MAKALAH KELOMPOK 1 - Matkul Neuropsychology

citrayunianti1 3 views 24 slides Apr 25, 2025
Slide 1
Slide 1 of 24
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24

About This Presentation

Tugas Psikologi UNJ - Neuropsychology


Slide Content

MAKALAH NEUROPSYCHOLOGY
BRAIN PLASTICITY
Dosen Pengampu:
Ratna Dyah Suryaratri, Ph.D.
Kelompok 1:
Citra Yunianti (1801617129)
Eka Lestari Ningsih(1801617083)
Safa Hasna Yasmin(1801617020)
Mata Kuliah:
Neuropsychology
(Jumat, 11.00 – 13.00, Halimun R. 204)
FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otak merupakan sebagian kecil dari tubuh manusi. Kendati demikian, otak memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia. Otak manusia berentuk seperti kenari keriput
yang berlekuk-lekuk dan memiliki berat 1,3 kilogram (Pinel, 2009). Otak merupakan
organ tubuh manusia yang paling penting dimana terdapat neuron-neuron (sel-sel yang
menerima dan meneruskan sinyal-sinyal elektrokimiawinya) yang saling terhubung satu
sama lain untuk menjalankan fungsinya. Dalam otak manusia terdapat lebih dari 100
miliar neuron yang tersusun secara kompleks. Semakin bertumbuh dan berkembangnya
manusia, semakin banyakdan kompleks pula neuron-neuron yang saling terhubung.
Otak berkaitan dengan sistem saraf yang mana bersifat plastis atau dapat berubah seiring
berjalannya waktu dan seiring banyaknya manusia berinteraksi dengan lingkungannya.
Saat reseptor manusia menerima stimulus dari lingkungannya maka stimulus itu akan
disalurkan melalui dendrit yang kemudian diteruskan oleh akson-akson terus mejalar
sampai pada neuron yang ada di otak. Stimulus yang diterima dapat berupa bahan-bahan
yang dikonsumsi seperti makanan, minuman, dan obat-obatan atau dapat pula berupa
rangsangan dari orang sekitarnya seperti pola asuh, lingkungan pergaulan, pendidikan,
pekerjaan, gaya hidup, benturan akibat kecelakaan, dan lainnya. Semakin banyak stimulus
positif yang diterima akan memungkinkan jarak antar sinaps akan semakin kecil dan
neuron yang ada di otak akan saling terkoneksi.
Konsep itulah yang dinamakan neuroplastisitas atau brain plasticity. Brain plasticity ialah
salah satu konsep dari ilmu neurosains yang mempelajari tentang perubahan-perubahan
baik secara struktural maupun secara fungsional akibat pengaruh gen dan lingkungan
(Shaw, 2001). Dengan mempelajari konsep dari brain plasticity, kita bisa tahu bahwa
selain faktor genetik, ada yang namanya faktor lingkungan yang mempengaruhi otak
manusia. Pengaruh tersebut bisa berdampak baik maupun buruk. Contohnya konsumsi
makanan berprotein tinggi dapat membantu tumbuh kembang sel otak atau obat dengan
dosis tinggi dapat menyebabkan degredasi fungsi otak.
Brain plasticity berhubungan dengan pola pikir dan tingkah laku. Saat manusia mendapat
stimulus baik positif maupun negatif dari lingkungannya maka otak akan meresponnya.

Contohnya, para pengguna naroba sering berfantasi dan cenderung melakukan perilaku
seks beresiko. Dalam makalah Ruspitasari (2016), penelitian yang pernah dilakukan oleh
Rahardjo Wahyu terkait penyalahgunaan miras atau alkohol menunjukkan terdapat
korelasi antara pengguna alcohol dan obat terlarang dengan perilaku seks beresiko. Dan
penelitian Nur Salim yang meneliti tentang perbedaan kecenderungan perilaku seksual
antara remaja yang mengkonsumsi narkoba dan remaja yang tidak mengkonsumsi
narkoba menunjukkan remaja yang menggunakan narkoba resiko perilaku seks lebih
tinggi di bandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi narkoba.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembelajaran tentang brain plasticity ini ialah:
Mengetahui serta memahami definisi dan konsep dari brain plasticity
Mengetahui bagaimana perkembangan otak manusia sejak dalam kandungan
Mengetahui pembagian dan jenis-jenis brain plasticity
Mengetahui faktor yang mempengaruhi brain plasticity
1.3Manfaat
Adapun manfaat yang didapat dengan mengetahui konsep brain plasticity ialah kita
dapat mengatur pola interaksi kita dengan dunia luar atau memilah mana stimulus yang
baik untuk tumbuh kembang otak kita. Sehingga otak kita dapat berkembang secara
optimal dalam kehidupan kita. Jika otak kita berkembang secara optimal, niscaya kita
dapat memberikan sumbangsih berupa pemikiran atau perbuatan yang berguna untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di dunia ini.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Defiinisi Brain Plasticity
Plastisitas otak atau Brain plasticity diartikan sebagai kemampuan otak untuk berubah,
melakukan remodeling, dan reorganisasi dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan
yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi baru. Kemampuan otak ini
berlangsung disepanjang kehidupan suatu individu.
Brain plasticity secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu brain plasticity struktural dan
fungsional
2.1.1Brain Plasticity struktural
Plastisitas sinaps merujuk pada perubahan pada kekuatan antar neuron (sinaps), titik
pertemuan kimiawi atau elektrik antar sel-sel otak yang dapat meliputi banyak proses
spesifik seperti perubahan jangka panjang pada jumlah reseptor untuk neurotransmitter
tertentu, atau perubahan dimana beberapa protein disintesis lebih banyak di dalam sel.
Sinaptogenesis merujuk pada pembentukan dan penyatuan sinaps atau kelompok sinaps ke
dalam sirkuit saraf. Plastisitas struktural merupakan ciri neuron janin selama masa
perkembangan otak dan disebut juga plastisitas masa perkembangan meliputi neurogenesis
dan migrasi neuron.
Migrasi neuron merupakan proses dimana neuron berpindah dari “tempat kelahirannya” di
ventrikel janin atau daerah subventrikel menuju posisi akhir mereka di daerah korteks.
Selama masa perkembangan, area otak menjadi terspesialisasi untuk tugas-tugas tertentu
seperti memproses sinyal dari area sekitar melalui reseptor sensorik. Sebagai contoh pada
area oksipital otak, lapisan keempat korteks mengalami hipertrofi untuk menerima sinyal
dari jalur visual.
Neurogenesis adalah pembentukan neuron-neuron baru. Proses ini berlangsung terutama
selama masa perkembangan otak. Sebaliknya, kematian neuron berlangsung disepanjang
masa kehidupan baik itu akibat kerusakan otak atau karena kematian sel yang terprogram.
Bentuk lain neuroplastisitas stuktural meliputi perubahan pada tingkat kepadatan substansia
grisea atau alba yang dapat dilihat dengan MRI.

2.1.2Brain Plasticity fungsional
Brain plasticity fungsional bergantung pada dua proses dasar yaitu belajar dan memori.
Mereka mewakili plastisitas neural dan sinaptik jenis khusus, berdasarkan pada plastisitas
sinaptik jenis tertentu, menyebabkan perubahan permanen pada efektivitas sinaptik. Selama
proses belajar dan mengingat, perubahan permanen terjadi pada hubungan sinaptik antar
neuron akibat penyesuaian struktural atau proses biokimia intraseluler.
2.2Dasar Neurobiologi Brain Plasticity
Bila melihat brain plasticity pada tingkat molekuler, semua jenis plastisitas sinaptik
mengalami modulasi eksositosis neurotransmitter baik itu pada tingkat satu sinaps atau pada
jaringan saraf yang lebih besar. Plastisitas sinaptik terutama bergantung pada
neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor. Aktivitas mental mengaktifkan jalur
molekuler saraf yang besar meliputi faktor-faktor regulator yaitu DNA dan RNA.
Penelitian terhadap perubahan jangka panjang di dalam sinaps mempertimbangkan berbagai
jenis memori berdasarkan mekanisme yang berbeda-beda. Di dalam korteks, reseptor
glutamate berperan penting karena glutamate merupakan neurotransmitter eksitatorik paling
penting. Jika muncul beberapa impuls dari neuron-neuron tetangga, dalam waktu yang
singkat terjadi aktivasi reseptor glutamate metabolik (NMDA). Hal ini memungkinkan
terjadinya influks kalsium yang juga berpartisipasi dalam sintesis protein dan merubah
neuron postsinaptik secara permanen.
2.2.1Tahap-Tahap Perkembangan Otak
Perkembangan otak dan perilaku tidak hanya dipandu oleh cetakan genetik dasar tetapi
juga oleh berbagai rangsangan yang ikut membentuk otak yang sedang berkembang. Otak
yang terpapar oleh berbagai stimulus lingkungan seperti rangsangan sensorik, stress, trauma,
diet, obat-obatan, dan hubungan sosial menunjukkan pola perkembangan yang unik.
Banyaknya studi epigenetik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa stimulus
pada masa prenatal bahkan prekonseptual mempengaruhi susunan jaringan saraf.
Perkembangan otak dapat dibagi menjadi dua fase. Pada mamalia, fase pertama adalah in
utero dan merupakan cerminan dari rangkaian kejadian yang sudah ditentukan secara genetik
yang dapat dimodulasi oleh lingkungan maternal. Tahap perkembangan yang hakiki di fase
ini adalah pembentukan dan migrasi neuron. Fase kedua, yang berlangsung sebagian besar

pada periode postnatal pada spesies seperti tikus, namun pada periode pre dan post natal
pada manusia yang tahap perkembangan otaknya lebih panjang. Fase kedua ini merupakan
periode dimana konektivitas otak yang sedang bermunculan bersifat sangat sensitif tidak
hanya terhadap stimulus lingkungan namun juga terhadap pola aktivitas otak yang dihasilkan
oleh stimulus- stimulus dari pengalaman sebelumnya.
Gambar 2.1 Perkembangan otak janin pada 3 – 5 minggu pertama
(Septariyan, 2015)
Tabel 1 merangkum tujuh tahap perkembangan otak pada manusia.
Tabel 1 Tahap-tahap perkembangan otak
1. Kelahiran sel (produksi sel-sel yang akan menjadi jaringan saraf
2. Proliferasi sel (reproduksi sel / mitosis)
3. Migrasi sel (lokalisasi sel pada area otak yang sesuai)
4. Diferensiasi sel (perkembangan otak menjadi jenis tertentu)
5. Sinaptogenesis (pembentukan koneksi sinaps yang sesuai)
6. Kematian sel dan pemotongan sinaps (eliminasi sel-sel yang mengalami
mislokasi dan gagal membentuk konektivitas sinaps yang sesuai)
7. Validasi fungsional (penguatan sinaps yang dipakai, pelemahan sinaps yang
tidak dipakai)
Kegagalan dalam proses migrasi meliputi proliferasi sel yang abnormal, timing atau migrasi
yang abnormal, atau organisasi korteks yang abnormal berperan dalam terjadinya gangguan
seperti epilepsi, autism, dan skizofrenia diantara gangguan- gangguan lainnya. Bahkan

pajanan saat periode prenatal terhadap obat-obatan seperti diazepam (agonist GABA) dapat
merubah pola migrasi.
Gambar 2.2 Perkembangan otak janin (APA, 2012)
Delapan Minggu Pertama
Pada periode inilah organ-organ, sistem, dan jaringan mulai dibentuk, berdiferensiasi,
dan diletakkan pada tempat yang sesuai. Sisa 30-40 minggu kehamilan didedikasikan untuk
pertumbuhan, perkembangan, dan perbaikan organ- organ, sistem, dan jaringan tersebut. Jika
terjadi masalah dalam 8 minggu pertama ini maka akan berakibat pada kesalahan rancangan
struktur atau sistem. Jika masalahnya timbul setelah minggu ke-8 maka akan mengakibatkan
terjadinya kegagalan pertumbuhan, perkembangan, dan perbaikan dari struktur atau sistem
terkait. Pada minggu ke 23 terbentuklah neural tube yang merupakan basis dari seluruh
sistem saraf. Pada tahap ini neural tube mengandung sekitar 125.000 sel.
Saat lahir, otak manusia mengandung kurang lebih 100 juta neuron. Dari informasi ini kita
dapat menarik kesimpulan bahwa neuron-neuron baru dibentuk dengan kecepatan sekitar
250.000 per menit selama 9 bulan kehamilan. Korteks serebral mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat selama 8 minggu pertama ini, yang pertama terbentuk adalah lobus
frontalis, kemudian lobus parietal, dan terakhir lobus temporalis dan oksipitalis secara
bersamaan. Sistem limbik terbentuk dengan baik pada periode ini dan semua akan terus
berlanjut tumbuh dan berkembang selama periode berikutnya.

Gambar 2.3 perkembangan embrio hari ke 20 dan 21 (Ida, 2018)
Gambar 2.4 migrasi sel saraf (Ida, 2018)
Gambar 2.5 perkembangan otak pada minggu ke-8 (Ida, 2018)
Trimester Kedua
Mielinisasi serat-serat saraf dimulai pada bulan ketiga. Enam lapisan yang berbeda
berdiferensiasi di dalam korteks serebral dan hampir semua neuron di dalam sistem saraf
pusat sudah ada saat akhir bulan keenam dan sirkuit saraf akan terus berkembang.

Gambar 2.6 susunan lapisan korteks (Ida, 2018)
Trimester Ketiga
Bulan ketujuh kehamilan ditandai dengan pertumbuhan, perkembangan, dan
perbaikan susunan yang sangat cepat. Pada bulan kedelapan, janin akan memperkuat sistem
saraf pusat dengan meningkatkan jumlah koneksinya dan menerima lebih banyak input
sensorik serta kontrol motorik.
Proses Persalinan dan Melahirkan
Proses persalinan dan melahirkan merupakan bagian dari kelanjutan pendidikan pada
janin dalam hal persepsi dan integrasi sensorik dan motorik. Saat lahir, semua refleks berasal
dari batang otak dengan kontrol korteks yang minimal.
Perkembangan Otak Postnatal
Berat otak neonatus kurang lebih 300 gram (sekitar 10% dari berat badan), berbeda
dengan otak orang dewasa yang mempunyai berat kurang lebih 1400 gram (hanya sekitar 2%
dari berat badan). Berat otak akan bertambah seiring dengan usia dan akan mencapai berat
otak orang dewasa pada saat usia 6 sampai 14 tahun.
Perkembangan otak postnatal terjadi sebagai akibat dari peningkatan ukuran neuron dan
jumlah sel-sel pendukung (glia), berkembangnya sinaps, serta proses mielinisasi. Sinaps –
sinaps terbentuk dengan sangat cepat pada bulan-bulan awal kehidupan dan mencapai tingkat
kepadatan maksimum antara enam sampai dua belas bulan pasca kelahiran. Terjadi
penurunan jumlah sinaps setelah periode ini akibat tidak dipakai atau karena erosi alami.
Otak bayi hanya membentuk dan mempertahankan sinaps yang sering dipakai. Maka dari itu
pengalaman sensorik awal sangatlah penting untuk pembentukan dan mempertahankan

sinaps. Pada neonatus, aktivitas metabolik paling jelas pada korteks sensori-motorik dan
batang otak, area yang diperlukan untuk fungsi refleks. Pada usia 2 sampai 3 bulan, aktivitas
metabolik paling jelas pada korteks visual dan korteks parietal disekitarnya yang
berhubungan dengan perkembangan fungsi integratif visual-spatial. Antara usia 6 bulan
sampai satu tahun, aktivitas metabolik paling jelas terlihat pada korteks frontal yang
berhubungan dengan perkembangan fungsi kortikal yang lebih tinggi seperti interaksi segera
dengan lingkungan, kecemasan terhadap orang asing, dll. Studi pencitraan menunjukkan
bahwa stimulasi awal akan meningkatkan fungsi otak dan kurangnya stimulasi awal akan
mengakibatkan hilangnya fungsi otak tertentu.
2.2.2Jenis-Jenis Umum Brain Plasticity
Tiga jenis brain plasticity dapat dibedakan pada otak normal : experience-independent,
experience-expectant, dan experience-dependent. Plastisitas experience-independent sebagian
besar merupakan suatu proses perkembangan prenatal. Tidaklah praktis bagi genome untuk
menspesifikasi konektivitas setiap koneksi pada fase perkembangan neuron. Namun, otak
membentuk struktur kasar dimana terdapat overproduksi neuron dan nantinya koneksi-
koneksi akan dibentuk berdasarkan stimulus internal dan eksternal.
Plastisitas experience-expectant sebagian besar terjadi selama tahap pertumbuhan. Contoh
yang bagus adalah perkembangan kolom dominan okular pada korteks visual primer. Wiesel
dan Hubel (1963) menunjukkan apabila salah satu mata anak kucing ditutup sejak lahir, mata
yang terbuka akan memperluas teritorinya, yang menyebabkan penyusutan kolom pada mata
yang tertutup. Jika mata yang tertutup pada akhirnya dibuka maka penglihatan akan
terganggu.
Akhirnya, plastisitas experience-dependent merupakan proses merubah susunan neuron yang
sudah ada. Kuncinya adalah bahwa perubahan sinaps merupakan cerminan dari modifikasi
fenotipe dasar yang terbentuk pada masa perkembangan. Penting untuk diketahui bahwa pada
plastisitas jenis ini terjadi penambahan maupun pemotongan sinaps namun pada regio otak
yang berbeda.
2.2.3Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Otak Normal
Lingkungan Yang Kompleks
Cara yang paling mudah dan dramatik untuk memanipulasi pengalaman adalah dengan
membandingkan struktur otak pada hewan yang ditempatkan di lingkungan yang kompleks
(lingkungan yang sarat keragaman) dengan yang ditempatkan di dalam kandang di

laboratorium standard. Hal ini menimbulkan perubahan pada ukuran otak, ketebalan korteks,
ukuran neuron, percabangan dendrite, kepadatan medulla spinalis, jumlah sinaps untuk tiap
neuron, jumlah dan kompleksitas glia, ekspresi neurotransmitter dan faktor-faktor
pertumbuhan, serta percabangan vaskular. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan
peningkatan kemampuan kognitif dan motorik dalam rentang yang luas.
Penempatan pada lingkungan yang kompleks sejak lahir juga mempercepat maturasi
ketajaman visual. Menariknya, lingkungan yang kompleks dapat merangsang perkembangan
sistem visual tanpa stimulasi visual pada hewan yang ditaruh dalam kegelapan. Nyatanya,
studi menunjukkan bhawa efek-efek nonvisual dari lingkungan yang kompleks dapat
membalikkan efek dari membesarkan hewan dalam kegelapan.
Mekanisme yang mendasari efek ini belum diketahui, namun salah satu kemungkinannya
adalah bahwa hewan yang dibesarkan di lingkungan yang kompleks mendapatkan perawatan
maternal yang lebih banyak, yang merupakan faktor kuat yang dapat merubah perkembangan
otak. Lingkungan yang kompleks memberikan efek kualitatif yang berbeda-beda pada usia
pertumbuhan yang berbeda-beda pula. Pada intinya, penempatan pada lingkungan yang
kompleks selama masa pertumbuhan mempunyai efek yang signifikan dan bertahan lama
terhadap perkembangan otak.
Pengalaman Sensorik dan Motorik
Schanberg dan Field (1987) menunjukkan bahwa stimulasi taktil pada bayi prematur
mempercepat pertumbuhan dan waktu keluar dari rumah sakit. Penelitian yang lebih terkini
menunjukkan bahwa stimulasi taktil pada bayi-bayi prematur mempercepat maturasi EEG
dan fungsi visual, serta meningkatkan kadar insulin growth factor I (IGF-I) dan growth
hormone. Stimulasi taktil secara signifikan mempercepat pemulihan dari cedera kortikal dini.
Obat-obat Psikoaktif
Alkohol telah lama berkaitan dengan gangguan perkembangan otak, akan tetapi
banyak obat-obat psikoaktif lain, termasuk obat-obatan resep mempengaruhi perkembangan
otak. Pajanan terhadap obat-obat psikoaktif pada masa dewasa menghasilkan perubahan
struktural sel yang bersifat menetap pada mPFCdan korteks prefrontal orbita (OFC) serta
nucleus accumbens. Terdapat bukti-bukti yang semakin banyak saat ini bahwa pemberian
obat-obat psikoaktif pada masa prenatal termasuk nikotin, diazepam, dan fluoxetine secara
kronis merubah struktur neuron, kognitif, dan perilaku motorik. Hampir serupa, pemberian
amphetamine, methylphenidate, haloperidol, dan olanzapine pada periode kanak-kanak juga
mengakibatkan gangguan perilaku dan erosi dendrite pada tikus yang diperiksa saat masa
dewasanya.

Hubungan Orang Tua dan Anak
Mamalia yang sedang dalam masa pertumbuhan sangat bergantung pada orang tua
mereka dan hubungan orang tua dengan anak sangatlah penting untuk perkembangan otak.
Meaney dkk telah membuktikan bahwa interaksi maternal-bayi mempengaruhi perilaku
emosional dan kognitif pada saat dewasa, sebagian melalui mekanisme modifikasi respons
stress hipotalamus-adrenal begitu pula dengan ekspresi gen pada hippocampus. Studi lain
juga menunjukkan adanya perubahan terkait interaksi maternal-bayi pada hipotalamus dan
amygdala, serta mPFC dan OFC.
Hubungan Dalam Kelompok Yang Sama
Hubungan dalam kelompok yang sama khususnya permainan, telah diketahui
mempengaruhi proses perkembangan. Korteks prefrontal berperan sentral dalam perilaku
main dan akibatnya, perkembangannya sangat dipengaruhi oleh permainan. Cedera perinatal
pada regio mPFC dan OFC mengganggu perilaku main. Lebih lanjut, pengalaman dini
termasuk stress prenatal dan stimulasi taktil merubah perilaku main dan korteks prefrontal.
Nampaknya, sangat mungkin terapi apapun yang merubah perilaku main akan merubah
fungsi dan perkembangan prefrontal. Sebagai contoh, manipulasi perilaku main kanak-kanak
juga merubah respons otak terhadap stimulant psikomotor.
Stress
Walaupun telah lama diketahui bahwa stress merubah otak dan perilaku orang
dewasa, namun baru diketahui bahwa stress perinatal ternyata memegang peranan. Sebagai
contoh, stress prenatal sekarang diketahui menjadi faktor resiko dalam perkembangan
skizofrenia, gangguan hiperaktivitas dan defisit fokus (ADHD), depresi, dan kecanduan obat.
Studi terhadap hewan di laboratorium juga menunjukkan bahwa stress perinatal
menghasilkan serangkaian gangguan perilaku, termasuk respons stress yang meningkat dan
memanjang, gangguan belajar dan memori, perubahan perilaku sosial dan main,
meningkatnya kecemasan, defisit perhatian, dan peningkatan ketertarikan terhadap alkohol.
Stress telah lama diketahui dapat merubah korteks prefrontal orang dewasa, namun menjadi
semakin jelas bahwa perubahan pada korteks prefrontal yang sedang berkembang sangatlah
berbeda. Sebagai contoh, stress pada orang dewasa menyebabkan penurunan kepadatan
medulla spinalis pada mPFC, akan tetapi peningkatan pada korteks orbital, sedangkan
Murmu dkk menemukan bahwa stress prenatal pada tikus menghasilkan penurunan tingkat
kepadatan dan panjang dendrite medulla spinalis baik pada mPFC maupun OFCsaat masa
dewasa. Sehingga, efek stress perinatal bervariasi sesuai sifat stress, usia embrio saat stress
terjadi, dan usia saat otak diperiksa.

Hormon Gonad
Selama masa perkembangan, efek yang paling jelas dari pajanan terhadap hormon
gonad adalah diferensiasi alat kelamin prenatal. Akan tetapi ditemukan reseptor hormon
gonad yang sama di otak, sehingga akan mengejutkan bila tidak ada perbedaan jenis kelamin
di sana juga. Terdapat perbedaan yang jelas pada otak manusia dewasa dan studi MRI pada
anak-anak manusia menunjukkan perbedaan yang besar dalam hal kecepatan perkembangan
otak pada dua jenis kelamin, dimana otak perempuan mencapai volume dewasa 2-4 tahun
lebih awal daripada otak laki-laki.
Flora Usus
Mikrobiota usus telah beradaptasi terhadap hubungan simbiotik dengan banyak
hewan. Segera setelah lahir, usus mamalia dihuni oleh berbagai mikroba yang
mempengaruhi baik fungsi usus maupun hati. Terdapat banyak kesamaan pada organisasi
neurokimia sistem enteric dan saraf pusat, sehingga sangat beralasan untuk berspekulasi
bahwa mikrobiota usus dapat mempengaruhi fungsi otak. Studi epidemiologis menunjukkan
hubungan antara gangguan perkembangan saraf dan termasuk autisme dan skizofrenia
dengan infeksi mikroba pada awal kehidupan. Penemuan ini sangat penting karena
memberikan mekanisme dimana infeksi selama masa pertumbuhan dapat mempengaruhi
perkembangan otak.
Diet
Terdapat banyak literatur perihal efek kalori dan/atau diet rendah protein terhadap
perkembangan otak dan perilaku, namun sedikit penelitian perihal plastisitas otak dan
restriksi diet. Suplementasi choline selama periode perinatal menyebabkan peningkatan
memori spatial pada berbagai tugas navigasi spatial dan meningkatkan kadar nerve growth
factor di hippocampus dan neocortex.
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Omega 3 Sebagai Penunjang Brain Plasticity
Menurut Maharmajono, dkk, (1996) gizi yang optimal dan seimbang sangat
diperlukan untuk perkembangan susunan syaraf. Perkembangan otak yang terganggu dapat
mempengaruhi tingkat kecerdasan serta kualitas SDM. Masa pertumbuhan bayi merupakan
masa yang sangat peka atas pengaruh kurang gizi yang akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan otak dan gangguan pertumbuhan intelegensia (Winarno,1995). Laporan
organisasi kesehatan dunia (WHO/ World Health Organization) menunjukkan kesehatan
masyarakat Indonesia terendah di Asean yaitu peringkat ke 142 dari 170 negara. Persentase
anak yang mengalami gizi kurang usia 0-4 tahun 2005 di Amerika Latin, negara maju
sebanyak 5% sedangkan di Asia , negara berkembang dan Afirika sebanyak 15-30%.
Di Indonesia berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1980-2005
kecenderungan prevalensi balita kurang gizi menurun dalam kurun waktu 1989 — 2000 dan
sedikit meningkat pada periode 2001 -2005. Persentase anak balita kategori gizi kurang dan
buruk umumnya meningkat dari 24,7 % tahun 2000 menjadi 27,5% tahun 2003 kemudian
naik lagi menjadi 28% tahun 2005. Persentase gizi kurang tertinggi berdasarkan kelompok
umur adalah usia 37 -49 bulan, usia ini paling tinggi untuk mengalami gizi kurang yaitu 48%.
Menurut UNICEF (1998) kurang gizi pada anak dapat rnenyebabkan menurunnya
perkembangan fisik, kecerdasan, mental, kemampuan interaksi anak dengan lingkungan
pengasuhnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Husaini (2003) bahwa anak dengan status
gizi buruk cenderung lebih banyak terhambat perkembangan motorik kasarnya (25%) dan 8
kali lebih besar kemungkinan terlambat perkembangan motorik kasarnya dibandingkan anak
yang berstatus gizi normal. Hal yang sama juga dinyatakan dalam hasil penelitian Ferdiyana
(2003) semakin rendah status gizi anak maka semakin tinggi keterlambatan
perkembangannya.
Faktor - faktor yang harus diperhatikan dalam usaha untuk mewujudkan SDM yang
berkualitas adalah faktor gizi, kesehatan, pendidikan, informasi, teknologi dan jasa pelayanan
lainnya. Dari sekian banyak faktor tersebut, faktor gizi memegang peranan yang paling
penting dalam proses tumbuh kembang anak. Zat gizi yang berperan vital dalam proses
tumbuh kembang sel-sel neuron otak untuk bekal kecerdasan bayi yang dilahirkan adalah
asam lemak. Asam lemak itu terdiri dari asam lemak esensial (omega 3, EPA, DHA, omega
6, AA) dan asam lemak non esensial (omega 9). Omega 3 berperan sebagai asam lemak otak,
sedangkan Omega 9 membantu pembentukan selaput myelin otak anak. Asam lemak

merupakan zat gizi yang harus terpenuhi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
di Inggris (2001) menunjukkan agar balita tumbuh sehat dan cerdas maka kebutuhan yang
diperlukan antara lain asam lemak (DHA dan AA) yang merupakan salah satu nutrisi penting
untuk pertumbuhan otak dan mata anak.
Bayi sampai anak usia 5 tahun (balita) dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan
penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP. Periode penting dalam
tumbuh kembang anak adalah masa balita. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan
berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan
merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral dan dasar-dasar
kepribadian juga dibentuk pada masa balita ini, Tiga tahun pertama masa kehidupan anak
merupakan masa paling rawan sebab gangguan yang terjadi pada masa ini dapat
menyebabkan efek yang menetap. Usia 0-2 tahun adalah periode emas sebab dalam periode
ini terjadi perkembangan saraf otak tercepat khususnya mielinisasi. Berdasarkan penelitian
para ahli kecepatan pertumbuhan otak manusia mencapai puncaknya 2 kali yaitu pada masa
janin di usia kehamilan minggu ke 15-20 dan usia kehamilan minggu ke 30 sampai bayi
berusia 18 bulan. Gangguan penyebab adanya gizi buruk dan kurang itu salah satunya diduga
oleh kurangnya konsumsi asam lemak esensial omega 3.
3.1.1 Hubungan Omega 3 terhadap kecerdasan anak
Omega 3 (EPA dan DHA) termasuk asam linolenat berfungsi untuk pembentukan
spingomielin dan merupakan komponen struktural sel saraf (mielin). EPA berguna untuk
pembentukan membran sel. Spingomielin dibentuk oleh EPA dan DHA tadi digunakan untuk
membentuk membran sel otak dan mielin sel saraf. Bila EPA dan DHA pada otak cukup
maka sinyal yang disampaikan dari otak akan diteruskan ke akson dan myelin akan
mempercepat jalannya sinyal yang disampaikan oleh otak. Pesan yang disampaikan oleh otak
tadi akan diteruskan oleh neurotransmitter sesuai dengan perintah otak sehingga
perkembangan gerak motorik tubuh yang dihasilkan menjadi cepat dan berkembang dengan
baik, sebaliknya jika EPA dan DHA jumlahnya kurang di otak maka membran sel mati,
sehingga hantaran sinyal yang diteruskan keakson tidak lancar akibatnya neurotransmitter
tidak bekerja dan gerak motorik tubuh menjadi lambat dan perkembangan motorik pun
menjadi lambat.
Neurotransmitter berfungsi sebagai penyampai pesan dari sel saraf. Pasokan AA dan DHA
sangat dibutuhkan terutama pada trimester terakhir, pascakelahiran dan masa dini anak.
Kekurangan kedua jenis asam lemak esensial itu saat lahir berkorelasi dengan berat badan

yang rendah, lingkar kepala yang kecil dan ukuran plasenta yang kecil akibatnya
perkembangan sistem saraf pusat dan kemampuan kognitif di masa selanjutnya turut
terpengaruh. Gizi amat berperan terhadap perkembangan otak anak sejak anak dari minggu
ke -4 pembuahan sampai anak berusia dini. Kebutuhan gizi terdiri dari kebutuhan zat gizi
makro (energi, protein, lemak) dan kebutuhan zat gizi mikro (vitamin, meneral).
Pengaruh gizi makro menurut Georgieff dalam Jalal, F(2009):
a. Gizi berpengaruh terhadap struktur anatomi otak yang mempengaruhi sel syaraf. Dalam hal
ini gizi bekerja melalui proses pembelahan sel-sel syaraf yang akan menentukan jumlah dari
sel-sel syaraf yang dibentuk dan melalui pertumbuhan sel-sel syaraf yang akan menetukan
ukuran sel syaraf menuju terbentuknya sel syaraf dengan komponennya yang lengkap
(dendrit, akson, dll).
b. Gizi berpengaruh terhadap kimia otak, yaitu pada proses pembentukan jumlah atau
konsentrasi neurotransmitter, pernbentukan jumlah reseptor dan jumlah pengangkutan
neurotransmitter. Zat gizi makro yang amat diperlukan untuk membantu proses kimia otak
adalah protein dan lemak. Lebih dari 60% berat otak adalah lemak, oleh karena itu lemak
penting untuk perkembangan otak. Lemak berperan dalam pembentukan myelin, untuk
pernbentukan sinaps dan membantu proses pembentukan neurotransmitter. Zat gizi yang
berperan vital dalam proses tumbuh kembang sel - sel neuron otak untuk bekal kecerdasan
bayi yang dilahirkan adalah asam lemak, (Nasar, 2006).
Tumbuh kembang otak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Jika kedua faktor ini
tak mendukung, maka dengan sendirinya tumbuh-kembang otak jauh dari optimal. Faktor
genetik dan lingkungan tak bisa berdiri sendiri, keduanya saling berkaitan dan bergandengan
agar otak berkernbang dengan baik. Pertumbuhan otak sendiri sangat peka terhadap berbagai
gangguan. Setiap gangguan seperti kekurangan nutrisi, kekurangan zat asam, cidera, infeksi
dan gangguan lain, dapat menghambat aspek pertumbuhan otak, yang akhirnya
mempengaruhi kondisi anak, kesehatan maupun kecerdasannya.
Proses pertumbuhan sel neuron otak terjadi pada minggu ke-20 hingga ke-36, dan
disempurnakan hingga bayi berusia dua tahun. Meskipun massa otak janin hanya sekitar 16%
dari tubuhnya, namun dibandingkan dengan organ tubuh lain, otak paling banyak
memerlukan energi (lebih dari 70%) untuk proses tumbuh kembangnya.

Energi itu terutama berasal dari deposit zat gizi dan asam lemak esensial tubuh ibunya. Asam
lemak esensial juga terdiri dari prekursor ornega-3, ALA (alfa-linolenat), dan AA (asam
arakhidonat). Omega-3 sebagian besar (lebih dari 60%) diperlukan sebagai unsur penyusun
dinding sel neuron. Sedangkan sisa DHA lainnya diperlukan sebagai unsur pembentuk cawan
untuk wadah rhodopsin, senyawa vital penginderaan dan pengiriman balik sinyal yang
diterima mata keotak. Bila kekurangan asam lemak esensial, maka sel neuron akan menderita
kekurangan energi untuk proses tumbuh kembangnya. Pembentukan dinding sel neuron
terhambat karena kekurangan omega-3, DHA dan AA, sehingga sel tidak mampu
menampung muatan komponen sel neuron normal.
Yang diderita janin adalah sel neuron akan kehilangan pengorganisasian dan kemampuan
koneksi normal di antara sel-selnya. Akibatnya, sel-sel neuron mengalami banyak kebocoran
dan terjadilah perdarahan. Bisa juga terjadi inisiasi microthrombi dan ischemia lokal (stroke)
serta sel-sel otak menjadi cepat mati dan tidak berfungsi.
Kekurangan gizi merupakan salah satu gangguan yang seringkali terjadi dalam kandungan.
Pada saat dalam kandungan janin sangat memerlukan beragam zat gizi guna mendukung
proses tumbuh kembang yang optimal yakni untuk kesehatan serta kecerdasannya, Gizi juga
memegang peranan penting dalam kepekaan terhadap penyakit. Oleh sebab itu makanan anak
harus bergizi, mungkin semua orang tua sudah paham. Berbagai kegunaan vitamin juga sudah
banyak diketahui namun banyak orang tua yang masih rnenganggap bahwa anak sehat bila
fisiknya terlihat sehat. Mengaitkan masalah tumbuh kembang anak dengan fisik anak terjadi
karena urusan kecerdasan anak masih dianggap bawaan dari lahir dan tergantung bibitnya.
Anggapan itu ada benarnya dan ada pula tidak benarnya. Adapun zat gizi yang berpengaruh
terhadap perkembangan anak yaitu zat gizi makro (Kalori, protein dan lemak) dan zat gizi
mikro (vitamin dari mineral serta asam lemak).
Kalori dibutuhkan dalam proses metabolisme otak. Kekurangan kalori dan protein dapat
menyebabkan otak anak tidak tumbuh optimal dan akan mengakibatkan gangguan motorik
dan kecerdasan anak. Aktivitas motorik membutuhkan ketersediaan energi yang cukup
banyak. Tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan dan berlari melibatkan suatu mekanisme
yang mengeluarkan energi yang tinggi, sehingga anak yang menderita KEP biasanya selalu
terlambat dalam perkembangan motormilestone. Secara teoritis peranan zat gizi terhadap
perkembangan dapat melalui dua jalur yaitu pertama; zat gizi yang tidak memadai
menyebabkan status gizi anak akan terganggu. Apabila gangguan itu berat dan terjadi
sewaktu proses pembentukan sel otak dan myeliniasi, maka akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan otak yang akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan. Kedua, asupan zat
gizi yang tidak memadai akan menyebabkan anak mengalami kekurangan energi, sehingga
mereka melakukan isolasi sosial dan kurang melakukan eksplorasi. Akhirnya mengalami
gangguan perkembangan.
3.2 Anestesi Sebagai Penghambat Brain Plasticity
Jutaan neonatus (Bayi baru lahir sampai usia 28 hari) dan bayi mendapatkan obat-
obat anestesi, sedatif, dan analgetika setiap harinya untuk operasi dan prosedur-prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri. Sistem organ neonatus (kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan
pernapasan) yang belum matur sangatlah sensitive terhadap efek depresan dari obat-obat
anesthesia. Walaupun sebelumnya dianggap bersifat reversible penuh, saat ini anestesi umum
dipandang berpotensi menimbulkan resiko yang signifikan terhadap fungsi kognitif pada
kelompok usia pediatrik (Usia perkembangan).
Beberapa laporan penelitian di laboratorium secara jelas menunjukkan bahwa obat-obat
anestesia dan sedatif memicu terjadinya neuroapoptosis dan defisit neurokognitif pada subjek
penelitian di laboratorium. Yang lebih khusus lagi, jika anestesi umum diberikan pada
periode kritis (4 tahun pertama) dan jika diberikan dalam konsentrasi besar atau berulang
kali, dapat menimbulkan efek negatif pada otak yang sedang berada dalam masa
perkembangan baik itu secara akut maupun dalam jangka waktu panjang, walaupun hal ini
belum dapat diklarifikasi sepenuhnya.
Hal ini menarik untuk para anestesiologi dan intensivist pediatrik karena mempertanyakan
tingkat keamanan anestesia pada pasien di masa perkembangan. Anestesi umum sendiri
seringkali tidak dapat dihindari pemberiannya pada kelompok usia pediatrik, sehingga
diperlukan strategi untuk menghindari atau membatasi terjadinya cedera otak potensial
melalui pendekatan yang memiliki bukti ilmiah.
3.2.1 Efek anestesi pada brain plastisity
Ketika gas anestesi isoflurane diberikan selama 35 menit setiap hari selama 4 hari
kepada tikus yang masih sangat muda dan tikus dewasa, tikus muda mengalami gangguan
fungsi memori sedangkan yang dewasa tidak. Defisit memori ini semakin jelas seiring
dengan bertambahnya umur tikus muda tersebut. Defisit memori ini sesuai dengan penurunan
jumlah sel punca dan menurunnya tingkat brain plasticity di hippocampus. Brain Plasticity
terus berlanjut seumur hidup pada dua regio otak yang terpisah, girus dentate hippocampus

dan zona subventrikular. Pembentukan neuron-neuron baru pada hippocampus diduga
penting untuk proses mengingat dan belajar.
Kematian sel-sel punca serta penurunan tingkat brain plasticity akibat isoflurane terjadi tanpa
disertai timbulnya tanda-tanda kematian sel yang jelas. Mekanisme yang mendasarinya
belum diketahui. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa sel-sel yang sekarat sudah
disingkirkan oleh microglia sebelum marker kematian sel dapat dideteksi.
Kemungkinan yang lain adalah bahwa pada kondisi patologis, sel-sel progenitor
berdiferensiasi menjadi sel-sel glia ketimbang menjadi neuron. Kemungkinan yang ketiga
adalah bahwa proses menghilangnya sel-sel punca saraf di hippocampus, munculnya astrosit-
astrosit baru, dan penurunan produksi neuron-neuron baru yang normal dan sesuai usia
dipercepat oleh isoflurane. Mekanisme apapun yang mendasarinya, masih dalam tanda tanya
mengapa hilangnya sel-sel punca dan penurunan tingkat brain plasticity terjadi pada otak
kelompok usia muda tetapi tidak pada otak kelompok usia dewasa.
Pada model kultur, ditunjukkan bahwa perkembangan neuron sangat tergantung dari
sitoskeleton aktin, dan anestesia berbahaya untuk regulasi aktin. Hiperfosforilasi protein Tau
pada serine 404 menunjukkan neurodegenerasi dan dirangsang oleh ketamine. Sehingga,
microtubule mengalami kerusakan. Protein translokator (TSPO, 18kDa) merupakan
biomarker yang dapat digunakan untuk mengevaluasi gliosis reaktif dan aktivitas microglia
dan mempunyai potensi untuk digunakan pada pencitraan noninvasive. Hubungan antara
neurotoksisitas terkait anestesia dan metilasi DNA serta ekspresi gen telah diteliti. Periode
kerentanan terhadap neurotoksistas akibat anestesia pada manusia belum diketahui dan subjek
ini masih diperdebatkan diantara pada ilmuwan bidang neurologi. Periode maksimal
perkembangan otak pada manusia terjadi saat trimester akhir kehamilan sampai usia 3 tahun
dan periode ini dipercayai sebagai periode yang rentan.
3.2.2 Studi Klinis terkait Efek Anestesi terhadap Brain Plasticity
Walaupun telah banyak dilakukan studi eksperimental, namun tidaklah cukup bukti
untuk menyimpulkan bahwa anestesi umum mempunyai efek neurotoksik pada otak manusia
yang sedang dalam masa perkembangan. Bahkan di dalam golongan mamalia sendiri,
terdapat variasi yang besar dalam hal kecepatan dan waktu perkembangan otak.
Maturasi otak secara total hanya memerlukan waktu beberapa minggu pada tikus, sedangkan
pada manusia memerlukan waktu bertahun-tahun. Dan lagi, dosis dan durasi anestesi yang

digunakan pada model eksperimental tidaklah proporsional dengan prosedur yang dijalani
pasien. Pada beberapa kasus, dosis eksperimental dapat sampai 20 kali lebih besar daripada
dosis klinis standard. Disesuaikan dengan jangka waktu hidup tikus, 6 jam anestesia dapat
disamakan dengan jangka waktu 1 bulan pada manusia. Dan lagi, beberapa observasi dari
studi-studi diatas seperti asidosis laktat, hiperkarbia, dan hipoglikemia tidak dihiraukan.
Kemampuan belajar juga terganggu pada subjek-subjek yang dipuasakan sebelum dilakukan
anestesi.
Pada satu studi kohort kelahiran retrospektif yang menggunakan data medis Negara Bagian
New York yang dikumpulkan antara tahun 1999 sampai 2002, 383 anak-anak yang menjalani
operasi koreksi hernia inguinalis dengan anestesi umum sebelum usia 3 tahun dievaluasi
bersama dengan 5050 anak-anak yang tidak menjalani operasi. Hazard ratio terkait gangguan
perilaku dan pertumbuhan dilaporkan 2,3 dengan pajanan terhadap anesthesia; 1,0 untuk usia;
2,7 untuk jenis kelamin; 1,2 untuk ras; dan 1,6 untuk komplikasi kelahiran. Dengan
pertimbangan bahwa operasi elektif dapat ditunda, pajanan terhadap anestesia merupakan
resiko yang dapat dihindari pada sebagian besar bayi.
Pada laporan lain, pasien yang terlalu banyak terpajan anestesia mengalami lebih banyak
kesulitan belajar dibandingkan mereka yang mendapat pajanan dengan dosis yang normal.
Resiko kesulitan belajar secara progresif meningkat seiring dengan pajanan anestesia yang
berulang. Efek anestesi yang digunakan pada operasi Caesar diteliti pada anak-anak. Bayi
yang lahir dibawah anestesia regional mengalami lebih sedikit kesulitan belajar pada tingkat
kehidupan mereka selanjutnya.
Satu studi retrospektif meneliti 10.450 saudara kandung yang lahir atara tahun 1999 dan 2005
dan mengevaluasi gangguan perkembangan serta perilaku pada mereka yang mendapat dan
tidak mendapat anestesia sebelum usia 3 tahun. Insidens terjadinya gangguan perkembangan
dan perilaku adalah 128,2/1000/tahun pada mereka yang terpajan anestesia dan
56,3/1000/tahun pada mereka yang tidak terpajan anestesia.
Sehingga, gangguan perilaku 60% lebih sering pada mereka yang terpajan anestesia bila
dibandingkan dengan mereka yang tidak terpajan anestesia. Perkiraan Hazard ratiountuk
gangguan perkembangan dan perilaku adalah 1:1 pada mereka yang terpajan anestesia satu
kali sebelum usia 3 tahun, 2:9 pada mereka yang terpajan dua kali, dan 4 pada mereka yang
terpajan tiga kali atau lebih.

Meyer dkk. mengamati perkembangan terjadinya kejang dengan ciri-ciri klinis yang sama
pada tiga bayi dibawah usia 2 bulan, yang terjadi setelah 23-30 jam anestesia menggunakan
rumatan propofol. Mereka melaporkan bahwa kejang tidak terjadi berulang; namun, dua bayi
mengalami mikrosefali progresif dan gangguan kognitif serta perilaku. Pencitraan MRI juga
menunjukkan abnormalitas substantia alba.
Perusahaan pembuat propofol tidak menganjurkan pemakaian propofol sebagai agen
anestesia umum untuk anak-anak dibawah usia 3 tahun. Obat-obat anestesi umum seperti
nitrous oxide, sevoflurane, dan isoflurane yang diberikan pada anak-anak berusia < 12 bulan
nampaknya mengganggu fungsi rekoleksi saat anak-anak ini berusia 6-11 tahun. Rekoleksi
merupakan komponen penting dari memori pengenalan dan didukung oleh struktur otak
anatomik yang dipengaruhi oleh kematian sel yang diakibatkan oleh obat anestesi. Ketika uji
coba terhadap tugas-tugas spatial dilakukan, anak laki-laki lebih terpengaruh daripada anak-
anak perempuan, walaupun kesulitan dalam hal pengenalan warna dinilai sama pada anak
laki-laki atau perempuan. Namun performa yang lebih buruk nampak bila anak-anak terpapar
obat anestesi dalam jangka waktu yang lebih lama (beberapa jam). Studi awal ini tidak
menemukan adanya perbedaan antara paparan tunggal dengan multipel dalam hal defisit
memori pengenalan.
General Anesthesia Study (GAS) dan studi Pediatric Anesthesia and Neurodevelopmental
Assesment (PANDA) menujukkan bahwa anestesia sevoflurane satu kali dalam durasi yang
singkat (dibawah 1 jam) pada bayi tidak menimbulkan neurotoksisitas yang lebih berat bila
dibandingkan dengan bayi yang mendapat anestesia regional dalam kondisi terbangun.
Namun, studi ini masih terbatas pada paparan tunggal (satu kali) terhadap gas anestesia dan
durasinya yang singkat.

BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk berubah, melakukan remodeling, dan
reorganisasi dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk
beradaptasi terhadap situasi-situasi baru.
Neuroplastisitas secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu neuroplastisitas struktural
dan fungsional. Sementara itu terdapat tiga jenis plastisitas yang dapat dibedakan pada
otak normal yaitu experience-independent, experience-expectant, dan experience-
dependent.
Neuroplastisitas terjadi sejak awal mula zigot terbentuk sampai manusia itu meninggal.
Neuroplastisitas itu sendiri bisa berdampak baik maupun buruk.
Faktor-faktor yang mempengaruhi neuroplastisitas seperti lingkungan yang kompleks,
pengalaman sensorik dan motorik, obat-obat psikoaktif, hubungan orang tua dan anak,
hubungan dalam kelompok yang sama, stress, hormon gonad, flora usus, dan juga diet.
Dari studi kasus kami Omega 3 merupakan penunjang brain plasticity sedangkan anestesi
merupakan faktor penghambat.
3.2 Saran
Setelah mengetahui dan memahami infromasi yang diuraikan diatas, kita seharusnya
dapat lebih mengontrol stimulus yang akan kita terima dan yang akan kita hindari. Protein
seperti Omega 3 dapat meningkatkan brain plasticity. Sehingga alangkah baiknya jika kita
mengkonsumsi makanan sehat mengandung protein. Lalu, zat –zat kimiawi buatan seperti
anestesi dapat mengakibatkan cedera pada otak sehingga tidak bagus untuk perkembangan
otak kita. Kita juga sebaiknya dapat mengontrol pola hidup yang sehat untuk perkembangan
otak kita seperti bergaul di lingkungan yang tidak toxic, makan makanan yang sehat, olahraga
dan diet seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2006). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia.
Andropoulos DB, Greene MF. (2017). Anesthesia and Developing Brains – Implications of
the FDA Warning. N Engl J Med. 376;10.
Demarin V, Morovic S, Bene R. (2014). Neuroplasticity. Period Biol. Vol. 116:2, 209-11.
Gaoway.R. (2006). Global Health Mini University. Diakses di <http://mini-university.com>
pada16 Oktober 2019.
Husaini, Y. Rehabilitasi dan Fleksibilitas Penggunaan KMS Perkembangan Motorik Kasar.
Diakses dari http://www.google.com 16 Oktober 2019.
Jalal, F. (2006). Tantangan Pembangunan Kesehatan dan Gizi Dalam Upaya Peningkatan
Kualitas SDM. CPI
Kolb B, Mychasiuk R, Muhammad A, Gibb R. (2013). Brain Plasticity in the Developing
Brain. Progress in Brain Research Vol. 7:35-64.
Kolb B, Gibb R, Robinson T. (2003). Brain Plasticity and Behavior. Current Directions in
Psychological Science.Vol. 12:1,1-5.
McCann ME, Soriano SG. (2012). General Anesthetics In Pediatric Anesthesia: Influences
On The Developing Brain. Curr Drug Targets. Vol. 13:7,944-51.
Ozer AB, Ozcan S. (2017). Anesthetic Neurotoxicity in Pediatric Patients. Current Topics in
Anesthesiology. http:www.intechopen.com/books/current-topics-in-anesthesiology.
Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prozesky J. (2014). Anaesthesia and the Developing Brain. SAJAA. 20:4,167-69.
Puspitasari, RM. (2016). Hubungan Penyalahgunaan Miras dan Narkoba dengan Perilaku
Menyimpang Pada Anak Di Lembaga Permasyarakatan Blitar. Diakses di
<eprints.umm.ac.id> pada tanggal 10 Oktober 2019.

Shaw, Christopher; McEachern, Jill, ed. (2001). Toward a theory of neuroplasticity.
England: Psychology Press.
Soetjiningsih. (1999). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Buku kedokteran.
Susenas. Dikses di <https://microdata.bps.go.id> pada 16 Oktober 2019.
Todorovic VJ, et al. (2013). Anaesthetic neurotoxicity and neuroplasticity: an expert group
report and statement based on the BJA Salzburg Seminar. BJA. 111:2,143-51.
Tags