Asam urat penyakit yang bisa saja mematikan

28XMIPA6SatrioBagusP 0 views 21 slides Sep 27, 2025
Slide 1
Slide 1 of 21
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21

About This Presentation

Kesehatan asam urat


Slide Content

PENYAKIT ASAM URAT DALAM
PERSPEKTIF STRATIFIKASI SOSIAL DI
MASYARAKAT: STUDI KASUS PUSKESMAS
BANYURIP SURABYA DENGAN ANALASIS
TEORI GAYA HIDUP PIERRE BOURDIEU
PENYAKIT ASAM URAT DALAM
PERSPEKTIF STRATIFIKASI SOSIAL DI
MASYARAKAT: STUDI KASUS PUSKESMAS
BANYURIP SURABYA DENGAN ANALASIS
TEORI GAYA HIDUP PIERRE BOURDIEU
kelompok 2 gizi 3Akelompok 2 gizi 3A

ANGGOTA KELOMPOK
Andini Zahrah Fitria
Nahla Wardhani H
Natasha Beatrice B
Fathiyatun Nisa'
Salman Fawwaz
Gendhis Rezki Karim
Yusrina Hayya Naura
Aulia Shofie El-Azmi
Iftitah Athaya
Naura Charissa Puti H.
Stephanie Cheryl Putri
Azky Qonita Az-Zahra
192241021
192241024
192241062
192241063
192241066
192241067
192241068
192241069
192241070
192241071
192241072
192241073

LATAR BELAKANG Penyakit asam urat sudah dikenal sejak 2.000
tahun yang lalu dan sering disebut sebagai
"penyakit para raja". Penyakit ini disebabkan
karena penimbunan kristal monosodium urat. Di
Indonesia prevalensi penyakit asam urat sebesar
11.9%. Adapun faktor yang mempengaruhi kondisi
tersebut adalah permasalahan stratifikasi sosial
yang meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
ekonomi. Selain itu, eksistensi kelompok sosial di
masyarakat juga memiliki peranan penting dalam
mengatasi penyakit asam urat.

Bagaimana penyakit asam urat
dipengaruhi oleh stratifikasi sosial di
masyarakat? RUMUSAN MASALAHMenjelaskan hubungan antara
stratifikasi sosial dan
penyakit asam urat Apa dampak stratifikasi sosial
terhadap pengetahuan dan akses
pengobatan penyakit asam urat? Apakah terdapat perbedaan tingkat
prevalensi atau pola penanganan asam
urat berdasarkan kelas sosial? TUJUANMengidentifikasi faktor sosial
yang mempengaruhi tingkat
prevalensi dan pengobatan
asam urat Mengidentifikasi dampak
stratifikasi sosial terhadap
penyakit asam urat

MANFAAT Dapat memberikan pemahaman terkait hubungan
antara stratifikasi sosial dan penyakit asam urat. Dapat memberikan pemahaman mengenai dampak
adanya stratifikasi sosial terhadap penyakit asam
urat. Dapat mengetahui faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi tingkat prevalensi dan pengobatan
asam urat di masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit asam urat (gout) adalah
kondisi yang terjadi ketika kadar
asam urat dalam darah terlalu
tinggi (hiperurisemia), sehingga
menumpuk dan membentuk kristal
urat tajam dalam persendian.ASAM URAT (GOUT) STRATIFIKASI SOSIAL
DAN KESEHATAN
Pembagian masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan atau tingkatan yang
menentukan posisi seseorang dalam
masyarakat. Lapisan sosial yang
berbeda memiliki akses yang berbeda
pula terhadap layanan kesehatan.

TEORI
PIERRE BOURDIEU Teori gaya hidup Pierre Bourdieu
menekankan bahwa gaya hidup
seseorang merupakan hasil dari
Habitus, Modal, dan ArenaGAYA HIDUP, KONSUMSI, DAN PENYAKIT
Gaya hidup mencakup pola makan, aktivitas,
tidur, dan kebiasaan yang memengaruhi
kesehatan
Pola sehat: makan seimbang, olahraga, dan
kelola stres. Pola tidak sehat: konsumsi tinggi
lemak, gula, purin, merokok, kurang aktivitas,
serta tidur buruk
Pola konsumsi berlebihan purin dapat
meningkatkan risiko gout
Faktor sosial-ekonomi dan budaya turut
membentuk pilihan makan dan risiko penyakit
TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN
HABITUS KONSUMSI MASYARAKAT PERKOTAAN
Habitus adalah seperangkat disposisi atau struktur kognitif
yang dimiliki individu dan terbentuk melalui pengalaman hidup,
pendidikan, serta interaksi sosial dalam lingkungan tertentu.
Dalam konteks konsumsi masyarakat perkotaan, apa yang
tampak sebagai pilihan konsumsi sehari-hari merupakan refleksi
dari pembelajaran sosial sejak kecil, melalui pengasuhan,
pendidikan, hingga interaksi dalam jaringan sosial yang lebih
luas.

Modal ekonomi sangat menentukan pola konsumsi karena
berhubungan dengan kemampuan finansial seseorang (Bourdieu,
1984). Individu dengan pendapatan tinggi memiliki lebih banyak
pilihan makanan, termasuk daging merah, seafood, dan minuman
beralkohol yang bernilai simbolik, tetapi kaya purin sehingga
berisiko memicu gout (Li et al., 2018). Sebaliknya, kelompok
berpendapatan rendah cenderung hanya mengonsumsi pangan
murah dengan variasi terbatas.
MODAL EKONOMI DAN AKSES KOMUNIKASI
PEMBAHASAN

Modal budaya, seperti pendidikan, pengetahuan kesehatan, dan
literasi gizi, memengaruhi praktik konsumsi masyarakat (Bourdieu,
1984). Individu dengan modal budaya tinggi umumnya lebih sadar
akan risiko konsumsi purin berlebih dan cenderung memilih makanan
sehat. Penelitian lain menunjukkan bahwa pengetahuan tentang diet
purin dapat menurunkan konsumsi makanan berpurin tinggi.. Namun,
perubahan perilaku tidak selalu terjadi karena kebiasaan makan
yang sudah mengakar (habitus).
MODAL BUDAYA DAN PENGETAHUAN GIZI
PEMBAHASAN

Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan relasi dan
keanggotaan individu dalam sebuah kelompok yang dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh sumber daya tertentu, tak
terkecuali kesehatan (Bourdieu, 1979). Dalam kasus di
Puskesmas Banyu Urip Surabaya, lemahnya modal sosial terlihat
dari ketidaktersediaan akses edukasi karena jaringan yang
dimiliki tidak mampu menyediakan promosi preventif yang
memadai.
MODAL SOSIAL DAN MODAL SIMBOLIK
PEMBAHASAN

MODAL SOSIAL DAN MODAL SIMBOLIK
Modal simbolik dalam perspektif Pierre Bourdieu, adalah bentuk
pengakuan atau prestise yang dilekatkan pada modal ekonomi,
sosial, maupun budaya (Bourdieu, 1986). Dalam kasus di
Puskesmas Banyu Urip Surabaya, modal sosial memengaruhi
cara pandang masyarakat terhadap penyakit hiperurisemia.
Modal simbolik juga memengaruhi pemaknaan suatu penyakit
juga relasi pasien dengan suatu pelayanan kesehatan.
PEMBAHASAN

REFLEKSI STRATIFIKASI SOSIAL DAN PENYAKIT
Stratifikasi sosial memiliki pengaruh besar terhadap bagaimana
penyakit muncul, dipahami, serta ditangani dalam masyarakat.
Kasus hiperurisemia di Puskesmas Banyu Urip menunjukkan
bahwa faktor ekonomi, sosial, serta budaya memengaruhi
tingginya prevalensi penyakit. Sebagai contoh, individu dari kelas
sosial menengah ke bawah cenderung akan memiliki
keterbatasan akses pengetahuan kesehatan, sehingga rentan
terhadap pola makan tidak sehat dan konsumsi tinggi purin yang
dapat menyebabkan hiperurisemia.
PEMBAHASAN

PERAN KELOMPOK SOSIAL DI
MASYARAKAT UNTUK MENEKAN
ANGKA PENYAKIT ASAM URAT

PERAN KELOMPOK SOSIAL
1. PKK
Memberikan penyuluhan tentang pola makan rendah
purin, pentingnya minum air, dan gaya hidup sehat.
Membimbing keluarga dalam menyiapkan menu sehat
sesuai kondisi ekonomi.
Mendorong pemanfaatan pekarangan untuk
menanam sayuran sehat dan ramah bagi penderita
asam urat.
Melalui posyandu atau kader lansia untuk screening
sederhana dan deteksi dini.
Menyesuaikan metode edukasi dan intervensi sesuai
lapisan sosial masyarakat (atas, menengah, bawah).

2. Posyandu Lansia
Edukasi & Penyuluhan Kesehatan
Pelatihan kader & tenaga
kesehatan
Riset & publikasi ilmiah
Advokasi kebijakan publik
Kolaborasi antar profesi
PERAN KELOMPOK SOSIAL

3. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Edukasi kesehatan dan gizi
Kampanye pencegahan penyakit dan
malnutrisi
Meningkatkan kesadaran nutrisi
Meningkatkan Sanitasi dan Kebersihan
Advokasi Kebijakan Kesehatan dan Gizi
PERAN KELOMPOK SOSIAL

Edukasi & Penyuluhan Kesehatan
Pelatihan kader & tenaga
kesehatan
Riset & publikasi ilmiah
Advokasi kebijakan publik
Kolaborasi antar profesi
PERAN KELOMPOK SOSIAL
4. Organisasi Profesi

Penyakit asam urat (gout) bukan hanya persoalan medis,
tetapi juga berkaitan erat dengan faktor sosial, ekonomi,
budaya, serta stratifikasi sosial masyarakat.
Hasil penelitian di Puskesmas Banyu Urip menunjukkan 52%
responden mengalami hiperurisemia, dengan sebagian besar
responden memiliki status gizi berlebih (36% overweight dan
26% obesitas), serta asupan protein dan purin yang tinggi.
Faktor sosial seperti rendahnya tingkat pendidikan,
terbatasnya akses terhadap edukasi gizi, serta lemahnya
modal sosial menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat
dalam membatasi konsumsi makanan tinggi purin.
KESIMPULAN

Bagi masyarakat, penting untuk meningkatkan kesadaran gizi melalui
pola makan seimbang, mengurangi konsumsi makanan tinggi purin
(jeroan, daging merah, seafood), serta menjaga berat badan ideal
guna mencegah komplikasi hiperurisemia.
Bagi tenaga kesehatan dan puskesmas, disarankan untuk lebih aktif
melakukan edukasi gizi dan konseling diet rendah purin kepada pasien
maupun keluarga, mengingat 68% responden belum pernah
mendapatkan edukasi gizi.
Bagi pemerintah dan pemangku kebijakan, perlu adanya program
penyuluhan dan promosi kesehatan yang berkelanjutan, terutama di
wilayah perkotaan dengan prevalensi tinggi, serta memperluas akses
layanan kesehatan preventif bagi kelompok ekonomi menengah ke
bawah.
SARAN

TERIMA KASIH
THANK YOU“감사합니다”
(GAMSAHAMNIDA)