Hgif7r7tig7f8gif7f7giukum Syara' kel 2 (1).pdf

nashuhan03 7 views 17 slides Oct 14, 2024
Slide 1
Slide 1 of 17
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17

About This Presentation

Y


Slide Content

Hukum Syara’
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “Studi Fikih”
yang diampu oleh:
Dr. M. Alim Khoiri, M.Sy



Disusun oleh:
Anggi Novita Sari (22202109)
Messias Aulia (22202131)
Elzhaggy Putri N (22202142)

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI 2024

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas
selesainya makalah berjudul “Hukum Syara’ ” ini tepat waktu. sholawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta
keluarga, parasahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.
Beberapa pihak telah membantu dan mendukung dalam menyusun
makalahini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada
pihak-pihak yangtelah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk mendeskripsikan “Hukum Syara’ ”.
Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi makalah ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
dari sejawat atau para pembaca mengenai isi makalah ini.


Kediri, 18 September 2024,




Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum syara' atau hukum Islam merupakan sistem hukum yang
didasarkan pada ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Dalam masyarakat Muslim, hukum syara' memainkan
peranan yang sangat penting dalam mengatur berbagai aspek kehidupan umat
Islam, baik dalam hal ibadah, muamalah, maupun tatanan sosial lainnya.
Dengan perkembangan zaman, dinamika sosial dan perubahan konteks
kehidupan juga mempengaruhi bagaimana hukum syara' dipahami dan
diaplikasikan.
Studi hukum syara' memiliki nilai urgensi tersendiri mengingat adanya
kebutuhan untuk terus menggali dan memahami ketentuan-ketentuan syar'i
dalam konteks kontemporer. Banyak masalah baru yang muncul di tengah
perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menuntut pemahaman yang lebih
mendalam tentang hukum Islam agar bisa tetap relevan dan diterapkan dengan
tepat. Selain itu, pemahaman terhadap hukum syara' penting dalam rangka
menjaga kesinambungan nilai-nilai Islam di tengah arus globalisasi yang
sering kali membawa pengaruh yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam.
Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk mengupas lebih dalam tentang
hukum syara', dengan fokus pada konsep dasar, sumber-sumber hukum, Studi
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman yang lebih
komprehensif mengenai hukum syara' serta bagaimana prinsip-prinsipnya
dapat terus dijaga dan diterapkan dalam kondisi sosial yang terus berubah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian hukum syara’?
2. Apa pengertian dan konsep hukum?
3. Apa pengertian dan konsep hakim?

4. Bagaimana definisi dan batasan mahkum alaih?
5. Bagaimana definisi dan batasan mahkum fih?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian hukum syara’
2. Untuk mengetahui tentang pengertian dan konsep hukum
3. Untuk mengetahui tentang pengertian dan konsep hakim
4. Untuk mengetahui tentang definisi dan batasan mahkum alaih
5. Untuk mengetahui tentang definisi dan batasan mahkum fih

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’
Secara bahasa al-Hukm atau hukum mempunyai makna
menetapkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah al-
Hukm bermakna khitab (titah) Allah (teks wahyu) yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf baik berupa perintah, larangan, pilihan,
maupun berupa ketetapan-ketetapan hukum kausalitas
1
.
Hukum syar’i ( ﻲﻋﺮﺸﻟﺍﻢﻜﺤﻟﺍ ) atau hukum syara’ (ﻉﺮﺸﻟﺍﻢﻜﺤ ) adalah
kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata “syara”. Kata
hukum ( ﻢﻜﺤﻟﺍ ) berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti
memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan.
Dalam artian sederhana, hukum adalah seperangkat peraturan
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara
atau kelompok yang bersifat mengikat dan berlaku untuk seluruh
anggotanya (Syarifuddin, 2011).
Sedangkan kata syara’ ( ﻉﺮﺸ ) yang secara etimologis berarti
“jalan, jalan yang dilalui air”. Hal tersebut memiliki artian “jalan yang
dilalui manusia dalam menuju kepada Allah, secara sederhana yakni
ketentuan Allah. Hukum syara’ sendiri dapat dipahami dengan artian
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diyakini dan diakui serta bersifat mengikat untuk seluruh
umat islam.
B. Pembagian Hukum Syara’
1. Hukum Taklifi ( ﻲﻔﻴﻟﻜﺘﻟﺍ )
Hukum taklifi secara kebahasaan adalah hukum pemberian beban.
Sementara menurut istilah adalah perintah Allah dalam bentuk pilihan
dan tuntutan. Disebut hukum taklifi karena perintah tersebut
berhubungan langsung dengan tindakan mukallaf,yaitu tuntutan yang

1
Abu Yasid, Nalar Dan Wahyu Interrelasi Dalam Proses Pembentukan Syari’at, Jkt,
Erlangga. Hlm. 152.

dibebankan kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan
suatu pekerjaan dan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan
suatu pekerjaan.
Contohnya dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’,
17:33 dan artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan
yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung
pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
a. Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu
tindakan yang akan mendapat ganjaran jika dilakukan dan akan
mendapat ancaman dari Allah Swt jika ditinggalkan, hal ini
disebut sebagai "wajib".
1) Berdasarkan waktu pelaksanaan
- Wajib Muthlaq: Kewajiban yang ditentukan waktu
pelaksanaannya, boleh di tunda sampai ia mampu
melaksanakannya.
Contohnya: kewajiban membayar kafarah sumpah,
tetapi waktunya tidak ditentukan syara’.
- Wajib Muaqqad: Kewajiban yang waktunya telah
ditentukan dan tidak sah apabila dikerjakan di luar
waktu yang telah ditentukan. Contohnya: kewajiban
untuk berpuasa di bulan Ramadhan.
- Wajib Muwassa’: Kewajiban yang waktu
pelaksanaannya boleh digunakan untuk melakukan
kewajiban tersebut dan lainnya. Contohnya: shalat
dzuhur, di mana pada saat waktu
zhuhurdiperbolehkan melaksanakan shalat dzuhur
atau lainnya.
- Wajib Mudhayyaq: Kewajiban yang waktu
pelaksanaannya hanya diperbolehkan untuk
mengerjakan kewajiban tersebut. Contohnya: di

bulan Ramadhan hanya melaksanakan puasa
Ramadhan.
2) Berdasarkan ketentuan objek atau pelaksana
- Wajib ‘Ain: Kewajiban yang harus dilakukan oleh
setiap mukallaf.
Contohnya: sholat lima waktu.
- Wajib Kifayah: Kewajiban yang harus dilakukan
oleh sebagian umat muslim.
Contohnya: memandikan dan menyalatkan jenazah.
3) Berdasarkan kadarnya
- Wajib Muhaddad: Kewajiban yang ditentukan
kadarnya.
Contohnya: sholat dzuhur empat rakaat, tidak
kurang dan tidak lebih.
- Wajib Ghairu Muhaddad: Kewajiban yang tidak
ditentukan kadarnya.
Contohnya: Orang bersumpah atau bernadzar ingin
sedekah kepada orang fakir.
4) Berdasarkan bentuk perbuatan yang dituntut
- Wajib Muayyan: Kewajiban yang ditentukan
zatnya.
Contohnya: zakat yang telah ditentukan nishab nya.
- Wajib Mukhayyar: Kewajiban yang diberi
kebebasan untuk memilih.
Contohnya: membayar kafarah karenaberhubungan
suami istri di siang hari di bulan Ramadhan. Syariat
memberikan pilihan apakah kita akan membayarnya
dengan membebaskan budak, berpuasa dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir
miskin.
b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, yaitu suatu
tindakan yang akan mendapat ganjaran jika dilakukan dan tidak

akan mendapat ancaman dari Allah Swt jika ditinggalkan, hal
ini disebut sebagai "sunnah (mandub)".
1) Sunnah Muakkadah, yaitu sunnah yang sering dilakukan
oleh nabi. Contohnya: sholat sunnah qobliyah dan ba’dliyah
shubuh.
2) Sunnah Ghairu Muakkadah, yaitu sunnah yang sesekali
tidak dikerjakan nabi. Contohnya: shalat tarawih.
3) Sunnah Adat, yaitu perbuatan nabi yang bukan dalam
rangka ibadah kepada Allah. Contohnya: cara berpakaian.
c. Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti,yaitu suatu
tindakan yang akan mendapat ancaman jika dilakukan dan akan
mendapat ganjaran dari Allah Swt jika ditinggalkan, hal ini
disebut sebagai "haram".
1) Haram lidzatihi, yaitu perbuatan yang haram menurut
hukum syar’i. Contoh : syirik, zina, dan mencuri.
2) Haram lighairigi, yaitu perbuatan yang pada asalnya
diperbolehkan atau disyariatkan, namun karena adanya
faktor lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan
kemudharatan yang menjadi haram. Contohnya: alcohol
yang haram karena mengandung khamr.
d. Sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan. Hal ini tidak memiliki
tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. tidak
diperintahkan dan tidak dilarang. Hukum ini disebut “ibahah”.
Sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau
tidak itu disebut “mubah”. Contohnya: melakukan perburuan
setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji.
e. Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak
pasti, yaitu suatu tindakan yang tidak akan mendapat ancaman
jika dilakukan danakan mendapat ganjaran dari Allah Swt jika
ditinggalkan, hal ini disebut sebagai "makruh". Contohnya:
Berkumur ketika berpuasa.

2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau
yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. Hukum wadh’i
menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Sebab
Hal ini berarti sebab disini sebagai suatu kejadian yang
dijadikan alasan sebab adanya hukum, dan tidak adanya
kejadian tersebut menyebabkan tidak adanya hukum.
Contohnya: Allah SWT mengharuskan untuk mengqasarkan
shalat sekiranya berada dalam keadaan musafir. Dan dalam
Firman Allah SWT: Dan apabila kamu musafir di muka bumi,
maka kamu tidaklah berdosa mengqasarkan (memendekkan)
sembahyang (an-Nisa': 101).
b. Syarat
Yang dimaksud adalah hal yang disusun berdasarkan
hukum Islam sebagai pelengkap dari perintah syar'i.
Pelaksanaan suatu perintah syar'i tidak sah tanpa syarat yang
ditetapkan.
Contohnya: wudhu menjadi syarat untuk melakukan sholat.
c. Mani’ (penghalang)
Hal ini berarti sesuatu yang dapat membatalkan hukum.
Contohnya: seorang perempuan yang sedang haid dilarang
melaksanakan sholat.
d. Akibat
Shah: akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang
memiliki syarat telah terpenuhi dan terhindar dari mani’.
Contohnya: Shalat dzuhur yang dilaksanakan tepat waktu
dalam keadaan suci dan tidak berhadast.
e. Bathal: akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang tidak
memiliki syarat telah terpenuhi dan terhindar dari mani’, atau
tidak terhindar dari mani’.

Contohnya: sholat magrib sebelum tepat waktunya dan
dilaksanakan ketika belum suci dari hadast.
f. Azimah dan Rukhsah
Azimah adalah hukum atau peraturan asli Allah yang
terdapat dalam nas (Al-Qur’an). Contohnya: kewajiban untuk
shalat lima waktu. Sedangkan Rukhsah adalah ketentuan yang
disyari’atkan oleh Allah sebagai bentuk keringanan yang
diberikan kepada mukallaf dalam keadaan khusus.
Contohnya: ketika seorang mukallaf diperbolehkan untuk
memakan bangkai dalam keadaan darurat, meskipun
sebenarnya bangkai tersebut haram dalam hukum Islam.
C. Pembuat Hukum (hakim)
Seperti yang telah dijelaskan, hukum syara’ adalah seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah SWT. Dari penjelasan tersebut,
dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” (ﻉﺮﺸﻟﺍ) dalam islam adalah Allah
SWT. Sedangkan para utusan Allah hanya menyampaikan risalah dan
hukum-hukum-Nya. Mereka tidak menciptakan atau menetapkan hukum.
Sementara para mujtahid hanya mengungkapkan hukum-hukum yang
tersembunyi. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun secara
adat mereka juga terkadang disebut hakim, (Abdullah Yusuf al-Juda’i,
1997: 71). Para ulama juga menyepakati konsep hakim ini, dan memiliki
perbedaan dalam hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, apakah akal mampu mengetahui hukum-hukum tersebut dengan
sendirinya atau memerlukan perantara seorang rasul. Terkait perbedaan
ini, Abdul wahab khallaf membagi menjadi tiga kelompok:
1. Madzhab Asy’ariah, pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari menyatakan
bahwa akal tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum Allah
dengan sendirinya tanpa perantara rasul dan kitab-Nya. Golongan
ini berpendapat bahwa kebaikan adalah sesuatu yang telah
ditunjukkan oleh syar’i bahwa itu baik, dan keburukan adalah suatu
yang telah ditunjukkan oleh syar’i bahwa itu buruk. Yang membuat

sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan Allah Swt,
akal tidak mempunyai kewenangan menetapkannya.
2. Madzhab Mu’tazilah, pengikut Washil bin Atha’ menyatakan
bahwa akal mampu mengetahui hukum-hukum Allah dengan
sendirinya tanpa perantara rasul dan kitab. Mereka yakin bahwa
sesuatu itu dapat dikatakan baik jika mereka memandang hal itu
baik, dan sesuatu itu buruk jika mereka memandang hal itu buruk.
3. Madzhab Maturidiyah, pengikut Abu Mansur Al-Maturidi.
Menurut Khallaf, madzhab ini merupakan penengah dan di anggap
sebagai pendapat yang lebih kuat. Madzhab ini menyatakan bahwa
akal sehat dapat menilai baik ataupun buruk, tetapi tidak mampu
menentukan hukum-hukum Allah karena kerja suatu akal itu
terbatas dan berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan.
Oleh karena itulah, dalam menentukan hukum-hukum Allah tetap
diperlukan adanya perantara utusan dan kitab-kitabnya, (Wahab
Khallaf,: 97-99).
D. Mahkum Fih
Mahkum fih merujuk pada tindakan seorang mukallaf yang terkait
dengan taklif atau pembebanan. Taklif dari Allah ditujukan kepada
manusia dalam setiap perbuatan. Tujuan taklif ini adalah untuk menguji
(ibtila’) hamba-hamba Allah, mengetahui siapa yang taat dan siapa yang
maksiat kepadaNya. Oleh karena itu, taklif selalu terkait dengan perbuatan
mukallaf, yang dikenal sebagai mahkum alaih, (M. Sulaiman Abdullah,
2004: 72).
Contohnya: Perintah Allah dalam firman-Nya : [ﺍوُداَطْصاَف ْﻢُﺘْلَلَح ﺍَذِإَو/ apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (QS.al-
Maidah:2)]
Hal tersebut berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berburu
setelah selesai melaksanakan ibadah haji yang dibolehkan. Jadi setiap
hukum syara’ mesti berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik
dalam bentuk tuntutan atau perintah (perintah melakukan atau perintah

meninggalkan), menyuruh memilih antara melakukan dan meninggalkan,
ataupun dalam bentuk ketentuan.
Adapun syarat-syarat mahkum fih adalah:
1. Perbuatan tersebut harus dipahami dengan jelas dan mendetail oleh
seorang mukallaf agar dapat menjalankan perintah dengan tepat
sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-Quran yang
bersifat universal dilakukan setelah Rasulullah Saw memberikan
petunjuk yang jelas tentang cara melaksanakannya. Seperti shalat,
puasa, dan lain-lain.
2. Mukallaf mengetahui bahwa perintah berasal dari Allah dan Rasul-
Nya. Oleh karena itu, dalam upaya mencari solusi hukum, fokus
utamanya adalah pada pembahasan mengenai otoritas sebuah dalil
sebagai sumber hukum.
3. Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa
perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan
atau meninggalkannya.
a) Masyaqqah Mu’tadah (kesulitan yang biasa), yaitu
kapasitas manusia untuk melaksanakan perbuatan tersebut
dianggap mampu, contohnya shalat, zakat, tidak sulit bagi
manusia untuk melakukannya. Melaksanakan syari’ah
memiliki manfaatnya sendiri, seperti dokter memberikan
obat pahit kepada pasien untuk kesembuhan/kebaikan
pasien.
b) Masyaqqah Ghairu Mu’tadah (kesulitan yang tidak biasa),
yaitu kapasitas manusia untuk melaksanakan perbuatan
tersebut dianggap tidak mampu, sehingga tidak ada
kewajiban untuk melaksanakannya.
Contohnya seperti haji dengan jalan kaki atau puasa
sepanjang tahun.
Berikut macam-macam mahkum fih:

1) Perbuatan yang ada secara material, tetapi tidak terkait
dengan syara (tidak menimbulkan akibat hukum syara),
seperti makan dan minum.
2) Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi
sebab adanya hukuman, seperti pembunuhan menjadi
sebab adanya hukuman qishash.
3) Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai
syara apabila memenuhi rukun dan syarat, seperti shalat
dan haji.
4) Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’,
serta mengabitkan munculnya hukum syara yang lain,
seperti nikah mengakibatkan halalnya hubungan seks,
kewajiban nafkah.

E. Mahkum ‘Alaih
Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu
berkaitan dengan hukum dari syari’. Seorang mukallaf dianggap shah
menanggung beban hukum menurut syara’, bila mereka memenuhi dua
syarat:
1. Seorang Mukallaf harus dapat memahami dalil taklif
(pembebanan), yaitu ia harus mampu memahami nash-nash hukum
yang dibebankan al-Qur’an dan al-Sunnah baik yang langsung
maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak mampu
memahammi dalil taklif tentu tidak akan dapat melaksanakan
tuntutan itu dan tujuan taklif tidak akan tercapai,
2. Mukallaf haruslah ahli (harus cakap dalam bertindak hukum)
dengan sesuatau yang dibebankan kepadanya. Berdasarkan konsep
ini, maka seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu
dan cakap bertindak hukum, maka semua amal mereka tidak
diketegorikan sebagi delik hukum. Misalnya anak kecil atau orang
gila.

 Ahliyyah: Secara etimologi, ahliyyah berarti kecakapan
menangani suatu urusan.
1. Ahliyyah al-Wujub (keahlian wajib), yaitu sifat kecakapan
seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya,
tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Misal: ia telah berhak menerima hibah, jika hartanya
dirusak orang lain, ia diangap mampu menerima ganti rugi.
Namun, ia dianggap belum cukup mampu untuk
menanggung kewajiban syariah seperti shalat, puasa, haji,
dan sebagainya. Meskipun dia melakukan hal tersebut,
statusnya hanya sebatas pendidikan dan bukan kewajiban.
Ukuran yang digunakan adalah sifat kemanusiaannya yang
tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan.
a) Ahliyyatal-wujub al-naqishah, yaitu anak yang
masih berada dalam kandungan ibunya (janin), ada
4 hak baginya: hak keturunan dari ayahnya, hak
warisan, wasiat, dan harta wakaf yang ditujukan
kepadanya.
b) Ahliyyatal-wujub al-kamilah, kecakapan menerima
hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia
sampai dinyatakan baligh dan berakal.
2. Ahliyyah al-Ada`(keahlian melaksanakan), yaitu sifat
kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah
dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan
seluruh perbuatannya, baik positif maupun negatif.
Ukurannya adalah ‘aqil, baligh dan rusyd (cerdas).
 Penghalang Keahlian (‘awaridh al-ahliyyah):
1) ‘Aridh Samawiy, yaitu halangan yang datangnya
dari Allah. Halangan yang tidak diupayakan dan
diusahakan oleh manusia, seperti gila.
2) ‘Aridh Kasbiy, yaitu halangan yang disebabkan oleh
manusia. Halangan ini sumbernya ada dua, yaitu

dari diri sendiri (tidur, pingsan) dan dari orang lain
(dipaksa).

Kesimpulan
Pada kesimpulannya hukum syara’ dapat diartikan sebagai
seperangkat, peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diyakini dan diakui, serta bersifat mengikat untuk seluruh
umat islam. Hukum syara’ merupakan hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik itu perkataan atau perbuatan, berupa melakukan
atau meninggalkan sesuatu. Hukum Syara’ ditetapkan oleh syariat yaitu al-
Quran dan As-Sunah.
Hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum Taklifi dan hukum
Wadh’i. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
hukum taklifi dalam ushul fiqh terbagi menjadi lima, yaitu; wajib, sunnah
(mandub), haram, mubah, dan makruh. Kemudian hukum yang kedua
adalah Wadh’i. Hukum Wadh’i adalah ebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa hukum wadh'i dalam ushul fiqh terbagi menjadi enam,
yaitu; sebab, syarat, mani’ (penghalang), akibat, bathal, dan azhimah
rukhsah.
Pembuat hukum atau disebut hakim. Pembuat hukum dalam islam
adalah Allah, sedangkan para utusan hanya menyampaikan risalah dan
hukum-hukum-Nya. Mereka bukan pencipta hukum syariat. Abdul Wahab
Khalaf membagi menjadi tiga kelompok; Madzhab Asy’ariah, Madzhab
Mu’tazilah, dan Madzhab Maturidiah.
Terkait dengan taklif atau pembebanan yang merujuk pada
tindakan seorang mukhallaf atau disebut Mahkum Fih. Mahkum Fih
memiliki beberapa syarat dan Mahkum Fih terbagi menjadi empat macam.
Seorang mukhallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syar’i.
Mereka dianggap shah apabila memenuhi dua syarat. Dengan terus
memahami dan mengkaji hukum syara', masyarakat Muslim diharapkan
dapat menjaga relevansi nilai-nilai Islam dalam menghadapi tantangan
modernisasi dan globalisasi.

Daftar Pustaka
Syarifuddin, A. Ushul Fiqih Jilid I. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011.
https://books.google.co.id/books?id=ro9ADwAAQBAJ&lpg=PP1&hl=id
&pg=PR4#v=onepage&q&f=false
Sahroji, I.. “Ushul Fiqih: Mengenal Istilah Hukum, Hakim, dan Mahkum Fih”
https://islam.nu.or.id/ . Diakses pada Sabtu, 14 September 2024.. Ushul
Fiqih: Mengenal Istilah Hukum, Hakim, dan Mahkum Fih (nu.or.id)
Farhan, M., dkk. “AHKAM (HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I ), AL -
HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH ”. Relinesia: Jurnal
Kajian Agama dan Multikulturalisme Indonesia, Vol. 3 No. 4 (2024).
Fatinah Lina. “Ilmu Ushul Fikih karangan Syekh Abdul Wahab Khalaf” Resume
Buku, UIN Sunan Gunung Djati, 2012