropa pertama
yang tiba di Maluku. Mereka tiba di Ternate pada tahun 1512 Masehi dengan
tujuan utama untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Kedatangan
Portugis kemudian disusul oleh bangsa Spanyol, Belanda, dan Inggris, yang
masing-masing memiliki ambisi serupa untuk menguasai sumber daya alam di
kawasan ini. Persaingan antara kekuatan Eropa tidak hanya melibatkan konflik
antarbangsa, tetapi juga interaksi dan manipulasi terhadap kerajaan lokal.
Salah satu pengaruh terbesar Eropa di Ternate dan Tidore adalah dalam
bidang politik. Portugis, misalnya, membangun benteng di Ternate sebagai
markas mereka, yang kemudian menjadi simbol dominasi mereka atas wilayah
tersebut. Namun, tindakan Portugis yang dianggap arogan dan cenderung
mengabaikan adat istiadat lokal menimbulkan ketegangan dengan masyarakat
Ternate. Akhirnya, pada tahun 1575 Masehi, Portugis diusir oleh Sultan
Baabullah, penguasa Ternate.
Bangsa Belanda, yang tiba pada awal abad ke-17, berhasil memanfaatkan
persaingan antara Ternate dan Tidore. Mereka mendukung Sultan Ternate dalam
konflik melawan Tidore, yang memiliki hubungan lebih dekat dengan Spanyol.
Strategi "divide et impera" (memecah dan menguasai) yang diterapkan Belanda
berhasil melemahkan kekuatan kedua kerajaan. Belanda kemudian mendirikan

16
monopoli perdagangan rempah-rempah melalui Perusahaan Hindia Timur
Belanda (VOC), yang semakin memperkuat cengkeraman mereka di wilayah ini.
Pengaruh ekonomi Eropa di Ternate dan Tidore sangat signifikan.
Sebelum kedatangan Eropa, perdagangan rempah-rempah dilakukan secara bebas
oleh pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Arab, India, dan Cina.
Namun, setelah bangsa Eropa tiba, mereka berusaha memonopoli perdagangan
tersebut. Hal ini mengakibatkan penurunan kebebasan ekonomi bagi masyarakat
lokal. Para petani rempah sering kali dipaksa menjual hasil panennya kepada
VOC dengan harga yang sangat rendah, sementara rempah-rempah dijual dengan
harga tinggi di pasar internasional.
Monopoli ini juga membawa dampak negatif terhadap kesejahteraan
masyarakat lokal. Ketergantungan pada sistem ekonomi yang dikontrol oleh
bangsa asing menyebabkan hilangnya kemandirian ekonomi masyarakat Ternate
dan Tidore. Selain itu, eksploitasi sumber daya secara besar-besaran mengubah
struktur ekonomi tradisional yang sebelumnya lebih seimbang.
Interaksi dengan bangsa Eropa juga membawa perubahan sosial dan
budaya di Ternate dan Tidore. Penyebaran agama Kristen oleh misionaris Portugis
dan Belanda menjadi salah satu bentuk intervensi budaya yang signifikan.
Meskipun mayoritas masyarakat tetap memeluk Islam, beberapa komunitas lokal
menerima agama Kristen, yang kemudian menciptakan dinamika baru dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Pengaruh Eropa juga terlihat dalam arsitektur, sistem pemerintahan, dan
teknologi militer. Benteng-benteng seperti Benteng Oranje di Ternate dan
Benteng Torre di Tidore menjadi bukti nyata warisan kolonial Eropa. Selain itu,
penggunaan senjata api yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa mengubah cara
perang tradisional di kawasan tersebut.
d.Kebudayaan dan Tradisi Kerajaan Ternate dan Tidore
Kedua kerajaan ini memiliki kebudayaan yang kaya, yang mencakup seni,
musik, tarian, dan arsitektur. Salah satu warisan budaya Ternate adalah tradisi
perangko atau simbol yang digunakan oleh raja-raja Ternate sebagai bagian dari

17
identitas kerajaan. Begitu juga dengan Tidore, yang terkenal dengan tradisi
adatnya yang menggabungkan unsur-unsur Islam dengan budaya lokal.
Meskipun kedua kerajaan ini telah mengalami kemunduran sejak masa
kolonial, warisan budaya mereka masih dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat
di Maluku hingga saat ini. Tradisi seperti upacara adat, musik, dan tarian yang
berasal dari kedua kerajaan ini terus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda.
Sebagai kerajaan Islam, nilai-nilai Islam sangat kental dalam kehidupan
masyarakat Ternate dan Tidore. Tradisi keagamaan seperti perayaan Maulid Nabi,
Idul Fitri, dan Idul Adha dilakukan dengan meriah, melibatkan seluruh
masyarakat. Pembacaan doa dan zikir bersama menjadi bagian penting dalam
setiap upacara adat.
Kebudayaan dan tradisi Kerajaan Ternate dan Tidore mencerminkan
kekayaan warisan sejarah yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam. Hingga kini,
masyarakat Ternate dan Tidore terus menjaga tradisi ini sebagai bagian dari
identitas mereka. Dengan mengenal budaya kedua kerajaan ini, kita dapat
memahami betapa pentingnya peran mereka dalam sejarah dan keberagaman
budaya Indonesia.
2.Kerajaan Buton
Kerajaan Buton yang terletak di Sulawesi Tenggara juga merupakan salah
satu kerajaan yang memiliki pengaruh besar di bagian timur Indonesia. Kerajaan
ini terkenal karena struktur pemerintahan yang unik dan budaya yang kaya.
Sistem pemerintahan yang ada di Buton merupakan salah satu contoh dari
keanekaragaman sistem pemerintahan tradisional yang ada di Indonesia.
Buton juga memainkan peran dalam perdagangan, terutama dalam
hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara dan dengan pedagang
asing. Selain itu, Buton memiliki kontribusi dalam bidang kebudayaan, terutama
dalam seni dan adat istiadat yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh
masyarakat Buton.
Kerajaan Buton didirikan oleh Wa Kaa Kaa, yang menjadi ratu pertama
Buton. Awalnya, kerajaan ini bercorak animisme sebelum akhirnya berubah

18
menjadi kerajaan Islam pada abad ke-16 di bawah pemerintahan Sultan Murhum,
sultan pertama Buton. Perubahan ini menunjukkan pengaruh kuat dari pedagang
dan ulama yang membawa ajaran Islam ke kawasan tersebut. Islamisasi di Buton
tidak hanya mengubah sistem kepercayaan masyarakat, tetapi juga struktur politik
dan hukum kerajaan. Sultan Murhum bahkan dikenal sebagai pendiri Kesultanan
Buton yang menciptakan tatanan hukum berbasis syariat Islam yang disebut
Martabat Tujuh.
Sebagai kerajaan maritim, Buton memiliki peran penting dalam
perdagangan regional. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan antara
Maluku dan Makassar menjadikan Buton sebagai persinggahan kapal-kapal
dagang. Selain itu, Buton juga terkenal dengan produk aslinya, seperti kapur sirih
yang sangat diminati di Nusantara. Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton
dikenal dengan sistem pemerintahan yang unik dan terorganisir. Sistem ini
melibatkan empat lapisan masyarakat, yaitu Kaomu (bangsawan), Walaka (dewan
adat), Papara (rakyat biasa), dan Batua (budak). Sistem ini mencerminkan
struktur masyarakat yang kompleks namun fungsional, dengan peran setiap
kelompok diatur secara jelas dalam hukum adat dan agama.
Warisan budaya Kerajaan Buton masih terlihat hingga saat ini, terutama
melalui tradisi dan adat istiadat masyarakat Buton. Salah satu warisan terpenting
adalah Benteng Keraton Buton, yang merupakan benteng terluas di dunia.
Benteng ini dibangun sebagai simbol pertahanan dan kedaulatan Kesultanan
Buton, dengan panjang lebih dari 4 kilometer. Selain itu, Buton juga mewariskan
tradisi keagamaan yang kuat. Ritual-ritual seperti Karia (ritual pernikahan) dan
Posuo (ritual kedewasaan perempuan) merupakan cerminan nilai-nilai Islam yang
telah menyatu dengan adat lokal. Hingga kini, masyarakat Buton masih
menjalankan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka.
Kerajaan Buton adalah salah satu contoh kekayaan sejarah dan budaya
Indonesia yang tidak hanya memiliki peran strategis dalam perdagangan dan
penyebaran agama, tetapi juga menciptakan warisan budaya yang bertahan hingga
kini. Dengan melestarikan peninggalan sejarah dan tradisi budaya Buton, kita

19
dapat memahami lebih dalam tentang identitas bangsa dan kebhinekaan yang
menjadi kekuatan Indonesia.
D. Peran Kerajaan-Kerajaan Timur Nusantara dalam Penyebaran Islam
Salah satu peran penting yang dimainkan oleh kerajaan-kerajaan di bagian
timur Nusantara adalah dalam penyebaran agama Islam. Kerajaan Banjar, Ternate,
Tidore, dan Buton semuanya memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam ke
daerah-daerah sekitarnya. Melalui kekuasaan politik dan sosial mereka, kerajaan-
kerajaan ini membantu memperkenalkan dan menyebarkan ajaran Islam ke
seluruh kawasan timur Nusantara.
Penyebaran agama Islam di wilayah timur Nusantara tidak hanya
dilakukan melalui dakwah, tetapi juga melalui hubungan politik dan perdagangan
antar kerajaan. Penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara mencerminkan
keragaman strategi yang mencakup dakwah, hubungan politik, perdagangan, dan
pendidikan. Keberhasilan Islam dalam mengakar di kawasan ini juga
menunjukkan fleksibilitasnya untuk beradaptasi dengan budaya lokal tanpa
kehilangan esensinya. Strategi ini menjadi warisan penting yang tidak hanya
memperluas pengaruh Islam tetapi juga memperkaya budaya Nusantara.
Penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara juga didukung oleh peran
para ulama dan sufi yang menjadikan pendekatan kultural sebagai metode utama
dalam berdakwah. Para ulama tidak hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi
juga mempelajari dan menghormati adat istiadat setempat sehingga ajaran Islam
dapat diterima dengan baik.
14
Sebagai contoh, tradisi lokal seperti kesenian dan
upacara adat diselaraskan dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni antara
agama dan budaya. Hal ini terlihat pada tradisi lokal di Maluku dan Sulawesi,
dimana pengaruh Islam menyatu dengan budaya asli tanpa menimbulkan konflik
signifikan.
14
Mulyadi. Islam di Nusantara; Menyingkap Tabir Nilai Religuitas
Sufistik dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Bidayah: Jurnal
Ilmu-ilmu Keislaman. Vol. 10. No. 1 (2019).
https://ejournal.staindirundeng.ac.id/index.php/bidayah/article/view/235. h. 75

20
Di sisi lain peran perdagangan sebagai medium penyebaran Islam tidak
bisa diabaikan. Pelabuhan-pelabuhan utama di wilayah timur, seperti Ternate dan
Tidore, menjadi pusat perdagangan yang ramai oleh interaksi antara pedagang
Muslim dan penduduk lokal. Para pedagang Muslim tidak hanya membawa
barang dagangan, tetapi juga ideologi keagamaan yang mereka praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Kejujuran dan nilai-nilai etika Islam yang diperlihatkan
oleh para pedagang ini menarik minat penduduk lokal untuk memeluk Islam.
Dengan demikian, perdagangan berfungsi sebagai jembatan yang tidak hanya
memperluas jangkauan agama, tetapi juga mempererat hubungan antar wilayah di
bagian timur Nusantara.
E.Kontribusi Budaya dan Tradisi Kerajaan-Kerajaan Timur Nusantara
Budaya dan tradisi yang berkembang di kerajaan-kerajaan timur Nusantara
memiliki pengaruh yang besar terhadap kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.
Misalnya, seni ukir khas Kalimantan yang dipengaruhi oleh budaya Banjar, atau
seni tari dan musik tradisional yang berkembang di kerajaan-kerajaan Maluku,
seperti Ternate dan Tidore, yang merupakan bagian dari kekayaan budaya
Indonesia. Pengaruh ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,
mulai dari sistem sosial, bahasa, hingga seni dan kerajinan tangan yang menjadi
ciri khas daerah-daerah tersebut. Seiring berjalannya waktu, banyak unsur budaya
yang berkembang di kerajaan-kerajaan ini kemudian tersebar dan diserap ke
dalam kehidupan masyarakat di wilayah lain di Indonesia.
Selain itu, sistem pemerintahan yang diterapkan di kerajaan-kerajaan timur
Nusantara, seperti di Kesultanan Sulu, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Buton,
turut berperan dalam pembentukan struktur sosial dan budaya masyarakat
Indonesia. Kerajaan-kerajaan ini seringkali menjadi pusat perdagangan dan
kebudayaan yang menghubungkan Indonesia dengan dunia luar, seperti dengan
India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Interaksi ini memberikan kontribusi terhadap
keberagaman budaya di Indonesia, seperti dalam aspek agama, bahasa, dan seni.
Misalnya, pengaruh Islam yang masuk melalui perdagangan di wilayah Maluku
dan Sulawesi, memberikan warna baru dalam kehidupan sosial dan budaya, yang

21
terlihat dalam seni arsitektur masjid, seni kaligrafi, serta tradisi keagamaan
masyarakat.
Pengaruh budaya kerajaan timur Nusantara juga dapat dilihat dalam tradisi
kuliner dan kesenian daerah. Beberapa jenis masakan yang menjadi ciri khas
daerah di timur Indonesia, seperti papeda dari Maluku atau nasi kunyit dari
Kalimantan Timur, adalah contoh dari warisan budaya kerajaan yang terus
dipertahankan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam bidang
kesenian, seni pertunjukan seperti tari tradisional dan musik yang berkembang di
kerajaan-kerajaan tersebut seringkali menggambarkan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat, seperti keberanian, kehormatan, dan kebesaran kerajaan. Seni
pertunjukan ini juga menjadi sarana untuk menyampaikan cerita sejarah dan
legenda yang masih hidup dalam memori kolektif masyarakat.
Selain itu, kerajaan-kerajaan tersebut juga memainkan peran dalam
pengembangan bahasa dan sastra. Misalnya, bahasa Melayu yang menjadi lingua
franca di wilayah Nusantara banyak dipengaruhi oleh interaksi dengan kerajaan-
kerajaan besar di timur Indonesia.
F.Kesimpulan
Kerajaan Banjar dan kerajaan-kerajaan lainnya di bagian timur Nusantara
memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah dan perkembangan budaya
Indonesia. Melalui perdagangan, penyebaran agama Islam, dan kontribusi dalam
berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya, kerajaan-kerajaan ini
membantu membentuk identitas budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
Keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut memperkaya sejarah Indonesia dan
memberikan dasar bagi perkembangan budaya yang masih hidup hingga saat ini.
Kerajaan Banjar yang terletak di Kalimantan Selatan tidak hanya berperan
dalam aspek politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat penyebaran Islam di
wilayah Kalimantan. Selain itu, kerajaan ini juga berperan dalam mengembangkan
berbagai system perdagangan yang selanjutnya mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Melalui sistem pemerintahan yang

22
stabil dan hubungan perdagangan yang luas, Kerajaan Banjar mampu
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Selain Kerajaan Banjar, kerajaan-kerajaan lainnya di bagian timur
Nusantara, seperti Kesultanan Tidore, Ternate, dan Buton, juga memainkan peran
penting dalam membentuk Kebudayaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan tersebut
tidak hanya berhubungan dengan kerajaan-kerajaan besar di Jawa dan Sumatera,
tetapi juga menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan luar negeri, seperti
dengan Arab, Eropa, dan Tiongkok. Hal ini menyebabkan mereka menjadi pusat
perdagangan internasional yang memberi pengaruh terhadap kehidupan ekonomi
masyarakat pada saat itu.
Salah satu kontribusi besar kerajaan-kerajaan di bagian timur Nusantara
adalah dalam bidang keagamaan, khususnya dalam penyebaran Islam. Kerajaan
Banjar dan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah ini memiliki peran besar dalam
memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat di Nusantara, baik melalui jalur
perdagangan maupun dakwah yang dilakukan oleh ulama-ulama. Penyebaran
Islam di wilayah-wilayah tersebut juga membawa perubahan dalam aspek budaya,
hukum, dan sosial masyarakat, yang semakin memperluas ajaran Islam di wilayah
nusantara. Di bidang kebudayaan, kerajaan-kerajaan di bagian timur Nusantara
juga mengembangkan seni, musik, dan tari yang menjadi bagian dari warisan
budaya Indonesia yang sangat beragam. Seni ukir, tenun, dan kerajinan tangan
yang berkembang di wilayah ini memiliki ciri khas yang tidak hanya dipengaruhi
oleh kebudayaan lokal, tetapi juga oleh pengaruh kebudayaan luar yang dibawa
oleh pedagang dan penjajah. Keberagaman budaya ini menciptakan kekayaan seni
yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Secara keseluruhan, Kerajaan Banjar dan kerajaan-kerajaan di bagian
timur Nusantara memainkan peran penting dalam membentuk identitas budaya
Indonesia. Melalui hubungan perdagangan, penyebaran agama, serta
pengembangan seni dan budaya lokal, kerajaan-kerajaan ini memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah Indonesia. Warisan budaya
yang ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan tersebut masih dapat dirasakan hingga

23
saat ini, baik dalam bentuk tradisi, seni, maupun nilai-nilai sosial yang terus hidup
di masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Getteng, Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Graha
Guru, 2005.
Abdul Wahab Syakhrani dan Ahmad Rangga Islami, “Islam di Tanah Banjar,”
Cross-border 5, no. 1 (Juni 2022): 792–802
Alfrida Dyah Miranti dan Lutfiah Ayundasari, “Kesultanan Banjar: Peranan
dalam persebaran Islam di Kalimantan (abad XVI M - XIX M),” Jurnal
Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial 1, no. 2 (28 Februari 2021):
227–37, https://doi.org/10.17977/um063v1i2p227-237
Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII),
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Ita Syamtasiyah Ahyat, “Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin,”
Jurnal Lektur Keagamaan 2, no. 2 (2012): 233–248
Elmahady, Muhaemin. “Islam Dan Kearifan Lokal Di Sulawesi Selatan.” Jurnal
Hikmah 7, no. 1 (2021): 98–99.
https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=Islam dan
Kearifan Lokal di Sulawesi Selatan Pasca Islamisasi
Herman, Bahaking Rama, Syamsuddin. Perkembangan Pendidikan Islam Masa
Awal Di Maluku. JUPENJI: Jurnal Pendidikan Jompa Indonesia. Vol. 3. No.
2 Mei 2024 e-ISSN: 2830-1080 p-ISSN: 2830-1072
https://jurnal.jomparnd.com/index.php/jupenji
Kamrani Buseri. Kesultanan Banjar dan Kepentingan Dakwah Islam. Al-Banjari:
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman . 2022.
https://doi.org/10.18592/albanjari.v23i2
Kuntowijoyo, H. (Sejarah Kerajaan Banjar dan Pengaruhnya dalam
Perdagangan Dunia. Jakarta: Gramedia.1996.
Miranti, Alfrida Dyah, and Lutfiah Ayundasari. “Kesultanan Banjar: Peranan
Dalam Persebaran Islam Di Kalimantan (Abad XVI M - XIX M).” Jurnal
Integrasi Dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial 1, no. 2 (2021): 227–37.
https://doi.org/10.17977/um063v1i2p227-237.

24
Mulyadi. Islam di Nusantara; Menyingkap Tabir Nilai Religuitas Sufistik dalam
Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Bidayah: Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman. Vol. 10. No. 1 (2019).
https://ejournal.staindirundeng.ac.id/index.php/bidayah/article/view/235.
M. Irfan Mahmud, Kota Kuno Palopo Dimensi Fisik, Sosial dan Kosmologi,
(Makassar: Masagena Press, 2003
Sahriansyah. Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Banjarmasin: IAIN
Antasari Press. 2015
Salempa, Berkat Immanuel, Seniwati Seniwati, Alamat Jl, Perintis Kemerdekaan,
No Km, Tamalanrea Indah, Kec Tamalanrea, and Kota Makassar.
“Diplomasi Maritim ‘ Rempah ’ Di Nusantara
 : Perjalanan Dari Maluku
Sampai Ke Pelabuhan Malaka Universitas Hasanuddin , Indonesia,” no. 6
(2024).
Silalahi, F. D. K. Kerajaan Ternate dan Tidore: Peran dalam Perdagangan dan
Penyebaran Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan,
Makassar: Lamacca Press, 2003.
Yusliani Noor, “Sejarah Perkembangan Islam di Banjarmasin dan Peran
Kesultanan Banjar (Abad XV-XIX),” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu
Keislaman Vol. 11, No. 2 (Juli 2012): 239–263.
Wajidi. Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimatan Selatan dan
Makna Simbolisnya. Jurnal Kebijakan Pembangunan. Vol. 2. No. 12
(Desember 2017) https://jkpjournal.com/index.php/menu/article/view/105.
Wahyuddin dkk, Perang Banjar - Peran Islam dalam Pembebasan Tanah Banjar,
1 ed. (Banjarmasin: Antasari Press, 2007
Widi, Nasrul Penyebaran Islam di Indonesia Timur: Pengaruh Kerajaan-
Kerajaan Lokal. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007.
Tags