Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury dan Queen. Karya Ferizal The Father of Indonesian Health Literature
FerizalBapakSastraKe1
4 views
234 slides
Oct 29, 2025
Slide 1 of 234
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
About This Presentation
Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury dan Queen. Karya Ferizal The Father of Indonesian Health Literature
Judul Buku :
Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury dan Queen. Karya Ferizal The Father of Indonesian Health Literature
Penulis / Editor : Ferizal
QRCBN : 62-6418-6830-973
https://www.q...
Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury dan Queen. Karya Ferizal The Father of Indonesian Health Literature
Judul Buku :
Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury dan Queen. Karya Ferizal The Father of Indonesian Health Literature
Penulis / Editor : Ferizal
QRCBN : 62-6418-6830-973
https://www.qrcbn.com/check/62-6418-6830-973
Pembuat Sampul : Ferizal
Jumlah Halaman : 232
Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS
Edisi : 29-10-2025
Size: 5.68 MB
Language: none
Added: Oct 29, 2025
Slides: 234 pages
Slide Content
1
2
KEPENGARANGAN :
Judul Buku :
Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury
dan Queen. Karya Ferizal The Father of Indonesian
Health Literature
Penulis / Editor : Ferizal
QRCBN : 62-6418-6830-973
https://www.qrcbn.com/check/62-6418-6830-973
Pembuat Sampul : Ferizal
Jumlah Halaman : 232
Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS
Edisi : 29-10-2025
https://indonesianhealthpromotionliterature.blogspot.com/
Puskesmas Muara Satu, Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara
Satu, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh 24353
3
BUKU BUKU SASTRA FIKSI, karya FERIZAL
“BAPAK SASTRA KESEHATAN INDONESIA”
1. Novel Sastrawan Nasionalis Dunia :
Rabindranath Tagore, Victor Hugo, Gabriele
D’Annunzio, Frantz Fanon, José Rizal
2. Novel KESEHATAN INDONESIA
MEMASUKI ZAMAN KEJAYAAN AI
DUNIA SEJAK AKHIR TAHUN 2022
3. NOVEL DUNIA YANG KITA LIHAT
HANYALAH SEBAGIAN KECIL DARI
KEHIDUPAN
4. NOVEL SEJARAH KEDOKTERAN,
DEKLARASI ALMA ATA 1978 hingga JKN
INDONESIA DIAKUI DUNIA
5. NOVEL SEJARAH ILMU KESEHATAN
MASYARAKAT ( Dari Zaman Kuno Hingga
2025 ).
6. NOVEL SEJARAH BIOGRAFI Abraham
Maslow ( Teori Hierarki Kebutuhan ) dan Viktor
Frankl ( Logoterapi ).
7. NOVEL SEJARAH BIOGRAFI VICTOR
HUGO, ERNEST HEMINGWAY DAN
ALBERT CAMUS
4
8. Novel Sejarah Biografi Larry Ellison
9. Novel Sejarah Biografi Leo Tolstoy
10. Novel Sejarah Google AI : Dunia Sudah
Berada di PERADABAN AI
11. Novel Sejarah WHO ( 1948 – 2025 )
12. Novel Sastra Kesehatan untuk Rehumanisasi
Layanan Kesehatan : Paradigma Cinta dalam
Pelaksanaan Ferizal
13. NOVEL SEJARAH PEMENANG NOBEL
SASTRA DAN NOBEL KEDOKTERAN
( 1901 – 2024 )
14. NOVEL SEJARAH BIOGRAFI
PRAMOEDYA ANANTA TOER, Gabriel
García Márquez DAN ALEKSANDR
SOLZHENITSYN
15. NOVEL SEJARAH MODERNISME
KEDOKTERAN ABAD 20 SETELAH
BULLY TERHADAP Ignaz Semmelweis dan
Joseph Lister
16. NOVEL Sejarah dari Humanisme Renaisans
menuju Humanisme AI – Evolusi Ilmu
Kedokteran Eropa.
5
17. Novel Sejarah Era AI ( 2000 an hingga
2025 Presiden Donald Trump dan
Presiden Prabowo Subianto )
18. NOVEL SEJARAH JASA PRESIDEN
AMERIKA SERIKAT HARRY S.
TRUMAN UNTUK KEDAULATAN
INDONESIA tahun 1947 –1949
19. NOVEL SEJARAH PENEMU PENISILIN :
Alexander Fleming, Ernst Boris Chain dan
Howard Walter Florey . FERIZAL
PENEMU ANTI DISRUPSI AI UNTUK
SASTRA KESEHATAN INDONESIA
20. Novel Sejarah Robert Koch penemu bakteri
penyebab TBC. Ferizal penemu Anti
Disrupsi AI untuk SASTRA KESEHATAN
INDONESIA
21. NOVEL SEJARAH ALBERT
EINSTEIN dan MARIE CURIE
22. NOVEL SEJARAH ELON MUSK
23. NOVEL SEJARAH PRESIDEN THOMAS
JEFFERSON ( 1801 -1809 ) : AL QURAN, ISLAM
DAN DEKLARASI KEMERDEKAAN AMERIKA
SERIKAT
6
24. NOVEL SEJARAH THOMAS ALVA
EDISON DAN NIKOLA TESLA
25. Novel Sejarah Sam Altman dan Mark
Zuckerberg.
26. NOVEL SEJARAH JACK MA, BILL
GATES, STEVE JOBS dan FERIZAL
THE FATHER OF INDONESIAN
HEALTH LITERATURE
27. NOVEL tentang Warisan Leonardo Da
Vinci Untuk Peradaban AI Saat Ini .
Karya Ferizal The Father of Indonesian
Health Literature
28. NOVEL tentang ALFRED NOBEL,
PENGGAGAS HADIAH NOBEL DUNIA
29. NOVEL LADY DIANA PRINCESS OF
WALES : Ikon kemanusiaan global
dalam isu HIV / AIDS
30. Novel Sir Isaac Newton dan Kahlil
Gibran Yang Tidak Pernah Menikah
31. Novel Kisah Cinta William Shakespeare -
Anne Hathaway dan Kisah Cinta Ferizal -
Dokter Ana Maryana.
7
32. NOVEL ALAN TURING, SALAH SATU
BAPAK KECERDASAN BUATAN ( AI )
33. NOVEL MELINDUNGI DOKTER
SEDUNIA DARI DISRUPSI AI
34. NOVEL MENGHADANG KRISIS 2030 :
Memanfaatkan Kecerdasan Buatan
Untuk Menciptakan Model Ekonomi
Baru
35. NOVEL PERADABAN AI TERINSPIRASI
MAJAPAHIT, MUHAMMAD YAMIN DAN
FERIZAL THE FATHER OF INDONESIAN
HEALTH LITERATURE
36. Ferizal has been dubbed the "Father
of Indonesian Health Literature"
( Bapak Sastra Kesehatan Indonesia )
37. NOVEL SEJARAH PERJUANGAN
KEMERDEKAAN : PRESIDEN
SUKARNO DAN TIGA SERANGKAI
38. NOVEL PUSKESMAS ADALAH CINTA
39. Novel Dari Pencegahan Ilmiah Edward Jenner
dan Louis Pasteur ke Pencegahan Berbasis
Sastra oleh Ferizal Bapak Sastra Kesehatan
Indonesia
8
40. NOVEL MOMENTUM KESEHATAN ABAD
INI ADALAH VISI INDONESIA EMAS
2045
41. INSPIRASI AI INDONESIA : Hippocrates,
Pierre Fauchard, Ottawa Charter 1986, dan
Ferizal Bapak Sastra Kesehatan Indonesia
42. TEORI FONDASI IDEOLOGIS DAN NOVEL
SEJARAH KESEHATAN ORDE BARU
PRESIDEN SOEHARTO ( 1967 - 1998 )
43. Novel Sejarah Lahirnya Puskesmas : Leimena,
Soeharto, Siwabessy
44. Novel Biografi Ibnu Sina
45. Novel FLORENCE NIGHTINGALE Ibu
Perawat Modern
46. NOVEL GERAKAN SASTRA KESEHATAN
INDONESIA : KEUNGGULAN NUSANTARA
DI PENTAS DUNIA.
47. Novel Legenda Trisula Cahaya : Hippocrates,
Pierre Fauchard, dan Ferizal
48. Novel Epik Silat Sastra Kesehatan Yang
Penuh Visi dan Nilai Kemanusiaan : Dokter
Ana Maryana dan Ferizal
49. Novel Heroisme Cinta Dari Akreditasi
Puskesmas 2018, ke Pandemi Covid-19, ke
ILP 2023, dan Proyek Lazarus : Ferizal
dan Dokter Ana Maryana
9
50. NOVEL FERIZAL DAN KEKASIHNYA
DOKTER ANA MARYANA BERJUANG
MEMPERTAHANKAN HAKIKAT
MANUSIA DALAM DUNIA SASTRA
KESEHATAN INDONESIA DARI
ANCAMAN SUPER AI
51. Novel Tentang Integrasi Layanan Primer
( ILP ) Puskesmas: Kisah Almarhum Dokter
Nayaka, Ferizal dan Isteri yaitu Dokter Ana
Maryana
52. Novel Biografi Hippocrates: Kisah Hidup yang
Diluruskan oleh Ferizal, Bapak Sastra
Kesehatan Indonesia
53. Novel Kisah Cinta Sehidup Semati Dokter Ana
Maryana dan Ferizal Bapak Sastra Kesehatan
Indonesia
54. Novel dr. Ana Maryana, DLP, M.P.H. isteri
Ferizal Bapak Sastra Kesehatan Indonesia
55. Novel Ferizal dan Isterinya Dokter Ana
Maryana, M.P.H.: Sastra Kesehatan Indonesia
Untuk Dunia
56. Human Personal Branding before Artificial
Intelligence ( AI ) dominates World
Literature in 2035 : 1. Ferizal is the FATHER
of WORLD DENTISTRY LITERATURE, 2.
Ferizal is the FATHER of WORLD HEALTH
PROMOTION LITERATURE
10
57. Kisah Epik Kolosal Cinta Ferizal – Dokter
Ana Maryana : Perwujudan Sumpah
Amukti Palapa Jilid II.
58. Novel Klinik Tak Terlihat, Terinspirasi
Hippocrates.
59. Novel AI ( Artificial Intelligence ) 2055,
Kekasihku Dokter Ana Maryana.
60. Novel Rumah Sakit Humanis, Ditengah
Dominasi AI ( Artificial Intelligence ).
11
KARYA KARYA ILMIAH FERIZAL :
Teori Humanisasi Puskesmas Berbasis
Sastra Cinta
Teori Fondasi Ideologis: Membandingkan
Soeharto dan Ferizal dalam Pembangunan
Bangsa dan Sastra Kesehatan Indonesia
Teori Sterilisasi Jiwa dalam Sastra Kesehatan
Indonesia
Teori Gravitasi Jiwa : Pendekatan Humanistik
dalam Sastra Kesehatan, Yang Terinspirasi Sir
Isaac Newton ( sebagai inspirasi analogi ilmiah,
bukan tokoh kesehatan )
Teori Humanisasi Kedokteran Berbasis Sastra
Biografis Hippocrates. Berdasarkan Trilogi Novel
Hippocrates karya Ferizal
Artikel Ilmiah : Mesin AI Boleh Merangkai Kata,
tapi Sastra Kesehatan Indonesia yang di
Pelayanan
Artikel Ilmiah : BUKTI SASTRA KESEHATAN
INDONESIA MAMPU MENYELAMATKAN
12
BANGSA DARI DISRUPSI SUPER AI 2035 demi
INDONESIA EMAS 2045
Artikel Ilmiah : FERIZAL BAPAK SASTRA
KESEHATAN INDONESIA SECARA NYATA
MENDUKUNG AKREDITASI PUSKESMAS
DAN INTEGRASI LAYANAN PRIMER ( ILP )
LEWAT JALUR SASTRA
Artikel Ilmiah : Penguatan Praktik Sastra
Kesehatan Indonesia di Dunia Nyata Untuk
Menghadapi Dominasi Super AI 2035
Artikel Ilmiah : Implementasi Sastra Kesehatan
Indonesia di Puskesmas, Sekolah dan Komunitas :
Praktik Nyata Rehumanisasi Layanan Publik Era
AI
Artikel ilmiah : Sastra Promosi Kesehatan Ferizal
Melampaui Pendekatan Narrative Medicine Rita
Charon
Artikel ilmiah : Sastra Kesehatan untuk
Rehumanisasi Layanan Kesehatan : Paradigma
Cinta dalam Pelaksanaan Ferizal
Buku Ilmiah : Ferizal Bapak Sastra
Kesehatan Indonesia
13
Buku Ilmiah : Indonesian Health Literature
2025 : Year of Action, Not Planning ( Sastra
Kesehatan Indonesia 2025 : Tahun Aksi,
Bukan Perencanaan )
Buku Ilmiah : MANUAL BOOK GERAKAN
SASTRA KESEHATAN INDONESIA.
Buku Ilmiah : Strategi Puitik Kreatif Ferizal
Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
Menerjemahkan Lima Arah Aksi Ottawa Charter
1986 ke dalam Sastra
Buku Ilmiah : Teori Rehumanisasi Kedokteran
Gigi Berbasis Sastra Cinta : Sebagai Kelanjutan
Naratif – Filosofis dari Pendekatan Pierre
Fauchard Bapak Kedokteran Gigi Dunia Modern.
Jurnal Ilmiah : Ferizal “Bapak Sastra Kesehatan
Indonesia” yang Melampaui Michel Foucault dan
Paulo Freire : “Teori Humanisasi Puskesmas
Berbasis Sastra Cinta”, sebagai Pendekatan
Kesehatan Abad ke-21
Jurnal Ilmiah : Urgensi Sastra Kesehatan dalam
Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045: Sebuah
Pendekatan Humanistik dan Transformasional
14
Kata Pengantar
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia”
Ferizal penganut aliran sastra romantisme aktif. Romantisme aktif merupakan
aliran dalam karya sastra yang mengutamakan ungkapan perasaan, mementingkan
penggunaan bahasa yang indah, ada kata-kata yang memabukkan perasaan sebagai
perwujudan, menimbulkan semangat untuk berjuang dan mendorong keinginan maju
menyongsong Indonesia Emas 2045.
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia” adalah sastrawan dan PNS
Lhokseumawe : penulis buku sastra terkait profesi Dokter Gigi.
Ferizal mengucapkan "Sumpah Amukti Palapa Jilid II" di Bumi Bertuah Malaysia, sumpah
untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan "Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia" ...
Menuju Indonesia Emas tahun 2045
Dengan inspirasi Amukti Palapa, dengan penuh semangat juang.. Tanggal 25 Juni 2013
Ferizal mengumumkan sumpah di bumi bertuah Malaysia, Sebuah sumpah yang kemudian
dinamakan Sumpah Amukti Palapa Jilid Dua:
15
“Saya bersumpah demi Tuhan, demi harga diri bangsa saya, bahwa saya tidak akan
menyerah, tidak akan beristirahat, sampai saya mampu menyatukan Nusantara dibawah
naungan Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia.”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’. Beliau telah
menerbitkan karya tentang Dokter Gigi
1. Pertarungan Maut Di Malaysia.
2. Ninja Malaysia Bidadari Indonesia
3. Superhero Malaysia Indonesia ( Kisah Profesi Dokter Gigi Merangkum Seni, Estetika
dan Kesehatan ).
4. Garuda Cinta Harimau Malaya
5. Ayat Ayat Asmara ( Kisah Cinta Ferizal Romeo dan Drg.Diana Juliet ).
6. Dari PDGI Menuju Ka’bah ( Kisah Pakar Laboratorium HIV Di Musim Liberalisasi ).
kemudian di daur ulang menjadi “Inovasi Difa atau Dokter Vivi dan Ferizal Legenda
Puskesmas” ( ISBN: 978-602-474-892-0 Penerbit CV. Jejak )
7. Laskar PDGI Bali Pelangi Mentawai ( Kisah Drg.Ferizal Pejuang Kesgilut).
8. Drg.Ferizal Kesatria PDGI ( Kisah Tokoh Fiktif Abdullah Bin Saba’, dan Membantah
Novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie )
9. “Dokter Gigi PDGI Nomor Satu ( Kisah Keabadian Cinta Segitiga Drg.Ferizal SpBM,
Drg Diana dan Dokter Silvi )”...
Buku ini di daur ulang menjadi berjudul : "Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas
Indonesia : Sastra Novel Dokter Gigi" ( ISBN :: 978-602-5627-37-8 Penerbit :: Yayasan
Jatidiri Bandung )
16
10. Demi Kehormatan Profesi Dokter Gigi ( Kisah FDI World Dental Federation Seribu
Tahun Tak Terganti )
11. Dokter Gigi Bukan Dokter Kelas Dua ( Kisah Superioritas Dokter Gigi Pejuang
Kesgilut )
12. “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Indonesia Modern” ( Kisah “Sastra Novel
Dokter Gigi” Membuktikan Profesi Dokter Gigi Tidak Sebatas Gigi Dan Mulut Saja ) … (
ISBN :: 978-602-562-731-6 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung )
13. “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Nusantara” ( Kisah
Drg.Diana dan Ferizal Lambang Cinta PDGI )... ISBN: 978-602-474-495-3 Penerbit CV.
Jejak
14. "Indonesia 2030 Menjawab Novel Ghost Fleet"
15. Novel Tentang Kehidupan Pierre Fauchard, karya Ferizal Sang Pelopor Sastra
Kedokteran Gigi Indonesia : A novel about the life of Pierre Fauchard
Fakta hukum bahwa Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi
Indonesia’ tidak terbantahkan, misalnya dapat dilihat melalui 6 buku berikut ini :
a. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”, Penerbit
Yayasan Jatidiri, dengan ISBN : 978-602-5627-08-8.
b. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi NKRI”, Penerbit CV.
Jejak, ISBN : 978-602-5675-02-7
c. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Kedokteran Gigi Indonesia”,
Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-24-9
d. Buku berjudul : "Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Republik Indonesia" (
ISBN: 978-602-5769-65-8), Penerbit : CV. Jejak.
17
e. Buku berjudul : “SEJARAH KEDOKTERAN GIGI, VAKSINASI COVID-19,
PERPUSTAKAAN NASIONAL DAN FERIZAL”
f. Buku berjudul : “FERIZAL PENGGAGAS INOVASI KAMPUNG CYBER PHBS
SANDOGI ( Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia )”
Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’, karya-
karya Beliau beraliran Romantisme Aktif, juga beraliran Filsafat Intuisionisme. Beliau
telah menerbitkan puluhan karya sastra mempesona tentang Dokter Gigi.
18
Kata Pengantar
Data Hingga tanggal 29 Oktober 2025 : Ferizal Sang Pelopor Sastra Promosi
Kesehatan Indonesia atau Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan adalah
penulis 25 Karya Sastra pada bidang Promosi Kesehatan. Buku karya Sastra
Promosi Kesehatan, yaitu karya sastra :
Novel Promosi Kesehatan Freddie Mercury dan Queen
Novel Promosi Kesehatan Tokoh Pramuka : Lord Baden
Powell, Soekarno dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Novel Promosi Kesehatan Sir Alex Ferguson
NOVEL PROMOSI KESEHATAN PELÉ dan Cristiano
Ronaldo
Novel PROMOSI KESEHATAN ANGELINA JOLIE, BRAD
PITT dan JENNIFER ANISTON.
Novel Promosi Kesehatan Bill Clinton dan Barack Obama.
Novel Promosi Kesehatan Muhammad Ali dan Mike Tyson
Novel Promosi Kesehatan Eleanor Roosevelt : Sosial, Mental,
dan Hak Asasi Manusia
NOVEL PROMOSI KESEHATAN MENTAL ala Jacqueline
Kennedy Onassis
NOVEL PROMOSI KESEHATAN ala LADY DIANA
Novel Dari Pengobatan Hippocrates ke Ferizal Bapak Sastra
Promosi Kesehatan Indonesia
19
==============================================
DUOLOGY "The Ottawa Charter 1986 & Preventio Est Clavis
Aurea"
1. Novel The Ottawa Charter 1986 : Untuk Kekasih Ferizal yaitu
Preventio Est Clavis Aurea.
2. Preventio Est Clavis Aurea : Kekasih Ferizal
20
TETRALOGI SASTRA INDONESIA EMAS 2045
Adalah kumpulan 4 karya sastra Promosi Kesehatan karya Ferizal,
sebagai kontribusi untuk menuju Indonesia Emas 2045, yaitu :
1. Puskesmas Penjaga Kehormatan Merah Putih
2. Puskesmas Garis Perlawanan Pelindung Negara
3. Ferizal Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Demi Harga
Diri Bangsa
4. Kisah Isteri Ferizal : Ana Maryana dan Inovasi Ajak Anak
Merawat Diri Yang Paripurna
==============================================
Trilogi Puskesmas.
The Puskesmas Trilogy : Ferizal Penulis Trilogi Puskesmas : Ferizal
The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature :
Ferizal Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia
The Work of Ferizal, Author of the Puskesmas Trilogy :
1. Fitri Hariati : Puskesmas, A Simple House of Love ( A Tribute
to Kahlil Gibran – Mary Elizabeth Haskell )
21
2. Ferizal the discoverer of the humanization theory of Puskesmas
based of the literature of love : Ferizal Penemu Teori Humanisasi
Puskesmas Berbasis Sastra Cinta,
3. In the Embrace of The Puskesmas : A Love Literature ( Dalam
Pelukan Puskesmas: Sebuah Sastra Cinta )
==============================================
The ANA MARYANA Trilogy
FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN
INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA
1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to Anna
Karenina by Leo Tolstoy )
2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 –
2087
3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian
Independence
==============================================
The Ferizal's Love Dwilogy : Dwilogi Cinta Ferizal :
22
1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace
by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH
PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy
2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken
Wings by Kahlil Gibran )
===========================================
Ferizal is the Father of Indonesian Health Promotion Literature : Ferizal
Bapak Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ….
The Excellence of Indonesian Health Promotion Literature by Ferizal :
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia Karya Ferizal.. Fondasi
Digital AI Indonesia menuju Indonesia Emas 2045….
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal
karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi
Kesehatan Digital.
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan
Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi
dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia
2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
23
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan
Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi
Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with
Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal is recognized as "Sang
Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian
Health Promotion Literature ). He is known for integrating literature with
digital health promotion innovations.
Ferizal has created innovations in digital health promotion, including
: Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan
Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia
2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
3. Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi
Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations with
Indonesian Health Promotion Literature.
24
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal
karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi
Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi
dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. Saat Manusia
Harus Bersaing Dengan AI, Robot dan Softaware : Ferizal The Pioneer of
Indonesian Health Promotion Literature .
Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal
karena upayanya dalam mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi
Kesehatan Digital atas nama FERIZAL . Keunggulan Sastra Promosi
Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan
Digital atas nama Ferizal. .
Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi
dengan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia : Ferizal has integrated seven
digital health promotion innovations with Indonesian Health Promotion
Literature… Ferizal is recognized as "Sang Pelopor Sastra Promosi
Kesehatan Indonesia" ( The Pioneer of Indonesian Health Promotion
Literature ). He is known for integrating literature with digital health
promotion innovations.
Ferizal has created innovations in digital health promotion, including
: Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan
Sastra Promosi Kesehatan Indonesia :
1. Inovasi TV Saka Bakti Husada: TV Puskesmas Indonesia
2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling
25
3. Kampung Cyber PHBS Sandogi
4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas
5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas
6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi
Serentak )
7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna )
Ferizal has integrated seven digital health promotion innovations
with Indonesian Health Promotion Literature. Ferizal “Sang Pelopor
Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam
mengintegrasikan Sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas
nama FERIZAL .
Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi
dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal.
26
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………..…………………...…….……………....…......…….……………14
DAFTAR ISI……………………………………………… …………………….………………….…………..…25
Novel Promosi Kesehatan Freddie
Mercury dan Queen………………………………….………….……...…28
SINOPSIS : Novel Promosi Kesehatan
Freddie Mercury dan Queen. Karya Ferizal
The Father of Indonesian Health Literature
Freddie Mercury adalah vokalis utama dan pencipta nama band
rock Inggris terkenal, Queen. Band ini dibentuk tahun 1970 oleh
Mercury, Brian May, dan Roger Taylor, kemudian diperkuat
John Deacon di tahun 1971. Mercury meninggal dunia pada 24
November 1991 karena AIDS.
Freddie Mercury
Karier : Dia dikenal sebagai salah satu penampil terbaik
sepanjang masa dan memiliki salah satu suara terbaik
dalam musik rock.
Penyakit : Mercury didiagnosis menderita AIDS pada
akhir April tahun 1987 dan meninggal empat tahun
kemudian akibat komplikasi bronkopneumonia yang
disebabkan oleh penyakit tersebut.
Kematian : Mercury mengumumkan penyakitnya sehari
sebelum meninggal pada 24 November 1991, dan
meninggal di rumahnya di London.
29
Queen
Anggota: Selain Mercury, anggota band ini adalah Brian
May (gitar), Roger Taylor (drum), dan John Deacon
(bass).
Pembentukan: Queen dibentuk pada tahun 1970,
dengan Mercury sendiri yang memilih nama band
tersebut.
Kontribusi: Mercury juga merancang logo Queen, yang
dikenal sebagai Queen Crest.
Penampilan Terkenal: Salah satu penampilan paling
legendaris Queen adalah pada konser Live Aid di
Stadion Wembley tahun 1985.
Masa Setelah Mercury: Setelah kematian Mercury,
para anggota band yang tersisa mengadakan konser
penghormatan di Stadion Wembley dan menerima
penghargaan untuk "Outstanding Contribution to British
Music" pada tahun 1992.
30
Freddie Mercury pernah berbicara tentang kesehatannya,
meskipun pengakuan publik itu datang sangat dekat dengan
akhir hidupnya.
Pada tanggal 23 November 1991, hanya satu hari sebelum
meninggal dunia, Freddie Mercury mengeluarkan pernyataan
resmi kepada pers dan penggemar yang mengonfirmasi bahwa
ia telah didiagnosis positif HIV dan mengidap AIDS.
Dalam pernyataannya, ia menyampaikan:
"Setelah dugaan besar di media, saya ingin menegaskan bahwa
saya telah diuji HIV positif dan AIDS. Saya merasa benar untuk
merahasiakan informasi ini untuk melindungi privasi orang di
sekitar saya. Namun, sekaranglah waktunya untuk teman-teman
saya dan penggemar di seluruh dunia untuk mengetahui
kebenaran, dan saya berharap semua orang akan bergabung
dengan saya, dokter saya dan semua orang di seluruh dunia
dalam memerangi penyakit yang mengerikan ini."
Kematiannya pada 24 November 1991 disebabkan oleh
bronkopneumonia akibat komplikasi AIDS
31
Kematian Freddie Mercury membawa dampak besar terhadap
kesadaran dan kewaspadaan masyarakat global mengenai
HIV/AIDS.
Setelah kematian Freddie Mercury : Queen (terutama Brian May
dan Roger Taylor) sangat aktif dalam berbicara dan bertindak
mengenai kesehatan, khususnya terkait HIV/AIDS, setelah
meninggalnya Freddie Mercury.
Poin-poin penting mengenai keterlibatan mereka:
?????? Kampanye Kesadaran HIV/AIDS (The Mercury
Phoenix Trust)
Aktivitas Queen yang paling signifikan terkait kesehatan setelah
Freddie meninggal adalah mendirikan sebuah yayasan.
Pembentukan The Mercury Phoenix Trust: Pada
tahun 1992, Brian May, Roger Taylor, dan manajer
Queen, Jim Beach, mendirikan The Mercury Phoenix
Trust.
o Tujuan utama yayasan ini adalah untuk melawan
HIV/AIDS secara global.
32
o Yayasan ini mengumpulkan dana dan
memberikan donasi untuk berbagai organisasi
yang memerangi penyakit ini, sebagai cara untuk
melanjutkan warisan dan perjuangan Freddie
Mercury.
Konser Penghormatan Freddie Mercury: Queen
mengadakan konser besar di Wembley Stadium,
London, pada tahun 1992 yang didedikasikan sebagai
penghargaan untuk Freddie Mercury dan untuk
meningkatkan kesadaran serta mengumpulkan dana bagi
The Mercury Phoenix Trust.
Melawan Stigma: Dalam berbagai wawancara dan
penampilan, Brian May dan Roger Taylor sering
berbicara tentang bagaimana kematian Freddie
membantu menghilangkan stigma seputar AIDS/HIV
pada saat itu, dan mereka terus berupaya untuk
mengambil "rasa malu" dari penyakit tersebut.
Mereka menekankan bahwa AIDS adalah masalah
global yang membutuhkan perhatian dunia.
?????? Dukungan Kesehatan Global Lain
33
Selain HIV/AIDS, Queen juga terlibat dalam isu kesehatan lain:
"You Are The Champions" untuk Tenaga Medis:
Pada tahun 2020, selama pandemi COVID-19, Brian
May, Adam Lambert dan Roger Taylor merilis versi
khusus dari lagu hit mereka, "We Are The
Champions", dengan judul yang diubah menjadi "You
Are The Champions".
o Lagu dan hasil donasinya didedikasikan untuk para
pekerja garis depan (tenaga medis) yang berjuang
melawan virus corona di seluruh dunia.
Isu Kesehatan Pribadi Anggota Band: Para anggota
Queen yang tersisa juga terkadang berbicara tentang
kesehatan pribadi mereka sendiri, misalnya:
o Brian May pernah secara terbuka berbagi
pengalamannya pulih dari serangan jantung dan
stroke ringan, serta membahas pentingnya menjaga
kesehatan di usia lanjut.
Queen dari hanya sebuah band menjadi advokat global untuk
kesadaran dan penelitian HIV/AIDS, melalui The Mercury
Phoenix Trust.
34
35
36
37
38
Freddie Mercury
Lahirnya Sang Bintang
Stone Town, Zanzibar (sekarang Tanzania), 5 September
1946. Kota yang menyaksikan lahirnya seorang anak laki-laki
bernama Farrokh Bulsara.
Keluarga Bulsara (berasal dari komunitas Parsi India) pindah ke
Zanzibar sebelum Freddie lahir. Mereka baru pindah ke
Middlesex, Inggris, pada musim semi 1964 (ketika Freddie
berusia 17-18 tahun) karena Revolusi Zanzibar yang memaksa
banyak keluarga non-Afrika untuk melarikan diri. Freddie tiba
di Inggris sebagai remaja, bukan bayi atau anak kecil.
Farrokh tumbuh dengan rasa keterasingan yang manis, sebuah
bahan bakar yang kelak akan membakar panggung dunia.
Masa kecilnya di Zanzibar diwarnai kisah klasik anak-anak
urban: sekolah, teman, dan imajinasi liar. Farrokh selalu
berbeda. Ia bukan sekadar anak dengan kecerdasan biasa; ia
memiliki ketertarikan mendalam pada musik dan seni visual.
39
Ketika ia pindah ke India untuk menuntut ilmu di sebuah sekolah
asrama, St. Peter’s School, ia menemukan pelarian dalam piano
tua yang menunggu untuk disentuh. Di sana, ia mulai menulis
lagu-lagu pertama, meski dengan suara yang masih tersembunyi,
menunggu waktu untuk meledak di panggung dunia.
Perpindahan dari Zanzibar ke Inggris bukanlah sekadar
perjalanan fisik; itu adalah transformasi psikologis. Farrokh,
yang kini mulai dikenal dengan nama Freddie, belajar
menavigasi identitasnya yang kompleks—budaya Persia,
pengalaman kolonial Afrika, dan realitas Inggris pascaperang.
Rasa keterasingan itu mengajarkannya dua hal penting:
ketahanan dan keinginan untuk bersinar . Freddie
menemukan bahwa melalui musik, ia bisa menjembatani dunia-
wujudnya sendiri dengan dunia yang menatapnya dari luar.
Pada usia 12 tahun, Freddie menatap cermin dengan mata penuh
tekad dan imajinasi. Ia tahu, suara yang terdengar di
kepalanya—melodi yang mengalir di darahnya—tidak akan
pernah cukup untuk sekadar dinikmati sendiri. Ia ingin menjadi
bintang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia
40
yang menunggu sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak
biasa.
Di babak ini, kita belum melihat Freddie Mercury yang
flamboyan di panggung Wembley atau di London panggung
klub-klub rock. Yang terlihat adalah seorang anak laki-laki
dengan rambut hitam tebal, mata yang tajam, dan hati yang
penuh kerinduan. Seorang anak yang membawa dalam dirinya
biji-biji bakat yang akan mekar menjadi legenda.
Dan legenda itu, tanpa disadari, baru saja mulai menulis bab
pertamanya.
Panggung Pertama yang Tak Terlupakan
London, akhir tahun 1969. Kota itu penuh suara—dentuman
drum di ruang bawah tanah, dengung gitar dari pub kecil, dan
riuh revolusi budaya yang menandai lahirnya era baru: rock n’
roll.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pemuda kurus dengan gigi
depan menonjol berjalan cepat menyusuri jalanan Kensington.
Ia menggenggam map berisi sketsa desain grafis dan beberapa
41
lembar lirik lagu yang belum rampung. Namanya kini bukan lagi
Farrokh Bulsara. Dunia akan mengenalnya dengan nama yang
lebih tegas, lebih musikal, lebih abadi: Freddie Mercury.
Freddie saat itu adalah mahasiswa di Ealing Art College,
tempat di mana imajinasi tak mengenal batas. Ia belajar desain
seni rupa, tapi jiwanya sudah lama memberontak.
Goresan garis pada kanvas tak cukup menampung energi yang
bergejolak di dadanya. Ia ingin lebih — warna yang bisa
terdengar, suara yang bisa dilihat, musik yang bisa
dirasakan seperti cinta pertama.
Melalui pergaulan musik di London ia bertemu Brian May dan
Roger Taylor, dua pemuda dengan visi gila yang sama:
menciptakan musik yang bukan hanya keras, tapi juga indah.
Sebelum pertemuan itu, Freddie sempat bergabung dengan
beberapa band kecil — The Hectics, lalu Ibex yang kemudian
menjadi Wreckage. Di setiap panggung kecil yang ia pijak,
Freddie sudah menunjukkan ciri khasnya: gestur teatrikal, suara
empat oktaf, dan aura yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Ia
bukan sekadar penyanyi. Ia adalah pertunjukan itu sendiri.
42
Pada malam dingin bulan Desember 1970, Freddie berdiri di
sebuah ruangan sempit di London barat. Di hadapannya, Brian
May memetik gitar dengan gaya khasnya, Roger Taylor
mengatur tempo drum dengan presisi yang luar biasa
Di bawah cahaya lampu murahan yang berkedip, tiga anak muda
itu memainkan lagu pertama mereka bersama.
Freddie menatap dua rekannya dan tersenyum.
“We are going to be huge, darling. Bigger than anyone can
imagine,” katanya dengan aksen Inggris yang tebal, penuh
keyakinan dan sedikit kesombongan yang memesona.
Dan untuk pertama kalinya, suara itu keluar — suara yang
mampu naik setinggi langit dan turun sedalam hati.
Freddie bernyanyi seolah-olah dunia sedang mendengarnya,
padahal hanya ada belasan orang di ruangan itu.
Tapi di dalam dirinya, ia tahu satu hal:
ini bukan sekadar latihan; ini adalah takdir yang sedang
menunggu.
43
Musik mengalir seperti kilat. Freddie bergerak di panggung
kecil itu dengan semangat yang belum pernah dilihat siapa pun.
Penonton terpana. Ia bukan hanya menyanyi, ia menyihir. Dalam
satu malam, ruang sempit itu berubah menjadi kerajaan kecil
yang dipimpin oleh seorang raja tanpa mahkota.
Setelah lagu terakhir selesai, hening menggantung di udara. Lalu
tepuk tangan membuncah, keras, tulus, liar.
Freddie menunduk sedikit, senyum di wajahnya berubah lembut.
Ia tahu — malam itu, Freddie Mercury lahir.
Namun, tak seorang pun tahu bahwa di balik sorotan itu, ada sisi
lain dari dirinya — seorang pria yang rapuh, ragu, dan haus akan
penerimaan. Ia mencintai panggung karena hanya di sana ia bisa
menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Dunia luar terlalu
sempit untuk menampung jiwanya yang besar.
Di apartemennya malam itu, Freddie menatap cermin.
“Suatu hari nanti,” bisiknya, “aku akan membuat semua orang
di dunia ini bernyanyi bersamaku.”
Dan sejarah akan mencatat: ia menepati janjinya.
44
Lahirnya Queen dan Gema Revolusi Musik Inggris
Tahun 1970.
Inggris tengah berdetak dengan ritme yang baru. Dunia musik
sedang bergeser — dari sisa-sisa psychedelic rock menuju
sesuatu yang lebih megah, lebih teatrikal, dan lebih
mengguncang.
Di tengah revolusi bunyi dan cahaya itu, empat pemuda berikrar
untuk melawan keterbatasan zamannya. Mereka menamakan
diri mereka dengan satu kata yang kelak akan menjadi mantra
keabadian: Queen.
Freddie-lah yang memilih nama itu.
“Queen adalah kata yang berani, glamor, dan memiliki banyak
makna,” ujarnya suatu malam, di tengah kepulan asap rokok dan
tumpukan kaset demo.
“Ia bisa berarti kerajaan… bisa juga sesuatu yang indah, ambigu,
dan sedikit nakal. Tepat seperti kita.”
45
Brian May tertawa kecil, Roger Taylor menepuk bahunya, dan
John Deacon — yang paling tenang di antara mereka — hanya
mengangguk pelan. Tak ada yang membantah. Nama itu lahir,
dan bersama nama itu, mitos pun dimulai.
Pada tahun 1970, Freddie Mercury bergabung dengan Brian
May dan Roger Taylor, yang sebelumnya tergabung dalam band
bernama Smile. Freddie kemudian menyarankan nama baru
untuk band mereka: Queen. Meskipun anggota lain awalnya
ragu, Freddie berhasil meyakinkan mereka. John
Deacon kemudian bergabung pada tahun 1971, melengkapi
formasi klasik band ini.
Berikut adalah poin-poin penting mengenai penamaan band
Queen:
Tahun 1970: Freddie Mercury bergabung dengan Brian
May dan Roger Taylor, dan pada tahun inilah ia
menyarankan nama "Queen".
Alasan Penamaan: Freddie memilih nama tersebut
karena menurutnya terdengar "agung dan luar biasa"
serta memiliki potensi visual yang kuat. Ia juga
46
menyadari adanya konotasi gay pada nama tersebut,
tetapi menganggapnya hanya sebagai salah satu aspek
dari banyak kemungkinan interpretasi.
Anggota Tahun 1970: Pada awalnya, formasi band
terdiri dari Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor,
dan seorang pemain bas sementara, Mike Grose.
Anggota Lengkap Tahun 1971: Formasi yang paling
dikenal, dengan John Deacon sebagai pemain bas, baru
terbentuk pada tahun 1971
Nama "Queen" diusulkan oleh Freddie Mercury pada
tahun 1970, tepat setelah ia bergabung dengan Brian
May dan Roger Taylor (dari band sebelumnya, Smile).
Saat itu, band masih beranggotakan tiga orang. John
Deacon baru bergabung pada Februari 1971, setelah
nama band sudah ditetapkan.
Pembentukan band dimulai pada 1970, dan nama
"Queen" pertama kali digunakan secara resmi sekitar Juli
1970.
47
Freddie bukan hanya penyanyi; ia adalah sutradara dari setiap
detail. Ia mengatur pencahayaan, gaya busana, bahkan urutan
lagu agar menciptakan perjalanan emosi yang lengkap.
“Setiap konser harus seperti teater,” katanya.
“Kita tidak hanya memainkan musik — kita menciptakan
dunia.”
Di studio kecil Trident Studios, London, mereka mulai
merekam lagu-lagu pertama.
Freddie menulis dengan tangan gemetar namun penuh semangat
— Liar, Great King Rat.
Lagu-lagu itu bercerita tentang ambisi, kesombongan, dan
kebebasan; cermin dari dirinya sendiri.
Suara Freddie menembus mikrofon seperti kilatan petir,
menantang batas frekuensi.
Brian menenun melodi dari gitar buatan tangannya sendiri, Red
Special, yang ia rakit bersama ayahnya.
48
Roger memukul drum seperti sedang menantang guruh,
sementara John menulis garis bass yang tenang tapi jenius.
Ketika album pertama, “Queen” (1973), akhirnya dirilis, dunia
belum siap.
Kritikus musik bingung: apakah ini rock? opera? atau dongeng?
Tapi bagi mereka yang mendengarkan lebih dalam, ada sesuatu
yang baru di sana — campuran antara kecerdasan dan
kegilaan.
Freddie menyanyikan lirik-liriknya dengan keanggunan seorang
raja dan keberanian seorang pemberontak. Ia sedang
menciptakan genre baru — rock yang bisa berdansa dengan
opera.
Tahun 1974, album kedua mereka, “Queen II,” lahir — dan
segalanya berubah.
Cover albumnya, dengan bayangan wajah keempat anggota
dalam pencahayaan hitam-putih dramatis, menjadi ikon abadi.
Freddie memposisikan dirinya di tengah, matanya menatap
tajam, tangan menyilang di dada.
49
Gambar itu kemudian akan diulang bertahun-tahun kemudian di
video klip Bohemian Rhapsody, dan menjadi simbol keagungan
Queen.
Dalam album itu, Freddie mulai memperlihatkan sisi
teatrikalnya sepenuhnya. Lagu seperti The March of the Black
Queen dan Seven Seas of Rhye terdengar seperti potongan
simfoni dari dunia lain.
Ia menciptakan karakter, kerajaan, dan perang imajiner di dalam
lagu. Namun di balik semua itu, tersembunyi kerinduan akan
makna hidup — kerinduan seorang pria yang berusaha
memahami dirinya sendiri di dunia yang belum siap menerima
siapa dia.
Panggung demi panggung mereka tak lagi sepi. Dari pub kecil
ke aula besar, dari tepuk tangan ragu menjadi sorakan ribuan
orang.
Freddie mulai mengenakan pakaian yang tak biasa: mantel raja,
jumpsuit ketat, dan kadang-cadang jubah putih panjang dengan
mahkota palsu. Tapi tak ada yang tampak palsu ketika ia berdiri
di atas panggung.
50
“Aku bukan orang yang memerankan raja, darling, aku
memang raja itu.”
Konser mereka di Rainbow Theatre, London, 1974, menandai
titik balik.
Lampu-lampu menyala, kabut tipis turun dari atas, dan Freddie
berjalan ke tengah panggung dengan mikrofon setengah batang
di tangannya — sebuah simbol yang akan melekat selamanya.
Ketika ia menyanyikan White Queen (As It Began), penonton
terdiam. Di momen itu, semua orang tahu: mereka sedang
menyaksikan lahirnya legenda.
Di balik kejayaan itu, Freddie tetaplah manusia yang penuh
paradoks.
Ia berani di panggung, tapi canggung dalam keheningan. Ia
mencintai banyak orang, tapi sulit mencintai dirinya sendiri.
Namun di setiap nada, di setiap dentum drum dan denting gitar,
ia menulis satu pesan yang sama:
Hidup ini pendek, tapi keindahan bisa membuatnya abadi.
51
Dan benar — pada pertengahan 1974, dunia akhirnya mulai
mengenal nama Queen, dan di tengahnya, seorang pria dari
Zanzibar bernama Freddie Mercury yang siap menantang
semua definisi tentang musik, cinta, dan kehidupan.
Bohemian Rhapsody dan Keabadian (1975–1976)
Malam itu, di sebuah studio di Monmouth, Wales bernama
Rockfield Studios, langit tampak muram. Angin Wales
berembus menusuk, dan di dalam ruangan berlapis busa kedap
suara, Freddie Mercury duduk di depan piano hitam dengan
pandangan kosong.
Jari-jarinya menari perlahan, membentuk akord yang seolah
datang dari dunia lain.
“Is this the real life… Is this just fantasy?”
Ia berhenti, menatap ke arah Brian May dan Roger Taylor.
“Itu pembuka,” katanya tenang, “tapi aku belum tahu ini lagu
tentang apa. Hanya… sesuatu yang harus keluar.”
52
Tak ada yang tahu malam itu bahwa ia baru saja menulis pintu
menuju keabadian.
Freddie datang ke studio dengan tumpukan kertas berisi
potongan lirik, catatan harmoni, dan sketsa tanda nada. Di sana
tertulis frasa aneh: Scaramouche, Galileo, Figaro, Bismillah!
Ketika Brian membacanya, ia tertawa.
“Apa ini opera?” tanyanya.
Freddie menatapnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul.
“Ini bukan hanya lagu, darling. Ini akan menjadi sesuatu yang
belum pernah dibuat siapa pun.”
Selama tiga minggu penuh, Queen bekerja tanpa lelah.
Mereka merekam bagian demi bagian, lapisan demi lapisan,
harmoni demi harmoni.
Suara latar ditumpuk hingga ratusan kali, menciptakan efek
paduan suara surgawi.
Roger Taylor menjerit di nada tinggi “Galileo!” sementara
Freddie dan Brian mengisi “Magnifico!” dengan sempurna.
53
Freddie menulis, mengarahkan, menyanyi, dan memahat lagu itu
seperti seorang arsitek yang sedang membangun katedral suara.
Lagu itu berjudul Bohemian Rhapsody.
Ketika selesai, durasinya enam menit — terlalu panjang untuk
standar radio.
Perusahaan rekaman sempat menolak. “Tak ada stasiun radio
yang mau memutar lagu sepanjang ini,” kata produser.
Tapi Freddie hanya tersenyum, menatap mereka dengan
keyakinan yang nyaris mistis.
“Mereka akan memutarnya,” ujarnya pelan. “Karena mereka
tidak akan bisa berhenti.”
Ia benar. Pada 31 Oktober 1975, Bohemian Rhapsody dirilis
sebagai singel dari album A Night at the Opera.
Dalam hitungan hari, lagu itu meledak di Inggris — bukan hanya
karena melodinya, tetapi karena misterinya.
Apakah ini kisah pembunuhan? Sebuah doa? Sebuah
pengakuan?
54
Freddie tak pernah memberi jawaban pasti.
“Biarkan orang menafsirkan sendiri,” katanya dengan senyum
samar. “Aku sudah tahu artinya, tapi itu milikku.”
Video klipnya, dengan pencahayaan empat wajah hitam-putih
yang ikonik, menandai awal era video musik modern.
Queen tidak hanya membuat lagu — mereka menciptakan
pengalaman audiovisual.
Freddie berdiri di depan dunia dengan semua keberaniannya:
flamboyan, artistik, dan penuh keanggunan yang menantang
norma.
Konser demi konser berubah menjadi pesta megah.
Freddie mengenakan jubah kerajaan dan mahkota emas di atas
panggung.
Penonton bukan hanya menonton musik — mereka menonton
keajaiban yang sedang terjadi.
Bohemian Rhapsody menjadi anthem generasi baru, lagu yang
tak bisa dikategorikan, tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
55
Namun, di balik gemuruh tepuk tangan dan cahaya sorot, ada
kesepian yang tak terlihat.
Freddie mulai bergulat dengan identitasnya — antara cinta dan
kesetiaan, antara keinginan untuk bebas dan ketakutan akan
penolakan.
Ia menjalin hubungan dengan Mary Austin, perempuan yang
menjadi cintanya selama bertahun-tahun.
Kepadanya, Freddie pernah berkata, “Semua cintaku mungkin
berubah, tapi kamu akan selalu menjadi sahabat jiwaku. Kamu
adalah satu-satunya yang benar-benar mengenalku.”
Di tengah kejayaan itu, Freddie menemukan sesuatu yang tak
bisa diberikan dunia — ketenangan.
Tapi di atas panggung, ia menemukan sesuatu yang lebih kuat
dari cinta itu sendiri: keabadian.
Karena setiap kali ia menekan tuts piano, setiap kali ia menatap
ribuan wajah yang bernyanyi bersamanya, Freddie tahu:
bahwa hidup boleh singkat, tapi suara bisa hidup selamanya.
56
Dan pada tahun 1976, dunia resmi menobatkan Queen sebagai
band terbesar di planet ini.
Bohemian Rhapsody bukan hanya lagu — ia adalah simfoni
pemberontakan, doa, dan pengakuan jiwa.
Sebuah mahakarya yang menegaskan satu hal:
Freddie Mercury bukan hanya bintang rock. Ia adalah pujangga
abad modern yang menulis puisi dengan nada tinggi dan
darahnya sendiri.
Antara Panggung dan Kesepian (1977–1979)
Di atas panggung, Freddie Mercury adalah matahari — terang,
flamboyan, dan tak terbantahkan.
Namun, di balik lampu-lampu sorot dan kostum sutra yang
berkilauan, ia hanyalah manusia yang mencari rumah.
Tahun 1977, Queen telah menjadi legenda hidup. Lagu We Will
Rock You dan We Are the Champions menggema di stadion-
stadion besar, menyatukan ribuan suara dalam irama kaki dan
tepuk tangan yang bergema seperti guntur.
57
Freddie berdiri di tengah lautan manusia, memimpin mereka
dengan tongkat mikrofon setengah batang — simbol
kekuasaannya di panggung dunia.
Setiap gerakannya seperti mantra.
Setiap tatapan matanya menghipnotis.
Namun begitu konser usai, dan tepuk tangan mereda, yang
tersisa hanyalah keheningan yang menggigit.
Freddie kembali ke apartemennya di Kensington, menyalakan
sebatang rokok, dan duduk di depan cermin besar.
“Siapa aku sebenarnya?” bisiknya lirih.
Pertanyaan itu tak pernah hilang, meski jutaan orang memanggil
namanya.
Ia masih menjalin hubungan dengan Mary Austin, perempuan
yang ia cintai sejak masa awal perjuangan.
Mary adalah satu-satunya tempat Freddie merasa diterima tanpa
topeng, tanpa glamor, tanpa musik.
58
Mereka telah bertunangan sejak 1973, tetapi Freddie mengakhiri
hubungan romantis mereka pada 1976
Freddie kemudian membelikan Mary sebuah rumah dan menulis
wasiat bahwa kelak, separuh dari semua hartanya akan menjadi
milik perempuan itu.
Ia pernah berkata kepada teman dekatnya,
“Mary adalah satu-satunya cinta sejati dalam hidupku. Semua
yang lain hanyalah bayangan.”
Perjalanan hubungan Mary Austin dan Freddie Mercury
1969: Keduanya bertemu saat Mary berusia 19 tahun dan
bekerja di butik fesyen Biba di London. Freddie yang
berusia 24 tahun bekerja di stan pakaian di dekatnya.
Awal 1970-an: Hubungan mereka berkembang menjadi
romantis dan mereka tinggal bersama selama beberapa
tahun. Mary menjadi sandaran emosional bagi Freddie
saat Queen mulai meraih ketenaran internasional.
59
1973: Freddie melamar Mary di hari Natal. Meskipun
Mary menerimanya, mereka tidak pernah menikah
secara resmi.
1976: Freddie mengungkapkan kepada Mary bahwa ia
biseksual, yang membuat hubungan romantis mereka
berakhir. Namun, ikatan mereka berubah menjadi
persahabatan yang jauh lebih dalam.
1985: Freddie secara terbuka menyatakan bahwa Mary
adalah satu-satunya teman yang ia miliki dan tidak ingin
orang lain menggantikannya.
Akhir 1980-an: Saat didiagnosis menderita AIDS,
Freddie adalah orang pertama yang memberitahu Mary.
Mary pun merawatnya hingga akhir hayatnya.
1991: Setelah Freddie meninggal, ia meninggalkan
sebagian besar warisannya kepada Mary, termasuk
rumahnya di London, Garden Lodge, dan sebagian besar
royalti masa depan dari Queen.
60
Misteri Abu Jenazah: Freddie mempercayakan Mary
untuk menyimpan abu jenazahnya di lokasi rahasia yang
tidak akan pernah diungkapkan.
Mary Austin dan warisan Freddie Mercury
Setelah kematian Freddie, Mary menjadi wali amanat
dan menjaga warisannya selama beberapa dekade.
Pada tahun 2023, Mary mengumumkan akan melelang
koleksi barang-barang pribadi Freddie, termasuk kostum
panggung dan lirik tulisan tangan. Lelang ini
mengumpulkan puluhan juta pound, dan sebagian
hasilnya disumbangkan ke badan amal.
Keputusan ini sempat menyebabkan ketegangan dengan
kerabat Freddie lainnya, yang beberapa di antaranya
membeli kembali barang-barang tersebut secara anonim.
Pada tahun 2024, dilaporkan bahwa Mary menerima
bagian dari keuntungan penjualan katalog lagu Queen
kepada Sony, yang semakin menambah warisan yang ia
terima.
61
Mary Austin menikah dan memiliki anak setelah
hubungannya dengan Freddie Mercury berakhir.
Berikut detailnya:
Piers Cameron: Mary memiliki dua putra, Richard dan
Jamie, dengan seorang pelukis bernama Piers Cameron.
Richard lahir pada awal 1990-an dan Freddie Mercury
adalah ayah baptisnya. Hubungan mereka berakhir,
kabarnya karena Cameron merasa Freddie terlalu
membayangi.
Nicholas Holford: Mary kemudian menikah dengan
seorang pengusaha bernama Nicholas Holford.
Pernikahan ini berlangsung singkat dan berakhir dengan
perceraian pada tahun 2002.
Sentimen bahwa Freddie Mercury "terlalu membayangi" Mary
Austin muncul dari kedalaman hubungan mereka yang luar
biasa, bahkan setelah mereka tidak lagi menjalin asmara.
Keterikatan emosional yang intens dan berkelanjutan ini
menyebabkan masalah bagi pasangan Mary, termasuk Piers
62
Cameron, yang akhirnya meninggalkannya karena merasa selalu
berada di bawah bayang-bayang Freddie.
Berikut adalah beberapa faktor yang berkontribusi pada
sentimen tersebut:
Freddie adalah "cinta sejati" Mary. Meskipun sudah
tidak berpacaran, Mary mengaku bahwa Freddie adalah
"cinta sejati" dan "satu-satunya teman" yang ia miliki. Ia
bahkan mengatakan, "Aku kehilangan seseorang yang
kuanggap sebagai cinta abadiku" ketika Freddie
meninggal.
Kehadiran Freddie yang konstan. Freddie dan Mary
tetap sangat dekat, bahkan tinggal berdekatan, hingga
akhir hayat Freddie. Freddie sering menelepon Mary
setiap hari dan memintanya untuk mendampinginya saat
ia membutuhkan dukungan, terutama setelah didiagnosis
AIDS.
Freddie memperkaya hidup Mary. Menurut Mary,
"Freddie telah memperluas kanvas hidupku begitu besar
dengan memperkenalkan aku pada dunia balet, opera,
dan seni". Ini menciptakan pemahaman dan koneksi
63
yang mendalam di antara mereka, yang sulit disaingi
oleh orang lain.
Freddie meninggalkan warisan besar. Ketika Freddie
meninggal, ia meninggalkan sebagian besar
kekayaannya kepada Mary, termasuk rumahnya, Garden
Lodge. Ini memperjelas di mata publik—dan para
pasangan Mary—betapa sentralnya Mary dalam
kehidupan Freddie.
Pengakuan publik Freddie. Dalam wawancara,
Freddie secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada
kekasih lain yang dapat menggantikan Mary. "Semua
kekasihku bertanya mengapa mereka tidak bisa
menggantikan Mary, tetapi itu mustahil," ujarnya.
Pengakuan ini tentu sangat sulit bagi pasangan Mary
untuk diterima.
Bagi Piers Cameron, ikatan yang tak tergantikan antara Mary
dan Freddie, ditambah dengan peran Freddie sebagai ayah baptis
anak pertama mereka, akhirnya menjadi terlalu berat. Piers
Cameron merasa tidak bisa menembus ikatan khusus itu dan
pada akhirnya memilih untuk meninggalkan Mary.
64
SEMASA HIDUP Freddie
Meski hatinya berantakan, Freddie tak berhenti mencipta.
Tahun 1978, Queen merilis Jazz, dengan lagu-lagu penuh energi
seperti Don’t Stop Me Now.
Ironisnya, lagu itu lahir di saat ia sedang berjuang menahan
kesepian terdalamnya.
Ia bernyanyi : “I’m a shooting star leaping through the sky, like
a tiger defying the laws of gravity…”
Tapi di dalam hatinya, ia tahu — bintang jatuh pun akhirnya
akan padam.
Freddie mulai tenggelam dalam dunia malam: pesta, alkohol,
dan percintaan singkat.
Ia mencari arti kebebasan, tapi sering menemukannya dalam
bentuk kehampaan.
Mary Austin adalah mantan tunangan dan sahabat terdekat dari
vokalis Queen, Freddie Mercury, hingga akhir hayatnya. Freddie
65
sering menyebutnya sebagai "istri menurut hukum adat" dan
"cinta sejati" dalam hidupnya, bahkan setelah hubungan
romantis mereka berakhir.
Di tengah popularitas yang melesat, tubuhnya semakin kurus,
matanya semakin letih, namun penampilannya di panggung
justru semakin liar, semakin mengguncang.
“Kalau aku harus mati,” katanya suatu malam kepada Roger
Taylor, “aku ingin mati dengan dentuman drum di telingaku dan
sorakan ribuan orang di hadapanku.”
Dalam diam, Freddie mulai membangun dunia di sekelilingnya
— rumah penuh karya seni, kucing-kucing kesayangannya, dan
teman-teman yang mencintainya tanpa syarat.
Namun yang tak pernah hilang adalah rasa rindu untuk dicintai
bukan sebagai Freddie Mercury sang legenda, melainkan
sebagai Farrokh, anak laki-laki dari Zanzibar yang dulu hanya
ingin diterima apa adanya.
Tahun 1979 menandai akhir dari satu babak.
66
Queen tampil di Live Killers Tour, sebuah tur megah yang
menegaskan status mereka sebagai penguasa panggung rock
dunia.
Live Killers Tour adalah tur konser Queen pada tahun 1979
untuk mempromosikan album studio ketujuh
mereka, Jazz (1978). Tur ini mencakup tiga bagian, dengan
rekaman dari leg Eropa digunakan untuk album live ganda
pertama band, Live Killers (1979).
Detail tur
Waktu: Tur berlangsung dari Januari hingga Mei 1979.
Leg: Tur ini memiliki tiga leg: Eropa (Januari–Maret),
Jepang (April–Mei), dan diikuti dengan tur yang terpisah
di Inggris, yang dikenal sebagai Crazy Tour, pada bulan
November–Desember 1979.
Album Live: Rekaman untuk album Live
Killers diambil dari konser-konser di Eropa antara 26
Januari dan 1 Maret 1979.
Jadwal tur
67
Eropa (Januari–Maret 1979)
Jerman: Hamburg, Kiel, Bremen, Dortmund, Hanover,
Berlin, Cologne, Frankfurt, Munich, Stuttgart, dan
Saarbrücken
Belgia: Brussels
Belanda: Rotterdam
Swiss: Zurich
Yugoslavia: Zagreb dan Ljubljana
Prancis: Lyon dan Paris
Spanyol: Barcelona dan Madrid
Jepang (April–Mei 1979)
Tokyo: Budokan Hall (beberapa pertunjukan)
Osaka: Festival Hall
Kanazawa: Practica Ethics Community Hall
Kobe: Central International Display
68
Nagoya: International Display
Fukuoka: Kyduen Athletic Association (beberapa
pertunjukan)
Yamaguchi: Prefectural Athletic Association
Sapporo: Makomani Ice Arena (beberapa pertunjukan)
Lagu-lagu yang ditampilkan
Setlist tur bervariasi, namun biasanya menyertakan lagu-lagu
seperti "We Will Rock You" (versi cepat) sebagai pembuka,
lagu dari album Jazz seperti "Fat Bottomed Girls" dan "Bicycle
Race", serta lagu-lagu klasik Queen lainnya seperti "Bohemian
Rhapsody", "Killer Queen", "Love of My Life", "Don't Stop Me
Now", dan "We Are the Champions".
Beberapa lagu yang jarang ditampilkan juga dimainkan, seperti
"Mustapha" (intro), "Jailhouse Rock", dan "Big Spender". Anda
dapat menemukan daftar lengkap lagu di sumber yang
direferensikan.
Latar belakang dan penerimaan
69
Album live ganda Live Killers dirilis pada 22 Juni 1979.
Meskipun awalnya mendapat sambutan beragam dan dikritik
karena kualitas suara, album ini kemudian dianggap sebagai
dokumentasi penting dari performa Queen di era 70-an.
Album ini dirilis sebagian karena tekanan dari label rekaman
untuk materi baru, meskipun band awalnya kurang yakin. Tur
ini juga menampilkan tata panggung yang canggih, termasuk rig
pencahayaan besar yang dikenal sebagai "Pizza Oven".
Freddie menutup konser itu dengan senyum lebar, tapi matanya
tampak jauh, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang
lain.
Ketika lampu panggung padam, Freddie duduk sendirian di
ruang rias, menatap wajahnya di cermin yang dikelilingi lampu
kecil.
Senyumnya memudar.
Ia menatap pantulan dirinya dan berbisik pelan:
“Aku membuat dunia bahagia… tapi siapa yang membuatku
bahagia?”
70
The Game dan Bayang-Bayang Penyakit (1980–1982)
Tahun 1980.
Berikut adalah rincian tentang bagaimana dunia berubah pada
awal 1980-an:
Pergeseran musik: Disko bertransformasi, elektronik
bangkit
Akhir era disko: Meskipun disko mengalami penurunan
popularitas di arus utama AS setelah peristiwa "Disco
Demolition Night" pada Juli 1979, musik dansa tidak
sepenuhnya hilang. Sebaliknya, elemen-elemen disko
71
berevolusi menjadi genre-genre baru yang lebih canggih
dan eksperimental.
Kebangkitan musik elektronik: Awal 1980-an adalah
titik balik bagi musik elektronik. Peningkatan
aksesibilitas komputer rumahan, synthesizer, dan drum
machine memungkinkan musisi bereksperimen dengan
suara-suara baru. Genre seperti synth-pop, new wave,
dan electronic dance music (EDM) mulai muncul dan
mendominasi.
Era video musik: Peluncuran MTV pada tahun 1981
merevolusi cara musik dikonsumsi. Video musik
menjadi alat pemasaran yang kuat, dan artis-artis seperti
Michael Jackson dan Madonna menjadi ikon global,
bukan hanya melalui lagu, tetapi juga melalui citra visual
mereka.
Perubahan gaya hidup: dari disko menuju hedonisme 80-an
Individualisme dan hedonisme: Gaya hidup era 1980-
an beralih ke arah materialisme, ambisi karir (yuppie),
72
dan hedonisme. Pakaian glamor, gaya rambut besar, dan
warna-warna neon mencolok menjadi tren.
Budaya klub terus hidup: Meskipun disko mainstream
menurun, budaya klub tetap hidup dan berevolusi
di scene bawah tanah. Musik dansa baru
seperti house dan techno mulai berkembang di klub-
klub.
Budaya kebugaran: Tren gaya hidup sehat, terutama di
kalangan para profesional muda, membuat pusat
kebugaran menjadi populer. Pakaian olahraga dan
perlengkapan lari menjadi bagian dari mode sehari-hari.
Kemajuan teknologi: menyalakan lampu disko (dan lebih
banyak lagi)
Teknologi musik: Peralatan studio digital, sequencer,
dan teknologi Musical Instrument Digital Interface
(MIDI) memungkinkan produksi musik yang lebih
presisi dan terautomasi. Komputer rumahan mulai
memengaruhi produksi musik, membuka jalan bagi
genre-genre baru yang lebih futuristik.
73
Perkembangan personal computer: Komputer pribadi
menjadi lebih terjangkau dan mulai memasuki rumah-
rumah. Peluncuran IBM PC pada tahun 1981 dan Apple
Macintosh pada tahun 1984 menandai awal revolusi
digital di tingkat konsumen.
Inovasi lain: Teknologi lain seperti pemutar CD,
camcorder, dan ponsel "bata" pertama juga mulai
muncul, meskipun masih mahal dan besar. Kemajuan
teknologi ini meletakkan dasar bagi kehidupan yang
lebih terhubung di dekade-dekade
Deskripsi tersebut dengan tepat menggambarkan transisi dari era
disko tahun 1970-an menuju awal 1980-an yang ditandai oleh
perubahan besar dalam musik, gaya hidup, dan teknologi.
Meskipun tren disko mulai memudar di Amerika Serikat sekitar
tahun 1979, warisannya terus berevolusi dan memengaruhi
berbagai aspek budaya pop di tahun 1980-an
Dunia berubah — musik bergeser, gaya hidup berganti, dan
teknologi mulai menyalakan lampu disko di setiap kota besar.
74
Namun di tengah segala perubahan itu, satu hal tetap sama:
Freddie Mercury masih berdiri di puncak dunia.
Album terbaru Queen, The Game, meledak.
Untuk pertama kalinya, band itu menyentuh musik funk dan
disco, meninggalkan nada-nada progresif yang dulu
membesarkan nama mereka.
Banyak penggemar lama terkejut, tapi Freddie hanya tersenyum.
“Musik harus hidup, darling,” katanya pada wartawan Rolling
Stone. “Kalau kau tak berani berubah, kau sudah mati sebelum
waktunya.”
Dan memang, lagu seperti Another One Bites the Dust dan Crazy
Little Thing Called Love membawa Queen ke level baru.
Amerika jatuh cinta.
Lagu-lagu itu bukan hanya diputar di radio, tapi juga di klub
malam, tempat Freddie kini sering terlihat — menari, tertawa,
dan terkadang menangis diam-diam di balik lampu neon.
75
Namun di balik semua kemilau itu, sesuatu mulai berubah.
Tubuh Freddie, yang dulu gagah dan berenergi di panggung,
mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Ia kerap terbatuk di sela latihan, suaranya sesekali serak, dan
napasnya tak sepanjang dulu.
Tapi seperti biasa, ia menutupinya dengan tawa dan gaya
flamboyan yang memabukkan.
“Sedikit sakit hanya bumbu hidup,” katanya pada Roger Taylor
sambil menenggak segelas vodka.
Pada saat yang sama, gaya hidupnya semakin ekstrem.
Freddie sering berpesta hingga fajar — New York, Munich,
Barcelona, setiap kota punya kisahnya sendiri.
Ia membangun dunia malam yang penuh warna: kilau, tarian,
dan kebebasan mutlak.
Namun di dalam kebebasan itu, ada sesuatu yang perlahan
menghantui: bayangan penyakit yang belum disebut
namanya.
76
Freddie tidak tahu apa yang sedang datang, tapi ia bisa
merasakannya. Di tahun-tahun itu, rumor tentang “penyakit
misterius” mulai terdengar di komunitas gay Amerika.
Orang-orang muda mendadak sakit, tubuh mereka melemah, dan
dunia medis belum punya jawaban.
Freddie mendengarnya — tapi seperti banyak orang pada masa
itu, ia menepisnya.
“Aku tak takut mati,” katanya pada seorang temannya di
Munich, “aku hanya takut berhenti hidup sebelum waktuku.”
Lagu "Save Me" yang ditulis oleh Brian May “Save me, I can’t
face this life alone…”
Lirik itu terdengar seperti doa.
77
Dan bagi Freddie, mungkin memang itulah doa yang tak pernah
ia ucapkan dengan lantang.
Album Hot Space (1982) menunjukkan Freddie yang berbeda.
Ia bereksperimen lebih jauh dengan disco-funk dan elektronik,
tapi hubungan antaranggota band mulai menegang.
Brian May dan Roger Taylor merasa Freddie terlalu larut dalam
gaya hidupnya, terlalu jauh dari akar musik Queen.
Freddie, di sisi lain, merasa terperangkap oleh ekspektasi.
“Aku bukan hanya vokalis band rock,” katanya keras di tengah
perdebatan studio.
“Aku seorang seniman — aku harus bebas, bahkan jika
kebebasan itu membunuhku.”
Malam demi malam, Freddie menulis di buku catatannya —
lirik, potongan puisi, dan kalimat yang terdengar seperti
pengakuan:
“Aku ingin hidup selamanya, tapi mungkin aku tak punya waktu
sebanyak itu.”
78
Ia mulai menyadari bahwa ketenaran, cinta, dan uang tidak bisa
mengusir kesepian yang terus tumbuh di dalam dirinya.
Dalam wawancara tahun 1982, ketika ditanya apakah ia bahagia,
Freddie menjawab dengan senyum kecil:
“Aku punya segalanya yang bisa dibeli uang… kecuali hal-hal
yang benar-benar penting.”
Dan memang, di tahun-tahun berikutnya, hal-hal penting itu
perlahan menjauh.
Kesehatannya menurun, hubungannya renggang, dan Queen
hampir bubar.
Namun di balik kejatuhan itu, Freddie menyimpan sesuatu yang
tidak akan pernah padam — keinginan untuk kembali
bersinar, lebih kuat dari sebelumnya.
Ia tidak tahu bahwa badai yang lebih besar sedang menunggunya
di depan. Tapi satu hal pasti: ia akan melawannya dengan musik,
dengan cinta, dan dengan keberanian yang membuat dunia
berlutut.
79
Kebangkitan Terakhir – Live Aid dan Takdir Abadi (1983–
1985)
London, 1983.
Di rumahnya di Garden Lodge, Freddie Mercury duduk
sendirian di ruang tamu, diapit oleh lukisan-lukisan antik dan
patung kucing porselen yang ia koleksi dari seluruh dunia.
Musik klasik mengalun pelan, namun pikirannya tak tenang.
Hubungan antar anggota Queen retak.
Album Hot Space masih mencapai nomor 4 di UK charts
Kritikus mulai menyebut mereka “band yang sudah habis masa
kejayaannya.”
Namun Freddie tidak mengenal kata menyerah. Di tengah
kesunyian itu, ia menatap tangannya sendiri — tangan yang
pernah mengguncang dunia, tangan yang menulis Bohemian
Rhapsody, We Are the Champions, Somebody to Love.
“Belum selesai,” gumamnya pelan. “Belum.”
80
Ia memutuskan untuk keluar dari bayang-bayang.
Freddie pergi ke Munich, memulai proyek solo — Mr. Bad Guy
— sebuah album yang mencerminkan kebebasan artistiknya
tanpa batas.
Liriknya jujur, terbuka, dan tanpa topeng.
Dalam lagu Love Me Like There’s No Tomorrow, terdengar
suara hati seorang pria yang mulai merasa waktu mengecil di
hadapannya.
Namun takdir punya rencana lain.
Tahun 1984, Queen merilis The Works — album yang
mengembalikan semangat lama.
Lagu Radio Ga Ga menjadi anthem baru dunia modern.
Saat tampil di video klipnya, Freddie bertepuk tangan di udara
— gerakan itu kelak menjadi simbol abadi dari energi dan
koneksi antara dia dan jutaan penggemarnya.
Lalu datang tahun 1985.
Sebuah panggilan dari sejarah: Live Aid.
81
Bob Geldof mengundang Queen untuk tampil dalam konser
amal terbesar sepanjang masa, untuk menggalang dana bagi
korban kelaparan di Ethiopia.
Semula Freddie ragu — band mereka sedang renggang, dan ia
tak yakin apakah mereka masih relevan.
Namun ketika latihan dimulai di ruang studio kecil di London
Barat, sesuatu yang lama hilang kembali muncul: magnetisme,
tawa, dan semangat yang tak bisa dijelaskan.
Roger menghentak drum, Brian memainkan nada pertama
Bohemian Rhapsody, dan Freddie — oh, Freddie — berdiri di
depan mikrofon dengan senyum yang belum pernah sekhidmat
itu.
“Baiklah, darling,” katanya sambil menatap mereka satu per
satu, “mari kita tunjukkan pada dunia siapa kita sebenarnya.”
13 Juli 1985 – Wembley Stadium, London
82
Langit biru, udara panas, 72.000 penonton memenuhi stadion.
Siaran televisi menjangkau lebih dari satu setengah miliar orang
di seluruh dunia.
Freddie melangkah ke panggung dengan celana putih ketat dan
kaos tanpa lengan.
Tangannya menggenggam mikrofon setengah batang yang
legendaris.
Ia menatap lautan manusia dan tersenyum.
Lalu — tanpa aba-aba — piano pertama dari Bohemian
Rhapsody terdengar.
Dalam 20 menit, Freddie Mercury mengubah dunia.
Suara empat oktafnya menembus langit Wembley.
Gerakannya mengisi setiap inci panggung — liar, anggun, penuh
kendali.
Penonton mengikuti setiap perintahnya:
83
“Eee-o!”
Seribu suara membalas.
“Eee-o-o!”
Freddie tertawa kecil.
Ia baru saja mengubah konser amal menjadi ritual suci
persatuan manusia.
Ketika ia menyanyikan Radio Ga Ga, 72.000 pasang tangan
menepuk serempak di udara.
Dalam momen itu, tak ada perbedaan warna kulit, agama, atau
bangsa — hanya satu suara, satu irama, satu hati.
Dan di tengah semuanya berdiri seorang pria yang telah
menemukan kembali makna hidupnya.
Setelah turun panggung, Brian May menatapnya dengan mata
berkaca-kaca.
“Freddie,” katanya, “kau baru saja mencuri pertunjukan terbesar
dalam sejarah.”
84
Freddie tersenyum lelah, menatap langit yang mulai jingga.
“Tidak, darling,” katanya pelan. “Kita baru saja mengembalikan
nyawa kita.”
Namun di balik sorak-sorai dan kejayaan itu, Freddie mulai
merasakan sesuatu yang tak bisa ia abaikan lagi.
Tubuhnya sering lemah. Luka kecil tak kunjung sembuh.
Dokter menyarankan tes darah, tapi Freddie menundanya —
menolak menghadapi kebenaran yang ia takutkan.
Ia mulai menulis lagi, tapi kini dengan nada yang lebih lembut,
lebih reflektif.
Dalam lagu Who Wants to Live Forever, ia seakan berbicara
kepada dirinya sendiri: “There’s no time for us, there’s no place
for us… Who wants to live forever, when love must die?”
Freddie tahu bahwa waktu adalah sahabat sekaligus musuhnya.
Namun seperti yang selalu ia lakukan, ia memilih untuk
berdansa dengan nasib, bukan melawannya.
85
Ia berkata kepada sahabatnya, Mary Austin,
“Ketika semuanya berakhir, aku ingin dikenang bukan karena
aku mati muda, tapi karena aku hidup dengan sepenuh hati.”
Dan memang, malam itu di Wembley, Freddie Mercury tak
hanya tampil — ia menjadi keabadian.
Waktu yang Tersisa (1986–1991)
— “The show must go on.” — Freddie Mercury
London, 1986.
Ribuan orang kembali memenuhi stadion-stadion raksasa di
seluruh Eropa.
Queen memulai The Magic Tour — tur terbesar dan terakhir
mereka. Freddie, dengan jaket kuning ikonik dan mahkota di
kepala, memerintah panggung seperti seorang raja yang tahu
tahtanya akan segera ditinggalkan.
86
Namun di balik senyum dan tawa itu, ada rahasia yang hanya
diketahui segelintir orang.
Tubuh Freddie mulai melemah. Berat badannya menurun, dan
matanya sering tampak letih meski sorotnya masih membara di
atas panggung.
Di balik panggung, ia sering menatap tangannya sendiri yang
dulu menari bebas di atas piano — kini mulai gemetar.
Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon mulai merasakan
sesuatu yang tak mereka pahami sepenuhnya.
Tapi tak seorang pun bertanya.
Freddie tak ingin dikasihani. Ia hanya ingin bernyanyi.
“Aku tidak akan membuat hidupku menjadi tragedi publik,”
katanya suatu malam di belakang panggung.
“Musik adalah cara terbaikku untuk berbicara — dan aku akan
berbicara sampai napas terakhirku.”
87
1987 – Diagnosis
Di sebuah klinik di London, dokter memanggilnya pelan.
Tes darah telah kembali.
Freddie duduk diam, menatap lantai.
Ia tidak menangis.
Hanya hening.
Hening yang panjang.
Diagnosis itu adalah kalimat yang tak pernah ingin didengarnya:
AIDS.
Setelah meninggalkan ruangan itu, Freddie menatap langit
kelabu kota London.
Ia tahu, segalanya telah berubah.
Namun yang luar biasa dari dirinya —ialah bahwa ia tidak
menyerah.
Ia menutup diri dari media, berhenti tampil di depan publik, dan
memusatkan seluruh energinya pada satu hal: menciptakan
musik abadi.
88
“Aku tahu aku akan mati,” katanya kepada sahabatnya, Mary
Austin.
“Tapi sebelum itu terjadi, aku ingin memastikan bahwa setiap
orang di dunia masih bisa mendengarkanku… bahkan setelah
aku pergi.”
1988–1989 – Kebangkitan dari Senja
Meskipun kesehatannya terus menurun, Freddie tampil dalam
proyek solo bersama soprano Spanyol, Montserrat Caballé.
Dari kolaborasi itulah lahir mahakarya: “Barcelona.”
Lagu itu adalah pertemuan dua dunia — opera dan rock,
keanggunan klasik dan keberanian modern.
Ketika lagu itu pertama kali diputar, Montserrat memeluk
Freddie dan berkata,
“Kau bukan hanya penyanyi rock, Freddie. Kau adalah jiwa
teater yang terperangkap dalam tubuh manusia.”
89
Ia tersenyum, lemah tapi tulus.
“Dan teaterku belum berakhir, darling.”
Tahun 1989, Queen merilis album The Miracle.
Lagu-lagu seperti I Want It All dan Breakthru seolah berteriak
menantang kematian.
Namun di balik energi itu, lirik-liriknya mulai bernada spiritual
— ada pencarian makna, penerimaan, dan cinta yang tak lagi
fana.
1990 – Penghargaan Brit Awards
Ketika Queen menerima penghargaan Outstanding Contribution
to British Music, Freddie tampil di panggung dengan setelan
abu-abu.
Penonton bersorak, tapi banyak yang terkejut: tubuhnya jauh
lebih kurus.
Ia hanya berkata singkat ke mikrofon:
90
“Thank you... goodnight.”
Kata-kata sederhana, namun berat seperti batu nisan.
Hanya teman dekatnya yang tahu: itu mungkin ucapan publik
terakhirnya.
1991 – Akhir yang Abadi
Freddie nyaris tak bisa berjalan tanpa bantuan.
Namun semangatnya tetap tak tergoyahkan.
Di studio kecil di Montreux, Swiss, ia merekam lagu-lagu
terakhirnya dengan kekuatan yang tersisa.
Setiap take adalah perjuangan.
Setiap napas adalah keberanian.
Ketika merekam These Are the Days of Our Lives, ia
memandang kamera dan tersenyum lemah.
“I still love you,” katanya perlahan di akhir video klip itu.
Itu bukan sekadar dialog. Itu perpisahan.
91
Beberapa minggu kemudian, Freddie memanggil sahabatnya
dan menulis pernyataan resmi untuk diumumkan ke publik:
“Menanggapi spekulasi yang berkembang, saya ingin
menegaskan bahwa saya positif mengidap AIDS. Saya merasa
benar untuk menjaga informasi ini pribadi, demi melindungi
orang-orang di sekitar saya. Sekarang saatnya dunia saya tahu
— dan saya berharap semua orang bergabung dalam perjuangan
melawan penyakit ini.”
Pernyataan itu dirilis pada 23 November 1991.
Dan kurang dari 24 jam kemudian, Freddie Mercury
mengembuskan napas terakhirnya di rumahnya di Garden
Lodge, ditemani oleh Mary Austin dan beberapa sahabat.
Ia berumur 45 tahun.
Mary memegang tangannya dan berbisik,
“Kau sudah bebas sekarang, Freddie.”
92
Epilog: The Show Must Go On
Beberapa bulan sebelumnya, ketika kesehatannya semakin
menurun, Brian May memperdengarkan demo lagu The Show
Must Go On.
Ia khawatir Freddie terlalu lemah untuk menyanyikannya.
Namun Freddie hanya menatapnya tajam dan berkata,
“Aku akan menyanyikannya, darling — dan aku akan
memberimu suara yang bahkan kematian pun tak bisa
bungkam.”
Ia benar.
Lagu itu menjadi epitafnya —
sebuah pernyataan keberanian yang menembus waktu.
“Inside my heart is breaking,
my make-up may be flaking,
but my smile still stays on…”
Freddie Mercury pergi, tapi tidak pernah benar-benar hilang.
Ia meninggalkan dunia dengan keanggunan seorang seniman
93
sejati —yang hidup di panggung, mencintai tanpa batas, dan
mengubah penderitaan menjadi simfoni.
Hari ini, setiap kali Bohemian Rhapsody diputar di radio,
setiap kali jutaan orang di stadion menepukkan tangan untuk
Radio Ga Ga,
roh Freddie Mercury seakan masih ada di antara mereka —
tertawa, bernyanyi, dan memimpin dunia untuk hidup dengan
lebih berani.
Karena bagi Freddie, kematian bukanlah akhir —
melainkan encore abadi dari sebuah pertunjukan bernama
kehidupan.
Warisan yang Tidak Pernah Padam (1991–Selamanya)
— “You can kill the man, but you can’t kill the legend.” — Brian
May
94
London, 24 November 1991
Di luar rumah bergaya Georgian di Garden Lodge, ribuan
penggemar berkumpul membawa lilin dan bunga.
Hujan turun pelan, seolah langit ikut berduka.
Di antara bisik doa dan lagu-lagu Queen yang diputar lirih,
seseorang menulis di dinding batu:
“Freddie, you showed us how to live before we die.”
Mary Austin, dengan mata sembab, memenuhi janji terakhir
Freddie: ia memakamkan abu sang legenda di tempat rahasia
yang hingga kini tak pernah diketahui publik.
Ia menutup pintu rumah itu untuk dunia — dan menjadikannya
tempat suci kenangan.
Namun justru setelah kematiannya, Freddie hidup lebih besar
dari sebelumnya.
95
1992 – Wembley Stadium, Sekali Lagi
Beberapa bulan setelah kepergiannya, tiga sahabatnya — Brian
May, Roger Taylor, dan John Deacon — menggelar “The
Freddie Mercury Tribute Concert for AIDS Awareness.”
Tanggalnya: 20 April 1992.
Tempatnya: stadion Wembley, di mana Freddie dulu
memerintah dunia.
Hari itu, 72.000 penonton kembali memenuhi stadion, tapi kali
ini tanpa sosok sang raja.
Di atas panggung tampil sederet bintang:
David Bowie, Elton John, George Michael, Annie Lennox,
Metallica, Def Leppard, dan banyak lagi.
Mereka semua datang untuk satu alasan: menghormati Freddie
dan melawan AIDS.
David Bowie berlutut dan berdoa di tengah panggung.
96
George Michael menyanyikan Somebody to Love dengan vokal
yang begitu kuat hingga membuat banyak orang menangis.
Di layar besar, wajah Freddie muncul — tersenyum, seperti
dulu.
Dan untuk sesaat, semua orang di stadion itu percaya bahwa
jiwanya masih di sana.
Konser itu menjadi salah satu acara musik terbesar sepanjang
sejarah —dan melahirkan The Mercury Phoenix Trust,
yayasan amal global yang hingga kini telah mendanai lebih dari
seribu proyek melawan HIV/AIDS di seluruh dunia.
Freddie, bahkan setelah kematiannya, tetap menyelamatkan
nyawa.
Warisan di Abad Baru
Waktu berlalu. Dunia berubah.
Namun musik Queen tidak pernah pudar — malah menjadi ikon
lintas generasi.
97
Lagu We Will Rock You dan We Are the Champions
diputar di hampir setiap stadion olahraga di dunia.
Bohemian Rhapsody menjadi satu-satunya lagu dari
tahun 1970-an yang dua kali menempati puncak tangga
lagu Inggris — pertama kali pada 1975, dan lagi pada
1991, setelah kematian Freddie.
Pada 2018, film Bohemian Rhapsody dirilis, dengan
Rami Malek memerankan Freddie Mercury dan
memenangkan Oscar untuk Aktor Terbaik.
Setelah menonton film itu, banyak generasi muda berkata,
“Aku baru tahu siapa dia, tapi seolah aku sudah mengenalnya
sejak dulu.”
Itulah kekuatan Freddie:
Ia tidak hanya menyanyikan lagu —ia menghidupi setiap kata.
Freddie di Mata Dunia
Para musisi legendaris menulis tentang dirinya:
98
Elton John menyebutnya “salah satu manusia paling baik
dan paling berani yang pernah hidup.”
David Bowie berkata, “Dia membuat panggung menjadi
kerajaan kecilnya sendiri.”
Montserrat Caballé menulis, “Freddie adalah nyanyian
itu sendiri. Ia tidak butuh dunia opera — dunia opera
yang datang kepadanya.”
Dan Brian May, dalam salah satu wawancara terakhirnya
tentang Freddie, berkata:
“Kami kehilangan sahabat, tapi kami tidak kehilangan
semangatnya. Kadang-kadang ketika aku bermain gitar, aku
masih bisa mendengar suaranya tertawa di ruang rekaman.
Freddie tidak pernah pergi. Ia hanya berganti bentuk.”
Warisan Kemanusiaan
Lebih dari tiga dekade setelah kematiannya, warisan Freddie
tidak hanya musikal — ia juga simbol kebebasan dan
keberanian untuk menjadi diri sendiri.
99
Di era ketika banyak orang takut berbicara tentang HIV dan
orientasi seksual, Freddie memilih untuk tidak membela diri —
tetapi menginspirasi.
Ia tak pernah menjadikan identitasnya sebagai isu,
karena baginya, cinta adalah hal yang universal.
“Aku tidak akan menjadi juru bicara apa pun,” katanya.
“Aku hanya ingin menjadi seseorang yang mencintai dan
dicintai tanpa rasa takut.”
Kata-kata itu menjadi semangat bagi gerakan kemanusiaan
modern — dari hak-hak LGBT hingga kampanye kesadaran
AIDS di seluruh dunia.
Abadi di Langit Musik
Setiap tahun, ratusan musisi dari berbagai genre menyanyikan
lagu-lagu Queen.
Konser “Queen + Adam Lambert” membawa kembali lagu-lagu
itu ke panggung dunia — dari Tokyo hingga Buenos Aires —
100
membuktikan bahwa energi Freddie masih memimpin dari
kejauhan.
Dan mungkin, di suatu tempat di antara bintang-bintang, Freddie
sedang tersenyum, menyaksikan dunia bernyanyi:
“Is this the real life?
Is this just fantasy?”
Lalu ia menjawab pelan,
“No, darling. This is immortality.”
Suara dari Keabadian
Freddie Mercury meninggalkan dunia dengan tubuh fana,
namun jiwanya hidup dalam setiap nada yang pernah ia
nyanyikan.
Ia mengajarkan pada dunia bahwa seni sejati tidak pernah takut
pada kematian, karena seni — seperti cinta — adalah bentuk
kehidupan yang paling murni.
101
“I won’t be a rock star. I will be a legend.”
— Freddie Mercury, 1974
Dan ia benar.
Ia tidak hanya menjadi legenda.
Ia menjadi simbol abadi tentang keberanian untuk hidup —
dan mencintai — tanpa batas.
Sejarah dan Fakta Autentik
Sebagai catatan untuk pembaca dan peneliti seni.
1. Asal Usul dan Masa Kecil
Nama lahir: Farrokh Bulsara
Lahir: 5 September 1946, di Zanzibar (kini Tanzania)
Orang tua: Bomi dan Jer Bulsara, penganut
Zoroastrianisme dari India (keturunan Parsi)
Masa kecil: Dibesarkan di India, bersekolah di St.
Peter’s School, Panchgani, di mana ia pertama kali
menggunakan nama “Freddie.”
Keluarga pindah ke Inggris setelah Revolusi Zanzibar
tahun 1964. Mereka menetap di Feltham, Middlesex.
102
Catatan: Pendidikannya di sekolah Inggris-India yang disiplin
dan multikultural membentuk pandangan hidupnya —
keberanian untuk menolak batas identitas, agama, dan ras.
2. Awal Karier Musik
Tahun 1969–1970, Freddie bergabung dalam beberapa
band kecil seperti Ibex dan Sour Milk Sea.
John Deacon bergabung dengan Queen pada 1 Maret
1971, setelah audisi. Pada Desember 1970, Queen masih
trio (Freddie, Brian, Roger) setelah berganti nama dari
Smile. John adalah bassis
Nama “Queen” dipilih oleh Freddie sendiri — ia ingin
sesuatu yang megah, ambigu, dan berani.
Logo Queen crest juga dirancang oleh Freddie,
menggambarkan zodiak anggota band: dua singa (Leo),
satu kepiting (Cancer), dan dua peri (Virgo).
3. Era Keemasan Queen (1973–1980)
Album debut Queen dirilis tahun 1973, namun baru lewat Sheer
Heart Attack (1974) dan A Night at the Opera (1975) mereka
mendunia.
103
Lagu Bohemian Rhapsody — dengan struktur operatik dan tanpa
chorus — menandai revolusi dalam sejarah musik rock.
Fakta penting:
Durasi lagu (6 menit) awalnya ditolak oleh banyak
stasiun radio.
Video klipnya menjadi pionir video musik modern.
Lagu itu bertahan di puncak tangga lagu Inggris selama
9 minggu berturut-turut.
Freddie tidak hanya penyanyi; ia juga arsitek musikal dan
teaterikal. Ia menciptakan karakter panggung yang flamboyan,
namun penuh kendali artistik — perpaduan antara dionisisme
dan kedisiplinan musikal klasik.
4. Krisis dan Eksperimen (1981–1984)
Pada era ini, Queen mulai bereksperimen dengan funk, disco,
dan pop elektronik. Album Hot Space (1982) menunjukkan
pengaruh musik dansa, tetapi menuai kritik dari sebagian
penggemar rock tradisional.
104
Namun dari eksperimen itulah muncul gaya khas Freddie:
ekspresi total tanpa takut dikritik.
Filosofinya sederhana:
“I want to break free.”
Dan ia memang melakukannya — dalam musik maupun
kehidupan pribadi.
5. Live Aid (1985)
Tanggal: 13 Juli 1985
Tempat: Wembley Stadium, London
Pertunjukan Queen di Live Aid secara luas diakui sebagai
penampilan panggung terbaik sepanjang sejarah musik
modern.
Dalam survei majalah Rolling Stone dan BBC, penampilan
Freddie Mercury di Live Aid dinobatkan sebagai “The Greatest
Live Performance of All Time.”
105
6. Diagnosis dan Tahun-Tahun Terakhir (1986–1991)
Freddie didiagnosis mengidap AIDS pada 1987.
Ia merahasiakan penyakitnya dari publik dan hanya
memberi tahu lingkaran kecil sahabatnya.
Selama masa itu, ia tetap bekerja di studio, merekam
lagu-lagu yang kemudian masuk dalam album The
Miracle (1989) dan Innuendo (1991).
Lagu “The Show Must Go On”, yang dirilis pada Oktober
1991, direkam saat Freddie hampir tak mampu berdiri.
Namun vokalnya justru terdengar paling kuat — simbol
perlawanan terhadap kematian.
7. Wafat dan Pengaruh Global
Tanggal wafat: 24 November 1991
Tempat: Garden Lodge, Kensington, London
Penyebab: Bronchopneumonia akibat komplikasi AIDS
106
Freddie dikremasi di West London Crematorium .
Mary Austin, sahabat dan mantan kekasihnya, menjaga abu dan
lokasi makamnya tetap rahasia hingga kini.
Freddie Mercury dikremasi di
West London Crematorium
pada 27 November 1991, tiga hari setelah kematiannya.
Beberapa detail mengenai kremasi dan abu jenazahnya:
Upacara pemakaman pribadinya dihadiri oleh sekitar 35
orang, termasuk anggota band Queen, keluarga, dan
teman-teman dekatnya.
Sesuai tradisi Zoroastrian, pemakamannya dipimpin
oleh seorang pendeta Zoroastrian.
Abu jenazah Mercury dipercayakan kepada mantan
kekasihnya, Mary Austin.
Lokasi persis abu tersebut disebar tetap dirahasiakan
oleh Austin, sesuai dengan permintaan terakhir
Mercury.
West London Crematorium sendiri terletak di dalam kompleks
Pemakaman Kensal Green.
107
Freddie Mercury meninggal 24 November 1991, karena
bronkopneumonia akibat komplikasi AIDS
Setelah kematiannya:
Queen mendirikan The Mercury Phoenix Trust (1992)
untuk membantu riset dan edukasi HIV/AIDS.
Hingga kini yayasan itu aktif di lebih dari 50 negara.
Musik Queen terus menjual lebih dari 300 juta kopi
album di seluruh dunia.
8. Pengaruh Budaya dan Filosofi Freddie Mercury
Freddie mengubah pandangan dunia terhadap identitas,
ekspresi, dan seni panggung.
Ia menolak dikotak-kotakkan — bukan hanya dalam hal gender
dan orientasi, tetapi dalam batasan artistik.
Ia sering berkata: “I’m just me, darling — and that’s enough.”
108
Dalam konteks budaya, Freddie menjadi simbol perlawanan
terhadap stigma — baik sosial maupun medis.
Ketika AIDS masih dianggap kutukan, ia memilih diam, bukan
karena takut, tapi karena ingin dunia mengingatnya karena
musik, bukan penyakit.
9. Tafsir Sastra
Bagi para penulis dan pemikir seni, Freddie Mercury sering
dibandingkan dengan tokoh-tokoh romantik seperti Oscar
Wilde, Lord Byron, dan Jim Morrison — seniman yang
menembus batas antara keindahan dan kehancuran.
Namun berbeda dengan mereka, Freddie membawa keberanian
yang lembut:
ia mencintai kehidupan, meski tahu hidupnya akan singkat.
Dalam hal ini, ia mewakili filosofi eksistensial yang sejajar
dengan Nietzsche dan Camus — bahwa hidup menjadi indah
justru karena fana.
109
10. Kesimpulan Historis
Freddie Mercury bukan sekadar penyanyi rock.
Ia adalah:
Revolusioner panggung,
Penulis lirik spiritual,
Pionir identitas artistik non-biner,
dan simbol kemanusiaan yang universal.
Ia mengubah penderitaan menjadi estetika, dan keterbatasan
menjadi nyanyian pembebasan. Ia merupakan seorang artis
multidimensi yang meninggalkan warisan yang mendalam di
luar musiknya. Berikut penjabaran lebih lanjut mengenai setiap
poin yang Anda sebutkan:
Revolusioner panggung
Kehadiran yang memukau : Freddie dikenal karena
kehadirannya yang luar biasa karismatik dan teatrikal di atas
panggung. Ia memiliki kemampuan langka untuk membuat
110
setiap penggemar di stadion merasa terhubung secara pribadi
dengannya.
Penguasaan panggung: Pertunjukan Freddie bukanlah sekadar
konser; ia adalah pengalaman yang dramatis, penuh humor, dan
emosi. Dengan gerakan, postur, dan interaksi langsung dengan
penonton, ia secara sempurna mengorkestrasi emosi penonton.
Ikon fesyen: Kostumnya yang flamboyan, mulai dari jaket
militer kuning yang ikonis di Wembley hingga pakaian ketat
yang berani, adalah bagian integral dari pertunjukannya
Kedalaman emosional: Lirik lagu-lagunya, seperti pada
"Bohemian Rhapsody", kerap kali menyampaikan kerentanan,
kemenangan, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang
dalam. Lagu-lagu Queen melampaui musik rock biasa dan
menyentuh tema-tema universal.
Simbol kemanusiaan yang universal
Kontribusi untuk kesadaran AIDS: Freddie didiagnosis
AIDS pada tahun 1987. Ia mengumumkan diagnosisnya sehari
sebelum meninggal pada tahun 1991, dan kata-kata terakhirnya
yang meminta semua orang untuk bergabung dalam perang
melawan penyakit ini membuat kesan yang mendalam.
111
112
WE WILL ROCK THE WORLD —
Kisah Sejarah Band QUEEN
Anak-Anak Kosmos
London, tahun 1970.
Langit sore berwarna abu-biru, seolah kota itu baru saja selesai
menghela napas panjang setelah satu dekade penuh gegap
gempita musik.
113
Di jalanan Soho dan Kensington, gema The Beatles mulai
meredup, sementara semangat baru rock progresif dan glam
mulai mencari wujud. Di antara kafe, klub kecil, dan studio
sempit, lahirlah sebuah pertemuan yang kelak mengubah sejarah
musik dunia.
Di ruang sempit kamar asrama di Kensington, seorang
mahasiswa seni grafis berdiri di depan cermin.
Rambutnya hitam, matanya tajam, dan senyumnya… misterius.
Namanya Farrokh Bulsara, anak imigran dari Zanzibar yang
lebih dikenal oleh teman-temannya dengan nama panggilan
Freddie.
Dia memandangi dirinya lama-lama.
Dalam hatinya, ia tahu dunia belum siap untuk seseorang seperti
dirinya — seorang anak Parsis dari Afrika Timur, dengan mimpi
menjadi bintang di negeri yang bahkan belum bisa melafalkan
nama aslinya dengan benar.
114
Namun Freddie punya sesuatu yang tak dimiliki siapa pun:
keyakinan bahwa seni dan suara bisa menembus segala batas
sosial, ras, bahkan waktu.
“Suatu hari, aku akan punya panggung sendiri,” gumamnya
lirih.
“Dan dunia akan menyanyikan lagu-lagu kita.”
Sementara itu, di tempat lain di London Barat, seorang
mahasiswa fisika dari Imperial College London sedang memutar
baut pada gitar buatannya sendiri.
Brian Harold May, tinggi, berambut keriting tebal, dan
memiliki cara bicara halus yang khas.
Gitar yang ia rakit bersama ayahnya dari kayu meja api tua dan
motor sepeda itu diberi nama Red Special — bukan sekadar alat
musik, tapi bagian dari jiwanya. Nada yang keluar dari gitar itu
bukan sekadar bunyi, tapi gema sains dan emosi: eksperimen
gelombang suara dan cinta pada harmoni.
115
Di kampus yang sama, Roger Taylor, mahasiswa kedokteran
gigi yang lebih sering memukul drum daripada belajar anatomi,
sedang mengutak-atik set perkusinya. Roger punya pesona
berbeda: berapi-api, cepat marah, tapi juga karismatik.
Ia pernah berkata pada Brian,
“Kita ini ilmuwan yang terjebak dalam tubuh musisi. Dunia akan
menyesal kalau kita berhenti sekarang.”
Suatu malam, di ruang latihan bawah tanah di Imperial College,
Freddie datang menonton band bernama Smile, yang digawangi
Brian dan Roger.
Freddie terpaku. Ia tidak sekadar mendengar musik; ia melihat
potensi sebuah kerajaan bunyi.
“Band kalian bagus,” kata Freddie setelah pertunjukan usai.
“Tapi kalian belum benar-benar… meledak.”
Roger menatapnya sinis. “Oh ya? Dan kau tahu bagaimana
caranya?”
116
Freddie tersenyum, menatap mereka dengan mata yang bersinar
penuh keyakinan.
“Dengan sedikit teater, sedikit gila, dan banyak cinta pada
keabadian.”
Kalimat itu menggantung di udara.
Tak ada yang menjawab. Tapi di malam itu, sejarah musik dunia
bergeser sedikit—hanya sedikit—menuju takdirnya.
John Deacon bergabung dengan Queen pada 1 Maret 1971,
setelah audisi.
Pada Desember 1970, Queen masih trio (Freddie, Brian, Roger)
setelah berganti nama dari Smile. John adalah bassis. Queen
baru lengkap formasi klasiknya di 1971
Mereka merasa nama. “Smile” terasa terlalu kecil.
Freddie lalu mengusulkan sesuatu yang berani:
“Queen.”
117
Roger sempat menolak, menganggap nama itu terlalu feminin.
Tapi Freddie menatapnya penuh makna.
“Itu nama yang mulia, elegan, universal. ‘Queen’ bukan hanya
wanita, tapi simbol kekuasaan. Musik kita harus kerajaan yang
terbuka untuk siapa pun.”
Dan begitulah, Queen lahir — bukan sekadar band, tapi
manifestasi impian dari empat orang yang datang dari dunia
berbeda: seorang anak imigran seni, ilmuwan bintang, calon
dokter gigi, dan insinyur muda pendiam.
Mereka tak tahu saat itu bahwa dunia sedang menanti mereka
untuk menulis bab baru dalam sejarah rock.
Bahwa suatu hari, nama Queen akan disandingkan dengan
Beethoven, Shakespeare, dan para legenda yang hidup
melampaui waktu.
London, 1971. Di ruang latihan yang pengap, mereka mulai
menulis lagu-lagu pertama mereka.
118
Freddie menulis My Fairy King, Brian menyusun Keep Yourself
Alive, dan Roger menulis Modern Times Rock ’n’ Roll.
Mereka tidak sekadar menciptakan musik — mereka sedang
menciptakan semesta baru.
Di sela latihan, Freddie menggambar logo band: The Queen
Crest — perpaduan simbol zodiak mereka, dikelilingi huruf “Q”
besar dan mahkota, seperti lambang kerajaan mistik.
Ia berkata, “Setiap raja butuh lambang. Ini milik kita.”
Dan di situlah, di antara kabel listrik, keringat, dan mimpi,
mereka bersumpah:
“Kita tidak hanya akan menjadi terkenal. Kita akan
menjadi abadi.”
Api di Trident Studios — Kelahiran Suara
Abadi
London, awal 1972.
Kota itu masih diselimuti debu industrial dan aroma bir murahan
di setiap pub.
119
Tapi di antara suara lalu lintas dan denting logam pabrik, empat
anak muda mulai menulis sejarah. Mereka menamakan diri
Queen, dan mimpi mereka kini menuntut bentuk nyata: sebuah
rekaman.
1. Mencari Pintu Industri
Brian May dan Roger Taylor sudah memiliki sedikit
pengalaman tampil lewat band sebelumnya, Smile. Tapi bagi
Freddie Bulsara — kini mulai dikenal dengan nama barunya,
Freddie Mercury — semuanya baru dimulai. Ia telah
mengubah identitasnya: dari Farrokh Bulsara menjadi figur
flamboyan dengan visi artistik tak terbendung.
Masalahnya satu: industri musik Inggris saat itu keras dan
skeptis. Tahun-tahun awal 1970-an dikuasai oleh Led Zeppelin,
Deep Purple, Yes, dan Pink Floyd. Label besar enggan
mengambil risiko untuk band yang belum punya nama —
apalagi band dengan frontman eksentrik keturunan Asia-Afrika.
Namun tak ada yang menghentikan me reka.
Mereka tampil di klub kecil, kampus, bahkan acara universitas.
Lagu-lagu seperti Keep Yourself Alive dan Liar mulai terbentuk
120
— perpaduan antara rock keras, harmoni berlapis, dan sentuhan
operatik yang belum pernah ada sebelumnya.
Brian berkata pada Freddie suatu malam, “Musik kita terlalu
rumit untuk radio.”
Freddie menjawab cepat, dengan sorot mata percaya diri,
“Kalau begitu, kita ubah radionya.”
2. Trident Studios: Laboratorium Suara
Pertemuan penting terjadi ketika Queen diberi izin
menggunakan waktu kosong di Trident Studios, London —
studio bergengsi yang pernah digunakan oleh The Beatles dan
David Bowie.
Melalui koneksi di Imperial College dan manajer awal mereka,
John Anthony, Queen bisa merekam di waktu malam, saat
studio tidak digunakan oleh artis besar.
Di ruangan kedap suara itu, mereka bekerja hampir tanpa tidur.
Freddie menghabiskan waktu berjam-jam menyempurnakan
vokal, mengulang satu baris hingga dua puluh kali.
121
Brian May merancang suara gitarnya dengan teknik multi-
tracking — merekam lapisan demi lapisan hingga tercipta
harmoni tiga dimensi yang seolah orkestra.
Roger Taylor menabuh drum dengan energi eksplosif, sementara
John Deacon — yang bergabung penuh tahun 1971 — menulis
garis bass dengan keseimbangan luar biasa.
Mereka bukan sekadar merekam lagu. Mereka sedang
menciptakan identitas sonik yang belum pernah ada dalam
sejarah rock.
Satu malam, Freddie mendengarkan hasil mixing pertama Keep
Yourself Alive. Ia tersenyum lebar dan berkata,
“Dengar, itu bukan cuma gitar. Itu nyala api.”
3. Queen I: Lahirnya Sebuah Kerajaan
Tahun 1973, setelah hampir dua tahun berjuang di bawah tanah,
Queen akhirnya menandatangani kontrak dengan EMI Records
dan Elektra Records untuk distribusi Amerika. Album pertama
mereka diberi judul sederhana: "Queen".
122
Rilisan ini bukan sekadar debut; ia adalah deklarasi.
Track seperti Doing All Right, Great King Rat, My Fairy King,
dan Liar memamerkan dunia imajinatif mereka — campuran
antara teater, fantasi, dan filsafat.
Freddie menggambarkan album itu sebagai “gabungan dari Jimi
Hendrix, Led Zeppelin, dan peri-peri dari dunia dongeng.”
Kritikus saat itu terpecah: beberapa menyebut mereka terlalu
ambisius, yang lain menyadari kejeniusan tersembunyi di balik
lapisan harmoni dan aransemen kompleks.
Tetapi satu hal jelas: Queen tidak mengikuti arus. Mereka
menciptakan arusnya sendiri.
4. Konser Pertama dan Ujian Dunia Nyata
Pada 13 Juli 1973, Queen tampil di Golders Green Hippodrome
— salah satu konser besar pertama mereka setelah perilisan
album.
Penonton belum banyak, namun energi di atas panggung luar
biasa. Freddie mengenakan pakaian satin putih, penuh
keanggunan dan tantangan.
123
Suara Brian May menggema, Roger Taylor berteriak di
belakang drum, dan John Deacon menatap ke arah penonton
dengan ketenangan khasnya.
Saat lagu Liar dimainkan, Freddie menutup mata, lalu berteriak:
“I am the Lord of your lies!”
Dan untuk sesaat, seolah semua yang hadir tahu — sesuatu yang
besar baru saja lahir.
Mereka mulai tur kecil di seluruh Inggris. Mobil van tua mereka
membawa peralatan seadanya dari kota ke kota. Tidur di motel
murah, makan roti dingin, dan mencuci pakaian di wastafel
kamar mandi. Tapi semangat itu tidak pernah padam.
Brian menulis surat untuk ibunya pada akhir 1973:
“Kami tidak punya banyak uang, tapi kami punya keyakinan.
Suatu hari nanti, orang akan tahu siapa Queen.”
5. Cahaya yang Mulai Menyala
Di akhir 1973, Queen I belum menjadi hits besar. Namun radio
mulai melirik. Stasiun BBC menayangkan beberapa lagu
124
mereka, terutama Keep Yourself Alive. Perlahan, nama Queen
mulai terdengar di lingkaran musik London.
Di studio Trident, Freddie menatap langit malam lewat jendela
kaca besar.
“Aku tahu ini baru awal,” katanya pelan kepada Brian.
“Kita akan membuat sesuatu yang lebih besar dari hidup ini.
Lagu yang akan dikenang ketika kita sudah tiada.”
Brian menjawab, sambil menatap gitar Red Special-nya:
“Dan itu baru mulai terbakar, Fred.”
Api kecil itu kelak menjadi ledakan global — Bohemian
Rhapsody, We Will Rock You, Somebody to Love, Radio Ga Ga
— tapi malam itu, di Trident Studios, mereka baru menyalakan
korek pertama dari peradaban musik yang baru.
Bohemian Begins — Eksperimen di
Tengah Kekacauan Dunia
London, 1974.
125
Inggris sedang tidak baik-baik saja.
Krisis energi melanda, inflasi menggigit, dan pemadaman listrik
bergilir menjadi rutinitas.
Di sudut-sudut kota, para buruh berbaris menuntut upah layak;
sementara anak muda berambut panjang, berpakaian kulit, dan
hidup dari konser ke konser, mencari makna baru di tengah
kekosongan zaman pasca-Beatles.
Di tengah masa suram itu, empat pria muda bernama Freddie
Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon
menolak tunduk pada realitas. Mereka percaya musik bisa
menjadi kerajaan baru — kerajaan imajinasi, tempat energi,
fantasi, dan keindahan bertemu dalam satu simfoni.
1. Queen II — Dunia Gelap dan Dunia Terang
Awal 1974, Queen kembali ke Trident Studios.
Kali ini, mereka tidak ingin sekadar dikenal. Mereka ingin
menciptakan mitologi.
126
Album yang sedang mereka kerjakan diberi judul "Queen II"
— bukan kelanjutan biasa, melainkan pernyataan artistik.
Freddie mengonsepkan sisi gelap (Side Black) dan sisi terang
(Side White) dari album, mewakili dualitas hidup dan jiwanya.
Ia menulis lagu seperti Ogre Battle, The Fairy Feller’s Master-
Stroke, dan The March of the Black Queen — campuran rock,
opera, mitologi, dan drama Shakespearean.
Brian May menulis Father to Son dan White Queen (As It
Began), terinspirasi dari puisi dan filsafat klasik.
Ia berkata dalam satu wawancara kemudian:
“Freddie membawa drama ke musik kami, sementara aku
mencoba membawa keseimbangan dan logika. Queen II adalah
pernikahan keduanya.”
Album itu dirilis pada 8 Maret 1974.
Kritikus kebingungan: sebagian menyebutnya terlalu aneh dan
teatrikal, sementara penggemar muda menyambutnya sebagai
revolusi.
Sampul albumnya — foto hitam dengan bayangan wajah
keempat anggota di bawah pencahayaan minimal — menjadi
127
ikon visual abadi Queen, yang kelak dihidupkan kembali
dalam video Bohemian Rhapsody.
2. Sheer Heart Attack — Kegilaan yang Terkontrol
Setelah tur panjang ke Amerika, Brian May jatuh sakit — infeksi
hepatitis yang hampir membuatnya keluar dari tur.
Namun ketika ia pulih, mereka kembali ke studio untuk
merekam album berikutnya: Sheer Heart Attack (1974).
Inilah album yang membuat Queen benar-benar meledak di
dunia internasional.
Freddie menulis Killer Queen, lagu elegan dengan piano,
harmonisasi kompleks, dan lirik misterius tentang pelacur
bangsawan. Lagu itu menjadi hit besar, masuk tangga lagu
Inggris dan Amerika.
“Itu lagu tentang kelas, kekuasaan, dan seksualitas,” ujar
Freddie dalam wawancara 1975.
“Tapi di balik itu, aku hanya ingin menciptakan sesuatu yang
indah.”
128
Queen kini tampil di televisi, mulai tampil glamor: kostum
metalik, riasan tebal, dan koreografi panggung yang belum
pernah dilihat dunia rock sebelumnya.
Freddie Mercury berubah menjadi ikon panggung —
karismatik, liar, tapi juga sangat terkontrol.
Ia bukan sekadar penyanyi; ia adalah aktor di altar musik.
Roger Taylor mengenang,
“Di atas panggung, dia bukan Freddie. Dia raja. Kami hanya
pengiring takhta.”
3. Latar Inggris: Antara Krisis dan Revolusi Musik
Tahun 1974–1975, Inggris penuh gejolak. Pemerintahan Edward
Heath jatuh, partai buruh naik, listrik padam dua hari seminggu.
Tapi di pub-pub kecil dan panggung universitas, musik justru
menjadi bentuk pelarian kolektif.
Punk mulai tumbuh di bawah tanah — The Sex Pistols baru akan
muncul sebentar lagi. Tapi Queen berada di sisi lain spektrum:
kemegahan, bukan pemberontakan kasar.
129
Di saat dunia ingin kesederhanaan, mereka memberi
kemegahan.
Di saat ekonomi runtuh, mereka menjual mimpi.
Brian May menulis di buku hariannya,
“Semua orang ingin realistis. Tapi tugas kami adalah membuat
mimpi terasa nyata.”
4. Bohemian Rhapsody: Mimpi yang Mustahil
Awal 1975.
Freddie membawa lembaran musik ke studio dan berkata kepada
Brian,
“Aku punya lagu aneh. Ada bagian balada, ada opera, dan sedikit
rock di akhir. Aku tidak tahu apakah ini bisa berhasil.”
Lagu itu berjudul Bohemian Rhapsody.
Di atas kertas, lagu itu gila: enam menit tanpa chorus, dengan
struktur tidak lazim — balada, paduan suara opera, solo gitar,
hingga klimaks rock.
130
EMI awalnya menolak merilisnya sebagai single,
menganggapnya terlalu panjang untuk radio. Tapi Freddie
menolak dipotong.
“Kalau dipotong, lagu ini mati,” katanya.
Rekaman dilakukan di Rockfield Studios, Wales, selama tiga
minggu penuh.
Mereka menghabiskan ratusan kali overdub vokal — hingga pita
rekaman hampir transparan karena terlalu banyak lapisan suara.
Freddie, Brian, dan Roger menyanyikan paduan suara opera
berjam-jam tanpa lelah: “Galileo! Figaro! Magnifico-o-o!”
Ketika sesi selesai, Freddie memutar hasil akhirnya di studio.
Semua terdiam. Tidak ada yang berani berbicara.
Brian akhirnya berkata pelan,
“Fred, kau baru saja membuat sesuatu yang tidak akan mati.”
5. Kelahiran Keabadian
Bohemian Rhapsody dirilis pada 31 Oktober 1975.
Awalnya, banyak yang menganggapnya eksperimen gila.
131
Tapi ketika stasiun radio BBC memutarnya penuh tanpa
dipotong, publik jatuh cinta.
Lagu itu menduduki puncak tangga lagu Inggris selama 9
minggu berturut-turut, menjadi fenomena global, dan
mengubah sejarah musik selamanya.
Video klipnya — hanya direkam dalam waktu empat jam dengan
biaya murah — menjadi video musik modern pertama di
dunia.
Tanpa disadari, Queen tidak hanya membuat lagu, tetapi juga
menemukan era baru musik visual.
Freddie menulis dalam catatan pribadinya:
“Aku ingin membuat sesuatu yang lebih besar dari rock —
sesuatu yang bisa hidup selamanya. Dan malam ini, mungkin
aku sudah melakukannya.”
God Save the Queen — Kejayaan, Konflik, dan Ledakan Dunia
1. Tahun Ketika Dunia Bertekuk Lutut
132
London, 1976.
Ketika Bohemian Rhapsody masih bergema di radio-radio,
Queen telah berubah dari band eksperimental menjadi kekuatan
global.
Freddie Mercury, dengan mantel putih dan gerakan
panggungnya yang teatrikal, kini adalah ikon sejati glam rock.
Brian May menjadi legenda gitar dengan suara unik dari Red
Special-nya.
Roger Taylor dan John Deacon membentuk fondasi ritme paling
solid di dunia rock.
Tapi di balik sorotan lampu, mereka mulai merasakan tekanan.
Ketenaran membawa uang, dan uang membawa masalah:
kontrak rumit, pajak besar, dan rasa kehilangan arah di tengah
kekaguman dunia.
Namun Freddie punya prinsip sederhana:
“Kalau dunia memberimu mahkota, pakailah dengan gaya.”
133
Dan dengan gaya itulah Queen menciptakan mahakarya
berikutnya:
A Night at the Opera (1975) — dinamai dari film komedi Marx
Brothers, berisi eksplorasi musik paling ambisius dalam sejarah
rock.
Album itu bukan hanya Bohemian Rhapsody. Ada Love of My
Life, yang ditulis Freddie untuk kekasihnya Mary Austin; ada
’39, balada sains-fiksi karya Brian May; dan The Prophet’s
Song, lagu panjang dengan harmoni kompleks.
Setiap nada dirancang seolah menjadi bagian dari simfoni
surgawi.
Kritikus majalah Rolling Stone menulis:
“Queen bukan sekadar band rock. Mereka adalah orkestra yang
terjebak di dalam tubuh empat orang gila.”
Album ini membawa mereka ke puncak dunia — konser besar,
penghargaan, dan status baru: Raja Glam Rock Inggris.
134
2. A Day at the Races — Menyanyikan Kebebasan
Setahun kemudian, Queen meluncurkan album A Day at the
Races (1976), masih terinspirasi film Marx Brothers.
Kini mereka sepenuhnya mandiri, memproduksi sendiri album
tersebut tanpa campur tangan label.
Lagu Somebody to Love menjadi sorotan — Freddie menulisnya
terinspirasi dari Aretha Franklin dan gospel Amerika.
Ia ingin suara yang seperti doa, bukan hanya lagu cinta.
Saat merekam, Freddie mengatur sendiri setiap harmoni vokal.
Dalam sesi itu, ia berkata kepada Roger:
“Kau harus membuat orang percaya bahwa cinta bisa
menyembuhkan — bahkan kalau kau sendiri sudah tidak
percaya.”
Lagu itu menggema di seluruh dunia. Dan untuk pertama
kalinya, publik melihat Freddie bukan hanya sebagai penyanyi
flamboyan, tetapi juga penyair kesepian di balik cahaya.
135
Namun di saat Queen mencapai puncak, gelombang baru
muncul di Inggris: Punk Rock.
The Sex Pistols muncul dengan lagu God Save the Queen
(1977), menentang monarki dan menolak kemegahan musik
seperti Queen.
Bagi banyak anak muda, Queen dianggap “tua, borjuis, dan
berlebihan.”
Namun Freddie hanya tertawa.
“Mereka bisa menulis tentang ratu,” katanya. “Tapi kami adalah
Queen yang asli.”
3. News of the World — Perlawanan dengan Irama
Tahun 1977, Queen menjawab kritik itu dengan cara paling
ironis: mereka menciptakan dua lagu yang justru menyatukan
dunia — We Will Rock You dan We Are the Champions.
136
Brian May menulis We Will Rock You setelah melihat penonton
di konser Queen di Birmingham menyanyi bersama dan
menginjak kaki serempak.
“Aku ingin menciptakan lagu yang membuat penonton menjadi
bagian dari band,” katanya.
Hasilnya: dua ketukan kaki, satu tepukan tangan — ritme paling
ikonik dalam sejarah musik.
Sementara We Are the Champions adalah manifesto Freddie.
Lagu itu bukan hanya untuk kemenangan, tapi juga tentang
ketahanan diri — lagu bagi setiap orang yang pernah jatuh tapi
bangkit lagi.
Ketika lagu-lagu itu dimainkan bersamaan, stadion di seluruh
dunia bergetar.
Freddie berkata suatu malam setelah konser:
“Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sedang tampil — aku
sedang memimpin umat manusia bernyanyi.”
137
4. Tur Dunia: Panggung Sebagai Kerajaan
Antara 1977–1979, Queen melakukan tur dunia besar-besaran.
Mereka menaklukkan Amerika, Jepang, dan Eropa.
Konser mereka adalah perpaduan opera dan rock: lampu laser,
kostum emas, piano putih, dan energi tanpa batas.
Di Tokyo, 1979, Freddie tampil dengan kimono hitam dan
berlutut di hadapan penonton.
Puluhan ribu orang menyalakan lilin.
Ia menyanyikan Teo Torriatte (Let Us Cling Together), lagu
dengan lirik Jepang, sebagai penghormatan kepada para
penggemar Asia.
“Aku mungkin tidak mengerti bahasanya,” katanya di
panggung, “tapi aku tahu makna cintanya.”
Malam itu, Queen bukan lagi band Inggris.
Mereka adalah bahasa universal dari keindahan, kebanggaan,
dan kebersamaan.
138
5. Jazz dan Tahun-Tahun Gila
Akhir 1978, Queen merilis album Jazz, menandai era
eksperimental baru.
Lagu Don’t Stop Me Now lahir dari semangat kebebasan Freddie
— cepat, energik, nyaris seperti perayaan hidup.
Namun di balik lagu itu, Freddie mulai hidup lebih liar: pesta
tanpa akhir, hubungan kompleks, dan pencarian jati diri di
tengah gemerlap dunia malam.
Sementara itu, Brian, Roger, dan John mulai khawatir arah band.
Roger ingin kembali ke rock murni, Brian ke harmoni klasik,
sementara Freddie ingin lebih teatrikal dan eksperimental.
Ketegangan itu nyata, tapi di panggung mereka tetap satu tubuh.
Freddie pernah berkata kepada kru tur:
“Kita boleh bertengkar di luar panggung, tapi begitu lampu
menyala — kita adalah Queen. Tidak ada yang lain.”
139
6. Akhir Dekade — Sebelum Badai
Menjelang 1979, dunia berubah lagi.
Disco merajai tangga lagu, punk memudar, dan era 1980-an
mulai menunjukkan giginya.
Queen menutup dekade itu dengan album konser legendaris Live
Killers, hasil tur panjang mereka di Eropa.
Di balik panggung konser terakhir tahun itu, Freddie menatap
langit malam dan berkata pada Brian:
“Kau tahu, sayang? Kita sudah mengguncang dunia. Tapi aku
rasa — yang sebenarnya baru saja dimulai.”
Brian menatapnya diam, lalu tersenyum.
Ia tahu: Freddie jarang salah tentang hal besar.
Another One Bites the Dust — Kejayaan, Kejatuhan, dan
Abadi dalam Cahaya
1. 1980 — Dunia Baru, Irama Baru
140
Dekade 1980-an datang dengan wajah berbeda. Dunia bergeser
dari glam rock ke synth-pop dan disco.
Freddie Mercury menyadarinya lebih awal dari siapa pun. Ia
tidak ingin Queen terjebak di masa lalu.
“Kalau kita tidak berubah, kita akan jadi fosil dengan rambut
bagus,” ujarnya pada wawancara BBC tahun 1980.
Brian May mengangkat alis, Roger Taylor menggertakkan gigi,
tapi Freddie tidak bergeming.
Ia ingin mencoba sesuatu yang lebih modern, lebih dansa, lebih
berani.
Maka lahirlah album The Game (1980) — Queen dengan wajah
baru: lebih sederhana, lebih funky, namun tetap elegan.
Album ini berisi dua lagu legendaris:
Crazy Little Thing Called Love, lagu bergaya rockabilly
yang ditulis Freddie di kamar mandi dengan gitar
akustik.
141
Another One Bites the Dust, karya John Deacon yang
terinspirasi dari funk Amerika dan suara bass Bernard
Edwards dari Chic.
Awalnya, Brian dan Roger ragu lagu itu cocok untuk Queen.
Tapi Freddie melihat sesuatu.
Ia mendorong John merekam versi final dan berkata,
“Ini bukan cuma lagu funk. Ini masa depan.”
Dan benar — Another One Bites the Dust menjadi salah satu
lagu paling sukses Queen, menembus tangga lagu nomor satu
di Amerika, menjual lebih dari 7 juta kopi, dan bahkan dipuji
oleh Michael Jackson.
Jackson, yang saat itu sedang merintis karier solonya, berkata
kepada Freddie,
“Kau harus merilis lagu itu. Dunia akan menari untukmu.”
2. Hot Space — Ketika Dunia Tidak Mengerti
142
Namun keberanian kadang membawa kesalahpahaman.
Tahun 1982, Queen merilis album Hot Space, yang sangat
dipengaruhi disko dan funk.
Freddie mendorong penggunaan synthesizer, drum elektronik,
dan ritme dansa.
Bagi penggemar lama, ini terlalu jauh dari akar rock mereka.
Lagu seperti Body Language dan Staying Power menunjukkan
sisi baru Queen — sensual, eksperimental, urban.
Namun kritik media kejam: “Queen telah kehilangan jiwanya.”
Brian May mengakui bertahun-tahun kemudian,
“Kami tidak berada di frekuensi yang sama. Freddie mengejar
sesuatu yang kami belum pahami.”
Meskipun begitu, Under Pressure — kolaborasi spontan mereka
dengan David Bowie — menjadi penebus segalanya.
Direkam di Montreux, Swiss, lagu itu lahir tanpa rencana.
Mereka hanya bermain bersama di studio, dan dari improvisasi
muncul garis bass abadi: dum dum dum da-da dum dum.
143
Freddie dan Bowie saling berhadapan di mikrofon, bersaing,
menantang, dan akhirnya berpadu.
Bowie berkata,
“Freddie punya suara yang bisa menembus gunung.”
Freddie menjawab santai,
“Dan kau punya ego sebesar Himalaya, sayang.”
Hasilnya adalah keajaiban: Under Pressure menjadi lagu ikonik
tentang kemanusiaan dan tekanan hidup di dunia modern.
3. Perubahan dalam Diri Freddie
Tahun-tahun itu juga menjadi masa perubahan pribadi bagi
Freddie Mercury.
Ia mulai menata hidupnya di Munich dan London, jauh dari
masa lalunya bersama Mary Austin, wanita yang dulu menjadi
sumber banyak lagunya.
144
Freddie mulai berani mengekspresikan identitas seksualnya,
yang dulu selalu ia sembunyi kan dari publik.
Di tengah euforia dan pesta dunia malam, ia sering berkata
kepada teman dekatnya:
“Aku ingin hidup seperti raja, karena aku tahu waktuku di dunia
ini tidak akan lama.”
Gaya hidupnya menjadi legenda: pesta bertopeng di New York,
hotel mewah di Rio, champagne, cinta, dan kesepian.
Namun di studio, Freddie tetap perfeksionis. Ia bisa mengulang
satu nada 40 kali, lalu menghancurkan segalanya hanya karena
harmoni tidak terdengar “hidup.”
John Deacon berkata dalam wawancara 1983,
“Dia bisa membuat kami gila, tapi kami tahu tidak ada yang bisa
menyentuhnya di mikrofon.”
4. 1984 — Kembalinya Api
145
Queen bangkit lagi dengan album The Works (1984).
Kali ini mereka kembali ke akar rock, tapi dengan energi 80-an.
Lagu Radio Ga Ga karya Roger Taylor menjadi simbol
perubahan zaman: pujian sekaligus kritik terhadap dunia televisi
dan media.
Lagu-lagu
The Works memuat lagu-lagu populer yang kemudian menjadi
bagian penting dalam setiap konser Queen. Daftar lagu standar
di album ini adalah:
1. "Radio Ga Ga" (ditulis oleh Roger Taylor)
2. "Tear It Up" (ditulis oleh Brian May)
3. "It's a Hard Life" (ditulis oleh Freddie Mercury)
4. "Man on the Prowl" (ditulis oleh Freddie Mercury)
5. "Machines (or 'Back to Humans')" (ditulis oleh Brian
May dan Roger Taylor)
6. "I Want to Break Free" (ditulis oleh John Deacon)
7. "Keep Passing the Open Windows" (ditulis oleh
Freddie Mercury)
8. "Hammer to Fall" (ditulis oleh Brian May)
146
9. "Is This the World We Created...?" (ditulis oleh Freddie
Mercury dan Brian May)
Singel populer
Beberapa singel paling terkenal dari album ini meliputi:
"Radio Ga Ga": Salah satu lagu hit terbesar dari
album ini, yang mencapai nomor 1 di 19 negara di
seluruh dunia. Lagu ini sangat dikenal karena bagian
refreinnya yang mengajak penonton untuk bertepuk
tangan bersama.
"I Want to Break Free": Terkenal karena video
musiknya yang ikonik dan kontroversial, di mana
semua anggota band tampil dengan pakaian wanita
sebagai parodi opera sabun Inggris, Coronation Street.
Prestasi album
Keberhasilan global: Meski mendapat reaksi beragam
di Amerika Serikat, album ini sangat sukses di seluruh
dunia, terutama di Eropa.
Peringkat tangga lagu: Album ini mencapai posisi
nomor 2 di Tangga Album Britania Raya dan
menduduki puncak tangga lagu di beberapa negara lain,
seperti Belanda dan Portugal.
Penjualan: Album ini telah terjual lebih dari 6 juta
kopi di seluruh dunia.
147
Freddie menyukai pesan lagu itu. Dalam konser, ia akan
mengangkat kedua tangannya ke udara dan memimpin ribuan
orang bertepuk tangan serentak.
“Ini bukan lagu tentang radio,” katanya. “Ini lagu tentang kita
— manusia yang sedang kehilangan suara di tengah kebisingan
mesin.”
Album ini juga melahirkan I Want to Break Free, lagu yang
menjadi anthem kebebasan di banyak negara.
148
Queen bangkit kembali dengan album ke-11 mereka, The Works
(1984), setelah album sebelumnya, Hot Space (1982), tidak
terlalu sukses. Album ini berhasil mengembalikan suara rock
klasik Queen dengan memadukan elemen elektronik dan funk.
Pencapaian:
Album ini berhasil mendapatkan kesuksesan komersial dan
kritis, menampilkan hits seperti "Radio Ga Ga" dan "I Want to
Break Free".
Proses pengerjaan:
Proses rekaman dimulai setelah anggota band menyelesaikan
proyek solo mereka, kecuali John Deacon, dan berlangsung dari
Agustus 1983 hingga Januari 1984.
Kolaborasi:
Anggota band mengerjakan proyek solo mereka secara terpisah
sebelum kembali ke studio bersama untuk menggarap The
Works.
Namun video musiknya — menampilkan Freddie dan kawan-
kawan berdandan seperti ibu rumah tangga dalam parodi
sinetron Inggris — dilarang tayang di Amerika.
Banyak penonton konservatif salah paham, padahal bagi
Freddie, itu hanyalah satire dan seni.
149
Ironisnya, lagu itu justru menjadi simbol perlawanan di
negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur, di mana
warga hidup di bawah tirani.
Di Argentina dan Brasil, jutaan orang menyanyikannya dalam
demonstrasi.
Musik Queen melampaui batas politik.
5. 1985 — Live Aid: Hari Ketika Dunia Terpana
13 Juli 1985.
Stadion Wembley, London.
Ribuan orang berdesakan di bawah matahari musim panas.
Jutaan lainnya menonton lewat televisi — siaran global pertama
dalam sejarah, untuk menggalang dana bagi kelaparan di Afrika.
Queen bukan pilihan utama di daftar acara. Mereka hanya diberi
slot 20 menit di sore hari.
150
Namun dalam dua puluh menit itu, mereka mengubah sejarah
musik dunia.
Freddie Mercury melangkah ke panggung dengan jaket putih
dan celana jins ketat.
Ia tidak membawa efek lampu megah atau kostum glamor.
Hanya mikrofon setengah tiang — dan karisma yang menelan
dunia.
Dari Bohemian Rhapsody hingga Radio Ga Ga, dari Hammer to
Fall ke We Are the Champions, penonton tidak hanya bernyanyi
— mereka bersatu.
Ketika Freddie memimpin mereka dengan suara “Aaaa-yo!”
bergema di udara, seluruh planet seolah berhenti bernafas.
Seorang jurnalis BBC menulis:
“Dalam dua puluh menit, Queen tidak hanya tampil. Mereka
memimpin umat manusia bernyanyi untuk harapan.”
Bahkan Elton John berbisik pada David Bowie di belakang
panggung:
151
“Setelah ini, semua yang tampil hanyalah pembuka Freddie.”
Live Aid menjadi puncak kejayaan Queen — dan titik balik
hidup Freddie Mercury.
Ia tahu, mulai hari itu, mereka bukan sekadar band. Mereka
mitos yang hidup.
6. Setelah Panggung Senyap
Setelah konser berakhir, Freddie duduk diam di ruang ganti.
Ia menatap tangannya yang masih gemetar dan berkata pelan
kepada Brian:
“Kau tahu, Bri... jika aku mati besok, aku tak akan menyesal.
Hari ini, kita sudah membuat sejarah.”
Brian menatapnya, tak bisa berkata apa-apa.
Ia tahu Freddie berbicara jujur — bukan tentang kematian, tapi
tentang pencapaian tertinggi manusia: menyatukan dunia
lewat musik.
152
The Show Must Go On — Cinta, Penyakit, dan Keabadian
(1986–1991)
1. 1986 — Magic di Atas Langit Wembley
Setelah kemenangan mutlak di Live Aid tahun 1985, Queen
kembali menjadi band paling dicintai di dunia.
Freddie, Brian, Roger, dan John sadar — mereka baru saja
membuka babak terakhir yang akan mengubah segalanya.
Album A Kind of Magic (1986) lahir sebagai perayaan
kemenangan itu.
Sebagian besar lagu diambil dari soundtrack film Highlander,
film fantasi yang mengangkat tema keabadian — ironis, karena
keabadian itu sebentar lagi akan menjadi obsesi terakhir Freddie
Mercury.
Lagu-lagu seperti Who Wants to Live Forever, A Kind of Magic,
dan Princes of the Universe penuh dengan simbol dan refleksi
eksistensial.
153
Brian May menulis Who Wants to Live Forever dalam satu
malam setelah menonton adegan tragis film itu bersama Freddie.
Ketika ia memainkan lagu itu untuk pertama kali, Freddie hanya
terdiam.
Kemudian, dengan suara pelan, ia berkata:
“Bri, lagu ini tentang kita, bukan? Kita hidup selamanya dalam
musik — tapi tubuh kita tidak.”
Tanggal 11–12 Juli 1986, Queen menggelar konser di Wembley
Stadium — dua malam yang akan diingat sebagai the greatest
rock performance of the 20th century.
Freddie, mengenakan jaket kuning cerah dan celana putih ketat,
memimpin 72.000 orang dengan karisma yang tak manusiawi.
Ia berlari, berteriak, menari, bercanda, dan menantang langit
London:
“Do you want some more, darlings?!”
Malam itu, Queen bukan sekadar band. Mereka adalah fenomena
sosial.
154
Tiket konser ludes, dan seluruh Inggris menyanyikan We Are the
Champions seperti doa nasional.
Namun setelah konser terakhir di Knebworth Park, 9 Agustus
1986 — Freddie turun panggung dengan wajah letih.
Ia menatap langit malam, tersenyum pada Brian, dan berkata
lirih:
“Itu... mungkin konser terakhirku.”
Tidak ada yang menjawab. Tapi di hati mereka, semua tahu:
Freddie sedang berbicara dengan waktu.
2. 1987 — Ketika Dunia Mulai Hening
Setelah tur “Magic Tour” usai, Queen memutuskan beristirahat.
Freddie mulai fokus pada proyek solonya di Munich, sementara
anggota lain menulis musik masing-masing.
Namun di balik gemerlap studio, kabar burung mulai beredar:
Freddie Mercury sakit.
155
Tabloid Inggris mulai memuat foto dirinya yang lebih kurus,
wajah pucat, dan tangan tertutup luka kecil.
Freddie menolak menjawab.
Dalam wawancara 1987 dengan The Sun, ia hanya berkata:
“Aku masih hidup, sayang. Tapi bahkan kalau aku mati, kau
tidak akan bisa meniru caraku.”
Di tengah rumor itu, Freddie merilis album solo Barcelona,
kolaborasi dengan penyanyi opera Spanyol Montserrat
Caballé.
Ini adalah proyek impiannya: menggabungkan rock dan opera
dalam satu panggung cinta dan keindahan.
Lagu Barcelona menjadi simbol cinta dan kebebasan:
“The gods could make you fly, my love…”
Ketika lagu itu diperdengarkan di Olimpiade Barcelona 1992
(setahun setelah kematian Freddie), dunia menangis — seolah
lagu itu adalah perpisahan yang telah direncanakan.
156
3. 1988–1989 — The Miracle dan Bayangan Penyakit
Pada 1988, Freddie mulai melemah. Ia mulai kehilangan berat
badan, dan kadang tidak mampu bernyanyi selama lebih dari
satu jam.
Namun ia menolak mengasihani diri sendiri.
“Aku tidak ingin orang melihat penderitaan. Aku ingin mereka
mendengar musik.”
Queen bersatu kembali dan mulai mengerjakan album The
Miracle (1989).
Freddie menyembunyikan kondisinya dari publik, tapi rekan-
rekannya tahu.
Brian May kemudian mengenang:
“Kami tahu Freddie sedang sekarat, tapi dia tak pernah
mengeluh. Dia hanya berkata: ‘Tulis lagu yang bagus, dan kita
rekam sebelum aku mati.’”
Album itu penuh semangat dan humor:
157
I Want It All, Breakthru, The Invisible Man, dan The Miracle.
Namun di balik keceriaan itu, terselip isyarat duka.
Lagu Was It All Worth It terdengar seperti surat wasiat musik —
penuh tanya, tapi tanpa penyesalan.
Freddie menyanyikannya dengan kekuatan terakhirnya:
“Was it all worth it? Yes, it was, a priceless experience…”
4. 1990 — Penghargaan Brit Awards dan Keheningan
Publik
Pada Februari 1990, Queen menerima Brit Award for
Outstanding Contribution to British Music.
Ketika mereka naik ke panggung, penonton bersorak, tapi semua
mata tertuju pada Freddie.
Tubuhnya lebih kurus, wajahnya tirus, dan ia mengenakan jas
panjang untuk menutupi tanda -tanda penyakitnya.
Ia hanya berkata satu kalimat:
158
“Terima kasih. Good night.”
Itu adalah penampilan publik terakhirnya.
Setelah itu, Freddie menarik diri dari media.
Ia hanya bekerja di rumahnya, Garden Lodge, bersama
pasangannya Jim Hutton, dan sahabat lamanya Mary Austin.
Freddie menghabiskan waktu dengan lukisan, piano, dan
kucing-kucing kesayangannya: Delilah, Oscar, Goliath, dan
Miko.
Ia menulis lagu-lagu baru, walau jari-jarinya kadang gemetar.
Roger Taylor berkata kemudian:
“Freddie tahu akhir sudah dekat, tapi dia menolak berhenti.
Dia bilang, ‘Tulis apa pun, aku akan nyanyi. Rekam sebisaku.’”
5. 1991 — Innuendo dan Warisan Terakhir
159
Album terakhir Queen bersama Freddie, Innuendo, dirilis pada
Februari 1991.
Lagu utamanya, Innuendo, terdengar seperti Bohemian
Rhapsody yang lebih gelap — sebuah perjalanan spiritual dan
penuh misteri.
Namun yang paling menyayat hati adalah The Show Must Go
On.
Brian menulisnya sambil menangis, yakin Freddie takkan bisa
menyanyikannya.
Ketika lagu selesai direkam, Freddie datang ke studio dalam
keadaan lemah.
Ia menenggak segelas vodka, berdiri tegak, dan berkata:
“Aku akan melakukannya, sayang. Aku akan menyanyikannya
sampai tenggorokanku berdarah.”
Dan ia benar-benar melakukannya. Satu kali take, tanpa jeda,
tanpa air mata — hanya suara abadi yang menembus ruang dan
waktu.
160
“Inside my heart is breaking,
My makeup may be flaking,
But my smile still stays on…”
Itu adalah nyanyian terakhirnya kepada dunia.
6. 24 November 1991 — Dunia Menangis
Pada 23 November 1991, Freddie mengumumkan kepada publik
bahwa ia menderita AIDS.
Selama bertahun-tahun ia menutupinya, agar dunia hanya
mengingatnya sebagai seniman — bukan pasien.
Keesokan harinya, 24 November 1991, pukul 18.48 waktu
London, Freddie Mercury meninggal dunia di rumahnya di
Kensington.
Jim Hutton memegang tangannya, dan Mary Austin menutup
matanya. Lilin dinyalakan, dan di radio, These Are the Days of
Our Lives diputar dengan suara Freddie berbisik lembut:
161
“I still love you…”
Dunia hening.
BBC menyiarkan kabar duka, dan jutaan orang menangis di
seluruh benua.
Freddie Mercury telah pergi — tapi tidak mati. Ia berubah
menjadi gema.
7. Legacy yang Tak Pernah Padam
April 1992, Stadion Wembley kembali penuh.
Bukan untuk konser biasa, tapi untuk Freddie Mercury
Tribute Concert for AIDS Awareness.
Lebih dari 70.000 orang hadir, dan miliaran menonton di seluruh
dunia. Elton John, David Bowie, Metallica, Guns N’ Roses, dan
George Michael berdiri di atas panggung yang dulu menjadi
kerajaan Freddie.
Brian May berkata dalam pidatonya:
162
“Freddie akan tertawa jika melihat ini. Tapi ia juga akan
tersenyum — karena musiknya masih hidup di hati kita semua.”
Dan memang begitu adanya.
Queen terus hidup:
Dengan Paul Rodgers, lalu Adam Lambert.
Dengan konser di seluruh dunia, dengan suara baru — namun
selalu dengan semangat yang sama:
The Show Must Go On.
“I’m not going to be a rock star. I’m going to be a legend.”
— Freddie Mercury (1946–1991)
Afterlife of a Legend — Dari Abu Freddie Menuju Abadi
1. 1992 — Dunia Berkabung dan Bangkit Bersama
Beberapa bulan setelah kematian Freddie Mercury, dunia masih
berduka.
163
Namun Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon tahu:
mereka tidak boleh membiarkan warisan itu menghilang begitu
saja.
Pada 20 April 1992, Stadion Wembley kembali dibuka untuk
sebuah acara bersejarah:
The Freddie Mercury Tribute Concert for AIDS Awareness.
Lebih dari 72.000 orang memadati stadion.
Sementara lebih dari 1 miliar penonton di seluruh dunia
menonton melalui siaran televisi langsung — salah satu
tayangan global terbesar sepanjang masa.
Malam itu, musik menjadi doa.
David Bowie dan Annie Lennox membawakan Under Pressure
dengan air mata yang nyaris tak bisa disembunyikan.
Elton John menyanyikan Bohemian Rhapsody bersama Axl
Rose dari Guns N’ Roses — duet yang mustahil terjadi tanpa
semangat Freddie.
164
Metallica, Def Leppard, U2, dan George Michael memberikan
penghormatan terbaik mereka.
Penampilan George Michael dengan lagu Somebody to Love
disebut banyak pengamat sebagai momen yang
“membangkitkan arwah Freddie kembali.”
Brian May bahkan berbisik seusai konser:
“Untuk satu malam, Freddie bernyanyi melalui mereka semua.”
Konser ini juga menjadi titik awal Mercury Phoenix Trust,
lembaga amal internasional yang didirikan untuk mendukung
penelitian dan pencegahan AIDS — dipimpin oleh Brian, Roger,
dan manajer lama Queen, Jim Beach.
Sejak itu, yayasan ini telah menyalurkan jutaan dolar untuk
proyek kesehatan global.
2. 1995 — Made in Heaven: Suara dari Alam Lain
165
Setelah beberapa tahun hening, Queen merilis album terakhir
dengan suara asli Freddie: Made in Heaven (1995).
Album ini terdiri dari rekaman-rekaman terakhir Freddie pada
1991, yang diselesaikan oleh Brian, Roger, dan John dengan
penuh air mata.
Freddie sempat berkata kepada Brian sebelum meninggal:
“Tulis sebanyak mungkin, Bri. Aku akan bernyanyi selagi aku
bisa. Setelah aku pergi, kau bisa menyelesaikannya nanti.”
Dan benar.
Dari potongan vokal itu lahir lagu-lagu seperti Mother Love, A
Winter’s Tale, dan Too Much Love Will Kill You — semua terasa
seperti surat perpisahan yang ditulis oleh hantu yang lembut.
Di lagu Mother Love, Freddie berhenti bernyanyi sebelum bait
terakhir karena terlalu lemah.
Bait terakhir itu akhirnya dinyanyikan oleh Brian May sendiri
— menjadikannya duet spiritual antara yang hidup dan yang
telah tiada.
166
Ketika album dirilis, sampulnya menampilkan patung Freddie
Mercury menghadap matahari terbenam di Danau Geneva,
Montreux.
Patung itu kini menjadi tempat ziarah bagi jutaan penggemar
dari seluruh dunia.
3. 1997 — Akhir dari John Deacon
John Deacon, sang bassist pendiam, tidak pernah benar-benar
pulih dari kehilangan Freddie.
Setelah memainkan lagu The Show Must Go On bersama Elton
John dalam konser amal terakhirnya, ia mengundurkan diri
sepenuhnya dari dunia musik.
Roger Taylor mengenang:
“John berkata, ‘Tanpa Freddie, tidak ada Queen.’ Dan kami
menghormati itu.”
167
Sejak itu, ia hidup tertutup di London, jauh dari sorotan publik.
Namun bagi penggemar sejati, setiap dentuman bass John di
lagu-lagu Queen tetap terasa hidup — Another One Bites the
Dust, You’re My Best Friend, I Want to Break Free — semuanya
abadi.
4. 2004–2009 — Era Paul Rodgers
Setelah lama berdiam, Brian May dan Roger Taylor
memutuskan untuk kembali ke panggung — bukan sebagai
pengganti Freddie, tapi sebagai perpanjangan jiwanya.
Mereka menggandeng Paul Rodgers, mantan vokalis Free dan
Bad Company.
Dengan formasi ini, mereka tampil di tur dunia bertajuk Queen
+ Paul Rodgers, dan bahkan merilis album baru, The Cosmos
Rocks (2008).
Meski tidak semua penggemar menyambut hangat, tur itu
terbukti sukses besar.
168
Brian berkata dalam sebuah wawancara:
“Kami tidak berusaha menggantikan Freddie. Kami hanya ingin
memainkan musik kami — dengan cinta.”
5. 2011–Sekarang — Queen + Adam Lambert:
Generasi Baru
Tahun 2011 menandai kebangkitan Queen yang tak terduga.
Setelah tampil di acara American Idol, mereka menemukan
sosok yang berbeda — flamboyan, karismatik, dan penuh
hormat pada Freddie: Adam Lambert.
Adam, dengan suara tenor modern dan gaya teatrikal, bukan
imitasi Freddie, melainkan evolusinya.
Sejak 2012, formasi Queen + Adam Lambert telah menggelar
konser di lebih dari 40 negara, termasuk tur global “Rhapsody
Tour” (2019–2024).
Dalam setiap konser, Adam selalu menatap langit dan berkata:
169
“Freddie, this is for you, darling.”
Sementara di layar raksasa, wajah Freddie muncul —
tersenyum, bernyanyi, seolah hadir di antara mereka.
Brian May menitikkan air mata setiap kali bagian Love of My
Life dinyanyikan bersama penonton.
Freddie akan muncul di layar, dan Brian akan berbisik:
“Goodnight, my old friend.”
6. 2018 — Bohemian Rhapsody: Legenda
Tahun 2018, film biopik Bohemian Rhapsody dirilis,
disutradarai oleh Bryan Singer (kemudian diteruskan oleh
Dexter Fletcher) dan diperankan dengan luar biasa oleh Rami
Malek sebagai Freddie Mercury.
Film ini menjadi fenomena global — meraih 4 Piala Oscar,
termasuk Best Actor untuk Rami Malek, dan menghidupkan
kembali semangat Queen bagi generasi baru.
170
Lagu-lagu mereka kembali ke tangga musik dunia, lebih dari
tiga dekade setelah Freddie meninggal.
Brian May berkata dalam wawancara BBC setelah film itu
sukses:
“Freddie menang lagi. Setiap kali dunia mulai lupa, dia muncul
dan merebut hati semua orang.”
7. Abadi dalam Waktu
Kini, lebih dari setengah abad sejak berdirinya pada tahun 1970,
Queen bukan sekadar band.
Mereka adalah mitologi modern — kisah manusia tentang
kegigihan, cinta, dan pencarian kebebasan artistik.
Freddie Mercury mungkin telah tiada, tapi ia meninggalkan
sesuatu yang tidak bisa mati: suara yang mematahkan batas
antara realitas dan mimpi.
171
Patungnya di Montreux berdiri menghadap matahari terbenam.
Di bawahnya tertulis kalimat sederhana:
“Freddie Mercury — Lover of Life, Singer of Songs.”
Dan di seluruh dunia, dari London sampai Tokyo, dari Rio
sampai Jakarta, jutaan orang masih bernyanyi bersama:
“We are the champions, my friends… And we’ll keep on
fighting till the end…”
EPILOG:
“Queen bukan hanya band.
Queen adalah bukti bahwa musik bisa menyembuhkan,
bahwa cinta bisa melampaui penyakit,
dan bahwa manusia — bahkan yang paling fana —
bisa menjadi abadi lewat lagu.”
**********
172
AWAL SEBUAH REVOLUSI
KESEHATAN MELALUI MUSIK
1. Musik, Jiwa, dan Kesembuhan
Musik selalu lebih dari sekadar hiburan.
Sejak zaman Plato, musik dipercaya sebagai sarana
penyembuhan jiwa.
Namun pada abad ke -20, ketika dunia menghadapi
industrialisasi, perang, dan penyakit modern, musik menjadi
obat sosial — dan Queen muncul sebagai salah satu
kekuatannya.
Didirikan di London tahun 1970, Queen berawal dari pertemuan
empat mahasiswa sains dan teknik:
Freddie Mercury, calon desainer grafis,
Brian May, doktor astrofisika,
Roger Taylor, mahasiswa kedokteran gigi,
dan John Deacon, ahli elektronik.
173
Uniknya, dua dari mereka memiliki latar ilmu kesehatan dan
sains, sehingga dalam DNA Queen sendiri sudah tertanam
semangat rasionalitas ilmiah dan empati terhadap manusia.
Roger Taylor pernah berkata dalam wawancara tahun 1974:
“Musik dan kedokteran punya kesamaan: keduanya berurusan
dengan denyut kehidupan.”
Freddie menambahkan:
“Aku tidak menyembuhkan tubuh, tapi mungkin aku bisa
menyembuhkan jiwa seseorang dengan lagu.”
2. Rock sebagai Terapi Sosial
Dekade 1970-an di Inggris adalah masa krisis ekonomi dan
keresahan sosial.
Pengangguran meningkat, kaum muda kehilangan arah, dan
kesehatan mental menjadi isu besar. Queen muncul membawa
energi baru: optimisme, estetika, dan semangat eksistensial.
174
Terapi musik secara umum memang telah terbukti dapat
membantu pemulihan pasien. Terapi musik yang terbukti efektif
di rumah sakit meliputi:
o Mengurangi stres: Terapi musik dapat menurunkan
hormon kortisol yang berhubungan dengan stres.
o Meredakan nyeri: Mendengarkan musik dapat
mengurangi persepsi nyeri pasien.
o Meningkatkan suasana hati: Musik dapat merangsang
pelepasan dopamin, hormon kesenangan, yang dapat
meningkatkan motivasi pasien.
o Meningkatkan pemulihan: Terapi musik aktif, seperti
bermain instrumen, dapat membantu pasien stroke
memulihkan kemampuan bicaranya.
3. AIDS dan Krisis Kemanusiaan
Tahun 1980-an, dunia dikejutkan oleh epidemi HIV/AIDS —
penyakit baru yang menimbulkan stigma, ketakutan, dan
diskriminasi global.
175
Ketika Freddie Mercury akhirnya diketahui mengidap AIDS,
media menyorotnya dengan kejam.
Namun, cara Freddie menjalani sisa hidupnya — dengan seni,
cinta, dan keberanian — mengubah penyakit itu menjadi pesan
kemanusiaan.
Melalui karya-karya seperti The Show Must Go On, These Are
the Days of Our Lives, dan Who Wants to Live Forever, Queen
secara tidak langsung menciptakan narasi rehumanisasi pasien
HIV/AIDS:
bahwa penderita bukan objek, melainkan manusia dengan cinta,
karya, dan martabat.
Setelah kematian Freddie pada 1991, terbentuklah Mercury
Phoenix Trust, organisasi nirlaba yang berfokus pada
pendidikan dan pencegahan AIDS global.
Hingga tahun 2025, lembaga ini telah mendanai lebih dari 1.000
proyek kesehatan di 56 negara, termasuk di Asia dan Afrika.
Dalam konteks promosi kesehatan, Queen bukan hanya legenda
musik, tetapi juga agen perubahan perilaku global.
176
4. Dari “Bohemian Rhapsody” ke “Health Rhapsody”
Jika dianalisis dengan kacamata Sastra Kesehatan Indonesia
(gagasan Ferizal), karya-karya Queen dapat ditafsirkan sebagai
bentuk sastra kesehatan Barat — perpaduan antara estetika,
eksistensialisme, dan nilai humanistik yang mendorong self-
care dan resilience.
Don’t Stop Me Now → simbol vitalitas dan kebahagiaan
sebagai indikator kesehatan jiwa.
We Are the Champions → semangat pemulihan, relevan
dengan pasien pasca trauma atau survivor kanker.
Somebody to Love → ekspresi kebutuhan akan empati
sosial, inti dari promosi kesehatan berbasis komunitas.
Under Pressure → analisis sosial tentang stres kolektif
dan pentingnya solidaritas.
Dengan demikian, Queen menjadi fenomena musik yang
bertransformasi menjadi alat komunikasi kesehatan
masyarakat — mendahului konsep Health Communication
Campaigns modern.
177
5. Filosofi “The Show Must Go On” sebagai
Paradigma Ketahanan Hidup
Ketika Freddie menyanyikan The Show Must Go On dalam
kondisi terminal, ia sedang menunjukkan prinsip utama promosi
kesehatan:
“Bukan panjangnya hidup yang utama, tapi kualitas dan
makna hidup.”
Brian May, yang menulis lagu itu, mengaku terinspirasi oleh
kekuatan Freddie yang tetap bernyanyi di tengah penderitaan.
Lagu ini kemudian sering digunakan dalam kampanye kesehatan
mental dan paliatif di Inggris dan Kanada.
Dalam konteks teori promosi kesehatan modern, The Show Must
Go On dapat ditafsirkan sebagai bentuk model resilien
psikososial, sejalan dengan Ottawa Charter for Health
Promotion (1986) yang menekankan:
178
“Empower people to increase control over, and to improve, their
health.”
Freddie menjalankan prinsip itu tanpa pernah mempelajarinya
secara akademis
6. Musik Queen sebagai Diplomasi Kesehatan Global
Melalui Live Aid (1985) dan konser amal pasca kematian
Freddie, Queen ikut mendefinisikan ulang makna promosi
kesehatan: bukan hanya tentang individu, tapi tentang
kemanusiaan global.
Live Aid 1985 mengumpulkan lebih dari 150 juta USD
untuk krisis kelaparan Ethiopia —
menjadi tonggak awal global health fundraising melalui
musik.
Mercury Phoenix Trust (1992–sekarang) mengubah
narasi AIDS dari kutukan menjadi perjuangan.
Bohemian Rhapsody Film (2018) memperkenalkan
kembali pesan tentang keberanian dan empati kepada
179
generasi Z, yang kini menghadapi isu kesehatan mental
global.
Queen membuktikan bahwa seni dan kesehatan bukan dua
dunia terpisah.
Melalui suara, performa, dan keberanian, mereka mengubah
penderitaan menjadi pendidikan, dan musik menjadi terapi
sosial.
“Queen bukan hanya membuat orang menari, tetapi juga
membuat dunia sadar bahwa cinta adalah bentuk tertinggi dari
kesehatan.”
QUEEN dan Revolusi Promosi Kesehatan Dunia
Pada dekade 1980-an, dunia menghadapi ancaman baru yang
mengubah wajah masyarakat global: epidemi HIV/AIDS. Di
tengah ketakutan, stigma, dan salah informasi,
satu nama yang semula hanya dikenal sebagai simbol kebebasan
musik rock berubah menjadi suara moral yang tak terduga —
Freddie Mercury, vokalis utama Queen.
180
Bagi banyak orang, Freddie adalah ikon glam, flamboyan, dan
penuh energi; namun di balik panggung, ia menjadi simbol
perjuangan hak-hak pasien dan kesadaran akan kesehatan tanpa
pernah secara eksplisit berpidato seperti aktivis.
Ia melakukan sesuatu yang lebih besar: ia memberi wajah
manusia bagi penyakit yang kala itu diselimuti tabu.
Freddie tidak pernah secara terbuka membahas penyakitnya
selama hidup. Tetapi tindakan diamnya justru berbicara lantang:
ia menolak dikasihani, menolak dibungkam, dan terus berkarya
sampai detik-detik terakhir hidupnya.
Lagu-lagu Queen yang diciptakan di masa akhir kehidupannya
— seperti These Are the Days of Our Lives dan The Show Must
Go On — menjadi simbol keberanian menghadapi penyakit
kronis, semangat hidup, dan martabat manusia dalam derita.
Pada 23 November 1991, sehari sebelum meninggal dunia,
Freddie merilis pernyataan publik pertama dan satu-satunya
tentang kondisi kesehatannya:
"Menyusul dugaan besar-besaran di media selama dua minggu
terakhir, saya ingin mengonfirmasi bahwa saya telah dites HIV-
181
positif dan mengidap AIDS. Saya merasa pantas untuk
merahasiakan informasi ini demi melindungi privasi orang-
orang terdekat saya. Namun, sekarang saatnya teman-teman dan
penggemar di seluruh dunia untuk mengetahui kebenarannya,
dan saya berharap semua orang akan bergabung dengan saya,
dokter-dokter saya, dan semua pihak di seluruh dunia dalam
memerangi penyakit mengerikan ini."
Sehari kemudian, dunia berduka. Namun justru dari tragedi itu
lahir gelombang kesadaran kesehatan global. Dalam beberapa
tahun, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon mendirikan
The Mercury Phoenix Trust, sebuah organisasi amal
internasional yang didedikasikan untuk mendukung pendidikan,
pencegahan, dan penelitian HIV/AIDS.
Melalui konser The Freddie Mercury Tribute Concert for AIDS
Awareness (20 April 1992 di Wembley Stadium), Queen
mengubah panggung musik menjadi media promosi kesehatan
terbesar pada masanya. Disiarkan ke 70 negara dan ditonton
lebih dari satu miliar orang, acara ini menggabungkan kekuatan
seni dan kesehatan publik dalam satu momen historis.
Konser itu menjadi titik balik: para musisi dunia mulai
memanfaatkan musik untuk edukasi kesehatan.
182
Elton John, George Michael, David Bowie, hingga Metallica
ikut serta bukan hanya untuk menghormati Freddie, tetapi untuk
membawa pesan: “Hidup sehat adalah hak semua orang — tanpa
stigma.”
Queen tidak hanya menghibur, tetapi juga menyembuhkan —
secara psikologis, sosial, dan moral. Lagu seperti We Are the
Champions dan Don’t Stop Me Now kini sering dipakai dalam
kampanye kesehatan, marathon amal, dan program motivasi
pasien kanker dan HIV di seluruh dunia.
Di titik itu, Queen telah melampaui batas musik. Mereka
menjadi fenomena kesehatan masyarakat:
seni yang memuliakan kemanusiaan, musik yang menyehatkan
jiwa.
Mercury Phoenix Trust dan Warisan Kemanusiaan Queen
Setelah kepergian Freddie Mercury pada 24 November 1991,
dunia musik sempat terdiam. Namun bagi Brian May, Roger
Taylor, dan John Deacon, kehilangan itu tidak boleh berakhir
hanya sebagai kisah duka — ia harus menjadi gerakan.
183
Mereka lalu mendirikan The Mercury Phoenix Trust (MPT)
pada tahun 1992, hanya beberapa bulan setelah konser
penghormatan megah di Wembley Stadium. Tujuan utamanya
sederhana namun revolusioner: mengubah kesedihan menjadi
aksi kemanusiaan untuk melawan HIV/AIDS.
1. Dari Wembley ke Dunia
Konser The Freddie Mercury Tribute Concert for AIDS
Awareness yang disiarkan ke lebih dari 70 negara tidak hanya
menggalang dana, tetapi juga membuka kesadaran publik
tentang bahaya diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS.
Dana yang terkumpul dari konser, penjualan tiket, merchandise,
dan siaran televisi menjadi modal awal MPT.
Di bawah koordinasi tiga anggota Queen yang tersisa dan
manajer Jim Beach, lembaga ini kemudian menjalin kerja sama
dengan badan internasional seperti WHO, UNAIDS, dan
UNESCO. Fokus mereka bukan hanya pengobatan, tetapi juga
edukasi, pencegahan, dan penghapusan stigma.
MPT menjadi pelopor dalam menghubungkan musik,
kemanusiaan, dan promosi kesehatan — sesuatu yang
184
sebelumnya belum pernah dilakukan secara sistematis oleh grup
musik rock dunia.
2. Musik sebagai Medium Edukasi Kesehatan
Mercury Phoenix Trust sejak awal berkomitmen bahwa musik
bisa menjadi “vaksin moral” — menyentuh hati masyarakat
muda yang mungkin tidak terjangkau oleh media formal
kesehatan.
Mereka meluncurkan kampanye pendidikan di sekolah-sekolah
dan universitas di Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Program “Freddie For A Day” mendorong para pelajar dan
penggemar untuk berdandan seperti Freddie sambil menggalang
dana dan menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS.
Roger Taylor pernah mengatakan:
“Freddie loved life. He didn’t preach, but he lived with intensity.
Through this trust, we try to channel that energy into saving
lives.”
3. Sinergi dengan Agenda WHO
185
Dengan demikian, The Mercury Phoenix Trust menjadi contoh
nyata bagaimana seni populer dapat menjadi alat promosi
kesehatan global — jauh melampaui batas musik itu sendiri.
186
4. Warisan yang Hidup
Lebih dari tiga dekade setelah Freddie meninggal, MPT telah
mendanai lebih dari 1000 proyek di 57 negara, membantu
pendidikan kesehatan remaja, pencegahan penularan HIV pada
ibu dan anak, serta advokasi melawan diskriminasi terhadap
ODHA.
Brian May pernah menulis dalam sebuah refleksi tahun 2011:
“The Mercury Phoenix Trust is not about mourning Freddie. It’s
about continuing his flame. He didn’t want sympathy; he wanted
the world to dance, love, and live without fear.”
Kini, setiap tahun pada 5 September — hari ulang tahun Freddie
Mercury — dunia merayakan Freddie For A Day. Di berbagai
kota, ribuan orang berdandan seperti Freddie, dari London,
Tokyo, Buenos Aires, hingga Jakarta, sambil menggalang dana
untuk riset HIV/AIDS.
Lebih dari sekadar konser amal, MPT telah menjadi simbol
global rehumanisasi kesehatan, menyatukan suara musik
dengan semangat kemanusiaan.
187
Musik yang Menyembuhkan: Analisis Lagu-Lagu Queen
dalam Perspektif Kesehatan Mental dan Emosional
Musik Queen bukan sekadar hiburan; ia adalah narasi terapi
jiwa yang muncul dari ketegangan antara rasa sakit dan
keberanian, antara keraguan dan keagungan manusia.
Dalam konteks promosi kesehatan mental, karya-karya
mereka menjadi contoh bagaimana seni mampu
menyeimbangkan emosi, memperkuat ketahanan batin, dan
menanamkan makna eksistensial pada pendengarnya.
1. Bohemian Rhapsody: Terapi Eksistensial dan
Katarsis
Dirilis pada tahun 1975, Bohemian Rhapsody dianggap sebagai
karya musik paling kompleks di abad ke-20. Namun di balik
harmoni operatik dan perubahan tempo yang dramatis, lagu ini
memuat lapisan psikologis yang mendalam.
Freddie Mercury menulisnya pada masa ia mengalami krisis
identitas dan tekanan sosial.
188
Secara simbolik, lagu ini dapat dibaca sebagai dialog antara “diri
yang bersalah” dan “diri yang mencari pembebasan”.
Kalimat “I don’t want to die, I sometimes wish I’d never been
born at all” mencerminkan konflik eksistensial yang sering
dialami individu dalam depresi atau pergulatan makna hidup.
Namun di ujung lagu, Freddie menutup dengan kebebasan
musikal yang meledak — bentuk self-acceptance dan pelepasan
diri dari rasa bersalah.
Dalam konteks psikologi kesehatan, Bohemian Rhapsody
menjadi simbol katarsis kreatif, di mana penderitaan diolah
menjadi ekspresi artistik penyembuh.
2. We Are the Champions: Mantra Ketahanan Mental
Ditulis oleh Freddie Mercury pada tahun 1977, lagu ini kini
sering digunakan dalam berbagai ajang olahraga. Namun
sesungguhnya, We Are the Champions adalah lagu motivasi
psikologis yang lahir dari pengalaman kolektif band
menghadapi penolakan dan tekanan industri musik.
189
Liriknya — “I’ve had my share of sand kicked in my face, but
I’ve come through” — berbicara tentang resiliensi, kemampuan
manusia untuk bangkit dari luka.
Penelitian di bidang music therapy menunjukkan bahwa lagu ini
meningkatkan self-efficacy (keyakinan diri), sehingga sering
digunakan dalam terapi kelompok untuk pasien depresi dan
trauma.
Dalam semangat Piagam Ottawa 1986, We Are the Champions
mencerminkan dimensi empowerment — memperkuat individu
agar merasa mampu mengendalikan hidupnya.
3. Don’t Stop Me Now: Energi Hidup dan
Keseimbangan Dopamin
Lagu ini ditulis tahun 1978 ketika Freddie berada di puncak
kariernya. Don’t Stop Me Now memiliki tempo cepat dan
progresi akor mayor yang merangsang produksi dopamin dan
endorfin, hormon yang berperan penting dalam regulasi
kebahagiaan dan motivasi.
190
Di tengah kegembiraan, lagu ini juga mencerminkan pencarian
makna hidup tanpa batas — peringatan tentang bahaya euforia
berlebihan dan kehilangan kendali atas kesehatan diri.
Freddie seolah menari di tepi jurang antara kehidupan dan
pelarian, namun pesannya jelas: hidup harus dijalani
sepenuhnya, tanpa rasa takut.
4. Somebody to Love: Kerinduan Emosional
Lagu "Bohemian Rhapsody" adalah karya band rock
Inggris, Queen, dan ditulis oleh vokalisnya, Freddie
Mercury. Lagu ini dirilis pada tahun 1975 sebagai bagian dari
album A Night at the Opera
Lagu ini dikenal memiliki struktur yang tidak biasa, terdiri
dari beberapa bagian seperti intro, ballad, opera, rock, dan
coda.
Freddie Mercury menulis liriknya tanpa menjelaskan
maknanya secara gamblang, menjadikannya salah satu lagu
paling ikonik dan misterius dalam sejarah musik rock.
Jika Bohemian Rhapsody adalah drama batin, maka Somebody
to Love (1976) adalah dinyanyikan dengan jiwa.
Freddie menulis lagu ini dengan pengaruh musik gospel dan
Aretha Franklin
191
Liriknya menggambarkan kelelahan emosional dan pencarian
kasih yang otentik: “I work hard every day of my life, I get down
on my knees and I start to pray…”
Dalam konteks kesehatan mental, lagu ini memperlihatkan
kerentanan yang jujur, pengakuan bahwa manusia
membutuhkan kasih, dukungan sosial, dan penerimaan diri.
Banyak psikolog musik menilai bahwa lagu ini menciptakan
“empat dimensi penyembuhan emosional”: harapan, keikhlasan,
perjuangan, dan kepasrahan.
Itulah sebabnya Somebody to Love sering digunakan dalam sesi
group therapy dan komunitas dukungan pasien HIV/AIDS —
karena lagu ini memberi legitimasi pada rasa sakit sekaligus
jalan keluar menuju kedamaian batin.
5. Queen dan Paradigma “Musik Sehat”
Dalam keseluruhan karya Queen, kita melihat pola yang
konsisten:
Pengakuan akan penderitaan (awareness of pain)
192
Transformasi menjadi kekuatan (creative
transformation)
Afirmasi terhadap kehidupan (celebration of being alive)
Tiga tahap ini sejalan dengan model promosi kesehatan
emosional modern, yang menekankan kesadaran, kreativitas,
dan makna hidup sebagai faktor pelindung terhadap stres dan
depresi.
Freddie Mercury mungkin tidak pernah menyebut dirinya
terapis, tetapi melalui suaranya, dunia belajar satu hal penting:
“Kesehatan bukan hanya tubuh yang kuat, tetapi jiwa yang
berani mencintai meski tahu akan terluka.”
Bohemian Legacy: Dampak Queen terhadap Psikologi
Kolektif dan Budaya Kesehatan Global
Lebih dari tiga dekade setelah kepergian Freddie Mercury, nama
Queen tidak pernah benar-benar pudar. Musik mereka terus
hidup, bahkan semakin relevan dalam konteks dunia modern
yang diwarnai oleh krisis kesehatan mental, pandemi, dan
kebutuhan akan empati kolektif.
193
Fenomena ini dikenal oleh para sosiolog musik sebagai
“Bohemian Legacy” — warisan kemanusiaan yang lahir dari
panggung rock, namun menembus batas klinik dan ruang terapi.
1. Dari Musik ke Psikologi Kolektif Dunia
Queen membentuk cara baru masyarakat memandang emosi
manusia sebagai sesuatu yang sehat untuk diungkapkan,
bukan disembunyikan. Lagu-lagu seperti The Show Must Go On,
I Want to Break Free, dan Under Pressure menanamkan pesan
penting bagi kesehatan jiwa modern:
bahwa vulnerabilitas bukan kelemahan, melainkan
kekuatan eksistensial.
Under Pressure (1981), misalnya, yang ditulis bersama David
Bowie, adalah refleksi sosial yang kuat tentang stres dan empati.
Lirik “It’s the terror of knowing what this world is about”
menjadi kritik terhadap sistem sosial yang menekan individu,
sementara baris penutup “Love dares you to change our way of
caring about ourselves” menyiratkan revolusi empati — inti
dari promosi kesehatan mental komunitas.
194
Bagi banyak orang, mendengarkan Queen berarti memasuki
ruang penyembuhan: ruang tempat rasa takut, cinta, dan harapan
bisa hidup berdampingan.
2. Queen dan Agenda Kesehatan Dunia Pasca-1990
Setelah 1992, musik dan figur Freddie Mercury mulai digunakan
dalam berbagai program kampanye kesehatan publik.
UNAIDS dan WHO sering menjadikan sosok Freddie
sebagai simbol edukasi non-stigmatis terhadap
HIV/AIDS.
Tahun 2006, film dokumenter Freddie Mercury: The
Untold Story ditayangkan di berbagai forum kesehatan
global sebagai bahan refleksi tentang stigma penyakit
dan hak pasien.
Pada 2018, film Bohemian Rhapsody kembali
membangkitkan minat generasi muda pada isu kesehatan
dan penerimaan diri, dengan dampak signifikan pada
pencarian daring terkait HIV/AIDS menurut data Google
Trends.
195
Fenomena ini memperlihatkan bahwa Queen bukan hanya
bagian dari sejarah musik, tetapi telah menjadi instrumen
budaya kesehatan global — jembatan antara seni, pendidikan,
dan empati manusia.
3. The Show Must Go On: Filosofi Rehumanisasi
Kesehatan
Lagu The Show Must Go On (1991) adalah epitaf musikal
Freddie Mercury — lagu terakhir sebelum ia meninggal. Ditulis
oleh Brian May, lagu ini menjadi simbol keteguhan
menghadapi penderitaan terminal illness.
Kalimat “My make-up may be flaking, but my smile still stays
on” mengekspresikan keberanian untuk hidup dengan
martabat meski tubuh rapuh — konsep yang kini menjadi
prinsip dasar palliative care modern: mengutamakan kualitas
hidup, bukan sekadar memperpanjangnya.
Dalam konteks teori Rehumanisasi Kedokteran yang
dikembangkan di Sastra Kesehatan Indonesia, lagu ini dapat
dibaca sebagai literary medical narrative yang memulihkan
196
nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem medis yang cenderung
teknokratis.
Freddie Mercury, tanpa bermaksud menjadi filsuf, telah
memberikan dunia pelajaran etis:
bahwa penderitaan tidak menghapus martabat, dan seni dapat
menjadi bentuk terapi spiritual paling luhur.
4. Queen dan Spirit Solidaritas Kemanusiaan
Kekuatan Queen tidak hanya pada musiknya, tetapi pada cara
musik itu mempertemukan manusia lintas budaya, agama,
dan orientasi.
Dalam setiap konser besar — dari Montreal 1981 hingga Live
Aid 1985 — Queen memperlihatkan bentuk paling murni dari
collective empowerment: ribuan orang menyanyi bersama,
berbagi energi, dan secara tidak sadar menjalani bentuk terapi
massal.
Live Aid (1985), dengan penampilan monumental Queen di
Wembley, menjadi titik balik sejarah. Dalam 20 menit, mereka
197
tidak hanya menggalang dana untuk kelaparan di Ethiopia, tetapi
juga menunjukkan kekuatan solidaritas sosial sebagai
mekanisme penyembuhan global.
5. Bohemian Legacy: Musik, Martabat, dan Harapan
Warisan Queen bukan sekadar rekaman, melainkan gerakan
budaya yang menyehatkan jiwa manusia mode rn.
Melalui musik, mereka telah:
Menghapus batas antara seni dan kesehatan.
Menghidupkan makna kemanusiaan di tengah dunia
industri.
Menjadikan cinta dan keberanian sebagai terapi
universal.
Bohemian Legacy adalah bukti bahwa musik dapat menjadi
sarana rehumanisasi global — bahwa penyembuhan sejati
tidak hanya datang dari obat, tetapi dari harmoni antara hati,
pikiran, dan suara yang mencintai kehidupan.
***********
198
Kisah cinta dan kematian Freddie Mercury
Kisah cinta dan kematian Freddie Mercury—vokalis
legendaris Queen—adalah salah satu yang paling menyentuh
dan tragis dalam sejarah musik modern. Ia dikenal bukan hanya
karena suaranya yang luar biasa, tetapi juga karena kehidupan
pribadinya yang kompleks, penuh cinta, kesepian, dan
keberanian menghadapi kematian.
Berikut adalah kisahnya secara ringkas namun mendalam:
?????? Mary Austin: Cinta Sejati yang Tak Pernah
Padam
Freddie Mercury bertemu Mary Austin pada tahun 1969, ketika
ia masih berjuang bersama band-nya yang kelak menjadi Queen.
Mary bekerja di butik mode di London, dan keduanya langsung
jatuh cinta.
Mereka hidup bersama selama bertahun-tahun. Freddie pernah
berkata bahwa Mary adalah satu-satunya cinta sejatinya. Ia
bahkan menulis beberapa lagu Queen untuk Mary, termasuk
lagu abadi Love of My Life.
199
Namun pada awal 1980-an, Freddie mulai menyadari identitas
seksualnya yang lebih kompleks. Ia jujur kepada Mary bahwa ia
tertarik pada pria. Walau hubungan romantis mereka berakhir,
ikatan batin mereka tidak pernah terputus.
Freddie menyebut Mary sebagai "soulmate"-nya dan
menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menggantikannya.
“All my lovers asked me why they couldn’t replace Mary, but
it’s simply impossible. Mary is my only friend, and I don’t want
anybody else.” — Freddie Mercury
Ketika Freddie meninggal dunia pada 1991, ia meninggalkan
sebagian besar harta dan rumah megahnya, Garden Lodge,
kepada Mary Austin, beserta amanah untuk menjaga privasi
tentang makamnya. Hingga kini, hanya Mary yang tahu di mana
abu Freddie disemayamkan.
?????? Kematian yang Puitis dan Warisan Abadi
Freddie meninggal di rumahnya, Garden Lodge, dikelilingi
orang-orang yang dicintainya. Mary Austin, Jim Hutton, dan
200
beberapa sahabat dekat dari Queen (seperti Dave Clark dan Peter
Freestone) hadir dalam detik-detik terakhirnya.
Pada saat-saat terakhirnya, Freddie Mercury dikelilingi oleh
lingkaran terdekatnya yang sangat setia di rumahnya, Garden
Lodge. Mary Austin, Jim Hutton, Dave Clark, dan Peter
Freestone adalah beberapa dari mereka yang bergantian
merawatnya di penghujung hidupnya, memastikan ia tidak
pernah sendirian.
Berikut adalah peran mereka dalam detik-detik terakhir Freddie:
Mary Austin: Mantan tunangan dan sahabat terbaik
Freddie. Ia berada di sisinya sepanjang hari-hari
terakhirnya. Freddie menyebutnya "istri menurut hukum
adat" dan menyerahkan sebagian besar warisannya
kepadanya.
Jim Hutton: Pasangan Freddie pada saat itu. Jim
Hutton tinggal bersama Freddie dan berada di sisinya
hingga akhir.
Dave Clark: Vokalis band The Dave Clark Five dan
salah satu teman terdekat Freddie. Dilaporkan, Dave
201
Clark adalah orang yang berada tepat di samping Freddie
saat ia mengembuskan napas terakhirnya.
Peter Freestone: Asisten pribadi Freddie selama 12
tahun. Dikenal dengan sebutan "Phoebe," ia juga tinggal
di Garden Lodge dan berperan sebagai perawat bagi
Freddie di bulan-bulan terakhirnya.
Kehadiran orang-orang terdekat ini menunjukkan betapa
pentingnya dukungan mereka bagi Freddie saat ia menghadapi
penyakitnya, memberikan ia kedamaian hingga akhir.
Freddie telah mempersiapkan kematiannya dengan tenang. Ia
bahkan merekam lagu-lagu terakhir untuk album Made in
Heaven sambil menahan sakit luar biasa, termasuk “These Are
the Days of Our Lives,” yang terasa seperti pesan perpisahan.
“I don’t want to die. I just want to live forever.” — Freddie
Mercury
Dan dalam banyak hal, keinginannya terkabul. Musiknya,
cintanya, dan keberaniannya melawan stigma AIDS telah
membuatnya hidup abadi dalam hati jutaan orang.
202
203
Bahkan Austin ada sampai kematian Mercury pada tahun 1991
akibat Pneumonia Bronkial terkait AIDS yang dia derita di usia
45 tahun. Austin berada di sisinya seperti sebelum-sebelumnya.
Bahkan Mercury mau menyisihkan setengah dari harta miliknya
yang dilaporkan nilainya adalah US$75 juta termasuk rumah di
London dengan 28 kamar yang dia tinggali.
Mary Austin dan Freddie Mercury memiliki hubungan yang
sangat istimewa — bisa dibilang salah satu kisah cinta paling
ikonik dalam sejarah musik modern. Berikut ringkasan kisah
mereka dalam konteks kehidupan pribadi dan artistik Freddie
Mercury:
204
?????? Awal Pertemuan
Mary Austin dan Freddie Mercury bertemu pada tahun 1969 di
London. Saat itu Mary bekerja di butik fesyen Biba, dan Freddie
baru mulai merintis karier bersama band Queen. Mereka
langsung memiliki chemistry yang kuat, dan tak lama kemudian
menjalin hubungan romantis.
❤️ Hubungan Cinta yang Mendalam
Selama tahun-tahun awal Queen, Mary adalah satu-satunya
orang yang benar-benar memahami Freddie — bukan hanya
sebagai artis flamboyan di atas panggung, tapi juga sebagai
pribadi yang sensitif dan penuh imajinasi.
Freddie pernah berkata:
“All my lovers asked me why they couldn’t replace Mary, but
it’s simply impossible. Mary is my only friend, my common-law
wife. To me, she was my wife.”
205
Mereka tinggal bersama selama bertahun-tahun, dan Freddie
bahkan menulis beberapa lagu Queen yang terinspirasi oleh
Mary, termasuk “Love of My Life.”
?????? Ikatan Seumur Hidup
Freddie kemudian membeli rumah megah bernama Garden
Lodge di Kensington, London. Di rumah itulah ia tinggal hingga
akhir hayatnya, dan Mary menjadi ahli waris utama setelah
Freddie meninggal pada tahun 1991.
Ia mewariskan kepadanya rumah, harta benda pribadi, dan
bahkan setengah dari seluruh kekayaannya — tanda bahwa
Mary adalah orang paling penting dalam hidupnya.
?????? Setelah Freddie Meninggal
Mary menjaga privasi Freddie dengan penuh hormat. Ia tidak
pernah mengungkapkan di mana abu Freddie disemayamkan,
sesuai permintaannya. Hingga kini, ia tetap menjadi sosok yang
206
dihormati oleh para penggemar Queen di seluruh dunia karena
kesetiaannya.
?????? Makna Spiritual Cinta Mereka
Kisah Freddie dan Mary melampaui batas cinta romantis —
mereka adalah dua jiwa yang saling memahami tanpa perlu
kepemilikan. Cinta mereka berkembang menjadi bentuk kasih
yang lebih tinggi: pengertian, perlindungan, dan persahabatan
abadi.
Freddie pernah menutup wawancara dengan kalimat:
“I might have all the lovers I want, but there’s no one like Mary.
Mary knows me better than anyone else.”
Kenapa dunia memaafkan segala kesalahan dan
kekurangan Freddie Mercury ?
Mengapa dunia memaafkan, bahkan mencintai, Freddie
Mercury dengan segala kesalahan dan kekurangannya?
207
Jawabannya menyentuh ranah kemanusiaan, seni, dan
spiritualitas cinta. Mari kita uraikan dengan jujur dan filosofis.
?????? 1. Karena Freddie Menghadirkan Kejujuran yang
Langka
Freddie Mercury tidak pernah pura-pura. Ia hidup dalam
keaslian yang total, meskipun dunia di zamannya belum siap
menerima sosok seperti dirinya — seorang pria berdarah Parsi-
Zanzibar, eksentrik, flamboyan, dengan orientasi seksual yang
disalahpahami banyak orang.
Namun ia tetap menjadi dirinya sendiri, tanpa topeng.
Di tengah budaya yang menuntut kesempurnaan, kejujuran
semacam ini terasa membebaskan. Orang-orang mencintainya
bukan karena ia tanpa dosa, tetapi karena ia tidak berbohong
tentang dirinya.
Dan kejujuran itu adalah bentuk tertinggi dari keberanian.
208
?????? 2. Karena Ia Mengubah Penderitaan Menjadi
Seni
Freddie tidak menyembunyikan rasa sakitnya — ia
mengubahnya menjadi musik.
Setiap lagu seperti “Somebody to Love,” “The Show Must Go
On,” atau “Who Wants to Live Forever” adalah doa yang lahir
dari pergulatan batin yang nyata.
Dalam dunia yang sering menekan emosi, Freddie memberikan
izin bagi manusia untuk merasakan — bahagia, hancur, jatuh
cinta, kehilangan, tanpa malu.
Ia membuat penderitaan menjadi sesuatu yang indah dan
universal.
Seni semacam ini tidak bisa dihukum; ia hanya bisa dimaafkan
dan dicintai.
??????️ 3. Karena Ia Mencintai Dunia Tanpa Syarat
209
Freddie tidak pernah membenci dunia, meskipun dunia sering
salah paham padanya.
Ia menyanyikan cinta, kebebasan, dan kegembiraan — bahkan
ketika ia sendiri menderita penyakit yang mematikan.
Sampai akhir hidupnya, ia tidak menulis lagu yang menyalahkan
siapa pun.
Ia hanya menulis lagu tentang keberanian untuk tetap hidup
dan mencintai, bahkan di ujung kematian.
Dan dunia, secara naluriah, tahu bahwa seseorang yang
mencintai manusia dengan tulus layak dimaafkan.
?????? 4. Karena Ia Menyentuh Jiwa Kolektif Umat
Manusia
Freddie melampaui agama, bangsa, dan orientasi.
Ia menjadi simbol jiwa manusia yang berjuang untuk
diterima, dan setiap orang bisa melihat dirinya di sana — entah
sebagai orang yang takut, salah, atau berbeda.
210
Ketika ia bernyanyi, ia menyuarakan penderitaan kita semua —
tetapi dengan sikap megah, penuh cinta, dan tanpa
penyesalan.
Itulah kenapa dunia tidak menghukumnya; dunia melihat
dirinya sendiri di dalam dirinya.
?????? 5. Karena Cinta Mary Austin
Ada sesuatu yang mistis dalam cinta Mary Austin terhadap
Freddie.
Ia tidak mencintai tubuhnya, orientasinya, atau ketenarannya —
ia mencintai jiwanya.
Dan cinta yang tulus itu seperti memberi “pengampunan rohani”
kepada Freddie di mata sejarah.
Mary menjadi saksi bahwa di balik semua dosa dan kegilaan,
ada jiwa yang lembut, rapuh, dan penuh kasih.
211
?????? Kesimpulan: Dunia Tidak Memaafkan Freddie —
Dunia Mencerminkan Dirinya
Mungkin sesungguhnya dunia tidak sedang “memaafkan”
Freddie Mercury.
Dunia sedang berdamai dengan dirinya sendiri melalui
Freddie.
Ia menjadi cermin bagi umat manusia — bahwa kita semua tidak
sempurna, tapi masih layak dicintai, selama kita jujur, berani,
dan memberi makna bagi sesama.
This man was a legend. There will
never be another Freddie Mercury.
Freddie Mercury memang dianggap legenda musik dunia,
dan banyak orang percaya tidak akan ada lagi sosok seperti
dia.
Freddie Mercury (1946–1991), vokalis utama band Queen,
dikenal karena:
212
Suara luar biasa dengan rentang vokal hampir empat
oktaf,
Karisma panggung yang memukau,
Kemampuan mencipta lagu yang luar biasa (Bohemian
Rhapsody, Somebody to Love, We Are the Champions,
dan lainnya),
Keberanian mengekspresikan diri di masa ketika banyak
orang masih tabu berbicara soal identitas dan kebebasan
artistik.
Jadi, kalimat “This man was a legend. There will never be
another Freddie Mercury.”
bukan hanya benar secara faktual (karena dia memang legenda
musik), tapi juga benar secara emosional dan kultural —
menggambarkan betapa unik dan tak tergantikan sosoknya.
“Pria ini adalah seorang legenda. Tidak akan pernah ada lagi
Freddie Mercury yang lain.”
Freddie Mercury — vokalis utama band Queen — dikenal
sebagai salah satu penyanyi, penulis lagu, dan performer terbaik
dalam sejarah musik rock.
213
Suaranya yang luar biasa (rentang vokal hampir 4 oktaf),
kepribadian panggung yang karismatik, serta kemampuannya
menulis lagu-lagu ikonik seperti Bohemian Rhapsody,
Somebody to Love, dan We Are the Champions membuatnya
dianggap tak tergantikan.
Jadi, secara budaya dan emosional, benar — Freddie Mercury
adalah legenda, dan tak akan ada yang seperti dia lagi.
Freddie Mercury adalah vokalis legendaris grup musik rock asal
Inggris, Queen.
Ia dikenal karena kemampuan vokal yang luar biasa, jangkauan
vokal empat oktaf, dan gaya panggung yang flamboyan dan
karismatik.
Perjalanan Freddie Mercury dan Queen
Awal mula (1970): Freddie Mercury (nama asli Farrokh
Bulsara), bergabung dengan gitaris Brian May
dan drummer Roger Taylor. Mereka merekrut basis John
Deacon pada 1971, melengkapi formasi klasik band ini.
214
Penamaan dan logo: Freddie lah yang mengusulkan
nama "Queen". Ia menganggap nama itu terdengar
"megah dan indah". Ia juga mendesain logo band, yang
menggabungkan lambang zodiak keempat anggota.
Masa kejayaan (1970–1980-an): Freddie menjadi
motor di balik kesuksesan besar Queen. Ia menulis
banyak lagu hit, seperti "Bohemian Rhapsody", "Killer
Queen", "We Are the Champions", dan "Somebody to
Love".
Puncak karier: Salah satu penampilan Queen yang
paling dikenang adalah di konser amal Live Aid pada
tahun 1985. Pertunjukan mereka dianggap sebagai salah
satu penampilan live terbesar dalam sejarah musik rock.
Peran sentral: Sebagai frontman, Freddie Mercury
adalah daya pikat utama Queen. Gaya panggungnya
yang teatrikal dan energik mampu memukau ribuan
penonton di stadion-stadion seluruh dunia.
Karier solo: Di luar Queen, Freddie juga merilis dua
album solo, Mr. Bad Guy (1985) dan Barcelona (1988),
215
yang berkolaborasi dengan penyanyi opera Montserrat
Caballé.
Kesehatan dan kematian: Pada akhir 1980-an,
kesehatan Freddie mulai menurun. Ia didiagnosis
mengidap AIDS pada tahun 1987, tetapi
merahasiakannya dari publik. Pada 23 November 1991,
sehari sebelum meninggal, ia mengonfirmasi kondisinya
kepada publik. Ia meninggal pada 24 November 1991
karena bronkopneumonia akibat komplikasi AIDS.
Warisan Abadi
Album anumerta: Setelah kematiannya, Queen merilis
album terakhir mereka bersama Freddie, Made in
Heaven (1995), yang memuat rekaman vokal
terakhirnya.
Penghargaan: Freddie dan Queen dianugerahi banyak
penghargaan, termasuk masuk ke Rock and Roll Hall of
Fame (2001) dan Grammy Lifetime Achievement Award
(2018).
216
Film biopik: Kisah hidup Freddie dan Queen diangkat
ke layar lebar dalam film Bohemian Rhapsody (2018),
yang kembali mendongkrak popularitas mereka secara
global.
Dampak : Warisan Freddie Mercury dalam musik rock
tidak hanya terletak pada suaranya, tetapi juga pada
kontribusi kreatif, gaya panggung, dan dampaknya
dalam meningkatkan kesadaran tentang AIDS setelah
kematiannya.
217
KEUNGGULAN NOVEL INI :
Novel tentang Freddie Mercury dan Queen karya Ferizal
(disebut sebagai "The Father of Indonesian Health Literature"),
menonjol dengan beberapa keunggulan yang membuatnya unik,
inspiratif, dan relevan di era modern.
Saya akan merangkumnya secara terstruktur untuk memudahkan
pemahaman, dengan fokus pada aspek naratif, edukatif, dan
budaya. Keunggulan ini tidak hanya membuat novel ini layak
dibaca sebagai hiburan, tapi juga sebagai alat refleksi kesehatan
dan kehidupan.
1. Pendekatan Inovatif: Gabungan Biografi Musik
dan Promosi Kesehatan
Novel ini bukan sekadar biografi standar tentang Freddie
Mercury dan Queen. Ia mengintegrasikan elemen
promosi kesehatan (health promotion) secara mendalam,
terutama terkait HIV/AIDS, stigma penyakit, dan
ketahanan mental. Misalnya, pembahasan Mercury
Phoenix Trust dan dampak kematian Freddie terhadap
218
kesadaran global AIDS menjadikannya sebagai "sastra
kesehatan" ala Indonesia, sesuai gagasan Ferizal.
Keunggulan: Membuat cerita lebih dari sekadar
hiburan—ia menjadi alat edukasi. Pembaca diajak
memahami bagaimana musik bisa menjadi "terapi
sosial" dan "vaksin moral", seperti analisis lagu-lagu
Queen (e.g., Bohemian Rhapsody sebagai katarsis
eksistensial atau The Show Must Go On sebagai
paradigma resiliensi).
2. Narasi yang Kaya dan Emosional
Struktur cerita mengalir seperti simfoni: dari lahirnya
Freddie di Zanzibar, pembentukan Queen, puncak
kejayaan (Live Aid 1985), hingga kematian dan warisan
abadi. Elemen naratif seperti dialog imajinatif ("We are
going to be huge, darling") dan deskripsi panggung
membuatnya hidup dan immersif.
Keunggulan: Menyentuh emosi pembaca melalui
paradoks Freddie—flamboyan di panggung tapi rapuh
secara pribadi. Kisah cintanya dengan Mary Austin
digambarkan sebagai "cinta sejati" yang melampaui
219
romansa, menambah kedalaman filosofis tentang cinta,
kehilangan, dan penerimaan diri.
3. Konten Edukatif dan Historis yang Akurat
Novel ini penuh fakta: detail pembentukan Queen (nama
diusulkan Freddie pada 1970), analisis lagu dari
perspektif kesehatan mental (e.g., Don't Stop Me Now
untuk keseimbangan dopamin), hingga dampak global
seperti Live Aid yang mengumpulkan dana ratusan juta
USD.
Keunggulan: Cocok untuk pembaca yang ingin belajar
sejarah musik sambil merefleksikan isu kontemporer
seperti pandemi COVID-19 (melalui remake You Are
The Champions). Ini membuat novel ini relevan di mana
kesehatan mental dan pencegahan penyakit masih jadi
isu besar.
4. Relevansi Budaya dan Inspiratif
Sebagai karya Indonesia, novel ini menghubungkan
warisan Barat (Queen) dengan nilai lokal, seperti "Sastra
Kesehatan Indonesia" yang menekankan rehumanisasi
220
kedokteran. Ia menunjukkan bagaimana musik bisa jadi
diplomasi kesehatan global, dari stigma AIDS hingga
solidaritas pasca-pandemi.
Keunggulan: Memberi inspirasi ketahanan hidup ("The
Show Must Go On" sebagai mantra). Pembaca diajak
melihat Freddie bukan sebagai sosok sempurna, tapi
manusia yang "dimaafkan dunia" karena kejujuran dan
kontribusinya—pesan yang empowering untuk generasi
muda.
5. Gaya Penulisan yang Menarik dan Aksesibel
Bahasa campur naratif, poetik, dan analitis (e.g., poin-
poin penting dengan emoji seperti ?????? untuk kampanye
AIDS), membuatnya mudah dibaca meski panjang. Ada
elemen filosofis seperti "musik sebagai terapi" yang
sejajar dengan Piagam Ottawa 1986 untuk promosi
kesehatan.
Keunggulan: Tidak membosankan; cocok untuk
penggemar musik, profesional kesehatan, atau pembaca
umum.
221
Potensi visual tinggi jika diadaptasi jadi film atau serial,
mengikuti kesuksesan Bohemian Rhapsody (2018).
Secara keseluruhan, novel ini unggul karena mengubah kisah
rock legendaris menjadi narasi kesehatan yang humanis dan
timeless. Ia bukan hanya menghibur, tapi juga mengajak
pembaca untuk "menyembuhkan" diri melalui musik dan
empati. Jika Anda membacanya, Anda akan melihat Queen
bukan sekadar band, tapi simbol perjuangan manusiawi.
CATATAN FERIZAL BAPAK SASTRA KESEHATAN
INDONESIA : Kami hanya mengambil sisi positif dari Freddie
Mercury dan QUEEN. Sisi sisi negatif mohon diabaikan saja
222
Riwayat Penulis
Ferizal dikenal sebagai Bapak Sastra Kesehatan Indonesia. Gelar ini disahkan oleh
Kementerian Hukum Republik Indonesia (Kemenkum RI). Ia juga dikenal sebagai
pelopor yang mengintegrasikan seni sastra dengan inovasi promosi kesehatan digital.
Kontribusi Ferizal dalam sastra kesehatan:
223
Sastra Promosi Kesehatan : Ferizal memelopori gerakan yang memadukan seni
sastra dengan promosi kesehatan, terutama melalui pemanfaatan teknologi digital.
Sastra Kedokteran Gigi Indonesia : Ferizal memelopori hal ini
Rehumanisasi Layanan Kesehatan: Karyanya bertujuan untuk menghumanisasi
kebijakan kesehatan dan layanan kesehatan melalui pendekatan sastra yang
memikat.
Mendukung Akreditasi Puskesmas dan Integrasi Layanan Primer (ILP): Ia
menulis artikel ilmiah yang menjelaskan bagaimana sastra kesehatan dapat
mendukung akreditasi Puskesmas dan ILP.
Karya Sastra: Ferizal telah menerbitkan karya-karya yang menggabungkan
sejarah kedokteran dengan narasi fiksi, contohnya novel berjudul Novel Sejarah
Kedokteran, Deklarasi Alma Ata 1978 hingga JKN Indonesia Diakui Dunia.
Manual Book Gerakan Sastra Kesehatan Indonesia: Dia juga merupakan
penulis manual book yang menjelaskan tentang gerakan sastra Kesehatan