AHHUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA MAHASISWA BARU FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK.docx

qq4vet8b9b 28 views 40 slides Jan 31, 2025
Slide 1
Slide 1 of 40
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40

About This Presentation

konsep diri akan rasa cemas berlebihan yang terjadi akibat pengaruh lingkup sosial


Slide Content

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Tahun pertama perkuliahan sering dianggap sebagai masa yang
paling sulit bagi mahasiswa baru (Feldt dkk., 2011). Pada masa ini,
mereka harus beradaptasi dengan banyak hal baru, seperti cara belajar
yang berbeda dari SMA, materi kuliah yang lebih sulit, berteman dari
berbagai daerah dengan latar belakang budaya dan bahasa yang beragam,
serta menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal yang baru (Bibi
dkk., 2018). Selain itu, lingkungan sosial di perguruan tinggi lebih
beragam daripada di SMA, sehingga mahasiswa baru perlu beradaptasi.
Kesulitan dalam beradaptasi dapat menurunkan motivasi dan hasil yang
dicapai tidak maksimal (Abdullah, Elias, Mahyuddin, & Uli, 2009).
Permasalahan yang dialami mahasiswa baru dalam beradaptasi
dengan lingkungan baru dapat berdampak negatif bagi dirinya. Dampak
tersebut berupa penurunan kesehatan, rasa pesimis terhadap
kemampuannya dalam memimpin organisasi, dan lain-lain (Rosiana,
2011). Selain itu, dampak negatif ini juga mempengaruhi kinerja
akademiknya, seperti hasil ujian yang tidak sesuai harapan dan keinginan
untuk keluar dari kampus (Elias, Noordin, & Mahyuddin, 2010).

Masa peralihan yang dialami mahasiswa mendorong mereka untuk
menghadapi berbagai tuntutan dan tugas perkembangan baru. Mahasiswa
biasanya berusia antara 18 hingga 29 tahun, yang berada pada tahap
dewasa awal (Halloran, 2024). Tugas perkembangan yang harus dihadapi
mahasiswa antara lain bekerja sama dan bersaing dengan orang lain,
menjaga hubungan sosial, berfungsi dengan baik dalam masyarakat, serta
menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa merasa cemas. Namun,
banyak mahasiswa yang merasa cemas dan tidak nyaman saat berinteraksi
sosial (Kholisa dkk., 2024).
Ketidakmampuan untuk memenuhi tugas-tugas sosial ini sering
menyebabkan kecemasan sosial, di mana individu merasa takut terhadap
penilaian negatif dari orang lain atau cemas dalam situasi sosial tertentu
(La Greca, 1998). Mahasiswa baru yang mengalami kecemasan sosial
cenderung menarik diri dari pergaulan, menghindari interaksi kelompok,
dan merasa terisolasi. Kondisi ini menghambat mahasiswa dalam
membangun hubungan sehat dan menyelesaikan tugas perkembangan yang
seharusnya mendukung pembentukan identitas serta kemandirian mereka.
Menurut World Psychiatric Association, 3% sampai 15% dari
populasi global dapat dianggap sebagai penderita kecemasan sosial.
Penelitian Suryaningrum (2006) pada 211 mahasiswa Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang menunjukkan 22,27% mengalami
kecemasan sosial, dan 20,85% memiliki indikasi gangguan kecemasan

sosial. Vriends dkk. (2013) menemukan 15,8% dari 311 mahasiswa
Psikologi UGM berada pada tingkat kecemasan sosial tinggi.
Kecemasan sosial adalah salah satu dampak paling nyata dari
konsep diri negatif. Mahasiswa yang memiliki pandangan negatif tentang
dirinya sering kali merasa tidak nyaman bahkan dalam situasi sosial yang
sederhana, seperti memperkenalkan diri di kelas atau berbicara di depan
umum (Kholisin, 2014). Kecemasan ini sering muncul dari keyakinan
bahwa orang lain akan menilai mereka secara negatif, sehingga mereka
merasa terancam dan cenderung menghindari interaksi sosial (Sabila,
2024). Dalam jangka panjang, kecemasan sosial dapat menyebabkan
mahasiswa menarik diri dari lingkungan sosial, kehilangan kesempatan
untuk memperluas jaringan pertemanan, dan bahkan mengalami
penurunan prestasi akademik (Bewick, 2010). Hal ini menciptakan
dampak negatif di mana rasa tidak percaya diri semakin menguat, dan
kecemasan sosial semakin memburuk (Aisy & Puwanto, 2024).
Melalui beberapa data diatas disimpulkan bahwa kecemasan sosial
umum terjadi pada mahasiswa baru. Hal tersebut, dapat berdampak negatif
pada perkembangan pribadi dan akademik mahasiswa, seperti menurunnya
rasa percaya diri, kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kampus, hingga
berisiko mengalami gangguan mental yang lebih serius (Meliala, 2024).
Selain itu, masalah ini menunjukkan bahwa kegagalan untuk memenuhi
tugas perkembangan sosial pada masa dewasa awal, dapat mempengaruhi
kesejahteraan mahasiswa baru dalam jangka panjang. Sebagai contoh,

penelitian oleh Hidayat (2021) menunjukkan bahwa mahasiswa yang
mengalami kecemasan sosial cenderung merasa terhambat dalam
pengembangan diri dan hubungan interpersonal yang dapat mendukung
keberhasilan akademik mereka.
Di sisi lain, faktor pribadi seperti pengalaman hidup, pola asuh,
dan kemampuan untuk mengatasi tekanan, sangat berpengaruh pada
kecemasan sosial (Azaria & Syakarofath, 2024; Rachmawaty, 2015;
Ginting, 2024). Pengalaman buruk di masa lalu, seperti penolakan atau
kegagalan dalam membangun hubungan sosial, dapat menimbulkan
ketakutan saat menghadapi situasi sosial yang baru (Oktopiani & Putri,
2018). Pola asuh yang kurang mendukung atau bersifat otoriter juga dapat
membuat individu merasa tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain,
sehingga meningkatkan risiko kecemasan sosial. Minimnya dukungan dari
keluarga dan lingkungan memperparah kondisi ini, membuat individu
merasa sendiri dalam menghadapi tekanan sosial (Rachmawaty, 2015;
Salma, 2019).
Selain faktor pribadi, kepribadian juga berperan peran penting
dalam mempengaruhi tingkat kecemasan sosial. Sifat-sifat seperti
introversi, kepekaan terhadap kritik, dan kesulitan beradaptasi sering
menjadi pemicu perasaan cemas di lingkungan sosial (Muhmadah dkk.,
2021). Individu dengan kepribadian yang sangat sensitif terhadap
penilaian orang lain cenderung mengalami kesulitan berkomunikasi
dengan percaya diri atau mengekspresikan diri secara terbuka (Deni &

Ifdil, 2016). Semua faktor ini saling mempengaruhi dan pada akhirnya
berdampak pada cara individu memandang dirinya sendiri, yang menjadi
dasar terbentuknya konsep diri.
Penelitian menunjukkan bahwa kecemasan sosial dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti konsep diri (Hidayah, 2017; Prawoto, 2010),
kepercayaan diri (Mutahari, 2016; Nainggolan, 2011), harga diri (Tirsae,
2016), pola asuh otoriter (Rachmawaty, 2015), dan kelekatan orang tua
(Salma, 2019). Dalam penelitian ini, konsep diri dipilih karena pada
dewasa awal, mahasiswa membentuk konsep diri mereka dengan
kemampuan berpikir yang lebih matang dibandingkan masa remaja,
sehingga penelitian ini berfokus pada mahasiswa dalam fase tersebut
(Tucker-Drob dkk., 2019).
Konsep diri adalah cara seseorang memandang dirinya sendiri yang
terbentuk dari berbagai pengalaman dan interaksi dengan orang lain sejak
kecil. Pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan akan
dicerna dan dievaluasi oleh individu. Hasil dari proses ini membantu
seseorang mengenal dirinya lebih dalam. Pengalaman yang diperoleh dari
interaksi dengan lingkungan akan dicerna dan dievaluasi oleh individu.
Hasil dari proses ini membantu seseorang mengenal dirinya lebih dalam
yang pada akhirnya membentuk konsep diri seseorang (Puspasari, 2007).
Erikson berpendapat bahwa masalah yang paling penting dan
signifikan terjadi dalam perguruan tinggi adalah pencarian konsep diri
(Jeanette, 2005). Pembentukan konsep diri dapat terjadi melalui interaksi

sosial yang sering dilakukan oleh mahasiswa. Setiap pengalaman yang
diperoleh dari berinteraksi dengan orang lain, akan memberikan
pandangan baru, sehingga mempengaruhi cara mereka melihat diri sendiri
(Budiyati, 2023).
Menurut Wulandari dan Susilawati (2016) beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri yaitu dukungan sosial
yang didapat baik dari keluarga dan lingkungan sosial. Dukungan dari
lingkungan sangat pemting bagi perkembangan diri mahasiswa. Menurut
Sarafino (2011), dukungan yang diterima oleh individu dari orang lain
dapat disebut) dukungan sosial. Dukungan orangtua merupakan sistem
dukungan sosial yang terpenting di masa dewasa awal. Hasil penelitian
Tarmidi (2010) menyebutkan bahwa dukungan orangtua berhubungan
dengan kesuksesan akademis remaja, gambaran diri yang positif, harga
diri, motivasi dan kesehata mental.
Konsep diri juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti
kesehatan, kebahagian, dan kinerja. Oleh karena itu, konsep diri menjadi
faktor yang menentukan sejauh mana mereka dapat beradaptasi dengan
percaya diri dan stabil secara emosional (Sarwono & Widyana, 2023;
Budiyati, 2023).
Calhoun dan Acocella (1995) membagi konsep diri menjadi positif
dan negatif. Individu dengan konsep diri negatif merasa lemah, tidak
kompeten, gagal, dan tidak menarik, sehingga cenderung pesimistis.
Sebaliknya, individu dengan konsep diri positif meningkatkan

kepercayaan diri dalam berinteraksi sosial (Palenzuela-Luis dkk., 2022).
Mahasiswa yang yakin terhadap kemampuannya cenderung berpikir dan
bertindak positif, dapat mengurangi kecemasan, dan meningkatkan
prestasi (Kholisa dkk., 2024).
Penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif antara konsep
diri dan kecemasan sosial pada mahasiswa baru. Studi di UIN Ar-Raniry
Banda Aceh menemukan bahwa semakin tinggi konsep diri seorang
mahasiswa, semakin rendah tingkat kecemasan sosial yang dialaminya
(Hidayat, 2022). Sebaliknya, konsep diri yang rendah berhubungan dengan
meningkatnya kecemasan sosial. Temuan serupa juga diperoleh dalam
penelitian di Yogyakarta, yang menegaskan bahwa konsep diri yang
positif berperan dalam menurunkan kecemasan sosial pada mahasiswa
dewasa awal (Kholisa dkk., 2024).
Berbagai penelitian sebelumnya telah banyak membahas hubungan
antara konsep diri dan kecemasan sosial, baik pada remaja maupun
mahasiswa baru. Namun, belum terdapat penelitian yang secara spesifik
memfokuskan pada satu jurusan tertentu. Meskipun topik hubungan antara
konsep diri dan kecemasan sosial telah sering dikaji, penelitian ini
memiliki keunikan karena menyoroti mahasiswa baru di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) angkatan 2024. Fokus tersebut
memungkinkan eksplorasi lebih mendalam terhadap faktor-faktor khas
yang dapat memengaruhi hubungan tersebut, seperti interaksi sosial di
lingkungan jurusan tertentu dan tuntutan akademik yang spesifik.

Mahasiswa sering kali dihadapkan dengan berbagai tuntutan yang
berat, baik dari segi akademik maupun non-akademik. Hal ini juga berlaku
bagi mahasiswa baru yang tengah berupaya menyesuaikan diri dengan
lingkungan kampus yang baru. Demikian juga, mahasiswa baru di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) memiliki karakteristik unik
yang membedakannya dari mahasiswa di jurusan lain. Salah satu keunikan
tersebut adalah jadwal orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek)
yang lebih intensif, berlangsung dari bulan Agustus sampai November
setiap minggunya. Durasi ospek yang panjang ini memberikan tantangan
tersendiri, mencerminkan dinamika sosial dan akademik yang khas dari
jurusan ini. Ospek yang berkepanjangan sering kali menjadi tekanan
tambahan bagi mahasiswa baru, sebagaimana diungkapkan oleh penelitian
Safitri (2022) bahwa jadwal kegiatan ospek yang padat dapat
memengaruhi tingkat stres dan kemampuan adaptasi mahasiswa.
Selain itu, kondisi seperti adanya kelas malam dan banyaknya
tugas kelompok turut mempertegas beban akademik yang dihadapi oleh
mahasiswa baru. Perbedaan kelas berdasarkan jalur masuk perguruan
tinggi, di mana kelas 1-2 memiliki beban tugas yang lebih berat
dibandingkan dengan kelas 3-4 yang lebih santai, juga menciptakan variasi
pengalaman akademik yang unik. Penelitian dari Wibowo (2021)
menyatakan bahwa beban tugas yang tidak merata dapat memengaruhi
kualitas interaksi sosial mahasiswa, yang pada akhirnya berdampak pada
kecemasan sosial.

Tidak hanya dari segi akademik, mahasiswa baru di jurusan ini
juga menghadapi tantangan non-akademik yang terkait dengan perbedaan
budaya, bahasa, dan gaya berpakaian. Mahasiswa yang berasal dari
berbagai daerah membawa keunikan latar belakang budaya masing-
masing, yang sering kali memengaruhi cara mereka berinteraksi dan
menyesuaikan diri dalam lingkungan kampus. Menurut Putri dan
Rahmawati (2023), perbedaan budaya dan kebiasaan sosial dapat menjadi
faktor yang mempersulit adaptasi dan menciptakan hambatan dalam
komunikasi antarmahasiswa.
Pentingnya melakukan penelitian ini karena mahasiswa berada di
tahap dewasa awal mengalami periode kritis dalam pembentukan konsep
diri (Moshman, 1998). Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa baru
untuk memahami bagaimana konsep diri mempengaruhi kecemasan sosial.
Berdasarkan fenomena yang diuraikan diatas maka penulis tertarik
melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan antara konsep diri dengan
kecemasan sosial pada mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Diponegoro”.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat
hubungan antara konsep diri dengan kecemasan sosial pada mahasiswa
baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro?

C.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara empirik hubungan
antara konsep diri dengan kecemasan sosial pada mahasiswa baru di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
D.Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
diantaranya sebagai berikut:
1.Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
mengenai konsep diri dan kecemasan sosial dalam perkembangan ilmu
psikologi, khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Klinis.
2.Manfaat Praktis
a.Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat memberikan pemahaman
yang jelas tentang hubungan antara konsep diri dan kecemasan
sosial pada mahasiswa baru.
b.Bagi dosen atau pendidik, penelitian ini dapat memberikan
masukan untuk merancang program pengajaran yang tepat tentang
perlunya meningkatkan konsep diri mahasiswa dan mengurangi
kecemasan mereka saat berinteraksi sosial.

c.Bagi peneliti lain, hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan
untuk penelitian selanjutnya, khususnya mengenai hubungan antara
konsep diri dengan kecemasan sosial pada mahasiswa baru, dan
dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian
selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Kecemasan Sosial
1.Pengertian Kecemasan Sosial
Istilah kecemasan atau anxiety berasal dari bahasa Latin anxius dan
bahasa Jerman anst, kata tersebut dapat diartikan untuk
menggambarkan efek negatif dari rangsangan fisiologis (Nasrulloh
dkk., 2020). Kecemasan merupakan keadaan seseorang saat merasakan
perasaan tegang yang tidak menyenangkan, adanya keterangsangan
fisiologis, dan perasaan takut atau khawatir terhadap suatu hal buruk
akan terjadi (Nevid, 2006). Kecemasan biasanya akan melibatkan
perasaan, perilaku, dan respon-respon fisiologis (Durand, 2006).
Menurut American Psychiatric Association (APA) kecemasan
sosial merupakan ketakutan yang dirasakan oleh individu terhadap satu
atau lebih situasi sosial ketika sedang diamati oleh orang asing dan
orang lain. Richards (1996) mengungkapkan kecemasan sosial adalah
takut akan situasi sosial dan interaksi dengan orang lain yang dapat
secara otomatis membawa merasa sadar diri, pertimbangan, evaluasi,
dan kritik. Kecemasan sosial juga merupakan ketakutan dan

kecemasan akan persepsi dan penilaian negatif oleh orang lain yang
menyebabkan seseorang merasa kekurangan, kebingungan, penghinaan
dan tekanan (Richards, 1996). Selain itu, Mattick & Clarke (1998)
berpendapat kecemasan sosial adalah suatu keadaan yang tertekan
ketika bertemu dan berbicara dengan orang lain.
Menurut Martin dan Richard (2017) dalam bukunya menjelaskan
kecemasan sosial mengacu pada perasaan tidak nyaman atau gugup
saat berada di situasi sosial. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang
takut melakukan sesuatu yang memalukan sehingga mereka memiliki
kesan yang buruk atau dinilai secara kritis oleh orang lain. Kecemasan
sosial dikaitkan dengan berbagai gaya dan kepribadian umum seperti
rasa malu, perfeksionis, dan introversi (Yudianfi, 2022). Seseorang
yang pemalu merasa tidak nyaman berada di tempat umum, terutama
ketika berinteraksi dengan orang baru. Seseorang yang introvert lebih
suka menyendiri dan lebih pendiam karena mereka lebih suka
menyendiri. Seseorang yang memiliki sifat perfeksionis takut berada di
depan umum karena takut orang lain akan melihat "kekurangannya"
dan menilai secara negatif.
Kecemasan sosial didefinisikan oleh Brecht (2000) sebagai
perasaan takut dan khawatir yang berlebihan ketika berada di
lingkungan sosial atau bersama orang banyak sehingga takut akan
dinilai secara negatif dari orang lain serta akan merasa lebih nyaman
apabila sendirian. Sementara itu, La Greca (1998) menggambarkan

kecemasan sosial sebagai perasaan takut terhadap situasi sosial di
mana seseorang harus berhadapan dengan orang lain, menerima
evaluasi, serta ketakutan akan mendapatkan perlakuan yang tidak
nyaman seperti diamati, dipermalukan, atau dihina.
Secara umum kecemasan sosial merupakan jenis kecemasan yang
dapat dialami oleh seseorang ketika berada di perkumpulan atau
kerumunan orang. Manusia secara alamiah diciptakan untuk
berinteraksi dengan orang lain. Namun, ketika seseorang mengalami
perasaan tidak nyaman saat berinteraksi dengan orang lain, maka itu
adalah situasi yang sulit bagi individu. Kondisi seperti inilah yang
dihadapi individu saat mengalami kecemasan sosial. Selain itu,
kecemasan sosial merupakan salah satu bentuk fobia sosial yang lebih
ringan, ketakutan yang terus-menerus, dan irasional terhadap
keberadaan orang lain (Nevid, 2005). Orang tersebut berusaha
menghindari situasi tertentu dimana mereka mungkin dikritik, serta
menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku canggung
(Hidayat, 2022).
Berdasarkan beberapa pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa kecemasan sosial adalah suatu perasaan takut dan khawatir
berlebihan ketika berada di lingkungan sosial yang membuat individu
merasa tidak nyaman untuk berinteraksi dengan orang baru maupun
banyak orang. Hal ini terjadi sehingga membuat individu memiliki

persepsi berlebihan seperti akan dipermalukan, dikritik, dan menjadi
pusat perhatian.
2.Aspek-aspek Kecemasan Sosial
Aspek-aspek kecemasan sosial menurut (La Greca, 1998) adalah
sebagai berikut:
a.Ketakutan terhadap evaluasi yang negatif (Fear of negative
evaluation)
Individu akan merasa khawatir atau takut pada penilaian
orang lain dengan cara yang tidak baik, seperti mengejek atau
mengkritik.
b.Penghindaran sosial dan tertekan secara umum (Social
avoidance and distress in general)
Individu akan cenderung menghindar dari tempat-tempat
umum atau dari situasi sosial yang bisa membuat dirinya
merasa tidak nyaman dan akan merasa jauh lebih aman serta
tenang saat sendiri.
c.Penghindaran sosial dan tekanan terhadap lingkungan sosial
yang baru (Social avoidance specific to new situation)
Individu akan lebih menghindari situasi baru termasuk saat
bertemu dengan orang baru atau asing bagi individu.

Menurut (Kaplan & Sadock, 1997) juga memaparkan tiga aspek
kecemasan sosial yaitu:
a.Kesadaran adanya sensasi fisiologis, seperti jantung berdebar
dan badan berkeringat.
b.Kesadaran adanya sensasi psikologis, seperti kesadaran sedang
gugup dan ketakutan.
c.Kesadaran adanya sensasi kognitif, seperti menimbulkan rasa
bingung terhadap suatu peristiwa atau seseorang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kecemasan sosial memiliki tiga aspek meliputi aspek ketakutan
terhadap evaluasi negatif, penghindaran sosial dan tertekan secara
umum dan penghindaran sosial dan tertekan terhadap lingkungan
sosial yang baru. Ketiga aspek ini saling berkaitan dan secara langsung
memengaruhi kemampuan individu untuk berfungsi dengan baik
dalam lingkungan sosial, terutama bagi mahasiswa baru yang sedang
mengalami masa transisi ke dunia pendidikan tinggi.

3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial
Menurut (Rapee, 1998) menyampaikan beberapa faktor yang
menyebabkan individu mengalami kecemasan sosial yaitu:
a.Cara berpikir (Thinking style)
Pada situasi ini artinya individu tersebut akan merasa
kesulitan dalam mempengaruhi anggapan mereka atau berpikir

kurang masuk akal ketika dalam posisi yang tidak nyaman
karena cara berpikirnya telah dikuasai oleh kecemasan
sehingga membuatnya sulit.
b.Fokus perhatian (Focus attention)
Fokus perhatian dalam hal ini adalah apa yang dialami
individu akan susah dalam memusatkan perhatian atau tidak
mampu memperhatikan sekaligus mengalami kecemasan sosial.
c.Penghindaran (Avoidance)
Orang cenderung menghindari situasi seperti yang
membuat mereka tidak nyaman atau depresi.
Selain itu (Leary & Dobbins, 1983) menjelaskan beberapa faktor
kecemasan sosial sebagai berikut:
a.Terkait dengan kekuasaan dan status sosial yang tinggi
Artinya, seorang anak atau keluarga dengan status sosial
yang tinggi tidak terlalu menderita kecemasan sosial karena
kekuasaanya.
b.Konteks evaluasi
Artinya, seseorang yang tidak nyaman dalam situasi sosial
dan cenderung menggang dirinya dilebih-lebihkan atau dilebih-
lebihkan oleh orang lain.
c.Interaksi berfokus pada tayangan tunggal
Artinya, seorang individu memandang kesan pertama
sebagai indikasi dan permanen untuk koneksi selanjutnya.

d.Situasi sosial yang tidak teratur
Situasi sosial dapat dicontohkan ketika hari pertama sekolah,
biasanya muncul kecemasan sosial karena tidak tahu aturannya
dengan baik.
e.Kesadaran diri
Artinya, memfokuskan dan memperhatikan diri sendiri dan
perilaku batin seorang individu saat menghadapi situasi sosial.
Menurut Durand (2006) terdapat tiga faktor yang dapat
menyebabkan kecemasan sosial yaitu:
a.Seseorang ada kemungkinan memiliki kecemasan atau
kecenderungan biologis sehingga menjadi sangat terhambat
secara sosial. Hal ini dapat tercermin pada perasaan atas
berbagai peristiwa, khususnya peristiwa yang menimbulkan
stress atau peristiwa diluar kendali kita, sehingga meningkatkan
kerentanan individu.
b.Dalam keadaan stress, seseorang mungkin mengalami serangan
panik yang tidak terduga saat berada di lingkungan sosial yang
kemudian dapat dikaitkan dengan stimulus-stimulus sosial.
Selanjutnya, individu akan sangat mencemaskan kemungkinan
untuk mengalami alarm (serangan panik) lain (yang dipelajari)
ketika berada dalam lingkungan sosial yang sama atau mirip.
c.Seseorang dapat mengalami trauma sosial langsung yang
memberikan peringatan dan kemudian menjadi takut dalam

situasi sosial yang sama atau serupa. Pengalaman sosial yang
traumatis juga dapat ditelusuri kembali ke masa-masa sulit
sebagai seorang anak. Pengalaman ini dapat menciptakan
ketakutan dan kepanikan yang akan direproduksi dalam situasi
sosial di masa depan.
Dari beberapa uraian diatas disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kecemasan sosial ada dua faktor yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor-faktor yang muncul
dari dalam diri individu, seperti kurang rasa percaya diri, pengalaman
traumatis, stress dan frustasi, serta faktor lainnya. Sedangkan, faktor
eksternal yaitu faktor yang disebabkan oleh lingkungan yaitu ketika
individu menerima dukungan sosial yang rendah. Oleh karena itu,
kecemasan sosial dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
pemikiran, perhatian, dan penghindaran.
B.Konsep Diri
1.Pengertian Konsep Diri
Konsep diri berisi pandangan dan peranan individu tentang dirinya.
Konsep diri adalah gambaran dari diri sendiri yang terdiri dari semua
aspek fisik, psikologis, sosial, emosional, keyakinan yang diinginkan,
dan pencapaian yang telah dicapai (Hurlock, 2003). Secara sederhana
konsep diri dapat diartikan sebagai evaluasi terhadap diri sendiri secara
psikologis, fisik, ataupun sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial

dengan lingkungan. Berzonsky (dalam Burn, 1993) menambahkan
bahwa konsep diri juga merujuk pada penilaian individu yang
didasarkan pada harapan terhadap dirinya.
Menurut Fitts (1971) konsep diri merupakan gambaran diri
seseorang yang terbentuk melalui pengalaman berinteraksi dengan
lingkungan. Sementara itu Agustiani (2009), konsep diri adalah
bayangan seseorang tentang dirinya sendiri yang mereka peroleh dari
lingkungannya sejak kecil. Konsep diri tidak terbentuk dari genetik
tetapi melalui pengalaman dan proses hidup yang mereka peroleh
sehingga tersimpan dalam ingatan. Konsep diri individu ditanam sejak
kecil sehingga menjadi dasar perilaku di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, konsep diri bukan sekedar gambaran deskripsi tentang
penilaian dari individu. Konsep diri meliputi dua komponen, yaitu apa
yang dipikirkan dan apa yang dirasakan.
Calhoun & Acocella (1995) mengatakan konsep diri adalah cara
seseorang melihat dirinya. Mereka juga mengatakan bahwa konsep diri
mencakup cara seseorang melihat dirinya secara sosial dan pribadi.
Konsep diri ini berasal dari pengamatan seseorang atas dirinya sendiri
yang memungkinkan mereka untuk membuat gambaran dan penilaian
diri mereka sendiri. Ketika seseorang berkembang bersama
lingkungannya, ia menjadi lebih mengenal dirinya sendiri dan menjadi
lebih sadar diri akan perilakunya.

Konsep diri, menurut Harter (Papalia, dkk., 2009) adalah gambaran
menyeluruh tentang diri sendiri mencakup kemampuan yang dapat
mempengaruhi tindakan seseorang. Konsep diri juga dapat diartikan
sebagai gambaran yang terbentuk dari berbagai pandangan orang lain
terhadap diri kita dan keinginan suatu individu mengenai diri idealnya
(Burns, 1993). Menurut Pudjijogyanti (1988), konsep diri adalah
pandangan menyeluruh tentang berbagai aspek fisik, pribadi,
karakteristik, motivasi, keahlian, kelemahan, maupun kegagalan.
Terdapat dua jenis konsep diri yaitu konsep diri yang sebenarnya dan
konsep diri ideal. Konsep diri yang sebenarnya adalah gambaran
tentang persepsi individu itu sendiri yang sebagian besar ditentukan
oleh peran dan hubungan dengan orang lain. Sementara itu, konsep diri
ideal adalah gambaran seseorang mengenai keterampilan dan
kepribadian yang didambakannya.
Konsep diri terbentuk atas dua komponen, yaitu komponen
kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif merupakan
pengetahuan individu tentang keadaan dirinya. Komponen kognitif
juga merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberikan
gambaran tentang dirinya. Komponen afektif merupakan penilaian
individu terhadap dirinya. Penilaian tersebut akan membentuk
penerimaan terhadap diri (self-acceptance), serta harga diri (self-
esteem) individu. Dapat disimpulkan bahwa komponen kognitif

merupakan data bersifat objektif sedangkan komponen afektif
merupakan data yang bersifat subjektif (Pudjijogyanti, 1988).
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
konsep diri merupakan cara pandang mengenai sikap, perasaan, dan
keyakinan individu tentang dirinya sebagai hasil interaksinya dengan
lingkungan. Konsep diri juga terbentuk karena adanya interaksi dengan
orang-orang sekitarnya, bukan terbentuk dari genetik, tetapi melalui
proses pengalaman individu.
2.Aspek-aspek Konsep Diri
Suatu konsep diri terdiri dari berbagai aspek yang saling berkaitan
dan bersama-sama membentuk suatu konsep diri. Adanya dampak dari
interaksi sosial dan pengalaman hidup seseorang dapat menjadi bagian
dalam pembentukan dari aspek konsep diri. Menurut Berzonsky
(dalam Darmawan, 2015) menjelaskan bahwa terdapat empat aspek
dalam konsep diri yaitu:
a.Aspek fisik (physical self)
Pada aspek ini penilaian individu terhadap segala sesuatu
yang dimiliki individu seperti tubuh, pakaian, benda milikinya,
dan sebagainya. Ketika individu memiliki konsep diri positif
maka individu memandang keadaan fisiknya secara positif,
sebaliknya ketika individu memiliki konsep diri negatif,
individu tersebut memandang keadaan fisiknya secara negatif.

b.Aspek sosial (social self)
Pada aspek ini mencakup pandangan dan penilaian individu
terhadap kecenderungan sosial mereka sendiri. Konsep ini
berkaitan dengan bagaimana seseorang berhubungan dengan
berbagai interaksi sosialnya. Individu yang memiliki konsep
diri positif akan melihat diri nya sebagai orang yang
memahami orang lain, perhatian, menjaga perasaan orang lain,
dan aktif dalam kegiatan sosial. Di sisi lain, mereka yang
memiliki konsep diri negatif melihat diri mereka sebagai orang
yang kurang, tidak perhatian, dan tidak aktif dalam kegiatan
sosial.
c.Aspek psikis (psychological self)
Pada aspek ini meliputi pikiran, perasan, dan sikap-sikap
individu terhadap dirinya sendiri. Individu yang memiliki
konsep diri positif memandang dirinya sebagai orang yang
bahagia, optimis, dan memiliki berbagai kemampuan. Namun
jika individu tersebut memiliki konsep diri negatif memandang
dirinya sebagai orang yang tidak bahagia, pesimis, serta
memiliki berbagai macam kekurangan.
d.Aspek moral (moral self)
Pada aspek ini pandangan dan penilaian individu mengenai
moralitas dirinya. Konsep ini berkaitan dengan nilai serta
prinsip yang menjadi arti dan arah bagi kehidupan individu.

Individu dengan konsep diri positif apabila memandang diri
mereka sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai
moral. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki konsep diri
negatif apabila memandang dirinya sebagai orang yang
menyimpang dari yang seharusnya mereka ikuti.
Menurut Fits (Agustiani, 2009) konsep diri memiliki delapan aspek
yang terdiri dari aspek eksternal dan tiga aspek internal. Lima aspek
eksternal konsep diri, yaitu:
a.Konsep diri fisik
Konsep ini meliputi pandangan, pikiran, dan penilaian
individu terhadap keadaan fisiknya sendiri misalnya
penampilan, kondisi kesehatan, kondisi kulit, ketampanan
maupun kecantikan serta ukuran tubuh yang ideal.
b.Konsep diri pribadi
Konsep ini meliputi pandangan, pikiran dan perasaan
individu terhadap pribadinya.
c.Konsep diri sosial
Konsep ini meliputi pandangan, pikiran dan perasaan
individu terhadap kecenderungan sosial yang ada pada dirinya
sendiri.
d.Konsep diri moral & etik
Konsep diri moral etik yaitu pandangan, perasaan,
penilaian, serta pikiran individu mengenai moralitas dirinya.

e.Konsep diri keluarga
Konsep diri keluarga merupakan pandangan, pikiran, penilaian,
serta perasaan individu terhadap keluarganya. Konsep ini
berkaitan dengan keberadaan diri seseorang di dalam
keluarganya.
Kemudian terdapat tiga aspek internal konsep diri yaitu:
a.Identitas
Identitas merupakan suatu pandangan individu mengenai
diri mereka, Biasanya individu menggambarkan diri mereka
melalui label atau simbol-simbol-simbol yang akan membantu
membangun identitas mereka.
b.Kepuasan
Kepuasaan mencerminkan bagaimana individu
mendeskripsikan diri sebagai hasil pengamatan dan evaluasi
terhadap diri mereka. Persepsi ini akan menentukan kepuasan
dan penerimaan individu terhadap diri mereka.
c.Tingkah laku
Tingkah laku merupakan deskripsi mengenai persepsi
individu terhadap diri mereka yang meliputi tentang apa yang
mereka lakukan serta bagaimana mereka bertingkah laku.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
aspek yang mendasari konsep diri seseorang, yaitu aspek psikis, aspek
fisik, aspek moral, serta aspek sosial yang saling berkaitan satu dengan

lainnya, artinya dalam mengembangkan konsep diri setiap aspek harus
berjalan dengan seimbang.
Aspek psikis mencakup pandangan individu terhadap kemampuan
mental dan emosional diri, yang mencakup kesadaran diri, harga diri,
dan pengendalian diri. Aspek fisik berhubungan dengan persepsi
individu terhadap penampilan fisiknya dan bagaimana hal itu
mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Aspek
moral mencakup nilai dan keyakinan yang dipegang individu
mengenai kebenaran, keadilan, dan etika, yang sangat mempengaruhi
bagaimana mereka menilai diri sendiri dan orang lain. Sedangkan
aspek sosial berkaitan dengan bagaimana individu berinteraksi dalam
konteks sosial, termasuk hubungan dengan keluarga, teman, dan
masyarakat, serta peran yang dimainkan dalam lingkungan sosial
tersebut.
C.Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecemasan Sosial
Konsep diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang-
orang di sekitarnya. Konsep diri sering kali menjadi landasan utama dalam
menghadapi tentang sosial dan akademik di lingkungan kampus. Sebuah
penelitian oleh Hidayat (2022) menunjukkan bahwa konsep diri yang
positif berkontribusi pada kemampuan mahasiswa untuk merasa lebih
percaya diri dalam berinteraksi dengan lingkungan barunya, sementara

konsep diri yang rendah cenderung meningkatkan kerentanan terhadap
kecemasan sosial. Hal ini semakin relevan pada mahasiswa baru yang
sedang berada dalam fase transisi dari pendidikan menengah ke perguruan
tinggi, di mana tuntutan sosial dan akademik sering kali menjadi sumber
stres utama.
Selain itu, mahasiswa dengan konsep diri positif juga lebih
cenderung menghadapi situasi sosial dengan sikap yang tenang dan
percaya diri. Mereka mampu mengelola tekanan sosial dan menerima
kritik atau penilaian dari orang lain tanpa merasa terancam (Kholisa dkk.,
2024). Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan konsep diri positif
lebih jarang mengalami kecemasan sosial dan lebih mampu beradaptasi
dengan berbagai tantangan yang ada (Revaldi & Rachmawati, 2019). Hal
ini karena konsep diri yang positif memberikan dukungan emosional,
sehingga memungkinkan mereka untuk fokus pada potensi dan kelebihan,
daripada terjebak dalam kekhawatiran atau kekurangan.
Kepercayaan diri sebagai faktor penting dari konsep diri memiliki
pengaruh langsung terhadap tingkat kecemasan sosial. Mahasiswa dengan
kepercayaan diri yang tinggi lebih mampu mengelola interaksi sosial tanpa
merasa cemas atau takut terhadap penilaian orang lain (Aisy & Purwanto,
2024). Sebaliknya, kepercayaan diri yang rendah dapat memperbesar rasa
takut terhadap situasi sosial yang baru dan kompleks. Mutahari (2016)
mengungkapkan bahwa kepercayaan diri tidak hanya meningkatkan
kemampuan individu dalam mengatasi tekanan sosial tetapi juga berfungsi

sebagai pelindung terhadap kecemasan sosial yang sering dialami
mahasiswa baru.
Selain itu, dukungan sosial berperan penting dalam memperkuat
hubungan antara konsep diri dan kecemasan sosial. Dukungan dari
keluarga, teman, dan lingkungan kampus dapat membantu mahasiswa baru
merasa diterima, dihargai, dan termotivasi untuk membangun interaksi
sosial yang sehat (Afgani, 2022). Penelitian oleh Azaria dan Syakarofath
(2024) menunjukkan bahwa mahasiswa dengan tingkat dukungan sosial
yang tinggi cenderung memiliki konsep diri yang lebih positif, yang pada
akhirnya menurunkan risiko kecemasan sosial. Sebaliknya, kurangnya
dukungan sosial dapat memperburuk konsep diri yang negatif dan
meningkatkan isolasi sosial, yang menjadi pemicu utama kecemasan
sosial.
Mahasiswa baru sering kali menjadi kelompok rentan karena
mereka dihadapkan pada tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang berbeda dari sebelumnya, seperti perbedaan budaya,
bahasa, dan gaya hidup di kampus. Perubahan ini tidak hanya
memengaruhi hubungan interpersonal tetapi juga memberikan tekanan
yang signifikan pada konsep diri individu. Sebagai contoh, penelitian oleh
Salma (2019) menunjukkan bahwa mahasiswa yang gagal menyesuaikan
diri di lingkungan sosial kampus memiliki tingkat kecemasan sosial yang
lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki konsep diri yang
stabil. Hal ini menunjukkan pentingnya konsep diri yang positif, dukungan

sosial yang memadai, dan kepercayaan diri yang kuat dalam membantu
mahasiswa baru mengatasi kecemasan sosial yang mereka alami.
D.Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif
antara konsep diri dan kecemasan sosial pada mahasiswa baru di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Artinya, semakin
positif konsep diri maka semakin rendah kecemasan sosial. Sebaliknya,
semakin negatif konsep dirinya maka semakin tinggi juga kecemasan
sosialnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut:
1.Varaibel kriteria : Kecemasan sosial
2.Variabel prediktor : Konsep Diri
B.Definisi Operasioanal
1.Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial adalah rasa takut berlebihan yang dialami
`seseorang ketika berada dalam lingkungan sosial, terutama karena
khawatir akan pandangan negatif, menerima evaluasi dan ketakutan

akan mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman seperti diamati,
dipermalukan, atau dihina oleh orang lain. Hal ini sering membuat
individu menghindari interaksi sosial. Dalam penelitian ini, kecemasan
sosial diukur berdasarkan aspek-aspek dari Greca & Lopez (1998),
yaitu: ketakutan akan penilaian negatif, penghindaran sosial dan rasa
tertekan dalam lingkungan baru yang berhubungan dengan orang baru
atau orang asing, serta penghindaran sosial dan rasa tertekan yang
dialami secara umum atau dengan orang yang dikenal. Semakin tinggi
skor kecemasan sosial seseorang, semakin tinggi pula tingkat
kecemasannya dan sebaliknya, semakin rendah skornya, semakin
rendah tingkat kecemasan sosialnya.
2.Konsep Diri
Konsep diri merupakan sikap, perasaan, dan keyakinan individu
tentang dirinya sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Konsep
diri juga terbentuk karena adanya interaksi dengan orang-orang
sekitarnya, bukan terbentuk dari genetik, tetapi melalui proses
pengalaman individu sejak kecil. Dalam penelitian ini, konsep diri
diukur menggunakan skala yang mencakup empat aspek menurut
Berzonsky (dalam Darmawan, 2015), yaitu: aspek fisik (physical self),
aspek psikis (psychological self), aspek sosial (social self), dan aspek
moral (moral self). Semakin tinggi skor yang diperoleh individu maka
semakin tinggi pula konsep dirinya. Sebaliknya, semakin rendah skor

yang diperoleh individu maka semakin rendah juga konsep diri
individu tersebut.
C.Populasi dan Teknik Sampel
1.Populasi
Populasi adalah kelompok subjek yang memiliki ciri dan
karakteristik serupa, yang membedakannya dari kelompok lain yang
akan menjadi objek generalisasi dalam penelitian (Azwar, 2012).
Berdasarkan data No. 657/UN7.H1/PP/XII/2024 dari bagian akademik
dan kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Diponegoro, populasi dalam penelitian ini terdiri dari 197 mahasiswa
dengan karakteristik mahasiswa baru angkatan 2024.
Jumlah sampel minimum suatu populasi diperoleh menggunakan
rumus Slovin dengan toleransi ketidaktelitian sebesar 5%. Berdasarkan
hasil perhitungan rumus slovin diperoleh sampel minum sebesar
131,99 dibulatkan menjadi 132 sampel.
2.Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convenience
sampling (Sanusi, 2014), convenience sampling adalah mengambil
responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang
secara kebetulan bertemu dapat digunakan sebagai sampel dengan
faktor utamanya adalah mahasiswa baru angkatan 2024 di Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro dengan
berjumlah minimal 132 mahasiswa yang dihitung menggunakan rumus
Slovin. Sampel dipilih dari mahasiswa yang mudah dihubungi dan
bersedia mengisi kuesioner dalam waktu yang ditentukan.
D.Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan skala sebagai
alat utama untuk mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan
mencangkup dua skala, yaitu skala konsep diri dan skala kecemasan sosial.
Kedua skala tersebut masing-masing terdiri dari item favorable dan
unfavorable. Model pengukuran yang digunakan pada penelitian ini adalah
skala Likert
1.Skala Kecemasan Sosial
Skala kecemasan sosial terdiri dari 11 item menggunakan Social
Anxiety for Adolescence (SAS-A) oleh La Greca dan Lopez (1998)
yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Apriliana dan Suranta
(2019). Aspek skala mencangkup ketakutan akan evaluasi negatif
(FNE), Penghindaran sosial dan rasa tertekan dalam situasi yang baru/
berhubungan dengan orang asing/baru(SAD-N), Penghindaran sosial
dan rasa tertekan yang dialami secara umum/dengan orang yang
dikenal (SAD-G).
Melalui hasil adaptasi oleh Apriliana dan Suranta (2019) terdapat
11 item secara signifikan mengukur 3 konstruk faktor SAS-A dalam

versi Indonesia. Item nomor 1, 3, 5, 7, dan 8 secara signifikan
mengukur Fear of Negative Evaluation (FNE) (Ketakutan terhadap
Evaluasi Negatif). Kemudian, item nomor 9, 10, 11, dan 14 secara
signifikan mengukur Social Avoidance and Distress-New (SAD-
New) (Penghindaran Sosial dan Distres Baru). Item nomor 15 dan 16
secara signifikan mengukur Social Avoidance and Distress-General
(SAD-G) (Penghindaran Sosial dan Distres Umum).
Penilaian Skala Kecemasan Sosial berdasarkan format Skala
Likert. Nilai skala setiap pertanyaan diperoleh dari jawaban subjek
yang menyatakan mendukung (favourable) atau tidak mendukung
(unfavourable) terhadap setiap pernyataan dalam empat kategori
jawaban, yakni “Sangat Sesuai (SS)”, “ Sesuai (S)”, “ Tidak Sesuai
(TS)”, “Sangat Tidak Sesuai (STS)”. Penilaian butir favourable
bergerak dari nilai 4 untuk jawaban “SS”, nilai 3 untuk jawaban “S”, 2
untuk jawaban “TS”, nilai 1 untuk jawaban “STS”. Penilaian butir
unfavourable bergerak dari nilai 1 untuk “SS”, 2 untuk jawaban “S”,
nilai 3 untuk jawaban “TS”, nilai 4 untuk jawaban “STS”.
2.Skala Konsep Diri
Peneliti menyusun Skala Konsep Diri yang merujuk pada aspek-
aspek yang disampaikan oleh Berzonsky (Darmawan, 2015) yaitu,
aspek fisik, aspek sosial, aspek psikis, dan aspek moral.

Penilaian Skala Konsep Diri berdasarkan format Skala Likert. Nilai
skala setiap pertanyaan diperoleh dari jawaban subjek yang
menyatakan mendukung (favourable) atau tidak mendukung
(unfavourable) terhadap setiap pernyataan dalam empat kategori
jawaban, yakni “Sangat Sesuai (SS)”, “Sesuai (S)”, “ Tidak Sesuai
(TS)”, “Sangat Tidak Sesuai (STS)”. Penilaian butir favourable
bergerak dari nilai 4 untuk jawaban “SS”, nilai 3 untuk jawaban “S”, 2
untuk jawaban “TS”, nilai 1 untuk jawaban “STS”. Penilaian butir
unfavourable bergerak dari nilai 1 untuk “SS”, 2 untuk jawaban “S”,
nilai 3 untuk jawaban “TS”, nilai 4 untuk jawaban “STS”. Rancangan
blueprint dan persebaran aitem dari Skala Konsep Diri disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Blueprint Skala Konsep Diri
NoAspek Indikator Aitem JumlahBobot
F UF
1Aspek
Fisik
Pandangan dan
penilaian individu
terhadap kondisi fisik
2 2 10 25%
Pandangan dan
penilaian individu ketika
berpenampilan di depan
umum
2 2
Penilaian individu
terhadap benda miliknya
1 1
2Aspek
Sosial
Kemampuan memahami
orang lain
2 2 10 25%
Kemampuan menjaga
perasaan orang lain
2 2
Aktif dalam kegiatan
sosial di kampus
1 1
3Aspek
Psikis
Individu dapat
memandang dirinya
sebagai orang yang
2 2 10 25%

bahagia
Individu melihat dirinya
sebagai orang yang
optimis
2 2
Individu merasa
memiliki kemampuan
untuk mencapai tujuan
1 1
4Aspek
Moral
Mampu berpegangg
teguh pada nilai-nilai
moral
3 2 10 25%
Memandang dirinya
sebagai orang yang
mengikuti norma atau
aturan
3 2
E.Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
1.Daya Beda Aitem
Peneliti memanfaatkan aplikasi SPSS version 25 untuk menghitung
daya beda aitem. Kriteria dalam memilih aitem didasarkan pada
korelasi aitem total dan batas yang digunakan yaitu ≥ 0,30. Semua
aitem yang memiliki koefisien korelasi mencapai minimal 0,30
menunjukkan daya beda aitem yang memuaskan (Azwar, 2013).
2.Validitas Alat Ukur
Hal penting pada penelitian yaitu validitas instrumen karena valid
tidaknya instrumen berpengaruh pada alat ukur yang digunakan
(Sugiyono, 2015). Untuk melihat validitas bisa melalui pendapat ahli
atau expert judgement (Sugiyono, 2015). Jika butir pertanyaan sudah

dikonstruksi sesuai dengan aspek dari teori yang ada, selanjutnya
melakukan konsultasi bersama dosen pembimbing. Dosen pembimbing
akan memberikan keputusan apakah instrumen tersebut bisa digunakan
tanpa dilakukan revisi, harus dilakukan revisi, atau perlu diganti
seluruhnya (Sugiyono, 2015).
3.Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas diuji dengan teknik koefisien Alpha Cronbach.
Aplikasi SPSS version 25 digunakan untuk menganalisis daya
diskriminasi aitem da menguji reliabilitas. Tingkat reliabilitas
ditunjukkan dengan rentang antara 0 hingga 1. Jika koefisien
reliabilitas semakin tinggi mendekati 1, maka semakin tinggi koefisien
reliabilitas instrumen tersebut (Azwar, 2013).
F.Metode Analisis Data
Peneliti menggunakan teknik analisis regresi linier sederhana
dalam menganalisis data. Aplikasi SPSS version 25 digunakan untuk
membantu menganalisis data. Tujuan analisis regresi sederhana adalah
untuk mencari tahu bagaimana variabel prediktor bisa mempengaruhi
variabel kriteria di garis yang linier (Ghozali, 2016). Analisis regresi linier
dapat dilakukan ketika beberapa asumsi telah terpenuhi, yaitu:
1.Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan dengan metode Kolmogorov-Smirnov
Test dengan bantuan aplikasi statistik SPSS versi 25. Data dianggap
terdistribusi normal jika nilai signifikansi p> 0,05. Sebaliknya, jika
nilai signifikansi p< 0,05, data dianggap tidak terdistribusi normal
(Ghozali, 2016).
2.Uji Linieritas
Uji linieritas pada penelitian ini menggunakan metode analisis
regresi linier sederhana yang bertujuan untuk melihat bagaimana
variabel bebas mempengaruhi variabel tergantung dalam garis yang
linier. Variabel penelitian dikatakan membentuk garis yang lurus
apabila memiliki nilai signifikansi p<0,05 (Ghozali, 2016).

DAFAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2009). Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya
dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja (D. Pakar (ed.);
Cetakan 2:). Refika Aditama.
Al-Ruwaili, M., Al Turki, Y., & Alardan, A. (2018). Social anxiety and its effect
on self-efficacy among family medicine residents in Riyadh. Journal of
Family Medicine and Primary Care , 7, 389.
https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc_360_17
Annisa, M. D. (2018). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kecemasan Umum
Pada Remaja Awal Relationship Between Self-Concept and General Anxiety
in Early Adolescent. E-Journal Gunadarma , 343(100), 106–111.
Burns, R. . (1993). Konsep Diri; Teori,Pengukuran,Perkembangan dan Perilaku.
Jakarta Arcan. http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?
pId=30093&pRegionCode=UNIPASBY&pClientId=707
Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. (1995). Psikologi tentang penyesuaian dan
hubungan kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Pres.
https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=1716
Devi Wahyu Kristanti. (2021). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan
Kecemasan Sosial Pada Remaja Di SMAN 1 Purwodadi. 19(5), 1–23.
Hidayah, K. (2017). Hubungan Konsep Diri Dengan Kecemasan Sosial Pada
Siswa Kelas 2 SMAN 1 Tumpang [Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang].
http://dx.doi.org/10.1038/s41421-020-0164-0%0Ahttps://doi.org/10.1016/
j.solener.2019.02.027%0Ahttps://www.golder.com/insights/block-caving-a-
viable-alternative/%0A???%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/s41467-020-15507-
2%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/s41587-020-05
Hidayat, J. (2022). Hubungan Konsep Diri dengan Kecemasan Sosial pada
Mahasiwa Baru Angkatan 2021 di UIN Ar-Raniry Banda Aceh. 35.
Hurlock. (2003). Elizabeth_Hurlock_Psikologi_Perkembangan.pdf (p. 447).
Kaplan & Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edisi ke-7. Binarupa Aksara.
http://library.poltekkespalembang.ac.id/keplinggau/index.php?
p=show_detail&id=995
Kholisa, I. N., Purnamasari, S. E., & Rinaldi, M. R. (2024). KONSEP DIRI DAN
KECEMASAN SOSIAL PADA MAHASISWA ( SELF-CONCEPT AND

SOCIAL ANXIETY IN COLLEGE STUDENTS ). 2(2), 110–119.
La Greca, L. N. (1998). Social Anxiety Among Adolescents: Linkages with Peer
Relations and Friendships. Journal of Abnormal Child Psychology, 26(2),
83–94. https://doi.org/10.1023/a:1022684520514
Leary, M. R., & Dobbins, S. E. (1983). Social anxiety, sexual behavior, and
contraceptive use. Journal of Personality and Social Psychology, 45 6,
1347–1354. https://api.semanticscholar.org/CorpusID:27861204
Moshman, D. (1998). Cognitive Development beyond Childhood. Craik &
Salthouse Lachman & Burack Cognition , 2, 947–978.
http://digitalcommons.unl.edu/edpsychpapers%0Ahttp://digitalcommons.unl.
edu/edpsychpapers/48
Palenzuela-Luis, N., Duarte, G., Gómez -Salgado, J., Gomez, J. A., & Sánchez-
Gómez, M. (2022). International Comparison of Self-Concept, Self-
Perception and Lifestyle in Adolescents: A Systematic Review. International
Journal of Public Health , 67, 1604954.
https://doi.org/10.3389/ijph.2022.1604954
Pratiwi, S. L., Ramdhani, R. N., Taufiq, A., & Sudrajat, D. (2023). Hubungan
Antara Konsep Diri dengan Kecemasan Sosial pada Mahasiswa Bandung.
KONSELING EDUKASI “Journal of Guidance and Counseling,” 7(1), 94.
https://doi.org/10.21043/konseling.v7i1.18595
Prawoto, B. Y. (2010). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kecemasan Sosial
Pada Remaja Kelas XI SMA Kristen 2 Surakarta. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Pudjijogyanti, C. R. (1988). Konsep diri dalam pendidikan. Arcan.
https://books.google.co.id/books?id=qGS9ngEACAAJ
Rachmawaty, F. (2015). Peran Pola Asuh Orang Tua terhadap Kecemasan Sosial
pada Remaja. Jurnal Psikologi Tabularasa, 10(1), 31–42.
Rakhmat. (2005). KOMUNlKASI.
Rapee, R. M. (1998). Overcoming Shyness and Social Phobia: A Step-by-Step
Guide. Jason Aronson, Incorporated. https://books.google.co.id/books?
id=fmTI5q4fpZoC
Richards, T. A. (1996). What is Social Anxiety?
https://socialanxietyinstitute.org/what-is-social-anxiety
Salma, N. (2019). HUBUNGAN ANTARAN KELEKATAN ORANGTUA DAN

KECEMASAN SOSIAL PADA REMAJA. Skripsi, April, 1–17.
Showers, C., Ditzfeld, C., & Zeigler-Hill, V. (2014). Self-Concept Structure and
the Quality of Self-Knowledge. Journal of Personality, 83.
https://doi.org/10.1111/jopy.12130
Suryaningrum. (2006). Indikasi gangguan kecemasan pada mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Laporan Penelitian.
Malang: Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.
Tirsae, O. V. (2016). Pengaruh harga diri terhadap kecemasan sosial pada
remaja korban bullying di Palangkaraya, Kalimantan Tengah [Sanata
Dharma University.]. http://repository.usd.ac.id/id/eprint/6251
Tucker-Drob, E., Brandmaier, A., & Lindenberger, U. (2019). Coupled Cognitive
Changes in Adulthood: A Meta- Analysis. Psychological Bulletin, 145.
https://doi.org/10.1037/bul0000179
Vriends, N., Pfaltz, M. C., Novianti, P., & Hadiyono, J. (2013). Taijin Kyofusho
and Social Anxiety and Their Clinical Relevance in Indonesia and
Switzerland. Frontiers in Psychology, 4(February), 1–9.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2013.00003
Wittchen, H.-U., & Fehm, L. (2003). Epidemiology and natural course of social
fears and social phobia. Acta Psychiatrica Scandinavica. Supplementum,
108, 4–18. https://doi.org/10.1034/j.1600-0447.108.s417.1.x
Zhang, D., Cui, Y., Zhou, Y., Cai, M., & Liu, H. (2018). The role of school
adaptation and self-concept in influencing Chinese high school students’
growth in math achievement. Frontiers in Psychology, 9(NOV), 1–11.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02356