\ANALISIS Putusan Gugatan Calss Action PPT.pdf

herihartanto3 2 views 16 slides Sep 13, 2025
Slide 1
Slide 1 of 16
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16

About This Presentation

\ANALISIS Putusan Gugatan Calss Action PPT.pdf


Slide Content

ANALISIS KASUS GUGATAN PERWAKILAN
KELOMPOK PADA
PUTUSAN NOMOR 18/PDT.G/2022/PN PSW

ANGGOTA
01
INTAN
SARASWATI R.A.
(E0022223)
STEVEN SURYA S
(E0022442)
KARINA ADINDA L
(E0022244)
YOGA AKBAR A N A
(E00224666)
04
02
05
03
RAFAEL FEBRIANTINUS P
(E0022384)

IDENTITAS PUTUSAN
1.Nomor dan Tahun Putusan : 18/Pdt.G/2022/PN Psw
2.Nama Pengadilan yang Mengadili : Pengadilan Negeri Pasarwajo
3.Tanggal Putusan : 14 September 2022
4.Para Pihak :
Penggugat: La Puji, Wa Ncia, La Uju, Alimudin (mewakili Kelompok
Petani Lapodi) yang diwakili oleh Kuasa Hukum
Tergugat: CV. AR HADI, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara
(Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan)
sebagai Turut Tergugat I, Pemerintah Republik Indonesia c.q
Pemerintah Daerah Kabupaten Buton sebagai Turut Tergugat II

KRONOLOGI SINGKAT
Para Penggugat, yang merupakan petani dari Kelompok Petani Lapodi,
mengklaim kepemilikan sah atas tanah kebun seluas sekitar 30.848 m² yang
telah mereka kuasai dan kelola sejak 1975. Sengketa muncul akibat
pembangunan proyek jalan dan pematangan lahan oleh CV. AR HADI yang
didanai Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Proyek tersebut menyebabkan
penggusuran dan kerusakan tanah serta tanaman tanpa musyawarah atau ganti
rugi yang layak. Meskipun Pemerintah Kabupaten Buton pernah menjanjikan
rumah dan kompensasi, janji itu tidak direalisasikan hingga terjadinya sengketa.

TUNTUTAN PENGGUGAT
Gugatan Para Penggugat dikabulkan seluruhnya.
Para Penggugat diakui sebagai pemilik sah tanah kebun seluas ±30.848 m² di Lingkungan Lapodi,
Pasarwajo, dengan batas-batas yang jelas.
Tindakan Tergugat dan Turut Tergugat berupa penguasaan, penyerobotan, penggusuran,
pembongkaran, dan pengrusakan tanaman dianggap perbuatan melawan hukum yang merugikan
Para Penggugat.
Surat-surat yang diterbitkan oleh Tergugat dan Turut Tergugat terkait tanah sengketa
dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Tergugat diwajibkan membayar ganti rugi material sebesar Rp1.640.620.825 dan ganti rugi
tanaman sebesar Rp98.220.825, serta ganti rugi immaterial Rp100.000.000.
Tergugat dan Turut Tergugat harus membayar denda harian (dwangsom) Rp1.000.000 per hari
jika terlambat melaksanakan putusan.
Putusan dapat langsung dilaksanakan meskipun ada upaya hukum lainnya.
Tergugat dan Turut Tergugat secara tanggung renteng diwajibkan membayar biaya perkara.

BANTAHAN TERGUGAT
Gugatan para penggugat tidak memenuhi syarat formal sebagai gugatan class action sesuai
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Para penggugat tidak menjelaskan secara rinci definisi kelompok yang diwakili dan tidak
mencantumkan anggota kelompok secara lengkap.
Tidak ada kesamaan fakta dan tuntutan substantif antara wakil kelompok dengan anggota,
sehingga legal standing penggugat dianggap tidak sah.
Gugatan hanya mengedepankan kepentingan pribadi tanpa mencantumkan mekanisme ganti rugi
bagi seluruh anggota kelompok, sehingga tidak mencerminkan tujuan class action.
Para tergugat menolak klaim kerugian yang diajukan karena tidak didasarkan pada fakta dan
dasar hukum yang sama.
Penggugat dinilai tidak menunjukkan kesungguhan dan kejujuran dalam melindungi kepentingan
kelompok yang diwakilinya.
Para tergugat memohon agar gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dan pemeriksaan pokok
perkara dihentikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

ISU HUKUM
Putusan Nomor 18/Pdt.G/2022/PN Psw berpusat pada permasalahan hukum terkait tindakan penggusuran, penyerobotan
lahan, dan perusakan tanaman oleh Tergugat dan Turut Tergugat terhadap lahan yang telah dikelola oleh Para Penggugat
sejak tahun 1975 tanpa melalui prosedur musyawarah maupun pemberian ganti rugi. Inti persoalan yuridis dalam perkara
ini mencakup dua aspek utama, yaitu perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dan
keabsahan gugatan sebagai class action. Para Penggugat menilai bahwa proyek pembangunan yang dilakukan tidak
mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,
yang mensyaratkan tahapan perencanaan, identifikasi kepemilikan, konsultasi publik, dan kompensasi yang layak. Dalam
pemeriksaan, Majelis Hakim menilai bahwa tindakan Tergugat memenuhi unsur PMH, yaitu adanya perbuatan melawan
hukum, kesalahan, kerugian, dan hubungan sebab akibat. Meskipun terdapat keberatan terkait aspek formal gugatan
perwakilan kelompok, pengadilan memutuskan bahwa gugatan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam
PERMA No. 1 Tahun 2002. Putusan ini menegaskan pentingnya perlindungan hukum terhadap hak masyarakat kecil dalam
proses pembangunan dan menjadi rujukan dalam penegakan keadilan sosial serta supremasi hukum, terutama dalam
konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM
Majelis hakim menilai bahwa Para Penggugat telah
menguasai, mengolah, dan memanfaatkan tanah
sengketa sejak tahun 1975 secara terus-menerus,
terbuka, dan tanpa gangguan dari pihak lain. Penguasaan
tersebut dianggap sah menurut hukum adat dan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA). Tindakan Tergugat yang
melakukan penggusuran, penyerobotan, dan perusakan
tanaman tanpa persetujuan maupun ganti rugi dinilai
sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata. Karena terbukti menimbulkan
kerugian, hakim memutuskan bahwa Para Penggugat
berhak mendapatkan ganti rugi.
Dalam mempertimbangkan bukti, hakim menggunakan
asas "barang siapa mendalilkan, wajib membuktikan"
(Pasal 1865 KUHPerdata). Bukti surat, keterangan saksi,
dan jika ada, keterangan ahli, dinilai sah dan saling
menguatkan, serta tidak berhasil dibantah oleh pihak
Tergugat. Dasar hukum yang digunakan antara lain
KUHPerdata, UUPA No. 5 Tahun 1960, yurisprudensi
Mahkamah Agung, dan doktrin hukum agraria.

PUTUSAN PENGADILAN
Amar Putusan:Amar Putusan:
Menyatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok (class action) Para Penggugat tidak dapat
diterima
Menyatakan bahwa pemeriksaan substansi perkara tidak perlu dilanjutkan
Menghukum Para Penggugat secara tanggung renteng membayar biaya perkara sebesar
Rp517.000,00 (lima ratus tujuh belas ribu rupiah).
Pertimbangan Putusan:Pertimbangan Putusan:
Identitas Para Penggugat tersebut tidak mencerminkan wilayah yang diwakili dan menjadi
tidak jelas masuk ke kelompok mana Para Penggugat, sebagaimana yang disyaratkan dalam
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Definisi kelompok secara rinci dan spesifik yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban
melakukan pemberitahuan, tidak terpenuhi dalam gugatan class action Para Penggugat.

PUTUSAN PENGADILAN
Para Penggugat hanya menyampaikan terkait yang menurutnya dianggap fakta, peristiwa dan
dasar hukum kepentingannya sendiri selaku wakil kelompok yang bertindak atas
kepentingannya sendiri tanpa menjelaskan atau mengemukakan dalam posita dan petitumnya
fakta, kepentingan dan dasar hukum anggota kelompok yang diwakilinya.
Gugatan class action Para Penggugat tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana Pasal 2
huruf b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Tidak ada kejujuran dan kesungguhan Para Penggugat selaku wakil kelompok untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya, hal tersebut terlihat dari posita maupun
petitum gugatan class action Para Penggugat tersebut di atas, dengan demikian tidak
memenuhi kriteria gugatan class action sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 2 huruf c
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002.
Gugatan Para Penggugat yang mengatasnamakan Kelompok Petani Lapodi dan diajukan
melalui prosedur gugatan perwakilan kelompok (class action) tersebut di atas adalah tidak
memenuhi syarat dan karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima.

ANALISIS DAN CATATAN KRITIS
Dalam kasus No. 18/Pdt.G/2022/PN Psw, empat orang wakil petani mengajukan gugatan class action terhadap pelaksana proyek jalan dan dua
instansi pemerintah, dengan dalil bahwa lahan mereka digusur tanpa prosedur pengadaan tanah dan tanpa ganti rugi. Para penggugat memilih class
action karena banyaknya korban dengan masalah yang serupa, yaitu kehilangan lahan akibat tindakan tergugat yang diduga melawan hukum. Namun
demikian, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo tidak memeriksa substansi perkara karena menilai bahwa gugatan tidak memenuhi syarat
formal class action sesuai PERMA No. 1 Tahun 2002, dan karenanya dinyatakan tidak dapat diterima. Hal ini mengakhiri proses pemeriksaan perkara
di tingkat pertama, meskipun para penggugat masih memiliki opsi untuk mengajukan gugatan ulang atau melakukan upaya hukum lain.
Dasar hukum utama dalam perkara ini meliputi Pasal 1365 KUHPerdata, UUPA 1960, UU No. 2 Tahun 2012, PERMA No. 1 Tahun 2002, serta norma
konstitusional dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Sayangnya, karena perkara tidak memasuki pokok substansi, tidak satu pun dari dasar hukum
materiil tersebut benar-benar dianalisis dalam putusan. Penerapan Pasal 1365 KUHPerdata oleh penggugat sebenarnya sangat relevan karena
mereka mengklaim adanya kerugian akibat tindakan melawan hukum oleh tergugat. Namun karena gugatan ditolak di tahap awal, hakim tidak pernah
menilai apakah unsur PMH itu terbukti. Hal yang sama berlaku untuk UUPA dan UU No. 2 Tahun 2012, yang sebenarnya merupakan landasan penting
dalam menilai legalitas tindakan penggusuran lahan oleh negara dan pelaksana proyek. Tidak diterapkannya kedua undang-undang ini menandakan
kurangnya pendekatan sistematis dan menyeluruh dalam pertimbangan hukum putusan tersebut.
Sebaliknya, satu-satunya dasar hukum yang benar-benar diterapkan oleh majelis hakim adalah PERMA No. 1 Tahun 2002. Hakim secara eksplisit
menggunakan ketentuan PERMA ini untuk menyatakan bahwa gugatan class action para penggugat tidak memenuhi syarat, sehingga dinyatakan
tidak dapat diterima. Meskipun secara teknis penerapan PERMA tersebut tepat, namun dapat dikritik dari segi filosofi keadilan. Hakim terlalu fokus
pada kekakuan prosedur dan kurang mempertimbangkan esensi bahwa gugatan class action dimaksudkan untuk memfasilitasi penyelesaian
masalah hukum yang berdampak luas dan masif. Sebuah pendekatan yang lebih fleksibel atau setidaknya memberikan kesempatan perbaikan
gugatan mungkin akan lebih sejalan dengan prinsip keadilan substantif.
Terakhir, dasar hukum konstitusional seperti Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan prinsip hak asasi manusia (misalnya dalam UU No. 39 Tahun 1999)
seharusnya menjadi bahan pertimbangan hakim, terutama dalam menilai apakah tindakan penggusuran tanpa ganti rugi melanggar hak asasi atas
kepemilikan dan tempat tinggal. Namun, tidak ada indikasi bahwa pertimbangan tersebut diangkat dalam putusan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa putusan PN Pasarwajo lebih menitikberatkan pada aspek prosedural formil, dan belum menyentuh atau menerapkan norma-
norma hukum substantif yang seharusnya menjadi fondasi dalam menilai keabsahan tindakan tergugat terhadap warga.

ANALISIS DAN CATATAN KRITIS
KONSISTENSI DAN OBJEKTIVITAS HAKIM
Dalam Putusan No. 18/Pdt.G/2022/PN Psw, konsistensi dan objektivitas hakim tampak menonjol dari pendekatan yang sangat menekankan pemenuhan
syarat formil gugatan class action sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002. Majelis hakim secara konsisten menerapkan ketentuan tersebut
dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk) karena tidak terpenuhinya tiga syarat utama: numerosity (jumlah pihak yang diwakili tidak
dijelaskan atau tidak cukup besar), commonality dan typicality (kesamaan fakta dan dasar hukum antara anggota kelompok tidak tergambarkan dengan
jelas), serta adequacy of representation (kapasitas perwakilan kelompok diragukan). Dari segi hukum acara, pendekatan ini tampak netral dan taat asas
karena hakim tidak berpihak kepada salah satu pihak, melainkan mendasarkan keputusan pada ketentuan normatif yang berlaku secara umum bagi setiap
gugatan class action.
Namun demikian, apabila dianalisis dari segi objektivitas materiil dan kepekaan terhadap esensi keadilan, putusan ini menuai kritik. Hakim dinilai terlalu kaku
dalam berpegang pada prosedur sehingga mengabaikan substansi pokok perkara, yakni dugaan pelanggaran hak atas tanah dan perbuatan melawan hukum
oleh pemerintah. Hakim tidak mengeksplorasi fakta penting seperti apakah benar terjadi perusakan lahan tanpa prosedur sah, apakah para penggugat
merupakan pemilik atau penggarap sah, serta apakah kerugian yang diklaim sebesar Rp1,7 miliar memiliki dasar kuat. Dengan memilih langsung menolak
gugatan karena alasan formal, tanpa memberi kesempatan kepada penggugat untuk memperbaiki kekurangan administratif, hakim cenderung menunjukkan
sikap formalisme prosedural yang dapat menghambat akses keadilan substantif bagi masyarakat kecil.
Lebih jauh, konsistensi internal putusan juga layak dipertanyakan. Dalam menilai syarat numerosity, misalnya, hakim menyatakan bahwa tidak ada data
pasti mengenai jumlah anggota kelompok. Padahal, hal ini seharusnya dapat diatasi dengan memerintahkan penggugat untuk melampirkan daftar anggota
secara lengkap, bukan serta-merta menggugurkan gugatan. Begitu pula dalam menilai commonality, fakta bahwa para petani menghadapi permasalahan
yang sama (perusakan lahan tanpa kompensasi) seharusnya cukup memenuhi unsur kesamaan dasar hukum, meski terdapat variasi kecil seperti luas lahan
atau jenis tanaman. Dalam aspek adequacy of representation, keempat penggugat merupakan pihak langsung terdampak dan didampingi kuasa hukum,
tanpa adanya bukti konflik kepentingan. Maka, apabila majelis meragukan kapasitas mereka sebagai wakil kelompok, seharusnya disertai alasan konkret
atau memberi kesempatan pergantian kuasa hukum, bukan langsung menggugurkan perkara.
Secara keseluruhan, putusan ini mencerminkan konsistensi formil dalam penerapan hukum acara, tetapi mengesampingkan objektivitas dalam mencapai
keadilan substansial. Hakim tampak berpegang teguh pada teks hukum, namun kurang memperhatikan semangat perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat yang menjadi korban. Dampaknya, substansi sengketa tidak pernah diuji di pengadilan dan pihak tergugat —dalam hal ini pemerintah— secara
praktis diuntungkan karena terhindar dari pertanggungjawaban hukum. Dengan demikian, walaupun keputusan tersebut mungkin sah secara hukum
prosedural, namun dari perspektif keadilan sosial dan akses hukum bagi rakyat kecil, putusan ini dinilai kurang objektif dan mencerminkan pendekatan
peradilan yang terlalu formalis. Hal ini pada akhirnya dapat menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas dan kepekaan sosial lembaga peradilan.

ANALISIS DAN CATATAN KRITIS
NILAI PRESEDEN PUTUSAN
Putusan Nomor 18/Pdt.G/2022/PN Psw memiliki nilai preseden yang lemah secara yuridis
karena berasal dari pengadilan tingkat pertama, tidak menafsirkan hukum secara baru,
serta mengandung cacat dalam penerapan prosedur gugatan class action sebagaimana
diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002. Hakim tidak melakukan preliminary certification
test, tidak memverifikasi notifikasi publik, dan tidak menilai representasi kelompok secara
memadai, sehingga tidak menghasilkan prinsip hukum yang dapat dijadikan acuan. Meski
tidak memiliki kekuatan mengikat atau nilai rujukan normatif, putusan ini memiliki daya
pengaruh sosiologis karena menunjukkan keberpihakan pada kelompok masyarakat kecil
(petani) dalam menghadapi proyek pembangunan yang merugikan, sehingga dapat
mendorong kesadaran hukum dan keberanian warga untuk menggunakan mekanisme class
action dalam memperjuangkan hak kolektif mereka

IMPLIKASI PUTUSAN
Keputusan ini memperkuat posisi hukum kelompok petani dan masyarakat adat yang telah lama menguasai dan
menggunakan tanah, meskipun mereka belum memiliki sertifikat resmi.
Penggunaan mekanisme gugatan perwakilan kelompok dalam kasus ini membuka peluang bagi kelompok masyarakat lain
untuk menempuh jalur hukum secara kolektif demi memperjuangkan kepentingan bersama, sehingga akses keadilan
menjadi lebih terbuka bagi semua.
Putusan ini menguatkan legal standing para penggugat dalam gugatan perwakilan dan menekankan pentingnya prosedur
pemberitahuan serta opsi untuk keluar dari kelompok.
Tindakan penggusuran, penyerobotan, dan perusakan tanpa adanya musyawarah serta kompensasi yang wajar
merupakan tindakan yang melawan hukum, bahkan jika dilakukan atas nama proyek pemerintah.
Perbaikan dalam pengelolaan dan transparansi dalam prosedur pengadaan tanah, serta dapat menjadi dasar
pertimbangan untuk revisi atau penegasan aturan teknis terkait perlindungan hak masyarakat yang terdampak
pembangunan.
Putusan ini memiliki potensi untuk memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan yurisprudensi di masa depan,
terutama terkait sengketa tanah antara masyarakat lokal dengan pemerintah atau perusahaan swasta dalam konteks proyek
pembangunan. Keputusan ini menekankan bahwa penguasaan fisik lahan dan penggunaan tanah yang telah dilakukan oleh
masyarakat secara turun-temurun, meskipun tanpa dokumen resmi, tetap diakui dan dilindungi oleh hukum jika dapat
dibuktikan dengan jelas.

KESIMPULAN
Dalam perkara perdata Nomor 18/Pdt.G/2022/PN Psw, Para Penggugat mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action)
terhadap CV. AR Hadi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Pemerintah Kabupaten Buton atas dugaan perbuatan melawan
hukum berupa penyerobotan tanah, penggusuran, dan perusakan tanaman terkait proyek pembangunan Jalan Lingkungan dan
Pematangan Lahan Rawan Bencana di Kelurahan Pasarwajo. Namun, dalam pemeriksaan pendahuluan, Majelis Hakim menilai gugatan
tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002. Beberapa kekurangan mendasar yang ditemukan
antara lain Para Penggugat tersebut tidak mencerminkan wilayah yang diwakili dan menjadi tidak jelas masuk ke kelompok mana Para
Penggugat, Para Penggugat hanya menyampaikan terkait yang menurutnya dianggap fakta, peristiwa dan dasar hukum
kepentingannya sendiri selaku wakil kelompok yang bertindak atas kepentingannya sendiri tanpa menjelaskan atau mengemukakan
dalam posita dan petitumnya fakta, kepentingan dan dasar hukum anggota kelompok yang diwakilinya. Selain itu, tindakan Para
Penggugat dinilai tidak menunjukkan kejujuran dan kesungguhan dalam mewakili kelompok, serta munculnya kelompok tambahan
secara mendadak yang tidak dicantumkan dalam surat gugatan awal memperkuat indikasi ketidakhati-hatian dalam penyusunan
gugatan. Dari aspek substansi, gugatan juga dinilai obscuur libel (kabur), karena tidak menjelaskan dengan jelas hubungan hukum
antara Para Penggugat dan objek sengketa maupun perhitungan ganti rugi yang proporsional. Walaupun nilai kerugian yang diajukan
cukup besar, yaitu lebih dari Rp1,7 miliar, Majelis Hakim memutuskan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena
cacat formil. Putusan ini menegaskan pentingnya pemenuhan syarat formal dan substansi dalam pengajuan gugatan class action,
agar dapat memberikan jaminan keterwakilan dan keadilan bagi seluruh anggota kelompok yang merasa dirugikan.

THANK YOU
Tags