HUKUM TATA NEGARA
REVIEW HUKUM TATA NEGARA BAB 16 - 17
NPM NAMA MAHASISWA
231110011011224 ACHMAD ISMAIL LOPEZ
231110011011225 AKMAL THUFAIL LOPEZ
231110011011221 SAMSUL BAHRI
231110011001081 AZ ZAHRA SILVIA SALSABILLA
231110011001015 MUHAMMAD ZULKIFLI AKBAR
16
Dasar seperti yang disoroti oleh para pakar hukum tata negara. Hak asasi manusia merupakan
komponen krusial dari Undang-Undang.
Budiardjo menyatakan bahwa konstitusi harus memuat hak asasi manusia, bersama dengan struktur
konstitusi dan hubungan antar lembaga negara. Buku Sri Soemantri menekankan pentingnya hak asasi
manusia, struktur konstitusi, dan pembagian kekuasaan.
Soekarno menyatakan bahwa suatu negara harus membangun masyarakat baru berdasarkan gotong
royong dan upaya bersama, sedangkan warga negara harus bebas bersuara. UUD 1945 dan amandemen-
amandemen berikutnya secara konsisten memuat ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia, dengan
tingkat detail dan kelengkapan yang berbeda-beda.
HAK ASASI MANUSIA DALAM KONSTITUSI
A. Awal Pemikiran HAM dan pencantumannya dalam UUD 1945
Di Indonesia pembahasan tentang hak asasi manusia (HAM) sudah ada sebelum
kemerdekaan pada tahun 1945. Organisasi seperti Boedi Oetomo (1908) dan
Sumpah Pemuda (1928) mempromosikan HAM. UUD dibentuk oleh BPUPKI dan
diratifikasi oleh PPKI pada tahun 1945, dengan hak asasi manusia menjadi topik
perdebatan, dengan beberapa memperdebatkan pencantumannya untuk
melindungi kebebasan individu dari penyalahgunaan pemerintah. Hatta
mengadvokasi pemerintahan perwakilan dan hak-hak individu di BPUPKI, karena
takut akan negara otoriter. Soekarno dan Soepomo tidak sependapat, dengan
alasan nilai-nilai komunitarian Indonesia dan potensi individualisme dan liberalisme.
Mereka meyakini bahwa fokus pada kekeluargaan dan kerja sama yang selaras
dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia, membuat hak-hak individu menjadi
mubazir.
Soekarno dan Soepomo mengadvokasi negara yang integralistik,
menggabungkan kesejahteraan dan pemerintahan tanpa pemisahan
kekuasaan. Hatta tidak sependapat, menyatakan masyarakat Indonesia
telah lama mengakui hak dan kebebasan individu, meski tidak disebutkan
secara tegas dalam UUD. Perbedaan ideologi yang tajam di antara anggota
PPKI menunda penulisan UUD Indonesia. UUD 1945 memuat hak-hak dasar
warga negara, tersebar dan abstrak, dengan frase hak asasi manusia tidak
ditemukan. Bahasa Konstitusi menimbulkan perdebatan tentang ruang
lingkup hak-hak yang dirujuk, baik hak asasi manusia secara umum maupun
warga negara/penduduk saja.
UUD 1945 mengatur hak asasi manusia di Indonesia, mengkategorikannya
menjadi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Konstitusi menjamin
hak untuk mendapatkan pekerjaan, penghidupan yang layak, kemandirian
berserikat dan berkumpul, kebebasan beragama, dan pendidikan. Ini juga
mengatur tanggung jawab negara, seperti merawat anak-anak miskin dan
terlantar, mempromosikan budaya nasional, dan membentuk undang-
undang untuk kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, Pasal 28, yang
memberikan kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang tersebut,
telah disalahgunakan, membatasi daripada menjamin kemerdekaan, seperti
yang terlihat dalam pembatasan dan sanksi Undang-Undang Pers.
UUD Sementara Indonesia (KERIS 1949) membahas hak asasi manusia
secara lebih rinci dibandingkan UUD sebelumnya. Ini memiliki lebih dari 30
artikel yang merinci hak dan kebebasan warga negara, dengan 26 artikel
mencakup hak asasi manusia, Pasal 8 mencantumkan prinsip-prinsip dasar
hak asasi manusia, dan artikel lain yang mengatur hak ekonomi dan budaya.
KERIS 1949 dibentuk oleh delegasi tiga arah dari Indonesia, Belanda, dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, memberikan perspektif yang lebih luas
tentang hak asasi manusia. Delegasi Indonesia juga mempertimbangkan
perspektif hak asasi manusia, dan ketentuannya mirip dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, sebagaimana dicatat oleh Todung
Mulya Lubis.
B. HAM dalam Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
(KRIS 1949)
Konstitusi 1950 memperluas hak asasi manusia dan kebebasan, termasuk
hak mogok, dan memperkenalkan hak milik, yang dipengaruhi oleh
investasi asing dan kebutuhan bantuan.
Setiap orang diakui sebagai individu pribadi dengan hak untuk menuntut
perlindungan, perlakuan, dan bantuan hukum yang setara. Setiap orang
memiliki hak untuk pindah dan hidup bebas di negara mereka, pergi atau
kembali ke sana, dan mengklaim perlindungan untuk diri mereka sendiri
dan harta benda mereka. Perbudakan, penyiksaan, dan perlakuan tidak
manusiawi dilarang; penangkapan hanya dapat dilakukan oleh kekuasaan
yang sah sesuai dengan hukum.
C. HAM dalam UUD Sementara 1950
Setiap orang berhak atas pengadilan yang adil, di anggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
, dan memiliki akses ke jaminan yang di perlakukan untuk pembelaan. tidak seorang pun akan
dihukum dibawah aturan hukum yang berubah. tidak ada hukuman yang dapat mengakibatkan
kematin penyitaan properti, atau hilangnya semua hak sipil.
Pemerintah memiliki tujuan untuk mengajarkan pelajaran agama sesuai dengan keinginan
orang tua dan menerapkan kewajiban belajar bersama ununtuk mencegah rendahnya pengajaran.
siswa sekolah menengah memiliki prestasi hukum setara dengan siswa umum. penguasa
mengutamakan kebersihan dan kesehatan masyarakat.
negara menjamin kebebasan beragama individu dan perlindungan yang setara bagi asosiasi
keagamaan.
D. HAM dalam Sidang Pembentukan UUD oleh Dewan Konstituante 1956-1959
Pada tahun 1955, Indonesia mengadakan pemilihan umum untuk merancang undang-undang
dasar tetap yang baru. Dewan Konstitusi, yang terdiri dari anggota dari berbagai partai politik,
memilih presiden dan presiden dewan.
Dewan membahas hak asasi manusia dan membaginya menjadi empat kategori: hak yang
disepakati, disepakati sebagian, kontroversial, dan sosial-ekonomi. Dewan setuju untuk memasukkan
hak-hak seperti kebebasan pribadi, keamanan, dan antiperbudakan, tetapi berjuang untuk
menyepakati isu-isu yang lebih kontroversial seperti hak untuk menentukan nasib sendiri.
Terlepas dari tantangan tersebut, dewan tidak menerima penolakan yang signifikan terhadap
proposal tersebut. Karena ketidakmampuan dewan untuk menyelesaikan tugas tersebut, UUD 1945
diundangkan kembali. Baru pada tahun 1999 UUD 1945 diamandemen kembali, membalikkan
perubahan yang dilakukan selama pembahasan tahun 1955.
E. HAM dalam Perubahan UUDNRI (1999-2002)
Pada tahun 1999-2002, UUD Indonesia diamandemen untuk
memasukkan hak asasi manusia. Faktor internal, seperti tuntutan
masyarakat akan jaminan yang lebih komprehensif, dan tekanan
eksternal dari komunitas internasional atas pelanggaran hak asasi
manusia selama Orde Baru, mendorong perubahan tersebut. Selama
revisi konstitusi tahun 2000, anggota MPR sepakat bahwa hak asasi
manusia harus dicantumkan dalam UUD, meskipun ada perdebatan Bab
XA yang mengatur hak asasi manusia secara khusus.
F. Ketentusan HAM dalam UUD perubahan (UUDNRI 1945)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengatur hak
asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, berkeluarga, pendidikan,
pekerjaan, dan kebebasan beragama, berpikir, dan berserikat.
Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera dengan kondisi kehidupan
yang baik, pelayanan sosial, fasilitas khusus untuk kesetaraan, jaminan
sosial, dan hak milik. Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup,
kebebasan, agama, dan non-diskriminasi, yang dilindungi dan
dipromosikan oleh negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.
UUD RI tahun 1945 memberikan ketentuan signifikan terkait
Hak Asasi Manusia, termasuk prinsip-prinsip perlindungan hak
asasi manusia, hak-hak yang tidak dapat dicabut, undang-
undang yang tidak berlaku surut, tindakan afirmatif, perlakuan
yang tidak diskriminatif, dan tanggung jawab untuk
menghormati hak orang lain. Negara memiliki kewajiban untuk
melindungi dan mendukung hak asasi manusia.
UUD RI tahun 1945 juga mengatur pendidikan dasar dan hak asasi manusia,
dengan hak asasi manusia tertuang dalam pasal-pasal di luar Bab XA, serta
dalam amandemen tahun 1999-2002. Regulasi konstitusional tentang hak
asasi manusia menimbulkan tantangan karena perdebatan antara
komunitarian dan individualis, memperkuat negara versus melindungi hak
warga negara, dan pendekatan liberal vs integralis. Pelaksanaan hak asasi
manusia dalam UUD melibatkan pencatatan hak dan kebebasan secara
minimal, tersebar, dan abstrak, atau lebih komprehensif dan rinci, seperti
yang terlihat dalam draf KRIS 1949.
Upaya reformasi Konstitusi pada 1950-an dan 1956-1959 tidak berhasil, UUD
1945 diundangkan kembali dan hak asasi manusia diturunkan ke pasal-pasal
yang tersebar.
UUD RI 1945 mengalami perubahan dari 1999-2002. TAP MPR membentuk
komite hak asasi manusia pada 1998, dan Undang-Undang 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia diberlakukan pada 1999. Pencantuman ketentuan hak asasi
manusia dalam UUD terjadi dengan Bab XA yang terdiri dari 10 pasal tentang
hak-hak yang tidak dapat dicabut dan tanggung jawab negara.
17
Perubahan konstitusi merupakan bagian alami dari pembangunan suatu negara, didorong oleh
perbaikan kematangan berpikir, demokrasi, dan kelembagaan. Perubahan ditentukan oleh elit, partai
politik yang memegang suara mayoritas di lembaga-lembaga yang berwenang untuk melakukan
amandemen.
Di Indonesia, MPR sebagai pemegang kekuasaan negara yang tinggi memiliki kewenangan untuk
menjalankan kedaulatan rakyat, namun amandemen tahun 1999 mengubah posisi rakyat sebagai
pemegang kedaulatan, mengurangi kewenangan MPR dan menghilangkan kemampuannya untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden.
MPR terdiri dari anggota terpilih dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perwakilan daerah. Ia memiliki
tugas untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan
memberhentikan mereka jika melanggar undang-undang atau tidak lagi memenuhi syarat. MPR juga
mengangkat Wakil Presiden baru, menyeleksi penerus Wakil Presiden, dan memilih Presiden dan
Wakil Presiden jika kedua jabatan tersebut kosong.
PERUBAHAN KONSTITUSI
A. Kelembagaan konstitusi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dibentuk melalui
Keputusan Presiden, dengan masa jabatan 5 tahun. Filosofi MPR
adalah membangun dan membatasi kekuasaan,
mengendalikannya untuk mencegah penyalahgunaan.
Konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan,
dengan berlakunya UUD 1945 saat ini sejak tahun 2002.
Di Eropa, Konstitusi dibedakan antara bentuk tertulis dan
tidak tertulis. Istilah Konstitusi mencakup kedua bentuk
tersebut. Konstitusi bukan satu-satunya sumber hukum
tata negara, aturan lain seperti peraturan, adat istiadat, dan
yurisprudensi juga berkontribusi.
B. Mekanisme Pembentukan dan Perubahan
Di Indonesia, perubahan konstitusi memerlukan proses yang
menyeluruh, ditentukan oleh elit politik yang memegang suara
terbanyak. MPR memiliki kewenangan untuk mengamandemen
UUD, tetapi suara masyarakat tidak selalu didengar. Perubahan
konstitusi 1999-2002 ditandai dengan kurangnya dialog,
ketidaksepakatan, dan kegagalan mematuhi paradigma
perubahan konstitusi.
Amandemen konstitusi bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan
kepada rakyat, melaksanakan pemilihan langsung presiden dan wakil
presiden, serta menggunakan sistem bikameral dalam pembuatan
undang-undang. Desentralisasi kekuasaan, pengurangan kewenangan
presiden, dan peningkatan sistem peradilan melalui checks and
balances juga menjadi fokus, dengan penekanan pada perlindungan
hak asasi manusia.
Sistem proporsional dalam pemilu dianggap membawa malapetaka,
menyebabkan kekecewaan warga dan kurangnya solusi untuk perilaku
menyimpang di parlemen. Sistem distrik cenderung melibatkan partai
besar dan kelompok minoritas yang kurang terwakili. Pemilihan
presiden dengan pemungutan suara preferensial langsung dianggap
sebagai solusi yang mungkin.
Permintaan mpr untuk sesi khusus tentang kebijakan pemerintah harus dihapus dalam sistem presidensial. Jika
presiden didakwa secara pidana, mereka harus segera diberhentikan, tidak menunggu keputusan pengadilan.
Mekanisme sistem parlementer untuk peberhenti harus diganti dengan sistem presidensial, di mana presiden
mengangkat dan memberhentikan menteri. Mahkamah Konstitusi harus dibentuk untuk memeriksa dan
mengadili pelanggaran konstitusi, dengan kewenangan lepas dari Mahkamah Agung. Lembaga peradilan harus
dievaluasi oleh komisi hakim independen dengan dukungan DPR untuk memastikan akuntabilitas publik.
Ada kebutuhan untuk membuat undang-undang untuk mencegah bias hakim, memastikan audit kekayaan
hakim, dan mengatasi kurangnya kepercayaan pada sistem.
Perubahan konstitusi diperlukan untuk mengatasi masalah masyarakat, tetapi pembentukan komisi
nonpartisan merupakan tantangan. Konstitusi memberikan hak asasi manusia, tetapi formulasinya
memungkinkan pertarungan ideologis dan diskriminasi.
Sejarah konstitusional ini menitikberatkan pada hak kedaulatan rakyat, khususnya di Indonesia. UUD 1945
menyatakan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat yang menjalankannya melalui Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Mahkamah Agung dapat "menguji" undang-undang, memastikan keseimbangan kekuasaan antar
lembaga, yang mencerminkan prinsip-prinsip supremasi hukum. Konsep kedaulatan ini lebih realistis,
menggabungkan supremasi Konstitusi dan akomodasi untuk referendum, pemilihan presiden, dan kekuasaan
legislatif. Ini mewakili pemeliharaan negara tertinggi, kedaulatan rakyat, dan sistem perwakilan.
Undang-Undang Dasar Indonesia memiliki 25 butir yang tetap tidak berubah, termasuk
Mukadimah dan bentuk negara. Amandemen ke-4 tahun 2002 menambahkan Pasal 37,
yang menjadikan negara kesatuan sebagai ketentuan yang tidak dapat diubah.
Perubahan UUD harus disampaikan secara tertulis dengan persetujuan minimal 1/3 dari
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Rapat Musyawarah Rakyat membutuhkan kehadiran minimal 2/3. Untuk
mengamandemen Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar, diperlukan persetujuan 50%
ditambah satu anggota dari Majelis Konstitusi. Tujuan perubahan bertujuan untuk
memperbaiki Indonesia, namun tidak boleh dilakukan secara semena-mena karena
Konstitusi berdampak pada dinamika negara dan masyarakat.
C. Klausal Tidak Dapat Diubah dalam Konstitusi