Kelompok 15 - Konflik, Krisis Keluarga dan Manajemen

citrayunianti1 7 views 28 slides May 07, 2025
Slide 1
Slide 1 of 28
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28

About This Presentation

Tugas Psikologi UNJ - Psikologi Keluarga


Slide Content

KONFLIK, KRISIS KELUARGA,
DAN MANAJEMEN KRISIS
Disusun oleh Kelompok 15:
Citra Yunianti 1801617129(Kelas Pagi)
Eka Lestari Ningsih 1801617083(Kelas Pagi)
Naurah Nadzifah1801617017(Kelas Siang)
Ummi Maimunah 1801617086(Kelas Pagi)
Dosen Pengampu:
Mauna, M.Psi., Psikolog
Ernita Zakiah, M. Psi, Psikolog
Kelas:
Psikologi Keluarga, Selasa Pukul 08.00
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020

Beberapa konflik dan perdebatan merupakan sesuatu yang wajar dalam sebuah hubungan. Dua
orang yang berbeda tidak akan selalu setuju dalam setiap hal. Ketegangan tercipta dan
kesalapahaman terjadi selama menjalani proses kehidupan. Banyak keputusan yang diambil
dalam sebuah hubungan menyebabkan kekecewaan, rasa frustasi, dan terkadang peraturan yang
sudah dibuat menghasilkan tatapan kebencian, perkataan kasar, dan berakhir pada pertengkaran.
Beberapa pasangan kekasih atau suami istri memiliki konflik melebihi yang lain, walau beberapa
diantara pasangan tersebut dapat mengatasi konflik mereka.
Bagaimana konflik yang terkelola dan berapa banyak konflik yang tercipta membedakan mana
pasangan yang puas akan hubungannya dan mana yang tidak (E. Jones dan Gallois, 1989).
Konflik dapat menghancurkan rasa cinta, bahkan rasa cinta yang ada pada pernikahan yang
bahagia. Tapi konflik juga dapat meredakan ketegangan, mencairkan suasana, dan membuat
kedua pasangan tersebut menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Hal ini tergantung pada situasi
yang ada, fokus dari konflik, cara mengatasi dan pemecahan masalahnya.
KONFLIK DAN ANAK-ANAK
Ada beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan saat anak-anak mulai terlibat konflik
keluarga. Bagaimana anak-anak terkena dampak yang dihasilkan dari konflik? Apakah dampak
yang diterima oleh anak yang sudah beranjak dewasa akan sama dengan anak yang usianya lebih
muda? Haruskah orang tua bertengkar di depan anaknya? Dan apakah bijak jika orang tua
menyembunyikan pertengkaran mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk
kesejahteraan keluarga dan anaknya.
Lingkungan Keluarga
Saat lingkungan keluarga memiliki karakter yang positif seperti cinta, kehangatan, keimanan,
kepercayaan, penuh pengertian, dan empati maka anak akan tumbuh berkembang dengan baik.
Lingkungan seperti itu membuat mereka merasa nyaman menjadi dirinya sendiri dan membuat
mereka tahu bahwa diri mereka disayangi dan diinginkan. Sebaliknya, penelitian menunjukkan
bahwa anak yang dibesarkan di lingkungan yang penuh konflik dan kemarahan akan
menimbulkan risiko pada perkembangan perilaku dan emosinya (Jaycox dan Repetti, 1993).

Konflik Antar Orang Tua
Konflik antar orang tua merupakan sumber stres untuk anak sehingga menjadi masalah dalam
penyesuaian anak. Semakin terganggunya fungsi orang tua sebagai keluarga, semakin besar
anak-anak menganggap dirinya menyusahkan sehingga mengurangi ketahanan mental anak
dalam keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman saat mereka berkumpul dengan
keluarganya. Studi empiris membuktikan bahwa anak yang sering melihat orang tua mereka
bertengkar secara intens akan menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri dan perilaku
yang bermasalah pada anak.
Pertengkaran antar orang tua yang berhubungan langsung pada anak, seperti ketidaksepakatan
dalam mengasuh anak, memiliki dampak lebih parah dibanding pertengkaran yang tidak
berhubungan langsung dengan anak. Anak mulai melihat diri mereka sebagai sumber konflik dan
mulai menyalahkan diri atas masalah orang tua mereka. Akhirnya, mereka lebih terganggu
dibanding pertengkaran yang tidak melibatkan mereka. Selanjutnya, orang tua yang bertengkar
satu sama lain kemungkinan akan melampiaskan kemarahannya pada anak mereka. Terkadang
anak yang lebih tua akan ikut dalam pertengkaran orang tua mereka dengan memihak salah
satunya atau mencegah keduanya bertengkar. Kegagalan dalam meredam pertengkaran orang tua
mereka akan mengganggu pikiran anak, dan lagi anak akan menyalahkan diri sendiri karena
tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebanyak sembilan puluh dua orang tua dengan anak berusia 9-13 tahun berpartisipasi dalam
studi yang ditunjukkan bahwa konflik yang berulang dalam keluarga anak-anak yang sensitif
terhadap agresi orang tua mereka, memiliki hasil bahwa konflik berikutnya lebih memiliki efek
dibanding konflik sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, kekerasan fisik antar orang tua akan
berefek pada penarikan diri anak dan kecemasannya (Gordis dkk., 1997).
Anak yang Lebih Tua dan Dewasa
Frekuensi atau intensitas konflik antar orang tua sering diasosiasikan dengan berbagai macam
indikator dari ketidakmampuan penyesuaian diri saat anak beranjak dewasa, termasuk

berperilaku negatif, masalah emosional, dan akademik yang buruk (Buehler dkk., 1994). Sebuah
analisis dari dampak konflik pernikahan dan orang tua-anak mengindikasikan anak yang lebih
tua secara intens agak defensif dan bereaksi emosional (kemarahan dan ketakutan) terhadap
konflik itu (Hall dan Cummings, 1997). Sebuah investigasi menunjukkan bahwa ketegangan
konflik keluarga meningkatkan keinginan untuk bunuh diri (Shagle dan Barber, 1993).
SUMBER DARI KONFLIK
Konflik kemungkinan bersumber dari personal, fisik, interpersonal, situasi atau lingkungan.
Sumber Personal
Konflik sumber personal berasal dari individu saat dorongan dari diri sendiri, insting, dan nilai-
nilai saling bertentangan satu sama lain. Konflik itu bukan berasal dari pasangan melainkan dari
pribadi diri sendiri dan ketegangan dari perang batin. Hasil dari perang batin ini, akan menjadi
perselisihan individu atau menjadi pertengkaran yang memperkeruh suasana.
Ketakutan irasional, kecemasan, dan kebutuhan neurotik bisa menjadi dasar peselisihan antar
pasangan. Sebagai contoh, seorang yang memiliki ketakutan berlebihan akan kehilangan
pasangannya akan menunjukkan kecemburuan yang ekstrim. Gangguan emosional juga
merupakan dasar perselisihan. Contohnya, salah satu pasangan mengalami depresi akan
menunjukkan sikap yang mengganggu dan bermusuhan saat pasangannya mencoba untuk
berinteraksi dengannya (Schmaling dkk., 1991).
Sumber Fisik
Sumber fisik berasal dari ketegangan batin yang tercipta karena kondisi fisik sendiri. Kelelahan
fisik salah satu contohnya. Kelelahan menyebabkan iritabilitas, kelelahan emosional, tidak
sabaran, penalaran tertanggu, dan sedikit toleransi untuk stress. Ini akan menyebabkan orang-
orang yang kelelahan tersebut berkata atau berperilaku tidak seperti biasanya. Kelaparan,
kelebihan jam kerja, tekanan gula darah yang rendah, dan sakit kepala juga dapat menjadi
sumber ketegangan konflik.

Sumber Interpersonal
Sumber interpersonal melibatkan hubungan antar individu. Semua pasangan mengalami masalah
pernikahan, tapi pernikahan yang tidak bahagia sering mengeluh karena merasa diabaikan dan
merasa kekurangan cinta, afeksi, kepuasan seksual, pengertian, dihargai, rasa persahabatan.
Selanjutnya, mereka akan membenci diri mereka sendiri dan pasangannya akan berpikir bahwa
rasa benci itu disebabkan oleh mereka, dengan usaha yang sedikit dalam menyelesaikan masalah
akhirnya mereka akan jatuh pada kesimpulan yang salah. Mereka merasa tidak berharga dan
berfokus pada keluhan dan masalahnya bukan pada pemecahan masalahnya. Kekurangan
komunikasi, ketidakmampuan menyelesaikan perbedaan, dan sikap mau mengalah satu sama lain
juga merupakan sumber konflik interpersonal (Dhir dan Markman, 1984).
Sumber Situasi atau Lingkungan
Konflik yang berasal dari situasi atau lingkungan termasuk diantaranya lingkungan tempat
tinggal, tekanan sosial yang dialami anggota keluarga, toleransi antar budaya, dan kejadian tidak
terduga yang megganggu fungsi keluarga.
Terkadang hubungan pernikahan akan tetap baik-baik saja sampai ada suatu kejadian yang
menyebabkan trauma sehingga dapat menghancurkan pernikahan. Terkadang pernikahan yang
sudah berjalan baik-baik selama puluhan tahun tiba-tiba mengalami konflik. Sebagai contoh,
seorang pria tidak dapat menangani emosinya sendiri karena kehilangan ayahnya, ia merasa
terisolasi dan terampas sesuatu yang berharga darinya, lalu dia merasa menjadi anak yang tidak
berguna dan menyerah tugasnya dalam pernikahan yang sudah dibangunnya. Dalam hal ini,
kejadian spesifik yang menyebabkan trauma dapat memicu pertengkaran walau memang bibit
permasalahan sudah ada sebelumnya.
METODE DALAM MENANGANI KONFLIK
Yang jadi masalah dalam konflik keluarga bukanlah konflik itu sendiri, melainkan bagaimana
cara menyelesaikan konflik tersebut. Beberapa pasangan bisa menangani masalahnya sehingga

konflik terselesaikan. Dan beberapa lainnya menangani masalah mereka dengan cara yang salah
sehingga memicu konflik yang lebih besar.
Penghindaran
Beberapa pasangan mencoba meredakan ketegangan dengan menghindar satu sama lain. Mereka
mencoba untuk mencegah konflik dengan menghindari orang-orang, situasi, dan hal-hal yang
dapat memicu sebuah konflik. Contohnya, seorang suami merasa istrinya sensitif dengan rambut
keriting yang dimiliki istrinya, jadi ia tidak akan berkomentar apa-apa tentang rambut istrinya.
Dalam beberapa kasus, pasangan mencoba menghindar untuk berdiskusi hal-hal yang sensitif
padahal hal ini penting untuk didiskusikan dalam pernikahan. Dalam kasus ini memendam dan
menghindari masalah merupakan tindakan yang merugikan karena saat pasangan menghindari
konflik mereka juga gagal dalam menyelesaikan konflik itu sendiri. Mereka tidak pernah mau
mendiskusikan hal sensitif tersebut dan berakhir dalam perasaan kesepian, kurangnya timbal
balik dalam upaya penyelesaian masalah, kehilangan rasa kedekatan yang intim, dan menolak
segala bentuk dari interaksi pasangannya.
Terkadang menghindar untuk sementara merupakan keputusan yang bijak. Solusi yang baik bisa
ditemukan saat semua perasaan negatif telah mereda dan para pasangan tersebut sudah dapat
berpikir dengan logika yang sehat. Orang yang sedang kesal dengan pasangannya mungkin ingin
melakukan aktivitas fisik, pergi ke bioskop, mengunjungi tetangga, atau mendiskusikan dengan
konselor mereka sebelum menyelesaikan masalahnya.
Diskusi dan Katarsis
Lawan dari menghindari masalah ialah menghadapi masalah dengan mendiskusikannya.
Berdiskusi bermaksud untuk mengekspresikan semua emosi negatif yang ada. Konsep ini sudah
dipakai dalam psikoterapi selama bertahun-tahun. ini melibatkan mendorong orang-orang yang
kesal untuk berbicara atau mengungkapkan perasaan mereka agar mereka terbuka; hanya dengan
demikian individu dapat mengamati perasaan mereka, memahaminya, dan menyalurkannya ke
arah yang tidak terlalu merusak. pendekatan terapeutik ini. yang menekankan pentingnya
"melampiaskan", didasarkan pada gagasan katarsis, atau menguras emosi dan perasaan negatif

sehingga dapat digantikan dengan yang lebih positif. ini mengasumsikan bahwa orang memiliki
kecenderungan ke arah agresi yang tidak dapat dibungkam. jika mereka mencoba untuk menekan
kecenderungan ini, itu hanya akan menghasilkan ekspresi yang lebih menghinakan di kemudian
hari. oleh karena itu, lebih baik membiarkan agresi melalui serangkaian konfrontasi kecil
daripada membiarkan perasaan negatif menumpuk hingga menjadi bom hubungan yang
potensial.
Pendekatan untuk menangani konflik ini dapat menjadi psikoterapi yang bermanfaat bagi orang-
orang dengan perasaan permusuhan dan masalah emosional. tetapi melampiaskan permusuhan
seseorang di sofa psikiater, di pusat konseling, atau di lingkungan psikoterapi lain, dan di
hadapan terapis terlatih, jauh berbeda dengan melakukan hal yang sama di rumah sendiri, di
mana permusuhan diarahkan ke pasangan atau anak-anak. dalam terapi, orang dewasa dapat
mengungkapkan permusuhan terhadap anggota keluarga secara lisan, atau seorang anak dapat
mengungkapkannya secara fisik, di hadapan terapis, tetapi tidak benar-benar di hadapan fisik
orang tersebut. memberi tahu terapis "Aku benci pasanganku" jauh berbeda dengan benar-benar
memberi tahu pasangan "Aku benci kamu". pada contoh pertama, permusuhan mungkin telah
dikeringkan tanpa membahayakan, sedemikian rupa sehingga ketika individu kembali ke rumah
dia merasa kurang membenci; tetapi dalam contoh kedua, meskipun individu tersebut merasa
lebih baik, pasangannya merasa lebih buruk dan biasanya akan membalas dengan cara tertentu.
hal ini dapat menyebabkan meningkatnya perasaan permusuhan di antara kedua orang tersebut.
hampir tidak ada penelitian yang mendukung gagasan katarsis dalam keluarga dan beberapa
menunjukkan sebaliknya; Artinya, kesempatan untuk mengamati atau melampiaskan amarah,
permusuhan, dan kekerasan cenderung menghasilkan tingkat agresi dan kekerasan yang lebih
besar (Tavris, 1982). alasannya adalah bahwa keluarga adalah kelompok yang intim dan terbatas,
dengan anggota yang sangat terlibat satu sama lain. jika permusuhan yang berlebihan ditujukan
kepada anggota keluarga lainnya, mereka merasa marah, terluka, atau salah paham. jika emosi
reaktif ini tidak ditangani, ketidaksepakatan tambahan muncul dan ketegangan meningkat,
terkadang ke tingkat yang tidak dapat ditoleransi. Terlebih lagi, anggota keluarga tidak bisa lepas
dari sumber gesekan tanpa memecah belah keluarga, meski hanya sementara. tentu saja, toleransi
terhadap agresi verbal sangat beragam. apa yang dianggap seseorang sebagai agresi yang
berlebihan mungkin merupakan perilaku yang dapat diterima sepenuhnya oleh orang lain. Yang

paling penting di sini adalah kenyataan bahwa ketika agresi verbal menjadi berlebihan, hal itu
dapat menyebabkan agresi fisik (Phelps, Meara, Davis dan Patton, 1991).
satu penelitian terhadap lebih dari 5.000 pasangan menemukan bahwa pria dan wanita terlibat
dalam jumlah yang sama dalam agresi verbal terhadap pasangan mereka. Agresi ini cenderung
menurun seiring bertambahnya usia dan dengan meningkatnya jumlah anak dalam keluarga dan
meningkat dengan penyalahgunaan alkohol dan penggunaan obat-obatan lain. Status sosial
ekonomi dan ras tidak ditemukan berhubungan dengan agresi verbal (Straus dan Sweet, 1992).
Bagaimana dengan pendekatan yang lebih intelektual dan rasional untuk pemecahan masalah?
Bukti menunjukkan bahwa keluarga yang mengambil pendekatan tenang, rasional, intelektual,
dan menekan emosi memiliki tingkat kekerasan fisik yang jauh lebih rendah. ini bahkan lebih
benar untuk keluarga kelas pekerja daripada untuk keluarga kelas menengah. pendekatan
intelektual yang mengamati "kesopanan" dan "etiket" dalam hubungan interpersonal lebih
membantu dalam jangka panjang dalam mempromosikan keharmonisan dan stabilitas
perkawinan dan dalam menyelesaikan konflik (M.J. Martin, Schumm, Bugaighis, Jurich, dan
Bollman, 1987).
konflik konstruktif
perbedaan harus dibuat antara konflik yang konstruktif dan konflik yang merusak. Argumen
konstruktif adalah argumen yang menyerang masalah, berpegang pada masalah, dan mengarah
pada pemahaman yang lebih lengkap dan pada konsensus, kompromi, atau solusi lain yang dapat
diterima untuk masalah tersebut. mereka meminimalkan emosi negatif, menumbuhkan rasa
hormat dan kepercayaan diri, dan mendekatkan pasangan. mereka terjadi dalam suasana yang
tidak bermusuhan dan saling percaya di mana ketidaksepakatan yang jujur dapat dibahas dan
dipahami dan di mana argumen berkembang sesuai dengan aturan yang adil. mereka melibatkan
respons verbal negatif tingkat rendah.
konflik yang merusak
Argumen yang merusak adalah argumen yang menyerang orang lain dan bukan masalah. mereka
berusaha untuk mempermalukan, meremehkan, atau menghukum orang lain melalui panggilan
nama atau dengan menyerang isu-isu sensitif dalam semangat niat buruk, kebencian, balas
dendam, atau penghinaan (Halford, Hahlweg, dan Dunne, 1990). mereka sering kali

mengandalkan kritik dan komentar pribadi negatif dalam upaya memengaruhi orang lain.
Argumen yang merusak dicirikan oleh kurangnya komunikasi yang tulus dan oleh kecurigaan,
dan sering kali bergantung pada strategi antarpribadi yang melibatkan ancaman atau pemaksaan.
argumen tersebut memunculkan banyak masalah sampingan, dan berusaha meredakan
ketegangan penyerang sendiri dengan mengorbankan orang lain. argumen destruktif
meningkatkan tingkat ketegangan; meningkatkan kebencian dan permusuhan terhadap orang
lain; merusak kepercayaan diri, kepercayaan, persahabatan dan perasaan kasih sayang;
mengakibatkan hilangnya persahabatan; dan menimbulkan keterasingan yang lebih besar. salah
satu ciri argumen destruktif adalah cara mereka keluar jalur dan mengangkat masalah yang tidak
relevan.
KRISIS KELUARGA
Krisis dapat didefinisikan sebagai perubahan drastis dalam perjalanan peristiwa, itu adalah titik
balik yang mempengaruhi tren peristiwa masa depan, ini adalah waktu ketidakstabilan, yang
membutuhkan keputusan dan penyesuaian. terkadang krisis berkembang karena kejadian di luar
keluarga: badai, gempa bumi, banjir, perang, depresi ekonomi, atau penutupan pabrik. di lain
waktu krisis terjadi dalam sistem keluarga: perceraian, alkoholisme, kehilangan anggota
keluarga, atau konflik yang meletus dalam kekerasan (Weigel, Weigel, dan Blundall, 1987).
Krisis internal cenderung menurunkan semangat keluarga, meningkatkan kebencian,
keterasingan, dan konflik. kadang-kadang krisis mengembangkan serangkaian peristiwa
eksternal dan internal yang lebih kecil yang membangun ke titik di mana anggota keluarga tidak
dapat mengatasinya. Broderick (1984) menjelaskan:
bahkan peristiwa kecil, tidak cukup untuk menyebabkan stres yang nyata, dapat mengetahui
kapan peristiwa itu datang satu demi satu. pertama kehamilan yang tidak direncanakan, lalu
pindah, lalu masalah keuangan yang mengakibatkan harus meminjam beberapa ribu dolar,
kemudian pertengkaran besar dengan tetangga tentang menjaga anjing tetap terikat, dan akhirnya
Jimmy kecil patah lengannya dalam kecelakaan sepeda, semuanya dalam tiga bulan, akhirnya
menjadi terlalu banyak.
Broderick menyebut krisis situasi ini sebagai kelebihan beban.

selama krisis keluarga, keluarga melalui tiga tahap - onset, disorganisasi, dan reorganisasi (Boss,
1987; Lavee, McCubbin, dan Patterson, 1985; Walker, 1985). level baru mungkin lebih tinggi
atau lebih rendah dari level sebelum krisis.
TAHAP 1: ONSET
Tahap pertama adalah permulaan krisis dan peningkatan kesadaran bahwa telah terjadi krisis.
reaksi awal mungkin termasuk ketidakpercayaan. anggota keluarga mungkin mendefinisikan
situasi secara berbeda; apa yang merupakan krisis besar bagi satu orang mungkin tidak bagi
orang lain. satu pasangan, misalnya, mungkin hampir meminta cerai; yang lain mungkin
menolak untuk menerima kenyataan bahwa ada masalah, karena percaya bahwa pasangannya
"terlalu mempermasalahkannya". Oleh karena itu, langkah pertama adalah mendefinisikan
masalah dan secara bertahap menerima bahwa ada krisis, misalnya, secara bertahap mengenali
dan menerima disabilitas anak. dampak krisis akan bergantung pada sifat dari peristiwa pencetus
dan interpretasi serta persepsi kognitifnya, tingkat kesulitan dan stres yang dihasilkan krisis, dan
sumber daya yang tersedia untuk menangani masalah tersebut.
TAHAP 2: DISORGANISASI
tahap kedua adalah periode disorganisasi. keterkejutan dan ketidakpercayaan mungkin membuat
tidak mungkin berfungsi atau berpikir jernih pada awalnya. "Saya tidak tahu apa yang akan saya
lakukan" adalah reaksi yang umum. periode disorganisasi dapat berlangsung hanya beberapa
jam, atau dapat diperpanjang menjadi beberapa hari atau minggu. selama periode ini, fungsi
normal keluarga terganggu. amarah adalah kesetiaan pendek tegang, ketegangan memenuhi
udara, gesekan meningkat dan penurunan moral keluarga. Pelecehan anak dan pasangan lebih
mungkin berkembang selama masa disorganisasi maksimum daripada waktu lainnya.
ketika gunung berapi Gunung Saint Helens meletus pada 18 Mei 1980, ribuan orang merasakan
stres. Laporan Associated Press dari Washington setelah letusan menunjukkan bahwa, secara
lokal, serangan kriminal meningkat 25%, ancaman dan upaya bunuh diri berlipat ganda, dan
jumlah kasus wanita babak belur meningkat 45% (Blumenthal, 1980). situasinya sangat
menegangkan karena kekerasan ledakan (500 kali kekuatan bom atom yang dijatuhkan di
Hiroshima) dan ketidakpastian ledakan berikutnya. orang tidak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya atau berapa lama bencana itu akan berlangsung. efek stres tertunda, namun.

peningkatan terbesar dalam kasus pelecehan pasangan tidak terjadi sampai sekitar 30 hari setelah
letusan besar.
penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan alkohol dan obat-obatan lain meningkat tajam
selama masa stres dan dapat menyebabkan tingkat disorganisasi yang lebih dalam atau
menghambat kapasitas individu dan keluarga untuk bangkit kembali dari krisis (Anisman dan
Merali, 1999).
TAHAP 3: REORGANISASI
tahap ketiga adalah salah satu reorganisasi bertahap di mana anggota keluarga mencoba
mengambil tindakan perbaikan. jika krisis adalah krisis keuangan, anggota keluarga dapat
meminjam uang, menjual mobil keluarga, atau menabung untuk mendapatkan uang tunai.
anggota keluarga lain mungkin mendapatkan pekerjaan sementara untuk membantu, atau mantan
pencari nafkah mungkin mulai menarik pengangguran. jika krisis keuangan terus berlanjut,
persediaan sumber daya mulai habis. keluarga tersebut harus berpikir tentang mengambil hipotek
kedua, menjual rumah, atau pindah ke lingkungan lain.
begitu keluarga mencapai titik terendah, segalanya mungkin mulai membaik. pencari nafkah
yang menganggur mendapat pekerjaan baru, dan tagihan secara bertahap dibayar; keluarga mulai
memulihkan sumber daya emosional dan fisiknya. akhirnya, setelah jangka waktu yang dapat
berkisar dari hari ke bulan, keluarga tersebut diakui pada tingkat yang baru. terkadang level baru
tidak memuaskan seperti yang lama; di lain waktu tingkat organisasi lebih tinggi dari yang lama.
misalnya, dalam kasus krisis keuangan, pengelolaan uang keluarga membaik atau pendapatan
total lebih tinggi, atau keduanya. bagaimanapun juga, level tersebut cukup tinggi dan cukup
stabil untuk menandai berakhirnya periode krisis.
teori krisis, seperti yang baru saja dijelaskan, berguna sebagai model untuk memahami apa yang
terjadi ketika keluarga mengalami berbagai macam krisis. Meskipun teori ini dapat diterapkan
pada berbagai macam krisis, kami telah memilih empat jenis untuk pembahasan terperinci di
sini: (1) perselingkuhan, (2) kesulitan ekonomi, (3) kekerasan dan pelecehan, dan (4) kematian
dan kesedihan.

KRISIS KESALAHAN
mayoritas orang Amerika masih menikah dengan harapan dan berkomitmen pada kesetiaan
seksual. orang Amerika sangat menghargai eksklusivitas seksual sebagai hal penting untuk
pernikahan yang sehat. Survei Kesehatan dan Kehidupan Sosial Nasional menemukan bahwa
80% wanita menikah dan 65-85% pria menikah dari setiap usia melaporkan bahwa mereka tidak
memiliki pasangan selain pasangan mereka saat menikah (Michael, Gagnon, Laumann, dan
Kolata, 1994). sembilan puluh persen orang dewasa yang menikah hanya memiliki satu pasangan
seks dalam 12 bulan sebelumnya. angka-angka ini mencerminkan fakta bahwa sebagian besar
orang Amerika yang menikah adalah setia; disini kita akan membahas mereka yang tidak.
Alasan perselingkuhan
1. Kebutuhan emosional
Bagi sebagian orang, perselingkuhan merupakan upaya pemenuhan kebutuhan emosional.
Perselingkuhan adalah ekspresi dari masalah kepribadian. Seorang wanita mungkin secara tidak
sadar mencari sosok ayah yang lebih tua (yang sudah menikah) untuk menghibur dan
mencintainya dan untuk menggantikan ayah yang hilang di masa kanak-kanak atau yang
menolaknya sebagai seorang anak. Seorang pria mungkin menginginkan wanita yang lebih tua
yang akan menjadi ibu baginya karena dia tidak pernah merasa dicintai dan diperhatikan oleh
ibunya ketika dia tumbuh dewasa.
Perselingkuhan bisa menjadi validasi penting dari daya tarik dan harga diri. perselingkuhan
mungkin terjadi akibat rasa takut akan harga diri atau daya tarik seksual. Perselingkuhan menjadi
upaya untuk merasa lebih baik tentang diri sendiri. lebih umum infidetily mungkin merupakan
gejala kesulitan emosional pada individu dan upaya untuk menyelesaikan kesulitan tersebut.
2. masalah perkawinan yang belum terselesaikan
perselingkuhan juga bisa menjadi gejala masalah yang belum terselesaikan dalam pernikahan itu
sendiri. masalah ini menumpuk tahun demi tahun dan tidak berhasil diatasi. Perselingkuhan
mendorong pasangan untuk mengalihkan energi dari hubungan perkawinan (Pitman, 1993).
Masalah yang belum terselesaikan dapat mencakup kurangnya komunikasi, upaya satu orang
untuk mendominasi yang lain, kegagalan untuk menunjukkan kasih sayang, dan kurangnya

kehidupan sosial dan kejuaraan. orang menekan perasaannya karena mereka tidak suka marah
dan frustrasi sepanjang waktu. akhirnya, mereka juga menutup perasaan positif akan kehangatan
dan kasih sayang. pasangan perkawinan mungkin menemui jalan buntu, tidak mampu
menghidupkan kembali atau mengakhirinya. Namun, mereka masih rentan iklan akan
menanggapi orang-orang yang memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam hubungan
primer mereka. dalam situasi ini, pasangan dapat mengembangkan pengaturan perkawinan yaitu,
berpartisipasi dalam perselingkuhan yang memenuhi beberapa kebutuhan mendesak tanpa
mengganggu pernikahan lebih lanjut (Pitman, 1993).
Jika permusuhan terbangun di antara pasangan suami istri, perselingkuhan menjadi cara untuk
menyeimbangkan rasa permusuhan yang dirasakan terhadap pasangan atau cara membalas
penderitaan yang diderita dalam pernikahan. kebanyakan orang tidak tertarik dengan hubungan
di luar nikah ketika semuanya berjalan lancar dalam pernikahan mereka. Oleh karena itu,
perselingkuhan dapat menjadi gejala dari masalah daripada masalah itu sendiri, meskipun
kadang-kadang stabil tetapi biasanya menambah kesulitan.
3. Ambivalensi tentang pernikahan
Seseorang lajang yang merasa ambivalen tentang pernikahan akan mencari partner sex yang
telah menikah, mereka akan merasa lebih aman karena tidak perlu berkomitmen secara permanen
dengan pasangannya. Mereka menghindari tanggung jawab menjadi seorang pasangan namun
tetap dapat memiliki seorang kekasih
4. kesenangan dan kegembiraan
Beberapa orang memiliki selingkuhan atas dasar kesenangan untuk memiliki pengalaman sexual
yang bervariasi, yang lainnya mungkin karena senang untuk berkompetisi dengan pasangan sah
nya. Namun, ada beberapa resiko yang mungkil muncul yakni ketertarikan secara emosional satu
sama lain padahal tidak seharusnya ada seperti misalnya hubungan one night stand, resiko
lainnya adalah banyaknya penyakit menular seksual seperti AIDS yang mungkin akan
menghinggapi seseorang yang suka melakukan seks bebas atau berganti pasangan seks dan
resiko lainnya adalah kerusakan hubungan rumah tangga.
4. nilai permisif

Beberapa individu menilai tidak ada yang salah dengan berhubungan dengan orang lain di luar
pernikahannya selama pasangannya tidak tau dan tidak ada yang tersakiti. Beberapa individu
memiliki banyak partner sexual sebelum menikah dan masih di lanjutkan walaupun telah
menikah. Pasangan yang tidak memahami nilai dari izin atau permisif merasa bingung kenapa
pasangannya marah setelah tau fakta dan kenyataan tersebut.
Perselingkuhan Sebagai Krisis bagi Pasangan yang telah menikah
Pernikahan yang telah mengalami perselingkuhan di dalamnya tidak akan merasa sama lagi.
Perasaan tersakiti dan dikhianati akan menyebabkan kesulitan untuk mempercayai satu sama
lainnya. Dalam beberapa kasus, perselingkuhan merupakan factor yang sering memicu
perceraian dalam pernikahan. Terkadang krisis keluarga yang terjadi karena adanya
perselingkuhan membuat pasangan menerima dan menyadari bahwa ada masalah besar dalam
hubungannya dan mereka butuh bantuan untuk penyelesaian permasalahan yang ada. Pada
beberapa kasus, ada pasangan yang memiliki selingkuhan namun pasangan lainnya tidak peduli
dan ada juga yang memiliki selingkuhan karena rumah tangga yang di bangun memang sudah
rusak sebelumnya selain itu, ada pasangan yang sudah tidak saling percaya namun tetap
mempertahankan pernikahan untuk anak-anaknya. Hal ini menjadikan hubungan di luar
pernikahan yang sah menjadi krisis dalam keluarga dan harus dicari penyelesaian konfliknya.
KRISIS KESULITAN EKONOMI
Kesulitan ekonomi ditemukan sebagai salah satu penyebab ketidakberfungsian individual
ataupun keluarga secara baik. Tipe kesulitan ekonomi antara lain :
1.Ketidakstabilan pekerjaan
Pengaruh pengangguran pada individu dan keluarga sebagian bergantung pada berapa
lama hal itu berlangsung, apakah itu melibatkan pemindahan pekerjaan permanen atau
PHK sementara, apakah pekerjaan lain yang sebanding atau pengganti sudah tersedia,
dan apakah ada lebih dari satu pencari nafkah dalam keluarga. Pasangan yaoung dan ibu
tunggal dengan sejumlah anak, terutama anak kecil, paling terpengaruh oleh
pengangguran. banyak yang memiliki keterampilan dan sumber daya yang minim,
sehingga mereka harus meminta bantuan orang lain.

2.Ketidakpastian pekerjaan
beberapa keluarga merasakan tekanan ketidakpastian pekerjaan untuk jangka waktu yang
lama. Hal ini mungkin di alami oleh pekerja honorer atau pekerja tidak tetap sehingga
kekhawatiran kehilangan pekerjaan selalu ada.
3.Setengah pengangguran
setengah pengangguran juga merupakan sumber kesulitan ekonomi. ini mungkin
melibatkan bekerja pada pekerjaan di bawah keterampilan dan pelatihan seseorang atau
bekerja dengan jam kerja lebih sedikit atau dengan gaji lebih rendah daripada yang
diinginkan.
4.Pendapatan menurun
Sumber kesulitan ekonomi lainnya adalah penurunan pendapatan pribadi atau keluarga
karena penurunan pangkat, pemotongan jam kerja dan gaji, penurunan penjualan atau
keuntungan, pensiun paksa. Perubahan ekonomi yang merugikan mengharuskan keluarga
untuk menyesuaikan diri dengan pendapatan yang lebih rendah dengan mengubah gaya
hidup, mengurangi konsumsi, atau meningkatkan pendapatan dengan berganti pekerjaan
atau dengan meminta anggota keluarga lain untuk bekerja. biasanya, orang tua asuh dan
anak-anak mengalami penurunan pendapatan setelah perceraian, sedangkan orang tua
nonkostudial menikmati peningkatan. Orang tua tanpa hak asuh seringkali tidak membagi
sebagian pendapatan mereka dengan mantan pasangannya untuk membantu menghidupi
anak-anak, dan wanita yang perkawinannya gagal menghadapi peningkatan peluang
menjadi miskin. keluarga petani biasanya memiliki pendapatan yang bervariasi dan tidak
pasti dari tahun ke tahun dan pada tahun-tahun panen yang buruk dihadapkan pada krisis
keuangan substansial dengan durasi yang tidak dapat ditentukan.
Efek Pada Individu dan Hubungan Keluarga
kesulitan ekonomi memiliki pengaruh yang signifikan pada individu dan keluarga yang
terlibat. pengangguran dan ketidakpastian pekerjaan dikaitkan dengan depresi, kecemasan,
tekanan psikofisiologis dan masuk rumah sakit jiwa. tingkat status ekonomi mempengaruhi
kematian; munculnya kemiskinan, misalnya meningkatkan bahaya kematian baik bagi pria
maupun wanita. pengangguran pria dikaitkan dengan peningkatan tekanan psikologis untuk
pasangan mereka. Faktanya, wanita menunjukkan lebih banyak kecemasan dan depresi saat

pasangan mereka menganggur daripada saat mereka sendiri menganggur. beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengangguran menurunkan harga diri, yang pada gilirannya, terkait dengan
tingkat penguasaan diri yang lebih rendah dan peningkatan depresi. Kesulitan ekonomi menjadi
salah satu penyebab keinginan untuk bercerai. Beberapa penelitian menemukan bahwa kesulitan
ekonomi dapat menyebabkan penurunan kualitas pernikahan, ketidakpuasan keluarga,
ketidakstabilan psikis kepala keluarga dan kemungkinan terjadi pertengkaran tinggi.
Mengatasi Kesulitan Ekonomi
Alih-alih mengabaikan atau menghindari masalah, keluarga lebih baik dilayani dalam
jangka panjang dengan mengembangkan keterampilan dalam manajemen konflik dan pemecahan
masalah. pendekatan yang lebih positif adalah mengurangi pengeluaran jika memungkinkan dan
menunda pembelian besar, seperti mobil baru atau perawatan ortodontik. menjual properti atau
harta benda terkadang diperlukan. beberapa keluarga menyewa kamar, menyewa kamar, atau
menyediakan penitipan anak untuk orang lain. banyak keluarga harus meminjam dari tabungan
atau polis asuransi jiwa. menemukan pekerjaan paruh waktu atau temporer mungkin dilakukan.
remaja atau anggota keluarga lainnya mungkin harus pergi bekerja. keluarga lain memulai bisnis
kecil di rumah. keterampilan seperti menjahit atau pertukangan dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan penghasilan tambahan. Secara umum, pria kawin menghabiskan lebih sedikit
waktu untuk menganggur dibandingkan pria lajang, mungkin karena kesadaran bahwa mereka
membutuhkan penghasilan untuk membantu menghidupi keluarga.
KEKERASAN DAN PELECEHAN
Kekerasan dalam keluarga dapat didefinisikan sebagai segala hal yang melibatkan agresi,
kekuatan fisik, atau kekerasan verbal yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga terhadap
anggota keluarga lainnya. Akan tetapi, definisi tentang kekerasan dalam keluarga masih ‘abu-
abu’ karena perbedaan pendapat dalam hal apa saja yang dikategorikan sebagai penggunaan
kekuatan atau karena persepsi anggota keluarga terhadap kekerasan itu sendiri.
Sikap terhadap kekerasan dapat menimbulkan efek terhadap muncul atau tidaknya perilaku
tersebut dalam keluarga. Di dunia sosial, laki-laki lebih akrab dengan kekerasan daripada
perempuan. Hal ini dikarenakan sejak kecil mereka diajarkan untuk bersikap agresif dan

menggunakan kekuatan fisik. Pengabsahan ini akan meningkatkan munculnya kekerasan dalam
keluarga.
Setiap negara memiliki sikap yang berbeda terhadap kekerasan dalam keluarga. Beberapa
negara akan menjatuhkan hukuman penjara karena memukul anak, tetapi di belahan dunia lain,
hal ini sudah dianggap biasa karena merupakan bagian dari pendisiplinan. Di dalam keluarga itu
sendiri, terdapat perbedaan pandangan antar anggota keluarga mengenai kekerasan. Seorang istri
dapat melaporkan suaminya karena mendorongnya dan menganggap ini sebagai kekerasan, tetapi
suami sendiri tidak menganggap itu sebagai kekerasan karena tidak sampai melukai istrinya dan
hanya mendorongnya dengan pelan. Hal ini juga yang sering membuat orang lain tidak mau ikut
campur terhadap urusan rumah tangga seseorang. Meskipun begitu, seiring perkembangan zaman
orang-orang mulai menurunkan toleransi mereka terhadap kekerasan dalam keluarga dan
meminta adanya upaya pencegahan.
Beberapa penulis berpendapat bahwa terdapat 2 jenis kekerasan dalam keluarga, yang
pertama (yang paling umum) adalah kekerasan dari suami, dan yang kedua adalah peneroran
sistematik dari laki-laki. Dewasa ini, hanya kekerasan yang terjadi berulang dan cenderung berat
yang dianggap sebagai masalah. Hal ini membuat kesan bahwa terdapat normalisasi kekerasan
kecil, padahal sudah ada bukti penelitian yang mengasosiasikan kekerasan kecil dengan depresi
dan buruknya fungsi suatu keluarga.
Kekerasan terhadap anak dan kekerasan terhadap pasangan adalah istilah yang lebih sempit
dan spesifik daripada kekerasan dalam keluarga. Kekerasan ini biasanya merujuk pada
kemungkinan cidera fisik yang tinggi. Akan tetapi, definisi dari kekerasan terhadap anak tidak
hanya meliputi fisik, tapi juga malnutrisi, pelecehan, pengabaian, dan kekerasan emosional.
Sedangkan kekerasan terhadap pasangan tidak hanya meliputi pemukulan tapi juga kekerasan
seksual dan pemerkosaan dalam rumah tangga. Kekerasan ini tidak hanya timbul dalam rumah
tangga, tapi juga dapat timbul saat masih berpacaran. Penelitian-penelitian terkait korban dan
pelaku kekerasan selama pacaran menunjukkan level tinggi kemungkinan kekerasan diantara
kelompok minoritas, kelompok yang kurang religius, orang dengan pendapatan yang terlalu
rendah atau terlalu tinngi, orang yang mengalami isolasi atau stress, orang yang diasuh dalam
pengasuhan yang keras, orang yang berpacaran terlalu dini, dan orang yang memiliki masalah
dengan lingkungannya.

Faktor yang Berhubungan dengan Kekerasan
Oleh karena kekerasan dalam keluarga adalah fenomena yang kompleks, hal ini membuat
fenomena ini dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Dan tentu saja, tidak ada satu pun
teori atau keilmuwan yang dapat menjelaskan fenomena ini dengan memadai. Meskipun begitu,
beberapa faktor yang berhubungan dengan kekerasan adalah:
1.Stres
2.Kehamilan yang tidak direncanakan atau hamil diluar nikah. Hal ini membuat
pasangan tidak siap secara emosional dan finansial.
3.Masalah keuangan, pengangguran, atau ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Terutama
apabila pria yang merasakan hal ini, mereka dapat tertekan karena merasa gagal telah
menjadi sosok suami dan ayah yang baik.
4.Isolasi dan tidak dekat dengan tetangga, komunitas, atau teman. Hal ini akan
membuat keluarga tersebut kurang dalam dukungan sosial apabila dibutuhkan.
Meskipun begitu, laki-laki yang memiliki hubungan dekat dengan orang lain (keluarga,
teman, dll) dan takut akan menerima sanksi dari orang-orang terdekatnya ternyata tidak terlalu
kasar atau agresif terhadap pasangannya. Hal terakhir yang ingin terjadi pada pelaku adalah
orang lain mengetahui perbuatannya. Dengan kata lain, perilaku seperti ini dapat dimodifikasi
dan diubah.
Kekerasan Terhadap Pasangan
Pelaku kekerasan terhadap pasangan sering kali memiliki image posiif di masyarakat, tapi
sebenarnya itu hanya kedok. Pelaku sering kali digambarkan memiliki kepribadian Jekyll-dan-
Hyde. Mereka memiliki gambaran diri yang kurang baik, pecemburu, peminum atau bahkan
pemakai. Oleh karena pelaku merupakan individu yang penuh dengan perasaan tidak aman
terhadap diri sendiri, mereka akan mencari pasangan yang pasif, mudah dibully, dan bisa
disalahkan atas semua permasalahan dalam hidup mereka.
Lebih lanjut, menurut penelitian, berikut adalah karakteristik pelaku: cenderung agresif,
impulsif, menentang, memiliki locus of control eksternal, perilaku tipe A, sikap rigid authorian,

konsep diri dan self-esteem yang rendah, menganggap pasangannya jelek secara fisik, rendahnya
kepuasan terhadap pernikahan, dan memiliki masalah dalam berkomunikasi. Kemarahan,
serangan verbal, dan penarikan diri merupakan hal-hal yang dominan muncul di dalam
pernikahan yang penuh dengan kekerasan. Hubungan yang penuh kekerasan juga dikaitkan
dengan kelainan seksual.
Hal yang tak kalah menarik adalah pelaku kekerasan juga dapat seorang wanita, terutama
yang lebih muda. Mereka dapat meluncurkan agresi fisik dan verbal yang lebih banyak daripada
pria. Meskipun begitu, perlu digaris bawahi bahwa ada perbedaan antara wanita dan pria dalam
hal frekuensi dan tingkat keparahan. Pria lebih mungkin menghasilkan cidera serius daripada
wanita, sedangkan wanita menggunakan kekerasan untuk melindungi diri yang akhirnya
menimbulkan cidera. Jadi, pria menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi, sedangkan
wanita untuk melindungi diri.
Berdasarkan gambar 15.2, pemukulan adalah perilaku yang disengaja untuk mendapatkan
kekuatan dan kontrol terhadap orang lain. Akan tetapi, pemukulan hanyalah salah satu bentuk
dari kekerasan karena kekerasan juga dapat meliputi pola penindasan yang sering muncul. Teori
yang paling terkenal yang membahas tentang pola ini membahas tiga fase dalam kekerasan—
fase membangun tekanan, fase pemukulan akut, dan fase penyesalan.
Siapapun dapat terlibat dalam hubungan yang penuh kekerasan. Onset dari kekerasan itu
berbahaya dan berselang, meninggalkan wanita dalam pesan acak dan tidak jelas tentang situasi
tersebut. Beberapa korban wanita melaporkan bahwa sewaktu kecil mereka pun merupakan
korban kekerasan. Wanita yang menjadi korban kekerasan dalam pengasuhannya cenderung
membentuk karakter yang membangkang, bermusuhan, dan berteman serta menikah dengan pria
yang memiliki karakter mirip dengannya.
Meski wanita datang atau tidak datang dari keluarga yang keras, wanita akan bingung
tentang dirinya dan pasangan. Terkadang pasangannya akan bersikap manis, dan di lain waktu
pasangannya akan agresif. Pria akan mencoba membuat wanita merasa bahwa apa yang terjadi
karena kesalahan sang wanita, dan akhirnya sang wanita merasa bahwa pasangannya yang keras
padanya memiliki maksud yang ‘baik’ yakni membuat dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
Akhirnya, sang wanita mulai menerima tuduhan tersebut dan merasa bahwa hal itu adalah
kesalahannya. Dia tidak ingin disakiti, oleh karena itu dia berusaha untuk berperilaku yang

membuat pasangannya tetap nebcintainya. Dia merasa bahwa pasangannya adalah orang baik
sedangkan dia buruk. Dia tidak akan melawan atau mempertanyakan perilakunya. Rasa amannya
bergantung pada izin pasangannya. Dia menyerahkan kebebasannya jika pasangannya meminta
dirinya untuk (misalnya) berhenti dari pekerjaannya, minat, teman, dan lain-lain. Seluruh bagian
dari hidupnya dipengaruhi kontrol pasangannya. Kepercayaan diri dan self-esteemnya secara
perlahan lenyap karena pasangannya membuat dirinya merasa bahwa dirinya adalah orang yang
buruk dan semuanya adalah salahnya. Dia tidak meninggalkan pasangannya karena dia berharap
suatu saat nanti semuanya akan berubah, dia merasa jika dia berusaha lebih keras lagi semua
akan baik-baik saja. Wanita yang berada pada hubungan yang penuh kekerasan melaporkan
bahwa hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali perubahan dalam frekuensi atau
tingkat keparahan dari tindakan kekerasan atau jumlah afeksi yang diberikan, dan mereka sering
melaporkan bahwa hubungan mereka tidak seburuk apa yang dibayangkan.
Kekerasan Terhadap Anak
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orang tua yang keras menderita gangguan
emosional dan jiwa yang menyebabkan mereka berperilaku kasar terhadap anaknya. Kini,
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pelaku kekerasan tidak selalu memiliki gangguan
emosional atau mental, tetapi mereka biasanya menunjukkan lebih banyak masalah psikologis
daripada orang tua yang lain. Perilaku yang penuh kekerasan dapat muncul karena orang tua
tidak mengerti dan tidak berekspetasi kelakuan anaknya yang menyebalkan. Mereka sering kali
memiliki konsep diri yang negatif, serta memproyeksikannya pada anak, yang akhirnya timbul
kekerasan. Sekali dimulai, hal ini akan terus terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua
tentang anak-anak dan pengasuhan serta rasa hina yang terus berkembang pada diri mereka.
Orang tua yang kasar melihat diri mereka memalukan, tidak berguna, sehingga membuat
kekerasan berlanjut sebagai metode validasi dari ketidakgunaan mereka.
Kekerasan terhadap anak juga dapat berasal dari stres dan konflik di kehidupan orang tua.
Misalnya, masalah keuangan atau rendahnya kemampuan dalam pengasuhan yang membuat stres
meningkat dan anak menjadi pelampiasan rasa frustasi. Orang tua yang sangat muda, single, dan
miskin biasanya rentan terhadap kekerasan pada anak, karena mereka masih belum dewasa dan

belum berpengalaman, serta tidak mampu mengatasi rasa ketidakberdayaan dan amarah yang
dirasakan.
Hubungan antar orang tua dan anak adalah hubungan timbal balik; yang mana salah satu
akan mempengaruhi lainnya. Anak-anak dengan karakteristik tertentu memiliki potensi yang
lebih besar sebagai korban kekerasan. Mereka yang sulit untuk dirawat dan mereka yang
memprovokasi stresor terbesar di kehidupan orang tuanya adalah anak-anak yang paling sering
menjadi korban. Orang tua yang juga memiliki banyak anak tetapi sumber daya tidak mencukupi
juga dapat melakukan kekerasan terhadap anak mereka. Tak hanya itu, jika ada kekurangan
dalam kelekatan emosional antara orang tuan dan anak, sang anak akan berpotensi menjadi
korban kekerasan. Anak yang juga tinggal serta diasuh oleh satu atau lebih orang tua angkat juga
berada pada risiko sebagai korban kekerasan. Dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan
fisik, anak laki-laki lebih sering menjadi korban daripada anak perempuan.
Kekerasan terhadap anak ada dua bentuk: pengabaian dan penyerangan. Efek yang
dihasilkan dari kekerasan terhadap anak dapat melukai fisik, emosional, dan hubungan sosial
mereka. Hal ini dikarenakan anak-anak yang merupakan korban biasanya menunjukkan level
tinggi dalam perilaku negatif. Mereka lebih agresif, kurang kooperatif, tidak begitu disukai
temannya, dan rendah dalam kemampuan sosialnya. Guru pun akan memandang mereka sebagai
“gangguan/terganggu/pengganggu”. Anak-anak yang merupakan korban kekerasan memiliki
masalah dalam kedisiplinan dan rendah secara akademik.
Penelitian lain menunjukkan bahwa tidak hanya anak yang menjadi korban yang terdampak,
tapi juga saudaranya yang bukan korban pun turut terdampak. Bahkan, anak yang memiliki
masalah penyesuaian di masa remaja lebih mudah untuk melakukan kekerasan di masa dewasa
mereka saat menjalin hubungan. Intervensi yang diberikan akan disesuaikan dengan kerusakan
yang telah terjadi. Ada kasus dimana anak yang menjadi korban kekerasan menjadi orang yang
bahagia setelah diadopsi oleh orang tua yang penyayang. Tetapi, jika kekerasannya dalam bentuk
pelecehan seksual, trauma akan kejadian tersebut mungkin akan menetap hingga mereka dewasa
dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Penanganan Kekerasan Terhadap Pasangan dan Anak

Korban kekerasan sangat mungkin menunjukkan simtom-simtom psikologis seperti PTSD,
tingginya tingkat depresi, penghindaran, kecemasan, dan psikotik borderline serta pola perilaku
pasif-agresif. Trauma yang terjadi memengaruhi kemampuan individu dalam berhubungan
dengan orang lain, misalnya sulit untuk percaya, kesulitan untuk mengungkapkan emosi,
disfungsi seksual, rendahnya kemampuan parenting, mudah marah, dan lain-lain.
Hingga saat ini, sudah banyak organisasi yang berurusan dan menangani kekerasan. Sudah
banyak progres dalam mengatasi dan mengobati mereka yang merupakan pelaku maupun
korban, dan setiap usaha intervensi membutuhkan bantuan profesional. Pihak berwenang sedang
didorong untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap pasangan dan anak agar intervensi dapat
diberikan sedini mungkin. Orang-orang terbiasa untuk tidak ikut campur dalam urusan rumah
tangga orang lain sehingga kasus kekerasan sering kali tidak terlaporkan dan tidak tertangani.
Tetapi, beberapa tahun terakhir media telah meningkatkan fokus pada fenomena ini.
Gejala Pelecehan Seksual Anak 
Penting bagi orang dewasa untuk mengenali gejala pelecehan seksual anak ( Banyard dan
Williams, 1996). Pelecehan seksual anak dapat menjadi faktor penyebab banyak gangguan parah,
termasuk gangguan disosiatif, kecemasan, pola makan, dan afektif, serta masalah
penyalahgunaan zat dan seksual. Ini juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam banyak
kondisi lain, seperti gangguan paranoid, obsesif- kompulsif, dan pasif-agresif. Banyak penelitian
telah menemukan korban pelecehan seksual dengan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi,
kecenderungan untuk bunuh diri, dan kesulitan dengan hubungan intim. Gangguan mood
(depresi, merasa bersalah , dan harga diri rendah) yang sering. Depresi adalah gejala yang paling
umum, dan korban cenderung lebih merusak diri sendiri dan bunuh diri daripada individu
depresi yang tidak mengalami kekerasan . Mereka dapat menderita serangan kecemasan dan
fobia serta mengalami gangguan tidur dan nafsu makan. Mereka mungkin menderita berbagai
macam gangguan somatik, terutama masalah pencernaan. Mereka mungkin memiliki keluhan
medis yang jauh lebih banyak daripada orang yang tidak dilecehkan , terutama nyeri panggul
kronis, sakit kepala, sakit punggung, gangguan kulit, dan masalah genitourinari (Ratican, 1992).

Pedofilia 
Salah satu jenis pelecehan seksual anak disebut pedofilia. The Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders of the American Psychiatric Association (1994)
mendefinisikan pedofilia sebagai "fantasi yang membangkitkan gairah seksual yang berulang,
dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak atau anak
praremaja (umumnya berusia 13 atau lebih muda)" dan berlangsung selama setidaknya 6
bulan. Semua pedofil adalah pelaku pelecehan seksual terhadap anak, tetapi tidak setiap orang
yang terlibat dalam pelecehan seksual terhadap anak adalah pedofil . Pedofil yang sebenarnya
hanya bisa terangsang dengan aktivitas seksual dengan ank-anak, sedangkan orang dewasa lain
yang menyalahgunakan anak-anak secara seksual mungkin tidak menemukan aktivitas sumber
utama gairah seksual dan mungkin memiliki motivasi lain.
Incest: Definisi dan Pelanggar
Inses adalah aktivitas seksual antara orang-orang yang memiliki hubungan dekat. Hubungan
yang dilarang oleh hukum berbeda-beda di setiap negara bagian. Kebanyakan ilmuwan sosial
menganggap semua bentuk kontak seksual, eksploitasi seksual, dan hubungan seksual yang
diprakarsai oleh setiap orang dewasa yang memiliki hubungan darah atau keluarga pengganti
dengan anak sebagai inses. Dengan kata lain, pelecehan dianggap inses jika orang
dewasa berbagi hubungan primer dengan anak, apakah mereka terkait atau tidak.
Di Amerika Serikat, inses terjadi pada satu dari enam keluarga, sekitar 100.000 kasus baru
dilaporkan setiap tahun. Pelakunya adalah keluarga ini atau keluarga besar (Gilgun, 1995). Kasus
incest yang paling banyak terjadi adalah antar saudara , bukan orang tua - anak, kakek nenek -
cucu, atau orang tua tiri - anak tiri, seperti yang sering diduga.
Brother-Sister Incest
Beberapa aktivitas seksual kakak-adik melibatkan permainan seksual saat keduanya masih muda.
Dalam kasus lain, kakak yang lebih tua  terlibat dengan adiknya dalam perilaku eksploitatif
secara seksual . Dalam sebuah penelitian terhadap 796 mahasiswa yang pernah

mengalami inses saudara kandung , seperempatnya mengatakan bahwa hubungan seksual
bersifat eksploitatif (Finkelhor , 1980). Kadang-kadang, pemerasan juga terlibat. Kakak laki-laki
mengancam untuk memberi tahu orang tua sesuatu yang telah dilakukan adiknya kecuali dia
mengizinkan kontak seksual.
Reaksi terhadap kontak seksual kakak-adik bervariasi. Dengan meningkatnya perbedaan usia
saudara kandung, kemungkinan eksploitatif meningkat. Pengalaman sesekali kurang signifikan
dibandingkan serangkaian insiden selama bertahun-tahun. Ketika seorang kakak memeras,
menyuap, atau memaksa adiknya untuk menurut , reaksi korban cukup negatif. Ketika itu
melibatkan persetujuan bersama dari saudara kandung dengan usia yang sama, para peserta
mungkin menyadari bahwa orang tua akan tidak setuju dan merasa bersalah, tetapi hanya
menghasilkan sedikit efek jangka panjang.
Father-Daughter Incest 
Banyak penelitian difokuskan pada hubungan ayah-anak perempuan. Inses seperti itu biasanya
terjadi dalam konteks keluarga yang tidak bahagia dan tidak teratur. Dalam kebanyakan
kasus, hubungan seksual pasangan tidak memuaskan, sehingga pria berpaling kepada putrinya
untuk mendapatkan kasih sayang dan seks, sering kali memulai hubungan saat anak perempuan
mulai dewasa. Dalam kasus ini, pelecehan seksual terhadap anak perempuan pada dasarnya
bukan masalah seksual, melainkan lebih merupakan ekspresi seksual dari masalah non seksual,
seperti depresi, harga diri rendah, dan perasaan tidak mampu (Gelles dan Conte, 1990).
Kontak incest biasanya direncanakan dan diprakarsai oleh ayah dan ditoleransi secara pasif oleh
anak perempuannya. Sang Ayah memulai dengan pelukan dan mencium anak perempuannya,
yang mungkin dinikmati keduanya. Kontak meluas mencakup sentuhan (seperti meraba pantat
atau payudara anak perempuan), playful wrestling, ciuman dalam waktu lama, atau membelai
alat kelamin. Biasanya terjadi tanpa paksaan apa pun dan dapat berkembang menjadi hubungan
seksual penuh.
Efek jangka panjang pada korban bisa sangat parah. Gadis itu mungkin menanggung beban rasa
bersalah, malu, kegetiran, pemarah , dan harga diri yang rendah selama bertahun-tahun. Dia

mungkin berisiko lebih besar untuk bercerai atau kepuasan pernikahan yang rendah daripada
wanita yang belum pernah mengalami pelecehan seksual (Gelster dan Feinauer, 1988).
Aspek serius lain dari inses orang tua - anak terungkap dalam sebuah penelitian terhadap ayah
dan ayah tiri incest yang sedang dalam pengobatan: 49% dari mereka juga melecehkan anak-
anak di luar keluarga, dan 18% diantara mereka memperkosa wanita dewasa pada saat yang
sama mereka melecehkan anak-anak mereka sendiri (Abel, Backer, Cunnngham-
rathner, Mittlemen , dan Rouleaou, 1988).
Father-daughter incest dapat berlanjut selama bertahun-tahun, sampai anak-anak
perempuan telah cukup besar untuk mengerti, menolak, atau meninggalkan rumah. Dia mungkin
memberi tahu ibunya, anggota keluarga lain, atau teman, tetapi dia jarang melapor ke polisi.
Intervensi
Intervensi sulit dilakukan dalam kasus inses, sebagian karena pihak berwenang jarang
mengetahui masalah tersebut. Sebagian besar negara bagian membutuhkan
tenaga profesional yang mungkin berhubungan dengannya untuk melaporkan kasus dugaan
pelecehan seksual. Perawatan terhadap pelecehan seksual paling sulit dilakukan, profesional
yang merawat mereka membutuhkan pelatihan khusus (Priest dan Smith, 1992)
KRISIS KEMATIAN DAN KESEDIHAN
Jenis krisis keluarga lainnya adalah kematian. Kematian, terutama dari pasangan, anak, atau
kerabat dekat lainnya, adalah salah satu peristiwa hidup yang paling menegangkan . Ini
menciptakan tekanan dan ketegangan fisik, mental, dan emosional yang cukup besar, yang
mungkin membutuhkan waktu lama untuk mereda.
Tidak peduli keadaan seputar kematian seseorang, itu tetap saja mengejutkan. Faktanya, orang-
orang yang telah menyaksikan orang yang dicintai menderita melalui penyakit kronis sebelum
meninggal kadang-kadang terpengaruh sama atau lebih dari mereka yang orang yang dicintainya
meninggal setelah penyakit yang singkat.

Banyak orang berduka dengan cara yang serupa, dan memahami cara kerja kesedihan dapat
membantu orang melalui proses berkabung yang sulit. Kebanyakan orang mengalami perasaan
shock atau mati rasa setelah pertama kali mengetahui kematian. Mereka mungkin tampak tidak
emosional saat melaksanakan rencana pemakaman dan membuat pengaturan lain yang
diperlukan. Saat realitas meresap dan urusan pemakaman berakhir, banyak orang hancur dan
memulai proses berkabung. Duka dapat diungkapkan secara emosional, fisik, dan
psikologis. Menangis mungkin merupakan ekspresi kesedihan secara fisik, sedangkan depresi
mungkin merupakan ekspresi psikologis. Mati rasa, tidak percaya, penyangkalan, kemarahan,
kebingungan, keterkejutan, kesedihan, kerinduan, penghinaan, keputusasaan, dan rasa bersalah
adalah bagian dari proses tersebut. Berkabung bersifat pribadi dan mungkin berlangsung selama
beberapa bulan atau tahun, tetapi penting bagi orang yang berduka untuk membiarkan dirinya
sendiri berduka (Coleman dan Ganong, 2002). Banyak orang mengalami kesepian dan
keputusasaan saat berduka, tetapi berminggu-minggu dan berbulan-bulan setelah kematian orang
yang dicintai juga bisa menjadi waktu pertumbuhan pribadi (Neimeyer, Prigerson, dan Davis,
2002).
Hiltz (1998) menjelaskan tiga tahap duka. Yang pertama adalah periode shock singkat dimana
anggota keluarga yang masih hidup tercengang dan tidak bisa bergerak karena kesedihan dan
ketidakpercayaan. Yang kedua adalah periode penderitaan hebat di mana individu mengalami
gejala fisik dan emosional yang sering. Reaksi fisik dapat berupa gangguan tidur, sakit perut dan
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, kehilangan energi dan kekuatan otot , dan sesak
napas atau sesak di dada (Rosenbloom dan Whittington, 1993). Reaksi emosional mungkin
termasuk kemarahan, rasa bersalah, depresi, kecemasan, dan sibuk dengan memikirkan
almarhum. Selama tahap kesedihan yang sering ini, orang perlu berbicara dengan teman atau
keluarga tentang kehilangan mereka. Tetapi karena kesedihan dan kematian adalah topik yang
tidak nyaman, kesempatan ini sering kali ditolak, dan pemulihan dari kehilangan lebih sulit dan
berkepanjangan. Akhirnya, di tahap ketiga, ada kebangkitan kembali minat dalam hidup secara
bertahap.
Salah satu reaksi umum terhadap kematian adalah memurnikan ingatan orang yang meninggal
dengan merendahkan karakter negatif orang tersebut secara mental . Orang yang berduka
cenderung mengingat hal-hal baik tentang orang yang meninggal dan melupakan sifat atau

kejadian negatif. Jika idealisasi ini terus berlanjut, maka bisa mencegah terbentuknya
persahabatan baru yang akrab. Duka yang berkepanjangan dapat menghasilkan gaya hidup yang
sentimental, nostalgia, dan murung.
Pria dan wanita mungkin menanggapi kematian secara berbeda. Pria merasa lebih sulit untuk
mengungkapkan, berduka, tetapi mereka dapat menerima kenyataan kematian lebih
cepat. Wanita lebih mampu untuk terus bekerja saat berduka daripada pria. Setelah kematian
pasangan, pria lebih cenderung menggambarkan kehilangan mereka sebagai kehilangan sebagian
dari diri mereka sendiri, wanita mungkin membingkai kehilangan mereka dalam istilah
ditinggalkan, ditinggalkan, dan dibiarkan mengurus diri sendiri.
Dampak negatif dari kematian dan kehilangan orang yang dicintai tidak bisa dilebih-
lebihkan. Kerusakan diri yang menyertai janda, misalnya jika pasangan itu penting dalam
kehidupan pasangan. Tingkat dan durasi kerusakan ini bergantung pada intensitas keterlibatan
dengan orang yang meninggal dan ketersediaan orang lain yang penting. Anak perempuan yang
menjadi pengasuh ibunya yang sudah tua membandingkan perasaan duka mereka pada 2 bulan
dan 6 bulan setelah kematian ibunya. Selama periode ini, para putri melaporkan penurunan
perasaan shock emosional, kemarahan, dan ketidakberdayaan. Tetapi perasaan duka cita
seringkali kompleks dan terkadang kontradiktif. Misalnya, anak perempuan melaporkan
merasakan tingkat kekuatan psikologis yang relatif tinggi dalam menghadapi kematian ibu
mereka sekaligus melaporkan perasaan atau keterkejutan, kemarahan, dan rasa bersalah.
Jelasnya, kehilangan orang tua, terutama seorang ibu yang dirawat putrinya, melibatkan
kesusahan yang signifikan (Pratt, Walker, dan Wood, 1992). Kematian salah satu anggota
keluarga sering kali memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga lainnya. Ini
juga mempengaruhi struktur dan dinamika keluarga, termasuk hubungan antara para penyintas,
yang mungkin mengarah pada peningkatan kedekatan atau ketegangan dalam hubungan ini.
Salah satu kematian paling umum yang dihadapi orang dewasa adalah kematian orang tua. Para
ahli demografi melaporkan bahwa kematian seorang ayah paling mungkin terjadi ketika anak-
anak dewasa berusia 35-54 tahun dan bahwa kematian seorang ibu paling mungkin terjadi ketika
mereka berusia 45-64 tahun. Kematian orang tua adalah transisi kehidupan yang umum bagi
orang dewasa dan mungkin merupakan prediktor signifikan perubahan kualitas perkawinan. Ini
dapat mempengaruhi hubungan perkawinan anak-anak dewasa, yang, pada gilirannya,

mempengaruhi kesejahteraan individu. Kematian orang tua dapat menimbulkan ketegangan yang
besar pada banyak hubungan perkawinan. Kematian dalam kualitas perkawinan dapat terjadi
karena pasangan gagal memberikan dukungan emosional, tidak dapat memahami signifikansi
dan makna kehilangan, atau kecewa dengan pemulihan lambat individu yang berduka. Beberapa
pasangan merasa terbebani oleh stres dan depresi yang terus-menerus dari orang yang
berduka. Dibandingkan dengan individu yang tidak menikah, orang yang baru saja mengalami
kematian ibunya menunjukkan penurunan dukungan sosial yang lebih besar dari perilaku negatif
pasangannya . Mereka yang baru saja mengalami kematian seorang ayah mengungkapkan
peningkatan yang lebih besar dalam ketegangan hubungan dan frekuensi konflik dan penurunan
yang lebih besar dalam keharmonisan hubungan.
Periode setelah kematian orang tua mungkin merupakan saat ketika individu sangat
membutuhkan dukungan dari pasangannya. Kegagalan pasangan mereka untuk memberikan
dukungan atau ketegangan apapun yang diprakarsai oleh pasangan mereka dapat
menyebabkan penurunan kualitas perkawinan untuk individu yang baru saja berduka (Umberson,
1995).
Tags