3. Api: maksudnya sumber energi yang diperlukan orang banyak (pada masa Nabi berupa api/arang untuk memasak dan menghangatkan diri; dalam
konteks modern bisa meliputi bahan bakar umum atau listrik yang sifatnya publik).
Islam menjaga kemaslahatan umum dan menghindarkan umat dari kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Sumber daya vital yang tidak dapat
diciptakan ulang oleh manusia dan sifatnya luas atau melimpah sebaiknya dimanfaatkan bersama, bukan menjadi alat penindasan atau monopoli. Hadis ini
tidak berarti semua orang bebas mengambil tanpa aturan.
Beberapa rincian yang dijelaskan para fuqaha: Jika seseorang mengolah atau menguasai sebagian sumber daya tersebut dengan cara yang benar
(misalnya menggali sumur di tanahnya atau mengumpulkan kayu bakar sendiri), maka ia memiliki hak atas usahanya, selama tidak menutup akses
masyarakat terhadap bagian umum. Negara atau penguasa boleh mengatur distribusi dan penggunaannya demi kemaslahatan (misalnya membuat aturan
tentang irigasi, pembagian listrik, atau pengelolaan hutan). Bila persediaan terbatas atau bisa rusak bila diambil sembarangan, maka dibolehkan adanya
regulasi atau biaya pemeliharaan.
Islam menekankan keadilan sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam. Hadis ini menjadi dasar prinsip pengelolaan lingkungan dan sumber daya
publik: hak masyarakat harus dilindungi, dan penyalahgunaan (monopoli, pencemaran, perusakan) dilarang. Dalam konteks modern, “air dan api” bisa
meliputi: air bersih, irigasi, energi listrik, gas, minyak, bahkan informasi atau fasilitas publik lain yang menopang kelangsungan hidup.
9. “Melaknat” berarti Allah menjauhkan orang tersebut dari rahmat-Nya karena besarnya dosa yang ia lakukan. “Merusak atau mengubah batas tanah”
maksudnya: Memindahkan patok, batu, atau tanda yang menjadi batas antara dua bidang tanah. Menggeser garis pembatas untuk memperluas milik sendiri
atau mengurangi hak orang lain. Segala bentuk penyerobotan tanah yang telah jelas kepemilikannya.
Islam sangat menjaga hak milik dan kehormatan harta orang lain. Mengubah batas tanah bukan hanya mencuri, tetapi juga menimbulkan permusuhan,
kerusakan sosial, bahkan pertumpahan darah. Menetapkan batas lahan yang jelas menjaga keadilan dan mencegah persengketaan. Perbuatan ini termasuk
dosa besar, karena Nabi ﷺ menyebutkan laknat (kutukan). Dalam fikih, mengubah batas tanah termasuk bentuk ghashb (perampasan hak), yang
mewajibkan pelaku mengembalikan hak yang diambil dan bertaubat. Negara atau hakim berhak memberikan sanksi bagi pelaku penyerobotan tanah untuk
menjaga kemaslahatan.
Islam mengajarkan agar kita menghormati kepemilikan orang lain dan menjaga kejelasan hak atas tanah. Menyerobot tanah sekecil apa pun adalah
dosa besar; dalam riwayat lain Nabi ﷺ bersabda: > “Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka pada hari kiamat akan dikalungkan
kepadanya tujuh lapis bumi.” (HR. al-Bukhari & Muslim). Pencatatan dan batas yang jelas dalam jual beli atau hibah tanah sangat dianjurkan untuk
menghindari sengketa.
10. Kabbid ratbah” (ةبطر دبك) secara harfiah berarti “hati yang basah”, maksudnya setiap makhluk hidup yang masih bernyawa. Hadis ini menegaskan
bahwa memberi manfaat atau kebaikan kepada makhluk hidup — terutama yang sedang membutuhkan air atau makanan — akan mendapatkan pahala,
meskipun makhluk itu bukan manusia. Hadis ini diucapkan Nabi ﷺ setelah menceritakan kisah seseorang yang memberi minum seekor anjing yang
kehausan. Orang itu turun ke sumur, mengambil air dengan sepatunya, lalu memberi minum anjing tersebut. Nabi ﷺ bersabda: “Allah berterima kasih
kepadanya dan mengampuni dosanya.”
(HR. al-Bukhārī & Muslim).
Islam menekankan kasih sayang kepada seluruh makhluk, bukan hanya manusia, tetapi juga hewan bahkan tumbuhan. Memberi minum, memberi
makan, atau menghilangkan penderitaan makhluk hidup adalah bentuk ibadah yang berpahala. Sebaliknya, menyakiti atau menyiksa hewan adalah dosa