jurnal pendidikan dalam kajian sosiologi.pdf

AndaRista1 7 views 7 slides May 08, 2025
Slide 1
Slide 1 of 7
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7

About This Presentation

Jurnal sastra pendidikan


Slide Content

1



Analisis Bilingualisme dalam Film Merindu Cahaya de Amstel:
Kajian Sosiolinguistik



PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat komunikasi utama dalam kehidupan manusia yang tidak hanya
berfungsi untuk menyampaikan pesan, tetapi juga mencerminkan identitas, budaya, dan hubungan
sosial antarmanusia. Dalam dunia yang semakin global, fenomena penggunaan dua bahasa atau
bilingualisme menjadi hal yang lumrah, terutama dalam masyarakat multikultural. Bilingualisme
tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga muncul dalam berbagai media,
termasuk film. Film sebagai produk budaya memiliki kekuatan untuk merepresentasikan realitas
sosial dan menjadi media yang efektif dalam menggambarkan fenomena bahasa, termasuk
bilingualisme.
Dalam konteks sosiolinguistik, bilingualisme merujuk pada kemampuan seseorang atau
kelompok untuk menggunakan dua bahasa dalam kehidupan sosial mereka. Fenomena ini dapat
terjadi secara individual maupun kolektif, dan sering kali melibatkan proses peralihan kode atau
code-switching sebagai strategi komunikasi. Film menjadi salah satu sarana yang banyak
menampilkan praktik bilingualisme tersebut, terutama dalam film yang berlatar belakang budaya
atau negara yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesan realistis terhadap latar dan
karakter yang dihadirkan dalam film.


Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk bilingualisme yang
muncul dalam percakapan antar tokoh dalam karya fiksi. Bilingualisme merupakan fenomena
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu dalam suatu interaksi, baik secara
bergantian maupun bersamaan. Metode
Keywords: bilingualisme, percakapan, tokoh, analisis

yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan
data berupa simak dan catat terhadap dialog-dialog yang mengandung unsur bilingualisme.
Data yang dianalisis terdiri dari delapan percakapan yang menunjukkan penggunaan dua
bahasa, yaitu Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bilingualisme digunakan oleh para tokoh sebagai alat untuk
menyesuaikan diri dengan lawan bicara, mencerminkan latar belakang budaya, serta
membangun identitas sosial. Selain itu, peralihan bahasa juga digunakan untuk
mengekspresikan emosi, memperkuat makna tuturan, dan menciptakan kedekatan antar tokoh.
Temuan ini menunjukkan bahwa bilingualisme bukan sekadar fenomena linguistik, melainkan
juga memiliki fungsi pragmatik dan sosial dalam komunikasi antar tokoh fiksi.
wacana, fiksi

2



Salah satu film yang menarik untuk dikaji dalam konteks bilingualisme adalah Merindu
Cahaya de Amstel, sebuah film Indonesia yang mengangkat kisah lintas budaya antara Indonesia
dan Belanda. Film ini memuat interaksi antar karakter yang berasal dari latar budaya dan bahasa
yang berbeda, di mana penggunaan bahasa Indonesia dan Belanda digunakan secara bergantian
sesuai dengan konteks sosialnya. Praktik bilingualisme dalam film ini tidak hanya memperlihatkan
aspek linguistik, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan sosial, seperti pencarian identitas, konflik
budaya, hingga relasi antar tokoh yang kompleks.
Kajian sosiolinguistik terhadap bilingualisme dalam film dapat memberikan pemahaman
yang lebih dalam mengenai bagaimana bahasa digunakan sebagai penanda identitas sosial, alat
negosiasi makna, serta simbol perbedaan atau kedekatan sosial. Selain itu, analisis ini juga dapat
menunjukkan bagaimana film berperan dalam mereproduksi praktik sosial melalui bahasa.
Bilingualisme dalam film sering kali menjadi representasi dari kehidupan nyata masyarakat yang
berada dalam kondisi sosiokultural yang beragam, terutama di era globalisasi seperti sekarang ini.
Penelitian mengenai bilingualisme dalam film juga dapat memperkaya khazanah keilmuan
dalam studi sosiolinguistik, khususnya dalam memahami fenomena bahasa yang muncul dalam
konteks media audiovisual. Film tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai teks
budaya yang sarat akan nilai-nilai sosial dan linguistik. Oleh karena itu, kajian terhadap Merindu
Cahaya de Amstel menjadi relevan karena film ini mengandung berbagai elemen kebahasaan yang
merepresentasikan praktik bilingualisme dan dinamika sosial budaya antar bangsa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
bentukbentuk bilingualisme yang terdapat dalam film Merindu Cahaya de Amstel dengan
menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian ini juga akan membahas bagaimana
penggunaan dua bahasa dalam film tersebut merefleksikan relasi sosial antar tokoh serta
membangun identitas mereka di dalam narasi film. Diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ilmu bahasa, khususnya dalam memahami peran bahasa dalam
media dan masyarakat multibahasa.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pendekatan
ini dipilih karena sesuai untuk menggambarkan dan menganalisis fenomena bahasa yang terjadi
dalam film, khususnya penggunaan bilingualisme oleh tokoh-tokoh dalam Merindu Cahaya de
Amstel. Penelitian kualitatif deskriptif bertujuan untuk memahami makna, struktur, dan pola
komunikasi dalam suatu konteks sosial dan budaya secara mendalam. Sumber data dalam penelitian
ini adalah film Merindu Cahaya de Amstel yang dirilis pada tahun 2022. Data utama berupa
tuturantuturan atau dialog yang mengandung unsur bilingualisme, baik dalam bentuk pemakaian
dua bahasa secara bergantian (code-switching) maupun peminjaman unsur bahasa lain (code-
mixing). Data dikumpulkan melalui teknik simak dan catat, yaitu dengan menonton film secara
berulang dan mencatat dialog-dialog yang relevan dengan fokus penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), yaitu teknik untuk
mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan mendeskripsikan bentuk-bentuk bilingualisme yang
ditemukan dalam film. Peneliti menggunakan teori sosiolinguistik sebagai dasar analisis untuk
memahami konteks sosial dari penggunaan dua bahasa dalam dialog tokoh. Setiap data dikaji
berdasarkan jenis bilingualisme (koordinatif atau komposit), bentuk peralihan kode, serta

3



faktorfaktor sosial yang melatarbelakanginya. Keabsahan data diuji dengan triangulasi teori, yaitu
membandingkan hasil temuan dengan teori-teori yang relevan, serta dengan diskusi sejawat untuk
memperoleh perspektif yang lebih objektif. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh bersifat valid
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis akan membahas temuan-temuan yang ditemukan dalam analisis
bilingualisme pada percakapan dalam film Merindu Cahaya de Amstel. Bilingualisme, yang
merujuk pada penggunaan dua bahasa secara bersamaan oleh penutur, merupakan fenomena yang
cukup menarik untuk diteliti, terutama dalam konteks komunikasi antarbudaya. Dalam film ini,
penggunaan bahasa Belanda dan Indonesia oleh karakter-karakter utamanya menunjukkan
bagaimana bilingualisme terjadi dalam percakapan sehari-hari, baik sebagai alat komunikasi
maupun sebagai representasi identitas budaya. Analisis ini bertujuan untuk menggali lebih dalam
bagaimana bilingualisme diaplikasikan dan apa dampaknya terhadap interaksi sosial antar tokoh
dalam film tersebut. Adapun, berikut adalah penyajian data nya:

Data 1
Kemala: “Wat is er mis met je? Waarom liet je me hier weggaan? Wie ben je?”
(Ada apa denganmu? Apa maksudmu dengan memintaku turun di sini? Siapa kamu?)
Khadijah: “Look at your bag!” (Lihat tasmu)
Kemala: “Astaghfirullah, untung gak tembus”
Khadijah: “Maaf sekali aku tidak memberitahumu sebelumnya di bus, aku takut ada keributan.”
Kemala: “Ya, tidak apa-apa.”

Penjelas:
Percakapan ini menunjukkan praktik bilingualisme antara dua tokoh, yaitu Kemala dan
Khadijah. Kemala adalah mahasiswa asal Indonesia yang menempuh studi di Belanda, sementara
Khadijah adalah warga Belanda yang fasih berbahasa Indonesia. Pada tuturan di atas, terdapat
penggunaan Bahasa Belanda (Wat is er mis met je?, dll.), Bahasa Inggris (Look at your bag), dan
Bahasa Indonesia.
Bentuk bilingualisme yang terlihat dalam data ini adalah bilingualisme individual, yaitu
kemampuan individu (dalam hal ini Khadijah dan Kemala) menggunakan dua bahasa dalam situasi
komunikasi. Penutur (Khadijah) memanfaatkan dua bahasa dalam satu percakapan untuk
menyampaikan maksudnya secara efektif. Meskipun Khadijah berasal dari Belanda, ia lebih
memilih menggunakan Bahasa Indonesia (B2) dalam sebagian besar tuturan kepada Kemala yang
merupakan penutur asli Bahasa Indonesia (B1). Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian kode
(code adjustment) berdasarkan latar belakang mitra tutur. Situasi percakapan ini juga
mencerminkan konteks sosial yang khas dalam bilingualisme, di mana perpindahan kode dilakukan
bukan hanya karena kebutuhan linguistik, tetapi juga karena pertimbangan sosial dan kedekatan
personal.

4



Data 2
Nicholas: “Hallo, is er iets dat ik kan helpen?” (Halo, ada yang bisa saya bantu?) Kemala:
“Ja, boleh.” (Iya, boleh.)
Nicholas: “Ok, let me see.” (Baiklah, mari kita lihat.)
Nicholas: “Kamu dari Indonesia ya?”
Kemala: “Iya, kok tahu?”
Nicholas: “Ada bendera merah putih di tasmu.” Kemala:
“Oh ya.” Penjelasan:
Nicholas adalah warga asli Belanda yang menguasai bahasa Indonesia karena memiliki teman
dekat asal Indonesia. Ia merupakan mahasiswa arsitektur yang juga bekerja sebagai fotografer.
Percakapan ini terjadi saat awal pertemuan Nicholas dan Kemala, ketika Nicholas membantu
Kemala yang mengalami kesulitan dengan sepedanya. Tuturan di atas merupakan bentuk
bilingualisme karena terdapat penggunaan dua bahasa, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Nicholas sebagai penutur, dan Kemala sebagai mitra tutur, menunjukkan bentuk bilingualisme
dalam komunikasi mereka. Meskipun Nicholas menggunakan bahasa Belanda pada awal
percakapan, ia lebih banyak menggunakan B2 (bahasa Indonesia) ketika berinteraksi lebih lanjut
dengan Kemala.

Data 3
Pimpinan kantor: “Wait, laat me de foto daarvoor zien. Zoom in op het meisje met hijab. Hey, dat
meisje ziet er glanzend uit.”
(Tunggu, coba lihat foto sebelumnya. Zoom ke arah perempuan berhijab itu. Hey, perempuan itu
terlihat bersinar.)
Nicholas: “Ya, maybe het zonlicht or…” (Ya, mungkin karena cahaya atau...)
Pimpinan kantor: “Whatever it is. Ik wil die foto voor de editie van deze week.”
(Apapun itu, saya ingin foto itu untuk edisi minggu ini.)
Nicholas: “But…” (Tapi...)
Pimpinan kantor: “Geen excuses. Joko will prepare a contract. Also put a title in the contract.”
(Tidak ada alasan. Joko akan siapkan kontraknya, juga cantumkan judulnya.)
Nicholas: “What the title?” (Apa judulnya?)
Pimpinan kantor: “De title is “A Muslim beside the Amsterdam river” or “Angel in light”. Yeah,
ok.” (Judulnya "Seorang Muslim di tepi sungai Amsterdam" atau "Malaikat dalam cahaya", ya, oke.)
Penjelasan:
Percakapan ini terjadi antara Nicholas dan atasannya di kantor tempat ia bekerja sebagai
fotografer. Nicholas secara tidak sengaja mengambil foto Khadijah yang sedang berada di tepi
sungai Amsterdam, yang kemudian menarik perhatian atasannya karena pencahayaan foto tersebut.
Dalam percakapan ini, terdapat penggunaan tiga bahasa, yaitu bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan
bahasa Indonesia secara minimal. Dialog ini menunjukkan bilingualisme dalam bentuk campuran
antara bahasa Belanda dan Inggris. Nicholas sebagai penutur menggunakan B1 (bahasa Belanda)
dan B2 (bahasa Inggris) saat berbicara dengan atasannya, yang juga merespons dengan pola
bilingualisme serupa.

Data 4
Khadijah: “Maaf, bukunya jadi ambil?”

5



Nicholas: “Iya.”
Khadijah: “20 euro.”
Nicholas: “Ik heb.” (Saya punya.)
Khadijah: “Veel leesplezier!” (Selamat membaca!) Penjelasan:
Percakapan ini terjadi di sebuah toko buku ketika Nicholas membeli buku dan Khadijah
bertugas sebagai penjaga kasir. Dialog ini mencerminkan bentuk bilingualisme karena kedua tokoh
menggunakan dua bahasa dalam satu percakapan, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.
Nicholas dan Khadijah memiliki kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa Belanda
(B1) serta bahasa Indonesia (B2) dalam konteks percakapan sehari-hari. Hal ini menunjukkan
adanya peralihan kode (code-switching) dalam interaksi mereka.

Data 5
Sarah: “Peter, kun je op me wachten in de auto?” (Peter, boleh tungguin aku di dalam mobil?)
Peter: “Oke, ik zal op je wachten doemnstain.” (Baiklah, aku akan menunggumu.)
Kemala: “Perjanjian kita gak ada yang bawa cowok ke kamar loh, Sar.” Sarah:
“Iya, Peter cuma bantuin bawa koper gue doang kok.” Penjelasan:
Percakapan ini terjadi di kamar apartemen Kemala ketika Sarah datang bersama Peter. Sarah
dan Peter berbicara menggunakan bahasa Belanda, sedangkan Sarah dan Kemala menggunakan
bahasa Indonesia. Dialog ini menggambarkan bentuk bilingualisme karena terdapat dua bahasa
yang digunakan oleh para tokohnya, yaitu bahasa Belanda (B1) dan bahasa Indonesia (B2). Sarah
menunjukkan kemampuannya dalam bilingualisme dengan menyesuaikan bahasa yang digunakan
berdasarkan lawan bicaranya—bahasa Belanda kepada Peter, dan bahasa Indonesia kepada Kemala.
Data 6
Niels: “Marien, wait, wow nu wil je ook niet aangeraakt worden?” (Marien, tunggu, bahkan sekarang
kamu tidak mau disentuh?)
Khadijah: “Stop it, Niels!” (Berhenti, Niels!)
Niels: “Kijk naar jezelf, kijk naar je haar.” (Lihat dirimu, lihat rambutmu!)
Khadijah: “No. Give it back, Niels!” (Jangan, kembalikan itu, Niels!)
Nicholas: “Doe geen moeite meer of I maak je af.” (Jangan ganggu dia lagi atau aku akan
menghajarmu!)
Niels: “Ok, maar zodat je het weet, je vriend die doet alsof hij helemaal puur is, woonde vroeger in
dezelfde kamer als ik. Ik heb ook nog steeds onze andere video’s opgeslagen.” (Baik, tapi asal kau tahu,
temanmu yang pura-pura suci itu dulu sekamar denganku. Aku masih menyimpan video kami yang lain.)
Penjelasan:
Percakapan ini terjadi ketika Niels berusaha melecehkan Khadijah dengan mencoba membuka
kerudungnya secara paksa. Khadijah berteriak dan mencoba mempertahankan dirinya hingga
Nicholas datang dan membela Khadijah. Dalam interaksi ini terlihat bentuk bilingualisme karena
digunakan tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan sedikit Indonesia. Niels dan Khadijah
menggunakan bahasa Belanda (B1), sementara Nicholas menggunakan campuran bahasa Belanda
dan Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga tokoh tersebut memiliki kemampuan bilingualisme,
bahkan bisa dikatakan multilingualisme karena mereka mampu menggunakan lebih dari dua bahasa
dalam komunikasi sehari-hari.

6



Data 7
Khadijah: “Aku membawakan kamu nasi goreng, kata Joko kamu suka. Silakan dicoba.”
Khadijah: “Bagaimana rasanya? Kamu suka?”
Nicholas: “Heerlijk, ik hou ervan.” (Enak, aku suka!)
Khadijah: “Bedankt.” (Terima kasih.) Penjelasan:
Percakapan ini menggambarkan interaksi sederhana antara Khadijah dan Nicholas saat
Khadijah membawakan makanan kepada Nicholas. Dalam dialog tersebut, Khadijah menggunakan
bahasa Indonesia (B2), sedangkan Nicholas menanggapinya dengan bahasa Belanda (B1). Situasi
ini memperlihatkan bentuk bilingualisme dalam konteks sehari-hari, di mana masing-masing tokoh
mampu memahami dan menggunakan dua bahasa untuk saling berkomunikasi.

Data 8
Nicholas: Apa yang harus aku lakukan agar bisa menjadi lebih dari sahabat?
Nicholas: “Ik meen het, Khadijah.” (Aku serius, Khadijah.) Khadijah:
“Maaf, aku harus segera pergi.” Penjelasan:
Data ini menampilkan percakapan antara Nicholas dan Khadijah dalam situasi yang
emosional. Nicholas mengungkapkan perasaannya kepada Khadijah dalam bahasa Indonesia (B2),
lalu menguatkan ucapannya dengan bahasa Belanda (B1). Khadijah, yang merasa canggung,
memilih untuk menghindar dan tidak menjawab secara langsung. Bentuk bilingualisme terlihat jelas
ketika satu tokoh menggunakan dua bahasa dalam satu percakapan untuk menyampaikan emosi dan
intensitas yang lebih mendalam.
Berdasarkan delapan data percakapan yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa
fenomena bilingualisme sangat tampak dalam interaksi antar tokoh, baik dalam konteks formal
maupun informal. Para tokoh mampu menggunakan dua bahasa, bahkan lebih, dalam satu situasi
percakapan untuk menyampaikan maksud secara efektif. Perpindahan antar bahasa (code
switching) dilakukan secara alami sesuai dengan kebutuhan komunikasi, hubungan antar tokoh,
serta konteks sosial yang melatarbelakangi percakapan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
bilingualisme tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan
dinamika sosial para tokoh dalam cerita.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis terhadap delapan data percakapan dalam karya yang diteliti, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan bilingualisme menjadi strategi komunikasi yang umum dan efektif
di antara para tokoh. Bilingualisme yang muncul berupa peralihan bahasa (code switching) dari
Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia, atau sebaliknya, bahkan terkadang disertai Bahasa Inggris,
menunjukkan adanya penguasaan lebih dari satu bahasa oleh para tokoh. Hal ini tidak hanya
memperkaya interaksi dalam cerita, tetapi juga mencerminkan identitas, latar belakang, serta
kedekatan sosial para penutur. Penggunaan bahasa yang beragam ini menunjukkan bahwa bahasa
bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai penanda sosial dan budaya yang penting
dalam membentuk karakter serta membangun suasana cerita.

7



DAFTAR REFERENSI
Fitria, T. N. (2020). Bilingualism found in the movie script of The Queen. PROJECT (Professional
Journal of English Education), 3(5), 589–594.
Fishman, J. A. (2009). Bilingualism and biculturalism in media. Multilingual Matters.
Krippendorff, K. (2018). Content analysis: An introduction to its methodology (3rd ed.). SAGE
Publications.
Ma’arif, M. S., & Lailia, N. (2022). “Analisis sosiolinguistik bilingualisme dalam film Layla
Majnun karya Monty Tiwa.” Peneroka: Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, 2(2).
Moleong, L. J. (2019). “Metodologi penelitian kualitatif (ed. revisi).” PT Remaja Rosdakarya.
Nurhidayat, B. (2022). “Representation of cultural identity through language in Indonesian
films.” Jurnal Sosiolinguistik Indonesia, 7(2), 44–50.
Oktaviyani, D., & Nurmalisa, D. (2023). “Kajian bilingualisme pada dialog antar tokoh dalam novel
This is why I need you karya Brian Khrisna.” Jurnal Ilmiah Semantika, 4(2).
Sudaryanto. (2015). “Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.” Sanata Dharma University
Press.
Sugiyono. (2022). “Metode penelitian kualitatif, kuantitatif, dan R&D.” Alfabeta.
Suryani, R. (2023). “Bilingual practices in Indonesian films: A sociolinguistic review.” Jurnal
Ilmiah Bahasa dan Sastra, 9(1), 15–22.
Wardhaugh, R., & Fuller, J. M. (2021). An introduction to sociolinguistics (8th ed.).
WileyBlackwell.
Tags