Anastesi Neuraxial dan Blok Saraf Perifer pada Pasien dengan Antikoagulan.docx

AnthonyJohnson29795 10 views 32 slides Oct 13, 2024
Slide 1
Slide 1 of 32
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32

About This Presentation

neuraxial dan antikoagulan terapi


Slide Content

Anastesi Neuraxial dan Blok Saraf Perifer pada Pasien
dengan Antikoagulan
PENDAHULUAN
Hematoma intraspinal merupakan kondisi yang jarang disebabkan karena beberapa
kasus. Kasus trauma termasuk lumbar puncture dan anastesi neuraxial. Lebih sering terjadi
pada pasien dengan antikoagulan atau trombositopenik, pasien dengan kelainan neoplastic,
atau pasien dengan kelainan liver atau alkoholisme, rata-rata 1 sampai 1/3 dari semua kasus
berhubungan dengan terapi antikoagulan. Risiko dari pembentukan hematoma intraspinal
setelah pemberian anastesi neuraxial dan analgesia meningkat pada pasien yang menerima
terapi antikoagulan atau yang mempunyai kelainan koagulasi.
1
Untuk alasan ini, anastesi
neuraxial sering menjadi kontraindikasi dari adanya koagulopati. Faktor risiko lain dari
pembentukan hematoma spinal dan epidural termasuk kesulitan teknik (multiple attempts)
pada prosedure neuraxial dikarenakan adanya abnormalitas anatomi pada tusukan spinal dan
multipel atau bloody puncture.
Insidensi dari hematoma spinal telah dilaporkan pada satu dari 150.000 epidural dan
satu dari 220,000 anastesi spinal.
2
Studi epidemiologi terkini menunjukkan adanya insidensi
hematoma spinal lebih banyak, yaitu satu dari 2700 samapai satu dari 19,506 epidural.
3-6
Studi terkini menunjukkan adanya risiko pada 1 dari 21,643 injeksi epidural.
7
Pada kasus
pasien yang lebih tua (satu dari 3800)
4
akan meningkatkan risiko dikarenakan degenerasi dari
abnormalitas spinal, osteoporosis, dan kelainan vascular perifer.
8,9
Populasi kehamilan
memiliki insidensi lebih rendah dari hematoma spinal (satu dari 200,000),
4
kemunkinan
sekunder dari status hiperkoahulasi pada kehamilan, kapasitas yang lebih luas dari ruang
epidural pada kehamilan muda, tekanan intraepidural yang tinggi. Berdasarkan penelitian
terkini, insidensi hematoma pada pasien dengan abnormal koagulasi mungkin lebih rendah
dengan satu dari 315 pasien.
10
Pengenalan low molecular weight heparin (LMWH) berhubungan dengan jarum suntuk
pada insidensi hematoma spinal, menyebabkan perhatian dari Food and Drug Administration
(FDA) dan pengenalan dari konsensus pertama pada anastesi regional pada pasien dengan

antikoagulasi oleh American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine (ASRA)
pada tahun 1998.
11
Pedoman yang didasarkan oleh ulasan mendalam dari literature dan
farmakologi dari perbedaan antikoagulan. Rekomendasi dari waktu blok neuraxial, pelepasan
dari kateter epidural, dan pemberian antikoagulan. Penggunaan konsentrasi rendah dari
anastesi lokal dari infus epidural (untuk memberikan kekuatan motorik untuk monitoring
yang lebih mudah). Dan monitoring neurologis direkomendasikan oleh ASRA. Pedoman
konsensus, yang diterbitkan pada tahun 1998 dan diperbaharui pada tahun 2003 dan 2010,
12, 13
memaksa klinisi membuat keputusan dengan penggunaan prosedur neuraxial pada pasien
dengan terapi antikoagulan. Dua pedoman lain, yang diterbitkan oleh European Society of
Anaesthesiologi and the Scandinavian Societty of Anaesthesiology and Intensive Care
Medicine, sangan berpengaruh di Eropa.
14,15
Pada bab ini, kita akan mendiskusikan antikoagulan umum dan memberikan pembaca
pedoman membuat keputusan dari penggunaan anastesi neuraxial dan peripheral nerve
blocks (PNB) dalam praktis klinis. Kita akan mendiskusikan antikoagulan baru, obat yang
tidak digunakan lagi oleh pedoman ASRA terbaru dan pedoman yang dikeluarkan oleh
European and Scandinavian
Medikasi antiplatelet menghentikan enzim siklooksigenase pada platelet dan mencegah
sintesis dari tromboksan A2. Tromboksan A2 merupakan vasokonstriktor yang memfasilitasi
agregasi platelet sekunder dan reaksi pengeluaran. Peran dari platelet dalam koagulasi dan
hemostasis dijelaskan pada Gambar 52-1 dan 52-2 . Platelet dari pasien dengan medikasi ini
memiliki normal platelet adherence pada subendotelium dan formasi sumbatan hemostatik
primer normal. Secara adekuat, walaupun rapuh, gumpalan dapat terbentuk.. walaupun
beberapa sumbatan menjadi barrier dari hemostatis yang memuaskan untuk lesi vascular
kecil, formasi sumbatan hemostatik pascaoperasi tidak memadai. Fungsi platelet pada pasien
yang menerima medikasi antiplatelet diasumsikan diturunkan selama 1 minggu aspirin dan 1-
6 harI dengan nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAID).
16
Asumsi ini tidak dalam
pertimbangan dari pemberntukan formasi baru, platelet yang fungsional. Produksi baru,
platelet yang berfungsi normal, kombinasi dengan fungsi penurunan pada sirkulasi platelet
dapat dijelaskan pada keamanan relative dari prosedurisasi neuraxial pada pasien ini.
TERAPI ANTIPLATELET

Risiko hematom spinal dan epidural pada pasien dengan terapi antiplatelet telah
dilaporkan dari beberapa penelitian yaitu tidak adanya pembentukan hematoma epidural
spontan pada anastesi spinal atau epidural pada pasien dengan penggunaan aspirin
17
Vandermeulen et al. mengimplikasikan terapi antiplatelet pada 3 dari 61 kasus hematoma
spinal terjadi setelah anastesi spinal dan epidural.
18
Studi lain menyebutkan risiko rendah dari
hematoma spinal pada pasien dengan aspirin atau NSAID yang menjalani prosedur neuraxial.
Collaborative Low dose Aspirin Study in Pregnancy (CLASP) Group
19
termasuk 1422 pasien
hamil dengan risiko tinggi yang menerima 60 mg aspirin setiap hari dan menjalani anastesi
epidural tanpa gejala sisa neurologis. Studi restropektif dari 1013 anastesi spinal dan epidural
dengan obat antiplatelet diberikan pada 39% pasien, termasuk 11 pasien dengan medikasi
antiplatelet multipel, tidak ada pasien dengan tanda hematoma spinal.
20
Pasien dengan
medikasi antiplatelet, menunjukkan adanya insidensi tinggi dari aspirasi daral pada jarum
atau kateter spinal atau epidural. Studi prospektif pada 1000 pasien, 39% dari mereka
melaporkan penggunaan terapi antiplatelet pra operasi, menunjukkan tidak adanya
komplikasi hemorrhagic.
21
maka dari tiu, praoperatif terapi antiplatelet bukan merupakan
faktor risiko dari bloody needle or catheter placement. Wanita, peningkatan usia, pengalaman
perdarahan berlebih, teknik kateter kontinu, jarum dengan gauge yang besar, multiple
attempts, dan kesulitan pemasangan jarum menjadi faktor risko yang signifikan. Studi klinis
pada pasien nyeri klinis sama dengan yang menjalani operasi. Pasien dengan aspirin
22
atau
NSAID
23
yang menerima injeksi steroid epidural tidak memberikan tandadan gejala dari
hematoma spinal.
Kurangnya korelasi antara medikasi platelet dan bloody needle or catheter placement
memberikan bukti bahwa terapi antiplatelet praoperasi bukan merupakan faktor risko dari
disfungsi neurologis dari hematoma spinal pada pasien dengan terapi antiplatelet. Terdapat
case report mengenai hematoma intraspinal pada pasien yang menerima aspirin atau NSAID<
walaupun terdapat faktor komplikasi pada kasus ini. Ini termasuk pemberian heparin,
bersamaan dengan angioma vena epidural, dan kesulitan teknik pada prosedur ini.
24
Studi
terkini, lebih banyak penelitian tentang hematoma spinal yang diterbitkan berhubungan
dengan nyeri pada intervensi prosedur, khususnya spinal cord stimulation placements.
25
Berdasarkan bukti yang tersedia, ASRA memberikan beberapa rekomendasi berkaitan
dengan medikasi antiplatelet.
12,13
Terapi antiplatelet praoperasi bukan merupakan faktor risiko
dari disfungsi neurologis dari hematoma spinal pada pasien dengan terapi antiplatelet. Risiko
komplikasi perdarahan, dapat meningkat pada pasien dengan medikasi antiplatelet dan

medikasi lain dengan mekanisme clotting, seperti antikoagulan oral, heparin standar, dan
LMWH.
24
Aspirin dan Interventional Pain Procedures
Terdapat beberapa penelitian mengenai hematoma spinal setelah injeksi steroid epidural
atau penempatan atau pelepasan spinal cord stimulator pada pasien dengan penggunaan
aspirin dosis tunggal, NSAID dosis tunggal atau saat pedoman ASRA digunakan.
26-30
Kemungkinan ini berhubungan dengan penemuan abnormalitas spinal yang sering ditemukan
pada pasien, munculnya fibrosis setelah operasi spinal, jarum besar yang digunakan pada
spinal cord stimulator placement, atau manipulasi (advancements and retraction) dari
elektroda. Medikasi digunakan dalam manejemen nyeri juga menyebabkan perdarahan,
termasuk oxcarbazepine dan selective serotonin reuptake inhibitors.
31,32
Untuk alasan ini,
ASRA bekerja sama dengan European Society of Regional Anaesthesia and Pain Therapy,
the American Academy of Pain Medicine, dan International Neuromodulation Society, the
North American Neuromodulation Society, dan World Institute of Pain untuk
memformulasikan pedoman spesifik untuk prosedur intervensi nyeri.
33
Kontras dengan
pedoman anastesi regional ASRA, pedoman multisociety merekomendasikan aspirin
dihentikan 4-6 hari sebelum prosedur intervensi nyeri.
Info Klinis Penting
Prosedur anastesi neuraxial dan regional aman pada pasien dengan aspirin dan
NSAID
Faktor risiko dari peningkatan perdarahan dan hematoma spinal termasuk pasien
yang menerima obat-obat antiplatelet dan diperlukan beberapa percobaan
Info Klinis Penting
Pedoman untuk prosedure intervensi nyeri pada pasien dengan medikasi
antikoagulan dan antiplatelet lebih terbatas dibandingkan dengan anastesi regional

COX-2 Inhibitors dan P2Y12 Inhibitors
Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitors menjadi popular dikarenakan sifat analgesik dan
memiliki efek gastrointestinal dan platelet yang rendah, dan studi menunjukan sifat
analgesiknya bervariasi pada perioperative settings.
34-38
Obat dengan toksisitas
gastrointestinal minimal dan ideal untuk pasien dengan risiko tinggi kelainan pencernaan
atas. Dibandingkan dengan aspirin atau NSAID, efek COX-2 inhibitors pada agregasi platelet
dan waktu perdarahan tidak berbeda dari placebo.
39-41
Kehilangan darah tidak meningkat
selama spinal fusion surgery saat COX-2 inhibitors diberikan pada praoperasi. Keuntungan
platelet pada obat ini menjadikan mereka ideal untuk digunakan pada praoperasi saat anastesi
neuraxial digunakan. Sayangnya, rofecoxib dan valdecoxib telah ditarik dari peredaran
dikarena efek samping kardiovaskularnya,
42
hanya tersisa celecoxib yang tersedia, tapi
dengan dosis lebih rendah dari sebelumnya.
Thienopyridine drugs ticlopidine dan clopidogrel tidak memberikan efek langsung pada
metabolisme asam arachidonate. Obat ini mencegah agregasi platelet dengan menginhibisi
adenosine diphosphate (ADP) receptor mediated platelet activation.
24,43
Obat ini juga
memodulasi otot polos vascular, menurunkan kontraksi vascular.
44
Ticlopidine jarang
digunakan karen menyebabkan neutropenia, thrombositopenia purpura, dan
hiperkolesterolemia.

Clopidogrel disukai karena meningkatkan keamanan dan memberikan efikasi. Obat ini
lebih baik dari aspirin pada pasien dengan kalianan vascular perifer.
45
Inhibisi maksimal dari
ADP induced platelet aggregation dengan clopidogrel tejadi pada 3-5 hari setelah inisiasi
dosis standar (75 mg) tapi dengan 4-6 jam setelah pemberian dosis besar 300-600 mg.
46
Dosis
besar biasanya diberikan pada pasien sebelum menjalani percutaneous coronary intervention
(PCI). Terdapat beberapa peneliat berkaitan dengan hematoma spinal pada pasien dengan
ticlodipine.
47
Walaupun tidak ada kasus dari hematoma interspinal pada pasien dengan
penggunaan clopidogrel dosis tunggal, kasus kuadriplegia pada pasien dengan clopidogrel,
diclofenac, dan aspirin telah dilaporkan.
24
Untuk obat thienopyridine, direkomendasikan ticlopidine dihentikan selama 10-14 hari
dan clopidogrel selama 7 hari sebelum injeksi neuraxial. Beberapa penelitian berkaitan
dengan keamanan anastesi spinal 5 hari setelah penghentian clopidogrel. Studi menunjukkan
kebanyakan pasien mengalami minimal inhibisi platelet 5 hari setelah penghentian
clopidogrel.
48
Bila prosedur neuraxial dilakukan 5-6 hari setelah penghentian clopidogrel, lalu
uji P2Y12,
48
atau tes lain yang dibutuhkan, untuk dijalankan untuk meminimalisir atau tidak
menginhibisi aktivitas platelet.
Untuk percobaan stimulasi spinal cord, penghentian 5 hari harus diobservasi sejak
pasien menghentikan clopidogrel selama masa percobaan. Tes fungsi platelet (seperti
VerifyNow P2Y12 assay) atau platelet mapping portion dari Thrombelastograph [TEG] harus
dijalani untuk memastikan aktivitas platelet yang adekuat.
Newer Antiplatelet Drugs
Clopidogrel biasa digunakan sebagai obat antiplatelet sebagai dul antiplatelet therapy,
dimana aspirin dikombinasikan dengan P2Y12 receptor inhibitor, pada pasien dengan
sindrom koroner akut. Prasagurel merupakan prodrug sama dengan clopidogrel tapi dengan
Info Klinis Penting
Pedoman ASRA merekomendasikan adanya jarak 7 hari diantara penghentian
clopidogrel dan prosedur neuraxial
Bila spinal atau epidural harus dijalani, tes fungsi platelet direkomendasikan
untuk memastikan inhibisi platelet residual telah hilang atau tak berarti

manfaatnya diatas clopidogrel, dan ticagrelor merupakan direct acting P2Y12 receptor
inhibitor.
29-51
Efek ½ puncaknya yaitu 1 jam dengan prasugrel dan 4 jam dengan
clopidogrel.
52
Waktu rata-rata untuk mencpai punca konsentrasi plasma dengan prasugrel
yaitu 30 menit,
53
dan median half life yaitu 3,7 jam. Nilai ini tidak memberikan efek pada
durasi inhibisi platelet karena inhibisi dari P2Y12 reseptor adalah ireversibel. Butuh waktu 7
hari untuk aktivitas platelet kembali normal setelah penghentian prasugrel.
54
Prasugrel dan ticagrelor menyebabkan 90% inhibisi fungsi platelet dibandingkat dengan
60-70% untuk clopidogrel.
52
Pasien dengan body mass index (BMI), untuk lebih dari 75
tahun, dan dengan Riwayat stroke beriko tinggi terjadinya perdarahan.
55,56
Tidak seperti
clopidogrel, prasugrel lebih mudah untuk diubah menjadi metabolisme aktif dan tidak ada
interaksi obat. Juga lebih mudah diterima pada polimorfisme genetik.
57,58
Ticagrelore mengikat secara reversible pada reseptor P2Y12, memblok reseptor aktivasi
dari ADP. Kontras pada thienopyridines, metabolisme aktif dan parent drug exhibit
antiplatelet activity dengan parent drug bertanggung jawab untuk inhibisi platelet secara in
vivo.
59,60
Efek antiplatelet dari ticagrelor cepat; puncak dari inhibisi platelet terjadi pada 2-4
jam setelah pemberian dibandingkan dengan 24 jam pada clopidogrel.
61
Inhibisi platelet
rerata pada ticagrelor adalah 93% dibandingkan dengan 58% untuk clopidogrel.
62
pemulihan
platelet cepat dengan ticagrelor; aktivitas platelet normal pada hari ke 5 setelah dosis
terakhir.
62
Time Between Discontinuation/Resumption od an Antiplatelet
Drug and Neuraxial Injection
Interval antara penghentian obat antiplatelet dan injeksi neuraxial didasarkan pada
presentasi inhibisi platelet dan presentasi dari perubahan platelet. Prasugrel dan ticagrelor
menyebabkan 90% inhibisi. 10-15% circulating platelet pool dibentuk setiap hari,
63
meyebabkan platelet baru 20-75% pada circulating platelet pool 5-7 hari setelah penghentian
obat.
48
Interval 5-7 hari telah direkomendasikan untuk ticagrelor dan interval 7-10 hari untuk
prasugrel.
14, 15
Rekomendasi ini dibutuhkan untuk agregasi platelet normal pada 7 hari setelah
penghentian prasugrel
54
dan 5 hari setelah ticagrelor.
62,64
Pedoman Scandinavian mengatakan bahwa penerimaan obat antiplatelet dimulai pada
waktu pelepasan kateter,
15
dimana pada pedoman European Society of Anarsthesiology
merekomendasikan interval 6 jam diantara pelepasan kateter epidural dan konsumsi kembali
dari prasugrel atau ricagrelor.
14
Ulasan lain merekomendasikan penggunaan kembali

prasugrel dan ticagrelor secara hati-hati dikarenakan efek cepat dan poten dari inhibisi
antiplatelet.
65
Interval 24 jam lebih dibutuhkan pada agen ini.
Monitoring Fungsi Platelet
Perdarahan dipertimbangkan untuk menjadi predictor terpercaya untuk perdarahan
abnormal pada pasien yang menerima obat antiplatelet.
22
Waktu perdarahan pasca-aspirin
bukan merupakan indikator dari fungsi platelet.
66
Variabel intra dan interpasien pada tes, dan
tidak ada bukti yang mengatakan bahwa waktu perdarahan dapat memprediksi fungsi
hemostatik, seperti pada studi yang gagal menunjukan korelasi antara aspirin-induced
prolongation of bleeding time dan kehilangan darah saat operasi.
67
Special platelet function assay sekarang telah tersedia untuk monitor agregasi platelet
dan degranulasi. Platelet Function Analyzer (PFA) merupakan tes in-vitro dari fungsi
platelet. Ini merupakan tes skrining yang baik untuk kelainan von Willebrand dan monitor
efek dari pemberian desmopressin. PFA lebih panjang setelah terapi antiplatelet.
68
Sayangnya, PFA-100 bukan merupakan tes yang sensitive untuk monitor fungsi antiplatelet
dari P2Y12 inhibitor clopidogrel, prasugrel, dan ticagrelor. PFA-200 merupakan update
terkini dari PFA-100,
69
, muncul lebih sensitive pada efek P2Y12 inhibitor. Poin utama daru
studi ini bahwa tes PFA yang baru masih terbatas.
Tes terbaru untuk monitor aktivitas reseptor P2Y12 termasuk vasodilator stimulated
phosphoprotein (VASP) assay,
70,71
Verify Now assay,
72
Multiple platelet aggregometery test
(Multiplate),
73
dan mapping komponen platelet dari Thromboelastograph (TEG).
74
VerifyNow
assay dapat monitor efek antiplatelet dari aspirin dan inhibitor P2y12.
75
Mapping komponen
platelet dengan TEG umum digunakan pada operasi dan anesthesiology, dimana VerifyNow
merukan predominant assay pada kardiologi klinis. Ulasan untuk monitor fungsi platelet
dibahas pada beberapa ulasan dan akan dibahas pada bab ini.
48,76
Info Klinis Penting
Prasugrel dan ticagrelor harus dihentikan 7 dan 5 haru, sebelum spinal atau
epidural
Obat antiplatlet dapat dimulai kembali 6-24 jam setelah prosedure neuraxial atau
pelepasan kateter

Warfarin memiliki efek antikoagulan dengan mengganggu sintesis dari vitamin K
dependent clotting factors (VII, IX, X, dan thrombin)
77
(Gambar 52-3). Obat ini juga
menghambat protein antikoagulan C dan S. Faktor VII memiliki waktu paruh lebih pendek
(6-8 jam), dan prothrombin time (PT) memiliki rentang waktu terapetik yang lebih lama (1,5-
2 kali normal) dengan 24-36 jam. Protein antikoagulan C juga memiliki waktu paruh *6-7
jam). International Normal Ration (INR) awal lebih lama menghasikan efek untuk
menurunkan faktor VII dan protein C dan mengagalkan faktor clotting. Karena itu, INR tidak
terprediksi selama tahap awal terapi dengan warfarin.
78,79
Faktor VII berperan hanya dalam
jalur ekstrinsik dan antikoagulan yang adekuat tidak dicapai sampai level aktif biologis faktor
II (waktu paruh 50 jam) dan faktor X cukup menurun. Ini memerlukan waktu 4-5 hari. High
loading doses dari warfarin (15 mg) dapat bekerja sampai 48-72 jam.
80
Efek antikoagulan
dari warfarin dapat bertahan sampai 4-6 hari setelah penghentian terapi yaitu saat faktor
vitamin K yang baru aktif terbentuk. Kekurangan dari terapi warfarin meliputi kebutuhan
dalam monitor efek bersama dengan monitor pengunaan INR, interaksi dengan obat lain, dan
harus dihentikan beberapa hari sebelum operasi.
81
Efek warfarin dapat kembali dengan
melakukan transfusi darah segar dan injeksi vitamin K. Faktor III dan faktor IV prothrombin
complex concentrate (PCC) dapat digunakan sebagai antagonis warfarin pada kasus
emergency.
Beberapa data memuat adanya risiko hematoma spinal pada pasien dengan penggunaan
kateter spinal dan epidural yang menjalani terapi antikoagulan dengan warfarin. Odoom et
al.
82
meneliti 1000 anastesi epidural lumbar kontinu pada 950 pasien yang menjalani prosedur
vascular dan menerima antikoagulan oral praoperasi. Thrombotest (merupakan tes aktivitas
faktor IX) menurun dan activate partial thromboplastin time (aPTT) bertahan lama pada
semua pasien dengan epidural placement. Heparin juga diberikan pada intraoperasi. Kateter
epidural masih dipasang selama 48 jam setelah operasi, dan tidak menimbulakan komplikasi
neurologis. Sayangnya, status koegulasi dari pasien pada waktu kateter dilepaskan tidak
dijelaskan. Walaupun hasil dari studi masuh harus diulas kembali, thrombotest mengukur
antikoagulan yang dikombinasikan dengan status koagulasi yang tidak diketahui pada pasien
saat pelepasan kateter sangat berguna pada studi ini.
Penggunaan kateter intratekal dan epidural dan waktu pelepasan dari pasien dengan
antikoagulan masih kontroversial. Walaupun trauma needle placement terjadi pada dosis
ORAL ANTIKOAGULANTS

tunggal dan teknik kateter kontinu, Adanya kateter dapat menyebabkan cidera tambahan dari
struktur jaringan dan vascular. Semenjak hematoma intraspinal terjadi setelah pelepasan
kateter,
18
direkomendasikan nilai laboratorium yang sama dipakai untuk penempatan dan
pelepasan dari kateter epidural.
83
Tidak ada hematoma spinal yang dilaporkan pada 192
pasien yang meneruma analgesia epidural setelah operasi pada dengan warfarin dosis rendah
setelah total knee arthroplasty.
84
Studi ini, pasien menerima warfarin agar PT memanjang
sampai 15,0-17,3 detik. Kateter epidural dapat bertahan sampai 37 ± 15 jam (dengan rentang
13-96 jam). PT rata-rata pada waktu pelepasan kateter epidural yaitu 13,4 ± 2 detik (rentang
10,6-25,8 detik). Beberapa studi ini mendokumentasikan keamanan dari antikoagulan
warfarin dosis rendah pada pasien dengan penggunaan kateter epidural.
85
Studi lain dengan
menggunakan level INR tinggi (sampai1,9) dapat diterima saat pelepasan kateter epidural
sampai selesai dengan 12-14 jam setelah warfarin diberikan.
79
Studi menunjukkan tidak
adanya hematoma spinal saat kateter epidural dilepaskan 2-3 hari setelah pemberian warfarin,
bahkan saat INR meningkat.
86
Penggunaan kateter epidural sampai 3 hari setelah inisiasi
warfarin, saat level faktor clotting VII, IX, dan X rendah (level faktor II masih dapat
diterima) perlu untuk dikaji lagi. Khususnya pada kasus ketika pasien menerima baik respon
dari warfarin,
79
Beberapa penulis merekomendasikan monitor status koagulasi untuk
menghindari PT memanjang secara berlebihan. Faktor yang bertanggung jawab pada
pemanjangan PT dan PTT akan diilustrasikan pada Gambar 52-4 dan 52-5
ASRA merekomendasikan nilai INR atau kurang agar blok neuraxial dapat
diterima.
12,13,77
Nilai berdasarkan studi yang menunjukkan adanya hemostatis perioperasi yang
baik saat nilai INR ≤ 1,5.
78
Studi mengenai lebel faktor pembekuan darah pada nilai INR
yang berbeda menunjukkan adanya penurunan faktor ini dapat menjadi signifikan pada INR
1,5. Nilai INR 1,5-2,0 konsentrasi dari faktor II sampai 74%-82% dari baseline, dimana level
faktor VII yaitu 27%-54% dari nilai baseline.
79
Nilai INR 2,1 ± 1 pada fase awal dari
pemberian warfarin, faktor II dan VII yaitu 65 ± 28% dan 25 ± 20% dari nilai kontrol.
87
Sebesar 40% aktivitas yang dipertimbangkan untuk hemostasis normal pada waktu operasi
besar. Studi lain
88
meemukan bahwa INR 1,3-2, dibawah antikoagulan stabil dengan warfarin,
konsentrasi dari faktor VII, IX, dan X pada batas normal.
Klinis harus memperhatikan efek warfarin pada kaskade koagulasi dan peran dari INR
dalam monitoring efek ini. Untuk meminimalisir risiko dari komplikasi, ASRA
merekomendasi beberapa pencegahan.
12,13
Terapi warfarin oral kronis dapat dihentikan dan
pengukuran INR sebelum menjalani blok neuraxial. Penggunaan medikasi lain, seperti
aspirin, NSAID, dan heparin, dimana memberikan efek mekanisme pembekuan darah,

meningkatkan risiko risiko dari komplikasi perdarahan tanpa mempengaruhi INR. Bila dosis
awal warfarin diberikan sebelum operasi, INT harus dicek bila dosis diberikan lebih dari 24
jam awal. Bila pasien dalam terapi warfarin dosis rendah (dosis rata-rata sehari 5 mg) selama
analgesia epidural, INR harus di cek perharinya dan sebelum pelepasa kateter bila dosis awal
diberikan lebih dari 36 jam sebelumnya. Dosis harian yang tinggi membutuhkan monitor
lebih intensif. Dosis warfarin harus dipertahankan adan dikurangi saat INR ≥ 3 pada pasien
yang menggunakan kateter neuraxial untuk mencegah hematoma epidural dan hemarthroma.
Sedangkan pada terapi warfarin, pasien dengan status neurologis harus di cek secara rutin
selama infus analgesic epidural, selama 24 jam setelah kateter dilepaskan. Konsentrasi
larutan anastesi lokal dimanfaatkan untuk meminimalisasi derajar blockade sensorik dan
motorik. Klinisi menganggap perlu dilakukan pelatihan dalam membuat keputusan mengenai
pelepasan atau mempertahankan kateter neuraxial pada pasien dengan level antikoagulan
terapetik selama infus kateter neuraxial. Dosis warfarin harus dikurangi pada pasien yang
rentan terhadap respon dari obat, khususnya pada usia tua. Untuk pasien dengan antikoagulan
oral kronis, warfarin harus dihentikan dan INR harus diukur.
Heparin Intravena
Heparin merupakan polisakarida komplek dengan efek antikoagulan yang berikatan
dengan antithrombin. Perubahan bentuk dari antithrombin meningkatkan kemampuan
inaktivasi faktor thrombin Xa dan IXa.
89
Unfractionated heparin dikeluarkan ke jaringan jalur faktor inhibisi dari endothelium,
meningkatkan aktivitas melawan faktor Xa.
89
Efek antikoagulan heparin subkutan yaitu
segera (cepat). Faktanya, waktu koagulasi memanjang 2-4 kali dari baseline level 5 menit
setelah injeksi intravena pada 10,000 unit heparin. Heparin memeiliki waktu paruh 1,5-2 jam.
Dosis terapetik dari heparin mencapai 4-6 jam setelah pemberian. aPTT digunakan untuk
HEPARIN
Info Klinis Penting
INR 1,4 dengan tidak adanya memar dan fungsi liver normal dapat diterima sebelum
injeksi neuraxial pada pasien dengan perencanaan penggunaan blok neuraxial
INR harus di cek bila pasien menerima warfarin lebih dari 24 jam sebelumnya
INR harus normal 5 hari setelah warfarin dihentikan sebelum prosedur neuraxial

monitor efek dari heparin, antikoagulan terapetik dicapai dengan pemanjangan aPTT lebih
dari 1,5 kali dari nilai baseline atau level heparin 0,2-0,4 U/mL.
90
aPTT bisanya tidak
memanjang pada pemberian heparin dosis rendah subkutan dan tidak dimonitor. Protamine
menetralkan efek dari pemberian heparin intravena.

Heparin bukan merupakan antikoagulan ideal semenjak merupakan campuran molekul,
hanya fraksi yang mempunyai aktivitas antikoagulan. Ini mengikat pada faktor IV platelet
dan pada faktor von Willebrand.
91
Kompleks heparin-antitrombin juga tidak terlalu efektif
untuk menetralkan clot-bound thrombin. Akhirnya, heparin berhubungan dengan
trombositopenia imunologis dan immune-mediated thrombosis.
91
Untuk pasien yang
menerima terapi heparin standar, risiko komplikasi perdarahan meningkat dengan adanya
medikasi lain yang mempengaruhi mekanisme clotting, termasuk aspirin, NSAID, LMWH,
dan antikoagulan oral.
Beberapa studi menggambarkan akan keamanan anastesi spinal dan epidural setelah
heparinisasi sitemik bila pencegahan di observasi. Rao dan El Etr
92
melaporkan tidak adanya
hematoma spinal pada 4000 psaien yang menjalani operasi vaskular ekstremitas bawah
dibawah anastesi spinal atau epidural kontinu, pada studinya, pasien dengan preexisting
coagulation disorders dieksklusi, heparin terjadi setidaknya 60 menit setelah catheter
placement, level dari antikoagulan dimonitor secara hati-hati, dan penggunaan kateter
dilepaskan saat aktivitas heparin rendah. Operasi pasien dibatalkan saat frank blood tidak
tercatat pada jarum dan dijalankan sehari setelah anastesi umum. Penemuan yang sama
menjelaskan pada pelaporan yang diulas dalam literature neurologis. Ruff dan Dougherty
93
menjelaskan adanya hematoma spinal pada 7 dari 342 pasien (2%) yang menjalani lumbar
puncture dan heparanisasi untuk evaluasi iskemia cerebral. Adanya darah saat prosedur,
terapi aspirin, dan heparinisasi dengan 1 jam diidentifikasi faktor risko perkembangnya
hematoma spinal.
ASRA memberikan beberapa rekomendasi saat teknik neuraxial digunakan pada
dengan antikoagulan intraoperasi.
12,13,93
ASRA memberikan saran teknik harus dihindari pada
pasien dengan koagulopati. Setidaknya harus ada 1 jam delay antara needle placement dan
pemberian heparin. Kateter harus dilepaskan 2-4 jam setelah dosis heparin terakhir dan 1 jam
sebelum pemberian heparin. aPTT atau activated clotting time (ACT) harus dimonitor untuk
mencegah adanya efek heparin yang berlebihan. Pasien harus diikuti pascaoperasi untuk
deteksi awal dari kambuhnya blockade motor. Konsentrasi larutan anastesi lokal
direkomendasi untuk meminimalisir blockade motor. Walaupun peningkatan risiko pada
kasus trauma (bloody) atau kesulitan pada needle placement, tidak ada data yang mendukung
kewajiban penundaan operasi. Keputusan untuk memproses harus didasarkan pada penilaian
klinis dan diskusi dengan pasien dan surgeon.

Prosedur neuraxial terkadang dijalankan pada pasien dengan cardiopulmonary bypass.
Setelah precautions telah direkomendasikan untuk mencegah hematoma intraspinal pada
pasien ini.
95
1.Prosedure neuraxial harus dihindari pada pasien dengan koagulopati
2.Operasi harus ditunda 24 jam pada pasien dengan traumatic tap
3.Waktu dari prosedur neuraxial ke heparinisasi sistemik harus lebih dari 1 jam
4.Heparinisasi dan pembalikan harus dimonitor dan dikontrol secara ketat
5. Kateter epidural harus dilepas saat koagulasi normal kembali dan pasien harus
dimonitor untuk tanda dari hematoma spinal
Heparin Subkutan
Dasar terapi dari heparin dosis rendah subkutan dua kali sehari (5000 unit setiap 8-12
jam) adalah heparin mediated inhibition untuk aktivasi faktor X. dosis kecil dari heparin
dibutuhkan saat pemberian profilaksis sebagai terapi untuk kelainan tromboemboli. Setelah
injeksi intramuscular atau subkutan dari 5000 unit heparin, efek antikoagulan maksimal
diobservasi 40-50 menut dan kembali ke baseline dengan 4-6 jam. aPTT harus dalam rentang
normal dan sering tidak dimonitor. Variasi luas dari respon pasien dengan heparin subkutan
telah dilaporkan. Teknik neuraxial bukan merupakan kontraindikasi selama profilaksis
subkutan (dosis kecil), tapi risiko perdarahan dapat dikurangi dengan penundaan pemberian
heparin sampai setelah blok. Perdarahan dapat meningkat pada pasien yang lemah atau
setelah terapi jangka panjang. Keamanan dari anastesi neuraxial dengan antikoagulan
subkutan dengan dosis dua kali sehari dari unfractionated heparin telah didokumentasikan
pada beberapa studi.
94
Regimen heparin subkutan dua kali sehari telah digantikan menjadi
regimen tiga kali sehari oada kebanyakan rumah sakit untuk mengurangi insidensi
tromboemboli vena setelah operasi.
96
Dalam praktis ini berhubungan dengan hematoma
spinal.
97
Untuk alasan ini, pedoman ASRA terakhir merekomendasikan prosedur neuraxial
pada pasien dengan regimen tiga kali sehari sampai data tersedia.
Info Klinis Penting
Procedure neuraxial dapat dijalani pada psien dengan heparin subkutan dua kali
sehari
Karena kurangnya data, ASRA merekomendasikan prosedur neuraxial tidak
dijalankan pada pasien dengan heparin subkutan tiga kali sehari

Low-Molecular-Weight Heparin
Unfractionated heparin merupakan campuran heterogen dari ikatan polisakarida yang
dapat dipisahkan kedalam beberapa fragmen molecular weights.
98,99
Efek antikoagulan dari
LMWH sama dengan unfractionated heparin; mengaktifkan antithrombin, meningkatkan
interaksi antithrombin dengan thrombin dan faktor Xa. LMWH memiliki aktivitas yang baik
melawan faktor Xa, dimana unfractionated heparin memiliki aktivitas yang seimbang
melawan faktor Xa dan thrombin. Waktu paruh plasma dari LMWH dalam rentang 2-4 jam
setelah injeksi intravena dan 3-6 jam setelah injeksi subkutan; waktu paruh dari LMWH 2-4
kali dari heparin standar. LMWH memiliki afinitas rendah terhadap protein plasma, sehingga
memiliki bioavaibilitas yang baik. Keuntungan LMWH dibandingkan dengan unfractionated
heparin termasuk bioavailabilitas yang tinggi dan lebih terprediksi setelah pemberian secar
subkutan dan waktu paruhnya lebih panjang. Juga, monitor laboratorium pada respon
antikoagulan dari LMWH tidak dibutuhkan, dan dosis tambahan untuk berat tidak dibutuhkan
(walaupun dosis berlebih dapat terjadi pada pasien dengan BMI rendah). LMWH
menunjukan adanya dose dependent antithrombotic effect yang akurat dalam pengukuran
level aktivitas anti-Xa. Pemulihan aktivitas anti faktor Xa setelah injeksi LMWH mencapai
100%,
100
mebuat monitor laboratorium tidak memungkinkan kecuali pada pasien dengan
renal insufficiency atau pada pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg atau lebih dari 80
kg.
98
Waktu reaksi dari thrombelastogram muncul berkorelasi dengan konsentrasi serum anti-
Xa.
101
LMWH yang tersedia di pasaran di United States yaitu enoxaparin (Lovenox),
dalteparin (Fragmin), dan tinzaparin (Innohep), walaupun belakangan ini penggunaannya
dihentikan karena pengunaannya rendah. Enoxaparin diberikan pada satu kali sehari atau
setiap 12 jam saat menggunakan profilaksis, dan dalteparin dan tinzaparin diberikan satu kali
sehari. Tiga obat efikasinya sebanding pada terapi dan pencegahan tromboembolisme vena.
102
Enoxaparin dan dalteparin mempunya efikasi yang sebanding pada pencegahan kematian atau
myocardial infaction pada pasien dengan angina unstabil.
102
Dosis tromboprofilaktik yang direkomendasikan di United States yaitu 30 mg
enoxaparin dua kali sehari, pada pasien obesitas (1,5 mg/kg/hari atau 1 mg/kh/12 jam). Dosis

di eropa yaitu enoxaparin 20-40 mg satu kali sehari dan pasien meneruma dosis awal 12 jam
sebelum operasi, hal ini tidak diobservasi di United States.
Beberapa kasus hematoma neuraxial terjadi di United States, mendoraong FDA sebagai
penasihat kesehatan pada Desember 1997 dan mengadakan pertemuan pertama konferensi
consensus ASRA dengan anastesi neuraxial dan antikoagulan.
103
Pedoman ASRA
merekomendasikan dosis efetif terkecil dari LMWH yang harus diberikan. Pemberian terapi
LMWH pascaoperasi harus ditunda selama mungkin, dengan minimumnya 12 jam dan
idealnya 24 jam pascaoperasi. Dosis tunggal dari anastesi spinal merupakan teknik neuraxial
teraman pada psien yang menerima LMWH pascaoperasi. Tunggu sampai 12 jam setelah
dosis LMWH profilaksis direkomendasikan sebelum menjalankan teknik neuraxial. Pasien
yang menerima dosis LMWH lebih tinggi (seperti enoxaparin 1 mg/kg dua kali sehari)
membutuhkan penundaan yang lebih lama (24 jam). Kateter harus dilepaskan saat aktitivitas
antikoagulan rendah, 12 jam setelah profilaksis. Pemberian LMWH dan 4 jam sebelum dosis
selanjutnya.
104
Kewaspadaan ekstrim daripasien dengan status neurologis harus diobservasi
bila trombofilaksis LMWH digunakan saat infus kateter. Larutkan solusi anastesi lokal
direkomendasikan sehingga fungsi neurologis dapat dimonitor dengan baik. Penggunaan
medikasi lain yang mempengaruhi hemostasis, seperti obat antiplatelet, heparin standar,
dextran, atau antikoagulan oral, kombinasi dengan LMWH memberikan risiko tambahan dari
komplikasi perdarahan.
Agen trombolitik secara aktif menguraikan sumbatan fibrin yang telah terbentuk.
Exogenous plasminogen activators seperti streptokinase dan urokinase tidak hanya
menguraikan thrombus tapi juga mempengaruhi sirkulasi plasminohen, menyebabkan
penurunan level plasminogen dan fibrin. Recombinant tissue type plasminogen activator (r-
TPA), agen endogen, lebih selektif terhadap fibrin dan efek level plasminogen serkulasi lebih
TERAPI TROMBOLITIK
Info Klinis Penting
Pasien dengan dosis LMWH profilaksis, jarak 12 jam direkomendasikan sebelum
injeksi neuraxial
Pada pasien dengan dosis terapetik LMWH, 24 jam adalah jarak yang dibutuhkan
Penundaan 4 jam setelah pelepasan kateter epidural sebelum LMWH telah
direkomendasikan oleh FDA

rendah. Lisis clot menyebabkan peningkatan produk degradasi fibrin dimana mempunyai
efek antikoagulan dengan menginhibisi agregasi platelet.
Walaupun jarum spinal atau epidural dan catheter placement dengan heparinisasi
tergolong aman, risiko hematoma spinal pada pasien yang menerima terapi trombolitik tidak
dijabarkan secara jelas. Kasus hematoma spinal pada pasien dengan kateter dan yang
menerima agen trombolitik dilaporkan dalam literatur.
105
Pedoman ASRA merekomendasikan dengan memperhatikan prosedure neuraxial
setelah terapi trombolitik atau fibrinolitik.
12,13,105
Penggunaan heparin dengan obat fibrinolitik
atau trombolitik menyebabkan pasien pada risiko tinggi dari perdarahan neuraxial selama
anastesi spinal atau epidural. Kecuali pada keadaan yang langka, pasien menerima terapi
fibrinolitik dan trombolitik harus diwaspadai akan penerimaan anastesi spinal atau epidural.
Tidak ada bukti yang jelas dalam menjelaskan rentang waktu yang dibutuhkan setelah obat
dihentikan dan keamanan dari teknik neuraxial. Pedoman Eropa merekomendasikan
meninggalkan kateter epidural ditempat saat pasien diberikan obat trombolitik, pelepasan
dilakukan saat efek obat sudah benar-benar hilang.
14
Pedoman Scandinavian
merekomendasikan rentang 24 jam diantara penghentian obat dan prosedur neuraxial.
15
monitor neurologis berulang direkomendasikan untuk panjang waktu yang dibutuhkan pasien
dengan blok neuraxial setelah terapi fibrinolitik atau trombolitik. Bila pasien dengan infus
epidural kontinu dan menerima fibrinolitik atau terapi trombolitik, obat untuk
meminimalisasi blockade sensorik dan motoric harus digunakan. Tidak ada rekomendasi
definitif dari waktu pelepasan kateter neuraxial pada pasien yang unexpectedly menerima
terapi fibrinolitik atau trombolitik. Pengukuran level fibrinogen dapat membantu sebagai
pedoman menentukan keputusan pelepasan atau mempertahankan kateter.
Herbal Therapy
Obat herbal yang sering digunakan diantaranya adalah bawang putih, ginkgo, dan
gingseng. Bawang putih menginhibisi agregasi platelet dan memberikan efek hemostasis
pada 7 hari. Ginkgo menginhibisi platelet activating factor, dan memberikan efek sampai 36
jam. Gingseng memilki beberapa efek : inhibisi agregasi platelet secara in vitro dan
memanjangkan thrombin time (TT) dan aPTT pada laboratorium hewan, dan memberikan
efek sampai 24 jam.
12,13
Meskipun memberi pengaruh pada fungsi platelet, obat herbal tidak
memberikan risiko signifikan pada pembentukan hematoma spinal pada pasien dengan

anastesi spinal dan epidural. Penghentian medikasi ini atau penundaan operasi pada pasien
dengan medikasi yang tetap dilanjutkan, tidak didukung dengan data klinis yang ada.
Penggunaan medukasi lain yang mempengaruhi mekanisme pembekuan darah, seperti
antikoagulan oral atau heparin, dapat meningkatkan risiko komplikasi perdarahan pada pasien
ini. Tidak adanya tes yang menunjukkan nilai hemostasis yang cukup pada pasien yang
menjalankan medikasi herbal. Maka, tidak ada kekhawatiran spesifik pada waktu pemberian
blok neuraxial berhubungan dengan dosis terapi herbal, monitoring pascaoperasi atau waktu
pelepasan kateter neuraxial.
12,13
Thrombin Inhibitors
Recombinant hirudin derivatives, mencakup desirudin dan bivalirudin, menginhibisi
free and clot bound thrombin.
12,13
Argatroban, merupakan derivate dari L-arginine, memiliki
mekanisme aksi yang sama. Obat ini digunakan secara primer pada penanganan
thrombositopenia yang terinduksi oleh heparin. Tidak ada bukti farmakologis berkaitan
dengan efek pada obat. Tidak ada penelitian mengenai hematoma spinal yang berhubungan
dengan anastesi neuraxial pada pasien yang menerimba thrombin inhibitor. Walaupun,
terdapat laporan perdarahan intracranial spontan.
12
Berdasarkan pedoman ASRA, tidak ada
statement yang menilai risiko dan manajemen pasien dapat dibuat.
Fondaparinux
Fondaparinux merupakan antikoagulan sintetis yang menghasilkan efek antitombosis
selektif menginhibisi daktor Xa.
106
Konsistensi obat dengan efek antikoagulan disintesis
secara kimiawi. 100% bioavailable. Diabsorbsi secara cepat, dengan maksimum
konsentrasinya yaitu 1,7 jam dari pemberian. Waktu paruhnya 17-21 jam.
106
Fondaparinux
direkomendasikan sebagai agen antitrobotik setelah operasi besar ortopedik
107
dan sebagai
penanganan awal untuk emboli paru.
108
Pemanjangan waktu paruh (rata-rata 20 jam) hanya
pada dosis satu kali sehari. FDA mendapatkan kasus black box warning dari fondaparinux
sama dengan LMWH dan heparin.
Risiko nyata terkait hematoma spinal dengan fondaparinux masih belum diketahui.
Studi menunjukkan tidak ada komplikasi pada pasien dengan pemberian injeksi neuraxial.
109
Pada studi ini, kateter dilepaskan 36 jam setelah pemberian dosis terakhir dari fondaparinux,
dan dosis ditunda selama 12 jam setelah pelepasan kateter. Pasien dieksklusi dari studi ini
bila terdapat kesulitan dalam prosedur neuraxial (lebih dari 3 yang dibutuhkan), prosedur

seleseai dengan perdarahan, mereka membutuhkan obat antiplatelet, atau merencanakan
penarikan kateter epidural sehari setelah operasi. Karena kebutuhan praktis klinis, ASRA
12,13
merekomendasikan penentangan penggunaan fondaparinux pada penggunaan kateter
epidural. Mereka merekomendasikan didasarkan pada efek antitrombotik ireversibel dari
fondaparinux, dosis awal pascaoperasi, dan hematoma spinal dilaporkan selama percobaan
klinis awal dari obat. Monitor dari literatur untuk faktor risiko yang berhubungan dengan
perdarahan operasi dapat membantu dalam menilai risiko dan penanganan pasien. teknik
neuraxial yang terjadi dibawah kondisi digunakan pada percobaan klinis (single needle pass,
atraumatic needle placement, avoidance of indwelling neuraxial catheters).
12,13
Bila tidak
memungkinkan, metode anternatif dari profilaksis perlu dipertimbangkan.
Diskusi terkait dengan antikoagulan baru yaitu dabigatran rivaroxaban, dan apixaban
akan diulas pada bab ini

Rentang antara Penghentian Antikoagulan dan Injeksi
Neuraxial dan antara Prosedur Neuraxial atau Pelepasan
Kateter Epidural dan Konsumsi Kembali Antikoagulan
Telah direkomendasikan dua waktu paruh yang memadai antara risiko venous
thromboembolism (VTE) dan pencegahan hematoma spinal.
110
Pedoman Eropa dan
Skandinavia merekomendasikan rengang 2_waktu paruh antara penghentian antikoagulan dan
injeksi neuraxial. Keputusan ini dibuat karena VTE subklinis terjadi dalam presentasi
seimbang dari pasien segera setelah operasi dan memiliki antikoagulasi sisa harus dicegah
dari peristiwa ini. Antikoagulasi sisa memfasilitasi transisi sampai antikoagulasi penuh
setelah prosedur neuraxial.
Setelah 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 waktu paruh, setelah presentasi dari obat dalam sirkulasi :
50%, 25% , 12,5%, 6,25%, 3,125%, dan 1,5625%, diperhatikan (Tabel 52-2)
111
Penemuan ini
berdasarkan studi pada voluntir muda sehat dengan studi farmakokinetik dosis tunggal
dengan tidak ada antikoagulan lain. Secara kontras, praktis klinis, pasien biasanya dengan
usia yang lebih tua dan memiliki komorbiditas.
Pasien dengan risiko VTE, seperti Riwayat stroke,
112
rentang 2 atau 3 waktu paruh
sudah lebih dari cukup, menyadari bahwa hemostasis yang adekuat tidak dijamin. Pada
pasien tanpa faktor risiko trombotik, interval 4-6 waktu paruh antara dosis terakhir dari
ANTIKOAGULAN BARU

antikoagulan dan injeksi neuraxial menjamin eliminasi lebih sempurna pada obat dan risiko
perdarahan lebih rendah.
113,114
A compromise antara rekomendasi konservatif dari 4-6 waktu
paruh dan 2-3 waktu paruh
14,15
dengan rentang 5 waktu paruh dengan terapi LMWH.
Rekonsumsi antikoagulan setelah injeksi neuraxial atau pelepasan kateter epidural,
pedoman Skandinavia berdasarkan rekomendasi dari Rosencher et al. yaitu 8 jam dikurangi
waktu untuk antikoagulan mencapai puncak efek.
110
Delapan jam dianggap sudak cukup
untuk stabilisasi sumbatan, anggapan ini didukung dengan efikasi dari agen trombolitik untuk
lyze clot bila pemberian dengan 6 jam dari pemberntukan clot.
115
Tertri et al. juga mencatat
pemberian enoxaparin dengan 14-48 jam setelah perdarahan intraserebral tidak membesarkan
ukuran hematoma,
116
makan rentang 24 jam dikatakan aman. Penulis lain merekomendasikan
lebih banyak konservatif yang dibutuhkan karena reinstitution dari rerapi antitrombotik
dalam 24 jam setelah prosedur besar mungkin dapat meningkatkan risiko perdarahan
perprosedural.
65
Liew dan Douketis
117
merekomendasikan minimal 24 jam pasien dengan
risiko perdarahan rendah dan 48 jam pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi sebelum
melanjutkan terapi dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pilihan antara 8 jam atau 24 jam
dikurangi efek puncak dari obat. terdapat kemungkinan adanya sedikit perbedaan antara
kedua pilihan ini terkait dengan risiko VTE, stroke, atau acute coronary syndrome dengan
kemungkinan yang sama. Kesimpulannya, onset dan waktu puncak efek dari antikoagulan
baru adalah pendek.
Dabigatran
Dabigatran etexilate merupakan prodrug yang dihidrolisasi dengan esterase di dalam
perut sampai menjadi active drug. Dabigatran etexilate memiliki bioavailabilitas 7,2%.
118
Dabigatram menghambat thrombin

secara langsung dengan memblok interaksi thrombin
dengan beberapa substate.
76,119,120
Konsentrasi puncak plasma dicapai pada 1,5-3 jam setelah
pemberian prodrug.
121
Waktu paruhnya 12-17 jam.
121-123
Nilai Renal clearance yaitu 80% dari
total clearance dabigatran.
124
Pada kasus endstage renal disease, eliminasi waktu paruh dua
kali lipat dari 14 jam sampai 28 jam.
124,125
Dabigatran efektif dalam penanganan VTE akut dan pencegarahan dari rekurensi VTE.
Pasien dengan atrial fibrillation, dabigatran mengurangi risiko stroke dan embolisistemik
sampai derajat yang sama dengan warfarin. Dabigatran tidak menunjukan konsistensi dalam
mencegah VTE setelah operasi total sendi. Studi yang menunjukan efektifitas lebih,
126

noninferior,
127,128
atau inferior dari enoxaparin.
129
Meta-analisis dari percobaan tidak
menunjukan adanya perbedaan antara dabigatran dan enoxaparin pada analisis endponts.
130
Status manufaktur kateter epiduran tidak boleh pada pasien yang menerima
dabigatran.
14
Rentang minimal 2 jam antara pelepasan kateter dan pemberian dabigatran telah
direkomendasikan oleh Levy et al.
120
Rentang ini lebih pendak dari 6 jam, perbedaan antara 8
jam dikurangi 2 jam waktu efek puncak setelah pemberian dabigatran. The Haematology
Society of Australia and New Zealand mengidentifikasikan 78 kasus perdarahan rata-rata
pada 7000 pasien dengan periode lebih dari 2 bulan
131
FDA menyimpulkan tidak ada
peningkatan absolut dari perdarahan dengan dabigatran dibandingkan dengan warfarin.
aPTT lebih panjang setelah dabigatran, tapi berhubungan dengan curvilinier.
113,132
Thrombin time (TT), juga dikenal dengan thrombin clotting time (TCT), sangan sensitid pada
efek dabigatran
113,133
dan lebih sesuai digunakan untuk mendeteksi adanya efek antikoagulan
dari dabigatran dari mengukur efek dari obat.
132
Larutan TT sebandingan dengan farmakologi
yang relevan dengan konsentrasi plasma dabigatran.
113,132
Ecarin clotting time (ECT, dimana
secara langsung mengukur generasi thrombin, dose dependent prolonged oleh dabigatran.
134
Ini merupakan assay yang paling sensitif untuk dabigatran, tapi sedikit institusi yang
memiliki tes ini. Prothrombin time (PT) tes yang paling tidak sensitive. Larutan TT dan ECT
adakah pilihan tes untuk dabigatran.
132
Tidak ada antidotum untuk mengembalikan efek dabigatran atau antikoagulan oral baru
yang lainnya.
135-137
Arang aktif mencegah absorbsi dari obat, tapi harus diberikan maksimal 2
jam setelah dabigatran. Diakisis dapat mengeliminasi kecepatan obat. Plasma complex
concentrates (PCCs) mengandung 3 (faktor II, IX, dan X) atau 4 (faktor II, VII, IX, dan X)
faktor pembekuan yang direkomendasikan,
113,134
tapi efikasi mereka belum dibuktikan.
Idarucizumab, merupakan fragmen antibody monoclonal yang terikat dengan bebas dan
thrombin bound dabigatran, sudah disetujui oleh FDA.

Rivaroxaban
Info Klinis Penting
Dabigatran secara primer bergantung pada ginjal untuk eliminasinya dan waktu
paruh dua kali lipat pada pasien dengan kelainan ginjal
Rentang waktu lebih lama anta penghentian obat dan prosedure neuraxial,
mungkin 6 hari direkomendasikan pada pasien ini

Rivaroxaban menginhibisi daktor Xa secara langsung. Konsentrasi puncak plasma
diobservasi dalam 2,5-4 jam,
138,139
dan inihibisi maksimal dari faktor Xa (sampai 68%) terjadi
3 jam setelah dosis dan dipertahankan selama 12 jam,
139
atau 24-48 jam saat dosis tinggi
diberikan pada pasien tua.
140
Rivaroxaban mempunyai waktu paruh terminal 5,7-9,2 jam,
138,139
tapi ini dapat memanjang sampai 11-13 jam pada pasien tua didasarkan pada penurunan
fungsi renal.
141,142
satu pertiga obat dieliminasi oleh ginjal. Satu pertiga oleh rute fecal/biliary,
dan satu pertiga berubah menhadi metabolit inaktif.
139,143
Maksimal konsentrasi tidak berefek
pada pasien obesitas (pasien dengan berat badan ≥ 120 kg) tapi akan meningkat 24% pada
pasien dengan berat badan ≤ 50 kg. renal clearance dari rivaroxaban menurun dengan
meningkan gangguan renal.
144
Rivaroxaban efektif pada penangan gejala VTE
142
dan noninferior dari warfarin dapam
pencegahan

stroke emboli selama atrial fibrillation.
145
Penambahan rivaroxaban pada terapi
antiplatelet standar menurunkan kematian yang diakibatkan oleh kardiovaskular, infark
miokardial, atau stroke pada pasien dengan acute coronary syndrome.
76
Rivaroxaban dilaporkan efektif atau superior dari enoxaparin dalam mencegah VTE
setelah operasi total sendi
146-150
Di tuliskan dalam empat studi
146-149
, rivaroxaban lebih efektif
dibandingkan agen tromboprofilaksis dan enoxaparin, dengan profil keamanan yang sama.
Rosencher et al. menyatakan bahwa kateter epidural tidak dilepas sampat setidaknya 2-waktu
paruh setelah dosis terakhir rivaroxaban, dan dosis rivaroxaban selanjutnya diberikan 4-6 jam
setelah pelepasan kateter.
151
Tidak ada dari 1141 pasien yang diberikan rivaroxaban dan
anastesi neuraxial yang mengalami hematoma spinal. Jumlah kecil dari pasien in tidak cukup
menyimpulkan bahwa regimen ini aman saat perioperasi.
Pedoman Eropa dan Skandinavia merekomendasikan rentang 2 waktu paruh antara
penghentian rivaroxaban dan epidural catheter placement atau removal (18 jam pedoman
Skandinavia dan 22-26 jam pedoman Eropa).
14,15
Pedoman ini juga merekomendasikan
rentang 4-6 jam sebelum konsumsi kembali dosis selanjutnya, rivaroxaban memiliki efek
puncaknya pada 2,5-4 jam.
Korelasi linear yang diobservasi antara efek rivaroxaban dan PT.
114,134
Ini menunjukkan
adanya variasi sensitivitas dari reagen PT dengan rivaroxaban, makan ini sangat
merekomendasikan setiap laboratorium dikalibrasi dengan PT yang spesifik untuk
rivaroxaban. aPTT memiliki sensitifitas yang rendah untuk mengidentifikasi efek dari
rivaroxaban.
114,134
Inhibisi dari faktor Xa juga sebagai pengganti untuk konsentrasi plasma
dari rivaroxaban.
152
PT dan anti Xa merupakan tes yang direkomendasikan untuk monitor
efek dari rivaroxaban.
132

Penggunaan arang aktuf telah direkomendasikan untuk eliminasi rivaroxaban, tapi harus
diberikan 8 jam setelah pemberian rivaroxaban. Faktor IV PCC telah menunjukan adanya
aktivitas balik dari antikoagulan secara in vitro dari rivaroxaban pada orang sehat.
134
karena
mereka terikat tinggi pada protein, rivaroxaban dan apixaban tidak dapat di dialyzable.
Apixaban
Apixaban adalah spesifik tinggi menginhibisi faktor Xa. Secara cepat diserap dan
konsentrasi puncaknya dalam 1-2 jam. Studi menunjukkan waktu paruh terminal dari
apixaban yaitu 13,5 ± 9,9 jam, atau 15,2 ± 8,5 jam setelah 5 mg dosis tunggal dan 11,7 ± 3,3
setelah multiple 5 mg doses.
153-155
Maksimum konsentrasi plasma dari apixaban pada subjek
dengan berat badan rendah. Aktivitas plasma anti faktor Xa menunjukkan hubungan langsung
linear dengan konsentrasi plasma apixaban.
155
Apixaban merupakan bioavailabilitas oral lebih dari 45%.
153
Setelah pemberian oral,
eliminasi via multiple elimination pathway dengan direct renal dan intestinal excretion.
156
24
-29% dari dosis diekskresi via ginjal, dan 56% dosis dibuang melalui feces.
153
Lebih dari
setengah apixaban diekskresi tanpa ada perubahan, meminimalkan risiko dari metabolism
obat-interaksi obat.
Apixaban efektif untuk menurunkan stroke atau emboli sistemik tanpa meningkatkan
risiko perdarahan. Apixaban lebih superior dibandingkan warfarin dalam mencegah stroke
atau emboli sistemuj pada pasien dengan atrial fibrillation.
76
Apixaban sebagai
tromboprofilaksis yang efektif pada total knee arthroplasty, dibandingkan dengan enoxaparin
atau warfarin.
157
Apixaban memiliki efikasi yang setara dengan enoxaparin dalam mencegah
VTE setelah total knee replacement (TKR) dengan tingkat lebih rendah
158
atau sama
159
dari
perdarahan besar, apixaban lebih efektif dibandingkan enoxaparin dalam mencegai VTE
setelah total hip replacement (THR) tanpa peningkatan perdarahan.
160
Dalam percobaan ini
“alat yang dihubungkan dengan anastesi epidural atau intratekal dilepas setidaknya 5 jam
sebelum dosis pertama” dari apixaban. Dari semua studi apixaban, obat dimulai 12-24 jam
setelah operasi.
Dibandingkan dengan rivaroxaban, apixaban memiliki efek yang kecil pada PT saat
diberikan dosis yang disetujui.
114
Larutan PT assay meningkatkan sensitifitas dengan PT
konvensional. Korelasi linear antara aktivitas anti-Xa dan konsentrasi plasma dari apixaban.
Anti Xa assay lebih sensitif dibandingkan PT dan sensitifitasnya sama dengan dilute PT

assay
161
dan sebagai pilihan terbaik untuk monitor klinis dari efek antikoagulan apixaban.
132
Arang aktif diberikan 3 jam setelah pemberian, dapat mengurangi absorbsi apixaban.
Andexanet adalah modifikasi rekombinan daru human factor Xa decoy protein yang
terikat dan menihibisi faktor Xa. Studi pada voluntir dan pasien menunjukan
andexanetmembalikan aktivitas antikoagulan rivarixaban dan apixaban.
162
Pada tahun 2016,
andexanet secara klinis belum tersedia di United States.

Ringkasan dari Rekomendari untuk Antikoagulan Baru
Dalam rentang 2-3 waktu paruh dapat diterima pada pasien dengan risiko tinggi VTE
atau stroke, rentang 4-6 waktu paruh antara penghentian obat dan injeksi neuraxial aman pada
kebanyakan pasien dengan risiko rendah mengalami thrombosis. Rentang 5 waktu paruh
berhubungan dengan terapi LMWH sebagai alternative pada kebanyakan pasienm yang
dijabarkan pada Tabel 52-2. Setelah prosedur neuraxial atau pelepasan kateter epidural,
antikoagulan dapat diteruskan 6 jam (8 jam dikurangi onset/puncak efek dari obat, dimana
biasanya 2 jam) kemudian. Antikoagulan dilanjutkan dengan 24-48 jam pada kebanyakan
pasien, tapi mereka melanjutkannya segera pada pasien dengan risiko tinggi VTE atau stroke;
24 ham dikurangi waktu puncak efek dari obat. rekomendasi lain rentang waktu 24 jam
(Tabel 52-3). Monitor laboratorium dari efek antikoagulan sesuai pada beberapa situasi,
reversal agents dianjurkan ketika membutuhkn secara cepat mengembalikan fungsi
hemostasis.

Info Klinis Penting
Untuk antikoagulan baru, rentang 5 waktu paruh antara penghentian obat dan
prosedure neuraxial direkomendasikan sampai ada penemuan terbaru dari agen ini
Rentang 8 atau 24 jam samapi efek puncak dari obat direkomendasikan sebelum
obat kembali dikonsumsi setelah pelepasan kateter; rentang 24 jam mungkin yang
paling aman
CLINICAL FEATURES, DIAGNOSIS & MANAGEMENT OF
EPIDURAL HEMATOMA

Pasien dengan hematoma spinal biasanya muncul secara tiba-tiba, berat, nyeri
punggung konstan dengan atau tanpa komponen radikuler. Perkusi sepanjang tulang belakang
akan memperburuk rasa sakit seperti halnya dengan manuver pada peningkatan tekanan
intraspinal, termasuk batuk, bersin, atau mengejan. Kembalinya kelemahan motoric dan/atau
difisit sensorik setelah resolusi blockade epidural atau spinal sangat sugestif pada
pembentukan hematoma spinal atau epidural. Penemuan motoric dan sensorik tergantung
pada level dan ukuran dari hematoma tapi termasuk kelemahan, paresus, kehilangan fungsi
bowel and bladder, dan deficit sensorik yang sebenarnya. Magnetic resonance imaging
(MRI) merupakan studi diagnostic pilihan. Differential diagnosis termasuk abses spinal,
neoplasma epidural, acute disk herniation, dan spinal subarachnoid hemorrhage. Pemulihan
tanpa operasi adalah jarang, dan konsultasi neurosurgical untuk pertimbangan emergent
decompressive laminectomy harus segera di tentukan sebgai suspek hematoma spinal.
Pemulihan fungsi berhubungan dengan panjang waktu gejala primer muncul sebelum operasi.
Clinical feature, diagnosis, differential diagnosis, dan penanganan pasien dengan hematoma
spinal akan didiskusikan lebih dalam pada bab 65.

RINGKASAN

Praktisi harus mengupdate pengertahuan dasar dari medikasi antikoagulan baru,
protocol antikoagulan, dan rekomendari pedoman terbaru, dan anjuran FDA. Hematoma
spinal mungkin terjadi pada tidak adanya indikasi faktor risiko, monitor secara kritis dari
evaluasi dini disfungsi neurologis dan interbensi. Keputusan blockade neuraxial dan waktu
pelepasan kateter pada pasien yang menerima terapi antikoagulan harus dibuat berdasarkan
basis individu, mempertimbangkan manfaat anastesi regional dengan risiko kecil dari
hematoma spinal.
Blok Saraf Perifer dan Antikoagulan
Blok saraf perifer dapat dijalankan pada pasien yang menjalani antikoagulan. Prosedur
neuraxial pada penggunaan antikoagulan, tidak ada sturi prospektif pafa blok saraf perifer
dengan antikoagulan. ASRA merekumendasikan pedoman yang sama untuk blok saraf perifer
untuk prosedure neuraxial. Pada kasus hematoma psoas dan retroperitoneal telah dilaporkan
setelah blok pleksus lumbar dan blok kompartemen psoas.
13
Pasien ini menggunakan
enoxaparin, ticlopidine, atau clopidogrel. Pada kasus yang sama, hematoma terjadi meskipun
sudah mengikuti pedoman ASRA.
Gejala dari pembentukan hematoma setelah blok saraf perifer termasuk nyeri (nyeri flank
atau paravertebral, atau groin pain in psoas bleeding), tenderness in the area, menurunkan
hemoglobin/hematokrit, hipotensi karena hypovolemia, dan deficit sensorik-motorik.
Diagnosis definit dibuat dengan computerized tomography (CT); ultrasound juga digunakan
untuk deteksi adanya hematoma subcapsular renal setelah blok kompartemen psoas.
Penanganan termasuk konsultasi operasi, penggunaan antikoagulan, transfuse darah
memungkinkan, dan lihat dengan menunggu atau drainase operasi.
Memungkinkan mengadaptasi pedoman ASRA pada blok neuraxial pasien yang
menjalani blok saraf perifer. The European Society of Anaesthesiology tercatat sebagai
pedoman blok neuraxial yang tidak secara rutin digunakan pada blok saraf perifer. The
Austrian Society for Anesthesiology, Resuscitation and Intensive Care, disisi lain,
mengatakan bahwa blok saraf superfisial secara aman digunakan pada pemberian
antikoagulan.
161
Karena kemungkinan hematoma retroperitoneal, blok pleksus lumbar dan
paravertebral dengan rekomendasi yang sama untuk injeksi neuraxial. Pedoman yang sama
juga digunakan pada blok simpatik visceral. Pedoman ASRA lebih aplikatif untuk memblok
vascular dan area yang tidak tertekan, seperti blok pleksus celiac, blok pleksus hipogastrik

superior, dan blok pleksus lumbar. Klinisi dalam membuat keputusan harus dengan basis
individual dan mendiskusikan risiko dan manfaat dari blok pada pasien dan surgeon. Yang
paling penting, klinisi harus follow up the patient setelak penempatan blok.
1.Horlocker TT, Wedel DJ: Anticoagulation and neuraxial block: historical perspective, anesthetic
implications, and risk management. Reg Anesth Pain Med 1998;23:129–134.
2.Tryba M: [Epidural regional anesthesia and low molecular heparin: Pro]. Anasthesiol Intensivmed
Notfallmed Schmerzther 1993;28:179–181.
3.Pöpping DM, Zahn PK, Van Aken HK, Dasch B, Boche R, Pogatzki-Zahn EM: Effectiveness and
safety of postoperative pain management: a survey of 18 925 consecutive patients between 1998 and
2006 (2nd revision): a database analysis of prospectively raised data. Br J Anaesth 2008;101:832–
840.Moen
4.V, Dahlgren N, Irestedt L: Severe neurological complications after central neuraxial blockades in
Sweden 1990–1999. Anesthesiology 2004;101:950–959.
5.Volk T, Wolf A, Van Aken H, Bürkle H, Wiebalck A, Steinfeldt T: Incidence of spinal haematoma
after epidural puncture: analysis from the German network for safety in regional anaesthesia. Eur J
Anaesthesiol 2012;29:170–176.
6.Ehrenfeld JM, Agarwal AK, Henneman JP, Sandberg WS: Estimating the incidence of suspected
epidural hematoma and the hidden imaging cost of epidural catheterization: a retrospective review of
43,200 cases. Reg Anesth Pain Med 2013;38:409–414.
7.Bateman BT, Mhyre JM, Ehrenfeld J, et al: The risk and outcomes of epidural hematomas after
perioperative and obstetric epidural catheterization: a report from the multicenter perioperative
outcomes group research consortium. Anesth Analg 2013:116:1380–1385.
8.Horlocker T, Kopp S: Epidural hematoma after epidural blockade in the United States: It’s not just
low molecular weight heparin following orthopedic surgery anymore. Anesth Analg 2013;116:1195–
1197.
9.Horlocker T: Neuraxial blockade in patients with spinal stenosis: between a rock and a hard place.
Anesth Analg 2010;110:1305.
DAFTAR PUSTAKA
Info Klinis Penting
Pedoman prosedure injeksi neuraxial juga digunakan pada blok pleksus lumbar
dan blok simpatik visceral
Blok saraf superfisial, pedoman ultrasound blok saraf regional memungkinkan
digunakan pada antikoagulan sisa.

10.Gulur P, Tsui B, Pathak R, Koury KM, Lee H: Retrospective analysis of the incidence of epidural
haematoma in patients with epidural catheters and abnormal coagulation parameters. Br J Anaesth
2015;114:808–811.
11.Heit JA, Horlocker TT (eds): Neuraxial anesthesia and anticoagulation. Reg Anesth Pain Med
1998;23:S129–S193.
12.Horlocker TT, Wedel DJ, Benzon HT, et al: Regional anesthesia in the anticoagulated patient:
Defining the risks (The second ASRA consensus conference on neuraxial anesthesia and
anticoagulation). Reg Anesth Pain Med 2003;28:171–197.
13.Horlocker TT, Wedel DJ, Rowlingson JC, et al: Regional anesthesia in the patient receiving
antithrombotic therapy or thrombolytic therapy: American Society of Regional Anesthesia and Pain
Medicine evidence-based guidelines (third edition). Reg Anesth Pain Med 2010;35:64–101.
14.Gogarten W, Vandermeulen E, Van Aken H, Kozek S, Llau JV, Samama CM: European Society of
Anaesthesiology. Regional anaesthesia and antithrombotic agents: recommendations of the European
Society of Anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol 2010;27:999–1015.
15.Breivk H, Bang U, Jalonen J, Vigfusson G, Alahuhta S, Lagerkranser M: Nordic guidelines for
neuraxial blocks in disturbed haemostasis from the Scandinavian Society of Anaesthesiology and
Intensive Care Medicine. Acta Anaesthesiol Scand 2010;54:16–41.
16.Cronberg S, Wallmark E, Söderberg I: Effect on platelet aggregation of oral administration of 10
non-steroidal analgesics to humans. Scand J Haematol 1984;33:155–159.
17.Locke GE, Giorgio AJ, Biggers SL Jr, et al: Acute spinal epidural hematoma secondary to aspirin-
induced prolonged bleeding. Surg Neurol 1976;5:293–296.
18.Vandermeulen EP, Van Aken H, Vermylen J: Anticoagulants and spinal–epidural anesthesia. Anesth
Analg 1994;79:1165–1177.
19.CLASP (Collaborative Low-Dose Aspirin Study in Pregnancy) Collaborative Group. CLASP: a
randomized trial of low-dose aspirin for the prevention and treatment of pre-eclampsia among 9364
pregnant women. Lancet 1994;343:619–629.
20.Horlocker TT, Wedel DJ, Offord KP: Does preoperative antiplatelet therapy increase the risk of
hemorrhagic complications associated with regional anesthesia? Anesth Analg 1990;70:631–634.
21.Horlocker TT, Wedel DJ, Schroeder DR, et al: Preoperative antiplatelet therapy does not increase the
risk of spinal hematoma associated with regional anesthesia. Anesth Analg 1995;80:303–309.
22.Benzon HT, Brunner EA, Vaisrub N: Bleeding time and nerve blocks after aspirin. Reg Anesth
1984;9:86–90.
23.Horlocker TT, Bajwa ZH, Ashraft Z, et al: Risk assessment of hemorrhagic complications associated
with nonsteroidal antiinflammatory medications in ambulatory pain clinic patients undergoing
epidural steroid injection. Anesth Analg 2002;95: 1691–1697.
24.Benzon HT, Wong HY, Siddiqui T, et al: Caution in performing epidural injections in patients on
several antiplatelet drugs. Anesthesiology 1999;91:1558–1559.
25.Benzon HT, Huntoon M: Do we need new guidelines for interventional pain procedures in patients
on anticoagulants? Reg Anesth Pain Med 2014;39:1–3.

26.Giberson CE, Barbosa J, Brooks ES, et al: Epidural hematomas following removal of percutaneous
spinal cord stimulator trial leads: two case reports. Reg Anesth Pain Med 2014;39:73–77.
27.Williams KN, Jackowski A, Evans PJD: Epidural haematoma requiring surgical decompression
following repeated cervical epidural steroid injections for chronic pain. Pain 1990;42:197–199.