Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

DadangSolihin 223 views 62 slides May 17, 2025
Slide 1
Slide 1 of 62
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62

About This Presentation

Edisi perdana DSPB Nomor 001/Mei 2025 ini memuat sepuluh policy brief terpilih yang dirancang sebagai analisis kritis dan solusi kebijakan atas isu-isu strategis nasional maupun global. Semua tulisan disusun melalui pendekatan interdisipliner dengan bingkai Ketahanan Nasional dan Kepemimpinan Nasion...


Slide Content

No Judul Hal
1. Kerja Sama Perdagangan Indonesia dengan Amerika dan China guna
Ketahanan Ekonomi
4
2. Konflik India dan Pakistan Tahun 2025 dan Pengaruhnya terhadap
Ketahanan Nasional
10
3. Kedaulatan Angkasa dalam rangka Ketahanan Nasional 16
4. Hilirisasi Sumber Daya Alam dalam rangka Ketahanan Ekonomi 21
5. Danantara sebagai alternatif Pendanaan Pembangunan Nasional 28
6. Energi Nuklir dalam rangka Ketahanan Nasional 34
7. Provinsi Jakarta Pasca Daerah Khusus Ibu Kota Indonesia 39
8. Community Development guna Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka
Ketahanan Nasional
45
9. Angkatan Kerja dalam Pemanfaatan Bonus Demografi guna Memperkuat
Ketahanan Sosial Budaya
50
10. Makanan Bergizi Gratis (MBG) guna Memperkuat Bonus Demografi dalam
rangka Generasi Emas 2045
56




Disclaimer:
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau posisi
resmi dari suatu lembaga atau organisasi tertentu.
DS
PB
Nomor 001/Mei 2025
Dadang Solihin
Policy
Brief

2

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunia-Nya, Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia
(Lemhannas RI) pada hari ini genap berusia 60 tahun. Sebuah usia
yang menandai kedewasaan lembaga dalam mengemban amanat
strategis bangsa: memperkuat ketahanan nasional melalui
pendidikan, pemantapan nilai kebangsaan, dan kajian strategis
kebijakan negara.
Sebagai wujud kontribusi pemikiran strategis dan refleksi atas
tantangan kebangsaan yang kian kompleks, dengan kerendahan
hati penulis mempersembahkan edisi perdana DSPB Nomor
001/Mei 2025. Edisi ini memuat sepuluh policy brief terpilih yang
dirancang sebagai analisis kritis dan solusi kebijakan atas isu-isu strategis nasional maupun
global. Semua tulisan disusun melalui pendekatan interdisipliner dengan bingkai Ketahanan
Nasional dan Kepemimpinan Nasional, serta berpandangan visioner dan forward-looking.
Edisi perdana ini hadir di tengah dinamika global yang bergerak cepat: rivalitas geopolitik,
perubahan iklim, transformasi ekonomi digital, serta transisi energi dan demografi. Dalam
konteks tersebut, ketahanan nasional tidak lagi dapat dipahami secara sektoral dan reaktif,
tetapi harus dibangun secara menyeluruh dan antisipatif, melalui kepemimpinan nasional
yang kuat, strategis, dan kolaboratif.
Kesepuluh policy brief dalam edisi ini mencerminkan cakupan isu yang luas namun saling
terhubung. Isu-isu tersebut mencerminkan perhatian Lemhannas RI terhadap keberlanjutan
pembangunan nasional dalam menghadapi tantangan global yang penuh ketidakpastian.
Tulisan pertama berjudul "Kerja Sama Perdagangan Indonesia dengan Amerika dan China
guna Ketahanan Ekonomi" menyoroti posisi Indonesia di tengah rivalitas dua raksasa dunia.
Melalui pendekatan kepentingan nasional, dibahas bagaimana kerja sama ekonomi dengan
kedua negara tersebut harus dikelola secara cerdas, agar tidak menimbulkan ketergantungan
tetapi justru memperkuat daya tawar dan kemandirian ekonomi nasional.
Tulisan kedua, "Konflik India dan Pakistan Tahun 2025 dan Pengaruhnya terhadap Ketahanan
Nasional", mengupas dampak regional dari konflik bersenjata dua negara Asia Selatan
terhadap Indonesia, baik dari sisi keamanan, stabilitas kawasan, hingga potensi arus
pengungsi dan perdagangan. Analisis ini penting dalam mengingatkan urgensi proaktif
Indonesia dalam diplomasi kawasan dan peran strategis dalam ASEAN dan Global South.
Selanjutnya, "Kedaulatan Angkasa dalam rangka Ketahanan Nasional" menjadi refleksi atas
meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi satelit dan sistem luar angkasa.
Kedaulatan di ranah antariksa kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ketahanan informasi,
ekonomi, dan pertahanan nasional.
Tulisan keempat, "Hilirisasi Sumber Daya Alam dalam rangka Ketahanan Ekonomi", menyoroti
pentingnya nilai tambah dalam pengelolaan SDA, terutama di sektor mineral dan energi.

3

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Hilirisasi bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan juga kebijakan berdaulat dalam menjaga
kesinambungan industri nasional dan penciptaan lapangan kerja.
Dalam menjawab tantangan fiskal dan pembiayaan pembangunan, tulisan kelima, "Danantara
sebagai Alternatif Pendanaan Pembangunan Nasional", mengeksplorasi konsep digital
sovereign wealth fund sebagai skema inovatif pendanaan berbasis digital yang tidak
membebani APBN. Konsep ini menantang kita untuk berpikir ulang tentang masa depan
pembiayaan negara di era ekonomi digital.
Tulisan keenam, "Energi Nuklir dalam rangka Ketahanan Nasional", memaparkan bahwa
pengembangan energi nuklir sebagai energi bersih dan terbarukan perlu ditinjau dari segi
teknologi, regulasi, dan penerimaan publik. Energi nuklir dapat menjadi alternatif strategis
menuju kemandirian energi nasional, jika dikelola secara aman dan transparan.
Adapun tulisan ketujuh, "Provinsi Jakarta Pasca Daerah Khusus Ibu Kota Indonesia", mengajak
kita memikirkan ulang reposisi Jakarta sebagai kota megapolitan global pasca-pemindahan
ibu kota negara. Kebijakan otonomi dan desain baru Jakarta akan sangat menentukan peran
dan daya saingnya dalam jaringan ekonomi dan diplomasi internasional.
Sementara itu, tulisan kedelapan, "Community Development guna Pemberdayaan
Masyarakat dalam rangka Ketahanan Nasional", menekankan pentingnya pembangunan
berbasis komunitas sebagai pondasi ketahanan sosial. Kemandirian komunitas lokal menjadi
kunci dalam membangun resilien sosial dan memperkuat identitas kebangsaan.
Dua tulisan terakhir menyoroti isu demografi dan pembangunan manusia. "Angkatan Kerja
dalam Pemanfaatan Bonus Demografi guna Memperkuat Ketahanan Sosial Budaya"
menekankan pentingnya perencanaan SDM agar usia produktif hari ini menjadi kekuatan
pembangunan, bukan beban sosial. Sementara itu, "Makanan Bergizi Gratis (MBG) guna
Memperkuat Bonus Demografi dalam rangka Generasi Emas 2045" mengulas program
strategis yang dapat memperbaiki status gizi anak dan pelajar, serta memperkuat ketahanan
sosial dan pendidikan sejak usia dini.
Seluruh policy brief ini disusun dengan semangat ilmiah, kebangsaan, dan kepemimpinan
strategis. Penulis berharap terbitan perdana ini dapat menjadi bahan refleksi, inspirasi
kebijakan, sekaligus kontribusi nyata Lemhannas RI dalam pembangunan nasional. Lebih dari
sekadar dokumen, DSPB adalah ajakan untuk berpikir jangka panjang, berpijak pada
kepentingan nasional, dan bertindak untuk masa depan Indonesia.
Akhir kata, edisi perdana DSPB ini dapat diunduh melalui tautan www.slideshare.net/
DadangSolihin. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh rekan sejawat dan para
pembaca. Semoga Edisi Perdana DSPB ini memberikan manfaat dalam memperkuat
Ketahanan Nasional dan menumbuhkan kepemimpinan Indonesia yang tangguh menuju 100
tahun kemerdekaan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Jakarta, 20 Mei 2025

Penulis

4

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 01
Kerja Sama Perdagangan Indonesia dengan Amerika dan China guna
Ketahanan Ekonomi

Ringkasan Eksekutif
Dalam suasana global yang semakin sarat ketidakpastian, Indonesia kini berada di
persimpangan penting dalam arah kebijakan perdagangannya. Pemerintah Indonesia tengah
menjajaki dan merundingkan kerja sama perdagangan strategis dengan Amerika Serikat
melalui penandatanganan sebuah framework agreement yang menjadi dasar perundingan
teknis selama 60 hari ke depan. Perjanjian ini bukan sekadar pertemuan dagang biasa, tetapi
merupakan arena penentuan posisi strategis Indonesia dalam menghadapi dinamika kekuatan
ekonomi global.
Di saat yang bersamaan, hubungan ekonomi Indonesia dengan China juga terus menguat—
tidak hanya dalam bentuk ekspor komoditas utama seperti batubara, sawit, dan nikel, tetapi
juga melalui arus investasi besar-besaran di sektor infrastruktur dan industri hilirisasi.
Hubungan ini tampak harmonis di permukaan, namun menyimpan potensi ketergantungan
yang besar dan berisiko tinggi terhadap ketahanan ekonomi nasional apabila tidak dikelola
secara hati-hati.
Kedua kekuatan global ini—Amerika dan China—sedang memperebutkan pengaruh dan
dominasi di Asia, termasuk di Indonesia. Tarik-menarik kepentingan antara dua raksasa ini
menghadirkan dilema strategis yang tidak bisa disikapi dengan pendekatan diplomasi normatif
semata. Indonesia tidak boleh hanya menjadi arena kompetisi, tetapi harus mampu
memainkan peran sebagai aktor strategis yang mengedepankan kepentingan nasional di atas
segala bentuk tekanan.
Permasalahan inti dari dinamika ini bukan hanya soal tarif atau ketimpangan neraca dagang.
Lebih jauh dari itu, yang dipertaruhkan adalah daya tawar Indonesia dalam sistem
perdagangan global yang kini bergerak dengan logika baru: logika tekanan sistemik, narasi
strategis, dan kepemimpinan ekonomi yang berbasis kekuatan data dan informasi. Dalam
forum negosiasi internasional, niat baik dan sopan santun tidak cukup. Dibutuhkan
kecermatan membaca arah angin geopolitik, kesiapan skenario tekanan, serta strategi
komunikasi diplomatik yang mampu mengubah tekanan menjadi peluang.
Oleh karena itu, Indonesia perlu segera membangun kerangka kerja sama perdagangan yang
bersifat visioner dan jangka panjang. Pendekatan reaktif harus ditinggalkan. Pemerintah perlu
memperkuat sistem intelijen ekonomi yang mampu memetakan kepentingan dan kekuatan
lawan bicara, serta mengembangkan diplomasi berbasis narasi dan data strategis. Diversifikasi
mitra dagang menjadi keniscayaan, agar Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan pada
dua negara dominan saja.
Langkah-langkah ini harus dilakukan secara terukur dan konsisten, agar kepentingan nasional
tetap terjaga dan ketahanan ekonomi dapat diperkuat dalam menghadapi gejolak global.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia tidak hanya akan selamat dari tekanan, tetapi mampu

5

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
tumbuh dan memainkan peran kunci sebagai negara berkembang yang berdaulat dan
diperhitungkan dalam percaturan ekonomi internasional.

1. Pendahuluan
Dunia saat ini tengah bergerak dalam pusaran ketidakpastian yang semakin intens.
Ketegangan geopolitik, perang dagang, fluktuasi ekonomi global, dan rivalitas antara Amerika
Serikat dan China menjadi lanskap baru yang harus dihadapi setiap negara, termasuk
Indonesia. Di tengah konstelasi tersebut, Indonesia menemukan dirinya berada di titik kritis:
menjadi ajang tarik-menarik kepentingan dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Dan dalam
situasi seperti ini, netralitas pasif bukanlah pilihan. Dibutuhkan langkah strategis, cermat, dan
berpihak pada kepentingan nasional yang nyata.
Baru-baru ini, pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat menandatangani framework
agreement sebagai pintu masuk negosiasi tarif impor dan akses pasar. Dokumen tersebut
menjadi tonggak awal dari sebuah proses teknis intensif selama 60 hari ke depan. Namun di
balik dokumen yang tampak teknokratik itu, tersembunyi pertarungan kepentingan besar.
Amerika datang bukan sekadar untuk berdialog, tetapi membawa agenda, tekanan, dan
ekspektasi yang menyentuh hingga ranah kedaulatan ekonomi digital Indonesia—termasuk
QRIS dan GPN. Maka, negosiasi ini harus dibaca bukan hanya sebagai isu ekonomi, tetapi
sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional.
Di sisi lain, China hadir dengan pendekatan yang berbeda. Diam namun dalam. Senyap namun
sistemik. Hubungan dagang Indonesia dengan China telah tumbuh signifikan, menjadikannya
mitra dagang terbesar dan salah satu investor terkuat dalam proyek-proyek nasional. Namun
di balik ketenangan itu tersimpan risiko yang tidak kecil. Ketergantungan terhadap ekspor
komoditas seperti batubara, nikel, dan sawit ke pasar China menjadikan Indonesia rentan
terhadap tekanan ekonomi yang bisa datang sewaktu-waktu. Belum lagi, proyek-proyek besar
seperti kereta cepat atau kawasan industri strategis sangat dipengaruhi oleh kebijakan modal
dari Beijing. Satu keputusan kecil dari China dapat berdampak besar pada stabilitas ekonomi
domestik.
Mengapa isu ini menjadi sangat penting untuk dibahas secara mendalam? Pertama, karena
keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional bergantung pada kestabilan dan arah
kebijakan perdagangan dan investasi dengan dua negara ini. Kedua, dinamika global yang tidak
menentu menuntut Indonesia untuk bersikap strategis, bukan hanya sopan dalam forum
diplomatik. Ketiga, karena ketahanan nasional yang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
ketahanan ekonomi yang kuat, adaptif, dan berdaulat—dimensi penting dalam astagatra yang
menjadi fondasi kokoh pertahanan negara secara menyeluruh.
Dengan demikian, pembahasan isu ini tidak boleh berhenti pada perhitungan angka ekspor
dan impor, atau proyeksi investasi semata. Ia harus didekati dengan perspektif nasional yang
lebih luas: bagaimana menjaga kemandirian ekonomi dalam bayang-bayang tekanan dua
raksasa global? Bagaimana menavigasi kepentingan nasional di tengah medan diplomasi yang
makin keras dan transaksional? Dan yang terpenting, bagaimana menjadikan kerja sama
sebagai instrumen ketahanan, bukan jebakan ketergantungan? Di sinilah titik krusial yang
perlu dicermati.

6

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

2. Pembahasan
Dalam kerangka ketahanan nasional yang mencakup delapan gatra (astagatra), dimensi
ketahanan ekonomi dan ketahanan ideologi menjadi dua aspek paling krusial yang terdampak
langsung dari dinamika kerja sama perdagangan antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan
China. Ketahanan ekonomi mencerminkan kemampuan suatu negara untuk mandiri, tahan
terhadap guncangan eksternal, serta memiliki daya saing dalam perdagangan global.
Sementara ketahanan ideologi terkait erat dengan prinsip-prinsip kedaulatan, jati diri bangsa,
dan arah pembangunan nasional yang tidak terkooptasi oleh kekuatan asing.
Amerika Serikat hadir dalam ruang negosiasi bukan hanya dengan permintaan penyesuaian
tarif atau akses pasar, tetapi juga membawa tekanan terhadap infrastruktur keuangan digital
nasional. Gugatan terhadap penggunaan sistem QRIS dan GPN, dua simbol kedaulatan
ekonomi digital Indonesia, mencerminkan bentuk tekanan ideologis terselubung. Ketika
sistem pembayaran domestik dianggap menghambat akses perusahaan asing, maka
sesungguhnya yang sedang digugat adalah hak Indonesia untuk mengatur sistem moneternya
sendiri. Dalam konteks ketahanan ideologi, ini adalah peringatan serius bahwa kerja sama
dagang bukan lagi semata urusan ekonomi, melainkan juga menjadi medan pertarungan atas
nilai dan kedaulatan.
Sementara itu, China menampilkan wajah tekanan yang berbeda. Tidak frontal seperti
Amerika, tetapi bekerja melalui mekanisme yang lebih diam, sistemik, dan berdampak jangka
panjang. Ketergantungan Indonesia terhadap ekspor komoditas utama seperti batubara,
sawit, dan nikel ke pasar China serta aliran investasi infrastruktur dari Beijing menjadikan
struktur ekonomi Indonesia semakin bergantung. Jika sewaktu-waktu China menarik modal
atau menahan pembelian ekspor strategis, dampaknya bisa merembet ke industri dalam
negeri, neraca perdagangan, hingga ketenangan sosial-politik.
Namun, kerja sama dengan kedua kekuatan besar ini juga menyimpan peluang strategis yang
dapat dimanfaatkan jika dikelola dengan cerdas. Pertama, kerja sama ini bisa membuka akses
pasar non-tradisional dan memperluas jaringan ekspor Indonesia secara global. Kedua,
tekanan dari mitra dagang dapat menjadi pemicu positif bagi Indonesia untuk mendorong
reformasi struktural, memperkuat regulasi, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan
daya saing produk dalam negeri. Ketiga, Indonesia memiliki momentum untuk meneguhkan
peran sebagai kekuatan menengah (middle power) yang independen dan tidak terjebak dalam
dikotomi Blok Barat atau Timur.
Dalam forum global, posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia dan
ekonomi terbesar di ASEAN memberikan peluang untuk memainkan diplomasi ekonomi
dengan daya tawar yang lebih besar. Namun, itu hanya akan terjadi jika Indonesia hadir
dengan kesiapan strategi, pemetaan kekuatan mitra, serta narasi yang kokoh berbasis
kepentingan nasional. Dengan begitu, kerja sama dagang tidak menjadi jalan masuk
ketergantungan, melainkan alat untuk memperkuat ketahanan nasional yang berdaulat dan
adaptif terhadap perubahan dunia yang cepat dan kompleks.
Singkatnya, risiko dan peluang dalam kerja sama ini sangat nyata. Yang menentukan bukanlah
besarnya tekanan atau iming-iming keuntungan, tetapi seberapa siap Indonesia mengelola
keduanya dengan strategi nasional yang matang.

7

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Dalam arus besar diplomasi global yang semakin transaksional dan sarat kepentingan,
kepemimpinan nasional menjadi faktor penentu dalam menavigasi arah kebijakan ekonomi
luar negeri. Diplomasi ekonomi hari ini bukan lagi panggung formalitas antarnegara,
melainkan arena pertarungan kepentingan strategis, di mana kesiapan, ketegasan, dan
keberpihakan terhadap kepentingan nasional adalah kunci kemenangan. Sayangnya,
Indonesia masih terlalu sering hadir dalam forum-forum penting dunia dengan semangat
goodwill, namun tanpa amunisi berupa strategi matang, skenario tekanan, atau peta kekuatan
lawan yang terukur.
Amerika Serikat hadir dalam negosiasi bukan hanya dengan daftar tuntutan tarif, tetapi
membawa seluruh perangkat kekuatan ekonominya sebagai alat tekanan (economic coercion).
Mereka menargetkan tak hanya barang ekspor, tapi juga sistem keuangan digital Indonesia.
Sementara itu, China, meski tidak lantang seperti Washington, justru lebih berbahaya dalam
pendekatan: senyap, sistemik, dan berakar dalam struktur ekonomi domestik. Ini
menunjukkan bahwa baik AS maupun China tidak datang untuk berbagi, tapi untuk
menegosiasikan dominasi.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang memiliki keberanian
untuk tidak hanya tampil, tetapi juga bersiasat. Diplomasi ekonomi harus dijalankan sebagai
bagian dari strategi pertahanan negara, bukan sebagai rangkaian kunjungan kerja tanpa
kesiapan substansi. Untuk itu, terdapat tiga kebutuhan mendesak.
Pertama, intelijen ekonomi yang kuat. Indonesia harus mampu memetakan siapa aktor
pengambil keputusan di negara mitra, bagaimana kekuatan industri dan politik mereka
bekerja, serta siapa yang memiliki pengaruh terhadap arah kebijakan ekonomi global. Tanpa
informasi ini, Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam perundingan yang seharusnya
menjadi ruang perumusan masa depan ekonominya sendiri.
Kedua, narasi diplomatik yang kokoh dan berpihak. Delegasi Indonesia tidak cukup hanya
menyampaikan klarifikasi atau menunjukkan kesopanan formal. Mereka harus membawa
narasi strategis yang berbasis pada data, proyeksi ekonomi, serta argumentasi kepentingan
nasional yang tegas. Narasi ini juga harus dipersiapkan untuk konsumsi media global, think
tank internasional, dan saluran opini publik dunia, karena legitimasi posisi Indonesia juga
dibentuk oleh persepsi.
Ketiga, simulasi skenario tekanan. Pemerintah harus menyiapkan berbagai kemungkinan
skenario jika tekanan dagang meningkat, pasar ekspor ditutup, atau investasi dihentikan.
Bagaimana dampaknya terhadap sektor strategis? Siapa yang paling terdampak? Apa respons
yang harus disiapkan dalam waktu 24 jam, seminggu, sebulan? Tanpa simulasi semacam ini,
kita datang ke medan diplomasi ibarat prajurit tanpa latihan tempur.
Sayangnya, kenyataan saat ini justru sebaliknya. Kita terlalu sering membawa salam,
sementara mitra kita membawa senjata. Kita datang dengan slide presentasi, sementara
mereka membawa hasil riset, laporan lembaga think tank, dan agenda geopolitik yang sudah
dipersiapkan matang. Dalam konteks ini, kepemimpinan nasional harus berani merombak
pendekatan, menjadikan diplomasi ekonomi bukan hanya sebagai bagian dari kebijakan luar
negeri, tetapi sebagai pilar utama ketahanan nasional di era global yang semakin keras.

8

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Indonesia saat ini berdiri di tengah pusaran kekuatan besar dunia, yaitu Amerika Serikat dan
China. Dalam posisi geografis dan ekonomi yang strategis, Indonesia memiliki peluang besar
untuk memainkan peran aktif dalam percaturan global. Namun, posisi ini juga menyimpan
kerentanan tinggi jika tidak diimbangi dengan strategi nasional yang matang. Kerja sama
perdagangan yang tengah dijalin tidak boleh dipahami secara sempit sebagai transaksi
ekonomi semata, melainkan harus diletakkan dalam kerangka besar ketahanan nasional.
Ketiadaan arah strategis akan menempatkan Indonesia sebagai obyek dalam pertarungan
kepentingan global—bukan sebagai aktor yang menentukan arah permainan. Oleh karena itu,
kerja sama dagang harus diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai aktor
strategis yang mandiri dan berdaulat. Dibutuhkan reformasi total dalam pendekatan
diplomasi: dari sekadar normatif menjadi strategis, dari goodwill menjadi smart power, dan
dari reaktif menjadi prediktif. Hanya dengan cara inilah Indonesia mampu menjaga kedaulatan
ekonominya, memitigasi risiko tekanan dari kekuatan besar, dan memperkuat posisinya dalam
tatanan dunia yang terus berubah cepat dan kompleks.

Rekomendasi
Untuk menjadikan Indonesia sebagai aktor strategis dalam percaturan global, bukan sekadar
sebagai pasar yang diperebutkan, maka langkah-langkah strategis yang terukur, cerdas, dan
berpihak pada kepentingan nasional harus segera diwujudkan. Dalam menghadapi tekanan
dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China, diplomasi ekonomi Indonesia tidak
bisa berjalan secara biasa-biasa saja. Ia harus dibingkai sebagai bagian dari ketahanan nasional
dan dirancang dengan pendekatan multidimensi.
Pertama, pembangunan sistem intelijen ekonomi nasional menjadi fondasi utama.
Pemerintah perlu membentuk unit lintas kementerian dan lembaga—termasuk Kemenlu,
Kemendag, BIN, dan Kemeninveshil/BKPM —yang berfungsi untuk menganalisis dinamika
perdagangan dan investasi global secara real time. Unit ini harus memiliki kemampuan
memetakan kekuatan industri dan politik di negara-negara mitra, sehingga strategi negosiasi
Indonesia tidak lagi berbasis asumsi, melainkan pada data yang akurat dan analisis yang tajam.
Kedua, diversifikasi mitra dagang menjadi keharusan strategis. Ketergantungan terhadap AS
dan China harus diimbangi dengan membuka kerja sama ke pasar-pasar baru di Afrika, Asia
Selatan, dan Amerika Latin. Indonesia harus lebih aktif menggunakan posisinya di G20 dan
ASEAN untuk membangun aliansi taktis atau coalition of the willing yang dapat menahan
dominasi negara-negara besar. Semakin banyak pintu dagang yang terbuka, semakin kecil
potensi tekanan terpusat yang melemahkan posisi Indonesia.
Ketiga, diplomasi ekonomi Indonesia harus diperkuat dengan data dan narasi strategis.
Delegasi Indonesia ke forum-forum internasional perlu dipersenjatai bukan hanya dengan
statistik ekspor, tapi juga narasi strategis yang menyentuh kepentingan nasional dan disusun
dengan pendekatan negotiation by scenario. Pemerintah perlu melibatkan lembaga think
tank, akademisi, dan media strategis untuk membentuk opini global yang mendukung posisi
Indonesia dalam narasi yang kredibel dan terencana.

9

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Keempat, sektor-sektor strategis dalam negeri harus diamankan dari tekanan global.
Instrumen seperti QRIS dan GPN adalah simbol kedaulatan digital yang tidak boleh
dikompromikan hanya demi keuntungan jangka pendek. Industri strategis seperti sawit,
batubara, dan nikel harus dipetakan dan dilindungi dari guncangan yang bisa terjadi jika
hubungan dengan mitra utama terganggu. Pemerintah harus menyiapkan mekanisme legal
dan diplomatik yang mampu menangkis tekanan dengan tetap menjaga integritas sistem
nasional.
Kelima, skema imbal beli harus diarahkan untuk penguatan jangka panjang. Dengan AS, skema
tersebut sebaiknya mendukung pembangunan infrastruktur dan transfer teknologi. Dengan
China, arahkan investasi pada hilirisasi industri dan kerja sama teknologi, bukan sekadar
proyek fisik yang tidak meningkatkan daya saing jangka panjang.
Terakhir, pemerintah harus membangun infrastruktur diplomasi yang proaktif dan adaptif.
Pendidikan untuk para negosiator internasional harus ditingkatkan, tidak cukup hanya dengan
kemampuan bahasa asing, tetapi juga literasi geopolitik yang tinggi. Simulasi skenario dan war
games diplomatik perlu rutin dilakukan agar Indonesia tidak hanya siap dalam rapat, tapi juga
dalam krisis.
Dengan enam langkah strategis ini, Indonesia akan lebih siap menghadapi tekanan,
memperkuat posisi tawar, dan menjaga kedaulatannya di tengah arus globalisasi yang semakin
keras.

4. Daftar Pustaka
Baldwin, D. A. (2020). Economic Statecraft. Princeton University Press.
Brown, C., & Kolb, M. (2020). Trump’s Tariff Wars: Economic Coercion and Global Responses.
International Policy Digest.
Bueno de Mesquita, B. (2010). The Predictioneer’s Game. Random House.
Derrida, J. (1967). De la grammatologie. Éditions de Minuit.
Gus Syaltout (2025), Amerika Ngamuk, China Ngancam, Indonesia Bingung. Diplomasi yang
Menyapa dengan Senyum, Tapi Pulang Tanpa Sepatu, postingan di berbagai WAG, 13
Mei
Stiglitz, J. (2006). Making Globalization Work. W. W. Norton & Company.
Tobing, Sorta (2025). Airlangga dan Sri Mulyani Paparkan Hasil Sementara Negosiasi RI dan
AS, https://katadata.co.id/finansial/makro/680aff7cb6e6c/airlangga-dan-sri-mulyani-
paparkan-hasil-sementara-negosiasi-ri-dan-as
Zartman, I. W. (2000). Negotiation and Conflict Management. University of Michigan Press.

10

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 02
Konflik India dan Pakistan Tahun 2025 dan Pengaruhnya terhadap Ketahanan
Nasional

Ringkasan Eksekutif
Konflik bersenjata yang pecah antara India dan Pakistan pada 7 Mei 2025 menandai babak
baru dalam dinamika keamanan kawasan Asia Selatan dan Indo-Pasifik. Dimulai dari serangan
teror di Pahalgam, Kashmir, yang menewaskan 26 warga sipil—mayoritas wisatawan—India
segera meluncurkan serangan balasan dalam bentuk Operasi Sindoor yang menyasar posisi
strategis di wilayah Pakistan. Eskalasi ini berkembang cepat, melibatkan serangan rudal presisi,
drone tempur, dan pertempuran udara intensif, menjadikannya konflik bersenjata pertama
antara dua negara bersenjata nuklir di era perang drone. Meski konflik ini berlangsung singkat
dan diakhiri gencatan senjata, dampaknya terasa jauh melampaui garis perbatasan kedua
negara.
Bagi Indonesia, konflik ini bukanlah peristiwa yang bisa dianggap jauh atau tidak relevan. Posisi
Indonesia sebagai negara berkepentingan di jalur perdagangan global, serta sebagai kekuatan
menengah yang aktif dalam forum internasional seperti ASEAN, G20, dan OKI, membuat
konflik ini perlu disikapi dengan serius. Dampaknya meluas dari potensi terganggunya jalur
pelayaran dan pasokan energi, hingga potensi instabilitas sosial akibat polarisasi opini publik
dan penyebaran narasi ekstremisme yang mungkin muncul akibat sentimen agama dan
geopolitik.
Konflik ini menyentuh langsung dimensi-dimensi utama dalam kerangka ketahanan nasional
Indonesia (astagatra). Dari gatra ekonomi, risiko kenaikan harga energi dan gangguan rantai
pasok bisa menekan APBN dan daya beli masyarakat. Dari sisi ideologi dan sosial budaya,
konflik ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis untuk memecah persatuan nasional
melalui sentimen sektarian. Di sisi pertahanan dan keamanan, teknologi yang digunakan
dalam konflik ini—terutama drone tempur dan serangan siber—memberi sinyal kuat bahwa
Indonesia harus segera memodernisasi kesiapsiagaan militernya terhadap bentuk-bentuk
ancaman non-konvensional.
Namun di tengah tantangan, terdapat pula peluang strategis. Indonesia dapat memanfaatkan
momentum ini untuk memperkuat peran diplomatiknya di kawasan, mendorong dialog damai
multilateral, dan tampil sebagai kekuatan penyeimbang yang menjembatani negara-negara
besar dengan dunia berkembang. Dalam jangka panjang, peristiwa ini juga bisa menjadi katalis
bagi reformasi kebijakan luar negeri, pertahanan, dan energi Indonesia agar lebih adaptif
terhadap dinamika geopolitik global.
Oleh karena itu, rekomendasi strategis yang diusulkan mencakup: penguatan sistem intelijen
strategis regional untuk mendeteksi eskalasi konflik lebih dini; diversifikasi jalur logistik dan
sumber energi agar tidak tergantung pada jalur rawan; pengembangan diplomasi preventif
multilateral berbasis prinsip non-blok aktif; serta percepatan modernisasi pertahanan,
termasuk kesiapsiagaan menghadapi perang drone dan serangan siber. Dengan langkah-
langkah ini, Indonesia dapat menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional di tengah
ketidakpastian global yang semakin kompleks.

11

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

1. Pendahuluan
Konflik bersenjata yang meletus antara India dan Pakistan pada Mei 2025 menandai eskalasi
militer paling serius antara dua negara bertetangga yang memiliki senjata nuklir. Konflik ini
bermula dari serangan teroris di Pahalgam, Kashmir, yang menewaskan puluhan warga sipil,
mayoritas wisatawan domestik. Pemerintah India segera merespons dengan meluncurkan
Operasi Sindoor, sebuah operasi militer yang menargetkan fasilitas dan jaringan kelompok
yang dianggap bertanggung jawab atas serangan tersebut. Dalam hitungan jam, Pakistan
membalas dengan Operasi Bunyan-un-Marsoos, melibatkan serangan balik menggunakan
rudal, pesawat tempur, dan sistem drone.
Konflik ini menjadi titik balik sejarah karena menandai pertama kalinya perang terbuka antara
dua kekuatan nuklir dilakukan dengan intensitas tinggi menggunakan teknologi drone secara
masif, serta dukungan kemampuan siber dan komunikasi digital. Walaupun berlangsung
singkat, hanya empat hari, eskalasi yang terjadi menimbulkan kekhawatiran mendalam secara
global akan risiko meluasnya perang dan kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal
jika situasi tidak terkendali.
Indonesia, secara geografis, memang tidak berada di garis depan konflik ini. Namun posisi
Indonesia sebagai negara dengan keterhubungan ekonomi global, jalur logistik strategis di
Indo-Pasifik, serta ketergantungan terhadap kestabilan kawasan untuk keamanan dan
pertumbuhan ekonominya, membuat konflik ini relevan dan signifikan bagi kepentingan
nasional. Dalam konteks tersebut, penting bagi Indonesia untuk memetakan dampak konflik
India-Pakistan ini bukan hanya sebagai pengamat luar, tetapi sebagai negara yang perlu
mengambil langkah antisipatif dan strategis.
Konflik ini secara langsung menyentuh dimensi-dimensi dalam sistem ketahanan nasional
Indonesia. Pertama, dari sisi gatra ideologi, posisi Indonesia sebagai negara non-blok yang
menjunjung tinggi prinsip politik luar negeri bebas aktif diuji dalam situasi ini. Ketegasan
Indonesia untuk tetap menjaga keseimbangan dan menjunjung prinsip perdamaian menjadi
sangat penting dalam menjaga stabilitas kawasan. Kedua, dari gatra ekonomi, potensi
gangguan terhadap jalur distribusi energi dari Timur Tengah serta jalur pelayaran internasional
di Samudra Hindia dapat berdampak pada rantai pasok domestik, harga energi, serta
kestabilan fiskal negara.
Ketiga, dalam gatra sosial budaya, terdapat risiko meningkatnya polarisasi opini publik dan
radikalisasi akibat penggunaan konflik ini dalam narasi ideologis tertentu, khususnya di media
sosial. Hal ini dapat menjadi tantangan serius terhadap persatuan nasional, terlebih
menjelang tahun politik. Keempat, dari perspektif gatra pertahanan dan keamanan, konflik ini
menunjukkan bahwa ancaman modern tidak lagi hanya berupa agresi militer konvensional,
tetapi juga penggunaan sistem drone, perang informasi, serta serangan siber yang dapat
melemahkan pertahanan negara tanpa perlu invasi fisik.
Dengan kompleksitas tersebut, konflik India–Pakistan 2025 harus dibaca sebagai sinyal kuat
bagi Indonesia untuk memperkuat ketahanan nasionalnya secara menyeluruh—tidak hanya
secara fisik, tetapi juga secara strategis, digital, dan diplomatik—sebagai upaya menjamin
keberlanjutan kepentingan nasional di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat.

12

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

2. Pembahasan
Dari perspektif Ketahanan Ekonomi, konflik India–Pakistan 2025 membawa dampak signifikan
terhadap jalur perdagangan utama di kawasan Samudra Hindia, termasuk potensi gangguan
pada Selat Malaka—salah satu arteri vital bagi perekonomian Indonesia. Ketegangan militer
yang melibatkan kedua negara bersenjata nuklir tersebut memicu peningkatan risiko
geopolitik, yang pada gilirannya berdampak langsung terhadap stabilitas rantai pasok energi
dan logistik global.
Bagi Indonesia, situasi ini menimbulkan ancaman serius terhadap ketahanan ekonomi.
Gangguan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan premi asuransi pelayaran, serta
kemungkinan melonjaknya harga bahan baku industri dapat memberikan tekanan berat
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), inflasi, serta daya beli
masyarakat. Industri strategis seperti manufaktur, transportasi, dan logistik juga sangat rentan
terhadap fluktuasi ini.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah antisipatif dengan membangun skenario
alternatif rantai pasok, memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara mitra non-
konflik, serta memperbesar cadangan logistik nasional, termasuk energi dan pangan.
Kebijakan diversifikasi sumber pasokan dan penguatan infrastruktur logistik domestik harus
segera diakselerasi agar ketahanan ekonomi tetap terjaga di tengah eskalasi konflik regional
yang tidak menentu.
Dari perspektif Ketahanan Sosial Budaya dan Ideologi, konflik India–Pakistan 2025 tidak hanya
berdampak pada aspek militer dan politik, tetapi juga membawa dimensi sosial budaya dan
ideologi yang sangat sensitif. Serangan yang melibatkan wilayah berpenduduk mayoritas
Muslim dan Hindu, serta menyasar situs-situs keagamaan, berpotensi memperkuat
ketegangan sektarian, khususnya di negara-negara dengan keragaman etnis dan agama
seperti Indonesia. Dalam konteks domestik, konflik ini dapat memicu polarisasi opini publik,
terutama di media sosial, di mana narasi yang bersifat provokatif, menyudutkan agama
tertentu, atau memihak secara ideologis bisa menyebar dengan cepat tanpa kontrol.
Situasi ini membuka celah bagi berkembangnya paham radikalisme dan intoleransi, yang
mengancam stabilitas sosial nasional. Kelompok-kelompok ekstremis dapat memanfaatkan
momentum konflik untuk membangun simpati, merekrut anggota baru, atau menjustifikasi
tindakan kekerasan atas nama solidaritas keagamaan. Untuk itu, diperlukan upaya serius
dalam memperkuat ketahanan ideologi dan sosial budaya.
Pemerintah bersama tokoh agama, pendidik, dan media harus mendorong narasi kebangsaan
yang inklusif, memperkuat moderasi beragama, serta meningkatkan pengawasan terhadap
penyebaran konten radikal di dunia maya. Upaya ini penting agar ruang publik Indonesia tetap
damai, bersatu, dan tidak mudah terpengaruh oleh konflik eksternal yang bernuansa
sektarian.
Ditinjau dari Ketahanan Pertahanan dan Keamanan, konflik India–Pakistan 2025 menyajikan
pelajaran strategis yang sangat penting bagi sistem pertahanan Indonesia, khususnya dalam
menghadapi bentuk-bentuk peperangan modern. Perang yang terjadi tidak lagi didominasi
oleh pertempuran konvensional, melainkan ditandai dengan penggunaan teknologi tinggi
seperti loitering munition atau drone bunuh diri, serangan siber terhadap infrastruktur vital,
serta propaganda digital yang digunakan untuk membentuk opini publik dan melemahkan

13

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
moral nasional. Ini mencerminkan era baru dalam peperangan—yang tidak membutuhkan
invasi fisik untuk melumpuhkan musuh.
Bagi Indonesia, kondisi ini menuntut penguatan ketahanan pertahanan dan keamanan secara
menyeluruh, khususnya dalam ranah udara dan siber. TNI dan kementerian terkait perlu
mengembangkan strategi pertahanan berlapis yang tidak hanya mampu mendeteksi, tetapi
juga menanggulangi ancaman siber dan serangan teknologi tanpa awak. Pengembangan
sistem radar modern, integrasi teknologi AI untuk pengawasan wilayah, serta investasi dalam
pertahanan siber menjadi kebutuhan mendesak.
Lebih dari itu, perlu adanya pelatihan rutin dan simulasi serangan non-konvensional agar
aparat keamanan siap dalam menghadapi situasi tak terduga. Ketahanan militer Indonesia di
masa depan harus bertransformasi dari kekuatan konvensional menjadi kekuatan adaptif yang
mampu menanggapi spektrum ancaman yang semakin kompleks dan tidak kasatmata.
Dari perspektif Kepemimpinan Nasional dan Diplomasi, konflik India–Pakistan 2025
memberikan momentum penting bagi Indonesia untuk menegaskan kembali perannya
sebagai kekuatan menengah (middle power) yang berpengaruh dalam menciptakan stabilitas
kawasan dan mendorong perdamaian global. Dengan posisi strategis sebagai anggota G20 dan
pemimpin kawasan ASEAN, Indonesia memiliki legitimasi politik dan moral untuk tampil
sebagai penengah dalam konflik regional. Kepemimpinan nasional harus memanfaatkan
momentum ini dengan mengedepankan diplomasi aktif yang bersifat solutif dan inklusif.
Indonesia memiliki tradisi panjang dalam diplomasi perdamaian dan kebijakan luar negeri
bebas aktif. Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peran sebagai bridge-builder
antara kekuatan besar seperti India dan Pakistan, serta menggalang dukungan dari negara-
negara Global South untuk mendorong solusi damai dan dialog multilateral. Usulan Indonesia
sebagai tuan rumah forum dialog pasca-konflik akan memperkuat citra Indonesia sebagai
negara penyeimbang dan penjaga stabilitas kawasan.
Selain itu, kemampuan diplomasi preventif juga perlu diperkuat. Kolaborasi erat dengan
negara-negara Islam moderat, seperti Turki, Mesir, dan Qatar, serta kerja sama dengan PBB
dan organisasi regional lainnya akan memperluas ruang pengaruh Indonesia dalam meredam
ketegangan dan menciptakan arsitektur perdamaian yang lebih tangguh di kawasan Indo-
Pasifik.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Konflik India–Pakistan tahun 2025 menjadi pengingat nyata bahwa dinamika geopolitik
kawasan dapat berubah secara drastis dan cepat, bahkan antara negara-negara yang
sebelumnya menjaga stabilitas dengan keseimbangan rapuh. Meski Indonesia tidak terlibat
langsung dalam konflik, dampaknya dapat menjalar ke berbagai aspek ketahanan nasional.
Ketergantungan pada jalur logistik dan energi internasional, potensi polarisasi sosial akibat
sentimen agama, serta kebutuhan mendesak terhadap modernisasi sistem pertahanan
menunjukkan bahwa Indonesia tidak kebal terhadap dampak konflik eksternal.
Konflik ini juga membuka ruang refleksi bagi kepemimpinan nasional untuk memperkuat
posisi Indonesia sebagai negara middle power yang mampu memainkan peran konstruktif
dalam diplomasi regional dan global. Indonesia perlu melihat konflik ini sebagai sinyal

14

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
peringatan untuk segera memperkuat sistem intelijen, diplomasi preventif, pertahanan siber,
serta ketahanan ekonomi dan sosial budaya yang lebih tangguh.
Dengan pendekatan yang komprehensif, adaptif, dan berpijak pada kepentingan nasional
jangka panjang, Indonesia dapat tidak hanya bertahan, tetapi juga berkontribusi aktif dalam
menciptakan tatanan kawasan yang lebih damai, aman, dan stabil di tengah ketegangan global
yang semakin meningkat. Ketahanan nasional harus menjadi pijakan utama dalam setiap
respon strategis yang diambil.

Rekomendasi
Konflik India–Pakistan tahun 2025 memperlihatkan bagaimana bentuk ancaman global telah
mengalami transformasi signifikan, dari perang konvensional menjadi konflik hybrid yang sarat
dengan penggunaan teknologi tinggi seperti drone, siber, dan propaganda digital. Bagi
Indonesia, konflik ini harus dibaca sebagai sinyal penting untuk memperkuat ketahanan
nasional secara menyeluruh, tidak hanya di bidang militer, tetapi juga sosial, ekonomi, dan
diplomasi. Untuk itu, diperlukan langkah konkret di lima bidang utama.
Pertama, pembangunan sistem intelijen regional dan global menjadi prioritas. Indonesia
harus membentuk pusat pemantauan dan analisis kawasan Indo-Pasifik yang melibatkan
Kementerian Luar Negeri, BIN, TNI, dan lembaga riset strategis untuk memetakan pergerakan
geopolitik dan merumuskan respons cepat terhadap potensi ancaman.
Kedua, modernisasi pertahanan dan keamanan siber sangat mendesak. Indonesia harus
segera memperkuat kemampuan pertahanan udara, mengembangkan teknologi drone, dan
membangun sistem anti-drone yang efektif. Kemampuan pertahanan siber juga perlu
ditingkatkan melalui pelatihan SDM dan investasi infrastruktur digital.
Ketiga, diversifikasi jalur dan sumber energi harus dilakukan guna mengurangi ketergantungan
terhadap jalur pelayaran utama yang rentan terhadap konflik. Penguatan kerja sama energi
dengan negara-negara non-konflik serta pengembangan energi terbarukan domestik menjadi
solusi jangka panjang.
Keempat, penguatan diplomasi proaktif harus diarahkan pada peran Indonesia sebagai
penengah netral dalam konflik Asia Selatan, termasuk melalui dialog lintas agama dan kerja
sama multilateral.
Kelima, peningkatan ketahanan sosial dengan menyebarkan narasi nasionalisme moderat dan
memperkuat literasi digital perlu digencarkan untuk mencegah radikalisasi dan menjaga
persatuan bangsa di tengah gelombang informasi global yang tak terbendung.

4. Daftar Pustaka
Al Jazeera, “Drone Warfare and Escalation in South Asia”, Mei 2025.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kajian Ancaman Terorisme Regional, 2024.
Bappenas RI, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025–2029”.
BBC News, “Ceasefire and Its Fragility in Indo-Pak Conflict”, 10 Mei 2025.
CNN, “India–Pakistan Conflict 2025: First Drone War Between Nuclear States”, Mei 2025.

15

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Kementerian Luar Negeri RI, “Pernyataan Resmi Terkait Konflik India–Pakistan”, Mei 2025.
Ministry of External Affairs India, Press Briefing on Operation Sindoor, 2025.
The Guardian, “India-Pakistan Conflict: Timeline and Impact”, Mei 2025.

16

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 03
Kedaulatan Angkasa dalam rangka Ketahanan Nasional

Ringkasan Eksekutif
Ruang angkasa tidak lagi sekadar ranah ilmiah dan eksplorasi, melainkan telah berkembang
menjadi frontier strategis yang menentukan arah masa depan bangsa. Di era teknologi tinggi
dan persaingan global yang semakin kompleks, ruang angkasa menjadi arena baru dalam
menjaga kedaulatan dan memperkuat ketahanan nasional. Meningkatnya aktivitas satelit
global, maraknya ancaman siber dari luar angkasa, serta ketergantungan Indonesia terhadap
teknologi asing, menempatkan isu kedaulatan angkasa sebagai salah satu prioritas utama
dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Sayangnya, saat ini Indonesia belum sepenuhnya siap untuk menjadi aktor strategis di sektor
keantariksaan. Ketidaksiapan infrastruktur pendukung, terbatasnya jumlah dan kualitas
sumber daya manusia, serta lemahnya kerangka regulasi nasional menjadikan Indonesia lebih
banyak bertindak sebagai pengguna pasif daripada produsen teknologi ruang angkasa.
Ketimpangan ini menjadi hambatan serius yang dapat menggerus kemandirian dan ketahanan
nasional di masa depan. Padahal, dalam konteks geopolitik dan ekonomi global, negara-
negara yang mampu menguasai dan mengelola ruang angkasa dengan baik akan menempati
posisi tawar yang tinggi dalam percaturan internasional.
Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan langkah strategis yang komprehensif dan
terukur. Pertama, penguatan kerangka hukum dan diplomasi angkasa harus menjadi pondasi
utama. Perlu dirumuskan regulasi nasional yang sejalan dengan hukum internasional untuk
memastikan kepentingan nasional terlindungi, serta memperkuat posisi Indonesia dalam
forum diplomasi global terkait tata kelola ruang angkasa.
Kedua, investasi jangka panjang dalam industri dan teknologi keantariksaan harus
diprioritaskan. Indonesia perlu membangun kemandirian dalam desain, manufaktur, dan
peluncuran satelit, serta mengembangkan teknologi pendukung seperti sistem navigasi,
komunikasi, dan penginderaan jauh. Pembangunan sektor ini bukan hanya soal pertahanan,
tetapi juga membuka peluang ekonomi baru dan mendorong lahirnya inovasi nasional.
Ketiga, penguatan pertahanan udara dan sistem satelit pengawasan menjadi penting untuk
menjaga integritas wilayah negara. Sistem ini dapat digunakan untuk keperluan pertahanan,
pemantauan bencana, pengawasan maritim, serta pengamanan objek vital nasional.
Kemandirian dalam sistem ini akan meningkatkan kapasitas tanggap darurat dan perlindungan
terhadap berbagai ancaman dari luar.
Keempat, kemitraan internasional harus terus didorong untuk mempercepat penguasaan
teknologi dan meningkatkan daya saing Indonesia. Kerja sama dengan negara-negara maju
dalam pengembangan riset, pendidikan, dan peluncuran satelit dapat menjadi jembatan
penting menuju kemandirian.
Kelima, pemberdayaan sektor swasta dan pengembangan SDM unggul menjadi kunci
keberhasilan jangka panjang. Pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang mendukung

17

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
tumbuhnya perusahaan rintisan keantariksaan, serta meningkatkan kapasitas pendidikan dan
pelatihan di bidang teknologi ruang angkasa.
Dengan mengadopsi strategi-strategi ini, kedaulatan angkasa Indonesia akan menjadi
instrumen penting dalam memperkuat ketahanan nasional, mempercepat pembangunan
ekonomi, dan meningkatkan posisi strategis Indonesia di panggung dunia.

1. Pendahuluan
Di era perlombaan antariksa modern yang semakin kompetitif, ruang angkasa tidak lagi
menjadi domain eksklusif untuk penelitian ilmiah semata, melainkan telah bertransformasi
menjadi wilayah strategis yang mencakup pertahanan nasional, ekonomi digital, komunikasi
global, hingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ini menunjukkan
bahwa penguasaan ruang angkasa telah menjadi simbol supremasi negara, sekaligus alat
untuk memperluas pengaruh politik dan ekonomi di tataran global.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki posisi geografis yang sangat
strategis, yakni terletak di garis khatulistiwa—lokasi ideal untuk peluncuran satelit karena
efisiensi bahan bakar dan keuntungan orbit geostasioner. Namun, potensi geografis ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Ketergantungan terhadap satelit asing untuk keperluan
komunikasi, navigasi, dan pemantauan iklim serta bencana menjadi cerminan keterlambatan
pengembangan kapasitas antariksa nasional. Dalam situasi seperti ini, Indonesia tidak hanya
berisiko tertinggal secara teknologi, tetapi juga kehilangan kendali terhadap infrastruktur vital
yang berada di ruang angkasa—termasuk data dan sistem informasi strategis negara.
Sementara itu, dunia menyaksikan percepatan luar biasa dalam pengembangan dan
peluncuran satelit, terutama oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok,
Rusia, dan India. Negara-negara ini berlomba menguasai langit dengan ribuan satelit yang
menjelajahi orbit rendah dan menengah, tidak hanya untuk keperluan sipil, tetapi juga militer.
Dalam konteks ini, ruang angkasa telah menjadi arena baru dalam perebutan pengaruh global,
dan Indonesia harus menentukan posisinya: menjadi penonton atau ikut menjadi pemain yang
berdaulat.
Di tengah tantangan tersebut, Indonesia sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi
pemimpin regional dalam pengembangan teknologi keantariksaan, khususnya di Asia
Tenggara. Pengembangan satelit komunikasi domestik, sistem pemantauan bencana berbasis
satelit, serta navigasi mandiri akan menjadi langkah krusial menuju kemandirian dan
ketahanan teknologi nasional. Tidak hanya itu, keberhasilan Indonesia dalam bidang
keantariksaan akan memperkuat peran geopolitiknya, memperbesar peluang ekonomi digital,
dan meningkatkan kemampuan mitigasi terhadap berbagai ancaman non-tradisional seperti
bencana alam dan gangguan siber dari luar angkasa.
Kedaulatan angkasa tidak dapat dipisahkan dari konsep ketahanan nasional, khususnya dalam
dimensi astagatra. Ruang angkasa menyentuh aspek gatra teknologi (penguasaan ilmu dan
alat), gatra ekonomi (nilai tambah dari industri satelit dan data), gatra pertahanan
(pengawasan wilayah dan respon ancaman), serta gatra geografi (posisi strategis khatulistiwa).
Oleh karena itu, penguatan kedaulatan angkasa bukan hanya soal pencapaian teknologi, tetapi
juga strategi jangka panjang untuk menjaga integritas negara, memperkuat posisi Indonesia
di kancah global, dan memastikan keberlanjutan pembangunan nasional.

18

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Dalam kerangka mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, upaya membangun kapasitas
keantariksaan nasional menjadi sangat mendesak. Diperlukan kebijakan strategis, sinergi
antar pemangku kepentingan, serta investasi yang konsisten untuk menjadikan ruang angkasa
sebagai domain kedaulatan yang sesungguhnya. Momentum ini harus dimanfaatkan agar
langit Indonesia tidak hanya menjadi tempat lalu lintas satelit asing, tetapi juga ruang yang
dikuasai dan dijaga oleh anak bangsa sendiri.

2. Pembahasan
Ruang angkasa merupakan dimensi strategis baru yang belum sepenuhnya tergarap dalam
kerangka ketahanan nasional Indonesia. Meskipun Indonesia telah memiliki dasar hukum
melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan serta Rencana Induk
Penyelenggaraan Keantariksaan 2016–2040, implementasi di lapangan masih lemah.
Ketiadaan kejelasan batas-batas vertikal wilayah udara dan lemahnya pengelolaan ruang
angkasa nasional menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan asing dan
mengancam kedaulatan negara.
Dari perspektif ketahanan nasional, penguasaan ruang angkasa menyentuh berbagai aspek
vital. Pertama, ketahanan pertahanan menempatkan satelit sebagai instrumen utama dalam
sistem deteksi dini, pemantauan wilayah perbatasan, dan pengumpulan intelijen. Selain itu,
satelit juga mendukung integrasi sistem senjata pintar yang sangat bergantung pada akurasi
data dan konektivitas waktu nyata.
Kedua, ketahanan ekonomi semakin relevan dengan pemanfaatan satelit untuk mendukung
produktivitas sektor pertanian, kelautan, serta pengelolaan sumber daya alam melalui
teknologi penginderaan jauh. Satelit juga berperan penting dalam pengelolaan rantai pasok
dan mitigasi risiko bencana yang berdampak langsung pada stabilitas ekonomi nasional.
Ketiga, ketahanan informasi menjadi krusial di tengah digitalisasi global. Infrastruktur
komunikasi modern sangat bergantung pada jaringan satelit, yang rentan terhadap gangguan
siber, penyadapan, dan manipulasi data. Oleh karena itu, pengamanan sistem komunikasi
berbasis angkasa menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan informasi nasional.
Dengan mengintegrasikan ruang angkasa dalam perspektif astagatra, Indonesia dapat
memperkuat ketahanan nasional secara holistik dan adaptif terhadap tantangan masa depan.
Kepemimpinan nasional dalam bidang keantariksaan merupakan elemen kunci dalam
menjamin kedaulatan ruang angkasa Indonesia. Saat ini, peran negara perlu ditingkatkan
secara signifikan untuk menyesuaikan diri dengan dinamika global yang berkembang pesat,
mulai dari maraknya peluncuran satelit asing, layanan internet orbit rendah seperti Starlink,
hingga isu kepadatan orbit dan sampah antariksa. Situasi ini menuntut kehadiran negara
sebagai regulator, fasilitator, sekaligus pelaku utama dalam pembangunan ekosistem
keantariksaan yang berdaulat.
Langkah pertama yang mendesak adalah revisi terhadap Undang-Undang Keantariksaan. UU
Nomor 21 Tahun 2013 sudah tidak lagi mencukupi dalam merespons kompleksitas
keantariksaan modern. Revisi ini perlu mencakup aspek pengaturan lalu lintas satelit asing di
atas wilayah Indonesia, pengelolaan orbit dan frekuensi, serta penguatan mekanisme
keamanan dan mitigasi terhadap ancaman luar angkasa, termasuk debris antariksa.

19

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Selanjutnya, pembangunan keantariksaan nasional harus terintegrasi dalam RPJMN 2025–
2029 sebagai bagian dari strategi nasional pembangunan infrastruktur digital, pertahanan
siber, dan kemandirian teknologi. Penyelarasan antara perencanaan pembangunan nasional
dan kebijakan keantariksaan akan menjadikan sektor ini sebagai kekuatan strategis jangka
panjang.
Tak kalah penting, Indonesia perlu mengambil peran aktif dalam diplomasi antariksa kawasan
ASEAN, dengan mendorong terbentuknya perjanjian keantariksaan regional. Sebagai negara
terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki legitimasi moral dan geopolitik untuk menjadi
pemimpin dalam membentuk tata kelola angkasa yang adil, aman, dan berkelanjutan di
kawasan.
Dengan kepemimpinan yang kuat dan kebijakan yang adaptif, Indonesia dapat membangun
posisi strategisnya sebagai negara antariksa berdaulat dan berpengaruh.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Indonesia berada pada posisi strategis untuk tampil sebagai kekuatan antariksa regional,
terutama dengan keunggulan geografis di garis khatulistiwa yang ideal untuk peluncuran
satelit. Namun, peluang ini belum sepenuhnya dimanfaatkan karena berbagai tantangan
internal, seperti keterbatasan teknologi, kurangnya sumber daya manusia yang unggul di
bidang keantariksaan, serta kerangka regulasi yang belum responsif terhadap dinamika global.
Dalam konteks ancaman laten, penggunaan satelit asing tanpa koordinasi yang memadai,
meningkatnya ketergantungan terhadap layanan digital lintas negara, dan risiko keamanan
siber dari orbit rendah menjadi isu serius. Hal ini menuntut penguatan kedaulatan angkasa
tidak sekadar sebagai simbol kemajuan teknologi, melainkan sebagai bagian integral dari
upaya mempertahankan kepentingan nasional dan memperkuat ketahanan negara dalam
jangka panjang.
Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan nasional yang progresif dan kolaboratif, dukungan
kebijakan yang berorientasi ke depan, serta mobilisasi potensi nasional untuk membangun
kapasitas antariksa yang tangguh. Dengan strategi yang tepat, Indonesia tidak hanya mampu
mengejar ketertinggalan, tetapi juga menjadi aktor utama dalam ekosistem keantariksaan
regional dan global menuju Indonesia Emas 2045.

Rekomendasi
Untuk mewujudkan kedaulatan angkasa sebagai bagian dari ketahanan nasional, Indonesia
perlu mengambil langkah strategis melalui lima agenda utama:
1. Penguatan Regulasi Nasional
Langkah awal yang mendesak adalah melakukan revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang
Keantariksaan Tahun 2013 agar relevan dengan tantangan dan peluang zaman. Penetapan
batas vertikal wilayah angkasa Indonesia perlu ditegaskan guna melindungi ruang udara dari
intervensi satelit asing. Selain itu, regulasi tentang keamanan luar angkasa serta skema
privatisasi satelit harus dikembangkan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan
nasional dan keterlibatan sektor non-pemerintah.

20

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
2. Pengembangan Teknologi dan Infrastruktur
Pembangunan pusat peluncuran satelit di Biak harus menjadi prioritas nasional, disertai
dengan pengembangan pabrikasi satelit dalam negeri dan sistem peluncuran roket yang dapat
digunakan kembali (reusable launch system). Infrastruktur ini harus didukung dengan
penguatan jaringan komunikasi dan sistem pertahanan berbasis satelit untuk mendukung
fungsi intelijen, mitigasi bencana, dan layanan digital nasional.
3. Inisiatif Pengembangan SDM
Penguatan kapasitas sumber daya manusia perlu dilakukan melalui program beasiswa luar
negeri di bidang keantariksaan, pelatihan teknis nasional, serta sistem sertifikasi profesional
bagi operator dan teknisi satelit.
4. Kemitraan Internasional dan Diplomasi Antariksa
Pemerintah perlu aktif menjalin kemitraan teknologi dan riset dengan lembaga antariksa
besar seperti NASA (AS), CNSA (Tiongkok), ESA (Eropa), dan APSCO (Asia Pasifik). Keanggotaan
aktif di badan dunia seperti UNOOSA juga penting untuk memperkuat posisi Indonesia dalam
perumusan tata kelola angkasa secara multilateral.
5. Mendorong Keterlibatan Swasta
Pemerintah harus membuka ruang investasi melalui insentif fiskal, penyederhanaan regulasi,
dan pemberian status strategis bagi sektor swasta yang terlibat dalam teknologi roket,
peluncuran satelit, dan analisis big data luar angkasa.

4. Daftar Pustaka
Berita Geospasial BIG, 2025, Indonesia Menggandeng Pemerintah Jepang, Dukung Kemajuan
Sistem Navigasi di Indonesia, Jakarta, 10 Februari,
https://big.go.id/news/2018/10/24/indonesia-menggandeng-pemerintah-jepang-
dukung-kemajuan-sistem-navigasi-di-indonesia
Budi, Afrianto, 2025, Big Data dan Ancaman Siber 2025: Tantangan, Regulasi, dan Strategi
Mitigasi, Insurtech, 5 Februari, https://insurtechindonesia.com/big-data-dan-ancaman-
siber-2025-tantangan-regulasi-dan-strategi-mitigasi/
Chen, Kevin, 2024, Stargazing: Exploring the Mysteries of the Starlink, August 15,
https://www.facebook.com/share/p/15ZEjQMZEK/
Fatmawati, Nurul Sri, 2021, Pemetaan Agenda Kebijakan Pembangunan Bandar Antariksa di
Pulau Biak, Pusat Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa-LAPAN,
https://www.neliti.com/publications/525682/pemetaan-agenda-kebijakan-
pembangunan-bandar-antariksa-di-pulau-biak
Gangale, Thomas, 2009, The Development of Outer Space: Sovereignty and Property Rights
in International Space Law, July 23, https://www.facebook.com/share/p/15xAw2JbJP/
Mahkamah, 2020, Peneliti LAPAN: Sudah Saatnya Indonesia Memiliki Regulasi Keantariksaan
yang Detail, 19 Juli, https://mahkamahnews.org/2020/07/19/peneliti-lapan-sudah-
saatnya-indonesia-memiliki-regulasi-keantariksaan-yang-detail/

21

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Nugraha, Taufik Rachmat dan Prita Amalia, 2020, Militerisasi Ruang Angkasa, Quo Vadis
Indonesia?, Mimbar Hukum, Vol 32, No 3, Oktober, pp 377-391, Fakultas Hukum,
Universitas Padjadjaran
OECD Report, 2024, Ownership and Governance of State-Owned Enterprises 2024, 28
October, https://www.oecd.org/en/publications/ownership-and-governance-of-state-
owned-enterprises-2024_395c9956-en.html
Pangarkar, Tajammul, 2024, Satellite Launch Statistics By Number of Objects Launched by
Year and New Geosynchronous Satellites, https://www.sci-tech-
today.com/stats/satellite-launch-statistics/
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penguasaan
Teknologi Keantariksaan
Saragih, Geofani Milthree, 2024, Urgensi Hukum Ruang Angkasa bagi Indonesia, Milthree
Law, Desember 15, https://www.milthreelaw.id/2024/12/urgensi-hukum-ruang-
angkasa-bagi.html
Satryoko, Ariesta dan Arthur Josias Simon Runturambi, 2020, Strategi Indonesia Menghadapi
Era Konstalasi Low Earth Orbit Satelit dalam Kemungkinan Penggunannya oleh Intelijen
Asing sebagai Alat Spionase, Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Volume 3,
Number 1 JKSKN Volume 3, Mei 28,
https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1019&context=jkskn
Solihin, Dadang, 2025, Masukan untuk Peta Jalan Strategis Keangkasaan Indonesia,
https://www.slideshare.net/slideshow/masukan-untuk-peta-jalan-strategis-
keangkasaan-indonesia/276032185
Solihin, Dadang, 2025, Memperkuat Kedaulatan Angkasa dalam rangka Indonesia Emas,
https://www.slideshare.net/slideshow/memperkuat-kedaulatan-angkasa-dalam-
rangka-indonesia-emas/276032108
Sopiana, Epi, 2024, Astropolitik Indonesia: Kajian Astropolitik Indonesia dalam Mendorong
Pengembangan Industri Pertahanan di Era Globalisasi, Universitas Paramadina, August,
https://www.researchgate.net/publication/382802683_Astropolitik_Indonesia_Kajian_
Astropolitik_Indonesia_dalam_Mendorong_Pengembangan_Industri_Pertahanan_di_E
ra_Globalisasi
Suryaatmadja, Shannon, 2020, Mitigasi Sampah Antariksa: Meninjau Kesiapan Regulasi
Nasional, Fakultas Hukum, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Mimbar Hukum,
Vol 32, No 1, Februari, https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/viewFile/44624/28232
Thressia, Yanita, 2021, Potensi Sumber Pembiayaan Alternatif dalam Pembangunan Bandar
Antariksa Indonesia, Dharmasisya, November,
https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1117&context=dharmasisya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045

22

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045
United Nations, 1967, Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies,
https://treaties.unoda.org/t/outer_space
Wahyudi, Muchamad Zaid, 2025, Merintis Satelit Navigasi Indonesia, 5 Februari,
https://www.kompas.id/artikel/merintis-satelit-navigasi-indonesia
Yani, Yanyan Mochamad, et al, 2017, Langit Indonesia Milik Siapa? Makna Strategis Wilayah
Pengendalian Udara (FIR) Indonesia-Singapura,
https://www.facebook.com/share/p/14puC4Hk8F/

23

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 04
Hilirisasi Sumber Daya Alam dalam rangka Ketahanan Ekonomi

Ringkasan Eksekutif
Indonesia diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah—mulai dari
mineral strategis seperti nikel, tembaga, dan bauksit; energi fosil seperti batubara dan minyak
bumi; hingga sumber daya hayati seperti hasil laut, hutan, dan perkebunan. Namun, selama
puluhan tahun, SDA tersebut lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah tanpa pengolahan
berarti. Pola ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap volatilitas harga komoditas global,
kehilangan potensi nilai tambah, serta melewatkan peluang menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan daya saing industri dalam negeri, dan memperkuat basis ekonomi nasional. Di
tengah tantangan global dan ketidakpastian geopolitik, hilirisasi SDA hadir sebagai jawaban
strategis untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan mewujudkan kemandirian
bangsa secara berkelanjutan.
Implementasi hilirisasi SDA dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di sektor
pertambangan, telah menunjukkan dampak nyata. Sebagai contoh, sejak diberlakukannya
larangan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020, Indonesia berhasil mencatat peningkatan
nilai ekspor produk turunan nikel secara signifikan. Dari hanya USD 3,3 miliar pada tahun 2017,
nilai ekspor produk hilirisasi nikel melonjak menjadi USD 33,9 miliar pada tahun 2024.
Peningkatan ini mencerminkan lonjakan nilai tambah lebih dari 67 kali lipat. Data ini
menegaskan bahwa hilirisasi bukan hanya soal larangan ekspor bahan mentah, melainkan
bagian dari strategi industrialisasi nasional yang menyentuh aspek fundamental
pembangunan ekonomi.
Lebih luas, hilirisasi SDA menjadi landasan penting dalam menjaga dan meningkatkan
ketahanan ekonomi nasional. Dengan memperkuat industri dalam negeri, Indonesia dapat
mengurangi ketergantungan pada impor, menekan defisit transaksi berjalan, memperluas
penciptaan lapangan kerja, dan memperkuat penerimaan negara. Strategi ini juga berperan
dalam memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, terutama di tengah
meningkatnya permintaan terhadap bahan baku energi baru dan terbarukan, seperti baterai
kendaraan listrik yang sangat bergantung pada nikel dan kobalt.
Dalam konteks kepentingan nasional dan ketahanan nasional, hilirisasi SDA juga berkaitan erat
dengan kedaulatan ekonomi. Negara yang mampu mengolah dan memanfaatkan SDA-nya
sendiri memiliki posisi tawar lebih tinggi di panggung global. Namun, agar hilirisasi ini berjalan
berkelanjutan, dibutuhkan sinergi lintas sektor, konsistensi kebijakan, dan kepemimpinan
nasional yang berani mengambil keputusan strategis meskipun menghadapi tantangan
domestik maupun internasional.
Policy brief ini memotret urgensi hilirisasi SDA dalam kerangka strategis dan visioner, dengan
pendekatan berbasis ketahanan nasional dan kepemimpinan transformasional. Melalui
analisis kritis dan komprehensif, ditawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan untuk
memastikan hilirisasi SDA dapat menjadi pilar utama pembangunan ekonomi Indonesia yang
tangguh, inklusif, dan berkelanjutan menuju visi Indonesia Emas 2045.

24

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

1. Pendahuluan
Indonesia sedang berada pada momentum strategis dalam transformasi ekonominya, dengan
hilirisasi sumber daya alam (SDA) menjadi salah satu pilar utama kebijakan nasional. Hilirisasi
ini tidak sekadar menjadi bagian dari agenda teknokratis sempit, tetapi telah menjadi program
prioritas nasional yang digerakkan langsung oleh kepemimpinan Presiden Republik Indonesia.
Berbagai kementerian teknis seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
dan Kementerian Investasi/BKPM dilibatkan secara aktif untuk memastikan hilirisasi tidak
hanya berjalan di atas kertas, tetapi menghasilkan dampak konkret bagi perekonomian
nasional. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan sejak tahun 2020 menjadi
simbol awal dari tekad kuat pemerintah dalam menegakkan hilirisasi sebagai strategi
industrialisasi nasional.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Indonesia berhasil menunjukkan capaian luar biasa
melalui hilirisasi, terutama pada sektor mineral logam seperti nikel. Nilai ekspor produk
turunan nikel melonjak drastis dari USD 3,3 miliar pada tahun 2017 menjadi USD 33,9 miliar
pada tahun 2024. Lonjakan nilai tambah ini mencerminkan keberhasilan Indonesia dalam
menangkap potensi ekonominya secara lebih utuh, sekaligus mempertegas bahwa
pengolahan di dalam negeri membawa manfaat jangka panjang yang nyata. Selain dari sisi
nilai ekspor, dampak hilirisasi terhadap perekonomian secara keseluruhan juga tidak dapat
diabaikan. Proyeksi hingga tahun 2040 menunjukkan bahwa hilirisasi berpotensi
menyumbangkan sekitar USD 209 miliar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,
menciptakan lebih dari 2 juta lapangan kerja, dan menghasilkan devisa ekspor sebesar USD
753 miliar.
Fenomena ini semakin relevan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan
cadangan nikel terbesar di dunia, yakni 42,1% dari total cadangan global. Selain itu, Indonesia
juga memiliki cadangan dan potensi signifikan dalam komoditas lain seperti batubara,
tembaga, dan bauksit. Tak hanya berhenti di sektor mineral dan tambang, arah hilirisasi
nasional juga merambah ke sektor-sektor lain yang memiliki potensi strategis tinggi, seperti
sektor bioenergi melalui program mandatori biodiesel B35/B40, sektor kelautan dan
perikanan dengan pengolahan produk laut bernilai tambah, serta sektor kehutanan dan
perkebunan.
Relevansi kebijakan hilirisasi terhadap kepentingan nasional sangatlah jelas. Pertama, hilirisasi
secara langsung memperkuat kemandirian ekonomi nasional dengan mengurangi
ketergantungan terhadap impor bahan baku industri dan energi. Kedua, hilirisasi membuka
lapangan kerja dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja Indonesia melalui peningkatan
aktivitas industri domestik. Ketiga, kebijakan ini menjadi bagian integral dari strategi besar
mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, yakni Indonesia yang maju, berdaulat, dan berdaya
saing global. Dalam konteks tersebut, hilirisasi bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang
kedaulatan, pemerataan, dan masa depan bangsa yang berkelanjutan.

2. Pembahasan
Implementasi kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah menorehkan
hasil-hasil positif yang menggembirakan, mulai dari peningkatan nilai tambah ekspor hingga
penciptaan lapangan kerja baru. Namun, di balik capaian tersebut, masih terdapat sejumlah

25

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
permasalahan strategis yang perlu diatasi secara menyeluruh agar hilirisasi benar-benar
berkelanjutan dan membawa dampak optimal terhadap pembangunan nasional.
Permasalahan ini bersifat kompleks dan multidimensi, mencakup aspek struktural,
operasional, hingga geopolitik, yang kesemuanya saling terkait dalam ekosistem kebijakan
nasional.
Salah satu tantangan utama adalah ketergantungan Indonesia terhadap investor asing dalam
pembangunan fasilitas industri hilir. Meskipun investasi asing penting dalam mendukung
percepatan pembangunan infrastruktur dan teknologi industri, dominasi pihak luar dalam
penguasaan aset strategis dapat berisiko terhadap kedaulatan ekonomi bangsa. Ketimpangan
dalam pengendalian bisnis, transfer teknologi yang tidak maksimal, serta minimnya peran
pelaku industri nasional dapat menyebabkan hilirisasi tidak sepenuhnya berpihak pada
kepentingan domestik.
Di sisi lain, kapasitas infrastruktur di daerah penghasil SDA masih menjadi kendala yang
signifikan. Banyak kawasan industri yang dibangun di lokasi terpencil dan belum sepenuhnya
terhubung dengan jaringan logistik nasional. Keterbatasan pelabuhan, jaringan jalan, listrik,
air bersih, dan infrastruktur digital menjadi faktor penyebab tingginya biaya logistik dan
produksi, sehingga mengurangi daya saing industri hilir dalam negeri. Pembangunan
infrastruktur harus dipandang sebagai fondasi utama dalam mendorong keberhasilan hilirisasi
di wilayah-wilayah penghasil SDA.
Masalah berikutnya adalah keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) industri
domestik. Kualitas hilirisasi sangat ditentukan oleh kemampuan teknologi pengolahan serta
kompetensi tenaga kerja yang mengoperasikannya. Saat ini, Indonesia masih bergantung pada
teknologi impor dan keahlian asing, sehingga belum mampu mandiri dalam proses hilirisasi
bernilai tinggi. Tanpa peningkatan kapasitas teknologi dan penguatan pendidikan vokasi
berbasis industri, hilirisasi berisiko hanya menjadi kegiatan perakitan atau pemrosesan
sederhana tanpa menghasilkan nilai tambah optimal.
Secara eksternal, tantangan juga datang dari dinamika geopolitik dan perdagangan
internasional. Larangan ekspor bahan mentah oleh pemerintah Indonesia telah memicu
gugatan di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang mencerminkan ketegangan
antara hak pembangunan nasional dan kepentingan dagang global. Ketergantungan Indonesia
terhadap pasar dan modal asing menjadikan posisi tawar Indonesia masih rentan. Oleh karena
itu, diplomasi ekonomi dan ketahanan geopolitik harus diperkuat seiring dengan pelaksanaan
hilirisasi.
Selain itu, kesenjangan koordinasi antara kementerian/lembaga serta antara pemerintah
pusat dan daerah sering kali menghambat efektivitas pelaksanaan kebijakan hilirisasi.
Tumpang tindih regulasi, lemahnya pengawasan, serta perbedaan kepentingan antar aktor
kebijakan menciptakan kebingungan di lapangan dan memperlambat realisasi proyek-proyek
strategis. Padahal, keberhasilan hilirisasi sangat bergantung pada harmonisasi kebijakan lintas
sektor dan kesatuan arah pembangunan nasional.
Melalui kacamata Ketahanan Nasional, hilirisasi SDA sesungguhnya menyentuh berbagai
dimensi penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sisi ketahanan ekonomi, hilirisasi
memperkuat basis manufaktur dalam negeri, memperluas rantai pasok domestik, serta
meningkatkan nilai ekspor berbasis produk olahan. Dari sisi ketahanan sosial, hilirisasi
menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pemerataan pembangunan, terutama di
wilayah-wilayah yang selama ini tertinggal. Pada aspek ketahanan energi, hilirisasi batubara

26

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
menjadi DME dan mandatori biodiesel berkontribusi dalam mengurangi ketergantungan
terhadap energi impor, sehingga meningkatkan kemandirian energi nasional. Sementara
dalam konteks ketahanan geopolitik, kemampuan Indonesia dalam mengelola dan mengolah
SDA sendiri akan meningkatkan posisi tawar dalam percaturan global, sekaligus memperkuat
bargaining power di tengah kompetisi ekonomi dunia yang semakin ketat.
Dalam kondisi demikian, peran kepemimpinan nasional menjadi sangat krusial. Presiden
Republik Indonesia telah menunjukkan keberanian politik (political will) yang kuat dengan
menerapkan larangan ekspor bahan mentah dan mengarahkan pembangunan hilirisasi
sebagai strategi nasional. Ketegasan tersebut menjadi penopang utama dalam menghadapi
tekanan dari berbagai pihak, baik domestik maupun internasional. Namun demikian,
keberlanjutan kebijakan ini sangat tergantung pada konsistensi kepemimpinan dalam menjaga
arah transformasi ekonomi nasional.
Kepemimpinan nasional juga berperan penting dalam mendorong sinergi lintas sektor,
memperkuat regulasi dan kepastian hukum investasi, serta menjaga agar proses hilirisasi tidak
melenceng dari kepentingan rakyat dan cita-cita kemandirian bangsa. Di tengah kompleksitas
tantangan global, hanya dengan kepemimpinan yang visioner, inklusif, dan berorientasi jangka
panjang, hilirisasi dapat menjadi pilar utama pembangunan ekonomi Indonesia yang kuat,
adil, dan berdaulat.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Hilirisasi sumber daya alam (SDA) bukan hanya kebijakan teknis di bidang ekonomi, melainkan
bagian dari strategi besar transformasi nasional yang menyentuh akar ketahanan dan
kemandirian bangsa. Dengan kekayaan SDA yang melimpah dan keberhasilan awal di sektor
nikel, Indonesia memiliki landasan kuat untuk memperluas hilirisasi ke sektor-sektor strategis
lainnya seperti tembaga, bauksit, batubara, perikanan, perkebunan, hingga bioenergi.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa jika dikelola dengan visi yang tepat, hilirisasi mampu
menjadi pengungkit kemajuan industri nasional sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam
rantai nilai global.
Namun, agar hilirisasi dapat berlangsung secara berkelanjutan dan inklusif, diperlukan
langkah-langkah perbaikan struktural di berbagai sektor pendukung. Penguatan sumber daya
manusia melalui pendidikan vokasi dan alih teknologi, pembangunan infrastruktur terpadu di
wilayah penghasil SDA, jaminan kepastian hukum bagi investor yang sejalan dengan
kepentingan nasional, serta sinergi lintas kementerian dan lembaga menjadi prasyarat utama.
Di atas segalanya, keberhasilan hilirisasi memerlukan kepemimpinan nasional yang konsisten,
visioner, dan berani mengambil keputusan strategis demi masa depan Indonesia yang
berdaulat secara ekonomi dan unggul secara global.

Rekomendasi
Agar kebijakan hilirisasi sumber daya alam dapat berkelanjutan dan memberikan dampak
maksimal bagi ketahanan serta kemandirian ekonomi nasional, dibutuhkan langkah-langkah
strategis yang terintegrasi dan visioner. Pertama, pemerintah perlu menyusun Grand Strategy
Hilirisasi SDA Nasional yang memuat peta jalan lintas sektor hingga 2045. Strategi ini harus

27

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
mengintegrasikan aspek industri, energi, lingkungan, ketenagakerjaan, serta pendidikan
vokasi agar hilirisasi menjadi bagian dari sistem pembangunan nasional yang menyeluruh.
Kedua, perlu ada peningkatan infrastruktur strategis di kawasan hilirisasi, khususnya di daerah
yang kaya SDA namun belum memiliki dukungan logistik yang memadai. Pembangunan dan
perluasan pelabuhan, rel kereta, jaringan energi, dan sistem air bersih di kawasan industri
harus menjadi prioritas agar biaya produksi dapat ditekan dan investasi dapat tumbuh pesat.
Ketiga, penguatan teknologi dan sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan hilirisasi.
Pemerintah perlu mendorong alih teknologi melalui kewajiban technology transfer dalam
setiap investasi asing, serta memberi insentif besar pada pengembangan pendidikan vokasi
berbasis industri lokal.
Keempat, reformasi skema investasi dan pengawasan perlu dijalankan dengan mendorong
kemitraan wajib antara investor dan BUMN/BUMD, serta memperkuat sistem transparansi
perizinan dan dampak lingkungan.
Kelima, diversifikasi hilirisasi di luar sektor mineral harus digencarkan, termasuk sektor
perikanan, kehutanan, dan pertanian. Pengembangan industri bioenergi dan biomassa juga
penting sebagai bagian dari transisi energi.
Terakhir, diplomasi ekonomi internasional perlu diperkuat agar kebijakan hilirisasi Indonesia
tidak dianggap proteksionis, tetapi justru dilihat sebagai upaya pembangunan berkelanjutan
yang membuka ruang kerja sama dengan mitra global dalam semangat saling
menguntungkan.

4. Daftar Pustaka
Badan Geologi. (2023). Data Cadangan dan Produksi Mineral Strategis Indonesia. Jakarta.
BPS. (2024). Statistik Perdagangan dan Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI. (2025). Hilirisasi Sumber Daya Alam: Jalan
Menuju Kemandirian Ekonomi Bangsa. Jakarta: Kementerian ESDM.
Nickel Institute. (2023). Nickel Use in EV Battery Supply Chains. London.
USGS. (2024). Mineral Commodity Summaries. Washington DC: United States Geological
Survey.
World Trade Organization. (2023). Dispute Settlement Case DS592 Indonesia — Measures
Relating to Raw Materials.

28

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 05
Danantara sebagai Alternatif Pendanaan Pembangunan Nasional

Ringkasan Eksekutif
Indonesia tengah memasuki fase kritis dalam upaya mewujudkan visi besar Indonesia Emas
2045, sebuah cita-cita kolektif yang membutuhkan percepatan pembangunan infrastruktur,
transformasi ekonomi, penguatan teknologi digital, serta transisi menuju energi hijau yang
berkelanjutan. Namun, beban pendanaan yang sangat besar tidak dapat sepenuhnya
ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas dan rentan
terhadap tekanan fiskal, terutama di tengah ketidakpastian global dan dinamika geopolitik.
Dalam konteks ini, pemerintah memperkenalkan Danantara, sebuah lembaga pengelola aset
negara yang dirancang sebagai alternatif mekanisme pembiayaan pembangunan nasional di
luar APBN. Danantara bertujuan untuk mengelola, mengonsolidasikan, dan mengkapitalisasi
berbagai aset negara yang selama ini tidak produktif menjadi kekuatan investasi baru yang
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Konsep Danantara
mencerminkan upaya Indonesia untuk meniru model sukses lembaga sejenis seperti Temasek
di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia, namun disesuaikan dengan konteks
domestik yang unik.
Kehadiran Danantara menimbulkan dua spektrum pandangan. Di satu sisi, terdapat
optimisme bahwa jika dikelola secara profesional dan transparan, Danantara bisa menjadi
akselerator pembangunan yang efisien, fleksibel, dan responsif terhadap kebutuhan strategis
nasional. Namun di sisi lain, tidak sedikit kekhawatiran yang muncul terkait potensi
penyalahgunaan kewenangan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta intervensi politik
yang dapat mengaburkan orientasi lembaga ini dari tujuan awalnya.
Untuk itu, diperlukan pijakan hukum dan kebijakan yang kokoh. Sebagai langkah awal, revisi
terhadap sejumlah regulasi strategis menjadi prasyarat penting agar keberadaan Danantara
tidak berjalan di luar sistem perencanaan nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN
2025–2045, serta Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029 perlu
diharmonisasikan dengan peran dan fungsi Danantara sebagai lembaga yang memiliki mandat
pembangunan.
Selain itu, penguatan tata kelola kelembagaan menjadi aspek yang tidak dapat ditawar.
Danantara harus beroperasi dengan prinsip good governance, berbasis profesionalisme,
akuntabilitas, transparansi, serta sistem pengawasan yang berlapis dan independen.
Penentuan arah investasi harus didasarkan pada nilai manfaat strategis, bukan kepentingan
jangka pendek atau tekanan politik. Di atas semuanya, kepemimpinan nasional memegang
peran kunci dalam menjamin konsistensi arah kebijakan, menjauhkan lembaga dari
kepentingan pragmatis, serta mengarahkan Danantara sebagai instrumen restrukturisasi dan
redistribusi ekonomi nasional.

29

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Dengan pendekatan yang strategis dan visioner, Danantara memiliki potensi besar tidak hanya
untuk mempercepat pembangunan nasional, tetapi juga memperkuat ketahanan negara di
bidang ekonomi, sosial, dan geopolitik dalam menghadapi tantangan abad ke-21.

1. Pendahuluan
Dalam satu dekade terakhir, kesenjangan antara kebutuhan pembiayaan pembangunan
nasional dengan kapasitas fiskal negara semakin mencolok. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), yang selama ini menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan,
semakin terbebani oleh kebutuhan belanja rutin, subsidi, dan utang. Sementara itu, ambisi
Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 menuntut akselerasi pembangunan di
berbagai sektor: infrastruktur, pendidikan, energi hijau, transformasi digital, pertanian
modern, serta penguatan industri strategis. Tanpa terobosan dalam pembiayaan, tujuan besar
menuju Indonesia Emas 2045 akan menghadapi risiko keterlambatan atau bahkan stagnasi.
Di tengah tantangan tersebut, lahirlah Danantara, sebuah lembaga pengelola aset negara yang
dirancang sebagai alternatif mekanisme pendanaan pembangunan nasional di luar skema
APBN. Dirancang sebagai sovereign wealth entity berbasis aset negara, Danantara bertujuan
mengonsolidasikan dan mengelola aset-aset negara yang selama ini tidak produktif menjadi
portofolio investasi strategis yang dapat memberikan return ekonomi, sosial, dan fiskal bagi
negara. Dalam banyak hal, konsep ini mencerminkan inspirasi dari model-model sukses
seperti Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia. Namun, Danantara
menghadapi tantangan khas Indonesia, baik dari sisi kelembagaan, regulasi, maupun tata
kelola.
Kehadiran Danantara sangat relevan dan strategis untuk menjawab permasalahan klasik
pembangunan nasional: keterbatasan fiskal, ketimpangan wilayah, rendahnya daya saing
investasi, serta belum optimalnya pemanfaatan aset negara. Indonesia diketahui memiliki
ribuan aset negara yang nilainya sangat besar, tetapi belum berfungsi secara maksimal untuk
mendukung pembangunan. Alih-alih menjadi sumber pemasukan negara, aset-aset tersebut
justru menjadi beban dalam laporan keuangan pemerintah. Melalui Danantara, aset-aset
tersebut diharapkan dapat diaktivasi sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang
inovatif, fleksibel, dan berorientasi hasil.
Dalam perspektif ketahanan nasional, Danantara menyentuh dimensi-dimensi mendasar yang
penting untuk diperkuat di tengah gejolak global dan kompetisi antarnegara. Dari sisi
ketahanan ekonomi, Danantara menjadi instrumen penciptaan mesin pertumbuhan baru
berbasis pemanfaatan aset tak produktif. Dari sisi ketahanan sosial, lembaga ini memiliki
potensi mendorong pemerataan pembangunan dan mengurangi kesenjangan ekonomi
antarwilayah, terutama melalui investasi di daerah tertinggal dan luar Jawa. Dari sisi
ketahanan politik dan hukum, Danantara menawarkan pendekatan baru dalam pengelolaan
keuangan negara yang transparan dan akuntabel, sejalan dengan tuntutan reformasi birokrasi
dan penguatan institusi. Sementara dari sisi ketahanan global, kemampuan Indonesia
mengelola kekayaan negaranya secara profesional akan meningkatkan daya tarik investasi dan
memperkuat posisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global.
Dengan demikian, Danantara bukan hanya solusi teknis atas keterbatasan APBN, tetapi
merupakan bagian dari desain besar transformasi kelembagaan negara menuju tata kelola
pembangunan yang modern, efektif, dan berkelanjutan. Keberadaannya harus diposisikan

30

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
sebagai instrumen strategis dalam memperkuat kedaulatan ekonomi dan mewujudkan
pembangunan nasional yang tangguh, adil, dan mandiri.

2. Pembahasan
Gagasan pembentukan Danantara sebagai alternatif pembiayaan pembangunan nasional
merupakan terobosan strategis. Namun, untuk menjadikannya efektif dan kredibel, berbagai
tantangan besar harus diantisipasi secara serius dan menyeluruh. Permasalahan strategis yang
mengintai bukan hanya teknis, tetapi bersifat struktural dan politis, yang jika diabaikan dapat
merusak kepercayaan publik dan menggagalkan tujuan awal pembentukan Danantara.
Salah satu tantangan utama adalah potensi lemahnya tata kelola dan munculnya praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai lembaga pengelola aset negara bernilai triliunan
rupiah, Danantara berisiko menjadi ladang penyimpangan jika tidak dilengkapi dengan sistem
pengawasan yang independen, transparan, dan berbasis akuntabilitas publik. Tanpa
mekanisme pengawasan yang kuat, Danantara berpotensi mengulangi skenario kegagalan
lembaga BUMN strategis di masa lalu yang tersandung masalah korupsi dan konflik
kepentingan, sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa Danantara bisa menjadi
"Pertamina Jilid II" dalam aspek penyalahgunaan kewenangan.
Permasalahan berikutnya adalah ketidakjelasan arah bisnis dan strategi kelembagaan. Jika
Danantara tidak memiliki roadmap yang jelas, terintegrasi, dan selaras dengan dokumen
perencanaan nasional seperti RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029, maka arah investasi
yang diambil bisa menjadi tidak fokus atau bahkan bertentangan dengan prioritas
pembangunan nasional. Ketidakjelasan ini bukan hanya akan melemahkan legitimasi publik
terhadap Danantara, tetapi juga akan mempersulit proses evaluasi dan pengawasan terhadap
kinerja dan dampaknya terhadap pembangunan.
Intervensi politik dan konflik kepentingan juga menjadi ancaman nyata. Dalam praktik
birokrasi Indonesia, tidak jarang lembaga strategis menjadi sasaran tarik-menarik kepentingan
politik, baik dari dalam pemerintahan maupun aktor eksternal. Jika pengambilan keputusan
strategis Danantara—termasuk dalam penempatan investasi, seleksi mitra, hingga pemilihan
pimpinan—didominasi oleh kekuatan politik dan bukan logika bisnis serta kepentingan
nasional jangka panjang, maka independensi lembaga ini akan runtuh. Lebih buruk lagi,
kredibilitasnya di mata investor akan luntur.
Tantangan selanjutnya adalah ketergantungan terhadap teknologi dan investasi asing.
Meskipun kerja sama dengan mitra internasional adalah keniscayaan, namun tanpa strategi
mitigasi yang matang, dominasi asing dalam pengelolaan dan penguasaan teknologi dapat
melemahkan kedaulatan ekonomi nasional. Hal ini akan mengurangi nilai tambah dalam
negeri dan menjauhkan Indonesia dari tujuan menjadi negara yang mandiri secara ekonomi.
Dalam perspektif ketahanan nasional, Danantara tidak boleh dilihat semata sebagai lembaga
keuangan atau entitas bisnis. Ia harus diposisikan sebagai instrumen negara dalam
restrukturisasi dan redistribusi ekonomi. Dari sisi restrukturisasi, Danantara diharapkan
mampu mengubah struktur ekonomi nasional yang selama ini bergantung pada sektor primer
dan konsumsi domestik menjadi lebih produktif dan kompetitif melalui investasi pada sektor
strategis seperti energi hijau, infrastruktur digital, dan industri berbasis teknologi. Sektor-
sektor ini memiliki multiplier effect tinggi dan dapat memperkuat fondasi ekonomi jangka
panjang yang berkelanjutan.

31

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Sementara itu, dari sisi redistribusi, Danantara dapat mendorong pemerataan pembangunan
ekonomi dengan mengarahkan investasi ke daerah tertinggal, mendukung UMKM, serta
memperkuat akses masyarakat terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan
perumahan. Dengan demikian, Danantara dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan
ekonomi dan memperkecil kesenjangan antarwilayah dan antarkelompok sosial.
Dalam konteks tersebut, peran kepemimpinan nasional menjadi sangat penting dan
menentukan. Hanya dengan kepemimpinan yang kuat, visioner, dan konsisten, reformasi
regulasi yang diperlukan untuk memperkuat landasan hukum Danantara dapat dilakukan.
Pemerintah perlu mendorong revisi Undang-Undang Keuangan Negara, Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, dan dokumen RPJPN dan RPJMN agar Danantara memperoleh posisi
yang legal dan fungsional dalam kerangka pembangunan nasional. Selain itu, kepemimpinan
nasional juga harus menjamin bahwa Danantara terbebas dari intervensi politik, menjaga
independensi dan profesionalitas manajemennya, serta menjadikan transparansi dan
partisipasi publik sebagai prinsip utama dalam tata kelolanya.
Kepemimpinan yang mampu merangkul lintas aktor dan menjembatani visi jangka panjang
pembangunan dengan kebutuhan konkret masyarakat akan menjadi penentu apakah
Danantara akan menjadi warisan keberhasilan atau kegagalan institusional dalam sejarah
pembangunan nasional Indonesia.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Danantara hadir sebagai inisiatif strategis yang menjanjikan alternatif pembiayaan
pembangunan nasional di luar skema konvensional APBN. Dengan mengonsolidasikan dan
mengelola aset negara yang selama ini tidak produktif, Danantara berpotensi menjadi motor
penggerak baru pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan, bahkan mampu
mendorong pertumbuhan hingga 8% per tahun. Lebih dari sekadar lembaga investasi,
Danantara dapat menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan ekonomi, memperkuat daya
saing nasional, dan menjawab tantangan pembangunan jangka panjang menuju Indonesia
Emas 2045.
Namun demikian, potensi besar ini harus diimbangi dengan kesadaran penuh akan risiko yang
menyertainya. Tanpa tata kelola yang kuat dan sistem pengawasan yang ketat, Danantara
berisiko menjadi ruang baru bagi penyimpangan dan intervensi politik. Kegagalan dalam hal
ini tidak hanya akan merugikan ekonomi, tetapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap
institusi negara.
Oleh karena itu, kunci keberhasilan Danantara terletak pada perencanaan strategis jangka
panjang yang terintegrasi, perbaikan regulasi yang menyeluruh, serta komitmen terhadap
transparansi dan akuntabilitas. Hanya dengan fondasi tersebut, Danantara dapat benar-benar
menjadi instrumen perubahan, bukan sekadar replika dari kegagalan masa lalu.

Rekomendasi
Agar Danantara dapat berfungsi optimal sebagai alternatif pembiayaan pembangunan
nasional yang kredibel dan berdaya tahan jangka panjang, dibutuhkan serangkaian langkah

32

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
strategis yang menyeluruh dan terarah. Pertama, revisi dan harmonisasi regulasi menjadi
fondasi utama. Pemerintah perlu segera merevisi UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No.
59 Tahun 2024 tentang RPJPN, serta Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN agar posisi
Danantara memiliki landasan hukum yang kuat dan terintegrasi dalam sistem perencanaan
nasional.
Kedua, penyusunan grand design Danantara harus dilakukan untuk memastikan arah
kelembagaan sejalan dengan visi pembangunan jangka panjang. Grand design ini perlu
memprioritaskan sektor strategis yang memiliki dampak luas, seperti infrastruktur, energi
hijau, teknologi digital, dan ketahanan pangan.
Ketiga, penguatan tata kelola dan transparansi menjadi kunci agar Danantara tidak terjebak
dalam praktik birokratis lama. Prinsip Good Corporate Governance harus ditegakkan, disertai
audit rutin oleh BPK, KPK, dan lembaga independen, serta pelibatan publik melalui platform
pelaporan daring yang terbuka.
Keempat, diterapkan pengawasan multi-lapis dengan membentuk oversight committee
independen yang terdiri dari akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga pengawas, serta
memanfaatkan teknologi cerdas seperti AI untuk mitigasi risiko investasi.
Kelima, investasi Danantara harus selektif dan berbasis audit aset yang komprehensif,
menjauhi spekulasi, dan berorientasi pada kemitraan strategis bernilai tambah tinggi.
Terakhir, kapasitas SDM dan komunikasi publik harus diperkuat melalui sistem rekrutmen
meritokratik, uji kelayakan pimpinan secara terbuka, dan edukasi publik yang proaktif untuk
membangun kepercayaan serta memperkuat posisi Indonesia di tingkat global.

4. Daftar Pustaka
Baderi, Firdaus, 2025, Danantara sebagai Kekuatan Ekonomi Masa Depan Indonesia, Neraca,
25 Februari, https://www.neraca.co.id/article/215093/danantara-sebagai-kekuatan-
ekonomi-masa-depan-indonesia
Bank Indonesia, 2022, Indonesia’s G20 Presidency: Global Synergy Drives Economic
Recovery, Economic Report on Indonesia 2022, Chapter IV,
https://www.bi.go.id/en/publikasi/laporan/Documents/8_LPI2022_EN_CHAPTER_6.p
df
Bappenas (2024). Outlook Pembiayaan Pembangunan Jangka Panjang.
Dokumen internal Danantara (2024): Kajian Strategis dan Potensi Implementasi.
Evandio, Akbar, 2025, Isi Pidato Lengkap Prabowo Subianto saat Peresmian Danantara,
Bisnis.com, 24 Februari, https://kabar24.bisnis.com/read/20250224/15/1842044/isi-
pidato-lengkap-prabowo-subianto-saat-peresmian-danantara.
Jain, Riya & Abhinash Jena, 2024,Inclusive Growth and Equitable Development: A
Framework for Assessing Contributions, November 19,
https://www.projectguru.in/inclusive-growth-and-equitable-development-a-
framework-for-assessing-contributions/

33

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Kompas.com, CNBC Indonesia, Tempo (2024–2025): Liputan peluncuran Danantara dan
analisis publik.
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029.
Santoso, Budhi, 2022, Agum Gumelar: Alumni Lemhannas harus memiliki jati diri pejuang,
Antara, 23 November, https://www.antaranews.com/berita/3260597/agum-gumelar-
alumni-lemhannas-harus-memiliki-jati-diri-pejuang
Solihin, Dadang, 2025, Scenario Planning Bonus Demografi 2045, Menuju Satu Abad
Indonesia Emas: Curah Pikir Alumni Lemhannas, 27 Februari,
https://www.slideshare.net/slideshow/scenario-planning-bonus-demografi-2045-
menuju-satu-abad-indonesia-emas-81d0/276066872
Solihin, Dadang dan Antoni Ludfi, 2025, Danantara: Pilar Ekonomi atau Beban Negara?,
Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis dan Inovasi Universitas Sam Ratulangi
https://www.slideshare.net/slideshow/danantara-pilar-ekonomi-atau-beban-
negara/277990410
Solihin, Dadang, 2025, (Review Buku) By Generations, for Generations: Fifty Years of
Temasek as Told by the People Who Shaped It karya Ong Soh Chin, dengan bantuan
Goh Yee Huay, 24 Februari, https://www.facebook.com/share/p/15rm545yRm/
Solihin, Dadang, 2025, (Review Buku) China Investment Corporation: China's Key Sovereign
Wealth Fund and Chinese Investment Issues Editor Ines Hembrecht, 25 Februari,
https://www.facebook.com/share/p/14uThDknS8/
Tempo, 2025, IHSG Merosot setelah Peluncuran Danantara, Dewan Penasihat Presiden Sebut
Investor Salah Paham, 25 Februari, https://www.tempo.co/ekonomi/ihsg-merosot-
setelah-peluncuran-danantara-dewan-penasihat-presiden-sebut-investor-salah-
paham-1211893
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-Undang No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045.
Worls Bank, 2024, Digital Transformation: The World Bank provides knowledge and financing
to help close the global digital divide, and make sure countries can take full
advantage of the ongoing digital revolution, October 14,
https://www.worldbank.org/en/topic/digital/overview

34

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 06
Energi Nuklir dalam rangka Ketahanan Nasional

Ringkasan Eksekutif
Ketahanan energi merupakan salah satu fondasi utama dalam menjaga stabilitas dan
kedaulatan suatu negara. Bagi Indonesia, yang tengah mengalami pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, kebutuhan energi meningkat secara signifikan dari
tahun ke tahun. Ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil tidak hanya menyulitkan
dalam hal keberlanjutan pasokan, tetapi juga menimbulkan persoalan lingkungan yang serius.
Dalam kerangka membangun ketahanan nasional yang berkelanjutan, Indonesia perlu
melakukan transformasi energi secara menyeluruh dan progresif.
Salah satu langkah strategis yang kini menjadi perhatian adalah pengembangan energi nuklir.
Meskipun selama ini masih menjadi wacana yang kontroversial, energi nuklir menawarkan
sejumlah keunggulan, antara lain emisi karbon yang sangat rendah, efisiensi tinggi, dan
kestabilan pasokan energi jangka panjang. Dalam konteks global, banyak negara mulai
menghidupkan kembali agenda nuklir mereka sebagai bagian dari upaya pencapaian target
iklim dan ketahanan energi nasional.
Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmen kuat terhadap isu perubahan iklim dengan
meratifikasi Paris Agreement dan menargetkan pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada
tahun 2060. Untuk merealisasikan target ambisius ini, Indonesia tidak bisa hanya
mengandalkan energi terbarukan konvensional seperti surya dan angin yang sifatnya
intermiten dan memerlukan dukungan infrastruktur penyimpanan energi yang besar. Oleh
karena itu, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) perlu diposisikan sebagai salah satu solusi
utama dalam bauran energi masa depan.
Secara potensi, Indonesia memiliki modal awal yang cukup menjanjikan. Beberapa daerah
diketahui memiliki cadangan uranium dan thorium, serta lembaga riset seperti BATAN telah
memiliki pengalaman panjang dalam penelitian dan pengembangan teknologi nuklir. Namun,
tantangan yang dihadapi tidak ringan. Isu resistensi publik terhadap risiko keselamatan dan
limbah radioaktif masih menjadi hambatan psikologis yang besar. Di sisi lain, aspek regulasi,
pembiayaan, dan transfer teknologi juga perlu disiapkan dengan cermat.
Policy brief ini menyajikan analisis mendalam mengenai urgensi dan prospek energi nuklir
dalam perspektif ketahanan nasional. Dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik dan
potensi krisis energi global, kemandirian dalam penyediaan energi mutlak diperlukan. Oleh
karena itu, energi nuklir bukan lagi sekadar alternatif, melainkan kebutuhan strategis untuk
menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.
Sebagai kesimpulan, energi nuklir harus secara tegas dimasukkan dalam agenda strategis
pembangunan nasional. Pemerintah perlu menyusun peta jalan pengembangan nuklir yang
terintegrasi dengan kebijakan energi nasional, melibatkan partisipasi publik, memperkuat
kerangka regulasi, serta menjalin kemitraan internasional untuk alih teknologi dan
pembiayaan. Dengan langkah yang terencana dan berani, Indonesia dapat memanfaatkan

35

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
energi nuklir sebagai pilar penting dalam mewujudkan transisi energi bersih dan ketahanan
nasional yang tangguh menuju 2045 dan seterusnya.

1. Pendahuluan
Percepatan perubahan iklim, volatilitas harga serta pasokan minyak dan gas, dan tekanan kuat
masyarakat internasional agar semua negara menurunkan emisi karbon menempatkan sektor
energi pada pusat perhatian strategis abad ke-21. Indonesia—negara kepulauan berpenduduk
lebih dari 280 juta jiwa dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas lima persen per
tahun—memerlukan tambahan kapasitas listrik yang besar, andal, dan bersih untuk
menopang industrialisasi, digitalisasi, serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Kolaborasi
Bappenas dan BRIN telah menghasilkan “Peta Jalan Net Zero Emission 2060”, yang
memperkirakan kebutuhan kapasitas terpasang di atas 700 GW, dengan porsi sekitar 40 GW
berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Namun hingga pertengahan 2025 belum satu pun PLTN beroperasi di tanah air. Ironisnya,
Indonesia pernah menjadi pionir riset nuklir di Asia Tenggara melalui reaktor Triga Bandung
(1964), Kartini Yogyakarta (1979), dan Serpong Banten (1987). Ketertinggalan ini disebabkan
belum siapnya regulasi, terbatasnya skema pendanaan, resistensi sosial akibat kekhawatiran
keselamatan dan limbah radioaktif, serta keraguan investor terhadap kepastian proyek jangka
panjang. Pada saat yang sama, Prancis, Tiongkok, Amerika Serikat, Rusia, dan Korea Selatan
terus memperluas kapasitas nuklirnya, sementara Vietnam—yang sempat menunda
proyeknya pada 2016—kembali memasukkan PLTN dalam Rencana Pembangunan Listrik VIII
pada 2024. Tanpa langkah cepat, Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam perlombaan
transisi energi bersih.
Dari perspektif ketahanan nasional, energi nuklir memiliki nilai strategis yang multidimensi.
Pertama, PLTN menyediakan daya baseload beremisi karbon nyaris nol, menjamin keandalan
jaringan listrik sekaligus mendukung target Paris Agreement. Kedua, diversifikasi bauran
melalui nuklir menurunkan ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, memperbaiki
neraca perdagangan, dan meredam tekanan geopolitik di jalur pasokan energi internasional.
Ketiga, rantai pasok nuklir—mulai dari pertambangan uranium dan thorium di Kalimantan
Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi hingga rekayasa material tahan radiasi—mendorong
tumbuhnya industri strategis domestik, membuka lapangan kerja berketerampilan tinggi,
serta meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri.
Keempat, keberhasilan mengoperasikan PLTN akan memperkuat posisi tawar Indonesia dalam
diplomasi energi dan iklim, serta meningkatkan daya tarik investasi hijau karena industri global
semakin mensyaratkan pasokan listrik bebas karbon untuk rantai nilai mereka. Kelima, reaktor
generasi lanjut membuka peluang aplikasi sinergis—seperti produksi hidrogen hijau,
desalinasi air laut bagi wilayah pesisir kering, dan radioisotop untuk diagnosa serta terapi
kanker—yang secara langsung menambah lapisan ketangguhan ekonomi, pangan, dan
kesehatan. Untuk merealisasikan potensi tersebut, Indonesia harus segera menuntaskan
paket regulasi nuklir terpadu, membentuk badan otoritas independen, merancang model
pembiayaan hibrida berbasis kemitraan publik-swasta, serta menggelar program komunikasi
risiko publik yang transparan.
Karena itu, pengembangan PLTN tidak boleh lagi dipandang sekadar isu teknis, melainkan
agenda lintas-sektor yang menyatukan prioritas ekonomi, lingkungan, sosial, dan keamanan.

36

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Dengan kepemimpinan politik yang konsisten, kemitraan internasional yang setara, serta
partisipasi publik yang inklusif, energi nuklir akan menjadi batu pijakan menuju Indonesia yang
berdaulat, mandiri, dan berdaya saing di panggung global.

2. Pembahasan
Upaya menjadikan energi nuklir sebagai bagian integral dari sistem ketahanan nasional
Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan strategis yang kompleks dan
multidimensional. Pertama, resistensi sosial masih menjadi hambatan utama. Sebagian besar
masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap energi nuklir yang dipengaruhi oleh memori
bencana nuklir seperti Chernobyl dan Fukushima. Kekhawatiran terhadap radiasi,
keselamatan, dan pengelolaan limbah radioaktif menimbulkan penolakan di tingkat lokal,
khususnya di daerah yang berpotensi menjadi lokasi pembangunan PLTN. Kurangnya edukasi
publik dan literasi energi menambah keraguan terhadap manfaat nuklir.
Kedua, Indonesia masih belum memiliki infrastruktur hukum dan kelembagaan yang memadai
untuk mendukung pengembangan dan pengoperasian PLTN. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran belum mencakup pengaturan rinci tentang pelaksanaan
proyek komersial PLTN. Selain itu, belum terbentuk otoritas pengawas yang independen
sesuai standar Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Ketiga, dari sisi teknologi, Indonesia masih sangat bergantung pada pihak asing untuk reaktor,
sistem keselamatan, hingga pemrosesan bahan bakar. Ketergantungan ini berpotensi
menimbulkan risiko dalam hal kedaulatan teknologi dan keamanan pasokan, terutama dalam
situasi geopolitik yang tidak stabil.
Keempat, kesiapan sumber daya manusia dan industri pendukung masih terbatas. SDM nuklir
Indonesia umumnya terkonsentrasi di bidang riset, belum secara luas mencakup konstruksi,
pengoperasian, dan manajemen proyek PLTN skala besar. Industri nasional pun belum
terhubung dalam rantai pasok teknologi nuklir, mulai dari manufaktur komponen, rekayasa,
hingga logistik khusus.
Kelima, pembangunan PLTN membutuhkan investasi awal yang sangat besar dan waktu
penyelesaian proyek yang panjang (10–15 tahun). Hal ini menimbulkan tantangan dalam hal
pembiayaan, kelayakan ekonomi, serta kepastian pasar listrik jangka panjang. Tanpa jaminan
dari negara, investor cenderung ragu untuk terlibat dalam proyek yang berisiko tinggi ini.
Dari perspektif ketahanan nasional, pengembangan energi nuklir menyentuh lima dimensi
penting. Pertama, ketahanan energi. PLTN merupakan sumber energi baseload yang stabil,
efisien, dan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Hal ini menjadi solusi ideal untuk memenuhi
kebutuhan listrik di kawasan industri dan kota besar.
Kedua, ketahanan ekonomi. Pembangunan PLTN mendorong pengembangan industri
rekayasa, teknologi tinggi, dan manufaktur dalam negeri. Dampaknya adalah penciptaan
lapangan kerja, peningkatan kompetensi teknis nasional, dan multiplier effect ekonomi yang
luas.
Ketiga, ketahanan sosial. Melalui program edukasi, pelatihan, dan transfer teknologi,
masyarakat Indonesia dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru. Ini akan
meningkatkan kualitas SDM nasional dan memperkuat daya saing bangsa.

37

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Keempat, ketahanan lingkungan. PLTN tidak menghasilkan emisi karbon langsung, sehingga
sangat mendukung komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement dan target Net Zero
Emission 2060.
Kelima, ketahanan geopolitik. Dengan PLTN, Indonesia akan memiliki posisi tawar lebih tinggi
dalam negosiasi energi dan iklim global. Partisipasi dalam rantai pasok nuklir dunia juga
membuka peluang kerja sama strategis dengan negara maju dan lembaga internasional.
Dari perspektif kepemimpinan nasional, kepemimpinan nasional yang kuat dan visioner
menjadi kunci sukses pembangunan PLTN di Indonesia. Presiden harus menjadi motor
penggerak utama, memberikan arahan kebijakan yang konsisten, serta memastikan seluruh
kementerian dan lembaga bergerak secara sinergis.
Langkah pertama yang mendesak adalah menetapkan PLTN sebagai Proyek Strategis Nasional
(PSN) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Ini akan
memberikan kepastian politik dan hukum bagi investor serta mempercepat proses perizinan.
Selanjutnya, dibutuhkan penyusunan regulasi khusus tentang energi nuklir komersial yang
mencakup aspek keselamatan, pertanggungjawaban hukum, perlindungan masyarakat, dan
insentif investasi. Pembentukan NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization)
yang kuat dan lintas sektor juga menjadi syarat mutlak, sesuai panduan IAEA.
Yang tak kalah penting adalah membangun komunikasi publik yang transparan, inklusif, dan
berbasis sains. Pemerintah perlu menggandeng akademisi, tokoh masyarakat, dan media
untuk menciptakan pemahaman kolektif bahwa energi nuklir adalah pilihan strategis yang
aman, bersih, dan berkelanjutan.
Dengan kepemimpinan nasional yang berani dan kolaboratif, hambatan yang ada dapat
diubah menjadi peluang menuju ketahanan energi dan kemajuan bangsa.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Energi nuklir adalah solusi strategis yang mendesak untuk memperkuat ketahanan nasional
Indonesia di tengah meningkatnya kebutuhan energi, fluktuasi pasokan energi fosil, dan
tekanan global terhadap pengurangan emisi karbon. Sebagai sumber energi yang stabil,
bersih, dan efisien, nuklir mampu menopang ketahanan energi jangka panjang sekaligus
mendukung komitmen Indonesia terhadap Net Zero Emission 2060.
Namun, untuk merealisasikannya, dibutuhkan langkah-langkah konkret dan sistematis yang
mencakup penyusunan regulasi yang tegas dan komprehensif, pembangunan kapasitas
teknologi dan SDM, penguatan kelembagaan pelaksana, serta jaminan pembiayaan proyek
PLTN. Selain itu, kunci keberhasilan terletak pada peningkatan literasi publik dan komunikasi
risiko yang transparan agar resistensi sosial dapat diminimalisasi. Dukungan dan konsistensi
kepemimpinan nasional mutlak diperlukan untuk memastikan integrasi energi nuklir dalam
kebijakan strategis nasional.
Dengan pendekatan yang menyeluruh dan terarah, energi nuklir dapat menjadi pilar penting
dalam transisi energi Indonesia, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam peta geopolitik
energi global.

38

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Rekomendasi
Untuk mewujudkan energi nuklir sebagai bagian integral dari ketahanan nasional, diperlukan
langkah-langkah strategis yang terstruktur dan menyeluruh. Pertama, dari sisi regulasi dan
kelembagaan, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan nasional.
Selain itu, perlu dibentuk lembaga pelaksana khusus, yaitu NEPIO (Nuclear Energy Program
Implementing Organization) yang langsung berada di bawah koordinasi Presiden untuk
memastikan kepemimpinan dan sinergi lintas sektor.
Kedua, dalam hal rencana pembangunan PLTN, pemerintah perlu segera menentukan lokasi
tapak yang memenuhi kajian teknis dan sosial secara komprehensif. Pemilihan teknologi
reaktor generasi III+ yang terbukti aman dan efisien harus menjadi prioritas untuk memastikan
keberterimaan publik dan kelayakan proyek.
Ketiga, dari aspek kesiapan SDM dan teknologi, penting untuk membangun program
pendidikan nuklir di berbagai jenjang pendidikan tinggi serta memperkuat kerja sama
internasional untuk transfer teknologi dan pelatihan teknis.
Keempat, dari sisi pendanaan dan insentif, pengembangan PLTN dapat menggunakan skema
Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Pemerintah juga perlu memberikan insentif
fiskal maupun non-fiskal untuk menarik minat investor.
Kelima, diperlukan strategi sosialisasi dan edukasi publik secara masif, yang melibatkan tokoh
masyarakat, akademisi, dan media massa untuk membangun kepercayaan publik terhadap
keamanan dan manfaat jangka panjang energi nuklir bagi bangsa.

4. Daftar Pustaka
Hindarto, D., et al. (2018). Energy Planning for Indonesia's NDC. Bappenas.
IAEA (2021). Nuclear Power and the Clean Energy Transition. Vienna.
Susiati, H., et al. (2023). Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia: Upaya Berkelanjutan
Menuju Net Zero Emission. Malang: Unisma Press.

39

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 07
Provinsi Jakarta Pasca Daerah Khusus Ibu Kota Indonesia

Ringkasan Eksekutif
Pemindahan status Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan
Timur, efektif sejak 15 Februari 2024 sebagaimana amanat UU No. 3 Tahun 2022, merupakan
langkah monumental dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dengan status baru ini, Jakarta
tidak lagi berperan sebagai pusat pemerintahan, namun justru menghadapi peluang strategis
untuk menegaskan kembali posisinya sebagai kota global yang berdaya saing tinggi, inovatif,
dan tetap berkontribusi terhadap kepentingan nasional serta ketahanan nasional.
Perubahan ini membawa dampak signifikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kota
Jakarta, termasuk ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan-keamanan, geografi,
sumber daya, hingga demografi. Jakarta bukan hanya simbol masa lalu sebagai pusat
kekuasaan, tetapi juga cermin masa depan Indonesia sebagai negara besar dengan kota-kota
maju, inklusif, dan resilien.
Secara ideologis, Jakarta tetap akan menjadi episentrum pengarusutamaan nilai-nilai
Pancasila, pluralisme, dan kebinekaan. Secara ekonomi, Jakarta berpeluang menguatkan
peran sebagai pusat keuangan dan perdagangan nasional serta regional dengan aglomerasi
Jabodetabek yang semakin dinamis. Dalam ranah sosial budaya, Jakarta tetap menjadi melting
pot Indonesia, tempat tumbuhnya kohesi sosial dan laboratorium keberagaman.
Namun, perubahan ini juga menuntut langkah konkret dalam perumusan kebijakan tata kelola
yang efisien dan adaptif. Salah satu wacana strategis yang mencuat adalah penggabungan
Jakarta dengan sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat sebagai solusi integratif untuk
membentuk kawasan megapolitan yang terencana, modern, dan efektif secara administrasi
serta fiskal. Hal ini mengacu pada kebutuhan pengelolaan lintas batas wilayah yang semakin
kompleks, khususnya antara Jakarta dan kota-kota penyangga seperti Bekasi, Depok, Bogor,
dan Tangerang.
Rekomendasi utama dalam policy brief ini mencakup: (1) Penetapan status Jakarta sebagai
pusat bisnis dan budaya nasional dengan kewenangan otonom khusus; (2) Penguatan peran
Jakarta dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional sebagai kota strategis; (3)
Pengembangan tata kelola metropolitan Jabodetabek melalui institusi koordinatif lintas
daerah; (4) Kajian teknokratik terhadap opsi merger Jakarta–Jawa Barat untuk menciptakan
pemerintahan yang lebih terintegrasi dan responsif; serta (5) Pembangunan Jakarta sebagai
smart and resilient city dengan basis inovasi, ekologi, dan partisipasi masyarakat.
Dengan strategi yang tepat, Jakarta akan tetap memainkan peran penting dalam peta
pembangunan nasional pasca pemindahan Ibu Kota Negara, sekaligus memperkuat daya saing
Indonesia di tingkat global dalam menghadapi era transformasi sosial, ekonomi, dan
geopolitik yang semakin kompleks dan dinamis.

40

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

1. Pendahuluan
Per 15 Februari 2024, Jakarta resmi tidak lagi menyandang status sebagai Ibu Kota Negara,
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara. Pergantian ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan titik balik
sejarah yang monumental bagi Jakarta, kota yang selama lebih dari tujuh dekade menjadi
pusat kekuasaan politik, pemerintahan, dan simbol kebangsaan Republik Indonesia. Dengan
ditetapkannya Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur sebagai pusat pemerintahan
baru, Jakarta memasuki babak transformasi yang menentukan arah masa depannya.
Pertanyaan yang segera mengemuka adalah: Apa masa depan Jakarta setelah tidak lagi
menjadi ibu kota negara? Pertanyaan ini tidak sekadar spekulatif, melainkan mencerminkan
kekhawatiran sekaligus harapan atas posisi strategis Jakarta dalam pembangunan nasional ke
depan. Kota ini tetap menjadi pusat gravitasi dalam konteks ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebagai kota megapolitan dengan infrastruktur paling maju dan jaringan global yang kuat,
Jakarta memiliki semua potensi untuk bertransformasi menjadi pusat kegiatan ekonomi,
bisnis, keuangan, dan budaya berskala internasional.
Berbagai proyeksi menunjukkan bahwa Jakarta dan wilayah sekitarnya (Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek) akan terus tumbuh sebagai kawasan aglomerasi
ekonomi terbesar di Indonesia. Data menunjukkan bahwa wilayah ini menyumbang lebih dari
20 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Dengan konektivitas infrastruktur yang
semakin kuat dan konsentrasi penduduk serta pusat-pusat kegiatan ekonomi, kawasan ini
tidak hanya menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, tetapi juga memegang peran vital
dalam menjaga stabilitas sosial dan ketahanan nasional.
Dengan demikian, pengelolaan Jakarta pasca-pemindahan ibu kota tidak bisa dipandang
sebagai isu sektoral atau kewenangan pemerintah daerah semata. Ia menyangkut dimensi
strategis yang lebih luas, termasuk kesinambungan pembangunan nasional, daya saing global,
keamanan nasional, serta kualitas hidup warga. Dalam kerangka Ketahanan Nasional, Jakarta
tetap memainkan peran kunci, terutama dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan-keamanan, geografi, demografi, dan sumber daya.
Relevansi pembahasan ini semakin penting ketika dikaitkan dengan kebutuhan akan arah
pembangunan yang visioner, integratif, dan berkelanjutan. Kota Jakarta harus dikembangkan
bukan sekadar sebagai “bekas ibu kota”, melainkan sebagai entitas baru yang memiliki peran
strategis dalam peta pembangunan Indonesia masa depan. Oleh karena itu, diperlukan desain
kebijakan jangka panjang yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap perubahan status
administratif, tetapi juga proaktif dalam menjawab tantangan dan peluang transformasi
Jakarta ke depan. Dengan pengelolaan yang tepat, Jakarta berpotensi menjadi kota global
yang inklusif, resilien, dan mendukung pencapaian tujuan strategis nasional menuju Indonesia
Emas 2045.

2. Pembahasan
Meskipun tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta tetap memainkan peran strategis dalam
menjaga Ketahanan Nasional Indonesia. Dalam aspek ideologi, Jakarta masih menjadi
barometer nilai-nilai Pancasila di tengah dinamika urban yang kompleks. Kehadiran lembaga

41

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
pendidikan, pusat kajian ideologi, media massa, serta budaya populer yang lahir dari kota ini
menjadikan Jakarta sebagai medan utama penyemaian nasionalisme dan kebangsaan. Dalam
lanskap sosial yang penuh keberagaman, penanaman nilai persatuan dan toleransi menjadi
fondasi utama mencegah disintegrasi bangsa.
Secara politik, peran Jakarta telah mengalami pergeseran dari pusat kekuasaan menjadi pusat
dinamika demokrasi. Berbagai aktivitas politik, baik dari partai, organisasi masyarakat sipil,
hingga gerakan sosial, tetap menjadikan Jakarta sebagai ruang ekspresi dan aspirasi rakyat. Ke
depan, Jakarta dapat dikembangkan sebagai model demokrasi perkotaan yang berlandaskan
transparansi, partisipasi publik, dan inovasi tata kelola pemerintahan.
Dari sisi ekonomi, Jakarta masih menjadi tulang punggung utama dengan kontribusi besar
terhadap PDB nasional. Arah kebijakan yang menjadikan Jakarta sebagai kota bisnis global
perlu diperkuat melalui integrasi regional dengan kawasan penyangga (Jabodetabek), serta
akselerasi inovasi digital, konektivitas, dan ekonomi hijau. Sementara itu, dalam aspek sosial
budaya, pluralisme Jakarta menjadi kekuatan yang perlu terus dirawat melalui kohesi sosial
dan pembangunan berbasis komunitas.
Dalam perspektif pertahanan dan keamanan, Jakarta harus memperkuat sistem keamanan
cerdas dan adaptif terhadap ancaman non-tradisional seperti bencana alam, serangan siber,
dan terorisme. Terakhir, dalam dimensi geografi, sumber daya alam, dan demografi,
pembangunan Jakarta harus diarahkan pada efisiensi tata ruang, pengelolaan urbanisasi yang
inklusif, dan penguatan layanan dasar untuk menjamin keberlanjutan kota yang tangguh dan
berdaya saing.
Dari perspektif kota berketahanan (resilient city), pasca tidak lagi menjadi ibu kota negara,
Jakarta perlu diarahkan menjadi kota yang tangguh dan berdaya saing tinggi dalam
menghadapi berbagai tantangan zaman. Dalam pandangan strategis Lemhannas RI, konsep
Jakarta sebagai Kota Berketahanan (Resilient City) menjadi kerangka penting untuk menata
masa depan kota ini secara komprehensif. Pendekatan ini dibangun di atas lima pilar utama
yang saling melengkapi.
Pertama, Jakarta SIAP (Smart, Inklusif, Aman, Produktif) menempatkan teknologi sebagai
fondasi transformasi tata kelola kota. Penggunaan Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan
(AI), dan sistem pelayanan digital menjadi instrumen untuk meningkatkan efisiensi layanan
publik sekaligus memperluas aksesibilitas masyarakat terhadap hak-hak dasarnya.
Kedua, Jakarta SEHAT mengusung visi kota yang ramah lingkungan dan sehat secara fisik
maupun sosial. Penataan ruang yang mengutamakan ruang hijau, pengendalian polusi, serta
sistem layanan kesehatan yang merata dan responsif menjadi prioritas utama.
Ketiga, Jakarta TERHUBUNG menekankan pentingnya integrasi transportasi publik dan
konektivitas digital. Keberhasilan proyek MRT, LRT, dan pengembangan jalur sepeda serta
pejalan kaki perlu terus diperluas agar mobilitas warga semakin efisien dan berkelanjutan.
Keempat, pilar Tata Kelola Pemerintahan mendorong reformasi birokrasi berbasis data dan
transparansi. Jakarta harus menjadi contoh dalam pengambilan keputusan yang berbasis bukti
(evidence-based policy) dan pelayanan publik yang adaptif.
Kelima, Kohesi Sosial menjadi landasan stabilitas Jakarta sebagai kota plural. Dalam
keberagaman etnis, agama, dan budaya, partisipasi warga dan rasa memiliki terhadap kota

42

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
harus diperkuat agar Jakarta tumbuh sebagai rumah bersama yang damai, inklusif, dan resilien
menghadapi dinamika zaman.
Dari perspektif wacana merger Jakarta-Jawa Barat, gagasan penyatuan Jakarta dan Jawa Barat
atau merger dua provinsi ini merupakan isu strategis yang menuntut kajian objektif dan
mendalam. Ide ini muncul dari kebutuhan akan tata kelola metropolitan yang lebih efisien dan
responsif terhadap kompleksitas perkotaan yang terus berkembang di kawasan Jabodetabek.
Merger ini bukan semata penyatuan administratif, tetapi dapat menjadi solusi sistemik untuk
meningkatkan kualitas hidup dan daya saing kawasan.
Salah satu manfaat utama dari wacana ini adalah efisiensi pemerintahan. Dengan menyatukan
struktur birokrasi Jakarta dan Jawa Barat, terutama wilayah penyangga seperti Bekasi dan
Depok, sistem pemerintahan akan menjadi lebih ramping dan terkoordinasi. Efisiensi fiskal
pun dapat tercapai karena pengelolaan anggaran dan sumber daya dapat dilakukan secara
kolektif dan terintegrasi.
Dari sisi pengembangan wilayah terpadu, merger memungkinkan adanya perencanaan tata
ruang dan infrastruktur yang menyeluruh, mulai dari transportasi massal, pengelolaan
sampah, hingga konservasi lingkungan. Hal ini sangat penting dalam mengatasi tantangan
urban seperti kemacetan, banjir, dan ketimpangan layanan publik antardaerah.
Lebih jauh, penggabungan dua wilayah ini akan memperkuat ekonomi regional. Jakarta
sebagai pusat keuangan dan jasa nasional dapat bersinergi dengan potensi industri dan
pariwisata Jawa Barat. Ini akan menciptakan kawasan ekonomi megapolitan yang kompetitif
di tingkat Asia.
Namun, di balik potensi besar tersebut, terdapat tantangan yang tidak ringan. Resistensi
politik dari aktor lokal, kekhawatiran terhadap hilangnya identitas kultural, dan kesenjangan
kapasitas pemerintahan daerah menjadi isu yang harus dijawab. Oleh karena itu, merger ini
perlu dirancang dengan roadmap kebijakan yang matang dan pendekatan komunikasi publik
yang partisipatif untuk membangun kepercayaan dan legitimasi.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Transformasi Jakarta pasca-pemindahan status ibu kota negara membuka ruang strategis
untuk memperkuat peran kota ini sebagai pusat ekonomi, budaya, dan inovasi nasional yang
berdaya saing global. Meskipun tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, Jakarta tetap
memegang fungsi vital dalam menjaga stabilitas dan ketahanan nasional, terutama dalam
dimensi ideologi, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan perkotaan.
Sebagai kota yang terus berkembang, Jakarta memiliki peluang untuk menjadi model kota
berketahanan (resilient city) dengan tata kelola yang inklusif, responsif, dan berbasis teknologi.
Inisiatif seperti Jakarta SIAP, Jakarta SEHAT, dan Jakarta TERHUBUNG menjadi pilar penting
dalam membangun masa depan kota yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Wacana merger Jakarta dengan Provinsi Jawa Barat, jika dirancang dan dikelola secara tepat,
berpotensi menciptakan kawasan megapolitan yang lebih efisien, terkoordinasi, dan
kompetitif secara ekonomi. Namun, gagasan ini harus ditopang oleh kajian teknokratik yang
mendalam, dukungan kebijakan yang kuat, serta keterlibatan publik yang luas untuk

43

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
memastikan keberhasilan dan keberlanjutan kebijakan tersebut. Dengan pendekatan yang
strategis dan kolaboratif, Jakarta dapat terus menjadi bagian penting dalam peta ketahanan
dan kemajuan bangsa Indonesia.
Wacana merger Jakarta-Jawa Barat bisa menjadi peluang emas untuk menciptakan kawasan
megapolitan yang efisien dan kompetitif, namun membutuhkan kajian teknokratik, dukungan
publik, dan desain kelembagaan yang kokoh.

Rekomendasi
Untuk memastikan bahwa Jakarta tetap memainkan peran strategis pasca-pemindahan Ibu
Kota Negara, sejumlah langkah kebijakan perlu segera dirumuskan dan diimplementasikan
secara terarah. Pertama, penetapan status khusus Jakarta sebagai Global Business City
menjadi langkah awal yang krusial. Status ini harus disertai dengan kewenangan khusus dalam
sektor investasi, perdagangan, dan inovasi agar Jakarta memiliki fleksibilitas dalam menarik
modal, teknologi, dan talenta global.
Kedua, pembangunan Jakarta sebagai model Smart Resilient City nasional harus difokuskan
pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan pelayanan publik, efisiensi birokrasi, serta
memperkuat ketahanan lingkungan terhadap ancaman bencana dan perubahan iklim.
Penguatan sistem transportasi cerdas, manajemen limbah, dan energi bersih perlu
diprioritaskan.
Ketiga, tata kelola metropolitan Jabodetabek memerlukan lembaga koordinatif lintas daerah
dan lintas sektor yang kuat. Integrasi kebijakan antarwilayah akan mendukung efektivitas
pembangunan wilayah aglomerasi secara menyeluruh.
Keempat, wacana merger Jakarta-Jawa Barat perlu dikaji dan diuji coba secara bertahap.
Penggabungan kota administratif seperti Depok-Bekasi dengan Jakarta Timur-Selatan dapat
menjadi pilot project yang menguji efektivitas pengelolaan bersama wilayah perbatasan.
Kelima, penguatan kohesi sosial dan budaya Jakarta harus menjadi prioritas melalui
pelestarian kebudayaan lokal dan ruang ekspresi sosial. Jakarta harus tetap menjadi etalase
kebhinekaan nasional yang harmonis dan inklusif.
Terakhir, partisipasi publik dalam proses transformasi Jakarta perlu difasilitasi secara luas.
Keterlibatan warga melalui forum Musrenbang, dialog publik, dan konsultasi digital akan
memperkuat legitimasi kebijakan dan memastikan arah pembangunan Jakarta mencerminkan
aspirasi kolektif seluruh masyarakatnya.

4. Daftar Pustaka
CNN Indonesia. (2024). Pakar: Jakarta Sudah Bukan Ibu Kota Negara Sejak 15 Februari,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240306170515-20-1071268/pakar-
jakarta-sudah-bukan-ibu-kota-negara-indonesia-sejak-15-februari
Dadang Solihin. (2021). Pandangan Pemprov DKI tentang SisHankamrata Abad ke-21,
https://www.slideshare.net/slideshow/pandangan-pemprov-dki-tentang-
sishankamrata-abad-ke-21-249371557/249371557

44

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Dadang Solihin. (2022). Memori Jabatan Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan
Pariwisata, https://www.slideshare.net/slideshow/memori-jabatan-dr-dadang-
solihin-se-ma-249318085/249318085
Dadang Solihin. (2024). Jakarta Pasca Ibu Kota Negara, Majalah Telstra Merawat Harmoni
Bangsa, Current Issue, Edisi 04 – 2024,
https://www.slideshare.net/slideshow/jakarta-pasca-ibu-kota-negara-majalah-
telstra-0b96/276171888
DPD IKAL DKI. (2023). Best Practices Smart Governance Provinsi DKI Jakarta,
https://www.slideshare.net/slideshow/best-practices-smart-governance-provinsi-dki-
jakarta/265090573
Radar Nonstop. (2021). Cara Negarawan Bang Ali dan Solihin GP Selesaikan Perbatasan
Jakarta-Jabar, https://radarnonstop.co/read/29429/Cara-Negarawan-Begini-Ali-
Sadikin-dan-Solihin-GP-Selesaikan-Perbatasan-Jakarta-Jabar

45

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 08
Community Development guna Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka
Ketahanan Nasional

Ringkasan Eksekutif
Dalam satu dekade terakhir, pendekatan community development atau pemberdayaan
masyarakat sebagai strategi pembangunan partisipatif mengalami penurunan kualitas dan
dampak akibat dominasi pendekatan bantuan sosial langsung dari pemerintah. Program
seperti bantuan sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan skema bantuan lainnya yang
bersifat karikatif cenderung mengikis nilai-nilai fundamental dalam masyarakat seperti
kemandirian, gotong royong, solidaritas sosial, serta inovasi berbasis lokal. Ketika bantuan
menjadi pola tetap, muncul ketergantungan struktural yang melemahkan daya adaptasi dan
ketahanan sosial-ekonomi komunitas terhadap krisis dan dinamika perubahan.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap fondasi ketahanan nasional.
Ketahanan nasional, yang merupakan kondisi dinamis bangsa dalam menghadapi segala
bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, sangat bergantung pada kekuatan
masyarakat sebagai basis utama. Ketika masyarakat tidak diberdayakan dan tidak dilibatkan
secara aktif dalam pembangunan, maka ketahanan sosial, ekonomi, bahkan politik bangsa
menjadi rentan terhadap gejolak internal maupun eksternal. Oleh karena itu, revitalisasi
community development bukan hanya menjadi pilihan kebijakan, melainkan kebutuhan
strategis nasional.
Pendekatan community development memiliki karakteristik partisipatif, berbasis pada
kekuatan lokal, dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Program-program seperti
PNPM Mandiri, PEL (Pengembangan Ekonomi Lokal), serta berbagai inisiatif komunitas
sebelumnya telah menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan sebagai pelaku utama
pembangunan, maka dampak pembangunan menjadi lebih efektif, inklusif, dan tahan
terhadap guncangan.
Tulisan ini menggarisbawahi pentingnya pemulihan dan penguatan kembali praktik
community development melalui analisis terhadap berbagai permasalahan strategis,
termasuk lemahnya kelembagaan lokal, rendahnya sinergi antar pihak, terbatasnya kapasitas
pendamping masyarakat, dan kurangnya dukungan regulasi serta anggaran daerah untuk
program pemberdayaan. Selain itu, tulisan ini juga menekankan pentingnya kepemimpinan
nasional dan lokal dalam mengarusutamakan community development sebagai pendekatan
pembangunan utama, bukan sekadar program pelengkap.
Dengan mengedepankan perspektif ketahanan nasional, tulisan ini menyusun pendekatan
kebijakan yang forward-looking dan visioner, antara lain melalui penguatan regulasi dan
kelembagaan, peningkatan kapasitas SDM lokal, pengembangan inovasi berbasis komunitas,
serta mekanisme pendanaan partisipatif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Salah
satu poin krusial dalam rekomendasi kebijakan adalah perlunya menjadikan community
development sebagai pilar dalam dokumen perencanaan nasional seperti RPJMN dan
kebijakan sektoral di tingkat kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.

46

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Melalui pendekatan strategis dan menyeluruh, pemberdayaan masyarakat dapat
dikembalikan sebagai jantung pembangunan nasional. Dengan demikian, masyarakat tidak
hanya menjadi objek, tetapi juga subjek yang aktif dan berdaya dalam membangun ketahanan
nasional yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

1. Pendahuluan
Dalam lintasan sejarah pembangunan Indonesia, pemberdayaan masyarakat (community
development) pernah menjadi pendekatan utama yang menunjukkan keberhasilan signifikan
dalam menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Melalui program-program
seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, masyarakat tidak
hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga aktor utama dalam merancang dan
menjalankan pembangunan di wilayahnya sendiri. Pendekatan ini menekankan partisipasi
aktif, perencanaan partisipatif, dan kemandirian lokal sebagai dasar dari pembangunan yang
berakar pada kebutuhan nyata masyarakat.
Namun, satu dekade terakhir menyaksikan pergeseran orientasi pembangunan sosial menuju
model bantuan langsung yang cenderung karikatif. Program seperti pembagian sembako, BLT
(Bantuan Langsung Tunai), serta berbagai bentuk bansos lainnya menjadi dominan dalam
intervensi pemerintah terhadap masyarakat. Pola ini menimbulkan fenomena ketergantungan
struktural, di mana sebagian besar masyarakat lebih menunggu bantuan daripada terlibat
dalam proses pemberdayaan diri secara berkelanjutan.
Penelitian oleh berbagai lembaga independen dan akademisi menunjukkan bahwa program
bantuan sosial tanpa pendekatan pemberdayaan mengakibatkan penurunan daya adaptasi
masyarakat terhadap tekanan sosial dan ekonomi, terutama dalam menghadapi bencana,
krisis ekonomi, atau perubahan iklim. Lebih lanjut, banyak program pemberdayaan yang
berjalan secara parsial, tanpa koordinasi yang baik antar lembaga atau sektor. Kelembagaan
lokal yang lemah serta kurangnya pendamping masyarakat yang berkompeten turut
memperburuk situasi, menjadikan pelaksanaan program sering kali bersifat seremonial dan
tidak berkelanjutan.
Dari perspektif relevansinya terhadap kepentingan dan ketahanan nasional, ketahanan
nasional adalah kondisi yang dinamis dan menyeluruh, menyangkut aspek ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan. Di antara seluruh aspek tersebut,
masyarakat memegang peran paling mendasar. Ketika masyarakat kuat secara ekonomi,
mandiri dalam mengambil keputusan, serta memiliki solidaritas sosial yang tinggi, maka
bangsa secara keseluruhan memiliki daya tahan yang kuat terhadap ancaman dari dalam
maupun luar negeri. Sebaliknya, masyarakat yang rapuh—bergantung pada negara, tidak
produktif, dan terfragmentasi secara sosial—akan melemahkan struktur ketahanan nasional.
Community development, dengan semangat partisipasi, kolaborasi, dan pemberdayaan,
menjadi instrumen strategis untuk membangun daya tahan masyarakat di berbagai dimensi.
Melalui penguatan kapasitas lokal, peningkatan ekonomi berbasis komunitas, pemulihan nilai-
nilai gotong royong, serta pembangunan kelembagaan lokal yang tangguh, ketahanan sosial
masyarakat dapat diperkuat secara nyata. Ketahanan ini kemudian bermuara pada stabilitas
nasional secara keseluruhan, termasuk dalam menghadapi tantangan global seperti krisis
ekonomi, pandemi, disrupsi teknologi, dan ancaman geopolitik.

47

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Oleh karena itu, pendekatan community development perlu diposisikan ulang sebagai bagian
integral dari strategi nasional pembangunan manusia dan wilayah, bukan sebagai program
pelengkap. Keberlanjutan bangsa hanya dapat dijaga jika masyarakatnya berdaya, tangguh,
dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri dalam menghadapi masa depan yang penuh
ketidakpastian.

2. Pembahasan
Community development di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan strategis yang
menghambat efektivitasnya dalam mendorong pemberdayaan masyarakat. Salah satu isu
utama adalah ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan sosial. Bantuan jangka pendek
yang sering kali diberikan oleh pemerintah atau lembaga donor cenderung menggerus nilai
gotong royong dan kemandirian lokal. Ketergantungan ini menciptakan ketidakberdayaan, di
mana masyarakat menjadi pasif dan tidak mampu mengelola sumber daya mereka sendiri
secara mandiri.
Selain itu, ketidakharmonisan antar program pemberdayaan juga menjadi hambatan besar.
Banyak program pemberdayaan yang dilakukan secara sektoral dan terpisah, sehingga tidak
terintegrasi dengan baik. Hal ini mengarah pada duplikasi upaya dan ketimpangan dalam
distribusi sumber daya, serta menyulitkan pencapaian tujuan yang lebih luas dan
berkelanjutan. Misalnya, program-program pemberdayaan yang tidak saling melengkapi
antara sektor pertanian, pendidikan, dan kesehatan, menyebabkan efektivitasnya berkurang.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah minimnya sinergi antara pemerintah pusat, daerah,
dan masyarakat sipil. Banyak daerah yang tidak memprioritaskan pemberdayaan masyarakat
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-nya, sehingga kurangnya dukungan
finansial yang dialokasikan untuk program-program yang berbasis komunitas. Selain itu,
keterbatasan kapasitas kelembagaan lokal menjadi tantangan besar. Lembaga masyarakat
seperti koperasi, kelompok tani, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih sangat lemah
secara manajerial dan operasional, yang menghambat efektivitas program pemberdayaan di
tingkat lokal.
Selain itu, kurangnya fasilitator lokal yang berkompeten juga menjadi kendala serius.
Pendamping masyarakat yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang memadai dalam
mengelola dan mendampingi program pemberdayaan masih sangat terbatas. Padahal,
fasilitator lokal ini berperan penting dalam menjaga keberlanjutan dan kesuksesan program-
program community development, karena mereka adalah aktor kunci dalam proses
pemberdayaan.
Dalam konteks ketahanan nasional, community development berperan strategis dalam
memperkuat berbagai dimensi ketahanan negara. Ketahanan sosial menjadi salah satu aspek
yang paling penting, karena community development dapat memperkuat solidaritas dan
kohesi sosial masyarakat. Semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat
Indonesia harus terus dijaga dan dikembangkan melalui program-program pemberdayaan
yang berfokus pada kebutuhan dan potensi lokal.
Dari perspektif ketahanan ekonomi, pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi lokal,
seperti melalui pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi, dan
ekonomi komunitas, sangat penting untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia.

48

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Program pemberdayaan yang berhasil dapat menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi
kemiskinan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara langsung.
Ketahanan politik juga sangat terkait dengan community development, karena pemberdayaan
masyarakat memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
publik secara demokratis dan inklusif. Dengan adanya partisipasi aktif dari masyarakat dalam
proses politik, akan tercipta pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Ketahanan budaya juga merupakan dimensi penting yang perlu diperhatikan. Melalui
pemberdayaan masyarakat, nilai-nilai lokal yang menjadi identitas kolektif masyarakat dapat
dijaga dan dikembangkan, sehingga memperkaya keberagaman budaya Indonesia dan
memperkuat jati diri bangsa.
Keberhasilan community development sangat tergantung pada kepemimpinan nasional dan
lokal. Dibutuhkan keberanian politik untuk beralih dari pendekatan karikatif yang bergantung
pada bantuan sosial, menuju pendekatan transformasional yang lebih berfokus pada
pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat. Pemerintah pusat perlu menetapkan
community development sebagai pilar utama dalam pembangunan nasional dan menyiapkan
kerangka regulatif, kelembagaan, serta pendanaan yang mendukung keberlanjutan program-
program pemberdayaan.
Di tingkat daerah, kepala daerah memiliki peran kunci sebagai pemimpin yang harus menjadi
motor penggerak untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat. Kepala daerah harus dapat
mengalokasikan anggaran pembangunan yang berbasis komunitas secara prioritas, serta
memfasilitasi sinergi antara sektor-sektor terkait dalam pemerintahannya. Dengan demikian,
melalui kepemimpinan yang visioner dan integratif, community development dapat lebih
efektif dalam menciptakan masyarakat yang mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Community development adalah pendekatan pembangunan yang berfokus pada penguatan
kapasitas masyarakat, kemandirian ekonomi, dan partisipasi aktif warga dalam proses
pembangunan. Pendekatan ini memainkan peran penting dalam ketahanan nasional dengan
memperkuat daya tahan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, menciptakan solidaritas
sosial, serta meningkatkan ketahanan ekonomi dan budaya.
Namun, terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi, seperti ketergantungan terhadap
bantuan sosial yang mengurangi nilai gotong royong, ketidakharmonisan antar program
pemberdayaan yang tidak terintegrasi, dan kelemahan kapasitas kelembagaan lokal yang
menghambat efektivitas pemberdayaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan
strategi nasional yang menyeluruh dan terkoordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan
masyarakat sipil.
Dengan adanya kebijakan yang mendukung dan sinergi yang kuat antara semua pihak,
community development dapat menjadi pilar utama dalam memperkuat ketahanan nasional
dan menciptakan masyarakat yang mandiri, sejahtera, dan berdaya saing tinggi.

49

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Rekomendasi
Untuk memperkuat efektivitas community development di Indonesia, beberapa langkah
strategis perlu dilakukan. Pertama, dalam regulasi dan kebijakan, community development
harus dijadikan kebijakan nasional strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN). Penetapan ini akan memastikan keberlanjutan dan pengalokasian sumber
daya yang cukup untuk program pemberdayaan masyarakat. Selain itu, penting untuk
mengintegrasikan semua program pemberdayaan ke dalam satu kerangka koordinasi nasional.
Hal ini dapat menghindari duplikasi dan ketidakharmonisan antara program-program yang
ada, sehingga pencapaian tujuan bersama menjadi lebih optimal.
Kedua, di bidang kelembagaan dan pendampingan, penguatan kelembagaan lokal seperti
koperasi, BUMDes, dan kelompok usaha masyarakat perlu dilakukan dengan memberikan
pelatihan manajerial dan operasional yang baik. Hal ini akan meningkatkan kapasitas lembaga-
lembaga tersebut dalam menjalankan program pemberdayaan. Selain itu, pengembangan
sistem pelatihan dan sertifikasi bagi fasilitator pemberdayaan masyarakat menjadi penting,
guna memastikan bahwa fasilitator memiliki keterampilan yang mumpuni dalam
mendampingi masyarakat.
Selanjutnya, dalam hal pendanaan berkelanjutan, alokasi minimal 5-10% APBD untuk program
community development harus diprioritaskan. Pendanaan ini dapat memperkuat
keberlanjutan program di tingkat daerah. Pemerintah juga perlu mendorong mekanisme
pembiayaan partisipatif dengan sistem matching fund antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat, untuk meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan dalam program tersebut.
Dalam digitalisasi dan inovasi sosial, teknologi digital harus dimanfaatkan untuk pemetaan
potensi lokal dan pengelolaan program secara lebih efisien. Terakhir, monitoring dan evaluasi
partisipatif harus melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses evaluasi untuk
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi program pemberdayaan yang dilaksanakan.

4. Daftar Pustaka
Chambers, R. (1995). Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts?. IDS.
Dadang Solihin. (2007). Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Ekonomi
Lokal, https://www.slideshare.net/slideshow/strategi-pemberdayaan-masyarakat-
dalam-pembangunan-ekonomi-lokal/58735
Dadang Solihin. (2010). Local Community Development Model,
https://www.slideshare.net/slideshow/local-community-development-
model/245881730
Dadang Solihin. (2010). Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Ekonomi
Lokal, https://www.slideshare.net/slideshow/strategi-pemberdayaan-masyarakat-
dalam-pembangunan-ekonomi-lokal-4733254/4733254
Edi Suharto. (2005). Pembangunan, Pemberdayaan dan Kesejahteraan Sosial. Bandung:
Refika Aditama.
ILO. (2008). Local Economic Development (LED): A Participatory Approach.

50

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 09
Angkatan Kerja dalam Pemanfaatan Bonus Demografi guna Memperkuat
Ketahanan Sosial Budaya

Ringkasan Eksekutif
Indonesia saat ini tengah berada pada fase demografis yang sangat menentukan arah masa
depan bangsa. Diproyeksikan bahwa pada periode 2030 hingga 2040, Indonesia akan
mencapai puncak bonus demografi, yaitu kondisi di mana penduduk usia produktif (15–64
tahun) mendominasi struktur populasi dengan proporsi sekitar 64% dari total jumlah
penduduk. Bonus ini, bila dikelola secara tepat, merupakan peluang emas untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong transformasi sosial, dan memperkuat
ketahanan nasional, khususnya dalam aspek ketahanan sosial budaya.
Namun, peluang ini bersifat ibarat dua sisi mata uang. Jika tidak dikelola secara terencana,
terarah, dan inklusif, bonus demografi justru dapat berubah menjadi bencana demografi.
Tantangan-tantangan seperti tingginya angka pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya
manusia, meningkatnya ketimpangan sosial, serta melemahnya kohesi sosial budaya bisa
muncul dan menjadi ancaman serius bagi stabilitas bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan
intervensi kebijakan yang strategis dan visioner agar momentum bonus demografi menjadi
pengungkit transformasi menuju Indonesia Emas 2045, bukan justru penyebab keterpurukan.
Policy brief ini secara khusus mengkaji strategi optimalisasi angkatan kerja dalam
memanfaatkan bonus demografi dengan menggunakan pendekatan Ketahanan Nasional dan
Kepemimpinan Nasional. Pendekatan Ketahanan Nasional digunakan untuk melihat dampak
dan urgensi penguatan SDM terhadap stabilitas sosial budaya bangsa, sedangkan
Kepemimpinan Nasional menyoroti pentingnya arah kebijakan dan peran negara dalam
mengorkestrasi sinergi antarsektor. Kajian ini bertumpu pada dua metode utama: analisis
SWOT dan scenario planning, yang telah dikembangkan melalui kajian strategis oleh
Lemhannas RI.
Melalui pemetaan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT), ditemukan bahwa
Indonesia menghadapi kelemahan struktural seperti rendahnya relevansi kurikulum
pendidikan dengan kebutuhan industri, lambatnya implementasi kebijakan, serta
ketimpangan infrastruktur antara wilayah. Di sisi lain, terdapat kekuatan seperti kebijakan
ketenagakerjaan yang progresif, peluang investasi asing, dan potensi kolaborasi multipihak.
Hasil analisis ini digunakan untuk menyusun empat skenario masa depan, di mana dua kutub
ekstremnya adalah skenario optimis "Nusantara Berjaya" dan skenario pesimis "Nusantara
Kelabu".
Fokus utama dari rekomendasi kebijakan dalam policy brief ini adalah penguatan kualitas dan
karakter SDM melalui integrasi nilai-nilai sosial budaya, seperti gotong royong, toleransi, kerja
keras, dan solidaritas. Pembangunan manusia yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi
juga berkarakter dan berakar pada nilai-nilai budaya bangsa, diyakini menjadi fondasi utama
ketahanan sosial budaya yang tangguh.

51

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Dengan kepemimpinan nasional yang kuat, kolaboratif, dan transformatif, serta komitmen
seluruh pemangku kepentingan—baik pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil—
bonus demografi dapat menjadi momentum kolektif untuk mewujudkan Indonesia sebagai
negara berdaulat, maju, adil, dan berkelanjutan di tahun 2045.

1. Pendahuluan
Indonesia tengah berada pada titik kritis dalam sejarah demografisnya. Memasuki dekade
ketiga abad ke-21, komposisi penduduk Indonesia mengalami pergeseran besar, dengan
dominasi kelompok usia produktif. Pada tahun 2024, jumlah penduduk usia kerja tercatat lebih
dari 212 juta jiwa, sementara angkatan kerja aktif mencapai sekitar 147 juta orang. Fenomena
ini mencerminkan potensi luar biasa yang dimiliki bangsa Indonesia dalam memacu
pertumbuhan ekonomi, mempercepat pembangunan, dan memperkuat ketahanan nasional.
Namun, di balik potensi tersebut, tersimpan pula tantangan besar yang mengancam apabila
tidak dikelola secara cermat dan terarah.
Salah satu tantangan utama yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka pengangguran
terbuka, terutama di kalangan muda dan lulusan perguruan tinggi. Bersamaan dengan itu,
kualitas pendidikan secara umum masih menghadapi berbagai kendala, seperti kesenjangan
akses antardaerah, ketidaksesuaian antara kurikulum dan kebutuhan dunia kerja, serta
lemahnya penguasaan keterampilan abad ke-21. Kesenjangan ini diperparah oleh perubahan
cepat dalam lanskap pekerjaan akibat transformasi digital dan disrupsi teknologi. Alhasil,
banyak lulusan pendidikan formal yang tidak siap memasuki dunia kerja, sementara sektor
industri juga kesulitan menemukan tenaga kerja dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Dalam kondisi seperti ini, bonus demografi berpotensi tidak memberikan dampak positif yang
signifikan apabila tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan dan strategi konkret. Tanpa
perencanaan yang matang, keunggulan demografis ini justru akan menjadi beban struktural
yang berujung pada peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial.
Lebih jauh lagi, hal ini dapat mengancam stabilitas sosial dan melemahkan kohesi nasional.
Dalam skenario terburuk yang disebut sebagai “Nusantara Kelabu”, kegagalan memanfaatkan
momentum demografi dapat memperlebar jurang antara harapan dan realitas pembangunan,
serta menciptakan kerapuhan budaya bangsa dalam menghadapi arus globalisasi.
Untuk mencegah hal tersebut, diperlukan pendekatan strategis yang menyeluruh dan bersifat
transformatif. Salah satu pendekatan utama yang relevan adalah pembangunan sumber daya
manusia yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berkarakter kuat dan berakar pada
nilai-nilai luhur bangsa. Dalam konteks Ketahanan Nasional, ketahanan sosial budaya menjadi
fondasi penting bagi kelangsungan negara. Ketahanan ini menyangkut kemampuan
masyarakat untuk mempertahankan identitas budaya, memperkuat solidaritas sosial, dan
meningkatkan daya tahan terhadap berbagai bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar
negeri.
Integrasi nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, kebersamaan, toleransi, dan
semangat kerja keras dalam pendidikan dan pelatihan kerja menjadi sangat penting. Melalui
integrasi tersebut, kita tidak hanya membangun tenaga kerja yang siap secara teknis, tetapi
juga mencetak generasi yang memiliki orientasi kebangsaan dan tangguh menghadapi
tantangan zaman. Dengan demikian, optimalisasi angkatan kerja dalam era bonus demografi

52

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
bukan semata soal ekonomi, melainkan juga menjadi instrumen strategis dalam menjaga dan
memperkuat ketahanan sosial budaya bangsa Indonesia.

2. Pembahasan
Bonus demografi yang sedang dan akan dihadapi Indonesia tidak hanya berdampak pada
sektor ekonomi semata, melainkan menyentuh hampir seluruh aspek Ketahanan Nasional.
Ketahanan sosial, budaya, ekonomi, dan sumber daya manusia (SDM) menjadi bidang yang
paling terdampak dan menentukan dalam menyikapi peluang strategis ini. Dalam kerangka
Ketahanan Nasional, keberhasilan memanfaatkan bonus demografi akan memperkuat daya
tahan bangsa terhadap berbagai bentuk ancaman eksternal maupun internal, baik yang
bersifat fisik maupun non-fisik.
Pemanfaatan optimal terhadap angkatan kerja usia produktif menjadi kunci dalam menjamin
kesinambungan pembangunan nasional. Jika kekuatan produktif ini diarahkan dengan benar,
maka Indonesia akan mampu melompat jauh dalam pertumbuhan ekonomi, pembangunan
sosial, dan penguatan budaya nasional. Sebaliknya, kegagalan mengelola bonus demografi
akan menimbulkan sejumlah ancaman serius.
Pertama, peningkatan jumlah pengangguran dapat memicu instabilitas sosial, meningkatkan
angka kriminalitas, dan menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah. Kedua, ketimpangan
pembangunan antarwilayah bisa menimbulkan rasa ketidakadilan, memperbesar kesenjangan
sosial, dan berujung pada potensi disintegrasi sosial budaya. Ketiga, kesenjangan
keterampilan SDM dengan kebutuhan industri akan membuat Indonesia tertinggal dalam
persaingan ekonomi global. Keempat, degradasi nilai sosial budaya akibat tekanan
modernisasi yang tak terkendali dapat menyebabkan kehilangan jati diri bangsa dan lunturnya
karakter nasional.
Ketahanan sosial budaya sebagai bagian dari Ketahanan Nasional menuntut adanya integrasi
nilai-nilai kebangsaan, etika kerja, gotong royong, dan kearifan lokal dalam pembentukan
karakter generasi muda. Tanpa penguatan nilai tersebut, transformasi ekonomi tidak akan
berdiri di atas fondasi moral dan budaya yang kokoh.
Dari perspektif kepemimpinan nasional dan agenda transformasi, menjawab tantangan bonus
demografi membutuhkan kepemimpinan nasional yang visioner, transformatif, dan inklusif.
Kepemimpinan seperti ini harus mampu melihat peluang besar yang tersembunyi di balik
tantangan demografi dan mendorong perubahan sistemik secara menyeluruh. Dalam hal ini,
pemerintah sebagai aktor utama pembangunan harus memainkan peran sebagai pemimpin
orkestra yang mengarahkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan menuju tujuan
bersama.
Pertama, diperlukan reformasi besar dalam sistem pendidikan dan pelatihan vokasi. Fokus
bukan hanya pada penguasaan ilmu, tetapi juga keterampilan kerja yang relevan dengan
kebutuhan industri, khususnya di bidang teknologi digital, ekonomi hijau, dan industri kreatif.
Program-program seperti “Link and Match”, revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK), dan
pembelajaran berbasis proyek perlu diperluas cakupannya secara nasional.
Kedua, pemerintah perlu mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas, baik di sektor
formal maupun informal, serta memperluas peluang kerja berbasis digital dan wirausaha
muda. Ketiga, sistem perlindungan sosial harus disesuaikan dengan realitas dunia kerja yang

53

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
dinamis dan fleksibel, termasuk jaminan kehilangan pekerjaan, pelatihan ulang, dan
upskilling.
Keempat, pendidikan karakter dan penguatan budaya bangsa menjadi fondasi yang tak kalah
penting. Pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan budaya lokal dalam
kurikulum dan program kepemudaan akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas
secara intelektual, tetapi juga kokoh secara moral dan identitas kebangsaan.
Skenario terbaik yang disebut sebagai “Nusantara Berjaya” hanya dapat tercapai jika kebijakan
pembangunan SDM dilaksanakan secara terintegrasi, konsisten, dan partisipatif. Keberhasilan
skenario ini bergantung pada kolaborasi erat antara negara, sektor swasta, institusi
pendidikan, serta masyarakat sipil.
Berdasarkan hasil kajian strategis Lemhannas RI, situasi bonus demografi dianalisis
menggunakan pendekatan SWOT yang mengidentifikasi posisi Indonesia saat ini.
Kekuatan (Strengths) antara lain kebijakan ketenagakerjaan progresif seperti “Link and Match”
dan transformasi BLK, adanya perlindungan sosial seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),
serta kolaborasi multipihak dalam pengembangan SDM.
Kelemahan (Weaknesses) mencakup ketidaksesuaian kurikulum pendidikan dengan
kebutuhan pasar kerja, ketimpangan infrastruktur dan layanan publik antara wilayah
perkotaan dan pedesaan, serta rendahnya literasi digital dan keterampilan lunak (soft-skills)
di kalangan tenaga kerja.
Peluang (Opportunities) terletak pada pesatnya pertumbuhan industri digital dan teknologi
bersih, meningkatnya arus investasi asing, serta adanya pasar kerja luar negeri yang dapat
dimanfaatkan oleh tenaga kerja Indonesia yang berkualitas.
Ancaman (Threats) meliputi potensi brain drain atau migrasi tenaga kerja berkualitas ke luar
negeri, dominasi tenaga kerja asing di sektor strategis, krisis iklim, disrupsi teknologi, serta
meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi yang dapat melemahkan kohesi nasional.
Hasil dari analisis ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun empat skenario masa depan.
Dua di antaranya adalah:
• Kwadran 1: Nusantara Berjaya, di mana pemerintah menerapkan kebijakan kuat yang
didukung sektor swasta aktif. Skenario ini menghasilkan SDM unggul dan masyarakat yang
sejahtera dan harmonis.
• Kwadran 4: Nusantara Kelabu, skenario pesimistis di mana kebijakan pemerintah lemah
dan sektor swasta pasif, mengakibatkan stagnasi pembangunan dan meningkatnya
ancaman sosial budaya.
Tujuan nasional harus diarahkan untuk mencegah skenario kelabu dan mewujudkan skenario
Nusantara Berjaya pada 2045. Hal ini hanya dapat dicapai melalui kerja kolektif,
kepemimpinan yang kuat, serta orientasi jangka panjang dalam pembangunan manusia
Indonesia yang berbudaya dan berdaya saing global.

54

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Bonus demografi merupakan momen strategis yang hanya terjadi sekali dalam lintasan sejarah
bangsa. Dominasi penduduk usia produktif dalam struktur demografis Indonesia menawarkan
peluang besar untuk mempercepat pembangunan nasional dan memperkuat daya saing
global. Namun, peluang ini hanya akan menghasilkan manfaat nyata apabila diiringi dengan
kebijakan yang tepat, kepemimpinan nasional yang visioner, serta partisipasi aktif dari seluruh
elemen masyarakat.
Optimalisasi angkatan kerja menjadi kunci dalam mengubah potensi demografi menjadi
kekuatan nyata bangsa. Pendekatan Ketahanan Nasional yang menekankan pentingnya
ketahanan sosial, budaya, dan sumber daya manusia harus menjadi dasar utama dalam
merancang dan mengimplementasikan strategi pembangunan SDM. Di saat yang sama,
integrasi nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, toleransi, dan etos kerja ke dalam
pendidikan dan pelatihan akan melahirkan generasi yang tidak hanya kompeten secara teknis,
tetapi juga kuat secara karakter dan jati diri kebangsaan.
Untuk itu, pemerintah perlu mengambil peran sentral dalam memimpin orkestrasi agenda
transformasi SDM secara holistik, terencana, dan berkelanjutan. Langkah ini menjadi prasyarat
mutlak untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 yang berdaulat, maju, adil, dan
berkelanjutan.

Rekomendasi
Dalam rangka mengoptimalkan bonus demografi dan memperkuat ketahanan sosial budaya,
diperlukan serangkaian langkah strategis yang konkret, terukur, dan berkelanjutan. Pertama,
penguatan pendidikan dan pelatihan berbasis budaya menjadi kunci utama. Nilai-nilai sosial
budaya lokal perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan nasional agar generasi muda
tumbuh tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara karakter dan jati diri
kebangsaan. Selain itu, pelatihan vokasi harus diarahkan pada potensi lokal dengan
melibatkan komunitas sebagai pusat pengembangan keterampilan.
Kedua, penguatan jaminan sosial dan perlindungan kerja perlu terus diperluas, khususnya
melalui optimalisasi program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan sistem pembelajaran
seumur hidup (lifelong learning). Regulasi ketenagakerjaan juga harus direformasi agar lebih
adaptif terhadap perubahan struktur ekonomi dan pola kerja baru.
Ketiga, pemberdayaan angkatan kerja muda dan lansia produktif perlu difasilitasi secara
sistematis. Generasi muda harus dibekali sejak dini melalui pola asuh berbasis gizi, karakter,
dan nilai moral. Sementara itu, lansia yang masih produktif perlu diberi ruang untuk tetap
berkontribusi, terutama di sektor informal dan komunitas lokal.
Keempat, diperlukan kolaborasi pentahelix yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi,
masyarakat, dan media dalam bentuk forum nasional lintas sektor. Kolaborasi ini penting
untuk pemantauan, evaluasi, dan pembaruan kebijakan SDM secara berkelanjutan.
Kelima, pengembangan infrastruktur sosial dan ekonomi harus diarahkan pada pemerataan
akses pendidikan, kesehatan, teknologi, dan konektivitas, serta revitalisasi desa berbasis

55

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
potensi lokal. Hal ini akan mencegah urbanisasi ekstrem dan memperkuat ketahanan
komunitas akar rumput secara menyeluruh.

4. Daftar Pustaka
Fahmi, Rizal et al., 2022. Integrasi Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa dalam Kurikulum
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Jenny M.T Hartanto, Njaju et. al., 2022. Materi Pokok Bidang Studi Sosial Budaya, Lemhannas
RI.
Koentjaraningrat, 2009. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Nawawi. (2024). Optimalisasi Angkatan Kerja Guna Pemanfaatan Bonus Demografi dalam
Rangka Memperkuat Ketahanan Sosial Budaya: Hasil Kajian BRIN
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029.
Sulistyaningrum, W. (2024). Optimalisasi Angkatan Kerja Guna Pemanfaatan Bonus
Demografi Dalam Rangka Memperkuat Ketahanan Sosial Budaya
Suryadinata, L., 2010. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.
United Nations, 2015. Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable
Development.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UU RI No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045.
Wahyudi, A. (2024). Optimalisasi Angkatan Kerja Guna Pemanfaatan Bonus Demografi Dalam
Rangka Memperkuat Ketahanan Sosial Budaya

56

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Policy Brief 10
Makanan Bergizi Gratis (MBG) guna Memperkuat Bonus Demografi dalam
rangka Generasi Emas 2045

Ringkasan Eksekutif
Indonesia saat ini berada di ambang fase penting dalam sejarah kependudukannya: puncak
bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2030 hingga 2040. Pada periode
tersebut, mayoritas penduduk Indonesia akan berada dalam kelompok usia produktif,
memberikan potensi luar biasa untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan nasional secara menyeluruh. Namun, untuk dapat memetik manfaat maksimal
dari momentum ini, dibutuhkan investasi strategis sejak dini dalam pembangunan manusia,
khususnya yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dan pendidikan generasi muda.
Salah satu intervensi yang tengah dirancang dan mulai diimplementasikan adalah program
Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Program ini
bertujuan untuk memperbaiki status gizi anak-anak sekolah dan kelompok masyarakat rentan
melalui penyediaan makanan bergizi secara gratis. Tujuan besarnya adalah menurunkan angka
stunting, meningkatkan daya belajar peserta didik, serta memperkuat ketahanan sosial
ekonomi keluarga berpendapatan rendah.
Meskipun ide dasarnya relevan dan selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan
(SDGs), pelaksanaan awal MBG menimbulkan sejumlah perdebatan dan tantangan kritis.
Berbagai isu mengemuka, mulai dari ketidaktepatan sasaran, potensi tumpang tindih dengan
program gizi dan perlindungan sosial yang sudah ada, belum matangnya desain tata kelola
lintas kementerian/lembaga, hingga kekhawatiran terhadap tekanan fiskal nasional yang
timbul akibat besarnya anggaran yang dibutuhkan. Selain itu, belum tersedianya kerangka
evaluasi berbasis bukti (evidence-based policy) dan ketiadaan indikator kinerja utama (IKU)
yang terukur juga memperbesar risiko kebijakan ini menjadi program yang boros namun tidak
berdampak.
Policy brief ini menawarkan pendekatan solutif dengan merujuk pada perspektif Ketahanan
Nasional dan Kepemimpinan Nasional. Dari sisi ketahanan nasional, program MBG memiliki
potensi besar untuk memperkuat ketahanan sosial dan budaya masyarakat Indonesia dengan
menciptakan generasi yang sehat, cerdas, dan memiliki akses yang setara terhadap sumber
daya dasar. Namun hal ini hanya dapat tercapai apabila desain kebijakan bersifat inklusif,
adaptif terhadap kondisi lokal, dan menyatu dengan strategi nasional pengentasan kemiskinan
dan pembangunan manusia.
Dari sisi kepemimpinan nasional, diperlukan peran negara yang kuat dalam mengoordinasikan
dan mengorkestrasi berbagai pihak—pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, masyarakat
sipil, serta akademisi—untuk memastikan program berjalan secara efisien, tepat sasaran, dan
berkelanjutan. MBG tidak dapat dijalankan dengan pola kerja sektoral biasa. Diperlukan
model tata kelola kolaboratif lintas sektor, serta partisipasi publik yang luas dalam
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi.

57

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Secara keseluruhan, MBG memiliki potensi menjadi katalis transformasi sosial-ekonomi
menuju Generasi Emas 2045. Namun agar hal itu terwujud, kebijakan ini harus diarahkan
secara bertahap, realistis, berbasis data, dan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial,
efisiensi anggaran, serta ketahanan bangsa dalam jangka panjang.

1. Pendahuluan
Indonesia saat ini tengah berada dalam pusaran dua realitas yang saling bertolak belakang
namun saling terkait secara strategis. Di satu sisi, bangsa ini menghadapi tantangan serius
berupa tingginya angka stunting yang masih berada di kisaran 21,5% pada tahun 2023. Ini
merupakan cerminan dari ketimpangan status gizi yang tidak hanya berdampak pada
kesehatan anak, tetapi juga mempengaruhi daya saing manusia Indonesia di masa depan. Di
sisi lain, peluang strategis dalam bentuk bonus demografi membentang di depan mata.
Fenomena ini diproyeksikan akan mencapai puncaknya pada periode 2030–2040, saat
proporsi penduduk usia produktif mendominasi komposisi populasi. Dua realitas ini
menghadirkan keharusan untuk melakukan investasi besar-besaran dalam pembangunan
manusia sejak usia dini, dan salah satu jalur pentingnya adalah melalui intervensi di sektor
gizi.
Dalam konteks inilah, kebijakan Makanan Bergizi Gratis (MBG) mulai dicanangkan sebagai
program nasional yang digulirkan pada tahun 2025. Dengan anggaran awal sebesar Rp71
triliun, program ini ditujukan untuk memberikan makanan sehat dan bergizi kepada pelajar
serta kelompok rentan lainnya. Tujuannya tidak hanya untuk mengentaskan stunting, tetapi
juga untuk mendukung partisipasi pendidikan, meringankan beban ekonomi keluarga miskin,
serta menciptakan generasi masa depan yang sehat, aktif, dan siap bersaing secara global.
Namun, dalam pelaksanaannya, MBG tidak terlepas dari berbagai persoalan yang perlu
dicermati secara serius. Pertama, ketidaktepatan sasaran penerima menjadi isu utama, karena
belum adanya data terpadu yang mampu memetakan secara akurat siapa yang paling
membutuhkan. Kedua, terdapat potensi tumpang tindih dengan program yang telah ada
sebelumnya seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT), Program Keluarga Harapan (PKH),
serta bantuan pangan non-tunai (BPNT). Ketiga, keterbatasan ruang fiskal memunculkan
kekhawatiran tentang keberlanjutan pendanaan dalam jangka panjang. Keempat, rendahnya
pelibatan masyarakat sipil, lembaga pendidikan, serta pemerintah daerah dalam perencanaan
dan pengawasan, menjadi tantangan dalam memastikan program ini relevan, efektif, dan
sesuai dengan kebutuhan lokal.
Lebih jauh lagi, muncul pula pertanyaan apakah program ini hanya akan menjadi kebijakan
populis yang berorientasi pada pencitraan politik semata, atau benar-benar dirancang sebagai
bagian integral dari strategi pembangunan nasional yang komprehensif. Jika MBG hanya
dipahami sebagai proyek bagi-bagi makanan tanpa menyentuh akar persoalan ketimpangan
gizi, maka manfaat jangka panjangnya akan sangat terbatas.
Oleh karena itu, MBG harus ditempatkan dalam kerangka besar pembangunan manusia
Indonesia. Kebijakan ini harus dirancang secara inklusif, berbasis data, dan berkelanjutan,
serta dikelola dengan tata kelola yang baik. Arah dan efektivitas pelaksanaannya sangat
menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencetak sumber daya manusia unggul yang
sehat jasmani, cerdas secara intelektual, dan kuat secara sosial-budaya—suatu fondasi mutlak
untuk mewujudkan Generasi Emas 2045.

58

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

2. Pembahasan
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi besar untuk memperkuat Ketahanan
Nasional Indonesia, terutama dalam dimensi ketahanan sosial budaya, ekonomi, dan sumber
daya manusia. Dalam konteks bonus demografi, keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan
dominasi penduduk usia produktif sangat bergantung pada kualitas gizi, kesehatan, dan
pendidikan generasi mudanya. Jika anak-anak hari ini tumbuh dalam kondisi gizi buruk, minim
akses pendidikan bermutu, dan rentan terhadap penyakit, maka masa depan bangsa
terancam oleh rendahnya kualitas SDM, yang pada akhirnya berdampak pada stabilitas sosial,
ketimpangan ekonomi, bahkan krisis budaya.
Program MBG dirancang untuk menjadi intervensi awal yang strategis dalam menciptakan
fondasi SDM unggul. Melalui peningkatan status gizi anak dan pelajar, MBG dapat
meningkatkan konsentrasi belajar, daya tahan tubuh, dan karakter anak sejak usia sekolah.
Anak yang cukup gizi cenderung lebih aktif secara fisik dan mental, memiliki semangat belajar
yang lebih tinggi, dan menunjukkan perkembangan kognitif yang lebih baik. Ini akan
berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan nasional dan pencapaian target
SDGs.
Selain itu, MBG berperan sebagai bantalan sosial bagi keluarga kurang mampu. Dengan
menanggung beban makan harian anak sekolah, program ini secara tidak langsung
meringankan tekanan ekonomi rumah tangga, meningkatkan rasa keadilan sosial, dan
memperkuat kohesi masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini akan membangun rasa percaya
antarwarga, memperkuat solidaritas sosial, dan meningkatkan ketahanan komunitas.
Namun, manfaat-manfaat tersebut hanya akan terwujud apabila program ini dirancang dan
dijalankan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Ketidaktepatan sasaran, distribusi
yang tidak adil, serta ketidakseimbangan kualitas antarwilayah berpotensi menimbulkan
kesenjangan baru, memperbesar rasa ketidakadilan, dan menurunkan kepercayaan publik.
Lebih dari itu, risiko membebani fiskal negara tanpa hasil yang sebanding akan menjadi
kontraproduktif terhadap semangat memperkuat ketahanan nasional.
Dalam konteks kebijakan nasional, keberhasilan MBG sangat ditentukan oleh hadirnya
kepemimpinan nasional yang kuat, inklusif, dan transformatif. Program sebesar dan
sestrategis ini tidak dapat dijalankan oleh satu kementerian atau lembaga secara sektoral.
Diperlukan pendekatan lintas sektor dan lintas level pemerintahan untuk menyinergikan
peran berbagai aktor kunci—dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan,
penyedia pangan lokal, hingga masyarakat sipil dan media.
Sinkronisasi kebijakan antara sektor pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan
pertanian menjadi penting agar MBG berjalan sebagai program holistik. Misalnya, kolaborasi
antara dinas pendidikan dan dinas pertanian dapat memastikan bahwa pasokan makanan
tidak hanya bergizi tetapi juga memberdayakan petani lokal. Pemerintah daerah, koperasi,
UMKM, dan BUMDes harus dilibatkan sebagai mitra distribusi, agar rantai pasok makanan
bergizi juga menjadi pengungkit ekonomi lokal.
Lebih dari itu, MBG perlu dijalankan dengan pendekatan Whole-of-Government dan Whole-
of-Society. Artinya, tidak hanya melibatkan birokrasi lintas sektor, tetapi juga mengajak
masyarakat sipil, organisasi kemasyarakatan, tokoh adat, akademisi, serta media dalam

59

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pendekatan ini akan membuat MBG lebih
adaptif terhadap kebutuhan lokal dan menciptakan rasa kepemilikan bersama.
Meski potensinya besar, pelaksanaan MBG menghadapi sejumlah tantangan kritis.
Berdasarkan kajian CISDI dan dokumen Badan Gizi Nasional (BGN), alokasi anggaran MBG
sebesar Rp71 triliun setara dengan 37% dari anggaran kesehatan nasional tahun 2025 dan
90% dari seluruh program perlindungan sosial Kemensos tahun 2024. Ini menunjukkan bahwa
MBG adalah program berskala raksasa yang memiliki implikasi besar terhadap keuangan
negara.
Untuk menyesuaikan beban fiskal, biaya satuan makanan dikurangi menjadi Rp7.500 per
porsi. Namun kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kualitas makanan akan
menurun dan tujuan peningkatan gizi justru gagal tercapai. Terlebih lagi, skema kerja sama
dengan sektor swasta atau Public-Private Partnership (PPP) membuka risiko masuknya produk
makanan ultra-proses (UPF) tinggi gula, garam, dan lemak, seperti minuman manis dan
makanan kemasan, yang justru bertentangan dengan misi gizi program.
Lebih lanjut, belum adanya kerangka logis kebijakan (Theory of Change) maupun indikator
kinerja utama (IKU) yang terukur menjadikan program ini rawan gagal ukur. Belum jelas siapa
lembaga pengelola utama MBG, bagaimana mekanisme akuntabilitas lintas daerah, dan
bagaimana program ini akan dievaluasi dalam jangka pendek dan panjang.
Tanpa tata kelola yang transparan dan berbasis data, program MBG berisiko menjadi kebijakan
simbolik yang mahal, tetapi gagal memberikan dampak nyata. Oleh karena itu, pembenahan
tata kelola harus menjadi prioritas utama, sejalan dengan visi transformasi manusia Indonesia
menuju Generasi Emas 2045.

3. Simpulan dan Rekomendasi
Simpulan
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi besar sebagai intervensi strategis
dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, sekaligus memperkuat
ketahanan nasional. Dengan mengatasi masalah gizi sejak usia dini, program ini dapat
berkontribusi signifikan dalam menurunkan angka stunting, meningkatkan kapasitas belajar
anak, dan mendorong partisipasi pendidikan yang lebih luas. Dampak positif tersebut akan
menjadi pondasi kokoh bagi terwujudnya Generasi Emas 2045 yang sehat, cerdas, dan
produktif.
Namun, keberhasilan MBG sangat bergantung pada perencanaan yang matang, evaluasi yang
berbasis data akurat, serta tata kelola yang transparan dan inklusif. Tanpa ketiga aspek ini,
program besar dan bernilai strategis ini berisiko menjadi pemborosan fiskal yang tidak
memberikan hasil substansial. Ketidaktepatan sasaran, minimnya koordinasi antarsektor,
serta lemahnya pengawasan dapat menyebabkan sumber daya terbuang sia-sia dan
memperburuk ketimpangan yang ada.
Oleh karena itu, perlu adanya komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk
menjalankan MBG dengan pendekatan lintas sektor dan partisipatif. Dengan cara itu, MBG
bukan hanya menjadi program sosial biasa, melainkan instrumen penting dalam membangun
manusia Indonesia yang tangguh dan memperkuat ketahanan sosial budaya bangsa.

60

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025

Rekomendasi
Untuk memastikan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dapat berjalan efektif dan
memberikan dampak positif yang berkelanjutan, diperlukan beberapa rekomendasi strategis
yang harus diimplementasikan secara serius.
Pertama, sasaran program MBG harus diperjelas dan dibedakan secara spesifik antara
intervensi pengentasan stunting bagi anak usia 0–2 tahun dengan peningkatan gizi umum bagi
anak usia sekolah. Prioritas utama harus diberikan kepada wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan
terpencil) serta daerah dengan angka prevalensi stunting yang masih tinggi. Pengembangan
kerangka Theory of Change berbasis data dan bukti ilmiah mutlak diperlukan agar sasaran dan
intervensi bisa lebih terukur dan akurat, serta memudahkan evaluasi dampak program.
Kedua, tata kelola MBG harus bersifat kolaboratif dan akuntabel, dengan membentuk struktur
pengelola lintas sektor yang dikendalikan langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pembentukan lembaga baru yang hanya menambah birokrasi dan menguras sumber daya
harus dihindari. Sebaliknya, kapasitas pemerintah daerah dan kelompok pelaksana lokal harus
diperkuat untuk menjamin kelancaran distribusi dan pengawasan program di tingkat akar
rumput.
Ketiga, pendanaan program harus didasarkan pada prinsip efisiensi dan keadilan sosial.
Pemangkasan biaya satuan makanan secara ekstrem sebaiknya dihindari karena dapat
menurunkan kualitas makanan. Pendekatan bertahap dengan fokus pada wilayah prioritas
akan lebih efektif. Evaluasi keberlanjutan program harus menggunakan metode return on
investment (ROI) jangka panjang agar dana yang dikeluarkan benar-benar menghasilkan
dampak positif yang signifikan. Program MBG juga tidak boleh mengorbankan program gizi
lain yang sudah berjalan efektif, seperti PMT, Permakanan, dan PKH.
Keempat, MBG harus dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti program-program gizi dan
perlindungan sosial yang telah ada, seperti PMT dan BPNT. Penting pula untuk memastikan
sinergi dengan kurikulum pendidikan dan standar gizi nasional yang telah disusun oleh BPOM,
FAO, dan WHO.
Terakhir, keterlibatan masyarakat sipil dan mekanisme umpan balik publik harus difasilitasi
agar program berjalan transparan dan akuntabel. Tokoh masyarakat, sekolah, dan organisasi
lokal perlu dilibatkan dalam pengawasan mutu dan distribusi pangan agar program tepat
sasaran dan berkualitas.
Dengan menerapkan rekomendasi tersebut, program MBG berpeluang menjadi instrumen
strategis yang efektif dalam memperkuat kualitas sumber daya manusia Indonesia dan
mewujudkan Generasi Emas 2045.

4. Daftar Pustaka
Badan Gizi Nasional. (2024). Dokumen Program Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Bappenas. (2024). Paparan Program MBG.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives. (2024). Mengkaji Ulang Program
MBG.

61

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025
Kemenkes. (2023). Juknis PMT dan Permakanan.
Kompas, CNBC Indonesia, Media Indonesia, Tempo (2024) – Berbagai laporan media terkait
MBG.
WHO. (2021). School Food and Nutrition Framework.
World Bank. (2024). Spending Better to Reduce Stunting in Indonesia.

62

Dadang Solihin Policy Brief Nomor 001/Mei 2025


Tentang Penulis

Sejak awal Januari 2022 Dadang Solihin memperkuat Lemhannas RI
sebagai Tenaga Ahli Profesional (Taprof). Wredatama ini menempuh
pendidikan S1 dan S2 pada Program Studi Ekonomi Pembangunan.
Gelar SE ia peroleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Katolik
Parahyangan Bandung (1986), dan gelar MA ia peroleh dari University
of Colorado at Denver, USA (1996). Adapun gelar Doktor Ilmu
Pemerintahan ia peroleh dari FISIP Universitas Padjadjaran Bandung
(2011).
Kariernya sebagai PNS ia tekuni lebih dari 33 tahun. Dimulai dari
Bappenas sejak awal 1988, di mana ia pernah menjadi Direktur selama 7 tahun lebih. Atas
pengabdiannya ini, negara menganugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya
melalui 3 Presiden RI, yaitu dari Presiden Gusdur (2020), Presiden SBY (2009) dan Presiden
Jokowi (2019).
Ia pernah menjadi Rektor PTS Universitas Darma Persada (Unsada) Jakarta Masa Bakti 2015-
2018, dan sempat mendirikan Batalyon Bushido Resimen Mahasiswa Jayakarta. Pangkat
Akademiknya adalah Associate Professor/Lektor Kepala TMT 1 Oktober 2004. Ia juga pernah
menjadi Ketua Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta Masa Bakti 2018-2022. Di dunia
kampus, saat ini ia menjabat sebagai Ketua Senat Akademik Institut STIAMI.
Jabatan terakhirnya sebagai PNS adalah Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan
Pariwisata sampai memasuki usia pensiun sebagai PNS golongan IV.e TMT 1 Desember 2021.
Di dunia kampus, saat ini ia menjabat sebagai Ketua Senat Akademik Institut STIAMI.
Senior citizen yang setiap hari menikmati perjalanan Bike to Work ini adalah Peserta Terbaik
Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXIX tahun 2010 yang diselenggarakan oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Jakarta dan Peserta Terbaik Program Pendidikan
Reguler Angkatan (PPRA) XLIX tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) RI. Ia dinyatakan Lulus Dengan Pujian serta dianugerahi Penghargaan
Wibawa Seroja Nugraha.
Pada tahun 2019 Dadang Solihin mengikuti Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Tingkat
Utama yang diadakan oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana
(Pusbindiklatren) Kementerian PPN/Bappenas RI bekerjasama dengan Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI).
Ia dinyatakan lulus dengan memperoleh Nilai Terbaik dan Policy Papernya dijadikan standar
nasional dalam Penilaian Kinerja Jabatan Fungsional Perencana yang diatur dalam Peraturan
Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 1 Tahun 2022.