Fikih mengenai akad Wadiah dalam ekonomi syariah.pdf

Tophbeifong5 9 views 13 slides Oct 05, 2024
Slide 1
Slide 1 of 13
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13

About This Presentation

Makalah


Slide Content

AKAD WADI’AH
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Tabarru
Dosen pengampu Dr. KH. Mustofa, M.Ag















disusun:
Lestari Mardiana 1213020098
Makbulah Nura 1213020103
Nur Hasanah 1213020140






JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2024

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah
juga kebaikan-Nya yang melimpah, sehingga dapat terselesaikannya penulisan makalah
dengan judul “Akad Wadi’ah”. Tidak lupa juga shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Rasulullah saw.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai akad
wadi’ah. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. KH.
Mustofa, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Fikih Tabarru yang telah
memberikan tugas ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah ikut serta dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik dari
segi referensi maupun tata tulis. Oleh karena itu, mohon untuk saran, masukan, dan
kritik yang membangun guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat, terima kasih.



Bandung, 22 Maret 2024


Penulis

ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
A. Definisi Akad Al-Wadi’ah dan Rukunnya ........................................................... 2
B. Dalil Wadi’ah dan Sifat Amanah ........................................................................ 3
C. Hubungan Akad Wadi’ah dan Mudharabah ........................................................ 5
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 10

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt. menjadikan manusia sebagai makhluk sosial agar kita saling
tolong-menolong dalam segala urusan dan dalam masyarakat sosial dimana kita
saling berhubungan satu sama lain. Manusia dituntut agar dapat mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang mengandung nilai ibadah, begitu pula hendaknya
dalam bermuamalah kita harus jujur, adil, dan tidak merugikan orang lain.
Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga bisa dikatakan Islam
adalah agama yang bersifat universal dan komprehensif. Islam adalah agama
yang sesuai pada setiap waktu dan tempat yang berarti mencakup seluruh aspek
kehidupan baik itu dalam bermuamalah maupun dalam ibadah.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui yang namanya titipan,
dalam Islam titipan disebut dengan wadi’ah. Wadi’ah yaitu titipan murni dari
satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum. Titipan pada
dasarnya merupakan akad yang bersifat sosial dan bukan bersifat komersil.
Akad titipan ini berdiri berdasarkan kasih sayang dan tolong-menolong.
Sehingga tidak mengharuskan adanya imbalan dalam menjaga titipan tersebut.
Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai definisi akad al-wadi’ah dan
rukunnya, dalil wadi’ah dan sifat amanah, serta hubungan akad wadi’ah dan
mudharabah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang sesuai dengan makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana definisi akad al-wadi’ah dan rukunnya?
2. Bagaimana dalil wadi’ah dan sifat amanah?
3. Bagaimana hubungan akad wadi’ah dan mudharabah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
tujuan penelitian makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan definisi akad al-wadi’ah dan rukunnya
2. Mendeskripsikan dalil wadi’ah dan sifat amanah
3. Mendeskripsikan hubungan akad wadi’ah dan mudharabah

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Akad Al-Wadi’ah dan Rukunnya
Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibn Faris dijelaskan
bahwa arti al-wadi’ah secara etimologis adalah tinggal dan kosong, al-wadi’ah
menunjukkan pada benda yang ditinggalkan kepada pihak atau orang yang
dapat dipercaya.
1
Kata al-wadi’ah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi titipan yang maknanya sejalan, sebagaimana diatur dalam BW Pasal
1.694 yaitu “Penitipan terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari
seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam wujud asalnya”.
Para fikih membedakan antara al-wadi’ah dan al-ida’. Al-wadi’ah
merupakan kata yang menunjukkan benda atau objek yang dititipkan untuk
dijaga oleh penerima titipan. Sedangkan al-ida’ menunjukkan perbuatannya.
Oleh karena itu, secara terminologis al-wadi’ah adalah harta yang dititipkan
kepada pihak lain untuk dijaga. Karenanya, al-wadi’ah juga berarti pemberian
kuasa untuk memelihara objek yang dititipkan.
Ulama Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah menjelaskan
bahwa yang dimaksud al-wadi’ah adalah barang atau harta yang diwakilkan
pemeliharaannya kepada pihak lain. Sedangkan yang dimaksud al-ida’ adalah
akad yang berkaitan dengan pelimpahan kekuasaan dari pemilik kepada pihak
lain untuk memelihara atau menjaga harta miliknya. Meskipun demikian, ulama
berbeda pendapat dalam menggunakan kata yang dijadikan kata penting dalam
mendefinisikan wadi’ah, antara lain:
2

1. Ulama Hanafiah dan Malikiah menggunakan kata al-taslith (secara harfiah
berarti menguasakan atau memberikan kuasa; taslith al-malik ghairah
berarti memberikan kuasa kepada pihak lain).
2. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah menggunakan kata al-takwil (secara harfiah
berarti mewakilkan atau memberikan kuasa kepada pihak lain).

1
Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid wa
Nihayat al-Muqtasid (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Imiyah, 2010), hlm. 694.
2
S. Askar, Al-Azhar: Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Senayan Publishing, 2009), hlm. 342-
343 dan 1.078.

3

Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam akad al-wadi’ah hanya boleh
dilakukan atas harta yang halal secara syari’ah. Pihak yang menerima titipan
merupakan pihak yang dapat dipercaya dan merupakan akad tabarru (perbuatan
baik) karena tidak mendapat imbalan atau keuntungan. Karenanya ulama
menjelaskan bahwa akad wadi’ah termasuk bagian dari saling tolong-menolong
dalam kebaikan dan taqwa.
Dapat disimpulkan bahwa wadi’ah (titipan) adalah perjanjian seseorang
untuk menitipkan barangnya kepada orang lain supaya dijaga sebagaimana yang
berlaku menurut Islam. Bila di kemudian hari ada kerusakan atau cacat pada
barang yang dititipkan bukan karena kelalaiannya, maka dia tidak harus
menggantikannya. Sebaliknya bila kerusakan atau cacatnya barang tersebut
disebabkan kelalaiannya, maka dia harus menggantinya.
3

Abu ‘Abd al-Mu’thi Ibn Umar Ibn ‘Ali Nawawi al-Jawi dan Muhammad
al-Syarbini al-Khatib menjelaskan bahwa rukun akad wadi’ah ada empat,
yaitu:
4

1. Wadi’ah/muda’/mustawda’, yaitu benda yang dititipkan kepada pihak lain.
2. Shighat akad, yaitu pernyataan penawaran (ijab) dan persetujuan (qabul)
penitipan barang.
3. Mudi’/mustawdi’, yaitu pihak yang menitipkan barang.
4. Muda’/mustawda’, yaitu pihak yang menerima titipan.
B. Dalil Wadi’ah dan Sifat Amanah
Ulama menjelaskan bahwa dasar hukum dibolehkannya akad wadi’ah
adalah Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan dalil ‘aqli, antara lain:
5

1. Al-Qur’an surah Al-Maidah [5]:2 tentang perintah saling tolong-menolong
dalam kebaikan dan taqwa
ىَوْق�تل

ٱَو ِرِبْل

ٱ َلََع ۟اوُنَواَعَتَو... ...
“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa”.

3
Abu Azam al-Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm.
180.
4
Abi ‘Abd al-Mu’thi Ibn Umar Ibn ‘Ali Nawawi al-Jawi, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in
(Semarang: Karya Thaha Putra), hlm. 296; Muhammad al-Syarbini, al-Iqna’ fi Hill Alfazh Abi Syuja’
(Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah), hlm. 96.
5
Nazih Hammad, ‘Aqd al-Wadi’ah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: ‘Ardh Manhajy Muqaran (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1993), hlm 16-18.

4

2. Al-Qur’an surah An-Nisa [4]:58 yang memerintahkan manusia untuk
menunaikan amanah
َ�للَّ

ٱ �ن
ِ
ااَهِلْهَٱ ٰٓ
َل
ِ
ا ِتَٰ َنَٰ َمَْلْ

ٱ ۟او�دَؤُت نَٱ ُْكُُرُمْأَي...
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada
pemiliknya”.
3. Hadits yang berupa ucapan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan
Imam al-Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda:
َكَناَخ ْنَم ْنَُتَ لاَو ،َكَنَمَتْئا ْنَم َل
ِ
ا َةَناَمَْلْا ِردَٱ
“Tunaikanlah amanah kepada pihak yang telah memberikan amanah
(mudi’) kepadamu, janganlah kamu berkhianat terhadap orang yang
mengkhianatimu”.
4. Hadits riwayat Imam Muslim, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah dijelaskan bahwa
Rasulullah saw bersabda:
َم ْن َك َش َف َع ْن ُم ْس م
ِل َك اَيْن�لدا ِبَرُك ْنِم َش َف مبَرُك ْنِم ًةَبْرُك ُهْنَع ُ�للَّا َمْوَي ِةَماَيِقْلا ِنْوَع ِفِ ُ�للَّاَو ,
َد اَم ِدْبَعْلا َما ِهيِخَٱ ِنْوَع ِفِ ُدْبَعْلا
“Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan duniawi yang dialami
muslim lainnya maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari
kiamat; dan Allah akan menolong hamba-Nya selama yang bersangkutan
menolong saudaranya”.
5. Ulama fikih telah bersepakat (ijma’) tentang bolehnya akad wadi’ah.
6. Dalil ‘aqli mengenai argumen bolehnya akad wadi’ah adalah analogi al-
i’arah dan kebolehannya sejalan dengan upaya mewujudkan kaidah al-
dharar yuzal (kemudharatan harus dihilangkan) karena akad wadi’ah
dilakukan oleh mudi’ dalam rangka menanggulangi kesulitan yang
dialaminya.
Akad wadi’ah dilihat dari segi dalil yang digunakan dan teoretisasi
hakikat wadi’ah berkaitan dengan konsep amanah karena penerima titipan
(mudi’/mustawdi’) berkedudukan sebagai pihak yang dipercaya untuk
menjalankan amanah (al-amin).
6


6
Abu Ishaq Ibrahim Ibn ‘Ali Ibn Yusuf al-Firuz Abadi al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhab al-
Imam al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), vol. 1, hlm. 501.

5

Penjelasan mengenai sifat amanah dalam konteks akad wadi’ah secara
langsung berhubungan dengan hukum menerima titipan (yang merupakan
bagian dari teori penerapan hukum). Ulama berbeda pendapat tentang hukum
penerima titipan, diantaranya:
1. Ulama Hanafiah sebagaimana dalam kitab al-Mabsuth (11/109) karya al-
Syarkhasi dan ulama Hanabilah sebagaimana dalam kitab Kasyaf al-Qina
(4/184) dan Syarh Muntaha al-Iradat (2/450), berpendapat bahwa hukum
menerima titipan adalah dianjurkan (sunah/mustahab) karena merupakan
bagian dari tolong-menolong (al-ta’awun/al-i’anah) yang hukumnya sunah,
yang didasarkan pada Al-Qur’an dan hadits nabi Muhammad saw.
2. Ulama Malikiah sebagaimana dalam kitab Mwahib al-Jalil (5/251) dan kitab
al-Taj wa al-Iklil (5/353), serta ulama Syafi’iah sebagaimana dalam kitab
Raudhat al-Thalibin (6/353) berpendapat bahwa hukum asal (pokok)
menerima titipan adalah boleh (al-ibahah). Akan tetapi hukum asal ini dapat
berubah karena keadaan berikut:
a) Haram hukumnya menerima titipan apabila penerimanya tidak memiliki
kemampuan untuk menjaganya atau bahkan menyia-nyiakannya
sehingga barang yang dititipkan dikhawatirkan akan rusak. Di samping
itu haram pula menerima titipan harta yang diketahui merupakan hasil
kepemilikan yang prosesnya tidak sah secara hukum, baik dengan cara
perampasan (al-ghashb), pencurian, perjudian, perdukunan, dan
pelacuran.
b) Wajib hukumnya menerima titipan apabila penerima titipan memiliki
kemampuan untuk menjaganya dan adanya kondisi pihak penitip yang
akan teraniaya jika hartanya tidak diterima untuk dititipkan.
c) Sunah (dianjurkan) hukumnya menerima titipan apabila perbuatan
tersebut diduga akan melahirkan kebaikan.
d) Makruh hukumnya menerima titipan apabila perbuatan tersebut diduga
akan melahirkan keburukan.
C. Hubungan Akad Wadi’ah dan Mudharabah
Diskusi mengenai hubungan antara akad wadi’ah dan akad mudharabah
dijelaskan oleh Nazih Hammad secara tidak langsung pada bab al-tijarah bi al-
wadi’ah (investasi dana titipan). Dalam kitab ‘Aqd al-wadi’ah, dengan
mengutip kitab Ahkam Al-Qur’an (1/408) karya Ibn al-‘Arabi dan Tahrir Alfazh

6

al-Tanbih (114) karya al-Nawawi, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
tijarah (investasi) adalah:
7

1. Investasi dana dengan melakukan jual beli dan yang sejenisnya dalam
rangka memperoleh keuntungan.
2. Investasi dana titipan (al-tijarah bi al-wadi’ah) adalah penerima titipan
menginvestasikan harta titipan dalam berbagai instrumen untuk mencari
keuntungan.
Hukum investasi harta titipan tanpa izin dari pemiliknya adalah makruh
menurut sebagian ulama Malikiah, baik harta titipan berupa barang maupun
berupa uang, baik benda spesial (khas) maupun benda yang memiliki
perbandingan di publik (mitsaliyat). Beberapa ulama Malikiah membedakan
jenis harta titipan, antara lain:
1. Hukum investasi harta titipan yang berupa barang adalah haram.
2. Hukum investasi harta titipan yang berupa uang adalah makruh.
Dalam kitab al-Isyraf karya Ibn al-Mundzir, Bidayat al-Mujtahid
(2/312) karya Ibn Rusyd, dan al-Tafri’ (2/271) karya Ibn al-Jalab dikatakan
tentang sepakatnya ulama bahwa menginvestasikan dana titipan tanpa izin
pemiliknya merupakan pelanggaran yang pelakunya wajib bertanggung jawab
dalam hal terjadi kerusakan atau kerugian. Akan tetapi ulama berbeda pendapat
tentang milik siapa keuntungan-keuntungan investasi atas harta titipan tanpa
izin dari pemiliknya, antara lain:
8

1. Pendapat yang diriwayatkan dari Ibn Umar, Nafi’, Abi Qibalah, Ishaq, dan
Ahmad dalam satu riwayat, menyatakan bahwa keuntungan investasi atas
harta titipan tanpa izin dari pemiliknya adalah milik penitip karena
keuntungan tersebut timbul dari harta miliknya (kurang lebih sama dengan
pertambahan harta secara alamiah).
Pendapat tersebut dikutip dari kitab Mukhtashar al-Fatawa al-
Mishriyyah (379) karya Ibn Taimiah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa
Ibn Taimiah (147), al-Qawanin al-Fiqhiyyah (380), al-Isyraf (1/257) karya
Ibn Mundzir, dan Bidayat al-Mujtahid (2/312) karya Ibn Rusyd.

7
Nazih Hammad, ‘Aqd al-Wadi’ah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: ‘Ardh Manhajiy Muqaran (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1993), hlm. 111.
8
Nazih Hammad, ‘Aqd al-Wadi’ah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah: ‘Ardh Manhajiy Muqaran (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1993), hlm. 111-113.

7

2. Pendapat yang diriwayatkan oleh ‘Atha dan Ahmad dalam satu riwayat,
menyatakan bahwa keuntungan investasi atas harta titipan tanpa izin dari
pemiliknya diperuntukkan bait al-mal (penggunaannya untuk kepentingan
umum umat Islam).
Pendapat tersebut dikutip dari kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah
(30/130), Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyyah (379) karya Ibn Taimiah,
al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa Ibn Taimiah (147), dan al-Isyraf
(1/257) karya Ibn Mundzir.
3. Pendapat Abu Hanifah, Zufar, Muhammad Ibn al-Hasan, al-Sya’bi, dan
Ahmad menurut satu riwayat menyatakan bahwa keuntungan investasi atas
harta titipan tanpa izin dari pemiliknya harus disedekahkan.
Argumen atau alasannya antara lain dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth
(11/112) karya al-Syarkhasi, bahwa jika keuntungan didapat secara tidak
sah, solusinya adalah disedekahkan.
4. Pendapat al-Qadhi Syureikh, Hasan Basri, ‘Atha Ibn Abu Rabah, al-Sya’bi,
Yahya al-Anshari, Rabi’ah, al-Tsauri, al-Laits, Abu Yusuf, dan Ahmad
menurut satu riwayat, menyatakan bahwa keuntungan investasi atas harta
titipan tanpa izin dari pemiliknya menjadi milik penitip. Terdapat dua
argumen dalam hal ini, yaitu:
a) Keuntungan didapatkan karena usaha (kasab/effort) yang dilakukan
penerima titipan dan yang bersangkutan harus bertanggung jawab jika
terjadi kerugian atau kerusakan harta titipan karena diinvestasikan. Oleh
karena itu, keuntungan menjadi miliknya, sebagaimana (analogi/qiyas)
pada parameter al-ghashb.
b) Menggunakan teori tujuan (maqashid). Tujuan akad wadi’ah adalah
agar harta milik penitip terpelihara (al-hifzh). Oleh karena itu, penitip
tidak mengharapkan adanya tambahan atau keuntungan atas harta yang
dititipkan. Karenanya (nilai) harta yang dikembalikan harus sesuai
dengan nilai titipan, sedangkan tambahan atau keuntungannya menjadi
milik penerima titipan (pelaku usaha).
5. Pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal, sebagaimana dijelaskan Ibn Taimiah
dalam kitab Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyyah (279) dan kitab Majmu’
Fatawa Ibn Taimiah (30/139), menyatakan bahwa keuntungan investasi atas

8

harta titipan tanpa izin dari pemiliknya harus dibagi antara penitip dan
penerima titipan sebagaimana dalam akad mudharabah.
Ibn Taimiah menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat yang shahih,
pendapat yang menyatakan bahwa keuntungan atas investasi harta titipan
harus dibagi antara penitip dan penerima titipan merupakan keputusan Umar
r.a atas bisnis yang dilakukan dua anaknya yang menggunakan modal usaha
dari harta negara.

9






BAB III
KESIMPULAN

Akad Al-Wadi’ah merupakan perjanjian titipan di mana seorang menitipkan
barang kepada orang lain untuk dijaga tanpa imbalan,yang berlandaskan dengan
kepercayaan dan niat baik. Akad Al-Wadi’ah memiliki empat rukun yaitu: objek
titipan, pertanyaan penawaran dan persetujuan penitipan barang, pihak yang
menitipkan, dan pihak yang menerima titipan.
Dalil yang memperbolehkan akad Wadi’ah terdapat dalam Al-Qur’an, hadist,
ijma’, dan dalil aqli, yang menekankan pentingnya saling tolong-menolong,
menunaikan amanah, dan saling menghilangkan kesulitan satu sama lain. Sifat amanah
dalam akad Al-Wadi’ah, ulama memberikan pandangam yang beragam dari dianjurkan
karena merupakan bagian tolong menolong hingga di haramkan tergantung kondisi
tertentu.
Hubungan antara akad wadi’ah (penitipan) dengan akad Mudharabah, yaitu
dalam investasi dana titipan. Menurut ulama malikiah menginvestasikan harta titipan
tanpa izin pemilik adalah makruh untuk harta titipan berupa uang dan haram untuk harta
titipan berupa barang. Terdapat berbagai pendapat ulama tentang kepemilikan
keuntungan atas investasi harta titipan tanpa izin pemiliknya, dengan pandangan yang
bervarias yaitu keuntungan sepenuhnya milik penitip, keuntungan harus di sedekahkan,
menjadi milik penerima titipan, hingga pembagian keuntungan antara penitip dan
penerima titipan sebagaimana akad Mudharabah.

10








DAFTAR PUSTAKA

al-Andalusi, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubi. Bidayat al-
Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid. Libanon: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 2010.
al-Hadi, Abu Azam. Fikih Muamalah Kontemporer. Depok: PT. RajaGrafindo Persada,
2017.
al-Jawi, Abi 'Abd al-Mu'thi Ibn Umar Ibn 'Ali Nawawi. Nihayat al-Zain fi Irsyad al-
Mubtadi'in . Semarang: Karya Thaha Putra, t.thn.
al-Syarbini, Muhammad. al-Iqna' fi Hill Alfazh Abi Syuja'. Indonesia: Dar Ihya' al-
Kutub al-'Arabiyyah, t.thn.
al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim Ibn 'Ali Ibn Yusuf al-Firuz Abadi. al-Muhadzdzab fi Fiqh
Madzhab al-Imam al-Syafi'i. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Askar, S. Al-Azhar: Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: Senayan Publishing, 2009.
Hammad, Nazih. 'Aqd al-Wadi'ah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah: 'Ardh Manhajy
Muqaran. Damaskus: Dar al-Qalam, 1993.
Tags