PHILOSOPHICAL ANALYSIS OF AGROFORESTRY PRACTICES IN THE WANAGIRI HKm AREA IN SUMBAWA REGENCY: FROM ONTOLOGY AND EPISTEMOLOGY TO AXIOOLOGY

YadiHartono1 3 views 18 slides Oct 23, 2025
Slide 1
Slide 1 of 18
Slide 1
1
Slide 2
2
Slide 3
3
Slide 4
4
Slide 5
5
Slide 6
6
Slide 7
7
Slide 8
8
Slide 9
9
Slide 10
10
Slide 11
11
Slide 12
12
Slide 13
13
Slide 14
14
Slide 15
15
Slide 16
16
Slide 17
17
Slide 18
18

About This Presentation

This paper aims to conduct a philosophical review of agroforestry practices in the Wanagiri HKm area in Sumbawa Regency, viewed from three aspects, namely ontology, epistemology, and axiology. The Wanagiri Community Forest was chosen because, according to the results of research by Markum, et.al (20...


Slide Content

TELAAH FILOSOFIS PRAKTIK AGROFORESTRI PADA AREAL HKm WANAGIRI DI KABUPATEN SUMBAWA: DARI ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI HINGGA AKSIOLOGI Oleh : Yadi Hartono (NIM: R3A02420007)

Pendahuluan November 2024, sekawanan harimau melintas di semak belakang rumah warga Desa Kinal Jaya, Kecamatan Napal Putih , Kabupaten Bengkulu Utara. Dalam waktu hampir bersamaan , Desember 2024 kawanan gajah juga terekam oleh warga tampak mendekati pemukimannya ( Mongabay , 2025 ) Sepanjang tahun 2002 hingga 2022, Indonesia telah kehilangan 10,2 juta hektar hutan primer (Global Forest Watch dan Word Resources Institut , 2023). Di Nusa Tenggara Barat (NTB), laju kerusakannya mencapai 23 lapangan bola per hari atau setara 8.280 Ha per tahun ( NTBSatu , 2025). Pada periode yang sama (2002-2023), Kabupaten Sumbawa dilaporkan telah kehilangan 340 ha hutan primer (Global Forest Watch, 2024 ) Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah perambahan hutan oleh masyarakat . Keterbatasan lahan garapan dan rendahnya pendapatan adalah alasan utama masyarakat menggarap lahan hutan di sekitar tempat tinggal ( Djamhuri 2008). Silent Spring (1962) karya Rachel Carson, The Tragedy of the Commons (1968) ditulis oleh Garret Hardin dan The Population Bomb (1968) karya Paul Ehrlich. Tulisan-tulisan tersebut melihat stimulus degradasi lingkungan berasal dari dorongan ekonomi dan pertumbuhan populasi manusia Dalam waktu bersamaan ada juga tulisan Lynn White yang berjudul The Historical Roots of Our Ecologic Crisis terbit 1967. Tulisan Lynn White memiliki keistimewaan dibandingkan tulisan mengenai isu lingkungan lainnya di periode 1960-an. Lynn White lebih memerhatikan persoalan ide-ide dan nilai-nilai manusia yang mendasari kerusakan lingkungan (Marfa, A, 2016).

Pada tataran kebijakan , mucul kesadaran dan inisiatif pemerintah untuk menghadirkan suatu konsep pengelolaan hutan yang lestari sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan . Salah satu konsep tersebut adalah Hutan Kemasyarakat ( HKm ) di bawah payung program perhutanan social. Di NTB, program HKm telah memberikan kesempatan sekitar 29.672 rumah tangga petani mendapatkan lahan garapan HKm dengan luas lahan garapan rata-rata 0,5 Ha dan pengelolaannya selama 35 tahun ( Markum et.al, 2015). Secara umum , petani di NTB menerapkan sistem agroferstri dalam menggarap lahan HKm . Agroforestri adalah ilmu baru dari sebuah praktik kuno , yang berupa penggunaan lahan dengan mengkombinasikan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian dan / atau binatang ternak untuk peningkatan efisiensi penggunaan lahan ( Sabarnurdin et al. 2011). Sebagai contoh , di HKm Sesaot , Lombok Barat, petani menggabungkan tanaman kayu , MPTs, dan tanaman semusim dengan komposisi 70 persen tanaman MPTs. Hkm Santong , Lombok Utara, petani juga menggabungkan tanaman kayu , MPTs dan tanaman semusim , namun dengan komposisi 70 persen tanaman kayu ( Markum et.al, 2015 ). Potret HKm Sesaot Markum , et. al, 2015

Selanjutnya di HKm Batukliang Utara, Lombok Tengah, petani mengkombinaksikan tanaman kayu , tanaman MPTs dan tanaman semusim , dengan 2 pola yaitu pola 1 didominasi tanaman MPTs dan pola 2 didominasi tanaman semusim ( Husni , S dan Wangiyana , W, 2024). Demikian juga di HKm Sabedo , petani mengkombinasikan tanaman kayu , tanamann MPTs, Tanaman perkebunan dan tanaman semusim jenis empon-empon , dengan komposisi 70% tanaman MPTs (Hartono, Y, 2025). Sejauh ini , agroforestri oleh banyak pihak dinilai sebagai suatu sistem pemanfaatan lahan yang telah disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat , agroforestri dapat berkontribusi terhadap strategi pembangunan nasional dengan memberikan peluang kerja ( pro job ), mengentaskan kemiskinan ( pro poor ), meningkatan ekonomi daerah ( pro growth ), dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan ( pro environment ). Selain kontribusi ekonomi , sistem agroforestri juga memberikan dampak positif bagi aspek konservasi . Sistem ini terbukti mampu mempertahankan kesuburan tanah , melindungi daerah tangkapan air, berkontribusi di dalam upaya penyerapan karbon dan mendukung upaya konservasi keanekaragaman hayati dan restorasi lanskap ( Rohadi , D et. Al, 2013). Sebagai contoh , repong damar di Lampung terbukti berperan mempertahankan ratusan spesies langka seperti flora epifit , jamur dan berbagai herba (de Foresta et.al, 2000). Selain itu repong juga berperan sebagai habitat bagi 92 jenis burung dan 46 jenis mamalia , termasuk 17 spesies yang dilindungi (ICRAF 2001). Istilah lokal untuk praktik agroforestry Potensi HHBK di Lokasi HKm Batukliang Utara Sumber : Markum , et. a l, 2015

Pasca kemunculannya di periode 1980an, agroforestri menjadi bagian penting dalam praktik pertanian berkelanjutan . Studi-studi terkait agroforestri di Indonesia berkembang cukup pesat . Terdapat 440 judul publikasi ilmiah dengan fokus agroforestri sampai tahun 2013 ( Rohadi , D et. al, (2013 ) Hasil kajian Fernández (2004) dan Fernández et al. (2003), sistem agroforestri di Sumatera Utara juga terbukti berkontribusi terhadap konservasi keanekaragaman hayati serta menjaga kondisi hutan alam di sekitarnya yang menjadi habitat bagi orang utan

Berdasarkan table di atas , terkonfirmasi belum banyak ditemukan dari tulisan-tulisan tersebut yang secara eksplisit mengungkap telaah filosofis praktik agroforestri ditinjau dari sisi ontologi , epistemologi dan aksiologi . Untuk itu , tulisan ini bermaksud melakukan telaah filosofis praktik agroforestri pada areal HKm Wanagiri di Kabupaten Sumbawa yang ditinjau dari 3 ( tiga ) aspek , yakni ontologi , epistemologi , dan aksiologi HKm Wanagiri dipilih atas pertimbangan karena menurut hasil penelitian Markum , et.al (2015), HKm Wanagiri 1 dari 4 lokasi HKm di NTB yang seringkali menjadi rujukan dari berbagai pihak baik itu kelompok masyarakat , lembaga penelitian , pemerintah , pemerintah daerah , perguruan tinggi , dunia usaha sebagai tempat belajar , lokasi ujicoba , lokasi studi dan penerapan inovasi Selanjutnya tulisan ini sepenuhnya bertumpu pada studi pustaka . Artinya data yang digunakan tergolong ke dalam data sekunder

Filosofis agroforestri ditinjau dari sisi ontologi Ontologi mangacu pada kata ‘ ousology ’, yang dalam bahasa Yunani berasal dari kata ‘ ousia ’ yang memiliki arti ‘ keberadaan ’ ataupun ‘ eksis ’ (Barnhart dalam Edelheim , 2015). Ontologi menciptakan kerangka kerja untuk bagaimana kita , sebagai individu , terhubung dalam masyarakat , sekaligus untuk memahami realitas di mana kita hidup ( Edelheim , 2015 ) Kekuatan ontologi berada pada kemampuannya dalam memberikan kita kunci guna membuka cara memahami realitas , dengan mengambil objek studi berupa keberadaan aktual dari hal-hal , konsep-konsep , dan pengalaman-pengalaman , serta kata-kata ( Edelheim , 2015 ) Singkatnya , telaah ontologi agroforestri pada tulisan ini merujuk pada memahami keberadaan konsep dan teori-teori maupun tindakan yang berhubungan dengan agroforestri . Sebagai sebuah konsep maupun teori , ilmu agroforestri lahir sebagai respon dari permasalahan perubahan lingkungan daerah tropika yang berkaitan erat dengan pembukaan hutan alam yang menimbulkan erosi , kepunahan flora dan fauna, dan perluasan lahan kritis . Agroforestri menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi , serta memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan . Agroforestri diharapkan berguna bagi daerah tropika , sebagai usaha mencegah perluasan tanah tandus dan kerusakan kesuburan tanah , dan mendorong pelestarian sumberdaya hutan (de Foresta H, da Michon , G, 1997).

Pola agroforestri yang dipraktikkan di suluruh kepulauan Indonesia dikelompokkan menjadi 2 yaitu : agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks . Agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur , menggambarkan apa yang kini dikenal sebagai skema agroforestri klasik . Sedangkan agroforestri kompleks adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan , perdu, tanaman musiman dan atau rumput . Agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami , melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan (de Foresta H, da Michon , G, 1997 ) Berdasarkan klasifikasi pola agroforestri oleh de Foresta H, da Michon , G, (1997), praktik agroforestri HKm Wanagiri tergolong agroforestri kompleks . HKm Wanagiri adalah model HKm jasa lingkungan dengan produk utama berupa air. Masyarakat Wanagiri memanfaatkan kawasan hutan negara seluas 300 Ha sebagai penyedia dan sumber air bagi kegiatan pertanian di bagian hilir dengan pola agroferstri dan kebutuhan air domestik warga Desa

Penyelenggaraan HKm Wanagiri diatur melalui pendekatan dan kelembagaan Banjar, dimana kelompok HKm dan anggotanya terikat dengan kesepakatan yang dihasilkan dari banjar . Dengan norma dan aturan lokal ( awiq - awiq ) yang dihasilkan melalui pemufakan banjar , praktik agroforestri Wanagiri berhasil melestarikan dan melakukan perlindungan kawasan hutan ( HKm ) Masyarakat pengelola HKm Wanagiri adalah masyarakat pendatang dari Bali Praktik agroforestri yang demikian menjadikan kawasan HKm Wanagiri tetap terus memberikan air bagi aktifitas pertanian lahan kering yang mereka kelola di bagian hilir dengan pola agroforestri di luar kawasan hutan , dan untuk mencukupi kebutuhan air untuk rumah tangga mereka ( Markhum , et.al, 2015 ) Praktik agroforestri HKm Wanagiri yang didasarkan pada gagasan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dengan kearifan lokal , memiliki keselarasan dengan pandangan tentang alam oleh salah seorang filsuf Stoa Yunani kuno yang juga Neoplatonist, bernama Plotinus Plotinus menyatakan bahwa alam dapat dipahami bukan sebagai dunia realitas dalam dirinya sendiri , melainkan sebagai aspek eksternal bagi umat manusia dan turunan dari dunia ideal yang dibentuk oleh kekuatan generatif dari prinsip transenden : kesatuan , keberadaan dan kebaikan ( Wildberg , 2006). Lebih lanjut , Plotinus menganggap bahwa alam adalah jumlah total dari dunia alami , dan setiap makhluk alami di dalamnya , hidup maupun mati ( meskipun tidak ada yang benar-benar mati ), terlibat dalam kontemplasi yang tenang tentang apa yang benar-benar ada ; sebuah entitas ideal ( Wildberg , 2006). Sumber : Markum , et. a l, 2015

Filosofis agroforestri ditinjau dari sisi epistemologi Epistemologi secara etimologis dapat ditelusuri ke dalam bahasa Yunani epistēmē , yang berarti pengetahuan . Epistemologi dikatakan juga merujuk pada kata epistanai , yang memiliki arti untuk memahami , atau untuk mengetahui (Barnhart dalam Edelheim , 2015 ) Lebih lanjut , epistemologi juga disebut teori pengetahuan yang merangkum isu-isu seperti sifat persepsi , hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan , serta teori kebenaran alternatif (Cahn dalam Ayikoru , 2009 ) Epistemologi diterima oleh masyarakat rasionalis sebagai hal untuk menjelaskan mengapa kita bersama-sama memutuskan bahwa hal-hal tertentu adalah benar , dan yang lainnya tidak ( Edelheim , 2015). Dalam terminologi Heidegger (1962) yang merujuk pada bagaimana individu memahami keberadaan dan makna melalui pemahaman , suasana hati maupun wacana , dalam epistemologi pun terletak penjelasan tentang bagaimana pengetahuan diciptakan dalam pikiran manusia , dan diterima oleh masyarakat luas ( Edelheim , 2015) Telaah epistemologi agroforestri pada tulisan ini merujuk pada memahami bagaimana mayarakat membangun pemahamannya yang berhubungan dengan agroforestri .

Untuk memahami konstruksi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terkait agroforestri , penulis memulai dengan memahami praktik pengelolaan sumber daya hutan dibeberapa daerah pada periode 1960-an yang oleh sebagian hasil penelitian disebutkan sebagai cikal bakal agroforestry Daerah yang dimaksud yaitu : Kubu di Sumatera, Punan dan suku Dayak di Kalimantan serta suku Jawa . Orang Kubu merawat areal-areal di tengah-tengah hutan yang diperkaya dengan tanaman bermanfaat , pohon buah seperti durian dan berbagai jenis mangga , serta tanaman pemikat binatang buruan . Di samping usaha perlindungan dan penyebaran tanaman bermanfaat , ada pula praktik ‘ perkebunan ’; biji-biji tertentu atau pucuk-pucuk liana ditanam dan tumbuhan pengganggu dibabati . Sementara pemukiman suku Dayak di hulu sungai Apo Kayan (Kalimantan), menanami lebih dari seratus jenis tanaman di kebun pekarangan . Demikian juga desa-desa di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian . Terdapat lebih dari 50 jenis pada lahan seluas 400 m 2 (de Foresta H, da Michon , G, 1997).

Agroforestri di Indonesia mulai populer dan diperkenalkan ke publik secara luas ketika isu perhutanan sosial mulai meluas di tahun 1978 ( Rohadi , D et. al, 2013). Masing-masing daerah di Indonesia, memiliki karakteristik , ciri khas dan nama lokal agroforestri , seperti “ parak ” di Maninjau , Sumatera Barat; “ pelak ” di Kerinci , Jambi; “ repong damar ” di daerah Krui , Lampung; “ tembawang ” di Kalimantan Barat; “ simpukng ” dan “ kebun ” di Kalimantan Timur ; “ talun ” atau “ dudukuhan ” di Jawa Barat; “ wono ” dan “ kitren ” di Jawa Tengah; “ tenganan ” di Bali dan “ amarasi ” di wilayah Nusa Tenggara Timur (de Foresta et al. 2000; Sardjono et al. 2003). Bangunan pengetahuan dan pemahaman konsep agroforestri masyarakat , menurut penulis setidaknya dipengaruhi oleh 2 hal , yaitu : pertama , fenomena global terkait isu kerusakan lingkungan pada periode pasca revolusi industri dan revolusi hijau . Silent Spring 1962 karya Rachel Carson dan The Limits to Growth karya ditulis oleh Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, Jorgen Randers, dan William W. Behrens III adalah dua karya yang bercerita tentang kondisi kerusakan lingkungan Kedua , dipengaruhi oleh 2 ideologi utama tentang pengelolaan lingkungan hidup , yaitu : Antroposentrisme dan Ekosentrisme

Antroposentrisme sebagai sebuah aliran mendasarkan argumentasi pada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa dan penentu realitas yang akan menentukan apa yang menjadi dan terjadi pada dirinya . Oleh karena itu segala sesuatu yang berada di luar diri manusia akan diperlakukan sebagai objek yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dirinya ( Kuntowijoyo , 1998). Pada konteks pengelolaan lingkungan hidup , gagasan antroposentrisme ini mewujud dalam bentuk keyakinan yang meletakkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta . Antroposentrisme sebagai sebuah paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup mendasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam semesta . Manusia dengan berbagai kepentingannya adalah pihak yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan pengambilan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan alam . Hal ini disebabkan karena keyakinan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai , sehingga segala sesuatu yang ada di alam semesta ini hanya akan bernilai sejauh hal tersebut menunjang kepentingan manusia . Alam hanya memiliki nilai sejauh keberadaannya mampu memberikan kemanfaatan bagi manusia , sehingga di dalam diri alam itu sendiri tidak terdapat nilai ( Keraf , 2005 ). Sudut pandang antroposentrisme ini menyebabkan terjadinya relasi sepihak yang didominasi oleh manusia . Hal ini kemudian memunculkan konsekuensi berupa model pengelolaan sumberdaya yang cenderung bersifat eksplotatif dan hanya berorientasi pada profit

Ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta ( biotis maupun abiotis ) sebagai hal yang memiliki nilai karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem ( Mutmainnah , L, 2020). Ekosentrisme meyakini bahwa alam tidak semata-mata bersifat instrumental, yaitu sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia belaka , melainkan lebih dari itu alam memiliki nilai intrinsik . Seluruh komunitas ekologis memiliki nilai intrinsik terlepas dari hal tersebut dapat memberikan manfaat ataupun tidak bagi umat manusia . Namun yang pasti adalah akan selalu muncul keterkaitan antara yang satu dengan yang lain ( biotis maupun abiotis ) dalam sebuah jaring jaring kehidupan atau ekosistem (Capra, 2002). Oleh karena itu ekosentrisme tidak berbicara dengan logika untung rugi sebagaimana antroposentrisme , melainkan lebih pada upaya untuk menciptakan keseimbangan antara seluruh komponen dalam komunitas ekologis tersebut (Cobb, 1972). Hal ini sebagaimana yang dipaparkan Arne Naess dalam Deep Ecology, bahwa manusia bukanlah subjek tunggal yang menjadi pusat dari kehidupan , melainkan seluruh elemen yang ada dalam ekosistem merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan saling membutuhkan . Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal bahwa praktik agroforestri HKm Wanagiri telah didasarkan pada gagasan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan terikat pada norma dan aturan lokal ( awig-awiq ) yang dihasilkan melalui pemufakan banjar . Berdasarkan hal itu maka epistemologi agroforestri HKm Wanagiri sebagai sebuah konsep berkiblat pada ideologi ekosentrisme

Filosofis agroforestri ditinjau dari sisi aksiologis Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori . Aksologi sendiri juga diasosiasikan dengan keyakinan dasar , nilai dan juga etika ( Guba & Lincoln, 2005 dalam Kunjuraman , 2021). Pertanyaan aksiologis sendiri umumnya mengarah pada apa yang secara intrinsik bernilai di dalam kehidupan manusia itu sendiri dan secara ekstrinsik atau instrumental berhubungan dengan bagaimana cara mencapainya (Heron & Reason, 1997; Syamsuddin , 2015 ). Aksiologi terkait erat dengan tinjauan kritis terhadap nilai ( Syamsuddin , 2015). Aksiologi yang mempelajari nilai-nilai , memberikan wawasan tentang bagaimana norma dan keyakinan filosofis petani memandu tindakan mereka ( Purnama et al., 2022 ). Petani Agroforestri HKm Wanagiri menggunakan pendekatan dan kelembagaan Banjar dalam mengelola dan mengatur penyelenggaraan HKm . Kawasan HKm Wanagiri dikelola dengan memproteksi dari aktivitas eksploitasi sekaligus melakukan perlindungan dan pengamanan agar kawasan hutan ( HKm ) tetap terus memberikan air bagi aktifitas pertanian lahan kering yang mereka kelola di bagian hilir di luar kawasan hutan dengan pola agroforestri , dan untuk mencukupi kebutuhan air rumah tangga mereka .

Aturan lokal yang digunakan adalah aturan yang disepakati melalui pemufakatan Banjar. Hasil kesepakatan kemudian dijadikan sebagai instrumen atau aturan internal yang mengatur setiap orang anggota dan penerima manfaat langsung dari HKm , termasuk mengatur hubungan antar anggota , hubungan dengan HKm dan pengelolaan HKm . Kelembagaan HKm dan pengelolaan menganut prinsip mengurus berdasarkan kearifan dan mengakar dalam budaya masyarakat ( Markum , et. Al, 2015). Penyelanggaran HKm Wanagiri dapat dianggap lahir sebagai bagian dari semangat konservasi lingkungan . Menurut Aji , K.B, (2023) konservasi lingkungan merupakan hasil ekstensifikasi moral yang dalam beberapa literatur , tergolong sebagai manifestasi dari etika lingkungan . Lebih lanjut Aji , K.B (2023) menjelaskan bahwa pernyataan itu berangkat dari ide yang dikemukakan oleh Aldo Leopold tentang Land Ethic yang merupakan bagian dari satu teks klasik gerakan lingkungan berjudul A Sand County Almanac: And Sketches Here and There yang terbit pada tahun 1949 dan juga disebut sebagai salah satu fondasi lahirnya etika lingkungan . Menurut Aji , K.B (2023), Leopold secara lugas menyampaikan bahwa : “Conservation is a state of harmony between man and land.” dan pernyataan jelas berkenaan dengan hubungan etis manusia dengan alam yang menyangkut bidang etika lingkungan dalam filsafat .

Penutup Agroforest lahir dari praktik tradisional pengelolaan hutan dan dikembangkan terus menerus oleh masyarakat setempat . Istilah agroforestri semakin populer selepas kongres Kehutanan Dunia (World Forestry Congress) tahun 1978 di Jakarta. Praktik agroforesti yang ada saat ini , sebagian berada di areal HKm . Praktik agroforesti yang dijalankan oleh masyarakat termasuk di HKm Wanagiri dibentuk berdasarkan sistem pengetahuan dan tradisi setempat , dan dikelola menggunakan teknik-teknik dan praktik praktik terpadu yang sederhana . Perkembangan dan pengelolaan agroforesti juga dikontrol oleh sistem-sistem sosial dan budaya setempat yang menjamin hak dan kewajiban pengelola secara jelas Sedangkan diluar area HKm , pola pertanian masih dominan berupa monokultur . Di Kabupaten Sumbawa misalnya , ladang-ladang masyarakat yang dulunya rimbun dipenuhi pohon-pohon kini menjadi ladang-ladang jagung . Meskipun pola pertanian monokultur jagung pada ladang tidak memiliki nilai konservasi dan berdampak buruk pada lingkungan , tidak membuat masyarakat merubah pola pertanian yang dikembangkan . Hal ini mengindikasikan budaya bertani masyarakat mengalami transformasi , di mana orientasi ekonomi dan pragmatisme semakin dominan , sehingga memudahkan konversi hutan menjadi ladang jagung untuk kepentingan ekonomi jangka pendek .

Untuk mencegah kerusakaan alam lebih lanjut , menurut penulis praktik agrofarestri harus diperluas penerapannya ( tidak terbatas pada areal HKm ) dan dimasukkan dalam strategi-strategi nasional untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam . Masyarakat harus terus diedukasi tentang perlunya mengatur kembali relasinya dengan alam , agar tidak pragmatis dan berorientasi ekonomi jaga pendek , serta tidak berpandangan antroposentrisme . Nilai-nilai budaya , sistem pengetahuan lokal dan pandangan ekosentrisme yang sebelumnya mengatur relasi masyarakat dengan alam perlu diperkuat kembali . Secara bersamaan , masyarakat juga harus diperkenalkan secara massif tentang cerita sukses atas praktik agroforestri disejumlah wilayah . Sejauh ini praktik agroforesti pada areal HKm di NTB ( HKm Sesaot , Sesaot , Santong , Batukliang Utara dan Wanagiri ) misalnya dinilai berhasi dan efektif dilihat dari aspek kelola kelembagaan , kelola kawasan , dan kelola usaha ( Samad , 2012).
Tags