KEPEMIMPINAN MUTU DAN DAYA SAING SEKOLAH

PutriMaulindaSadiyah1 0 views 23 slides Oct 16, 2025
Slide 1
Slide 1 of 23
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23

About This Presentation

Mengintegrasikan Teori Path-Goal dan Growth Mindset untuk Transformasi Pendidikan


Slide Content

BAB X
KEPEMIMPINAN MUTU DAN DAYA SAING SEKOLAH
A.Pendahuluan
Pendidikan adalah gerbang keberhasilan suatu negara. Semakin berkualitasnya pendidikan
pada negara itu, semakin tinggi juga daya saing lulusannya dalam menghadapi tantangan
globalisisasi yang makin kompleks dan ketat. (OECD, 2019) Lulusan sekolah tidak cukup hanya
memiliki keunggulan akademik tetapi juga harus mampu bersaing di tingkat nasional maupun
internasional sesuai dengan tuntutan kompetensi abad ke-21. Mulyasa, 2013, menyatakan peran
aktif sekolah sebagai institusi kunci dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu dan
berkarakter. Upaya peningkatan mutu pendidikan secara signifikan bergantung pada
pengembangan kualitas guru sebagai agen utama dalam proses pembelajaran (Darling-
Hammond, 2000). Dalam hal ini, kepemimpinan kepala sekolah menjadi faktor sentral yang
mengarahkan transformasi organisasi dan menguatkan budaya sekolah (Leithwood & Jantzi,
2006). Kepala sekolah dituntut tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga menjadi
agen perubahan yang mampu memotivasi, memberdayakan, dan menginspirasi guru serta peserta
didik dalam menghadapi dinamika perkembangan zaman (Bass & Riggio, 2006).
Salah satu tantangan mendasar pendidikan di Indonesia adalah persoalan mutu (Tilaar,
2012; OECD, 2019). Sejumlah kajian menegaskan bahwa kualitas sekolah sangat ditentukan
oleh kompetensi guru dan efektivitas kepemimpinan kepala sekolah (Hoy & Miskel, 2013;
Mulyasa, 2013). Guru yang profesional, memiliki komitmen tinggi, dan inovatif memainkan
peran sentral dalam menciptakan proses pembelajaran yang inspiratif dan bermakna (Dweck,
2006; Mulyasa, 2013). Sementara itu, kepala sekolah yang visioner dan adaptif mampu
membangun budaya sekolah yang berorientasi pada peningkatan mutu secara berkelanjutan
(Bass & Riggio, 2006; Northouse, 2021; Sergiovanni, 2009). Namun, kenyataan di lapangan
memperlihatkan bahwa masih terdapat guru yang enggan keluar dari zona nyaman, kurang
terdorong untuk mengembangkan kompetensi diri, serta tetap mengandalkan pendekatan
pembelajaran konvensional (Tilaar, 2012; OECD, 2019). Selain itu, sejumlah kepala sekolah
belum sepenuhnya mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif dan selaras dengan
budaya kerja yang mendukung pengembangan potensi seluruh warga sekolah (House & Mitchell,

1974; Yukl, 2013; Mulyasa, 2013). Kondisi ini berdampak pada keterbatasan daya saing lulusan,
baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun untuk berkompetisi di
dunia kerja yang semakin dinamis dan berbasis keterampilan abad ke-21 (OECD, 2019; Senge,
2006).
Dalam literatur kepemimpinan, Teori Path-Goal yang dikembangkan oleh Robert J. House
(1971) memberikan kerangka konseptual untuk memahami bagaimana pemimpin dapat
memotivasi bawahannya agar mencapai tujuan organisasi. Inti dari teori ini adalah bahwa
pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan karakteristik bawahan dan situasi
kerja. Gaya kepemimpinan dalam Path-Goal mencakup empat dimensi: directive (memberi
arahan jelas), supportive (memberi dukungan emosional), participative (melibatkan dalam
pengambilan keputusan), dan achievement-oriented (menetapkan standar tinggi serta mendorong
pencapaian prestasi). Dengan demikian, kepala sekolah yang menerapkan Path-Goal dapat
menyesuaikan pendekatan kepemimpinan sesuai kebutuhan guru dan konteks sekolah untuk
mencapai mutu pendidikan yang diharapkan.
Di sisi lain, perkembangan psikologi pendidikan menekankan pentingnya Growth Mindset
yang diperkenalkan oleh Carol Dweck (2006). Growth mindset merupakan keyakinan bahwa
kemampuan individu dapat berkembang melalui usaha, latihan, dan pembelajaran berkelanjutan.
Lawannya adalah fixed mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan bersifat tetap dan tidak
dapat berubah. Dalam konteks sekolah, growth mindset sangat penting untuk menumbuhkan
motivasi intrinsik pada guru dan siswa agar berani mencoba, tidak takut gagal, serta melihat
tantangan sebagai peluang untuk berkembang. Kepala sekolah yang menumbuhkan budaya
growth mindset akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi pembelajaran,
pengembangan kompetensi guru, dan peningkatan kualitas siswa. Menggabungkan teori Path-
Goal dengan growth mindset memberikan peluang besar untuk membangun kepemimpinan
sekolah yang lebih transformatif. Path-Goal membantu kepala sekolah dalam memilih strategi
kepemimpinan yang tepat sesuai kondisi guru dan sekolah, sementara growth mindset
memperkuat keyakinan bahwa perubahan dan perbaikan dapat dicapai melalui usaha kolektif.
Dengan kata lain, Path-Goal berperan dalam aspek “bagaimana memimpin”, sedangkan growth
mindset menekankan “bagaimana membangun keyakinan untuk berkembang.” Integrasi
keduanya diyakini dapat meningkatkan mutu pembelajaran, memperkuat profesionalisme guru,
dan pada akhirnya meningkatkan daya saing lulusan.

Pentingnya memadukan berbagai pendekatan kepemimpinan dan budaya kerja menjadi
semakin relevan pada era globalisasi dan revolusi industri 4.0. Pada masa ini, kompetensi lulusan
tidak lagi diukur semata-mata melalui kemampuan kognitif, melainkan juga melalui
keterampilan abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi,
literasi digital, serta penguatan karakter yang tangguh (OECD, 2019; Senge, 2006). Sekolah
dituntut untuk mencetak lulusan yang tidak hanya siap melanjutkan pendidikan ke tingkat yang
lebih tinggi, tetapi juga memiliki daya saing dalam menghadapi dinamika pasar kerja yang
kompetitif (Tilaar, 2012; OECD, 2019). Dalam konteks ini, kepala sekolah diharapkan berperan
sebagai agen transformasi yang mampu mengintegrasikan kepemimpinan adaptif sebagaimana
digariskan dalam Path-Goal Theory (House & Mitchell, 1974; Yukl, 2013) dengan
pengembangan budaya kerja berbasis prinsip Growth Mindset (Dweck, 2006), sehingga dapat
mendorong terwujudnya pengembangan sekolah yang berkelanjutan dan relevan dengan tuntutan
zaman.Urgensi kombinasi ini semakin terasa di era globalisasi dan revolusi industri 4.0, di mana
kompetensi lulusan tidak hanya diukur dari aspek kognitif, tetapi juga keterampilan berpikir
kritis, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, kolaborasi, literasi digital, hingga karakter yang
tangguh. Sekolah dituntut menghasilkan lulusan yang tidak hanya siap melanjutkan pendidikan,
tetapi juga mampu bersaing di dunia kerja yang kompetitif. Untuk itu, kepala sekolah perlu
menjadi agen transformasi dengan memadukan kepemimpinan yang adaptif (Path-Goal) dan
budaya kerja yang berorientasi pada perkembangan berkelanjutan (Growth Mindset).
Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana
kombinasi teori Path-Goal dan Growth Mindset dapat diterapkan dalam kepemimpinan sekolah
guna mengembangkan guru dan meningkatkan mutu lulusan. Artikel ini juga akan memberikan
gambaran konkret mengenai implikasi kepemimpinan sekolah berbasis Path-Goal dan Growth
Mindset terhadap daya saing lulusan, sekaligus memberikan rekomendasi bagi praktisi
pendidikan dalam menghadapi tantangan global.
B.Kajian Teori
1. Teori Path-Goal
Teori Path-Goal dikembangkan oleh Robert J. House pada tahun 1971, dan menjadi salah
satu teori kepemimpinan kontingensi yang paling berpengaruh dalam kajian manajemen dan
pendidikan. Inti dari teori ini adalah bahwa efektivitas seorang pemimpin ditentukan oleh

kemampuannya untuk memotivasi bawahan dalam mencapai tujuan organisasi, dengan cara
memperjelas jalur (path) yang harus ditempuh serta memberikan dukungan agar tujuan (goal)
dapat tercapai. Dengan kata lain, pemimpin berfungsi sebagai fasilitator yang menghubungkan
usaha individu dengan hasil yang diinginkan. Menurut House (1971), kepemimpinan yang
efektif tidak bersifat kaku, melainkan situasional. Artinya, gaya kepemimpinan harus disesuaikan
dengan karakteristik bawahan dan situasi kerja. Teori ini menekankan fleksibilitas pemimpin
dalam mengubah perilaku kepemimpinan sesuai dengan kebutuhan untuk memaksimalkan
motivasi dan produktivitas.
House dan Mitchell (1974) mengidentifikasi empat gaya kepemimpinan utama dalam teori
Path-Goal:
1.Directive Leadership – Pemimpin memberikan instruksi yang jelas, menetapkan standar
kinerja, serta menjelaskan peran dan prosedur kerja. Dalam konteks sekolah, kepala
sekolah dengan gaya direktif menetapkan aturan tegas tentang kurikulum, tata tertib, serta
target akademik. Gaya ini efektif ketika guru atau staf belum terbiasa dengan tugas atau
menghadapi ketidakjelasan.
2.Supportive Leadership – Pemimpin menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan
kebutuhan emosional bawahan. Kepala sekolah dengan gaya ini membangun hubungan
yang hangat, memberi perhatian pada kondisi psikologis guru, dan menciptakan suasana
kerja yang kondusif.
3.Participative Leadership – Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan
keputusan, mendengarkan ide, serta menghargai kontribusi mereka. Dalam dunia
pendidikan, gaya ini diwujudkan melalui forum musyawarah guru, pembahasan
kurikulum, atau perumusan program sekolah secara partisipatif.
4.Achievement-Oriented Leadership – Pemimpin menantang bawahan dengan target tinggi,
meyakinkan bahwa mereka mampu mencapainya, serta menyediakan dukungan yang
diperlukan. Kepala sekolah dengan gaya ini mendorong guru untuk mengikuti kompetisi,
penelitian, atau mengembangkan program unggulan sekolah yang berorientasi pada
prestasi siswa.
Keempat gaya kepemimpinan tersebut tidak dipandang sebagai pilihan yang saling
meniadakan, melainkan dapat diintegrasikan secara adaptif sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

Keunggulan teori Path-Goal terletak pada fleksibilitasnya, karena seorang pemimpin tidak harus
terpaku pada satu pola kepemimpinan. Melalui analisis terhadap perilaku dan karakteristik
bawahan, kepala sekolah dapat menyesuaikan pendekatan kepemimpinannya sehingga mampu
meningkatkan motivasi guru maupun tenaga kependidikan serta mendukung pencapaian tujuan
institusi pendidikan.
2. Teori Growth Mindset
Konsep Growth Mindset diperkenalkan oleh Carol S. Dweck pada tahun 2006 dalam
bukunya Mindset: The New Psychology of Success. Growth mindset adalah keyakinan bahwa
kemampuan, kecerdasan, dan keterampilan seseorang dapat berkembang melalui usaha, latihan,
serta pengalaman belajar. Sebaliknya, fixed mindset adalah keyakinan bahwa kemampuan
bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Dalam konteks pendidikan, growth mindset memiliki
implikasi besar, baik bagi guru maupun siswa. Guru dengan growth mindset percaya bahwa
dirinya dapat meningkatkan keterampilan pedagogis, menguasai teknologi, serta beradaptasi
dengan kurikulum baru. Mereka tidak takut gagal, karena kegagalan dipandang sebagai bagian
dari proses belajar. Sementara itu, siswa dengan growth mindset akan lebih tekun, berani
menghadapi tantangan, serta memiliki daya tahan tinggi dalam belajar.
Dweck (2012) menjelaskan bahwa lingkungan pendidikan yang sehat harus menumbuhkan
growth mindset. Hal ini bisa dilakukan melalui:
1.Memberi umpan balik berbasis proses, bukan hanya hasil akhir. Guru yang menilai usaha
siswa lebih tinggi daripada sekadar nilai ujian akan mendorong siswa untuk terus
berusaha.
2.Mendorong ketekunan dan resiliensi, misalnya dengan memberikan apresiasi kepada
siswa yang berani mencoba strategi baru.
3.Membangun budaya belajar dari kegagalan, di mana kesalahan bukan dianggap
kelemahan, melainkan peluang untuk perbaikan.
Bagi kepemimpinan sekolah, growth mindset adalah kerangka berpikir yang mengubah
cara kepala sekolah memandang potensi guru dan siswa. Kepala sekolah yang memiliki growth
mindset akan melihat bahwa setiap guru bisa berkembang jika diberi kesempatan, pelatihan, dan
dukungan yang tepat.

3. Sintesis Path-Goal dan Growth Mindset
Teori Path-Goal dan Growth Mindset pada dasarnya memiliki titik temu yang saling
melengkapi. Path-Goal memberikan kerangka strategi kepemimpinan yang situasional,
sedangkan Growth Mindset memberikan fondasi psikologis berupa keyakinan bahwa
perkembangan selalu mungkin terjadi.
Path-Goal menjawab pertanyaan: Bagaimana pemimpin memimpin?
Growth Mindset menjawab pertanyaan: Mengapa guru dan siswa mau berkembang?
Dalam praktik kepemimpinan sekolah:
Directive Leadership dapat dipadukan dengan growth mindset melalui arahan jelas yang
mendorong guru belajar teknologi baru dengan keyakinan bahwa keterampilan bisa
dipelajari.
Supportive Leadership memperkuat growth mindset dengan menciptakan iklim kerja
yang aman untuk mencoba hal baru.
Participative Leadership menumbuhkan growth mindset dengan memberi ruang bagi ide-
ide baru guru, sekaligus menegaskan bahwa kontribusi setiap orang penting untuk
kemajuan sekolah.
Achievement-Oriented Leadership sejalan dengan growth mindset karena tantangan
tinggi dilihat bukan sebagai beban, melainkan peluang untuk tumbuh.
Dengan demikian, integrasi kedua teori ini menciptakan kombinasi kepemimpinan yang
efektif sekaligus inspiratif. Kepala sekolah tidak hanya mengarahkan dan mendukung guru
dalam aspek teknis, tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa perubahan dan peningkatan
mutu adalah hal yang mungkin dicapai.
C.Kepemimpinan Sekolah sebagai Agen Transformasi
1. Kepala Sekolah dalam Perspektif Kepemimpinan Pendidikan
Menurut Hoy & Miskel, 2013; Mulyasa, 2013, kepemimpinan kepala sekolah merupakan
faktor kunci yang menentukan arah perkembangan, budaya organisasi, dan mutu pembelajaran di
lembaga pendidikan. Peran kepala sekolah tidak lagi dipandang sebatas pengelola administrasi
yang pengatur anggaran dan jadwal, juga sebagai pengawas kurikulum, melainkan sebagai agen

perubahan yang menggerakkan seluruh warga sekolah untuk melakukan transformasi menuju
peningkatan kualitas pendidikan (Bass & Riggio, 2006; Sergiovanni, 2009).
Dalam perspektif manajemen pendidikan, peran kepala sekolah tidak dapat dipandang
hanya sebatas pengelola administratif. Kepala sekolah memiliki empat peran utama yang saling
berkaitan, yaitu sebagai manajer, pemimpin, inovator, dan motivator (Mulyasa, 2013; Yukl,
2013). Sebagai penggerak transformasi, kepala sekolah memiliki tanggung jawab strategis dalam
menentukan arah perkembangan sekolah melalui perumusan visi dan misi yang jelas, terukur,
dan kontekstual dengan kebutuhan serta tantangan zaman. Perumusan visi dan misi tidak hanya
bersifat simbolik, tetapi menjadi landasan filosofis dan arah kebijakan operasional sekolah.
Menurut Northouse (2021), pemimpin yang efektif harus mampu mengartikulasikan visi
yang menginspirasi, memberikan arah yang jelas bagi organisasi, dan menumbuhkan rasa
kepemilikan terhadap tujuan bersama di antara seluruh anggota. Dalam konteks pendidikan,
kepala sekolah tidak hanya menyusun visi dan misi, tetapi juga mengomunikasikannya secara
efektif kepada guru, tenaga kependidikan, siswa, serta orang tua, sehingga seluruh warga sekolah
memiliki pemahaman yang sama tentang arah pengembangan yang ingin dicapai.
Tilaar (2012) menegaskan bahwa proses transformasi pendidikan menuntut adanya
komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut.
Komitmen ini perlu ditumbuhkan melalui kepemimpinan yang inklusif, partisipatif, dan mampu
mengintegrasikan nilai-nilai budaya sekolah dengan tuntutan perubahan sosial. Dengan
demikian, peran kepala sekolah tidak hanya sebatas perencana kebijakan, tetapi juga agen yang
menggerakkan perubahan perilaku, membangun budaya kerja yang produktif, dan menciptakan
iklim sekolah yang kondusif bagi peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Transformasi tersebut tidak hanya mencakup perubahan struktural, tetapi juga meliputi
pembentukan cara pandang, sikap, dan budaya kerja yang mendukung peningkatan mutu sekolah
(Senge, 2006; Dweck, 2006). Dalam proses ini, guru dan tenaga kependidikan menjadi aktor
utama yang harus diberdayakan, karena melalui kinerja mereka kualitas pembelajaran dan mutu
lulusan sekolah dapat ditingkatkan (Mulyasa, 2013; OECD, 2019).

2. Peran Path-Goal dalam Kepemimpinan Transformasional
Dalam kerangka teori Path-Goal, kepala sekolah dapat menyesuaikan gaya
kepemimpinannya dengan kondisi guru dan situasi sekolah. Misalnya:
Directive Leadership digunakan saat guru membutuhkan arahan yang jelas, misalnya
ketika menghadapi kurikulum baru atau integrasi teknologi digital dalam pembelajaran.
Kepala sekolah yang bersikap direktif membantu guru mengurangi ambiguitas dengan
memberikan panduan yang rinci.
Supportive Leadership diterapkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
dan penuh dukungan. Kepala sekolah yang suportif memperhatikan kesejahteraan guru,
mendengarkan keluhan, dan memberikan motivasi agar guru merasa dihargai.
Participative Leadership memungkinkan guru terlibat dalam perumusan program sekolah,
penyusunan strategi pembelajaran, hingga pengambilan keputusan penting. Hal ini
meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) dan komitmen guru terhadap
perubahan.
Achievement-Oriented Leadership menantang guru untuk menetapkan target prestasi
tinggi, seperti meningkatkan hasil ujian siswa, melahirkan karya penelitian, atau
memenangkan kompetisi. Kepala sekolah berperan sebagai pendorong semangat agar
guru berani keluar dari zona nyaman.
Fleksibilitas dalam menerapkan gaya kepemimpinan inilah yang menjadikan Path-Goal
relevan bagi kepemimpinan sekolah. Kepala sekolah dapat menjadi transformasional dengan
menyesuaikan pendekatan terhadap kebutuhan nyata guru dan siswa.
3. Peran Growth Mindset dalam Budaya Sekolah
Selain aspek kepemimpinan situasional, transformasi sekolah juga menuntut perubahan
pola pikir. Konsep growth mindset yang diperkenalkan Dweck (2006) memberikan landasan
psikologis bahwa setiap individu—baik guru maupun siswa—dapat berkembang melalui proses
belajar. Kepala sekolah dengan growth mindset akan menanamkan nilai bahwa kegagalan
bukanlah akhir, melainkan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Budaya growth mindset di sekolah dapat diwujudkan melalui:
1.Pemberian ruang inovasi, di mana guru didorong untuk mencoba metode baru tanpa takut
disalahkan jika gagal.

2.Penghargaan terhadap usaha, bukan hanya hasil akhir. Kepala sekolah menekankan
pentingnya proses belajar yang dijalani guru maupun siswa.
3.Modeling, yaitu kepala sekolah sendiri menjadi teladan dengan terus belajar, mengikuti
pelatihan, serta menunjukkan sikap terbuka terhadap kritik.
4.Kolaborasi antar guru, agar tercipta budaya saling belajar, bukan kompetisi yang
melemahkan.
Dengan growth mindset, sekolah menjadi organisasi pembelajar (learning organization)
yang tidak stagnan, melainkan terus bergerak menuju perbaikan mutu.
4. Kepala Sekolah sebagai Role Model Transformasi
Sebagai agen transformasi, kepala sekolah tidak cukup hanya mengarahkan, tetapi juga
harus menjadi teladan nyata bagi guru dan siswa. Kepemimpinan berbasis Path-Goal yang
dipadukan dengan growth mindset akan tampak dalam perilaku sehari-hari kepala sekolah,
misalnya:
Dalam hal inovasi, kepala sekolah berani mencoba penggunaan teknologi baru dalam
manajemen sekolah, dan mendorong guru mengikuti langkah yang sama.
Dalam hal pembelajaran, kepala sekolah aktif memfasilitasi pelatihan guru, bahkan ikut
serta dalam proses pelatihan untuk menunjukkan bahwa belajar adalah proses sepanjang
hayat.
Dalam hal prestasi, kepala sekolah menunjukkan komitmen tinggi untuk mengangkat
mutu sekolah dengan cara mendorong siswa dan guru berpartisipasi dalam kompetisi
akademik maupun non-akademik.
Kepala sekolah yang menjadi role model akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan,
loyalitas, dan motivasi dari guru maupun siswa. Transformasi budaya sekolah tidak hanya
diucapkan dalam retorika, tetapi juga diwujudkan melalui contoh nyata yang konsisten.
5. Implikasi terhadap Mutu dan Daya Saing Lulusan
Kepemimpinan kepala sekolah sebagai agen transformasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan. Kepala sekolah yang mampu memberikan

arah yang jelas, dukungan emosional, serta melibatkan guru dalam pengambilan keputusan dan
penetapan target yang menantang namun realistis, dapat meningkatkan profesionalisme dan
komitmen guru (Mulyasa, 2013; Yukl, 2013). Komitmen tersebut akan mendorong guru untuk
lebih terbuka terhadap perubahan, berani berinovasi dalam pembelajaran, serta konsisten dalam
meningkatkan kualitas kinerjanya. Apalagi jika kepemimpinan tersebut diintegrasikan dengan
prinsip growth mindset, sebagaimana diuraikan Dweck (2006), guru akan meyakini bahwa
keterampilan pedagogik, pemanfaatan teknologi, serta inovasi pembelajaran bukanlah hal yang
statis, melainkan dapat terus ditingkatkan melalui proses belajar sepanjang hayat.
Transformasi kepemimpinan ini berdampak langsung terhadap terciptanya lingkungan
belajar yang kondusif, inspiratif, dan partisipatif. Siswa tidak lagi diposisikan hanya sebagai
penerima pengetahuan, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini
memungkinkan mereka mengembangkan berbagai kompetensi abad ke-21, seperti berpikir kritis,
kolaborasi, kreativitas, ketangguhan (resilience), dan literasi digital (OECD, 2019). Dengan
keterampilan tersebut, lulusan sekolah lebih siap menghadapi tantangan, baik untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun dalam persaingan dunia kerja yang semakin
kompetitif.
Secara keseluruhan, kepala sekolah yang mampu memadukan prinsip Path-Goal
Leadership (House & Mitchell, 1974) dengan pendekatan growth mindset tidak hanya
menjalankan fungsi administratif, tetapi juga benar-benar tampil sebagai agen transformasi
pendidikan. Kepemimpinan model ini berimplikasi pada penguatan kualitas guru, pembaruan
proses pembelajaran, serta peningkatan daya saing lulusan (Bass & Riggio, 2006; Northouse,
2021). Dengan kata lain, keberhasilan sekolah dalam menghadapi tantangan era globalisasi
sangat ditentukan oleh kapasitas kepala sekolah dalam mengelola perubahan dan
memberdayakan seluruh warga sekolah untuk bergerak menuju mutu yang lebih baik.
D.Integrasi Path-Goal dan Growth Mindset dalam Pengembangan Guru untuk Mutu
Lulusan
1. Pentingnya Pengembangan Guru dalam Transformasi Sekolah
Guru memiliki posisi yang sangat strategis dalam keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan karena berada di garis terdepan dalam proses pembelajaran. Kualitas pembelajaran,
motivasi belajar peserta didik, serta pencapaian akademik maupun non-akademik sangat

dipengaruhi oleh sejauh mana guru memiliki dan mengembangkan kompetensi profesional,
pedagogik, sosial, serta kepribadian (Mulyasa, 2013; Hoy & Miskel, 2013). Kompetensi ini
bukan hanya menjadi syarat formal bagi guru untuk menjalankan tugas mengajar, tetapi juga
menjadi indikator kemampuan dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna, relevan dengan
kebutuhan zaman, dan mendorong perkembangan peserta didik secara holistik. Oleh sebab itu,
pengembangan kapasitas guru harus dipandang sebagai inti dari strategi peningkatan mutu
sekolah, bukan sebagai program tambahan atau formalitas administratif (OECD, 2019). Upaya
pengembangan ini mencakup peningkatan keterampilan pedagogik yang adaptif, penguasaan
teknologi pembelajaran, kemampuan merancang pengalaman belajar yang kreatif, serta
penguatan karakter dan nilai-nilai profesional. Sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi
tinggi dan motivasi belajar berkelanjutan akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif bagi perkembangan peserta didik.
Dalam konteks tersebut, kepala sekolah sebagai agen transformasi memiliki tanggung
jawab besar dalam mengarahkan dan memfasilitasi pengembangan profesional guru. Sebagai
pengelola administratif dan pemimpin, kepala sekolah juga harus memiliki kemampuan untuk
memahami kebutuhan dan potensi setiap guru (Mulyasa, 2013). Melalui penerapan teori Path-
Goal, kepala sekolah dapat memilih gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi guru dan
situasi yang dihadapi (House & Mitchell, 1974). Misalnya, kepala sekolah dapat memberikan
arahan dan dukungan yang jelas kepada guru yang memerlukan bimbingan, atau sebaliknya
memberikan kebebasan dan tantangan bagi guru yang sudah lebih mandiri. Penyesuaian gaya
kepemimpinan seperti ini mendorong guru untuk lebih percaya diri, proaktif, dan inovatif dalam
praktik pembelajaran.
Selain itu, penerapan konsep Growth Mindset menjadi fondasi penting dalam mendukung
pengembangan guru. Dengan mengadopsi pola pikir ini, guru memandang kemampuan
pedagogik, kreativitas mengajar, dan keterampilan teknologi bukan sebagai kapasitas tetap,
melainkan kemampuan yang dapat terus ditingkatkan melalui usaha dan pembelajaran (Dweck,
2006). Pola pikir seperti ini mendorong guru untuk tidak takut menghadapi tantangan baru,
terbuka terhadap umpan balik, dan melihat kesalahan sebagai bagian dari proses pengembangan
diri. Integrasi antara kepemimpinan berbasis Path-Goal dan semangat Growth Mindset
memungkinkan terciptanya budaya sekolah yang mendukung pembelajaran berkelanjutan,
kolaborasi antarwarga sekolah, dan inovasi dalam praktik mengajar. Dengan demikian, kepala

sekolah tidak hanya menggerakkan perubahan struktural, tetapi juga membangun iklim
psikologis dan budaya organisasi yang memperkuat profesionalisme guru (Northouse, 2021;
Senge, 2006). Hasilnya adalah peningkatan kualitas proses pembelajaran dan kesiapan lulusan
sekolah untuk menghadapi tantangan dunia modern yang semakin kompleks dan kompetitif.
Integrasi keduanya melahirkan pendekatan kepemimpinan yang tidak hanya mengarahkan guru,
tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa perubahan dan peningkatan kualitas adalah sesuatu
yang mungkin dan dapat dicapai.
2. Aplikasi Path-Goal dalam Pengembangan Guru
Menurut House & Mitchell (1974), teori Path-Goal menegaskan bahwa seorang pemimpin
memiliki peran penting dalam membantu bawahannya menemukan jalan (path) yang tepat untuk
mencapai tujuan (goal) yang telah ditetapkan. Peran ini diwujudkan dengan cara mengurangi
atau bahkan menghilangkan berbagai hambatan yang mungkin menghalangi proses pencapaian
tersebut, sekaligus menumbuhkan motivasi agar setiap individu tetap bersemangat dalam
bekerja. Jika diterapkan dalam konteks pendidikan, khususnya pengembangan profesional guru,
maka gaya kepemimpinan Path-Goal dapat diimplementasikan melalui beberapa pendekatan
berikut:
1.Directive Leadership (Kepemimpinan Direktif)
Pada gaya ini, kepala sekolah berfungsi sebagai pemberi arahan yang jelas dan tegas
mengenai apa yang harus dicapai guru. Arahan tersebut bisa berupa instruksi detail
tentang target mutu pembelajaran, standar kinerja, atau metode yang sebaiknya
digunakan.
Contoh: kepala sekolah meminta guru menyiapkan perangkat pembelajaran yang
mengintegrasikan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking
Skills/HOTS). Dalam prosesnya, kepala sekolah tidak hanya memberi perintah
umum, tetapi juga menyediakan format dan pedoman langkah demi langkah,
sehingga guru memiliki acuan yang pasti.
Implikasi: guru yang sebelumnya mungkin merasa ragu atau bingung dalam
memulai inovasi pembelajaran menjadi lebih percaya diri, karena memiliki

panduan yang jelas dan sistematis untuk diikuti. Dengan demikian, kesalahan
dapat diminimalisasi dan kualitas pembelajaran lebih terarah.
2.Supportive Leadership
Dalam pendekatan ini, kepala sekolah berperan sebagai sosok yang penuh perhatian
terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi guru. Fokusnya bukan hanya pada
pencapaian target, melainkan juga pada kesejahteraan emosional maupun kebutuhan
praktis guru.
Contoh: jika ada guru yang masih kurang terampil dalam penggunaan teknologi,
kepala sekolah bisa memberikan tambahan waktu khusus untuk pelatihan IT.
Selain itu, ia juga dapat memfasilitasi forum berbagi pengalaman antar guru,
sehingga tercipta suasana saling mendukung.
Implikasi: guru merasa keberadaannya dihargai dan diperhatikan. Rasa nyaman
tersebut mendorong tumbuhnya motivasi internal untuk mencoba metode baru
tanpa rasa takut. Akibatnya, inovasi lebih mudah diterapkan karena guru tidak
terbebani secara psikologis.
3.Participative Leadership
Gaya ini menekankan pentingnya keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan
yang berkaitan langsung dengan kebijakan sekolah. Kepala sekolah tidak bersikap
otoriter, melainkan membuka ruang diskusi agar guru merasa menjadi bagian dari
keputusan strategis.
Contoh: guru dilibatkan dalam menentukan platform digital yang akan dipakai
sekolah untuk pembelajaran daring. Melalui forum Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) internal, guru juga dapat memberikan saran mengenai metode
evaluasi yang lebih sesuai dengan kondisi siswa.
Implikasi: ketika guru ikut serta dalam proses perumusan kebijakan, mereka akan
memiliki rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap keputusan tersebut. Hal
ini membuat mereka lebih berkomitmen dalam menjalankan kebijakan yang
dihasilkan, karena mereka merasa turut bertanggung jawab atas keberhasilan
implementasinya.

4.Achievement-Oriented Leadership
Pendekatan ini menekankan pada pemberian tantangan yang tinggi agar guru terdorong
mencapai standar profesional yang lebih baik. Kepala sekolah memotivasi guru untuk
tidak hanya puas dengan pencapaian minimal, tetapi terus mengembangkan diri.
Contoh: kepala sekolah menargetkan setiap tahunnya ada minimal tiga guru yang
mengikuti seminar nasional atau berhasil mempublikasikan karya ilmiah di jurnal
pendidikan. Selain itu, guru juga didorong untuk mengembangkan praktik terbaik
(best practice) yang bisa menjadi acuan bagi rekan sejawat.
Implikasi: guru terbiasa berpikir visioner, tidak sekadar melaksanakan tugas rutin,
tetapi juga menantang dirinya untuk meraih prestasi yang lebih tinggi. Pola pikir
berorientasi prestasi ini pada akhirnya akan meningkatkan profesionalisme guru
serta reputasi sekolah secara keseluruhan.
Secara menyeluruh, penerapan teori Path–Goal dalam konteks kepemimpinan kepala
sekolah memberikan dampak yang signifikan terhadap proses pengembangan profesional guru.
Ketika kepala sekolah mengintegrasikan prinsip-prinsip teori ini, lingkungan kerja di sekolah
tidak hanya berjalan dengan arah yang jelas dan terstruktur, tetapi juga diwarnai dengan
dukungan emosional, keterlibatan bersama dalam pengambilan keputusan, serta tantangan yang
mendorong peningkatan kinerja. Dengan kata lain, suasana kerja yang tercipta akan bersifat
terarah, penuh kepedulian, partisipatif, sekaligus memberikan stimulus bagi guru untuk terus
berkembang. Kombinasi dari keempat corak kepemimpinan yakni direktif, suportif, partisipatif,
dan berorientasi pada prestasi menjadi kunci utama dalam mendorong optimalisasi potensi guru.
Melalui perpaduan tersebut, guru tidak hanya mendapatkan arahan yang jelas dalam
melaksanakan tugas, tetapi juga memperoleh dorongan motivasional yang mampu
menumbuhkan semangat kerja. Di sisi lain, keterlibatan dalam pengambilan keputusan membuat
guru merasa dihargai dan memiliki rasa tanggung jawab lebih besar terhadap keberhasilan
program sekolah. Tantangan yang diberikan pun mengarahkan mereka untuk senantiasa
meningkatkan kualitas diri. Hasil akhirnya adalah terbangunnya iklim sekolah yang kondusif
untuk pengembangan kompetensi pedagogik dan profesional guru, meningkatnya motivasi
intrinsik maupun ekstrinsik, serta bertumbuhnya sikap profesionalisme yang tercermin dalam
kinerja sehari-hari. Dengan demikian, implementasi teori Path–Goal di tangan kepala sekolah

bukan hanya memperkuat kualitas pengajaran, tetapi juga membentuk kultur kerja yang sehat
dan produktif bagi seluruh tenaga pendidik.
3. Integrasi Growth Mindset dalam Pengembangan Guru
Konsep Growth Mindset (Dweck, 2006) memberikan perspektif baru yang dapat
melengkapi penerapan teori Path–Goal dalam kepemimpinan pendidikan. Prinsip dasar dari
konsep ini adalah keyakinan bahwa kemampuan seorang guru tidaklah bersifat tetap atau bawaan
sejak lahir, melainkan sesuatu yang dapat ditingkatkan secara berkelanjutan melalui latihan,
usaha, pengalaman, dan kesediaan untuk belajar dari kegagalan. Dengan menginternalisasi pola
pikir tersebut, guru akan lebih terbuka terhadap tantangan, berani mencoba hal-hal baru, dan
tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan.
Implementasi growth mindset dalam program pengembangan guru dapat diwujudkan
melalui beberapa strategi berikut:
1.Pelatihan berkelanjutan
Salah satu bentuk penerapan growth mindset adalah menyediakan kesempatan belajar
yang berkesinambungan bagi guru. Kepala sekolah menekankan bahwa setiap
keterampilan baru dapat dipelajari secara bertahap.
Contoh: seorang guru matematika yang awalnya merasa kesulitan menggunakan
aplikasi pembelajaran digital diberikan kesempatan mengikuti workshop secara
rutin. Melalui pendampingan dan pelatihan yang dilakukan berulang, guru
tersebut akhirnya mampu menguasai teknologi tersebut.
Implikasi: guru menyadari bahwa keterampilan dapat ditingkatkan melalui proses,
bukan bakat semata.
2.Budaya Apresiasi Proses
Selain menilai hasil akhir, penting juga menumbuhkan budaya yang menghargai upaya
dan usaha guru dalam mencoba pendekatan baru. Kepala sekolah berperan menekankan
bahwa proses belajar sama berharganya dengan hasil yang dicapai.
Contoh: guru yang berinisiatif menerapkan model project-based learning
mendapatkan apresiasi meskipun hasil awal belum maksimal.

Implikasi: guru merasa lebih percaya diri untuk terus mencoba inovasi karena
usaha mereka diakui.
3.Modeling oleh Kepala Sekolah
Kepala sekolah dapat menumbuhkan growth mindset dengan menunjukkan sikap terbuka
terhadap pembelajaran baru. Keteladanan ini penting karena guru cenderung mengikuti
perilaku yang dicontohkan pemimpinnya.
Contoh: kepala sekolah ikut serta dalam pelatihan penggunaan learning
management system, sehingga guru melihat bahwa pimpinan pun bersedia belajar
hal-hal baru.
Implikasi: guru akan terdorong menanamkan sikap serupa bahwa belajar adalah
proses sepanjang hayat.
4.Refleksi dan Feedback Konstruktif
Memberi ruang bagi guru untuk melakukan refleksi merupakan bagian penting dari
pengembangan profesional. Melalui refleksi, guru dapat mengidentifikasi keberhasilan
maupun kekurangan dalam praktik pembelajaran. Guru diberi ruang untuk melakukan
refleksi diri atas pembelajaran yang dilakukan, dan kepala sekolah memberikan umpan
balik yang membangun, bukan sekadar evaluasi bersifat kritik.
Contoh: setelah melaksanakan metode pembelajaran tertentu, guru diajak
melakukan refleksi bersama, kemudian kepala sekolah memberikan masukan
yang bersifat membangun, bukan sekadar kritik.
Implikasi: guru lebih mudah memahami kekurangan yang ada tanpa merasa
tertekan, sehingga lebih siap melakukan perbaikan di kesempatan berikutnya.
Dengan menerapkan growth mindset, guru akan lebih berani melakukan eksperimen
pembelajaran, siap menghadapi tantangan baru, dan memandang kesalahan bukan sebagai
kegagalan, melainkan sebagai peluang berharga untuk belajar. Pada akhirnya, pola pikir ini tidak
hanya meningkatkan kualitas profesional guru, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya budaya
sekolah yang progresif dan adaptif terhadap perubahan zaman.

4. Sinergi Path-Goal dan Growth Mindset
Integrasi Path-Goal dan Growth Mindset menciptakan kekuatan baru yang saling
melengkapi dalam proses pengembangan profesional guru. Path–Goal berperan sebagai kerangka
yang menyediakan arahan, dukungan, keterlibatan, serta tantangan kinerja yang jelas. Di sisi
lain, Growth Mindset menghadirkan keyakinan mendasar bahwa kemampuan guru bukanlah
sesuatu yang bersifat tetap, melainkan dapat terus ditingkatkan melalui pengalaman, usaha, dan
pembelajaran berkelanjutan. Ketika keduanya diintegrasikan, lahirlah sebuah sinergi yang
mampu memperkuat motivasi sekaligus memberikan struktur yang jelas dalam meningkatkan
kualitas guru.
Path-Goal berfungsi sebagai kerangka kerja yang memberi arah yang jelas bagi guru.
Melalui pendekatan ini, kepala sekolah dapat menyediakan petunjuk yang rinci,
memberikan dukungan nyata, melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan,
serta menantang mereka dengan target-target yang mendorong peningkatan prestasi.
Dengan adanya struktur semacam ini, guru tidak hanya merasa memiliki panduan yang
sistematis, tetapi juga terbantu dalam mengembangkan langkah-langkah inovasi secara
terarah.
Sementara itu, Growth Mindset berperan dalam menumbuhkan keyakinan dari dalam diri
guru bahwa kemampuan mereka tidaklah bersifat tetap. Melalui pola pikir ini, guru
diyakinkan bahwa perubahan dan peningkatan kualitas diri adalah hal yang realistis untuk
dicapai, asalkan ada kemauan, usaha, dan proses belajar yang berkelanjutan. Dengan
demikian, Growth Mindset memberikan sumber motivasi internal yang membuat guru
lebih percaya diri menghadapi tantangan, terbuka pada pengalaman baru, dan siap
memperbaiki diri ketika menemui kesulitan.
Contoh konkret di sekolah:
Kepala sekolah menetapkan target agar semua guru mampu membuat media
pembelajaran digital interaktif.
Bagi guru yang belum mahir, kepala sekolah memberi arahan teknis (directive) dan
pelatihan (supportive).
Guru dilibatkan dalam memilih platform digital yang sesuai (participative).

Target prestasi dibuat, misalnya dalam 6 bulan guru mampu menghasilkan minimal 1
produk media (achievement-oriented).
Sepanjang proses, guru ditanamkan growth mindset bahwa keterampilan teknologi dapat
dipelajari melalui latihan, dan kesalahan awal adalah bagian dari perjalanan belajar.
Dampaknya, para guru menunjukkan peningkatan kepercayaan diri serta kemampuan
untuk berkreasi dan berinovasi dalam proses pembelajaran. Sinergi kedua teori tersebut
berimplikasi pada terciptanya peserta didik yang lebih terarah dan termotivasi, sehingga kualitas
proses dan hasil pembelajaran dapat meningkat secara signifikan.
5. Dampak terhadap Mutu dan Daya Saing Lulusan
Pengembangan guru yang didasarkan pada teori Path-Goal serta penerapan pola pikir
berkembang (Growth Mindset) tidak hanya berpengaruh pada peningkatan kualitas guru itu
sendiri, tetapi juga berdampak langsung pada mutu lulusan. Hal ini karena guru yang lebih
profesional, inovatif, serta memiliki motivasi internal yang kuat akan mampu menciptakan
pembelajaran yang relevan, kreatif, dan sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, peserta
didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna sehingga kompetensi, keterampilan,
dan daya saing mereka meningkat.
1.Guru lebih profesional dan inovatif
Melalui pengembangan yang tepat, guru dapat meningkatkan profesionalisme serta
kemampuan berinovasi. Dengan begitu, proses pembelajaran yang mereka rancang
menjadi lebih relevan dengan kondisi saat ini, kreatif dalam penyajian, serta mampu
menjawab kebutuhan kompetensi siswa di era abad ke-21.
2.Siswa mendapatkan pengalaman belajar yang inspiratif
Proses pembelajaran yang kreatif dan relevan akan memberi siswa kesempatan untuk
memperoleh pengalaman belajar yang membangkitkan motivasi. Dari pengalaman ini,
mereka mengasah kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, berkomunikasi efektif, serta
berkreasi, yang dikenal sebagai keterampilan 4C.
3.Budaya sekolah berubah menjadi organisasi pembelajar
Ketika guru dan siswa sama-sama terbiasa untuk belajar dan terus berkembang, sekolah
secara bertahap membentuk budaya baru. Sekolah tidak lagi sekadar tempat transfer ilmu,
tetapi menjadi sebuah organisasi yang hidup, adaptif, dan terus meningkatkan kualitas
pembelajaran.

4.Daya saing lulusan meningkat
Lulusan menjadi lebih kompetitif karena tidak hanya menguasai akademik, tetapi juga
memiliki keterampilan hidup, literasi teknologi, serta mentalitas fleksibel untuk
menghadapi persaingan global.
E.Kesimpulan
a. Path-Goal sebagai Strategi Kepemimpinan Sekolah
Teori Path-Goal yang dikembangkan oleh House & Mitchell (1974) menekankan bahwa
pemimpin berperan membantu bawahan menemukan jalan (path) menuju tujuan (goal) dengan
mengurangi hambatan dan meningkatkan motivasi. Dalam konteks sekolah, kepala sekolah yang
menggunakan pendekatan ini mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan kebutuhan
guru.
Directive Leadership membantu guru memahami target dan standar pembelajaran.
Supportive Leadership menumbuhkan rasa nyaman dan motivasi guru.
Participative Leadership meningkatkan keterlibatan dan komitmen guru.
Achievement-Oriented Leadership menantang guru mencapai standar mutu tinggi.
Hasilnya, guru lebih terarah, percaya diri, dan produktif.
b. Growth Mindset sebagai Fondasi Budaya Sekolah
Konsep Growth Mindset (Dweck, 2006) menekankan bahwa kemampuan dapat
dikembangkan melalui usaha, strategi yang tepat, dan pembelajaran dari kesalahan. Kepala
sekolah yang menanamkan growth mindset menciptakan budaya sekolah yang progresif, di mana
guru dan siswa sama-sama meyakini bahwa perkembangan diri adalah proses berkelanjutan.
Budaya ini membuat guru lebih terbuka terhadap inovasi, berani mengambil risiko dalam metode
pembelajaran, dan melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk tumbuh. Sementara bagi siswa,
growth mindset membentuk mental tangguh, rasa ingin tahu tinggi, serta kepercayaan diri dalam
menghadapi tantangan.
c. Integrasi Path-Goal dan Growth Mindset
Kombinasi kedua teori ini menghasilkan pendekatan kepemimpinan yang komprehensif:

Path-Goal memberikan struktur, arahan, dan strategi praktis.
Growth Mindset memberikan keyakinan psikologis bahwa setiap orang dapat
berkembang.
Dengan memadukan keduanya, kepala sekolah tidak hanya memandu guru secara teknis,
tetapi juga membangun motivasi internal agar guru percaya diri menghadapi perubahan.
Dampaknya terlihat pada peningkatan mutu pembelajaran, kepuasan siswa, dan daya saing
lulusan.
d. Dampak terhadap Mutu dan Daya Saing Lulusan
Integrasi Path-Goal dan Growth Mindset berdampak langsung pada kualitas lulusan. Guru
yang profesional dan inovatif akan mampu melahirkan pembelajaran yang relevan dengan
kebutuhan abad 21. Siswa tidak hanya menguasai aspek akademik, tetapi juga memiliki
keterampilan kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif, serta literasi digital. Lulusan dengan bekal
tersebut akan lebih kompetitif di dunia kerja maupun pendidikan tinggi. Sekolah pun
memperoleh reputasi positif sebagai lembaga yang adaptif, inovatif, dan berorientasi mutu.
F.Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis dan studi kasus yang telah dibahas, beberapa rekomendasi dapat
diajukan untuk memperkuat implementasi Path-Goal dan Growth Mindset dalam kepemimpinan
sekolah:
a. Bagi Kepala Sekolah
1.Kembangkan gaya kepemimpinan fleksibel dengan menyesuaikan pendekatan sesuai
kebutuhan guru.
2.Jadilah teladan growth mindset dengan menunjukkan kesediaan untuk terus belajar dan
berkembang.
3.Bangun sistem coaching dan mentoring bagi guru, bukan hanya supervisi bersifat kontrol.
4.Fasilitasi pelatihan berkelanjutan agar guru tidak ketinggalan perkembangan ilmu dan
teknologi.

b. Bagi Guru
1.Tanamkan growth mindset pribadi, dengan keyakinan bahwa keterampilan mengajar
dapat ditingkatkan.
2.Ikut serta aktif dalam komunitas belajar untuk berbagi praktik baik dan tantangan.
3.Berani mencoba inovasi pembelajaran, meskipun hasil awal mungkin belum sempurna.
4.Jadikan refleksi sebagai budaya dengan mengevaluasi praktik mengajar secara berkala.
c. Bagi Pemerintah dan Pengelola Pendidikan
1.Integrasikan Path-Goal dan Growth Mindset dalam program pelatihan kepala sekolah dan
guru.
2.Sediakan insentif dan penghargaan bagi sekolah yang berhasil menciptakan budaya
belajar progresif.
3.Dorong penelitian lanjutan terkait efektivitas model kepemimpinan ini di berbagai
jenjang pendidikan.
4.Bangun kebijakan berbasis mutu dan daya saing yang mendukung lulusan siap
menghadapi globalisasi.
G.Penutup
Kepemimpinan sekolah yang memadukan teori Path-Goal dan konsep Growth Mindset
mampu menciptakan sinergi yang mendorong lahirnya budaya pembelajaran yang adaptif,
inovatif, dan progresif. Path-Goal membantu kepala sekolah memberikan arahan, dukungan,
serta tantangan yang sesuai dengan kebutuhan guru, sementara Growth Mindset menumbuhkan
keyakinan bahwa setiap individu dapat berkembang melalui usaha dan pengalaman. Integrasi
keduanya tidak hanya meningkatkan profesionalisme guru, tetapi juga melahirkan lulusan yang
berdaya saing tinggi, memiliki keterampilan akademik, literasi digital, dan mentalitas adaptif
yang siap menghadapi perubahan global. Dengan demikian, kepala sekolah berperan bukan
sekadar sebagai administrator, melainkan sebagai agen transformasi yang berpengaruh terhadap
kualitas pendidikan dan generasi bangsa di masa depan.

Daftar Pustaka
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational Leadership (2nd ed.). Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates.
Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. New York: Random House.
House, R. J., & Mitchell, T. R. (1974). Path-Goal Theory of Leadership. Journal of
Contemporary Business, 3(1), 81–97.
Hoy, W. K., & Miskel, C. G. (2013). Educational Administration: Theory, Research, and
Practice. New York: McGraw-Hill.
Mulyasa, E. (2013). Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Northouse, P. G. (2021). Leadership: Theory and Practice (9th ed.). Thousand Oaks, CA:
Sage Publications.
OECD. (2019). OECD Skills Outlook 2019: Thriving in a Digital World. Paris: OECD
Publishing.
Sergiovanni, T. J. (2009). The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston:
Pearson Education.
Senge, P. M. (2006). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization. New York: Doubleday.
Tilaar, H. A. R. (2012). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformasional untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Yukl, G. (2013). Leadership in Organizations (8th ed.). Boston: Pearson Education.
Tags