Buku (One Map Policy) OMP Summit 2024 White Paper

dodyzulfikar 58 views 90 slides Mar 01, 2025
Slide 1
Slide 1 of 90
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90

About This Presentation

Buku White Paper One Map Policy Summit 2024
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang


Slide Content

One Map Policy:
Shaping a Unified Future Beyond 2024
WHITE PAPER
Disiapkan Oleh:
KEMENTERIAN KOORDINATOR
BIDANG PEREKONOMIAN
BAPPENAS
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BADAN INFORMASI
GEOSPASIAL
IKATAN SURVEYOR
INDONESIA
IKATAN AHLI PERENCANAAN
INDONESIA
SATU DATA
INDONESIA
STRATEGI NASIONAL
PENCEGAHAN KORUPSI

Tim White Paper One Map Policy Summit 2024
Buku White Paper One Map Policy Summit 2024
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang
Diproduksi : Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang
Pengarah : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Penanggung Jawab : Susiwijono, Marcia
Tim Penulis : Armaiki Yusmur, Bernardino Rakha Adjie Brata, Bobai M Anugrahta
Saragih, Budi Prawara, Danil Arif Iskandar, Dany Puguh Laksono,
Defi Ohfanisa, Laode Restelle, Shelvie Nidya Neyman, Triarko
Nurlambang, Yudi Setiawan, Fauzia Suryani Puteri, Grace Sondang
Yunika, Heri Sutanta, Muhammad Komarudin, Muhammad Rokhis
Khomarudin, Nur Rhaeni Febrianti, Rahmat Arief, Sahid Agustian
Hudjimatsu, Vito Prihartono, Sekretariat Satu Data Indonesia, Tim
Strategi Nasional Pencegahan Korupsi KPK, WRI Indonesia
Editor : Ikatan Ahli Perencana, Ikatan Surveyor Indonesia.
Desain Cover dan Layout : Lela Alifah Rahmi, Shella Maulina, Enggar Penggalih

Cetakan Pertama, 2024
Hak cipta dilindungi Undang Undang
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Kedeputian Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang
Buku White Paper One Map Policy Summit 2024
-Cet.1-
Jakarta : Tim White Paper One Map Policy Summit 2024

WHITE PAPER
One Map Policy :
Shaping a Unified Future
Beyond 2024

Kata Sambutan
Ketua Tim Percepatan
Kebijakan Satu Peta
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan YME, kami sampaikan
buku White Paper Kebijakan Satu Peta.
Di tahun 2024 perekonomian Indonesia semakin menunjukkan tanda-
tanda penguatan. Hal ini terlihat dari indikator pertumbuhan ekonomi
yang mencapai 5,11% pada Triwulan I tahun 2024 lebih tinggi dibandingkan
periode yang sama pada tahun 2023 sebesar 5,04%. Membaiknya kondisi
perekonomian memperbesar peluang Indonesia untuk bertransformasi
menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada tahun 2045.
Dalam rangka peningkatan kemudahan berusaha dan ekonomi, pada
tahun 2020 Indonesia berada di peringkat ke-73 Ease of Doing Business
(EODB). Tahun 2021, World Bank mengganti laporan EODB tersebut menjadi
Business Ready (B-Ready) yang akan dipublikasikan di tahun 2024 ini.
Berdasarkan 10 (sepuluh) topik fokus B-Ready tersebut, 3 topik sangat
erat kaitannya dengan pemanfaatan data spasial, yaitu Perizinan, Lokasi
Bisnis, dan Penyelesaian Sengketa. Tentu saja, peringkat kemudahan
berusaha Indonesia perlu didorong menjadi lebih baik, salah satunya
melalui penyediaan data spasial yang akurat, tata kelola data terpadu
dalam wujud transformasi digital, serta penyelesaian tumpang tindih
lahan, yang seluruhnya menjadi tujuan utama pelaksanaan Kebijakan
Satu Peta.
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta yang telah berjalan sejak tahun 2016
telah memberikan manfaat yang besar diantaranya dalam perbaikan
tata kelola data spasial, percepatan penetapan batas administrasi,
peningkatan kualitas rencana tata ruang, hingga perbaikan tata kelola
perizinan berbasis lahan. Tidak dipungkiri bahwa dampak Kebijakan
Satu Peta tersebut mungkin belum sepenuhnya bisa dirasakan langsung
oleh masyarakat. Untuk itu, di tahun 2024 ini, kami berkomitmen agar
seluruh pihak, baik pemerintah, badan usaha, maupun masyarakat
dapat memanfaatkan berbagai produk Kebijakan Satu Peta melalui
perluasan akses Geoportal Kebijakan Satu Peta kepada publik.:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
iv

Kami memandang perlunya pelaksanaan Kebijakan Satu Peta berjalan
hingga tahun-tahun kedepan. Buku White Paper Kebijakan Satu Peta ini
merupakan suatu upaya untuk memberikan masukan terkait kebutuhan,
tantangan, serta hal-hal yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Kebijakan
Satu Peta pasca 2024. Untuk itu, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini. Semoga
buku ini bisa memberi manfaat dan informasi kepada seluruh pihak serta
menjadi bahan pembelajaran untuk berpartisipasi aktif dalam mendorong
transformasi digital berbasis spasial serta dalam pencapaian target
Indonesia Emas 2045.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Airlangga Hartarto
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
v

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG vi
Kebijakan Satu Peta (KSP) bertujuan untuk mewujudkan peta yang
dapat dijadikan acuan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan
di Indonesia dalam melakukan perbaikan data dan perencanaan
pemanfaatan ruang yang terintegrasi. Capaian yang telah dihasilkan
dari KSP banyak memberikan manfaat dalam berbagai pengambilan
kebijakan, akan tetapi masih banyak pula kebutuhan dan tantangan
yang dihadapi dalam implementasinya.
Isu utama dalam pemanfaatan data pada KSP adalah akses Geoportal
KSP untuk publik. Sampai dengan tahun 2023, akses Geoportal KSP
hanya diberikan untuk Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Kepala
Lembaga dan Pimpinan Daerah. Keputusan Presiden Nomor: 28 Tahun
2023 yang terbit di akhir tahun 2023, membuka kesempatan publik untuk
mendapatkan akses ke Geoportal KSP, dimana kewenangan aksesnya
akan diatur pada Peraturan Badan Informasi Geospasial.
Sistem geoportal KSP disediakan dalam bentuk services yang dilengkapi
dengan hak akses sesuai kewenangan yang diberikan oleh Kementerian/
Lembaga pemilik data. Services ini dapat digunakan oleh pengguna untuk
diinput pada aplikasi lainnya selama memiliki hak akses. Dalam sistem
geoportal terdapat juga menu untuk mengintegrasikan dengan data
pada Simpul Jaringan. Kedua data dari services tersebut dapat di-overlay
untuk proses analisis sederhana yang dapat membantu pengguna
dalam melakukan proses pengambilan keputusan.
Strategi keberlanjutan KSP paska tahun 2024 perlu dipikirkan mengingat
manfaat KSP yang begitu besar bagi penyelenggaraan pemerintah dalam
kebijakan berbasis spasial. Kepastian kesinambungan keberlanjutan
KSP perlu diakomodasi dalam dokumen perencanaan nasional, agar
pelaksanaan KSP tetap menjadi program kerja Kementerian/Lembaga.
Tata Kelola Data yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor: 39 Tahun
2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI) juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam pelaksanaan KSP. Pengintegrasian SDI dengan KSP
Kata Sambutan
Ketua Tim Pelaksana
Kebijakan Satu Peta

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG vii
termasuk penegasan lebih lanjut mengenai hubungan antara KSP dengan
SDI, terutama di dalam peraturan perundang-undangan. Sumberdaya
manusia juga menjadi hal penting seiring dengan meningkatnya kebutuhan
akan IG yang berkualitas dan real-time.
KSP berkontribusi dalam mewujudkan satu standar, satu referensi, satu
basis data, dan satu geoportal. Keberadaan KSP sangat diperlukan guna
mewujudkan penyediaan data dan informasi geospasial dasar dan tematik
yang lengkap, akurat, bersinergi dengan bidang-bidang lainnya, serta
didukung dengan penguatan tata kelola untuk meningkatkan akses dan
pemanfaatannya.

Muh Aris Marfai
Kepala Badan Informasi Geospasial

KATA SAMBUTAN KETUA TIM PERCEPATAN KEBIJAKAN SATU PETA iv
KATA SAMBUTAN KETUA TIM PELAKSANA KEBIJAKAN SATU PETA vi
Daftar Isi viii
Daftar Gambar x
Daftar Tabel xi
BAB 1. PENDAHULUAN 2
BAB 2. CAPAIAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA 8
2.1 Capaian Kegiatan 9
2.1.1 Penetapan Mekanisme dan Tata Kerja Pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta 9
2.1.2 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar 10
2.1.3 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial Tematik 11
2.1.4 Infrasruktur Geospasial 11
2.1.5 Sinkronisasi antar Informasi Geospasial Tematik 12
2.2 Pemanfaatan Kebijakan Satu Peta 15
BAB 3. KEBUTUHAN DAN TANTANGAN 20
3.1 Pelaksanaan Kebijakan dan Regulasi 21
3.1.1 Kebijakan dan Regulasi Kebijakan Satu Peta 21
3.1.2 Integrasi Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung
Transformasi Digital Nasional 25
3.1.3 Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung
Sustainable Development Goals (SDGs) 25
3.2 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial Tematik 26
3.2.1 Pemetaan Partisipatif dalam Pemenuhan Informasi Geospasial 26
3.2.2 Penyediaan Informasi Geospasial dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat 28
3.2.3 Integrasi Informasi Geospasial Pertanahan dan Ruang dalam
Kebijakan Satu Peta dan Kebutuhan Pemetaan Skala Besar 30
3.3 Kesiapan Teknologi dalam Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta 30
3.3.1 Pengembangan Infrastruktur Teknologi 31
3.3.2 Keamanan Siber (Cyber Security) dalam Bidang Geospasial 32
3.3.3 Kecerdasan Buatan dalam Bidang Geospasial 32
3.4 Ketersediaan dan Kapasitas Sumber Daya Manusia 35
3.5 Ketersediaan Anggaran 36
BAB 4. STRATEGI PENCAPAIAN KEBUTUHAN DAN TANTANGAN 38
4.1 Pelaksanaan Kebijakan dan Regulasi 39
4.1.1 Kebijakan dan Regulasi Kebijakan Satu Peta 39
4.1.2 Integrasi Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam
Mendukung Transformasi Digital Nasional 40
4.1.3 Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung
Sustainable Development Goals (SDGs) 41
4.2 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial Tematik 42:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
viii
DAFTAR ISI

4.2.1 Pemetaan Partisipatif dalam Pemenuhan Informasi Geospasial 42
4.2.2 Penyediaan Informasi Geospasial dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat 43
4.2.3 Integrasi Informasi Geospasial Pertanahan dan Ruang dalam
Kebiajakan Satu Peta dan Kebutuhan Pemetaan Skala Besar 44
4.3 Pengembangan Teknologi dalam Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta 45
4.3.1 Infrastruktur Teknologi 45
4.3.2 Keamanan Siber (Cyber Security) dalam Bidang Geospasial 47
4.3.3 Kecerdasan Buatan dalam Bidang Geospasial 49
4.4 Peningkatan Ketersediaan dan Kapasitas Sumber Daya Manusia 50
4.5 Penyediaan Anggaran 52
BAB 5. PEMANFAATAN KSP DALAM MENDUKUNG UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI 56
5.1 Pemanfaatan KSP dalam Penyelamatan Sumber Daya Alam (Monitoring
Pembangunan Nasional) 57
5.2 Studi Kasus Penyelesaian Tumpang Tindih Perizinan Perkebunan Sawit di
Provinsi Papua, Riau dan Kalimantan Tengah 58
5.3 Penyelesaian Perizinan Tambang dalam Kawasan Hutan 59
5.4 Penyelesaian Hak Guna Usaha dalam Kawasan Hutan 61
BAB 6. REKOMENDASI KEBERLANJUTAN KEBIJAKAN SATU PETA 64
DAFTAR PUSTAKA 71:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
ix

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pemutakhiran RBI skala 1: 50.000 tahun 2022 dan 2023 10
Gambar 2.3 Perkembangan PITTI Tahun 2019-2023 15
Gambar 3.1 Kondisi Sebelum dan Sesudah Adanya Tata Kelola Data Melalui SDI 23
Gambar 3.2 Peran SDI Dalam Tata Kelola Pertukaran Data 24
Gambar 3.3 Sebagian SJ yang sudah memiliki staf dengan Jabatan Fungsional
Surveyor Pemetaan 35
Gambar 4.1 Interoperability Data Spasial oleh BIG 41
Gambar 4.2 Usulan Proses Integrasi dan Penyelarasan Hasil Pemetaan Partisipatif
Masyarakat Pada Kebijakan Satu Peta 43
Gambar 4.3 Arsitektur sistem pada Kebijakan Satu Peta 47
Gambar 4.4 Diagram Alir Ilustrasi Framework Keamanan Siber yang Komprehensif
untuk Kebijakan Satu Peta di Indonesia 49
Gambar 4.5 Skema sistem GEOMIMO 49
Gambar 4.6 Arsitektur pengembangan model/inovasi AI dalam bidang spasial 50
Gambar 5.1 Kegiatan Usaha Tambang dalam Kawasan Hutan yang Memiliki
Perizinan Pertambangan tapi Tidak Memiliki Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan 60

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar IGT Penyusun PITTI 12
Tabel 3.1 Perbandingan Data Prioritas dengan Data dalam Rencana Aksi KSP dan Walidata IGT 25
Tabel 5.1 Contoh Kasus Korupsi Terkait Perizinan Berbasis Lahan 57

BAB 1.
PENDAHULUAN

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 3
D
ata dan Informasi Geospasial merupakan alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
Data dan Informasi Geospasial sangat diperlukan untuk mengelola sumberdaya alam yang sangat
luas secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia, terdiri dari ribuan pulau dengan berbagai karakteristik geografis yang unik. Pengelolaan
wilayah yang begitu luas dan beragam ini memerlukan pemahaman mendalam mengenai kondisi
lingkungan, sumber daya alam, serta infrastruktur yang ada. Data dan informasi geospasial dapat
memuat kondisi lingkungan yang digambarkan dalam berbagai jenis peta tematik, yang semuanya
sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Berbagai jenis peta tematik di Indonesia telah disusun oleh berbagai kementerian dan lembaga (K/L)
dengan spesifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Perbedaan kebutuhan ini
menyebabkan adanya variasi dalam spesifikasi informasi pada peta tematik, yang pada akhirnya
mengakibatkan ketidakselarasan informasi. Ketidakselarasan ini tidak hanya menyebabkan
tumpang tindih data, tetapi juga mengurangi efektivitas dan akurasi dalam pengambilan keputusan
yang berbasis peta. Menindaklanjuti hal tersebut, untuk mewujudkan peta yang dapat dijadikan
acuan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dalam melakukan perbaikan data
dan perencanaan pemanfaatan ruang yang terintegrasi dalam dokumen Rencana Tata Ruang, maka
Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna pada tanggal 27 Oktober 2014 menyampaikan arahan
supaya Kebijakan Satu Peta (KSP) segera dikerjakan dan diimplementasikan.
Melaksanakan arahan Presiden tersebut, pada tanggal 21 Desember 2015, Sekretaris Kabinet
mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi VIII yang antara lain memuat Kebijakan Satu Peta dengan
skala 1:50.000. Kebijakan Satu Peta tersebut kemudian diberlakukan pada tanggal 4 Februari 2016
melalui penetapan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 (Perpres 9/2016). Kebijakan Satu
Peta dibentuk dalam rangka menyediakan Satu Peta yang memiliki Satu Standar, Satu Referensi,
Satu Basis Data dan Satu Geoportal sebagai acuan dalam percepatan pelaksanaan pembangunan
nasional.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 4
Kebijakan Satu Peta yang berjalan sejak tahun 2016 dinilai sangat penting dalam perbaikan kualitas
data spasial. Menindaklanjuti hal tersebut, pada Rapat Terbatas Kebijakan Satu Peta Tahun 2020,
Presiden menyetujui keberlanjutan pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta melalui revisi
Perpres 9/2016 sehingga pada tanggal 6 April 2021 diterbitkanlah Peraturan Presiden Nomor 23
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 (Perpres 23/2021).
Pelaksanaan KSP yang dinaungi oleh Perpres 9/2016 mengamanatkan 3 (tiga) kegiatan utama yaitu
Kompilasi, Integrasi, dan Sinkronisasi. Selanjutnya, sejak ditetapkannya Perpres 23/2021, terdapat
tambahan 1 (satu) kegiatan utama yaitu Berbagi Data dan Informasi Geospasial melalui Jaringan
Informasi Geospasial Nasional (JIGN), sehingga sampai dengan saat ini Kebijakan Satu Peta (KSP)
memiliki 4 kegiatan utama yakni Kompilasi, Integrasi, Sinkronisasi, serta Berbagi Pakai Data dan
Informasi Geospasial.
Kegiatan kompilasi merupakan tahapan pengumpulan IGT dari Kementerian/Lembaga selaku
Walidata IGT, Kelompok Kerja Nasional IGT, dan Pemerintah Daerah di 34 Provinsi. Kegiatan integrasi
merupakan tahapan verifikasi dan koreksi IGT terhadap Informasi Geospasial Dasar (IGD) sedangkan
kegiatan sinkronisasi merupakan tahapan menumpang-susunkan IGT yang terintegrasi untuk
mengetahui indikasi tumpang tindih pemanfaatan ruang. Kegiatan terakhir dari seluruh rangkaian
ini membagi pakaikan data dan IG melalui geoportal KSP yang hingga akhir tahun 2023 baru dapat
diakses oleh sektor pemerintah.
Capaian kegiatan kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi KSP di tahun 2016 – 2020 telah memenuhi
target kompilasi dan integrasi terhadap 85 peta tematik dari 19 Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah di 34 Provinsi, sedangkan untuk kegiatan sinkronisasi telah teridentifikasi
permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang di Indonesia sebesar 40% dari luas wilayah
Indonesia atau sebesar 77.365.141 hektar. Adapun berdasarkan Perpres 23/2021, pelaksanaan
KSP dilanjutkan dengan memperluas target pelaksanaannya di 24 Kementerian/Lembaga dan 34
Provinsi serta dilakukan penambahan 72 IGT dengan total menjadi 158 Peta Tematik yang mencakup
IGT Perekonomian, Keuangan, Kebencanaan, Perizinan Pertanahan dan Kemaritiman. Pasca

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 5
ditetapkannya Permenko Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2024 (Permenko Perekonomian
3/2024) terkait Rencana Aksi Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, saat ini KSP menjadi
rumah bagi 151 IGT yang melibatkan 23 Kementerian/Lembaga serta 38 Provinsi di Indonesia.
KSP telah berjalan sewindu (8 tahun). Telah banyak capaian yang telah dihasilkan dan memberikan
manfaat dalam berbagai pengambilan kebijakan. Akan tetapi, masih banyak pula kebutuhan dan
tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Untuk itu, sejalan dengan akhir masa jabatan
Presiden RI serta adanya masa kepemimpinan pemerintahan yang baru, maka dianggap perlu
untuk menyampaikan White Paper Kebijakan Satu Peta sebagai masukan dalam pelaksanaan KSP
kedepannya.
Tujuan penyusunan White Paper Kebijakan Satu Peta adalah untuk menyampaikan kondisi Kebijakan
Satu Peta saat ini sekaligus memberi gambaran tentang berbagai hal yang ingin dicapai oleh Kebijakan
Satu Peta pasca tahun 2024. Capaian dari kegiatan utama dan pemanfaatan produk Kebijakan Satu
Peta akan menjadi dasar dalam identifikasi kebutuhan dan tantangan dalam pelaksanaan Percepatan
Kebijakan Satu Peta. Sementara pandangan ahli terhadap isu-isu pelaksanaan Percepatan
Kebijakan Satu Peta akan menjadi dasar dari penyusunan strategi dan rekomendasi kebijakan untuk
mengatasi kebutuhan dan tantangan tersebut sekaligus memberikan gambaran terkait hal-hal yang
ingin dicapai dalam pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pasca tahun 2024.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 6

BAB 2.
capaian pelaksanaan
kebijakan satu peta

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 9
2.1 Capaian Kegiatan
Sampai dengan kuartal pertama tahun 2024, target pelaksanaan rencana aksi Kebijakan Satu Peta
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 Tahun 2024
tentang Perubahan atar Permenko No. 6 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Percepatan Pelaksanaan
KSP. Terdapat 5 (lima) kegiatan besar yang terdapat dalam rencana aksi KSP, yaitu (1) penetapan
mekanisme dan tata kerja pelaksanaan Percepatan KSP; (2) perwujudan dan pemutakhiran informasi
geospasial dasar (IGD); (3) perwujudan dan pemutakhiran informasi geospasial tematik (IGT); (4)
infrastruktur geospasial; dan (5) sinkronisasi antar IGT.
2.1.1 Penetapan Mekanisme dan Tata Kerja Pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta
Rencana aksi penetapan mekanisme dan tata kerja pelaksanaan Percepatan Kebijakan Satu Peta
memuat 7 (tujuh) program besar yaitu (1) penetapan walidata IGT; (2) Penetapan kelompok kerja
nasional (Pokja) IGT; (3) Penetapan mekanisme dan tata kerja Sekretariat KSP; (4) Penetapan
mekanisme dan tata kerja pembuatan IGT; (5) penyusunan mekanisme dan tata kerja kegiatan
kompilasi dan integrasi Pelaksanaan KSP; (6) Penyusunan mekanisme dan tata kerja Peta Batas
Kecamatan dan Kelurahan; dan (7) Penyusunan mekanisme dan tata kerja berbagi pakai data dan
IG KSP.
a. Penetapan walidata IGT dan kelompok kerja nasional (Pokja) IGT
Walidata IGT telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 16
Tahun 2023 tentang Wali Data IGT. Dalam menetapkan Walidata IGT dilakukan surveilans asesmen
terhadap IGT yang diusulkan oleh K/L sehingga tidak ada kewalidataan pada K/L yang redundant.
Dalam Keputusan Kepala BIG Nomor 16 Tahun 2023 tersebut ditetapkan 310 IGT dari 31 K/L termasuk
didalamnya IGT KSP. Penetapan kelompok kerja nasional (Pokjanas) IGT ditetapkan pada 31 Agustus
2021 melalui Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 40 Tahun 2021 tentang Kelompok
Kerja Nasional Informasi geospasial Tematik.
b. Penetapan mekanisme dan tata kerja Sekretariat KSP
Mekanisme dan tata kerja Sekretariat KSP telah disusun melalui Peraturan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Nomor 18 Tahun 2022 tentang Mekanisme dan Tata Kerja Sekretariat KSP.
Mekanisme dan tata kerja Sekretariat KSP disusun untuk menciptakan manajemen pelaksanaan
KSP yang dilaksanakan oleh Sekretariat KSP. Muatan Permenko No. 18 Tahun 2022 yaitu mengatur
mengenai (1) ruang lingkup Satuan Tugas 1, Satuan Tugas 2, Satuan Tugas 3 dan tata kerja Sekretariat
KSP; (2) Mekanisme dan tata kerja Sekretariat KSP; (3) Penyusunan rencana kerja tahunan KSP; (4)
Pemantauan, evaluasi, serta penyampaian hasil pemantauan dan evaluasi kegiatan KSP; dan (5)
Pendanaan.
c. Penetapan mekanisme dan tata kerja pembuatan IGT dan penyusunan mekanisme dan tata kerja
kegiatan kompilasi dan integrasi Pelaksanaan KSP
Dokumen mekanisme dan tata kerja pembuatan IGT adalah tata cara pembuatan IGT pada K/L
berupa pedoman, petunjuk teknis, standar, spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh K/L sebagai
produk hukum. Saat ini 143 IGT telah memiliki NSPK dalam pembuatan IGT. Namun baru 38 IGT yang
sudah memenuhi Surat Edaran Kepala BIG No. 6 Tahun 2021. Selanjutnya, Kepala Badan Informasi
Geospasial telah menetapkan Pedoman Kompilasi dan Integrasi melalui Peraturan Badan Informasi
Geospasial Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Kompilasi dan Integrasi Informasi

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 10
Geospasial Tematik dalam Percepatan Pelaksanaan KSP.
d. Penyusunan mekanisme dan tata kerja Peta Batas Kecamatan dan Kelurahan
Dalam memenuhi persyaratan penataan kecamatan dan kelurahan yang diatur dalam Perpres
23/2021, bahwa usulan penataan kecamatan dan kelurahan yang disampaikan oleh pemerintah
kabupaten/kota, diwajibkan melampirkan peta wilayah sebagai bentuk penegasan batas kecamatan
dan kelurahan. Penegasan batas kecamatan dan kelurahan merupakan wewenang bupati/walikota
dalam menetapkan kepastian batas wilayah dengan mengacu pada Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria (NSPK) yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Muatan yang tertuang dalam konsep petunjuk teknis penegasan batas kecamatan dan kelurahan,
yaitu (1) pembentukan Tim Penegasan Kecamatan dan Kelurahan (Tim PBKK); (2) tata cara penegasan
batas kecamatan dan kelurahan; (3) kaidah dalam penegasan batas kecamatan dan kelurahan; (4)
penanda/pilar batas kecamatan dan kelurahan; (5) format berita acara penegasan batas kecamatan
dan kelurahan; (6) penyelesaian perselisihan batas kecamatan dan kelurahan; (7) pembinaan dan
pengawasan; (8) pelaporan; dan (9) pendanaan.
e. Penyusunan mekanisme dan tata kerja berbagi pakai data dan IG KSP
Rancangan mekanisme dan tata kerja berbagi pakai data dan IG KSP akan ditetapkan melalui
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial. Muatan rancangan mekanisme dan tata kerja berbagi
pakai data dan IG KSP mengatur mengenai pengumpulan data dan IG KSP dan berbagi pakai dan dan
IG KSP. Saat ini Rancangan Kepala Badan Informasi Geospasial sudah melewati tahap harmonisasi
peraturan dan menunggu pengesahan.
2.1.2 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial Dasar
Rencana aksi KSP mengamanatkan perwujudan dan pemutakhiran peta dasar (Peta RBI) skala
1:5.000 hingga skala 1: 250.000. Secara umum, pemutakhiran peta RBI yang dilakukan pada tahun 2022
dan 2023 telah mencakup sekitar 95% wilayah Indonesia. Keseluruhan data pemutakhiran ini telah
disebarluaskan secara berkala dengan cara diberikan langsung kepada pemerintah daerah maupun
Kementerian/Lembaga yang disertai surat permohonan ataupun tidak. Kegiatan pemutakhiran
selanjutnya dilakukan di tahun 2024. Terkait hal tersebut, perlu dipastikan ketersediaan citra
Satellites Pour lÓbservation de la Terre (SPOT) yang terbaru. Tahun 2024 BIG mendapatkan pembiayaan
sebesar 400 miliar rupiah untuk perwujudan peta dasar skala besar dengan wilayah prioritas yaitu
Pulau Sulawesi.
Gambar 2.1. Pemutakhiran RBI skala 1: 50.000 tahun 2022 dan 2023

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 11
2.1.3 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial Tematik
Capaian kompilasi saat ini sudah 100% dimana seluruh 151 IGT sudah terkumpul. Terdapat 5 (lima)
kriteria standar kompilasi yaitu data spasial, struktur data, dokumen mekanisme, metadata dan
dokumen penetapan. Sampai dengan bulan Juli 2024, kegiatan integrasi telah selesai sebanyak 149
dari 151 IGT atau 98%. Sehingga saat ini tersisa 2 IGT yang masih dalam proses perbaikan.
2.1.4 Infrastruktur Geospasial
a. Capaian berbagi pakai KSP
Sampai dengan Mei 2024, akun Geoportal KSP sudah dibagi-pakaikan kepada 42 K/L, 35 Provinsi dan
467 Kabupaten/Kota, sehingga prosentase pembagian akun sampai dengan saat ini mencapai 88%.
Sisanya terdapat 71 akun Geoportal KSP yang belum dibagi-pakaikan kepada K/L/P dengan rincian
21 K/L, 3 provinsi, 47 Kabupaten/Kota.
Sejak dari tahun 2018 Geoportal KSP diresmikan hingga saat ini tahun 2024, total pengguna yang
mengakses geoportal KSP berjumlah 29.554 akses. Adapun total pengguna yang mengunduh data
pada Geoportal KSP pada kurun waktu 2018-Mei 2024 mencapai 76.362 akses.
b. Peningkatan fungsi dan kapasitas geoportal KSP
Desember 2023, terbit Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Kewenangan Akses untuk
Berbagi Data dan Informasi Geospasial melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam
Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (Keppres 20/2018) yang menambahkan
publik/masyarakat sebagai pemegang akses IGT KSP. Adapun pengaturan kewenangan akses diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 3 Tahun 2024 (PerBIG 3/2024)..
Kewenangan akses para pemegang akses mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial, Menteri atau pimpinan lembaga,
Gubernur, Bupati/Walikota sampai dengan publik telah disediakan pengaturannya dalam Geoportal
KSP. Pengaturan tersebut disediakan pada Katalog IG dan kewenangan akses IGT KSP pada setiap
IGT dan field (informasi atribut) setiap IGT. Sehingga para pemegang akses dapat mengakses IGT KSP
sesuai dengan kewenangannya yang telah dan akan diatur pada peraturan perundangan.
Sistem geoportal KSP disediakan dalam bentuk services yang dilengkapi dengan hak akses sesuai
kewenangan yang diberikan oleh walidata. Services ini dapat digunakan oleh pengguna untuk diinput
pada aplikasi lainnya selama memiliki hak akses. Dalam sistem geoportal terdapat menu untuk
mengintegrasikan dengan data Simpul Jaringan untuk dapat di overlay atau dilakukan proses analisis
sederhana yang dapat membantu pengguna dalam melakukan proses pengambilan keputusan
berdasarkan data yang tersedia dalam Geoportal KSP. Berikut adalah contoh pemanfaatan data
di Geoportal KSP dengan memanfaatkan Analisa Spasial untuk mendukung proses pengambilan
keputusan secara tepat dan akurat.
Pada akhir tahun anggaran 2021, Portal Kebijakan Satu Peta telah memiliki Redundant Internet Access
Link di dalam Data Center BIG Cibinong yang dikelola melalui perangkat Load Balancer. Traffic yang
masuk dari arah pengguna (internet) ke data IGT melalui portal KSP dibagi ke 2 jalur Leased Line
yang memiliki AS Number dan Prefix berbeda.Pusat Data BIG telah memiliki sistem Backup/Disaster
Recovery Center (DRC) yang terletak di Kota Batam (Pusat Data BP Batam). Untuk memenuhi target
pusat data terdistribusi 1 lokasi, Cache Server Portal Kebijakan Satu Peta BIG telah diletakkan di lokasi

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 12
tersebut dan dapat diakses menggunakan metode geolocation and application delivery pada perangkat
Load Balancer BIG yang terdapat di Pusat Data Cibinong dan Pusat Data BP Batam.
Untuk memenuhi capaian ini, BIG perlu menambah caching dan scrubbing server di 1 lokasi tambahan.
Pusat Data Nasional sementara (PDNs), yang dikelola oleh Kementerian Kominfo dijadikan pilihan
lokasi tersebut. Dikarenakan masih diperlukannya asesmen serta diskusi dengan Kementerian
Kominfo terkait analisa kebutuhan dan ketersediaan Infrastruktur TIK di PDNs, analisa kebutuhan dan
kesesuaian koding aplikasi dan analisa klasifikasi Data KSP. Sehingga diperlukan waktu tambahan
untuk memenuhi target capaian ini dan diusulkan untuk dapat diundur pada akhir Triwulan 2 2024
(Juni 2024).
BIG perlu menambah caching dan scrubbing server di 1 lokasi tambahan dari 2 lokasi existing
(BP Batam dan PDNs). Pusat Data milik pemerintah daerah yaitu Pusat Data yang dikelola oleh
Pemerintah Provinsi Bali atau Pemerintah Kabupaten Badung, Bali dipilih untuk lokasi ke 3.
2.1.5 Sinkronisasi antar Informasi Geospasial Tematik
Kegiatan sinkronisasi merupakan rangkaian penyelarasan terhadap IGT yang dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga dan/atau Pemerintah Daerah melalui koordinasi dan aksi bersama untuk
menyelesaikan permasalahan tumpang tindih antar IGT. Pelaksanaan penyelesaian permasalahan
tumpang tindih pemanfaatan ruang (Sinkronisasi) dilaksanakan dengan mengacu kepada Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 2 Tahun 2019 (Permenko Ekon 2/2019) tentang
Sinkronisasi antar Informasi Geospasial Tematik dalam Rangka Percepatan KSP dan Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan,
Pemutakhiran, dan Penetapan PITTI (Permenko Perekonomian 1/2021). Dalam Permenko 1/2021
diatur komponen IGT penyusun PITTI yaitu 37 Data pembentuk PITTI dan 12 data penyusun PITTI.
Tabel 2.1 Daftar IGT Penyusun PITTI.
NO. NAMA DATA PENANGGUNG JAWAB
1Informasi Geospasial Dasar (Garis Pantai), skala 1:50.000 Badan Informasi Geospasial
2 Peta Batas Laut Negara, skala 1:1.000.000 Kementerian Luar Negeri
3 Peta Batas Darat Negara, skala 1:25.000 Kementerian Luar Negeri
4
Peta Batas Wilayah Administrasi Kewenangan Pengelolaan Sumber
Daya Laut Provinsi, skala 1:250.000 – 1:25.000
Kementerian Dalam Negeri
5
Peta Batas Administrasi Provinsi,  Peta  Batas Administrasi
Kabupaten/Kota, skala 1:50.000
Kementerian Dalam Negeri
6 Peta Batas Administrasi Desa/Kelurahan, skala  1:10.000 Kementerian Dalam Negeri
7 Peta Penunjukkan Kawasan Hutan, skala 1:250.000 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
8 Peta Penetapan Kawasan  Hutan, skala  1:100.000 – 1:50.000 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
9
Peta Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus, minimal   pada skala
1:50.000
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
10
Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan (IUPHHK-HA,   IUPHHK-HT
dan IUPHHK-RE), minimal pada skala 1:50.000
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 13
Tabel 2.1 Daftar IGT Penyusun PITTI.
NO. NAMA DATA PENANGGUNG JAWAB
11
Peta Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan   Kemasyarakatan,
Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan),  
minimal pada skala 1:50.000
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
12
Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk  Penyediaan Sumber
TORA, skala 1:50.000
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
13Peta RTRW Provinsi, skala 1: 250.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan
14Peta RTRW Kabupaten, skala 1:50.000 dan RTRW Kota, skala 1:25.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
15Peta Hak Guna Usaha (HGU), minimal pada skala 1:50.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
16Peta Hak Pengelolaan (HPL), minimal pada skala 1:50.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
17Peta Hak  Guna Bangunan (HGB), minimal pada skala 1 : 50.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
18Peta Penggunaan dan Kepemilikan Tanah (Hak Milik), skala 1:5.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
19Peta Hak Pakai, skala 1:5.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
20Peta Hak Ulayat, minimal skala 1:50.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
21Peta Lahan Sawah yang Dilindungi, skala 1:5.000
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional
22Peta Rencana Tata Ruang Laut, skala 1:1.000.000 Kementerian Kelautan dan Perikanan
23Peta Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah, minimal skala 1:500.000Kementerian Kelautan dan Perikanan
24Peta RZWP3K Provinsi, skala 1:250.000 Kementerian Kelautan dan Perikanan
25Peta Sebaran Pulau-Pulau Kecil Terluar, skala 1:50.000 Kementerian Kelautan dan Perikanan
26Peta Rencana Zonasi Kawasan Nasional Tertentu, skala 1:50.000Kementerian Kelautan dan Perikanan
27Peta Wilayah Adat di Perairan Laut, skala 1:50.000 Kementerian Kelautan dan Perikanan
28
Peta Izin Lokasi/Perizinan Berusaha Perairan di Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil dan Peta Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang Laut, skala 1:50.000
Kementerian Kelautan dan Perikanan
29
Peta Izin Lokasi/Perizinan Berusaha di Laut dan Peta Perizinan
terkait Kegiatan yang Pemanfaatan Ruang di Laut, skala 1:50.000
Kementerian Kelautan dan Perikanan
30
Peta Izin Usaha/Peta Perizinan Berusaha Pertambangan, skala
1:50.000
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
31Peta Wilayah Kerja Migas, skala 1:50.000 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
32Peta Persebaran Lokasi Transmigrasi, skala 1:50.000
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi
33Peta Persebaran Kawasan Transmigrasi, Skala 1:50.000
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 14
Tahap awal kegiatan Sinkronisasi, yakni identifikasi tumpang tindih dengan menumpangsusunkan IGT
dari kelompok status dan perencanaan ruang yang telah memenuhi standar kualitas Integrasi KSP.
Identifikasi permasalahan tumpang tindih menghasilkan tipologi permasalahan, dimana klasifikasi
permasalahan tumpang tindih ditipologikan berdasarkan aspek spasial dan pertimbangan hukum
dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perumusan tipologi permasalahan dilakukan
dengan mencermati skema tumpang tindih yang telah teridentifikasi. Adapun 5 (lima) klasifikasi
tipologi permasalahan tumpang tindih, yakni Tipologi 0 (Belum Tipologi dikarenakan beberapa data
pembentuk PITTI tidak tersedia), Tipologi 1 (Tidak Bermasalah), Tipologi 3 (Indikasi Bermasalah),
Tipologi 88 (Terdapat Permasalahan Teknis Perpetaan), Tipologi 99 (Lokus berada di badan air).
Hasil identifikasi tipologi dari masing-masing skema tumpang tindih menghasilkan rancangan Peta
Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik (PITTI) yang disusun oleh Sekretariat Tim
Percepatan KSP. Sebelum PITTI ditetapkan, rancangan PITTI hasil identifikasi telah melalui proses dan
tahapan yang komprehensif, diawali dengan telaah data spasial, pertimbangan hukum dan regulasi,
survei lapangan, pembahasan dan validasi yang intensif serta kesepakatan antar-pihak dengan
melibatkan K/L terkait serta seluruh Pemerintah Provinsi di Indonesia. PITTI ditetapkan oleh Ketua
Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta dalam bentuk Kepmenko Perekonomian dan kemudian menjadi
peta kerja acuan bagi K/L/P dalam menetapkan dan menyelesaikan permasalahan tumpang tindih
pemanfaatan ruang. Selanjutnya, PITTI yang telah ditetapkan akan dimutakhirkan menyesuaikan
pemutakhiran/penambahan IGT serta kemajuan penyelesaian permasalahan tumpang tindih.
Sampai dengan saat ini, terdapat empat PITTI yang telah ditetapkan yaitu PITTI Ketidaksesuaian
Perizinan Pertambangan dalam Kawasan Hutan (Kepmenko Perekonomian 164/2021; PITTI
Ketidaksesuaian Batas Daerah, Tata Ruang dan Kawasan Hutan (Kepmenko Ekon 222-255 Tahun
2021); PITTI Ketidaksesuaian Perizinan Perkebunan dalam Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan
Tengah (Kepmenko Ekon 134 Tahun 2022); dan PITTI Ketidaksesuaian Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah
dan/atau Hak Pengelolaan (Kepmenko Ekon 1-32 Tahun 2023).
Berdasarkan hasil identifikasi tumpang tindih tahun 2024, tumpang tindih PITTI PITTI hasil
Sinkronisasi yang meliputi seluruh permasalahan ketidaksesuaian (batas daerah, kawasan hutan,
tata ruang, izin, konsesi, hak atas tanah dan hak pengelolaan) menunjukan penurunan tumpang
tindih sebesar 10,5% atau 19,9 juta hektar di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2019
luas tumpang tindih sebesar 77,3 juta hektar kemudian menurun menjadi 54,4 juta hektar pada
tahun 2024. Penurunan tumpang tindih tersebut disebabkan karena adanya perubahan regulasi dan
kebijakan sebagai acuan dasar hukum penilaian tipologi serta pemutakhiran IGT penyusun PITTI.
Berdasarkan laporan Ease of Doing Business (EoDB) pada Tahun 2020, peringkat kemudahan
berusaha Indonesia berada di peringkat 73, jauh di bawah negara jiran Malaysia di peringkat 12 dan
Thailand di peringkat 21. Sedangkan dari sisi daya saing berdasarkan Global Competitiveness Index
Tabel 2.1 Daftar IGT Penyusun PITTI.
NO. NAMA DATA PENANGGUNG JAWAB
34
Peta Penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), minimal pada
skala 1:50.000
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
35Peta Kawasan Industri Eksisting dan Peta Rencana Kawasan
Industri, skala 1: 50.000
Kementerian Perindustrian
36Peta Tutupan Kelapa Sawit Indonesia, skala 1:50.000 Kementerian Pertanian
37Peta Izin Usaha/Peta Perizinan Berusaha Perkebunan, skala 1:50.000Kementerian Pertanian

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 15
(GCI) yang dirilis oleh IMD World Competitiveness Center, pada tahun 2019, Indonesia berada di
peringkat 50, Malaysia di peringkat 27, dan Thailand di peringkat 40. Selain kurangnya kemudahan
berusaha dan daya saing Indonesia, permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang dan lahan
juga harus menjadi perhatian dan segera diselesaikan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut diperlukan suatu pengaturan yang komprehensif yang
mengatur penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang. Pada tanggal 2 Februari 2021, Pemerintah
mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang
Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah (“PP
43/2021”) sebagai salah satu peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Penyusunan PP 43/2021
diamanatkan langsung dalam Pasal 17 angka 2 UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja yaitu, “Dalam
hal terjadi ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas
tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 17 angka
2 UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja sekaligus mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (8) UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Gambar 2.2. Perkembangan PITTI Tahun 2019-2023
2.2 Pemanfaatan Kebijakan Satu Peta
KSP merupakan terobosan strategis pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk mengintegrasikan
seluruh data geospasial dari berbagai instansi ke dalam satu peta yang akurat dan dapat diakses
oleh semua pihak. Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah seperti tumpang
tindih lahan, konflik agraria, dan ketidakpastian dalam penggunaan lahan, yang selama ini menjadi
hambatan signifikan dalam pembangunan nasional. Berbagai manfaat dari produk Kebijakan Satu
Peta bagi pembangunan nasional adalah sebagai berikut:
a. Dukungan Kebijakan Satu Peta dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
Salah satu bentuk dukungan dan pemanfaatan produk dari Kebijakan Satu Peta untuk Pembangunan
Nasional adalah perbaikan terhadap kualitas perencanaan tata ruang di Indonesia. Produk Kebijakan
Satu Peta digunakan sebagai rujukan data sekunder dalam sumber data peta dasar dan peta tematik
dalam penyusunan Rencana Tata Ruang. selain itu, kontribusi produk Kebijakan Satu Peta digunakan
dalam rangka penyusunan materi teknis juga bahan analisis perbaikan kualitas data tematik
penataan ruang.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 16
b. Penyelesaian Konflik Pertanahan dan Reforma Agraria
Dukungan Kebijakan Satu Peta dalam Pelaksanaan Reforma Agraria menjadi penting kaitannya
dengan kepastian data. Kepastian data dalam pelaksanaan Reforma Agraria untuk mewujudkan
sasaran subjek dan objek Reforma Agraria yang tepat. Contoh dukungan Kebijakan Satu Peta
kaitan dengan audit pemenuhan kewajiban lahan alokasi 20% dari pelepasan Kawasan Hutan untuk
Perkebunan sebagai sumber Tanah Objek Reforma Agraria seperti tercantum dalam Peraturan
Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria. Amanat audit pemenuhan
kewajiban lahan alokasi 20% dari pelepasan Kawasan hutan untuk Perkebunan tersebut diperlukan
pemeriksaan kesiapan dan kondisi data dukung berupa IGT Pelepasan Kawasan Hutan, IGT Hak Guna
Usaha (HGU), IGT Izin Usaha Perkebunan, dan IGT Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah
dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) yang tersedia di Geoportal Kebijakan Satu Peta.
c. Program Ketahanan Pangan Nasional
Program Ketahanan Pangan Nasional yang dikenal dengan istilah Food Estate merupakan bagian
dari Proyek/Program Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Perpres Nomor 109 Tahun 2020 jo.
Permenko Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023. Food Estate menjadi program primadona yang
ditawarkan Presiden Republik Indonesia dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional di
tengah-tengah dinamika perekonomian global dan fenomena perubahan iklim yang berdampak luas.
KSP turut berperan besar memberikan terobosan dalam penentuan Area Of Interest (AoI) Food Estate
Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
d. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi
Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta mendukung inisiatif Program Strategi Nasional Pencegahan
Korupsi (Stranas-PK) yang digagas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sesuai dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Efisiensi
pencegahan korupsi dapat ditingkatkan melalui kolaborasi yang solutif antara kementerian, lembaga,
pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengurangi beban administrasi dan
tumpang tindih. Program Stranas-PK beriringan dengan kegiatan Sinkronisasi Kebijakan Satu
Peta, dengan lima provinsi sebagai target awal, yaitu Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Sulawesi Barat, dan Papua. Sekretariat Percepatan Kebijakan Satu Peta mendukung KPK dengan
menyajikan informasi tumpang tindih melalui Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) untuk kelima
provinsi tersebut.

Sekretariat Kebijakan Satu Peta dan Stranas PK berkolaborasi dalam mengidentifikasi permasalahan
perizinan sektor perkebunan kelapa sawit, menyusun rencana aksi, dan merekomendasikan
penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang. Koordinasi rutin antara KPK dan Tim Percepatan
Kebijakan Satu Peta, termasuk rapat pembahasan dan klinik teknis, dilakukan untuk memastikan
komitmen penuh dari Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam menangani tumpang
tindih pemanfaatan ruang. Proses ini juga melibatkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian yang telah melalui tahapan komprehensif, dari telaah data spasial hingga kesepakatan
antarpihak. Pelaksanaan Stranas–PK yang terintegrasi dengan PP 43/2021 diharapkan dapat
mempercepat penyelesaian tumpang tindih ketidaksesuaian pemanfaatan ruang.
e. Pemetaan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD)
Kebijakan Satu Peta berupaya memberikan dukungan spasial dalam proses penetapan LSD, LP2B,
maupun KP2B. Sejak tahun 2018, Kemenko Perekonomian melalui Kebijakan Satu Peta menginisiasi
perwujudan Peta Lahan Baku Sawah (LBS) bersama Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian
dan Badan Informasi Geospasial. Saat ini, terus dilakukan pemutakhiran Data LBS melalui program

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 17
Data Sawah Update (DSU). Pemutakhiran IGT LBS nantinya diunggah kembali dalam Geoportal
Kebijakan Satu Peta guna memberikan acuan dan referensi data sawah nasional untuk berbagai
kepentingan pembangunan di daerah untuk proses Verifikasi dan Klarifikasi data LSD atau dalam
proses analisis spasial untuk faktor pengurang maupun faktor penambah dalam pemetaan Lahan
Sawah yang Dilindungi.
f. Penataan Perkebunan Kelapa Sawit
IGT Tutupan Kebun Kelapa Sawit sebagai salah satu IGT potensi yang memiliki peran penting
dalam perbaikan tata kelola perizinan, peningkatan kapasitas dan kapabilitas perkebunan, serta
pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan. beberapa langkah Tim Sekretariat Percepatan
Kebijakan Satu Peta diantaranya melakukan percepatan pemutakhiran IGT HGU, IGT Izin Usaha
Pertambangan, IGT Izin Lokasi serta penerbitan PITTI HGU dan Tutupan Sawit dalam Kawasan Hutan
sebagai base instrument dalam pengambilan keputusan penataan perkebunan kelapa sawit.
g. Proyek atau Program Prioritas Nasional
Produk hasil dari Kebijakan Satu Peta berkontribusi dalam melakukan analisis terkait masalah
keruangan dan kewilayahan, seperti posisi geostrategis PSN dalam konteks regional dan global,
profil geologi dan geofisik dari wilayah kajian, distribusi spasial program/ proyek, dukungan
pengolahan informasi tabular menjadi informasi spasial, serta dukungan dalam penentuan pusat
konektivitas wilayah berdasarkan berbagai macam IGT yang telah melalui proses kompilasi dan
integrasi di Sekretariat KSP.
h. Analisis Delineasi Usulan KEK
Dukungan yang diberikan Kebijakan Satu Peta dalam proses pengusulan KEK adalah analisis
delineasi KEK terhadap tata ruang dan kawasan lindung. aspek lainnya yang dianalisis adalah
terkait kesesuaian batas administrasi dan garis pantai dari suatu lokasi KEK dan clean and clear dari
tumpang tindih perizinan lainnya.
i. Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah
(PP 43/2021)
Kegiatan Sinkronisasi yang dilakukan oleh Kebijakan Satu Peta sesuai amanat Perpres 23/2021 tersebut
memiliki kaitan erat dengan PP 43/2021 dalam hal rekomendasi Penyelesaian Ketidaksesuaian.
Proses sinkronisasi menghasilkan Peta Tumpang Tindih antar IGT (PITTI One Map) yang akan
menjadi dasar analisis PITTI Ketidaksesuaian pada PP 43/2021. Hasil dari PITTI Ketidaksesuaian
kemudian ditelaah secara hukum sesuai PP 43/2021 dan peraturan perundangan lainnya sebagai
acuan dasar penyusunan Rencana Aksi Penyelesaian Ketidaksesuaian oleh Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah.
Hasil penyelesaian Ketidaksesuaian yang menjadi dasar perbaikan IGT dan penyesuaian produk
hukum digunakan sebagai input dalam kegiatan Kompilasi dan Integrasi IGT Kebijakan Satu Peta
untuk selanjutnya dimonitoring dan dievaluasi secara rutin. Adapun PITTI yang berhasil disusun
oleh Kebijakan Satu Peta sampai dengan 2024, yaitu telah terbitnya PITTI Ketidaksesuaian Batas
Daerah, Tata Ruang dan Kawasan Hutan (Tatakan) yang ditetapkan melalui Kepmenko 222 - 255
Tahun 2021, PITTI Ketidaksesuaian Perizinan Pertambangan dalam Kawasan Hutan yang ditetapkan
melalui Kepmenko Nomor 164 Tahun 2023, PITTI Ketidaksesuaian Perizinan Perkebunan dalam
Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah yang ditetapkan melalui Kepmenko No. 134 Tahun
2021, PITTI Pemanfaatan Ruang Ketidaksesuaian Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah, dan Hak Pengelolaan

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 18
yang ditetapkan dalam Kepmenko Nomor 1 – 32 Tahun 2023, selanjutnya pada tahun 2024 ini, akan
terbit PITTI Ketidaksesuaian Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah, dan Hak Pengelolaan untuk pulau Papua.
j. Kasus Hukum terkait Perizinan dan Pemanfaatan Lahan
Informasi Geospasial Tematik dalam Kebijakan Satu Peta menjadi salah satu input dalam penyelesaian
kasus hukum terkait perizinan dan pemanfaatan lahan melalui analisis data spasial. Merujuk pada
data permintaan analisis spasial oleh aparat penegak hukum dan lembaga hukum lainnya dapat
dikategorikan dalam beberapa kelompok kasus dan pola penyelesaian analisis spasial antara lain :
• Kasus ketidaksesuaian penerbitan suatu perizinan berusaha oleh kepala daerah dengan wilayah
administrasi yang menjadi tanggungjawab / kewenangannya. Analisis data spasial produk
kebijakan satu peta diarahkan untuk mengetahui kronologi penerbitan perizinan dengan kondisi
batas administrasi pada saat perizinan tersebut diterbitkan.
• Kasus ketidaksesuaian lokasi / tempat berkegiatan dalam menjalankan usaha dengan area
yang telah diizinkan melalui penerbitan surat izin berusaha. Analisis data spasial produk PKSP
diarahkan untuk mengetahui kesesuaian lokasi dimensi lokasi dan dimensi waktu yang sama
dengan peta perizinan yang telah diterima.
• Kasus wanprestasi perjanjian kemitraan antara inti dan plasma kegiatan Perkebunan yang
dikarenakan “penyeragaman” biaya produksi / biaya tanam suatu komoditas perkebunan dalam
kondisi lahan atau topografi yang berbeda beda. Analisis spasial produk diarahkan untuk
membangun tipologi luasan suatu perkebunan pada wilayah datar atau bukan datar digunakan
untuk menghitung indeks biaya tanam suatu komoditas dapat diketahui secara transparan
• Beberapa kasus hukum lainnya, termasuk dalam tidak sesuai luasan area dan objek tata guna
lahan dalam pembayaran ganti rugi proyek yang dibiayai oleh anggaran negara pada saat proyek
tersebut dijalankan. Analisis data spasial produk PKSP diarahkan untuk memprofile lokasi
proyek pada saat kegiatan ganti rugi tersebut dilaksanakan.

BAB 3.
KEBUTUHAN DAN TANTANGAN

3.1 Pelaksanaan Kebijakan dan Regulasi
Kebutuhan dan tantangan terkait kebijakan dan regulasi dalam implementasi KSP mencakup
kebijakan dan regulasi yang menaungi KSP, integrasi KSP dan Satu Data Indonesia (SDI) untuk
mendukung transformasi digital nasional, serta bagaimana KSP dan SDI saat ini dapat mendukung
Sustainable Development Goals (SDGs).
3.1.1 Kebijakan dan Regulasi Kebijakan Satu Peta
Pelaksanaan Perpres 23/2021 mengacu pada Rencana Aksi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam Perpres tersebut. Pasal 5 ayat (3) Perpres 23/2021 juga mengatur bahwa dalam hal tertentu,
Tim Percepatan KSP dapat mengubah Rencana Aksi KSP yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian setelah mendapatkan persetujuan Presiden. Rencana Aksi yang
telah ditetapkan dalam Perpres 23/2021 diubah melalui penetapan Permenko Perekonomian 6/2021
dan Permenko Perekonomian 3/2024. Selain itu, telah disusun berbagai peraturan perundang-
undangan lain guna melaksanakan KSP, yaitu:
1. Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Kewenangan Akses untuk Berbagi Data
dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam Kegiatan
Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (Keppres 28/2023);
2. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2018 tentang Klasifikasi
Kewenangan Akses untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi
Geospasial Nasional dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (Permenko
Perekonomian 6/2018);
3. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2018 tentang Tata Kelola
Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam
Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (Permenko Perekonomian 7/2018);
4. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 2 Tahun 2019 tentang
Sinkronisasi Antara Informasi Geospasial Tematik dalam Rangka Percepatan Kebijakan Satu
Peta (Permenko Perekonomian 2/2019);
5. Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Penyelenggaraan
Kompilasi dan Integrasi Informasi Geospasial Tematik dalam Percepatan Pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta (PerBIG 3/2022); dan
6. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 18 Tahun 2022 tentang Mekanisme
dan Tata Kerja Sekretariat Kebijakan Satu Peta (Permenko Perekonomian 18/2022).
Meskipun telah disusun beberapa payung peraturan perundang-undangan, terdapat beberapa hal
dalam regulasi-regulasi tersebut yang perlu untuk mendapatkan perhatian lebih lanjut, sebagai
berikut:
1. Rencana Aksi KSP yang telah ditetapkan sampai dengan saat ini melalui Permenko 3/2024
memberikan target yang belum terukur.
Hal tersebut menyebabkan Sekretariat KSP perlu menyusun target kuantitatif dengan
melakukan penyepakatan bersama para penanggung jawab IGT agar target KSP menjadi
terukur. Target kuantitatif yang disepakati tersebut tidak termuat dalam peraturan perundang-
undangan namun perlu disusun untuk memberikan kepastian baik bagi penanggung jawab
IGT dalam pelaksanaan Rencana Aksi KSP maupun Sekretariat KSP dalam pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi percepatan pencapaian target dalam Rencana Aksi KSP sebagaimana :KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
21

diatur dalam Pasal 14 Permenko 18/2022.
Lebih lanjut, perubahan Rencana Aksi KSP selama ini telah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
antara lain dikarenakan adanya perubahan target. Hal ini mengakibatkan sulitnya mengukur
keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi KSP. Perubahan Rencana Aksi KSP seyogyanya
dilakukan terbatas untuk lebih mempertajam target serta untuk mengakomodasi hal-hal
strategis lainnya guna mendukung percepatan pelaksanaan KSP.
2. Penguatan Tahapan Kegiatan KSP
Saat ini Tahapan Kegiatan KSP meliputi Kompilasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Penyebar
luasan. Kedepan perlu penguatan dalam aspek pemanfaatan IGT sebagai salah satu produk
KSP melalui tahapan Pemanfaatan. Tahapan Pemanfaatan ini akan di laksanakan oleh Satgas
tersendiri yang bertugas dalam penyelenggaraan pemanfaatan IGT di setiap tingkatan
pengguna.Untuk diperlukan dukungan kebijakan untuk mengakomodasi tahapan kegiatan
Pemanfaatan sebagai upaya penguatan dalam pemanfaatan IGT dalam KSP.
3. Keberlanjutan masa depan KSP
KSP sebagai sebuah sarana informasi geospasial yang senantiasa dikawal dan dikembangkan
telah memberikan manfaat yang begitu besar bagi pengambilan kebijakan Pemerintah.
Pemanfaatan KSP untuk pengambilan kebijakan Pemerintah antara lain untuk: penyusunan
rencana tata ruang, konflik pertanahan dan reforma agraria, program ketahanan pangan
nasional, Rencana Induk Pengembangan Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun, Strategi
Nasional Pencegahan Korupsi, pemetaan Lahan Sawah yang Dilindungi, penataan perkebunan
kelapa sawit, penyelesaian ketidaksesuaian berdasarkan PP 43/2021; dan kebijakan
Pemerintah lainnya.
Dengan mempertimbangkan manfaat KSP yang begitu besar bagi penyelenggaraan
pemerintahan, perlu untuk dipastikan kesinambungan keberlanjutan KSP. Hal ini perlu
diakomodasi dalam dokumen perencanaan nasional, agar pelaksanaan KSP tetap menjadi
program kerja K/L. Apabila mencermati Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2025-2045, salah satu isu yang mengemuka di bidang
tata ruang dan pertanahan adalah isu ketersediaan akses dan keterbukaan pada data dan
informasi geospasial, yang saat ini masih menjadi permasalahan utama. Lebih lanjut, salah
satu arah kebijakan pengembangan wilayah dan sarana prasarana khususnya di bidang tata
ruang dan pertanahan adalah penyediaan data dan informasi geospasial dasar dan tematik
yang lengkap, akurat, dan bersinergi dengan bidang-bidang lainnya, yang dicapai melalui arah
kebijakan utamanya (Kementerian PPN/Bappenas, 2023):
a. penguatan JIGN agar dapat diakses dengan mudah oleh seluruh Masyarakat; dan
b. peningkatan kuantitas dan kapasitas SDM bidang informasi geospasial yang berkualitas.
Hal serupa juga termuat dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) periode 2024-2029 dan Rancangan Awal Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2025. Dengan mempertimbangkan bahwa dokumen perencanaan
pembangunan nasional telah memuat penyelenggaraan informasi geospasial sebagai salah
satu kebijakan utama, maka keberlanjutan pelaksanaan KSP masih tetap perlu dilakukan,
guna pelaksanaan kebijakan utama tersebut.:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
22

3.1.2 Integrasi Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung
Transformasi Digital Nasional
Kondisi eksisting penyelenggaraan Data baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun Daerah, selama ini
dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain: (a) keberagaman data dan metodologi pendataan
yang belum berstandar; (b) duplikasi dan minimnya keterpaduan data pemerintah; (c) kekurangan
SDM talenta digital dan efektivitas anggaran data di instansi pemerintah; (d) ego sektoral dalam
penyelenggaraan data dan platform data serta keengganan berbagi pakai data antar K/L/P. Salah
satu upaya pemerintah untuk memperbaiki penyelenggaraan Data Pemerintah tersebut yakni
dengan menerbitkan Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Melalui SDI diharapkan
dapat menyatukan tata kelola Data pemerintah menjadi lebih integratif, efisien, aksesibel, sinergis,
transparan, dan akuntabel.
Keberadaan SDI memberikan kontribusi terhadap peningkatan efektivitas perencanaan pembangunan
di Indonesia, melalui peningkatan koordinasi, integrasi, akses, transparansi dan interoperabilitas
data. Dengan berkurangnya duplikasi data, akan memungkinkan pengambilan keputusan yang
lebih baik berbasis data, serta mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang tersedia untuk
perencanaan pembangunan. Dalam pelaksanaan pembangunan, adanya SDI secara langsung akan
meningkatkan koordinasi, penetapan prioritas yang lebih tepat, dan evaluasi kinerja yang lebih baik,
sehingga penggunaan anggaran akan lebih efektif dan hasil pembangunan menjadi lebih optimal.:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
23
Gambar 3.1 Kondisi Sebelum dan Sesudah Adanya Tata Kelola Data Melalui SDI
Dalam rangka percepatan pencapaian Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital
Nasional, SDI memiliki peran untuk mengatur tata kelola platform pertukaran data guna
mengintegrasikan dan memadukan data dari berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah
untuk menjadi satu sumber informasi terpadu yang akurat, melalui tata kelola pertukaran data.
Strategi kebijakan SDI adalah melakukan perbaikan tata kelola data pemerintah dengan elemen
pendukung meliputi aspek kelembagaan, regulasi, penganggaran, dan SDM. Secara kelembagaan,
SDI berperan strategis dalam penyusunan dan penentuan Data Prioritas yang dibutuhkan untuk
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi pembangunan. Penentuan Data
Prioritas tersebut diharapkan dapat memunculkan berbagai inovasi pembangunan, termasuk untuk
mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/
SDGs) melalui Rencana Aksi SDI. Rencana Aksi tersebut dilaksanakan dengan dukungan dari sistem
Perencanaan Data SDI dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan data pembangunan,
antara lain: Walidata, Forum Satu Data Indonesia, Pembina Data, dan pengelola Portal/SKDN untuk
keperluan penyebarluasan Data Prioritas.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 24
Gambar 3.2 Strategi Penyusunan Data Prioritas
Kebijakan SDI dan KSP pada prinsipnya memiliki tujuan yang hampir sama terhadap data khususnya
data geospasial. Perpres 39/2019 mengatur tentang prinsip kebijakan SDI yaitu: Satu Standar Data,
Satu Metadata Baku, Interoperabilitas, dan Kode Referensi/Data Induk. Pada Pasal 13 ayat (1) dan
ayat (3) disebutkan bahwa standar data dan metadata untuk data spasial ditetapkan oleh Pembina
Data spasial dengan mengacu pada SE KaBIG 6/2021 tentang Pedoman Standar Data dan Struktur
dan Format Baku Metadata Spasial. Sedangkan pada Perpres 23/2021 mengatur tentang standar
data, basis data (termasuk Metadata), GeoPortal (berbagi-pakai), dan referensi. Dalam penyusunan
metadata, baik peta-peta yang diwujudkan baik dalam SDI dan KSP menggunakan pedoman standar
metadata spasial sebagaimana SE KaBIG 6/2021. Dalam Perpres 23/2021 telah disebutkan bahwa
KSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SDI.
Akan tetapi, terdapat perbedaan tata kerja yang signifikan antara SDI dengan KSP. Kegiatan utama
KSP berdasarkan Perpres 23/2021 meliputi Kompilasi, Integrasi, Sinkronisasi, serta Berbagi Data dan
Informasi Geospasial melalui JIGN. Sedangkan kegiatan utama penyelenggaraan Satu Data Indonesia
meliputi perencanaan, pengumpulan, pemeriksaan, dan penyebarluasan data untuk mengatur tata
kelola data pemerintahan. Selain itu, beberapa perbedaan antara SDI dan KSP, antara lain:
a. Perpres 23/2021 mendefinisikan walidata sebagai penyelenggara IGT, yaitu mencakup Produsen
Data (di K/L) dan Walidata (pusdatin/clearing house) karena dengan prinsip percepatan
dalam KSP, maka K/L berperan sebagai penanggung jawab. Sementara SDI membagi menjadi
walidata (pusdatin K/L) dan produsen data. Adapun produsen data adalah unit pada Instansi
Pusat dan Instansi Daerah yang menghasilkan Data.
b. SDI melakukan kompilasi seluruh data dari seluruh Walidata, serta menyediakan standar
data yang dapat dimasukkan ke dalam SDI sehingga inisiatif input data berasal dari Walidata,
sementara dalam KSP, kegiatan kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi data IGT telah ditetapkan
dalam Rencana Aksi KSP. Produsen data dan/atau walidata wajib melaksanakan amanat
Rencana Aksi KSP. Selain itu, pengendalian terhadap pemenuhan data tersebut dilakukan oleh
Sekretariat Percepatan KSP.
Terkait dengan data prioritas yang ditetapkan sesuai Kepmen PPN/Bappenas, tidak seluruh data/
IGT KSP menjadi bagian dari data prioritas spasial SDI. Begitu pula dengan data walidata IGT sesuai
Kepka BIG 16/2023 tentang Walidata IGT. Perbandingan data prioritas SDI dan data rencana aksi KSP
dapat dilihat pada tabel di bawah.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 25
Tabel 3.1 Perbandingan Data Prioritas dengan Data dalam Rencana Aksi KSP dan Walidata IGT
Untuk itu diperlukan pengintegrasian SDI dengan KSP termasuk penegasan lebih lanjut mengenai
hubungan antara KSP dengan SDI, terutama di dalam peraturan perundang-undangan.
3.1.3 Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung Sustainable
Development Goals (SDGs)
Pemanfaatan data dan informasi geospasial dengan teknologi termutakhir menjadi kebutuhanyang
sangat mendasar bagi Pemerintah. Hal ini disebabkan teknologi tersebut memungkinkan
pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, dan tampilan sejumlah besar informasi dengan referensi
geografis. Kemampuan teknologi tersebut memudahkan dalam pengambilan kebijakan berbasis
lokasi guna mewujudkan kebijakan yang mendukung kepentingan jangka panjang masyarakat
secara keseluruhan.
Data pemerintah yang berkualitas dan terintegrasi merupakan salah satu pilar fundamental bagi
transformasi digital nasional. Oleh sebab itu, KSP dalam mendukung Indonesia Emas 2045 diharapkan
dapat berjalan beriringan dengan SDI dan Kebijakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
(SPBE) berupaya untuk mewujudkan birokrasi yang efisien dan akuntabel, layanan pemerintah yang
berkualitas dan mudah diakses, serta pembangunan nasional yang adaptif dan tepat sasaran guna
mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
KSP di Indonesia merupakan inisiatif pemerintah untuk menyatukan dan mengharmonisasikan
berbagai peta tematik yang digunakan oleh berbagai K/L/P di seluruh Indonesia. Manfaat kebijakan
ini mencakup beberapa hal penting, yaitu: (1) mengatasi ketidaksinkronan data geospasial; (2)
mendukung perencanaan dan pengelolaan Sumber Daya Alam; (3) menyelesaikan konflik lahan; (4)
meningkatkan efisiensi administrasi pemerintahan; (5) mendukung transparansi dan akuntabilitas;
serta (6) memfasilitasi pengembangan teknologi dan inovasi. Hal ini sejalan dan mendukung
pencapaian 17 tujuan dan sasaran global tahun 2030 dalam SDGs.
Dalam rangka pemenuhan SDGs melalui SDI, forum SDI telah menyepakati Data Prioritas tahun
2024. Dari sebanyak 3.430 Data Prioritas yang diusulkan, disepakati 1.879 Data Prioritas (54,7%)
yang disediakan oleh 70 K/L. Tantangan penyiapan Data Prioritas untuk jenis Data Statistik dan
Data Spasial dalam rangka mendukung SDGs adalah belum semua jenis data yang dibutuhkan oleh
SDGs dapat dipenuhi oleh instansi pemerintah. Sebagai contoh, Data Prioritas yang disepakati dalam
Forum SDI pada bulan Mei 2024, baru dapat menyediakan 289 jenis data yang terkait langsung dengan
indikator capaian SDGs. Dari jumlah data tersebut, sebanyak 138 data berstatus ‘Lengkap”, artinya
seluruh data pada suatu indikator SDGs terdapat dalam Data Prioritas. Sedangkan sebanyak 24 data
berstatus ‘Parsial”, dan masih ada 136 data berstatus ‘Tidak Ada”, artinya data yang dibutuhkan oleh
SDGs tidak ada di Data Prioritas.
NO. TAHUN
JUMLAH DATA PRIORITAS
(SPASIAL)
JUMLAH DATA RENAKSI KSP JUMLAH DATA WALIDATA IGT
1 2022 113 - -
2 2023 199 96 111
3 2024 151 57 77

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 26
Untuk memberikan solusi kebijakan terkait tantangan penyiapan Data Prioritas untuk mendukung
SDGs di atas, SDI telah menggunakan instrumen kebijakan berupa Keputusan Menteri PPN 5/2024,
guna mendorong K/L agar dalam melakukan pengumpulan Data Prioritas yang mendukung
pemenuhan indikator SDGs wajib memenuhi prinsip SDI, serta penyebarluasan Data Prioritas
tersebut dilakukan melalui Portal SDI dan/atau media lainnya.
Melihat pada kebutuhan data geospasial dalam mendukung SDGs, maka sinkronisasi dan
integrasi KSP dan SDI menjadi penting untuk dilakukan. Hingga saat ini, belum pernah dilakukan
pengidentifikasian lebih lanjut mengenai ketersediaan IGT hasil KSP dengan kebutuhan SDGs, serta
antara IGT KSP dengan data prioritas yang ditetapkan oleh SDI. Sementara, KSP memiliki peran
penting untuk menyediakan berbagai informasi geospasial untuk menunjukkan capaian SDGs di
Indonesia.
Keberhasilan pencapaian SDGs sangat dipengaruhi oleh semakin berkualitasnya pengendalian
baik dimulai dari pengendalian di sisi perencanaan maupun pelaksanaan bila didukung oleh data
yang akurat, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses dan dibagi pakaikan. Dengan
demikian, data menjadi faktor penting dalam pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan,
meskipun dalam perjalanannya masih terdapat permasalahan dalam penatakelolaan data.
3.2 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial
Tematik
Pada konteks pemenuhan kebutuhan informasi geospasial tematik dalam implementasi KSP, peran
penting diberikan kepada perwujudan dan pemutakhiran IGT, yang mencakup pemetaan partisipatif
untuk kebutuhan informasi geospasial, penyediaan Informasi Geospasial untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, serta integrasi informasi geospasial pertanahan dan ruang dalam kerangka KSP.
3.2.1 Pemetaan Partisipatif dalam Pemenuhan Informasi Geospasial
Salah satu tantangan dalam untuk memenuhi target Percepatan KSP adalah penyediaan Data
Geospasial (DG) dan Informasi Geospasial (IG). Untuk memenuhi tantangan tersebut salah satunya
dapat dilakukan melalui Pemetaan Partisipatif. Pada prinsipnya, metode pelaksanaan pemetaan
partisipatif lebih melibatkan masyarakat untuk menggali informasi, mendapatkan kesepakatan,
melakukan pengukuran di lapangan, dan mengakomodir penentuan tema yang dianggap penting
oleh masyarakat. Pada pelaksanaannya, data-data tematik berkualitas dapat dihasilkan baik
dengan pendampingan dan bimbingan civitas academica, pemerintah daerah, tenaga ahli, kelompok
masyarakat sipil, dan pihak-pihak terkait lainnya
Pemetaan Partisipatif telah dikenal sebagai metode dalam penyelenggaraan IG Tematik sebagaimana
diatur dalam PerBIG 18/2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Informasi Geospasial. Bentuk
kegiatan pemetaan partisipatif dalam peraturan ini antara lain sosialisasi ide pemetaan, diskusi
atau musyawarah untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penuangan hasil diskusi atau
musyawarah dalam bentuk peta atau dokumen lainnya, dan finalisasi hasil pemetaan partisipatif.
Selanjutnya, pemetaan partisipatif pada penyelenggaraan IG Tematik diharuskan untuk mengikuti
rule otoritas penyelenggara peta tematik atau walidata IG Tematik berdasarkan Kepka BIG 38/2021.
Berbagai pedoman metode pemetaan partisipatif untuk tematik desa dan wilayah adat telah banyak
dihasilkan oleh Kelompok Masyarakat Sipil yang sudah mengacu pada standar BIG. Hingga tahun
2024, luas peta partisipatif wilayah adat telah mencapai 28,2 juta hektar, namun demikian baru

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 27
sekitar 3,9 juta hektar wilayah adat yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten, dan 244.195 hektar
hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK (Badan Registrasi Wilayah Adat, 2024). Lebih lanjut, tantangan
dalam pelaksanaan pemetaan partisipatif, antara lain:
1. Pengumpulan Data yang Akurat dan Relevan
Permasalahan pengumpulan data spasial terjadi ketika peta dasar yang tersedia pada beberapa
lokasi masih dalam skala kecil dan menengah, sehingga berdampak pada cakupan wilayah yang
tidak detail. Selain itu, peta dasar yang mencakup wilayah administrasi desa masih menunjukan
perbedaan yang sangat signifikan dengan kondisi riil luas wilayah administrasi desa berdasarkan
pengetahuan dan kesepakatan masyarakat. Kedua kondisi ini berimplikasi pada timbulnya potensi
konflik. Untuk itu, pengambilan data dengan menggunakan drone yang disandingkan dengan data
citra satelit dan survei lapangan juga dilakukan untuk mengkonfirmasi kondisi eksisting dari
penggunaan lahan yang ada.
Beberapa pedoman pelaksanaan pemetaan yang telah dibuat telah memasukkan metode partisipatif,
salah satunya dalam penentuan administrasi batas desa. Akan tetapi, pada tahapan prosesnya
diperlukan dana yang cukup besar. Berdasarkan laporan pelaksanaan kegiatan Participatory Mapping
and Planning (PMaP-1) dibutuhkan rata-rata sebesar $12.500 atau sekitar Rp 179.030.000 setiap
desa untuk melaksanakan 18 tahapan penetapan, penegasan, hingga pengesahan sesuai dengan
Permendagri No. 45 Tahun 2016. Selain dibutuhkan data dasar yang detail, proses verifikasi dan
validasi terhadap data dan peta yang sudah dihasilkan sangat diperlukan untuk aspek sosial dan
kearifan lokal di masyarakat sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.
2. Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan Kapasitas
Peningkatan kapasitas dalam pemetaan partisipatif terdiri dari para pemuda, serta beberapa tokoh
masyarakat yang sangat paham dengan kondisi keruangan lokal. Pelatihan penggunaan alat-alat
survei seperti GPS dan drone perlu dilakukan agar pemerintah daerah dan masyarakat setempat
mampu memonitor perubahan yang ada pada di lingkungannya. Selanjutnya analisis dasar dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) diperkenalkan agar masyarakat dapat melihat
dampak dari perubahan tersebut.
3. Integrasi dan Penyelarasan Hasil Pemetaan Partisipatif Masyarakat dalam Kebijakan
Pemerintah
Tantangan ke depan untuk integrasi pemetaan partisipatif ini pada keberterimaan data yang
dapat menjadi referensi dalam KSP. Dukungan dan keterbukaan DG dan IG dari pemerintah untuk
keberterimaan hasil-hasil pemetaan partisipatif dan meminimalisir tumpang tindih dan konflik
di kemudian hari dalam perencanaan kebijakan pembangunan sangat penting untuk dilakukan.
Diperlukan verifikasi dan validasi yang menyeluruh dari tingkat desa/kecamatan dengan disertai
penyusunan SOP yang digunakan dalam KSP. Lebih jauh lagi tantangan integrasi pemetaan
partisipatif ini memerlukan peranan sentral dan koordinatif oleh pemerintah pusat yang bisa diketuai
oleh Kemenko Perekonomian untuk menjembatani kelompok Masyarakat Sipil dan K/L Teknis dalam
rangka membahas dan menentukan kewalidataan, tata kelola data, dan informasi peta tematik serta
integrasinya ke dalam KSP.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 28
3.2.2 Penyediaan Informasi Geospasial dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat
Penyediaan IG sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk berbagai keperluan,
seperti perencanaan pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, mitigasi bencana, atau aktifitas
keseharian. UU 4/2021 menyatakan bahwa pembinaan IGT yang dilakukan oleh BIG dilakukan kepada
penyelenggara IG dan pengguna IG. Lebih jauh PP 45/2021 menyebutkan bahwa penyelenggara IGT
dan pengguna IG meliputi instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang. Hal ini
juga memberikan penjelasan lebih jauh bahwa pengguna IG juga mencakup berbagai kalangan
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kalangan swasta, kalangan akademisi, pelaku
usaha/industri, lembaga kemasyarakatan, serta entitas lainnya yang tidak dibatasi oleh kepentingan
tertentu.
Perkembangan pemanfaatan informasi geospasial dalam kenyataannya bersifat sangat dinamis
dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang mengubah kehidupan pengguna. Dalam
empat dekade terakhir perkembangan pemanfaatan data, informasi, dan bahkan pengetahuan
yang berbasis data/informasi geospasial meningkat semakin pesat. Setidaknya ada 9 (sembilan)
kelompok teknologi yang berkembang dalam Industri 4.0 yaitu big data and analysis, autonomous
robots, simulations, augmented reality, horizontal and vertical software integration, industrial internet, cyber
security, cloud serta additive manufacturing. Perubahan yang terjadi pada prinsipnya bertujuan untuk
mengefisienkan pekerjaan di masyarakat. Pengembangan industri ini membutuhkan integrasi data
yang cepat dan akurat serta juga membantu menghasilkan analisis untuk pengambilan keputusan
yang dinamis dan real-time.

Data menunjukkan, pemakaian internet di Indonesia yang sudah mencapai lebih dari 212 juta
atau 76,8 % dari total penduduk Indonesia (PTRA, BIG 2021 dari Internetworldstat, Maret 2021)
memberikan indikasi semakin terbukanya masyarakat Indonesia. Penetrasi internet di Indonesia
ini tercatat sebagai nomor 15 di antara negara-negara Asia atau masih di bawah Kazhakstan dan
Vietnam. Hampir semua - 98,3% dari total pengguna (PTRA, BIG 2021 dari Laporan Hootsuite Pebruari
2021) - menggunakan smartphone ataupun feature phone. Namun perlu dicermati, pemanfaatan
internet ini belum atau tidak sepenuhnya terfokus pada bidang pengembangan ilmu pengetahuan
dan khususnya industri geospasial. Umumnya masyarakat lebih sebagai pemanfaat hasil akhir atau
mengkonsumsi produk informasi geospasial ini dan tanpa menyadari layanan produk tersebut di
antaranya adalah hasil olahan dari informasi geospasial. Peningkatan pemanfaatan IG bagi para
pengguna serta pengetahuan untuk pemanfaatannya lebih optimal menjadi tantangan dan peluang
yang perlu optimalkan.
Penyediaan IGT menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dengan efektif. Salah satu tantangan utama adalah ketidakseragaman data geospasial
yang dihasilkan oleh berbagai instansi. Data yang tersedia seringkali memiliki format, skala, dan
kualitas yang berbeda, sehingga menyulitkan proses integrasi dan analisis. Selain itu, kebutuhan
penyediaan peta skala besar serta data yang akurat dan mutakhir juga menjadi tantangan dalam
penyediaan IG. Kebutuhan pengambilan kebijakan seperti penyusunan Tata Ruang memiliki demand
untuk peta skala besar, sehingga peta-peta tematik lain diarus utamakan untuk diwujudkan dalam
skala besar untuk memenuhi kebutuhan perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Tantangan lain
adalah keterbatasan infrastruktur teknologi di beberapa daerah. Banyak wilayah, terutama di
daerah terpencil, masih menghadapi masalah akses internet dan keterbatasan perangkat keras
yang memadai untuk mendukung digitalisasi dan pengolahan data geospasial. Pemerintah perlu
berinvestasi lebih banyak dalam pembangunan infrastruktur teknologi di daerah-daerah tersebut.
Secara keseluruhan, penyediaan IGT yang baik membutuhkan pendekatan yang holistik dan
integratif, menggabungkan upaya peningkatan infrastruktur, pengembangan kapasitas manusia,
serta kerjasama yang erat antar berbagai pihak. Dengan mengatasi tantangan yang ada dan

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 29

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 30
memenuhi kebutuhan masyarakat secara efektif, IGT dapat menjadi alat yang sangat berharga
dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3.2.3 Integrasi Informasi Geospasial Pertanahan dan Ruang dalam Kebijakan Satu Peta
dan Kebutuhan Pemetaan Skala Besar
Integrasi informasi spasial pertanahan dan ruang dalam KSP menghadapi berbagai tantangan yang
kompleks dan beragam. Tantangan ini mencakup aspek teknis, operasional, koordinasi antar lembaga,
serta penerimaan dan pemanfaatan data oleh berbagai pemangku kepentingan. Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memiliki tugas dan fungsi yang sangat erat
kaitannya dengan informasi geospasial. Tugas-tugas ini mencakup pengelolaan kepemilikan tanah
(land tenure), penilaian nilai tanah (land value), penggunaan tanah (land use), dan pengembangan
lahan (land development) yang didukung oleh informasi pertanahan. Setiap tugas ini membutuhkan
akses dan integrasi informasi geospasial yang akurat dan mutakhir untuk mendukung pengambilan
keputusan yang tepat dan efektif.
Salah satu tantangan utama dalam integrasi informasi geospasial adalah silo data antar lembaga.
Meskipun ATR/BPN telah mengimplementasikan fungsi berbagi pakai dari data yang ada,
kekhawatiran tetap muncul terkait interoperabilitas dan konsistensi data antar lembaga. Setiap
lembaga sering memiliki standar dan format data yang berbeda, yang dapat menghambat upaya
integrasi yang komprehensif. Di Kementerian ATR/BPN sendiri, belum tersedia IGT yang memenuhi
standar KSP. Selain itu, belum tersedianya sistem yang dapat melakukan verifikasi IGT yang dapat
diberbagaipakaikan serta belum tersedianya pengelolaan database menjadi tantangan yang perlu
menjadi perhatian.
Pemenuhan skala besar dalam pengumpulan data geospasial membutuhkan banyak unit produksi.
Saat ini, ATR/BPN telah mengakuisisi 9.5 juta hektar data dengan menggunakan teknologi drone,
dan sedang dalam proses penerapan digital twin. Beberapa langkah yang dilakukan yaitu: (1) Peta
foto drone digunakan sebagai peta dasar pertanahan; (2) peta bidang tanah digunakan sebagai
tatakan untuk IG berbasis bidang; dan (3) Hasil dari layer dasar berupa informasi lahan tersebut
sebagai bahan untuk memproduksi 38 tema IGT dengan 18 IGT Prioritas KSP. Uji kualitas peta dasar
adalah langkah penting dalam memastikan keakuratan dan konsistensi data geospasial. Proses ini
harus dilakukan secara kolaboratif antar stakeholder, dan mencakup prosedur untuk melakukan
approval terhadap data yang dihasilkan. Integrasi informasi spasial pertanahan dan ruang dalam
KSP merupakan tantangan besar namun sangat penting untuk mencapai tata kelola yang lebih baik.
Selain informasi geospasial secara luas, data time-series juga penting untuk analisis pertanahan
yang lebih mendalam. Data time-series memungkinkan pemantauan perubahan dari waktu ke waktu
dan dapat digunakan untuk melakukan prediksi dan analisis trend. Oleh karena itu, pemutakhiran
data secara periodik adalah kegiatan yang harus terus dilakukan.
3.3 Kesiapan Teknologi dalam Pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta
Kesiapan teknologi menjadi salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan KSP serta dalam
penyelenggaraan dan penyebarluasan IG kedepan. Tantangan tersebut antara lain terkait
dengan pengembangan infrastruktur teknologi, penerapan keamanan siber (cyber security) dalam
penyebarluasan produk IG, serta pemanfaatan kecerdasan buatan dalam penyelenggaraan IG.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 31
3.3.1 Pengembangan Infrastruktur Teknologi
KSP di Indonesia bertujuan untuk menciptakan basis data geospasial yang konsisten, akurat, dan
dapat diandalkan. Hal ini penting untuk mendukung perencanaan, pengelolaan sumber daya alam,
pembangunan infrastruktur, serta pengambilan keputusan yang efektif di berbagai sektor. Namun,
implementasi KSP di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan sehingga menghambat pencapaian
tujuan KSP secara keseluruhan. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan infrastruktur
teknologi antara lain:
a. Ketidakseragaman Data: Data geospasial yang berasal dari berbagai instansi pemerintah
seringkali memiliki format, skala, dan kualitas yang berbeda-beda. Hal ini menyulitkan
integrasi data dan memerlukan proses standarisasi yang rumit;
b. Keterbatasan Infrastruktur Teknologi: Meskipun ada kemajuan dalam pengembangan
infrastruktur teknologi di Indonesia, masih banyak daerah yang menghadapi keterbatasan
akses terhadap teknologi digital. Hal ini menghambat pengadopsian dan integrasi teknologi
untuk pengelolaan data geospasial;
c. Keberagaman Perangkat Lunak dan Platform: Perbedaan dalam perangkat lunak dan platform
yang digunakan oleh instansi pemerintah dapat menghambat harmonisasi sistem teknologi
yang diperlukan untuk menciptakan basis data geospasial yang terintegrasi dan konsisten.
Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG) merupakan salah satu bentuk infrastruktur dalam KSP,
dimana perwujudan IIG bukan hanya geoportal atau WebGIS. Geoportal merupakan etalase tempat
pengguna melihat Data dan Informasi Geospasial (DG/IG) serta layanan (service) yang dapat diakses.
DG/IG yang disajikan pada “etalase” dibuat melalui proses panjang dan melibatkan banyak komponen.
Komponen tersebut diatur dalam UU IG, pasal 53 ayat 2 yang terdiri dari: kebijakan, kelembagaan,
teknologi, standar, dan sumber daya manusia. Agar IIG dapat berfungsi optimal dalam mendukung
pembangunan serta pengambilan keputusan berbasis data geospasial, tantangan utama yang harus
diatasi adalah:
1. Simpul Jaringan (SJ) posisi IIG di Indonesia berada pada spektrum yang luas, terdapat SJ yang
masih berfokus pada penyediaan dan perbaikan data (generasi 1), ada SJ yang sudah masuk
ke pemrosesan data (generasi 2), dan lebih sedikit SJ yang sudah bergerak pada pembuatan
layanan (generasi 3). Dilihat dari jumlahnya, maka lebih banyak SJ yang memiliki karakteristik
generasi 1, disusul dengan generasi 2 dan generasi 3. Posisi IIG di Indonesia saat ini, sebagian
besar SJ yang masih berfokus pada penyediaan dan perbaikan data, ada SJ yang sudah masuk
ke pemrosesan data, dan lebih sedikit SJ yang sudah bergerak pada pembuatan layanan.
Saat ini Geoportal Kebijakan Satu Peta berfokus pada penyediaan data untuk pemerintah dan
masyarakat;
2. Layanan Geoportal Fokus pengembangan Geoportal KSP saat ini ada pada aspek pengamanan,
terutama pada pengamanan data setelah download mengingat adanya penambahan layanan
akses untuk masyarakat pada Geoportal KSP 2.0. Tantangan untuk Geoportal KSP di masa depan
adalah terkait penambahan berbagai fitur dalam geoportal untuk melakukan pemrosesan data
lebih lanjut. Dimana tantangan ini dapat dijawab dengan pemanfaatan fitur Kecerdasan Buatan
dalam Geoportal. Secara umum, tantangan yang muncul dalam usaha peningkatan pemanfaatan
geoportal adalah penyediaan data yang bermanfaat (meaningful data) dan pengaktifan geoportal
(dan SJ) yang mati suri. Pengamatan terhadap geoportal yang ada di Indonesia baik geoportal
milik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah menunjukkan bahwa sebagian geoportal
minim data, tidak menunjukkan aktivitas apapun, dan penyajian data belum tertata dengan baik.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 32
3.3.2 Keamanan Siber (Cyber Security) dalam Bidang Geospasial
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, muncul tantangan baru terkait
keamanan data geospasial yang digunakan dalam KSP. Data geospasial yang dimiliki oleh pemerintah
dan berbagai pihak terkait merupakan aset berharga yang perlu dilindungi dari ancaman siber.
Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka keamanan siber yang komprehensif untuk memastikan
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data geospasial tersebut. Beberapa tantangan yang
muncul dalam usaha melindungi keamanan data antara lain:
a. Keberagaman Infrastruktur Teknologi: variasi dalam infrastruktur teknologi mulai dari
yang sangat modern hingga yang masih tradisional dapat menghambat penerapan standar
keamanan yang konsisten di seluruh wilayah Indonesia. Namun, peluang untuk mengatasi
hal ini terletak pada adaptasi solusi keamanan yang fleksibel dan modular. Dengan demikian,
peningkatan infrastruktur dapat dilakukan secara bertahap tanpa mengganggu operasional
yang sudah berjalan;
b. Ancaman Siber Terhadap Data Geospasial: Data geospasial yang merupakan aset strategis
rentan terhadap serangan siber, seperti pencurian data atau upaya untuk mengganggu
operasional sistem informasi geospasial;
c. Kesadaran dan Pendidikan Keamanan Siber: Rendahnya kesadaran tentang keamanan siber
di kalangan pegawai pemerintah dan masyarakat menjadi tantangan serius. Kurangnya
pemahaman ini dapat meningkatkan risiko terhadap serangan siber.
3.3.3 Kecerdasan Buatan dalam Bidang Geospasial
Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligent (AI) memainkan peran penting dalam bidang geospasial.
Dukungan AI di bidang geospasial dapat dibagi menjadi empat jenis utama. Pertama, platform
berbagi data, yang memungkinkan pertukaran data geospasial secara efisien antar berbagai pihak.
Kedua, platform data dan pengolahannya, yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan
mengolah data sehingga menghasilkan informasi spasial yang akurat. Ketiga, platform informasi
geospasial, yang menyajikan data geospasial yang mudah diakses oleh pengguna. Terakhir,
platform sistem pengambilan keputusan (SPK), yang membantu dalam analisis dan pemanfaatan
data geospasial untuk mendukung keputusan strategis. Keempat jenis platform ini bersama-sama
membentuk ekosistem AI yang kuat dalam bidang geospasial, mendorong inovasi, efisiensi, dan
akurasi dalam pengelolaan dan penggunaan data spasial.
Geoportal KSP merupakan salah satu platform berbagi data yang berada dalam naungan Ina-
Geoportal. Geoportal tersebut diharapkan untuk dikembangkan agar memiliki berbagai fitur AI
yang lebih dari sekedar berbagi data guna mendukung pemanfaatan IG melalui geoportal salah
satunya dengan menyediakan layanan platform data dan pengolahannya berupa Intelligent Spatial
Analysis. Pengembangan ini dapat mendukung kegiatan Sinkronisasi dalam KSP agar dapat berjalan
secara real-time. Beberapa platform yang dapat dijadikan benchmarking dalam pengembangan
ini adalah Google Earth Engine (GEE), Geohazard Exploitation Platform (GEP) yang dikembangkan
oleh European Space Agency (ESA), dan System for Earth Observation Data Access, Processing
and Analysis for Land Monitoring (SEPAL) yang telah dikembangkan oleh Food and Agriculture
Organization (FAO).
Lebih lanjut, Geoportal KSP juga diharapkan untuk dapat terus memperluas layanan dengan dengan
menerapkan fungsi AI sebagai Platform SPK berbasis geospasial. Pengembangan ini merupakan
pengembangan yang layak dilakukan mengingat telah ada K/L lain yang telah mengembangkan
platform tersebut, seperti Indonesian Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang dibangun
oleh BMKG dan SIPONGI KLHK yang telah menggunakan informasi hotspot dari BRIN untuk
pengambilan keputusan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 33

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 34

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 35
Gambar 3.3 Sebagian SJ yang sudah memiliki staf dengan Jabatan Fungsional Surveyor Pemetaan (sumber: Simojang BIG)
Keterbatasan sumber daya manusia di bidang geospasial di berbagai daerah menghambat proses
pengumpulan, pengolahan, dan analisis data peta. Di banyak wilayah, terutama daerah-daerah
terpencil, tenaga ahli yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang geospasial sangat
minim. Hal ini semakin terkendala oleh rendahnya tingkat pelatihan dan pendidikan terkait teknologi
geospasial bagi pegawai pemerintahan. Banyak pegawai di daerah-daerah tersebut tidak memiliki
akses yang memadai terhadap pelatihan dan pendidikan yang diperlukan. Akibatnya, kemampuan
mereka dalam mengelola data geospasial menjadi terbatas, yang berdampak pada efektivitas
penerapan kebijakan yang bergantung pada data tersebut.
Dalam bidang keamanan siber, keterbatasan tenaga ahli menghambat implementasi dan
pemeliharaan keamanan. Dalam konteks KSP, dibutuhkan tenaga ahli yang memiliki keterampilan
khusus dalam keamanan siber, terutama yang memahami kompleksitas data geospasial. Untuk
mengatasi hal ini, dibutuhkan kerja sama antara ahli geospasial dan pakar keamanan siber untuk
mengembangkan solusi yang efektif dan aman.
Dalam bidang AI, banyak negara dan perusahaan bersaing untuk merekrut tenaga ahli AI, sehingga
sulit bagi sektor pemerintahan atau organisasi tertentu untuk mendapatkan talenta terbaik.
Selain kemampuan teknis yang baik, SDM harus memiliki pemahaman tentang implikasi etis dari
penerapan AI, termasuk isu-isu privasi, bias, dan transparansi. Dengan demikian SDM harus paham
akan regulasi dan standar yang mengatur penggunaan AI di berbagai sektor.
3.4 Ketersediaan dan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan IG yang akurat dan real-time, dibutuhkan SDM di bidang
IG dengan kuantitas dan kualitas yang baik serta distribusi yang merata. Jumlah staf pemerintah
pusat dan daerah yang memiliki latar belakang pendidikan geospasial jumlahnya masih terbatas.
Selain itu, distribusinya juga tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dengan konsentrasi SDM yang
lebih banyak di daerah perkotaan. Dari segi kualitas, diperlukan adanya pendidikan dan pelatihan
untuk meningkatkan kompetensi SDM yang telah ada. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah
terkait pengembangan karir di sektor pemerintah dimana penetapan Jabatan Fungsional Surveyor
Pemetaan masih relatif baru sehingga jumlahnya pun masih terbatas.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 36
Kemampuan berpikir spasial (spatial thinking) sangatlah diperlukan untuk menghasilkan produk-
produk spasial dan geospasial yang tepat bagi pengambilan keputusan atau merumuskan kebijakan
pembangunan berbasis keruangan. Setidaknya ada empat perspektif yang dipelajari yaitu 1)
developmental psychology, 2) visual perception, 3) factor analytic model, 4) neurology (Sumber: Maresch dan
Sorby, 2021). Kapabilitas berpikir spasial ini tidak lepas dari proses membangun kognitif spasial.
Tentu akan berkembang lagi sesuai dengan perkembangan kehidupan yang baru dengan tujuan yang
sangat mendasar yaitu keinginan membangun lokasi, tempat ataupun ruang yang lebih baik.
3.5 Ketersediaan Anggaran
Implementasi KSP di Indonesia menghadapi tantangan besar terkait ketersediaan anggaran yang
memadai. Salah satu tantangan utamanya adalah dalam pengembangan infrastruktur teknologi
informasi geospasial yang modern dan terintegrasi. Ini mencakup sistem informasi geografis (SIG),
penginderaan jauh, serta infrastruktur pendukung seperti pusat data dan jaringan komunikasi untuk
pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan distribusi data geospasial yang efisien. Pengembangan
aplikasi dan platform geospasial yang inovatif juga menjadi kebutuhan mendesak. Aplikasi ini
penting untuk pemetaan administrasi, pengelolaan sumber daya alam, dan mitigasi bencana, serta
untuk mendukung pengambilan keputusan di berbagai sektor pemerintah dan swasta. Namun,
pengembangan aplikasi yang efektif membutuhkan investasi signifikan dalam pengembangan
perangkat lunak, integrasi sistem, dan pemeliharaan berkelanjutan.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi prioritas dalam konteks anggaran
KSP. Pelatihan yang berkelanjutan diperlukan untuk memastikan tenaga ahli di bidang geospasial
memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai untuk menggunakan teknologi baru dan
melakukan analisis data yang kompleks. Investasi dalam pengembangan kapasitas ini termasuk
pelatihan teknis serta pengembangan kemampuan manajerial untuk efisiensi pengelolaan proyek-
proyek KSP.
Tantangan lainnya adalah dalam aspek pengawasan dan evaluasi penggunaan anggaran KSP.
Diperlukan sistem pengawasan yang kuat untuk memonitor transparansi dan akuntabilitas
dalam penggunaan anggaran. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang
diinvestasikan memberikan nilai tambah dalam mencapai tujuan strategis KSP, serta untuk
mengidentifikasi potensi perbaikan dan efisiensi dalam alokasi anggaran.
Koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan sektor swasta, juga menjadi tantangan dalam mengalokasikan dan mengoptimalkan
penggunaan anggaran KSP. Koordinasi ini harus mempertimbangkan kebutuhan lokal dan nasional,
serta menghindari tumpang tindih program untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan anggaran.
Pengembangan kebijakan dan regulasi yang mendukung pengelolaan data geospasial juga
memerlukan investasi dalam sumber daya manusia dan proses administratif yang memadai.
Proses ini termasuk penyusunan kebijakan berbasis bukti dan partisipatif, konsultasi publik, serta
implementasi kebijakan sesuai dengan standar internasional dan nasional.

BAB 4.
STRATEGI PENCAPAIAN
KEBUTUHAN DAN TANTANGAN

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 39
4.1 Pelaksanaan Kebijakan dan Regulasi
4.1.1 Kebijakan dan Regulasi Kebijakan Satu Peta
Melihat pada beberapa kebutuhan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan dan regulasi KSP,
maka beberapa strategi yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Rencana Aksi KSP
Diperlukan dasar hukum yang jelas terhadap target kuantitatif KSP. Untuk itu, target kuantitatif
yang kemudian disepakati antara Sekretariat KSP dengan K/L dan dituangkan dalam berita acara
selanjutnya perlu diterapkan langsung dalam Rencana Aksi KSP yang termuat dalam Perpres. Hal
ini akan sangat membantu perhitungan capaian KSP sejak semula serta membuat target kuantitatif
mempunyai dasar hukum yang jelas. Selain itu, terhadap perubahan rencana aksi KSP khususnya
terkait perubahan target oleh K/L agar dilakukan terbatas untuk lebih mempertajam target serta
untuk mengakomodasi hal-hal strategis lainnya guna mendukung percepatan pelaksanaan KSP.
b. Keberlanjutan Masa Depan KSP
Keberadaan KSP sangat diperlukan guna mewujudkan penyediaan data dan informasi geospasial
dasar dan tematik yang lengkap, akurat, bersinergi dengan bidang-bidang lainnya, serta didukung
dengan penguatan tata kelola untuk meningkatkan akses dan pemanfaatannya, yang dalam hal
ini KSP berkontribusi dalam mewujudkan satu standar, satu referensi, satu basis data, dan satu
geoportal.
Pengintegrasian KSP dalam dokumen perencanaan pembangunan diharapkan mampu memastikan
keberlanjutan KSP. Dengan telah dipertimbangkannya penyelenggaraan IG dalam RPJPN, maka
RPJMN dan RKP sebagai dokumen dengan jangka waktu yang lebih pendek harus juga memuat
penyelenggaraan informasi geospasial lengkap dengan anggaran yang diperlukan.
Penguatan dasar hukum pelaksanaan KSP juga diperlukan untuk mendukung keberlanjutan KSP.
Dasar hukum pelaksanaan KSP saat ini masih berupa Perpres. Konsekuensi dari pemilihan bentuk
Perpres adalah jenis peraturan ini menjadi kewenangan penuh Pemerintah sehingga keberlakuan
Perpres dapat dicabut atau diganti tergantung kepada kebijakan Pemerintah. Untuk itu, maka
idealnya KSP diamanatkan dalam peraturan di tingkat undang-undang, yang dalam hal ini sekurang-
kurangnya menjadi amanat dalam UU 4/2011 tentang Informasi Geospasial sebagaimana telah diubah
dengan UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan di bawahnya. Pengaturan tentang amanat KSP dalam undang-undang tersebut
sekurang-kurangnya memuat:
a. satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan
satu geoportal;
b. berbagi pakai data satu peta di lingkungan pemerintah dan masyarakat;
c. meningkatkan pemanfaatan produk KSP, melalui pembentukan satgas pemanfaatan KSP
d. grand design pelaksanaan KSP; dan
e. pendelegasian pengaturan hal-hal di atas dalam Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden.
Sinkronisasi dalam KSP, yang lebih lanjut diwujudkan dalam renaksi penyelesaian ketidaksesuaian
dalam pemanfaatan ruang (PP 43/2021), merupakan wujud nyata dalam peningkatan kualitas
koordinasi (Multilayer Kolaboratif Governance) yang difasilitasi oleh Kemenko Perekonomian sebagai

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 40
Ketua Tim Koordinasi dalam Percepatan KSP. Hal ini dilakukan untuk menjaga investasi sebagai upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan
menuju Indonesia Emas 2045.
Pelaksanaan sinkronisasi KSP memerlukan pelibatan berbagai aktor baik dari pemerintah maupun
non-pemerintah. Untuk itu, diperlukan pengaturan keterlibatan stakeholder baik dalam kegiatan
kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan penyebarluasan hingga pemanfaatan. Keberlanjutan KSP
menjadi salah satu instrumen koordinasi yang efektif untuk mengawal terwujudnya kualitas dan
kuantitas data IG. Alternatif amandemen UU tidak hanya khusus terkait IG, namun perlu juga
memperhatikan UU sektoral yang berbasis pada geospasial termasuk upaya memasukan amanat
KSP dalam proses amandemen UU 39 tahun 2008.
Keberhasilan capaian dalam penyebarluasan IGT KSP, perlu diikuti dengan pemanfaatan IGT.
Penguatan pemanfaatan IGT diharapkan memberikan dampak terhadap kemudahan penyelenggaran
pembangunan nasional. Penguatan pemanfaatan IGT KSP perlu didukung peran sumberdaya manusia
yang memadai, untuk itu strategi penambahan Satgas Pemanfaatan IGT KSP merupakan alternatif
pelaksanaan KSP di masa mendatang.
c. Grand Design Penyelenggaraan KSP
Grand design penyelenggaraan KSP merupakan acuan dalam pelaksanaan KSP untuk jangka panjang.
Grand design tersebut menentukan hal-hal apa saja yang akan dan harus dicapai serta tahapan
pelaksanaan dalam pencapaian target jangka panjang dan target antara dalam penyelenggaraan KSP
dalam kurun waktu tertentu. Grand design ini selanjutnya memberikan koridor dalam penyusunan
Rencana Aksi KSP ke depan. Pembentukan serta pemutakhiran KSP sebagai program dan sebagai
sistem dari waktu ke waktu akan tercermin secara strategis dalam grand design tersebut. Hal ini
tentu berlangsung tanpa mengabaikan perkembangan di masa yang akan datang sehingga grand
design tersebut tentu hanya akan memuat hal-hal umum terkait indikasi waktu penyelesaian serta
tahapan pelaksanaan KSP.
4.1.2 Integrasi Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung
Transformasi Digital Nasional
Beberapa strategi yang dilakukan untuk mengintegrasikan KSP dan SDI antara lain:
a. Penyamaan persepsi terkait walidata dan produsen data dalam SDI dengan walidata yang
termuat dalam KSP;
b. Perwujudan dan pemutakhiran data geospasial sesuai dengan pedoman penyelenggaraan IG
untuk pemerintah pusat dan daerah;
c. Kesiapan integrasi Geoportal KSP dengan Portal SDI. Integrasi tersebut juga perlu disertai
pengamanan Data Geospasial Digital, penerapan Standar Data geospasial untuk memastikan
interoperabilitas antar simpul jaringan, serta integrasi Geoportal JIGN dengan Portal SDI.
Integrasi data tersebut bertujuan untuk mendukung pemanfaatan produk data spasial KSP
dalam Program Strategis Nasional dan perbaikan kualitas peta tematik;
d. Pengintegrasian muatan SDI dalam penyusunan Grand Design KSP. Tenggat waktu penyelesaian
pengintegrasian KSP dengan SDI, seperti apa bentuk pengintegrasian dilakukan, dan tahapan-
tahapan pelaksanaannya dapat dituangkan dalam grand design tersebut. Diharapkan bahwa
pelaksanaan grand design KSP kemudian dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan KSP selama
ini;

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 41
e. Penyusunan perundang-undangan yang dianggap perlu terkait KSP dan SDI, seperti mendorong
agar SDI dan KSP diamanatkan dalam peraturan di tingkat undang-undang. Dengan demikian,
SDI, KSP, serta pelaksanaan pengintegrasiannya memiliki dasar hukum yang lebih jelas, kuat
dan berkelanjutan.
Selain itu, pengintegrasian KSP dan SDI juga perlu didorong untuk mendukung transformasi digital
menuju Indonesia Emas 2045. Inisiatif-inisiatif kunci yang dapat dilakukan untuk mewujudkan
transformasi digital yaitu: (1) peningkatan kualitas dan pemerataan SDM dan infrastruktur; (2)
penguatan kebijakan ‘Bagi Pakai Data” dan pengembangan kurikulum edukasi penggunaan data; (3)
mendorong partisipasi aktif para influencer, masyarakat, dan dunia usaha/swasta; (4) penerapan
teknologi tinggi berbasis AI; (5) pengelolaan data terpusat; dan (6) meningkatkan kesadaran publik
terhadap pemanfaatan data dan peta dari KSP dan SDI.
4.1.3 Kebijakan Satu Peta dan Satu Data Indonesia dalam Mendukung Sustainable
Development Goals (SDGs)
Dalam rangka mendukung SDGs, maka strategi yang dapat dilakukan melalui KSP dan SDI, yaitu:
a. Pengidentifikasian dan evaluasi ketersediaan IGT hasil KSP dengan kebutuhan SDGs, serta
antara IGT KSP dengan data prioritas yang ditetapkan oleh SDI;
b. Pengintegrasian data KSP menjadi data prioritas SDI;Pengintegrasian siklus pembangunan
dan siklus data spasial pemerintah sehingga kebutuhan data spasial untuk pembangunan
dapat dipenuhi. Hal ini sudah dalam model bisnis SDI yang terdiri dari fase perencanaan,
pengumpulan, penyimpanan dan pengamanan, pemeriksaan, dan berbagi pakai;
c. Pemanfaatan data Geospasial yang berkualitas hasil KSP dalam pemenuhan capaian SDGs;
d. Pelaksanaan pemanfaatan data dan peta dalam proses pembangunan secara tematik, holistik,
integratif, dan spasial agar mengacu pada PP 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan
dan Penganggaran. Integrasi Data tersebut ditujukan untuk memberikan dukungan informasi
secara integratif-spasial terkait kebijakan keamanan pangan nasional (food security),
pengelolaan atau tata ruang, peta pendukung alokasi sumber daya pada SDGs khususnya
untuk Goals Nomor 11 Sustainable Cities and Communities, serta integrasi data dan peta untuk
keperluan alokasi bantuan pemerintah bagi perlindungan sosial, dan lain sebagainya.
KSP dan SDI berperan krusial dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) di Indonesia. KSP memastikan harmonisasi dan integrasi peta tematik antar instansi,
mengatasi ketidaksinkronan data geospasial, mendukung perencanaan sumber daya alam,
menyelesaikan konflik lahan, dan meningkatkan efisiensi administrasi pemerintahan. Harmonisasi
Gambar 4.1 Interoperability Data Spasial oleh BIG

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 42
yang dilakukan melalui kegiatan Sinkronisasi telah mendorong penyelarasan kebijakan antar K/L
yang pada akhirnya bermuara pada perbaikan tata kelola pemerintah pusat maupun daerah. Berawal
dari upaya referensi peta yang sama, KSP memperkuat dasar pengambilan kebijakan berbasis
geospasial.
SDI memperbaiki tata kelola data pemerintah melalui aspek kelembagaan, regulasi, penganggaran,
dan SDM khususnya berbasis statistik (non-spasial). SDI menentukan Data Prioritas untuk
mendukung perencanaan dan evaluasi pembangunan. Meskipun masih ada tantangan dalam
pemenuhan data yang lengkap, SDI memastikan data yang akurat dan dapat diakses oleh berbagai
pemangku kepentingan.
KSP dan SDI tidak hanya mendukung pencapaian SDGs tetapi juga pemanfaatan data yang lebih luas
antar lembaga. Tantangan tumpang tindih data harus diatasi dengan mengutamakan integrasi data
yang ada. Pemutakhiran data perlu dimasukkan dalam roadmap perencanaan untuk meningkatkan
kualitas data. Di masa depan, pemanfaatan data diharapkan memberi dampak lebih luas dan
mempercepat pengembangan. Berbagai skema pembiayaan dapat mendukung implementasi dan
pengelolaan data ini.
4.2 Perwujudan dan Pemutakhiran Informasi Geospasial
Tematik
4.2.1 Pemetaan Partisipatif dalam Pemenuhan Informasi Geospasial
Dalam rangka peningkatan peran masyarakat, maka metode pemetaan partisipatif perlu untuk
dijadikan salah satu langkah utama dalam pemenuhan informasi geospasial. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka beberapa strategi yang perlu dilakukan yaitu:
a. Peningkatan dan penguatan Standardisasi, penyediaan DG, dan IG, serta kapasitas di bidang
IG dan Resolusi Konflik, melalui:
• Penyediaan DG dan IG dengan skala besar minimal 1:10.000 atau Citra Satelit Resolusi Tinggi
(CSRT) untuk seluruh wilayah Indonesia dengan akses publik, agar DG dan IG Tematik yang
dibuat oleh Kelompok Masyarakat Sipil dapat lebih detail dan mudah untuk diintegrasikan
ke dalam peta-peta pemerintah.
• Penguatan pengelolaan data sektoral dan kapasitas walidata IG Tematik pada K/L terkait.
Penguatan manajemen data sektoral yang menjadi bagian dari IGT yang ditumpang tindihkan
pada KSP perlu ditingkatkan kualitasnya. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan
kapasitas Penanggung Jawab atau Walidata dari ketiga IGT (Status, Perencanaan dan
Potensi). Salah satu contoh peta-peta sektor sawit seperti IUP Perkebunan dan Izin Lokasi
memerlukan perbaikan kualitas dan dilengkapi lagi secara gradual.
• Peningkatan kapasitas pemetaan dasar untuk masyarakat, pemerintah desa atau
kecamatan, OPD teknis di daerah, dan mahasiswa yang akan membantu proses pemetaan
partisipatif.
• Optimalisasi dan penguatan peran pemerintah daerah sebagai pengelola DG, misalnya
melalui Simpul Jaringan Daerah, disertai dengan pengetahuan dan kecakapan dalam
melakukan resolusi konflik.
• Pembentukan kelembagaan penanganan konflik lahan yang multipihak pada penyelesaian
tumpang tindih. Pembentukan Tim Kerja Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan dan
Hutan Adat yang dibentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS)
di Provinsi Sumatera Selatan, serta Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) di Kabupaten
Jayapura dapat menjadi contoh bagaimana resolusi konflik diupayakan melalui pendekatan

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 43
kelembagaan. Kedua tim ini terdiri dari perwakilan berbagai instansi, seperti pemerintah
daerah tingkat provinsi atau kabupaten, KPH, dan Kelompok Masyarakat Sipil.
b. Penggunaan inovasi teknologi dalam pengambilan data lapangan agar dapat memobilisasi
massal untuk membantu percepatan pemetaan.
c. Sosialisasi dan pendampingan yang lebih aktif dari K/L Teknis yang berwenang dalam tahapan
pelaksanaan pemetaan partisipatif dengan dilakukan proses verifikasi dan validasi tahap
awal. d.Dukungan pendanaan, sumber daya dalam upaya penyelenggaraan metode pemetaan
partisipatif tematik desa. Ada peluang untuk melibatkan universitas melalui Kegiatan KKN,
pelibatan Kader Desa, dan penggunaan Dana Desa.
d. Mengakomodir peta-peta partisipatif masyarakat untuk bisa diterima melalui mekanisme dan
tata kelola DG dan IG (termasuk di dalamnya mekanisme registrasi, adopsi, verifikasi, validasi,
dan penetapan), melibatkan BIG dan K/L Teknis terkait, serta masuk ke dalam proses KSP
melalui penyelarasan dalam Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI). Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang mudah dan terjangkau diperlukan dalam berbagai pelaksanaan pedoman
pemetaan tematik yang dibuat oleh pemerintah, terutama proses verifikasi dan validasi hasil
pemetaan partisipatif. Penyusunan mekanisme tata kerja pembuatan IG Tematik dan berbagi-
pakai IG Tematik, juga perlu masuk ke dalam perundangan KSP dan K/L Teknis terkait, agar
mempertimbangkan pelibatan masyarakat. Gambaran strategi integrasi pemetaan partisipatif
tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah:
e. Mengakomodir peta wilayah adat di darat melengkapi wilayah adat laut dalam KSP yang
bisa dijadikan rujukan dalam melakukan proses verifikasi status dan fungsi ruang lintas
kementerian dan dapat menjadi referensi dalam proses penyusunan Peta Rencana Tata
Ruang Wilayah/Rencana Detail Tata Ruang (RTRW/RDTR) dan perizinan usaha dalam Online
Single Submission (OSS).
4.2.2 Penyediaan Informasi Geospasial dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat
Strategi penyediaan Informasi Geospasial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melibatkan
peningkatan infrastruktur data dan teknologi serta pengembangan sumber daya manusia. Beberapa
strategi yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Standarisasi data geospasial untuk memastikan format, skala, dan kualitas data yang
konsisten, sehingga memudahkan integrasi dan penggunaan data oleh berbagai instansi;
b. Sosialisasi keberadaan IG beserta kemungkinan pemanfaatannya;
Gambar 4.2. Usulan Proses Integrasi dan Penyelarasan Hasil Pemetaan Partisipatif Masyarakat Pada Kebijakan Satu Peta

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 44
c. Penyediaan informasi geospasial skala besar yang akurat dan termutakhir sebagai dasar
dalam penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan perizinan yang
membutuhkan informasi detail, salah satunya melalui pemetaan partisipatif;
d. Penyesuaian terhadap dinamika masyarakat selaku pengguna IG, termasuk perkembangan
pengetahuan dan penguasaan teknologi geospasial yang menuntut keterbukaan terhadap
cara pandang baru dan kecepatan adopsi pengguna IG;
e. Penguatan infrastruktur teknologi di seluruh daerah untuk mendukung proses digitalisasi dan
integrasi data secara efisien, termasuk aspek kemudahan akses terhadap berbagai kalangan
dan tingkatan pengguna;
f. Pengembangan sumber daya manusia di bidang geospasial dan teknologi informasi harus
diprioritaskan melalui program pelatihan dan sertifikasi. Ini akan meningkatkan kompetensi
dan profesionalisme tenaga kerja yang terlibat, sehingga mampu mengelola dan memanfaatkan
data geospasial dengan baik;
g. Pengembangan standar-standar yang implementatif dan berorientasi pengguna. Proses
verifikasi dan validasi data secara berkala, serta pengawasan dan audit yang ketat, akan
menjamin kualitas dan akurasi informasi geospasial yang disediakan; dan
h. Peningkatan kolaborasi dan koordinasi antar lembaga melalui pembangunan simpul jaringan
nasional dan daerah perlu dikembangkan dan diperbaiki agar lebih mudah diakses oleh
masyarakat.
Dengan melibatkan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan, serta menerapkan kebijakan
dan regulasi yang konsisten, penyediaan IGT dapat mendukung pembangunan berkelanjutan,
meningkatkan efisiensi pemerintahan, dan mendorong transparansi serta akuntabilitas publik.
4.2.3 Integrasi Informasi Geospasial Pertanahan dan Ruang dalam Kebijakan Satu Peta
dan Kebutuhan Pemetaan Skala Besar
Dalam rangka pemenuhan informasi geospasial pertanahan dan ruang dalam KSP serta pemenuhan
kebutuhan pemetaan skala besar, beberapa strategi yang telah dan diusulkan antara lain sebagai
berikut:
a. Penerapan Nomor Induk Bidang (NIB) sebagai key register IGT pertanahan dan ruang berbasis
bidang
b. Pemenuhan cakupan peta dasar 3D dalam rangka 3D kadaster dan digital twin;
c. pemutakhiran berkelanjutan dalam rangka analisis spasial untuk pengendalian pemanfaatan
ruang dan penegakan hukum;
d. kolaborasi pelaksanaan uji kualitas peta dasar pertanahan bersama dengan BIG;
e. dukungan anggaran melalui usulan penyediaan peta dasar dan peta pertanahan dan ruang
sebagai program strategis nasional.
Proses internalisasi IGT Pertanahan dan Ruang dalam berbagai unit kerja serta kerjasama antar
stakeholder seperti ATR/BPN, Bappenas, BIG, dan lembaga lainnya juga penting untuk memastikan
integritas dan konsistensi dalam penggunaan data tersebut.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 45
4.3 Pengembangan Teknologi dalam Pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta
4.3.1 Infrastruktur Teknologi
Seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan akan informasi yang semakin kompleks,
pengelolaan data geospasial menjadi semakin penting dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan. Data geospasial tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk pemetaan, tetapi juga sebagai
dasar untuk berbagai analisis dan strategi dalam pembangunan. Untuk mendukung optimalisasi
dalam rangka pemanfaatan data KSP, terdapat beberapa hal yang harus disiapkan dari sisi
infrastruktur, yakni:
a. Investasi dalam Standarisasi Data: Peningkatan investasi dalam standarisasi data geospasial
perlu dilakukan termasuk format, skala, dan kualitas data. Proses standarisasi yang efektif
akan mempercepat integrasi data dan mendukung pembuatan basis data yang konsisten;
b. Pengembangan Infrastruktur Teknologi: Peningkatan infrastruktur teknologi di seluruh
wilayah Indonesia diperlukan untuk mendukung pengelolaan data geospasial yang lebih
efisien. Ini mencakup peningkatan aksesibilitas internet, pengembangan teknologi cloud, dan
pembangunan pusat data yang aman; dan
c. Kolaborasi Antar Instansi: Mendorong kerja sama antara instansi pemerintah dalam
pengembangan dan penggunaan teknologi geospasial. Kolaborasi ini akan memfasilitasi
pertukaran data yang lebih lancar dan mempercepat adopsi teknologi baru dalam pengelolaan
data geospasial.
IIG memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan dan pengambilan keputusan yang
berbasis data. Untuk memastikan IIG berfungsi secara optimal dan efektif, harus dipastikan bahwa
simpul jaringan dan layanan geoportal berjalan dengan baik. Adapun strategi dalam menghadapi
tantangan terkait IIG serta implementasinya antara lain:
a. Membangun Simpul Jaringan (SJ) yang efektif dan efisien untuk mendukung pertukaran
DG/IG antar instansi dengan desain arsitektur jaringan yang efisien, menunjang keamanan
data, serta menggunakan menggunakan tools monitoring jaringan untuk memastikan kinerja
simpul jaringan tetap optimal dan mendeteksi potensi masalah secara proaktif;
b. Layanan Geoportal KSP melalui pengembangan berbagai fitur guna meningkatkan layanan
yang diberikan kepada pengguna DG/IG dengan memanfaatkan platform AI. Selain sebagai
platform berbagi data, Geoportal KSP juga diharapkan dapat menjadi platform pengolahan
data, platform informasi geospasial, dan platform sistem pengambilan keputusan. Salah satu
bentuk teknik pengolahan geospasial yang dapat dikembangkan dalam geoportal adalah
teknik geovisualisasi. Selain menjadi salah satu teknik dalam analisis data, Geovisualisasi
dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.
a. Data Geospasial, Geovisualisasi dan Visual Analytics
Geovisualisasi dan teknik visual analytics merupakan pendekatan yang efektif untuk menganalisis dan
memperoleh insight dari data geospasial yang kompleks. Geovisualisasi mengacu pada representasi
visual dari data spasial, di mana informasi geografis ditampilkan dalam bentuk peta, grafik, atau
visualisasi lainnya (Dykes dkk., 2005). Sementara itu, visual analytics merupakan proses analisis data
melalui representasi visual interaktif, yang memadukan kemampuan analitik komputasi dengan
kemampuan persepsi visual manusia (N. Andrienko dkk., 2020).
Melalui pemanfaatan visualisasi yang tepat, pola-pola kompleks dalam data geospasial dapat
direpresentasikan secara intuitif dan mudah dipahami. Misalnya, visualisasi interaktif dapat

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 46
digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara data kualitas udara, kepadatan lalu lintas, dan
aktivitas industri di suatu wilayah untuk menentukan faktor penyebab peningkatan suhu, yang
mungkin sulit dilakukan dengan metode analisis tradisional (Seebacher dkk., 2019). Fungsi utama
dari geovisualisasi adalah integrasi antara kemampuan komputasi mesin dan kemampuan rasional
manusia dalam proses analisis. Teknik visual analytics menggabungkan kekuatan komputasi dalam
mengelola dan memproses data geospasial yang kompleks dengan kemampuan manusia dalam
menginterpretasi visualisasi secara intuitif dan mengambil keputusan (Keim dkk., 2008).
b. Geovisualisasi dan Pengambilan Keputusan Berbasis Data
Geovisualisasi memainkan peran krusial dalam memandu pengambilan keputusan berbasis data
dengan menghadirkan data kompleks dalam bentuk visual yang mudah dipahami. Ini memungkinkan
pengambil keputusan untuk mengeksplorasi dan memahami data tanpa perlu keahlian khusus
dalam pemodelan data seperti GIS atau komputasi analisis. Hal ini memungkinkan mereka untuk
mengambil keputusan terinformasi (informed decision) dan berbasis bukti (evidence-based), bukan
hanya mengandalkan asumsi atau intuisi semata (Keim dkk., 2008).
Dalam konteks isu-isu krusial seperti penanggulangan bencana dan perubahan iklim global,
geovisualisasi memainkan peran penting dalam mengidentifikasi area-area prioritas, menganalisis
dampak kebijakan secara spasial, dan memantau kemajuan yang dicapai. Contohnya, visualisasi
interaktif dapat mengeksplorasi hubungan antara emisi karbon, pola transportasi, dan aktivitas
industri di suatu wilayah, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih terarah dan
efektif untuk dekarbonisasi dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu, geovisualisasi mendukung
implementasi kebijakan yang lebih efisien dengan memantau dampak kebijakan secara real-time
dan memungkinkan penyesuaian strategi jika diperlukan. Hal ini sangat penting dalam isu-isu yang
membutuhkan tindakan cepat dan adaptif, seperti dalam penanggulangan bencana atau pandemi (N.
Andrienko dkk., 2020). Geovisualisasi juga memungkinkan keterlibatan berbagai pihak dalam proses
pengambilan keputusan, termasuk pihak yang tidak memiliki latar belakang teknis dalam analisis
geospasial. Hal ini mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan kolaboratif.
c. Geovisualisasi untuk Mendorong Berbagi-pakai Data
Geovisualisasi berperan penting dalam mendorong berbagi-pakai data antar instansi dan
memfasilitasi pengambilan keputusan berbasis data yang lebih komprehensif di Indonesia. Dengan
mengintegrasikan data seperti kualitas udara, pola transportasi, dan aktivitas industri dalam
visualisasi tunggal, para pengambil keputusan dapat memperoleh pemahaman yang holistik tentang
fenomena atau permasalahan yang kompleks. Geovisualisasi juga dapat mengubah paradigma data
silo menjadi kolaborasi lintas sektor, yang menjadi kunci dalam siklus pengambilan keputusan
berbasis data. Inisiatif KSP dapat menjadi landasan yang kuat untuk mewujudkan siklus ini. KSP
bertujuan untuk memastikan berbagi-pakai data dilakukan dengan standar yang konsisten, metadata
yang tepat, dan melalui mekanisme layanan data yang telah disepakati (Putra & Shibasaki, 2011). Visi
Geospatial Knowledge Infrastructure (GKI), yang menggabungkan teknologi cyberinfrastructure dan
linked data, membuka peluang untuk penemuan informasi yang lebih mendalam dari data geospasial
(Stock dkk., 2012).

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 47
Gambar 4.3 .Arsitektur sistem pada Kebijakan Satu Peta
Untuk mengoptimalkan peran geovisualisasi dalam pengambilan keputusan berbasis data di
Indonesia, diperlukan pengembangan teknik geovisualisasi dengan memanfaatkan teknologi
terkini untuk mengolah data tidak terstruktur (berasal dari Big Data) dengan memanfaatkan AI,
pengembangan Geoportal KSP sebagai platform utama untuk geovisualisasi yang berbasis, dan
penyusunan studi kasus di sektor-sektor seperti pertanian, kesehatan, dan manajemen bencana.
Kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah, akademisi, dan industri perlu ditingkatkan untuk
mendukung implementasi geovisualisasi dan pengembangan standar integrasi data. Peningkatan
kapasitas SDM melalui pelatihan di bidang geovisualisasi, visual analytics, dan pengambilan keputusan
berbasis data juga krusial. Dengan upaya yang berkelanjutan dan kolaboratif, geovisualisasi dapat
menjadi enabler yang kuat bagi terwujudnya pengambilan keputusan berbasis data dalam penyusunan
kebijakan di Indonesia, termasuk dalam isu-isu strategis seperti perubahan iklim dan pencapaian
target-target SDGs.
4.3.2 Keamanan Siber (Cyber Security) dalam Bidang Geospasial
Framework keamanan siber yang diusulkan mencakup berbagai aspek mulai dari identifikasi dan
inventarisasi aset geospasial, pengembangan infrastruktur keamanan siber, kebijakan dan prosedur
keamanan, hingga pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Implementasi

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 48
teknologi canggih seperti blockchain dan machine learning juga menjadi bagian penting dalam
framework ini.
a. Identifikasi dan Inventarisasi Aset Geospasial untuk mengidentifikasi semua aset geospasial
yang kritis, termasuk peta dasar, peta tematik, database geospasial, dan sistem informasi
geospasial. Setelah itu, data perlu diklasifikasikan berdasarkan karakteristik data, tingkat
sensitivitas dan kritikalitasnya untuk menentukan prioritas pengamanan.
b. Pengembangan Infrastruktur Keamanan Siber mencakup firewall, sistem deteksi dan
pencegahan intrusi (IDS/IPS), serta enkripsi data. Pemanfaatan layanan cloud dengan
keamanan tingkat tinggi juga perlu dipertimbangkan, dengan memastikan penyedia layanan
cloud mematuhi standar keamanan internasional.
c. Kebijakan dan Prosedur Keamanan Data yang komprehensif mencakup protokol penanganan
insiden, kebijakan enkripsi, pengelolaan akses, prosedur respon insiden siber, rencana
pemulihan data dan mitigasi dampak.
d. Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas SDM untuk pegawai pemerintah, pengembang, dan
pemangku kepentingan lainnya tentang praktik terbaik keamanan siber harus diselenggarakan
secara reguler. Sertifikasi keamanan bagi profesional yang terlibat dalam manajemen data
geospasial juga penting untuk memastikan mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang memadai.
e. Implementasi Teknologi Canggih melalui Teknologi Blockchain yang melibatkan teknik
kriptografi dapat digunakan untuk menciptakan catatan transaksi yang transparan dan tidak
dapat diubah, yang dapat meningkatkan kepercayaan dan mengurangi risiko kecurangan.
Integrasi AI dan machine learning juga dapat membantu mendeteksi dan merespons ancaman
siber secara real-time dengan analisis pola dan anomali.
f. Pemantauan dan Evaluasi Berkala Audit Keamanan secara rutin perlu dilakukan untuk
mengevaluasi efektivitas kebijakan dan praktik keamanan siber yang ada. Penilaian risiko
secara berkala juga penting untuk memahami dan mengelola potensi ancaman terhadap data
geospasial.
g. Kolaborasi dan Kemitraan melalui penyelenggaraan konferensi dengan lembaga pemerintah,
sektor swasta, akademisi, dan organisasi internasional sangat penting untuk berbagi
informasi, sumber daya, dan praktik terbaik dalam keamanan siber.
h. Pengembangan Kebijakan dan Regulasi mencakup perlindungan data geospasial dari
penyalahgunaan, pencurian, dan akses tidak sah.
i. Peningkatan Teknologi dan Infrastruktur Teknologi Informasi untuk mendukung keamanan dan
efisiensi pengelolaan data geospasial serta melakukan Integrasi sistem informasi geospasial
dengan platform keamanan siber untuk menciptakan ekosistem yang aman dan terintegrasi.
j. Pemantauan dan Evaluasi untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan dan ancaman siber
sangat penting. Evaluasi kinerja kebijakan keamanan siber secara berkala dan adaptasi
strategi berdasarkan temuan terbaru harus dilakukan.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 49
4.3.3 Kecerdasan Buatan dalam Bidang Geospasial
Untuk menjawab tantangan dan kebutuhan dalam pemanfaatan IG melalui Geoportal KSP serta
tantangan pengembangan layanan Geoportal KSP, penerapan teknologi AI dalam Geoportal dapat
menjadi salah satu solusi. Salah satu konsep yang dapat menjadi alternatif dalam pengembangan
tersebut adalah platform GEOMIMO (Geoinformatika Multi Input Multi Output) yang dikembangkan oleh
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). GEOMIMO dapat mengintegrasikan platform berbagi data,
pengembangan inovasi/model AI, dan berbagi informasi hingga sistem pengambilan keputusan da-
lam satu sistem yang terintegrasi.
Gambar 4.5. Skema sistem GEOMIMO
Gambar 4.4. Diagram alir (flow diagram) yang mengilustrasikan framework keamanan siber yang komprehensif untuk
Kebijakan Satu Peta di Indonesia

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 50
Gambar 4.6. Arsitektur pengembangan model/inovasi AI dalam bidang spasial
Pengembangan platform GEOMIMO akan mencakup pengembangan infrastruktur, pengembangan
model inovasi, pengembangan SDM, penguatan kolaborasi, dan regulasi dalam peran AI di bidang
geospasial. Dalam konteks KSP, peran Geomimo dalam mengintegrasikan fungsi AI dalam
pengembangan geoportal sangatlah krusial. Melalui geomimo, perwujudan peta dasar dengan
skala besar bukan tidak mungkin untuk diwujudkan secara real time, begitu pula perwujudan dan
pemutakhiran peta-peta tematik. Dengan penerapan geomimo yang mengintegrasikan platform AI,
proses-proses yang dilakukan dalam kegiatan utama KSP yaitu kompilasi, integrasi, sinkronisasi,
dan berbagi pakai data diharapkan dapat berjalan lebih cepat, efektif dan efisien dengan kedalaman
informasi yang akurat. Kedalaman informasi yang didapatkan melalui GEOMIMO dimungkinkan
karena metode multi sources dalam proses akuisisi data dalam platform GEOMIMO yang memanfaatkan
berbagai jenis infrastruktur akuisisi data dan pengadopsian teknologi maju.
Proses pemutakhiran IGT KSP yang memanfaatkan GEOMIMO diharapkan bisa berjalan lebih cepat
dan akurat untuk memenuhi kebutuhan akan data yang real time. Dari sisi input data, pemanfaatan
platform ini diharapkan dapat mengurangi duplikasi dan tumpang tindih data yang digunakan untuk
penyusunan produk IG. Pengadopsian platform Geomimo dalam Geoportal KSP diharapkan dapat
mengembangkan fungsi dan fitur Geoportal KSP agar layanan yang disediakan tidak hanya terbatas
pada platform berbagi data, namun juga sebagai platform dalam pemrosesan data, analisis data,
serta pengambilan keputusan. Seiring dengan pemanfaatan AI dalam kegiatan KSP, teknologi ini
dimungkinkan untuk dapat melahirkan IGT baru. Pengadopsian platform Geomimo dalam KSP
memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Selain untuk mengaplikasikan teknologi, dibutuhkan
pula tata kelola yang baik diiringi dengan ketersediaan SDM yang dengan kualifikasi yang memadai.
4.4 Peningkatan Ketersediaan dan Kapasitas Sumber Daya
Manusia
Salah satu aspek kunci dalam peningkatan kapasitas SDM adalah kemampuan teknis yang memadai.
Identifikasi kebutuhan teknis ini mencakup beberapa aspek penting, seperti: SDM harus memiliki
pengetahuan dalam memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam pengumpulan,
pengelolaan, analisis dan visualisasi data geospasial, baik data berbasis vektor maupun raster.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 51
Pengetahuan, pemahaman dan keterampilan terkait SIG ini menjadi dasar dalam pembuatan
dan pengelolaan data peta yang digunakan dalam KSP. Selain itu, peningkatan pemahaman akan
regulasi dan kebijakan terkini terkait data geospasial menjadi krusial dalam meningkatkan kualitas
pengembangan SDM, karena dengan pemahaman regulasi dan kebijakan yang baik, SDM diharapkan
dapat memanfaatkan data geospasial secara optimal.
Peningkatan kapasitas SDM Geospasial melibatkan berbagai pihak, termasuk BIG, konsultan swasta,
universitas, lembaga pendidikan, asosiasi profesi, dan lembaga pelatihan kompetensi. BIG berperan
sebagai otoritas yang mengatur kegiatan survei dan pemetaan di Indonesia, sementara konsultan
swasta menyediakan jasa pemetaan dan SIG, lembaga pelatihan kompetensi adalah pihak yang
mengadakan pelatihan terkait pemetaan dan SIG. Universitas dan lembaga pendidikan menghasilkan
lulusan yang kompeten, sedangkan asosiasi profesi seperti Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh
Indonesia (MAPIN) dan Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) memberikan sertifikasi dan pelatihan untuk
memastikan kompetensi tenaga profesional di bidang geospasial.
Dalam bidang keamanan siber, pelatihan dan peningkatan kompetensi harus diselenggarakan
secara reguler dan berkelanjutan, sesuai dengan praktik terbaik dan isu terkini. Program yang
diselenggarakan perlu mencakup kurikulum yang telah mengintegrasikan topik-topik terkait
keamanan siber dan data geospasial. Sertifikasi keamanan bagi profesional yang terlibat dalam
manajemen data geospasial sangat penting untuk memastikan mereka memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai. Sertifikasi ini tidak hanya menegaskan kompetensi dalam keamanan
siber, tetapi juga mengajarkan penerapan prinsip-prinsip keamanan yang tepat dalam konteks data
geospasial, termasuk perlindungan data, enkripsi, dan manajemen risiko. Selain itu, sumber daya
manusia juga harus memiliki pemahaman tentang regulasi yang mengatur keamanan data dan
privasi. Dengan sertifikasi ini, para profesional akan lebih siap menghadapi ancaman siber yang
terus berkembang dan memastikan bahwa data geospasial dikelola dan dilindungi dengan standar
keamanan tertinggi.
Pengembangan SDM di bidang AI memiliki peran strategis dalam mendukung implementasi KSP.
Strategi yang matang dalam pengembangan SDM AI tidak hanya menghasilkan tenaga kerja
yang terampil, tetapi juga memastikan adopsi teknologi AI yang efektif dalam pengelolaan data
geospasial. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip AI ke dalam standar pelatihan dan pendidikan
formal serta non-formal, maka fondasi SDM yang kuat yang mampu memenuhi kebutuhan kompleks
dalam pengembangan infrastruktur informasi geospasial yang terintegrasi dan berkelanjutan
dapat terbangun. Mobilitas SDM di bidang AI juga dapat menjadi salah satu strategi pengembangan
SDM untuk menambah pengetahuan dan pengalaman, mendorong kolaborasi internasional untuk
pertukaran pengetahuan dalam pengembangan AI melalui program pendidikan lanjut ataupun
kunjungan singkat ke institusi AI terkemuka. Untuk mendukung penerapan berbagai strategi
tersebut, perlu adanya organisasi profesi yang secara khusus bergerak di bidang AI untuk menjadi
wadah para ahli dan profesional AI dalam berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik
dalam pengembangan teknologi AI. Organisasi ini dapat memperkuat standardisasi dan etika
dalam praktik AI, menjaga integritas dan kualitas layanan yang disediakan oleh para profesional AI,
mengadvokasi kepentingan bersama terkait pengembangan AI, termasuk kebijakan publik, regulasi,
dan inovasi teknologi yang berkelanjutan.
Dalam sektor pemerintahan, pengembangan karir untuk sumber daya manusia di bidang geospasial
dan informasi geospasial merupakan aspek krusial untuk memastikan keberlanjutan dan kemajuan
dalam pengelolaan data geospasial. SDM yang kompeten dan terus berkembang diperlukan untuk
menghadapi tantangan teknologi dan kebutuhan informasi yang semakin kompleks. Untuk memenuhi
kebutuhan pengembangan karir bagi para profesional geospasial di sektor pemerintah, maka perlu
disediakan lapangan pekerjaan untuk memenuhi demand akan IG, menciptakan jalur karir yang

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 52
jelas dan diimbangi dengan penyediaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Usaha ini dapat
didukung dengan kolaborasi dan pertukaran pengetahuan dengan lembaga pendidikan, penelitian
dan pengembangan melalui dukungan proyek riset dan inovasi teknologi, serta penyediaan akses
terhadap teknologi dan sumber daya terkini.
4.5 Penyediaan Anggaran
Penyediaan anggaran dalam perwujudan data-data IGT baru dan pemutakhiran IGT serta keseluruhan
kegiatan dalam implementasi KSP merupakan salah satu kebutuhan utama. Untuk mencapai outcome
terbaik yang diharapkan dari optimalisasi kegiatan KSP, maka diperlukan strategi dalam penyediaan
anggaran. Beberapa strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Investasi Swasta terutama proyek-proyek geospasial yang dapat menarik investasi dan
menguntungkan;
2. Kemitraan Publik-Swasta (KPBU): Mendorong sektor swasta untuk bersama-sama dengan
pemerintah dalam proyek-proyek pengembangan data IGT;
3. Kerjasama BUMN/BUMD: Menggalang kerjasama dengan BUMN/BUMD untuk mendukung
pembiayaan proyek strategis yang memerlukan data IGT.
4. Optimalisasi Bauran Sumber Pendanaan (Blended Finance): Melibatkan berbagai sumber
pendanaan, baik dari APBN, APBD, hibah, pinjaman luar dan dalam negeri, serta Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN).
5. Pemanfaatan Data Prioritas: Mengidentifikasi data prioritas yang paling kritis untuk
pembangunan dan mengaitkannya dengan pendanaan. Data yang memiliki dampak besar
terhadap pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat menjadi prioritas untuk alokasi
anggaran.
6. Penguatan Kolaborasi dan Koordinasi: Untuk mengoptimalkan penggunaan berbagai sumber
pendanaan, koordinasi antara K/L dengan pemerintah daerah menjadi krusial. Hal ini
mencakup sinkronisasi penggunaan Transfer ke Daerah (Dana Alokasi Khusus dan Dana
Alokasi Umum), dengan belanja K/L serta belanja non-K/L, untuk menghindari duplikasi dan
meningkatkan efisiensi alokasi anggaran. Selain itu, penguatan dalam pemetaan kewenangan
pusat dan daerah, sinkronisasi Rincian output (RO) K/L dengan output yang akan didanai dari
DAK dan belanja non-K/L, serta perbaikan Standar Operasional Prosedur (SOP) menjadi kunci
dalam menjaga kualitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
7. Peningkatan Kualitas Belanja
• Belanja Produktif: Pengalokasian anggaran pada belanja yang produktif dan sesuai
prioritas pembangunan.
• Review Baseline: Pelaksanaan review dan perbaikan SOP untuk meningkatkan kualitas
belanja.
• Sinkronisasi Dokumen Anggaran: Sinkronkan pihak-pihak yang terlibat dalam review
anggaran untuk memastikan belanja sesuai tujuan.
8. Pemantauan dan Evaluasi: dilakukan mencakup kesiapan program dan kegiatan di tahun
mendatang serta kebutuhan anggaran pelaksanaannya. Mekanisme pemantauan dan evaluasi
terutama terhadap APBN dapat dilakukan melalui budget tagging dan budget tracking. Selain itu,
diperlukan penyusunan critical path untuk memastikan pencapaian target dapat tepat waktu.
Dalam penyediaan anggaran diperlukan budget tagging dalam setiap kegiatan yang mengimplikasikan
data geospasial pada tahap perencanaan untuk memastikan alokasi dana yang tepat serta melakukan
pemantauan pengeluaran anggaran selama pelaksanaan kegiatan data geospasial. Implementasi
strategi-strategi ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber
daya dalam mendukung pelaksanaan KSP sesuai dengan tujuan nasional yang telah ditetapkan.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 53

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 54

BAB 5.
PEMANFAATAN KSP DALAM
MENDUKUNG UPAYA
PENCEGAHAN KORUPSI

5.1 Pemanfaatan KSP dalam Penyelamatan Sumber Daya
Alam (Monitoring Pembangunan Nasional)
Dalam kebijakan alokasi dan pemanfaatan lahan, pemerintah memperkenankan masyarakat untuk
memperoleh alokasi manfaat dan kegunaan lahan melalui skema perizinan. Akan tetapi, dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut seringkali terjadi penyimpangan. Korupsi sektor perizinan berbasis
lahan, yang meliputi pertambangan, pertanian, perkebunan dan kehutanan masih menjadi peluang
bagi beberapa kepala daerah.
Praktik korupsi marak di pengelolaan sumber daya alam berdampak pada hilangnya potensi
penerimaan negara maupun kekayaan negara. Ketidakpastian tata ruang, kawasan hutan, izin dan
hak atas tanah menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi. Akibatnya banyak terjadi tumpang
tindih pemanfaatan lahan yang berdampak pada ketidakpastian berusaha dan menimbulkan konflik.
Kasus Vonis
Gratifikasi Alih Fungsi Kawasan Hutan Vonis 4 tahun penjara, denda Rp. 100 juta subsidair 3
bulan kurungan
Suap Terkait Penerbitan Izin Usaha Perkebunan
dan HGU
Vonis 7 tahun 6 bulan, denda Rp. 300 juta subsidair 6
bulan kurungan
Penyalahgunaan Wewenang Dalam Rekomendasii
Izin Perkebunan Sawit dan Pemanfaatan Kayu
Vonis pidana 4 tahun, denda Rp. 250 juta subsidair 2
bulan kurungan
Suap Penerbitan IUPK Vonis 5 tahun penjara, denda Rp.200 juta subsidair 3
bulan kurungan
Penyalahgunaan Wewenang dalam Penerbitan
IUPHHK-HT
Vonis 11 Tahun penjara, denda Rp. 500 juta subsidair 6
bulan kurungan dan uang pengganti Rp. 12,37 M subsidair
4 tahun penjara
Alih Fungsi Hutan Lindung Menjadi Pelabuhan
Tanjung Api-Api
Vonis 3 Tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta
subsidair 4 bulan
Gratifikasi Izin Pertambangan Vonis 12 tahun penjara
Suap Izin Rekomendasi Tukar-Menukar Kawasan
Hutan
Vonis 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 300 juta
Suap Perizinan Kehutanan Vonis 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair enam
bulan kurungan
Suap Terkait Perizinan Kebun Sawit Vonis empat tahun penjara, pidana denda Rp 200 juta
subsidair 3 bulan
Pengalihan Lahan Hutan Untuk Perkebunan Vonis 9 tahun penjara, denda Rp. 500 juta subsidair 6
bulan kurungan:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
57
Tabel 5.1.Contoh Kasus Korupsi Terkait Perizinan Berbasis Lahan
Tumpang Tindih Ruang, Kawasan Hutan, Batas Wilayah, Izin Dan Hak Atas Tanah
Masalah tumpang tindih lahan sudah lama menjadi perhatian banyak pihak. Kajian KPK pada tahun
2010 menemukan adanya tumpang tindih perizinan usaha pertambangan (IUP) di kawasan hutan,
dengan potensi kerugian mencapai 15,9 triliun rupiah di Kalimantan. Kajian lebih lanjut pada tahun
2014 menunjukkan bahwa dari data di 12 provinsi, terdapat 1,3 juta hektar IUP di Hutan Konservasi
dan 4,9 juta hektar di hutan lindung, dengan total 25,9 juta hektar di dalam kawasan hutan.
Pada tahun 2023, luas lahan perkebunan sawit di seluruh Indonesia mencapai 16,83 juta hektar.
Lima provinsi dengan lahan sawit terbesar adalah Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan, dengan sekitar 3,3 juta hektar kebun sawit berada di
kawasan hutan. Dalam kajian tata kelola perizinan perkebunan sawit tahun 2016, KPK menemukan

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 58
bahwa tidak ada mekanisme verifikasi lahan oleh pemberi izin dan tidak ada instrumen verifikasi
antar lintas perizinan serta tata guna lahan karena tidak ada satu peta yang sama sebagai acuan.
Akibatnya, terjadi tumpang tindih antara Hak Guna Usaha (HGU) dengan IUP seluas 3,01 juta hektar;
HGU dengan IUPHHK-HTI seluas 534 ribu hektar; HGU dengan IUPHHK-HA seluas 349 ribu hektar;
dan HGU dengan Kubah Gambut seluas 801 ribu hektar.
Permasalahan tumpang tindih perizinan juga mempengaruhi investasi dan kepastian berusaha.
Contohnya adalah kasus gugatan perusahaan tambang di arbitrase internasional pada tahun 2015
dengan tuntutan ganti rugi sebesar 469 juta dolar AS atau setara 6,68 triliun rupiah. Kasus ini bermula
dari akuisisi 70 persen saham perusahaan tambang Indonesia oleh anak perusahaan tambang
India, yang kemudian menemukan bahwa wilayah IUP yang dimilikinya tumpang tindih dengan tujuh
perusahaan tambang lainnya. Kasus ini mencakup wilayah dari tiga kabupaten di provinsi yang
sama dan lintas provinsi dengan Kalimantan Selatan. Berdasarkan informasi yang diketahui pada
April 2011, perusahaan tambang Indonesia mengajukan gugatan arbitrase internasional atas nama
perusahaan tambang India ke Mahkamah Arbitrase Internasional mengacu pada Perjanjian Bilateral
Investment Treaty antara Indonesia dan India tahun 1999. Mahkamah Arbitrase Internasional di Den
Haag memenangkan Indonesia, dan perusahaan tambang India dihukum untuk mengembalikan
biaya yang dikeluarkan Indonesia sebesar 2,975,017 dolar AS dan 361,247.23 poundsterling.
Oleh karena itu, Indonesia perlu lebih serius dalam menata mekanisme penerbitan izin usaha
pertambangan serta menyelesaikan semua masalah batas wilayah lahan di seluruh Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih pemanfaatan ruang
adalah melalui KSP. Kebijakan ini didorong karena berbagai pemangku kepentingan menggunakan
peta dengan format berbeda, yang menimbulkan konflik, sengketa tanah, dan pembangunan yang
tidak sesuai dengan tata ruang.
Untuk mewujudkan pencegahan korupsi yang lebih optimal dan kolaboratif, diperlukan strategi
nasional yang terfokus, terukur, dan berorientasi pada hasil serta dampak. Pada 20 Juli 2018,
pemerintah menerbitkan Perpres 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas
PK), yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi sebagai acuan bagi kementerian, lembaga,
pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan
korupsi di Indonesia. Setiap dua tahun, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) disusun dan dilaksanakan
oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Sejak 2019, Stranas PK mendorong percepatan implementasi KSP melalui pengukuhan kawasan
hutan, penyelarasan tata ruang, dan penyelesaian batas administrasi di seluruh Indonesia. Ini
termasuk mempermudah proses perizinan dengan mengintegrasikan Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) dengan Online Single Submission (OSS), memperbaiki tata kelola dan memperkuat
pengawasan perizinan berbasis spasial, serta menyelesaikan tumpang tindih sawit dan tambang
dalam kawasan hutan.
5.2 Studi Kasus Penyelesaian Tumpang Tindih
Perizinan Perkebunan Sawit di Provinsi Papua,
Riau dan Kalimantan Tengah
Provinsi Papua, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Riau, Provinsi Sulawesi Barat, dan Provinsi
Kalimantan Timur, menjadi percontohan dalam implementasi KSP sebagai bagian dari Stranas PK
untuk tahun 2019-2021. Fokus utama adalah kompilasi dan integrasi peta perizinan perkebunan
sawit di delapan kabupaten/kota. Proses penelaahan menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam
bidang legal dan spasial. Tahap ini melibatkan pembahasan intensif di lingkungan Pemerintah

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 59
Provinsi Papua terkait perizinan perkebunan kelapa sawit. Pembahasan tersebut menghasilkan
tindak lanjut yang perlu diambil oleh pemerintah provinsi dan Stranas PK di tingkat pusat, termasuk
verifikasi kepada pemegang izin sebelum rekomendasi dilaksanakan. Rekomendasi yang dihasilkan
mencakup tindakan administratif seperti pencabutan izin, penyesuaian luas lahan, perbaikan tata
kelola, dan pembinaan terhadap pemegang izin. Saat laporan ini dibuat, Pemerintah Provinsi Papua
sedang dalam proses implementasi rekomendasi dan melakukan tindak lanjut berupa pemanggilan
perusahaan atau pemegang izin perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua.
Provinsi Riau bersama dengan 10 kabupaten/kota, menjadi percontohan dalam implementasi KSP
oleh Stranas PK, terutama terkait integrasi peta perizinan perkebunan sawit yang meliputi Izin
Lokasi (ILOK), IUP, dan HGU. Pada periode 2019-2021, proses kompilasi data ILOK dan IUP menghadapi
kendala karena minimnya data SK, lampiran peta, dan peta digital.
Beberapa temuan pada periode 2022-2023 di Provinsi Riau antara lain: (1) Penerbitan IUP oleh
Pemerintah Kabupaten dan Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) oleh Kementerian
Pertanian tidak dilengkapi dengan lampiran Peta; (2) Lampiran Peta ILOK dan IUP yang tersedia
tidak jelas dan tidak dapat di digitasi; (3) Pengarsipan dokumen ILOK dan IUP tidak dilaksanakan
dengan baik dan tersistem; (4) Adanya izin perusahaan yang berada lintas kabupaten; (5) Perubahan
atau pembaruan izin tidak lengkap ataupun tidak sesuai kondisi di lapangan; (6) Terdapat perusahaan
sawit yang beroperasi tidak sesuai izin di bidang perkebunan; (7) Terdapat ILOK dan IUP namun di
lapangan perusahaan sudah tidak beroperasi/tidak ada.
Untuk mempercepat proses kompilasi dan peninjauan perizinan perkebunan sawit di Riau, Tim
Stranas PK berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk membantu pemerintah daerah provinsi
dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Model kolaborasi dengan mitra lokal menjadi sangat efektif
dalam proses kompilasi dan telaah perizinan perkebunan sawit di Provinsi Riau. Luasnya lahan
perkebunan sawit dan kompleksnya permasalahan memerlukan kerjasama dari berbagai pihak.
Dengan kerja kolaborasi, masyarakat sipil dianggap sebagai mitra oleh pemerintah daerah untuk
menyelesaikan permasalahan perizinan perkebunan sawit. Hingga awal 2024, progres kompilasi
dan integrasi peta perizinan sawit di Provinsi Riau sudah di atas 95%.
Implementasi KSP di kalimantan Tengah difokuskan untuk menata perizinan perkebunan melalui
proses kompilasi dan integrasi peta. Dalam proses kompilasi peta tidak sekedar dikumpulkan,
namun juga diverifikasi kesesuaiannya dengan dokumen pendukung (legal). Peta perizinan yang
sudah diverifikasi selanjutnya disesuaikan dengan kaidah dan standar pemetaan, proses yang
kemudian disebut sebagai integrasi. Sampai dengan 2019, Kalimantan Tengah menjadi satu-satunya
provinsi yang memiliki peta perizinan sawit dengan status terintegrasi.
Dalam tahapan implementasi KSP, peta yang telah terintegrasi kemudian ditindaklanjuti dengan
sinkronisasi, yaitu proses penyelesaian tumpang tindih Peta Perizinan, Hak Atas Tanah, Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW), Peta Kawasan Hutan, dan Batas Administrasi. Tahapan sinkronisasi
peta perizinan sawit ditindak lanjuti pada 2020 melalui aksi pencegahan korupsi dalam Stranas
PK. Sinkronisasi ini menghasilkan rekomendasi penyelesaian yang menjadi mandat pelaksanaan
aksi pencegahan korupsi mulai dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi dan kementerian terkait
meliputi Kementerian LHK, Kementerian ESDM, dan Kementerian ATR/BPN.
5.3 Penyelesaian Perizinan Tambang dalam Kawasan Hutan
Data spasial tematik penggunaan lahan memiliki peran yang vital dalam konteks penyelesaian
ketidaksesuaian perizinan, salah satunya sebagai dasar pengenaan sanksi bagi kegiatan usaha
terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan kehutanan. Peta penggunaan lahan

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 60
Gambar 5.1. Kegiatan Usaha Tambang dalam Kawasan Hutan yang Memiliki Perizinan Pertambangan tapi Tidak Memiliki
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan
tambang misalnya, dengan adanya peta ini dapat diperoleh informasi di mana dan berapa luas
kegiatan pertambangan. Berdasarkan informasi tersebut, analisis lanjutan dapat dilakukan dengan
melakukan overlay peta tematik lainnya seperti wilayah izin usaha pertambangan, kawasan hutan,
dan penggunaan kawasan hutan, sehingga dapat diperoleh tipologi pelanggaran kegiatan usaha
tambang dalam kawasan hutan seperti:
1. Kegiatan usaha tambang memiliki perizinan pertambangan tapi tidak memiliki persetujuan
penggunaan kawasan hutan;
2. Kegiatan usaha tambang tidak memiliki perizinan pertambangan dan tidak memiliki
persetujuan penggunaan kawasan hutan.
Dalam rangka percepatan penyelesaian ketidaksesuaian kegiatan tambang dalam kawasan hutan,
Stranas PK telah memetakan penggunaan lahan pertambangan dengan resolusi 5 meter. Hal ini
dilakukan karena hingga saat ini data tersebut belum tersedia secara spesifik. Kementerian LHK
sebagai walidata penutupan tutupan lahan nasional, memetakan 23 kelas penutupan lahan (termasuk
penutupan lahan pertambangan), namun memiliki resolusi yang masih rendah (30 meter). Sementara
itu, Kementerian ESDM tidak memiliki peta penggunaan lahan pertambangan yang penting untuk
memantau kinerja pertambangan dan memastikan kesesuaian kegiatan tambang dengan wilayah
izin usaha pertambangan.
Data ini telah diverifikasi dan disandingkan dengan peta penutupan lahan pertambangan
Kementerian LHK oleh tim Stranas PK dan Kementerian LHK. Berdasarkan hasil penyandingan
tersebut, data Stranas PK kemudian disepakati sebagai acuan untuk mengidentifikasi kegiatan usaha
pertambangan di kawasan hutan. Ketersediaan data secara time series ini dapat dimanfaatkan untuk
mengukur PNBP dari pengenaan sanksi administratif dalam penyelesaian ketidaksesuaian tambang
dalam kawasan hutan. Selain itu, dengan adanya data ini, memonitoring kinerja pertambangan dan
kepatuhan perizinan dapat dilakukan secara lebih efektif. Dalam kerangka implementasi KSP, perlu
adanya walidata yang spesifik untuk memetakan penggunaan lahan pertambangan.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 61
5.4 Penyelesaian Hak Guna Usaha dalam Kawasan Hutan
Pada Juli 2022 ditetapkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 133 Tahun
2022 (Kepmenko Ekon 133/2022) tentang Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik
Hak Guna Usaha dan Tutupan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan. Data PITTI Hak Guna Usaha
dan Tutupan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan (cakupan Nasional) disusun secara nasional
berdasarkan 3 (tiga) IGT yakni IGT Kawasan Hutan, IGT Hak Guna Usaha dan IGT Tutupan Kelapa
Sawit Indonesia.
Kemudian pada Tahun 2022, dalam rangka penataan kegiatan perizinan dalam Kawasan hutan
sebagaimana arahan Presiden dalam Rapat Terbatas tanggal 4 Juni 2021, Sekretariat KSP telah
menetapkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 133 Tahun 2022
(Kepmenko Ekon 133/2022) tentang Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik Hak
Guna Usaha dan Tutupan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan untuk cakupan Nasional. Berdasarkan
Kepmenko Ekon 133/2022, terdapat ±201 ribu hektar HGU dalam Kawasan Hutan dengan tutupan non
sawit. Kondisi ini terindikasi bahwa HGU sedang tidak diusahakan atau diusahakan namun dengan
komoditas selain komoditas kelapa sawit. Identifikasi permasalahan perkebunan Kelapa Sawit
dalam Kawasan Hutan yang lebih komprehensif memerlukan data kelengkapan IGT Izin Lokasi dan
IGT Izin Usaha Perkebunan secara nasional. Informasi tersebut sangat berperan penting dalam
proses penyusunan renaksi penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan (Ketidaksesuaian).
Penyelesaian Hak Guna Usaha (HGU) dalam Kawasan Hutan juga didorong dalam aksi percepatan
implementasi KSP. Data HGU yang telah terintegrasi digunakan sebagai dasar analisis ketidaksesuaian
HGU dan kawasan hutan. Stranas PK telah melakukan analisis spasial HGU dan Kawasan Hutan untuk
Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau. Hasil analisis ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian
ATR-BPN untuk dilengkapi kronologi risalah proses penerbitan HGU. Dari hasil analisis ini kemudian
akan disampaikan dan diverifikasi secara bersama antara Kementerian ATR-BPN dan Kementerian
LHK untuk menentukan langkah penyelesaian. Langkah penyelesaian ini juga berkolaborasi dengan
Satgas Sawit yang dikoordinasikan oleh Kemenko Maritim dan Investasi.
Sebagai komitmen Pemerintah dalam memperkuat kelembagaan penyelesaian kasus ketidaksesuaian
pemanfaatan ruang untuk mewujudkan good governance dan akselerasi kebijakan penyelesaian
konflik, serta melaksanakan amanat Ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) PP 43/2021, telah
ditetapkan Perpres 127/2022 tentang Kelembagaan dan Tata Kelola Penyelesaian Ketidaksesuaian
Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah dan/atau Hak Pengelolaan pada tanggal
31 Oktober 2022. Ketentuan pada pasal tersebut mengatur bahwa penyelesaian ketidaksesuaian tata
ruang, kawasan hutan, izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan dilakukan oleh tim
koordinasi yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta terkait kelembagaan
Tim Koordinasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Tim Koordinasi dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh Sekretariat dan Tim Pelaksana, yang tugas dan keanggotaanya ditetapkan
oleh Ketua Tim Koordinasi.

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 62

BAB 6.
REKOMENDASI
KEBERLANJUTAN KEBIJAKAN
SATU PETA

I
nformasi Geospasial merupakan data/informasi yang meningkatkan nilai akurasi dan presisi
yang merujuk pada lokasi. Keberadaan Informasi Geospasial mempunyai arti penting dalam
pengambilan kebijakan baik pada tingkat perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi.
Pembelajaran yang diperoleh dari pelaksanaan tahapan kegiatan KSP, memberikan indikasi ketika
kebijakan yang diputuskan tidak akurat, akan menimbulkan biaya tinggi untuk melaksanakan ataupun
memperbaiki kebijakan tersebut. Contoh berbagai persoalan tumpang tindih pemanfaatan ruang
telah memberikan dampak pada hilangnya hak-hak masyarakat, ketidakpastian berinvestasi yang
menghambat pertumbuhan ekonomi, hingga penurunan kualitas lingkungan hidup. Seiring dengan
perkembangan teknologi, saat ini Informasi Geospasial sudah menjadi komoditas masyarakat luas
baik di Indonesia hingga global dunia. Hal ini menjadi penting untuk memperhatikan keberadaan KSP
sebagai kebijakan yang berupaya untuk menjaga kualitas dan meningkatkan nilai manfaat Informasi
Geospasial. Adapun beberapa rekomendasi kebijakan pelaksanaan KSP serta penyelenggaraan dan
pemanfaatan Informasi Geospasial ke depan antara lain:
1. Rekomendasi Kebijakan
a. Memperkuat dasar hukum penyelenggaraan KSP melalui pengamanatan dalam UU Geospasial
dan turunannya;
b. Mengintegrasikan muatan KSP dalam penyusunan RPJP 2025 - 2045; serta
c. Menyusun Grand Design KSP termasuk didalamnya terkait pengintegrasian dengan Satu Data
Indonesia.
2. Rekomendasi Perwujudan dan Pemutakhiran Peta
a. Mewujudkan peta dasar skala besar di seluruh Indonesia;
b. Menambahkan peta tematik baru dengan melibatkan masyarakat;
c. Memperluas pemanfaatan Kebijakan Satu Peta kepada publik
d. Menyiapkan standar dan mekanisme tata kelola IGT dalam KSP dan mendorong setiap
produsen IG mengikuti standar tersebut; serta
e. Menambah Satuan Tugas pemanfaatan peta tematik dalam KSP.
3. Rekomendasi Penyelesaian Tumpang Tindih
a. Memperkuat Tim Koordinasi Penyelesaian Ketidaksesuaian di tingkat pusat dan membentuk
tim koordinasi di tingkat daerah
b. Memperkuat kolaborasi antara stakeholder dan masyarakat dengan mengedepankan
legitimasi hukum, penghormatan hak masyarakat, penjaminan kepastian berinvestasi dan
pembangunan berkelanjutan; serta
c. Mendorong terobosan/inovasi dalam penyelesaian ketidaksesuaian pemanfaatan ruang
termasuk perubahan terhadap informasi geospasial serta produk hukumnya.
4. Rekomendasi Pengembangan Teknologi
a. Menyiapkan infrastruktur teknologi yang mencakup: (1) Investasi dalam Standarisasi Data; (2)
Pengembangan Infrastruktur Teknologi: dan (3) Kolaborasi Antar Instansi:
b. Meningkatkan pemanfaatan Data Geospasial, Geovisualisasi dan Visual Analytics melalui
penerapan teknologi AI dalam Geoportal KSP.:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
65

c. Mewujudkan Keamanan Siber (Cyber Security) dalam Bidang Geospasial, mencakup identifikasi
dan inventarisasi aset geospasial, pengembangan infrastruktur keamanan siber, kebijakan
dan prosedur keamanan, hingga pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
5. Rekomendasi Sumber Daya Manusia (SDM)
a. Meningkatkan ketersediaan dan kapasitas SDM melalui pendidikan formal dan non-formal;
serta
b. Menyediakan jalur pengembangan karir bidang geospasia di seluruh sektor terutama sektor
pemerintah
6. Rekomendasi Ketersediaan Anggaran
a. Meningkatkan investasi swasta, kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dan kerjasama
BUMN dengan BUMD,
b. Optimalisasi bauran sumber pendanaan APBN/APBD dan pengoptimalan sumber pendanaan
Transfer Keuangan Daerah (DAK dan DAU).
c. Meningkatkan investasi bidang Geospasial sebagai alternatif sumber pendanaan dan upaya
peningkatan nilai tambah produk KSP (monetisasi).:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
66

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 67

:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG 68

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, H.Z. 2020. Peningkatan Kompetensi SDM Geospasial Indonesia: Peluang dan Tantangan.
Webinar Pemanfaatan Teknologi Informasi Geospasial dalam Perencanaan Wilayah, Desember
2020.
Andrienko, G., Andrienko, N., Anzer, G., Bauer, P., Budziak, G., Fuchs, G., Hecker, D., Weber,
H., & Wrobel, S. 2021. Constructing Spaces and Times for Tactical Analysis in Football. IEEE
Transactions on Visualization and Computer Graphics, 27(4), 2280–2297. https://doi.org/10.1109/
TVCG.2019.2952129
Andrienko, G., Andrienko, N., Jankowski, P., Keim, D., Kraak, M.-J., MacEachren, A., & Wrobel,
S. 2007. Geovisual analytics for spatial decision support: Setting the research agenda.
International journal of geographical information science, 21(8), 839–857.
Andrienko, N., & Andrienko, G. 2006. Exploratory analysis of spatial and temporal data: A
systematic approach. Springer Science & Business Media.
Andrienko, N., Andrienko, G., Fuchs, G., Slingsby, A., Turkay, C., & Wrobel, S. 2020. Visual Analytics
for Data Scientists. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-56146-8
Badan Registrasi Wilayah Adat. 2024. Infografis Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia.
18 Maret 2024.
Bertin, J. (1981). Graphics and Graphic Information Processing. De Gruyter. https://doi.
org/10.1515/9783110854688
BIG, 2023. Laporan Kinerja 2023, Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik, BIG, Cibinong
Campagna, M., & Craglia, M. 201). The Socioeconomic Impact of the Spatial Data Infrastructure of
Lombardy. Environment and Planning B: Planning and Design, 39(6), 1069–1083. https://doi.
org/10.1068/b38006
Chadzynski, A., Li, S., Grišiūtė, A., Chua, J., Hofmeister, M., Yan, J., Tai, H. Y., Lloyd, E., Tsai, Y.
K., & Agarwal, M. 2023. Semantic 3D city interfaces—Intelligent interactions on dynamic geospatial
knowledge graphs. Data-Centric Engineering, 4, e20.
Cochrane dan Jon. 2018. “Participatory Mapping”. Dalam: Handbook of Communication for
Development and Social Change. Springer. DOI:10.1007/978-981-10-7035-8_6-1.
Craglia, M., & Campagna, M. (2010, Agustus 31). Advanced Regional SDIs in Europe: Comparative
Cost-Benefit Evaluation and Impact Assessment Perspectives. JRC Publications Repository. https://
doi.org/10.2902/1725-0463.2010.05.art6
D, Ridhwan, C, Astri, A.A, Taufik, D, Affandi, Fajar, and J, Lawalata. 2020. “Meningkatkan Taraf
Hidup Masyarakat Adat melalui Pemetaan: Studi Kasus dari Gajah Bertalut, Riau.” Catatan
Praktik. Jakarta, Indonesia: WRI Indonesia. Tersedia Online di: www.wri-indonesia.org/id/
publication/Meningkatkan-Taraf-Hidup-Masyarakat-Adat-Melalui-Pemetaan.
Danang, Surya C., et al. “Cloud and cloud shadow removal of landsat 8 images using Multitemporal
Cloud Removal method.” 2017 6th International Conference on Agro-Geoinformatics, Fairfax, VA,
USA. 2017. pp. 1-5, doi: 10.1109/Agro-Geoinformatics.2017.8047007.. :KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
71

Dangermond, J., & Goodchild, M. F. 2020. Building geospatial infrastructure. Geo-Spatial Information
Science, 23(1), 1–9. https://doi.org/10.1080/10095020.2019.1698274
DiBiase, D., Reeves, C., Krygier, J., MacEachren, A. M., von Weiss, M., Sloan, J., & Detweiller,
M. 1994. Multivariate display of geographic data: Applications in earth system science. Visualization in
modern cartography, 287, 312.
Dykes, J., MacEachren, A. M., & Kraak, M. J. 2005. Exploring Geovisualization. Elsevier.
Faster capital. 2024. Cognitive Maps and The Development of Spatial Skills, https://fastercapital.
com/topics/cognitive-maps-and-the-development-of-spatial-skills.html, diunduh pada
tanggal 11 Juni 2024.
Harkin, B., Yates, A., Wright, L., and Nerantzi, C., 2022, “The Impact of Physical, Mental, Social and
Emotional Dimensions of Digital Learning Spaces on Student’s Depth of Learning: The Quantification of
an Extended Lefebvrian Model”, International Journal of Management and Applied Research, Vol.
9, No. 1, pp. 50-73.
Hidayat, R., Adhi, W., & Bachriadi D (ed). 2005. Seri Panduan Pemetaan Partisipatif. Bandung:
Garis Pergerakan.
IFAD (International Fund for Agricultural Development). 2009. “Good Practices in Participatory
Mapping”. https://www.ifad.org/documents/38714170/39144386/PM_web.pdf/7c1eda69-8205-
4c31-8912-3c25d6f90055.
Indrajit, A., van Loenen, B., Suprajaka, Jaya, V. E., Ploeger, H., Lemmen, C., & van Oosterom, P.
(2021). Implementation of the spatial plan information package for improving ease of doing business in
Indonesian cities. Land Use Policy, 105, 105338. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2021.105338
Indramayu, I. 2021. Legal Standing Gugatan IMFA Kepada Indonesia Melalui PCA Atas Kerugian
Investasi Akibat Tumpang Tindih Perizinan. PALAR (Pakuan Law review), 7(1), 13–29.
Ishikawa, T., Newcombe, N.S. 2021. Why spatial is special in education, learning, and everyday
activities. Cognitive Research 6, 20 (2021). https://doi.org/10.1186/s41235-021-00274-5
Janssen, M., & van den Hoven, J. 2015. Big and Open Linked Data (BOLD) in government: A challenge
to transparency and privacy? Dalam Government Information Quarterly (Vol. 32, Nomor 4, hlm. 363–
368). Elsevier.
JKPP, HuMa, BRWA, AMAN. 2023. Policy Brief: Mengembalikan “Roh” Kebijakan Satu Peta
sebagai Alat Penyelesaian Konflik Agraria dan Tumpang Tindih Penguasaan Ruang.
Kadek, I., Gandika Supartha, D., Gede, D., Pandawana, A.R. Rancang Bangun Sistem Informasi
Persediaan Dan Peminjaman Inventori Di Stmik Stikom Indonesia.
Karsidi. 2016. “Kebijakan Satu Peta: Roh Pembangunan dan Pemanfaatan Informasi
Geospasial di Indonesia”. Cibinong: Badan Informasi Geospasial. https://www.slideshare.net/
Petakampung/buku-kebijakan-satu-peta-one-map-policy-edisi-kedua-2016.
Keim, D. (Ed.). 2010. Mastering the information age: Solving problems with visual analytics.
Eurographics Association.:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
72

Keim, D., Andrienko, G., Fekete, J.-D., Görg, C., Kohlhammer, J., & Melançon, G. 2008. Visual
analytics: Definition, process, and challenges. Dalam Information visualization (hlm. 154–175).
Springer.
Kemenko Perekonomian. 2024. Term of Reference: Pre-Event One Map Policy Summit 2024 Focus
Group Discussion White Paper.
Kementerian PPN/Bappenas. 2023. Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2025-2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian PPN/Bappenas. 2023. Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2024-2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian PPN/Bappenas. 2024. Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025.
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Khomarudin. Tsunami Risk and Vulnerability: Remote sensing and GIS approaches for surface roughness
determination, settlement mapping and population distribution Modelling- München, Univ., Diss., 2010
Knill, C., & Tosun, J. 2012. Public Policy: A New Introduction. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Kustiyo, K., et al. Annual Forest Monitoring as part of Indonesia's National Carbon Accounting
System, Int. Arch. Photogramm. Remote Sens. Spatial Inf. Sci., XL-7/W3, 441–448, https://doi.
org/10.5194/isprsarchives-XL-7-W3-441-2015, 2015.
Laksono, D., Slingsby, A., & Jianu, R. 2024. Gridded-glyphmaps for supporting Geographic Multicriteria
Decision Analysis. The Eurographics Association. https://doi.org/10.2312/evs.20241062
Laksono, D., Susanta, F., & Dewi, P. C. 2020. Indonesia National Spatial Data Infrastructure: A
Systematic Review (tidak dipublikasikan). Badan Informasi Geospasial, PPIG-BIG.
Li, W., Wang, S., Chen, X., Tian, Y., Gu, Z., Lopez-Carr, A., Schroeder, A., Currier, K., Schildhauer, M.,
& Zhu, R. 2023. Geographvis: A knowledge graph and geovisualization empowered cyberinfrastructure
to support disaster response and humanitarian aid. ISPRS International Journal of Geo-Information,
12(3), 112.
Li, Yuan et.al., 2019. Shared and Distinct Neural Bases of Large- and Small-Scale Spatial Ability: A
Coordinate-Based Activation Likelihood Estimation Meta-Analysis, SYSTEMATIC REVIEW article,
Front. Neurosci., 10 January 2019
Louca, Eleonora Papaleontiou, 2003. The Concept and Instruction of Metacognition, Teacher
Development, Volume 7 Number 1 2003
Malczewski, J., & Rinner, C. 2015. Multicriteria Decision Analysis in Geographic Information Science.
Springer Berlin Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-540-74757-4
Maresch, Guenter & Sorby, Sheryl. 2021. Perspectives on Spatial Thinking. Journal for Geometry
and Graphics. 25. 271-293.
Marinda, Lenny, 2020. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget Dan Problematikanya Pada
Anak Usia Sekolah Dasar, Jurnal Kajian Perempuan & Keislaman, Vol. 13, No. 1, April 2020, :KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
73

Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) LP2M IAIN Jember, Jawa Timur
MCA-Indonesia (Millennium Challenge Account Indonesia). 2016. “Participatory Mapping and Planning
(PMaP-1) Subactivity Final Report”. Jakarta: MCA Indonesia.
Meilinger, Tobias dan Gottfried Vosgerau, 2010. Putting Egocentric and Allocentric into Perspective,
Max-Planck-Institute for Biological Cybernetics, Tübingen, Germany
Meilinger, Tobias dan Marianne Strickrodt, 2024. Spatial Cognition, https://www.kyb.tuebingen.
mpg.de/149138/spatial-cognition
Moeller, J. J., & Reichardt, M. E. 2002. National, International, and Global Activities in Geospatial
Science. In J. D. Bossler, J. R. Jensen, R. B. McMaster, & C. Rizos (Eds.), Manual of Geospatial
Science and Technology (pp. 593-607). London: Taylor & Francis.
Mulyadi, dkk. 2020. “Modul Pemetaan Desa Berbasis Partisipatif: Kuliah Kerja Nyata Universitas
Riau Mendukung Kebijakan Satu Peta Kabupaten Kampar”. Pekanbaru: Unri Press.
Ngaga, E., Bakka, M.Sd., Aristo, A., Sinlae, J., Katolik, U., Mandira, W., Jend, J., Yani, A., 50-52,
N., 85225, K., et al. (2022). Mobile Application Inventory Sarana Dan Prasarana Sekolah Dasar,
9(4), 201.
Nurlambang, Triarko, 2013. Konsep Kelembagaan Dalam Penataan Ruang Kawasan Jakarta
Bogor Depok Tangerang Bekasi Dan Cianjur (Jabodetabekjur), Disertasi Program Doktor FISIP
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
Peraturan Kepala Badan Info Geospasial no.7 tahun 2023 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Informasi Geospasial.
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000, 23, BPK (2021). http://peraturan.
bpk.go.id/Details/164964/perpres-no-23-tahun-2021
Priskila, R. 2018. Perancangan Sistem Informasi Persediaan Barang Pada Perusahaan Karya
Cipta Buana Sentosa Berbasis Web Dengan Metode Extreme Programming. Volume Ke-3.
Provost, F., & Fawcett, T. 2013. Data Science and its Relationship to Big Data and Data-Driven Decision
Making. Big Data, 1(1), 51–59. https://doi.org/10.1089/big.2013.1508
Putra, T. Y. D., & Shibasaki, R. 2011. Lesson Learned from Indonesian Spatial Data Infrastructure.
Qi, Y., Mai, G., Zhu, R., & Zhang, M. 2023. EVKG : An interlinked and interoperable electric vehicle
knowledge graph for smart transportation system. Transactions in GIS, 27(4), 949–974. https://doi.
org/10.1111/tgis.13064
Qisthiano, M.R. 2023. Perancangan Sistem Informasi Inventaris Pada CV. Cemerlang Komputer
Dengan Metode Extreme Programming. Dinamika Informatika, 15(1), 1–10.
Rahmawati, U. D., & Bangsawan, M. I. 2022. Urgensi Kebijakan Satu Peta untuk Menyelesaikan
Tumpang Tindih Penggunaan Lahan. Prosiding Seminar Nasional Program Doktor Ilmu Hukum,
42–59.:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
74

Saab, David J., 2003. Conceptualizing Space Mapping Schemas as Meaningful Representations, Lesley
University, Cambridge, MA, USA
Seebacher, D., Miller, M., Polk, T., Fuchs, J., & Keim, D. A. 2019. Visual Analytics of Volunteered
Geographic Information: Detection and Investigation of Urban Heat Islands. IEEE Computer Graphics
and Applications, 39(5), 83–95. https://doi.org/10.1109/MCG.2019.2926242
Sekretariat Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta. 2022. Laporan Pelaksanaan Percepatan
Kebijakan Satu Peta Tahun 2022. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Slingsby, A., Dykes, J., & Wood, J. 2011. Exploring Uncertainty in Geodemographics with Interactive
Graphics. IEEE Transactions on Visualization and Computer Graphics, 17(12), 2545–2554. https://
doi.org/10.1109/TVCG.2011.197
Slingsby, A., Reeve, R., & Harris, C. (2023). Gridded Glyphmaps for Supporting Spatial COVID-19
Modelling. 2023 IEEE Visualization and Visual Analytics (VIS), 1–5. https://doi.org/10.1109/
VIS54172.2023.00009
Soeprapto, M. F. 2020. Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.
Yogyakarta: Kanisius.
Stock, K., Stojanovic, T., Reitsma, F., Ou, Y., Bishr, M., Ortmann, J., & Robertson, A. 2012. To
ontologise or not to ontologise: An information model for a geospatial knowledge infrastructure.
Computers & Geosciences, 45, 98–108.
Sukamdana, B. 2017. Perancangan Sistem Informasi Inventory Berbasis Web Pada PT. Citra
Gemilang Prima.
Supriyatna, A. 2018. Metode Extreme Programming Pada Pembangunan Web Aplikasi Seleksi Peserta
Pelatihan Kerja. Jurnal Teknik Informatika, 11(1), 1–18. doi:10.15408/Jti.V11i1.6628.
Syafruddin Akbar, I., Haryanti, T. 2021. Pengembangan Entity Relationship Diagram Database
Toko Online Ira Surabaya. Volume Ke-3.
Undang-Undang no. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
UN-GGIM. 2018. Integrated Geospatial Information Framework: A Strategic Guide to Develop and
Strengthen National Geospatial Information Management
Vockner, B., & Mittlböck, M. 2014. Geo-enrichment and semantic enhancement of metadata sets to
augment discovery in geoportals. ISPRS International Journal of Geo-Information, 3(1), 345–367.
Wakabayashi, Yoshiki, 2014. Spatial Analysis of Cognitive Maps, Tokyo Metropolitan University,
Tokyo
Walter, C. 2020. Future trends in geospatial information management: The five to ten year vision. United
Nations Committee of Experts on Global Geospatial Information Management.
Wijanarto, Antonius Bambang. 2021. Paparan Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik
Badan Informasi Geospasial pada Webinar Pemetaan Partisipatif melalui Kuliah Kerja Nyata
Universitas WRI Indonesia. Peluang Metodologi Pemetaan Partisipatif dalam Mendukung :KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
75

Penyelenggaraan Informasi Geospasial di Indonesia. Badan Informasi Geospasial, 2021.
Ye, Peng, Xueying Zhang, Chunju Zhang, and Yulong Dang, 2022. Positioning Localities for Vague
Spatial Location Description: A Supervaluation Semantics Approach, International Journal of Geo-
Information, January 2022, MDPI:KLWH3DSHU2QH0DS3ROLF\6XPPLW2QH0DS3ROLF\6KDSLQJD8QL?HG)XWXUH%H\RQG
76

Dipublikasi Oleh :
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA
KEDEPUTIAN BIDANG KOORDINASI PENGEMBANGAN WILAYAH DAN TATA RUANG
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2- 4, Jakarta Pusat 10710
[email protected]