ANALISIS DAN CATATAN KRITIS
KONSISTENSI DAN OBJEKTIVITAS HAKIM
Dalam Putusan No. 18/Pdt.G/2022/PN Psw, konsistensi dan objektivitas hakim tampak menonjol dari pendekatan yang sangat menekankan pemenuhan
syarat formil gugatan class action sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002. Majelis hakim secara konsisten menerapkan ketentuan tersebut
dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk) karena tidak terpenuhinya tiga syarat utama: numerosity (jumlah pihak yang diwakili tidak
dijelaskan atau tidak cukup besar), commonality dan typicality (kesamaan fakta dan dasar hukum antara anggota kelompok tidak tergambarkan dengan
jelas), serta adequacy of representation (kapasitas perwakilan kelompok diragukan). Dari segi hukum acara, pendekatan ini tampak netral dan taat asas
karena hakim tidak berpihak kepada salah satu pihak, melainkan mendasarkan keputusan pada ketentuan normatif yang berlaku secara umum bagi setiap
gugatan class action.
Namun demikian, apabila dianalisis dari segi objektivitas materiil dan kepekaan terhadap esensi keadilan, putusan ini menuai kritik. Hakim dinilai terlalu kaku
dalam berpegang pada prosedur sehingga mengabaikan substansi pokok perkara, yakni dugaan pelanggaran hak atas tanah dan perbuatan melawan hukum
oleh pemerintah. Hakim tidak mengeksplorasi fakta penting seperti apakah benar terjadi perusakan lahan tanpa prosedur sah, apakah para penggugat
merupakan pemilik atau penggarap sah, serta apakah kerugian yang diklaim sebesar Rp1,7 miliar memiliki dasar kuat. Dengan memilih langsung menolak
gugatan karena alasan formal, tanpa memberi kesempatan kepada penggugat untuk memperbaiki kekurangan administratif, hakim cenderung menunjukkan
sikap formalisme prosedural yang dapat menghambat akses keadilan substantif bagi masyarakat kecil.
Lebih jauh, konsistensi internal putusan juga layak dipertanyakan. Dalam menilai syarat numerosity, misalnya, hakim menyatakan bahwa tidak ada data
pasti mengenai jumlah anggota kelompok. Padahal, hal ini seharusnya dapat diatasi dengan memerintahkan penggugat untuk melampirkan daftar anggota
secara lengkap, bukan serta-merta menggugurkan gugatan. Begitu pula dalam menilai commonality, fakta bahwa para petani menghadapi permasalahan
yang sama (perusakan lahan tanpa kompensasi) seharusnya cukup memenuhi unsur kesamaan dasar hukum, meski terdapat variasi kecil seperti luas lahan
atau jenis tanaman. Dalam aspek adequacy of representation, keempat penggugat merupakan pihak langsung terdampak dan didampingi kuasa hukum,
tanpa adanya bukti konflik kepentingan. Maka, apabila majelis meragukan kapasitas mereka sebagai wakil kelompok, seharusnya disertai alasan konkret
atau memberi kesempatan pergantian kuasa hukum, bukan langsung menggugurkan perkara.
Secara keseluruhan, putusan ini mencerminkan konsistensi formil dalam penerapan hukum acara, tetapi mengesampingkan objektivitas dalam mencapai
keadilan substansial. Hakim tampak berpegang teguh pada teks hukum, namun kurang memperhatikan semangat perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat yang menjadi korban. Dampaknya, substansi sengketa tidak pernah diuji di pengadilan dan pihak tergugat —dalam hal ini pemerintah— secara
praktis diuntungkan karena terhindar dari pertanggungjawaban hukum. Dengan demikian, walaupun keputusan tersebut mungkin sah secara hukum
prosedural, namun dari perspektif keadilan sosial dan akses hukum bagi rakyat kecil, putusan ini dinilai kurang objektif dan mencerminkan pendekatan
peradilan yang terlalu formalis. Hal ini pada akhirnya dapat menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas dan kepekaan sosial lembaga peradilan.