” Ini lalapannya..baru dipetik dari kebun ” ujar wanita itu, sambil meletakan sebaskom
daun-daunan segar yg belum dimasak, entah daun apa itu akupun tak terlalu paham.
Merasa baru pertama kalinya aku bertemu wanita ini, dan seperti biasa untuk sekedar
beramah tamah aku menjulurkan tanganku untuk bersalaman.
” Hendi…” ujarku, memperkenalkan diri.
” Komariah.. biasa dipanggil kokom..” ujarnya
” Mbak kokom, kakaknya lilis?” tanyaku, sekedar ingin tau.
Mendengar pertanyaanku itu wanita yg bernama kokom ini hanya tersipu, dan wajahnya yg
berkulit putih itu tampak sedikit kemerahan, lalu tumpahlah tawa dari mulutnya, sehingga
memperlihatkan deretan gigi putihnya yg berjejer dengan rapi, karuan membuat aku
celingukan kebingungan karna tak mengerti dengan sikap mbak kokom ini, sebelum
akhirnya lilis nyeletuk.
” Itu kan mamih, ibu lilis, yg tadi diluar mecahin batu, kan mas hendi sudah liat atuh…” ujar
lilis, juga sambil tertawa.
” Astaga.. maaf bu, maaf.. saya enggak tau.. habis tadi waktu diluar wajah ibu tertutup pakai
kain, jadi saya enggak ngenalin..” ujarku meminta maaf.
” Ah..enggak apa-apa mas, mamih malah GR tuh, hi..hi..hi..” celetuk lilis, yg langsung
dicubitnya lengan lilis oleh ibunya itu.
Jadi rupanya ini wanita pemecah batu tadi, yang oleh lilis biasa dipanggilnya mamih, seperti
sebagian besar warga desa itu dalam menyebut ibunya, aku pernah menyebutnya mami,
namun oleh lilis diralat, menurutnya bukan mami, tetapi mamih, pakai “h”, aku hanya
tersenyum, apa bedanya, kubilang, tapi malah dia bilang begini “beda dong mas, kalau
mami itu kan untuk orang-orang kaya, seperti papi,mami gitu, kalau mamih, itu sebutan ibu
untuk orang sini..” begitu menurutnya, ah, terserahlah, pikirku, apa pentingnya.
Benar-benar tak kusangka si mamih ini, wanita secantik ini melakukan pekerjaan kasar yg
sepantasnya dilakukan oleh seorang pria, yah, itulah keadaan, yg membuat dia memang
harus melakukan pekerjaan seperti itu, demi untuk menyambung hidupnya, benar-benar
wanita yg perkasa, pikirku.
Secara pisik, kokom tak kalah bila dibandingkan dengan istri-istri pejabatan dan pengusaha
kaya dijakarta, hanya nasiblah yg membedakan, dan kokom hanyalah istri seorang mantan
kuli bangunan yg sekarang nyaris lumpuh karna kecelakaan kerja yg dialaminya, kokom
termasuk seorang istri yg setia yg tetap mendampingi suaminya itu, walaupun bisa saja dia
mencari laki-laki lain yg lebih mapan, toh penampilan kokom masih sangat mendukung
untuk itu.
Akhirnya kami menikmati makan siang, sementara kokom meninggalkan aku berdua dengan
lilis, nikmat sekali makanan yg disediakan oleh kokom ini, walaupun hanyalah hidangan
sederhana, namun begitu pas dilidah ini, mungkin karna semua hidangan ini memang masih
segar dan dihasilkan dari proses pertumbuhan yg berlangsung secara alami, seperti nasi yg kumakan ini dihasilkan langsung dari persawahan disekitar sini dengan sistim
pertanian yg alami, bukan dengan teknologi kimiawi dengan maksud agar pertumbuhan
menjadi lebih cepat, sehingga mengabaikan kualitas dan rasa dari nasi itu sendiri, dan
masaknyapun dengan cara diliwet, bukan dengan rice-cooker listrik, begitupun dengan