PDF SKRIPSI SHAKINA MUANNISA semester 6rev.pdf

ninashakina1213 14 views 85 slides Jan 05, 2025
Slide 1
Slide 1 of 85
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18
Slide 19
19
Slide 20
20
Slide 21
21
Slide 22
22
Slide 23
23
Slide 24
24
Slide 25
25
Slide 26
26
Slide 27
27
Slide 28
28
Slide 29
29
Slide 30
30
Slide 31
31
Slide 32
32
Slide 33
33
Slide 34
34
Slide 35
35
Slide 36
36
Slide 37
37
Slide 38
38
Slide 39
39
Slide 40
40
Slide 41
41
Slide 42
42
Slide 43
43
Slide 44
44
Slide 45
45
Slide 46
46
Slide 47
47
Slide 48
48
Slide 49
49
Slide 50
50
Slide 51
51
Slide 52
52
Slide 53
53
Slide 54
54
Slide 55
55
Slide 56
56
Slide 57
57
Slide 58
58
Slide 59
59
Slide 60
60
Slide 61
61
Slide 62
62
Slide 63
63
Slide 64
64
Slide 65
65
Slide 66
66
Slide 67
67
Slide 68
68
Slide 69
69
Slide 70
70
Slide 71
71
Slide 72
72
Slide 73
73
Slide 74
74
Slide 75
75
Slide 76
76
Slide 77
77
Slide 78
78
Slide 79
79
Slide 80
80
Slide 81
81
Slide 82
82
Slide 83
83
Slide 84
84
Slide 85
85

About This Presentation

skripsi kuliah


Slide Content

PERINGATAN TRADISI SATU SURO DI
KOMUNITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN URIP
SEJATI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :
Shakina Muannisa
11200321000045

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1445 H / 2024 M

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

iv

ABSTRAK

SHAKINA MUANNISA(11200321000045) “PERINGATAN TRADISI
SURO DI KOMUNITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN URIP SEJATI”.
skripsi. Program Studi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peringatan Satu Suro dalam pandangan tradisi masyarakat Jawa bermula
saat zaman Sultan Agung. Saat itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem
penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu. Sementara
Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah (Islam).
Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif
memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif jenis data lapangan, karena
mengkaji sebuah tradisi keagamaan berdasarkan literatur dan perspektif para
penganutnya. Penelitian ini menggunakan pendeketan historis dan etnografis,
kerena berkaitan dengan tradisi dan kebudayaan. Penelitian ini menggunakan
sumber data primer dan sumber data sekunder. Dengan metode analisis deskriptif
metode penumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi, analisis
ini dilakukan dengan mendeskripsikan tentang penganut ajaran Kejawen Urip
Sejati Palang Putih Nusantara terkait perayaan tradisi Suro dalam penghayat Urip
Sejati.
Dalam Satu Suro ini, peneliti ingin mendapat pengetahuan baru mengenai
malam Satu Suro yang masih perlu kita cermati dan kaji lebih dalam kebudayaan
spiritual di Borobudur dalam budaya spiritual, dengan adanya akultural budaya
tradisi dalam kebudayaan sebelumnya pernah atau ada sinkritiknya. Dengan
demikian, penelitian ini juga ingin mengetahui bagaimana dalam memperoleh
kehidupan yang bermakna menurut sudut pandang penganut Palang Putih
Nusantara yang meyakini dan mengamalkan konsep ajaran Urip Sejati dalam
tradisi Satu Suroan terkait makna simbolik dan keyakinannya.
Kata Kunci : Tradisi Satu Suro, Penghayat Kepercayaan, Komunitas Urip Sejati,
Budaya Spiritual.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini yang berjudul “PERINGATAN TRADISI SATU SURO DI KOMUNITAS
PENGHAYAT KEPERCAYAAN URIP SEJATI ”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) di Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi yang jauh dari kata
sempurna ini, tidak akan selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Drs.
Ismatu Ropi, M.A., Ph.D.
2. Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Ketua Jurusan Studi Agama-
Agama yang telah memberikan arahan dan motivasi luar biasa kepada
penulis serta memberikan pelayanan yang terbaik kepada mahasiswa/i.
3. Bapak Rahmat Hidayatullah,, S.S., M.A selaku dosen pembimbing yang
selalu bersedia meluangkan waktu serta kesabaran untuk memberikan
arahan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

vi

4. Prof. Dr. H. M. Amin Nurdin M.A., selaku dosen Pembimbing Akademik
(PA) yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis selama
menjadi mahasiswi SAA.
5. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan doa, nasihat, bimbingan,
motivasi, dan saran kepada penulis. Semoga penulis dapat membalas
segala jasa dari orang tua dengan sebaik-baiknya. Tak lupa terima kasih
diucapkan kepada kakak dan adik penulis, Shakila dan Kiki yang selalu
memberikan dukungan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
dengan lancar.
6. Ki Kamidjan selaku Ketua Komunitas Penghayat Kepercayaan Urip Sejati
yang telah memberikan banyak wawasan dan arahan kepada penulis
mengenai perayaan tradisi Suro di komunitas Urip Sejati.
7. Teman-teman Studi Agama-Agama UIN Jakarta Angkatan 2020 yang
terus memberikan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan skripsi dan lulus tepat waktu.
8. Orang-orang yang telah memberikan dukungan secara langsung maupun
tidak langsung kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Sebagai manusia biasa yang tak pernah luput dari kekurangan dan
keterbatasan, tentunya penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.

vii

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, khususnya bagi bidang keilmuan Studi Agama-Agama dan bagi upaya
konservasi alam berbasis ajaran teologi di Indonesia. Semoga Allah memberikan
keberkahan bagi kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta, 2024

Shakina Muannisa

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ......................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
F. Kajian Pustaka .............................................................................................. 8
G. Metode Penelitian....................................................................................... 11
H. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 13
BAB II……………………………………………………………………………15
GAMBARAN UMUM DUSUN ONGGOSORO KECAMATAN BOROBUDUR
KABUPATEN MAGELANG ............................................................................... 15
A. Aspek Geografi Dan Iklim Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang 15
B. Aspek Demografi dan Kependudukan Kecamatan Borobudur Kabupaten
Magelang ........................................................................................................... 18

ix

C. Aspek Sosial, Agama, dan Pendidikan Kecamatan Borobudur Kabupaten
Magelang ........................................................................................................... 21
D. Profil Komunitas Kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro Desa
Giritengah Kecamatan Bodobudur Kabupaten Magelang. ................................ 26
BAB III ................................................................................................................. 30
TRADISI SURO DI PULAU JAWA .................................................................... 30
A. Interaksi Islam dan Budaya Lokal di Pulau Jawa ...................................... 30
B. Ritual 1 Suro Dalam Islam dan Jawa ........................................................ 32
C. Praktik Peringatan Satu Suro di Beberapa Wilayah Daerah Jawa .............. 36
BAB IV ................................................................................................................. 39
PERINGATAN TRADISI 1 SURO DI KOMUNITAS DUSUN ONGGOSORO
KEPERCAYAAN URIP SEJATI ......................................................................... 39
A. Tradisi Suro di Kalangan Penghayat Kepercayaan Urip Sejati ................. 39
B. Prosesi Praktik Ritual Dalam Tradisi 1 Suro di Kalangan Penghayat Urip
Sejati. ................................................................................................................. 41
C. Makna Simbolik Tradisi 1 Suro di Kalangan Komunitas Penghayat
Kepercayaan Urip Sejati .................................................................................... 44
BAB V ................................................................................................................... 48
PENUTUP ............................................................................................................. 48
A. Kesimpulan ................................................................................................ 48
B. Saran ........................................................................................................... 50
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 51
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 55

x


DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Data di Desa/Kelurahan di Kecamatan Borobudur pada tahun
2022 ....................................................................................................................... 20
Tabel 2.2 Jumlah Pemeluk Agama (Jiwa) di Kabupaten Magelang ..................... 22
Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan di Kecamatan ........................................................ 25


DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Peta Kabupaten Magelang ........................................................... 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Budaya spiritual merupakan urat nadi bagi dinamika berbagai bentuk
budaya benda (tangible) dan tak benda (intangible) pada masyarakat
Nusantara. Budaya spiritual secara sederhana, dimengerti sebagai orientasi
kehidupan yang menekankan pada harmoni antar wujud kosmos sebagai
kebutuhan dan tujuan hakiki dari kehidupan di dunia, yang mencakup
keharmonisan sosial (hidup bersama secara damai dengan sesama), keharmonisan
ekologis (lingkungan lestari bersama tradisi), dan eskatologis (keselamatan dan
ketentraman setelah mati).
Salah satu bentuk budaya spiritual yang berkembang dalam masyarakat
Nusantara adalah peringatan malam Satu Suro pada tanggal 1 Muharram menurut
penanggalan Jawa. Tradisi ini memiliki nilai spiritual dan simbolisme kultural
yang kaya makna. Awal mula perayaan malam Satu Suro konon bertujuan untuk
memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa pada zaman
pemerintahan kerajaan Demak oleh Sunan Giri II yang membuat penyesuaian
antara sistem kalender Hijriah dengan sistem kalender Jawa pada masa itu. Awal
tahun baru ini disebut sebagai “Muharoman”. Suro merupakan sebutan bulan
Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab
“‘asyura”, yang berarti sepuluh, yakni hari ke-10 bulan Muharram. ‘Asyura,
dalam lidah Jawa menjadi “Suro”. Jadilah kata “Suro“ sebagai khazanah Islam-
Jawa sebagai nama bulan pertama dalam kalender Islam maupun Jawa.
1

Bulan Suro dianggap sebagai bulan yang sakral oleh orang Jawa.
Kebanyakan dari mereka mengharapkan untuk ngalap berkah (menerima berkah)
dari bulan suci ini. Sebagian orang Jawa menyebut tradisi Suran ini dengan

1
Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit
Narasi, 2009), h. 83.

2

“bersih desa”. Bersih desa sering juga disebut “merti desa”. Istilah merti mungkin
sekali berasal dari kata mreti atau preti. Kata preti adalah bentuk matesis dari kata
prite, yang berarti pemujaan terhadap arwah leluhur dari suatu desa dengan
menyajikan makanan, minuman, buah-buahan, bunga-bungaan, dan sebagainya.
2

Perayaan tradisi ini menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan.
Maka, ritual ini selalu diiringi dengan pembacaan doa dari semua masyarakat
yang hadir dalam perayaan. Masyarakat memanfaatkan kesempatan ini untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penetapan Satu Suro sebagai
awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman kerajaan Mataram pada masa
pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645), yang ingin
memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dan menyatukan rakyatnya yang terpecah
belah karena perbedaan keyakinan agama. Malam Satu Suro ini dianggap sebagai
wadah untuk memperkuat tali silaturahmi antar masyarakat. Tradisi ini dianggap
penting dan memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur,
memohon keselamatan dan melestarikan tradisi setempat.
Tradisi Satu Suro biasa dilakukan di lingkungan masyarakat Jawa.
3
Tradisi
ini merupakan adat khas dari masyarakat Jawa. Berbagai macam acara
diselenggarakan masyarakat Jawa dari berbagai daerah dengan kegiatan dan
makna berbeda-beda dalam rangka merayakan malam Satu Suro. Berikut ini
adalah beberapa tradisi yang umum dilakukan oleh masyarakat Jawa:
1. Tirakat, lelaku, atau perenungan diri, yaitu melakukan puasa, sholat, dzikir,
membaca Al-Quran, atau meditasi untuk membersihkan diri dan melawan
nafsu manusiawi.
4

2. Selametan khusus, yaitu melakukan doa bersama, membaca surat Yasin, atau
menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai bentuk syukur dan sedekah.

2
Departemen P dan K, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat-
Istiadat Daerah Jawa Tengah, (Jakarta: Departemen P dan K Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan
Sastra Indonesia dan Daerah, 1978), h. 41.
3
Raga Rafael Maran, Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 45.
4
Djoko Dwiyanto, Penghayatan Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa, (Yogyakarta:
Pararaton, 2010), h. 2.

3

3. Ziarah kubur atau haul, yaitu mengunjungi makam leluhur, tokoh agama, atau
keramat untuk menghormati mereka dan memohon berkah serta ampunan.
4. Labuhan atau sesaji laut, yaitu melempar sesaji berupa bunga-bungaan,
makanan, minuman, uang logam, atau hewan kurban ke laut sebagai tanda
penghormatan kepada Nyai Roro Kidul (Ratu pantai selatan) dan meminta
keselamatan bagi nelayan dan pelaut.
5

5. Sedekah bumi atau gunung, yaitu memberikan sesaji berupa hasil bumi atau
hewan kurban ke tanah atau gunung sebagai tanda penghormatan kepada roh-
roh penjaga alam dan meminta kesuburan serta kesejahteraan bagi petani dan
penduduk.
6. Mandi keramat, yaitu mandi di sungai, sumber air, atau tempat rekreasi yang
dianggap memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit, awet muda,
panjang umur, atau mendapatkan jodoh.
Tradisi Satu Suro merupakan salah satu kebudayaan yang dipertahankan
masyarakat Jawa lebih khusus merupakan warisan nenek moyang suku Jawa.
6

Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa. Hal ini dianggap
keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi.
7
Masyarakat Jawa saat itu sangat
mudah menerima Islam lantaran kehadirannya lebih memberikan apresiasi
terhadap budaya lokal yang ada, di samping tetap memperbaiki situasi sosial
menuju tatanan Islam yang lebih baik, kemudian memasukkan ajaran Islam ke
dalam kehidupan dan budaya Jawa atau dengan istilah lain dapat mewujudkan
Islamisasi budaya Jawa dan sebaliknya berhasil melakukan Jawanisasi ajaran-
ajaran Islam. Ajaran ketuhanan asli Jawa tidak tunggal, tetapi beragam, ada
monoteisme, panteisme dan deisme. Semua ada dalam agama asli Jawa yang
hidup rukun berdampingan sesuai sifat orang Jawa yang toleran dan sinkretis.
8


5
M. As’ad El Hafidy, Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982), h. 98.
6
Ratna Christiana, “Tradisi Suroan di Desa Bedono Kluwung Kecamatan Kemiri
Kabupaten Purworejo,” Skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019, h. 2.
7
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2018),
h. 47.
8
Dwiyanto, Penghayat Kepercayaan..., h. 2.

4

Salah satu komunitas keagamaan yang secara rutin merayakan peringatan
malam Satu Suro adalah komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati.
Komunitas ini merupakan salah satu penganut ajaran Kejawen yang tergabung
dalam paguyuban Palang Putih Nusantara. Palang Putih Nusantara merupakan
paguyuban bentukan Wisnoe Wardhana Suryodiningrat, tokoh tari kenamaan
Keraton Yogyakarta.
9
Urip Sejati merupakan komunitas penghayat kepercayaan
Kejawen yang tinggal di Dusun Onggosoro Desa Giritengah Kecamatan
Borobudur Kabupaten Magelang. Jumlah anggota komunitas ini kurang lebih
sebanyak 200 orang. Komunitas ini memiliki sanggar sebagai tempat beribadatan
yang dinamakan Sanggar Pamelengan, yang artinya tempat pamiling antara
manusia dan sang pencipta. Orang-orang yang memeluk kepercayaan Urip Sejati
umumnya memiliki keyakinan dan praktik keagamaan yang berasal dari tradisi
lokal, khususnya budaya Jawa.
Komunitas Kejawen Urip Sejati memiliki ajaran “Kawruh Urip Sejati
Kang Anjog Lawange Suwarga utawa Neraka”, yang kemudian disebut ajaran
Kejawen Urip Sejati di kalangan para penganutnya dan menjadi salah satu ajaran
yang harus diamalkan oleh para penganutnya.
10
Di antara ajaran yang harus
diamalkan oleh penganut Palang Putih Nusantara antara lain Sangkan Paraning
Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, dan Memayu Hayuning Bawono.

Ajaran
sangkan Paraning Dumadi adalah tentang ilmu kesempurnaan. Maksudnya
seseorang akan selamat saat mencapai kesempurnaan atau manusia sudah
mencapai kehidupan yang bermakna. Secara simbolik, ajaran ini dapat dimaknai
sebagai perwujudan bahwa seorang manusia merupakan tajalli atau sebagai
unsur-unsur yang tidak bisa dipisahkan dari Tuhan.
11
Sementara makna simbolik
Manunggaling Kawulo Gusti merupakan perwujudan sikap manembah, yakni

9
Asef Amani, “Penganut Kejawen Urip Sejati di Borobudur Peringati Satu Sura 1955,
diakses pada 24 Agustus 2021 dari https://www.suaramerdeka.com/hiburan/pr-
04947673/penganut-kejawen-urip-sejati-di-borobudur-peringati-satu-sura-1955.
10
Palang Putih Nusantara, Kejawen Kawruh Urip Sejati Anjog Lawange Suwarga Utawa
Neraka, (Yogyakarta: Sekretariat Palang Putih Nusantara, 2013), h. 4.
11
Muhammad Darori Amin, Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan,
Keyakinan dan Ritual, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 140.

5

upaya menghubungkan diri secara sadar, mendekat dan manunggal dengan Tuhan
karena menurut penganut kepercayaan Urip Sejati tujuan hidup manusia adalah
bersatu dengan Tuhan.
12
Adapun ajaran Memayu Hayuning Bawana berarti upaya
menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.
Komunitas Urip Sejati masih mempraktikkan adat istiadat dan nilai-nilai warisan
nenek moyang bangsa Indonesia, dengan keyakinan pada satu Tuhan yang Maha
Esa.
13

Masyarakat Dusun Onggosoro pada umumnya telah terbiasa menjalankan
tradisi Satu Suro secara turun temurun sejak nenek moyang untuk menjaga
keselamatan atau mara bahaya dan hal (musibah) yang tidak diinginkan. Hal yang
sama juga dilakukan oleh komunitas Urip Sejati, yakni memperingati perayaan
malam Satu Suro. Selain itu, komunitas Urip Sejati juga memiliki tradisi ritual
tahunan setiap tanggal 15 Suro. Prosesi upacara diawali dengan kegiatan nyekar
atau berziarah ke makam di dekat dusun kala siang hari.
14
Tradisi Suroan yang
dipraktikan oleh komunitas Urip Sejati ini kemungkinan disebabkan oleh interaksi
antara anggota penghayat kepercayaan Urip Sejati dengan masyarakat Muslim.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa beberapa individu memilih untuk menyatukan
unsur-unsur Islam dalam perayaan tersebut sebagai bentuk sinkretisme atau
adaptasi budaya. Proses ini dapat melibatkan berbagai aspek kehidupan
masyarakat, termasuk budaya, adat istiadat, dan tradisi lokal yang kemudian
mengalami pengaruh atau perubahan karena masuknya ajaran Islam. Adanya
kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal (seperti
Kenduri, Bubakan, Munggahan, Suroan dan Sadranan) termasuk salah satu
praktik yang diakui dalam kaidah ushul al-fiqh, bahwa tradisi adalah bagian dari
syariat yang diberlakukan (al-'adah syari'ah muhakkamah). Ini berarti bahwa adat

12
Jefri Suwardi Endaswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta:Narasi.2018), h. 46.
13
Prins David Saut, “Ada 187 Organisasi dan 12 Juta Penghayat Kepercayaan di
Indonesia,” diakses pada 11 Maret 2024 dari https://news.detik.com/berita/d-3720357/ada-187-
organisasi-dan-12-juta-penghayat-kepercayaan-di-indonesia.
14
Abdul Majid danTaufik Wahyono, Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20 Desa di
dalam Kawasan Borobudur, (Jakarta: Kemendikbud RI, 2020), h. 177.

6

dan kebiasaan masyarakat tertentu, yang merupakan bagian dari budaya lokal,
dapat dianggap sebagai sumber hukum Islam.
Satu Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari
sebelum tanggal 1, biasanya disebut malam Satu Suro. Hal ini karena pergantian
hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada
tengah malam. Peringatan Satu Suro yang dipraktikan oleh komunitas Urip Sejati
mencakup beberapa elemen ritual seperti mengirab gunungan dengan aneka ragam
buah dan sayur, ubarampe seperti tumpeng, jenang abang putih dan ayam
ingkung. Elemen-elemen ini mencerminkan bentuk perayaan yang kaya dengan
simbolisme dan makna mendalam, sering kali dihubungkan dengan
keberlimpahan dan kesuburan serta keberkahan dan keharmonisan.
15
Meskipun
makna dan simbolisme ini mungkin sangat khusus untuk komunitas tersebut dan
mungkin tidak dikenal secara umum, ada beberapa elemen yang sering ditemui
dalam tradisi agama. Elemen-elemen simbolik ini perlu dikaji secara antropologis
untuk memahami makna di balik simbol-simbol tersebut sebagaimana dipahami
oleh para pelakunya.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti mengidentifikasi
beberapa masalah yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1. Tradisi Satu Suro merupakan praktik ritual yang biasa dirayakan oleh
Masyarakat Jawa.
2. Salah satu masyarakat Jawa yang mempraktikkan tradisi Satu Suro
adalah komunitas kepercayaan Urip Sejati.
3. Komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati adalah salah satu
penganut ajaran kejawen.

15
Bastaman HD, Logoterapi: Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih
Hidup Bermakna, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 38.

7

4. Komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati merayakan tradisi Satu
Suro setiap tahunnya.

C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Batasan masalah menjelaskan pembatasan penelitian dari segi tema dan
fokus. Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam pembahasan
sehingga tujuan penelitian akan tercapai, beberapa batasan masalah dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Ruang lingkup penelitian ini hanya berfokus pada perayaan tradisi Satu
Suro pada komunitas kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro.
2. Penelitian ini berupaya memahami praktik dan makna simbolik dibalik
perayaan tradisi Satu Suro pada komunitas kepercayaan Urip Sejati.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka terdapat
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Mengapa komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati merayakan
peringatan tradisi Satu Suro ?
2. Bagaimana praktik perayaan tradisi Satu Suro pada komunitas penghayat
kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro?
3. Apa makna simbolik dari perayaan tradisi Satu Suro pada komunitas
penghayat kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun lebih detailnya, tujuan
dari penelitian ini yaitu:

8

1. Untuk menganalisis alasan dan tujuan penghayat kepercayaan Urip Sejati
merayakan peringatan tradisi Satu Suro.
2. Untuk memahami praktik perayaan tradisi Satu Suro pada komunitas
penghayat kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro.
3. Untuk menganalisis makna simbolik dari perayaan tradisi Satu Suro pada
komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro.

E. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah literasi dan
memberikan wawasan kepada kajian budaya mengenai peringatan Satu Suro
dan mengkaji secara mendalam tradisi terkait praktik perayaan tradisi Satu
Suro pada komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati di Dusun
Onggosoro. Skripsi ini diharapkan mampu berkontribusi dalam melakukan
brainstorming para akademisi dalam melakukan konservasi tradisi
kebudayaan berdasarkan nilai-nilai religiusitas.
Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi tambahan data dan
informasi yang akurat dan terpercaya tentang perayaan tradisi Satu Suro pada
komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati. Hasil penelitian dalam skripsi
ini diharapkan dapat digunakan sebagai nilai ke religiusan dalam tradisi
peringatan yang mengikuti kebudayaan dan dapat memahami konsep ajaran
Urip sejati agar mencapai kehidupan yang bermakna dalam peringatan Satu
Suro.

F. Kajian Pustaka
Dalam pembahasan malam Satu Suro masyarakat dengan penuh
keyakinan meminta ingin keselamatan. Kemudian, desa yang melakukan dalam
Satu Suro ini berada di Desa Giritengah. Diketahui bahwasannya, dalam
peringatan Suro ini masyarakat sangat melekat sekali dalam menjalankan
tradisinya. Masyarakat mempercayai bahwa jika tradisi tidak diadakan atau
dilaksanakan maka akan terjadi malapetaka atau musibah yang akan datang

9

menghampiri mereka. Didalam jurnal yang saya ambil, penulis menemukan
beberapa kajian terkait pembahasan yang saya bahas ini, antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Persepsi Masyarakat Jawa Terhadap Budaya
Malam Satu Suro di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana
Kabupaten Luwu Timur.” Ditulis oleh Irvan Prasetiawan, mahasiswa UIN
Alauddin Makassar, Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas
Ushuluddin Filsafat dan Politik.
Dalam penelitiannya, penulis penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan fenomenologis.
Data-data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder,
sedangkan dalam pengumpulan data digunakan metode observasi,
wawancara dan dokumentasi. Malam Satu Suro memiliki makna khusus
bagi masyarakat Margolembo di Desa Margolembo, Kecamatan
Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur.
Berdasarkan penelitian, malam ini dianggap keramat dan bertepatan
dengan tanggal satu Muharram dalam kalender Islam. Pada malam Satu
Suro, seluruh benda pusaka seperti keris, batu, dan benda-benda lainnya
dimandikan atau disucikan dengan bunga-bunga. Tradisi ini dilakukan
setiap tahun dan diyakini membawa keselamatan serta memperpanjang
umur. Meskipun ada dampak positif dalam mempertahankan warisan
nenek moyang, perlu diingat bahwa tradisi ini seharusnya dilakukan
dengan hal-hal yang positif, seperti berzikir dan berdoa.
16
Masyarakat
Margolembo yang memiliki ilmu kejawen bersemedi di tempat yang
sakral atau keramat seperti puncak gunung, pohon besar, atau dimakam
keramat.
17
Proses pelaksanaan budaya malam Satu Suro pertama-tama

16
Irvan Prasetiawan, ”Persepsi Masyarakat Jawa Terhadap Budaya Malam Satu Suro di
Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur,” Skripsi UIN Alauddin
Makassar, Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik, 2018, h. 8.
17
Hassan Shadily, “Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia”, (Cet.XII; Jakarta:PT Rineka
Cipta, 2013), h. 50.

10

menyiapkan sesaji berupa persembahan atau sesembahan makanan,
minuman, dan bunga-bunga yang ditujukan untuk arwah nenek moyang.
2. Skripsi yang berjudul “Tradisi Malam Satu Suro dan Pengaruhnya terhadap
Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat (Studi Di Desa Kubuliku Jaya
Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten Lampung Barat).” Ditulis Oleh
Mulyani Mahasiswi Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Program Studi Agama, Fakultas Ushuluddin.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sumber data yang digunakan para
informan baik yang terlibat maupun yang dianggap mengerti tentang
Tradisi malam Satu Suro tersebut, yaitu para tokoh masyarakat serta buku
maupun jurnal yang menunjang dalam penelitian tersebut.
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa Tradisi
malam Satu Suro Desa Kubuliku Jaya Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten
Lampung Barat merupakan perwujudan rasa syukur kepada sang pencipta,
sehingga dengan adanya malam Satu Suro ini masyarakat melakukan salah
satu perwujudan rasa syukurnya, dan untuk mewujudkan keselamatan dan
ketentraman dengan harapan agar tahun berikutnya lebih baik dari tahun
yang sebelumnya dan sebagai wadah untuk mengintropeksi diri.
18
Dalam
prosesi acara tradisi Suroan masyarakat Jawa di Desa Kubuliku Jaya ini
memiliki keunikan tersendiri, dengan begitu banyak rangkaian acara dan
ritual tradisinya masing-masing memiliki makna yang terkandung dalam
rangkaian prosesi acara, salah satunya adalah di dalam tumpeng tidak
adanya makanan yang di bunuh seperti ikan ataupun daging.
19
Hal ini
dimaknai sebagai wujud cinta dan kasing sayang terhadap semua makhluk

18
Wawan Saputra, “Pesan Dakwah Dalam Tradisi Mappadendang Di Desa Kebo
Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng,” Skripsi Program Sarjana S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Alauddin Makassar, 2016, h. 29.
19
Mulyani, ”Tradisi Malam Satu Suro Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial
Keagamaan Masyarakat. (Studi Di Desa Kubuliku Jaya Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten
Lampung Barat,” Skripsi Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2020, h. 14.

11

baik yang terlihat maupun tidak terlihat, ini salah satu yang membedakan
pada saat perayaan malam Satu Suro dari derah lain.
20

3. Buku yang berjudul “Temu Kenali. Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20
Desa di dalam Kawasan Borobudur”. Didalam buku ini terdapat perbagian
nya yang dimana pembahasannya sesuai dengan tokoh orang yang tentunya
menulis dengan judul yang penulis pilih. Lalu, pendekatan dengan falsafah
budaya lokal yaitu njajah desa milangkori (menjelajahi desa untuk
mendapatkan sesuatu yang bermanfaat) yang berisi kegiatan srawung,
sowan dan dolan berkeliling desa menjadi pilihan metodenya. Metode
tersebut digunakan dengan tujuan agar tim dari 20 desa dapat menjalin
hubungan sosial yang baik, menumbuhkan rasa percaya dari para nara
sumber, memudahkan untuk mendapatkan cerita dan memahami nilai
budaya spiritualnya, kemudian dikembangkan nilainya sehingga mampu
menjadi landasan pembangunan Kawasan Borobudur dan tentunya untuk
menguatkan jati diri budaya lokalnya.
Dari kedua skripsi dan satu buku ini terdapat adanya perbedaan
yang saya temukan bahwasannya dalam meneliti penulis mungkin belum
mengumpulkan atau membahas pembahasan untuk memahami praktik
perayaan tradisi dan menganalisis alasan dan tujuan penghayat kepercayaan
dalam perayaan malam Satu Suro.

G. Metode Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas,
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis, menggali perayaan kepercayaan
Urip Sejati dalam peringatan Satu Suro. Untuk mencapai tujuan penelitian
sebagaimana tertulis, skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:


20
Isdiana, “Tradisi Upacara Satu Suro Dalam Perspektif Islam,” Skripsi Program
Sarjana S1 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung, 2017. h. 30.

12

1. Jenis penelitian
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian metode kualitatif, yakni jenis
penelitian yang mencari makna, pemahaman, pengertian, verstehen tentang
suatu fenomena, kejadian, maupun kehidupan manusia dengan terlibat baik
secara langsung atau tidak langsung dalam setting yang diteliti, kontekstual,
dan menyeluruh.
21


2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini, menggunakan beberapa pendekatan. Analisis deskriptif
dengan pendekatan historis dan pendekatan etnografis. Deskriptif analisis
adalah sebuah rumusan masalah yang digunakan peneliti sebagai panduan
untuk melakukan eksplorasi dan memotret situasi sosial yang akan diteliti
secara menyeluruh, luas, dan mendalam.
22

Pertama, pendekatan historis. Ialah pendekatan yang berusaha menelusuri
asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui
periode-periode perkembangan historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-
kekuatan yang dimiliki agama untuk memperjuangkan (mempertahankan)
dirinya selama periode-periode itu.
23
Sesuai dengan penjelasan tersebut maka
pendekatan ini dibutuhkan untuk mengetahui sejarah tradisi malam Satu Suro
di Desa Giritengah kabupaten Magelang, Kecamatan Borobudur.
Dan pendekatan yang kedua, ialah pendekatan etnografis. Lebih
khususnya kepada pendekatan etnografi interpretatif. Pendekatan etnografi
interpretatif adalah metode dalam penelitian kualitatif yang mengutamakan
pemahaman mendalam tentang pengalaman dan makna yang dibentuk oleh
individu dan kelompok dalam konteks budaya tertentu.
24
Pendekatan ini

21
Achmad Muri Yusuf, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h. 328.
22
Sugiyono,”Metode Penelitian Manajemen”, (Bandung: ALVABETA, 2014), h. 354.
23
Media Zainul Bahrin, Wajah Studi Agama-agama, (Yogyakata: Pustaka Pelajar,2015),
h. 15.
24
E. Goffman, (1989). ”On Fieldwork”, Journal of Contemporary Ethnography, 18 (2),
h. 123-132.

13

menafsirkan pengalaman yang sesuai dengan sudut pandang dan menemukan
arti dari interaksi social yang diamati. Mempelajari budaya melalui analisa
inferensial dan implikasi perilaku yang diketemukan.
25

Dalam prosedur pengumpulan data, ada beberapa teknik yang
digunakan dalam mengumpulkan data, peneliti melakukan studi lapangan
(Field Research) sebagai sumber primer penelitian. Studi lapangan (Field
Research) dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara secara mendalam
(Indepth Interview) langsung dengan para tokoh atau anggota komunitas
penghayat Urip Sejati. Mereka mungkin dapat memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang nilai-nilai spiritual, budaya, dan historis yang
terkandung dalam tradisi ini. Sumber sekunder, dalam penelitian ini sumber
pendukung selain dari sumber lapangan yakni dokumen-dokumen maupun
buku-buku yang terkait dengan penelitian.

H. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini berlandaskan pada buku “Pedoman penulisan Skripsi
Mahasiswa Ushuluddin Tahun 2021”. Untuk mempermudah penulisan skripsi,
peneliti mengurutkan secara umum pembahasan dalam penelitian ini menjadi
lima bab yang terdiri dari:
BAB I Berisi Pendahuluan. Terdiri dari latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, metodologi penelitian, kajian teori, tinjauan pustaka,
dan sistematika penulisan.
BAB II Berisi tentang gambaran umum dan profil yang relevan dengan
judul penelitian yang diambil, berupa sejarah secara rinci mengenai
gambaran sejarah munculnya, letak geografis serta gambaran
khusus mengenai tradisi malam Satu Suro.

25
Moh Soehadha. “Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi
Agama”,(Yogyakarta:suka-Press), UIN Sunan Kalijaga.2012.

14

BAB III Berisi tentang penjabaran mengenai semua objek yang dijadikan
penelitian terkait praktek dalam makna simbolik dan keyakinan
ritual tradisi Satu Suro , dan pandangan para ahli terkait Satu Suro.
BAB IV Berisi analisis data yang di dapatkan melalui penelitian tentang
tradisi malam Satu Suro, aktivitas Dusun Onggosoro dalam
paguyuban Palang Putih Nusantara. Profil dan perkembangan
komunitas penghayat kepercayaan Urip Sejati.
BAB V Berisi penutup yang merupakan bagian akhir dari penelitian ini.
Terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban
atau hasil atas rumusan masalah dari hasil analisis keseluruhan
permasalahan.

15

BAB II
GAMBARAN UMUM DUSUN ONGGOSORO
KECAMATAN BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG

Dusun Onggosoro adalah salah satu dusun yang terletak di Desa
Giritengah provinsi Jawa Tengah. Di Dusun ini, terdapat komunitas kejawen urip
sejati yang bernama paguyuban Palang Putih Nusantara. Paguyuban ini kerap
menyelenggarakan ritual Satu Suro secara rutin setiap tahun. Secara garis besar
bab ini, membahas tentang profil Paguyuban Palang Putih Nusantara namun,
sebelum menjelaskan profil paguyuban tersebut. Bab ini akan menjelaskan
terlebih dahulu, tentang gambaran umum Dusun Onggosoro yang terletak di
kecamatan Borobudur kabupaten Magelang. Untuk memperoleh gambaran seputar
konteks sosial dan kultural yang turut membentuk keberadaan paguyuban Palang
Putih Nusantara.

A. Aspek Geografi Dan Iklim Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang
Borobudur adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Kecamatan ini berjarak sekitar 4 kilometer dari kota Mungkid, Ibu kota
Kabupaten Magelang ke arah selatan dan pusat pemerintahannya berada di Desa
Borobudur. Salah satu dusun yang terletak di kecamatan Borobudur adalah Dusun
Onggosoro yang berada di Desa Giritengah. Dusun Onggosoro ini memiliki
keindahan pemandangan alam dengan jalur tracking yang sangat menantang dan
pemandangan pegunungan menoreh serta pesona matahari terbit di balik Gunung
Merapi. Selanjutnya, Kabupaten Magelang merupakan sebuah kabupaten di
provinsi Jawa Tengah. Dasar hukum yang mendasari Pemerintahan Kabupaten
Magelang adalah UU No. 13 Tahun 1950.
1
Bupati yang menjabat pada saat ini
adalah Zaenal Arifin. Kota Mungkid sebagai Ibu kota kabupaten ini, berada
sekitar lima belas kilometer di sebelah selatan Kota Magelang, penyebaran

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

16

penduduk di masing-masing kecamatan belum merata. Perkembangan
pertumbuhan penduduk Kabupaten Magelang menjadi pijakan dasar bagi
perencanaan pembangunan. Berdasar kelompok umur, komposisi penduduk di
Kabupaten Magelang pada 2023 didominasi oleh penduduk muda.

Gambar 2. 1 Peta Kabupaten Magelang
Karakteristik lokasi dan wilayah secara geografis, kabupaten Magelang
terletak pada posisi 110001’51” dan 110026’58” Bujur Timur dan antara
7019’13” dan 7042’16 Lintang Selatan. Secara administrative, Kabupaten
Magelang di bagi menjadi 21 kecamatan dan terdiri dari 372 desa/kelurahan.
Kemudian kabupaten magelang ini juga memiliki 367 desa. Kabupaten Magelang
terletak di tengah ekonomi dan wisata antara Semarang - Magelang – Yogyakarta
dan Purworejo – dan Temanggung sehingga Kabupaten Magelang merupakan
salah satu wilayah strategis di Tengah-tengah provinsi Jawa Tengah yang
ditetapkan oleh Rencana Tata Ruang Nasional dan Rencana Tata Ruang Provinsi
Jawa Tengah.
Di bagian timur (berbatasan dengan Kabupaten Boyolali) terdapat Gunung
Merbabu dan Gunung Merapi. Di bagian barat (berbatasan dengan Kabupaten
Temanggung dan Kabupaten Wonosobo) terdapat Gunung Sumbing. Di bagian

17

utara (berbatasan dengan Kabupaten Semarang) terdapat Gunung Telomoyo. Di
bagian barat daya terdapat rangkaian Pegunungan Menoreh. Pada bagian tengah
mengalir Kali Progo beserta anak-anak sungainya menuju selatan.
2
Kabupaten
Magelang terdiri dari 21 Kecamatan, dengan luas 1.085,73 km2 atau sekitar 3,34
persen dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan terluas adalah Kecamatan
Kajoran (83,41km2), sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Ngluwar
(22,44 km2).
3
Untuk mencapai Puncak Nganjir dapat ditempuh dengan kendaraan
umum berupa Angkutan Pedesaan sampai Terminal Desa Giritengah, perjalanan
selanjutnya memakai Ojek Motor Wisata sampai Gunung Nganjir. Kabupaten
Magelang terdiri dari 21 kecamatan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan
Kajoran. Luas Kecamatan Kajoran mencapai 7,68 % dari total luas Kabupaten
Magelang, sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Ngluwar dengan luas
hanya 22,44 km2 atau sekitar 2,07 %.
Sebagian wilayah Kabupaten Magelang terletak di daerah lereng/ puncak
gunung. Hal ini bisa dilihat dari letak desa di Kabupaten Magelang. Sebesar 36,56
% desa di Kabupaten Magelang terletak di daerah lereng/ puncak. Kabupaten
Magelang terbagi dalam 21 kecamatan yang terdiri dari 372 desa/kelurahan.
Wilayah tersebut mencakup 2.739 dusun, 35 lingkungan, 3.383 Rukun Warga dan
10.903 Rukun Tetangga. Kemudian, terkait gambaran Dusun Onggosoro di Desa
Giritengah terletak di ujung selatan Kecamatan Borobudur, berjarak sekitar 5 km
ke arah barat daya dari Candi Borobudur. Perjalanan ketempat dusun yang
menanjak kearah gunung persis, disekitar jalan kanan kiri dikelilingi oleh
pemandangan gunung yang luar biasa indahnya.
Di balik keindahan alamnya, Desa Giritengah menyimpan peninggalan
cerita sejarah yang sangat bernilai, yakni sejarah perjuangan Pangeran

2
Rohidi dan Tjetjep Rohendi, Metodologi Penelitian Seni, (Semarang : Cipta Prima
Nusantara Semarang, CV. 2021). h. 65.
3
BPS Kabupaten Magelang *) angka sementara hasil proyeksi sensus Penduduk tahun
2022.

18

Diponegoro pada masa perang kemerdekaan (1825-1830).
4
Desa Giritengah
pernah menjadi tempat persinggahan Pangeran Diponegoro. Beberapa tempat
persinggahan beliau hingga kini masih terawat dengan baik dan menjadi petilasan
yang bernilai sejarah. Lalu, masyarakat Desa Giritengah kebanyakan hidup dalam
suasana pedesaan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan budaya
yang masih kental dan berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

B. Aspek Demografi dan Kependudukan Kecamatan Borobudur Kabupaten
Magelang
Pada 2022 jumlah penduduk laki-laki adalah 642.000 jiwa (50,17%),
sedangkan penduduk perempuan sebanyak 638.000 jiwa (49,83%). Sementara,
Pada tahun 2023, jumlah penduduknya mencapai 1.363.290 jiwa dengan luas
wilayah 1.102,93 km² dan sebaran penduduk terbanyak di Indonesia selanjutnya
adalah Jawa Tengah yang mencapai 34.55 juta jiwa/km².
5
Apabila dilihat dari sex
ratio Kabupaten Magelang Kecamatan Borobudur menunjukkan angka 100,69%
yang artinya pada setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 101 orang
penduduk laki-laki.
Dengan luas wilayah 1.085,73 km2 berarti setiap km2 di Kabupaten
Magelang ditempati oleh 1.179 jiwa.
6
Jumlah populasi laki-laki di desa tersebut
mencapai 4.667 jiwa, sedangkan jumlah populasi perempuannya adalah 4.784
jiwa. Mayoritas penduduk desa ini mencari nafkah sebagai wiraswasta, karyawan
swasta, pedagang, dan petani. Kemudian dalam potensi bidang pariwisata Desa
Borobudur cukup tinggi, khususnya dengan adanya Candi Borobudur sebagai
objek wisata utama. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan sumber

4
Suara Merdeka. ”Desa Giritengah, Borobudur, Magelang pesona indah” Diakses dari
https://desagiritengah.wordpress.com/ pada tanggal 23-25 Januari 2020.

5
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, "Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Diarsipkan
dari versi asli tanggal 29 Desember 20 20. Diakses dari
https://ditjenbinaadwil.kemendagri.go.id/berita/detail/kemendagri-mutakhirkan--kode-data-
wilayah-administrasi-pemerintahan--dan-pulau-di-seluruh-indonesia pada tanggal 3 Oktober 2021.
6
Statistik Daerah Kecamatan Magelang Tahun 2021.

19

daya manusia untuk mendukung perkembangan sektor pariwisata di desa tersebut.
Dan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun, maka makin
tinggi pula kepatan penduduk di Kabupaten Magelang.
7
Penduduk Kabupaten
Magelang tahun 2022 berdasarkan hasil proyeksi penduduk sementara (interim)
2020- 2023, sebanyak 1.312.573 jiwa yang terdiri dari 661.131 jiwa penduduk
laki-laki dan 651.442 jiwa penduduk perempuan.
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Magelang dari tahun 2021 ke
2022 adalah 0.54 persen pertahun. Sedangkan rasio jenis kelamin tahun 2022
sebesar 101. Kepadatan penduduk di Kabupaten Magelang tahun 2022 mencapai
1.209 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Borobudur sebesar
2.805 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Kajoran sebesar 725 jiwa/km2. Desa
dengan jumlah penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten Magelang, diketahui
bahwasannya, lebih rinci dalam Kabupaten Magelang terdiri atas 21 Kecamatan
dengan 367 Desa dan 5 Kelurahan. Selanjutnya, setiap desa/ kelurahan tersebut
masih terbagi lagi menjadi Dusun/Lingkungan/Rukun Warga (RW), dengan
satuan lingkungan terkecil Rukun Tetangga (RT).
8
Lalu beberapa kecamatan juga
meningkat ke tahun 2022, penduduk yang lebih banyak dibanding penduduk di
tahun 2021 yang ditandai dengan besaran sex ratio-nya yaitu Kecamatan
Borobudur, Salaman, Salam, Srumbung, Dukun, Muntilan, Mungkid,
Mertoyudan, Secang, dan Pakis, serta kecamatan lainnya. Selanjutnya, Berikut
tabel Jumlah Dusun/Lingkungan, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT)
Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Borobudur, 2022 sebagai berikut.
9



7
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, ”Gambaran Umum Kabupaten
Magelang,” diakses dari https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/10068/3/BAB%20II.pdf pada
tanggal 23 januari 2020.

8
Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang, “Statistik Daerah Kecamatan Magelang
Tahun 2021”, (BPS Kabupaten Magelang: TM Percetakan), 2021”
9
Monografi Desa dan Hasil Pemutakhiran Kerangka Geospasial dan Muatan Wilayah
Kerja Statistik Sensus Pertanian 2023 (Maret 2022).

20

Tabel 2.1 Jumlah Data di Desa/Kelurahan di Kecamatan Borobudur pada tahun
2022



Desa/Kelurahan
Village/Kelurahan
Dusun/
Lingkungan
Orchards
Rukun Warga
(RW)
Community Areas
Rukun Tetangga (RT)
Neighborhood Areas
(1) (2) (3) (4)
001 Giripurno 6 8 25
002 Giritengah 9 11 42
003 Tuksongo 7 6 20
004 Majaksingi 12 12 29
005 Kenalan 2 4 14
006 Bigaran 6 2 11
007 Sambeng 6 6 13
008 Candirejo 11 12 39
009 Ngargogondo 6 3 11
010 Wanurejo 5 5 24
011 Borobudur 21 18 52
012 Tanjungsari 2 2 8
013 Karanganyar 4 4 12
014 Karangrejo 6 9 22
015 Ngadiharjo 12 12 42
016 Kebonsari 6 6 16
017 Tegalarum 4 4 14
018 Kembanglimus 7 7 14
019 Wringinputih 9 15 51
020 Bumiharjo 8 12 19
Jumlah/Total 149 158 478

21

C. Aspek Sosial, Agama, dan Pendidikan Kecamatan Borobudur
Kabupaten Magelang
Kondisi Sosial Budaya di Kabupaten Magelang Penduduk di Kabupaten
Magelang merupakan penduduk yang heterogen. Kemudian, perlu kita ketahui
bahwasannya Pembangunan sosial merupakan aspek yang penting pada proses
pembangunan disamping bidang ekonomi yang sebagai titik berat selama kegiatan
pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan kualitas manusia dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan
datang. Selanjutnya, berdasar dengan data yang penulis dapat Kabupaten
Magelang ini dalam peran pemerintah dalam pembangunan sektor kesehatan
melibatkan penyediaan fasilitas kesehatan yang dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat, dengan biaya yang terjangkau.
Pada kondisi Desember 2022, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Magelang sebanyak 9.531 orang. Jumlah
pegawai menurut pendidikan yang ditamatkan berturut-turut adalah sampai
dengan SD sebanyak 53 orang, SLTP sebanyak 134 orang, SLTA sebanyak 898
orang, diploma I/II/III sebanyak 1.816 orang dan sarjana/master sebanyak 6.630
orang. Realisasi pendapatan asli daerah pada tahun anggaran 2022 sebesar
397.105 milyar rupiah.
10

Pajak daerah memberikan kontribusi paling tinggi yaitu sebesar 169.683
milyar rupiah. Sejalan dengan realisasi pendapatan asli daerah, realisasi dana
perimbangan tahun anggaran 2022 sebesar 1,437 trilyun rupiah. Bupati Magelang,
Zaenal Arifin,S.IP secara resmi melantik dan melakukan pengambilan sumpah
Pegawai Negeri Sipil serta melantik jabatan fungsional di lingkungan pemerintah
Kabupaten Magelang, hari ini Kamis (9/3/2023) di GOR gemilang lingkungan
setda Kabupaten Magelang. Adapun ASN yang di lantik dan diambil sumpahnya
berjumlah 447 orang, dari jumlah tersebut sebanyak 351 orang dilantik dan

10
Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang, “Statistik Daerah Kecamatan Magelang
Tahun 2021”, (BPS Kabupaten Magelang: TM Percetakan), 2022,h, 121.

22

diambil sumpah jabatan fungsionalnya.
11
Pelantikan PNS yang dilakukan kali ini
merupakan pengangkatan CPNS menjadi PNS formasi tahun 2021 dan
ketambahan 3 orang alumni STPDN penempatan di pemkab Magelang yang
belum melakukan sumpah/janji PNS.
Sarana kesehatan tersebut mencakup rumah sakit, puskesmas, puskesmas
pembantu, dan tenaga kesehatan. Pada tahun 2021 di Kota Magelang, terdapat 10
rumah sakit, terdiri dari 6 rumah sakit umum, 1 rumah sakit jiwa, 1 rumah sakit
paru-paru, dan 2 rumah sakit bersalin. Sementara itu, terdapat 5 puskesmas dan 12
puskesmas pembantu.
12
Fasilitas ini didukung oleh jumlah dokter yang memadai,
yakni 31 dokter, serta 90 bidan dan perawat.
Lalu, beragam budaya, suku dan agama yang tinggal secara berdampingan.
Begitu pun dengan masyarakat di Kota Magelang yang menganut keberagaman
agama. Semua pemeluk agama tinggal dan berdampingan secara rukun di wilayah
Kota Magelang. Ada pun aliran kepercayaan yang diakui negara pun juga banyak
diikuti oleh warga Kota Magelang. Kerukunan ini menjadi simbol harmonisasi
antar umat beragama.
13
Berdasarkan data BPS Kota Magelang terbaru, tercatat
ada sekitar 130.440 warga Kota Magelang memeluk agama menurut
kepercayaannya masing-masing. Berada di tiga Kecamatan Kota Magelang, yakni
Magelang Selatan, Magelang Tengah dan Magelang Utara. Berikut adalah data
tabel mengenai jumlah pemeluk agama dalam satuan jiwa di Kabupaten
Magelang:
Tabel 2. 2 Jumlah Pemeluk Agama (Jiwa) di Kabupaten Magelang
No. Kecamatan Agama
Islam
Kristen Katolik Hindu Budha Lainnya
1. Salaman 73.500 200 93 3 1 20

11
ASN, Pendataan Potensi Desa (Podes) 2021/Aparatur Sipil Negara,2021
12
BPS, Pendataan Potensi Desa (Podes) 2019, 2020 dan 2021/BPS-Statistics Indonesia,
Village Potential Data Collecting 2019, 2020 and 2021
13
Masri dan Rasyid Abdul, Mengenal Sosiologi Suatu Pengantar, (Cet.XVI;Makassar:
Alauddin Press, 2020), h. 56.

23

2. Borobudur 60.981 116 1.210 15 8 187
3. Ngluwar 32.480 31 195 - 1 3
4. Salam 46.806 284 1.153 2 7 5
5. Srumbung 47.3555 86 1.404 - 1 1
6. Dukun 43.458 120 3.573 2 - 31
7. Muntilan 73.635 1.133 4.397 12 57 34
8. Mungkid 73.088 269 1.191 7 16 31
9. Sawangan 54.084 919 2.902 3 4 73
10. Candi
Mulyo
49.527 380 504 1 - 12
11. Mertoyudan 100.960 3.733 4.758 129 42 29
12. Tempuran 51.309 188 78 1 6 3
13. Kajoran 59.420 16 13 - - 2
14. Kaliangkrik 59.825 21 9 - 2 14
15. Bandongan 60.420 42 17 - - 54
16. Windusari 50.825 2 13 - - 2
17. Secang 79.351 525 379 10 5 21
18. Tegalrejo 53.176 112 788 - - 3
19. Pakis 52.669 969 279 1 1 69
20. Girabag 91.477 352 336 2 36 9
21. Ngablak 41.255 1.064 325 - 3 -
Jumlah 1.255.5566 10.562 22.907 188 290 603

Pada tahun 2021, terdapat 145 masjid, 192 musala, 30 gereja, dan 1 vihara
di wilayah tersebut. Mayoritas penduduk di Kota Magelang beragama Islam.
14

Data tahun 2019 lalu, jumlah pemeluk agama islam mencapai 110.915 orang.
penduduk yang menganut agama Islam mencapai 105.239 orang, sementara

14
Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang, “Statistik Daerah Kecamatan Magelang
Tahun 2021”, (BPS Kabupaten Magelang: TM Percetakan), 2021. h. 88.

24

penganut Katolik berjumlah 8.039 orang, penganut Kristen sebanyak 12.345
orang, penganut Buddha mencapai 541 orang, penganut Hindu sebanyak 249
orang, dan penganut agama lainnya sekiranya dengan banyak 30%. Kebanyakan
penduduk di Kabupaten Magelang memeluk agama Islam, namun yang beragama
Kristan, Katolik, Hindu, Budha juga cukup banyak. Meskipun Kabupaten
Magelang memiliki penduduk yang heterogen tetapi toleransi umat beragama
meenjadi faktor pendukung Kabupaten Magelang menjadi kabupaten yang
aman.
15
Kabupaten Magelang jika dilihat dari segi pendidikan memang tidak
begitu merata jika dibandingkan antara satu sekolah dengan sekolah yang lain,
tetapi di Kabupaten Magelang ini tetap memiliki beberapa sekolah negeri dan
beberapa sekolah swasta unggulan.
Profil pendidikan Kabupaten Magelang yang disajikan dalam lima
indikator prioritas mulai dari kemampuan literasi, numerasi, indeks karakter, iklim
keamanan, dan iklim kebhinekaan. Profil pendidikan dapat dijadikan alat bantu
bagi dinas pendidikan untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan dengan
Perencanaan Berbasis Data. Ketersediaan fasilitas dan infrastruktur pendidikan di
Kota Magelang mencerminkan komitmen nyata dalam pengembangan sektor
pendidikan. Persentase penduduk di Kabupaten Magelang tahun 2022 yang masih
sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun sebesar 99,79 persen, kelompok umur
13-15 tahun sebesar 97,69 persen, kelompok umur 16-18 sebesar 72,95 persen.
Pada tahun 2023, terdapat 77 sekolah dasar (SD) dengan total guru sebanyak 947
orang dan jumlah murid mencapai 15.732 orang. Adapun untuk jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SLTP), terdapat 22 sekolah dengan jumlah guru sebanyak
825 orang dan jumlah murid mencapai 10.966 orang.
16

Sementara itu, jumlah Sekolah Menengah Atas (SLTA) mencapai 15,
dengan total guru 591 orang dan jumlah murid mencapai 5.679 orang.
Angka Partisipasi Murni (APM) Kabupaten Magelang 2022 pada jenjang

15
H. Mustopo, “Ilmu Budaya Dasar”. Kumpulan Essay dan Budaya. Surabaya. PT. Bina
Ilmu, 1983, h, 29.
16
Badan Pusat Statistika. (2019). Statistik Kebudayaan 2019. Diambil kembali dari
Statistik Kebudayaan 2022.

25

pendidikan SD/MI sebesar 97,52, sementara jenjang SMP/MTs sebesar 79,94, dan
pada jenjang SMA/SMK/MA sebesar 55,68. Secara umum APM lebih rendah dari
angka Partisipasi Kasar (APK) karena APK memperhitungkan jumlah penduduk
di luar usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan. Berikut tabel
berdasarkan dengan, Banyak desa/kelurahan yang memiliki fasilitas Sekolah
Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Borobudur, 2020–2022 sebagai
berikut:
Tabel 3.3 Tingkat Pendidikan di Kecamatan
Tingkat Pendidikan
Educational Level

2020

2021

2022
(1) (2) (3) (4)
Sekolah Dasar (SD)
Primary School
20 20 20
Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Madrasah Ibtidaiyah
15 15 15
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Junior High School
5 5 5
Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Madrasah Tsanawiyah (MTs)
2 2 2
Sekolah Menengah Atas (SMA)
Senior High School
1 1 1
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Vocational High School
1 1 1
Madrasah Aliyah (MA)
Madrasah Aliyah
1 1 1
Akademi/Perguruan Tinggi
Academy/University
- - -

26

Dalam kemampuan literasi, pada jenjang SD berada pada predikat
mencapai kompetensi minimum dengan skor 1,86 (skala 1-3), dengan proporsi
jumlah siswa dalam kemampuan literasi mahir 6,42%; cakap 59,54%; dasar
26,3% dan perlu intervensi khusus 7,74%.
17
Indeks kemampuan literasi jenjang
SMP berapa pada predikat “mencapai kompetensi minimum” dengan skor 2,02
(skala 1-3), dengan proporsi jumlah siswa dalam kemampuan literasi mahir
16,39%; cakap 59,9%; dasar 19,29% dan perlu intervensi khusus 4,42%.

D. Profil Komunitas Kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro Desa
Giritengah Kecamatan Bodobudur Kabupaten Magelang.
Dalam masyarakat di Desa Giritengah, Kejawen Urip Sejati ini merupakan
ajaran yang berasal dari Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryodiningrat, yang
merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Pada bulan Juni 1930,
Pangeran Suryodiningrat mendirikan Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN).
Menurut MC Ricklefs dalam bukunya "Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,"
karena PKN mengambil sikap mendukung petani dan masyarakat kecil, serta
dipimpin oleh seorang pemimpin yang karismatik, banyak petani tertarik untuk
bergabung dan melihat Pangeran Suryodiningrat sebagai sosok Ratu Adil.
Diketahui data yang di dapat dari penulis, ada seorang tokoh komunitas Urip
Sejati, beliau bernama Kamidjan, dengan nama asli Ki Kamidjan.
18
Masyarakat
sekitar menyebutnya dengan panggilan Mbah Kamidjan. Mbah Kamijan adalah
sesepuh penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN) Kejawen Urip
Sejati, satu dari 12 aliran kepercayaan di Magelang.
19
Ia juga berperan sebagai
ketua penghayat Urip Sejati. Pengakuan dan penerimaan masyarakat terhadap
eksistensi kepercayaan lokal pada tahun-tahun belakangan membantu para
penghayat Kejawen Urip Sejati merengkuh dan membangun kembali komunitas

17
Headline,“ArtikelPendidikan”,diakses dari https://bbpmpjateng.kemdikbud.go.id/profil-
pendidikan-kabupaten-magelang/ pada tanggal 12April2023
18
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
19
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hida Karya, 2020),
hlm. 222.

27

mereka. Tren ini bersambut dengan pengembangan Desa Giritengah sebagai
destinasi wisata budaya yang menyasar modal kultural milik komunitas penghayat
Kejawen Urip Sejati untuk dikembangkan menjadi kegiatan pariwisata.
Dalam komunitas dalam kepercayaan ini yaitu Urip Sejati memiliki sanggar
sebagai tempat beribadatan yang di namakan sanggar pamelengan yang artinya
tempat pamiling antara manusia dan sang pecipta. Perlu diketahui bahwasannya
dalam Urip Sejati, nama ini dikenal masyarakat dan dinamakan seperti itu dimulai
karena setelah mengayom perjalanan hidup. Orang yang sudah meninggal disebut
sebagai leluhur. Kemudian, dengan nama ini menghormati leluhur dan arwah
tedahulu, jadi harus bisa saling menghargai dan menghomati kehidupan yang
bermakna.
20
Setiap manusia mempunyai peluang yang sama untuk bisa menjalani
kehidupan bahagia dan bermakna. Hidup tanpa makna adalah hidup yang gersang,
tidak ada arah dan tujuan, selalu bingung apa cita- cita, potensi yang dimiliki
seorang individu.
Profesi masyarakat di dusun ini banyak bekerja sebagai petani. Kemudian,
ada yang bekebun, Pelu diketahui ini merupakan bagian dari hasil alam, setiap
tradisi hasil alam inilah dipakai untuk kebutuhan ritual dan bisa menjadi
bermanfaat. Di Dusun Onggosoro ini tedapat 6 Rukun Tetangga(RT), diketahui
dalam semua RT ini ada penghayat kepercayaannya. Meskipun memang
penghayat kepercayaan ini dibilang minoritas dalam Desa Giritengah, namun
masyarakat hidup saling menghormati dan bertoleransi. Dengan mata pencaharian
yang berhubungan langsung dengan alam dan keadaan yang ada, masyarakat
mengutamakan sumber daya harus bermanfaat dan tidak mubazir terbuang atau
tidak terpakai.
Dalam setiap hasil alam yang dipakai untuk ritual tradisi, ini menunjukan
mengharap berkah dan rasa syukur masyarakat kepada tuhan yang telah
memberikan nikmat dari semua yang dihasilkan. Warga Desa Giritengah dan
sekitarnya spontan menyertakan Dusun Onggosoro dalam jawaban-jawaban

20
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

28

mereka ketika ditanya perihal letak pusat kebudayaan (Jawa) Desa Giritengah,
tradisi yang masih kental dilakukan sampai sekarang.
21
Penghayat Kejawen Urip
Sejati ini belum bisa lepas dari kacamata eksotis orang luar. Orang luar tidak
melihat para penghayat Kejawen Urip Sejati sebagai sesama manusia dengan
tingkat keberadaban yang sama, melainkan sebagai konsep atau objek yang "unik"
semata lantaran gaya hidup dan kepercayaan yang mereka anut berbeda dengan
orang kebanyakan. Di desa Giritengah masih banyak terdapat tempat yang
dianggap oleh sebagian masyarakat dianggap angker atau wingit sehingga
masyarakat tidak berani berbuat yang tidak baik. Salah satu tempat yang masih
dianggap wingit adalah hutan yang berada di dusun Nduren. Alas atau hutan yang
berada di sekitar Sendang Suruh diyakini ada penunggunya yaitu Kyai Sendang
Suruh membuat masyarakat sekitar tidak ada yang berani mengumpat atau
berkata-kata kasar karna takut kuwalat atau mendapat balasan atas hal buruk yang
dilakukan.
22

Peneliti dalam mencari data mengenai profil komunitas Urip Sejati,
ternyata tradisi yang dilakukan biasanya tidak hanya tradisi Suro saja, melainkan
adanya tradisi lainnya juga. Tradisi lainnya yang dilakukan masyarakat
diantaranya; tradisi kelahiran, tradisi kematian, tradisi pernikahan.
23
Masyarakat
menjalankan semua tradisi ini tentunya berdasar atas ajaran kepercayaan leluhur
atau roh terdahulu yang dilakukan secara turun menurun. Dalam tradisi kelahiran,
melakukan ritual tradisi kepada bayi yang baru lahir untuk dilakukannya prosesi
doa bersama agar kelak anak yang sudah lahir menjadi anak yang berbudi pekerti
luhur. Kemudian dalam tradisi kematian, tradisi ini ada pengaruh agama hindu,
dengan menjalankan doa bersama-sama dalam waktu 1hari, 7 hari, 40 hari suatu
ritual bagi seseorang yang sudah mati atau meninggal dianggap sebagai leluhur.
24


21
Arif,” Psikologi Dakwah, Suatu Pengantar Studi”, (Jakarta: Bumi Aksara), 1991,hlm
65.
22
Abdul Majid dan Taufik Wahyon, “Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20 Desa di
dalam Kawasan Borobudur”, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020), h. 189.
23
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
24
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

29

Mbah Kamidjan, sampai saat ini sudah berusia 62 tahun, ia memimpin doa dalam
peringatan acara tadisi dengan harapan agar arwah para leluhur diterima dengan
baik di sisi-Nya. Pada tanggal 9 September 2002, Kejawen Urip Sejati bergabung
dalam organisasi Palang Putih Nusantara, yang didirikan oleh Wisnoe Wardhana
Suryodiningrat. Mbah Kamijan menyampaikan bahwa melalui ajaran Pangeran
Suryodiningrat dan Romo Wisnoe Wardhana yang terwujud dalam sembilan
bidang budaya, para pengikut menjalani kehidupan mereka. Masih dikenal dengan
pecaya leluhur dan budaya asli dengan sistem penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa jauh lebih dahulu sebelum agama-agama formal masuk ke
Indonesia.

30

BAB III
TRADISI SURO DI PULAU JAWA

A. Interaksi Islam dan Budaya Lokal di Pulau Jawa
Pulau Jawa kaya dengan tradisi budaya, keagamaan, dan kepercayaan yang
beragam. Beberapa contohnya mencakup perayaan Grebeg Maulud di
Yogyakarta, upacara Labuhan di Gunung Merapi, dan beragai perayaan
keagamaan yang aktif melibatkan partisipasi masyarakatnya. Orang Jawa yang
mengikuti aliran Islam yang lebih otentik daripada yang umumnya di Jawa dapat
ditelusuri kembali hingga saat agama dari Timur Tengah pertama kali masuk ke
Pulau Jawa.
1
Tradisi keagamaan yang ada telah berlangsung selama berabad-abad
dan telah terbukti mampu menyerap unsur-unsur Islam ke dalam keseluruhan
yang sinkretis, terutama sejak kedatangan Islam pada abad ke-15. Beberapa orang
di Indonesia mempunyai cara, tradisi, ritual, upacara, maupun adat istiadat yang
dilakukan pada saat keluarga atau kerabat mereka meninggal dunia, demikian juga
tradisi upacara pemakaman pada masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa saat itu sangat mudah menerima Islam lantaran
kehadirannya lebih memberikan apresiasi terhadap budaya lokal yang ada, di
samping tetap memperbaiki situasi sosial menuju tatanan Islam yang lebih baik,
kemudian memasukkan ajaran Islam ke dalam kehidupan dan budaya Jawa atau
dengan istilah lain dapat mewujudkan Islamisasi budaya Jawa dan sebaliknya
berhasil melakukan Jawanisasi ajaran-ajaran Islam. Dalan kepercayaan dan adat
istiadat, Islam di Pulau Jawa juga telah menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
budaya lokal. Misalnya, dalam praktik agama Islam di Jawa, terdapat berbagai
upacara adat seperti selamatan yang merupakan perpaduan antara ajaran Islam
dengan tradisi Jawa dalam rangka memperingati peristiwa penting atau merayakan
hari-hari besar agama. Namun demikian, hubungan antara Islam dan budaya lokal
di Pulau Jawa juga menghadapi tantangan dan konflik.

1
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa,
(Depok: Komunitas Bambu,2014), h. 14.

31

Terutama dalam konteks globalisasi dan modernisasi, terjadi gesekan
antara nilai-nilai Islam yang ortodoks dengan budaya lokal yang terkadang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Hal ini terlihat dalam berbagai
perdebatan tentang tata cara ibadah, pakaian, dan norma-norma sosial yang terus
berlangsung di masyarakat Jawa. Contoh lain adalah dalam perayaan tradisi Satu
Suro yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Suro yang telah lama
dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa, berasal dari ‘asyura (bahasa
Arab), yang berarti kesepuluh (maksudnya tanggal 10 bulan Suro). Istilah itu
kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan dalam takwim Jawa.
2

Kemudian secara keseluruhan, perjumpaan Islam dan budaya lokal di Pulau
Jawa menciptakan dinamika budaya yang kaya dan kompleks. Sementara ada
upaya untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam konteks Islam, juga
terjadi proses adaptasi dan reinterpretasi yang terus-menerus sebagai bentuk dari
interaksi antara agama dan budaya lokal.
3
Proses Islamisasi biasanya berhubungan
dengan transformasi budaya dan tradisi lokal agar lebih sejalan dengan ajaran
Islam. Selain itu, ada kemungkinan bahwa beberapa individu memilih untuk
menyatukan unsur-unsur Islam dalam perayaan tersebut sebagai bentuk
sinkretisme atau adaptasi budaya. Dalam penyebutan Satu Suro berubah menjadi
Muharoman dalam tradisi ritual ini merujuk islamisasi pada proses penyebaran
dan diterimanya agama Islam dalam suatu masyarakat atau wilayah.
4
Setiap
daerahnya memliki keunikan masing-masing dalam menjalani tradisi Suro.
Pada malam Satu Suro misalnya orang beramai-ramai mengunjungi
tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat. Ada yang datang ke makam
lalu membakar kemenyan, minta kekayaan, minta banyak rizqi, minta laris

2
HM. Zainuddin, “Tradisi Suro Dalam Masyarakat Jawa”, Diakses dari https://uin-
malang.ac.id/r/151001/tradisi-suro-dalam-masyarakat-jawa.html pada tanggal 23 Oktober.
3
Oemar Bakry ,” Akhlak Muslim”, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 42.
4
MC. Ricklefs, “Mengislamkan Jawa Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangannya
dari 1930 sampai Sekarang”, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2023), h. 22.

32

dagangannya, minta cepat naik kariernya, minta segera mendapatkan jodoh.
5
Ada
yang datang ke laut dengan melemparkan makanan atau kepala kurban (kerbau)
yang dianggap sebagai sedekah laut. Demikian juga di Seduda (nama tempat
rekreasi di daerah Nganjuk) misalnya, setiap tanggal 15 Muharam banyak
kalangan muda dan mudi yang berdatangan di tempat itu. Mereka berkeyakinan
bahwa siapa yang mandi pada tanggal itu bisa awet muda, panjang umur. Selain
itu tradisi mencuci keris banyak juga dilakukan pada bulan itu. Kemudian dalam
datangnya Islam banyak perubahan juga yang datang mengikuti berjalannya
perkembangan zaman. Perayaan yang mempercayai hal tersebut biasanya masih
mengikuti unsur leluhur dan nenek moyang. Lalu, masyarakatpun menerima
masuknya ajaran Islam, yang perlu diketahui bahwasannya datangnya islam
membawa perubahan untuk kehidupan yang semakin terarah dan punya tujuan.

B. Ritual 1 Suro Dalam Islam dan Jawa
Istilah suro yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya
Jawa, berasal dari ‘asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh (maksudnya
tanggal 10 bulan Suro). Secara etimologis Muharam berarti bulan yang
diutamakan dan dimuliakan. Makna bahasa ini memang tidak terlepas dari realitas
empirik dan simbolik yang melekat pada bulan itu, karena Muharam sarat dengan
berbagai peristiwa sejarah baik kenabian maupun kerasulan. Muharam dengan
demikian merupakan momentum sejarah yang sarat makna.
6
Disebut demikian
karena berbagai peristiwa penting dalam proses sejarah terakumulasi dalam bulan
itu.
Awal mula perayaan malam Satu Suro konon bertujuan untuk
memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa pada zaman

5
Sartono Kartodirdjo, “Pengantar Sejarah Indonesia Ваrи: 1500-1900 Dari Emporium
Sampai Imperium”, (Jakarta: Gramedia, 2021), h. 131.
6
Miftakhul Fauzi dan Muhammad Jafar Qodir,“Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20
Desa di dalam Kawasan Borobudur”,(Jakarta:KEMENDIKBUD,2020), h.194.

33

pemerintahan kerajaan Demak, oleh Sunan Giri II yang membuat penyesuaian
antara sistem kalender Hijriah dengan sistem kalender Jawa pada masa itu. Awal
tahun baru dalam Satu Suro ini disebut sebagai Muharoman dan merupakan bulan
Satu Suro Jawa yang bersifat sakral. Pada bulan Muharam itu pula Tuhan
membuka luas rahmat-Nya, sehingga manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba
memperoleh rahmat itu. Tetapi sayang, kebanyakan orang tidak paham dengan
peristiwa itu. Mereka justru banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan
pada bulan itu. Mereka juga tidak bisa menangkap kata-kata bijak dari nenek
moyang atau leluhur kita dulu.
Dengan era yang sekarang pengaruh dalam tradisi seperti itu, masih
dijalankan namun hanya dengan perubahan arti yang yang religi untuk
menjalankan ritual mengikuti agama yang diajarkan. Lalu, makna ini lah yang
disebut perubahan Islamisasinya. Kemudian, ada di Jawa salah satu di desa
Sragen, Mandi berarti membersihkan dan mensucikan kotoran atau najis. Ini
berarti isyarat bahwa pada malam Satu Suro itu orang harus mensucikan dirinya
dari segala dosa dan perbuatan munkarat-nya dengan memohon magfirah Allah
Sang Maha pengampun. Kemudian meniti hidup baru dengan langkah yang lebih
positif serta semangat baru pula.
7
Dalam peradaban yang seperti ini, memang
harus dan kita butuhkan untuk mengislamisasi tradisi yang memang dijalankan
dalam masyarakat. Tradisi ini dijadikan tujuan dalam kehidupan. Apabila hal
tersebut terpenuhi seseorang akan merasakan kebahagiaan.
8
Makna hidup
merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia, apabila setiap
manusia berhasil menemukan makna hidup dalam proses kehidupannya maka
kehidupan yang dirasakan sangat berarti.
9


7
Ninik, H, “Makna Simbolis Srimpi Lima pada Upacara Ruwatan di Desa Ngadirejo
Poncokusumo Malang”, Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya,vol.40, no. 1, (2021)., h.
55-69.
8
Abdirachman “Hubungan antara Makna Hidup dan Dimensi Kognitif Subjective Well
Being”, Thesis fakultas Psikologi UIN Malik Ibrahim, tahun 2022, h, 77.
9
Intan Julianti, “Makna Simbolik Kirab Ritual 1 Surodi Desa Menang Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri”, Jurnal Sandhyakala, Vol. 2, no. 1, Januari 2021, h. 24.

34

Hal ini dilakukan sebagai upaya menanamkan budaya tradisi agar dapat
diterima dan dilestarikan.Selanjutnya, Beberapa tradisi Satu Suro di Jawa Tengah,
praktik yang terkait dalam makna simbolik dan keyakinan ritual tradisi Satu Suro
yang memasukkan kebudayaan Jawa dan ada unsur Islam, sebagai berikut:
1. Sembahyang dan Doa.
Ritual doa dan sembahyang: Dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan
permohonan untuk mendapatkan keberkahan di tahun yang baru. Ritual ini
juga dilakukan dengan Bersama-sama Bersama warga masyarakat
setempat. Biasanya sehari sebelum melakukan ritual ini adanya ziaroh
kubur ke makam untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahui.
2. Ritual Pembersihan dan Kesucian.
Ritual Mandi Suci: Beberapa orang meyakini bahwa mandi suci pada
tanggal Satu Suro dapat membersihkan diri dari dosa dan membawa
keberkahan di tahun yang baru.
3. Wayang Kulit dan Pertunjukan Seni Tradisional.
Pertunjukan Wayang Kulit: Pertunjukan wayang kulit sering diadakan
sebagai bagian dari perayaan Satu Suro.
10
Wayang kulit memiliki makna
simbolik dan seringkali mengandung pesan moral atau kisah-kisah epik.
11

4. Doa Bersama di Tempat Ibadah.
Menghadiri Tempat Ibadah: Masyarakat Jawa umumnya menghadiri
tempat ibadah, seperti pura atau candi, untuk melaksanakan doa bersama
dan merayakan Satu Suro secara kolektif.
5. Memohon Keberkahan dan Kesejahteraan.
Mendoakan untuk Kesejahteraan: Doa-doa khusus seringkali diucapkan
untuk memohon keberkahan, kesejahteraan, dan perlindungan di tahun
yang baru.
12


10
Koentjaraningrat. ”Kebudayaan Jawa”. (Jakarta: Bakal Pusaka). 2021, hlm 34.
11
Umar Kayam, “Seni Tradisi masyarakat”. (Jakarta. Sinar Harapan). 2021, hlm 56.
12
Kusuma, C. N, Grebeg Maulud Sebagai Upacara Labuhan Gunung Merapi di
Yogyakarta, (Yogyakarta: Econpapers, 2019), h. 84.

35

Praktik-praktik tersebut mencerminkan penghormatan terhadap leluhur, dewa,
dan nilai-nilai keagamaan yang dianggap penting dalam budaya Jawa. Simbol-
simbol dan keyakinan yang terkandung dalam ritual Satu Suro menjadi bagian
dari identitas dan warisan budaya masyarakat Jawa. Pada malam Satu Suro,
Adapun tradisi lain dari Desa Karanganyar dibulan Muharram atau Suro tepatnya
pada tanggal 10 Muharram yaitu setiap dusun mengadakan santunan anak yatim
yang diselenggarakan di masing masing masjid, dan pada tanggal itu juga
masyarakat banyak menjalankan puasa Asyura. Puasa ini banyak dilakukan oleh
sebagian masyrakat karena merupakan puasa yang paling utama dan puasa sunnah
terbaik di bulan Muharram.
13
Puasa ini memiliki makna keutamaan dapat
menghapus dosa selama setahun.
Kemudian di Desa Karanganyar, setiap malam malam Satu Suro, sebagian
besar penduduknya berkumpul untuk melakukan tahlilan atau doa bersama.
Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk memperkuat hubungan spiritual dengan
Tuhan serta sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterima serta harapan
akan perlindungan-Nya. Acara tersebut dipimpin oleh ulama dan biasanya
dilaksanakan menjelang waktu maghrib. Dalam rangkaian kegiatan ini, doa Tutup
Tahun dibaca sebelum sholat maghrib, kemudian dilanjutkan dengan doa Awal
Tahun setelah sholat maghrib. Setelah berdoa bersama, sebagian warga tetap
berada di masjid hingga larut malam, suatu kegiatan yang dikenal dengan istilah
"leklekan". Pada pukul 12 malam, sebagian warga juga melakukan ziarah ke
makam sesepuh di masing-masing dusun, di mana mereka membaca doa tahlil di
sekitar makam.
14

Dalam tradisi ke Islaman Jawa, seperti diketahui bahwasannya bulan
Muharram disebut dengan bulan Suro. Penamaan ini memiliki makna yang
mendalam dalam konteks kehidupan keagamaan Jawa, kegiatan hajatan dan
pembangunan dihindari secara ketat. Perbedaan pandangan ini bisa ditelusuri

13
Fauzi dan Jafar Qodir,“Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20 Desa di dalam
Kawasan Borobudur”, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020), hlm.213.
14
Fauzi dan Jafar Qodir,“Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20 Desa di dalam
Kawasan Borobudur”, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020), h.195.

36

hingga pada masa kuno di mana masyarakat Jawa memiliki persepsi yang
berbeda. Semua ada dalam agama asli Jawa yang hidup rukun berdampingan
sesuai sifat orang Jawa yang toleran dan sinkretis. Banyak budaya asing masuk,
tetapi tetap budaya pokok budaya dari Jawa yang dijadikan sebagai adat istiadat
tradisi Jawa dan menjadi cerita tersendirinya.

C. Praktik Peringatan Satu Suro di Beberapa Wilayah Daerah Jawa
Para ahli dalam bidang studi budaya dan agama mungkin menilai peringatan
Satu Suro sebagai fenomena keagamaan dan budaya yang memegang peran
penting dalam mempertahankan dan mewariskan nilai-nilai tradisional Jawa.
Mereka mungkin meneliti aspek-aspek seperti simbolisme, ritus, dan peran
peringatan ini dalam merawat identitas dan solidaritas komunitas. Sementara itu,
ahli sejarah meneliti asal-usul dan perkembangan peringatar Satu Suro dari waktu
ke waktu, serta dampaknya terhadap masyarakat Jawa. Mereka dapat memeriksa
bagaimana peringatan ini berkembang, apakah ada perubahan signifikan dalam
cara peringatan dilakukan, dan bagaimana nilai-nilai budaya dan agama
dipertahankan atau berubah seiring waktu.
15

Merayakan Suro di tiap desa adalah sebagai kebudayaan komunikasi
simbolis-simbolisme itu adalah keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai,
dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam
masyarakat melalui institusi.
16
Lalu, kehidupan sosial yang biasa dan historis
tentang makna, aktivitas simbolik atau aktivitas yang memiliki makna dalam
semua bentuknya. Kebudayaan inilah yang kemudian menjadi tradisi masyarakat,
tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan
masyarakat.
17


15
Karkono Kamajaya Partokusumo, ”Kebudayaan Jawa Perpaduan dengan Islam”,
(Yogyakarta:Gama Media), 2021, h. 68.
16
Jefri Suwardi Endaswara, “Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa”.(Yogyakarta:Narasi). 2020, h. 35.
17
Herusatoto, “Simbolisme dalam Budaya Jawa”. (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia).
2003, h 26.

37

Salah satu contoh, tradisi Suroan di Desa Kluwung mereka melakukan pada
malam Satu Suro bertepatan pada 1 Muharram pengajian dan kenduren sebelum
mereka melakukan penyembelihan kambing lalu dimasak yang uniknya lagi
segala sesuatunya dilakukan oleh kaum pria, sedangkan kaum wanitanya hanya
membawa nasi bakul. Penyembelihan kambing itu sendiri bermakna untuk
memberikan 11 penghormatan sebagai ketaatan mereka kepada leluhurnya.
Prosesi ritualisme yang menunjuk bahwa selain tradisi suroan sebagai media
untuk menghormati roh leluhur, juga sebagai rasa syukur atas rahmat dan anugrah
Tuhan.
18

Di samping itu, keberadaan tradisi Suroan dan perkembangannya di kalangan
masyarakat mempunyai dampak positif bagi kehidupan masyarakatnya.
Selanjutnya, dalam pemaknaan praktek makna lainnya dalam suroan ialah
kepercayaan, nilai dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar/tanpa
dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan
dari satu generasi berikutnya. Peringatan Satu Suro sebagai momen yang kaya
akan nilai-nilai budaya dan sejarah Jawa. Mereka mungkin tertarik untuk
menyelidiki aspek-aspek tradisional dan mitologis dari perayaan ini, serta
bagaimana untuk memengaruhi identitas budaya masyarakat Jawa secara
keseluruhan.
Selanjutnya di daerah lain yang turut merayakan Suroan yaitu di Desa
Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur. Persepsi
masyarakat Margolembo terhadap malam Satu Suro adalah malam Satu Suro
adalah malam yang keramat dan bertepatan dengan satu Muharram. Pada saat
malam Satu Suro, seluruh benda-benda pusaka seperti keris, batu dan benda
pusaka lainnya dimandikan atau disucikan dengan bunga-bunga.
19
Masyarakat
Margolembo yang memiliki ilmu kejawen bersemedi di tempat yang sakral atau

18
Alo Liliweri, “Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya”, (Cet.I; Yogyakarta:
LKis Yogyakarta. 2003), h. 7-10.
19
Rahmat, Tokoh Masyarakat Desa Margolembo, wawancara 06 Maret 2017

38

keramat seperti puncak gunung, Pohon besar, atau dimakam keramat.
20
Proses
pelaksanaan budaya malam Satu Suro pertama-tama menyiapkan sesaji berupa
persembahan atau sesembahan makanan, minuman, dan bunga-bunga yang
ditujukan untuk arwah nenek moyang.
Kemudian Perayaan Satu Suro Dusun Jowahan Desa Wanurejo, dilakukan
dengan sejumlah tradisi yang dilaksanakan pada malam harinya. Pak Nuryanto,
seorang tokoh seniman melakukan perayaan malam Satu Suro sesuai adat tradisi
ini dari leluhurnya tradisi dimulai dengan membersihkan benda pusaka keris.
membersihkan minyak pada pusaka hingga kering dan terlihat segar kembali.
Semua pusaka selesai dibersihkan hingga terbenamnya matahari.
21
Makna
tersebut adalah bahwa manusia harus memiliki keseimbangan lahir dan batin
untuk yakin kepada Tuhannya, para tamu dan masyarakat lain mulai hadir
meramaikan pelaksanaan Satu Suro. Tamu undangan wajib membawa pusaka lalu
membersihkannya menggunakan singer di ujung depan meja yang sudah tertata
pusaka peninggalan para leluhur tamu lainnya.

20
Hassan Shadily, “Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia” (Cet.XII; Jakarta:PT Rineka
Cipta, 2013), h. 50.
21
Rangga Tsulisul dan Achmad Loh Sari Larasati, Satu Suro: Makna Malam Mistis dan
Kramat Tradisi Jawa, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020), h 514.

39

BAB IV
PERINGATAN TRADISI 1 SURO DI KOMUNITAS DUSUN
ONGGOSORO KEPERCAYAAN URIP SEJATI

A. Tradisi Suro di Kalangan Penghayat Kepercayaan Urip Sejati
Masyarakat penghayat kepercayaan Urip Sejati di Dusun Onggosoro
menjalankan tradisi malam Satu Suro ini dari turun temurun nenek moyang dan
para leluhur terdahulu, untuk menjaga keselamatan atau mara bahaya dan
hal(musibah) yang tidak diinginkan. Urip sejati memiliki tradisi ritual tahunan
yakni setiap tanggal 15 Suro. Sebelum hari H ritual atau persiapan upacara 15
Suro. Prosesi upacara diawali kegiatan nyekar atau berziarah makam di dekat
dusun kala siang hari.
1
Tradisi Suro komunitas penghayat Urip Sejati mengirab
gunungan dengan aneka ragam buah dan sayur, ubarampe seperti tumpeng, jenang
abang putih, ayam ingkung, tampaknya bentuk perayaan yang kaya dengan
simbolisme dan makna mendalam. sering dihubungkan dengan keberlimpahan
dan kesuburan, sementara jenang, ayam ingkung, atau elemen lainnya mungkin
membawa konsep keberkahan dan keharmonisan.
2
Meskipun makna dan
simbolisme ini mungkin sangat khusus untuk komunitas tersebut dan mungkin
tidak dikenal secara umum, ada beberapa elemen yang sering ditemui dalam
tradisi agama. Diantara elemen itu adalah dalam tradisi ini memang memaknai
ritual tradisi kepada sesepuh atau leluhur yang sudah terdahulu meninggal.
Kemudian sekarang terdapat proses Islamisasi, Dusun Onggosoro dalam
kepercayaan urip sejati ini melakukan Islamisasi dengan ada ritual khusus seperti
dengan makanan ritual sembahannya diganti dengan makanan yang merupakan
sudah adanya pengaruh zaman sekarang.
3
Contohnya, sebelumnya dulu ada yang

1
Abdul Majid danTaufik Wahyono. Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20 Desa di
dalam Kawasan Borobudur, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020), h. 177.
2
Bastman HD, Logoterapi, Psikologi Untuk menemukan makna Hidup dan Meraih Hidup
Bermakna (Jakarta:Raja Grafindo Persada.2007), h.38
3
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

40

namanya jenang suro, jenang suro ini merupakan simbol khas asli dari tradisi
Suroan tersebut. Kemudian berubah menjadi tumpeng, karena adanya faktor dari
budaya. Proses ini dapat melibatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat,
termasuk budaya, adat istiadat, dan tradisi lokal yang kemudian mengalami
pengaruh atau perubahan karena masuknya ajaran Islam.
Lalu dalam acara Suroan ini diketahui, dilanjutkan dengan adanya
pembacaan doa mantra. Tujuan nya pun tak menghilangkan rasa syukur dan
mengharap berkah kepada Allah swt. serta juga mempererat silaturahmi terhadap
masyarakat. Lalu, kepercayaan Urip Sejati umumnya memiliki keyakinan dan
praktik keagamaan yang berasal dari tradisi lokal, khususnya budaya Jawa.
Orang-orang yang memeluk kepercayaan Urip Sejati umumnya memiliki
keyakinan dan praktik keagamaan yang berasal dari tradisi lokal, khususnya
budaya Jawa. Proses Islamisasi biasanya berhubungan dengan transformasi
budaya dan tradisi lokal agar lebih sejalan dengan ajaran Islam. Jika terjadi
perubahan atau pengaruh Islam pada perayaan Satu Suro di komunitas tersebut,
kemungkinan disebabkan oleh interaksi antara anggota penghayat kepercayaan
Urip Sejati dengan masyarakat Muslim.
Selain itu, ada kemungkinan bahwa beberapa individu memilih untuk
menyatukan unsur-unsur Islam dalam perayaan tersebut sebagai bentuk
sinkretisme atau adaptasi budaya.
4
Dalam penyebutan Satu Suro berubah menjadi
Muharoman dalam tradisi ritual ini merujuk Islamisasi pada proses penyebaran
dan diterimanya agama Islam dalam suatu masyarakat atau wilayah. Lalu dalam
komunitas Urip Sejati menyebut Suro ini berubah menjadi Suran. Proses ini dapat
melibatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk budaya, adat istiadat,
dan tradisi lokal yang kemudian mengalami pengaruh atau perubahan karena
masuknya ajaran Islam. Dalam proses kehidupan seseorang terutama bagi para

4
Simuh, Interaksi Islam dan Budhaya Jawa dalam Anasom, ed., Merumuskan Kembali
Interelasi Islam-Jawa, (Semarang: Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo dan
Gama Media, 2021), h. 32.

41

penganut Palang Putih Nusantara melakukan kebaikan sesuai tuntunan ajaran
Kejawen Urip Sejati merupakan upaya untuk mencapai kesempurnaan hidup atau
mencapai kehidupan yang bermakna. Selain itu laku spiritual merupakan jalan
untuk mengenal diri sendiri dengan tujuan jika sudah mengenal diri sendiri akan
bisa mengenal Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut palang Putih Nusantara mengaku bahwa ajaran mereka bukanlah
sinkretisasi antar agama lain dan merupakan ajaran murni yang diperoleh dari
Gusti Bandoro Pangeran Haryo Suryodiningrat dan setelah meninggal kemudian
diteruskan oleh puteranya beranama Prof. DR. RM. Ki Wisnoe Wardhana atau
akrab dengan sebutan Romo Wisnu. Di Dusun Onggosoro, Desa Giritengah,
Kecamatan Borobudur, Mbah Kamijan dan sekitar 100 orang penghayat
kepercayaan Kejawen Urip Sejati lainnya, memegang teguh budaya dan tradisi
Jawa. Masyarakat di Dusun Onggosoro mengikuti kepercayaan ini dengan khusyu
dan penuh dengan keyakinan. Dalam sembahyang penghayat ini berdoa agar
selalu minta keselamatan dan diberikan kelancaran dalam setiap aktivitasnya.

B. Prosesi Praktik Ritual Dalam Tradisi 1 Suro di Kalangan Penghayat Urip
Sejati.
Urip sejati memiliki tradisi ritual tahunan yang dilaksanakan setiap tanggal
15 Suro. Upacara ini dimulai pada siang hingga menjelang sore dengan kegiatan
ziarah makam atau nyekar.
5
Pelaku kejawen melakukan perjalanan ke makam
dengan berjalan kaki, menunjukkan salah satu bentuk pelaksanaan ajaran kejawen.
Tak lupa membawa berbagai jenis bunga. Setibanya di makam, mereka
menyebarkan bunga yang dibawa sebagai penghormatan kepada para leluhur.
6

Kemudian, mereka berkumpul di makam sesepuh atau leluhur untuk melakukan
doa bersama, yang dipimpin oleh Mbah Kamidjan. Dengan membawa buah-
buahan, makanan, minuman, sesajen yang disiapkan tradisi itu rutin digelar

5
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hida Karya, 2020), h.
222.
6
Jefri Suwardi Endaswara , Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta:Narasi.2018), h. 46.

42

bersama-sama saban tahun agar hal-hal tidak baik yang ada di Bumi lekas sirna
dan kehidupan warga bahagia dan mulia.
7
Dalam proses kehidupan seseorang
terutama bagi para penganut Palang Putih Nusantara melakukan kebaikan sesuai
tuntunan ajaran Kejawen Urip Sejati merupakan upaya untuk mencapai
kesempurnaan hidup atau mencapai kehidupan yang bermakna. Selain itu laku
spiritual merupakan jalan untuk mengenal diri sendiri dengan tujuan jika sudah
mengenal diri sendiri akan bisa mengenal Tuhan Yang Maha Esa.
8
Prosesi
upacara diawali dengan nyekar atau bersih makam, kegiatan ziarah makam di
dekat dusun kala siang hari. Selanjutnya, pergi kesumber mata air dengan
membawa bunga dan sesajen lainnya. Hal ini dilakukan juga untuk menghormati
para leluhur dan sesepuh. Pada waktu magrib, sejumlah warga mengirab
gunungan yang berisi aneka ragam buah dan sayur, tumpeng, serta ubarampe lain
macam seperti jenang abang putih, ayam ingkung, dan sebagainya, ke lokasi doa
bersama. Tujuan mengirab gunungan dengan aneka ragam buah dan sayur,
tampaknya memang bentuk perayaan yang kaya dengan simbolisme dan makna
mendalam.
Masyarakat sering kali menyusun gunungan hasil bumi saat merayakan
hari-hari istimewa seperti Suronan atau ritual paguyuban. Fungsinya adalah
sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan atas berkah yang diberikan.
Gunungan tersebut mencakup berbagai macam hasil pertanian seperti buah-
buahan, sayuran, dan rempah-rempah yang disusun dengan indah. Biasanya,
gunungan ini diarak bersama-sama mengelilingi desa dan kemudian dibagikan
kepada seluruh masyarakat. Salah satu alasan mengapa gunungan ini tidak
diperlombakan adalah untuk mencegah pemborosan hasil bumi yang bisa terjadi
jika gunungan jatuh atau terinjak-injak.
9
Arti dari maksud tradisi ini, sering
dihubungkan dengan keberlimpahan dan kesuburan, sementara jenang, ayam

7
Endaswara, Mistik Kejawen..., h.50.
8
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
9
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

43

ingkung, atau elemen lainnya mungkin membawa konsep keberkahan dan
keharmonisan.
Dalam tradisi Suro di komunitas ini, merayakan tradisi ngarap gunungan
yang disini kita lakukan bersama-sama membaca doa dan mantra dalam posesi
ritual.
10
Lalu, kegiatan tradisi pada malam ritual selain adanya makanan tumpeng
kerucut, kami juga menyiapkan ada kacang-kacangan seperti; kacang tanah,
kedelai, gude, kacang hijau. Tujuannya sama dengan ritual untuk memperoleh
keselamatan. Lalu, pada malam kedua atau malam terakhir ada kesenian yaitu ada
tarian dan penampilan wayang. Biasanya malam, terakhir ini dihadiri oleh tamu-
tamu penting seperti dinas dari kepariwisataan. Kegiatan dilakukan oleh beberapa
anak dan pemuda setempat menampilkan tari-tarian. Acara ditutup lewat
pementasan wayang kulit oleh dalang Ki Eko Sanyoto dari Pondok Tingal,
Borobudur. Dalam tradisi ini berlangsung dalam 3 hari 2 malam. Makna dalam
perayaan ini adalah meminta keselamatan dimasa yang akan datang dari segala
mala petaka dan dilancarkan segala pemintaannya.
11
Prosesi ritualisme yang
menunjuk bahwa selain tradisi suroan sebagai media untuk menghormati roh
leluhur, juga sebagai rasa syukur atas rahmat dan anugrah Tuhan.
12

Kemudian, dengan kepercayaan di Dusun Onggosoro dalam Palang Putih
Nusantara ini masih mempertahankan keyakinannya, karena ingin
mengaktualisasikan budi luhur dan budi pekerti untuk menjadi manusia utamanya
guna mencapai ketentraman hidup.
13
Sedangkan langkah yang harus ditempuh
yakni dengan cara membangun ruang dan suasana hidup kebatinan Jawa, dengan
cara meyakini dan mempertahankan pandangan hidup kejawen sebagai pedoman
aktualisasi budi luhur. Dalam proses kehidupan seseorang terutama bagi para
penganut Palang Putih Nusantara melakukan kebaikan sesuai tuntunan ajaran
Kejawen Urip Sejati merupakan upaya untuk mencapai kesempurnaan hidup atau

10
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
11
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
12
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Cet.I; Yogyakarta:
LKis Yogyakarta. 2003), h. 7-10
13
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

44

mencapai kehidupan yang bermakna. Selain itu laku spiritual merupakan jalan
untuk mengenal diri sendiri dengan tujuan jika sudah mengenal diri sendiri akan
bisa mengenal Tuhan Yang Maha Esa.
14

Ada tiga hal ajaran Kawruh Urip Sejati “Kang Anjog Lawange Suwarga
utawa Neraka”. Ajaran yang harus diamalkan oleh penganut Palang Putih
Nusantara antara lain; Sangkan Paraning Dumadi , Manunggaling Kawula Gusti,
Memayu Hayuning Bawono.
15
Dalam penjelasannya Sangkan Paraning Dumadi
adalah tentang ilmu kesempurnaan maksudnya seseorang akan selamat saat
mencapai kesempurnaan atau manusia sudah mencapai kehidupan yang
bermakna.
16
Manunggaling Kawulo Gusti merupakan perwujudan sikap
manembah, manembah merupakan upaya menghubungkan diri secara sadar,
mendekat dan manunggal dengan Tuhan karena menurut penganut kepercayaan
tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan. Memayu Hayuning Bawana
berarti upaya menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan, keselamatan
dunia.

C. Makna Simbolik Tradisi 1 Suro di Kalangan Komunitas Penghayat
Kepercayaan Urip Sejati
Kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Pencipta sudah ada jauh sebelum agama-agama dari luar masuk ke Indonesia.
Yaitu yang menuntun laku hidup dan kehidupan masyarakat kita serta
menyembah kepada-Nya. Nilai-nilai ajaran budi luhur dari kepercayaan dan
keyakinan tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya.
Dengan pengahayatan dan pengamalan yang diwujudkan dalam perilaku budaya
(budaya spiritual). Hingga sekarang penganutnya disebut Penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam cakupan komunitas maupun

14
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
15
Wahyu Lailatul Nur Halimah. “konsep makna hidup bagi penganut Ajaran kejawen
urip sejati palang putih nusantara”, (Yogyakarta: Narasi), .2020, hlm5.
16
Endaswara, Mistik Kejawen..., h. 42.

45

perorangan. Selanjutnya perlu kita kertahui bahwasannya, Kepercayaan dan
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia dapat secara umum
dilihat melalui tiga periode sejarah.
Pertama, pada masa sebelum adanya pengaruh kebudayaan dari luar.
Kedua, dalam periode pengaruh kerajaan-kerajaan yang memiliki latar belakang
Hindu-Buddha, serta masuknya agama Islam. Ketiga, saat kedatangan bangsa
Eropa yang membawa penyebaran agama Kristen, dan masa dinamika politik
sebelum dan setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia. Dalam penghayat
Urip Sejati ini bedasar atas 9 budaya, mengartikan makna untuk kehidupan
sehari-harinya. Sembilan aspek kehidupan tersebut mencakup bidang budaya
pribadi, sosial, ekonomi, politik, seni, pengetahuan, keagamaan, filsafat, dan
bidang mistik.
17
Penganut kepercayaan ini juga tetap mempertahankan keyakinan
mereka karena mereka ingin mewujudkan nilai-nilai luhur dan karakter yang
mulia sebagai tujuan utama dalam mencapai kehidupan yang tenteram.
Tradisi lainnya komunitas penghayat Urip Sejati mengirab gunungan
dengan aneka ragam buah dan sayur, ubarampe seperti tumpeng, jenang abang
putih, ayam ingkung, tampaknya bentuk perayaan yang kaya dengan simbolisme
dan makna mendalam.
18
Makna ini sering dihubungkan dengan keberlimpahan
dan kesuburan, sementara jenang, ayam ingkung, atau elemen lainnya mungkin
membawa konsep keberkahan dan keharmonisan.
19
Meskipun makna dan
simbolisme ini mungkin sangat khusus untuk komunitas tersebut dan mungkin
tidak dikenal secara umum, ada beberapa elemen yang sering ditemui dalam
tradisi agama. Kemudian sekarang seiring perkembangan zaman yang semakin
modern terjadi proses Islamisasi, Dusun Onggosoro dalam kepercayaan Urip
Sejati ini melakukan Islamisasi dalam ritual makanan yang dibuat untuk upacara,
pernah diketahui, sebelum terjadi perubahan dalam ritual ada yang namanya

17
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
18
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
19
Bastman HD dan Logoterapi, Psikologi Untuk menemukan makna Hidup dan Meraih
Hidup Bermakna, (Jakarta:Raja Grafindo Persada.2007), h.38

46

tumpeng robyong kemudian disini berubah diganti dengan ayam ingkung.
20

Selanjutnya dalam Dusun Onggosoro ini Tumpeng Robyong memiliki arti sebagai
gambaran atau simbol kesejahteraan, kemakmuran dan kesuburan. Kemudian,
puncak tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia untuk mencapai
kejayaan yang hakiki. Puncak dari tumpeng juga merupakan manifestasi dari
gambaran transenden kekuasaan Tuhan.
21
Laku spiritualitas dalam konsep ajaran
Kejawen Urip sejati merupakan salah satu jalan penganut bisa mendekatkan diri
dengan Tuhan. Selanjutnya, contoh lainnya ada juga sebelumnya dulu ada yang
namanya jenang suro, jenang suro ini merupakan simbol khas asli dari tradisi
Suroan tersebut. Kemudian berubah menjadi tumpeng, karena adanya faktor dari
budaya. Biasanya tumpeng ini juga disebut dengan tumpeng kerucut. Tumpeng ini
dimakan Bersama lauk pauk lainnya. Jika dulu dengan makanan yang tidak boleh
dibunuh karna menghormati leluhur. Namun, sekarang seiring berjalannya waktu,
memang tidak seperti dulu, namun tetap berusaha dengan menjalankan ritual yang
tidak menggunakan makanan dengan yang harus membunuh hewan tersebut. Hal
ini bermakna untuk memberikan penghormatan sebagai ketaatan mereka kepada
leluhurnya. Kemudian dalam perayaannya, Pelu diketahui persiapan bahan ritual
merupakan bagian dari hasil alam, setiap tradisi hasil alam inilah dipakai untuk
kebutuhan ritual dan bisa menjadi bermanfaat untuk mengharap berkah. Semua
yang dihasilkan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, berkebun,
atau menanam semua itu akan dikeluarkan dalam tradisi ritual berlangsung, lalu
juga diwujudkan dalam gunungan. Makna dalam perayaan ini adalah meminta
keselamatan dimasa yang akan datang dari segala mala petaka dan dilancarkan
segala pemintaannya.
22

Simbol ritual tradisi dalam masyarakat Jawa dalam Urip Sejati ini dapat
dimaknai sebagai perwujudan bahwa seorang manusia merupakan tajalli atau juga

20
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
21
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.
22
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

47

sebagai unsur-unsur yang tidak bisa dipisahkan dari tuhan.
23
Makna simbolik
Manunggaling Kawulo Gusti merupakan perwujudan sikap manembah,
manembah merupakan upaya menghubungkan diri secara sadar, mendekat dan
manunggal dengan Tuhan karena menurut penganut kepercayaan tujuan hidup
manusia adalah bersatu dengan Tuhan.
24
Memayu Hayuning Bawana berarti upaya
menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan, keselamatan dunia. Tradisi
lainnya yang dilakukan komunitas Urip Sejati selain tradisi Suran adalah
diantaranya; tradisi kelahiran, tradisi kematian, tradisi pernikahan.
25
Masyarakat
menjalankan semua tradisi ini tentunya berdasar atas ajaran kepercayaan leluhur
atau roh terdahulu yang dilakukan secara turun menurun.
Dalam tradisi kelahiran, melakukan ritual tradisi kepada bayi yang baru
lahir untuk dilakukannya prosesi doa bersama agar kelak anak yang sudah lahir
menjadi anak yang berbudi pekerti luhur. Kemudian dalam tradisi kematian,
tradisi ini ada pengaruh agama hindu, dengan menjalankan doa bersama-sama
dalam waktu 1hari, 7 hari, 40 hari suatu ritual bagi seseorang yang sudah mati
atau meninggal dianggap sebagai leluhur. Tradisi pernikahan juga disini sudah
memiliki tradisi adat pakem yang kami lakukan dalam berdasarkan semua dari
turun menurun. Namun jika memang tradisi Suro memiliki unsur budaya asli
Jawa, yang masih merayakan suran ini dengan prosesi dan adat penghayat
kepercayaan Urip Sejati. Tapi dengan halnya berbagai tradisi ini, komunitas Urip
Sejati sangat terbuka dan toleransi serta juga saling menghargai sesama.







23
Muhammad Darori Amin, Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan,
keyakinan dan Ritual, (Yogyakarta: Gama media, 2002), h. 140.
24
Endaswara,Mistik Kejawen..., h. 46.
25
Wawancara dengan Ki. Kamidjan, Magelang 23 Februari 2024.

48

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tradisi perayaan Satu Suro di Borobudur merupakan tradisi yang
dilakukan masyarakat setiap tahun dan sudah menjadi bagian dari
identitasnya. Tradisi budaya ini, sudah mendarah daging dan sangat dekat
menempel pada masyarakat karena budaya nenek moyang yang secara turun
menurun. Satu Suro dikenal dengan sebutan Suroan, dengan seiring
perkembangan adanya budaya Islam yang masuk. Awal mulanya kalender
Islam di kalangan masyarakat Jawa pada zaman pemerintahan kerajaan
Demak, oleh Sunan Giri II yang membuat penyesuaian antara sistem kalender
Hijriah dengan sistem kalender Jawa pada masa itu. Tujuan tradisi ini
memang untuk menghormati para leluhur dan arwah yang sudah pergi
mendahului. Kemudian, tradisi ini juga bertujuan untuk meminta
keselamatan, mengharap berkah agar dimudahkan dalam segala urusan dan
dilancarkan serta dijauhkan dari mara bahaya dan bala petaka atau dari hal-
hal yang tidak diinginkan. Tradisi Suran menitik beratkan warisan nenek
moyang secara turun menurun.
Selanjutnya, dalam komunitas penghayat Urip Sejati yang berada di
Desa Giritengah, dulunya masyarakat kepercayaan ini menjalankan tradisi
Suro dengan masih belum memahami betul makna tradisi Suro
sesungguhnya. Masyarakat masih ada yang menganggap ada mitos-mitos
atau semacamnya. Mereka belum mengetahui dan memahami lebih banyak,
tujuannya untuk menghormati para leluhur dan tradisi nenek moyang yang
dilakukan turun menurun. Mbah kamidjan dalam memperjuangkan
komunitas Palang Putih Nusantara benar-benar dilakukan agar untuk
Keberadaan penghayat saat ini masih ada dan berkembang pesat di
masyarakat dan setelah hadir putusan Mahkamah Konstitusi 2016 silam.

49

Mbah kamijdan yang bernama asli Ki Kamidjan itu, memimpin komunitas
Urip Sejati yang awalnya memang kepercayaan ini belum bisa diterima di
lingkungan masyarakat. Meskipun begitu, beliau sampai sekarang bisa
membawa kepercayaan ini dengan keyakinan dan pemahaman bahwasannya,
penghayat kepercayaan ini berarah menghormati leluhur dan para arwah
terdahulu. Dalam pelaksanaan tradisi Suran di Dusun Onggosoro, memakai
ritual sama seperti dulu sampai sekarang. Hanya saja, dengan perkembangan
zaman pengaruh budaya Islam masuk namun tidak merubah keyakinan
mereka karena mereka ingin mewujudkan nilai-nilai luhur dan karakter yang
mulia sebagai tujuan utama dalam mencapai kehidupan yang tentram. Palang
Putih Nusantara ini menjalankan tradisi ritual memang untuk keselamatan
dan menyempurnakan hidup. Pengaruh Islamisasi terdapat dalam penyebutan
makanan yang disiapkan dalam prosesi ritual Suran. Pengaruh ini terjadi
adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya
lokal tradisi Islam ke Indonesia.
Prosesi ritual dalam perayaan dimulai pada tanggal 15 Suro, Sebelum
hari H ritual. Biasanya acara ini juga dilakukan pada 2 malam. Dengan ritual
diawal masyarakat pergi kemakam dan melakukan doa bersama dengan
membawa bunga atau kembang. Kemudian pergi menuju sumber air, untuk
melakukan doa bersama. Tujuannya untuk meminta keselamatan dan
mengharap berkah atas hal apa saja yang dilakukan oleh masyarakat. Prosesi
ini sama halnya dengan ritual lain, yaitu dengan membawa sesaji makanan
dan kemudian untuk dimakan bersama disana.
Tradisi di penghayat komunitas Urip Sejati, juga melaksanakan
tradisi lainnya seperti tradisi kelahiran, tradisi kematian, dan tradisi
perkawinan. Tradisi ini dilakukan masyarakat dan akan terus menjalankan
semua tradisi ini tentunya berdasar atas ajaran kepercayaan leluhur atau roh
terdahulu yang dilakukan secara turun menurun dan kepercayaan budaya asli
Jawa. Meskipun minoritas di lingkungan masyarakat, komunitas ini tetap

50

mempercayai apa yang sudah menjadi pilihan mereka untuk beribadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dalam tradisi ini juga toleransi
dengan agama lain. Dalam Urip Sejati ini tidak adanya pengaruh agama lain
kecuali Islam dan mereka tetap terima sebagai rasa saling menghormati
terhadap sesama.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, peneliti berharap agar topik
pembahasan dalam penelitian ini dapat berguna dan menimbulkan rasa
keingintahuan lebih dalam untuk mengadakan penilitian lanjutan. Peneliti
berharap juga agar peneliti selanjutnya lebih menggali lebih dalam lagi
mengenai Tradisi Satu Suro Di Komunitas Penghayat Kepercayaan Urip
Sejati atau hal lainnya yang terkait dengan tradisi.

51

Daftar Pustaka

Abdirachman “Hubungan antara Makna Hidup dan Dimensi Kognitif Subjective
Well Being”, Thesis fakultas Psikologi UIN Malik Ibrahim, tahun 2022.
Abuddin Nata. “Tafsir ayat-ayat pendidikan”.(Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada),
2018.
Amani Asef, “Penganut Kejawen Urip Sejati di Borobudur Peringati Satu Sura
1955, diakses pada 24 Agustus 2021 dari
https://www.suaramerdeka.com/hiburan/pr-04947673/penganut-kejawen-
urip-sejati-di-borobudur-peringati-satu-sura-1955.
Amin Darori Muhammad, ”Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek
Kepercayaan, keyakinan dan Ritual”, (Yogyakarta: Gama media, 2002).
Arif, Psikologi Dakwah, “Suatu Pengantar Studi”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).
Bahrin Media Zainul, Wajah Studi Agama-agama, (Yogyakata: Pustaka
Pelajar,2015).
Bakry Oemar, Akhlak Muslim (Bandung: Angkasa, 1986).
Christiana Ratna, “Tradisi Suroan di Desa Bedono Kluwung Kecamatan Kemiri
Kabupaten Purworejo”, skripsi,Yogyakarta: Adab UIN Sunan
kalijaga,2019.
Dwiyanto Djoko,“Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”(Yogyakarta:Pararaton, 2010).
E. Goffman, (1989). ”On Fieldwork”, Journal of Contemporary Ethnography,
18 (2), h. 123-132.
Endaswara Jefri Suwardi, “Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa”, (Yogyakarta:Narasi). 2020.
Fauzi Miftakhul dan Qodir Muhammad Jafar,“Budaya Spiritual Menurut Desa
dari 20 Desa di dalam Kawasan
Borobudur”,(Jakarta:KEMENDIKBUD,2020).
Geertz Clifford,”Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan
Jawa”,(Depok: Komunitas Bambu, 2014).

52

H. Ninik, (2021). “Makna Simbolis Srimpi Lima pada Upacara Ruwatan di Desa
Ngadirejo Poncokusumo Malang”. Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan
Pengajarannya, 40(1), h. 55-69.
Halimah Wahyu Lailatul Nur. Konsep Makna Hidup Bagi Penganut Ajaran
Kejawen Urip Sejati Palang Putih Nusantara. (Yogyakarta: Narasi), 2020.
Herusatoto, “Simbolisme dalam Budaya Jawa”. (Yogyakarta: Hanindita Graha
Widia). 2003.
HD Bastman dan Logoterapi, “Psikologi Untuk menemukan makna Hidup dan
Meraih Hidup Bermakna”, (Jakarta:Raja Grafindo Persada.2007).
Isdiana, “Tradisi Upacara Satu Suro Dalam Perspektif Islam” (Skripsi Program
Sarjana S1 Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung, 2017).
Jefriadi “Konsep Bimbingan untuk Menemukan Makna Hidup dan
Mengembangkan Hidup Bermakna Menurut Hanna Djumhana
Bastaman”, Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah, tahun 2009.
Julianti Intan, “Makna Simbolik Kirab Ritual 1 Surodi Desa Menang Kecamatan
Pagu Kabupaten Kediri”, Jurnal Sandhyakala, Volume 2, Nomor 1,
Januari 2021, h. 28-32.
Kayam, Umar. ”Seni Tradisi masyarakat”. (Jakarta. Sinar Harapan). 2021.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, ”Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah
Administrasi Pemerintahan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 29
Desember 2020. Diakses
https://ditjenbinaadwil.kemendagri.go.id/berita/detail/kemendagri-
mutakhirkan--kode-data-wilayah-administrasi-pemerintahan--dan-pulau-
di-seluruh-indonesia pada tanggal 3 Oktober 2021.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Gambaran Umum Kabupaten
Magelang” diakses dari

53

https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/10068/3/BAB%20II.pdf pada
tanggal 23 januari 2020.
Koentjaraningrat, “ Pengantar Ilmu Antropologi”, (Jakarta: PT RINEKE CIPTA).
2021.
Kusuma, C. N, Grebeg Maulud Sebagai Upacara Labuhan Gunung Merapi di
Yogyakarta, (Yogyakarta: Econpapers, 2019).
Liliweri Alo, Pengantar Studi Kebudayaan (Bandung: Nusamedia, 2014).
Majid Abdul dan Wahyono Taufik. “Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20
Desa di dalam Kawasan Borobudur”, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020).
Majid Abdul dan Wahyono Taufik. “Budaya Spiritual Menurut Desa dari 20
Desa di dalam Kawasan Borobudur”, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020).
Maran dan Raga Rafael,”Manusia Dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu
Budaya Dasar”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007).
Masri dan Rasyid Abdul, Mengenal Sosiologi Suatu Pengantar (Cet.XVI
Makassar: Alauddin Press). 2020.
Mulyani. ”Tradisi Malam Satu Suro Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan
Sosial Keagamaan Masyarakat”. (Studi Di Desa Kubuliku Jaya
Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten Lampung Barat). Skripsi Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung. (2020).
Mustopo H, “Ilmu Budaya Dasar”. Kumpulan Essay dan Budaya. Surabaya. PT.
Bina Ilmu, 1983.
Partokusumo Kamajaya Karkono, “Kebudayaan Jawa Perpaduan dengan Islam”,
(Yogyakarta:Gama Media), 2021.

Prasetiawan Irvan. Persepsi Masyarakat Jawa Terhadap Budaya Malam Satu
Suro di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu
Timur. Skripsi UIN Alauddin Makassar Pressindo. 2018.

54

Saut Prins David, “Ada 187 Organisasi dan 12 Juta Penghayat kepercayaan di
Indonesia” dalam Berita harian Detik News pada kamis 09 November
2017.
Suara Merdeka. ”Desa Giritengah, Borobudur, Magelang pesona indah” Diakses
dari https://desagiritengah.wordpress.com/ pada tanggal 23-25 Januari
2020.
Rohidi dan Tjetjep Rohendi. Metodologi Penelitian Seni, (Semarang : Cipta Prima
Nusantara Semarang, CV. 2021).
Saputra Wawan, “Pesan Dakwah Dalam Tradisi Mappadendang Di Desa Kebo
Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng,” Skripsi Program Sarjana S1
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin Makassar. 2016.
Shadily Hassan, 2013. Metode Penelitian.Medan;Art design Sosiologi untuk
Masyarakat Indonesia. (Cet.XII; Jakarta:PT Rineka Cipta, 1993).
Sholikhin Muhammad, Misteri Bulan Suro perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:
Penerbit Narasi, 2009).
Simuh, “Interaksi Islam dan Budhaya Jawa,” dalam Anasom, ed., Merumuskan
Kembali Interelasi Islam-Jawa (Semarang: Pusat Kajian Islam dan Budaya
Jawa IAIN Walisongo dan Gama Media, 2021).
Soehadha Moh. “Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi
Agama”,(Yogyakarta:suka-Press), UIN Sunan Kalijaga.2012.
Soehadha Moh. “Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi
Agama”,(Yogyakarta:suka-Press), UIN Sunan Kalijaga.2012.
Sugiyono,”Metode Penelitian Manajemen”, (Bandung: ALVABETA, 2014).
Tsulisul Rangga dan Larasati Achmad Loh Sari, ”Satu Suro: Makna Malam
Mistis dan Kramat Tradisi Jawa”, (Jakarta:KEMENDIKBUD,2020).
Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hida Karya,
2020).
Yusuf Muri Achmad, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019).

55

Lampiran I: Permohonan Wawancar Ki. Kamidjan
Lampiran II: Surat Keterangan Wawancara Ki. Kamidjan
B. Dokumentasi
LAMPIRAN-LAMPIRAN

A .Berita Wawancara























Lampiran III: Dokumentasi Kegiatan

56

A. Berita Wawancara
Nama : Ki. Kamidjan
Alamat : Desa Giritengah, Dusun Onggosoro, Kecamatan
Borobudur, Kabupaten Magelang
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Ketua Komunitas Penghayat Kepercayaan Urip Sejati
Tanggal Wawancara : 23 Februari 2024
POKOK PEMBICARAAN
1. Pewawancara : “Apa sejarah tradisi Suro di kalangan penghayat komunitas
Urip Sejati ?”
Narasumber : ”Jadi awal mula perayaan malam Satu Suro konon bertujuan
untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa pada
zaman pemerintahan kerajaan Demak, oleh Sunan Giri II yang membuat
penyesuaian antara sistem kalender Hijriah dengan sistem kalender Jawa
pada masa itu. Di Desa Giritengah, Kejawen Urip Sejati ini merupakan
ajaran yang berasal dari Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryodiningrat,
yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Pada bulan Juni
1930, Pangeran Suryodiningrat mendirikan Pakempalan Kawula
Ngayogyakarta (PKN). Pada tanggal 9 September 2002, Kejawen Urip
Sejati bergabung dalam organisasi Palang Putih Nusantara, yang didirikan
awalnya itu oleh Wisnoe Wardhana Suryodiningrat. Ajaran Pangeran
Suryodiningrat dan Romo Wisnoe Wardhana yang dimana waktu itu

57

terwujud dalam sembilan bidang budaya, para pengikut menjalani
kehidupan mereka. Nah kemudian ajaran ini memang percaya leluhur dan
budaya asli dengan sistem penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam komunitas Urip Sejati menyebut Suro ini berubah
menjadi Suran. Proses ini melibatkan berbagai aspek kehidupan
masyarakat, termasuk budaya, adat istiadat, dan tradisi lokal yang
kemudian mengalami pengaruh atau perubahan karena masuknya ajaran
Islam. Tradisi Suro ini memang dilakukam masyarakat minoritas yang
hanya sedikit, tetapi masyarakat yang muslim tetap menghargai dan
toleransi. Masyarakat penghayat kepercayaan Urip Sejati di Dusun
Onggosoro menjalankan tradisi malam Satu Suro ini dari turun temurun
nenek moyang dan para leluhur kami terdahulu, untuk menjaga
keselamatan atau mara bahaya dan hal(musibah) yang tidak diinginkan.
Leluhur kami harus dihormati karna, ia sudah meninggal menghadap tuhan
terlebih dulu, penghayat Urip Sejati ini bedasar atas 9 budaya,
mengartikan makna untuk kehidupan sehari-harinya. Sembilan aspek
kehidupan tersebut mencakup bidang budaya pribadi, sosial, ekonomi,
politik, seni, pengetahuan, keagamaan, filsafat, dan bidang mistik.
Memang kepercayaan ini minoritas di Dusun Onggosoro ini, tetapi saya
tetap memperjuangkan sampai dulunya pun belum diakui oleh
pemerintahan kalau adanya kepercayaan penghayat seperti ini di Jawa”.
2. Pewawancara : “Kapan persis dilakukannya tradisi Suro ini ?”

58

Narasumber : “ Kemudian Urip sejati memiliki tradisi ritual tahunan ini
setiap di tanggal 15 Suro. Sebelum hari H ritual atau persiapan upacara 15
Suro. Biasanya acara ini juga dilakukan pada 2 malam. Tapi sebelumnya,
masyarakat semua sudah sibuk menyiapkan untuk tradisi dari sebelum
perayaan berlangsung nanti. Karna persiapannya memang harus dari jauh
hari juga untuk menjalankan ritual.”
3. Pewawancara : “Bagaimana prosesi ritual dalam tradisi Suro di kalangan
Urip Sejati ?”
Narasumber : “Pertama kami ada kegiataan nyekar atau kalo disini
disebutnya dengan bersih makam. Nah, disini kami pergi ke makam-
makam leluhur yang sudah terdahulu meninggal atau sesepuh kalo disini
dikenalnya. Kami pergi kesana sambil membawa seserahan juga, atau
sesajen untuk ritual. Tujuannya untuk menghormati para arwah leluhur.
Disana kami berdoa bersama dilanjut dengan memakan yang tadi sudah
dibawa. Makanan yang dibawa atas hasil bumi yang selama ini ditanam,
seperti ada buah-buahan; pisang, jeruk, dan lainnya. Kami memakannya
juga untuk menunjukkan rasa syukur atas apa yang sudah diperoleh
sampai saat ini dan mengharap berkah. Yang bisa pergi kesana ada
disemua kalangan, bahkan anak-anak juga antusias mengikuti ritualnya.
Kegiatan ini dilakukan pada siang hari, dan malamnya biasa kita ada
kegiatan acara lagi. Kemudian, setelah berlangsungnya nyekar atau bersih
makam tadi, selanjutnya pergi untuk ke sumber air bsama-sama dan

59

membaca doa juga untuk para leluhur. Setelah selesai, ada pembacaan doa
khusus lagi yang berlangsung di sanggar, ini dilakukan hanya untuk orang-
orang tertentu saja. Atau bagian dari struktur organisasi Palang Putih
Nusantara. Lalu sisanya, masyarakat berkumpul untuk diadakannya
selametan ritual pembacaan doa ditempat saya, dengan makanan yang
sudah disiapkan seperti tumpeng, jenang, ayam ingkung, ambeng.
Maknanya disini agar diberi keselamatan. Lalu dalam ritual selain adanya
makanan tumpeng kerucut, kami juga menyiapkan ada kacang-kacangan
seperti; kacang tanah, kedelai, gude, kacang hijau. Tujuannya sama
dengan ritual untuk memperoleh keselamatan. Nah, pada malam kedua
atau malam terakhir biasanya kami ada kesenian yaitu ada tarian dan
penampilan wayang. Biasanya malam, terakhir ini dihadiri oleh tamu-tamu
penting seperti dinas dari kepariwisataan. Dalam tradisi Suro di komunitas
ini kita juga merayakan tradisi ngarap gunungan yang disini kita lakukan
bersama-sama membaca doa dan mantra dalam posesi ritual, dalam prosesi
ngirap gunungan masyarakat sering kali menyusun gunungan hasil bumi
saat merayakan hari-hari istimewa seperti Suronan atau ritual paguyuban.
Fungsinya adalah sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan atas berkah
yang diberikan. Gunungan tersebut mencakup berbagai macam hasil
pertanian seperti buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah yang disusun
dengan indah. Biasanya, gunungan ini diarak bersama-sama mengelilingi
desa dan kemudian dibagikan kepada seluruh masyarakat. Salah satu

60

alasan mengapa gunungan ini tidak diperlombakan adalah untuk mencegah
pemborosan hasil bumi yang bisa terjadi jika gunungan jatuh atau terinjak-
injak.”
6. Pewawancara : “Apa makna simbolik dalam tradisi ini di kalangan Urip
Sejati dan nilai apa saja yang terkandung dalam tradisi Suro?”
Narasumber : “ Meminta keselamatan untuk dimasa yang akan datang, nah
maka dari itu tradisi Suro di uri sejati dilakukan tiap tahun. Satu Suro itu
banyak keberkahan dan permintaan, permintaan keselamatan dari segala
malapetaka dan dilancarkan untuk segala permintaannya itu intinya. Nilai
yang terkandung didalamnya sebetulnya banyak. Salah satunya untuk
menyambung silaturahmi antar masyarakat. Nilai sosial dalam tradisi Suro
ini juga harus dimiliki, karena disini kami minoritas dalam penghayat
kepercayaan urip sejati. Namun dengan ini tidak akan jadi masalah karna
tujuan kita sama yaitu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dalam
tradisi ini kami juga toleransi dengan agama lain. Kebetulan dalam urip
sejati ini tidak adanya pengaruh agama lain kecuali Islam. Tetapi tetap
kami terima, dan karna memang di lingkungan masyarakat disini juga
memang beragama Islam saja tidak ada agama lain juga.”
7. Pewawancara : “Apakah ada pengaruh Islamisasi dalam perayaan tradisi
ini?”
Narasumber : “Ada, seperti yang saya jelaskan bahwasannya pengaruh
agama Islam mempengaruhi juga, karna juga beriringan dengan waktu dan

61

zaman. Dalam tradisi yang kami lakukan awalnya makanan tumpeng
robyong merupakan yang paling tua, karena sudah ada pengaruh Islamisasi
berubah namanya menjadi ayam ingkung. Kemudian ada lagi, dulu ada
namanya jenang suro, tapi sekarang berubah menjadi tumpeng, lebih
tepatnya bernamanya tumpeng kerucut. Maknanya disini tetap sama
dengan mengharap berkah dan memperoleh keselamatan serta dihindarkan
dari hal yang tidak diinginkan dan hal yang dianggap sebagai mala petaka.
Arti dalam sesaji untuk tradisi ini juga menghormati para leluhur dan
arwah yang sudah pergi terlebih dulu.”
8. Pewawancara : “Bagaimana Palang Putih Nusantara ini mencapai
kehidupan yang bermakna lewat laku spiritualnya?”
Narasumber : “Palang Putih Nusantara ini menjalankan tradisi ritual
memang untuk keselamatan dan menyempurnakan hidup. Urip Sejati,
nama ini dikenal masyarakat dan dinamakan seperti itu dimulai karena
setelah mengayom perjalanan hidup. Orang yang sudah meninggal disebut
sebagai leluhur. Kemudian, dengan nama ini menghormati leluhur dan
arwah tedahulu, jadi harus bisa saling menghargai dan menghomati
kehidupan yang bermakna. tak jarang hambatan dan kendala pastilah ada
baik berupa penderitaan ataupun kondisi lain yang sebenarnya tidak
diharapkan oleh manusia. Tak jarang manusia juga larut dalam kondisi
tidak baik yang sedang dialami bahkan ada pula yang sampai kehilangan
hasrat untuk melanjutkan hidup, sehingga hidupnya terasa hampa dan

62

tidak bermakna. Hidup tanpa makna adalah hidup yang gersang, tidak ada
arah dan tujuan, selalu bingung apa cita- cita, potensi yang dimiliki
seorang individu. Menjalankan tradisi merupakan kewajiban dan menjauhi
larangan itu merupakan salah satu bentuk terhindar dari penderitaan.”
9. Pewawancara : “Bagaimana pandangan masyarakat dalam memaknai
tradisi tersebut dan apakah masyarakat antusias dalam perayaan tradisi
Suro?”
Narasumber : “Masyarakat disini memang banyak yang beragama Islam,
namun dalam penghayat kami tidak terpengaruh dan tetap menjalankan
tradisi Suro dengan memaknai agar mendapat keselamatan terhadap diri
kami. Keselamatan yang kami maksud disini untuk mengharap berkah atas
semua segala permintaan dan dihindarkan dari malapetaka. Pandangan
masyarakat dalam tradisi ini berpusat pada leluhur yang memang leluhur
nenek moyang atau sesepuh kita terdahulu telah meninggal. Jadi
masyarakat melakukan ritual untuk mengharap keberkahan dan
keselamatan. Lalu juga dalam penghayat ini masyarakat di semua
kalangan sangat antusias mengikuti tradisi baik anak muda, orangtua, ibu-
ibu dan bapak-bapak. Apalagi anak-anak, mereka senang dengan adanya
tradisi seperti ini. Kemudian, sebetulnya dalam tradisi di komunitas
kepercayaan Urip Sejati ini tidak hanya tradisi Suro saja yang dilakukan.
Tetapi kami juga menjalankan tradisi kelahiran, tradisi kematian, dan
tradisi pernikahan. Tradisi ini dilakukan masyarakat memang sudah secara

63

turun menurun. Dalam tradisi kelahiran, melakukan ritual tradisi kepada
bayi yang baru lahir untuk dilakukannya prosesi doa bersama agar kelak
anak yang sudah lahir menjadi anak yang berbudi pekerti luhur. Kemudian
dalam tradisi kematian, tradisi ini masih tercampur dengan budaya lain
yang masuk. Ada pengaruh agama hindu, dengan menjalankan doa
bersama-sama dalam waktu 1hari, 7 hari, 40 hari suatu ritual bagi
seseorang yang sudah mati atau meninggal dianggap sebagai leluhur.
Sama hal tradisi pernikahan juga disini sudah memiliki tradisi adat pakem
yang kami lakukan. Toh, dalam semua tradisi podo wae sama saja, sami
mawon dalam berdasarkan semua dari turun menurun. Namun jika
memang tradisi Suro ini memiliki unsur budaya asli Jawa, yang masih
merayakan Suran dengan prosesi dan adat kami penghayat kepercayaan
Urip Sejati. Tapi dengan halnya berbagai tradisi ini, komunitas kami
sangat untuk terbuka dan toleransi serta juga saling menghargai sesama.”

64

Lampiran I Surat Permohonan Data Wawancara

65

Lampiran II Surat Keterangan Wawancara

66

B. Dokumentasi
Lampiran III Dokumentasi Kegiatan

67



Prosesi ritual

68





Ziarah makam

69



Pergi ke Sumber air untuk mengharap berkah

70

71





Prosesi doa Bersama

72

73

Acara pertunjukan kesenian

74



Acara tumpengan, dan gunungan

75
Tags