Pola Konsumsi Boros dan Masalah Sampah Makanan: Refleksi dari Indonesia dan Asia
Tenggara
Oleh Agus Santoso Budiharso
Ketua Dewan Pakar/Pertimbangan Kagama Manado
Indonesia kembali menjadi sorotan internasional terkait tingginya angka sampah makanan. Data
terbaru menunjukkan bahwa negara ini menempati peringkat kedua di dunia sebagai penghasil sampah
makanan terbesar per kapita, dengan rata-rata 300 kilogram per orang per tahun. Ironisnya, fenomena
ini terjadi di tengah tingginya isu ketahanan pangan dan kelaparan di berbagai wilayah. Pola konsumsi
masyarakat yang tidak terencana dan budaya membuang makanan menjadi dua faktor utama yang
mendorong pemborosan ini.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia juga menduduki posisi puncak dalam hal jumlah sampah
makanan rumah tangga, mencapai 14,7 juta ton pada tahun 2023. Angka ini jauh melampaui Vietnam
yang berada di posisi kedua dengan 7 juta ton, serta Thailand dengan 6,1 juta ton. Data ini menyoroti
masalah mendasar dalam pola konsumsi rumah tangga di Indonesia dan kawasan sekitarnya.
Sampah Makanan: Cermin Pola Konsumsi yang Tidak Berkelanjutan
Jika menelusuri lebih dalam, sampah makanan di Indonesia sebagian besar berasal dari bahan pokok
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti beras, sayur-sayuran, buah-buahan, serta sumber protein
seperti ikan dan daging. Setiap tahunnya, satu keluarga rata-rata menghasilkan 113 kilogram sampah
makanan. Jika dirinci, ini berarti setiap individu membuang sekitar 28 kilogram makanan setiap tahun,
termasuk beras sebanyak 2,7 kilogram, sayur 7,3 kilogram, dan buah-buahan 5 kilogram.
Masalahnya tidak hanya berhenti pada jumlah makanan yang dibuang, tetapi juga dampak yang
dihasilkannya. Ketika makanan dibuang, ada sumber daya lain yang ikut terbuang, seperti air, energi,
dan tenaga kerja yang digunakan dalam produksi, distribusi, hingga penyimpanan makanan.
Pola konsumsi masyarakat Indonesia sering kali tidak dirancang dengan baik. Belanja bahan makanan
dalam jumlah besar tanpa perencanaan matang menyebabkan banyak bahan makanan yang rusak
sebelum sempat dimasak. Selain itu, kebiasaan tidak memanfaatkan sisa makanan serta kurangnya
kesadaran tentang pentingnya mengelola makanan secara efisien turut memperparah masalah ini.
Paradoks Ketahanan Pangan dan Sampah Makanan
Fakta bahwa Indonesia menjadi penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara menciptakan
paradoks tersendiri. Di satu sisi, negara ini memproduksi sekitar 290,8 juta ton pangan setiap tahun,
dengan kehilangan pangan sebesar 6 persen atau sekitar 17,4 juta ton pada tahap produksi dan
distribusi. Namun, di sisi lain, jutaan warga Indonesia masih menghadapi kerawanan pangan.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan bahwa masih ada jutaan orang di Indonesia
dan kawasan Asia Tenggara yang kekurangan akses terhadap makanan bergizi. Artinya, sampah
makanan yang dihasilkan sebenarnya bisa menjadi solusi bagi mereka yang membutuhkan, jika saja
dikelola dengan baik.
Di tingkat rumah tangga, pola konsumsi yang boros tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi
juga pada ketimpangan akses pangan. Ketika keluarga-keluarga di perkotaan membuang makanan,
banyak masyarakat di pedesaan atau wilayah terpencil yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari.
Tingkat Pemborosan yang Mengkhawatirkan