DIKTAT Pajak Internasional yang berkaitan dengan aturan perpanajakndocx

SusiAstuti3 26 views 24 slides Oct 24, 2024
Slide 1
Slide 1 of 24
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24

About This Presentation

Pajak


Slide Content

DIKTAT
PERPAJAKAN 1
Bagian 10
PERPAJAKAN INTERNASIONAL
Oleh:
Tim Dosen Perpajakan
Prodi Akuntansi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta
2021

A.PENDAHULUAN
1.Perkembangan Perdagangan Internasional
Kecenderungan perdagangan internasional dalam negara-negara G20
mengalami fluktuasi dan cenderung melambat. Gambaran perdagangan
internasional sepanjang dekade terakhir memberikan catatan penting bagi
negara-negara dunia untuk memperhitungkan seberapa besar imbasnya
terhadap pendapatan pajak domestik dan pajak internasional masing-masing
negara yang bersangkutan. Sebagaimana dinyatakan chairman on international
taxation of ICAI bahwa dengan adanya peningkatan tekanan pada laba usaha
akibat ekonomi yang melambat, organisasi-organisasi multinasional saat ini
mencari cara-cara innovatif dalam membangun usaha bisnis mereka dan
mengoptunalkan laba setelah pajak mereka. Kemampuan dan kesediaan wa-
jib pajak untuk menciptakan beraneka macam mata rantai usaha, akan
berakibat berpindahnya Penghasilan Kena Pajak antarnegara. Dengan
demikian diperlukan antisipasi pencegahan atas praktik demikian akibat
adanya insentif yang tercipta melalui interaksi aturan pajak domestik dan
aturan pa-jak negara lain. Gejala ini mengharuskan suatu negara untuk
membuat suatu kebijakan pajak yang berhati-hati.
2.Kecenderungan Tarif Pajak Dunia
Kecenderungan Tarif Pajak Dunia Tarif pajak antar negara sangat
bervariasi dan cenderung berubah-ubah. Perubahan tarif pajak ini dapat
terjadi karena kebijakan pajak jangka menengah ataupun jangka panjang.
Hubungan antara tarif pajak dengan penerimaan negara tersebut terjadi
karena naik turunnya tarif pajak secara matematis akan berakibat pada naik
turunnya penerimaan (arithmetic effect). Sementara itu, efek lainnya adalah
bahwa naik turunnya tarif pajak dapat mengakibatkan perubahan dalam
kegiatan ekonomi (economic effect). Kenaikan tarif akan menyebabkan
multiplier effect-nya bersifat negatif terhadap kegiatan ekonomi. Sebaliknya,
apabila tarif pajak diturunkan, multiplier effect-nya akan bersifat positif
terhadap kegiatan ekonomi. Perbedaan tarif antarnegara dapat sangat jauh
dan tentunya akan berpengaruh signifikan terhadap laba setelah pajak atas

Foreign Direct Investment (FDI) sehingga investor tentu akan memilih negara
dengan tarif pajak rendah. Kecenderungan global atas PPh Badan dalam
dekade terakhir ini menunjukkan tarif pajak yang cenderung turun terus-
menerus.
Berbagai negara telah mencoba memberikan insentif investasi melalui
tarif-tarif yang menjanjikan, kebijakan investasi domestik, klausul treaty yang
menarik, percepatan dan mekanisme sengketa pajak yang lebih mudah,
mekanisme pengkreditan pajak, dll. Kelemahan dalam aturan-aturan pajak
internasional saat ini telah menciptakan ruang kesempatan wajib pajak untuk
melakukan pengalihan laba (profit shifting) dari satu, negara ke negara lainnya
dan karenanya membutuhkan suatu kebijakan yang tepat untuk memperbaiki
kepercayaan dalam sistem perpajakan dunia. Demikian pula memastikan
bahwa laba dari penghasilan kegiatan usaha akan dikenakan pajak di mana
kegiatan ekonomi terjadi dan sesuai dengan nilai sebenarnya yang tercipta.
Dalam menghadapi masalah akibat lingkungan global ini, pemimpin-
pemimpin G20 dan OECD mengajukan usulan dalam menghadapi erosi basis
pajak dan pengalihan laba pada September 2013. Setelah dua tahun berupaya
keras, OECD dengan bantuan. G20 dan organisasi-organisasi lainnya,
mengeluarkan sebuah paket terdiri dari 15 poin aksi yang dikenal sebagai
standar persetujuan Internasional yang bertujuan untuk menyejajarkan lebih
baik antara tempat laba terutang dengan tempat aktivitas ekonomi dan daya
cipta. Di samping itu, memperbaiki tersedianya informasi ekonomi bagi
otoritas pajak dalam upaya melaksanakan peraturan perpajakan negara-
negara tersebut. Demikian pula untuk meminimalkan terjadinya pajak
berganda, perbaikan solusi sengketa pajak, juga untuk membangun
mekanisme mendukung dan memonitor pelaksanaan aturan perpajakan.
Semua upaya ini merupakan bagian kunci dari reformasi perpajakan
Internasional melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
3.Pengertian Pajak Internasional
Pemahaman tentang pajak internasional sering menjadi pembicaraan
para sarjana yang memberikan masing-masing pikirannya sesuai latar

belakang yang menyertainya. Paling tidak karena masalah pajak yang
dibicarakan, masalah hukum (yurisdiksi) yang mengatur dan masalah
ekonomi bagaimana penghitungannya akan ikut terkait.
Dari sisi hukum, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian Hukum
Pajak Internasional. Pengertian tentang Hukum Pajak Internasional menurut
pendapat beberapa ahli, yaitu:
a.Prof. Dr. P. J. A. Adriani
Hukum Pajak Internasional adalah suatu kesatuan hukum yang
mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-Undang Nasional
mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-
peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-
traktat. Menurutnya, Hukum Pajak Internasional sebenarnya merupakan
hukum pajak nasional yang di dalamnya mengatur pengen.aan pajak
terhadap orang asing.
b.Prof Mr. H. J. Hofstra
Hukum Pajak Internasional merupakan keseluruhan peraturan
hukum yang membatasi wewenang suatu negara untuk memungut pajak
dari hal-hal internasional. Batasan yang dikemukakan Hofstra lebih
menekankan pada kewenangan suatu negara atau yuridiksi suatu negara
dalam hal memungut pajak yang materinya berkaitan atau berhubungan
dengan negara-negara lain (dalam arti orang-orang asing yang bukan
warga negara suatu negara).
c.Prof. Rochmat Soemitro
Hukum Pajak Internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri
dari kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah-
kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip atau
kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia untuk
mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukan adanya
unsur-unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun mengenai
objeknya. la mengemukakan bahwa Hukum Pajak Internasional itu

terdiri dari norma-norma nasional yang diterapkan pada hubungan
internasional.
Ketiga para ahli ini sepakat bahwa hukum pajak internasional pada
dasarnya adalah aturan pajak nasional yang di dalamnya mengatur penerapan
pada aspek aturan hukum internasinal. Selanjutnya, pendapat lain adalah
datang dari
d.Arnold dan McIntyre
Dalam bukunya International Tax Primer (2002) yang mengatakan
bahwa Pajak Internasional adalah suatu scbutan yang kuran cocok dan
salah kaprah. Menurutnya yang dapat lebih diterima adalah istilah
"Hukum dan Ketentuan pajak Internasional" yang merujuk pada aspek
Internasional dari ketentuan perpajakan suatu negara. "The term
'international tax' may be considered a misnomer. what we refer to here for
convenience as international tax law more correctly reffered to as the
international aspects of the income tax laws of particular countries." Dengan
demikian, menurutnya persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B-
tax treaties), merupakan aspek internasional yang paling mengemuka dari
sistem perpajakan negara. "tax treties are perhaps the most obvious
International aspect of a country's income tax system" (Arnold dan McIntyre,
2002).
e.Kevin Holmes
"International tax is best regarded as the body of legalprovisions of different
countries that covers the taxaspects of cross-border transactions". Bila dicermati,
ternyata di antara kelima para ahli ini memiliki kesamaan di dalam
melihat apa yang dimaksud pengertian pajak internasional. Kesamaan yang
dimaksud adalah bahwa pengertian pajak internasional sebenarnya merujuk
pada ketentuan pajak nasional atas aspek internasional. Dengan demikian,
pada dasarnya pajak internasional berlandaskan pada ketentuan perpajakan
domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh
penghasilan dari luar negeri terhadap wajib pajak luar negeri yang

memperoleh penghasilan dari Indonesia. Termasuk dalam pengertian ini
adalah juga ketentuan-ketentuan yang disepakati pada perjanjian perpajakan
internasional dan praktik perpajakan internasional umumnya. Dalam
praktiknya, pajak internasional akan berbicara mengenai bagaimana
pemajakan atas penghasilan orang asing atau perusahaan (badan) asing yang
diterimanya dari Indonesia, dan bagaimana pemajakan atas penghasilan
orang atau perusahaan (badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari
luar negeri, berdasarkan undang-undang domestik dan undang-undang
negara lain, serta perjanjian perpajakan (tax treaty).
4.Ruang Lingkup Perpajakan Internasional
Subjek dan Objek Pajak dapat dikategorikan menjadi dua pandangan,
yaitu:
a.Taxing Inbound Income
Pemajakan atas Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang
memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri.
b.Taxing Outbound Income
Pemajakan atas Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang memperoleh
penghasilan yang bersumber dari dalam negeri.
Sebagai diketahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk
mengenakan pajak terhadap setiap penghasilan setiap individu dan badan di
mana terdapat "connecting factors" antara Negara dengan suatu
transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan.' Undang-
undang perpajakan menerapkan dua prinsip berdasarkan "connecting factors"
tersebut, yaitu:
a.Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak
kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat "personal
attachment", seperti residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat
pendirian, tempat kedudukan manajemen (Worldwide Income).
b.Source Principle (Asas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak kepada

seseorang (individu atau badan) karena terdapat "economic attachment"
yaitu penghasilan yang bersumber di negara tersebut.
Beberapa prinsip dalam perpajakan internasional yang salah satunya
dikemukakan oleh Doernberg (1989) menyebut tiga unsur netralitas yang
harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional, yaitu:
a.Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik)
Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah
sama sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar
negeri. Maka, jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban
pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini
akan melandasi UU PPh Pasal 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
b.Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional)
Dari mana pun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama
sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan
tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi
hak pemajakan yang sama bagi Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)
terhadap permanent establishment (PE) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang
melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
c.National Neutrality
Setiap negara mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Maka, bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan, boleh
dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
5.Tujuan Pokok Pajak Internasional
Salah satu aspek penting dalam perpajakan Internasional adalah
masalah pajak berganda internasional. Dalam upaya mengatasi masalah
tersebut, persetujuan secara bilateral dua negara dibuat melalui suatu
perundingan terkait adanya potensi pajak ganda yang diakibatkan hubungan
ekonomi dua negara. Tujuan utama adanya persetujuan penghindaran pajak
berganda (tax treaties) adalah meniadakan atau mengurangi pemajakan

berganda (avoid double taxation) dan juga mencegah penghindaran atau
penyelundupan pajak (avoid double non-taxation). Upaya-upaya ini panting
dilakukan dalam upaya untuk menciptakan suatu kondisi ekonomi yang
sehat dengan tujuan akhir (Srinivas, 2012), yaitu:
a.adanya efisiensi ekonomi (economic efficiency)
b.terciptanya keseimbangan aliran modal ekspor dan impor (balance of
capital export and import neutrality)
c.mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat (national wealth maximization)
d.adanya keadilan perpajakan (tax equity).
6.Isu dan Konsep Pajak Berganda Internasional
a.Konsep Asas Sumber (Source Concept)
Kewenangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan didasarkan
pada hubungan antara pendapatan (objek pajak) di negara yang
mengenakan pajak. Dalam asas sumber, klaim negara atas penghasilan
pajak didasarkan pada hubungan negara dengan pendapatan tersebut.
Sebagai contoh, sebuah negara akan meminta penerapan prinsip sumber
untuk memperoleh penghasilan pajak yang berasal dari penghasilan upah
yang diperoleh penduduk yang berada di dalam batas teritorialnya.
Penerapan asas sumber umumnya dibenarkan atas dasar asas manfaat
ekonomi dimana negara telah memberikan kontribusi terhadap
penciptaan peluang ekonomi yang memungkinkan wajib pajak
memperoleh pendapatan yang dihasilkan di dalam batas wilayah
negaranya. Kewenangan pengenaan pajak juga tentang kekuasaan, dan
sebuah negara umumnya memiliki kekuatan untuk memperoleh
penghasilan pajak jika aset dan aktivitas yang dihasilkannya berada di
dalam wilayah perbatasannya. Penghasilan itu sendiri ternyata tidak
memiliki lokasi geografis.
b.Konsep Residence (Domisili)
Di dalam prinsip domisili (residence principle) atau kediaman tempat

tinggal, klaim negara atas penghasilan pajak didasarkan pada hubungan
antara orang/badan yang mendapatkan penghasilan itu dengan negara.
Misalnya, sebuah negara akan menerapkan residence principle atas pajak
upah yang diterima oleh penduduk negara tersebut tanpa didasarkan
pada tempat di mana upah tersebut diperoleh. Pada umumnya, negara
menerapkan prinsip ini dalam upaya mengenakan pajak atas worldwide
income terhadap penduduknya. Praktik ini didasarkan pada pemajakan
atas seluruh kapasitas membayar wajib pajak, tanpa mengacu pada
sumber penghasilan yang konsisten dengan banyak teori distribusi
keadilan (distributive justice).
B.Perkembangan Perekonomian Global, Asas Pemajakan, dan
Pengenaan Pajak Berganda
1.Perkembangan Perekonomian Global
Keterbatasan resources dan kebutuhan masyarakat internasional yang
semakin bervariasi mendorong perlunya keterbukaan ekonomi serta adanya
kebutuhan pasar yang lebih luas yang dihadapi suatu perusahaan dalam upaya
ekspansi usaha ke luar negeri. Dengan demikian, perekonomian tidak bisa lagi
hanya ditopang oleh negara itu sendiri. Antar negara saling membutuhkan kerja
sama perdagangan untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negerinya masing-
masing. Perdagangan tidak lagi sebatas arus barang dan jasa, bahkan arus
barang tidak berwujud dan investasi.
Wujud dari adanya kerja sama ekonomi tersebut adalah terbentuknya
blok-blok perdagangan bebas di berbagai kawasan. Dimulai dari kawasan
Eropa, terbentuknya Uni Eropa (European Union) merupakan wujud dari
integrasi ekonomi secara menyeluruh dalam berbagai bidang. Uni Eropa
tersebut terbentuk di bawah perjanjian Uni Eropa tahun 1992. Di kawasan
Amerika terbentuklah NAFTA (North American Free Trade Area) pada tahun 1991
yang beranggotakan USA, Kanada, dan Meksiko bekerja sama dalam kegiatan
perdagangan regional melalui tahapan Free Trade Area dengan menghilangkan
tarif bea masuk diantara ketiga negara tersebut. Kawasan Amerika jinn
terbentuk MERCOSUR (Southern Common Market) pada tahun 1991 yang

beranggotakan negara-negara seperti Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, dan
Venezuela menerapkan integrasi ekonomi melalui tahapan Custom Union. Di
kawasan Afrika terbentuk Common Market For Eastern And Southern Africa
(COMESA) yang berdiri tahun 1994 dengan anggota sebanyak 20 negara seperti
Ethiopia, Kenya, Madagaskar, Mauritius, Namibia, Rwanda, Sudan, dan
Uganda. Ada pun tahapan integrasi ekonominya sejak tahun 2008 menerapkan
Customs Union dalam interaksi ekonomi di antaranegara anggotanya. Sementara
itu, di kawasan ASEAN terbentuk Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992
yang beranggotakan negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura,
Fipina, dan Vietnam yang kemudian menyusul Brunei, Laos, Myanmar, dan
Timor Leste. Tahapan integrasi ekonomi yang dijalankan adalah Free Trade Area.
Perkembangannya pada tahun 2015 di kawasan ASEAN diterapkan lagi sebuah
kawasan tunggal yang disebut dengan Asean Community di mana salah satu
bentuknya adalah Asean Economic Community (AEC).)
Implikasi penting dari terbentuknya berbagai blok-blok perdagangan di
berbagai dunia tersebut adalah semakin terintegrasinya perekonomian suatu
negara dengan negara lain. Dalam hal ini, organisasi perdagangan dunia (World
Trade Organization) memiliki peran penting dalam menjaga ritme tercapainya
integrasi ekonomi dunia melalui berbagai tahapan yang adal Perekonomian
dunia yang terintegrasi ini membawa dampak pada perekonomian antarnegara
yang semakin terbuka.
Globalisasi kegiatan ekonomi telah diakui dan telah terjadi, meski ada
indikasi fenomena adanya proteksionime baru. Tren ini akan terus berlanjut
menyusul integrasi kegiatan internasional. Dengan integrasi kegiatan
internasional muncul kesadaran bahwa negara-negara tidak hanya terlibat pada
transaksi lintas batas perusahaan swasta dan warga negara, tetapi juga oleh
adanya konsekuensi terhadap kebijakan fiskal pemerintah. Kebijakan pajak
suatu negara dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi negara lain. Pilihan
instrumen kebijakan pajak harus pula mempertimbangkan konsekuensi
internasionalnya, misal adanya peningkatan kesadaran ketergantungan fiskal
yang semakin nyata. Penurunan tarif pajak, perluasan basis pajak dan insentif

pajak suatu negara, akan ditindaklanjuti oleh reformasi fiskal serupa oleh negara
lain.
a.Masalah besar pada pajak internasional, dan utama yang membuat
problem sangat kompleks adalah adanya tumpang tindih kewenangan
(yurisdiksi) pemajakan. Sebagian besar negara termasuk negara ekonomi
besar dunia juga menegaskan hak pemajakan atas penduduk mereka baik
individu dan perusahaan, terlepas dari mana pendapatan diperoleh (world
wide income). Dalam upaya mengurangi beban pajak tersebut yang
diakibatican oleh kedua negara, baik negara asal dan negara asing,
negara-negara tersebut berupaya untuk mengizinkan pajak yang dibayar
di luar negeri untuk dikreditkan di dalam negeri dengan berbagai
pembatasan.
Azas ini menjelaskan tenting pemungutan p
2.Asas Pemungutan Pajak Secara Umum
Asas Domisili (Kependudukan) diberlakukan kepada setiap wajib
pajak sesuai domisili mereka berada. Domisili diartikan sebagai tempat
tinggal dari wajib pajak tersebut. Asas domisili ini diartikan bahwa
pemungutan pajak diberlakukan kepada setiap warga negara yang
berdomisili di negara tersebut. Tidak peduli dari mana pendapatan yang
ia dapatkan baik dari luar maupun dalam negeri selama ia masih
berdomisili di negara tersebut, maka ia wajib untuk membayar pajak
kepada negara. Hal ini diberlakukan kepada perorangan maupun suatu
lembaga. Misalkan ada suatu lembaga milik asing atau badan usaha yang
menetap di Indonesia, maka mereka wajib menyetorkan pajak kepada
pemerintah Indonesia.
a.Asas Sumber
Maksud dari asas ini adalah perlakuan pemungutan pajak
disesuaikan dengan sumber di mana wajib pajak mendapatkan
pendapatan. Jadi, tidak peduli di mana atau dari mana wajib pajak
tersebut, selama ia mendapatkan pendapatan atau sumber pendapatannya

dari negara itu, maka ia wajib membayarkan pajak ke negara tersebut.
Contoh: ada seorang asing atau tidak berasal dari Indonesia, tetapi ia
bekerja di Indonesia dan mendapat penghasilan dari Indonesia, maka
orang tersebut wajib membayar pajak ke negara Indonesia.
b.Asas Kebangsaan (Nasionalitas)
Asas kebangsaan diartikan sebagai kewajiban seorang warga negara
untuk tetap menyetorkan kewajiban ajaknya kepada negara meskipun
saat itu dia tidak berada di negaranya, bisa saat dia bekerja ke luar negeri,
bisnis di luar negeri dan sebagainya. Selama dia masih menjadi warga
negara tersebut secara resmi, maka ia tetap dipungut pajak. Sebagai
contoh, ada seorang pekerja asal Indonesia yang bekerja di Singapura
selama tujuh bulan. Dalam rentang waktu itu orang ini mendapatkan
penghasilan di Singapura, maka ia wajib membayar pajak ke negara ia
berasal (Indonesia)
Dalam hal pemungutan pajak, Indonesia diatur dalam Undang-
undang Nomor 7 tahun 1983 yang saat ini sudah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 yang membahas dan mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan subjek dan objek pajak. Isi undang-
undang ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Indonesia
menerapkan asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem
pemungutan pajak. Selain itu, Indonesia juga menerapkan asas
pemungutan pajak kebangsaan namun yang parsial, yakni khusus dalam
urusan yang mengatur pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi
atau untuk individu. Indonesia menerapkan dua asas penting ini karena
menganggap pajak merupakan aset besar bagi negara yang
memungkinkan untuk penambahan devisa negara. Pada dasarnya,
penerapan asas-asas pemungutan pajak adalah untuk memberikan
kemudahan bagi pihak negara ataupun wajib pajak dalam mengelola dan
mengurus pajak. Untuk penerapan asas pemungutan pajak, disesuaikan
dengan kebijakan setiap negara serta kondisi perekonomian negara
tersebut. Asas pemungutan pajak yang diterapkanjuga memiliki beberapa

tujuan di antaranya untuk menciptakan prinsip keadilan, manfaat bagai
seluruh warga negara, menciptakan kesejahteraan negara dengan
tercapainya tujuan negara seperti pembangunan dan lainnya.
3.Pemajakan Berganda dan Net Domestic Product
Adanya perbedaan prinsip dan dan pengutamaan kepentingan
negaranya, penerapan asas berpotensi terjadi bentrokan pemungutan.
Menurut asas domisili,penduduk suatu negara akan dikenakan pajak baik
atas penghasilan negara asal dan negara asing (worldwide income). Demikian
bagi yang bukan subjek pajaknya (subjek pajak luar negeri), maka tidak akan
dikenakan pajak oleh negara sumber atas penghasilan yang berasal dari
negara tersebut. Menurut asas sumber, penghasilan yang berasal dari negara
sumber secara keseluruhan dikenakan pajak di negara tersebut tanpa melihat
tempat tinggal penerima penghasilan. Demikian juga subjek pajak negara
sumber tidak akan dikenakan pajak oleh negara sumber atas penghasilan
yang bersumber dari negara domisili.
Negara tentu dapat saja menggunakan kedua asas pajak secara
bersamaan. Menggabungkan kedua asas baik dalam negara yang sama atau
antar negara negara yang berbeda dapat berakibat Pajak Ganda (double
taxation) oleh dua negara atas penghasilan yang sama. Namun, pajak
berganda dapat diatasi melalui mekanisme pengkreditan pajak domestik atas
pajak yang terutang di luar negeri. Bahkan tidak menjadi masalah seandainya
semua negara menggunakan asas yang sama (baik domisili atau sumber)
sehingga tidak akan terjadi pajak dari subjek pajak ganda. Sebagai contoh,
jika dua negara, yaitu negara asal clan negara asing memberlakukan asas
domisili, maka semua kategori penghasilan akan dikenakan pajak sekali solo,
misalnya:
a.Penghasilan dari negara sumber dari subjek pajak negara sumber maka
secara natural hanya akan dikenakan oleh negara sumber.
b.Penghasilan dari subjek pajak negara sumber yang berasal dari negara
asing hanya akan dikenakan pajak oleh negara sumber.

c. Penghasilan dari subjek pajak asing yang berasal dari negara sumber
hanya akan dikenakan pajak oleh negara domisili.
d.Penghasilan dari subjek pajak asing (domisili) yang bersumber dari asing
secara natural hanya akan dikenakan pajak di negara domisili.
4.Terjadinya Pajak Berganda Internasional
Sebagaimana disitir oleh Prof. Rochmat Soemitro dalam bukunya
hukum pajak internasional memberikan pengertian bahwa pajak berganda
internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih
saling menindih, sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan
pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih
besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Dari
pengertian di atas, jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul
karena satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih
dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak
yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya, Prof. Rochmat Soemitro
menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda
Internasional, yaitu: negara yang dapat terjadi karena Subjek pajak yang sama
dikenakan pajak yang sama di beberapa adanya:
a.Domisili rangkap
b.Kewarganegaraan rangkap
c.Bentrokan asas domisili
d. Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara,
dan
e.Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal
berdasarkan asas domisili, sedangkan di negara domisili dikenakan pajak
berdasarkan asas sumber (bentrokan titik pertautan subjektif dan objektif)

C.Relasi Tax Treaty dengan Pajak Penghasilan
Undang-undang Pajak Penghasilan menganut prinsip "worldwide income".
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh Indonesia antara
lain menyatakan, "... setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh oleh wajib pajak dari mana pun asalnya...". Artinya, apabila wajib
pajak Indonesia memperoleh penghasilan bersumber dari luar negeri, maka
penghasilan tersebut digabung dengan penghasilan yang bersumber dari dalam
negeri dan pajak yang dikenakan atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan di
Indonesia. Sebaliknya, jika wajib pajak Indonesia membayar penghasilan kepada
wajib pajak luar negeri, undang-undang PPh yang mengatur pengenaan
pajaknya melalui pemotongan.
Masalahnya adalah apakah ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
PPh tersebut tetap dapat diberlakukan sepenuhnya apabila penghasilan yang
bersumber dari Indonesia diterima oleh wajib pajak asing yang berdomisili di
negara lain yang mengikat tax treaty dengan Indonesia. Seperti kita ketahui
bahwa pajak berganda timbul karena dua negara mengenakan pajak atas
penghasilan yang sama. Sebagai antisipasi adanya benturan hak pemajakan
yang berakibat pada pajak ganda, tax treaty (Persetujuan Pen daran Pajak
Berganda-P3B) Indonesia melengkapi dirinya ldnengan ketentuan-ketentuan
yang dimaksudkan untuk mencegah pengenaan pajak berganda ini, misalnya:
a.Adanya ketentuan untuk menyelesaikan kasus kependudukan ganda
(dual residence), di mana seseorang atau badan diakui sebagai subjek pajak
dalam negeri (resident tax person) oleh dua negara yang berbeda. Aturan
ini dikenal dengan istilah Tiebreaker Rule yang dicantumkan dalam Pasal 4
ayat (2).
b.Adanya ketentuan pembagian hak pemajakan datum Pasal 6 sampai
dengan Pasal 21 untuk jenis-jenis peng-hasilan tertentu. Pembagian hak
pemajakan ini ada yang bersifat ekslusif diberikan hanya kepada satu
negara dan ada juga yang berupa pembatasan kepada suatu negara untuk
mengenakan pajak.

c.Adanya ketentuan tentang Corresponsding Adjustment terhadap lawan
transaksi di suatu negara dalam hal negara yang lain melakukan koreksi
terhadap satu Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing.
d.Adanya ketentuan tentang penerapan metode penghindaran pajak
berganda yang diatur dalam Pasal 23.
e.Adanya ketentuan tentang Mutual Agreement Procedures (MAP) di mana
jika satu Wajib Pajak diperlakukan tidak sesuai dengan ketentuan P3B di
negara lain maka Wajib Pajak tersebut dapat meminta otoritas pajak untuk
menyelesaikan masalahnya melalui MAP ini.
Dengan adanya ketentuan tersebut dalam P3B, maka diperlukan
keselarasan ketentuan datum Undang-undang PPh. Sesuai dengan Pasal 32
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga tentang Pajak
Penghasilan, dinyatalcan bahwa "Pemerintah berwenang untuk melakukan
perjanjian dengan pemerintah negara lain datum rangka penghindaran pajak
berganda clan pencegahan pengelakan pajak."
Hal ini menegaskan bahwa dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi
dan perdagangan dengan negara lail diperlukan suatu perangkat hukum yang
berlaku khusus (lex spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing.
masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan
pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Ada pun bentuk
dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya
serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Ada pun tujuan P3B
terkait dengan Pasal 32 adalah:
a.penghindaran pajak berganda
b.pencegahan pengelakan pajak
c.peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain,
dan
d.memberikan kepastian hukum.
Dalam penerapan suatu P3B oleh Indonesia, akan selalu terjadi interaksi

antara ketentuan dalam undang-undang PPh yang menyangkut wajib pajak liar
negeri dengan ketentuan berdasarkan P3B.
1.Aspek Internasional dan Undang-Undang PPh
Secara unilateral undang-undang PPh menentukan sejauhmana
yurisdiksi menjadi wewenangnya dan ini dituangkan dalam beberapa pasal
antara lain:
a.Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5)
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) adalah ketentuan yang memberi batasan
"subjek pajak luar negeri", yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu orang
pribadi dan badan hukum.
Ayat (4) Subjek pajak luar negeri adalah:
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia; dan
 orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT)
di Indonesia.
Penentuan status orang asing sebagai subjek pajak dalam negeri
atau subjek pajak luar negeri dimaksudkan untuk menentukan kewajiban
perpajakannya. Sesuai penjelasan Pasal 2 undang-undang PPh, perbedaan
kewajiban subjek pajak luar negeri dengan subjek pajak dalam negeri
dijelaskan, sebagai berikut:

Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak atas seluruh
penghasilannya baik yang diterima atau diperoleh ciari Indonesia
(onshore income) dan dari luar Indonesia (offshore income),
sedangkan subjek pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan
netto dengan tarif umum, sedangkan subjek pajak luar negeri
dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif tunggal;
Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (annual tax return) sebagai sarana untuk menetapkan pajak
yaw, terutang dalam satu tahun pajak, sedangkan subjeZ pajak luar
negeri tidak wajib menyampaikan SPT karena kewajiban pajaknya
telah dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final
Dengan dasar ketentuan di atas, orang acing yang diperlakukan sebagai
subjek pajak dalam negeri wajib mengisi dan melaporkan seluruh
penghasilannya (global income) dalam SPT-nya di Indonesia. Penghitungan
PPh terutang berdasarkan penghasilan neto, yaitu seluruh penghasilannya
setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (non taxable
income).
Ketentuan pasal 2 ayat (4) tersebut di atas menunjukkan bahwa suatu
"bentuk usaha tetap" dapat berasal dan orang pribadi atau badan yang
merupakan subjek Pajak luar negeri. Definisi "bentuk usaha tetap" diatur di
Pasal 2 ayat (5). Ayat (5) bentuk usaha tetap (BUT) adalah: Bentuk usaha tetap
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:

tempat kedudukan manajemen;
cabang perusahaan;
kantor perwakilan;
gedung kantor;
pabrik;
bengkel;
gudang;
ruang untuk promosi dan penjualan;
pertambangan dan penggalian cumber alam;
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
proyek konstruksi, instalasi, atauproyek perakitan;
pemberian lass dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Salah satu ciri dari definisi BUT sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat
(5) di atas adalah bahwa suatu Proyek konstruksi dianggap sebagai BUT
di Indonesia mulai hart pertama keberadaannya karena dalam ketentuan
tersebut tidak menyebutkan tes waktu. Apabila subjek pajak luar negeri
yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia rnelalui suatu bentuk usaha
tetap sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (4) tersebut di atas, maka
masalah berikutnya adalah menentukan penghasilan dari bentuk usaha
tetap tersebut sebagai dasar pengenaan PPh.
b.Pasal 5
Ketentuan yang diatur di Pasal 5 ayat (1) menentukan penghasilan
usaha. yang dianggap sebagai penghasilan dari bentuk usaha tetap, yaitu:

penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang atau dikuasai (attribution rule);
penghasilan kantor pusat dan usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang
dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di
Indonesia (force of attraction rule);
penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif
antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected rule).
Berkaitan dengan laba usaha dari suatu bentuk usaha tetap, Pasal 5
ayat (2) juga mengatur bahwa dalam penerapan prinsip "force of attraction"
biaya-biaya yang berkaitan dengan prinsip tersebut boleh dikurangkan
sebagai biaya. Salah satu jenis penghasilan yang diperoleh kantor pusat
suatu bentuk usaha tetap adalah penghasilan yang dicakup di Pasal 26,
yaitu antara lain dividen, royalti, bunga, dan imbalan atas pemberian jasa.
Apabila penghasilan tersebut memenuhi syarat masuk dalam ketentuan
Pasal 5 ayat (1), biaya-biaya yang berkaitan dengan penghasilan tersebut
boleh dikurangkan oleh bentuk usaha tetap yang bersangkutan.
Di samping itu, Pasal 5 ayat (3) mengatur biaya-biaya yang boleh
dikurangkan oleh BUT, yaitu biaya administrasi kantor pusat yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT di Indonesia, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Ada pun beberapa jenis biaya
yang dibayar oleh BUT kepada kantor pusatnya, yang tidak boleh
dibebankan kepada BUT, yaitu:
royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan
harta, paten, atau hak-hak lainnya;
imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
c.Pasal 3

Undang-undang Pajak Penghasilan juga mengatur pengecualian
sebagai subjek pajak, yaitu mereka, yang berdasarkan definisi umum
masuk dalam kelompok subjek luar negeri, tetapi sesuai dengan kebiasaan
internasional tidak dianggap sebagai subjek. Pengecualian ini diatur di
Pasal 3, yaitu badan dan orang yang dikecualikan sebagai subjek pajak,
sebagai berikut:
badan perwakilan asing;
pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-
pejabat lain dan negara asing, dan orang yang diperbantukan
kepada mereka sepanjang bukan warga negara Indonesia;
organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Indonesia. Keuangan
dengan syarat bukan warga negara
Orang atau badan-badan tersebut pengecualian subjek pajak,
walaupun bila diterapkan prinsip yang umum mereka masuk dalam
kategori subjek pajak.
d.Pasal 24
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) undang-undang PPh
Indonesia menganut "worldwide income”. Untuk mencegah pengenaan
pajak berganda terhadap wajib pajak dalam negeri, undang-undang PPh
memberikan cara untuk keperluan tersebut melalui ketentuan pasal 24
yaitu pengkreditan pajak luar negeri. Artinya apabila wajib pajak dalam
negeri memperoleh penghasilan dari luar negeri, pajak yang dikenakan
atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan di Indonesia dengan syarat-
syarat tertentu.
Secara umum ketentuan Pasal 24 memuat prinsip-prinsip, seperti
berikut:

kredit pajak yang dapat dikreditkan untuk keperluan
penghitungan PPh tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang PPh. Dengan perkataan
lain, batas kredit pajak luar negeri dihitung setiap negara, atau
lazim disebut "per country limitation";
dalam hal penghasilan dimaksud bersumber dari Indonesia, maka
pajak yang dikenakan di luar negeri tidak dapat dikreditkan
Indonesia.
e.Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar
negeri dari Indonesia, Undang-undang PPh menganut dua sistem
pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya
bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh
pihak yang wajib membayar bagi wajib pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan Pasal 26 mengatur pengenaan pajak atas penghasilan
yang dibayar dari sumber di Indonesia kepada wajib pajak luar negeri.
Pengenaannya melalui pemotongan PPh sebesar 20%, diterapkan
terhadap dividen, bunga termasuk premiun diskonto, premi swap, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa,
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Disamping itu, pemotongan PPh sebesar 20% juga den an jasa,
diterapkan atas imbalan sehubungan pekerjaan, dan kegiatan berhadiah
dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya. Ketentuan
Pasal 26 mencakup penghasilan dari modal (passive income), yaitu dividen,
bunga, royalti, dan sews atas penggunaan harta dan dari kegiatan usaha
atau pekerjaan serta pembayaran premi asuransi dari Indonesia kepada
perusahaan asuransi luar negeri.
Pasal 26 juga mengatur pengenaan pajak atas laba setelah pajak
(branch profit tax) dari suatu BUT yang berada di Indonesia. Suatu BUT

yang berada di Indonesia, di samping dikenakan PPh badan, juga
dikenakan PPh tambahan atas laba setelah pajak.
2.Interaksi antara P3B dan Undang-Undang PPh
Dalam hal terjadi suatu transaksi internasional, maka perlu dilakukan
proses identifikasi terlebih dahulu tentang subjek dan objek pajaknya.
Kemudian, setelah diketahui subjek dan objeknya, lalu ditentukan bagaimana
perlakuan perpajakan menurut ketentuan UU Pajak Penghasilan. Apabila
diketahui bahwa atas transaksi tersebut ada Pajak Penghasilan yang terutang,
maka perlu dicermati apakah antara Indonesia dengan Subjek Pajak Luar
Negeri tersebut memiliki P3B. Hal ini sering terjadi dalam dua kondisi, yaitu:
a.Apabila memiliki P3B, di mana Indonesia memiliki P3B dengan negara
residen maka WP Luar Negeri tersebut adalah mitra P3B Indonesia.
Diperlukan syarat surat keterangan domisili (SKD) yang sah untuk
selanjutnya diterapkan tarif pajak sesuai P3B tersebut.
b.Apabila P3B berkonflik dengan UU PPh, maka diperlukan permintaan
MAP (Mutual Agreement Procedure) untuk memberi kepastian hukum dan
panduan dalam prosedur administratif MAP dalam P3B, konflik terjadi
dapat berupa:
Status Subjek Pajak Dalam Negeri,
Keberadaan BUT,
Hak Pemajakan,
Besarnya penghasilan (tax base),
Besarnya tarif pajak,
Definisi penghasilan/harta, dan
Sumber penghasilan.
Analisis yang menyangkut interaksi antara undang-undang
domestik dengan P3B disajikan berdasarkan urutan masalahnya, yaitu
definisi bentuk usaha tetap, labs usaha, dan pajak yang berkaitan dengan

BUT tersebut. Selanjutnya, tiga jenis penghasilan dan modal yaitu dividen,
bunga dan royalti, premi asuransi, imbalan sehubungan jasa/hubungan
kerja dari pensiun.
Referensi :
Simanjuntak, Timbul Hamonangan. 2018. Perpajakan Internasional. Yogyakarta:
Penerbit Andi
Tags