E-Book_TeoriAnalisisWacanaKritis bahasa melayu

nazeiha 13 views 121 slides Nov 28, 2024
Slide 1
Slide 1 of 121
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85
Slide 86
86
Slide 87
87
Slide 88
88
Slide 89
89
Slide 90
90
Slide 91
91
Slide 92
92
Slide 93
93
Slide 94
94
Slide 95
95
Slide 96
96
Slide 97
97
Slide 98
98
Slide 99
99
Slide 100
100
Slide 101
101
Slide 102
102
Slide 103
103
Slide 104
104
Slide 105
105
Slide 106
106
Slide 107
107
Slide 108
108
Slide 109
109
Slide 110
110
Slide 111
111
Slide 112
112
Slide 113
113
Slide 114
114
Slide 115
115
Slide 116
116
Slide 117
117
Slide 118
118
Slide 119
119
Slide 120
120
Slide 121
121

About This Presentation

teori


Slide Content

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/370214785
TEORI ANALISIS WACANA KRITIS
Book · December 2021
CITATIONS
2
READS
15,833
1 author:
I Nyoman Yasa
Ganesha University of Education
25 PUBLICATIONS   62 CITATIONS   
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by I Nyoman Yasa on 24 April 2023.
The user has requested enhancement of the downloaded file.

Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
TEORI
ANALISIS WACANA
KRITIS
TEORI
ANALISIS WACANA
KRITIS
I NYOMAN YASA

Pustaka Larasan
2021

ii
TEORI ANALISIS WACANA KRITIS
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
Penulis
I Nyoman Yasa
Pracetak
Slamat Trisila
Penerbit
Pustaka Larasan
(Anggota IKAPI)
Jalan Tunggul Ametung IIIA No. 11B
Denpasar, Bali 80116
Pos-el: [email protected]
Ponsel: 0817 35 34 33
Bekerja sama dengan
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Cetakan pertama
2021
ISBN 978-623-6013-49-6

iii
KATA PENGANTAR
Keberadaan sebuah kultur tertentu dalam masyarakat
terbentuk melalui sebuah proses yang lama. Dalam perjalanan
yang panjang tersebut, praktik-praktik sosial yang melahirkan
sebuah unequilibrium sangat sering terjadi. Praktik-praktik
ketidakjujuran, manipulasi, pemberian label atau stigma bahkan
sangat marak terjadi di belahan dunia manapun, apalagi di negara
kita.
Unequilibrium atau ketidakberimbangan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan di negara kita tampak ketika masa
sebelum, saat, atau setelah kolonialime atau imperialisasi Eropa
dan Jepang. Dinasti para raja, kolonialisme Belanda, Jepang,
Orda Baru, bahkan perdagangan global/bebas sekarang ini
menciptakan polarisasi Dunia Pertama dan Dunia Ketiga.
Polarisasi ini sangat dahsyat hingga menciptakan kultur peri-peri,
kultur superior. Situasi kultur ini merasuki setiap ruang-ruang
hingga ke pori-pori mental masyarakat Indonesia yang terjajah
dan oksidentalis.
Buku ini ditulis untuk memberikan satu perspektif kritis atas
fenomena media, khususnya sastra dan sarana kekuasaan lainnya
di Indonesia. Fenomena itu mulai dari orientalisme Eropa melalui
ekspansinya di Indonesia, fenomena hasrat Jepangisasi Asia,
Stigmatisasi PKI, bahkan hingga fenomena pemberian identitas
inferior kepada kelompok sudra di Bali. Pemberian label judul
Teori Analisis Wacana Kritis Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
pada buku ini tidak memaksudkan sebagai sebuah teori atau
disiplin baru, tetapi judul tersebut mengabstraksikan bahwa
isi buku ini berhubungan dengan sastra yang dianalisis dari
multiperspektif kritis atau interdisiplineritas teori/pendekatan.
Pemaparan konten pada buku ini meliputi (1) dasar konsep
Analisis Wacana Kritis, (2) Ideologi sebagai bagian dari Wacana
Kritis, (3) Beberapa Ahli Analisis Wacana Kritis, (4) Studi Kajian
Analisis Wacana Kritis dalam negeri dan luar negeri, (5) Desaian

iv
Analisis Wacana Kritis, (6) Interdisiplinaritas dalam Analisis
Wacana Kritis, dan (7) Teks dan Konteks. Selanjutnya, penulis
menguraikan sebuah metode, prosedur, dan teknik menerapkan
Analisis Wacana Kritis dalam pembelajaran sastra di kelas
(sekolah).
Buku yang ada di tangan pembaca ini telah mendapat
beberapa masukan dari para akademisi analisis kritis media
dan pembelajaran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Anang Santoso, Dr.
Roekhan, Dr. Hj. Yuni Pratiwi, atas saran yang telah memotivasi
pemikiran penulis untuk melahirkan karya ini menjadi lebih
baik. Penulis berharap buku ini memberikan kontribusi kepada
pengembangan sikap dan disiplin ilmu pengetahuan.
Singaraja, September 2021
Dr. I Nyoman Yasa, S.Pd., M.A.

v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................
Daftar Isi ...........................................................................
Bab I Konsep dan Prinsip Dasar ........................................
Bab II Pemikiran AWK dan Tokoh Penting ......................
Bab III Studi Analisis Wacana Kritis .................................
Bab III Sastra sebagai Sebuah Discourse ..........................
Bab IV Ideologi dan Peran Pembaca .................................
Bab V Ragam Isu Telaah AWK .........................................
Bab VI Interdisiplinaritas AWK ........................................
Bab VII Desain Analisis Wacana Kritis ............................
Bab VIII Teks dan Konteks dalam AWK ..........................
Bab IX Relevansi AWK dalam Pembelajaran Sastra .........
Glosarium .........................................................................
Daftar Pustaka ...................................................................
Indeks ................................................................................
Tentang Penulis .................................................................
iii
v
1
5
27
39
43
49
55
57
63
79
89
105
109
111

vi

1
A
nalisis Wacana Kritis merupakan sebuah pendekatan
yang istimewa dalam analisis wacana. Analisis
Wacana Kritis fokus pada kondisi-kondisi diskursif
dan konsekuensi-konsekuensi (akibat) berlangsungnya politik
kekuasaan dari kelompok (elite) dan institusi. Analisis Wacana
Kritis merupakan sebuah pendekatan yang secara mendasar dibuat
berdasarkan atas konsep-konsep teori dialektis-kritis. Analisis
Wacana Kritis tidak terbatas hanya pada upaya merumuskan
dan mengujikan praktik- praktik yang ada dalam kehidupan
masyarakat semata, tetapi juga menguji hasil sebuah studi ilmiah.
Makna Kritis dalam Analisis Wacana Kritis
Istilah kritis sudah sangat sering kita simak. Istilah
kritis melekat pada kata-kata, seperti literasi kritis, teori kritis,
pendekatan kritis, linguistik terapan kritis, dan lain-lain.
Ada beberapa asumsi terhadap istilah kritis. Istilah kritis
memiliki beberapa ciri, antara lain
(1) Pemikiran-pemikiran yang secara fundamental dimediasi
oleh relasi kekuasaan (power), baik memiliki keterhubungan
sosial maupun sejarah,
(2) Peristiwa atau fakta-fakta tidak pernah terlepas dari ranah
nilai atau ideologi,
(3) Relasi antara konsep dan objek atau antara penanda
(signifier)-petanda (signified) tidak pernah sama atau tepat,
melainkan dimediasi oleh relasi sosial produksi-konsumsi
kapitalis,
(4) Bahasa sebagai pusat strategi pembentukan atau penciptaan
subjektivitas, baik secara sadar maupun tidak sadar

2
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
(ketidakpedulian),
(5) Kelompok-kelompok dominan memberikan manfaat atau
keuntungan kepada kelompok lainnya (subdominan),
walaupun cara-cara yang dilakukan olehnya menindas.
Penindasan tersebut tidak dirasakan oleh kelompok
subdominan sehingga penindasan-penindasan tersebut
dipandang sebagai aktivitas (sesuatu) yang alamiah,
dibutuhkan, dan dinantikan.
Teori kritis secara intensif menciptakan atau menumbuhkan
kesadaran diri agen, khususnya bagaimana mereka diterima,
dibutuhkan, dan diminati. Struktur kelompok dominan
menstabilisasi aturan-aturan dan sekaligus menaturalisasikan
aturan-aturan itu dengan memasukkan ideologi dan kekuasannya.
Aturan-aturan yang sudah dinaturalisasikan itu seakan-akan
sebagai sebuah aturan alamiah, yakni sebagai sebuah anugerah
atau sesuatu yang sudah ada (Locke, 2004:32). Tugas Analisis
Wacana Kritis adalah melakukan kajian (telaah) terhadap
struktur dominan tersebut.
Dalam wacana Analisis Wacana Kritis, argumentasi sangat
berhubungan dengan pandangan-pandangan masyarakat yang
dicirikan oleh relasi-relasi kekuasaan yang tidak setara yang serta-
merta dijadikan sebagai sebuah kesepakatan sosial.
Tujuan Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis telah menjadi istilah umum dalam
sebuah pendekatan yang melakukan kajian terhadap teks tulis dan
lisan. Van Dijk menyatakan bahwa Analisis Wacana Kritis ini
lahir dari linguistik kritis, semiotik kritis, dan bentuk kesadaran
sosial-politik secara umum, yang bertujuan untuk melakukan
penyelidikan terhadap bahasa, wacana, dan komunikasi.
Berbeda dengan van Dijk, Meyer menyatakan bahwa sangat
sulit untuk menyatakan Analisis Wacana Kritis dibentuk oleh
pendekatan-pendekatan tertentu. Analisis Wacana Kritis dapat
saja dibentuk oleh pendekatan-pendekatan, seperti teori sosial,
teori mikrososiologis, teori psikososiologis, teori epistemologis,

3
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
teori wacana, atau pun teori linguistik. Dengan demikian,
Analisis Wacana Kritis dapat dikatakan bersifat interdisipliner/
transdisipliner.
Analisis Wacana Kritis memiliki beberapa karakteristik
yang membedakannya dengan disiplin ilmu lainnya.
1) Analisis Wacana Kritis berorientasi pada Masalah dan Isu
Analisis Wacana Kritis berorientasi pada masalah dan isu,
bukan berorientasi pada paradigma. Berbagai pendekatan
teoretis dan metodelogis dapat dilibatkan sepanjang menge-
fektifkan kajian-kajian yang berhubungan dengan masalah-
masalah sosial, seperti seksisme, rasisme, kolonialisme, dan
segala bentuk ketidakadilan sosial lainnya.
2) Analisis Wacana Kritis Diposisikan sebagai Pendekatan
Kritis
Analisis Wacana Kritis tidak dicirikan oleh institusi,
atau sebuah subdisiplin analisis wacana, melainkan
lebih diposisikan sebagai sebuah pendekatan kritis dalam
mengkaji teks tulis dan lisan.
3) Analisis Wacana Kritis bersifat Interdisipliner.
Dalam mengkaji masalah sosial, Analisis Wacana Kritis
memiliki ciri interdisipliner atau multidisipliner dan
secara khusus fokus pada relasi-relasi antara wacana dan
masyarakat (termasuk di dalamnya kognisi sosial, politik,
dan budaya.
4) Analisis Wacana Kritis bagian dari Kajian Kritis
Secara historis dan sistematis, Analisis Wacana Kritis
merupakan bagian dari kajian kritis (critical studies) dalam
ranah ilmu humaniora, ilmu sosial, seperti sosiologi,
psikologi, komunikasi masyarakat, hukum, sastra, dan ilmu
politik.
5) Analisis Wacana Kritis Memperhatikan Dimensi Wacana
Analisis Wacana Kritis memperhatikan setiap level dan
dimensi wacana melalui tata bahasa (seperti fonologi,
sintaksis, semantik), stilistika, retorika, organisasi skemata,
tindak tutur, strategi pragmatik, interaksi dengan lainnya.

4
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
6) Analisis Wacana Kritis Meliputi Wacana yang tidak
hanya Verbal
Kajian Analisis Wacana Kritis tidak hanya dibatasi pada
aspek verbal wacana, tetapi juga pada dimensi semiotika
lainnya (seperti gambar, film, suara, musik, gestur, dan lain-
lain) dalam peristiwa komunikatif.
7) Analisis Wacana Kritis Fokus pada Relasi dan Produksi
Kuasa
Ketika melakukan kajian terhadap peran wacana dalam
masyarakat, Analisis Wacana Kritis secara spesifik
memusatkan perhatian pada relasi kekuasaan (kelompok),
dominasi, dan ketidakadilan, dan cara-cara wacana
direproduksi atau dilawan oleh anggota kelompok sosial
melalui teks tulis dan lisan (text and talk).
8) Analisis Wacana Kritis berupaya menguak ideologi
tersembunyi
Melalui pendeskripsian, penjelasan, dan praktik, tujuan
Analisis Wacana Kritis berupaya untuk membuka atau
menguak ideologi yang tersembunyi dalam wacana. Oleh
karena itu, secara khusus, Analisis Wacana Kritis juga
memperhatikan strategi-strategi manipulasi, legitimasi, dan
cara wacana ditanamkan sehingga memengaruhi pemikiran
masyarakat yang disasarnya. Dengan demikian, Analisis
Wacana Kritis memformula wacana tandingan (counter-
power).

5
A
nalisis Wacana Kritis merespons perkembangan ilmu
pengetahuan, terutama gagasan M.A.K. Halliday me­
ngenai bahasa dalam penggunaannya. Bahasa se­ bagai
fenomena sosial menyampaikan ideasional penggunanya. Dalam
respons kritis, para pemikir Analisis Wacana Kritis, seperti
van Dijk, Norman Fiarclough, Gunter Kress, Roger Fowler
memanfaatkan pemikiran kritis Michel Foucault, Linguistik
Marxist, dan teori Politik sehingga dikembangkan Analisis
Wacana Kritis (Mills, 2001:134) seperti yang ada dewasa ini.
Pemikiran bahwa LFS memiliki hubungan erat dengan kelahiran
Analisis Wacana Kritis dapat dicermati dalam buku Systemic
Functional Linguistic and Critical Discourse Analysis Studies in Social
Change yang disusun oleh Lynne Young dan Claire Harrison pada
tahun 2004.
Pengaruh Gagasan M.A.K. Halliday Dalam LFS
Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) merupakan teori
linguistik mutakhir yang bertujuan untuk menganalisis teks secara
sistematis pada fungsi teks dan fungsi yang dimaksud dihubungkan
dengan konteks (Graber, 2001:5). Graber menyatakan bahwa tidak
semua teori linguistik mengkaji bahasa dengan mengaitkannya
pada konteks. Kajian linguistik sebelumnya, termasuk Pragmatik
dan dan Sosiolinguistik mengkaji bahasa hanya pada sistem
formal saja.
Linguistik Fungsional Sistemik diciptakan oleh M.A.K.
Halliday. Sebagai seorang semanticis Australia dan Pencipta
LFS, Halliday sangat produktif mengakaji linguistik. Halliday
telah menulis lebih dari 100 makalah dan buku tentang pemikiran
semantik/linguistik, baik teori maupun praktik. Ia juga meneliti

6
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
bahasa Cina, Berbagai Bentuk Analisis Tatabahasa, Studi
Intonasi, Semantik Sosiologi, Sosiolinguistik, Kajian Makna,
Pembelajaran Bahasa Mutakhir, Bahasa dalam Dunia Pendidikan,
Kajian Bahasa Sistemik, Analisis Wacana, Kajian Bahasa dan
Budaya, Bahasa Lisan dan Tulis, dan Pengembangan Tatabahasa
Fungsional Sistemik.
Halliday selalu fokus pada bahasa natural sebagai sistem
simbolik—sebagai sumber membuat makna. Pandangan Halliday
ini bertentangan dengan pandangan kaum linguis tradisional yang
memandang bahasa dari keterampilan penggunanya yang mana
memandang bahasa sebagai sumber simbolik. Bahasa sebagai
sistem simbolik mengimplikasikan bahwa seseorang membuat
makna dalam beberapa konteks yang spesifik.
Pada perkembangan selanjutnya, Linguistik Fungsional
Sistemik telah digunakan dalam segala bidang yang berhubungan
dengan teks, seperti dalam Pendidikan Bahasa, Perkembangan
Bahasa Anak, Linguistik Computasional, Wacana Media, Analisis
Komunikasi (Causal Conversation ) atau pun dalam bidang Bahasa
Administrasi. Selain itu, LFS juga banyak digunakan untuk
menafsirkan tata bahasa bidang semiotik lain, seperti bidang
Visual, Seni, dan Suara.
Berikut adalah butit-butir pemikiran M.A.K. Halliday
dalam Linguistik Fungsional Sistemik, yakni (1) Latar Belakang
Pemunculan Linguistik Fungsional Sistemik dan (2) Dasar-
dasar Pemikiran M.A.K. Halliday dalam Linguistik Fungsional
Sistemik.
Kelahiran LFS
Halliday merupakan nama besar dalam bidang linguistik,
khususnya kutub linguistik yang memandang bahasa sebagai
fenomena sosial. Halliday mengarahkan rung lingkup LFS ini
pada teks dan analisis wacana. Banyak karya linguistik yang
merasa tidak lengkap dan merasa tidak afdol jika tidak mengutip
pandangan- pandangan Halliday. Pada kemudian hari, banyak
karya linguis yang begitu terinspirasi dari karya-karyanya, baik
yang menyetujuinya maupun yang menyerangnya.

7
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
Aliran Linguistik Fungsional Sistemik ini diperkenalkan
oleh J.R. Firth, yang akhirnya dikembangkan terus oleh
muridnya sendiri bernama M.A.K. Halliday (Graber, 2001:13).
Dalam pandangan Firth, keseluruhan bahasa adalah sebuah
mode perilaku yang memiliki fungsi-fungsi dalam kaitannya
dengan konteks. Firth tidak mendudukan fungsi hanya sebagai
sebuah paradigma antara relasi bagian-bagian di dalam sebuah
sistem (sebagaimana Ferdinand de Saussure), melainkan fungsi
sebagai keterhubungan antara konteks dengan pilihan khusus
bahwa yang ada dalam sistem sebagai hasil dari struktur tertentu
dalam teks atau perilaku bahasa tertentu di dalam sebuah
konteks (Graber, 2001: 12). Selain itu, Halliday membantah
pandangan kaum linguis sebelumnya yang memandang wacana
atau teks tidak fungsional. Berkenaan dengan pandangan linguis
sebelumnya, Halliday berpandangan bahwa analisis wacana yang
tidak menautkan grammarnya maka analisis tersebut bukanlah
analisis yang bersifat menyeluruh, melainkan hanya komentar
terhadap teks saja.
Pemikiran LFS Halliday terinspirasi dari pemikiran
Firth dan Malinowski. Dua konsep yang dieksplorasi dan
dikembangkan Halliday dalam LFS adalah (1) konsep makna
sebagai fungsi dalam konteks dan (2) multifungsionalitas.
Halliday memandang bahwa fungsi adalah properti fundamental
bahasa. Fungsional bahasa itu secara semantik direalisasikan
dalam bentuk tiga strata makna: eksperensial, interpersonal,
dan tekstual. Selain itu, ia memandang bahwa struktur klausa
semiotik bahasa secara mendasar adalah multifungsi. Dalam
pendekatan LFS ini, Halliday memadukan ilmu sosial dan ilmu
semiotik atau yang lebih dikenal dengan perspektif Semiotika-
Sosial dalam analisis teks. Firth (dalam Graber, 2001:12)
memandang bahwa bahasa adalah polisistemik. Artinya,
bahasa terdiri atas sistem multiparadigmatik. Masyarakat secara
regular menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu yang
dilakukannya secara beragam dalam konteks yang berbeda- beda
dan secara simultan menentukan putusan dalam sistem berbeda.
Contoh pembuktiannya, satu sistem mungkin hanya fokus pada

8
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
komunikasi tentang dunia, tetapi di sisi lain, sistem lainnya
hanya fokus pada lawan bicara. Bagi Firth, makna bukan hanya
berkaitan dengan bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan
satu paradigma dalam satu sistem (sebagaiamana Saussure
dalam langue), tetapi sistem paradigmatik mengarahkan konsep
pilihan bahasa penutur atau penulis pada konteks yang lebih luas
(broader context) atau konteks yang lebih spesifik (specific context).
Sebagaimana pemikiran Malinowski tentang konteks budaya dan
konteks situasi, Firth memberikan rujukan konteks luas sebagai
konteks budaya dan konteks spesifik sebagai konteks situasi. Firth
memposisikan bahasa bersifat sosial dalam latar alamiah bukan
karena bahasa disampaikan oleh kelompok sosial, tetapi karena
bahasa digunakan dalam konteks sosial dan menggunakannya
untuk melakukan suatu perilaku tertentu dalam konteks itu.
Pemikiran J.R. Firth ini dikembangkan oleh muridnya bernama
M.A.K. Halliday yang kemudian diberi nama Tatabahasa
Fungsional Sistemik.
Perkembangan pemikiran Halliday tentang teori sistemik
ini, pada awalnya ia sebut Skala dan Kategori Bahasa (scale and
category linguistics). Mulanya, teori Linguistik Fungsional Sistemik
ini digunakan dalam linguistik terapan. Ketika itu pula, banyak
para Linguis Fungsional Sistemik (LFS) menerapkan teorinya
dalam Pembelajaran Komposisi, Belajar Bahasa Inggris sebagai
Bahasa Kedua atau dalam Penafsiran Teks Sastra. Akhirnya,
Halliday menggunakan teori LFS ini dalam karya sastra dan
karya nonsastra.
Dasar-Dasar Konsep LFS
Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) sebagai sebuah
pendekatan diarahkan pada kerangka kerja deskriptif dan
interpretatif yang mana bahasa dipandang sebagai sumber
makna. Pendekatan ini dapat dikatakan memiliki akar pemikiran
hubungan antara bahasa dan masyarakat sebagaimana diajukan
oleh antropolog Malinowsky. Malonowski membedakan
secara tegas antara konteks ujaran dan konteks umum situasi.
Berdasarkan pembedaan tersebut, Malinowski mendefinisikan

9
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
makna sebagai bentuk yang tidak berasal dari kontemplasi kata
pasif, tetapi dari analisis fungsinya dengan rujukan budaya yang
diberinya. Pemikiran Malinowski yang memandang makna
sebagai fungsi dalam konteks budaya secara umum menjadi
pertimbangan dasar pendekatan Lingustik Fungsional Sistemik.
Sebagaimana disampaikan pada latar belakang kemunculan LFS
di atas, LFS muncul seiring pandangan Firth (Firthian) tentang
bahasa bahwa bagian utama makna kalimat dapat diperoleh
melalui pengkajian teksnya yang dikaitkan dengan konteksnya.
Beberapa pandangan mendasar Halliday dalam Linguistik
Fungsional Sistemik (LFS).
1) Informasi sebagai Makna
Linguistik Fungsional Sistemik memposisikan infor­
masi sebagai makna daripada sebagai pengetahuan dan
menginterpretasikan bahasa sebagai sebuah sistem semiotik,
tidak sekadar sebagai sistem sosial semiotik. Bahasa dipandang
sebagai fondasi pengalaman manusia dan makna sebagai bagaian
yang penting dalam kesadaran manusia. Dalam pemikiran ini,
Halliday memandang bahasa sebagai fenomena sosial daripada
fenomena individual. Begitupula, bahasa lebih dipandang sebagai
pengalaman sosiologis daripada psikologis.
2) Investigasi Bahasa sebagai Proses Semogenesis
Bahasa diinvestigasi di dalam konteks sistem pecipta makna
atau biasa disebut sebagai semogenesis (proses pemaknaan). LFS
dikembangkan dan digunakan untuk mendeskripsikan sistem
fungsional bahasa. Sebuah teks adalah unit semantik, bukan
sebagai sebuah gramatika. Akan tetapi, makna direalisasikan
melalui kata-kata. Jika tidak ada teori mengenai kata, yakni
grammar, akan tidak ada interpretasi eksplisit terhadap makna
teks.
3) Penciptaan Makna dalam Bahasa
Makna diciptakan didalam bahasa; bahasa menciptakan
pengalaman dan realitas. Halliday menyatakan bahwa bahasa

10
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
tidak pasif merefleksikan realitas, melainkan aktif. Di dalam
tatabahasa, terutama leksikogramatika, pengalaman dan
pandangan berpadu dalam makna. Pengalaman dan perspektif
Kategori dan konsep pengalaman banyak dapat diekspresikan
dalam bahasa. Pengalaman itu dikonstruksi didalam bahasa dan
disusun secara simbolik. Dengan demikian, grammar adalah teori
dari pengalaman manusia. Inilah konsep aksi sosial. Sebagaimana
pandangan Hjelmslev dan Firth bahwa grammar mengonstruksi
pengalaman tentang kehidupan, peristiwa, dan objek. Hjemslev
memandang bahwa makna tidak akan ada sebelum ada kata-
kata yang merealisasikannya.
4) Bahasa Dijelaskan dari Bagaimana Bahasa Digunakan
Tatabahasa Fungsional Sistemik tidak hanya mengklasifikasi
bahasa, tetapi tatabahasa fungsional yang memandang bahwa
segalanya dapat dijelaskan oleh bagaimana bahasa digunakan.
Kerangka konseptualnya berdasarkan pada apa yang dilakukan
bahasa, bukan pada klasifikasi formal sebagaimana tatabahasa
tradisional. Tatabahasa tradisional mendefinisikan bahwa bahasa
bersifat arbitrer. Bahasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Oleh karena itu, bahasa diorganisasi agar memiliki fungsi respek
terhadap kebutuhan. Jadi, bahasa bukan manasuka (arbitrer).
5) Tatabahasa Fungsional Sistemik adalah Natural
Tatabahasa Fungsional Sistemik adalah tatabahasa natural
yang mana segala sesuatu dapat dijelaskan dengan referensi
bagaimana bahasa digunakan. Tatabahasa bukanlah arbitrary
karena secara natural berhubungan antara kata-kata dan makna.
6) Kekuatan Metafungsi Bahasa
Bahasa menemukan kekuatan semogenik di dalam tiga
konstruksi yang saling mendukung yang ada pada semua klausa
dan semua bahasa, yang disebut dengan metafungsi. Bagian
metafungsi tersebut adalah (1) ideasional, (2) interpersonal, dan
(3) tekstual.

11
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
Metafungsi
Pada hakikatnya, bahasa mempunyai fungsi sosial yang
oleh Halliday dinamakan metafungsi. Halliday melihat ada tiga
metafungsi sehubungan dengan penggunaan bahasa dalam proses
sosial di suatu masyarakat. Ketiga metafungsi tersebut adalah (1)
ideasional, (2) interpersonal, dan (3) tekstual.
Fungsi ideasional atau eksperiensial merupakan
penggunaan bahasa untuk merefleksikan realitas pengalaman
partisipannya, termasuk pengalaman diri sendiri, orang lain,
atau benda. Menurut Gonzalez (2001:1), pada fungsi ideasional
ini bahasa merepresentasikan konten, termasuk dunia sekitar dan
imajinasi pembicara/penulis. Haratyan (2011:261) menyatakan
bahwa fungsi ideasional mengekspresikan pengalaman dan
pemikiran logis melalui teks. Fungsi ideasional berorientasi pada
bahasa dan berhubungan dengan kohesif dan koherensi produksi
teks dalam klausa.
Fungsi Interpersonal secara umum menggambarkan
hubungan sosial antarpartisipan, interaksi sosial seperti apa yang
sedang berjalan: memberi atau meminta informasi (proposisi)
atau memberi atau meminta barang atau jasa. Fungsi ini dapat
direalisasikan melalui sistem fonologinya: intonasi dan tekanan
kata; leksis makna pada sistem leksis deskriptif atau aditudinal,
dan tingkat klausa direalisasikan ke dalam sistem mood, struktur
mood, modalitas, atau klausa termodulasi atau termodalisasi.
Pada tingkat semantik wacana, makna interpersonal ini dapat
dilihat melalui fungsi retoris tahapan-tahapan teks serta struktur
teks secara menyeluruh.
Fungsi tekstual adalah merealisasikan kedua makna
sebelumnya: ideasional dan interpersonal. Fungsi tekstual ini
direalisasikan ke dalam fonologi (lisan) atau grafologi (tulis),
sistem leksis: kongruensi atau inkongruensi suatu leksis, sistem
tema dan rema di dalam klausa, serta kohesi, dan struktur teksnya
di tingkat semantik wacana. Gonzalez (2001:1) menyatakan
bahwa fungsi tekstual ini sebagai sumber acuan (resource) bahasa
yang secara operasional relevan dengan konteks nyata situasi.

12
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Ketiga metafungsi ini secara harmonis juga terkait dengan
konteks situasinya: field (medan), tenor pelibat), dan mode (sarana).
1) Field (Medan)
Field atau Medan merujuk pada apa yang sedang terjadi,
sifat-sifat proses sosial yang terjadi: apa yang sedang
dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa
sebagai mediumnya. Medan ini juga menyangkut
pertanyaan terkait dengan lingkungan kejadian, seperti
kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, mengapa
kejadian itu terjadi dan sebagainya. Aspek medan ini di
dalam teks dapat dilihat melalui struktur teks, sistem kohesi,
transitivitas, sistem klausa, sistem group, serta sistem leksis.
2) Tenor (Pelibat)
Pelibat mengacu pada siapa yang berperan di dalam kejadian
sosial tersebut, sifat-sifat partisipan, termasuk status serta
peran sosial yang diembannya: peran sosial yang bagaimana
diemban oleh setiap partisipan, termasuk hubungan status
atau peran permanen atau sesaat, disamping juga merujuk
pada peran bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan
hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Di dalam
analisis, status sosial apa serta peran sosial apa yang sedang
diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya
status dan peran sosial partisifan lebih bersifat otoriter,
tertutup seperti atasan-bawahan, dokter-pasien, dan lain-
lain (Santoso, 2013:51).
3) Mode (Sarana)
Mode atau Sarana mengacu pada bagian mana yang
diperankan oleh bahasa, apa yang diharapkan partisifan
dengan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu itu:
organisasi simbolik teks, status yang dimilikinya, fungsinya
di dalam konteks tersebut, termasuk saluran (channel):
apakah teks menginginkan kategori persuasif, ekspositori,
didaktis, dan lain-lain. Di samping itu, aspek sarana ini juga
melibatkan medium yang digunakan untuk mengekspresikan

13
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
bahasa tersebut: apakah mediumnya bersifat lisan dengan
satu arah atau dua arah komunikasi, misalnya tutorial,
pidato, siaran radio, televisi, dialog, seminar, dan lain-lain.
7) Tingkatan Sistem Bahasa
Halliday menyatakan bahwa bahasa sebagai sebuah sumber
diorganisasi dalam tiga strata (level). Level tersebut adalah (1)
semantik (makna), (2) leksikogramatika (meliputi grammar
dan leksikon), dan (3) tingkat ekspresi meliputi fonologi dan
grafologi. Level semantik dan leksikogramatika merupakan level
makna, sedangkan fonologi dan grafologi merupakan tingkat
ekspresi. Semantik direalisasikan melalui leksikogramatika,
leksikogramatika direalisasikan melalui fonologi. Tata level
ini diistilahkan sebagai stratifikasi. Setiap level sebagai sistem
yang independen tetapi ia direalisasikan oleh level yang ada
dibawahnya. Oleh karena itu, setiap level merupakan jejaring
yang berhubungan – makna, kata—direalisasikan sebagai
struktur dari level di bawahnya, tetapi setiap level merupakan
sistem independen dalam stratifikasinya.
Gambar 1. Konsep Stratifikasi Halliday
Leksikogramatika
Leksikogramatika terdiri dari istilah leksis dan gramatika.
Leksis adalah kata yang sedang digunakan di dalam teks.
Sementara itu, gramatika adalah suatu struktur atau sistem, baik

14
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
itu di dalam tataran morfologi, kelompok kata, ataupun klausa.
Dengan demikian, leksikogramatika dapat dipahami sebagai
penggunaan kata di dalam morfologi, kelompok kata atau klausa
di dalam mengekspresikan metafungsi bahasa serta fungsi sosial
teks. Level leksikogramatika meliputi leksikon dan grammar
dengan kata-kata yang menyusunnya. Menurut Halliday, leksis
dan grammar bukanlah sebagai fenomena yang terpisah, akan
tetapi cara pandangnya berbeda dalam melihat fenomena yang
sama dan struktur makna dalam klausa yang bergantung pada
sudut pandangnya. Stratifikasi ini mengekpresikan kekuatan
bahasa (power of language). Perealisasiannya selalu ada dalam
hubungan dalam strata (interstrata) dan makna direalisasi sebagai
kata-kata, dan kata-kata direalisasi sebagai suara (bunyi) (sound).
Prinsip realisasi ini disebut dengan konsep metaredundansi
(metaredundancy).
8) Hubungan Paradigmatik, bukan Sintagmatik
Tatabahasa Fungsional Sistemik bukan hanya klausa
atau sintagmatik saja. Tatabahasa Fungsional Sistemik adalah
paradigmatik. LFS bersifat paradigmatik memiliki konsep bahwa
deskripsi-deskripsi yang dilakukan berhubungan dengan segala
sesuatu yang lainnya dan semuanya (keseluruhannya) dipandang
sebagai jaringan. Sebuah grammar dapat dikatakan berhubungan
dengan sistemnya dan setiap teksnya berhubungan dengan
keseluruhan sistemnya. Dalam hal ini, tampak pendekatan ini
menekankan bahwa sistem dan teks memiliki kedudukan yang
sangat signifikan bagi bahasa itu.
9) Kode Semantik Bahasa
Setiap bahasa memiliki kode semantik masing-masing yang
merepresentasikan budayanya. Semantik didefinisikan sebagai
sistem makna sebuah bahasa yang diekpresikan oleh grammar
kosakatanya.
Keseluruhan sistem gramatika merepresentasikan kode
semantik bahasa. Setiap teks mengaitkan lingkungannya, yang
diistilahkan sebagai konteks situasi oleh Malinowski. Begitu

15
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
pula, setiap bahasa mengaitkan lingkungannya, yang disitilahkan
sebagai konteks budaya. Sebagainama bahasa dimanifestasikan
melalui teksnya, begitupula, sebuah budaya dimanifestasikan
melalui situasinya. Dengan memahami situasi teks, seorang
anak akan mengonstruksi kode-kode, dan melalui kode itu ia
menafsirkan budaya teksnya. Dalam pandangan Halliday, teks
selalu dilingkupi oleh dua konteks, yakni konteks situasi dan
konteks budaya. Hal ini berarti bahwa teks akan selalu menyatu
dengan konteksnya, baik dalam pembentukannya maupun dalam
proses pemahamannya.
Halliday menyatakan bahwa teks itu selalu dilingkupi
konteks situasi dan konteks budaya. Mengkaji bahasa secara
fungsional pada hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling
terkait, yakni teks, konteks situasi (context of situation ), dan konteks
budaya (context of culture). Seseorang akan dapat menafsirkan
sebuah teks dalam konteks budayanya dengan memahami
keutuhan grammar yang tertulis pda teks.
Halliday menyatakan bahwa sebuah teks merupakan
sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotik
melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang
saling dipertukarkan. Bahasa sebagai sebuah fenomena sosial
bersifat fungsional. Dalam LFS, Halliday menitikberatkan
pada mekanisme struktur teks dan fungsi dan makna bahasa. Ia
memulai menganalisis bahasa dalam konteks sosial yang mana
leksikogramatikal dikonstruksi secara sosial dan sesuai dengan
konteks budaya (Haratyan, 2011:260). Makna dibentuk dari
pilihan bahasa yang digunakan menurut tingkat paradigmatik
dan sintagmatik wacana yang mana kata- kata disusun dalam
sebuah klausa atau teks.
Halliday menyatakan bahwa linguisik pada hakikatnya
adalah bentuk tindakan dan secara lebih spesifik sebagai sebuah
bentuk tindak politis. Mengkaji bahasa hakikatnya adalah
mengkaji tindak berbahasa. Pandangan Halliday itu dipengaruhi
oleh dua hal, yakni (1) keterlibatan aktifnya dalam penelitian
linguistik, dan (2) keterlibatan aktifnya dalam gerakan politik kiri
ketika menjdi mahasiswa pada awal tahun 1950-an.

16
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Halliday (dalam Haratyan, 2011:260) menyatakan bahwa
Wacana (Discourse) adalah sebuah proses dimensional dan teks
sebagai produknya tidak hanya mengekpresikan struktur bunyinya
sebagai sebuah tata bahasa, tetapi teks difungsikan sebagai kode
yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisassi tata semiotika di atas
bahasa, seperti ketidakkonsistenan, pertentangan, dan konflik
yang ditampilkan dalam sistem semiotik.
Dalam hal ini, Halliday menyatakan bahwa Linguistik
Fungsional Sistemik menekankan pada semiotik, kode bahasa,
ujaran, dan potensi makna teks, fungsi dan situasi bahasa
dipandang dalam konteks sosial. Gonzalez (2001:1) menyatakan
bahwa Linguistik Fungsional Sistemik diwujudkan dalam model
tatabahasa tiga tingkat (tristrata grammatical model), yakni tingkat
semantik, leksikogramatika dan fonologi, dan empat jaringan
sistem klausa, seperti konjungsi, transitivitas, modal, dan Sistem
Tema. Jaringan sistem klausa tersebut berhubungan dengan
metafungsi, yakni ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Linguistik Fungsional Sistemik memberikan pengaruh
terhadap pemikiran ahli Analisis Wacana Kritis. Pemikiran
Theo van Leeuwen dalam merumuskan konsep-konsep Analisis
Wacana Kritisnya dipengaruhi oleh konsep register yang dibuat
oleh M.A.K. Halliday. Selain itu, Gunter Kress dan van Leeuwen
ketika merumuskan multimodal menggunakan istilah strata yang
diserasikan dengan konsep strata dalam Linguistik Fungsional
Sistemik Halliday.
Tokoh Penting Analisis Wacana Kritis
Para pemikir atau tokoh Analisis Wacana Kritis pada
masa awalnya adalah tokoh-tokoh yang memiliki pemikiran
sepaham dengan M.A.K Halliday dan para tokoh tersebut
mengembangkan pemikiran M.A.K Halliday yang dipandang
berbeda dengan linguis struktural dan pragmatik lainnya. M.A.K.
Halliday yang mengembangkan Teori Linguistik Fungsional
Sistemik dipandang membawa perkembangkan baru dalam
paradigma disiplin ilmu. Merespons pemikiran M.A.K Halliday
dan perbedaan pandangan kaum kritis terhadap pemikiran kritis,

17
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
lima tokoh AWK (group Analisis Wacana Kritis: Fairclough,
van Dijk, Ruth Wodak, dan Gunter Kress) melakukan workshop
pada bulan Januari tahun 1991 untuk membahas pendekatan dan
metodelogi Analisis Wacana Kritis. Semenjak tahun 1991 itu,
Analisis Wacana Kritis terus dikembangkan dan menjadi bahan
kajian dalam ilmu pengetahuan di berbagai bidang.
Beberapa tokoh Analisis Wacana Kritis yang diuraikan
pandangan kritisnya dalam buku ini adalah Norman Fairclough,
Teun A. van Dijk, Ruth Wodak, Gunter Kress, van Leeuwen, dan
Games Paul Gee. Pemikiran para tokoh AWK tersebut diuraikan
sebagai berikut.
Norman Fairclough
Norman Fairclough merupakan salah satu tokoh yang
memformulasikan Analisis Wacana Kritis. Beberapa karyanya
berupa buku dan artikel telah menginspirasi para akademisi
untuk menelaah agenda-agenda tersembunyi. Dalam melakukan
telaah atau analisis, Norman Fairclough memperkenalkan
sembilan properti analisis, yakni (1) kontrol interaksional
(interactional control), (2) modalitas (modality), (3) kesantunan
(politeness), (4) etika (ethos), (5) koneksivitas (connectives) dan
argumentasi (argumentation ), (6) transitivitas dan tema(transitivity
and theme), (7) makna kata (word meaning ), (8) kata (wording ), dan
(9) metafora (metaphor). Kesembilan properti analisis ini dapat
diuraikan sebagai berikut.
(1) Kontrol Interaksional (Interactional Control)
Kontrol interaksional ini berhubungan dengan struktur teks.
Properti ini memerhatikan pengambilalihan topik (turn
taking), pemilihan dan pengubahan topik, kontrol terhadap
agenda, dan bagaimana interaksi dimunculkan/diperlihatkan
dan diakhiri. Sebuah tuturan dapat memunculkan relasi
kekuasaan yang terbentuk disepanjang tuturan.
(2) Modalitas (Modality)
Modalitas berhubungan dengan grammar (tata bahasa). Prop-
erti ini mengacu pada kekuatan proposisi atau pernyataan

18
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
yang menyertainya. Properti modalitas ini diperlihatkan
dengan menggunakan modal auxiliary verbs (kata kerja bantu):
mungkin, seharusnya, dan keterangan (modal adverbs ): secara
jelas.
(3) Kesantunan (Politness)
Kesantunan berhubungan dengan kekuatan. Kekuatan
memusatkan pada kealamiahan tindak tutur ketika
menjanjikan, memberitakan, meminta, menyarankan,
dan lain-lain. Kesantunan dibangun atas pemikiran bahwa
partisipan dalam melakukan interaksi bertujuan untuk
meyakinkan tidak ada kehilangan muka.
Analisis wacana
kriti
s memandang ba hwa kesantunan secara implisit
memperlihatkan relasi kekuasaan.
(4) Ethos
Ethos berhubungan dengan serangkaian identitas sosial yang
secara implisit ditandai melalui ucapan (verbal ) dan gerak
tubuh (nonverbal ). Fairclough memberikan contoh praktisi
kesehatan (pengobatan) yang menata properti/perangkat
alat bedah seperti rumah pasien dengan menata benda-benda
dan pengubahan dekorasi.
(5) Konektivitas dan Argumentasi (Connectives and argumentation)
Konektivitas dan argumentasi ini berhubungan dengan
kohesi. Fairclough menekankan bahwa setiap tipe teks
memiliki perbedaan pada klausa yang digunakannya.
(6) Transtivitas (Transitivity)
Transitivitas dan tema ini berhubungan dengan tata bahasa.
Transitivitas merupakan dimenasi ideasional klausa dalam
tata bahasa dan yang memerhatikan proses dan bagian-bagian
yang dikodekan dalam klausa. Ada empat tipe proses, yakni
proses relasional, aksi (tindakan), peristiwa, dan mental.

19
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
(7) Makna kata (Word meaning)
Makna kata berhubungan dengan kosakata. Fairclough
menekankan bahwa kata- kata yang sama memiliki makna
yang berbeda. Pergantian makna kata dapat menjadi
indikator kunci pertarungan wacana dan perubahan formasi
wacana.
(8) Kata (Wording)
Kata (wording ) berhubungan dengan kosakata. Wording
mengacu pada ragam cara sebuah makna di katakan/worded.
Pengalaman/objek yang sama, tetapi dikatakan berbeda,
misalnya ada yang mengatakan asylum seeker, tetapi ada juga
yang mengatakan queue jumper, “terorist”.
(9) Metafora (metaphor)
Metafora berhubungan dengan kosakata. Struktur metafora
sebagai cara menyampaikan pikiran, tindakan, sistem
keyakinan dan pengetahuan. Metafora ternaturalisasikan
dalam latar budaya dan institusi secara tersembunyi.
Teun van Dijk
Van Dijk memiliki pandangan yang penting dalam Analisis
Wacana Kritis. Ia membuat sebuah konsep kognisi sosial ideologi.
Pemikiran van Dijk mengenai ideologi dan cara-cara ideologi
membentuk pola pikir sosial dapat dicermati pada bahasan
ideology dalam wacana.
Pemikiran penting lain yang disampaikan oleh van Dijk
(2009:1) sehubungan dengan konteks. Menurutnya, konteks
memiliki peran yang sangat fundamental dalam mengnalisis
bahasa, wacana, dan kognisi sosial. Van Dijk memberikan
ketegasan bahwa konteks harus dimaknai bukan sebagai co-teks
atau verbal konteks yang menitikberatkan pada kalimat, tuturan
unit per unitnya, tetapi konteks seharusnya didudukkan sebagai
aspek situasional dan aspek sosial dalam peristiwa komunikasi.
Dalam menganalisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya,
konteks novel tersebut menjadi bagian utama yang harus

20
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
diperhatikan, bukan hanya memperhatikan hubungan Minke
dengan Anelis, Tuan Mellema dengan Nyai Ontosoroh. Keseluruhan
aspek situasi dan aspek situasional novel dengan latar sosial politik
ketika Bumi Manusia ketika novel itu ditulis atau diterbitkan harus
menjadi perhatian utama peneliti. Jika dicermati konteks situasi
novel Bumi Manusia adalah konteks kolonial Belanda ketika masa
Hindida Belanda, akan tetapi novel itu dibuat ketika masa Orde
Baru. Konteks situasi dan konteks sosial yang menjadi perhatian
utama adalah hubungan antara situasi-sosial masa Orde Baru
dengan Bumi Manusia, termasuk Pramoedya.
Ruth Wodak
Wodak merupakan ahli dalam Analisis Wacana Kritis
yang memiliki pemikiran kritis terhadap praktik-praktik sosial.
Pemikiran kritisnya tampak pada isu gender. Selain gender,
Wodak menyumbangkan pemikiran pada metode analisis
wacana kritis: diagnosis-prognosis yang dapat dilakukan ketika
menganalisis wacana. Ruth Wodak memandang Analisis Wacana
Kritis sangat bermanfaat bagi keadilan dalam masyarakat.
Menurutnya, Analisis Wacana Kritis dapat menguak manipulasi,
diskriminasi, dan propaganda terselubung yang terjadi dalam
masyarakat. Kehidupan yang terbuka dan bertanggung jawab
kepada masyarakat secara keseluruhan akan dapat tercipta atas
sumbagan Analisis Wacana Kritis ini.
Theo van Leeuwen
Theo van Leeuwen memperkenalkan gagasan rekon­
tekstualisasi dalam Analisis Wacana Kritis. Ia memandang
bahwa gejala atau fakta rekontekstualisasi dalam kegiatan
berkomunikasi dipandang sebagai sebuah kegiatan praktik
sosial. Van Leeuwen mengadopsi istilah rekontekstualisasi dari
Bernstein. Bernstein memperkenalkan istilah rekonstektualisasi
dalam kaitan dengan praktik dalam pendidikan. Berstein
memaparkan bahwa pengetahuan diproduksi secara aktif dalam
sebuah sistem pendidikan. Dalam proses rekontekstualisasi,
aspek- aspek seperti aktor, peran aktor, identitas aktor, aksi dan

21
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
perilaku aktor, setting dan waktu yang dibuat oleh aktor berubah
atau diekslusi. Dalam hal ini, rekontekstualisasi dilakukan dengan
memberikan aspek tambahan untuk mendukung tujuan dan
melegitimasi aksi. Theo van Leeuwen memperkenalkan konsep
transformasi sebagai sebuah praktik sosial dalam berkomunikasi.
Transformasi ini merupakan bagian dari salah satu elemenn
rekontekstualisasi. Menurut van Leeuwen, ada beberapa bentuk
atau wujud transformasi ini, antara lain substitusi, penghapusan,
penyusunan kembali, repetisi, pengulangan aksi, perumusan
tujuan, pelegitimasian, pengevaluasian.
Substitusi merupakan elemen fundamental dalam
transformasi. Para aktor biasanya melakukan subtitusi dengan
memanfaatkan semiotika dalam melaksanakan praktik sosial.
Dengan cara pensubtitusian, informasi yang sesungguhnya
(informasi realnya) memiliki makna yang berbeda atau memiliki
makna baru. Subtitusi dapat melalui penambahan elemen,
misalnya proses penominalan atau niminalisation. Subsitusi ini
sangat bergantung pada konteks yang mana akan dimanipulasi
atau konteks yang akan direkontekstualisasi (dimanipulasi).
Penghilangan bagian-bagian atau deletions juga merupakan cara-
cara aktor melakukan sebuah rekontekstualisasi atau pratik sosial.
Gunter Kress
Pemikiran Gunter Kress dalam Analisis Wacana Kritis lebih
banyak pada semiotika sosial. Tulisan yang dihasilkan dilabelkan
sebagai semiotika kritis atau semiotika sosial. Dalam konteks
berkarya, Gunter Kress bertim dengan van Leeuwen. Dengan
demikian, pemikiran van Leeuwen mengenai rekonstekstualisasi
hanya bagian pemikiran dari semiotika sosial (kritis) yang
diperkenalkan dalam Analisis Wacana Kritis. Pada bagian ini,
penulis akan menguraikan secara singkat pemikiran Gunter Kress
dan van Leeuwen mengenai wacana multimodal.
Istilah multimodal dibedakan oleh Gunter Kress & van
Leeuwen dengan monomodal. Dalam pandangn mereka,
monomodal dipandang sebagai satu bahasa yang hanya
menyuarakan tentang dirinya saja. Contohnya adalah karya

22
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
sastra novel hanya berupa tulisan saja dan tidak ada ilustrasi
gambar atau pertnjukkan teater yang hanya menampilkan
gerakan tubuh sang aktor saja. Dalam monomodal, kajian-kajian
musik, teater, atau sastra dikaji dengan menggunakan metode
keilmuannya sendiri, asumsi keilmuannya sendiri. Dalam
perspektif multimodal, pemikiran-pemikiran terhadap elemen
semiotika menjadi berbeda karena disinkroniasi dari berbagai
mode/sarana: misalnya dalam film: musik, durasi, suara, aksi,
emosi.
Wacana multimodal yang dikonsepkan oleh Gunter
Kress dan Van Leeuwen sebagai upaya untuk menelusuri/
menguak practice: produksi historis, kultural, dan sosial, peristiwa
(mode semiotik) tertentu. Sehubungan dengan hal ini, mereka
menggunakan istilah resourse untuk menyatakan bahwa makna
yang bisa dibangun oleh wacana multimodal berasal dari
banyak tanda, banyak level, dan dalam ragam mode. Makna
yang dibangun oleh multimodal beragam, tidak seperti dalam
pandangan linguistik tradisional yang mengasumsikan makna
yang dibangun oleh tanda hanya satu (tunggal). Berkaitan dengan
makna, Kress dan Van Leeuwen (2001:4) membuat istilah strata.
Strata meliputi wacana, desain, produksi, dan distribusi.
Wacana (discourse) secara sosial dikonstruksi oleh
pengetahuan mengenai realitas. Melalui sebuah koteks sosial,
wacana dikembangkan atau dibuat dalam konteks yang
spesifik. Pengonstruksian wacana secara sosial melalui upaya
menanamkan (menirukan) bagian yang menjadi daya tarik aktor
sosial dalam konteks tersebut. Dalam wacana perang misalnya,
media di sebuah negara tertentu yang terlibat dalam konflik
memosisikan negaranya sebagai pihak yang lebih diunggulkan.
Desain memuat isi wacana dan ekspresi. Sebuah desain
umumnya memanfaatkan sumber (resourse) semiotik dan mode-
mode semiotika. Desain digunakan untuk merealisasikan wacana
pada situasi komunikasi yang sedang dibangun. Penciptaan
sebuah desain dalam sebuah media: koran, novel (ilustrasi)
sangat bergantung pada pembaca yang disasar. Desain dalam
konteks itu melingkupi jenis kertas, warna, mode semiotika yang

23
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
direncanakan.
Produksi dimaksudkan oleh Gunter Kress & van Leeuwen
sebagai pengorganisasian ekspresi. Produksi sebagai upaya
mengaktualkan atau mewujudkan peristiwa semiotik atau
mewujudkan material artikulasi. Pada produksi ini, keterampilan
atau keahlian dipandang menjadi hal yang utama. Produksi
novel Saman karya Ayu Utami melibatkan kelompok hutan kayu.
Para pemroduksi ini dipandang ahli dalam upaya menciptakan
wacana mengenai Saman. Pemproduksian ini termasuk orang-
orang berpengaruh dalam kancah bidang sastra tanah air.
Distribisi dimaksudkan sebagai tingkatan penyebaran
ekspresi yang ada dalam wacana yang diproduksi. Dalam novel
Laskar Pelangi, distribusi tampak pada penyebaran ekspresi Laskar
Pelangi melalui produksi tas yang memuat foto aktor Laskar Pelangi,
film Laskar Pelangi. Distribusi sangat berkaitan dengan desainer,
produser, dan pemroduksian. Semua dibuat sesuai konteksnya.
Seorang peneliti harus memahami semiotika dan nilai dari
desaian dan pemroduksian untuk memahami distribusi. Pada
sebuah contoh penelitian, Kress & van Leeuwen menganalisis
aspek multimodal pada desain sebuah kamar anak-anak bernama
Stephanie ( teks ini dimuat pada majalah House Beautiful). Mereka
menganalisis mainannya, desain kamar, bacaan yang ada di
kamar itu, dan lain-lain. Mereka memandang Stephanie Bedroom
sebagai teks multimodal.
Games Paul Gee
Ahli Analisis Wacana Kritis selanjutnya adalah Games Paul
Gee. Ia memandang bahasa di dalam penggunaannya adalah
sebuah alat. Sebagai sebuah alat, bahasa dalam penggunaanya
bukan hanya untuk menyampaikan sesuatu atau melakukan
sesuatu, tetapi juga membangun sesuatu (build things) di dunia.
Seseorang secara terus-menerus dan secara aktif membangun
dunianya melalui bahasanya, sistem simbol non-bahasanya, cara
berpikirnya, nilai dan keyakinannya (Gee, 2011:88). Seorang
menulis atau berbicara secara pasti menggunakan salah satu dari
tujuh bagian realitas. Ketujuh bagian realitas itu diistilahkan

24
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
dengan seven building taks dari bahasa. Ketujuh Seven Building
Task yang dimaksud oleh Games Paul Gee, yaitu (1) signifikansi
(significance), (2) aktivitas/praktik (activities/ practice), (3) identitas
(identities), (4) relasi (relationship), (5) politik (politics), (6) koneksi
(connections), dan (7) sistem tanda dan pengetahuan (sign systems
and knowledge). Bagian-bagian Seven Building Taks tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut.
1) Signifikansi
Signifikansi dimaknai sebagai sebuah upaya menjadikan
segala sesuatu itu penting atau berarti. Upaya menjadikan
segala sesuatu menjadi penting tersebut dengan
menggunakan bahasa melalui berbagai cara yang sudah
pasti. Melalui cara-cara yang sudah dipastikan, segala
sesuatu menjadi penting, kurang penting, bahkan tidak
penting sama sekali. Secara gramatikal, penyusunan
informasi dapat dilakukan dengan menempatkan informasi
utama (foregrounded information) pada klausa utama, dan
informasi tidak utama (bacgrounded information ) pada klausa
subordinat. Informasi utama (foregrounded information )
adalah informasi yang difokuskan dan menjadi bagian yang
disignifikan.
2) Aktivitas
Istilah aktivitas ini tiada lain juga digunakan untuk me-
nyatakan aksi/tindakan. Menurut Gee, penggunaan bahasa
seseorang untuk menyampaikan aksi atau tindakan, seperti
aksi menjanjikan, memotivasi, atau meningkatkan mengem-
bangkan berbagai hal. Walaupun demikian, manusia sering-
kali melakukan berbagai aktivitas dengan menggunakan
kata-kata khusus disertai penegasannya (restructed way).
Aktivitas yang dilakukan oleh manusia sangat diharapkan
dapat memengaruhi kelompok sosial, institusi, budaya, un-
tuk melakukan aktivitas yang disampaikan tersebut. Tugas
dari analisis wacana adalah menganalisis struktur atau pola
aktivitas yang ada pada sebuah wacana. Aktivitas ini memi-
liki serangkaian aktivitas yang relatif sama.

25
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
3) Identitas
Penggunaan bahasa oleh seseorang sebagai salah satu uapaya
mendapatkan pengakuan identitas atau peran yang pasti dalam
kehidupan. Salah satu contoh yang menggambarkan identitas ini
adalah percakapan antara dokter dan pasiennya. Dokter sering
berbicara kepada pasien tertentu dengan menggunakan cara-
cara komunikasi yang kurang baik dan seringkali terlalu inklusif
kepada pasien. Akan tetapi, dokter lain memperlihatkan teknik
berkomunikasi yang berbeda ketika sedang merawat pasien yang
lainnya.
4) Relasi Persahabatan (Relationship)
Bahasa digunakan untuk membangun dan menjaga
hubungan persahabatan dalam segala hal. Seseorang
menggunakan bahasa untuk membangun hubungan persahabatan
dengan orang lain, kelompok lain, dan institusi lain.
5) Politik (Politics)
Istilah politik bukan dimaksudkan sebagai politik dalam
ilmu pemerintah dan partai. Bahasa digunakan untuk membangun
dan juga merusak situasi yang baik. Istilah politik ini muncul
karena situasi sosial yang baik dan ragam pengakuannya sangat
bergantung pada kekuasaan seseorang dan statusnya dalam
kehidupan masyarakat.
6) Koneksi
Menurut Gee, segala sesuatu dalam kehidupan ini atau di
dunia ini saling berhubungan dan relevan satu dengan lainnya
melalui beragam cara. Gee memberikan contoh bahwa jika
seseorang menyampaikan Malaria membunuh banyak orang
di negara-negara miskin, Malaria memiliki hubungan dengan
kemiskinan. Akan tetapi, jika seseorang menyampaikan bahwa
Malaria membunuh banyak orang lintas negara di belahan dunia,
tidak ada hubungannya. Beberapa koneksi itu muncul/ ada sangat
bergantung pada perkataan dan perbuatan seseorang itu. Contoh
lainnya adalah upaya pemerintah United States memberikan

26
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
bantuan pengobatan (kesehatan) kepada masyarakat sebaga
bentuk sosialisme. Pemerintah US mengundang media di US
untuk meliput kegiatannya. Masyarakat yang tinggal di US
akhirnya mengetahui bahwa liputan media tersebut memiliki
koneksi dengan kegiatan kesehatan oleh pemerintah US tersebut.
7) Sistem Tanda dan Pengetahuan (Sign System and Knowledge)
Bahasa digunakan oleh masyarakat sebagai upaya untuk
membangun atau memahami beragam sistem tanda (sistem
komunikasi) dan dasar pengetahuan masyarakat yang ada
di dunia. Banyaknya bahasa beserta dialek yang dimilikinya
menunjukkan sistem tanda yang berbeda. Sistem tanda yang
berbeda merepresentasikan perbedaan pandangan terhadap
pengetahuan dan keyakinan. Seseorang dapat menggunakan
bahasa untuk membuat sistem tanda yang pasti dan bentuk
pengetahuan dan keyakinan yang baik atau buruk; nyata
atau rekayasa (situasi yang dikondisikan). Dengan demikian,
seseorang dapat membuat sebuah sistem tanda memiliki prestise
(nilai istimewa) atau mengklaim pengetahuan terhadap sistem
tanda yang lain.
Gee menyatakan bahwa Sign Systems and Knowledge secara
jelas memiliki hubungan politics task dalam mengonstruksi prestise
sistem tanda atau cara pandang dunia dalam menciptakan
kehidupan masyarakat yang kondusif (social good).

27
B
eberapa studi terhadap media massa dan karya sastra
yang sudah dilakukan para peneliti sebelumnya dapat
diuraikan sebagai berikut.
Manika Subi Lakshmanan
Lakshmanan (2010) melakukan sebuah penelitian terhadap
novel Sold karangan Patricia McCormick. Dalam penelitiannya,
Lakshmanan menggunakan Analisis Wacana Kritis Fairclough,
Gunter Kress, James Paul Gee, dan mengombinasikanya dengan
Teori Postkolonial. Ada tiga alasan Lakshmanan melakukan
analisis terhadap novel Sold. Pertama, tema novel secara langsung
berhubungan dengan Wacana global kemiskinan, ekplorasi
seksual, gender, dan permasalahan (ketegangan) antara budaya
dan modernitas. Kedua, model Discourse berasosiasi dengan
lembaga (institusi) khusus karena pemasaran, sirkulasi, dan
konsumsi berkaitan dengan Penghargaan Pemenang Penulisan
Novel. Ketiga, sebagai Perempuan Asia Selatan, Lakshmanan
tergugah untuk mendeskripsikan teks dan imaji yang berhubungan
dengan identitas dirinya (Lakshmanan, 2011:71).
Tujuan penelitian Laksmanan adalah mengeksplorasi
hubungan antara wacana sastra, gambar visual pada cover novel
Sold, dan praktik pengetahuan yang terdapat dalam novel Sold
dengan mengaitkan pada masalah perbudakan internasional.
Hasil penelitian Laksmanan adalah (1) novel Sold mengangkat
relasi-relasi antara budaya, gender, kegagalan kekuasaan,
kemiskinan, dan eksploitasi seksual yang merepresentasikan
kekurangan agen transformatif (aparat pemerintah) dalam
Dunia Ketiga, dan Barat di satu sisi berposisi sebagai agen

28
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
pelindung untuk negara lainnya, (2) Di dalam Sold, konflik
novel dari
“kekuatan antagonis (antagonistic forces)” dan “kekuasaan
(fixed
moment)” ketika Lakshmi akhirnya dapat mengartikulasi
identitasnya menandai sebuah simpulan bahwa ada proses
pemberian hegemoni yang selanjutnya disebut sebagai sebuah
peran politik W/wacana global Amerika, (3) Sold yang
mengisahkan seorang gadis belia yang dijual. Sebagai sebuah
sistem tanda visual, secara jelas tampak bahwa Sold membongkar
konstruksi identitas perempuan Dunia Ketiga, (4) Discourse/
discourse memuat eksploitasi perempuan; secara kultural, peran
gender ada dalam ketimpangan/pengabaian, (5) Lakshmanan
berpendapat bahwa ada pesan tersembunyi dalam konteks
tokoh utama Laksmi dibebaskan oleh laki-laki Amerika, yakni
masyarakat Asia Selatan dipandang memiliki potensi perubahan
positif yang kecil atau rendah. Berbeda dengan Amerika, yang
sebagai pusat perubahan atau agen transformasi (tinggi) dan
mampu memperlihatkan identitasnya (Lakshmanan, 2011:85).
Lakshmanan memandang ada pesan tersembunyi tentang per­
sahabatan-kepura-puraan-literasi-Amerika, yang ia wujud­ kan
dalam mediasi antara ketidakberdayaan kaum subaltern dengan
balutan persahabatan Amerika.
Penelitian Lakshmanan memiliki persamaan dan per­
bedaan dengan penelitian ini. Jika ditinjau dari masalah yang
diangkat, penelitian Laksmanan dan penelitian ini memiliki
kesamaan, antara lain (1) membongkar politik kekuasaan
terhadap kelompok/kaum subaltern, terutama perempuan, (2)
membongkar kolonialisme dan efek ketika kolonialisme sudah
berakhir (neokolonialisme) negara Dunia Ketiga.
Lilik Wahyuni
Penelitian Wahyuni bertujuan untuk mengeksplanasi (a)
bentuk verbal konstruksi jender dalam pertarungan simbolik di
media massa yang meliputi (1) bentuk eufimisasi dan (2) bentuk
sensorisasi konstruksi jender dalam pertarungan simbolik di media
massa, (b) habitus pelaku konstruksi jender dalam pertarungan

29
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
simbolik di media massa yang meliputi (1) sikap dan (2) pola
pikir pelaku konstruksi jender dalam pertarungan simbolik di
media massa, (c) arena konstruksi jender dalam pertarungan
simbolik di media massa yang meliputi (a) arena pemertahanan
doxa, (2) arena penyerangan doxa, dan (3) arena trajektori perilaku
konstrukis jender dalam pertarungan simbolik di media massa.
Teori yang digunakan dalam penelitia ini adalah teori praktik
multidisipliner dari teori praktik Bourdeu, perubahan sosial
Fairclough, dan teori perencanaan teks Wodak.
Penelitian Wahyuni menggunakan rancangan penelitian
Hermenutika, yakni Hermenutika Ricoeur: (1) mengungkapkan
suatu fenomena konstruksi jender dalam pertarungan simbolik
di media massa melalui bahasa, (2) menggunakan data bahasa
sebagai suatu bentuk verbal, (3) melibatkan proses deskripsi,
interpretasi, dan eksplanasi makna dan fungsi perilaku manusia.
Sumber data penelitian Wahyuni adalah koran Kompas, Jawa
Post, dan Duta, Majalah Kartini, Femina, Matra, dan Gatra. Dalam
penelitian ini, Wahyuni menyikapi media sebagai suatu arena
pertarungan antara ideologi yang saling berkompetisi. Hasil
Penelitian Wahyuni adalah (1) bentuk verbal dalam pertarungan
simbolik di media massa merepresentasikan otoritas penuturnya.
Bentuk verbal digunakan penutur untuk memengaruhi pendapat
umum, menciptakan dukungan, memerkuat legitimasi, dan
menyingkirkan lawan. Bentuk eufimisasi merupakan bentuk
penghalusan bahasa agar kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja
secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih
secara “tidak
sadar,” (2) habit us merupakan proses kognitif penutur yang
diinternalisasi dari arena pertarungan simboliknya. Internalisasi
dilakukan melalui proses diferensiasi antara pembelajaran
dan sosialisasi terhadap kebenaran-kebenaran universal yang
disampaikan media massa sehingga diperoleh struktur subjektif
yang benar dan yang salah, (3) media massa merupakan arena
konstruksi jender yang disusun oleh arena-arena lain yang lebih
kecil. Dalam arena, pertarungan antara kelompok orthodoxa dan
kelompok heterodoxa berlangusng secara dinamis dan terus.

30
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Rosser
Penelitian Rosser (2002) bertujuan untuk mengaji
subjektivitas feminin dan re
lasi subjek feminin terhadap
lingkungan “
rumah” dan “bangsa” yang terdapat dalam lima
novel Francophone yang dikarang oleh perempuan pada akhir
abad keduapuluh dalam konteks postkolonial. Kelima novel
tersebut adalah (1) Pluie et vent sur Telumee Miracle karya Simone
Schwarz (1972), Traverse de la mangrove karya Maryse Conde
(1989), Elle sera de jaspe et de corail karya Werewere Likings, Ombre
suttane karya Assia Djebar (1987), dan Tu t’appalieras Tanga
karya Calixthe Beyala (1988). Latar cerita setiap teks novel
menggunakan latar geografi postkolonial, tanah bekas sejarah
kolonisasi. Latar cerita yang demikian tampak bertentangan
dengan novel postkolonial yang lebih fokus pada migrasi dan
komunitas migran. Penelitian Rosser (2002) menggunakan
perspektif kritis Postkolonialisme dan Feminisme. Hasil
penelitain Rosser (2002) memperlihatkan hubungan-hubungan
budaya pada keseluruhan teks utama memiliki keterhubungan
dengan keberadaan sejarah postkolonial. Berbagai hal kematian,
kesedihan, dan afiliasi kompensasi membentuk hubungan-
hubungan penting dalam teks novel. Dalam setiap permasalahan,
representasi kesedihan dalam teks diintervensi oleh kolonial
secara langsung atau tidak langsung. Salah satu temuan penting
penelitian Rosser (2002) adalah keseluruhan teks utama, fungsi
rumah dan bangsa sebagai sebuah tempat kematian yang sangat
krusial. Guna merespons kematian ini, subjek feminin digerakkan
melalui afiliasi (organisasi) untuk membangun komunitas
bayangan atau kelompok solidaritas yang tidak lagi diikat dalam
hubungan darah (pernikahan) dan dalam bingkai kebangsaan
(Rosser, 2002). Untuk mengeksplorasi afiliasi dalam kelima
novel tersebut, Rosser (2002) menggunakan konsep afiliasi yang
dikonsepkan oleh Edward Said. Selain itu, subjek feminin juga
menciptakan organiasasi/afiliasi lain melalui produksi mode-
mode budaya, seperti menulis yang mana para perempuan
seringkali menulis kembali “rumah” dan “bangsa” menurut hasrat

31
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
dirinya yang tertindas (tersubversi). Menurut Said (dalam Rosser,
2002:6-7), afiliasi sebagai sebuah transisi kegagalan ide atau
semacam kompensasi atas kegagalan ide tersebut, dan afiliasi itu
memberikan sebuah kebudayaan, seperangkat keyakinan, atau
pandangan-pandangan dunia sebagai bentuk baru relationship
antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Penelitian Rosser (2002:251) menunjukkan bahwa
ada dua hal proses pengkutuban terhadap subjek femininitas
perempuan dalam kelima novel Fanchopone. Pertama, subjek
feminin yang terefleksi dalam novel Franchopone dilindungi
dengan tidak menghadirkannya, hadir sebagian, tidak hadir,
terfragmentasikan, dan tidak diharapkan, dan lebih dari
itu, perempuan dipandang sebagai pengganggu kesenangan
patriarkhi atau kolonial. Kedua, pelabelan subjek feminitas
adalah konstruktif. Dalam hal ini, subjek feminin membangun
dirinya melalui teks, tulisan, dan cerita lisan. Cara ini dipandang
sebagai tindak produksi budaya sebagai afiliasi kompensasi dan
keterhubungan subjek feminin dengan pihak lainnya (patriarkhi
dan kolonial) (Rosser, 2002:242).
Penelitian yang dilakukan oleh Rosser (2002) memiliki
persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan antara
penelitian Rosser (2002) dengan penelitian ini, antara lain (1) Rosser
dan penelitian ini mengangkat isu atau masalah (ketertindasan:
subversivitas) perempuan, baik secara fisik maupun seksualitas
perempuan dalam konteks kolonial, (2) perspektif penelitian
Rosser dan penelitian ini sama-sama menggunakan perspektif
kritis, khususnya perspektif feminisme dan postkolonialisme,
dan (3) kedua penelitian ini memilih karya sastra (novel) sebagai
subjek penelitian. Walaupun memiliki persamaan, kedua
penelitian ini memiliki perbedaan. Beberapa perbedaan tersebut
adalah (1) masa kolonial novel yang dikaji oleh Rosser adalah
latar kolonial di Prancis, sedangkan penelitian ini lebih fokus
pada masa kolonial dan pascakolonial di Indonesia, (2) novel-
novel yang dikaji oleh Rosser adalah novel-novel Franchopone
yang ditulis oleh pengarang perempuan Prancis, sedangkan

32
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
penelitian ini mengaji novel-novel yang ditulis oleh pengarang
Indonesia, (3) Rosser hanya menggunakan dua persfektif, yakni
Postkolonial dan Feminisme. Penelitian ini menggunakan
perspektif Postkolonial, Feminisme, Feminis Postkolonialisme,
dan Analisis Wacana Kritis Fairclough. Penggunaan Analisis
Wacana Kritis Fairclough dipandang memiliki teknik analisis
yang lebih detail (jelas) dalam memandang teks mikro dan makro
(analisis teks, analisis produksi dan reproduksi teks, dan praktik
sosial).
Furma
Furma (2004) mengaji tubuh perempuan pada prosa baru
pengarang perempuan, khususnya Liudmila Petrushevskaia,
Iulia Voznesenskaia, Svetlana Vasilenko, Marina Palei, Valeriia
Narbikova, Elena Tarasova, dan Liudmila Ulitskaia. Prosa Baru
Pengarang Perempuan (New Woman’Prose) adalah bentuk tulisan
kontemporer pengarang perempuan Rusia selama peristiwa
Glasnost. Selama Glasnost (perisiwa politik masa Uni Soviet),
terjadi sebuah ledakan karya penulis perempuan yang mengangkat
isu pada tubuh perempuan, terutama kekerasan dan seksualitas
(Furman, 2004:ix). Sebelumnya, liberalisasi budaya dan politik
di Uni Soviet belum memerhatikan gender dan tulisan laki-
laki (pengarang) terpublikasi secara sporadis (Furma, 2004:1).
Bahkan, kekerasan seksual menyerang secara individual. Tubuh
perempuan menjadi target kekerasan dan tubuh mereka dijadikan
komoditas dalam perkembangan industri seks Rusia.
Para penulis New Woman’Prose tersebut secara konstan men-
ghubungkan ma
salah tubuh dengan proses menulis. Hubun-
gan antara “tul
isan” dan “tubuh” adalah simbiosis: tubuh sebagai
konten tulisan dan tulisan menyuarakan tubuh (Furman, 2004:x).
Setelah peristiwa Glasnost itulah tubuh mendapatkan suaranya
karena karya (tulisan) banyak menyuarakan seksualitas, aborsi,
kehamilan, dan lain-lain. Tubuh sebagai sumber pengalaman
perempuan dan memperjuangkan diri perempuan dari subversi-
vitas wacana phallosentris (Cixous dalam Furman, 2004:x).

33
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
Furma (2004) menggunakan perspektif feminis Prancis,
seperti Helence Cixous, Luce Iragray, dan Julikristeva dalam
menganalisis kekerasan seksual dan tubuh dalam novel. Di Rusia,
novel-novel tidak hanya merefleksikan realitas tetapi juga berupaya
membentuk realitas tersebut, terutama dalam membangun
pandangan baru terkait feminitas dan seksualitas perempuan.
Para penulis perempuan dalam karyanya mendefinisikan ulang
secara kreatif tentang feminitas dengan menggunakan istilah
yang dibentuknya sendiri. Para pengarang perempuan secara
konsisten menulis superioritas dirinya sebagai perempuan
yang bertentangan dengan masa Uni Soviet dan Penulis Rusia
sebelumnya (perempuan pasif, aseksual, dan keibuan).
Lesley Jeffries
Penelitian Jeffries (2007) ini mengaji tubuh perempuan dan
memosisikan perempuan sebagai objek domestik. Ia berasumsi
bahwa majalah telah memengaruhi pikiran dan psikologi
perempuan pembaca dalam memahami tubuhnya, antara lain cara
perempuan menjalani fashion, perempuan normal, perempuan
ideal, perempuan yang berterima dalam pergaulan sosial, dan
lain-lain. Pengalaman perempuan dalam memaknai tubuhnya
dikonstruksi secara sosial dan konstruksi itu sama sekali tidak
mewakili fakta sesungguhnya (Jeffries, 2007:xi).
Pendekatan penelitian Jeffries adalah pendekatan kualitatif
dengan menggunakan Teori Feminis dan Teori Analisis Wacana
Kritis untuk menemukan bagaimana teks diproduksi, didistribusi,
dan dikonsumsi dalam konteks sosiokultural. Alat analisis tektual
yang digunakan adalah naming (pilihan kata benda, nominalisasi,
pembentukan frase benda), describing (pilihan kata sifat,
pemposisian kata sifat (pre dan postposed), equating (apposition,
intensive predikator, pilihan leksikal, contrasting (negation, lexical
choices/sense relations), enumerating and exemplifying (list, intensive
predicator), assuming (presupposisi), implying (implikatur), creating
time and space ( keterangan waktu, deiksis, metafora), presenting
process and states (transitivitas), presenting opinions (modalitas,

34
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
pengungkapan pendapat dan bicara).
Data bersumber dari majalah perempuan yang terbit pada
tahun 2000 di West Yorkshire, UK pada bulan Februari. Majalah
perempuan yang dipilih adalah majalah yang mengangkat isu
pelangsingan tubuh (slimming, kehamilan, dan bedah plastik).
Jeffries memberikan pembatasan topik bahwa ia tidak memilih
majalah/topik lingkungan alam, rumah, atau kebun. Beberapa
nama majalah yang diteliti, antara lain Majalah Body Beautiful,
Majalah Woman, Majalah Pregnancy and Birth, Majalah
Slimmer Magazine, Majalah Fresh, Majalah Our Baby, Majalah
Cosmopolitan. Total teks yang dianalisis berjumlah 86 teks pendek:
artikel, iklan, teks kuliner, dan teks- teks tubuh perempuan. Teks-
teks ini bersumber dari berbagai genre.
Dalam penelitian tersebut, Jeffries menemukan bahwa
perempuan telah diposisikan sebagai agen pasif dan tubuhnya
dikontrol oleh media (majalah). Majalah memberikan instruksi-
intruksi pelatihan kepada perempuan untuk membentuk
tubuhnya (misalnya bagaimana membentuk tubuh agar
tetap langsing setelah melahirkan). Penggunaan modalitas,
dialog, dang penghadiran pemikiran dalam teks dibuat untuk
menciptakan dan memelihara otoritas penulis terhadap pembaca,
termasuk cara-cara yang harus dilakukan pembaca. Dalam hal
ini, modalitas dipandang sebagai keseluruhan perilaku bicara
penulis, pendapat penulis yang diekspresikan melalui kalimat.
Jeffries (2007:195) menyimpulkan bahwa majalah sebagai pusat
reproduksi ideologi tubuh yang berlawanan dengan pembebasan
dan keadilan perempuan. Majalah mendukung penaturalisasian
tubuh perempuan sebagai bagian yang tertindas.
Maria D. Lopez Maestre
Artikel ini mengungkap ideologi dari wacana seksis yang
tersembunyi dibalik teks naratif Legenda Telaga Hitam (a
Legend Black Lagoon). Teks naratif ini adalah salah satu teks yang
digunakan sebagai materi pendidikan di sebuah taman wisata
alam bernama La Laguna Negra di Soria, Spanyol. Pemerintah

35
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
Spanyol membuat program Visitors‘s Centre. Dalam program
ini, para pengunjung disuguhi teks naratif berupa legenda Black
Lagoon. Teks naratif Black Lagoon ini diwujudkan dengan teks tulis
yang ada pada buku yang bersampul gadis cantik dan didukung
oleh teks lisan ketika para pengunjung datang ke taman wisata
alam ini. Legenda Black Lagoon yang mengandung kekerasan
terhadap perempuan ini dikonstruksi atas budaya mitos yang
menjadi kebudayaan masyarakat di Soria, Spanyol. Secara
singkat, Black Lagoon mengisahkan kehidupan seorang gadis
yang sangat memuji kecantikan tubuhnya. Ia tetap tidak peduli
dengan lingkungan masyarakat sekitar sama sekali. Pada suatu
hari, ia bermain di taman. Ketika itu, muncul seorang laki-laki
(young man), ia tidak peduli, bahkan mencemoohnya. Laki-laki
itu akhirnya melempar gadis itu pada sebuah telaga (Lagoon).
Seketika, Lagoon itu berubah warna menjadi hitam pekat.
Penelitian yang dilakukan oleh Maestre ini menggunakan
teori Feminisme, Stilistika dan Analisis Wacana Kritis. Teori-
teori tersebut digunakan untuk mengungkap ideologi seksis yang
telah digunakan untuk menormalkan tindak kekerasan terhadap
perempuan dengan menuduhkan perempuan sebagai penyebab
tindak kekerasan (kejahatan). Untuk mengungkap ideologi seksis
tersebut, Maestro mengeskplorasi pilihan transitivitas yang ada
dalam teks cerita. Ia memilih transitivitas pada pernyataan
verbal cerita yang paling tampak. Setelah itu, ia memerhatikan
tokoh perempuan (girl) pada cerita dan mengaitkannya/
memer tentangkannya dengan tokoh laki-laki (young man).
Pada transitivitas itu, Maestro memfokuskan diri pada aspek
penamaan (naming ), presuppositions, nominalizations (modalitas)
yang ada dalam cerita.
Penamaan (naming ) sangatlah penting dalam membentuk
kekerasan dalam teks. Penamaan sekaligus pemberian karakter
yang buruk (negatif) membentuk pandangan pembaca terhadap
gadis dalam Legenda Black Lagoon. Narator membuat sebuah
karakter yang negatif kepada tokoh perempuan (gadis) dalam
cerita //there was once a young woman who was so proud of her beauty

36
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
that she boasted about it all the time//. Dalam pandangan Maestre,
frase benda kompleks tersebut mendeskripsikan seorang gadis
(dalam cerita) sangat negatif. Informasi negatif ini terletak bukan
pada premodifier: young atau women, tetapi pada postmodifier
yang mengikuti: so proud, dan proses verbalisasi (memverbalkan)
boasted . Kata boasted ini justru lebih menekankan secara intensif
karakter negatif gadis muda tersebut. Selain itu, karakter negatif
itu ditekankan oleh keterangan all the time.
Selain naming, Maestro juga mengungkapkan over­
lexicalization dalam cerita. Overlexicalization ini justru semakin
menampilkan gadis (girl) semakin tidak menarik. Beberapa kata
leksikal yang mengalami overlexicalization adalah proud (bangga/
sombong), boasful (terlalu sombong) dan presumptuous (sangat
sombong, menggagungkan bahkan cuek dengan lingkungan).
Kata-kata leksikal ini digunakan oleh narator sebagai media
untuk mempengaruhi pandangan pembaca terhadap karakter
gadis (girl) hingga akhirnya pembaca juga memberi penilaian
bahwa gadis itu memang bermoral buruk.
Penggambaran karakter tokoh antara gadis (girl) dan laki-
laki (young man) sangat bertolak belakang. Dalam legenda Black
Lagoon tersebut, informasi karakter tokoh laki-laki (young man)
sangat sedikit. Cerita hanya mengatakan ia laki-laki muda
(young). Cerita dalam teks itu tidak mendeskripsikan fisik laki-
laki itu, tidak ada indikasi karakter mengenai laki-laki itu, tidak
ada kata-kata sampai akhirnya ia membenamkan kepala gadis
(girl) itu kedalam telaga (Lagoon) hingga tewas. Maestre juga
menemukan bahwa narator memang telah memberikan karakter
negatif kepada gadis (girl). Hal itu tampak dari epilog cerita:
since then people call it La Laguna Negra because its water darkened
just as day to night. Penggunaan kata yang bertentangan ini: day
and night, sebelum gadis itu meninggal (day) dan setelah gadis
itu meninggal (dark), dipandang sebagai tanda bahwa narator
memercayai bahwa gadis (girl) itu memiliki moral yang buruk
sejak semula.

37
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
Eleanor C Lamb
Pada artikel ini, Lamb memokuskan kajian pada analisis
aktor sosial yang direpresentasikan dalam teks, terutama kaum
imigran di United Kingdom (UK). Permasalahan penelitian Lamb
adalah sejauhmana kelompok imigran dapat mengakses wacana
dan sejauhmana suara-suara kelompok imigran direspons oleh
pemerintah.
Lamb mengontruksi sebuah metode analisis baru sebagai
pengembangan Analisis Wacana Kritis. Penelitian Lamb (2013)
ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam
upaya menganalisis multi teks. Analisis teks dilakukan secara
diakronis dan meneliti beragam genre/lintas genre. Beberapa
genre dikelompokkan oleh Lamb dan dikelompokkan dalam
empat “leve
l,” yakni (1) wacana elite politik, (2) media massa:
editorial, (3) Organisasi Imigran, dan (4) teks-teks gerakan
politik. Secara kuantitatif, judul teks yang dialisis oleh Lamb
berjumlah 58 judul teks (Lamb, 2013: 336). Dalam melakukan
penelitiannya, ada tiga langkah yang dilakukan oleh Lamb,
yakni (1) menginvestigasi konteks sosial politik setiap periode
terhadap kaum imigran dan kontrol ras atas diri mereka, (2)
memetakan berbagai organisasi imigran dan genre yang bisa
diakses oleh kaum imigran, dan (3) melakukan analisis tekstual,
yakni mencatat untuk mengidentifikasi representasi aktor sosial,
kemudian menyusunnya dalam tabel, dan membuat kategori-
kategori. Lamb memadukan dua pendekatan kritis, yakni
pendekatan sejarah model Ruth Wodak dan pendekatan analisis
aktor sosial model van Leeuwen. Ketika menganalisis representasi
aktor sosial dalam teks, ia mengelompokkan teks tersebut dalam
kelompok frase benda, frase verba, dan frasa preposisi.
Penelitian Lamb (2013) menunjukkan bahwa media
(genre) merepresentasikan kaum imigran (sebagai aktor) dalam
dua tampilan. Pertama, kaum imigran direpresentasikan sebagai
manusia. Pada media MSU, kaum imigran direpresentasikan
sebagai manusia. Sebanyak 21,6%, para kaum imigran
direpresentasikan sebagai agen (aktif). Media MSU tidak

38
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
memandang kaum imigran, baik secara positif maupun
negatif. Media MSU lebih memublikasikan pengalaman dan
ekspresi pandangan kaum imigran, misalnya kaum imigran
sebagai pemimpian sebuah demonstrasi. Kedua, Mereka juga
direpresentasikan sebagai benda/barang (bukan manusia). Media,
seperti RAHCAR, UK atau pidato Tony Blair merepresentasikan
kaum imigran sebagai sosok yang diam, pasif, tanpa opini, dan
didekontekstualisasi. Dalam pandangan Lamb, representasi
yang demikian memosisikan kaum imigran sebagai barang/
benda. Shadow Home Secretary Tony Blair menggambarkan kaum
imigran lemah dan tidak jujur. Sementara itu, Tony Blair juga
memandang kaum imigran lemah/salah/negatif.

39
D
iscourse bukan hanya dibatasi pada perilaku verbal,
tetapi juga pemaknaan, penafsiran, dan pemahaman.
Pola kontrol dan akses sebuah discourse pada
umumnya sangat berhubungan erat dengan kekuasaan sosial
(sosial power). Pola kontrol discourse menyeluruh pada struktur
teks dan konteks. Pengontrolan terhadap konteks dapat
berupa pemangggilan peristiwa-peristiwa komunikatif atau
menciptakan pernyataan atau agenda-agenda yang terencana.
Rencana-rencana itu dapat berupa penetapan waktu, tempat,
dan peserta dalam peristiwa-peristiwa yang akan dilaksanakan
termasuk aturan mainnya.
Menurut Foucault, analisis sebuah discourse dilakukan
terhadap analisis ranah pernyataan/statement teks dan ujaran
sebagai bentukan bagian-bagian teks. Akan tetapi, konsep
Foucault mengenai discourse justru masih abstrak, tumpang tindih,
dan berlawanan dengan teori-teori terapan analisis discourse (Mills
1997 dikutip oleh Fairclough, 2003:124).
Pengkajian terhadap discourse tidak dapat dipisahkan dari
teks-teks yang didesain dalam bentuk karya sastra. Karya sastra
memiliki hubungan kompleks antara kebenaran dan nilai-nilai,
yang mana sastra menampilkan kebenaran terhadap kondisi
masyarakat. Walaupun karya sastra memiliki bentuk yang tidak
sesungguhnya, wacana, misalnya feminitas dan maskulinitas,
dapat ditelusuri dalam karya sastra dengan melibatkan jaringan
teks- teks yang lain. Dalam konteks itu, discourse dapat digunakan
untuk menelusuri ragam teks sebagai sebuah produk dari
seperangkat kekuasaan atau relasi-relasi pengetahuan (Mills,
2001:23).

40
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Sastra dalam Pemikiran Kaum Strukturalist
Kaum strukturalis memandang sastra sebagai sebuah
bangunan atau konstruksi atas elemen-elemen fiksi, seperti alur,
tokoh, penokohan, latar/setting. Elemen-elemen ini disebut
sebagai sarana sastra (literary device).
Sarana sastra ini dipandang lepas dari eksistensi
masyarakat, peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, bahkan
tidak berhubungan dengan sejarah kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, kaum strukturalis melepaskan sejarah dari kehidupan
teks sastra.
Pandangan kaum strukturalis terhadap teks sastra dapat
melepaskan makna atau pesan yang dibangun oleh pengarang
dalam karya sastra. Para pembaca membangun sebuah
pemahaman yang seragam atau makna tunggal. Makna tunggal
yang diperoleh pembaca (yang beragam) tidak terlepas dari
pandangan kaum strukturalis yang hanya melihat struktur atau
bangunan yang tampak (tertulis) pada karya sastra.
Sastra dalam Pemikiran Pasca-Struktralist
Sastra sebagai wacana telah dikonsepkan oleh banyak ahli.
Terry Eagleton menyampaikan bahwa sastra berhubungan dengan
siapa yang berbicara apa kepada siapa untuk tujuan apa dibuat.
Sebagai sebuah Discourse, karya sastra adalah sebuah praktik sosial
yang menyuarakan kembali hak-hak para pembacanya (implied
reader) karena terperangkap oleh praktik-praktik masyarakat dunia
(Lakshmanan, 20011:72).
Karya sastra adalah salah satu dari model Discourse yang
dapat digunakan oleh masyarakat untuk membuat makna
pada kehidupan (dunia) dan pengalaman- pengalaman dengan
kehidupan tersebut. Penulisan, pemroduksian, pembacaan,
dan penginterpretasian terhadap teks juga merupakan tindak
politik. Politik, kekuasaan, status, nilai-nilai sudah pasti
terdistribusi dalam penulisan, pemroduksian, pembacaan, dan
penginterpretasian tersebut.
Sementara itu, dalam pandangan Said (dalam Sarup,
2002:155), karya sastra telah menjadi referensi baku (konstan)

41
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
dan telah berpartisipasi dalam menyebarluaskan ekspansi Eropa.
Menurutnya, novel-novel (dan bentuk seni yang lainnya) telah
menciptakan struktur rasa yang mendukung, mengelaborasi, dan
mengonsolidasikan praktik-praktik kekuasaan/penjajahan. Novel
dan imperialisme saling mengisi dan dibaca tanpa mengabaikan
salah satunya. Said menegaskan bahwa dalam membaca sebuah
teks harus membongkar satu sisi terhadap keinginan- keinginan
yang telah disembunyikan pengarang.
Novel sebagai sebuah Discourse menampilkan kekuasaan
yang tersembunyi yang tidak disadari oleh para pembacanya.
Dalam konteks itu, novel-novel pada masa Balai Pustaka (masa
kolonial Hindia Belanda) mencerminkan sebuah Discourse yang
melindungi dan menjaga eksistensi kekuasaan Belanda di Hindia
Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda melakukan seleksi bahan
bacaan yang akan diterbitkan dan diedarkan sekaligus melakukan
penyensoran dan penyuntingan terhadap karya sastra yang
mendukung ideologi mereka. Tekanan-tekanan penjajah Belanda
terhadap Balai Pustaka tampak pada penggambaran penjajah
Belanda sebagai dewa penolong dan kaum pribumi, seperti
tokoh adat, dituturkan sebagai tokoh yang jahat. Sementara
pada masa penjajahan Jepang, ada kecenderungan simbolis
pada karya sastra Indonesia sebagai akibat adanya represi politik
yang amat kuat dari penjajah Jepang. Dalam konteks itu, kuasa
media mendukung pemerintah dan kelompoknya. Kekuasaan
memengaruhi pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, relasi sosial,
dan identitas masyarakat (Fairclough, 1995:2).
Sehubungan dengan imperium, novel menjadi satu-satunya
objek estetika yang sangat menarik untuk dipelajari (Said,
1995:45). Novel adalah karya seni dan ilmu pengetahuan yang
patut dihargai dan dikagumi. Membicarakan novel mengandung
tantangan karena secara terbuka dan jelas merupakan bagian
dari proses imperial itu sendiri. Novel sebagai bagian dari
kebudayaan dan sebagai salah satu pendukung kolonialisasi/
imperialisasi, dapat dipandang sebagai representasi subjektif
tentang kenyataan. Ini dapat diartikan bahwa realisme dalam

42
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
novel memiliki perbedaan dengan realisme sesungguhnya
atau dapat dirumuskan bahwa novel menyajikan kenyataaan –
kenyataan kolonialisasi (penindasan, pe-lain-an atau othering,
pemaksaan) yang telah tersaring dalam pandangan subjektif
pengarang sehingga representasi tersebut akan dipengaruhi
oleh pandangan pengarang tentang “timur” dan the othe
r- atau
ideologi koloniali
s. Dalam pandangan Said (dalam Sarup,
2002:155), karya sastra telah menjadi referensi baku (konstan)
dan telah berpartisipasi dalam menyebarluaskan ekspansi Eropa.
Menurutnya, novel-novel (dan bentuk seni yang lainnya) telah
menciptakan struktur rasa yang mendukung, mengelaborasi, dan
mengonsolidasikan praktik-praktik kekuasaan/penjajahan. Novel
dan imperialisme saling mengisi dan dibaca tanpa mengabaikan
salah satunya. Said menegaskan bahwa dalam membaca sebuah
teks harus membongkar satu sisi terhadap keinginan-keinginan
yang telah disembunyikan pengarang (Said dalam Sarup,
2002:155), termasuk ideologi yang ada dalam karya sastranya.

43
Ideologi Sebuah Wacana
I
stilah ideologi pada abad keduapuluh lebih mengacu
pada sistem kepercayaan dan persuasi politik. Ideologi
membentuk dan memengaruhi perilaku dan ekspresi/
emosi individu atau kelompok (Knowles, 2003:42). Kegiatan
mengkaji ideologi adalah mengkaji cara-cara maksud melayani
dan menjaga (memelihara) hubungan-hubungan dominasi
(relations of domination). Hubungan-hubungan dominasi tersebut
merupakan relasi kekuasaan yang sistematis asimetris (Knowles,
2003:43). Studi ideologi bukan hanya memusatkan perhatian
pada pemertahanan maksud/keinginan terhadap relasi dominasi,
melainkan juga perhatian juga terhadap dominasi-dominasi lain,
seperti relasi struktur sosial antara laki-laki dan perempuan, relasi
antaretnik, relasi negara dan rakyat yang termarjinalkan.
Thomson (1984:23) menyatakan bahwa teori ideologi
dan telaah bahasa (sastra) merupakan dua bagian yang saling
berhubungan. Teori ideologi umumnya menguji makna atau ide
aktivitas atau konsep-konsep yang diciptakan oleh seseorang
dan kelompoknya yang tiada lain digunakan untuk menciptakan
sebuah kehidupan dunia sosial berdasar atas ideologi yang
dikonsepkan tersebut. Makna atau ide ini berupa power kosakata
yang dimasukkan dalam bahasa. Power kosakata ini didelegasikan
oleh otoritas institusi kepada penutur (pembicara/penulis).
Dalam konteks power kosakata yang diinjeksikan dalam
bahasa, Thomson (1984:69-70) memandang bahwa ada
hubungan antara bahasa, kekuasaan (power), dan rasionalitas
dalam sebuah komunikasi.

44
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Ideologi tidak berasal dan tumbuh alamiah dalam
kehidupan sehari-hari tetapi dimediasi oleh teks atau penafsiran
dari teks. Media mengeksistensikan ideologi. Oleh karena itu,
Ideologi bukan saja dibentuk oleh budaya Eropa, tetapi semua
masyarakat dari lapisan manapun menciptakan ideologi untuk
kebutuhan eksistensinya. Ideologi muncul ketika dua kelompok
memiliki konflik atau kompetisi/pertarungan sosial, dan dua
kelompok tersebut ada dalam hierarki dominasi-subdominasi.
Dalam konteks ini, ideologi menegaskan bahwa kelompok
dominan mengatakan dirinya lebih baik kepada kelompok yang
didominasi.
Setiap wacana mengandung ideologi. Ideologi yang
bias dapat menciptakan struktur kehidupan menjadi tidak
berimbang. Ketidakberimbangan tersebut menciptakan pola­
risasi atau pengkutuban kelompok-kelompok yang pada
akhirnya memosisikan salah satunya sebagai kutub inferior atau
menciptakan kelompok superior.
Polarisasi kelompok yang terjadi dalam masyarakat tidak
terlepas dari peran ideologi yang diproduksi-reproduksi oleh
kelompok masyarakat dominan. Bahkan, ideologi tersebut
melibatkan koginisi, masyarakat, dan discourse. Tiga komponen
pembentuk ideologi tersebut disebut sebagai triangle (van Dijk,
2000:vii). Guna mengetahui ideologi yang diciptakan oleh
kelompok dominan sangat penting melakukan sebuah telaah
terhadap status dan kondisi internal organisasi kelompok
tersebut termasuk pemungsian ideologi yang dibuatnya. Selain
itu, ideologi akan dapat dipahami melalui telaah kondisi sosial,
budaya, politik, dan aspek historis kelompok dominan. Pada
triangle yang ketiga, pemahaman bahwa ideologi yang dibangun
oleh kelompok dominan dibentuk, diubah, dan direproduksi
melalui sebuah discourse dan komunikasi yang sudah dikondisikan
secara sosial.
Istilah ideologi sudah dibahas dalam berbagai media, akan
tetapi konsep ideologi masih membingungkan, bahkan kabur
(van Dijk, 2000:1). Dalam pandangan tradisional, ideologi selalu
dihubungkan dengan beragam pemikiran mengenai dominasi

45
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
dan kekuasaan. Sementara itu, pada tradisi Marxist, infrastruktur
ekonomi (ekonomi sosial: materialis) digunakan sebagai ideologi.
Pada masa ini, Gramsci memperkenalkan istilah hegemoni
sebagai bentuk hubungan antara ideologi dengan masyarakat.
Dalam pandangan kritis, ideologi berhubungan dengan
struktur sosial dan kognisi sosial. Pemikiran tersebut secara
langsung atau tidak langsung menyatakan bahwa ideologi
sesungguhnya sebagai dasar representasi masyarakat yang
menjadi anggota dari sebuah kelompok tertentu. Dalam konteks
ini, setiap anggota kelompok memiliki hak untuk mengklaim
bahwa dirinya baik atau buruk, salah atau benar untuk
kelompoknya dan berhak untuk melakukan sesuatu berdasarkan
atas kesepakatan kelompoknya. Ideologi bukan hanya sebatas
pandangan dunia, world view’ sebuah kelompok, tetapi prinsip-
prinsip yang mewadahi dasar keyakinan kelompok tertentu.
Prinsip-prinsip inilah yang mengkoordinasikan interpretasi
sosial dan praktik anggota kelompok. Ideologi dalam konteks ini
bisa saja kekuasaan (power) atau relasi-relasi lain yang dimiliki
kelompok, misalnya perlawanan atau resistensi.
Sehubungan dengan prinsip-prinsip yang dibuat oleh
kelompok, ideologi tidak hanya menghadirkan kebermanfaatan
bagi anggota kelompok, tetapi juga membantu meregulasi praktik-
praktik sosial. Stuart Hall menyatakan bahwa ideologi memiliki
peran menstabilisasi bentuk-bentuk power dan dominasi. Oleh
karena itu, ideologi disebut sebagai mental frameworks oleh Stuart
Hall (dalam van Dijk, 2000:9).
Peran Kritis Pembaca Dalam Mengungkap Ideologi
Karya sastra dalam wujudnya berupa novel, drama, cerita
pendek, atau puisi tidak terlepas dari kehidupan masyarakat.
Konflik-konflik sosial, seperti pertarungan kekuasaan di
daerah atau di pusat pemerintahan, korupsi, kolusi, nepotisme,
kriminalitas, dan politik-sosial-budaya menginspirasi terciptanya
sebuah karya sastra. Novel Gadis Pantai karangan Pramoedya
Ananta Toer terciptakan tidak terlepas dari polemik yang
terjadi pada masa Orde Lama dan menuju Orde Baru.

46
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Peristiwa- peristiwa pengambilalihan kekuasaan atas hak rakyat
terefleksikan dalam Gadis Pantai. Seorang gadis yang bernama
Gadis Pantai dikuasai seluruh hak atas tubuh dan kehidupannya.
Selain terinspirasi dari situasi politik pada masa 1960-1966
tersebut, Pramoedya juga terinspirasi dari peristiwa kehidupan
yang dialami oleh keluarganya (neneknya) karena diceraikan oleh
kakeknya. Walaupun begitu, Gadis Pantai bukan mengisahkan
kehidupan nenek-kakek Pramoedya, tetapi peristiwa nenek-
kakeknya digunakan sebagai simbol kekejaman penguasa ketika
itu terhadap rakyat jelata.
Dalam konteks kelahiran atau terciptanya Gadis Pantai,
Pramoedya memiliki maksud untuk mengomunikasikan
permasalahan politik, sosial, budaya kepada masyarakat
pembaca karyanya. Pramoedya mengomunikasikan sekaligus
memberikan sebuah pemikiran kepada masyarakat pembaca,
misalnya semangat perlawanan terhadap penguasa. Pemikiran
Pramoedya tersebut dapat dicermati pada nyanyian masyarakat
di desa Gadis Pantai lahir. Pramoedya menciptakan tokoh
masyarakat desa yang sedang menyanyikan lagu rakyat di desa
itu. Narasi yang ditulis Parmoedya dalam nyanyian tersebut
mengandung metafora-metafora perlawanan.
“menukik-nukik menukik-nukik menukik kau angin beliung
masuklah-masuk masuklah masuk masuklah kau ke kawah
gunung pergilah-pergi pergilah pergi pergilah kau ke dalam hutan
di sanalah sana di sanalah sana berganda mangsa berkeliaran”
(Toer, 2003:163)
Teks yang ditulis Pramoedya mengandung metafora
in-absentia yang memosisikan penguasa sebagai pihak yang
menindas, liar, dan memangsa.
Penelusuran makna terhadap Gadis Pantai sangat
memerlukan peran pembaca. Artinya, setiap eksistensi teks
tidak dapat dilepaskan dari pembacanya. Foucault dan Iser
menyebutnya sebagai pengisian ruang kosong. Seorang pembaca
sastra harus mengisi ruang-ruang kosong. Ruang kosong ini
berupa pemaknaan atau interpretasi terhadap teks-teks yang ada

47
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
dalam karya sastra. Pada konteks kutipan Gadis Pantai di atas,
pembaca memiliki peran untuk menemukan makna nyanyian
masyarakat desa Gadis Pantai dengan memanfaatkan konteks
atau kode latar penulisan novel Gadis Pantai. Walaupun setiap
pembaca memiliki interpretasi berbeda (apalagi dengan maksud
pengarang), interpretasi tersebut tetap bermanfaat dalam upaya
berkomunikasi antara teks novel, pembaca, dan peristiwa sosial.
Bagaimanapun interpretasi setiap pembaca dapat berbeda-beda
dengan kode-kode latar historis pengarang dan perbedaan itu
tidak ada yang dapat menyeragamkannya. Setiap teks memiliki
makna yang berbeda-beda dan makna tersebut sangat bergantung
pada pilihan pembaca. Dengan demikian, pengisian ruang
kosong-ruang kosong teks oleh setiap pembaca berbeda-beda,
misalnya penginterpretasian terhadap Gadis Pantai pun berbeda-
beda.
Dalam konteks membaca karya sastra dengan paradigma
postrukturalisme, penginterpretasian teks yang berbeda-beda
dipandang sebagai cara menafsirkan teks yang baik. Penafsiran
makna yang menghasilkan makna tunggal (hanya satu) dipandang
tradisional dan membelenggu pembaca.

48

49
A
nalisis Wacana Kritis merupakan pendekatan inter­
disipliner. Artinya, Analisis Wacana Kritis dapat
digunakan dan dikombinasikan dengan disiplin
ilmu lainnya untuk memeroleh hasil telaah atau kajian yang
komprehensif. Analisis Wacana Kritis dapat dikombinasikan
dengan teori kritis lainnya, seperti Postmodernisme,
Postkolonialisme, Feminis Postkolonialisme, pasca-Naratologi
Klasik, dan lain-lain, bergantung pada isu yang dikaji atau
ditelaah atau keadaan data yang dianalsis. Sehubungan dengan
interdisipliner ini, seorang peneliti tidak harus menentukan teori-
teoru utama (grand theory) sebagai pisau bedah. Peneliti cukup
memilih teori sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Peneliti
berpikir bahwa isu atau masalah yang diteliti, misalnya jejak-
jejak kolonialisme di Indonesia, ia dapat memadukan Analisis
Wacana Kritis dengan teori poskolonial. Pemilihan teori-teori
yang interdisipliner/transdisipliner ini juga sangat ditentukan oleh
karakter subjek yang ditelitinya. Jika peneliti memiliki karakter
subjek, misalnya novel kontemporer, ia dapat memadukan
teori postmodernisme, Analisis Wacana Kritis. Jadi, pemaduan
teori sangat relevan dengan masalah serta konteks (pembatasan
konteks) yang diteliti/ditelaah.
Isu yang dapat ditelaah dalam Analisis Wacana Kritis sangat
beragam. Pada intinya, isu yang diangkat sangat erat kaitannya
dengan praktik kekuasaan yang menghegemoni kelompok
subaltern. Kelompok subaltern ini dibela secara emansipatif dengan
menunjukkan keterbelengguannya, keterterhegemoniannya atas
perilaku, keputusan, pemikiran kelompok superior.
Ada beberapa isu yang sering menjadi fokus perhatian para
peneliti Analisis Wacana Kritis. Beberapa isu tersebut, antara lain

50
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
ras, tubuh perempuan sebagai komoditas, dan masalah kekerasan
seksual perempuan.
Isu Ekslusivitas Sosial
Wacana pengalienasian sekelompok orang merupakan
salah satu isu yang diperhatikan oleh Analisis Wacana Kritis.
Dalam konteks karya sastra Indonesia, beberapa fiksi mengangkat
masalah ekslusivitas sosial ini. Putu Wijaya dalam novelnya Tiba-
tiba Malam mengangkat peristiwa ekslusivitas tokoh Subali (dan
keluarga) oleh kelompok adat di Bali. Tokoh Subali diekslusi
(diasingkan) karena menentang adat setempat. Aryantha
Soethama juga mengangkat wacana pengasingan ini dalam cerita
pendek berjudul Kubur I Wayan Tanggu. I Wayan Tanggu diekslusi
oleh warga adat karena tidak mau membebaskan tanahnya untuk
fasilitas umum (pasar). Dua buah prosa fiksi ini memperlihatkan
sansi adat berupa ekslusi warga yang menentang termasuk
melarang memakamkan jenazah. Isu ini dapat menjadi sebuah
kajian Analisis Wacana Kritis.
Isu Ras Atau Warna Kulit
Ras atau warna kulit yang berbeda seringkali memicu
perilaku-perilaku ekslusivitas. Kelompok kulit berwarna, selain
berwarna putih seringkali mendapat perlakuan yang tidak adil.
Dalam konteks warna kulit dan wacana sastra, Robert anak
dari Untung Surapati dalam novel Roebert Anak Surapati karya
Abdoel Moeis telah diperlakukan diskriminatif, stigmatis oleh
orang-orang kulit putih (Belanda) (Yasa, 2010). Permasalahan
Ras atau warna kulit bahkan menjadi isu yang sangat pelik
dan rawan, bahkan konflik-konfliknya terjadi hingga kini.
Perbedaan warna kulit menciptakan kebijakan-kebijakan yang
tidak berpihak kepada masyarakat yang memiliki warna kulit
yang dipandang inferior. Selain pemerintah, media juga turut
pula mengesklusifkan kelompok inferior tersebut. Kaum Analisis
Wacana Kritis dapat memanfaatkan ilmunya untuk menyuara-­
kan hak-hak kaum tertindas (subaltern) tersebut.
Isu lain yang menjadi perhatian Analisis Wacana Kritis

51
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
adalah pemosisian perempuan dalam kultur patriarkhi. Mereka
direpresentasikan dengan tidak seimbang dan tidak sesuai
faktanya dalam kehidupan sehari-hari. Pengonstruksian diri
kaum perempuan seringkali membentuk citra yang tidak sesuai
dengan realitas.
Isu Tubuh: Komodifikasi Tubuh
Secara spesifik, isu perempuan yang sangat krusial mendapat
perhatian adalah masalah tubuh. Selain masalah kekerasan
fisik, tubuh perempuan telah menjadi sebuah komoditas dari
perusahaan-perusahaan kecantikan dan media. Konsep mengenai
tubuh sangat beragam dan kompleks. Bahkan, Synnott (1993:11)
menguraikan konsep tubuh dari berbagai sudut pandang. Synnott
menyatakan bahwa tubuh sebagai kerangka atau struktur fisik
atau material manusia sebagai sebuah entitas organik.
Konstruksi tubuh terhadap perempuan adalah sebuah bentuk
kekuasaan yang tanpa disadari oleh perempuan bahwa tubuh
dan diri mereka terhegemoni. Media representasi, seperti teks,
citra, dan cerita tidak pernah mencerminkan realitas secara jelas
dan netral, melainkan merepresentasikannya dengan sungguh-
sungguh sesuai dengan kode-kode dan konvensi masyarakat atau
komunitas tertentu.
Tubuh perempuan merupakan sebuah konstruksi wacana
sosial. Wacana tersebut berasal dari pandangan patriarkhi.
Konstruksi tubuh tersebut sudah berlangsung lama, tertata,
dan terkontrol. Jeffries (2007:1) memberikan salah satu contoh
penanaman konsep tubuh dalam sebuah majalah. Sebuah majalah
dapat memengaruhi perspektif para pembaca (perempuan)
terhadap tubuhnya. Walaupun para pembaca berusaha melakukan
perlawanan (resistensi), tetapi mereka tidak mampu konsisten
dan sepenuhnya melakukan resistensi, bahkan mereka terarahkan
untuk mengikuti atau melakukan sebagaimana bacaan tersebut.
Dalam konteks itu, ketidakadilan kekuasaan direfleksikan
melalui cara-cara teks diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi
khususnya dalam konteks sosiokultural. Produksi-distribusi-
konsumsi teks merupakan cara-cara penanaman pengetahuan

52
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
tentang tubuh perempuan. Konstruksi tubuh perempuan secara
teoretis ini memengaruhi cara-cara perempuan memersepsi
tubuhnya, membentuk tubuhnya, dan memungsikan tubuhnya.
Cara-cara yang ditempuh oleh individu dalam pengaturan
tubuh terkait langsung dengan kontrol sosial. Secara sosial,
tubuh tidak terlepas dari pengaturan, pemonitoran secara tetap,
penertiban dan pengendalian, seperti di penjara dan sekolah
militer. Pernyataan itu menegaskan bahwa perangkat nilai dan
kelembagaan dibutuhkan untuk mengatur, mengendalikan,
mendisiplinkan, dan menertibkan tubuh sehingga di satu pihak
tubuh bertingkah laku sesuai dengan batasan-batasan dan dipihak
lain tubuh agar dirawat untuk menghasilkan kesehatan, bentuk,
dan penampilan tertentu (Abdullah, 2001:68). Oleh karena itu,
tubuh dapat dikatakan sebagai sebuah produk budaya, dimiliki
seacara personal sekaligus dimiliki negara (Synnot, 1993:6).
Sebagai produk budaya, tubuh mendapat perawatan. Ada
tiga alasan perawatan tubuh. Pertama, alasan ekonomis. Bagi
sebagian orang, tubuh merupakan aset ekonomi yang memiliki
nilai jual. Merawat tubuh sama artinya dengan memberikan nilai
tambah kepada tubuh yang dapat mempertinggi nilai jual. Usaha-
usaha merawat tubuh sama halnya dengan usaha membentuk
suatu cultural capital yang kemudian untuk dikonversikan ke
dalam bentuk economic capital. Kedua, penolakan terhadap
ketuaan dan nasib. Ketakutan tampil jelek dan tua hampir identik
dengan trauma kematian sehingga muncul kecenderungan orang
untuk melakukan tawar-menawar terhadap nasib tubuhnya.
Ketiga, keterlibatan perempuan yang intensif dalam perawatan
kesehatan, pembentukan, dan penampilan tubuh dapat
dipandang sebagai bentuk pelarian dan rutinitas. Bertambahnya
jumlah perempuan dari berbagai kelas sosial melakukan kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan tubuhnya merupakan tanda
bahwa perempuan semakin tidak mempunyai arena ekspresi diri
yang produktif di dalam bidang publik dan ekonomi. Rogers
(199:112-135) menguraikan ada beberapa aspek yang berkaitan
dengan tubuh. Pertama, citra kesuksesan tubuh perempuan:
langsing, muda, dan cantik. Kedua, praktik menutupi kekurangan

53
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
estetis tubuh perempuan. Ketiga, idealisasi perempuan terhadap
usia tua atau kebencian normatif (ageisme). Keempat, ekspresi-
ekspresi perilaku nonverbal (gesture) tubuh perempuan. Kelima,
tanda-tanda tubuh lain (ekspresi tubuh) perempuan/ retorika
fashion, Keenam, pujian terhadap tubuh perempuan: manis dan
manja. Ketujuh, ekspresi-ekspresi perilaku verbal (artikulasi) dari
tubuh perempuan.
Isu Seksualitas
Seksualitas manusia merupakan topik yang kompleks.
Ruang lingkup seksualitas meliputi perilaku, sikap, kepercayaan,
nilai-nilai dan norma, orientasi, dan lain-lain. Seksualitas
dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial,
ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, religi, dan
spiritual. Seksualitas tidak hanya dibatasi pada orientasi seksual
ataupun atribut seks secara biologis, melainkan istilah yang luas
meliputi pengalaman dan ekspresi dalam pemikiran, fantasi,
hasrat, keyakinan, perilaku, nilai, kebiasaan-kebiasaan, praktik,
peran, dan relasi-relasi persahabatan (relationship).
Seksualitas sebagai praktik diskursif mengasumsikan bahwa
seksualitas selalu direproduksi melalui institusi sosial (Alimi,
2004:xxxiii). Foucault seksualitas terbentuk secara sosial-diskursif
dan direproduksi secara performatif. Seksualitas dipandang
sebagai efek wacana atau akibat relasi kekuasaan-pengetahuan-
kenikmatan.Seksualitas diyakini secara luas dalam berbagai
diskursus seperti medis, keagamaan, psikologi, dan pengetahuan
ilmiah bahwa seksualitas adalah given dan dialamiahkan (a natural
force) yang mendahului kehidupan sosial dan membentuk institusi.
Gender dan seksualitas merupakan sumber inspirasi abadi
untuk mendefinisikan identitas diri yang dianggap otentik selain
entitas, agama, kelas, sejarah, dan teritori. Pada saat yang sama,
gender dan seksualitas juga merupakan konstruksi mistis untuk
mendefinisikan siapa yang di
sebut sebagai “yang lain” dan juga
siapa “kita” secara historis, metafisik, ataupun sosial budaya.
Perempuan direpresentasikan sebagai tubuh yang otentik dan
atavistik dari tradisi bangsa (tertutup, melihat kebelakang, pasif,

54
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
dan sebagainya) yang meliputi prinsip-prinsip kuno nasionalisme
tentang kontinuitas. Sebaliknya, laki-laki dicitrakan sebagai
agen modernitas nasional yang progresif (maju, kuat cerdas,
asertif, dan sebagainya), pembawa semangat nasionalisme yang
revolusioner dan progresif (McClintock dalam Alimi, 2004:20).

55

W
odak (2008:2) menyatakan bahwa Analisis Wacana
Kritis mengkaji fenomena sosial yang kompleks
(bukan mengivenstigasi unit-unit bahasa yang
tampak) dan mempersyaratkan pendekatan multidisipliner dan
multi-metode.
Dengan memusatkan perhatian pada wacana, analisis waca­
na kritis bertujuan untuk menjelaskan peristiwa (moment) proses
sosial, praktik, dan perubahan- perubahannya dalam hubungan
dialektikanya dengan peristiwa-peristiwa (moment ) lainnya.
Analisis wacana kritis mengembangkan teorinya, metodenya,
dan agenda (objek penelitiannya) melalui dialog transdisipliner
dengan tujuan (a) memadukan koherensi wacana (discourse) dan
analisis wacana (termasuk analisis tekstual secara rinci) dengan
teori sosial dan metode penelitian, (b) mengembangkan teori
wacana dan metode wacana (methods of discourse) dan analisis teks
dengan tetap mempertahankan pandangan dialektika terhadap
realitas sosial. Dalam mengaji fenomena sosial tersebut, analisis
wacana kritis lebih memokuskan diri pada keseluruhan teks,
bukan bagian per bagian teks atau mengisolasi teks (isolated feature
of text). Bahasa dipandang sebagai satu kesatuan dengan materi
dalam sebuah proses sosial, termasuk semiosis: image visual,
dan bahasa tubuh. Analisis Wacana Kritis merupakan analisis
yang bersifat dialektis antara semiosis (termasuk bahasa) dengan
elemen praktik sosial lainnya.
1
1 Take of your clothes; Not wearing any clothes (Oxford, 471)

56

57

L
inguistik kritis merupakan sebuah tipe analisis wacana
yang dikembangkan oleh kelompok Universitas Anglia
Timur pada tahun 1970-an. Wacana media adalah
salah satu fokus kajian. Linguistik kritis ini dikembangkan
atas dasar teori linguistik sistemik M.A.K. Halliday. Banyak
karya linguistik yang merasa tidak lengkap jika tidak mengutip
pandangan-pandangan Halliday (Santoso, 2008:1). Linguistik
Fungsional Sistemik merupakan teori linguistik mutakhir yang
bertujuan untuk menganalisis teks secara sistematis pada fungsi
teks dan fungsi yang dimaksud dihubungkan dengan konteks
(Graber, 2001:5). Graber menyatakan bahwa tidak semua teori
linguistik mengaji bahasa dengan mengaitkannya pada konteks.
Kajian linguistik sebelumnya, termasuk Pragmatik dan dan
Sosiolinguistik mengaji bahasa hanya pada sistem formal saja.
Teori linguistik fungsional sistemik ini memandang teks
bersifat multifungsional dan selalu secara simultan menampilkan
dunia (fungsi ideasional), relasi sosial, dan identitas (fungsi
interpersonal). Teks tidak saja dilihat/dipandang sebagai
bangunan yang disusun oleh sistem kosakata, tata bahasa
terpilih. Wacana dipandang sebagai sebuah medan (field) yang
mengandung proses ideologi dan proses bahasa. Linguistik
Fungsional Sistemik diwujudkan dalam model tata bahasa tiga
tingkat (tristrata grammatical model), yakni tingkat semantik,
leksikogramatika dan fonologi, dan empat jaringan sistem
klausa, seperti konjungsi, transitivitas, modal, dan sistem tema.
Jaringan sistem klausa tersebut berhubungan dengan metafungsi,
yakni ideasional, interpersonal, dan tekstual. Secara spesifik,

58
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
pilihan bahasa yang ada pada teks sebagai pembawa ideologi.
Ideologi sebagai esensi (makna) dalam kuasa –ideologi dalam
teks bersifat implisit yang berkonstribusi memroduksi dan
mereproduksi ketidakadilan relasi kuasa dan relasi dominan.
Lebih khusus, Eagleton dan Van menyatakan bahwa pengaruh-
pengaruh ideologi teks merupakan fokus studi analisis wacana
kritis. Ideologi yang bersifat implisit itu dilindungi oleh modalitas.
Modalitas digunakan untuk menyembunyikan/melindungi teks
yang diekspresikan oleh pembicara dan penulis kepada lawan
bicara dan masalahnya (subject-matter).
Analisis Wacana Kritis memiliki desain analisis yang mampu
mengungkap praktik-praktik kekuasaan secara tersembunyi.
Ketika melakukan sebuah penelitian , ada tiga dimensi yang harus
dihadapi oleh seorang peneliti. Pertama, Peneliti menghadapi
teks. Teks yang dimaksud berupa teks lisan maupun teks tertulis.
Kedua, Peneliti menginterpretasikan teks. Pada tahap ini, peneliti
memandang bahwa teks yang diteliti sudah diproduksi bahkan
direproduksi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika menganalisis
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, peneliti menafsirkan
Ronggeng Dukuh Paruk sebagai sebuah teks yang diproduksi dan
direproduksi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu
topik yang lebih khusus sehubungan dengan Ronggeng Dukuh
Paruk adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dampak
psikologisnya bagi masyarakat yang terstigmatisasikan oleh Orde
Baru. Peneliti melakukan penafsiran-penafsiran atas produksi-
reproduksi Ronggeng Dukuh Paruk meliputi konteks yang turut
melahirkan novel Ahmad Tohari tersebut. Pada tahapan terakhir,
peneliti memberikan penjelasan Ronggeng Dukuh Paruk pada
konteks kulturalnya. Pada tahapan ini, novel tersebut dihubungkan
dengan sebuah sistem sosial-kultural yang terciptakan pada masa
kelahiran Ronggeng Dukuh Paruk. Tiga tahapan dalam dimensi
atau desaian analisis ini dapat dicermati pada Gambar 1.

59
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
Gambar 1. Desain AWK Model Fairclough
Teori Teks, Reproduksi Teks, dan Praktik Sosial
Teks, reproduksi teks dan praktik sosial merupakan sebuah
proses yang dialektikal. Dalam pandangan Fairclough (2001:231),
kehidupan sosial tiada lain sebagai sebuah jaringan interkoneksi
praktik sosial dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, budaya,
kekerabatan/keluarga, dan lain-lain). Praktik sosial mengalami
hubungan timbal balik antara perspektif struktur sosial, aksi
sosial, dan agensi.
Praktik sosial secara relatif menstabilkan bentuk aktivitas
sosial. Setiap praktik adalah artikulasi elemen-elemen sosial yang
berbeda dalam konfigurasi yang relatif stabil yang diwujudkan
dalam sebuah teks.

60
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Teks menurut Fairclough merupakan bagian dari peristiwa-
peristiwa sosial
(sosial events). Ada dua “kekuasaan” yang
membentuk te
ks, yakni (1) struktur sosial (social structure) dan
praktik sosial (social practice), dan (2) agen sosial (social agen),
yakni masyarakat yang terlingkupi dalam social events. Social agents
merupakan agen yang tidak “terbebaskan,” melainkan
secara sosial terkontrol, walaupun tidak secara total. Agen-agen
memiliki kekuasaan yang berpengaruh, akan tetapi tidak sampai
mereduksi pengaruh kekuasaan social structure dan practices,
karena agen-agen sebenarmya dipersiapkan untuk melakukan
aksinya dengan serangkaian alasan-alasan yang mendukung.
Agen-agen sosial teks menata relasi-relasi antara elemen
teks. Dalam penataan itu, ada proses yang secara struktural
terkontrol, misalnya tata bahasa yang terkombinasikan.
Sementara itu, social events misalnya dalam sebuah wawancara,
ada satu kesepakatan yang dibuat terhadap cara-cara berbicara
dan semua harus diorganisasikan.
Struktur sosial (social structure) merupakan entitas yang
sangat abstrak. Segala bentuk hubungan atau relasi yang
dimungkinkan secara struktural dan kejadian-kejadian nyata,
antara structure dan events, sangat kompleks. Setiap peristiwa
tidak secara langsung sebagai efek dari struktur sosial yang
abstrak tersebut, akan tetapi ada mediasi relationship, yakni ada
entitas intermediasi organisasi antara structures dan events, yang
disebut sebagai praktik sosial (social practices). Social practices dapat
dimaknai sebagai cara mengontrol struktur dan mengekslusi
yang lain dalam kehidupan sosial. Praktik sosial terjalin secara
serempak dengan menggunakan cara-cara yang khusus dan silih
berganti. Sehubungan dengan cara-cara khusus ini, ada hubungan
dengan wacana politis, yang mengagungkan praktik-praktik
argumentasi. Analisis terhadap arugementasi- argumentasi dalam
wacana sangatlah penting, baik dalam wacana naratif maupun
wacana genre lain.
Bahasa merupakan bagian dari masyarakat dalam ke­
seluruhan tingkatnya. Secara skematik, bahasa terbangun atas (1)
struktur sosial (bahasa), (2) praktik sosial (tata wacana), dan (3)

61
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
peristiwa sosial (teks-teks). Dalam kaitan dengan skema tersebut,
teks sebagai elemen- elemen social events tidak hanya sebagai efek
dari potensial bahasa, melainkan praktik sosial (social practices).
Sebuah tata wacana merupakan jaringan praktik sosial dalam
aspek bahasanya. Elemen-elemen wacana yang dimaksudkan
oleh Fairclough bukan seperti kata benda (nouns ) dan kalimat,
tetapi kewacanaan (discourses), genres, dan styles. Discourses, genres,
dan style ini didefinisikan oleh bahasa dan mengekslusi yang lain
dengan cara mengontrol variabel bahasa tertentu dalam kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, tata wacana (orders discourse)
secara jelas dapat dipandang sebagai organisasi sosial dan kontrol
terhadap variasi bahasa. Sementara itu, teks dipandang sebagai
salah satu pengaruh struktur sosial dan praktik sosial. Oleh
karena itu, sebuah teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor
yang membentuk.
Sementara itu, Social practice (praktik sosial) memadukan
beberapa elemen wacana dan bukan wacana, seperti aksi dan
interaksi, relasi sosial, individu (dengan keyakinan, kebiasaan,
dan sejarah pengalaman hidupnya, dan lain-lain), pengalaman/
peristiwa-peristiwa kehidupan duniawi, dan Discourse. Praktik
sosial merupakan cara-cara khusus bertindak yang tidak
dapat dilepaskan dari orang/kelompok-kelompok yang mem­
bentuknya/membayanginya.
Dalam sebuah praktik sosial, ada tiga wujud (figur) wa-
cana. Pertama, figur wacana sebagai bagian dari aktivitas sosial
di dalam sebuah praktik. Bagian dari pekerjaan (pelayan toko)
menggunakan bahasa dengan cara khusus, misalnya. Kedua,
figur wacana ada di dalam representasi. Representasi merupak-
an sebuah proses konstruksi sosial terhadap praktik, termasuk
konstruksi diri. Aktor sosial di dalam praktik memroduksi rep-
resentasi praktik-praktik lain. Mereka melakukan rekontekstuali­
sasi terhadap praktik lain. Setiap aktor sosial yang berbeda akan
merepresentasikan dirinya secara berbeda menurut posisinya
dalam praktik. Ketiga, figur wacana dalam proses menjadi (be-
ing) di dalam membentuk identitas dirinya – misalnya identitas
seorang politikus yang secara semiotik mengonstruksi dirinya.

62
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Ada tiga pertanyaan yang perlu dipikirkan ketika me­
nganalisis bahasa dalam konteks media, yakni (1) bagaimana
dunia (peristiwa, relasi-relasi) ditampilkan atau direpresentasikan?
(2) identitas apa yang dibentuk atau dikonstruksi dalam cerita?
(3) hubungan/relasi apa yang dibentuk dalam cerita teks media?.
Analisis bahasa dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk
mengekplorasi hubungan sistemik antara teks, praktik wacana,
dan praktik sosiokultural. Menurut Fairclough, ada perbedaan
antara analisis linguistik dan analisis wacana. Analisis linguistik
fokus pada teks, seperti artikel surat kabar, transkripsi radio, dan
program TV, tetapi analisis wacana lebih fokus pada praktik
dalam teks, praktik wacana, dan praktik sosiokultural. Praktik
wacana dimaksudkan sebagai cara- cara pemroduksian teks (teks
diproduksi oleh pekerja media dan cara-cara teks diterima oleh
pembaca/pendengar atau bagaimana media teks didistribusikan
secara sosial (Fairclough, 1955:16). Ada berbagai level praktik
sosiokultural yang mengonstruksi bagian konte
ks tertentu dari
praktik
wacana (discourse practice), yakni “Situasional,” “Insti­
t
usional,” dan “Societal” (Fairclough, 1955:16).
Ada beberapa butir penting ketika melakukan Analisis
Wacana Kritis. Pertama, salah satu fokus analisis harus
memerhatikan bagaimana perubahan sosial budaya di­
manifestasikan dalam praktik wacana media (media discourse).
Kedua, anali
sis teks media harus fokus pada bahasa dan
“te
ksturnya,” termasuk analisis visual dan efek suara. Ketiga,
analisis teks harus dilengkapi dengan analisis praktik produksi
teks dan konsumsi teks. Keempat, analisis teks dan praktik harus
disertai dengan analisis institusi, konteks sosial dan kultural
pada praktik media, termasuk relasi kekuasaan dan ideologi.
Kelima, analisis teks harus mengikutsertakan analisis linguistik
dan analisis intertekstual. Hal ini mempertimbangkan teks pada
umumnya hibrida. Keenam, analisis linguistik teks meliputi
beberapa level, antara lain fona, leksikal, tata bahasa, dan struktur
makro/skemata. Ketujuh, relasi antara teks dan sosiokultural
bersifat dialektika. Teks dibentuk secara sosiokultural dan teks
juga membentuk masyarakat dan kebudayaannya.

63

A
nalisis Wacana Kritis (AWK) memandang bahwa setiap
penggunaan bahasa mengandung maksud tersembunyi
sehingga diperlukan suatu sikap yang curiga, kritis, dan
selalu mempertanyakan penggunaan bentuk bahasa tertentu
oleh penutur. Upaya mengkritisi, meneliti, memaknai wacana
penting dilakukan. Agar dapat memiliki keritisan, ketelitian,
dan pemaknaan yang baik, penting memahami teks dan konteks
tuturan tersebut.
Teks
Teks adalah semua bentuk bahasa, kata-kata yang tercetak,
ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra,
dan sebagainya. Dalam pandangan Fowler, teks sebagai realisasi
modus wacana. Sebuah teks bukan hanya karya individual.
Teks yang dihasilkan mungkin saja karya orang lain yang semua
berakar pada kondisi sosial, politik, ekonomi, dan ideologis
yang terletak pada kontrol pengarangnya. Kajian terhadap teks
bahasa bukan hanya untuk kajian teks itu sendiri, tetapi kajian
teks merupakan kajian kewacanaan dengan mengikutsertakan
dimensi politik, ideologis, dan kultural tentang bagaimana
masyarakat dan institusi membangun makna melalui teks
(Darma, 2013: 46). Kandungan ideologis dalam teks akan tampak
pada bentuk perubahan atau keinginan untuk mempertahankan
sebuah status quo yang terdapat dalam teks. Dalam pengertian
seperti ini, teks merupakan fenomena linguistik yang dibentuk
secara sosio-kultural dan ideologis (Birch dalam Santoso, 2003:
15). Keberadaan bahasa sebagai teks selalu dikelilingi oleh

64
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
lingkungannya, baik fisik maupun non-fisik yang secara langsung
mendukung keberadaan teks atau dengan kata lain, teks selalu
berada di dalam konteksnya.
Konteks
Konteks adalah konsep sentral dalam analisis sebuah wacana
dan interaksi. Konteks memiliki peran yang penting dalam analisis
wacana. Sebuah wacana dengan konteksnya memiliki hubungan
yang erat dan melekat: wacana mengelaborasi konteksnya dan
konteks membantu dalam melakukan interpretasi makna sebuah
ujaran di dalam wacana. Partisipan dapat memahami ujaran
karena ada situasi khusus yang ada dalam tuturan, yakni konteks.
Pengetahuan terhadap konteks merupakan premis analisis
wacana. Konteks adalah sebuah bentuk pengetahuan tentang
dunia dan istilah konteks dapat digunakan, baik dalam makna
sempit maupun luas.
Sebelum fokus pada paparan konteks dari Blommaert, akan
disampaikan klasifikasi konteks menurut Song. Song (2010: 876-
877) mengklasifikasikan konteks. Ada tiga klasifikasi konteks.
Pertama, konteks linguistik. Kedua, konteks situasi, dan ketiga,
konteks budaya.
(1) Konteks Linguistik
Konteks linguistik mengacu pada konteks dalam wacana,
seperti hubungan antara kata-kata, frasa-frasa, kalimat, dan
paragraf.
(2) Konteks Situasi
Konteks situasi mengacu pada lingkungan, waktu, dan
tempat, dan lain-lain sebagaimana peristiwa dalam wacana
dan juga hubungan antara partisipan. Dalam konteks situasi ini
digunakan istilah tenor, field, dan mode.
(3) Konteks Budaya
Konteks budaya mengacu pada budaya, tradisi, dan latar
waktu komunikasi yang digunakan partisipan. Bahasa dipandang
sebagai sebuah fenomena sosial dan terikat pada struktur sosial

65
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
dan sistem nilai masyarakat.
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks
dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Dengan
demikian, konteks bukanlah ha-hal yang bukan unsur bahasa.
Pengguna bahasa selalu terikat konteks dalam menggunakan
bahasanya. Konteks tersebut meliputi konteks linguistik dan
konteks ekstralinguitsik. Konteks memasukkan semua situasi dan
hal yang berada di luar, dan mempengaruhi pemakaian bahasa,
seperti partisipan dalam bahasa, situasi tempat teks tersebut
diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya.
Konteks dalam Analisis Wacana Kritis
Blommaert menyampaikan bahwa menganalisis wacana
(discourse) tidak terlepas dari konteks. Konteks dalam padangan
Fairclough lebih dikenal sebagai dimensi wacana. Dimensi
wacana menurut Fairclough, yakni (1) teks-teks bahasa, (2)
praktik wacana (termasuk produksi dan interpretasi teks), dan (3)
praktik sosiokultural.
Istilah dimensi wacana Fairclough mengadaptasi istilah
konteks yang diperkenalkan oleh M.A.K. Halliday.
Menurut Blommaert (2005: 39), banyak buku yang telah
memuat istilah konteks, dan semua menyimpulkan bahwa konteks
mengacu pada -teks—bagian dari setiap aktivitas yang luas dalam
kehidupan sosial. Berdasarkan berbagai literatur tersebut, ada hal
terpenting dapat dicatat bahwa bahasa selalu diproduksi oleh
seseorang untuk orang lain, pada sebuah tempat dan waktu,
dengan tujuan dan maksud tertentu.
Beberapa Hal Mendasar Tentang Konteks
1) Penafsiran dan Pengontekstualan
Pada dasarnya, kita tidak dapat mengatakan sesuatu tanpa
konteks. Konteks secara mutlak diperlukan ketika melakukan
kegiatan analisis (Blommaert, 2005: 40). Pernyataan ini tampak
sederhana saja, tetapi sesungguhnya tidak. Ada beberapa
implikasi yang turut dipertimbangkan. Untuk menegaskan hal ini,
Blommaert menggunakan konsep pengkontekstualan dari John

66
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Gumperz‘s. Pengkontekstualan (kontekstualisasi) merupakan
bagian dari semua kegiatan seorang penganalisis/partisipan,
dalam menghubungkan, menyejajarkan, merevisi, menunda, dan
lain-lain, tuturan pada banyak konteks yang ada didalamnya, dan
mengaitkannya pada interpretasi ujaran.
Pengembangan konsep pengontekstualan/kontekstualisasi
oleh Gumperz mengacu pada cara-cara partisipan membuat
makna dalam sebuah interaksi. Pada bidang etnografi, Gumperz
mengamati cara-cara masyarakat menangkap makna yang
tersembunyi secara cepat dalam setiap interaksi yang mereka
lakukan. Ada makna indeksikal: ada pemaknaan indeksikal:
penguhubungan antara bentuk bahasa (ujaran), masyarakat
dan pola-pola budaya. Masyarakat dapat menangkap makna
indeksikal sebab pembicara (penutur) mengungkapkan kata-kata
verbal dan nonverbal, tanda perilaku-pembiasaan yang mengarah
pada tuturannya dan ruang kontekstual dengan penuh makna.
“saya pikir bahwa penafsiran percakapan/dialog dapat
ditandai secara empiris oleh tanda-tanda yang dapat dilacak,
tanda-tanda pengkotekstualan, rekognisi pada tanda-tanda
yang ada, keterhubungannya dengan tanda-tanda gramatika,
keterhubungannya dengan penggambaran pengetahuan sosial-
budaya, dan bagaimana menjaga pemahaman merupakan bagian
penting dalam menciptakan dan menjaga percakapan, termasuk
komunikasi” (Gumperz dalam Blommaert, 2005: 41)
Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa hal
terpenting adalah ujaran. Sebagai bentuk linguistik, ujaran
juga berfungsi sebagai tanda/petunjuk dalam berinteraksi.
Sasaran pengontekstualan terdiri atas pengetahuan-pengetahuan
pendukung yang kompleks.
Blommaert memberikan sebuah contoh pengalaman
nyata ketika ia berbincang-bincang dengan kelompok peneliti
perempuan yang merupakan timnya sendiri di sebuah hotel.
Ketika itu, ia menanyakan tentang perasaan mereka ketika
tinggal di balcon. Balcon yang dimaksudkan Blommaert adalah
bagian dari kamar hotel untuk menikmati pemandangan. Akan

67
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
tetapi, Balcon dalam persepsi peneliti perempuan itu adalah
bagian dari bra (BH) (Blommaert, 2005: 42). Pada pengalaman
Blommaert tersebut, tampak ada tanggapan sexist dari teman
tim perempuannya. Pada contoh ini, Blommaert mengenalkan
miskomunikasi akibat penyimpangan antara teks dan konteks.
Beranjak pada cerita itu, menurut Blommaert (2005:
42), penginterpretasian atau pemahaman merupakan proses
pengontekstualan teks (seperti ujaran atau pernyataan, baik
lisan maupun tulisan) secara indeksikal yang tepat konteks oleh
partisipan dalam interaksi. Seseorang partisipan dapat
memahami sesuatu hal disebabkan oleh adanya sesuatu yang
mengarahkan pada konteksnya (Blommaert, 2005: 43).
Ditegaskan oleh Blommaert, pemaknaan berbeda dengan
pemahaman- dalam pemaknaan, pengontekstualan menjadi in-
strumen teoretikal yang mendasar. Sebagaimana pengalaman
Blommaert mengenai percakapan Balcony dengan teman perem-
puannya, dapat dipahami bahwa pemaknaan itu bukan hanya
mengacu pada pemaknaan leksikal saja, melainkan juga kategori-
kategori identitas lain dan struktur peristiwa secara menyeluruh.
Jadi, Prinsip Pertama Blommaert adalah ketika kita ingin
menjelaskan cara-cara seseorang mengkonstruksi makna dalam
kehidupannya, kita perlu memahami konteksnya (2005: 43).
2) Pengontekstualan adalah Dialogis
Prinsip kedua tentang konteks dan pengontekstualan
adalah fenomena dialogis. Dialogis dalam hal ini bukan hanya
pembicara saja yang menyampaikan pernyataan dan konteks
umumnya, tetapi lawan bicara juga melakukan hal yang sama
dalam proses komunikasinya. Pengontekstualan sering dilakukan
oleh satu pihak yang menerima dan mendekode pe
san- the
uptake.
Dalam kata-kata Gumperz “tanda-tanda memiliki makna
yang mengacu pada objeknya bergantung pada interpreternya”
(Blommaert, 2005:43). Dalam upaya menangkap makna
(uptake) ujaran, memerlukan waktu (melibatkan dimensi waktu).
Proses membuat makna melibatkan serangkaian waktu dalam

68
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
interaksi, dan membuat makna hanya akan terjadi jika ujaran itu
memungkinkan untuk dimaknai.
Sebagian besar para analis wacana menyelipkan dialog
natural (the dialogic natural) dalam komunikasi dan sering
mengacu pada formula klasik, seperti Baktin, Voloshinov, atau
Kristeva, bahwa makna selalu berhubungan dengan dua kutub
pemikiran. Pemaknaan tidak dapat direduksi oleh salah satu
diantaranya. Seseorang memiliki contextualisation unverses:
linguistik yang kompleks, kognitif, sosial, budaya, institusi, dan
lain-lain, keterampilan dan pengetahuan yang mana digunakan
untuk mengontekstualkan pernyataan, dan interaksi termasuk
keterhubungan antarunsur universal tersebut. Bakthin menyebut
proses ini dengan istilah responsive understanding (pemahaman
responsif); makna adalah kontekstual.
integrasi makna berhubungan dengan nilai –menuju kebenaran,
keindahan dan sejenisnya—dan melibatkan sebuah pemahaman
responsif (responsive understanding ), salah satu diantaranya adalah
penilaian (evaluation).
Pemahaman responsif ini bersifat aktif dan transpormatif,
bukan hanya sebagai kegiatan meresepsi makna, tetapi sebuah
proses yang mana makna diubah di dalam serangkaian interaksi
dan melakukan kegiatan dialogis antarpemikiran (dua atau lebih).
Terkait dengan dialog natural (dialog alamiah), ada tiga
masalah umum yang dikemukakan Blommaert sebagai berikut.
a. Dialog tidak didukung oleh praanggapan ko-operatif.
Dalam analisis wacana, dialog sering diasumsikan
natural. Dialog dipandang memiliki makna secara ko-
opertif, atas keinginan bersama, dan penuh negosiasi
(seperti Grice 1975 terkait konsep model diskusi klasik).
Akan tetapi, semua itu tidak benar. Dialog justru sebagai
tempat bertemunya contextual universes yang berbeda dan
sering menimbulkan perselisihan daripada persahabatan.

69
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
b. Dialog tidak didukung praanggapan sharedness
Dialog sering diasumsikan bahwa partisipan
ketika berkomunikasi selalui berbagi (sharing) tentang
pengetahuan/pengalamnnya –bahasa dan variasi bahasa,
referensi dan makna indeksikal dalam kata-kata, ungkapan,
atau peristiwa percakapan, dan lain-lain. Akan tetapi,
asumsi seperti ini sungguh keliru. Dialog yang dilakukan
bukan atas sharing.
c. Dialog tidak didukung oleh praanggapan simetris
dalam konteks kekuasaan (power)
Asumsi bahwa negosiasi makna dikembangkan dari
Pragmatik Gricean, yang memandang ada kesimetrisan
dalam kontekstualisasi. Umumnya, semua partisipan dalam
berkomunikasi memiliki kesetaraan akses dan kontrol
kontekstualisasi. Akan tetapi, kita mengetahui bahwa akses
dan kontrol adalah sebuah kekuasaan dan ketidaksetaraan.
Selain itu, kita juga mengetahui bahwa kekuasaan dan
otoritas berada pada kelompok masyarakat beserta daya
dukung yang memiliki akses ekslusif dan istimewa.
Jaksa, dokter, hakim, politikus, akademisi, dan lain-lain
dapat dikelompokkan sebagai kelompok profesional dan
kelompok berstatus –sosial karena akses ekslusif yang
istimewa, penuh kuasa, ruang kontekstualisasi –seperti
hukum, obat, kecerdasan, bidang pengetahuan –dan di satu
sisi, fakta memperlihatkan ada sekelompok masyarakat
yang tidak memiliki akses istimewa dan penuh kuasa
seperti itu. Akibatnya, proses kontekstualisasi sering tidak
dilaksanakan berdasarkan negosiasi/rembug, melainkan
secara sepihak.
Berdasarkan pemaparan tersebut, Blommaert menyatakan
dengan tegas bahwa perlu lebih hati-hati ketika menggunakan
prinsip dialogis dalam analisis. Dalam pandangan Blommaert,
sangat penting untuk disadari bahwa makna dalam kegiatan

70
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
berkomunikasi adalah sesuatu (something), di sisi lain, makna
diproduksi oleh seorang (pembicara/penulis), dan juga
melibatkan orang lain. Pemroduksian makna seperti ini
sesungguhnya dapat dilakukan secara ko-operatif, rembug, dan
setara. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Komunikasi
justru dilakukan atas dasar kekuasaan, secara sepihak, dan tidak
setara. Dalam hal ini, voice sudah dikonstruksi oleh kekuasaan
dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, konteks bukanlah sesuatu
yang begitu saja kita lekatkan pada teks –konteks adalah teks,
yang mendefinisikan maknanya beserta kondisi yang digunakan
(Blommaert, 2005:45).
3) Konteks itu Lokal sebagai mana Translokal
Konsep ketiga adalah lokal sebagaimana translokal. Sebagai
mana dapat dicermati di atas, Gumperz telah menegaskan
karakter sistemik konvensi kontekstualisasi. Akan tetapi, ada
alasan yang sederhana: banyak dari apa yang kita tampilkan
ketika membangun makna adalah post-hoc re-kontekstualisasi teks
yang diproduksi, sudah pasti, dalam proses kontekstulisasi yang
berbeda, pada waktu yang berbeda, oleh orang yang berbeda, dan
untuk tujuan yang berbeda pula. Ini sudah pasti terjadi dalam
dunia literasi: ketika kita membaca buku, kita melakukan re-
kontektualisasi terhadap materi yang dibaca, dan menambah
atau mengurangi makna. Buku yang kita baca itu sudah di re-
set dalam contextualizing universe dan menjadi buku yang baru –
dan kita melakukannya atas pengetahuan yang dimiliki untuk
kontekstualaisasi atau penafsiran teks. Erving Goffman (dalam
Blommaert, 2005: 46) menyampaikan bahwa orang membangun
interpretive universes terhadap ujaran dan melakukan interpretasi.
Berdasarkan pemikiran Goffman tersebut, Blommaert (2005:
46) menyatakan bahwa ada dua konsep penting yang dapat dibuat.
Yang pertama adalah konsep intertekstualitas (intertextuality).
Yang kedua adalah pengentektualan (entextualisation)
Intertektualitas mengacu pada fakta ketika kita berbicara
kita memproduksi kata-kata dari orang lain. Kita secara

71
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
konstan mengutip dan mengekpresikannya kembali hingga
terbentuk makna yang dapat dipahami. Setiap ujaran memiliki
sebuah sejarah penggunaannya (beserta penyelewengannya),
interpretasinya, dan penilaiannya, dan sejarah ini merupakan
bagian (melekat pada) dari ujaran itu sendiri. Kata Balkon sebagai
mana contoh sebelumnya, menjadi menyakitkan dan begitu sexist
karena kata-kata itu sudah biasa digunakan oleh sekelompok
masyarakat yang berupaya merendahkan bagian tubuh
perempuan: payudara. Dasar intertektualitas dalam analisis
wacana terletak pada sejarah yang ada –seperti sosial, budaya, dan
politik, yang diikuti secara sinkronis pada penggunaan ekspresi:
kekuatan sosial, kekuatan budaya, dan efek politik. Pernyataan
ini mengarahkan kita untuk mencermati peristiwa komunikasi,
melihat ekpresi yang digunakan lawan tutur: berasal dari mana,
untuk siapa berbicara, apa sumber/materi pembiacaraannya, dan
bagaimana hubungan dengan kebiasaan/tradisinya. Penggunaan
kata negro atau pelacur, mungkin akan
bernilai negatif bagi orang yang tidak suka menggunakannya,
ataupun mungkin bernilai positif bagi orang yang menerima
pemakaiannya. Mencermati contoh itu, Gumperz (dalam
Blommaert, 2005: 47) menegaskan bahwa nilai intertekstualitas
tidak dapat diwadahi dalam hubungan indeksikal antara tanda
dan interpretasi.
Konsep kedua adalah peng-entekstualan (entextualisation).
Entextualisation mengacu pada proses dalam arti bahwa wacana
secara simultan melakukan dekontekstualisasi dan secara
metadiskursif melakukan rekontektualisasi, hingga wacana
awal menjadi sebuah wacana (discourse) baru. Wacana baru ini
menjadi sebuah teks: discourse tercipta dengan latar interaksi
dan berubah secara bersama- sama dalam sebuah konteks yang
baru. Entextualisation merupakan bagian dari sejarah wacana asli.
Wacana asli –secara sosial, budaya, dan sejarah menyampaikan
peristiwa-peristiwa unik – lahir dari konteks yang asli/murni
dan ditranmisikan dengan mengulangi atau menirukan mereka,
menulis mereka, dan menginsersi mereka dalam wacana lain,

72
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
dengan menggunakan mereka sebagai data untuk analisis ilmiah.
Dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi menambah konteks
sebuah metadiskursif baru ke dalam teks.
Dengan demikian, ada dua instrumen yang dapat digunakan,
yakni mikro-lokal dan pola-pola makro dalam memahami ujaran
seseorang: sosial, budaya, dan politik.
Analisis Wacana Kritis dan Conversation Analysis: Dua Konsep
Kritis Mengenai Konteks
1) Pelatarbelakangan Konteks: CDA
Salah satu masalah metodelogi terpenting dalam analisis
wacana secara umum adalah masalah framing, khususnya
bagaimana menyeleksi konteks yang relevan. Para peneliti
banyak yang belum mampu memperlihatkan konteks yang
relevan dan tidak melakukan penelitian/analisis berdasarkan
investigasi terhadap objek. Permasalahan ini selalu muncul:
selalu menggunakan praanggapan dan asumsi, dan menggunakan
pengetahuan yang belum dikaji secara ilmiah (common ground ) di
dalam menganalisis. Permasalahan ini terjadi pada CDA, padahal
CDA memposisikan situasi sosial sebagai data terpenting.
Berhubungan dengn ini, konteks sering melibatkan sistem yang
luas dalam pengamatan institusional. Penelitian bukan hanya
menganalisis wacana netral, tetapi wacana yang bersifat politik.
Dalam pandangan CDA, wacana dibentuk oleh sebuah narasi
kekuasaan dan institusi. Ada kekuasaan yang tersembunyi (hidden
power) dalam discourse.
Dalam kerja CDA, apriori terhadap relasi kekuasaan
selalu digunakan sebagai sebuah perspektif (misalnya kekuasaan
itu buruk, politisi adalah seorang manipulator, atau media adalah
mesin pencetak ideologi), selain konsep teoretis –sosial atau
pola- pola perilaku, seperti politisi selalu dan secara intensional
memanipulasi aturan- aturan yang dibuatnya; para dokter melalui
pengetahuannya selalui melanggengkan praktik kekuasaan
kepada pasien (Blommaert, 2005: 51). Hubungan kekuasaan
sering didefinisikan lebih awal dan setelah itu dikonfirmasi oleh

73
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
wacana yang dibuatnya. Pernyataan ini dikuatkan oleh hasil
penelitian Ruth Wodak (dalam Blommaert, 2005: 52) di sebuah
rumah sakit, bahwa wacana (discourse) selalu diciptakan setelah
hubungan-hubungan kekuasaan itu dibentuk. Wodak mengamati
pelayanan pembagian ruang/sal oleh para dokter/pegawai
rumah sakit terhadap pasien rawat jalan yang selalu ada praktik
kekuasaan secara hierarki: pengetahuan, pengalaman, dan gender.
Berdasarkan pengalaman penelitian yang dilakukan oleh Wodak
di rumah sakit tersebut, Blommaert (2005: 53) membuat catatan
penting bahwa analisis wacana berupaya untuk menjelaskan dan
menegaskan hubungan kekuasaan yang tersembunyi. Analisis
Wacana selalu menegaskan bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan
ketidaksimetrisan melalui konteks terhadap ujaran. Dalam
beberapa CDA orthodox (interaksional dan fungsionalis), konteks
hanya digunakan sebagai latar belakang saja. Walaupun mereka
sudah menghubungkan teks dan konteks, didalamnya ada blok
yang masih memisahkan antaranya. Akhirnya, para peneliti
tersebut mendapat kritik atas pendapat/analisisnya.
2) Melakukan dialog dari –dalam- dan –luar-Teks (Interaksi):
Conversation Analysis
Masalah bias dalam memandang konteks pada sebuah
wacana juga menjadi perhatian dan catatan penting para ahli
Conversation Analysis (CA), seperti Emanuel Schegloff.
Schegloff menyampaikan bahwa interaksi didasari konteks.
Secara otomatis, dalam kajian CA, konteks yang relevan adalah
yang ideal berhubungan dengan interaksi dan peran-peran sosial
dan fungsinya.
Conversation Analysis berupaya untuk mengungkap bagai­
mana satu pihak menyampaikan ide untuk pihak lainnya dalam
hubungan dengan interaksi dan produksi struktur sosial dan
relasi kuasa. CA berupaya untuk mengungkap bagaimana
struktur sosial muncul dikaitkan dengan hal yang paling aktual
pada acuanya.

74
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
Blommaert menyampaikan bahwa aktivitas berbicara sering
dipandang sebagai satu kegiatan yang hanya menyampaikan
ujaran yang muncul saja, padahal dalam waktu bersamaan
berlangsung juga kegiatan mengapropriasi dan menginterpretasi.
Dengan demikian, ketika berbicara/berinteraksi, partisipan juga
mengaitkan hal-hal di luar interaksi itu. Jika dikaitkan dengan
kegiatan menganalisis, para peneliti akan memperlihatkan
perbedaan konteks mengenai sesuatu yang dibangun dan
ditransmisikan oleh partisipan (pembicara) selama interaksi.
Perbedaan itu dimungkinkan karena dalam berinteraksi
partisipan tidak membawa contextualization universe yang sama.
Para partisipan mungkin memiliki perbedaan pengertian
terhadap situasi, tujuan dan posisi berbeda, memiliki perbedaan
akses pada resource dan repertoire. Ketidaksimetrisan ini akan
menuntut mereka untuk memiliki pandangan spesifik terhadap
pengetahuan situasi, rekognisi, dan keberterimaan dan partisipan
akan berupaya untuk mengubah konsep situasi yang dimiliki
sebelumnya.
Memahami Konteks: Resource, Text Trajectorios, dan Histori Data
Dua pendekatan tersebut menyampaikan pandangan
tentang konteks sebagai lokus dalam analisis kiritis, fokus pada
hubungan sederhana antara teks/discourse dan konteks seseorang.
Blommaert menyampaikan beberapa hal tentang konteks.
1) Resourses sebagai konteks
Sarana bahasa yang kompleks dan keterampilan ber­
komunikasi selalu diidentifikasi sebagai resources. Partisipan ada
yang mampu/tidak mampu berbicara dengan ragam bahasa,
dapat/tidak dapat membaca dan menulis, dan mereka ada yang
mampu/tidak mampu dalam memobilisasi resources spesifik yang
dimilikinya ketika berperilaku dalam masyarakat. Semuanya
berbeda –berbeda tingkatan profesionalitasnya –dari tidak
profesional sama sekali hingga master—semuanya memiliki
konsekuensi sosial. Resource memiliki tingkatan. Partisipan yang

75
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
memiliki resources yang berbeda sering memperoleh resources yang
tidak setara karena kesamaan akses untuk mendapatkan hak dan
keuntungan sudah dikontrol oleh akses komunikasi resources yang
lebih spesifik.
Untuk memperjelas resource ini, Blommaert melakukan
penelitian terhadap kaum imigran di Belgia. Ia melakukan
wawancara terhadap 50 imigran dari yang memiliki kemampuan
berbahasa yang rendah hingga sedang. Temuan Blommaert
memperlihatkan bahwa bahasa yang digunakan kaum imigran
menggunakan campur kode, alih kode, dan variasi dan gaya
bahasa yang digunakan mereka sangat rendah.
Mereka menggunakan bahasa Inggris, Prancis, Belanda
yang rendah sehingga cerita yang mereka sampaikan sulit
untuk dipahami. Dalam hal ini, resource sulit diperoleh oleh
Blommaert. Ia menegaskan bahwa analisis percakapan tidak
akan dapat dilakukan jika tidak ada resources. Blommaert (2005:
61) menyatakan bahwa resource memiliki relasi kuat antara
bahasa dan simbol ekonomi serta status sosial. Kata-kata, aksen
suara, intonasi, gaya berbicara, semua menjadi bagian historis
penggunaan dan penyimpangan, juga menjadi bagian dari
penilaian dan assessment (Bakthin dalam Blomaert, 2005: 61).
Pada waktu yang bersamaan, pengembangan peran resources
dalam konteks meluas dari teks atau wacana hingga pada struktur
sosial dan kemasyarakatan. Pengembangannnya mengglobal
(Blommaert, 2005:61).
2) Text Trajectories
2
Satu hal yang menjadi fokus bahwa proses komunikasi
dalam institusi adalah ada penggantian wacana yang melampui
2 Istilah trajectories dipopulerkan oleh Bourdieu. Trajectories merupakan po-
sisi yang dihasilkan dari perjuangan simbolik dalam ranah sosial budaya
(Bourdieu dalam Wahyuni, 2008). Konsep trajectories ini dapat diperjelas
melalui maksud Wahyuni dalam disertasinya ketika meneliti konstruksi jen-
der dalam media massa. Hubungan peran laki-laki dan perempuan (doxa,
heterodoxa) tereksternalisasi menjadi suatu kaidah budaya. Kaidah budaya
yang diterima sebagai suatu kebenaran tersebut terintrenalisasi menjadi habi-
tus. Hasilnya adalah trajectories.

76
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
konteks: berkomunikasi hanya melalui dengan notes, ringkasan,
laporan kasus, sitasi, diskusi lainnya. Briggs (dalam Blommaert,
2005: 62) menyatakan bahwa penggantian antara teks dan
konteks - praktik re- entextualisation- menyertakan pertanyaan-
pertanyaan dari kekuasaan yang krusial. Blommaert menyatakan
bahwa tidak setiap konteks dapat diakses oleh setiap orang, dan
re-entextualisation sangat bergantung pada siapa yang punya
akses pada ruang kontekstual. Akses dalam hal ini sangat
bergantung pada resource: re-entextualisation sering melibatkan
teknologi kontektualisasi, tingkat ahli, dan sangat ekslusif yang
memperlihatkan ketidaksetaraan dalam masyarakat (misalnya
re- extentualisation resmi menuntut adanya akses ahli yang resmi).
Dinamika entextualisation secara jelas membawa pembedaan
akses pada resources kekuasaan (power).
Kembali pada pengalaman penelitian yang dilakukan oleh
Blommaert di Belgia terhadap penduduk imigran/ pencari suaka
untuk memperjelas text trajectories ini. Kaum imigran dituntut
untuk memiliki kelengkapan administrasi penduduk.
Berdasarkan cerita naratif yang disampaikan oleh
partisipan, Blommaert mencatat dua hal penting. Pertama,
berkas usulan kaum imigran untuk melengkapi syarat administrasi
kependudukan di Belgia tidak hanya dibuat hanya dalam satu
kali tindak komunikasi: berkas itu dibuat melalui serangkaian
re-entextualisation dan mengacu pada kriteria yang dipandang
benar yang berlaku di negara itu. Berkas yang dibuat oleh kaum
imigran berbeda dengan cerita aslinya, karena pernyataan-
pernyataan yang ditulis dalam usulan berkas harus berpedoman
pada pernyataan aturan standar. Keseluruhan cerita yang dibuat
oleh kaum imigran (yang mengalami re- entextualisation tersebut
adalah text trajectories (Blommaert, 2005:63).
Catatan kedua yang dibuat oleh Blommaert sebagai hasil
penelitiannya adalah adanya resources standar pada berkas usulan
tersebut, praktik abuse pada text trajectories menjadi semakin tinggi.
Setiap tahap trajectories menyertakan resources yang tidak setara.
Setiap cerita yang ditulis menggunakan bahasa asli (imigran)

77
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
selalu diterjemahkan dengan menggunakan bahasa Prancis atau
Inggris oleh penerjemah. Jika kaum imigran memiliki kata
atau kalimat yang tidak dimengerti oleh penerjemah, kata atau
kalimat itu diperintahkan untuk dihapus/diganti dengan kata
lain yang dimengerti olehnya. Para administrator menggunakan
acuan koheren dan konsistensi. Ada ketidaksetaraan terhadap
resources bahasa komunikasi terhadap prosedur kaum imigran,
dalam hal ini cerita yang dibuat sepenuhnya sebagai text
trajectories (Blommaert, 2005:64). Blommaert menegaskan bahwa
dalam studi wacana kritis, selalu disadari bahwa setiap teks
dikontekstualisasi pada setiap fase atau tahap keberadannya dan
setiap tindakan memproduksi wacana, mereproduksi wacana,
dan menyirkulasikannya atau mengonsumsinya menyertakan
konteks.
3) Histori (Rekam Jejak) Data
Bagian ketiga adalah histori data wacana. Dalam
bidang etnograpi, histori data merupakan elemen penting
dalam membuat penafsiran/interpretasi. Waktu dan tempat
memberikan pengaruh terhadap data. Data memberikan
pengaruh pada konteksnya. Oleh karena itu, ia menekankan
pentingnya meneliti hari itu juga, istilahnya this now! Pengalaman
penelitian Blommaert dapat memperjelas histori data.
Ketika ia melakukan perekaman terhadap kaum imigran
di Belgia, ia mendapatkan partisipan yang jujur bercerita, baik
melalui tulisan maupun lisan. Mereka mau menanggapi politik
yang sedang terjadi di Belgia sampai akhirnya, Blommaert
memperoleh simpulan mengenai narasi cerita kaum imigran
tersebut. Akan tetapi, beberapa minggu kemudian, terjadi gejolak
antara kaum imigran dengan aparat keamanan di Belgia setelah
meninggalnya seorang perempuan imigran asal Nigeria karena
ditembak aparat. Perlawanan dan demonstrasi meledak di Belgia
ketika itu tahun 1998. Cerita Blommaert menjadi berbeda. Ia
memperoleh dua catatan penting. Pertama, ia memperoleh
partisipan yang ingin disembunyikan identitasnya. Kedua, ia

78
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
menemukan karakteristik cerita yang menyampaikan narasi
peristiwa/kejadian itu. Pengaruhnya, data penelitian Blommaert
berubah (Blommaert, 2005: 65-66). Hal penting yang dapat
dicatat adalah sejarah (histori) data menjadi sangat penting
dalam memahami wacana melalui konteksnya.

79

A
nalisis Wacana Kritis terhadap karya sastra dapat
digunakan dalam pembelajaran di kelas. Praktik-praktik
kritis atau abuse of power dapat terjadi di mana-mana,
termasuk di kelas (sekolah).
Praktik pembelajaran bahasa Indonesia atau Sastra
Indonesia tidak terlepas dari praktik-praktik kritis. Media
pembelajaran, materi pembelajaran, teknik pembelajaran,
bahasa yang digunakan guru atau siswa, dan lain-lain sering
menampilkan ketidakseimbangan.
Materi pembelajaran yang dimuat dalam buku pelajaran,
misalnya memuat isi yang memosisikan siswa perempuan pada
posisi inferior. Pada buku paket Kurikulum 2013 sebelum edisi
revisi memuat aktivitas laki-laki lebih hebat/kuat daripada
aktivitas siswa perempuan (Yasa & Roekhan, 2016). Pemosisian
yang tidak berimbang antara siswa laki-laki dan perempuan
dapat memberikan dampak negatif, misalnya membuat siswa
perempuan tidak nyaman dan kelas menjadi tidak harmonis
(ming Ching, 2009:82).
Hasil penelitian Yasa & Roekhan (2016) menunjukkan
bahwa buku teks (buku bacaan) siswa mengandung agenda-
agenda tersembunyi, terutama agenda maskulinitas terhadap
feminitas atau dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Dalam konteks penelitian itu, buku bacaan para
siswa menyembunyikan rencana-rencana dominatif dan
hegemonis. Salah satunya bias gender. Dalam konteks bias
gender ini, interaksi kelas dan gender sangat penting dan perlu

80
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
dipahami dalam wacana anak (Davis, 2007:219). Walaupun
bacaan mengandung struktur multidimensional yang terdiri
atas sintaksis, leksikon, grammar, morfologi, fonologi, dan
semantik, pemahaman terhadap leksikon dan grammar tidak
mengeksplorasi pemahaman pembaca terhadap teks. Banyak teks
bacaan yang dikonstruksi oleh berbagai sistem diskursif (Malaee
& Gholam, 2015:2). Pembaca (pebelajar bahasa) seharusnya
memahami efek-efek sosial teks dan menyikapi secara kritis
sehingga ketidakadilan sosial dan ketidakseimbangan yang ada
dalam teks dapat diungkap guna menciptakan masyarakat yang
demokratis (Malee & Gholam, 2015:2).
Pendeskripsian dan penginterpretasian karya sastra
memerlukan aktivitas membaca kritis. Kritis dalam hal ini adalah
kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotor yang dilakukan ketika
membaca dalam upaya mengungkap agenda-agenda tersembunyi
kelompok dominan dalam teks tertulis, bukan kritis dalam
konteks memahami bacaan dan dapat menjawab soal-soal latihan.
Berpikir kritis merupakan sebuah konsep yang berhubungan
dengan reasioning, interpreting, analyzing, dan evaluating informasi
terkait topik-topik khusus (tertentu) (Barreto, 2013:198). Dengan
kata lain, pemikiran kritis dalam konteks Analisis Wacana Kritis
sangat penting dimiliki oleh pembaca (khususnya siswa dan guru
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia).
Perkembangan teori-teori mutakhir di Indonesia belum
sepenuhnya memengaruhi pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah. Para siswa-guru masih terbelenggu
oleh penggunaan teori atau pendekatan tradisional atau teori
behavioristik. Berdasarkan hasil penelitian, metode-metode
pembelajaran, termasuk cara mengonstruksi pemikiran atau ide-
ide masih menggunakan cara-cara tradisional. Selain itu, metode-
metode pembelajaran, khususnya metode membaca belum
mem- perlihatkan aktivitas mendekode yang kritis terhadap agenda-
agenda tersembunyi dalam teks. Malaee & Gholam (2015:2)
menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan pengajaran bahasa,

81
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
seperti Metode Audio-Lingual, Pengajaran Bahasa Komunikatif,
Pengajaran Bahasa berbasis Konten, dan Lain-lainnya, hanya
baru fokus pada ke- efektifan pengajaran keterampilan berbahasa
dan peningkatan kompetensi komunikatif siswa dan pendekatan-
pendekatan tersebut mengabaikan kompleksitas sosial dan politik
bahasa. Dalam konteks ini, bahasa tidaklah netral: ia dibentuk
secara budaya dan ideologis. Auerbach (dalam Malaee &
Gholam, 2015:2) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa dan
pengajarannya secara esensial bersifat politis.
Selain itu, banyaknya media massa yang masih terbelenggu
oleh pengaruh ideologi Soeharto (seperti elit politik, produser
iklan, dan Lain-lain) menjadikan masyarakat bingung dan
frustasi dalam memahami wacana publik (Santoso, 2016:273).
Permasalahan ini seharusnya menjadi perhatian serius dalam
dunia pen- didikan, khususnya bidang pengajaran bahasa (Santoso,
2016:273). Para siswa seharusnya kritis sejak dini sehingga
mereka dapat semakin sensitif dalam penggunaan bahasa yang
memaksa (Santoso, 2016:273). Selain pengaruh media tersebut,
penggunaan pendekatan struktural dan pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran (pengajaran) bahasa Indonesia belum
mampu meningkatkan kesadaran kritis berbahasa siswa dan
masyarakat secara umum (Santoso, 2016:274-275).
Sehubungan dengan itu, pemikiran-pemikiran baru
yang konstruktif sangat diperlukan. Pada tahun 2016, Santoso
mempublikasikan gagasan guna meningkatkan kesadaran bahasa
kritis siswa di sekolah (kelas) dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Menurut Santoso (2016), ada beberapa upaya yang
dapat dilakukan guru, yakni (1) pembelajaran tata bahasa,
(2) pembelajaran kosakata, (3) keterampilan berbicara, (4)
keterampilan membaca, dan (5) keterampilan menulis.
Pada pembelajaran tata bahasa, guru memperkenalkan
kosakata yang disalahgunakan (sebagai wacana); kalimat aktif
dan kalimat pasif dan menghindari analisis kalimat dari aspek
subjek, objek, predikat karena sangat abstrak dan tidak sesuai

82
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
dengan perkembangan siswa. Pada Pembelajaran kosakata, guru
menanamkan peran kosakata untuk kehidupan dan menggunakan
model bermain peran ketika siswa belajar berbicara. Pada
pembelajaran membaca, guru menekankan bahwa membaca
bukan hanya memahami teks tertulis, melainkan juga memahami
dunia lingkungan sekitar siswa. Pada pembelajaran menulis, guru
memberikan kebebasan kepada siswa dalam mengeksplorasi
topik ketika siswa menulis. Peran siswa dapat menuliskan
topik marginalisasi yang dialami sekelompok masyarakat yang
tinggal di sekitar lingkungan siswa (tempat tinggal siswa).
Pandangan Santoso (2016) ini sejalan dengan pandangan
Figneiredo (2008:151) yang juga menyatakan bahwa para guru
dapat membantu memperkuat siswa melalui (1) pemberian
informasi dan penge- tahuan, membantu siswa merefleksikan
pandangannya dengan cara menjelaskan secara sistematis cara-
cara bekerjanya sebuah bahasa.
Sejalan dengan pemikiran Santoso (2016) dan Figneiredo
(2008), dan beberapa tokoh AWK, peneliti memandang
penting perlunya sebuah metode pembelajaran yang mampu
meningkatkan kesadaran kritis terhadap bahasa siswa. Salah satu
metode tersebut adalah Metode Kesadaran Kritis-Metakognitif
(disingkat M2KM).
Motivasi Fairclough agar senantiasa sadar terhadap
penggunaan bahasa (kesadaran bahasa/KB) (1992:2) dalam
pendidikan bahasa, mengilhami pemikiran atau gagasan
M2KM. Dalam hal ini, pembaca harus mengoptimalkan daya
metakognisinya. Metakognisi merupakan aktivitas berpikir
tentang pikiran atau kegiatan kognisi tentang kognisi. Metakognisi
mengacu pada sebuah pengetahuan yang menitikberatkan pada
proses kognitif yang dimiliki dan produk atau segala sesuatu
yang dihasilkan sebagai akibat dari proses kognitif tersebut.
Metakognisi mengacu pada sebuah kegiatan memonitoring,
meregulasi, dan merelasikan proses terhadap data atau objek yang
dipikirkan. Pengajaran dengan metakognisi dipandang sebagai

83
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
prosedur pedagogi yang dapat meningkatkan kesadaran proses
belajar (menyimak, membaca, menulis) dengan cara memperkaya
pengetahuan metakognitif mengenai diri siswa sebagai penyimak,
penulis, atau pembaca. Cubukcu (2009:54) menyebutnya dengan
istilah self regulation, yakni peringkat individu berpartisipasi dalam
pembelajarannya yang metakognitif, motivasi, dan perilakunya
aktif. Self regulated learning mengontrol pemikiran, sikap dan
perilaku siswa dalam belajar.
Metakoognisi meliputi dua komponen. Pertama, metakog­
nisi awareness. Kedua, metakognisi monitoring dan regulasi.
Metakognisi awareness mengacu pada kesadaran siswa terhadap
pikiran atau strategi belajarnya. Metakognisi ini meliputi tiga
aspek, yakni pengetahuan umum atau kesadaran tentang strategi
dan konsep- konsep yang penting yang berhubungan dengan
tugas, (2) pengetahuan prosedural atau kesadaran bagimana
mengaplikasikan konsep dan strategi (bagaimana menampilkan
tugas tersebut), dan (3) pengetahuan kondisional atau kesadaran
kapan dan mengapa mengaplikasikan pengetahuan dan strategi
belajar seperti itu. Sementara itu, metakognisi monitoring
mengacu pada kemampuan siswa untuk menilai penampilan
terhadap tugas yang dimilikinya.
Metode M2KM memadukan kesadaran berpikir tentang
pikiran tersebut dalam sebuah kesadaran berbahasa kritis. Pem-
bentukan kesadaran atas kognisi terhadap kesadaran bahasa kri-
tis pada diri pembaca harus dilakukan ketika membaca teks. Ke-
sadaran kognisi dan kesadaran berbahasa kritis dilakukan dalam
upaya memaknai bacaan secara kritis, yakni menguak praktik-
praktik berbahasa. Pemaduan konsep atau paradigma berpikir
kritis dalam pembelajaran membaca sudah pernah dilakukan
oleh Kumaravadivelu (1999) dengan memadukan paradigma
Poststrukturalisme Foucauldian dan Postkolonialisme Saidian.
Gagasan Kumaravadivelu ini digagas dari fenomena pembelaja-
ran membaca (second language) di Amerika Serikat. Ia mengamati
kepasifan para siswa di kelas ketika membaca teks karena teks-

84
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
teks yang digunakan guru cenderung berpusat pada kebuda­
yaan Amerika (kasus Amerika Horoes) padahal siswa berasal dari
Timur Tengah dan Asia Tenggara. Dalam konteks itu, Kumara-
vadivelu memandang ada praktik dalam pembelajaran membaca
di kelas tersebut. Kelas dipandang sebagai miniatur masyarakat
yang memiliki aturan dan regulasi, rutinitas, dan ritual.
Prosedur M2KM dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
1) Guru memahami M2KM
2) Guru memiliki komitmen untuk menerapkan M2KM di
kelas
3) Guru merancang pembelajaran yang memungkinkan
diterapkannya M2KM, termasuk materi, alokasi waktu,
media, instrumen, dan penilaian yang akan dihadirkan di
kelas.
4) Guru menerapkan rancangan pembelajaran yang meng­
gunakan M2KM tersebut di kelas. Dalam penerapan ini, guru
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pembelajaran
di kelas. Pada tahap interpretasi dan eksplanasi praxis, guru
memandu siswa, baik secara individu maupun klasikal
sehingga siswa dapat memahami ideologi praxis yang ada
dalam teks.
Langkah-langkah
Gagasan M2KM dalam membaca sangat penting
peranannya dalam kehidupan literasi yang kian mutakhir. Melalui
cara ini, siswa dapat memahami lingkungan sosial dan proses
sosial sekitar kehidupannya secara utuh.
Pembelajaran sastra (bahasa Indonesia) yang mampu
menciptakan perilaku hidup harmonis di lingkungan sekolah
sangat penting dilakukan oleh guru dan siswa. Para guru dapat
menggunakan metode M2KM dalam pembalajaran di kelas.
Adapun langkah-langkah penerapan Metode M2KM ini sebagai
berikut.

85
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
1) Siswa menyadari kemampuan atau ketertarikan dirinya
terhadap bacaan yang akan dibaca.
Sebelum membaca, siswa seharusnya menyadari
kemampuan atau ketertarikan dirinya terhadap bacaan
yang ingin dibacanya. Pembaca yang sadar terhadap
kemampuannya dapat menentukan keberhasilan dalam
membangun pemahaman kritis terhadap bacaan.
2) Siswa menyeleksi bacaan yang akan dibaca
Pada langkah ini, siswa menggunakan kesadaran kognitifnya
untuk memilih atau menyeleksi bahan bacaan sesuai minat
dan kemampuannya.
3) Siswa membuat jadwal kegiatan membaca
Siswa membuat jadwal secara rinci terhadap aktivitas
membaca yang akan dilaksanakan. Siswa dapat memilah
bacaan yang akan atau segera dibaca atau diselesaikan.
4) Siswa membuat catatan atas kata-kata sulit
Siswa membuat catatan atas kata-kata sulit dari teks bacaan.
Kata-kata sulit ini didaftar dan setelah itu ditelusuri makna
atau artinya dalam kamus.
5) Siswa mengindentifikasi properti bahasa yang digunakan
dalam bacaan: metafora, pengataan, leksikalisasi, tran­
sitivitas, atau seven building taks: signifikansi, identitas,
politik, sign and knowledge, dan Lain-lain
6) Siswa melakukan interpretasi terhadap properti bahasa
tersebut. Dalam hal ini, siswa menemukan produksi dan
reproduksi wacana tersebut. Siswa selalu menyadari bahwa
ideologi sebagai sebuah praktik yang beroperasi dalam
proses pemproduksian makna dalam teks untuk menjaga
relasi kekuasaannya.
7) Siswa menjelaskan praktik kekuasaan yang terdapat dalam
wacana.
Pada langkah ini, siswa menjelaskan praktik kekuasaan
yang ada dalam bacaan (wacana) dengan cara mengaitkan

86
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
pada konteks sosial dan konteks budaya yang diacu teks.
8) Siswa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan
membacanya.
Siswa memonitoring kemajuan aktivitas membacanya,
termasuk pemahaman mengindentifikasi, mengeksplorasi
produksi-reproduksi, dan mengeksplanasi praktik ke­
kuasaan.
9) Siswa membuat sebuah simpulan dari kegiatan membaca
yang sudah dilakukannya.
10) Siswa mengevaluasi simpulan (interpretasi) yang sudah
dibuatnya atas kesadaran bahasa kritis dan kesadaran
metakognitif yang sudah dimiliki.
Penerapan M2KM dalam Gerakan Literasi Sekolah
Langkah-langkah M2KM tersebut dapat diaplikasikan
misalnya dalam kegiatan literasi sekolah atau yang dikenal
dengan istilah Gerakan Literasi Sekolah. Metode M2KM ini
sangat relevan dan erat kaitannya dengan tujuan yang diharapkan
pemerintah Indonesia dalam GLS. Beberapa tujuan tersebut
adalah (1) menumbuhkan budi pekerti masyarakat (guru-siswa),
(2) meningkatkan keterampilan membaca masyarakat Indonesia
dalam memahami bacaan-tulisan secara kritis, analitis dan
reflektif, dan (3) menciptakan warga masyarakat (guru-siswa)
yang literat.
3
Berhubungan dengan tujuan GLS tersebut, para
guru dan siswa dapat memanfaatkan M2KM ini sebagai sebuah
metode atau teknik untuk meningkatkan kesadaran kritis dan
kesadaran metakognisinya ketika membaca teks atau beragam
teks.
Guru dan (atau) siswa membuat sebuah perencanaan dalam
melaksanakan literasi sekolah dengan M2KM ini. Perencanaan
yang dapat dilakukan guru dan (atau) siswa sebagai berikut.
3 Periksa Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah yang diterbitkan Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (halaman 1-15 pada tahun 2016). Periksa Manual Pendukung
Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah untuk SMP yang diterbitkan Kemdik-
bud pada tahun 2016.

87
Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
I Nyoman Yasa
1) Guru dan (siswa) menyiapkan bacaan yang disenangi dan
sudah dipertimbangkan nilai-nilai positifnya.
2) Guru dan (siswa) menyiapkan waktu yang proporsional di
kelas (di sekolah) sehingga dapat membaca atau menulis
dengan baik.
3) Guru dan (siswa) menyiapkan media publikasi hasil
aktivitas literasinya, seperti papan publikasi, majalah
sekolah, majalah dinding, dan media lainnya.
4) Guru dan (atau) siswa menyediakan waktu untuk melakukan
diskusi karya literasi
5) Guru dan (atau siswa) menyiapkan teknik apreasiasi dan
penghargaan hasil literasi.
Dalam melakukan aktivitas GLS ini, langkah-langkah yang
dapat dilakukan guru dan atau siswa sebagai berikut.
1) Guru dan (atau) siswa menyadari kemampuan atau
ketertarikan dirinya terhadap bacaan yang akan dibaca.
2) Guru dan (atau) siswa menyeleksi bacaan yang diinginkan
sesuai dengan kemampuan kognitif.
3) Guru dan (atau) siswa membuat jadwal kegiatan membaca.
4) Guru dan (atau) siswa membuat catatan atas kata-kata sulit.
5) Guru dan (atau) siswa mengindentifikasi properti bahasa
yang digunakan dalam bacaan: metafora, pengataan,
leksikalisasi, transitivitas, atau seven building taks: signifikansi,
identitas, politik, sign and knowledge, dan Lain-lain
6) Guru dan (atau) siswa melakukan interpretasi terhadap
properti bahasa tersebut. Dalam hal ini, siswa menemukan
produksi dan reproduksi wacana tersebut. Guru dan atau
siswa selalu menyadari bahwa ideologi sebagai sebuah
praktik yang beroperasi dalam proses pemproduksian
makna dalam teks untuk menjaga relasi kekuasaannya.
7) Guru dan (atau) siswa menjelaskan praktik kekuasaan yang
terdapat dalam wacana.

88
Teori Analisis Wacana Kritis
I Nyoman Yasa
8) Guru dan (atau) siswa melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap kegiatan membacanya.
9) Siswa membuat sebuah simpulan dari kegiatan membaca
yang sudah dilakukannya.
10) Guru dan (atau) siswa mengevaluasi simpulan (interpretasi)
yang sudah dibuatnya atas kesadaran bahasa kritis dan
kesadaran metakognitif yang sudah dimiliki.

89
GLOSARIUM
Aktor Sosial : Partisipan dalam klausa yang dapat
di­representasikan sebagai subjek
(agent) atau objek (goals). Fairclough
membedakan dengan tegas dua elemen
tersebut dalam kalusa, yakni Subjek
atau Objek bisa saja bukan sebagai
aktor sosial. Contoh: John makan buah
apel. John adalah aktor sosial yang
direpresentasikan sebagai agent yang
melakukan kegiatan makan. Apel
adalah objek yang dikenai tindakan.
Walaupun demikian, Apel bukanlah
aktor sosial yang dikenai pemaksaan
atas kehendak (violition ) John. Apel
adalah benda. Dengan demikian, aktor
sosial secara umum berupa binatang
atau manusia, termasuk komunitas atau
entitas abstrak.
Aktivitas : Gee menggunakan istilah praktik seb-
agai istilah lain aktivitas. Istilah aktivitas
ini tiada lain juga digunakan untuk me-
nyatakan aksi/tindakan. Menurut Gee,
penggunaan bahasa seseorang untuk
menyampaikan aksi atau tindakan, sep-
erti aksi menjanjikan, memotivasi, atau
meningkatkan/mengembangkan berb-
agai hal. Walaupun demikian, manusia
seringkali melakukan berbagai aktivitas
dengan menggunakan kata-kata khusus
disertai penegasannya (restructed way).
Aktivitas yang dilakukan oleh manusia
sangat diharapkan dapat memengaruhi
kelompok sosial, institusi, budaya, un-
tuk melakukan aktivitas yang disampai-
kan tersebut. Tugas dari analisis wacana

90
adalah menganalisis struktur atau pola
aktivitas yang ada pada sebuah wacana.
Aktivitas ini memiliki serangkaian akti-
vitas yang relatif sama.
Agen : Agen merupakan aspek penting dalam
merepresentasikan aktor sosial. Secara
gramatikal, agen adalah seorang
partisipan dalam suatu situasi tertentu
yang melakukan tindakan. Agen
secara linguistik mengacu pada tokoh
atau objek direpresentasikan dalam
hubungannya dengan yang lain.
Contoh 1: Polisi menangkap seorang
wanita.
Pada contoh 1: polisi adalah agen
sedangkan wanita adalah pasien. Agen
juga dapat berupa preposisi, seperti dari;
dan nominalisasi.
Agen sosial (social agen), yakni
masyarakat yang terlingkupi dalam
social eve
nts. Social agents merupakan
agen yang tidak “terbeb
askan,”
melainkan secara sosial terkontrol,
walaupun tidak secara total. Agen-agen
memiliki kekuasaan yang berpengaruh,
akan tetapi tidak sampai mereduksi
pengaruh “kekuasaan social structure dan
practices, karena agen- agen sebenarmya
dipersiapkan untuk melakukan aksinya
dengan serangkaian alasan-alasan yang
mendukung. Oleh karena itu, agen
sosial bukanlah agen yang bebas karena
agen sosial secara sosial terbentuk dan
aksinya secara sosial diteentukan. Sosial
agen menyeting (set-up) hubungan/reasi
elemen-elemen teks, misalnya grammar
dtentukan sesuai dengan keinginan
(yang diinginkan).
Analisis Wacana Kritis: Sebuah pendekatan untuk menganali-

91
sis wacana. Pendekatan Analisis Wa-
cana Kritis ini memandang bahasa
sebagai sebuah praktik sosial. Sebagai
sebuah praktik, bahasa digunakan un-
tuk mengekspresikan ideologi dan relasi
kekuasaan. Analisis Wacana Kritis bu-
kan hanya memerhatikan kata-kata pada
sebuah bacaan, melainkan mennganali-
sis konteks sosialnya. Pendekatan ini
pertama kali dikembangkan oleh Nor-
man Fairclough pada tahun 1989. Fair-
clough memperkenalkan tiga kerangkan
dimensional untuk menganalisis teks,
yakni deskripsi, interpretasi, dan ekspla-
nasi. Pada tahap deskripsi, penganali-
sis melakukan analisis pada teks. Pada
tahap deskripsi ini, penganali
sis tidak
melakukan
―penghakiman‖ terhadap
nilai te
ks. Tahap interpretasi fokus
pada relasi teks dan interaksi yang mana
teks dipandang sebagai sebuah produk
dari sebuah proses produksi dan sebagai
sumber penginterpretasian. Eksplanasi
menganalisis hubungan antara interaksi
dan konteks sosial dengan memertim-
bangkan pengaruh-pengaruh sosial dari
proses produksi dan interpretasi. Eagle-
ton dan Van Dijk menyatakan bahwa
pengaruh-pengaruh ideologi teks meru-
pakan fokus studi analisis wacana kri-
tis. Analisis bahasa dapat dipahami seb-
agai sebuah upaya untuk mengekplorasi
hubungan sistemik antara teks, praktik
wacana, dan praktik sosiokultural.
Dalam analisis teks, teks tidak (jangan
sampai) diisolasi dari analisis praktik
wacana dan praktik sosiokultural.
Backgrounding : Sebuah bentuk dari ekslusi, tetapi tidak
seradikal suppression. Van Leeuwen

92
menyatakan bahwa pengekslusian aktor
sosial mungkin saja tidak diperlihatkan
melalui pemberian tindakan, tetapi
disampaikan dalam teks dan kita dapat
menebaknya tetapi tidak jelas siapa
yang dimaksud. Mereka tidak terlalu di
ekslusi, tetapi hanya dijadikan sebagai
latar (background) saja.
Capital : Capital berhubungan dengan konsep
manfaat dan kekuasaan. Seseorang yang
menguasai capital akan mendapatkan
kebermanfaatan daripada orang yang
tidak menguasai/memiliki. Bourdieu
membedakan tiga jenis capital, yakni
social capital, economic capital, dan
cultural capital. Capital menyertakan atau
mengakomodasi aspek fisikal, objek
material, dan fenoma yang abstrak.
Cultural Capital : Cultural Capital mengacu pada sebuah
akses pada pendidikan, pengetahuan,
kebiasaan-kebiasaan, dan keterampilan
(termasuk social skill) yang akan dapat
membantu seseorang memiliki sebuah
status dalam kehidupan masyarakat.
Dekonstruksi : Dekonstruksi bukanlah sekadar praktik
pembongkaran belaka, yakni pembong-
karan kesalahan, melainkan lebih
sebagai upaya memeriksa bagaimana
kebenaran- kebenaran itu diproduksi
dalam dan melalui formasi-formasi
sosial dan politik.
Economic Capital : Economic Capital (Modal Ekonomi)
mengacu pada faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk memroduksi
barang atau pelayanan, termasuk tanah,
tenaga kerja, dan manajemen.
Ethos : Ethos berhubungan dengan serangkaian
identitas sosial yang secara implisit
ditandai melalui ucapan (verbal ) dan

93
gerak tubuh (nonverbal ). Fairclough
memberikan contoh praktisi kesehatan
(pengobatan) yang menata properti /
perangkat alat bedah seperti rumah
pasien dengan menata benda-benda dan
pengubahan dekorasi
Ideologi : Ideologi adalah representasi kehidupan
yang diadakan untuk menciptakan,
memelihara, dan mengubah relasi sosial
kekuasaan, dominasi, dan eksploitasi.
Identitas : Penggunaan bahasa oleh seseorang
sebagai salah satu upaya mendapatkan
pengakuan identitas atau peran yang
pasti dalam kehidupan. Salah satu
contoh yang menggambarkan identitas
ini adalah percakapan antara dokter
dan pasiennya. Dokter sering berbicara
kepada pasien tertentu dengan
menggunakan cara-cara komunikasi
yang kurang baik dan seringkali terlalu
inklusif kepada pasien. Akan tetapi,
dokter lain memperlihatkan teknik
berkomunikasi yang berbeda ketika
sedang merawat pasien yang lainnya.
Kategorisasi : Kategorisasi (pengkategorian) meru­
pakan sebuah cara merepresentasikan
aktor sosial. Kategorisasi ini dibedakan
menjadi dua oleh van Leeuwen
meliputi fungsionaliasi dan identifikasi.
Fungsionalisasi menyangkuat apa yang
dikerjakan atau dilakukan seseorang
dan identifikasi menyangkut identitas
seseorang sebagai apa.
Kesantunan (Politness) : Kesantunan berhubungan dengan
kekuatan. Kekuatan memusatkan pada
kealamiahan tindak tutur ketika men-
janjikan, memberitakan, meminta,
menyarankan, dan lain-lain. Kesantu-
nan dibangun atas pemikiran bahwa

94
partisipan dalam melakukan interaksi
bertujuan untuk meyakinkan tidak ada
“kehilangan
muka‖.” Analisis wacana
kriti
s memandang bahwa kesantunan
secara implisit memperlihatkan relasi
kekuasaan.
Koneksi : Menurut Gee, segala sesuatu dalam
kehidupan ini atau di dunia ini saling
berhubungan dan relevan satu dengan
lainnya melalui beragam cara. Gee
memberikan contoh bahwa jika
seseorang menyampaikan Malaria
membunuh banyak orang di negara-
negara miskin, Malaria memiliki
hubungan dengan kemiskinan. Akan
tetapi, jika seseorang menyampaikan
bahwa Malaria membunuh banyak
orang lintas negara di belahan dunia,
tidak ada hubungannya. Beberapa
koneksi itu muncul/ ada sangat
bergantung pada perkataan dan
perbuatan seseorang itu. Contoh lainnya
adalah upaya pemerintah United States
memberikan bantuan pengobatan
(kesehatan) kepada masyarakat sebagai
bentuk sosialisme. Pemerintah US
mengundang media di US untuk meliput
kegiatannya. Masyarakat yang tinggal di
US akhirnya mengetahui bahwa liputan
media tersebut memiliki koneksi dengan
kegiatan kesehatan oleh pemerintah US
tersebut.
Konektivitas dan Argumentasi: Konektivitas dan argumentasi
(Connectives and argumentation) ini
berhubungan dengan kohesi. Fairclough
menekankan bahwa setiap tipe teks
memiliki perbedaan pada klausa yang
digunakannya.
Konstruksi : Tindakan atau upaya mereprsentasikan

95
tubuh dan peran sosial perempuan
melalui paham, cara pandang kelompok
tertentu (; partriarkhi). Pengonstruksian
seringkali membentuk citra yang tidak
sesuai dengan realitas. Fairclough
menyatakan bahwa representasi sebagai
sebuah proses konstruksi sosial terhadap
praktik. Dalam dunia representasi,
ada bagian- bagian yang diinklusi dan
diekslusi dan ada yang diposisikan
sebagai foreground dan background.
Kontrol Interaksional: Kontrol interaksional (Interactional
Control) ini berhubungan dengan
struktur teks. Properti ini memerhatikan
pengambilalihan topik (turn taking ),
pemilihan dan pengubahan topik,
kontrol terhadap agenda, dan bagaimana
interaksi dimunculkan/diperlihatkan
dan diakhiri. Sebuah tuturan dapat
memunculkan relasi kekuasaan yang
terbentuk disepanjang tuturan.
Linguistik Kritis : Linguistik Kritis merupakan sebuah tipe
analisis wacana yang dikembangkan
oleh kelompok Universitas Anglia
Timur pada tahun 1970-an. Wacana
media adalah salah satu fokus
kajian mereka. Linguistik Kritis
ini dikembangkan atas dasar teori
Linguistik Sistemik Fungsional M.A.K.
Halliday. Teori Linguistik Sistemik
Fungsional ini memandang teks bersifat
multifungsional, selalu secara simultan
menampilkan dunia (fungsi ideasional),
relasi sosial dan identitas (fungsi
interpersonal). Teks tidak saja dilihat/
dipandang sebagai bangunan yang
disusun oleh sistem terpilih, kosakata,
tata bahasa, dan Lain- lain. Wacana
dipandang sebagai sebuah medan (field)

96
yang mengandung proses ideologi dan
proses bahasa. Secara spesifik, pilihan
bahasa yang ada pada teks sebagai
pembawa ideologi. Linguistik Kritis
menekankan pada peran pilihan kosakata
dalam proses pengkategorisasian. Salah
satu contohnya, kajian diskriminasi
gender dalam laporan media bagaimana
mempertimbangkan perbedaan peng­
gunaan kosakata yang mengacu pada
perempuan dan laki-laki.
Makna kata : Makna kata (Word meaning) berhubu­
ngan dengan kosakata. Fairclough
menekankan bahwa kata-kata yang
sama memiliki makna yang berbeda.
Pergantian makna kata dapat menjadi
indikator kunci pertarungan wacana
dan perubahan formasi wacana.
Metafora : Metafora (Metaphor) berhubungan den-
gan kosakata. Fairclough menyatakan
bahwa struktur metafora sebagai cara
menyampaikan pikiran, tindakan,
sistem keyakinan dan pengetahuan.
Metafora ternatu­ ralisasikan dalam latar
budaya dan institusi secara tersembunyi.
Modalitas : Modalitas (Modality) berhubungan de­
ngan grammar (tata bahasa). Properti ini
mengacu pada kekuatan proposisi atau
pernyataan yang menyertainya. Properti
modalitas ini diperlihatkan dengan
menggunakan modal auxiliary verbs (kata
kerja bantu): mungkin, seharusnya,
dan keterangan (modal adverbs ): secara
jelas. Modalitas digunakan untuk
menyembunyikan/melindungi teks
yang diekspresikan oleh pembicara
dan penulis kepada lawan bicara dan
masalahnya (subject-matter).

97
Modalitas digunakan untuk menyem­
bunyikan/melindungi teks yang
diekspresikan oleh pembicara dan
penulis kepda lawan bicaranya dan
masalahnya. Kata ganti, modal
auxilieris, tindak tutur, dan yang
Lainnya, termasuk dalam modalitas.
Partisipan : Partisipan merupakan setiap orang
yang menjadi bagian dari sebuah
aktivitas sosial. Partisipan ini dapat
ditemukan dalam sebuah klausa.
Sebuah klausa terbentuk atas tiga
komponen, yakni partisipan, proses,
dan keterangan. Partisipan dalam
sebuah klausa digunakan untuk
merepresentasikan partisipan-partisipan
dalam kehidupan sehari-hari (real life).
Walaupun demikian, partisipan tidak
selalu diekspresikan melalui bahasa
secara eksplisit atau cara-cara yang
adil (seimbang). Beberapa partisipan
direpresentasikan aktif sedangkan
partisipan lainnya pasif atau terekslusi.
Pemasifan : Pemasifan (Passivization) merupakan
sebuah istilah yang digunakan dalam
grammar. Istilah pemasifan ini mengacu
pada sebuah transformasi kalimat
aktif menjadi kalimat pasif. Dalam
perspektif analisis wacana, pemasifan
memberikan efek backgrounding kepada
aktor atau perannya dalam aktivitas
yang dilakukan.
Pemasifan Aktor Sosial:
Aktor sosial direpresentasikan
sebagai “yang melakukan” sesuatu
(
sebaga aktor/agen) atau sebagai
pihak yang melakukan sesuatu untuk
pihaknya. Pemasifan aktor sosial
terjadi ketika pembentuknya (the former)
diaktifkan. Pengaktifan aktor sosial

98
menyebabkan sesuatu dapat terjadi
dan memengaruhi lingkungannya. Pada
sisi lain, pemasifan aktor sosial dapat
diinterpretasikan sebagai jejak linguistik
yang melemahkan wacana dengan cara
menjadikan aktor pasif (pemasifan
aktor) sehingga tidak dapat memberikan
pengaruh terhadap lingkungannya.
Pengataan (Wording) : Kata (wording ) berhubungan dengan
kosakata. Wording mengacu pada ragam
cara
sebuah makna di ”katakan/w orded.”
Pengalaman/objek yang sama, tetapi
dikatakan berbeda, misalnya ada yang
mengatakan asylum seeker, tetapi ada
juga yang mengatakan queue jumper,
“terorist”.
Politeness : Teori politeness fokus pada cara-cara
seseorang memerlihatkan diri dan
memelihara hubungan sosial, misalnya
dengan menggunakan beragam variasi
bahasa verbal dan strategi nonverbal
atau menghindari bicara yang
memungkinkan konflik dan disharmoni
sosial. Politeness berhubungan erat
dengan kekuasaan dan relasi-relasi
kuasa.
Politik (Politics) : Istilah politik bukan dimaksudkan
sebagai politik dalam ilmu pemerintah
dan partai. Bahasa digunakan untuk
membangun dan juga merusak situasi
yang baik. Istilah politik ini muncul
karena situasi sosial yang baik dan
ragam pengakuannya sangat bergantung
pada kekuasaan seseorang dan statusnya
dalam kehidupan masyarakat.
Praktik sosial : Social practice (praktik sosial) memadu-
kan beberapa elemen wacana dan bukan
wacana, seperti aksi dan interaksi, relasi
sosial, individu (dengan keyakinan,

99
kebiasaan, dan sejarah pengalaman
hidupnya, dan lain-lain), pengalaman/
peristiwa-peristiwa kehidupan duniawi,
dan Discourse. Praktik sosial merupakan
cara-cara khusus bertindak yang tidak
dapat dilepaskan dari orang/kelompok-
kelompok yang membentuknya/
membayanginya. Dalam sebuah praktik
sosial, ada tiga wujud (figur) wacana.
Pertama, figur wacana sebagai bagian
dari aktivitas sosial di dalam sebuah
praktik. Bagian dari pekerjaan (pelayan
toko) menggunakan bahasa dengan cara
khusus, misalnya. Kedua, figur wacana
ada di dalam representasi. Aktor sosial di
dalam praktik memroduksi representasi
praktik-praktik lain. Mereka melakukan
rekontekstualisasi terhadap praktik lain.
Setiap aktor sosial yang berbeda akan
merepresentasikan dirinya secara ber-
beda menurut posisinya dalam praktik.
Ketiga, figur wacana dalam proses men-
jadi (being) di dalam membentuk identi-
tas dirinya –misalnya identitas seorang
politikus yang secara semiotik mengon-
struksi dirinya. Social practices dapat di-
maknai sebagai cara mengontrol struk-
tur dan mengekslusi yang lain dalam
kehidupan sosial. Praktik sosial terjalin
secara serempak dengan menggunakan
cara-cara yang khusus dan silih bergan-
ti. Sehubungan dengan cara-cara khusus
ini, ada hubungan dengan wacana poli-
tis, yang mengagungkan praktik-praktik
argumentasi. Menurut Fairclough, anal-
isis terhadap arugementasi-argumentasi
dalam wacana sangatlah penting, baik
dalam wacana naratif maupun wacana
genre lain. Praktik sosial mengalami

100
hubungan timbal balik antara perspektif
struktur sosial, aksi sosial, dan agensi.
Praktik sosial secara relatif menstabil-
kan bentuk aktivitas sosial. Setiap prak-
tik adalah artikulasi elemen-elemen sos-
ial yang berbeda dalam konfigurasi yang
relatif stabil yang diwujudkan dalam
sebuah teks.
Produksi : Produksi mengacu pada sebuah proses
termasuk diantaranya penciptaan teks.
Produksi teks memiliki tujuan tertentu,
dibuat oleh seseorang (tertentu), dan
dalam hubungan-hubungan serupa apa
sehingga teks itu diciptakan. Produksi
teks merupakan sebuah praktik
diskursif, khususnya pada aspek praktik
sosial. Produksi teks melingkupi proses
internalisasi struktur sosial dan konvensi
yang ada dalam komunitas tertentu.
Dengan kata lain, pada setiap teks yang
diproduksi terkandung konvensi sosial.
Relasi Persahabatan (Relationship): Bahasa digunakan untuk
membangun dan menjaga hubungan
persahabatan dalam segala hal.
Seseorang menggunakan bahasa untuk
membangun hubungan persahabatan
dengan orang lain, kelompok lain, dan
institusi lain.
Representasi : Representasi secara umum didefinisikan
sebagai sebuah kreasi imajinasi
(mental) yang diwujudkan melalui
seni, bahasa, dan Lain-lain, yang mana
pemaknaan dapat diciptakan. Dalam
konteks ini, representasi mengandung
praktik penandaan dan sistem secara
simbolik dalam pemroduksian makna
(pemaknaan) tersebut.
Reproduksi : Reproduksi berupaya untuk melang­
gengkan status quo. Reproduksi digu­

101
nakan sebagai alat untuk melang­
gengkan aturan-aturan (kon­vensi) yang
ada dalam wacana dominan yang
menghegemoni dalam kurun waktu
lama.
Resistensi : sebuah reaksi oleh subjek sosial terhadap
kekuasaan. Pada setiap masyarakat,
kelompok dominan senantiasa men­
ciptakan hegemoni dan ini menjadi
sebuah commonsens. Dalam hal resistensi
ini, subjek sosial melakukan afirmasi
atau penolakan.
Social Capital : Social Capital (Modal Sosial) mengacu
pada hubungan individu atau sosial
seseorang dalam sebuah kelompok atau
organisasi.
Seven Building Task : Bahasa di dalam penggunaannya ada­
lah sebuah alat. Sebagai sebuah alat,
bahasa dalam penggunaanya bukan
hanya untuk menyampaikan sesuatu
atau melakukan sesuatu, tetapi juga
membangun sesuatu (build things ) di
dunia. Seseorang secara terus-menerus
dan secara aktif membangun dunianya
melalui bahasanya, sistem simbol non-
bahasanya, cara berpikirnya, nilai dan
keyakinannya. Seorang menulis atau
berbicara secara pasti menggunakan
salah satu dari tujuh bagian realitas.
Ketujuh bagian realitas itu diistilahkan
dengan seven building taks dari bahasa.
Ketujuh Seven Building Task yang di-
maksud adalah (1) signifikansi (signifi-
cance), (2) aktivitas/praktik (activities/
practice), (3) identitas (identities), (4)
relasi (relationship), (5) politik (politics),
(6) koneksi (connections), dan (7) sistem
tanda dan pengetahuan (sign systems and

102
knowledge).
Signifikansi : Signifikansi dimaknai sebagai sebuah
upaya menjadikan segala sesuatu itu
penting atau berarti. Upaya menjadikan
segala sesuatu menjadi penting tersebut
dengan menggunakan bahasa melalui
berbagai cara yang sudah pasti. Melalui
cara-cara yang sudah dipastikan, segala
sesuatu menjadi penting, kurang pent-
ing, bahkan tidak penting sama sekali.
Secara gramatikal, penyusunan infor-
masi dapat dilakukan dengan menem-
patkan informasi utama (foregrounded
information) pada klausa utama, dan
informasi tidak utama (bacgrounded in-
formation) pada klausa subordinat. In-
formasi utama (foregrounded information )
adalah informasi yang difokuskan dan
menjadi bagian yang disignifikan.
Sistem Tanda dan Pengetahuan (Sign System and Knowledge):
Bahasa digunakan oleh masyarakat seb-
agai upaya untuk membangun atau me-
mahami beragam sistem tanda (sistem
komunikasi) dan dasar pengetahuan ma-
syarakat yang ada di dunia. Banyaknya
bahasa beserta dialek yang dimilikinya
menunjukkan sistem tanda yang berbe-
da. Sistem tanda yang berbeda merep-
resentasikan perbedaan pandangan
terhadap pengetahuan dan keyakinan.
Seseorang dapat menggunakan bahasa
untuk membuat sistem tanda yang pasti
dan bentuk pengetahuan dan keyakinan
yang baik atau buruk; nyata atau rekaya-
sa (situasi yang dikondisikan). Dengan
demikian, seseorang dapat membuat
sebuah sistem tanda memiliki prestise
(nilai istimewa) atau mengklaim penge-
tahuan terhadap sistem tanda yang lain.

103
Gee menyatakan bahwa Sign Systems and
Knowledge secara jelas memiliki hubun-
gan politics task dalam mengonstruksi
prestise sistem tanda atau cara pandang
dunia dalam menciptakan kehidupan
masyarakat yang kondusif (social good).
Struktur sosial : Struktur sosial (social structure) meru-
pakan entitas yang sangat abstrak. Se-
gala bentuk hubungan atau relasi yang
dimungkinkan secara struktural dan
kejadian-kejadian nyata, antara struc-
ture dan events, sangat kompleks. Setiap
peristiwa tidak secara langsung sebagai
efek dari struktur sosial yang abstrak
tersebut, akan tetapi ada mediasi rela-
tionship, yakni ada entitas intermediasi
organisasi antara structures dan events,
yang disebut sebagai praktik sosial (so-
cial practices).
Tata Wacana (Order of Discourse): Keseluruhan praktik wacana
pada sebuah institusi dan keterhubungan
satu dengan lainnya.
Teks : Teks dipandang sebagai salah satu pen-
garuh struktur sosial dan praktik sosial.
Sebuah teks tidak dapat dipisahkan dari
faktor-faktor yang membentuk. Teks
menurut Fairclough merupakan bagian
dari peristiwa-peristiwa sosial (sosial
eve
nts). Menurut Fairclough, ada dua
“kekua
saan” yang membentuk teks,
yakni (1) struktur sosial (social struc-
ture) dan praktik sosial (social prac-
tice), dan (2) agen sosial (social agen).
Teks dipandang sebagai peristiwa sosial
memberikan pengaruh (sebab-akibat),
seperti membawa perubahan terhadap
pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai,
dan sebagainya, termasuk identitas
gender. Dalam Analisis Wacana Kritis,

104
teks dipandang sebagai sebuah pabrik
memanifestasikan ideologi dan praktik
kekuasaan. Dalam teks, ada dua proses
yang fundamental terjadi, yakni proses
kognisi dan proses merepresentasikan
dunia.
Tubuh : Tubuh sebagai kerangka atau struktur
fisik atau material manusia sebagai
sebuah entitas organik. Tubuh
berimplikasi pada politik, kekuasaan,
dan peran sosial perempuan subaltern
atau tubuh individu, tubuh sosial, dan
tubuh bio- politik.
Transitivitas : Transitivitas merupakan sebuah sistem
representasi. Peran transitivitas dalam
sebuah klausa sangat penting. Melalui
sistem transitivitas ini, seseorang merep-
resentasikan persepsinya dan pengala-
mannya mengenai kehidupan dunia
sekitarnya. Transitivitas sangat penting
dalam analisis wacana karena dapat
merepresentasikan cara-cara meman-
dang dunia yang berbeda atau dalam
mengonstruksi realitas, misalnya, den-
gan merepresentasikan beberapa orang
sebagai aktor dan lainnya sebagai tujuan
(sasaran). Transitivitas ini berimplikasi
pada individu atau kelompok yang di-
representasikan sebagai agen atau power
(Baker, 2011:153). Transitivitas dan
tema ini berhubungan dengan tata ba-
hasa. Transitivitas merupakan dimenasi
ideasional klausa dalam tata bahasa dan
yang memerhatikan proses dan bagian-
bagian yang dikodekan dalam klausa.
Ada empat tipe proses, yakni proses
relasional, aksi (tindakan), peristiwa,
dan mental.

105
DAFTAR PUSTAKA
Barreto, Adriana Maritza, Florez, Roberto Edith Eliana, dan
Rodriguez, Arias Leonor Gladis. 2013. Increasing Critical
Thinking Awarness through the Use of Task Based
Learning Approach. Hallazgos, 11 (21), hlm. 189-205.
Blommaert, Jan. 2005. Discourse. Belgia, Cambridge University
Press. Cubukcu, Feryal. 2009. Learner Autonomy, Self
Regulation and Metacognition. International Electronic
Jorunal of Elementary Education, Vol. 2, No. 1, hlm. 53-
64. Url. https://eric.ed.gov/?id=EJ1052012. Diakses 10
Agustus 2021.
Davis, Pauline. 2007. Discourse about Reading among Seven-and
Eight-Year-Old Children in Classroom Pedagogic Cultures.
Journal of Early Childhood iteracy, 7 (2), hlm. 219-252.
Fairclough, Norman. 2003. Analyzing Discourse Textual Analysis
for Social Research. London: Routledge.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis, The
Critical Study of Language. London: Longman.
Figneido, Debora. 2008. Critical Discourse Analysis: Toward
a New Perspective of EFL Reading Critical Discourse
Analysis. Iiha do Destero, Florianopolis, No. 38, January,
hlm. 139-154.
Furma, Yelena. 2010. Writing the Body in New Women’s Prose:
Sexuality and Textuality in Contemporary Russian. Disertasi
tidak Diterbitkan. Berkeley: University of California.
Gee, Paul James. 2011a. Discourse Analysis: What Makes It
Critical. Dalam Rogers, Rebecca (Ed), An Introduction to
Critical Discourse Analysis in Education Second (hlm. 23-
45). New York and London: Routledge.

106
Gonzalez, Maria Angeles Gomez. 2001. Some Reflection on
Systems Functional Grammar: with a focus on theme.
Journal Word, 52 (1), hlm. 1-28.
Graber, Philip L. 2001. Context in Text: A Systemic Functional
Analysis of The Parable of The Sower. Disertasi tidak
diterbitkan. Texast: Texast Cristiant University.
Haratyan, Farzaneh. 2011. Halliday’s SFL and Social Meaning.
International Conference on Humanities, Historical and Social
Sciences IPEDR, vol. 17, LACIST Press, Singapore.
Jeffries, Lesley. 2007. Textual Construction of The Female Body.
Macmillan: Palgrave. Knowles, Murray dan Malmkjaer,
Kirsten. 2003. Language and Control in Children’s
Litertaure. New York: Routledge.
Kress, Gunter dan van, Lewwen, Theo. 2001. Multimodal
Discourse, The Modes and Media of Contemporary
Communication. London: Arnold.
Kumaradivelu, B. 1999. Critical Classroom Discourse Analysis.
TESOL Quartely, 33 (3), hlm. 453-484.
Lakshmanann, Subi Manika. 2011. A Critical Discourse
Analysisi of Neocolonialism in Patricia McCormic’s Sold.
Dalam Rogers, Rebecca (Ed), An Introduction to Critical
Discourse Analysis in Education (hlm. 68-92). New York:
Routledge.
Locke, T. 2004. Critical Discourse Analysis. London: Cromwell
Press.
Malaee, Narjes dan Abbassian, Reza Gholam. 2015. The Effect
of Critical Discourse Analysis Instruction on Iranian EFL
Learners’ Reading Comprehension and Oreintation. The
Journal of Applied Linguistics, 8 (17), hlm. 1-20.
Mills, Sara. 2003. Routledge Critical Thinkers, Michel Foucoult .
London: Routledge. Ming-Ching, Feng. 2009. Reader
Stance and a Focus on Gender Differences. Journal
CCSEEnglish Language Teaching, 2 (4) , Desember, hlm.

107
82-90.
Rosser, Miriam Margaret. 2002. Feminine Textualities of
Loss, Mourning, and Compensation Locating the Gendered
Postcolonial Subject at “Home” and in Relation to the “Nation”:
A Study of Five Francophone Novels by Simone Schwarz-Bart,
Maryse Conde, Wewere Liking, Assia Djebar, and Calixthe
Beyala. Disertasi tidak Terbitkan. Kolombia: University of
Colombia.
Santoso, Anang. 2016. Critical Perspective on Language Teaching
to Establish Indonesian Society that Have Critical
Language Awareness. American Journal of Educational
Research, 4 (3), hlm. 273-282.
Santoso, Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis Menguak Bahasa
Membongkar Kuasa. Bandung: Mandar Maju.
Sarup, Madan. 2002. Identity, Culture, and The Postmodern World.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Song, Lichao.. 2010. The Role of Context in Discourse Analysis.
Journal of Language Teaching and Research, 1 (6), hlm.
876-879.
Synott, Anthony. 1993. The Body Social: Symbolism, Self and Society.
London: Routledge. Thomson, B. John. 1984. Studies in
The Theory of Ideology. California: University of California
Press
Van Dijk, Teun. 2009. Society and Discourse How Social Context
Influence Text and Talk. New York: Cambridge University
Press.
Van Dijk, Teun A. 2000. Ideology and Discourse A
Multidisciplinary Introduction. Universitat Oberta de
Cataluya: Open University.

108
Wodak, Ruth dan Meyer, Michael. 2008. Critical Discourse
Analysis: History, Agenda, Theory, and Methodology.
QXP. Hlm. 1-33.
Yasa, I Nyoman & Roekhan. 2016. Gender Representation on
Student Textbooks in the Context Practice of Democracy.
Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Bahasa,
Sastra, dan Kajian Budaya “Imagining Language,
Literature and Culture in Cosmopolitan World”, Program
Studi Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Brawijaya, Malang, 29 Oktober 2016.

109
INDEKS
A
Aktor sosial 61, 99
Amerika Serikat 83
Asia iii, 27, 28, 84
Australia 5
Ayu Utami 23
B
Balai Pustaka 41
Bali ii
Belanda iii, 20, 41, 50, 75
Belgia 75, 76, 77, 105
Beyala 30, 107
Blair 38
Blommaert 64, 65, 66, 67, 68, 69,
70, 71, 73, 74, 75, 76, 77,
78, 105
C
Cixous 32, 33
Conde 30, 107
D
Djebar 30, 107
E
Eagleton 40, 58, 91
F
Fiarclough 5
Figneiredo 82
Firth 7, 8, 9, 10
Foucault 5, 39, 46, 53
Fowler 5, 63
Furma 32, 33, 105
G
Gee 17, 23, 24, 25, 26, 27, 89,
94, 103, 105
Glasnost 32
Gonzalez 11, 16, 106
Graber 5, 7, 57, 106
Gramsci 45
Gumperz 66, 67, 70, 71
H
habitus 28, 29, 75
Hall 45
Halliday 5, 6, 7, 8, 9, 11, 13, 14,
15, 16, 57, 65, 95, 106
Haratyan 11, 15, 16, 106
Harrison 5
Hermenutika 29
heterodoxa 29, 75
I
Indonesia iii, 31, 32, 41, 49, 50,
58, 79, 80, 81, 84, 86
J
Jeffries 33, 34, 51, 106
Jepang iii, 41
K
konstruksi sosial 61, 95
Kress 5, 16, 17, 21, 22, 23, 27,
106
Kumaravadivelu 83, 84
L
Lakshmanan 27, 28, 40
Lamb 37, 38

110
Likings 30
Linguistik Fungsional Sistemik 5,
6, 7, 8, 9, 16, 57
M
Malinowski 7, 8, 9, 14
Malinowsky 8
McCormick 27
Meyer 2, 108
Moeis 50
N
neokolonialisme 28
Nigeria 77
O
Orde Baru 20, 45, 58
P
Postkolonial 27, 32
Praktik sosial 59, 60, 61, 98, 99,
100
Pramoedya 19, 20, 45, 46
Prancis 31, 33, 75, 77
R
Ricoeur 29
Rosser 30, 31, 32, 107
Rusia 32, 33
S
Said 30, 31, 40, 41, 42
Santoso iv, 12, 57, 63, 81, 82, 107
Schegloff 73
Schwarz 30, 107
semiotik kritis 2
Soeharto 81
Soethama 50
Song 64, 107
Sosiolinguistik 5, 6, 57
Spanyol 34, 35
struktur dominan 2
subaltern 28, 49, 50, 104
T
Thomson 43, 107
Timur Tengah 84
Tohari 58
U
UK 34, 37, 38
V
Van Dijk 2, 19, 91, 107
van Leeuwen 16, 17, 20, 21, 22,
23, 37, 93
W
Wacana multimodal 22
wacana tandingan 4
Wahyuni 28, 29, 75
Wijaya 50
Wodak 17, 20, 29, 37, 55, 73, 108
Y
Young 5

111
TENTANG PENULIS
I Nyoman Yasa lahir pada tanggal 5 Januari
1983. Laki- laki berbintang Capricorn ini
berasal dari Desa Tianyar, Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali. Ia
sangat bersyukur melalui asuhan kedua
orang tuanya, I Made Badung dan Ni Luh
Sasih, ia mendapatkan pengalaman hidup
yang sangat berarti.
Selain orang tua, keluarga, dan masyarakat lingkungannya,
I Nyoman Yasa bersyukur atas didikan para guru di SD Negeri
6 Tianyar, SMP Negeri 2 Kubu, SMA Negeri 2 Amlapura, ia
mendapat “anugerah” pengalaman dan pengetahuan yang
berarti. Apalagi ketika pada tahun 2001-2005, Ia ditempa oleh
para dosen IKIP Negeri Singaraja dan tahun 2008-2010, ia dididik
dengan baik oleh para dosen UGM bidang Ilmu Sastra, dan Ia
mendapatkan pengetahuan yang memadai yang dapat digunakan
sebagai bekal hidup pada pendidikan formal terakhirnya
(S3) di Universitas Negeri Malang.
Masa kecil hingga remaja dihabiskan oleh I Nyoman
Yasa untuk membantu orang tua bekerja, belajar, khususnya
menggeluti dunia tulis-menulis sastra. Beberapa karya sastra
(puisi dan prosa liris) dimuat di Koran Bali Post, Koran Denpost,
antologi, dan Majalah Burat Wangi. Karya yang paling berkesan
dibenaknya adalah puisinya berjudul “Pemahat Matahari” dan
“Purnama Berdarah” yang mana koleksi karya sastranya hilang
ketika mengajukan permohonan sebagai mahasiswa S2 Ilmu
Sastra di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kini, I Nyoman Yasa, bekerja sebagai tenaga pengajar di
Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Selain rutinitas
mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada
masyarakat, I Nyoman Yasa juga aktif menulis artikel, book

112
chapter, dan buku. Beberapa buku yang telah diterbitkan adalah
Teori Sastra dan Penerapannya (Penerbit Bandung), dan
Poskolonial: Teori dan Penerapannya dalam Sastra Mutakhir
(Penerbit Yogyakarta), Buku Sastra Lisan. Harapan kedepannya,
Ia bisa menjadi penulis aktif (selain sebagai pengajar-peneliti di
UNDIKSHA) yang dapat menyuarakan “hak-hak” kaum marjinal
dan sukses menjadi suami yang baik dari istri Ermadwicitawati,
S.Pd., M.Pd. dan ayah bijak bagi anak-anaknya: Krispa Pratama
(Almarhum), Keswa Kayana, Ambika Tanaya Varenya, dan
Krisva Gherand.

uku ini ditulis untuk memberikan satu
perspektif kritis atas fenomena media,
Bkhususnya sastra dan sarana kekuasaan
lainnya di Indonesia. Fenomena itu mulai dari
orientalisme Eropa melalui ekspansinya di
Indonesia, fenomena hasrat Jepangisasi Asia,
Stigmatisasi PKI, bahkan hingga fenomena
pemberian identitas inferior kepada kelompok
sudra di Bali. Pemberian label judul Teori Analisis
Wacana Kritis Relevansi Sastra dan Pembelajarannya
pada buku ini tidak memaksudkan sebagai sebuah
teori atau disiplin baru, tetapi judul tersebut
mengabstraksikan bahwa isi buku ini
berhubungan dengan sastra yang dianalisis dari
multiperspektif kritis atau interdisiplineritas
teori/pendekatan.
View publication stats
Tags