Layout Potret Edisi 2 Berita dan Edukasi.pdf

AriandyUtama 9 views 13 slides Nov 20, 2024
Slide 1
Slide 1 of 13
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13

About This Presentation

Majalah berita bulanan Potret magazine


Slide Content

© majalah potret edisi I, 2012
Mahasiswa Indonesia yang sedang
belajar di berbagai perguruan
tinggi di Australia mempunyai latar
belakang yang cukup beragam,
baik dari status perkerjaan
maupun bidang ilmu yang
dipelajari. Banyak yang berlatar
belakang akademisi, birokrat,
wirausaha, aktivis di lembaga
swadaya masyarakat, lembaga
penelitian, politisi, pengamat, dan
lembaga internasional dan lain
sebagainya. Dari statusnya, banyak
yang masih baru memasuki dunia
kerja ataupun belum bekerja.
Namun lebih banyak lagi yang
telah mengenyam pengalaman yan
cukup panjang di Indonesia.
Dari itu semua, ada satu kesamaan
yaitu statusnya sebagai mahasiswa.
Ketika menjadi mahasiswa, mereka
mempunyai independensi yang
cukup kuat, idealisme
kembali muda, tetapi
mempunyai landasan
akademis dan logis
dengan kemampuan
mensitesa berbagai
femomena. Tiga hal ini, ilmiah,
independensi dan pengalaman,
bisa menjadi kekuatan yang luar
biasa.
Indonesia Synergy (IS) muncul
sebagai sebuah forum yang
mencoba merajut ketiga
potensi luar biasa tersebut
dengan membentuk jaringan,
menyuarakan pikiran dan
menuangkan ke dalam berbagai
diskusi dan tulisan. Selain itu IS
mencoba membangun jaringan
informal (network) yang bisa
berlanjut bagi kepentingan
mahasiswa dan kepentingan
nasional pada umumnya.
Indonesia Synergy berdiri pada
tanggal 1 November 2011 dari hasil
ngumpul dan ngobrol beberapa
mahasiswa Indonesia di Canberra
(Pungkas, Faried,
Adrian, Alif,
Budi, Adi,
dan Bagus).
Kegiatan
utama
IS adalah
mengadakan
diskusi, dengan
tema-tema populer namun
berlandaskan pada pemikiran
logis dan ilmiah. Dalam diskusinya,
selain menggali pemikiran
mahasiswa, IS juga sering
menghadirkan pembicara dan
berdialog dengan berbagai tokoh
Indonesia yang sering mampir di
Canberra.
Kegiatan lain adalah repository
hasil pemikiran mahasiswa, baik
berupa artikel populer yang
diterbitkan oleh berbagai media,
resensi, hasil konferensi, tulisan
bebas sampai dengan kumpulan
19
Indonesia Synergy:
Merajut Potensi dan Pemikiran
Mahasiswa
Pungkas Bahjuri Ali Mahasiswa Program Doktoral Australian National University
essays tugas kuliah. Berbagai
workshop dan seminar untuk
pelatihan menulis di media juga
telah dilakukan.
Hingga saat ini sambutan khalayak
dari segala lapisan cukup baik dan
antusias, termasuk dari masyarakat
umum non-mahasiswa sekitra
Canberra dan setiap forum diskusi.
Dalam kegiatannya, Indonesia
Synergy bekerjasa sama dengan
PPIA ACT, PPA-ANU dan PPIA UC
serta Keduataan Besar Indonesia di
Canberra.
Sebagai sebuah forum, Indonesia
Synergy mencoba menjadi sebuah
lembaga yang cair yang dapat
mensinergikan berbagai pemikiran
mahasiswa Indonesia, dan
berharap menjadi pemacu bagi
pembangunanan Indonesia. Dalam
usianya yang masih sangat muda
ini, IS – sebagai sebuah forum
yang terbuka – dengan senang
hati menerima saran dan masukan
mengenai tema, pembicara
dan menerima tulisan-tulisan
mahasiswa dari mana saja.
Pengurus saat ini adalah
Pungkas B Ali (Koordinator), Adi
Budiarso, Faried Saenong, Bimo
Widjayanto Lutfi Makhasin dan
Rahman Abduroham (Materi
dan Content), Yasmi Adriansyah
& Budi Kurniawan (Web Editor
dan repository), Bagus Ismujati
(Diskusi), M. Alief Habibie (Humas),
dan Liaison officers (Ratih, Stefanus
Sampe, Alief Habibie)
*** Blog: http://indonesiasynergy.
wordpress.com; facebook:
Indonesia Synergy;
email:indonesiasynergy@gmail.
com
POTRET | REPORTASE
Layout Potret Edisi2.indd 13 1/23/2012 12:20:20 PM

© majalah potret edisi I, 2012
18
Kebahagiaan Indonesia
Lewat Piano
Grand piano berwarna hitam itu berdiri elegan.
Penonton hening. Gelombang kesunyian merayap ke
segenap ruangan Atrium, Building 23, University of
Canberra.
Seorang putri Indonesia, Miranti Puti Aisyah
mendekati sang grand piano. Ia duduk dengan
khidmat. Menatap piano seakan berhadapan dengan
kekasih hati. Ia tersenyum ke arah penonton. Dan
setelah itu, lantunan komposisi klasik dari Bach,
Poulenc dan Chopin mengalir indah dari jemari
lentiknya.
Di Minggu sore yang mendung di Canberra,
11 Desember 2011, Miranti telah memberikan
kehangatan dengan keterampilan tingkat tingginya
bermain piano klasik.
Mahasiswi Master di bidang Lingkungan Hidup, ANU
ini seakan mengajak penonton menahan nafas untuk
menuju puncak keindahan komposisi.
Prelude and Fugue in G Major, No. 15, Book 2 dari
J.S.Bach (1685 – 1750) ia mainkan dengan elegan.
Trois Novelettes dari Francis Poulenc (1899 – 1963),
yang dimainkan bertahap di C Major, Bb Major dan
E Minor, seakan mengajak penonton menari-nari
dengan berbagai temponya.
Puncak penampilan disuguhkan Miranti melalui
Etude in Gb Major, Op. 10, No. 5 dari Frederic
Chopin (1810 – 1849), sebuah komposisi yang
relatif sulit untuk dimainkan. Namun di tangan
Miranti yang pernah menjadi pemenang ketiga
pada Eisteddfodd National Piano Competition
(Bach category and the 20th Century Composer)
tersebut, komposisi dari Chopin tersebut terdengar
gemerincing. Meriah. Komposisi bertempo cepat
serta tidak memberikan jeda pada jari-jari kanan
seakan turut menahan nafas para penonton.
Sontak setelah lagu ketiga yang dimainkan Miranti,
penonton memberikan aplaus panjang. Tidak saja
permainannya terasa hebat dan megah, namun ia
telah menyajikan salah satu penampilan terbaiknya.
“That was a great performance,“ ujar seorang
penonton berkebangsaan Australia. “Keren sekali.
Aku jadi ikutan bangga sebagai orang Indonesia,”
demikian sahut Dita, seorang mahasiswi Indonesia di
Canberra.
Ya, Miranti telah turut ‘mengibarkan bendera’
Indonesia melalui keterampilannya di bidang piano
klasik. Sekalipun ia mengaku sempat tegang sebelum
tampil, namun usai acara ia terlihat sumringah.
Bahagia.
Kebahagiaan Miranti adalah kebahagiaan kita
semua. Kebahagiaan Indonesia. ***
POTRET | REPORTASE
Layout Potret Edisi2.indd 14 1/23/2012 12:20:20 PM

© majalah potret edisi I, 2012
7
Pendidikan
adalah untuk
sukses dalam
kehidupan
Oleh : SALWA
Mahasiswa Master of Arts in TESOL di Flinders
University, South Australia
Suatu hari, seorang anak yang masih duduk di Taman
Kanak-kanak pulang kerumah sambil menangis di depan
ibunya. Ia mengatakan, “Ma, aku ingin pindah ke planet
lain”. Ini terjadi karena ia merasa tertekan di sekolah.
Karena “dipaksa” harus lancar membaca dan berhitung,
padahal sebenarnya ia masih ingin bermain dengan
teman-temannya. Di lain tempat, Kita sering melihat,
seorang siswa Sekolah Dasar masih harus mengikuti
tambahan pelajaran atau kursus sepulang sekolah hingga
pulang sore hari, dengan baju seragam yang basah
berkeringat serta membawa tas besar di pundak yang
tampak sangat berat. “beban” itu belum selesai, karena
pada malam hari ia masih harus mengerjakan seabrek
Pekerjaan Rumah untuk sekolah esok hari. Kenyataan
inilah yang sering tampak di negeri kita.
Sebagai seorang pendidik yang sedang melanjutkan
studi di Australia, mengamati kegiatan belajar-mengajar
adalah sangat menarik. Tulisan ini adalah sebagai
informasi untuk berbagi pengalaman, juga sebagai
perbandingan antara metode pendidikan yang ada
di Australia dengan metode pendidikan yang ada di
Indonesia (Edubenchmarking). Tanpa bermaksud
memandang lebih baik pendidikan di Australia
dibandingkan dengan di negara kita. Karena semua
ini ada plus dan minusnya, tinggal kita yang harus
memandangnya dengan arif serta obyektif. Penulis
berharap tulisan ini bisa menjadi bahan informasi bagi
penentu kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Agar
dapat mempertahankan sisi baik yang sudah ada pada
sistem pendidikan di Indonesia, dan mengambil metode
yang dinilai bagus pada sistem pendidikan di negara-
negara lain. Jelas dengan demikian akan menjadi sebuah
cara terbaik dalam menentukan program pendidikan di
waktu yang akan datang.
Seperti juga di Indonesia, sekolah-sekolah di Australia
di mulai dengan pendidikan taman kanak-kanak, lalu di
lanjutkan dengan 12 tahun sekolah dasar dan menengah,
dikenal dengan istilah year 1 sampai year 12. Perihal
kurikulum, di Australia juga menerapkan kerangka kerja
kurikulum nasional sebagai acuan standar akademik.
Di hampir seluruh sekolah mempunyai sembilan
mata pelajaran inti yaitu Bahasa Inggris, Matematika,
Pendidikan Sosial dan lingkungan, Science, Seni, Bahasa
asing (selain Bahasa Inggris), Pendidikan kesehatan dan
POTRET | PENDIDIKAN
Indonesia perlu bersikap realistis. Alasannya adalah,
pertama, sejauh penempatan personil militer AS
tersebut dilakukan di dalam wilayah Australia,
negara manapun termasuk Indonesia tidak berhak
mencampuri.
Kedua, Pemerintahan SBY harus diakui telah cukup
dekat baik dengan Pemerintahan Obama maupun
Pemerintahan Gillard. Kedekatan tersebut suka atau
tidak akan menimbulkan perasaan sungkan bagi
Presiden SBY untuk bersifat frontal. Terlebih Presiden
SBY sendiri memiliki semboyan ‘one thousand
friends zero enemies’ sebagai kredo kebijakan luar
negerinya.
Ketiga, Indonesia sejatinya bisa memainkan kartu
realisme politik internasional dengan cara lebih
mendekatkan diri dengan China, termasuk dalam
hal kerjasama militer. Mengingat China adalah
negara yang dapat dipastikan juga terganggu dengan
kehadiran AS di kawasan, maka besar kemungkinan
China akan berusaha lebih merapat dengan negara
yang agak terusik seperti Indonesia.
Namun tentu saja opsi terakhir ini perlu
dipertimbangkan secara hati-hati mengingat di masa
lalu Indonesia pernah terperosok ke dalam Poros
Jakarta-Peking-Pyongyang. Kalaupun opsi ini diambil,
hal itu lebih ditujukan sebagai proses perimbangan
kekuatan yang memang lazim terjadi di kancah
politik internasional.***
Layout Potret Edisi2.indd 15 1/23/2012 12:20:21 PM

© majalah potret edisi I, 2012
8
fisik, Teknologi, serta pengembangan kepribadian. Yang
berbeda dengan di Indonesia, pendidikan di negeri yang
dikenal dengan produksi wool ini, tidak ada pelajaran
pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama.
Saya melihat ada beberapa hal menarik yang berbeda
dengan sistem pendidikan dasar di Indonesia. Pertama,
dilihat dari bobot dan tingkat kesulitan materi pelajaran,
standar pendidikan dasar di Indonesia jauh lebih tinggi.
Jika di Indonesia, siswa-siswa kelas dua SD sudah
mendapatkan banyak pelajaran dan berbagai pekerjaan
rumah serta ulangan atau ujian, tetapi siswa-siswa
setaraf kelas 1-2 SD di Australia belum di wajibkan
untuk membaca. Bahkan di Indonesia, siswa TK nol
besar diwajibkan lancar membaca & berhitung, apalagi
jika orang tua mereka berniat mendaftarkan mereka ke
Sekolah Dasar unggulan yang mewajibkan mereka lolos
ujian tulis sebagai syarat pendaftaran masuk. Sungguh
berbeda sekali dengan di negeri yang terkenal dengan
binatang kangguru ini. Pendidikan taman kanak-kanak
disini seperti istana bermain dimana mereka bebas
bermain, mengembangkan kreativitas dan bersosialisasi.
Pendidikan dasar di Australia lebih ditekankan sebagai
fondasi untuk belajar mengenal diri sendiri, lingkungan
serta pengembangan sikap (character building).
Mengajarkan hal-hal sederhana secara praktis lebih
ditekankan dibanding teori-teori di kelas. Karena itu,
tidak heran jika di Australia, sering terlihat siswa- siswa
sekolah dasar yang sedang belajar mengukur kepadatan 
mobil di jalan raya, atau di lain waktu, mereka tengah
melakukan kegiatan diluar kelas (excursion), seperti ke
pasar, perkebunan, peternakan kadang mereka belajar
juga mengantri, melakukan transaksi jual beli dan
sebagainya. Sebuah pengajaran yang aplikatif serta bisa
langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, dalam hal penilaian (assessment). Berbeda
dengan di Indonesia yang mewajibkan para siswa untuk
menempuh ulangan-ulangan sebagai persyaratan
untuk naik kelas. Di Australia tidak ada siswa yang tidak
naik kelas. Memang ada ujian nasional seperti UAN
di Indonesia, di Australia, tes standar nasional dikenal
dengan istilah NAPLAN (National Assessment Program
Literacy and Numeracy) yaitu tes nasional yang di
lakukan serentak di Australia untuk menguji kemampuan
membaca, menulis dan berhitung sebagai persiapan
memasuki Year 10 ( setara dengan kelas I SMU).
Walau standar materi pelajaran untuk pendidikan dasar
di Indonesia tampak jauh lebih tinggi dibandingkan
Australia, namun ketika memasuki tingkat perguruan
tinggi, tampak negeri kita lebih tertinggal dibanding
negara benua ini, selain disebabkan karena peralatan
teknologi yang lebih canggih dan lengkap, fasilitas-
fasilitas penelitian yang lebih memadai, juga faktor
mahasiswa yang telah memiliki pengembangan
karakter (character building) yang kuat. Fondasi sikap
yang tertanam sejak dini di pendidikan dasar sangat
mempengaruhi kesuksesan masa depan mereka, seperti
kemandirian, jujur, kreatif, inovatif serta  berfikir kritis
(critical thinking).
Ketiga, pemberian reward (penghargaan) terhadap usaha
siswa sangat dijunjung tinggi, baik dalam bentuk verbal
maupun non verbal seperti ucapan pujian “well done”,
“excellent” (bagus sekali, luar biasa). Yang lebih menarik
lagi di sekolah dasar, setiap ada siswa yang berbuat baik
atau melakukan usaha keras, mempunyai keberanian
yang positif, akan memperoleh reward berupa sertifikat-
sertifikat kecil (school awards) yang nanti jika telah
terkumpul sepuluh sertifikat akan di umumkan di
acara assembly yaitu acara yang diselenggarakan tiap
dua minggu sekali untuk pengembangan bakat seni
para siswa. Di acara tersebut masing-masing kelas
menampilkan kreativitas seperti menyanyi, menari,
drama dan sebagainya. Hal yang istimewa lagi, pada
school awards juga di tulis hal-hal baik yang telah
dilakukan anak didik, seperti menolong teman yang
jatuh, berani berbicara di depan kelas, jujur, empati dan
perilaku positif lainnya yang dilakukan siswa. Disinilah
terlihat betapa pengembangan karakter (character
building) dan kecerdasan emosi (emotional equivalence)
sangat ditekankan dalam pendidikan dasar. Penghargaan
dan feedback yang positif ini juga tertulis di dalam rapor
siswa. Jadi penilaian pada rapor siswa di Australia adalah
berbentuk narasi, bukan dalam bentuk angka-angka
seperti pada sekolah di Indonesia.
Keempat, suasana belajar sekolah-sekolah dasar di
Australia terlihat sangat kondusif. Dengan jumlah siswa
dalam satu kelas yang tak lebih dari 20 siswa, ditunjang
dengan lengkapnya media, kumpulan portfolio, alat-
alat peraga, juga dinding-dinding kelas yang “ramai”
ditempeli dan digantung berbagai macam gambar,
tulisan, hasil karya siswa maupun media buatan guru.
Kebanyakan dinding-dinding kelas sekolah di Australia
dilapisi  papan lunak (softboard), sehingga dapat
digunakan untuk menempel hasil karya siswa dan media
belajar. Hal ini jarang terlihat di kelas sekolah di negeri
kita yang terlihat “bersih” dan tampaknya masih kurang
media serta  alat peraga yang dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa. Jumlah siswa yang sedikit ini
memungkinkan bentuk formasi bangku yang diatur
melingkar sehingga para siswa dapat belajar, berdiskusi
dalam kelompok juga bersosialisasi. Namun bisa kita
pahami, hal ini kurang bisa diterapkan di semua sekolah
di Indonesia yang lebih banyak memiliki kelas-kelas
besar, karena jumlah penduduk yang jauh lebih banyak
dibandingkan Australia.
Kelima, dari segi tenaga pendidik, guru-guru di Australia
amat disiplin. Para guru diwajibkan datang ke kelas
sebelum murid-murid masuk. Hal ini tampaknya tengah
digalakkan di Indonesia. Dengan adanya morning briefing
bagi para guru sebelum masuk ke kelas tentu sangat baik
untuk meningkatkan kedisiplinan bagi tenaga pengajar
dan juga sebagai sarana mendiskusikan persoalan-
persoalan dalam proses belajar-mengajar.
Namun tidaklah bijaksana jika kita hanya
membandingkan metode pendidikan di Indonesia
dan Australia tanpa melihat faktor-faktor
yang  melatarbelakangi. Misalnya jumlah penduduk di
POTRET | PENDIDIKAN
Layout Potret Edisi2.indd 16 1/23/2012 12:20:22 PM

© majalah potret edisi I, 2012
Layout Potret Edisi2.indd 17 1/23/2012 12:20:29 PM

© majalah potret edisi I, 2012
16
Diplomasi Budaya
Indonesia di Kota
Ediburgh, UK
Beginda Pakpahan adalah orang Indonesia yang
sedang menimba ilmu di Edinburgh, Inggris.
Edinburgh adalah ibukota Scotlandia dan dikenal
sebagai kota pencerahan. Kota ini telah melahirkan
philosopher dan inovator terkenal seperti David
Hume, Alexander Graham Bell dan Charles Darwin.
Edinburgh terletak di bagian utara dari UK. Dengan
tradisi alunan bagpipes (alat musik tradisional
Skotlandia) dan romantisnya pelbagai bangunan tua
abad 12 menjadikan kota ini menjadi salah satu kota
yang masuk didalam daftar cagar budaya UNESCO.
Dalam empat bulan terakhir, ada dua kegiatan
diplomasi budaya Indonesia dengan cara formal dan
informal di Edinburgh. Contoh dari diplomasi budaya
formal adalah pertunjukan gamelan di Edinburgh
International Festival 2011. Festival yang setiap
tahunnya digelar selama bulan Agustus ini diisi oleh
pelbagai macam pertunjukan dari berbagai penjuru
dunia. Dari pertunjukan military tattoo (pagelaran
berbaris dan drum band militer), kabaret, komedi
dan lain sebagainya.
Dari semua itu, pertunjukan yang menarik adalah
pertunjukan perdana gamelan Kridha Mardhawa
dari Yogyakarta pada tanggal 19-21 Agustus
2011. Gamelan tersebut dipimpin oleh GBPH Drs
Sulaksmono Yudhaningrat. Acara ini diinisiasi dan
didukung oleh KBRI London, Kementerian Budaya
dan Pariwisata Indonesia, David McLellan dan
Pemerintah Daerah DI Yogyakarta. Seluruh tiket
terjual habis dan dentingan gamelan memukau para
penonton yang menghadirinya. Mayoritas orang
Indonesia yang ada di Edinburgh juga ikut menonton
acara tersebut dan bangga atas pertunjukan
tersebut. Acara gamelan tersebut bisa melepas rasa
rindu atas tanah air.
Lebih lanjut, contoh dari diplomasi budaya informal
adalah perayaan hari kemerdekaan Indonesia dan
silahturahmi lebaran di awal September 2011 lalu.
Untuk informasi, jumlah mahasiswa/i Indonesia di
Edinburgh diperkirakan dibawah 20 orang. Jumlah
yang tidak terlalu besar dibandingkan kota-kota
lainnya di UK. Lalu, ada sejumlah warga Indonesia
yang menikah dengan masyarakat dan memiliki
keluarga serta kerabat di Scotland (diperkirakan
jumlahnya di atas 20 orang).
Dengan komposisi yang tidak besar, masyarakat
Indonesia di Edinburgh mempromosikan budaya
Indonesia dengan cara informal dan bersahabat.
Kami mengadakan acara silahturahmi yang
bersamaan dengan perayaan Idul Fitri 1432 H. Kami
mengadakan renungan dan doa. Kami membaca
teks proklamasi dan menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Kami juga melakukan acara bermaaf-maafan
antara satu dengan yang lain. Ada pelbagai acara
permainan yang mengikutsertakan dari bapak-
bapak, ibu-ibu, para mahasiswa/i dan anak-anak
semua. Tentunya, pelbagai makanan khas Indonesia
juga diperkenalkan. Kegiatan tersebut dihadiri
oleh sebagian masyarakat
Indonesia dan Skotlandia di
Edinburgh.
Dari dua ilustrasi di
atas, diplomasi budaya
dilakukan dengan formal
dan informal. Kedua cara
tersebut dikombinasikan
dengan baik oleh
pemerintah Indonesia dan
masyarakat Indonesia yang
bermukim di Edinburgh.
Dengan cara-cara yang
bersahabat, diharapkan
pengenalan dan promosi
budaya bangsa Indonesia
bisa diingat dan melekat
di hati para masyarakat
Scotlandia pada khususnya
dan Inggris pada umumnya.
POTRET | LUAR
Layout Potret Edisi2.indd 18 1/23/2012 12:20:30 PM

© majalah potret edisi I, 2012
9
Indonesia yang puluhan kali lipat lebih banyak di banding
Australia, tentunya mempunyai dampak terhadap
kebijakan-kebijakan pendidikan seperti kebijakan
kurikulum, formasi bangku, kebutuhan ruang kelas dan
sebagainya. Namun pada intinya, keberhasilan sebuah
pendidikan adalah bagaimana dapat menciptakan rasa
nyaman, aman  dan dapat memotivasi siswa untuk
berkreativitas dan bukannya malah tertekan dan stress
karena harus “dipaksa” memenuhi target kurikulum dan
standar-standar kelulusan yang super tinggi.
Sungguh miris rasanya mendengar berita beberapa siswa
yang nekad bunuh diri karena tidak lulus UAN. Juga baru-
baru ini para siswa yang lulus UAN mengekspresikan
euphoria dengan melakukan konvoi hingga membuat
jalanan macet. Mereka bersorak-sorai, saling mencoret-
coret baju seragam, berteriak, ada pula yang menangis
bahagia, seakan lulus ujian UAN adalah telah lepas dari
masa-masa sulit, menegangkan dan tertekan. Kejadian-
kejadian ini tidak pernah terjadi di negara-negara maju.
Bukankah pendidikan di sekolah adalah sebagai proses
agar anak didik berhasil dalam masa depannya kelak?
Bukankah sekolah bukan sebagai sarana  agar lulus
dalam ujian-ujian yang akhirnya “mengeksekusi” siswa
dengan angka-angka? Justru keadaan seperti ini akan
mengkerdilkan makna sekolah sebagai tempat belajar
agar sukses dalam kehidupan yang nyata.
Pada akhirnya, kita harus kembali pada kenyataan, bahwa
secanggih apapun teknologi yang digunakan, selengkap
apapun media, alat peraga bahkan  laboratorium sebuah
sekolah, jauh lebih penting adalah jiwa-jiwa yang hidup
di dalamnya. Ciptakan “ruang” agar kreativitas para siswa
tidak terpasung, bahwa belajar tidak hanya terbatas di
ruang kelas berukuran sekian kali sekian meter saja, tapi 
belajar bisa di mana saja, di pasar, di lapangan bola, di
sawah atau di mana saja, sejauh mereka dapat belajar
dan mengembangkan ide-ide serta berkreasi. Sehingga
tidak hanya terpaku pada teori-teori pada text book saja.
Untuk mewujudkan keadaan seperti di atas, haruslah
diawali dari paradigma memaknai arti dari kecerdasan
yang sesungguhnya. Kecerdasan bukan hanya jika
siswa bisa hafal di luar kepala apa yg mereka baca
dalam buku-buku teks, namun lebih dari itu, bisakah
siswa menerapkan pengetahuan yang ia pahami dalam
aplikasi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Paculah
siswa agar bisa menerapkannya, kejar kreativitasnya,
kembangkan logikanya, timbulkan keberaniannya dalam
mengemukakan hal-hal baru, hidupkan semangat
empatinya pada orang lain, doronglah siswa untuk
bersosialisasi dan upayakan ia untuk bersikap jujur.
Agar setelah lulus nanti, mereka telah siap untuk
mandiri, memimpin dan hidup bermasyarakat secara
positif. Sebagaimana kata John Dewey seorang filosof
pendidikan “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup,
pendidikan adalah hidup itu sendiri”.
POTRET | PENDIDIKAN
Layout Potret Edisi2.indd 19 1/23/2012 12:20:32 PM

© majalah potret edisi I, 2012
10
Some evidences show democracy creates more
dangerous corruption than authoritarian regime.
Study by Olson (2002) in Eastern Europe after the
communist regimes argues that the number of
corruption cases increase in the new democratic
regime.
Olson does not discuss about the link between
democracy and welfare directly. His research
question is why after the bad government
(communist authoritarian), the welfare have not
come yet. The reason is because the transformation
of political system from authoritarian to democracy
in these countries just change the corruption type,
or in Olson’s term, a change from “stationary bandit”
to “roving bandit”.
Stationary bandit refers to the corruption in the
communist regime. The stationary bandits know
they will rule for a long time. They are big bandit
with selling protection to the small bandit with their
monopoly in power. However, when the regime
changes to democracy, the kind of bandit also
changes, and more dangerous than before,
is roving bandit. In contrast, in this type,
they know they will have a short time
to rule because of democracy.
As a result, they corrupt
massively and
sporadically while they still have a power.
Democracy encourages rent seeking behaviour
between businessmen and politicians. Politicians
need money for election campaign, and then
businessmen donate money to the politicians. After
the politicians get elected, they will payback the
money by giving the donor privileges and benefits
in their policy. As a consequence, the elected
politicians never care with the voters’ interests
in development issue such as poverty, health
and education because the businessmen control
them. They just think how to get their cost in the
election process back. This reality is not democracy
but plutocracy, a term from Aristotle refers to
the domination of rich people in controlling the
government.
The other effect of rent seeking is oligarchy.
Indonesia after the authoritarian regime shows
that most of the political elite and leaders focus in
debating each other and how to get power rather
than how to develop Indonesian economic. Hadiz
and Robison (2004) show
that a truly
democracy
has never
existed
after
the
Democracy
and
Corruption
Indonesia today has enormous problem with corruption
cases. Everyday we read in the newspaper about
the cases. Almost the whole 2011 year, headlines in
newspapers blow up the corruption issues. Is corruption
case in Indonesia a result of democracy? This article
will explain why democracy creates a massive number
of corruption cases.
POTRET | ENGLISH
Layout Potret Edisi2.indd 20 1/23/2012 12:20:33 PM

© majalah potret edisi I, 2012
15
Wow, Ratu
Elizabeth telah
kupotret dalam
jarak dekat
Hari Sabtu, tanggal 29 Oktober 2011 adalah hari
yang sangat istimewa bagiku. Dan mungkin hanya
sekali dalam hidupku. Aku dapat melihat langsung
Queen Elizabeth dan memotretnya dari jarak yang
begitu dekat.
Di hari itu, masyarakat sejak pagi mulai berdatangan
ke pusat kota. Pesawat-pesawat helikopter
berputar-putar di sepanjang tepian Swan River.
Pasukan berkuda hilir mudik memantau situasi.
Jalan jalan yang akan dilewati Ratu Elizabeth dibatasi
oleh pagar sebatas dada orang dewasa yang dilapisi
spanduk biru bertulisan Perth. Di balik pembatas
inilah masyarakat menunggu dengan tertib.
Beberapa titik jalan di pusat kota Perth tak boleh
dilewati oleh kendaraan. Penjagaan di sekitar Swan
River, Barrack Street dan Esplanade sangat ketat.
Polisi banyak sekali tapi mereka tidak menyeramkan
atau over acting. Dengan ramah mereka menjawab
setiap ada masyarakat yang bertanya. Acara ini
terorganisisasi dengan baik.
Pada hari itu di sepanjang tepian sungai Swan, Perth
diadakan acara amal “Big Aussie Barbecue” yang
dihadiri oleh Queen Elizabeth. Tenda-tenda hijau
berderet rapi dan layar besar terpasang di beberapa
tempat. Kurang lebih 600 sukarelawan memanggang
sosis dan dijual dengan harga 2 dolar, plus minuman
1 dolar. Seluruh hasil penjualan akan diserahkan
kepada beberapa badan amal.
Suara lonceng terdengar dari menara Swan
Bell, menyambut kedatangan Ratu Elizabeth
dan rombongan yang bergerak perlahan dari
Government House menuju Esplanade. Masyarakat
menyambut dengan gembira sambil mengibarkan
bendera. Pasangan Kerajaan Inggris tiba dengan
mobil Range Rover bernomor plat lambang mahkota
kerajaan.
Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip naik ke atas
panggung terbuka, duduk bersama rombongan
lainnya. Pembawa acara mengajak masyarakat
menyanyikan lagu kebangsaan Inggris “God Save
The Queen”. Lalu Ratu Elizabeth berpidato sejenak
yang isinya bahwa pada hari ini ia akan kembali
ke Inggris dengan membawa kenangan manis.
Ia juga mengucapkan selamat atas suksesnya
penyelenggaraan CHOGM 2011 (Commonwealth
Heads of Government Meetings) dan ucapan
terima kasih atas sambutan yang begitu hangat dari
masyarakat Westen Australia. Tak lama kemudian
terdengar lagu   kebangsaan Australia “Advance
Australia Fair”.
Kemudian Ratu Elizabeth yang di damping oleh the
Premier of Western Australia, Colin Barnett berjalan
perlahan mendekati masyarakat. Memakai topi
putih bergaris merah jambu, sepadan dengan baju
yang dikenakan. Beliau tersenyum sambil sesekali
berhenti menerima bunga dan cinderamata dari
anak-anak dan orang dewasa. Pangeran Philip
menyusul di belakang karena beliau sibuk mampir di
salah satu tenda dan membantu memanggang sea
food sebentar.
Menurut pendapat saya, pasangan kerajaan ini
sangat dekat dengan masyarakat. “Well done, my
love,“ demikian bunyi pesan pendek dari suamiku
ketika dengan semangatnya aku memberitahu telah
berhasil memotret Queen Elizabeth dalam jarak
yang begitu dekat.
Mungkin bagi orang lain adalah hal yang biasa.
Siapapun  dengan mudah dapat melihat foto- foto
beliau. Tapi bagiku saat itu amatlah istimewa.
Aku dapat melihat langsung Ratu Inggris dan
memotretnya. Ia telah kupotret dalam jarang yang
begitu dekat!
*** Fey Down, penulis lepas, berdomisili di Western
Australia
POTRET | CATATAN
Layout Potret Edisi2.indd 21 1/23/2012 12:20:34 PM

© majalah potret edisi I, 2012
14
Australia, tepatnya di Canberra. Pada awalnya
tidak banyak yang tertarik dengan kehadiran FLP
dikarenakan mayoritas warga negara Indonesia di
Canberra adalah mahasiswa/i yang melanjutkan
studi mereka. Rutinitas kuliah membuat para
mahasiswa/i lebih memilih
menghabiskan waktu
untuk belajar dan mengikuti seminar-seminar di
kampus.
Seiring waktu, anggota FLP Australia mulai
bertambah. Perekrutan anggota dilakukan dengan
perkenalan dari mulut ke mulut. Sampai pada awal
tahun 2011, saya dan beberapa teman berkumpul
dan berpikir untuk membuat gebrakan menulis dan
mengundang penulis terkenal dari Indonesia untuk
memberikan pelatihan menulis. Saat itu saya hanya
terpikir untuk menghubungi beberapa teman penulis
yang telah bergabung dengan FLP di Indonesia.
Salah satunya adalah Habiburrahman El Shirazy
yang novel-novelnya telah menjadi best seller dan
berhasil diadaptasi ke layar lebar.
Gayung bersambut, Habiburrahman atau yang akrab
disapa Kang Abik ternyata bersedia
untuk datang dan mengisi pelatihan
di Australia. Acara ”Sehari bersama
Habiburrahman El Shirazy” akhirnya
diadakan pada tanggal 6 Maret 2011
dan terselenggara berkat kerjasama
FLP Australia, KBRI di Canberra,
serta produsen kerudung Rabbani.
Pesona Kang Abik sebagai penulis
ternama tidak hanya menyedot
peserta pelatihan dari warga negara
Indonesia, namun juga warga negara
Malaysia yang tinggal di Canberra.
Kesempatan baik itu lalu kami
manfaatkan untuk mengumpulkan
karya tulis anggota dan
menerbitkannya. Karena anggota
yang masih terbatas, beberapa
rekan akhirnya menghubungi
teman-teman mahasiswa dan
permanent residents yang berada di kota lain
seperti Sydney, Melbourne, Brisbane dan Adelaide.
Antusiasme penulis yang berada di kota lain ternyata
cukup tinggi. Walhasil, beberapa teman mahasiswa
di Melbourne menawarkan untuk melebarkan sayap
FLP Australia hingga ke daerah mereka, dimana
momen inilah yang kelak melahirkan FLP Cabang
Melbourne.
Terkumpulnya naskah kontributor dari beberapa kota
akhirnya melahirkan sebuah kumpulan kisah suka
dan duka mahasiswa serta para permanent residents
yang berdomisili di Australia. Awalnya buku ini diberi
judul ”Catatan dari Negeri Selatan”, namun setelah
berkonsultasi dengan penerbit, judul kumpulan kisah
ini berganti menjadi ”Suka Duka Hidup di Australia”.
Buku ini diterbitkan atas kerjasama FLP Australia dan
penerbit Indiva Media Kreasi dan segera beredar di
seluruh toko buku di Indonesia pada bulan Januari
2012.
FLP Australia terus berkembang dan akan segera
membuka cabang di Sydney. FLP Australia juga
telah memiliki beberapa anggota serta kontributor
di beberapa daerah di Australia. Kegiatan FLP
Australia saat ini masih terfokus pada agenda
pelatihan menulis yang diadakan setiap sebulan
sekali. Pelatihan ini pula diharapkan dapat menjaring
penulis-penulis berbakat di perantauan dan
menghasilkan buku-buku yang dapat mencerahkan
bangsa. Untuk mempermudah koordinasi
dengan para anggota di daerah lain, FLP Australia
membuka group di Facebook. Bagi warga negara
Indonesia yang berdomisili di Australia dan tertarik
untuk bergabung bersama FLP Australia silahkan
mengirimkan email ke: [email protected].
au atau tambahkan kami di Facebook anda: Flp
Australia.
* Photo by: Riko Abrar
POTRET | KOMUNITAS
Layout Potret Edisi2.indd 22 1/23/2012 12:20:36 PM

© majalah potret edisi I, 2012
11
Suharto era in Indonesia. The power of businessmen
oligarchy takes more control on Indonesian politics
after the authoritarian regime than politicians
and civil society, even though most of the western
leaders praise Indonesia as the biggest Muslim
democratic country.
Some scholars also argue that democracy with the
free media can make government controlled by
the media and will become transparent. However,
in democratic countries media have also become
part of industries. Democracy with independent
media does not truly become a “watch dog” to
the government. Media are held and controlled by
businessmen.
As a result, there are no truly independent media.
Media just follows the political interest of their
owner. Media does not focus on these issues. If they
are part of the government coalition, they will not
report the issue that can decrease the government
credibility. On the other hand, if they are part of
opposition, they will blow up these issues to decline
their opponent integrity. In this circumstance, the
powerful media (in capital power) frames the public
opinion, particularly in issue of development. The
influential media frames the view of voter about the
best candidate and party of which they will vote. As
an example, because of hegemony media owned by
the businessmen, Silvio Berlusconi can be a Prime
Minister in Italy.
Finally, these circumstances are the main reason
why in the new democratic countries, from
authoritarian to democracy, the supremacy of law
is extremely important. However, in several cases,
the law enforcement agencies are still dominated
by the authoritarian system and persons. These
are the reasons why reformist should uphold a
strong institution such as the Corruption Eradication
Commission (KPK). The most valuable thing from KPK
with his super roles is his productivity to capture the
corruptors. It is useless if KPK has a strong function,
but unproductive to eradicate the corruption.
Politicians need money for election campaign, and then
businessmen donate money to the politicians.
Contact Us:
Mobile : +61 451 788 003
Email : [email protected]
Web : www.adontacleaning.com.au
We are providing cleaning services to almost every sector:
• Corporate/commercial client. • Shopping centres and schools. • Medical Centre or Family Practices. • Hospitality Industries • Manufacturing and Engineering Industries. • Mining related companies.
At the core value of our business is a dedication to provide  products and services that give the best value to clients. 
In conjunction to this, we would like to provide our clients 
with solutions to their every day cleaning needs as well as 
more specialized services. We ofer comprehensive clean-
ing solutions and ensure that our clients receive a consis-
tent, high quality service from our team.
Adonta Cleaning Services is a Western Australian 
owned company and established in 2008 as part of 
Adonta Group (WA) Pty Ltd. Even though, it was 
only couple of years operating in Western Australia, 
Adonta Cleaning Services has been able to have 
a privilege of taking care around 60 commercial 
clients across Perth metropolitan area. Its client is 
varying from corporate ofces, medical centres, 
dentals, schools, restaurants, to engineering or 
manufacturing companies.
POTRET | ENGLISH
Layout Potret Edisi2.indd 23 1/23/2012 12:20:37 PM

© majalah potret edisi I, 2012
12
Bahasa Indonesia di Luar Negeri
Ketika Presiden Amerika Barack
Obama mengunjungi Departemen
Luar Negeri AS pada hari kedua
pelantikannya dan menyapa
seorang karyawannya dalam
Bahasa Indonesia, peristiwa
itu diberitakan ramai-ramai
di Indonesia. Seluruh Bangsa
Indonesia merasa bangga bahwa
seorang Presiden Amerika bisa
berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Walaupun yang diucapkannya
hanya “Terima kasih. Apa kabar?”
Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi
Minh City, Vietnam mengumumkan
Bahasa Indonesia menjadi bahasa
kedua secara resmi pada bulan
Desember 2007, kita semua
menyambut gembira berita itu
karena merasa disejajarkan dengan
Bahasa Inggris, Perancis dan
Jepang.
Ketika Bahasa Indonesia tidak lagi
populer di Australia, kita merasa
sedih, marah dan kecewa. Padahal
sampai tahun 1990-an bahasa
Indonesia adalah salah satu
bahasa asing yang paling populer
di Australia. Banyak sekali sekolah
menengah mengajarkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua.
Kini, popularitas Bahasa Indonesia
di mata para pelajar Australia
berada di bawah Bahasa Jepang
dan Cina. Jumlah kolese dan
sekolah lanjutan yang mengajarkan
Bahasa Indonesia pun makin
sedikit. Akibatnya banyak
universitas yang harus menutup
departemen Bahasa Indonesia. Hal
ini tidak hanya meresahkan banyak
guru dan dosen Bahasa Indonesia
karena harus kehilangan pekerjaan
tapi juga pemangku kepentingan
diplomasi Republik Indonesia di
Australia.
Bahasa Indonesia di Indonesia
Bagaimana keadaannya di
Indonesia? Ternyata meski
digunakan setiap hari, masih
banyak masyarakat yang tidak
menguasai Bahasa Indonesia
dengan baik dan benar. Mata
pelajaran Bahasa Indonesia sangat
kurang diminati para siswa. Hasil
Ujian Nasional selalu menunjukkan
banyaknya siswa yang memiliki
nilai ujian Bahasa Inggris yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai ujian Bahasa Indonesia. Di
antara 6 mata pelajaran yang
diujikan, Bahasa Indonesia
menempati peringkat tersusah
untuk dipelajari.
Masyarakat Indonesia yang
tinggal di luar negeri pun bahkan
lebih banyak lagi yang tidak
memedulikan keindahan Bahasa
Indonesia.
Mungkin banyak yang tidak
menyadari bahwa salah satu faktor
pemelihara persatuan bangsa
adalah bahasa. Bagi generasi
sekarang, persatuan
yang diperjuangkan oleh
pimpinan terdahulu
mungkin tidak akan
terlalu terasa magisnya.
Kesaktian Sumpah
Pemuda bisa jadi cukup
sulit untuk dipahami
karena Indonesia
sudah bersatu dan
Bahasa Indonesia
sudah menjadi bahasa
persatuan ketika mereka
lahir. Kalau Anda
menjadi diplomat di
luar negeri atau tinggal
di luar negeri mungkin
baru akan terasa bahwa
Bahasa Indonesia
mampu menghadirkan
rasa persatuan di kalangan warga
negara Indonesia.
Almarhum Anton M. Moelyono
pernah berkata, “Sebuah bahasa
berpeluang menjadi bahasa
internasional karena kecendekiaan
dan kemahiran para penutur itu
berbahasa”.
Kita selalu merasa bangga dan
senang bukan kepalang kalau
orang asing mampu berbicara
dan menganggap penting Bahasa
Indonesia. Sebaliknya kita tidak
merasa terganggu ketika sebagian
dari kita tidak mahir berbahasa
Indonesia.
Jadi sebetulnya siapa yang
seharusnya belajar bahasa
Indonesia?
Wieke Gur
Konsultan Pemasaran, Pencipta
Lagu dan Pencinta Bahasa
Indonesia.
Siapa Yang Seharusnya
Belajar Bahasa Indonesia?
POTRET | BAHASA
Layout Potret Edisi2.indd 24 1/23/2012 12:20:38 PM

© majalah potret edisi I, 2012
13
Forum Lingkar Pena
(FLP) Australia:
Asah Pena di Negeri
Kangguru
Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung.
Pepatah lama ini ternyata masih berlaku bagi para
anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Australia. Hidup
jauh dari Ibu Pertiwi tidak membuat keinginan
menulis anggota FLP yang berada di negeri kangguru
surut. Malah hal tersebut memacu keinginan dan
semangat menulis mereka semakin tumbuh. Namun
sebelum menyimak kiprah FLP di Australia, ada
baiknya kita mengenal lebih dekat FLP terlebih
dahulu.
Apa itu FLP?
Sebuah ‘Pabrik Penulis Cerita’ (Koran Tempo)
Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah
hadiah Tuhan untuk Indonesia (Taufiq Ismail)
Dibandingkan dengan negara-negara di Asia
Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia
sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya–
sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia
diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia
di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan
kantong-kantong sastra di Jakarta dan di banyak kota
besar lainnya.
Salah satu
yang dianggap fenomenal adalah
munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun
1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi
yang memiliki cabang di hampir 30 provinsi dan
di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar
5000 orang. Selama hampir empat belas tahun
keberadaannya, organisasi penulis ini telah
menerbitkan kurang lebih 1000 buku yang sebagian
besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja
dan cerita anak. Tidak ada orang atau lembaga yang
mensponsori FLP. Kemandirian ini memungkinkan
FLP menulis sesuai kata hati. Koran Tempo,
salah satu media paling berwibawa di Indonesia,
menyebut FLP sebagai sebuah “Pabrik Penulis
Cerita”!
FLP didirikan oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia
dan Mutmainnah pada pada tanggal 22 Februari
1997. FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya
terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras
maupun agama. Mayoritas anggota FLP memang
muslim, namun tingkat pemahaman keislaman
mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim
yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP
memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya
bagi para pembaca dan menganggap kegiatan
menulis adalah bagian dari ibadah. FLP kemudian
tumbuh pesat dan mulai banyak permintaan dari
daerah untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap
provinsi hingga melebar ke mancanegara seperti di
Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Sudan, Canada,
Sudan, Jepang, Singapura, Korea, Pakistan, Mesir,
Hongkong, dan sekitar setahun yang lalu FLP telah
hadir di benua Australia.
FLP Australia: Salurkan minat menulis para
perantau
Akhir tahun 2010, saya melanjutkan kuliah S2
ke Australia. Bermula dari kerinduan berkumpul
dengan sahabat-sahabat FLP di Indonesia, saya
membulatkan tekad untuk membuka FLP Wilayah
Oleh : Erna Wati Aziz (Nawa Aziz)
Ketua FLP Australia periode 2010-2012
POTRET | KOMUNITAS
Layout Potret Edisi2.indd 25 1/23/2012 12:20:40 PM
Tags