audien dalam menggunakan media massa ppt

dandungblackbeat 0 views 25 slides Sep 18, 2025
Slide 1
Slide 1 of 25
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25

About This Presentation

khalayak atau publik dalam bermedia


Slide Content

AUDIEN
Audien menurut Adorno merupakan korban, sedangkan
menurut Morley malahan pengguna.
Theodor Adorno mendefinisikan audien sebagai massa
yang pasif dan dibodohi.
David Morley melihat audien sebagai beragam kelompok
konsumen yang aktif.

Dampak perilaku the extreme of
heavy TV viewing yang diteliti di AS
tahun 2001 hasilnya antara lain
munculnya perilaku loneliness, sosok
yang kehilangan interaksi sosial,
youth, “televisi merebut masa muda”,
low income, menyederhanakan
masalah dengan hanya nonton TV,
lack of education, hidup dalam
“keterampilan pasif”, availability of
free time, menyukai sedikit bekerja
dan bergerak (Masduki, 2008).

MENURUT SHOEMAKER DAN REESE
(2000)
ada empat faktor yang saling bekerjasama dalam
proses hyper commercialization of culture.
Pertama, faktor individu kreator;
Kedua, faktor jaringan organisasi yang
menghubungkan antara pengelola media
penentu rating dan produsen tayangan;
Ketiga, faktor nilai-nilai dan kebijakan pengelola
TV; Keempat, faktor eksternal berupa pengiklan
yang melingkupi operasi media televisi.

MENURUT ADORNO
keberadaan budaya industri mempunyai arti
bahwa kita(audien) menjadi tidak bisa
berimajinasi tentang adanya kemungkinan
perbedaan kualitatif yang signifikan .
Maksudnya audien menjadi tidak bisa
membedakan antara yang kenyataan dan hasil
imajinasi industri media.

Dalam karya Adorno dan Horkheimer cukup
jelas bahwa audien dan media mempunyai hub
sebab-akibat dan aksi-reaksi. Artinya audien dan
media terlibat hubungan dalam praktik dan
prosedur dialog.
Media terlibat dalam hubungan dialog karena ia
memberi inspirasi berupa semacam respons pada
pihak pembaca, penonton, atau pendengar. Teks
media pada dasarnya bersifat dialogis (yaitu,
mereka secara fundamental terlibat dalam
dialog) karena memang dimaksudkan untuk
memprovokasi semacam respons dari audien.

VOLOSHINOV
mengatakan bahwa ucapan seperti dalam
perkuliahan hanya bisa betul-betul diterangkan
dan dipahami kalau perhatian diarahkan kepada
audien yang berusaha memahami dan
memberikan respons terhadap teks yang mereka
terima… Oleh karena itu, sangat penting untuk
memberi perhatian pada audien.
Berbeda dengan monolog, tentu saja seseorang
berbicara untuk menafikan orang lain; para
audien tidak bisa memberikan respons, mereka
hanya menyerap apa yang diberikan.

ADORNO DAN HORKEIMER
MERUMUSKAN TIGA PERSOALAN
Pertama, mereka
menegaskan bahwa
budaya industri
melihat dan
menciptakan
audien tunggal.
Kedua, mereka
menegaskan bahwa
audien monolitik
yang tunggal dari
budaya industri ini
adalah massa pasif.
Ketiga, Adorno dan
Horkheimer menegaskan
bahwa dalam massa
audien tunggal masing-
masing individu merasa
asing dengan individu
lainnya.

PARADOKS YANG DISOROT OLEH
ADORNO DAN HORKHEIMER
MEMPUNYAI DUA KOMPONEN.
Pertama, paradoks itu
berarti kita mengalami
media itu seorang diri.
Kedua, ia berarti bahwa
media memperlakukan
kita seolah-olah kita
semua sama.
Kesimpulannya adalah
media memiliki dampak
menurunkan level semua
individu, sehingga dari
sudut pandang budaya
industri , semua individu
tersebut betul-betul sama
dalam semua hal penting.
Contoh yang sangat jelas
dapat dilihat pada kasus
pemujaan terhadap
bintang film.
Hal ini terjadi karena audien
begitu lemah dihadapan
budaya industri media.
Namun tentu saja para
bintang film itu juga
adalah korban dari budaya
industri media.

ADORNO DAN HORKHEIMER
juga mengatakan bahwa media memperlakukan
kita (audien) sebagai bagian dari massa dan
memaksa kita (audien) untuk bertindak dan
berpenampilan seperti yang ditampilakn oleh
media. Intinya, media mengubah identitas asli
diri kita (audien) menjadi diri orang lain dengan
membuat kita (audien) tidak puas dengan
keadaan diri kita (audien).
Menurut dua tokoh tersebut, audien penting bukan
karena dia itu siapa, tetapi karena apa yang
terjadi atas dirinya. Audien penting karena
proses dehumanisasi yang dilancarkan dan telah
menimpa atas dirinya.

DALAM RUANG LINGKUP KOMUNIKASI
MASSA TEORI-TEORI ADORNO DAN
HORKHEIMER MUNGKIN DISEBUT
CULTIVATION THEORY .
Teori ini beranggapan
penilaian, persepsi, opini
audien televisi digiring
sedemikian rupa agar
sesuai dengan apa yang
mereka lihat di televisi.
Apa yang terjadi pada
televisi, itulah dunia
sesungguhnya dan para
pecandu televisi akan
memiliki kecenderungan
sikap yang sama satu sama
lain (Nurudin, 2007: 169).

Dalam teori seni dalam pemahaman Adorno
terhadap budaya industri, audien seharusnya
menjadi partner dalam sebuah dialog. Namun
nyatanya, media hanya melakukan sebuah
monologis yang membuat audien tetap dalam
keterasingan dalam hal sosial dan moral,
sehingga audien tidak bisa memberikan umpan
balik.

VOLOSHINOV
mengasumsikan seperti halnya profesor yang
hanya melihat catatannya saja bukanlah orang
yang baik dalam profesinya. Hal itu karena
professor tersebut telah melemahkan kekuatan
ucapannya dan memutuskan hubungan dialogis
dengan audiennya, sehingga mengurangi nilai
pembicaraannya (Voloshinov 1988: 118).

TEORI BUDAYA INDUSTRI
mengasumsikan bahwa semua media hanya
mendengarkan suara mereka saja (dalam hal ini
cultural studies akan menjadi salah satu sumber
budaya industri untuk berbicara kembali pada
dirinya). Dengan kata lain, teori budaya industri
kelihatannya memiliki kekeliruan logis yang
fundamental di dalam intinya.

Hoggart memberikan komentar
bahwa produk media cenderung
ke arah pandangan dunia
dimana kemajuan dipahami
sebagai usaha mencari materi,
kesetaraan dipahami sebagai
kesetaraan moral, dan
kebebasan dipahami sebagai
landasan kenikmatan abadi
yang tidak bertanggung jawab
(Hoggart 1958: 282).

ADORNO DAN
HORKHEIMER
beralasan bahwa orang-orang disiapkan menjadi
individu yang terasing dalam massa audien
potensi karena semua potensi pemberontak dari
individu telah betul-betul dihancurkan dan
dibuyarkan oleh budaya industri, sehingga tidak
satupun yang tertinggal selain kepasifan.

HOGGART
menegaskan bahwa para
pekerja (audien) menerima
semua proses yang
menjadikan mereka objek
karena mereka dibutakan
oleh imbalan menggiurkan
yang ditawarkan oleh iklan.
Tetapi ternyata semua yang
mereka dapatkan dari iklan
hanyalah kehancuran cara
hidup tradisional mereka
serta kedekatan palsu.
Ia tidak mau
menyimpulkan bahwa
audien telah diubah
menjadi massa individu
karena ia memberi
respons terhadap teks
media yang monolog
(sudah mulai berdialog).
Media membuat “para
pekerja” menjadi pasif,
tetapi ia juga telah gagal
menyadari bahwa audien
hanya bisa dibuat pasif
kalau ia merespons
media tersebut dengan
cara yang pasif juga.

FISKE
mendefinisikan program televisi
sebagai sebuah entitas tertentu
yang stabil, diproduksi dan dijual
sebagai komoditas serta paket
yang distribusinya diatur
menurut jadwal. Teks adalah
produk dari pembaca (audien)
mereka.
Ia juga menjelaskan program
berubah menjadi teks di saat
terjadinya pembacaan (reading),
yaitu ketika program
berinteraksi dengan salah satu
audien yang mengaktifkan
berbagai makna/kesenangan
yang bisa melakukan provokasi
(Fiske 1987: 14).
Akibatnya, sebuah program
dibaca sebagai teks oleh audien
yang memproyeksi makna dan
interpretasinya sendiri kepada
program tersebut.
Masing-masing audien akan
mengkonstruksi makna teks
berbeda dari audien lainnya
karena kekhasan posisi budaya
dan sosialnya.
John Fiske menegaskan bahwa
unifikasi ideologis tidak bisa
disangkal telah gagal manakala
beragam sub-budaya audien
menciptakan makna mereka
sendiri-sendiri tentang teks budaya
pop (Tetzlaff 1992: 49).
Fiske juga menegaskan bahwa
semua individu dalam lingkup
audien media distandarkan dan
disamakan levelnya menjadi
sebutan persamaan (common
denominator). Hal ini menunjukan
bahwa perhatian besar seharusnya
diberikan kepada kondisi dan
konteks dimana penonton terlibat
dalam aktivitas sehari-hari yang
praktis dalam menonton televisi.

Melalui metode etnografi
Dorothy Hobson melakukan
wawancara dan mengamati
wanita yang berada di
rumah dengan anak
kecilnya. Hasilnya, media
penyiaran ternyata sangat
penting dalam rutinitas
keseharian para wanita
muda dengan anak-
anaknya.
Hobson mengatakan bahwa
bagi wanita, media sangat
penting untuk berkompromi
atau mengatur tegangan
yang disebabkan oleh
keterasingan dalam hidup
mereka (Hobson 1980: 109).
Hal ini karena media
menawarkan pelarian dari
kesepian dan kebosanan.
Media tersebut
menawarkan pertemanan
kemungkinan untuk
berdialog.
Dalam komunikasi massa
teori seperti ini disebut
Media Equation Theory
yang mengasumsikan media
diibaratkan manusia yang
bisa diajak bicara, penyalur
kekesalan, dll.

Media sebagai agenda setting juga menjadi penunjuk waktu (time
maker) audien dalam rutinitas sehari-hari. Audien bisa saja
membagi waktu satu hari menjadi beberapa periode berdasarkan
program acara dari media.
Media selalu mengarahkan kita (audien) pada apa yang harus kita
(audien) lakukan. Agenda media akan menjadi agenda masyarakat.

MENURUT MORLEY;
Bagi pria menonton televisi merupakan aktivitas
yang terpisah dari interaksi dan relasi
kehidupan keluarga.
Bagi wanita menonton televisi pada dasarnya
merupakan kegiatn sosial yang melibatkan
percakapan dan mereka biasanya melakukan
paling tidak satu aktivitas domestik lainnya
pada waktu yang bersamaan.

KRITIK TERHADAP ETNOGRAFI
MORLEY.
Pertama, Morley terjatuh ke dalam logikanya sendiri
yang menjerat John Fiske. Dia melewatkan
kemungkinan bahwa apa yang kita anggap kita
lakukan dan apa yang betul-betul kita lakukan boleh
jadi merupakan dua hal yang berbeda.
Kedua, karya Morley memuat persoalan yang sangat
berlawanan dengan karya Adorno dan Horkheimer.
Adorno dan Horkheimer menerangkan, tetapi tidak
menggambarkan. Sedangkan Morley
menggambarkan, tetapi tidak menerangkan.
Etnografi Morley sangat terjerumus ke dalam
jebakan fethization (pemberhalaan).
Maksud dari pemberhalaan disini adalah
kita(audien) dibutakan terhadap kondisi dimana
sebuah komoditas dibuat.

PERBEDAAN ANTARA ADORNO SERTA
HORKHEIMER DENGAN MORLEY INI
DISEBABKAN DUA HAL.
Pertama, mungkin disebabkan oleh sikap
terhadap dunia.
Kedua, mungkin dikarenakan kenyataan bahwa
meskipun mereka berbicara tentang media,
tetapi mereka betul-betul berbicara tentang
suatu hal yang sangat berbeda.

Oleh karena itu, mustahil mengatakan apapun
tentang audien media yang akan cocok dengan
penerimaan dan kesepakatan universal.
Kita semua bisa membuat karya tentang audien
media tanpa harus cemas bahwa orang lain akan
menemukan kebenaran yang pasti, absolut, dan
tidak bisa dipertanyakan lagi sebelum kita
melakukannya.

DAFTAR PUSTAKA
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan
Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose - Kreasi
Wacana.
Masduki, dkk. 2008. Media, Jurnalisme dan
Budaya Populer. Yogyakarta: Prodi
Komunikasi Universitas Islam Indonesia & UII
Press.
 
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
 
Tags